• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP PENDIDIKAN MORAL DAN SPIRITUAL DALAM SURAT ALI IMRAN AYAT 133-135 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KONSEP PENDIDIKAN MORAL DAN SPIRITUAL DALAM SURAT ALI IMRAN AYAT 133-135 SKRIPSI"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP PENDIDIKAN MORAL DAN SPIRITUAL

DALAM SURAT ALI IMRAN AYAT 133-135

SKRIPSI

Disusun Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh :

ANANTA BAYU KRISNANDAR

NIM: 111-12-052

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

MOTTO

Bukanlah Harta Yang Menjadikanmu Dicintai Oleh Allah SWT,

Namun Iman Dan Takwamulah Yang Menyebabkan Engkau

(7)

PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirobbil‟alamin dengan rahmat dan hidayah Allah SWT

skripsi ini telah selesai. Skripsi ini saya persembahkan kepada:

1. Bapak Sidik Istanto dan Ibu Sri Sudarsi yang senantiasa memberikan nasehat dan yang telah mendidikku dari kecil sampai menikmati kuliah S1 di IAIN Salatiga ini, serta tidak lelah mendoakan tanpa henti untuk menjadi pribadi yang bermanfaat untuk sesama.

2. Kakak serta adik tercinta Rifki Yudha Rasyid, Anaga Tiger Setyawan, Anjani Dewi Pangestuti dan Arcsindha Chika Riffiani yang selalu memberikan semangat untuk terus menjadi pribadi yang tangguh.

3. Keluarga besar Bapak Kusnan (alm) serta Ibu Sarti, Siti Sangadah, Siti Jamiah, Muhammad Supyan serta Nahnul Karim yang banyak memberikan limpahan

do‟a, motifasinya serta materi.

4. Mas Imam Agus Arafat, Slamet Ikhwan Lukmanto, Wahyu Najib Fikri dan seluruh teman yang selalu menemani dalam setiap langkah ketika masa kuliah. 5. Sahabat baik Andika Sapriyanto, Riko Ilham Ramadhan, Ali Murtadho,

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan banyak rahmat dan hidayah-Nya, sehingga bisa menikmati indahnya Islam di dunia ini. Sholawat serta salam selalu tercurahkan pada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW yang telah membimbing manusia dari zaman kegelapan hingga zaman yang terang benderang dan yang selalu dinantikan syafaatnya di hari kiamat kelak. Segala syukur penulis panjatkan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan judul “Konsep Pendidikan Moral dan Spiritual Dalam Surat Ali Imran Ayat 133-135.”

Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar S1 Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari bahwa masih banyak sekali kekurangan di dalamnya. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak penulis tidak akan bisa menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. H. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga

2. Bapak Suwardi, M.Pd. Selaku dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan 3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. Selaku ketua jurusan Pendidikan Agama Islam 4. Bapak Muh. Hafidz, M.Ag. Selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

(9)
(10)

ABSTRAK

Krisnandar, Ananta Bayu. 2017. Konsep Pendidikan Moral dan Spiritual Dalam Surat Ali Imran Ayat 133-135.

Kata kunci: Konsep, Pendidikan, Moral, Spiritual

Dalam prespektif teoritik, pendidikan seringkali diartikan dan dimaknai orang secara beragam, bergantung pada sudut pandang masing-masing dan teori yang dipegangnya. Terjadinya perbedaan penafsiran pendidikan dalam konteks akademik merupakan sesuatu yang lumrah, bahkan dapat memperkaya khazanah berfikir manusia dan bermanfaat untuk pengembangan itu sendiri.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditemukan bahwa pendidikan dicanangkan untuk mengembangkan potensi moralitas dan potensi spiritual dari tiap-tiap individu. Sementara itu dalam kebijakan nasional, antara lain ditegaskan bahwa pembangunan karakter bangsa merupakan kebutuhan asasi dalam proses bangsa dan negara. Dalam hal ini nilai-nilai moralitas dan spiritual sangatlah penting diterapkan kepada setiap individu melalui pendidikan moral dan pendidikan spiritual.

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan nilai-nilai pendidikan moral dan spiritual serta mengetahui sekaligus mengamalkan bagaimana nilai-nilai pendidikan moral spiritual yang terkandung dalam Q.S. Ali Imran: 133-135. Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah: 1) Bagaimana nilai-nilai pendidikan moral dan spiritual yang terkandung dalam Q.S. Ali Imran: 133-135. 2) Bagaimana implementasi nilai pendidikan moral spiritual dalam kajian Q.S. Ali Imran: 133-135.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library reserch), yaitu suatu bentuk penelitian terhadap literatur dengan pengumpulan data atau informasi dalam Al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133-135 dengan bantuan buku-buku yang berkaitan tentang moral dan spiritual, yang ada di perpustakaan dan materi pustaka yang lainnya. Metode pengumpulan data yang penulis gunakan adalah analisis deskriptif dan content analysis.

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN BERLOGO ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... v

MOTTO... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian... 7

D. Manfaat Penelitian... 7

E. Definisi Operasional ... 8

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II KOMPILASI AYAT A. Redaksi Ayat dan Terjemahan Surat Ali Imran Ayat 133-135 ... 15

B. Makna Mufrodat... 15

C. Kandungan Surat Ali Imran Ayat 133-135 ... 25

(12)

2. Kandungan Surat Ali Imran Ayat 133-135 ...26

BAB III ASBABUN NUZUL DAN MUNASABAH AYAT A. Surat Ali Imran Ayat 133-135 ... 32

B. Asbabun Nuzul ... 35

C. Munasabah Ayat ... 40

1. Munasabah Ayat ... 41

2. Munasabah Surat ... 48

BAB IV PEMBAHASAN A. Nilai-nilai Pendidikan Moral Dan Spiritual dalam Surat Ali Imran Ayat 133-135 ... 51

B. Implementasi Nilai-nilai PendidikanMoral Dan Spiritual dalam Pendidikan Formal ... 71

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 98

B. Saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA ... 101

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam prespektif teoritik, pendidikan seringkali diartikan dan dimaknai orang secara beragam, bergantung pada sudut pandang masing-masing dan teori yang dipegangnya. Terjadinya perbedaan penafsiran pendidikan dalam konteks akademik merupakan sesuatu yang lumrah, bahkan dapat memperkaya khazanah berfikir manusia dan bermanfaat untuk pengembangan itu sendiri. Untuk mengetahui definisi pendidikan dalam prespektif kebijakan, kita telah memiliki rumusan formal dan operasional, sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, yakni:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Samani, 2011: 26).

(14)

Pada taraf permulaan ini, perlu adanya penunjukan bahwasanya moral benar-benar ada, dan orang tidak dapat memungkirinya. Adanya keyakinan tentang moral dan keharusannya itu dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Kalau diteliti secara seksama lagi, nampak bahwa moral berarti acuan bahwa hidup itu mempunyai arah tertentu meskipun arah tersebut pada saat ini belum dapat dipahami atau dilihat sepenuhnya (Poespoprodjo, 1988: xvii).

Moral dipandang sebagai suatu struktur pemikiran bukan isi. Dengan demikian penalaran moral bukanlah tentang apa yang baik ataupun apa yang buruk, tetapi tentang bagaimana seseorang berpikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk. Penalaran-penalaran inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahap kematangan moral. Memperhatikan penalaran mengapa suatu tindakan salah, akan lebih memberi penjelasan daripada memperhatikan perilaku seseorang atau bahkan mendengar pernyataan bahwa sesuatu itu salah (Budiningsih, 2013: 25).

(15)

remaja pada zaman sekarang yang modern dan pluralistik telah memberikan warna yang bervariasi dalam berbagai segi.

Pola berpikir yang berlaku dalam tradisi yang hidup (living

tradition) mencakup beberapa faktor yang saling terkait. Menyebut di

antaranya adalah sistem pendidikan dan pengajaran, pengasuhan anak dalam keluarga, pengaruh lingkungan, pemikiran keagamaan, setting sosial dan pelatihan intelektual. Masing-masing dari sekian banyak aspek tersebut tidak berdiri dengan sendirinya namun saling berkaitan. Sistem etika ataupun moral, sebenarnya lebih luas cakupannya daripada hanya terfokus pada konsep-konsep keagamaan. Oleh karena itu, nilai-nilai moral secara eksplisit atau implisit erat berkaitan dengan sosiologi (Abdullah, 1995: 143).

(16)

moralitas yang memandang perbuatan sebagai perbuatan yang dipengaruhi pengertian dan persetujuan si pelaku sebagai individu. Hal tersebut juga dipengaruhi, dikondisikan oleh latar belakangnya, pendidikannya, kematangan emosionalnya dan sifat-sifat pribadi lainnya.

Selain dua sifat moralitas di atas, pembagian moral masih sangat beragam, salah satunya adalah moralitas intrinsik dan ektrinsik. Moralitas intrinsik memandang perbuatan menurut hakikatnya bebas lepas dari setiap bentuk hukum positif.

Moralitas ektrinsik adalah moralitas yang memandang perbuatan sebagai sesuatu yang diperintahkan ataupun dilarang oleh seseorang yang berkuasa, atau oleh hukum positif, baik dari manusia asalnya maupun dari Tuhan (Poespoprodjo, 1988: 103).

Dalam lingkungan pendidikan saat ini, pencanangan akan pendidikan moral dan spiritual sangat ditekankan. Alasan penekanan pendidikan moral dan spiritual tersebut adalah mengingat banyak sekali pelanggaran-pelanggaran moral yang terjadi. Salah satu penyebab pelanggaran-pelanggaran tersebut ialah minimnya nilai spiritual pada diri seseorang.

(17)

dilakukan baik sekolah maupun pemerintah untuk membantu siswa mengembangkan inti pokok dari nilai-nilai etika dan nilai-nilai kinerja, seperti kepedulian, kejujuran, kerajinan, ketabahan, tanggung jawab serta menghargai diri sendiri dan orang lain (Samani, 2011: 43).

Sedangkan pendidikan spiritual, menurut Gunarsa, (1981: 69), adalah pembersihan jiwa atau perjalanan menuju Allah, atau istilah-istilah lain atau yang ditemukan dalam terminologi sufisme. Adapun dalam buku-buku pendidikan spiritual, secara umum, seluruhnya dituangkan pada satu wajah yang sama yakni perpindahan dari jiwa yang kotor menuju jiwa yang bersih, dari akal yang belum tunduk pada syariat menuju akal yang sesuai dengan syariat, dari hati yang keras dan berpenyakit menuju hati yang tenang dan sehat. Singkatnya ialah dari yang kurang sempurna menuju yang lebih sempurna dalam kebaikan dan mengikuti Rasulullah baik perkataan, tingkah laku dan keadaannya.

Pendidikan spiritual merupakan bagian pendidikan yang memberikan pengaruh kuat pada kepribadian seseorang, menjadikan cenderung kepada kebaikan, berhias dengan sifat-sifat mulia, berpegang teguh dalam pribadi dan tingkah laku kepada akhlak mulia dengan teguh dan konsisten, senang membantu yang lain dan cinta akan tolong menolong serta senantiasa memohon dan berlindung kepada Allah (Hurlock, 1993:43).

(18)

Islam. Dalam ajaran Islam itu sendiri sangat banyak diterangkan mengenai anjuran untuk memiliki moral yang baik, serta mampu memahami nilai-nilai spiritual keagamaan. Anjuran untuk memiliki moral serta spiritual yang baik salah satunya terdapat dalam Q.S Ali Imran ayat 133-135 yang berbunyi: kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan juga orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.

(19)

adalah mengenai konsep keimanan atau aqidah dan juga mengenai konsep perbuatan atau akhlak.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis terdorong untuk

mengkaji lebih dalam tentang “Konsep Pendidikan Moral dan Spiritual

Dalam Surat Ali Imran Ayat 133-135.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan gambaran masalah di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Apa saja nilai-nilai pendidikan moral dan spiritual yang terkandung dalam Q.S. Ali Imran: 133-135?

2. Bagaimana implementasi nilai pendidikan moral spiritual dalam pendidikan formal sesuai kajian Q.S. Ali Imran: 133-135?

C. Tujuan Penelitian

Adapun dalam tujuan ini yang ingin dicapai dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan nilai-nilai pendidikan moral dan spiritual yang terkandung dalam Q.S. Ali Imran: 133-135.

2. Untuk mengetahui implementasi nilai-nilai pendidikan moral spiritual dalam pendidikan formal sesuai kajian Q.S. Ali Imran: 133-135.

D. Manfaat Penelitian

(20)

1. Untuk menambah wawasan bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

2. Agar dapat memberikan gambaran bagi pembaca akan pentingnya nilai moral spiritual yang perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat.

3. Memberikan pengetahuan khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca untuk selalu menjaga akhlak mulia dan melaksanakannya.

E. Definisi Operasional

Untuk menghindari kekeliruan pembaca dalam memahami istilah dalam judul penelitian ini, maka peneliti menjelaskan definisi-definisi operasionalnya. Beberapa istilah yang dianggap perlu untuk dijelaskan antara lain sebagai berikut:

1. Konsep

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, (2007:198) konsep berarti rancangan atau buram surat dan lannya; ide atau pemikiran yang diabstrakkan dalam pemikiran konkret. Bahri, (2008: 30) mengemukakan

dalam bukunya Pemberdayaan Masyarakat: “Konsep dan Aplikasi” bahwa

(21)

Konsep juga berarti ide abstrak yang dapat digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangkaian kata (Daroeso, 1986:5).

Menurut Singarimbun dan Effendi (1989:34) konsep ialah abstraksi mengenai fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu.

2. Pendidikan

Pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, (2007:211) berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Samani, 2011:26).

(22)

masyarakat, sebagai penduduk dan penghasil atau penemu teknik-teknik dan pemimpin yang kreatif, serta masyarakat yang terus belajar, yaitu masyarakat yang anggotanya tidak lagi asyik mencari pengetahuan sekali saja untuk lama-lamanya sepanjang hidupnya, tetapi harus belajar membangun suatu badan pengetahuan untuk seumur hidup yang senantiasa berkembang yaitu “belajar untuk hidup” (Hartono, 2002:7).

3. Moral

Kata moral berasal dari kata “mores” (Bahasa Latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007:205). Moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar (Budiningsih, 2013:24).

Moral adalah suatu perbuatan atau tingkah laku manusia yang timbul karena adanya interaksi antara individu-individu di dalam

pergaulan” (Daroeso, 1986:22).

4. Spiritual

(23)

Spiritual juga memiliki pengertianpencarian arti dalam kehidupan dan pengembangan dari nilai-nilai dan sistem keoercayaanseseorang yang mana akan terjadi konflik bila pemahamannya dibatasi (Hanafi, 2005: 4)

F. Metode Penelitian

1. Desain Penelitian

Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kepustakaan (library reserch), yaitu suatu bentuk penelitian terhadap literatur dengan pengumpulan data atau informasi dalam Al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133-135 dengan bantuan buku-buku yang berkaitan tentang moral dan spiritual, yang ada di perpustakaan dan materi pustaka yang lainnya.

Sebagai bahan parameter analisis perbandingan yang dimaksud dengan library research adalah penelaahan kepustakaan yakni penelitian yang berusaha mencari teori-teori, konsep-konsep generalisasi yang dapat dijadikan landasan teoritis bagi penelitian yang akan dilakukan.

Dari sisi lain, penelitian kepustakaan adalah studi yang sumbernya digali dari buku-buku, disertai dengan indek penerbitan berkala (majalah atau surat kabar), sistem penyimpanan dan pencarian informasi (Furchan, 1982: 98).

2. Sumber Data

(24)

Sumber data primer adalah sumber data utama yang akan dikaji dalam permasalahan. Karena sifat dari penelitian literatur, maka datanya bersumber dari literatur. Adapun yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalah buku tafsir

Al-Qur‟an Surat Ali Imran ayat 133-135.

b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini ialah buku-buku yang berisi tentang kajian moral dan spiritual yang membantu dalam pembahasan skripsi ini yang ada di dalamnya.

3. Metode Analisis Data

Dalam menganalisis data dari pengumpulan data yang telah dilakukan penulis menggunakan analisis data sebagai berikut:

a. Deskriptif

Sebagai pembahasan yang bersifat literatur, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan topik pembahasan hasil penelitian secara apa adanya sejauh yang penulis peroleh. Adapun teknik deskriptif yang penulis pergunakan adalah analisis kualitatif, dengan analisis ini akan diperoleh gambaran sistematika mengenai isi buku untuk diteliti isinya.

b. Content Analysis

(25)

baik yang mengarah pada isi maupun yang mengarah pada makna, terutama dalam perbuatan dan penarikan kesimpulan.

G. Sistematika Penelitian

Sistematika yang dimaksud oleh penulis di sini adalah gambaran singkat tentang subtansi pembahasan secara garis besar. Agar dapat memberi gambaran yang lebih jelas tentang keseluruhan isi dari skripsi, maka penulis membagi sistematika ke dalam lima bab sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan. Dalam bab ini penulis menjabarkan mengenai pokok permasalahan yang terdiri dari: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Definisi Operasional, Metode Penelitian dan Sistematika Penelitian.

BAB II : Kompilasi ayat-ayat. Dalam bab ini penulis menguraikan kajian umum tentang konsep moral spiritual, dilanjutkan penghimpunan segala ayat-ayat yang berhubungan dengan konsep moral spiritual yang terkandung dalam Al-Qur‟an Surat Ali Imran Ayat 133-135

(26)

BAB IV : Pembahasan. Dalam bab ini penulis menjabarkan tentang nilai pendidikan moral spiritual yang terkandung dalam Al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133-135 yang meliputi: Pengertian Moral dan Spiritual, Nilai-nilai Moral dan Spiritual yang Terkandung Dalam Al-Qur‟an Surat Ali Imran Ayat 133-135 serta Pokok-pokok Nilai Moral Spiritual Dalam Al-Qur‟an Surat Ali Imran Ayat 133-135.

(27)

BAB II

KOMPILASI AYAT

A. Redaksi Ayat dan Terjemahan Surat Ali Imran Ayat 133-135

orang yang bertakwa.(134) (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan juga orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (135) Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.

B. Makna Mufradat

(28)

ُْػِزاَس

ا

berasal dari kata

ًحَػْسُس

ُعُسْس

َي

َعُسَس

yang berarti

bersegera, cepat, lekas (Yunus, 2007:168). Dalam ayat ini menegaskan bahwa Allah menyeru kepada umat manusia untuk menyegerakan diri kepada ampunan Allah dan kepada surgaNya.

ٍَسِفْغَه

berasal dari kata

اًسُفَغ

ُسِفْغَي

َسَفَغ

yang artinya menutupi

sesuatu (Yunus, 2007:298). Ampunan berarti pembebasan dari hukuman atau tuntutan. Dalam ayat ini diterangkan bahwasanya kita diperintahkan untuk menyegerakan diri dalam meraih ampunan Allah. Al-Razi (2000:199) berpendapat, tidak ada jalan untuk meraih ampunan Allah selain melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah.

ْنُكِّتَز

berasal dari kata

اًّتَز

ُّبُسَي

َّبَز

yang memiliki arti

mengasuh, memimpin (Munawwir, 1997:462). Allah adalah Ar-Rabb, pemelihara seluruh makhlukNya. Bentuk tarbiyah Allah kepada makhlukNya ialah, Allah membimbing para manusia untuk beriman, Allah memberi taufik mereka untuk mencintai iman, lalu Allah sempurnakan iman mereka serta Allah hilangkan segala penghalang antara diri mereka dan imannya (As-Sa‟di, 2006:39).

ٍحٌََّج

berasal dari kata

اًٌَّج

ُّيُجَي

َّيَج

yang artinya menutup

(29)

1998:74). Dalam ayat ini Allah juga memerintahkan kita untuk meraih surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang bertakwa.

اَُِضْسَػ

berasal dari kata

ىِضاَزَأ

َىُْْضَزَأ

ٌضْزَأ

yang artinya

tanah, bumi (Yunus, 2007:38). Bumi adalah sesuatu yang dianggap ada oleh manusia di dunia ini. Dalam agama Islam, proses penciptaan bumi ini dapat dilihat dalam surat Al-Anbiya ayat 30 yang artinya, “Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan keduanya, dan dari air kami ciptakan sesuatu yang hidup. Maka

mengapakah mereka tiada juga beriman?” Dari ayat tersebut dapat

diambil kesimpulan bahwasanya Allah menciptakan bumi dan langit dalam satu kesatuan.

ُخاَّاَوَّسلا

yang berasal dari kata

خاََْوَس

-

ءاَوَّسلا

yang artinya

langit (Yunus, 2007:180). Dalam ayat ini Allah menegaskan kepada umat manusia bahwa ampunan Allah itu seluas langit dan bumi. Serta ampunan tersebut diberikan kepada setiap orang yang bertakwa.

ْخَّدِػُأ

yang berasal dari kata

اًّدَػ

ُّدُؼَي

َّدَػ

yang artinya

(30)

َيْيِمَّتُوْلِل

kata tersebut berarti orang yang bertakwa. Takwa berasal

dari kata

َّقَّ

ًحَيِلاَّ

اًيُلَّ

ًحَياَلِّ

ىِمَي

َقَّ

yang berarti takut,

menjaga, melindungi dan memelihara (Yunus, 2007:504). Sesuai dengan makna estimologis tersebut, maka takwa dapat diartikan sebagai sikap memelihara keimanan yang diwujudkan dalam pengamalan ajaran agama Islam secara utuh dan konsisten. Dalam ayat ini orang-orang yang bertakwa telah dijanjikan oleh Allah bahwa mereka akan mendapatkan balasan yaitu surga.

2. Mufradat ayat 134

َىُْْمِفٌُْي

berasal dari kata

اًمَفًَ

ُكَفٌَْي

َكِفًَ

اًلاَفًَ

ُكُفٌَْي

َكَف

ًَ

(31)

ِءآَّسَّسلَأ

berasal dari kata

ًجَّسَسَه

-

ًزُّْسُس

ُّسُسَي

َّسَس

yang berarti

mudah, senang, gembira (Yunus, 2007:169). Maksud dari kata mudah tersebut ialah tidak memerlukan banyak tenaga atau pikiran dalam mengerjakan sesuatu. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa tidak ada batasan dalam berinfak. Namun tentu saja infak yang dikeluarkan juga mengikuti kondisi, besar ketika kaya, kecil ketika kekurangan. Akan tetapi besar kecilnya nilai infak tidak berdasarkan banyak atau sedikit jumlah yang dikeluarkan melainkan dari sisi keikhlasannya.

ِءآَّسَّضلاَّ

berasal dari kata

َزَّسَض

اًّسُض

اًّسَض

ُّسُضّي

َّسَض

yang berarti melarat (Yunus, 2007:226). Kata ini berarti “al-„usr” yang berarti sulit. Maksud dari kata sulit ialah memerlukan banyak tenaga maupun pikiran dalam mengerjakan sesuatu. Dalam ayat ini diterangkan bahwasanya berinfak tidak hanya bisa dilakukan ketika dalam keadaan lapang saja, akan tetapi juga bisa ketika dalam keadaan sempit. Alasannya ialah tidak ada batasan jumlah dalam berinfak. Yang menjadi kadar besar kecilnya nilai infak adalah dari keikhlasannya.

َيْيِوِظَكْلا

berasal dari kata

اًهُْظُك

اًوَظَك

ُنِظُكَي

َنَظَك

yang

berarti menahan (Yunus, 2007:377). Kalimat

َعْيَغْلا َيْيِوِظَكْلاَّ

dalam ayat

(32)

sesuatu itu tidak dilakukan hanya sekali, melainkan telah menjadi bagian dari karakter yang melekat pada diri mereka.

َعْيَغْلا

berasal dari kata

اًثَضَغ

ُة

َضْغَي

َةِضَغ

yang berarti

marah (Yunus,2007:297). Secara istilah

َةِضَغ

adalah perubahan dalam

diri atau emosi yang dibawa oleh kekuatan dan rasa dendam demi

menghilangkan gemuruh di dalam dada. Kata

َعْيَغْلا

adalah marah yang

paling besar karena definisi dari kata tersebut ialah kemarahan yang teramat sangat. Dalam ayat ini kriteria kedua dari predikat orang yang bertakwa adalah orang yang mampu menahan amarahnya.

َيْيِفاَؼْلَا

berasal dari kata

اًفاَفَػ

ًحَّفِػ

اًّفَػ

ُّفِؼَي

َّفَػ

yang

berarti menghapus atau menghilangkan (Yunus, 2007:272). Dalam ayat ini karakter ketiga dari predikat orang bertakwa adalah memberi maaf atas kesalahan orang lain. Menurut Asy-Syiddiqy (2000:97), memaafkan orang yang berbuat salah atas dirinya lebih utama dari pada membalas kesalahannya, walaupun sebenarnya berhak untuk menghukum atau membalasnya. Memaafkan orang yang bersalah akan membukakan ampunan Allah. Ayat ini bukan berarti melarang terhadap orang yang berbuat dzalim, tetapi apabila memberi maaf bisa lebih bermanfaat, maka nilainya jauh lebih baik karena termasuk kedalam kategori sabar.

ِساٌَّلا

berasal dari kata

ُساٌَلا

ٌساًَ

yang berarti manusia (Yunus,

(33)

sebagai hamba Allah, dan bani adam yang berarti keturunan Nabi Adam (Makhluf, 1998:93). Dalam al-Qur‟an telah disebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia dam memiliki berbagai macam potensi serta memperoleh petunjuk kebenaran dalam menjalani kehidupan di dunia dan akhirat (Rahmat, 1996:64). Dibandingkan dengan makhluk lainnya, manusia mempunyai kelebihan. Kelebihan itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Kelebihan manusia adalah memiliki akal dan hati sehingga manusia dapat memahami ilmu yang diturunkan Allah, berupa al-Qur‟an. Dengan ilmu manusia mampu berbudaya. Allah menciptakan manusia sebaik-baiknya. Oleh karena itu ilmu yang dimiliki manusia dilebihkan dibanding dengan makhluk lain.

ُّةِحُي

berasal dari kata

اًّثُح

ُّةِحَي

َّةَح

yang berarti mengasihi,

mencintai (Yunus, 2007:95). Dalam KBBI, (2007:16) kata cinta diartikan sebagai perasaan kasih dan sayang kepada sesuatu atau orang lain. Arti cinta dalam Islam sendiri ialah sesuatu yang suci. Dari ayat di atas dijelaskan bahwa Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Maksud kebajikan di sini ialah orang-orang yang menafkahkan hartanya disetiap waktu, orang-orang yang mampu menahan amarahnya serta orang yang mau memaafkan kesalahan orang lain.

َيْيٌِِسْحُوْلا

adalah kata jamak dari kata

َيْيِسْحُه

yang berasal dari kata

َيُسَح

ُيُسْحَي

اًٌْسُح

yang memiliki arti berbuat baik atau kebaikan

(34)

menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak mampu membayangkan melihat-Nya, maka orang tersebut membayangkan bahwa sesungguhnya Allah melihat perbuatannya. Ihsan juga mempunyai arti melakukan ibadah dengan khusyuk, ikhlas dan yakin bahwa Allah senantiasa mengawasi apa yang dilakukan (Ash-Shiddieqy, 2000:201). 3. Mufradat ayat 135

Kata

ًحَشِحاَف

berasal dari kata

اًش ْحُف

ُشُحْفَي

َشُحَف

yang berarti

keji (Yunus, 2007:308). Menurut bahasa artinya perbuatan atau kejahatan yang menimbulkan aib besar. Sedangkan menurut istilah, keji adalah perbuatan yang melanggar norma susila. Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa kriteria orang bertakwa selanjutnya adalah orang yang senantiasa mengingat Allah ketika ingin berbuat maksiat dan menganiaya diri sendiri.

Kata

آُْوَلَظ

berasal dari kata

ًحَوِلْظَه

اًوْلَظ

اًوَلُظ

ُنِلْظَي

َنَلَظ

yang berarti aniaya, menganiaya (Yunus, 2007:248). Kata

آُْوَلَظ

merupakan bentuk kata benda pelaku (fa‟il) yang terbentuk dari kata

ظ

ل

م

yang berarti tidak bercahaya atau gelap. Dholim menurut istilah

(35)

Allah dan memohon ampunan-Nya apabila hendak berbuat dholim atau menganiaya diri sendiri maupun orang lain.

ْاُّسَكَذ

berasal dari kata

اًسْكِذ

-

ُسُكْرَي

َسَكَذ

yang artinya mengingat,

memperhatikan, mengenang (Yunus, 2007:134). Di antara pengertian

dzikir terdapat pengertian interpretasi yaitu menyebut, menuturkan,

mengingat dan menjaga. Dzikir dalam artian istilah adalah ucapan yang dilakukan dengan lidah, atau mengingat Allah dengan hati, dengan ucapan atau ingatan yang mensucikan Allah dengan memuji dan menyanjung atas sifat Allah yang sempurna dan menunjukkan kebesaran. Dalam ayat ini Allah menyeru kepada umat manusia untuk selalu mengingat Allah apabila hendak berbuat keji serta ingin menganiaya diri sendiri maupun orang lain, sehingga umat tersebut dapat meredam amarah tersebut.

اُّْسَفْغَتْساَف

berasal dari kata

اًسُفَغ

ُسِفْغَي

َسَفَغ

yang berarti

menutup (Yunus, 2007:298). Istighfar adalah bentuk masdar dari “istighfaro – yastaghfiru”. Al-ghofru memiliki arti as-satru yang berarti

(36)

Allah atas dosa-dosa yang telak dilakukannya, sehingga akan menjadi pribadi yang lebih baik.

ُّسِصُي

berasal dari kata

اَّسَص

ُّسُصَي

َّسَص

yang artinya mengikat

(Yunus, 2007:214). Maksud kata mengikat di sini sama halnya dengan tidak meneruskan sesuatu. Dalam ayat di atas diterangkan bahwasanya kategori orang bertakwa, salah satunya ialah mereka yang tidak meneruskan perbuatan-perbuatan keji.

َىُْْوَلْؼَي

berasal dari kata

اًوْلِػ ـ ُنَلْؼَي ـ َنِلَػ

yang berarti mengetahui

sesuatu (Yunus, 2010:277). Dedeng Rosidin mengutip dari Al-Maraghi menjelaskan bahwa kata „allama dengan alhamahu (memberi ilham), maksudnya Allah memberi ilham kepada Nabi Adam untuk mengetahui jenis-jenis yang telah diciptakan beserta zat, sifat dan nama-namanya. Sedangkan Ash-Shawi, menjelaskan dengan makna alqa (memberikan atau menuangkan), maksudnya Allah memberikan atau menuangkan ilmu ke dalam hati Nabi Adam. Secara konteks, „allama menunjukkan adanya

tadrij (tahapan), bahwa penyampaian itu dilakukan melalui tahap demi

(37)

menunjukkan murid yang menerima pelajaran, dan maf‟ul bih kedua (objek kedua) menunjukkan materi yang diajarkan. Jadi, dalam ta‟lim tersirat beberapa unsur penting, yaitu guru, murid, proses pembelajaran dan materi pelajaran (Imani, 2008:301).

C. Kandungan Surat Ali Imran Ayat 133-135

1. Kandungan Surat Ali Imran Secara Umum

Surah Ali Imran (keluarga Imran) adalah surah ke-3 dalam

al-Qur‟an. Surah Ali Imran (bersama surah Al-Baqarah) juga memiliki

nama lain Az-Zahrawan yang berarti dua yang cemerlang, karena kedua surah tersebut menyingkapkan hal-hal yang menurut Al-Qur‟an disembunyikan oleh para ahli kitab, seperti kejadian dan kelahiran Nabi Isa dan kedatangan Nabi Muhammad. Alasan lain mengapa disebut Az-Zahrawan ialah karena isi kandungan dua surah tersebut mencakup keseluruhan ajaran Islam, di antaranya akidah, akhlak, hukum, kisah orang terdahulu dan sebagainya (Al-Jumanatul, 2007:34).

Surah ini dinamakan Ali Imran karena di dalamnya mencakup kisah keluarga Imran yang di dalam kisah itu juga disebutkan kelahiran Nabi Isa, persamaan kejadiannya dengan Nabi Adam, kenabian dan mukjizatnya, serta disebutkan pula kelahiran Maryam binti Imran (Al-Jumanatul, 2007:36).

(38)

a. Surat ini membahas tentang keesaan dan kekuasaan Allah SWT, Al-Qur‟an dan kitab-kitab sebelumnya, janji dan ancamaa Allah serta balasan kepada orang-orang yang berbuat dzolim.

b. Menceritakan tentang keluarga Imran, keutamaan-keutamaan apa saja yang dimiliki keluarga ini serta kisah Isa Al-Masih putra Maryam.

c. Bantahan Allah tentang pendapat-pendapat ahli kitab yang keliru, menjelaskan tentang kelebihan umat isllam dibandingkan dengan umat lain serta keharusan menjaga kesatuan ayat.

d. Mengisahkan tentang peristiwa perang badar dan uhud, penjelasan tentang sabar dan tawakal sebagai pangkal dari kemenangan, perintah untuk bertakwa dan larangan melakukan riba serta penjelasan tentang berbagai sifat-sifat orang munafik (Asy-Syaikh, 2003:24).

2. Kandungan Surat Ali Imran ayat 133-135

Surat Ali Imran ayat 133, menjelaskan tentang seruan Allah kepada mukmin agar berpacu meraih ampunan dari segala dosa dan menempuh jalan ke surga sebagai imbalan beribadah dan beramal soleh selama di dunia. Pada ayat tersebut juga diterangkan mengenai gambaran surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang hanya diberikan kepada orang-orang bertakwa.

(39)

larangan Allah. Para ahli ushul fiqih menyimpulkan bahwa bersegera meraih ampunan itu hukumnya wajib, karena tidak ada perintah paksa selain wajib segera dipenuhi. Dengan demikian jalan menuju keselamatan abadi adalah menjauhi segala yang dilarang dan menaati segala yang diperintahkan.

Jadi, dalam ayat ini mengandung pemahaman bahwa Allah menyeru kepada umat mukmin untuk segera memohon ampunan kepada Allah atas segala dosa yang telah ia perbuat. Adapun cara meraih ampunan tersebut dengan cara melaksanakan segala perintah dan menjauhi apa yang dilarang Allah. Hal demikian itulah salah satu jalan menuju keselamatan abadi yaitu surga.

Surat Ali Imran ayat 134, menjelaskan tentang karakter orang-orang bertakwa yang akan mendapat balasan surga. Ayat ini berhubungan dengan ayat sebelumnya yang akan menjelaskan siapa saja orang bertakwa yang akan masuk surga.

(40)

yang diberikan, akan tetapi sangat dipengaruhi oleh keikhlasannya (Asy-Syiddiqy, 2000:93).

Kemudian, karakteristik orang bertakwa yang kedua adalah mereka yang mampu menahan amarahnya ketika melihat orang yang tidak ia sukai, meskipun sebenarnya mereka memiliki kekuasaan untuk meluapkan amarahnya tersebut. Menahan marah memang terlihat mudah, akan tetapi dalam prakteknya sangat susah untuk diterapkan. Orang yang mampu menahan amarahnya akan memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding dengan mereka yang melontarkan amarahnya karena mereka memiliki kekuasaan. Menahan amarah itu sendiri mengarah pada pengendalian diri terhadap lisan, sikap dan tindakan. Maka dari itu Allah menjanjikan balasan surga kepada orang yang mampu menahan amarahnya.

(41)

memaafkan bisa lebih bermanfaat maka nilainya lebih baik karena termasuk dalam kategori sabar (Shihab, 2002:265).

Jadi, dalam ayat ini mengandung pemahaman tentang karakteristik orang-orang yang mendapat jaminan surga yang telah dijanjikan Allah kepada orang yang bertakwa. Kategori orang bertakwa tersebut adalah, orang yang berinfaq diwaktu luang dan sempit, orang yang mampu menahan amarahnya padahal sebenarnya ia memiliki kuasa untuk melontarkannya, serta orang yang mampu memaafkan kesalahan orang lain dengan ikhlas. Itulah ketiga karakteristik orang yang dicintai oleh Allah SWT, karena Allah mencintai kebijakan.

Surat Ali Imran ayat 135, masih menjelaskan tentang kriteria orang yang mendapat jaminan masuk surga oleh Allah. Sifat serta sikap orang yang bertakwa selanjutnya dijelaskan Allah dalam ayat ini.

(42)

Mengingat Allah disini dapat diaplikasikan dengan berdzikir, mengingat ciptaan Allah serta mengingat ancaman Allah.

Karakter kedua adalah mereka yang memohon ampun kepada Allah, karena tidak ada yang dapat memberikan ampunan selain Allah. Orang yang bertakwa atau orang yang akan mendapat jaminan surga akan segera mengingat Allah juga dalam arti sadar akan kesalahan yang terlanjur dilakukan. Pada saat itu pula mereka memohon ampun kepada Allah dengan bertaubat. Perlu disadari bahwa tidak ada manusia yang terlepas dari dosa, disadari atau tidak, besar atau kecil, pasti semua orang pernah melakukan perbuatan dosa. Seorang mukmin bukan berarti tidak pernah berbuat salah, tetapi mukmin sejati adalah mereka yang berbuat salah, kemudian mereka segera memohon ampunan kepada Allah, karena mereka tahu tidak ada yang mampu memberikan ampunan kecuali Allah SWT. Itulah alasan kenapa Allah menjanjikan surga kepada orang bersifat seperti ini.

(43)

diberikan kepada yang bertaubat dengan catatan tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut (Shihab, 2002:272).

(44)

BAB III

ASBABUN NUZUL DAN MUNASABAH AYAT

A. Surat Ali Imran ayat 133-135

Surah Ali Imran (keluarga Imran) adalah surah ke-3 dalam al-Qur‟an. Surah Ali Imran (bersama surah Al-Baqarah) juga memiliki nama lain

Az-Zahrawan yang berarti dua yang cemerlang, karena kedua surah tersebut

menyingkapkan hal-hal yang menurut Al-Qur‟an disembunyikan oleh para ahli kitab, seperti kejadian dan kelahiran Nabi Isa dan kedatangan Nabi Muhammad. Alasan lain mengapa disebut Az-Zahrawan ialah karena isi kandungan dua surah tersebut mencakup keseluruhan ajaran Islam, di antaranya akidah, akhlak, hukum, kisah orang terdahulu dan sebagainya.

Surah Ali Imran ini tergolong dalam surah Madaniyah karena diturunkan setelah peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah. Surah ini terdiri dari 200 ayat dimana ayat 1-91 terdapat dalam juz 3 sedangkan ayat 92-200 terdapat dalam juz 4.

Surah ini dinamakan Ali Imran karena di dalamnya mencakup kisah keluarga Imran yang di dalam kisah itu juga disebutkan kelahiran Nabi Isa, persamaan kejadiannya dengan Nabi Adam, kenabian dan mukjizatnya, serta disebutkan pula kelahiran Maryam binti Imran (Al-Jumanatul, 2007:36).

(45)

a. Ayat 1-9 menjelaskan tentang Al-Qur‟an dan kitab-kitab sebelumnya. b. Ayat 10-17 menjelaskan tentang ancaman Allah kepada orang-orang

kafir dan pengaruh harta benda dunia akhirat.

c. Ayat 18-22 menjelaskan tentang pernyataan tentang keesaan dan keadilan Allah, agama yang diridhoi-Nya, serta balasan bagi orang yang ingin mencelakakan nabi.

d. Ayat 23-32 menjelaskan tentang orang Yahudi yang berpaling dari hukum Allah, bukti kekuasaan dan kebenaran Allah, larangan berpihak kepada orang kafir, serta bukti cinta kepada Allah.

e. Ayat 33-44 menjelaskan tentang keutamaan keluarga Imran,

f. Ayat 45-63 menjelaskan tentang Isa Al-Masih putra Maryam binti Imran.

g. Ayat 64-68 menjelaskan tentang ajakan kepada agama tauhid.

h. Ayat 69-78 menjelaskan tentang sikap ahli kitab terhadap agama Islam serta keburukan-keburukan orang Yahudi.

i. 79-92 menjelaskan tentang seorang nabi tidak akan menyuruh manusia untuk menyembah dirinya serta janji para nabi tentang kenabian Muhammad SAW.

j. Ayat 93-99 menjelaskan tentang bantahan-bantahan Allah terhadap kekeliruan orang Yahudi terhadap makanan dan ahli kitab terhadap rumah ibadah.

(46)

l. 116-120 menjelaskan tentang perumpamaan harta yang dinafkahkan orang kafir serta larangan menjadikan orang Yahudi sebagai orang kepercayaan.

m. Ayat 121-131 menjelaskan tentang sabar dan tawakal kepada Allah, larangan berbuat riba dan perintah untuk bertakwa kepada Allah. n. Ayat 132-148 menjelaskan tentang perintah taat kepada Allah dan

Rasulullah serta sifat-sifat orang yang bertakwa.

o. Ayat 149-151 menjelaskan tentang peringatan supaya waspada terhadap ajakan orang kafir.

p. Ayat 152-158 menjelaskan tentang sebab kekalahan umat Islam dalam perang Uhud serta perintah untuk berkurban dan berjihad.

q. Ayat 159-164 menjelaskan tentang sifat Nabi Muhammad SAW. r. Ayat 165-175 menjelaskan tentang sifat-sifat orang munafik dan

pahala bagi orang yang mati syahid.

s. Ayat 176-179 menjelaskan tentang ayat untuk menentramkan hati Nabi Muhammad SAW.

t. Ayat 180-189 menjelaskan tentang kebakhilan dan dusta serta balasannya.

u. Ayat 190-195 menjelaskan tentang manfaat selalu mengingat Allah dan merenungkan ciptaan-Nya.

(47)

Terkhusus ayat 133-135 dalam surah Ali Imran ini menjelaskan tentang berbagai anjuran untuk menyegerakan dalam meraih ampunan Allah, kriteria atau ciri-ciri orang bertakwa dan larangan untuk berbuat keji dan dholim. Pembahasan ayat 133-135 ini lebih mengarah kepada acuan untuk meraiih maghfiroh dari Allah serta enam karakteristik penghuni surga antara lain:

a. Bertakwa, takwa sebagaimana yang telah kita ketahui bersama yaitu menjaga diri dari azab Allah dengan mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.

b. Menginfakkan harta disaat lapang maupun sempit, penghuni surga menunaikan apa saja yang diperintahkan untuk diinfakkan seprti zakat, shodaqoh, dan tidak lupa nafkah bagi keluarga.

c. Menahan amarah.

d. Memaafkan kesalahan orang lain.

e. Senantiasa mengingat Allah dan memohon ampunan apabila melakukan perbuatan dosa.

f. Tidak meneruskan perbuatan dosa ketika mereka mengetahui bahwa perbuatan tersebut adalah dosa (Bachmid, 2008:224).

B. Asbabun Nuzul

Asbabun Nuzul merupakan bentuk Idhofah dari kata “asbab” dan

“nuzul”. Asbab berasal dari bentuk jamak sabab yang berarti sebab.

(48)

nuzul adalah sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatar belakangi terjadinya sesuatu bisa disebut asbabun nuzul, namun dalam pemakaiannya ungkapan asbabun nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya Al-Qur‟an, seperti halnya asbab al-wurud yang secara khusus dipergunakan bagi sebab-sebab terjadinya hadits (Rosihon, 2000:60).

Sedangkan secara terminologi, asbabun nuzul adalah sebab-sebab yang mengiringi diturunkannya ayat-ayat Al-Qur‟an kepada Nabi Muhammad SAW karena ada suatu peristiwa yang membutuhkan penjelasan atau pertanyaan yang membutuhkan penjelasan (Buchori, 2005:33).

Bentuk-bentuk peristiwa yang melatar belakangi turunnya Al-Qur‟an sangat beragam, di antaranya berupa konflik sosial seperti ketegangan yang terjadi antara suku Aus dan suku Khazraj, kesalahan besar seperti kasus seorang sahabat yang menjadi imam ketika sedang dalam keadaan mabuk, dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad SAW baik tentang sesuatu yang telah lewat, sedang dan yang akan terjadi. Persoalan apakah semua ayat dalam Al-Qur‟an memiliki

asbabun nuzul atau tidak ternyata masih menjadi perdebatan antara para

(49)

berpendapat bahwa, ayat Al-Qur‟an diturunkan dengan dilatar belakangi oleh suatu sebab atau peristiwa (ghair ibtida‟). Pendapat tersebut hampir merupakan konsensus para ulama. Akan tetapi, ada yang mengatakan bahwa sejarah Bangsa Arab sebelum Al-Qur‟an merupakan latar belakang yang mendominasi sebab turunnya Al-Qur‟an, sementara riwayat-riwayat

asbabun nuzul merupakan latar belakang dalam lingkup kecil. Artinya

bahwa pendapat tersebut menganggap bahwa, semua ayat Al-Qur‟an memiliki sebab-sebab yang melatar belakanginya (Rosihon, 2000:67).

Pada kesempatan ini, penulis akan menjelaskan asbabun nuzul dari topik pembahasan yaitu tentang surat Ali Imran ayat 133-135. Buchori, (2005:62) menyebutkan bahwa, pernah dikisahkan dari Abdurrahman bin Ghannam Al-Daws bahwa sahabat Mu‟adz bin Jabal mendatangi Rasulullah dengan mengatakan ada pemuda tampan sedang menangis seperti sedang kehilangan ibunya. Pemuda itu lalu dipanggil masuk oleh Rasulullah. Kemudian Rasulullah bertanya, “Apa yang membuatmu

menangis anak muda?”. Kemudian pemuda itu menjawab, “Bagaimana

aku tidak menangis ya Rasulullah, aku telah melakukan dosa besar yang

kurasa tidak mungkin diampuni Allah.” Rasulullahpun langsung bertanya,

“Apakah engkau mempersekutukanNya?”. “Aku berlindung kepada Allah supaya aku tidak menyekutukanNya.” jawab pemuda itu. “Apakah engkau membunuh seseorang yang diharamkan oleh Allah untuk membunuhnya?”

(50)

Kemudian pemuda itu menjawab, “tidak ya Rasulullah.” Rasulpun

menjawab, “Kalau begitu Allah akan mengampuni dosa-dosamu meskipun

dosamu itu sebesar gunung yang menjulang tinggi ke langit.” Namun dengan tangis yang teramat keras pemuda itu berkata, “Dosaku lebih besar

dari gunung itu.” “Allah akan mengampuni dosamu meski sebesar tujuh

bumi beserta lautan dan semua yang ada padanya.” hibur Rasulullah sambil tersenyum. “Namun ya Rasul, dosaku lebih besar daripada itu.”

jawab pemuda tersebut. Kemudian Rasul dengan sabarnya bersabda,

“Allah tetap akan mengampuni dosamu sekalipun sebesar langit berikut bintang gemintang dan singgasanaNya.”

Kembali pemuda itu dengan memelas berkata, “Dosaku lebih besar dari itu ya Rasulullah.” “Wahai pemuda! Apakah dosa-dosamu lebih besar

dari Tuhanmu?” jawab Rasulullah. Maka tersungkurlah pemuda itu dan

berkata, “Subhanallah, tidak ada yang lebih besar dari Tuhanku.” “Kalau begitu, dosa apa yang telah engkau perbuat?” sergah Rasulullah. Lalu dengan penuh air mata pemuda itu bercerita, “Sudah tujuh tahun ini

(51)

mayat telanjang itu aku tidak dapat menguasai diriku sehingga aku menggaulinya. Ketika itu, aku seolah mendengar suara yang mengatakan,

„Wahai pemuda, celakalah engkau di hadapan penghisab pada hari kiamat kelak, tempatmu adalah di neraka.‟ Seketika aku terkejut dan takut sekali.

Bagaimana pendapatmu ya Rasulullah?”

Dengan terkejut Rasulullah berkata, “Enyahlah engkau dari sisiku, aku takut akan terbakar bersama apimu!” Pemuda itu seketika pergi

meninggalkan Rasulullah dengan wajah yang sangat amat memelas. Ia pergi mengasingkan diri ke suatu tempat. Selama empat puluh hari ia

menangis terus menerus memohon ampun kepada Allah, “Ya Allah,

ampunilah segala kesalahanku dan berilah wahyu kepada nabi-Mu. Jika Engkau tidak mengampuniku, maka berikanlah segera siksaan yang menghancurkanku di dunia ini, tetapi selamatkan aku dari siksaMu ketika

hari kiamat nanti.”

Rupanya taubat pemuda tersebut telah diampuni oleh Allah dengan diturunkannya Q.S. Ali Imran ayat 133-136. Setelah menerima wahyu itu, Rasulullah bersama para sahabat bergegas mencari pemuda itu. Akhirnya pemuda itu ditemukan di antara dua batu gelap dalam keadaan lemah dengan mata yang begitu sembabnya karena banyak menangis. Rasulullah yang mulia kemudian menghampirinya dan membersihkan debu-debu yang menempel di kepalanya dan bersabda, “Aku ingin memberikan kabar gembira kepadamu, bahwa engkau sekarang adalah hamba Allah yang

(52)

sahabat yang mengikutinya dan berkata, “Beginilah seharusnya kalian

menyertai dosa yang kalian lakukan, seperti yang dilakukan oleh pemuda

ini.”

C. Munasabah Ayat

Secara etimologi, munaasabah berasal dari bahasa arab yang berasal dari kata nasaba – yunasibu – munasabahan yang berarti keserupaan. Munasabah juga berarti muqorobah atau kedekatan dan kemiripan. Hal ini tentunya bisa terjadi antara dua hal atau lebih, sedangkan kemiripan tersebut dapat terjadi pada seluruh unsur-unsurnya dapat juga terjadi pada sebagainya saja.

Sedangkan secara terminologis, munaasabah adalah ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafal-lafal umum dengan lafal-lafal khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan hubungan sebab akibat, illat dan ma‟lul, serta kemiripan dan pertentangan ayat (ta‟aarudh).

(53)

Dalam pembahasan ini, penulis akan menjabarkan munasabah, baik

munasabah ayat dengan ayat yag lain dalam satu surat dan juga

munasabah surat dengan surat yang lain, sesuai dengan pembahasan yang

penulis kaji. Munasabah tersebut adalah sebagai berikut: 1. Munasabah Ayat

132. Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. 133. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang bertakwa (al-Karim, 1996:53).

(54)

melengkapi penjelasan kepada manusia agar menyegerakan diri kepada ampunan Allah dan kepada surgaNya. Ampunan dan surga Allah tersebut hanya ditujukan kepada umatNya yang bertaka. Penjelasan orang-orang yang bertakwa dijelaskan dalam ayat selanjutnya yakni ayat 134 (Ash Shiddiqy, 1965:162).

Dalam ayat 133 disebutkan bahwa

اَُِضْسَػ ُخاّاَوَّسلا ُضْزَ ْلْاَّ

yang artinya, “Surga yang luasnya seluas langit dan bumi”

dimaksudkan sebagai kabar akan keluasan surga tersebut. Sebagaimana firman-Nya yang mensifati perlengkapan surga dalam Q.S. Ar-Rahman ayat 54 yang berbunyi:



dalamnya dari sutera. Dan buah-buahan di surga itu dapat (dipetik) dari dekat.”

Ayat 54 Q.S. Ar-Rahman tadi adalah salah satu dari sekian banyak ayat yang menggambarkan atau mensifati keadaan surga sebagai mana disebutkan dalam potongan Q.S. Ali Imran ayat 133 di atas.

Ayat 133 Q.S Ali Imran di atas juga terdapat kemiripan dengan firman Allah yang lain yakni Q.S. Al-Hadiid ayat 21:

(55)







Yang artinya, “Berlomba-lombalah kamu untuk mendapatkan ampunan Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan

bumi.”

b. Q.S. Ali Imran ayat 133 dan 134

Selanjutnya Allah menyebutkan sifat para penghuni surga dalam firmanNya: kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang bertakwa. 134. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan juga orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (al-Karim, 1996:53).

(56)

siapa saja yang dimaksud orang-orang bertakwa tersebut. Kemudian Allah menjelaskannya di dalam ayat selanjutnya yaitu ayat 134. Yang dimaksudkan Allah tentang orang-orang bertakwa adalah mereka yang menginfakkan harta mereka dalam keadaan apapun, baik susah maupun senang, kaya maupun miskin, sempat atau tidak sempet dan sebagainya. Kategori orang bertakwa selanjutnya ialah mereka yang mampu menahan amarahnya. Perlu kita ketahui bahwa, tidak mudah mengendalikan amarah, karena ketika marah, hawa nafsulah yang mengendalikan kita, maka dari itu Allah menjajikan surga bagi orang yang mampu menahan amarahnya. Kategori orang bertakwa selanjutnya ialah mereka yang memaafkan kesalahan orang lain. Memaafkan kesalahan orang lain juga bukan suatu hal yang mudah. Memafkan di sini haruslah benar-benar dengan ikhlas tanpa ada niatan untuk membalas sedikitpun. Masih ada lagi kategori orang yang bertakwa yang dimaksudkan oleh Allah, tetapi kategori tersebut dijelaskan dalam ayat selanjutnya.

Dalam ayat 134 disebutkan

ِءآَّسَّصلاَّ ِءآَّسَّسلا يِف َىُْْمَفٌُْي َيْيِرَّلا

yang

(57)

tersebut senada dengan firman Allah yang lain dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 274 yang berbunyi:



Yang artinya, “(Yaitu) orang-orang yang menginfakkan hartanya pada malam dan siang hari, secara rahasia maupun

terang-terangan.”

Dalam Q.S. Ali Imran ayat 134 juga terdapat potongan ayat yang

berbunyi

ِساٌَّلا

ِيَػ َيْيِفاَؼْلاّ َعْيَغْلا َيْيِوِظاَكْلاَّ

yang artinya, “Dan

orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan kesalahan

orang lain.” Artinya, jika mereka marah, maka mereka menahan

dan mengendalikan amarahnya tetrsebut dan tidak melampiaskannya. Selain itu mereka dengan ikhlas memberikan maafnya kepada orang yang telah berbuat aniaya terhadapnya. Dalam potongan ayat ini, terdapat makna yang senada dari potongan ayat pada Q.S. Asy Syuura ayat 37 yang berbunyi:

(58)



waktu lapang maupun sempit, dan juga orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. 135. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (al-Karim, 1996:53).

(59)

Banyak ayat yang serupa dengan ayat ini, antara lain, dalam Q.S. An-Nisa ayat 110 yang berbunyi:



Artinya, “Dan barang siapa mengerjakan kejahatan dan

menganiaya diri sendiri, kemudian ia memohon ampunan kepada Allah, niscaya ia akan mendapatinya, Allah Maha Pengampun lagi

Maha Penyayang.”

Dalam firman yang lalin juga disebutkan,

Artinya, “Katakanlah, „Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa terhadap rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi

Maha Penyayang.” (Q.S. Az-Zumar: 53).

Dalam ayat 135 di atas terdapat potongan ayat yang berbunyi

ْنَُُّ

َىُْْوَلْؼَي

yang berarti, “sedang mereka mengetahui.” Maksud dari

unkapan tersebut menurut Abdullah bin „Ubaid bin „Umair ialah, “Mereka mengetahui bahwa siapa yang bertaubat kepada Allah,

(60)

seperti firman Allah yang lain dalam surah At-Taubah ayat 104 Artinya, “Apakah mereka tidak mengetahui bahwa Allah akan

menerima taubat darihamba-hambaNya?”

(61)

Terkait dengan ayat sebelumnya, ayat 136 ini memberikan penjelasan dari ayat 135 mengenai balasan apakah yang akan diperoleh bagi orang-orang yang bertakwa. Jelas disebutkan bahwa balasan yang diperoleh mereka ialah surga. Selain menjelaskan mengenai balasan bagi orang bertakwa, ayat ini juga menjelaskan tentang gambaran surga. Dijelaskan bahwa terdapat sungai-sungai yang mengalir di dalam surga tersebut. Selain itu, Allah juga menjanjikan kepada orang-orang bertakwa bahwasanya mereka akan kekal di dalam sana.

2. Munasabah Surat

Surat-surat yang ada di dalam Al-Qur‟an mempunyai munasabah, sebab surat yang datang kemudian menjelaskan tentang beberapa hal yang disbutkan secara global pada surat sebelumnya. Dapat diambil contoh banwasanya surat Al-Baqarah memberikan banyak sekali perincian serta penjelasan terhadap surat Al-Fatihah (Asy-Syiddiqy, 1965:104).

Dalam pembahasan ini, Q.S. Ali Imran yang merupakan urutan selanjutnya dari Q.S. Al-Baqarah, yang memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai nikmat yang akan Allah berikan kepada umatNya yang bertakwa serta ancaman Allah terhadap orang-orang kafir karena pengaruh harta dunia, yang disajikan secara global. Contoh dari

munasabah surat dari surat Al-Fatihah sampai surat Ali Imran, sebagai

(62)



Yang artinya, “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Fatihah: 2-3). Dari ayat ke

dua surat Al-Fatihah itu kemudian di jelaskan lebih lanjut di dalam surat Al-Baqarah ayat 152 yang berbunyi:



Yang artinya, “Karena itu, ingatlah kamu kepadaKu, niscaya aku

ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepadaKu, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” Ayat ini adalah salah satu contoh dari sekian banyak ayat yang memberikan penjelasan lebih lanjut dari surat sebelumnya. Dalam ayat ini Allah menggambarkan betapa mulianya Dia, karena Allah telah memberikan nikmat yang tak terhitung kepada umat-umatNya. Kemudian di dalam surat selanjutnya yakni surat Ali Imran juga terdapat banyak ayat yang senada mengenai perincian tentang nikmat yang akan Allah berikan kepada orang orang yang bertakwa. Misalnya dalam surat Ali Imran ayat 15 berikut:

(63)









(64)

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Nilai-nilai Pendidikan Moral Dan Spriritual dalam Surat Ali Imran

Ayat 133-135

Moral atau dalam bahasa lain disebut sebagai kesusilaan adalah keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku manusia di masyarakat untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar. jadi pendidikan moral ditujukan untuk memagari manusia dari melakukan perbuatan yang buruk yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada baik itu dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pendidikan berkarakter moral adalah kunci untuk perbaikan sosial dan kemajuan peradaban bangsa yang menjunjung tinggi integritas nilai dan kemanusiaan. Harapan dari pendidikan berkarakter moral adalah cara berpikir mengenai proses kepedulian dan penerapan dalam pendidikan. Suatu model meliputi teori atau sudut pandang mengenai bagaimana manusia berkembang secara moral dan mengenai sejumlah strategi atau prinsip untuk membantu perkembangan moral. Dengan demikian suatu model dapat membantu untuk memahami dan melakukan pendidikan moral (Budiningsih, 2003:7).

Sedangkan spriritual, berasal dari bahasa Inggris yaitu “spirituality” kata dasar spirit berarti roh, jiwa, semangat. Kata spirit

(65)

dalam, keteguhan hati atau keyakinan, energi atau semangat serta kehidupan (Hurlock, 1993:12).

Spiritual memiliki ruang lingkup dan makna pribadi yang luas, hanya saja spiritualitas dapat dimengerti dengan membahas kata kunci yang sering muncul ketika orang-orang menggambarkan arti spiritualitas bagi mereka. Kata kunci yang bisa dipertimbangkan antara lain, meaning (makna), values (nilai-nilai), transcedence (transsedensi), connecting (bersambung) dan becoming (menjadi).

Pendidikan spiritual adalah pembersihan jiwa atau perjalanan menuju Allah, atau istilah-istilah lain atau yang ditemukan dalam terminologi sufisme. Adapun dalam buku-buku pendidikan spiritual, secara umum, seluruhnya dituangkan pada satu wajah yang sama yakni perpindahan dari jiwa yang kotor menuju jiwa yang bersih, dari akal yang belum tunduk pada syariat menuju akal yang sesuai dengan syariat, dari hati yang keras dan berpenyakit menuju hati yang tenang dan sehat. Singkatnya ialah dari yang kurang sempurna menuju yang lebih sempurna dalam kebaikan dan mengikuti Rasulullah baik perkataan, tingkah laku dan keadaannya.

(66)

Imran ayat 133-135 kepada manusia untuk menerapkan nilai-nilai moral dan spiritual tersebut. Adapun nilai-nilai tersebut antara lain:

1. Nilai-nilai Moral

a. Berinfaq di saat sempit dan lapang

Infaq berasal dari kata nafaqa yang memiliki arti keluar. Dari akar inilah muncul istilah nifaq-munafiq yang berarti orang yang keluar dari ajaran Islam. Infaq maknanya jauh lebih umum dibanding dengan zakat dan sedekah. Infaq itu sendiri berarti membelanjakan harta, uang ataupun bentuk kekayaan yang lain, yang bersifat wajib maupun yang bukan wajib.

Dalam surat Ali Imran ayat 134 disebutkan

يِف َىُْْمِفٌُْي َيْيِرَّلَا

ِءآَّسَّسلا

ِءآَّسَّضلاَّ

yang artinya orang-orang yang menafkahkan hartanya,

baik di waktu lapang maupun sempit. Infaq berarti mengeluarkan sesuatu (harta) untuk suatu kepentingan yang baik, maupun kepentingan yang buruk. Ini sesuai firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 36, bahwa orang-orang kafirpun menginfaqkan hartanya untuk menghalangi jalan Allah.



(67)

Sedangkan menurut istilah, infaq adalah mengeluarkan sebagian harta untuk sesuatu kepentingan yang diperintahkan oleh Allah, seperti menginfaqkan harta untuk memenuhi kebutuhan keluarga (Rasyid, 2009:26).

Infaq ini bukan lagi merupakan kewajiban yang bersifat sunnah, seperti yang dipahami masyarakat luas. Infaq ini merupakan kewajiban yang bersifat fardhu kifayah, karena harus dikeluarkan baik itu dalam keadaan kesempitan maupun dalam keadaan lapang.

Infaq menurut istilah para ulama diartikan sebagai perbuatan atau sesuatu yang diberikan oleh seseorang untuk menutupi untuk menutupi kebutuhan orang lain, baik berupa harta, makanan, dan lain sebagainya. Juga mendermakan atau memberikan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas dan karena Allah semata.

Infaq adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dengan demikian infaq memiliki cakupan lebih luas dibandingkan dengan zakat. Dalam kategorisasinya, infaq dapat diumpamakan dengan alat-alat transportasi umum, karena hibah, waqaf, wasiat, nazar, pemberian nafkah kepada keluarga, pemberian hadiah,

kafarah (berupa harta) karena melanggar sumpah adalah termasuk infaq.

(68)

bukan secara produktif yang mana penggunaan harta diputar untuk dikembangkan lebih lanjut secara ekonomis (Syarifuddin, 2010:62).

Dalam pandangan Islam, orang yang berinfaq ini akan memperoleh keberuntungan yang berlipat ganda, baik itu di dunia maupun di akhirat

Artinya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan) oleh orang-orang yang menafkahkan harta ke orang lain di jalan Allah SWT adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh batang dan seratus butir. Allah SWT melipat gandakan (pahala) setiap bagi siapa yang Dia kehendaki.

(69)

lain, dengan derinfaq, Allah telah menjanjikan pahala yang berlipat-lipat ganda, yang dengan pahala tersebut dapat menolong seseorang untuk di kehidupan akhirat kelak.

b. Menahan Amarah

Marah dalam bahasa Arab berasal dari kata “ghodziba” yang berarti geram, emosi yang meluap, panas hati. Secara istilah “ghodziba” adalah perubahan dalam diri atau emosi yang dibawa oleh kekuatan dan

rasa dendam demi menghilangkan gemuruh di dalam dada. Kata

َعْيَغْلا

adalah marah yang paling besar karena definisi dari kata tersebut ialah kemarahan yang teramat sangat.

Kalimat

َعْيَغْلا َيْيِوِظاَكْلا

dalam surat Ali Imran ayat 134 memiliki

arti menahan amarah. Kalimat tersebut sangatlah luas maknanya, sehingga perlu banyak penjelasan. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata bahwa, sebagian ulama mengatakan bahwa Allah menciptakan amarah dari api neraka dan menjadikannya sebagai tabiat bagi manusia. Maka seringkali seseorang menghendaki sesuatu namun tidak terpenuhi, amarahnya akan menyala-nyala dan bergejolak. Ini akan terjadi apabila seseorang tersebut marah kepada orang yang lebih rendah dan ia merasa mampu untuk memarahinya.

Referensi

Dokumen terkait