TESIS
Oleh
RINI WIDIASTUTY
097011116/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
RINI WIDIASTUTY
097011116/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nomor Pokok : 097011116 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
Nama : RINI WIDIASTUTY
Nim : 097011116
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : PERJANJIAN PENGADAAN BARANG DAN JASA
PEMERINTAH (STUDI DI PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA)
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Nama :RINI WIDIASTUTY
aktif masyarakat, terutama sektor swasta dalam kaitannya dengan program pembangunan sarana dan prasarana umum. Keberadaan Perjanjian Pengadaan Barang dan Jasa muncul sebagai bagian dari proses pembangunan yang merupakan program kerja pemerintah, untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan potensi nasional. Perjanjian Pengadaan Barang dan Jasa merupakan perjanjian yang kompleks, yang membutuhkan kajian lebih lanjut guna ditemukannya format kontrak yang ideal sesuai dengan kebutuhan dan mampu memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya. Perumusan masalah yang akan diajukan dalam penulisan ini adalah Bagaimana bentuk perjanjian pengadaan barang/jasa pemerintah pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Bagaimana kedudukan pemerintah dalam perjanjian pengadaan barang/jasa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan mengapa tidak pernah terjadi ganti rugi sebagaimana yang dituangkan dalam perjanjian pengadaan barang/jasa Provinsi Sumatera Utara.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Deskriptif karena dalam penelitian ini akan dipaparkan perjanjian pengadaan barang dan atau jasa. Bersifat analistis, karena terhadap data yang diperoleh itu dilakukan analistis data secara kualitatif. Sumber data diperoleh dari data sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Dalam hal ini dilakukan dengan cara menginventarisasikan dan pengumpulan buku-buku, bahan-bahan bacaan, Peraturan Perundang-undangan dan dukumen-dukumen lain.
Bentuk perjanjian pengadaan barang/jasa pemerintah pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara adalah dengan bentuk tertulis yang dibuat dengan sistem kontrak standar. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara adalah sebagai Pengguna Anggaran dan Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA) yang bertindak atas nama pejabat negara/daerah, dengan membentuk Tim Pembina Pembangunan Provinsi Sumatera Utara yang tugas dan fungsi pokoknya secara
adhocdan bertanggungjawab secara langsung kepada Gubernur. Apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian, PPK dapat mengenakan denda dengan memotong angsuran pembayaran prestasi pekerjaan penyedia atau jika PPK yang melakukan ingkar janji, dikenakan sanksi berupa pembayaran denda sebesar suku bunga yang ditetapkan oleh Bank Indonesia atau sesuai dengan perjanjian.
especially private sector in its relation to the programs of public infrastructure and facility development. Goods and Service Procurement Agreement, as a part of development process, is the government’s work program to accelerate the growth and development of national potentials. As a complex agreement, Goods and Service Procurement Agreement needs further study to find out an ideal contract format which can meet the need and be able to provide protection and legal certainty to those who make it. The purpose of this analytical study was to find out and analyze the form of Goods and Service Procurement Agreement used in the Provincial Government of Sumatera Utara, the position of Provincial Government of Sumatera Utara in the Goods and Service Procurement Agreement, and the absence of compensation as stated in the Goods and Service Procurement Agreement of the Provincial Government of Sumatera Utara.
The data for this study were secondary data in the forms of primary, secondary, and tertiary legal materials obtained through documentation study. The data obtained were qualitatively analyzed.
The result of this study showed that the Goods and Service Procurement Agreement of the Provincial Government of Sumatera Utara is a written standard contract. The Provincial Government of Sumatera Utara is both budget user and the representative of budget user which acts on behalf of state/provincial official by establishing a Sumatera Utara Provincial Supervisory Team with ad hoc task and function and is directly responsible to the Governor. If any of the clauses in the agreement is broken, PPK can fine the party breaking the clause in the agreement by cutting the installment payment for what achieved by the provider or if the PPK broke the agreement, the PPK will be fined as much as interest rate set by Bank Indonesia or in accordance with what stated in the agreement.
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan Rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian tesis ini, dengan judul “PERJANJIAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH (STUDI DI PEMROVSU).”
Penulisan tesis ini adalah merupakan salah satu syarat yang harus
dipenuhi untuk menyelesaikan studi pada Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum USU. Akan tetapi menurut Penulis, tesis ini adalah merupakan amanah
yang diberikan dan harus dipertanggung jawabkan sedaya mampu dalam hakekat
kemanusiaan yang penuh keterbatasan. Tak ada gading yang tak retak. Demikian
juga halnya dengan tesis yang penulis buat ini. Untuk itu sangat diharapkan
masukan yang membangun dari pembaca agar penulis dapat berkarya lebih baik
lagi.
Dalam kesempatan ini penulis dengan kerendahan hati menyampaikan
ucapan terima kasih yang tulus kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM, SpA (K)selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan
3. BapakProf. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, sekaligus dosen
pembimbing utama yang memberikan masukan dan kritikan dan dorongan
kepada penulis.
4. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH. selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum dan sebagai dosen pembimbing.
5. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara sekaligus
Dosen Pembimbing.
6. Bapak-bapak dan ibu-ibu staf pengajar serta para karyawan di program studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Terima kasih yang tak terhingga kepada ayahanda Rustam Hakim dan ibunda Dewi Astutyyang tak pernah kehilangan kasih sayang sejak ananda dilahirkan hingga saat ini. Terima kasih atas untaian do’a tulus yang tak
pernah putus pada ananda, sehingga ananda dapat melanjutkan dan
menyelesaikan pendidikan Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
9. Teman-teman mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya teman-teman selokal dengan
penulis, terima kasih atas kekompakannya selama ini, dan yang selalu
memberi semangat dalam menyelesaikan tesis ini.
Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan perhatiannya
sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini,
penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan semoga
tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.
Wassalam Medan, Maret 2012
Penulis
I. IDENTITAS PRIBADI
N a m a : Rini Widiastuty
Tempat/Tgl Lahir : Medan/ 25 Desember 1980
Jenis Kelamin : Wanita
Status : Menikah
Alamat : Jalan Setia Budi Pasar I gg. Pribadi 3
Perumahan Milano Grandia No. 3
II. KELUARGA
Ayahanda : Rustam Hakim
Ibunda : Dewi Astuty
Suami : Ahmad Khalil Al Saad
II. PENDIDIKAN FORMAL
1. SD Muhammadiyah 02 Medan dari tahun 1987 sampai tahun 1993.
2. SMP Pertiwi Medan dari tahun 1993 sampai tahun 1996.
3. SMU Dharmawangsa Medan dari tahun 1996 sampai tahun 1999.
4. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Medan dari tahun 2000 sampai tahun 2004.
5. Program Studi Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara dari tahun 2005 sampai tahun 2007
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI... vii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah ... 10
C. Tujuan penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 11
E. Keaslian penelitian ... 12
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13
1. Kerangka Teori ... 13
2. Konsepsi... 20
G. Metode Penelitian ... 21
1. Spesifikasi Penelitian ... 21
2. Sumber data ... 22
3. Alat Pengumpul Data ... 23
A. Pengertian Perjanjian... 25
B. Syarat Sahnya Perjanjian... 28
C. Bentuk Perjanjian Pengadaan Barang dan Jasa... 30
D. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Dengan Menggunakan Jasa Penyedia Barang/Jasa ... 47
E. Metode Penilaian Kualifikasi Barang Dan Jasa Pemerintahan... 53
BAB III KEDUDUKAN PEMERINTAH DALAM PERJANJIAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA ... 69
A. Kedudukan Pemerintah dalam Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Provinsi Sumatera Utara ... 69
B. Hambatan pada Proses Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 78 BAB IV PELAKSANAAN GANTI RUGI SEBAGAIMANA YANG DITUANGKAN DALAM PERJANJIAN PENGADAAN BARANG/JASA PROVINSI SUMATERA UTARA ... 92
A. Upaya Mengantisipasi Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa ... 92
B. Keberadaan Ganti Rugi Akibat Adanya Wanprestasi pada ... Perjanjian Pengadaan Barang dan Jasa ... 101
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 110
A. Kesimpulan ... 110
B. Saran... 112
aktif masyarakat, terutama sektor swasta dalam kaitannya dengan program pembangunan sarana dan prasarana umum. Keberadaan Perjanjian Pengadaan Barang dan Jasa muncul sebagai bagian dari proses pembangunan yang merupakan program kerja pemerintah, untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan potensi nasional. Perjanjian Pengadaan Barang dan Jasa merupakan perjanjian yang kompleks, yang membutuhkan kajian lebih lanjut guna ditemukannya format kontrak yang ideal sesuai dengan kebutuhan dan mampu memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya. Perumusan masalah yang akan diajukan dalam penulisan ini adalah Bagaimana bentuk perjanjian pengadaan barang/jasa pemerintah pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Bagaimana kedudukan pemerintah dalam perjanjian pengadaan barang/jasa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan mengapa tidak pernah terjadi ganti rugi sebagaimana yang dituangkan dalam perjanjian pengadaan barang/jasa Provinsi Sumatera Utara.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Deskriptif karena dalam penelitian ini akan dipaparkan perjanjian pengadaan barang dan atau jasa. Bersifat analistis, karena terhadap data yang diperoleh itu dilakukan analistis data secara kualitatif. Sumber data diperoleh dari data sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Dalam hal ini dilakukan dengan cara menginventarisasikan dan pengumpulan buku-buku, bahan-bahan bacaan, Peraturan Perundang-undangan dan dukumen-dukumen lain.
Bentuk perjanjian pengadaan barang/jasa pemerintah pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara adalah dengan bentuk tertulis yang dibuat dengan sistem kontrak standar. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara adalah sebagai Pengguna Anggaran dan Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA) yang bertindak atas nama pejabat negara/daerah, dengan membentuk Tim Pembina Pembangunan Provinsi Sumatera Utara yang tugas dan fungsi pokoknya secara
adhocdan bertanggungjawab secara langsung kepada Gubernur. Apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian, PPK dapat mengenakan denda dengan memotong angsuran pembayaran prestasi pekerjaan penyedia atau jika PPK yang melakukan ingkar janji, dikenakan sanksi berupa pembayaran denda sebesar suku bunga yang ditetapkan oleh Bank Indonesia atau sesuai dengan perjanjian.
especially private sector in its relation to the programs of public infrastructure and facility development. Goods and Service Procurement Agreement, as a part of development process, is the government’s work program to accelerate the growth and development of national potentials. As a complex agreement, Goods and Service Procurement Agreement needs further study to find out an ideal contract format which can meet the need and be able to provide protection and legal certainty to those who make it. The purpose of this analytical study was to find out and analyze the form of Goods and Service Procurement Agreement used in the Provincial Government of Sumatera Utara, the position of Provincial Government of Sumatera Utara in the Goods and Service Procurement Agreement, and the absence of compensation as stated in the Goods and Service Procurement Agreement of the Provincial Government of Sumatera Utara.
The data for this study were secondary data in the forms of primary, secondary, and tertiary legal materials obtained through documentation study. The data obtained were qualitatively analyzed.
The result of this study showed that the Goods and Service Procurement Agreement of the Provincial Government of Sumatera Utara is a written standard contract. The Provincial Government of Sumatera Utara is both budget user and the representative of budget user which acts on behalf of state/provincial official by establishing a Sumatera Utara Provincial Supervisory Team with ad hoc task and function and is directly responsible to the Governor. If any of the clauses in the agreement is broken, PPK can fine the party breaking the clause in the agreement by cutting the installment payment for what achieved by the provider or if the PPK broke the agreement, the PPK will be fined as much as interest rate set by Bank Indonesia or in accordance with what stated in the agreement.
A. Latar Belakang
Pembangunan tidak akan dapat berjalan dengan baik tanpa partisipasi aktif
masyarakat, terutama sektor swasta dalam kaitannya dengan program pembangunan
sarana dan prasarana umum. Oleh karena itu hasil-hasil pembangunan sudah
seharusnya dapat dinikmati seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir
dan batin secara adil dan merata. Dalam mensukseskan pembangunan di segala
bidang perlu adanya partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia agar
terciptanya tujuan dari Pembangunan nasional tersebut.1
Perjanjian Pengadaan Barang dan Jasa merupakan perjanjian yang kompleks
karena mengatur banyak aspek baik secara legal maupun teknis tentang proses
pengadaan barang dan jasa, yang membutuhkan kajian lebih lanjut guna
ditemukannya format kontrak perjanjian pengadaan barang dan jasa yang ideal sesuai
dengan kebutuhan dan mampu memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi
para pihak yang membuatnya.
Sehubungan dengan perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata memberikan definisi:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Dalam hukum perjanjian
1 Djumialdji, Hukum Bangunan Dasar-Dasar Hukum Dalam Proyek dan Sumber Daya
dikenal asas kebebasan berkontrak, maksudnya adalah setiap orang bebas
mengadakan suatu perjanjian berupa apa saja, baik bentuknya, isinya dan pada siapa
perjanjian itu ditujukan.
Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang
berbunyi: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Tujuan dari pasal ini bahwa pada umumnya
suatu perjanjian itu dapat dibuat secara bebas untuk membuat atau tidak membuat
perjanjian, bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun, bebas untuk
menentukan bentuknya maupun syarat-syarat, dan bebas untuk menentukan
bentuknya, yaitu tertulis atau tidak tertulis dan seterusnya.2
Berdasarkan Pasal 1338 dapat disimpulkan bahwa masyarakat diperbolehkan
membuat perjanjian yang berupa dan berisi segala sesuatu hal yang sah diperjanjikan
dan perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang.
Kebebasan berkontrak dari para pihak untuk membuat perjanjian itu meliputi
perjanjian yang telah diatur oleh undang-undang dan perjanjian-perjanjian baru atau
campuran yang belum diatur dalam undang-undang.3
Ketentuan hukum itu dapat dikatakan sebagai aturan yang dapat
mengakomodir kebutuhan masyarakat sehingga aturan hukum tersebut mempunyai
manfaat bagi masyarakat untuk tercapainya suatu pembangunan nasional dan
mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata secara material dan spiritual
2 Salim H. S, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika), 2003, hal. 21.
yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan seluruh masyarakat Indonesia yang menekankan pada keseimbangan
pembangunan, kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah dalam suatu masyarakat
Indonesia yang maju dan berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila sebagai asas
idiilnya.
Hukum kontrak atau perjanjian telah tumbuh dan berkembang dengan pesat
mengikuti perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Perjanjian-perjanjian baru
yang belum diatur dalam undang-undang khususnya KUHPerdata tumbuh dan hidup
dalam lalu lintas hukum. Perjanjian-perjanjian ini disebut dengan perjanjian tidak
bernama inilah yang sering muncul dalam hubungan-hubungan hukum dewasa ini,
salah satunya adalah Perjanjian Pengadaan Barang dan Jasa.
Perjanjian barang dan jasa merupakan bagian dari perjanjian antara
pemerintah dengan pihak pemborong untuk memenuhi kebutuhan akan barang dan
atau jasa pemerintah yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Metoda
pengadaan barang dan jasa yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman
secara luas melalui media massa, sekurang-kurangnya 1 (satu) media cetak dan pada
papan pengumuman resmi Kantor Pusat dan/atau Unit Bisnis sehingga masyarakat
luas dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya. Pada
prinsipnya, semua pengadaan barang dan jasa agar diusahakan melalui metoda
diharapkan akan diperoleh harga barang dan/atau jasa yang paling menguntungkan
bagi para pihak yang terlibat dalam pekerjaan pengadaan barang dan jasa tersebut.
Pengadaan barang/jasa didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Daerah (APBN/D), dan dari tahun ke tahun umumnya selalu meningkat.
Demikian juga halnya komponen dari belanja APBN/D berupa belanja modal
(investasi)/belanja langsung, yang pelaksanaannya dilakukan melalui pengadaan
barang/jasa. Untuk merealisasikan belanja modal/langsung dilakukan melalui
pengadaan barang dan jasa yang melibatkan berbagai pihak, yaitu pengguna, adalah
pihak yang membutuhkan barang/jasa, dan penyedia barang/jasa, adalah pihak yang
melaksanakan pekerjaan atau layanan jasa, yang dilakukan berdasarkan permintaan
atau perintah resmi atau kontrak dari pihak pengguna.4
Pengadaan barang/jasa pada hakikatnya merupakan upaya pihak pengguna
untuk mendapatkan atau mewujudkan barang/jasa yang diinginkannya, maka
masing-masing pihak harus tunduk pada etika serta norma/peraturan yang berlaku terkait
proses pengadaan barang/jasa.5 Penentuan untuk memilih penyedia barang/jasa
dilakukan dengan cara Pelelangan Umum, Pelelangan Terbatas, Pemilihan Langsung,
dan Penunjukan Langsung. Dari keempat metode tersebut, ditentukan bahwa metode
Pelelangan Umum merupakan prinsip utama dalam pelaksanaan pengadaan
4Agus Kartasasmita. “Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Menurut Pelaku Usaha.”Makalah
Seminar Nasional Seminar Nasional dengan Tema “Upaya Perbaikan Sistim Penyelenggaraan Barang / Jasa Pemerintah.Jakarta: 2006. Hal. 4.
5
barang/jasa. Dari keempat metode tersebut pada umumnya yang banyak dilaksanakan
oleh instansi pemerintah, adalah menggunakan cara penunjukan langsung dan dengan
cara pelelangan umum.
Suatu peraturan akan memiliki nilai apabila dalam implementasi
pelaksanaannya berjalan sesuai dengan yang ditetapkan. Sebaliknya sebaik-baiknya
peraturan tidak akan memiliki nilai apapun apabila dalam pelaksanaannya masyarakat
tidak menjalankannya terlebih-lebih lagi jika jajaran instansi pemerintah sendiri
bahkan yang tidak memberi contoh melaksanakannya dengan benar dan
sungguh-sungguh yang pada gilirannya membuat peraturan tidak “berdaya” dan tidak ada
gunanya.
Pasal 1 (satu) angka 1 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah menyebutkan bahwa Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk
memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat
Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai
diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.
Biro Perlengkapan dan Pengelolaan Asset Sekretariat Daerah merupakan
pihak yang sangat berperan penting dalam proses pengadaan barang dan jasa pada
tingkat Provinsi Sumatera Utara, baik itu pada tahap awal dimana penyelenggara
lelang pekerjaan hingga tahap akhir dari pelaksanaan pengadaan barang dan jasa
Keberadaan Perjanjian Pengadaan Barang dan Jasa muncul sebagai bagian
dari proses pembangunan yang merupakan program kerja pemerintah yang sangat
signifikan, untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan potensi nasional.
Pembangunan identik dengan pembangunan sarana dan prasarana umum oleh
pemerintah yang diperuntukkan bagi kepentingan publik maupun penyelenggaran
pemerintahan. Pada dasarnya pembangunan merupakan proses yang berlangsung
secara berkesinambungan menyebabkan perubahan bertahap yang meliputi seluruh
aspek kehidupan menuju peningkatan taraf hidup masyarakat.
Hal-hal yang berhubungan dengan perjanjian jual beli pada dasarnya meliputi
kewajiban pihak penjual maupun pihak pembeli. Tentang kewajiban penjual ini,
pengaturannya dimulai dari Pasal 1427 KUHPerdata yaitu “Jika pada saat penjualan,
barang yang dijual sama sekali telah musnah maka pembelian batal.”
Pasal 1474 KUH perdata pada pokoknya kewajiban penjual menurut pasal
tersebut terdiri dari dua, yaitu:
1. Menyerahkan barang yang dijual pada pembeli,
2. Memberi pertanggungan atau jaminan (vrijwaring), bahwa barang yang dijual
tidak mempunyai sangkutan apapun, baik yang berupa tuntutan maupun
perbendaan
Adapun kewajiban pembeli adalah membayar harga. Pasal 1513 KUHPerdata
berbunyi “kewajiban utama pembeli ialah membayar harga pembelian, padawaktu
dan tempat sebagaimana ditetapkan menurut persetujuan”. Kewajiban membayar
menyelesaikan pelunasan harga bersamaan dengan penyerahan barang. Jual beli tidak
akan ada artinya tanpa pembayaran harga
Apabila unsur hak dan kewajiban penjual dan pembeli tersebut diterapkan
pada perjanjian pengadaan barang/jasa maka dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Pihak Pejabat Pembuat Komitmen (Pembeli) berkewajiban membayar sejumlah
harga atas barang/jasa yang dibelinya kepada pihak Penyedia Barang/Jasa
(Penjual), dan berhak menerima barang/jasa dari pihak Penyedia Barang/Jasa.
2) Pihak Penyedia Barang/Jasa berkewajiban menyerahkan barang/jasa (hasil
pekerjaan) kepada pihak Pejabat Pembuat Komitmen, serta berhak menerima
sejumlah harga/uang dari Pejabat Pembuat Komitmen.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa
Perjanjian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dapat dikualifikasikan sebagai
Perjanjian Jual Beli sebagaimana diatur dalam Buku III Bagian V KUHPerdata, dan
dengan demikian pula dapat digolongkan sebagai Perjanjian
Bernama/Khusus/Nominat.6
Perjanjian pengadaan barang/jasa pemerintah dapat disebut pula sebagai
Perjanjian Jual Beli Standard. Selain itu juga bercirikan sebagai perjanjian timbal
balik, karena masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Juga sebagai perjanjian
konsensuil karena lahir dengan adanya kata sepakat. Sebagai perjanjian atas beban
6
karena memberikan beban kepada masing-masing pihak berupa memberi atau berbuat
sesuatu. Dan juga sebagai perjanjian formil, karena terjadinya perjanjian apabila
telah memenuhi formalitas tertentu maupun bentuk tertentu yang ditentukan oleh
undang-undang.
Perjanjian Pengadaan Barang dan Jasa sering dibuat dalam bentuk kontrak
standar, dimana suatu kontrak telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak
dan pihak yang lainnya hanya dihadapkan pada pilihan untuk menerima atau menolak
perjanjian tersebut. Perjanjian baku atau standar lahir sebagai bentuk dari
perkembangan dan tuntutan dunia usaha. Kontrak standar telah banyak diterapkan
dalam dunia usaha seperti perbankan, lembaga pembiayaan konsumen, dan berbagai
bentuk usaha lainya. Kontrak standar atau baku dipandang lebih efisien dari sisi
waktu dan biaya.7
Perjanjian standar memberikan kekuasaan kepada pihak penyusun untuk
menentukan syarat-syarat yang cukup memberatkan apalagi kontrak tersebut
disajikan dalam bentuk kontrak standard, karena ketentuan-ketentuan dalam
perjanjian dapat dipakai untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kerugian pada
pihak yang membuat perjanjian. Dalam hal demikian salah satu pihak hanya punya
pilihan untuk menerima atau menolak perjanjian tersebut.
Permasalahannya adalah di dalam membuat perjanjian sudah
dicantumkan hak dan kewajiban antara pengguna dan penyedia barang/jasa. Tapi ada
7Shidarta.Hukum Perlindungan Konsumen IndonesiaTerbitan Pertama. (Jakarta: Grasindo)
hal-hal yang tidak dimasukkan dalam klausul perjanjian pengadaan barang/jasa, yaitu
apabila pengguna barang/jasa terlambat di dalam melakukan pembayaran, padahal ini
diatur besarnya ganti rugi yang dibayarkan oleh pengguna barang/jasa atas
keterlambatan pembayaran. Sebaliknya denda kepada penyedia barang/jasa atas
keterlambatan penyelesaian pekerjaan. Dalam Keppres Nomor 80 Tahun 2003
sebagaimana diubah dengan Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah sudah dicantumkan sanksi kedua belah pihak apabila ingkar
janji (wanprestasi).
Pasal 1 angka 23 Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah menyatakan Pelelangan Umum adalah metode pemilihan Penyedia
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya untuk semua pekerjaan yang dapat diikuti
oleh semua Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang memenuhi
syarat. Pelelangan umum adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa yang
dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media massa dan
papan pengumuman resmi untuk penerangan umum sehingga masyarakat dunia usaha
yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya.
Seringkali kontrak dibuat tidak sesuai dengan prosedur dan masing-masing
pihak tidak begitu memperhatikan sampai sejauh mana kontrak yang akan
disepakatinya tersebut akan mempengaruhi keberhasilan atau malah sebaliknya justru
menimbulkan kegagalan ataupun kerugian bagi kedua pihak. Semuanya itu
memberikan gambaran yang kuat bahwa banyak permasalahan-permasalahan bisnis
terhadap pengertian dari kontrak yang pada umumnya menjadi dasar dari perjanjian
pengadaan barang dan jasa. Pengalaman ini harus membuat para perancang kontrak
harus lebih hati-hati dalam membuat kontrak bisnis.
Pengguna barang dan jasa sebagai konsumen, dan penyedia barang dan jasa
sebagai produsen harus mendapatkan perlindungan yang seimbang dalam
kontrak. Kesepakatan, hanya akan tercapai jika para pihak telah berada dalam posisi
yang serasi dan seimbang. Pengaturan pengadaan barang dan jasa pemerintah melalui
Perpres 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, adalah bentuk
campur tangan negara untuk menjamin terciptanya keseimbangan dalam
kontrak/perjanjian. Apabila isi perjanjian diserahkan secara penuh kepada para pihak
terkait dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah (instansi dengan penyedia
barang/jasa), maka dimungkinkan banyak terjadi penyimpangan dan pelanggaran hak
dan kewajiban.
Berdasarkan alasan di atas, maka dilakukan penelitian yang berjudul:
Perjanjian Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (Studi di Pemerintah Provinsi Sumatera Utara).
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana bentuk perjanjian pengadaan barang/jasa pemerintah pada
2. Bagaimana kedudukan pemerintah dalam perjanjian pengadaan barang/jasa
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara?
3. Mengapa tidak pernah terjadi ganti rugi sebagaimana yang dituangkan dalam
perjanjian pengadaan barang/jasa Provinsi Sumatera Utara?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dikemukakan, maka tujuan
penelitian yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini adalah:
1. Untuk mengetahui bentuk perjanjian pengadaan barang/jasa pemerintah pada
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
2. Untuk mengetahui kedudukan pemerintah dalam perjanjian pengadaan
barang/jasa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
3. Untuk mengetahui tidak pernah terjadi ganti rugi sebagaimana yang dituangkan
dalam perjanjian pengadaan barang/jasa Provinsi Sumatera Utara.
D. Manfaat Penelitian
Secara teoretis penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi ilmu
pengetahuan khususnya hukum perjanjian di Indonesia.
Secara praktis penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi para
pembuat kebijakan, agar dapat menciptakan sistem hukum yang lebih aspiratif yang
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan dari perumusan masalah dan hasil-hasil penelitian yang ada,
penelitian mengenai Perjanjian Pengadaan Barang Dan Jasa ini sudah pernah
dilakukan dalam topik dan permasalahan-permasalahan yang sama, yaitu yang dibuat
oleh:
1. Ahmad Feri Tanjung, 2009, dengan judul “Tanggung Jawab Hukum Kuasa
Pengguna Anggaran Atas Perubahan teknis Pekerjaan Pasca Penandatanganan
Surat Perjanjian Kontak Pelelangan Pengadaan Barang dan Jasa” dengan
perumusan masalah:
a) Bagaimana ketentuan pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam bidang
kontrak konstruksi?
b) Bagaimana prosedur dan teknis perubahan pekerjaan setelah kontrak
ditandatangani ?
c) Bagaimana tanggung jawab hukum Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atas
perubahan teknis pekerjaan yang dilaksanakan setelah kontrak
ditandatangani ?
2. KFM. Marpaung, 2010. Dengan judul Analisis Hukum Terhadap Kontrak
Pengadaan Barang dan Jasa Oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera
Utara dengan perumusan masalah:
a. Apakah yang menjadi permasalahan dalam kontrak pengadaan barang dan
b. Apakah kontrak pengadaan barang dan jasa Dinas Kelautan dan Perikanan
Sumatera Utara sudah memenuhi Perpres No. 95 tahun 2007?
c. Bagaimana Penyelesaian sengketa Terhadap kontrak yang Bermasalah?
3. Mangaratua Naibaho, Persekongkolan Tender Dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintahan di Dinas Kesehatan Siantar dengan perumusan masalah:
a. Apa yang menjadi sustansi dan dasar pertimbangan perubahan Kepres No.
80 Tahun 2003 dengan pedoman pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah yang telah dirubah beberapa kali terakhir dengan yang terakhir
dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 95 Tahun 2007 ?
b. Bagaimana adanya terjadi persekongkolan tender dalam barang dan jasa
pemerintah ditinjau dari UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ?
c. Apakah KPPU telah benar menerapkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam
putusannya No. 06/KPPU-/2006 tentang Pelelangan Pengadaan Barang dan
Jasa Pemerintah Perbaikan Bangsal di Unit Kerja RSU Kota Pematang
Siantar Tahun 2005 ?
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, tetapi dalam
jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan
yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan.8
Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan
(rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum
(rechtszekerheid).9
Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith (1723-1790), Guru Besar
dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori hukum dari Glasgow University
pada Tahun 1750,10 telah melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice). Smith
mengatakan bahwa: “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian” (the
end of justice is to secure from injury).11
Menurut Satjipto Raharjo, “Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan
cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka
kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur,
dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah
yang disebut hak. Tetapi tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut
8 Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993), hal. 79.
9Achmad Ali,Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: PT.
Gunung Agung Tbk, 2002), hal. 85.
10Bismar Nasution,Mengkaji Ulang sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi,Pidato pada
Pengukuhan sebagai Guru Besar, USU – Medan, 17 April 2004, hal. 4-5. Sebagaimana dikutip dari Neil Mac Cormick, “Adam Smith On Law”, Valvaraiso University Law Review, Vol. 15, 1981, hal. 244.
sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya
hak itu pada seseorang.12
Sebagai objek ilmu hukum, hukum senantiasa dilihat dan dipahami
berdasarkan metode dan cara pandang seseorang. Seperti halnya bahwa hukum selalu
dipandang memiliki nilai-nilai moral yang idealis yang memiliki pandangan keadilan
bisa didapat melalui penerapan hukum secara konsisten. Sehingga dengan
menerapkan hukum maka akan terbentuk di masyarakat nilai-nilai yang diinginkan
oleh hukum tersebut. Pandangan lain berpendapat bahwa hukum dipergunakan
kepada usaha untuk mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi kebutuhan yang konkrit
dalam masyarakat. Pandangan ini memahami hukum sebagai alat untuk mengatur
masyarakat.13 Hukum yang hidup di masyarakat, tidak dapat dipandang sebagai
serangkaian kaidah atau norma, akan tetapi lebih dari itu, yaitu lebih memandang
hukum sebagai suatu sistem.
Struktur hukum memiliki pola, bentuk dan gaya yang yang substansinya
adalah menetapkan bagaimana orang-orang harus dan boleh berprilaku. Sedangkan
budaya hukum yang dimaksud adalah ide-ide, gagasan-gagasan, harapan dan
pendapat umum.
Hukum maupun berbagai organisasi dan lembaga hukum yang ada, seperti
DPR, Kepolisian, Kejaksaan, Badan-badan Pengadilan maupun berbagai departemen
yang secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap kinerja pelaku
12
Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Cetakan ke – V, 2000), hal. 53.
ekonomi Indonesia dan/atau asing yang beroperasi di Indonesia, dapat berpengaruh
positif terhadap kehidupan dan pembangunan ekonomi yang sudah lama
dicita-citakan.14
Perjanjian pengadaan barang dan jasa termasuk dalam perjanjian
pemborongan yang terdapat dalam KUHPerdata dan Pasal 1601, Pasal 1601b dan
Pasal 1604 dan sampai dengan Pasal 1616 bahwa agar pengadaan barang dan jasa
pemerintah dapat dilaksanakan dengan efektif, efisien, dengan prinsip persaingan
sehat, transparan, terbuka dan perlakuan yang adil dan layak bagi semua pihak,
sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan,
maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan
Ketentuan mengenai pengadaan barang dan jasa yang diatur dalam Perpres
Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintahan yang
bertujuan untuk meletakkan dasar-dasar bagi pelaksanaan pengadaan barang dan jasa
yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan
14C. F. G Sunaryati Hartono, “Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun
bagi negara sebagai pengguna dan kontraktor sebagai pelaksana pengadaan barang
dan jasa dalam perwujudan masyarakat adil dan makmur.
Dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah maka Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003
tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007 dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1 Januari 2011.
Berbeda dengan jenis-jenis kontrak yang diatur dalam Keppres No. 80 Tahun
2003, yang hanya membuat klasifikasi jenis kontrak berdasarkan jenis imbalannya,
jangka waktu pelaksanaannya dan jumlah pengguna barang dan jasanya, dalam Pasal
50 Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
jenis-jenis kontrak dibedakan berdasarkan:
1. Imbalannya (cara pembayarannya) yaitu:
a) Kontrak lumpsum; kontrak yang sudah pasti objeknya
b) Kontrak harga satuan; kontrak yang tidak bisa dihitung secara pasti.
c) Kontrak gabunganlump sumdan harga satuan
d) Kontrak terima jadi (turn key); kontrak yang sesuai dengan harga keseluruhan
e) Kontrak presentase; kontrak Pengadaan Jasa Konsultansi/ Jasa lainnya
2. Jangka waktu pelaksanaannya yaitu:
a) Kontrak tahun tunggal; kontrak yang mengikat 1 tahun anggaran.
b) Kontrak tahun jamak; kontrak yang mengikat lebih dari 1 tahun anggaran
a) Kontrak Pengadaan Tunggal
b) Kontrak Pengadaan Bersama
c) Kontrak Payung (framework contract)
4. Jenis pekerjaan
a) Kontrak Pengadaan Pekerjaan Tunggal
b) Kontrak Pengadaan Pekerjaan terintegrasi
Terkait proses pemilihan penyedia barang/jasa melalui keempat metode
tersebut ditentukan melalui prakualifikasi maupun pasca kualifikasi lebih dahulu.
Pengertian prakualifikasi adalah proses penilaian kompetensi dan kemampuan usaha
serta pemenuhan persyaratan tertentu lainnya dari penyedia barang/jasa sebelum
memasukkan penawaran. Sedangkan pascakualifikasi intinya adalah penilaian
terhadap penyedia barang/jasa dilakukan setelah memasukkan penawaran.15
Metode Penunjukan Langsung adalah metode yang dapat dilakukan dengan
syarat memenuhi kriteria keadaan tertentu dan keadaan khusus, selanjutnya menunjuk
langsung satu penyedia barang/jasa dengan cara melakukan negosiasi baik teknis
maupun biaya sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat
dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan kerangka dan isi kontrak pengadaan barang/jasa seperti
ditentukan oleh Perpres Nomor 54 Tahun 2010, serta melihat dokumen-dokumen
sebenarnya atas kontrak pengadaan barang/jasa selanjutnya dihubungkan dengan
15Khalid Mustafa. Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintahan (Bagian II: Jenis dan Metode).
syarat-syarat sahnya perjanjian seperti diatur oleh Pasal 1320 KUHPerdata, maka
dapat disimpulkan bahwa dalam kontrak/perjanjian pengadaan barang/jasa telah
memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian, karena di dalamnya secara jelas telah
mengandung unsur adanya kesepakatan para pihak, yaitu antara pihak Pejabat
Pembuat Komitmen (sebagai yang mewakili instansi dan yang memiliki pekerjaan)
dan pihak Penyedia Barang/Jasa, dimana para pihak tersebut jelas mempunyai
kapasitas untuk melakukan perbuatan hukum karena telah memenuhi kualifikasi
sebagaimana ditentukan undang-undang (untuk syarat kecakapan untuk membuat
perjanjian).
Sedangkan untuk syarat obyektifpun telah memenuhi, dimana mengenai
obyek perjanjiannya secara jelas dan tegas dinyatakan dalam judul setiap dokumen
pengadaan, juga dalam pencantuman nama maupun lingkup pekerjaan, serta isi
perjanjiannyapun telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga dalam hal ini jelas
tidak ada pelanggaran undang-undang, ketertiban umum, mapun kesusilaan
sebagaimana disyaratkan dalam syarat adanya suatu sebab (causa) yang halal.
Memperhatikan konsep tujuan hukum, dimana tujuan dibentuknya hukum
adalah untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Maka, jika
kontrak (pengadaan barang dan jasa) dianggap setara dengan undang-undang (pacta
sunc servanda), sudah tentu kontrak dibentuk untuk memberikan rasa keadilan,
kemanfaatan dari kontrak tersebut dan kepastian hukum bila terjadi perselisihan
Pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan pemerintah merupakan salah
satu alat untuk menggerakkan roda perekonomian, oleh karenanya penyerapan
anggaran melalui pengadaan barang dan jasa ini menjadi sangat penting. Penyerapan
anggaran pada umumnya merupakan belanja barang dan belanja modal yang
diklasifikasikan sebagai pengadaan barang/jasa, di samping belanja pegawai.
Pemanfaatan anggaran sesuai dengan rencana strategis dan dilaksanakan secara
profesional dan berintegritas. Dengan demikian, barang/jasa yang dihasilkan tepat
guna mendukung pelaksanaan tugas pemerintah. Namun, tidak kalah penting dari itu
adalah urgensi pelaksanaan pengadaan yang efektif dan efisien serta ekonomis untuk
mendapatkan manfaat maksimal dari penggunaan anggaran.
2. Konsepsi
Konsepsi yang akan diajukan adalah:
1. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan
Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh
Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang
prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya
seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa
2. Barang menurut Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah Barang, adalah benda dalam berbagai bentuk dan uraian, yang
meliputi bahan baku, bahan setengah jadi, barang jadi/peralatan yang
spesifikasinya ditetapkan oleh pengguna barang/jasa.
a. Jasa konsultasi menurut Pasal 1 angka 16 Perpres No. 54 Tahun 2010
adalah jasa layanan profesional yang membutuhkan keahlian tertentu
diberbagai bidang keilmuan yang mengutamakan adanya olah pikir
(brainware).
b. Jasa Lainnya adalah jasa yang membutuhkan kemampuan tertentu yang
mengutamakan keterampilan (skillware) dalam suatu sistem tata kelola
yang telah dikenal luas di dunia usaha untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan atau segala pekerjaan dan/atau penyediaan jasa selain Jasa
Konsultansi, pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi dan pengadaan Barang.
4. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka penelitian ini
bersifat deskriptif analisis, artinya hanya akan dilakukan analisis terhadap
kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa.
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu kepada
pengadilan. Mengutip istilah Ronald Dworkin, penelitian seperti ini juga disebut
sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang
menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku(law as it written in the book),
maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is
decided by the judge through judicial process).16
Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh dari
perpustakaan. Penelitian lapangan juga dilakukan untuk mendapatkan bahan-bahan
guna melengkapi dan menunjang bahan-bahan kepustakaan dan dokumen.
2. Sumber Data
Sumber data kepustakaan dan dokumen diperoleh dari:
a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan
merupakan landasan utama untuk dipakai dalam rangka penelitian ini, di
antaranya adalah: Undang-Undang Dasar 1945, Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian
urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan
16
Bismar Nasution, “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, makalah
pemerintahan daerah kabupaten/kota, dan Perpres Nomor 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintahan.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer yang relevan dengan penelitian ini.
c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang, yaitu bahan yang
memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder, berupa kamus, ensiklopedia, jurnal-jurnal ilmiah,
majalah, surat kabar dan sebagainya yang dipergunakan untuk melengkapi
ataupun menunjang data penelitian.17
3. Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
a. Studi kepustakaan (library research), yaitu dengan cara membaca,
mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis literatur-literatur,
laporan penelitian, dokumen-dokumen resmi, serta sumber-sumber bacaan
lainnya.
b. Wawancara, dengan menggunakan alat pedoman wawancara dengan Panitia
Pengadaan Barang dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dalam hal ini adalah
Kepala Biro Perlengkapan Dan Pengelolaan Asset yang dianggap
berkompeten dengan masalah penelitian.
17Lihat Bambang Sunggono,Metodologi Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: Raja
4. Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.18
Mengingat sifat penelitian maupun objek penelitian, maka semua data yang
diperoleh akan dianalisis secara kualitatif, dengan cara data yang telah terkumpul
dipisah-pisahkan menurut katagori masing-masing dan kemudian dideskripsikan
dalam uraian yang mendalam sehingga diperoleh jawaban terhadap masalahan dalam
penelitian. Kemudian ditarik suatu kesimpulan dari data yang telah diolah dengan
menggunakan metode deduktif.
18Soejono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
BAB II
BENTUK PERJANJIAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH PADA PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA
A. Pengertian Perjanjian
Perjanjian adalah peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa
ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.”19
Undang-undang sendiri juga memberikan definisi mengenai perjanjian.
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata perjanjian ialah: “Perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Definisi ini dianggap tidak lengkap dan terlalu luas. Pernyataan ini seperti
yang diungkapkan Mariam Darus Badrulzaman:
Para sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap, dan pula terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat juga mencakup mengenai janji-janji kawin, juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan.20
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak ini dapat dijadikan dasar perikatan bagi
kedua belah pihak. Hal ini seperti yang disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
19Djumadi. 2004..Hukum Perburuhan, Perjanjian Kerja .Jakarta: Rajawali Pers, hal.13 20 Mariam Darus Badrulzaman. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan. Citra Aditya Bhakti:
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dari Perjanjian yang dibuat
ini, maka akan timbul suatu hubungan antara 2 (dua) orang tersebut. Hubungan inilah
yang dinamakan perikatan. Pada dasarnya perjanjian menerbitkan suatu perikatan
antara dua orang (pihak) yang membuatnya.
Dari definisi-definisi yang diajukan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
perjanjian terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
a. Adanya hubungan hukum.
b. Adanya dua pihak.
c. Adanya hukum kekayaan.
d. Ada hak di satu pihak dan ada kewajiban di pihak lain..
Perjanjian-perjanjian yang dibuat tersebut pada dasarnya bersifat bebas,
sehingga tidak terikat pada suatu bentuk tertentu. Perjanjian ini dapat dibuat secara
lisan maupun secara tertulis. Jika perjanjian dibuat secara tertulis, maka perjanjian ini
dapat dijadikan alat bukti jika ternyata di kemudian hari terjadi perselisihan.
Perjanjian menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara dua
pihak. Atau dengan kata lain perjanjian berisi perikatan-perikatan. Untuk mengatur
tentang perikatan ini maka diperlukan hukum. Hukum diperlukan untuk mengatur
tingkah laku manusia.
Wirjono Prodjodikoro menyatakan: Hukum merupakan rangkaian
peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota masyarakat dan
artinya bahwa anasir hukum dianggap ada jika suatu tingkah laku banyak
menyinggung atau mempengaruhi orang lain.
Hukum merupakan seperangkat norma tentang apa yang benar dan apa yang
salah. Yang dibuat atau diakui eksistensinya oleh pemerintah, yang ditunagkan baik
sebagai aturan tertulis (peraturan) ataupun yang tidak tertulis, yang mengikat dan
sesuai dengan kebutuhan masyakaratnya secara keseluruhan, dan dengan ancaman
sanksi bagi pelanggar aturan itu21
Kalau seseorang berjanji melaksanakan sesuatu hal, janji ini dalam hukum
pada hakekatnya ditujukan pada orang lain. Karena itu dapat dikatakan bahwa sifat
pokok dari hukum perjanjian adalah semula mengatur hubungan hukum antara
orang-orang, jadi bukan antara orang dan suatu benda. Apabila kita menelusuri berbagai
literature dan bagitu pula dalam praktik maka maka akan diketahui, bahwa isi dari
suatu perjanjian kerja dari kewajiban-kewajiban dan hak-hak kedua belah pihak
(pekerja dan pengusaha). Sebagai kewajibann utama pekerja adalah melakukan
pekerjaan, sedangkan kewajiban utama pengusaha adalah membayar upah.
Kewajiban-kewajiban pekerja itu merupakan hak bagi pengusaha. Begitu pula
sebaliknya, kewajiban pengusaha menjadi hak bagi pihak pekerja.22
Hal ini berarti hukum perdata tetap memandang suatu perjanjian sebagai
perhubungan hukum di mana seorang tertentu, berdasar atas suatu janji. Wajib untuk
21
Achmad Ali. .2008.Menguak.Realitas Hukum, Rampai Kolom dan Artikel Pilihan dalam Bidang Hukum. Jakarta: Prenada Media Group, hal. 2
22Koko Kosidin, 1999.Perjanjian Kerja, Perjanjian Perburuhan dan Peraturan Perusahaan.
melakukan suatu hal dan orang lain tertentu berhak menuntut pelaksanaan kewajiban
itu.
B. Syarat Sahnya Perjanjian
Berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata menentukan bahwa untuk sahnya
persetujuan/perjanjiandiperlukan empat syarat, yaitu (1) sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya, (2) kecakapan untuk membaut suatu perikatan, (3) suatu hal
yang tertentu, dan (4) suatu sebab yang halal.
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat
barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak
lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut;
adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal
1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga
adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar
“sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.
2. Cakap untuk membuat perikatan;
Para pihak mampu membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam hal ini
adalah bahwa para pihak telah dewasa, tidak di bawah pengawasan karena prerilaku
yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang
Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan:
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang,
dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah
Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3/1963 tanggal 5
September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang
tidak cakap.
3. Suatu hal tertentu;
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka
perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang
yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan
Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi
obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang sec ara tegas.
4. suatu sebab atau causa yang halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat.
Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain
oleh undang-undang. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan
syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru,
mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan
keempat mengenai obyek tidak terpenuhi.
Pasal 1331 (1) KUH Perdata: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Apabila perjanjian yang
dilakukan obyek/perihalnya tidak ada atau tidak didasari pada itikad yang baik, maka
dengan sendirinya perjanjian tersebut batal demi hukum. Dalam kondisi ini perjanjian
dianggap tidak pernah ada, dan lebih lanjut para pihak tidak memiliki dasar
penuntutan di depan hakim.
Sedangkan untuk perjanjian yang tidak memenuhi unsur subyektif seperti
perjanjian di bawah paksaan dan atau terdapat pihak di bawah umur atau di bawah
pengawasan, maka perjanjian ini dapat dimintakan pembatalan (kepada hakim) oleh
pihak yang tidak mampu termasuk wali atau pengampunya. Dengan kata lain, apabila
tidak dimintakan pembatalan maka perjanjian tersebut tetap mengikat para pihak.23
C. Bentuk Perjanjian Pengadaan Barang dan Jasa
Secara umum ada dua bentuk perjanjian yang dikenal, yaitu perjanjian secara
tertulis dan tidak tertulis (lisan). Bentuk-bentuk perjanjian ini berhubungan erat
dengan beban, pembuktian, jika ada sengketa di belakang hari.
Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam
hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran
hak asasi manusia. Kebebasan berkontrak ini berlatar belakang pada paham
23 Christina Djamin. “Mengenal Hukum Perjanjian” http:/www.scribd.com/ christina_
individualisme. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk
memperoleh apa yang dikehendakinya. Di dalam hukum perjanjian falsafah ini
diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”.24
Menurut Mariam Darus Badrul Zaman, perjanjian baku adalah perjanjian
yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Perjanjian baku yang
terdapat di masyarakat, dapat dibedakan dalam empat jenis, yaitu:
1. Perjanjian baku sepihak, adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak
yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini bisa
umpamanya pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat
dibandingkan pihak debitur.
2. Perjanjian baku timbal balik, adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh
kedua pihak, misalnya perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak
majikan (kreditur) dan pihak lainnya buruh (debitur). Kedua pihak
lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
3. Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya
ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya
formulir-formulir perjanjian dengan akta jual beli.
4. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat, adalah
perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk
memenuhi permintaan dari anggota masyarakat.25
24 Ahmad Suhelmi,Pemikiran Politik Barat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001,
Pada perjanjian pengadaan barang dan jasa, Notaris tidak dilibatkan, sebab
Notaris hanya merupakan pihak sebagai legalitas kedudukan Pihak penyedia sebagai
badan hukum atau badan usaha.26
Karena dalam kontekstual, keterlibatan Notaris sama sekali tidak ada diatur
dalam batang tubuh Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010. Namun dalam
lampiran V Buku ke - 8 Peraturan Presiden tersebut diatur bahwa perjanjian di atas
Rp.100 Miliar harus dilakukan setelah memperoleh pendapat ahli hukum kontrak.
Dalam hal ini ahli hukum kontrak adalah terdiri darilawyer, ahli hukum dan Notaris.
Apabila pemerintah membuat formulir perjanjian standar, dengan
mengeluarkan peraturan yang akan mengikat para pihak apakah ini bertentangan
dengan undang-undang (KUH Perdata). Sebagaimana diketahui berdasarkan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yang disempurnakan dengan Undang-Undang-undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis dan
hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945, Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah.
Penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa pemerintah bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan umum Pemerintah dalam
pengadaan barang dan jasa untuk memberdayakan peran serta masyarakat dan
25
Herlien Budiono,Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, 2009, PT Citra Aditya Bakti, Bandung
26Hasil wawancara dengan Bapak Safruddin, SH, M. Hum., , Kepala Biro Perlengkapan dan
kelompok usaha kecil termasuk koperasi, dengan harapan dapat meningkatkan
penggunaan produksi dalam negeri, rancang bangun dan rekayasa nasional, untuk
memperluas lapangan kerja, meningkatkan daya saing barang dan jasa nasional pada
perdagangan internasional.
Sistem pengadaan pemerintah yang efektif sangat penting dalam rangka
mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Sistem pengadaan yang
buruk mengakibatkan biaya-biaya tinggi bagi pemerintah maupun masyarakat. Sistem
yang demikian mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan proyek yang selanjutnya
memperbesar biaya, menghasilkan kinerja proyek yang buruk dan menunda manfaat
proyek bagi masyarakat. Ketidakberesan sistem pengadaan juga membuka peluang
korupsi, menimbulkan banyak protes dan kecurigaan terhadap integritas proses
pengadaan.
Penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi, pada setiap tahun anggaran
masing-masing Satuan Kerja Kementerian Negara/Lembaga akan mendapatkan alokasi dana
yang bersumber dari APBN, dan untuk pelaksanaan APBN tersebut, setiap Satuan
Kerja Kementerian Negara/Lembaga tersebut akan melakukan proses pengadaan
barang/jasa.
Sebagai pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa telah ditetapkan
Keppres Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah yang telah di ubah beberapa kali dan terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010. Tujuan ditetapkannya pengaturan
yang seluruh/sebagian dananya bersumber dari APBN dapat dilakukan dengan lebih
efektif dan efisien dengan persaingan yang sehat, transparan, terbuka dan perlakuan
yang adil bagi semua pihak, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik
dari segi fisik, keuangan maupun manfaat bagi kelancaran tugas pemerintah dan
pelayanan kepada masyarakat.
Perjanjian standar yang dibuat oleh LKPP untuk pengadaan barang dan jasa
untuk memudahkan bagi para pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban para
pihak. Seringkali, bahkan di dalam suatu perjanjian yang dibuat antara pengguna dan
penyedia barang/jasa tidak seimbang, sekalipun sudah diatur dalam Keppres Nomor
80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa yang dilengkapi dengan tujuh
Perpres, dan terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 selalu
menguntungkan pihak pengguna daripada penyedia barang/jasa di dalam suatu
perjanjian pengadaan barang/jasa. Dikatakan dirasa tidak seimbang, karena Pihak
Penggunalah yang menentukan isi perjanjian, sedangkan penyedia barang dan atau
jasa yang lain hanya bisa memilih mengikuti atau tidak, yang biasa disebut take it or
leave it.
Khusus untuk Perpres Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannya telah mengatur secara
lengkap dan cukup detail dalam proses cara pengadaan barang/jasa pemerintah,
namun kurang operasional terkait dengan tata cara penatausahaan atau penyusunan
Selain itu setiap Satuan Kerja atau Pejabat/Panitia Pengadaan Barang/Jasa
masih dituntut pula untuk memiliki pengetahuan di bidang pengelolaan
APBN/Keuangan Negara pada umumnya (mekanisme DIPA/Pencairan Dana dan
sebagainya), dan pengetahuan di bidang lainnya seperti jasa konsultasi,
konstruksi fisik, Teknologi Informasi dan lain-lain. Oleh karena itu diperlukan
panduan penatausahaan/pengadministrasian dalam proses pengadaan barang/jasa
pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan.
Untuk pelaksanaan pengadaan yang bersifat teknis, masih perlu
memperhatikan ketentuan lain yang ditetapkan oleh Menteri Teknis terkait seperti
Keputusan/Peraturan Menteri Kimpraswil, Kesehatan dan Keputusan/Peraturan
Pimpinan/Lembaga Lembaga lain yang menangani Teknologi Informasi misalnya.
Dalam pelaksanaannya, tidak semua pejabat Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat
Pembuat Komitmen atau Pejabat Pengadaan/Panitia Pengadaan Barang/Jasa
memahami ketentuan pengadaan barang dan jasa dengan baik.
Secara operasional belum dapat menerapkan ketentuan pengadaan barang/jasa
di masing-masing Satuan Kerjanya, mengingat ketentuan tentang pengadaan
barang/jasa belum operasional, kompleks, menimbulkan multi tafsir dan
pengaturannya tersebar di berbagai peraturan. Agar pengelolaan kegiatan oleh Satuan
Kerja dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi administrasi, keuangan maupun
fisik, disisi lain temuan atas hasil pemeriksaan dari aparat pengawasan dapat
diminimalkan, perlu disusun Modul Penatausahaan Pengadaan Barang/Jasa
Modul/Panduan Penatausahaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pada
Satuan Kerja ini diharapkan dapat dijadikan bahan referensi bagi Satuan Kerja
Kementerian Negara dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa termasuk Pengadaan
Tanah dan Pengelolaan Keuangan pada umumnya.
Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kegiatan pengadaan barang/jasa
yang dibiayai dengan APBN/APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola
maupun oleh penyedia barang/jasa;
Pengertian di atas memberikan penjelasan bahwa pengadaan barang/jasa
pemerintah adalah kegiatan pengadaan barang/jasa yang menggunakan biaya
bersumber dari APBN dan/atau APBD yang dapat dilakukan:
a. Dengan cara swakelola, dan
b. Dengan menggunakan jasa penyedia barang/jasa
Prinsip dasar pengadaan barang/jasa pemerintah adalah:
a. Efisien, berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan
dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam
waktu sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan;
b. Efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang
telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai
dengan sasaran yang ditetapkan;
c. Terbuka dan bersaing, berarti pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi
penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui
memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang
jelas dan transparan;
d. Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan
barang/jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi,
hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa, sifatnya terbuka bagi
peserta penyedia barang/jasa yang berminat serta bagi masyarakat luas pada
umumnya;
e. Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua
calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan
kepada pihak tertentu, dengan cara dan atau alasan apapun;
f. Akuntabel, berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun
manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan
pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang
berlaku dalam pengadaan barang/jasa.27
Panitia pengadaan wajib dibentuk untuk semua pengadaan dengan nilai di atas
Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Untuk pengadaan sampai dengan nilai Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dilaksanakan oleh panitia atau pejabat
pengadaan, dapat dilaksanakan oleh Unit Layanan Pengadaan (Procurement Unit).
Anggota panitia pengadaan/pejabat pengadaan/anggota unit layanan
pengadaan berasal dari pegawai negeri, baik dari instansi sendiri maupun instansi
27 Pasal 3 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan