Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Oleh:
SITI AISYAH
NIM: 103070029161FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(Pendekatan Analisis Transaksional)
Skripsi
Diajukan kepada Fakuitas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat
memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S. Psi)
Pembimbing I
NIP. 150 238 773
Oleh:
SIT! AISYAH
N!M : 103070029161
Di Bawah Bimbingan
M. Si
Pembimbing II
セ@
Yufi Adriani, M.\)Si
FAKUL.TAS PSIKOLOGI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Skripsi yang berjudul l-IUBUNGAN ANT ARA POLA KOMUNIKASI ORANG TUA
-REMAJA DENGAN KONSEP DIRI -REMAJA (Pendekatan Analisis Transaksional) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jal<arta pada tanggal 27 Desember 2007. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Jakarta, 27 Desember 2007 Sidang Munaqasyah
Ketua Mer Jgkap Anggota ' Sekretaris Merangkap Anggota
Penguji I
Yunita Faela l\lisa, MllSi NIP. 150368748
Pembimbing I
Anggota
(
/
Penguji II
Dra. Zahrotun 1 a ah M.Si.
NIP. 150 38 773
Pembimbing II
セセlM
"CJ"ufaftkfi,h kfi,mu perhatiftan, 6agaimana}Illah tefah mem6uat
perumpamaan ftaumat yang
V。ゥセ@Seperti pohon yang
V。ゥセ@akfi,mya teguh aan ca6angnya (menjufang)
kg
fangit
"
"<Dan perumpamaan kfi,umat yang 6uruftseperti pohon yang
Vオイオセ@
yang tefah cfica6ut aengan aftar-aftarnya aari pennuftaan
Vオュセ@
titfaftaapat tetap (tegaRJ secfikjtpun
"
(QS. Ibrahim:
24
dan
26)
"You don't think what you are, but you
Karya ini ku persembahkan untuk
ayah dan umi tersay·ang
(C) Siti Aisyah
(B) Desember 2007
(D) Hubungan Antara Pola Komunikasi Orang Tua - ャセ・ュ。ェ。@ Dengan
Konsep Diri Remaja (Pendekatan Analisis Transaksional)
(E) xiv+82 halaman
(F) Remaja adalah fase yang penting dalam kehidupan seseorang. Dalam
fase ini seseorang bertransisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Dalam masa transisi itu remaja mengalami banyak perubahan dan peralihan yang akhirnya menimbulkan
permasalahan-permasalahan baru yang tidak mereka alami ketika mereka masih kanak-kanak (Hurlock, 1980). Dalam transisi tersebut remaja juga mulai melepaskan peran orang tua dalam kehidupannya padahal dalam kenyataannya mereka tidak bisa sepenuhnya melepaskan peran itu sehingga yang timbul adalah konflik antara orang tua dan remaja. Pada saat-saat seperti ini komunikasi yang baik antara remaja dan orang tua sangat diperlukan karena remaja sebenarnya
memerlukan bimbingan orang tua untuk membantu menghadapi masalahnya. Penyelesaian pada masing-masing orang tua berbeda dan akan menimbulkan persepsi tersendiri pada cliri anak. Reaksi yang ditampilkan pada orang tua baik pada konflik antara orang tua dan remaja maupun permasalahan remaja dalam kehidupan sehari-hari mereka adalah bentuk komunikasi yang pada analisis transaksional disebut sebagai belaian atau sentuhan yang sifatnya bisa verbal, nonverbal atau konta"k fisik (Corey, 2003). Belaian itu akan menjadi proses transaksi yang selanjutnya menjadi pola komunikasi antara orang tua dan remaja. Ada tiga macam transaksi yang terjadi yaitu transaksi melengkapi, bersilang dan tersembunyi. Masing-masing transaksi akan menimbulkan dampak yang berbeda pada anak yang beranjak remaja, semua penilaian dalam transaksi yang diterima oleh remaja akan terinternalisasi dalam diri remaja karena orang tua adalah lingkungan terdekat pada remaja dan itu semua akan membentuk konsep diri pada remaja karena lingkungan keluarga menjadi salah satu faktor yang menentukan perkembangan kepribadian seseorang.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.
lnstrumen pengumpul data yang digunakan adalah skala pola
komunikasi yang mengacu pada transaksi-transaksi antara manusia yang dikemukakan oleh Eric Berne dan skala konsep diri yang mengacu pad a ciri-ciri konsep diri positif dan negatif yang dikemukakan oleh V1rilliam D Brooks dan Phillip Emmert.
Teknik pengolahan dan analisa data dilakukan de•ngan analisa statistik yaitu korelasi pruduct moment dari pearson unt.uk menguji validitas item, Alpha Cronbach untuk menguji reliabilitas instrumen pengumpul
data, dan contingency coeficient untuk pengujian hipotesis penelitian.
Jumlah item valid untuk skala pola komunikasi sebanyak 49 item dan jumlah item valid untuk skala konsep diri sebanyak 46 item. Adapun reliabilitas skala pola komunikasi adalah 0,945, reliabilitas skala
konsep diri 0,934. Berdasarkan analisis contingency coeficient
terhadap hipotesis yang diajukan, diperoleh hasil
:I
hitung (5,42)>:I
tabel (9,49) sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan yangsignifikan antara pola komunikasi orang tua - remaja dengan konsep diri remaja. Saran yang diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah, sebaiknya sample yang diambil lebih bervariasi sehingga data yang didapat bisa lebih beragam.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, karunia serta kasih sayangnya kepada penulis sehingga karya ini
dapat diselesaikan. Shalawat dan salam tidak lupa penulis haturkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi panutan dan inspirasi seluruh
umat manusia.
Karya ini tidak muncul begitu saja, banyak pihak yang telah membantu
sehingga penulis bisa menyelesaikannya. Tidak sedikit kekurangan dan
kesulitan yang penulis temui tetapi penulis tetap seman9at dan orang-orang
disekitar penulislah yang dengan setia memotivasi penulis. Maka dengan
bangga penulis ingin menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Yang tercinta dan teristimewa untuk kedua orang tuaku H.Salim Na'i
dan Hj.Muzdalifah yang tidak lelah memberikan doa, dukungan dan
kasih sayang kepada penulis. Harapan mereka untuk melihat penulis
meneyelesaikan studinya dan menjadi orang yang berhasil menjadi
motivasi terbesar penulis.
2. lbu Ora. Hj Netty Hartati, M.Si. Oekan Fakultas Psikologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan dosen pembimbing Akaclemik, Bapak. Miftahuddin, M.Si.
3. lbu Ora. Zahrotun Nihayah, M.Si. Pembantu Oekan Bidang Akademik
clan Pembimbing I yang selalu memberikan perhal:ian, dukungan dan
bimbingan kepacla penulis untuk menyelesaikan skripsi.
4. lbu Yufi Aclriani M.Si sebagai Pembimbing II, ditengah tugasnya
mengemban amanah menjadi calon ibu tetap setia memberikan saran
dan kritik untuk penulis serta selalu memberikan motivasi kepada
bersama) 4 tahun yang telah kita torehkan atas nama persahabatan
semoga menjadi hal indah untuk di pertahankan dan menjadi
kenangan untuk kita ... sela11anya.
7. Untuk yang istimewa Dedi Fernando atas dukungan, doa dan
perhatian yang indah dan rulus.
8. Teruntuk sahabat specialku Sun, Nisa, Farah, Fitri, Laila, Ratna,
Rahmi, Yulisa, Faqih, lbnu. Ashry, Wisnu, Adang dan teman-teman
kelas D lainnya atas canda. tawa, dan kebahagiaan selama 4 tahun.
"Kos Ceria" Lisma, Farah, Rara, untuk kebersamaan selama 4 tahun.
Sahabat klasikku Prita, Fir.a untuk support jarak jauh. Juga untuk Ria,
Elham, Ridwan.
9. Kepada pihak SMAN 3 DeJok khususnya lbu Ora. Hj. Meirilyn TP
sebagai Guru BK yang telah menyediakan tempat kepada penulis
untuk melakukan ー・ョ・ャゥエゥRセ@ dan juga kepada siswa/siswi SMA Negeri
3 Depok yang telah bersecia menjadi responden penelitian.
10. Untuk Mbah dan komputer-komputernya yang sud ah membantu
penulis.
Penulis berharap skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi diri penulis dan
pembaca.
Jakarta, 27 Desember 2007
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN PENGESAHAN
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... ... ... v
ABSTRAKSI . .. . ... ... . . .. . . .. . .. ... . . .. . .. . .. . . ... .. ... .. . .. .. ... ... ... vi
KAT A PENGANT AR . . .. . .. . .. . . . .. . . .. .. .. . . ... . . . .. . .. .. .. .. . .. .. . . .. .. .. .. ... ... viii
DAFT AR ISi ... x
DAFT AR T ABEL . . .. . . .. . . .. . . .. . . .. . . ... . . ... ... .. . .. ... xiii
DAFT AR LAMPI RAN . . . .. . . .. . . . .. . .. .. . . . .. . . .. ... . . .. ... . .. .. ... ... . ... xiv
BAB1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah . . . . .. . . ... . . .. .. . . .. .. ... .. 1
1.2. ldentifikasi Masalah ... ... 9
1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah .. . .. ... ... .. . 9
1.3.1 Batasan Masalah ... 9
1.3.2 Rumusan Masalah ... 10
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11
1.4.1 Tujuan penelitian ... 11
1.4.2 Manfaat Penelitian ... 11
1.5. Sistematika Penulisan .... . . .. . . .. . ... ... ... .. ... ... ... 11
2.1.3 Proses Pembentukan Konsep Diri ... 20
2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri .... 22
2.2 Pola Komunikasi Antara Orang Tua dan Remaja Menurut Pendekatan Analisis Transaksional ... ... 29
2.2.1 Jenis-Jenis Transaksi Dalam /\nalisis Transaksional 29 2.2.2 Stroke (Belaian) ... 32
2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Keluarga ... 34
2.2.4 Komunikasi Antara Orang Tua - ャセ・ュ。ェ。@ Dalam Keluarga Berkaitan dengan Analisis Transaksional 35 2.3 Masa Remaja ... 38
2.3.1 Remaja ... 38
2.3.2 Tahapan Remaja ... ... 40
2.3.3 Kebutuhan-Kebutuhan Khas Remaja ... 42
2.3.4 Pentingnya Pemenuhan Kebutuhan ... 45
2.4 Kerangka Berpikir ... 46
2.5 Hipotesis ... 49
BAB 3 METODOLOGJ PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 50
3.1.1 Pendekatan Penelitian ... 50
3.2.2 Definisi Operasional ... ... 52
3.3 Pengambilan Sampel ... 53
3.3.1 Populasi dan Sampel .. . . .. .. ... .. .. . .... .. ... ... 54
3.3.2 Teknik Pengambilan Sampel ... 55
3.4 Pengumpulan Data . ... . . ... .. . .. . . .. . . . .. . . ... . . ... ... 56
3.4.1 Metode dan lnstrumen Penelitian ... 56
3.4.2 Uji lnstrumen Penalitian ... ... 58
3.4.3 Uji Persyaratan ... ... ... ... 60
3.4.4 Uji Hipotesis ... ... ... 60
3.5 Prosedur Penelitian ... ... . 61
BAB 4 PRESENTASI DAN ANALISIS DATA 4.1 Gamba ran Um urn Respond en .. ... 63
4.2 Uji lnstrumen Penelitian ... 64
4.2.1 Hasil Uji Validitas Skala Pola Komunikasi ... 65
4.2.2 Hasil Uji Validitas Skala Konsep Diri ... 66
4.2.3 Hasil Uji Reliabilitas Skala Pola Komunikasi dan Skala Konsep Diri .. . .. . .... .. . . . .. . . .. . ... .. . . .. ... .... ... 68
4.3 Uji Persyaratan . . . .. . . ... .. ... .. . . . ... .. .... ... .... ... 69
4.3.1 Uji Normalitas ... ,... 69
4.3.2 Uji Homogenitas ... 71
BABS PENUTUP
5.1 Kesimpulan ... 78
5.2 Diskusi ... 78
5.3 Saran ... 81
DAFT AR PUST AKA
Tabel 3.1
Tabel 3.2
Tabel 3.3
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Table 4.3
Table 4.4
Table4.5
Table 4.6
Tabel 4.7
Tabel 4.8
Tabel 4.9
Tabel4.10
Tabel 4.11
Tabel 4.12
Blue Print Skala Pola Komunikasi Berdasarkan Teori Eric Berne
Blue Print Skala Konsep Diri Berdasarkan Teori Willian D
Brooks dan Philip Emmert
Nilai Kategori Jawaban
Gambaran Umum Responden Berdasarkan Usia
Gambaran Umum Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Hasil Uji lnstrumen Item yang Valid dari Skala Pola Komunikasi
Blue Print Skala Pola Komunikasi Setelah Uji Instrument
Hasil Uji lnstrumen Item yang Valid dari Skala Konsep Diri
Blue Print Skala Konsep Diri Setelah Uji lnstrumen
Norma Reliabilitas
Klasifikasi Responden berdasarkan Pola Komunikasi
Skor Konsep Diri
Tabel Fo
Tabel fh
[image:14.595.43.445.140.489.2]Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
: Data Mentah Hasil Tryout Pola Komunikasi
: Data Mentah Hasil Tryout Konsep Diri
: Uji Validitas dan Reliabilitas Pola Komunikasi
Lampiran 4 : Uji Validitas dan Reliabilitas Konsep Diri
Lampiran 5 : Skala Penelitian
Lampiran 6 : Data Mentah Hasil Penelitian Pola Kornunikasi
Larnpiran 7 : Data Mentah Hasil Penelitian Konsep Diri
Lampiran 8
Lampiran 9
Lampiran 10
Uji Normalitas
Uji Homogenitas
Tabel Nilai Z-Score
Lampiran 11 : Tabel Nilai T-Score
Lampiran 12 : Tabel Klasifikasi Pola Komunikasi
Lampiran 13 : Surat lzin Penelitian Fakultas Psikologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Lampiran 14 : Surat Keterangan Telah Melakukakan Penelitian di SMA
[image:15.595.38.432.158.480.2]1.1. Latar Belakang Masalah
"FENOMENA remaja yang melakukan bunuh diri akhir-akhir ini mencuat,
sebagai contoh dalam sepekan ini lima orang tewas gantung diri ("PR",
26/7/06) yang diantaranya para remaja. alasan mereka melakukan bunuh diri
sangatlah beragam di antaranya ada yang tidak mampu membayar uang
SPP, ada yang merasa tidak diperhatikan orang tuanya !antas melakukan
bunuh diri, ada pula yang melakukan bunuh diri karena tidak naik kelas."
(Pikiran Rakyat Bandung, Jum'at 11 Agustus 2006)
Remaja adalah fase yang penting dalam kehidupan seseorang, dalam fase
ini seseorang bertransisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa
dimana dalam masa transisi itu remaja mengalami banyak perubahan dan
peralihan yang akhirnya menimbulkan permasalahan-permasalahan baru
yang tidak mereka alami ketika mereka masih kanak-kanak, seperti yang di
ungkapkan oleh Hurlock (1980). Selain permasalahan baru, perubahan pada
remaja juga menimbulkan berbagai kebutuhan baru yang harus dipenuhi baik
oleh remaja maupun oleh lingkungan di sekitar remaja tersebut tinggal dalam
hal ini lingkungan terdekat remaja yaitu keluarga.
Banyak aspek yang meliputi perubahan pada remaja salah satunya menurut
Hurlock (1980) adalah remaja bersikap ambivalen terhadap setiap
perubahan, bahwa mereka menginginkan dan menuntut kebebasan tetapi
mereka takut untuk bertanggung jawab dan akhirnya mereka ragu akan
kemampuan mereka untuk mempertanggung jawabkan tingkah laku mereka.
Keinginan mereka akan kebebasan inilah yang kadang memicu pertengkaran
dengan orang tua karena tuntutan remaja akan kebebasan kadang membuat
orang tua merasa tidak nyaman atau juga marah. lni mungkin disebabkan
karena kadang orang tua memposisikan diri mereka sebagai yang lebih tahu
dari pada anak dan orang tua belum mau melepaskan BAセ・ョァァ。ュ。ョB@ mereka
dari anak-anaknya.
Menurut Collin dan Luebker (1993), orang tua mungkin nampak frustasi
karena mereka berharap remaja mau menuruti nasihat rnereka, meluangkan
waktu bersama keluarga, dan tumbuh melakukan apa yang benar.
Sedangkan remaja cenderung melakukan hal yang sebaliknya diinginkan
oleh orang tuanya. lni mungkin disebabkan akibat perubahan sosial yang
dialami remaja, dimana remaja mempunyai nilai-nilai baru yang di perolehnya
dari lingkungan sosialnya khususnya peer group. Pad a rnasa remaja
kedekatan dengan teman sebaya juga menjadi hal yang penting, kebanyakan
remaja lebih nyaman berada dengan komunitas teman sebayanya dibanding
seolah-olah menemukan jati diri mereka. Hal ini senada dengan penelitian
yang dilakukan oleh sarjana psikologi J.S Volpe pada tahun 1991 di
Washington DC dengan responden remaja (10-24 tahun} di dapati hasil
bahwa perasaan positif dan keterbukaan remaja terhadap teman sebayanya
lebih besar di banding dengan orang tua. Dengan berclasarkan kenyamanan
itulah remaja bertindak berdasarkan pendapat teman-temannya, misalnya
saja pada masalah pakaian mereka akan lebih nyaman bila mengikuti aturan
yang berlaku dalam kelompok mereka sedangkan belum tentu aturan
kelompok mereka adalah aturan yang sama di terapkan oleh orang tua
mereka sehingga akhirnya memicu pertengkaran antara orang tua dan anak.
Menurut Steinberg (1993), konflik antara orang tua dan remaja memang
cenderung meningkat pada masa remaja ini. Sesuai dengan penalaran logis
dan idealisme yang semakin berkembang sesuai dengan perkembangan
kognitifnya, remaja juga mempunyai stanclar ideal tentan9 orang tua sesuai
dengan harapannya dan orang tuapun mempunyai harapan-harapan
tersendiri untuk anaknya yang beranjak remaja. Pandangan yang berbeda
antara orang tua dan anak inilah yang kadang menimbulkan konflik antara
orang tua dan remaja dan dalam penyelesaiannya orangtua yang jengkel
akhirnya menumpahkan ekspresi kemarahannya dan remaja yang menolak
kemarahan orangtua akan semakin marah dan komunikasi menjadi
melakukan penyelesaian masalah dengan caranya sendiri misalnya dengan
lari dari rumah, berkeliaran dimal-mal, pulang larul malarn alau bahkan
lerlibal dalam obal-obal lerlarang. Harapan-harapan orang lua seharusnya di
sampaikan secara pcisilif melalui cara berkomunikasi yang baik, telapi yang
lerjadi juslru sebaliknya bila anak mereka lidak menuruli apa yang mereka
perinlahkan orang lua umumnya akan berusaha mengendalikannya dengan
keras dan memberi banyak lekanan kepada remaja agar menlaali
slandar-slandar orang lua.
Dari beberapa artikel di alas dapal dilihal akibal dari permasalahan yang
dialami remaja saal ini dan di dalam artikel lersebul selanjulnya dijelaskan
kemungkinan penyebab perilaku remaja yang mengarah pada perilaku kabur
dari rumah dan lebih ekslrimnya bunuh diri. Para psikolog yang
mengomenlari kasus-kasus lersebul menyebutkan salah salunya adalah
lenlang komunikasi anlara orang lua dan remaja tersebut. Mengapa hal
lersebul dapal berpengaruh kepada perilaku ekstrim remaja dan remaja
seperti apa yang melakukan hal lersebut (kabur dari rumah atau bun uh diri).
Seperti yang sudah disebutkan di alas, penyelesaian atas konflik alau
permasalahan yang dialami remaja pada masing-masing keluarga adalah
berbeda dan itu lerganlung pada pola asuh masing-masing keluarga dalam
sebagai bentuk komunikasi orang tua dan remaja. Dalam analisis
transaksional reaksi yang diterima oleh remaja disebut sebagi belaian atau
sentuhan karena itu merupakan bentuk pengakuan atau perhatian yang
diberikan oleh orang tua (Corey, 2003). Belaian diartikan sebagai perlakuan
dan itu tidak hanya sebatas sentuhan fisik tetapi bisa berupa verbal dan
nonverbal seperti senyuman, kerlingan mata, isyarat dengan mata atau
kepala dan bentuk lain sebagai bentuk pengakuan. Berne menyebut itu
sebagai recognition-hungeryaitu kebutuhan orang dewasa untuk menerima
belaian (stroke). Jadi tidak hanya anak kecil saja yang membutuhkan
pengakuan berupan pelukan, atau sekedar sentuhan sebagai tanda
menguatkan tetapi remaja juga membutuhkannya, apalagi pada masa-masa
yang labil dan sulit yang harus dilewati.
Selanjutnya belaian itu akan menjadi proses transaksi karena nantinya tidak
hanya orang tua yang memberikan reaksi, remaja akan rnenganggap reaksi
yang diberikan orang tua sebagai stimulus dan membalasnya dengan respon
dan itu semua akan membentuk pola komunikasi antara orang tua dan
remaja. Transaksi yang terjadi antara orang tua dan remaja tergantung
bagaimana mereka menampilkan keinginan mereka. Belaian yang terdapat
dalam transaksi ikut membantu berlanjut atau tidaknya sebuah transaksi.
Transaksi dapat berjalan dengan baik atau malah terputus sehingga tidak
Pada saat seperti inilah segala perasaan muncul sebagai hasil dari interaksi
dalam transaksi tersebut. Tidak jarang karena diawali oleh konflik maka yang
muncul adalah perasaan negatif seperti pe-asaan terabaikan, merasa ditolak,
marah, sedih dsb. Semua itu berlanjut pada perilaku ekstrim seperti pada
artikel di atas, selanjutnya terdapat dilihat pada artikel berikut yang
menyebutkan bahwa "Bunuh diri pada rerraja era! kaitannya dengan
kekacauan dalam keluarga yang berkepan:angan, kekerasan (verbal, motorik
dan emosional) dalam keluarga, penolakan anak oleh orang tua serta
ketidakmampuan orang tua mengembangkan keterampilan anak dalam
mengatasi berbagai masalah stresor. Anak dan remaja berisiko lebih besar
untuk bunuh diri bila mereka dibanjiri oleh situasi yang kacau, penganiayaan
dan pengabaian. Hasil dari eksposure pen;aniayaan dan kekerasan pada
anak dan remaja terus menerus dapat merampilkan perilaku agresif,
mencederai diri dan perilaku bunuh diri" (SJara Pembaruan, Kamis 2
September 2004)
Semua itu mungkin dapat dijelaskan ウ・「。セN。ゥ@ hasil dari yang didapat dari
transaksi yang terputus dan remaja mencai jalan keluarnya sendiri. Semua
penilaian dalam transaksi yang diterima oleh remaja akan terinternalisasi
dalam diri remaja karena orang tua adalah !ingkungan terdekat pada remaja
dan itu semua akan membentuk konsep din pada remaja karena lingkungan
kepribadian seseorang. Transaksi yang sehat akan menghasilkan perasaan
yang baik pada remaja dan itu akan membentuk konsep diri yang positif,
remaja akan mengembangkan sifat-sifat seperti kepercayaan diri, harga diri
dan kemampuan untuk melihat dirinya secara re.alistis dan kemudian mereka
dapat menilai hubungan dengan orang lian sec2ra tepat dan ini
menumbuhkan penyesuaian sosial yang baik (Hurlock, 1999). Sebaliknya
transaksi yang buruk akan menimbulkan perasaan yang buruk pula pada
remaja dan akan membentuk konsep diri yang negatif, remaja akan
mengembangkan perasaan tidak mampu dan rendah diri, mereka ragu dan
kurang percaya diri. Hal ini akan menumbuhkan penyesuaian pribadi sosial
yang buruk (Hurlock, 1999).
Pada masa remaja awal, sikap-sikap menentang yang dimunculkan oleh
remaja memang menjadi ciri khas mereka kare11a mereka ingin meninggalkan
peran mereka sebagai anak dan berusaha tidak tergantung pada orang tua
seperti yang disebutkan oleh Konopka dalam Pi'-unas. Begitu juga dengan
konsep diri mereka, semua hal yang terekam p2da masa kecil mereka dari
lingkungan keluarga akan dimunculkan sebagai konsep diri, tetapi mungkin
konsep diri pada remaja awal belum stabil dikarenakan banyaknya
perubahan dan peralihan pada masa remaja awal tersebut. Pada masa
remaja madya dan akhir mereka diharapkan telah mempunyai konsep diri
positif atau negatif untuk dapat memaksimalkan potensi yang ada dalam
dirinya. Menurut Atkinson (dalam Hendriati Agustiani, 2006) konsep diri yang
labil itu umum dialami pada remaja karena masa transisi dari peran anak ke
dewasa tapi jika kalabilan tersebut berdampak buruk karena remaja tersebut
tidak dapai menanganinya dengan baik maka perlu peran orang dewasa
dalam hal ini orang tua untuk membantu anak mendapatkan konsep diri yang
ideal.
Orang tua memang berperan untuk membemuk konsep diri seseorang
karena orang tua adalah lingkungan terdekai seorang anak ketika mereka
dilahirkan di dunia. Hal-ha! yang dilakukan orang tua akan direkam oleh anak
sebagai caranya berperilaku dan bersikap, dalam hal ini belaian yang
dirasakan oleh anak akan membentuk penilaian anak terhadap dirinya sendiri
baik yang positif maupun negatif. Anak yang mempunyai konsep diri negatif
akan mewujudkan penilaian negatif dalam dirinya pada perilaku negatif juga
seperti seperti kabur dari rumah dan melakukan hal-hal yang ekstrim seperti
bunuh diri. Apalagi pada usia remaja dimana konflik antara orang tua dan
remaja sedang berkembang. Berbagai fenomena bunuh diri pada anak
banyak terjadi belakangan ini dan menurut ketua KPAI Giwo Rubianto
Wiyogo salah satu penyebabnya adalah adanya komunikasi yang kurang
baik antara orang tua dan anak dan perlakuan yang kuran9 baik itu dapat
membentuk konsep diri yang negatif pada anak dimana anak merasa
terabaikan atau tidak dihargai oleh orang tuanya dan anak akan melakukan
sesuatu untuk menarik perhatian orang tuanya.
1.2. ldentifikasi Masalah
Dalam penelitian ini peneliti menemukan beberapa permasalahan yang
diidentifikasi yaitu :
1. Apakah pola komunikasi mempengaruhi terbentuknya konsep diri?
2. Bagaimana pola komunikasi secara umum yang diterima oleh remaja saat
ini?
3. Bagaimana konsep diri remaja pada usia remaja khususnya remaja
mad ya?
4. Apakah pendekatan transaksional analisis efektif dalam komunikasi
antara orang tua dengan remaja?
1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.3.1. Batasan Masalah
• Pola Komunikasi
Pola komunikasi yang dimaksud adalah transaksi dalam teori analisis
transaksional dimana ketika orang bereaksi terhadap orang lain dengan
analisa transaksional disebut sebagai stroke atau belaian. Dua atau lebih
stroke akan menimbulkan transaksi. Semua transaksi dapat digolongkan
ke dalam transaksi yang komplementer, bersilang dan tersembunyi
(ulterior) (Eric Berne dalam Abu Bakar Baraja, 2004).
• Konsep Diri
Konsep diri yang dimaksud ciri konsep diri positif dan negatif yang
sampaikan oleh William D. Brooks dan Phillip Emmert (dalam Rakhmat,
2002). Ciri konsep diri positif yaitu : yakin mampu mengatasi masalah,
merasa setara dengan orang lain, rendah hati, menyadari bahwa tidak
semua keinginannya dapat terpenuhi, mampu memperbaiki diri. Ciri
konsep diri negatif yaitu : peka terhadap kritik, responsif terhadap pujian,
hiperkritis dengan orang lain, merasa tidak disenangi oleh orang lain,
bersifat pesimis.
• Remaja
Remaja madya atau masa remaja pertengahan yang berusia 15-17 tahun,
masih tinggal bersama orang tua dan masih memiliki orang tua
1.3.2. Rumusan Masalah
"Apakah ada hubungan yang signifikan antara pola komunikasi orang tua
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1. Tujuan penelitian
Untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan yang signifikan antara pola
komunikasi orang tua - remaja dengan konsep diri pada remaja.
1.4.2. Manfaat Penelitian
1.4.2.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam keilmuan
psikologi khususnya psikologi perkembangan dan psikologi komunikasi.
1.4.2.2. Manfaat Praktis
• Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai tambahan
pengetahuan bagi para orang tua agar dapat berkomunikasi yang baik
dengan anaknya.
• Pengetahuan tambahan bagi remaja agar dapat menjalin komunikasi
yag baik dengan orang tua sehingga gap komunikasi dapat di hindari.
1.5. Sistematika Penulisan
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Pendahuluan
Terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan
masalah, perumusan masalah penelitian, tujuan serta manfaat
penelitian, dan sistematika penulisan.
Kajian Teoritis
Terdiri dari konsep diri, pengertian konsep diri, konsep diri positif
dan konsep diri negatif, proses pembentukan konsep diri,
faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri, pol81 komunikasi antara
orang tua dan remaja menurut pendekatan analisis transaksional,
jenis-jenis transaksi dalam analisis transaksional, stroke (belaian),
faktor-faktor yang mempengaruhi kornunikasi keluarga,
komunikasi antara orang tua dan remaja dalarn keluarga berkaitan
dengan analisis transaksional, masa remaja, pengertian remaja,
tahapan remaja, kebutuhan-kebutuhan khas remaja, pentingnya
pemenuhan kebutuhan, kerangka berpikir dan pengajuan
hipotesis.
Metodologi Penelitian
Terdiri dari jenis penelitian, pendekatan penelitian, metode
penelitian, variabel penelitian, definisi variabel, definisi
Bab4
Bab 5
pengambilan sampel, pengumpulan data, prosedur uji instrumen
penelitian dan metode analisa data.
Presentasi dan Analisis Data
Terdiri dcri gambaran umum responden, uji instrumen penelitian,
uji persy;:;ratan, uji hipotesis dan hasil hipotesis
Kesimpulan, Diskusi dan Saran
2.1. Konsep
Diri
BAB 2
KAJIAN TEORITIS
2.1.1. Pengertian Konsep Diri
Konsep diri adalah gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya yang
terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi
dengan lingkungan. Konsep diri bukan faktor bawaan melainkan berkembang
dari pengalaman yang didapat oleh indiviclu. Dasar dari konsep cliri individu
ditanamkan pada saat-saat dini kehidupan anak dan menjadi dasar yang
mempengaruhi tingkah lakunya di kemudian hari.
William H. Fits mengemukakan bahwa konsep diri merupakan aspek penting
dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka
acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan. la
menjelaskan konsep diri secara fenomenologis, dan mengatakan bahwa
ketika indiviclu mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya,
memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi tentang dirinya,
untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya seperti yang ia lakukan
terhadp dunia di luar dirinya (Fits dalam Hendriati Agustiani, 2006:138-139).
Carl R Rogers berpendapat bahwa konsep diri menyangkut persepsi diri yang
menunjuk bagaimana seseorang memandang dirinya, menilai dirinya, menilai
kemampuannya dan bagaimana ia berpikir tentang dirinya. Di samping itu
konsep diri juga menyangkut bagaimana seseorang mempersepsikan
hubungannya dengan orang lain dan berbagai macam aspek dalam
kehidupan serta nilai-nilai yang menyertai persepsi itu.
William D. Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai persepsi diri sendiri
tentang aspek fisik, sosial, dan psikologis yang individu peroleh melalui
pengalaman dan interksinya dengan orang lain (Savitri Ramadhani, 2006:85).
Dimensi dari konsep diri adalah apa yang diketahui tentang diri sendiri, dalam
benak seseorang ada satu daftar julukan yang menggambarkan dirinya :
Usia, Jenis kelamin, kebangsaan, suku, pekerjaan dan sebagainya. Jadi,
konsep diri seseorang dapat didasarkan pada "asas dasa(
2.1.2. Konsep Diri Positif dan Konsep Diri Negatif
Pandangan seseorang tentang dirinya akan jatuh diantara kedua kutub
perbedaan itu, individu bisa lebih mengatahui secara lebih jauh tentang
konsep diri.
a. Konsep Diri Positif
Jika seseorang menempatkan nilai tinggi pada sifat rendah hati, berarti ia
berasumsi bahwa suatu konsep diri yang benar-benar positif adalah suatu
kuantitas yang agak berbahaya. Dasar dari konsep diri yang positif bukanlah
kebanggaan yang besar tentang diri tetapi lebih berupa penerimaan diri. Dan
kualitas ini lebih mungkin mengarah pada kerendahan hati dan
kedermawanan dari pada keangkuhan dan keegoisan.
Menurut William D. Brooks dan Philip Emmert orang yan!J memiliki konsep
dari positif ditandai dengan lima hal (Jalaluddin Rakhmat, 2002:105), yaitu:
1. la yakin akan kemampuannya mengatasi masalah
2. la merasa setara dengan orang lain
3. la menerima pujian tanpa rasa malu
4. la menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan,
keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat.
5. la mampu memperbaiki dirinya, karena ia sangflLIP mengungkapkan
aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha
Menurut D.E. Hamachek (Jalaluddin Rakhmat, 2002:10(3) menyebutkan
sebelas karakteristik orang yang mempunyai konsep diri positif yaitu :
1. Meyakini betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia
mempertahankan, walaupun menghadapi kelompok yang kuat tetapi ia
juga merasa dirinya cukup tangguh untuk mengubah prinsip-prinsip itu
bila pengalaman dan bukti-bukti baru menunjukan dirinya bersalah.
2. Bertindak berdaasarkan kebenaran yang diyakini namun dapat
menerima atau memahami sikap orang lain yang tidak menyetujui
tindakannya tersebut.
3. Realistis, tidak mencemaskan apa yang telah terjadi kemarin, apa
yang sedang dialami dan apa yang akan terjadi besok.
4. Memiliki keyakinan akan kemampuannya dalam rnengatasi masalah
dan yakin dapat menghadapi tersebut.
5. Tidak merasa rendah diri saat berhadapan denga orang lain meski
diakui adanya perbedaan.
6. Memiliki perasaan bahwa dirinya berguna untuk orang lain.
7. Menerima penghargaan dan pujian secara wajar.
8. Tidak membiarkan dirinya untuk dikuasai orang lain atau terlalu
didominasi oleh orang lain.
9. Menyatakan dengan wajar dorongan yang ada dalam dirinya atau
1 O. Mampu menikmati secara utuh setiap kegiatan yang dilakukannya dan
diaplikasikannya dalam berbagai kegiatan.
11. Memiliki kepekaan terhadap kebutuhan orang lain.
Seseorang dengan konsep diri yang positif akan memberikan banyak
kemuliaan dalam menjalin hubungan dengan orang lain, cukup objektif dalam
memberikan penilaian, berimbang antara keterlibatan emosi dengan
ketajaman pikirannya dalam memecahkan masalah. Dengan demikian
individu tersebut akan meletakkan harga dirinya sesuai clengan, realistis,
tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah.
Oleh karenanya orang clengan konsep diri positif akan lebih tepat
memberikan nilai keberartian dirinya. Orang dengan har9a diri rendah
menyebabkan kurang percaya diri, sehingga tidak efel<lif dalam pergaulan
sosial.
b. Konsep Diri Negatif
Ada dua konsep negatif, yaitu : (1) Pandangan seseorang tentang clirinya
sendiri benar-benar tidak teratur. Dia tidak memiliki perasaan kestabilan dan
keutuhan diri. Dia benar-benar tidak tahu siapa dirinya. K.onclisi ini umum dan
normal diantara para remaja. Konsep diri mereka kerap k:ali menjadi tidak
ke peran orang dewasa (Erikson, 1968). Tetapi pada orang dewasa hal itu
mungkin satu ketidak mampuan menyesuaikan. (2) Tipe kedua dari konsep
diri negatif hampir merupakan lawan dari yang pertama. Disini konsep diri itu
terlalu stabil dan terlalu teratur dan kaku. Mungkin karena dididik dengan
sangat keras, individu tersebut terciptakan ciri diri yang tidak mengijinkan
adanya penyimpangan.
Pada kedua tipe konsep diri negatif, informasi baru tentang diri hampir pasti
menjadi penyebab kecemasan, rasa ancaman terhadap diri. Tidak satupun
dari kedua konsep diri cukup bervariasi untuk menyerap berbagai macam
informasi tentang diri.
Menurut William D. Brooks dan Philip Emmert, ada empat tanda orang yang
memiliki konsep diri negatif (Jalaluddin Rakhmat, 2002:105), yaitu:
1. Peka terhadap kritik orang lain, ia sangat tidak tahan terhadap kritik
yang diterimanya, mudah marah, baginya koreksi sering kali dipersepsi
sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya.
2. Sangat responsive terhadap pujian, walaupun mungkin ia
berpura-pura menghindari pujian, ia tidak dapat menyembunyikan
antusiasmenya pada waktu menerima pujian, baginya segala macam
label yang menunjang harga dirinya menjadi pusat perhatian, bersifat
meremehkan apapun atau siapapun, mereka tidak bisa
mengungkapkan penghargaan atau kelebihan orang lain.
3. Orang yang konsep dirinya negatif cenderung merasa tidak disenangi
orang lain, merasa tidak diperhatikan, karena itu bereaksi pada orang
lain sebagai musuh, sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan dan
keakraban persahabatan, ia tidak akan mempersalahkan dirinya, tetapi
akan menganggap dirinya sebagi korban dari sistem sosial yang tidak
be res.
4. la akan cenderung bersikap pesimis terhadap kompetisi, seperti
terungkap dalam keengganannya untuk bersaing dengan orang lain
dalam membuat prestasi.
2.1.3. Proses Pembentukan Konsep Diri
Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan
seorang manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan
pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
konsep diri yang terbentuk. Sikap atau respon orang tua dan lingkungan akan
menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Oleh sebab
itu, seringkali anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang
keliru dan negatif, atau pun lingkungan yang kurang mendukung, cenderung
mempunyai konsep diri yang negatif. Hal ini disebabkan sikap orang tua yang
melecehkan, menghina, bersikap tidak adil, tidak pemah memuji, suka
marah-marah, dsb - dianggap sebagai hukuman akibat kekurangan,
kesalahan atau pun kebodohan dirinya, Jadi anak menilai dirinya
berdasarkan apa yang dia alami dan dapatkan dari lingkungan, Jika
lingkungan memberikan sikap yang baik dan positif, maka anak akan merasa
dirinya cukup berharga sehingga tumbuhlah konsep diri yang positif,
Konsep diri ini mempunyai sifat yang dinamis, artinya tidal< luput dari
perubahan, Ada aspek-aspek yang bisa benahan dalam jangka waktu
tertentu, namun ada pula yang mudah sekali berubah sesuai dengan situasi
sesaat Misalnya, seorang merasa dirinya pandai dan selalu berhasil
mendapatkan nilai baik, namun suatu ketika dia mendapat angka merah, Bisa
saja saat itu ia jadi merasa "bodoh", namun karena dasar keyakinannya yang
positif, ia berusaha memperbaiki nilaL
Sejalan dengan kemampuan persepsi dan pembedaan, lwnsep diri terbentuk
pula melalui interaksi individu dengan orang lain dan lingkungannya, Sullivan
menekankan pada pentingnya interaksi sosial dalam membentuk konsep diri
seseorang, Melalui interaksi dengan orang lain, seseorang mendapatkan
penilaian dirinya yang kemudian menjadi simbol,atau label bagi dirinya dan
menggunakan penilaian tersebut sebagai tolok ukur dalam berfikir dan
Konsep diri berkembang dari kontak antara anak dengan orang lain di
sekitarnya, yaitu dari apa yang mereka lakukan atau mereka katakan pada
anak tersebut, juga status apa yang didapat anak tersebut dalam kelompok
identifikasinya. Yang berpengaruh pada pembentukan konsep diri terutama
adalah orang-orang lain yang dianggap penting oleh individu (significant
people). Mula-mula orang yang dianggap penting adalah anggota keluarga
sendiri, tetapi setelah hubungan sosial anak meluas keluar, peran anggota
keluarga sebagai "significant people" akan digantikan oleh orang lain seperti :
kelompok sebaya (peer group), guru dan lainnya.
Adanya perkembangan konsep diri menunjukkan bahwa konsep diri
seseorang tidak langsung terbentuk dan menetap (stabil) tetapi suatu
keadaan yang mempunyai proses perkembangan dan masih dapat berubah.
Menurut Felker (1979), derajat kestabilan konsep diri yang tertinggi adalah
pada masa pra remaja dan tahap remaja akhir. Konsep diri mulai sulit
berubah pada masa remaja akhir yaitu usia 16-20 tahun. Pada usia ini
konsep diri seseorang sudah mantap karena konsep diri yang dibentuknya
sudah relatif menetap dan stabil.
2.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Sejalan dengan kemampuan persepsi dan pembedaan konsep diri, terbentuk
pada pentingnya interaksi dengan orang orang lain, individu mendapatkan
penilaian tetang dirinya yang kemudian menjadi label ba!;Ji dirinya yang
kemudian menjadi label bagi dirinya, dan menggunakan penilaian tersebut
sebagai tolak ukur dalam berfikir dan bertingkah laku (Jalaluddin Rakhmat,
2002: 101 ).
Hal ini juga didukung oleh pendapat Fits, menurutnya konsep diri seseorang
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut (Fits dalam Hendriati
Agustiani, 2006: 139):
• Pengalaman, terutama pengalaman interpersonal, yang memunculkan
perasaan positif dan perasaan berharga.
• Kompetensi dalam area yang dihargai oleh individu dan orang lain.
• Aktualisasi diri, atau implementasi dan realisasi dari potensi pribadi
yang sebenarnya.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri
seseorang adalah (Jalaluddin Rakhmat, 2002):
a. Orang Tua
Dalam hal informasi atau cermin tentang diri, orang tua memegang peranan
penting dan istimewa. Jika mereka secara tulus dan konsisten menunjukan
memandang dirinya pantas untuk dicintai, baik oleh orang lain maupun oleh
dirinya sendiri. Sebaliknya, jika dari orang tua anak tidak mendapatkan
kehangatan perhatian dan cinta, maka ia akan tumbuh sebagai individu yang
memiliki perasaan ragu-ragu apakah ia pantas dicintai dan diterima.
Jika seorang anak menghargai dirinya, maka ia akan melihat dirinya sebgai
individu yang berharga. Tetapi jika tanggapan orang tua terhadap dirinya
berupa kritikan, hukuman dan koreksian selalu, ia akan meyangkal
kebaikannya sebagai pribadi dan ia menjadi yakin bahwa ia pantas untul<
diperlakukan buruk. Mengkritik atau meyalahkan anak secara berlebihan
menimbulkan rasa bersalah dan malu lebih dari pada yang diperlukan untuk
membuat anak berubah.
Penilaian orang tua yang ditujukan kepada anak untuk sebagian besar
menjadi penilaian yang dipegang tentang dirinya. Harapan orang tua
terhadapnya dimasukkan kedalam cita-cita dirinya, jika ia tidak mampu
memenuhi sebagian dari harapan itu atau jika keberhasilannya tidal< diakui
oleh orang tuanya • maka anak akan mengembangkan rasa tidak mampu dan
akan memiliki harga diri yang rendah.
Dengan berbagai macam cara orang tua memberitahu tentang siapa
cemas dan merasa harus terus menerus dekat dengan anaknya, maka akan
mengahasilkan anak yang penakut dan merasa tidak aman. Orang tua yang
selalu menuntut dan tidak pernah puas dengan apapun yang dilakukan
anaknya, maka akan gaga! menumbuhkan rasa percaya diri atau
rnenurnbulilrnn pandangan positif dalam dirinya.
b. Orang Lain
Harry Stack Sullivan menjelaskan bahwa jilrn individu diterima orang lain,
dihormati, disenangi karena keadaan dirinya, individu akan cenderung
bersikap menghormati dan menerirna dirinya. Sebaliknya, bila orang lain
selalu meremehkan dirinya, menyalahkan dan menolaknya, ia akan
cenderung tidak menyenangi dirinya.
Tidak semua orang lain mempunyai pengaruh yang sama terhadap dirinya.
Ada yang paling berpengaruh, yaitu orang-orang yang paling dekat dengan
individu. George Herbert Mead menyebut mereka orang lain yang sangat
penting (significant others). Ketika individu masih kecil, mereka adalah orang
tua, saudara-saudaranya, dan orang yang tinggal satu rurnah dengannya.
Richard Dewey dan W.J. Humber menamainya orang lain yang dengan
mereka kita mempunyai ikatan emosional (affective others). Dari merekalah
penghargaan, pelukan mereka menyebabkan ia menilai dirinya secara positif.
Ejekan, cemoohan dan hardikan, membuat ia memandang dirinya secara
negatif.
c. Kelompok Rujukan (Reference Group)
Adapun yang mempengaruhi konsep diri individu selain orang lain adalah
kelompok rujukan. Kelompok rujukan yaitu kelompok secara emosional
mengingat individu dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep dirinya.
Dengan melihat kelompok rujukan ini, orang mengarahkan perilakunya dan
menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya. Maka individu cenderung
menjadikan norma-norma dalam kelompol< tersebut sebagai ukuran
perilakunya dan ia merasa sirinya sebagai bagian dari kelompok lengkap
dengan seluruh sifat-sifat dari anggota kelompok tersebut menurut
persepsinya.
d. Keyakinan Diri
Seperti telah disebutkan diatas bahwa persepsi dari orang atau pihak lain
terhadap seseorang akan membentuk persepsi orang tersebut terhadap
dirinya sendiri yang seiring dengan berjalannya waktu dapat berubah menjadi
konsep diri bagi yang bersangkutan. Hal tersebut menjad'1 serupa dengan self
sugesti yang akhirnya diyakini kebenarannya. Dengan demikian berpikir
atau membangun terhadap seseorang dan akan membentuk konsep diri yang
positif pula.
Di samping faktor-faktor tersebut ada pula faktor spesifik lainnya yang
berkaitan erat dengan konsep diri yang bagaimana yang dikembangkan oleh
seorang remaja. Menurut Hurlock (1980) faktor-faktor yang mempengaruhi
konsep diri remaja adalah:
a. Usia Kematangan
Remaja yang matang lebih awal, akan ュ・ョァ・ュ「。ョセjォ。ョ@ konsep diri
yang menyenangkan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik.
Sebaliknya remaja yang keatangannya terlambat, maka akan cenderung
kesulitan dalam menyesuaikan diri.
b. Penampilan Diri
Penampilan diri yang berbeda membuat remaja merasa rendah diri
meskipun perbedaan yang ada menambah daya tarik fisik. Tiap cacat
dianggap sebagai suatu sumber yang memalukan yang mengakibatkan
rasa rendah diri. Sebaliknya daya tarik fisik menimbulkan penilaian yang
menyenangkan tentang cirri kepribadian dan menambah dukungan
c. Kepatutan Seks
Kepatutan seks dalam penampilan diri, minat, dan perilaku membantu remaja mencapai konsep diri yang baik. Ketidak patuan seks membuat remaja rendah diri dan hal ini memberi akibat buruk bagi perilakunya. d. Nama dan Julukan
Remaja peka dan merasa malu jika teman-teman sekelompoknya
menilai namanya buruk atau mereka memberinama julukan yang
bernada cemoohan. e. Hubungan Keluarga
Seorang remaja yang mempunyai hubungan yang erat dengan keluarga akan mengidentifikasikan diri dengan orang lain dan ingin
mengembangkan pola keprbadian yang sama. Bila tokoh ini sesama
jenis, remaja akan tertolong untuk mengembangkan konsep diri yang
layak untuk jenis seksnya. f. Teman-teman sebaya
Teman-teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian remaja dalam dua cara. Pertama, konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan tentang konsep teman-teman tentang dirinya, dan kedua, ia
berada dalam tekanan untuk mengenbangkan cini-ciri kepribadian yang diakui oleh kelompok.
Remaja yang masa kanak-kanaknya di dorong agar kreatif dalam
bermain dan dalam tugastugas akademis, mengembangkan perasaan
individualitas dan identitas yang memberi pengaruh yang baik tentang
dirinya. Sebaliknya remaja yang sejak awal masa kanak-kanak di dorong
untuk mengikuti pola asuh yang sudah diakui akan kurang mempunyai
perasaan identitas dan individualitas.
h. Cita-cita
Bila remaja mempunyai cita-cita yang tidak realistis. ia akan mengalami
kegagalan. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak mampu dan
reaksi-reaksi bertahan individu akan menyalahkan orang lain atas
kegagalannya. Remaja yang realistis akan kemampuannya lebih banyak
mengalami keberhasilan dari pada kegagalan. lni akan menimbulkan
kepercayaan diri dan kepuasan diri yang lebih besar yang memberikan
konsep diri yang lebih baik.
2.2. Pola Komunikasi Antara Orang Tua dan Rernaja Menurut
Pendekatan Analisis Transaksional
2.2.1. Jenis-Jenis Transaksi Dalam Analisis Transaksional
Setiap kali orang bereaksi terhadap orang lain dengan senyuman, anggukan
kepala, sapaan dan sebagainya. Hal ini dalam analisis transaksional disebut
transaksi. Menurut Eric Berne semua transaksi dapat digolongkan ke dalam
transaksi yang komplementer, bersilang dan tersembunyi (ulterior) (Abubakar
Ba raj a, 2004: 18-19).
1. Transaksi yang saling melengkapi (Complementary Transactions)
Transaksi dikatakan saling melengkapi jika berita atau perilaku yang
diperlihatkan oleh suatu ego state menerima respon yang tepat dan
sesuai dengan yang diharapkan oleh ego state itu. Menurut Berne, ini
adalah transaksi yang sehat dan menggambarkan interaksi yang normal,
hal ini juga di sebutkan dalam bukunya yang berjudul Games People Play
"communication will proceed as long as transactions are complementary''
(www. ericberne. com)
2. Transaksi Silang (Crossed Transactions)
Transaksi ini terjadi jika berita/perilaku yang diperlihatkan oleh suatu ego
state mendapatkan reaksi yang tidal< diharapkan oleh ego state tersebut.
Sehingga jalur komunikasi menjadi tertutup, orang akan saling
menghindar, menarik diri atau mengubah topik pembicaraan.
3. Transaksi Tersembunyi (Ulterior Transactions)
Transaksi ini menghambat kelancaran hubungan komunikasi. Seseorang
mengatakan sesuatu yang menurut dirinya merefleksikan "ego state
dewasa", namun penerima menanggapinya sebagai "ego state orang tua".
Karena transaksi ini menyangkut pikiran yang terdalam (inner thought)
Dalam analisis transaksional, diharapkan orang dapat mencapai otonomi
untuk dirinya sendiri, dimana menurut Berne seseorang yang otonom adalah
seseorang yang mempunyai 3 macam sifat ini :
a.
Kesadaran.Kesadaran, adalah kemampuan manusia untuk benar-benar mengetahui
(knowing) apa yang sesungguhnya terjadi sekarang (dalam dunia riil
aktual). Kesadaran memungkinkan manusia menepis kontaminasi yang
tertebar pada khazanah hidup dewasanya yang rasional dan realistik.
Penepisan kontaminasi memungkinkan manusia mendengarkan, melihat,
rnerasakan, mempelajari, dan mengevaluasi dunia secara independen.
Manusia yang memiliki kesadaran mampu mengetahui di mana dirinya
berada, apa yang dia lakukan, dan bagaimana dia merasakan semuanya
itu.
b. Spontanitas.
Spontanitas, adalah kemerdekaan untuk memilih di hadapan spektrum
penuh yang merangkum seluruh kemungkinan sikap dan perilaku, baik
yang berasal dari Parent, Adult, maupun Child. Manusia otonom memiliki
spontanitas yang memungkinkan. dia bersikap fleksibel dan tidak impulsif
naif. Dia melihat berbagai pilihan yang tersedia dan menjatuhkan pilihan
yang tepat untuk situasi riil aktual. Pilihan itu juga mendukung pencapaian
tujuan yang telah ia canangkan.
Intimacy adalah kemampuan manusia untuk mengekspresikan
kehangatan, kelembutan, dan kedekatan pada orang lain untuk
memberdayakan kejujuran dan otentisitas manusia p13milih. la hanya bisa
ditumbuhkembangkan jika manusia berani menjadi manusia terbuka dan
tidak terlalu banyak menutupi kelemahan, kekurangan, dan kesalahannya.
Manusia yang mau menumbuhkembangkan intimacy niscaya berani
melepaskan topeng-topeng yang.mungkin sering dipakai dalam
transaksinya dengan orang lain. Dengan dernikian, intimacy
mencerminkan otentisitas dan kejujuran.
2.2.2.
Stroke (Belafan)Semua orang mempunyai kebutuhan untuk diakui oleh orang lain,
mendapatkan sapaan yang bersahabat, serta kebutuhan untuk dfcintai.
Menurut Berne ini merupakan kebutuhan biologis yang disebut 'Hunger'. Hal
tersebut dapat terpenuhi melalui 'stroke' yang diberikan oleh orang lain
melalui suatu transaksi. Dalam teori analisis transaksional sebuah belaian
merupakan bagian dari suatu perhatian yang melengkapi stimulasi yang
optimal kepada individu. Belaian adalah istilah untuk semua bentuk
penghargaan dan rasa pengakuan oleh orang lain (A.J. Hukom, 1990:43).
Belaian ini merupakan kebutuhan dalam setiap interaksi sosial dan
ataupun tua dapat memperoleh belaian. Jadi belaian tidak terbatas pada
anal< kecil semata dan belaian yang diterima atau diberikan akan
menguatkan posisi hidup seseorang. Dr. Rene Spitz mengatakan bahwa
setiap orang membutuhkan strokes atau belaian. Seorang bayi membutuhkan
physical strokes untuk bertahan hidup. la akan meninggal jika ia tidak
セ@ disentuh. Orang dewasa juga membutuhkan belaian yang Jain (perhatian)
(www.sabda.org).
Jadi dapat disimpulkan bahwa belaian atau stroke dalam analisis
transaksional ini merupakan perlakuan atau stimulus dari orang lain yang
akhirnya memunculkan respon balil< sehingga terjadi transaksi. Perlakuan ini
tidak hanya terbatas pada perilaku secara fisil< saja tetapi juga secara isyarat
dan perkataan.
Ada dua jenis belaian yang diterima oleh manusia sepanjang hidupnya, yaitu:
(Corey, 2005:162)
a. Belaian Positif (stroke positif)
Belaian yang positif adalah esensial bagi perkemban9an pribadi yang
sehat secara psikologis dengan perasaan OK. Belaian-belaian yang
positif, yang bisa bernebtuk ungkapan-ungl<apan afel<si atau
penghargaan, bisa disalurkan melalui l<ata-kata, elusan, pandangan, atau
b. Belaian Negatif (stroke negatif)
Belaian yang negatif oleh orang tua mengakibatkan terhambatnya
pertumbuhan anak. Belaian-belaian negatif mengambil bentuk
pesan-pesan (verbal dan nonverbal) yang merampas kehorrnatan dan
menyebabkan seseorang merasa dikesampingkan dan tak berarti.
Pesan-pesan itu menyangkut pengecilan, penghinaan, pencemoohan,
kesewenangan, dan perlakuan terhadap seseorang sebagai objek.
2.2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komunikasii Keluarga
_ Faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi dalam keluarga menurut
Kartini Kartono, antara lain (Kartini Kartono, 1992:95-96, Ed. 1, eel. Ke-2):
a. Keadaan masyarakat dimana keluarga itu hidup
Apa yang terjadi dalam masyarakat secara timbal balik mempunyai
pengaruh pada kehidupan keluarga. Aspirasi yang acla dalam masyarakat
mungkin saja diambil menjadi aspirasi individu dalam keluarga.
Perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat akan mempengaruhi
pandangan dan nilai-nilai maupun kehidupan orang tua dan anal<,
sekaligus juga mempengaruhi sifat hubungan antara orang tua-anak di
daerah kola dengan pedesaan.
b. Kesempatan yang diberikan orang tua
Sikap dan tingkah laku anak dalam hubungan dengan orang tua sering
membuka kesempatan kepada anak untk bereaksi atau bertingkah laku
tertentu, maka anak menanggapinya. Kesempatan ini dibuka oleh orang
tua, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. d・ョQセ。ョ@ kata lain, sifat
dan bentuk hubungan antara orang tua - anak ditentukan oleh kedua
belah pihak.
c. lndividu orang tua dan anak
Baik orang tua maupun anak mempunyai pribadi sendiri-sendiri,
masing-masing unit berbeda satu dari yang lain. hubungan mereka dipengaruhi
pula oleh pengamatan masing-masing tentang diri sendiri dan tentang
orang lain dengan siapa mereka berhubungan. Juga nilai yang dianut
masing-masing berpengaruh pada hubungan yang mereka bina.
2.2.4. Komunikasi Antara Orang Tua - Remaja Dalam Keluarga Berkaitan
dengan Analisis Transaksional
Komunikasi sangat penting dalam hubungan antar anggota keluarga. Tanpa
adanya komunikasi hubungan yang akrab tidak dapat dijalin. Banyak problem
yang timbul berakar pada masalah komunikasi dalam keluarga. Melalui
komunikasi secara verbal atau dengan kata lain berbic;ara atau
bercakap-cakap, baik orang tua maupun anak dapat mengungkapkan perasaan hati,
memperjelas pikiran, menyampaikan ide ataupun keinginan masing-masing.
respon antar individu. Transaksi itu terlihat ketika orang berkomunikasi, baik
dengan kata, nada suara atau isyarat (verbal atau nonverbal)
(www.sabda.org). lnilah yang disebut strokes atau belaian, belaian
didefinisikan sebagai suatu tidakan untuk menyatakan pengakuan orang lain.
Belaian dapat berupa verbal, nonverbal dan kontak fisik dan belaian itu dapat
bersifat positif maupun negatif. Jadi komunikasi tidak hanya sekedar
bercakap-cakap tapi juga melalui tatapan ataupun sentullan.
Dalam analisis transaksional, komunikasi antara orang tua dan anak sudah
terjadi sejak dini karena orang tua adalah lingkungan terdekat anak yang
nantinya membantu anak untuk membentuk naskah yan!J akan digunakannya
dalam kehidupan. naskah adalah skrip kehidupan yang di clapat anak
semenjak anak masili kecil, naskah itu akan membentuk 3 tingkatan ego
yang nantinya berperan dalam kellidupan anak untuk berinteraksi clengan
orang lain.
Orang tua berkomunikasi dengan anaknya melalui belaian tersebut, tatapan
mata, sentuhan, senyuman, pelukan, dan lain sebagainya. Walaupun
bersifat negatif belaian itu tetap diperlukan oleh seorang anak karena asumsi
dasar analisis transaksional adalah : "negative strokes" sekali pun jauh lebih
berguna daripada ketiadaan "strokes" sama sekali. Walaupun begitu orang
tua harus berhati-hati dalam memberikan stroke karena stroke yang positif
diatasi oleh orang tua.
_ Di dalam analisis transaksional, konflik terjadi ketika penerima pesan salah
menanggapi pesan yang di berikan oleh pengirim pesan dalam hal ini adalah
orang tua sebagai pemberi pesan dan anak sebagai pen•erima pesan. Konflil<
juga bisa timbul ketika penerima pesan salah mempersepsikan maksud
pesan dan pemberi pesan memberikan belaian yang negatif (verbal,
nonverbal dan psikomotor).
ldealnya orangtua dapat menggunakan ego yang tepat ketika berkomunikasi
dengan anaknya yang beranjak remaja agar kesalahan dalam komunikasi
dapat diminimalisir sehingga komunikasi yang diterima anak adalah
komunikasi yang sehat. Komunikasi yang sehat menurut analisis
transaksional adalah ketika pemberi pesan mampu menampilkan stimulus
yang tepat dan mendapatkan respon yang tepat pula ini disebut transaksi
melengkapi (complementer). Tetapi pada kenyataannya tidak semua orang
tua dapat menampilkan stimulus yang tepat sehingga tidak dapat direspon
dengan baik juga oleh anak.
-Komunikasi yang melengkapi antara orang tua dan anak sangat diperlukan
oleh anal< untuk mengahadapi perubahan-perubahan dalam dirinya.
Komunikasi yang melengkapi dapat menjadi kunci terbentuknya hubungan
karena kebanyakan orang tua masih menggunakan 12 gaya populer untuk
berkomunikasi dengan anaknya, ke-12 gaya populer itu adalah : memerintah,
menyalahkan, meremehkan, membandingkan, mencap/label, mengancam,
menasehati, membohongi, menghibur, mengkritik, menyindir, dan
menganalisa (modul Yayasan Kita dan Buah Hati).
- 2.3. Masa Remaja
2.3.1 Remaja
lstilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere yang
berarti "tumbuh" atau "tumbuh menjadi dewasa". Hurlock menyatakan bahwa
masa remaja adalah salah satu periode dalam kehidupan dengan
perkembangan fisik dan psikis. Masa remaja menggambarkan periode
pertumbuhan dan perubahan di hampir semua aspek kellidupan seorang
anal<, baik secara fisik, mental, sosial, dan emosional. Masa ini juga disebut
sebagai masa yang penuh dengan pengalaman-pengalaman baru, tanggung
jawab baru dan hubungan baru dalam kelompok (Chotimah, skripsi 2004:35).
Awai masa remaja berlangsung kira-kira dari usia 13 tahun sampai 16 tahun
atau 17 tahun dan akhir masa remaja bermula dari usia 16 tahun-18 tahun,
yaitu usia matang secara hukum (Hurlock, 1980: 206). S<"dangkan di dalam
antara pubertas dan kedewasaan. Usia yang diperkirakan: 12 sampai 21 tahun untuk anak gadis yang lebih cepat menjadi matan£1 daripada anak laki-laki dan antara 13 hingga 22 tahun bagi laki-laki-laki-laki.
Masa remaja merupakan suatu masa yang penting dalam periode
perkembangan manusia. Pada masa ini, remaja mengalami suatu periode peralihan (transition) dari masa kanak-kanak, yang ditandai dengan adanya
kebutuhan untuk bergantung pada orang lain (dependent), menuju masa kedewasaan yang ditandai dengan adanya keinginan untuk bebas dari
campur tangan orang lain (independent).
Periode peralihan ini juga ditandai dengan adanya perubahan-perubahan
baik secra fisik, kognitif, maupun psikologis. Perubahan psikologis yang
paling menonjol di tandai dengan perubahan emosi, baik emosi positif
maupun emosi negatif, ketika menghadapi berbagai persoalan baik yang datangnya dari lingkungan keluarga, lingkungan pergaulan maupun lingkungan sekolah.
- Seperti halnya tahapan kehidupan yang lain, masa remaja memberikan
bercerita masalahnya dengan temannya sehingga komunikasi dengan orang
tua berkurang.
2.3.2 Tahapan Remaja
Konopka dalam Pikunas menjelaskan secara umum masa remaja dibagi
menjadi tiga bagian (Hendriati Agustiani, 2006:29), yaitu sebagai berikut:
1) Masa remaja awal (12-15 tahun)
Pada masa usia ini individu mulai meninggalkan peran sebagai
anak-anak dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan
tidak tergantung pada orang tua. fokus dari tahap ini adalah penerimaan
terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat
dengan teman sebaya.
2) Masa remaja pertengahan (15-18 tahun)
Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang
baru. Teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun individu
sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri (self directed). Pada masa
ini remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar
mengendalikan impulsivitas, dan membuat keputusan-keputusan awal
yang berkaitan dengan tujuan vokasional yang ingin dicapai. Selain itu
penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi individu.
3) Masa remaja akhir (19-22 tahun)
orang dewasa. Selama peride ini remaja berusaha memantapkan tujuan
vokasional dan mengembangkan sense of personal identity. Keinginan
yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman
sebaya dan orang dewasa juga menjadi ciri dari tahap ini.
Salah satu tokoh yang juga menerangkan tahapan perkembangan dalam
kurun usia remaja adalah Petro Blas (1962). Dalam proses penyesuaian diri
menuju kedewasaan ada tiga tahap perkembangan remaja, yaitu (dalam
Sarlito. W.S, 2005:24-25) :
1) Remaja Awai (Early Adolescence)
Seorang rema pada tahap ini masih terheran-heran akan
perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan
yang menyertai perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran
baru, cepat tertarik pad a lawall" jenis dan mud ah terangsang secara
erotis. Dengan dipegang bahunya saja oleh lawan jenis, ia sudah
berfantasi erotik. Kepekaan yang berlebih-lebihan ini ditambah dengan
berkurangnya kendali terhadap "ego". Hal ini yang rnenyebabkan para
remja awal suiit dimengerti orang dewasa.
2) Remaja Madya (Middle Adolescence)
Pada tahap ini remja sangat membutuhkan kawan-kawan. la senang
kalau banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan
yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Selain itu, ia
berada dalam kondisi kebingungan karena ia tidak tahu harus memillih
yang mana: peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis
atau pesimis, idealis atau matrealis dan sebagainya. Remaja pria harus
membebaskan diri dari Oedipus Complex (perasaan cinta pada ibu
sendiri pada masa kanak-kanak) dengan mempererat hubungan dengan
kawan-kawan dari lain jenis.
3) Remaja Akhir (Late Adolescence)
Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai
dengan pencapaian lima hal di bawah ini.
a) Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.
b) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu 、・ョゥセ。ョ@ orang-orang lain
dan dalam pengalaman-pengalaman baru.
c) Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.
d) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri)
diganti dengan keseimbangan antara l<epentingan diri sendiri dengan
orang lain.
e) Tumbuh "dinding" yang memisahl<an diri pribadinya (private self) dan
masyaral<at umum (the public).
2.3.3. Kebutuhan-Kebutuhan Khas Remaja
Kebutuhan itu bersangkutan dengan psikologik-sosiologis yang mendorong
remaja untuk bertingkah laku yang juga khas. Akan tetapi, apa bentuk
kebutuhan-kebutuhan yang khas itu, dan diantaranya l<ebutuhan mana yang
terkuat bagi remaja, rupanya belum ada kesepakatan pai-a ahli. Sesuai
dengan penekanannya masing-masing.
Kalau dititik-beratkan pada kebutuhan yang bersangkutan dengan pribadi;
psikologis-sosologis remaja, agaknya perangkat kebutuhan yang pernah
dicatat oleh Garrison, relevan untuk dijadikan pencerminan. Garrison pernah
mencatat 7 kebutuhan khas remaja, yaitu (Andi Mappiam, 1982:152):
1) Kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan ini ada sejak remaja
dilahirkan dan menunjukan berbagai cara perwujudan selama masa
remaja.
2) Kebutuhan akan keikutsertaan dan diterima dalarn kelompok
merupakan ha! yang sangat penting, sejak remaja "melepaskan diri"
dari keterikatan keluarga dan berusaha memantapkan
hubungan-hubungan dengan teman lawan jenis.
3) Kebutuhan untuk berdiri sendiri yang dimulai sejak usia lebih muda
(remaja awal), menjadi sangat penting selama masa remaja; mana
kala remaja dituntut untuk membuat berbagai macam pilihan dan
mengambil keputusan.
seirama dengan pertumbuhannya secara individual mengarah pada
kematangan atau kedewasaan.
5) Kebutuhan akan pengakuan dari orang lain sangat penting, sejak
mereka berg.antung dalam hubungan teman sebaya dan penerimaan
teman sebaya.
6) Kebutuhan untuk dihargai dirasakannya berdasarkan pandangan atau
ukurannya sendiri yang menurutnya pantas ba£1i dirinya (sesuai
dengan kenyataan), dan menjadi bertambah penting seirama dengan
pertambahan kematangan.
7) Kebutuhan memperoleh falsafah hidup yang utuh terutama nampak
dengan bertambahnya kematangan (kedewasaan). Untuk
mendapatkan ketetapan dan kepastian, remaja memerlukan beberapa
petunjuk yang akan memberikannya dasar dan ukuran dalam
membuat keputusan-keputusan.
Tetapi kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak mutlak berlaku bagi seluruh
remaja karena kebutuhan khususnya terdiri dari berbagai tingkat intensitas.
lntensitas masing-masing kebutuhan dibatasi oleh berbagai faktor, antara lain
faktor individual, faktor sosial, kultural dan faktor religius (termasuk nilai-nilai).
Bagi remaja Indonesia, agaknya terdiri dari 2 kelo