• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evalusi Pemilu 2004 Dan Akuntabilitas Perwakilan Politik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Evalusi Pemilu 2004 Dan Akuntabilitas Perwakilan Politik"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

26

EVALUSI PEMILU 2004

DAN AKUNTABILITAS PERWAKILAN POLITIK

Subhilhar

Abstract: General election as a rule is considered in momentum for Nations

which is being experience of transition to democracy and really to enter phase consolidation of democracy. Carried out general election freely with universal suffrage is the source of legitimate for new governance of people choice to terminate power and influence of authoritarian regime. Urgency general election as "method" at the same time prima facie institute procedure for democracy system, according to Samuel P. Huntington, have been told by since Joseph Schumpeter through the masterpiece of Capitalism, Socialism, and Democracy (1942) introducing approach of procedurals as part of growth of modern democracy. The big expectation will take place him change of politics by society which are enthusiasms vote in peace and expected general election can yield credible parliamentarian and reply for constituent. This article tries to study some analysis for concerning execution of General Election 2004 which bearing of with improvement of accountabilities representative of politics in Indonesia.

Keywords: general election, political accountability, and democracy

PENDAHULUAN

Pemilihan umum (Pemilu) pascarezim otoriter, lazimnya dianggap sebagai momentum bagi negara-negara yang tengah mengalami transisi menuju demokrasi untuk benar-benar memasuki tahap konsolidasi demokrasi. Pemilu yang diselenggarakan secara bebas dengan hak pilih universal merupakan sumber legitimasi bagi pemerintahan baru pilihan rakyat untuk meng-akhiri kekuasaan dan pengaruh rezim otoriter. Urgensi pemilu sebagai “metode” sekaligus prosedur kelembagaan yang utama bagi sistem demokrasi, menurut Samuel P. Huntington, telah dikemukakan sejak Joseph Schumpeter melalui karyanya Capitalism, Socialism, and Democracy (1942) memperkenalkan pendeka-tan prosedural sebagai bagian dari perkemba-ngan demokrasi modern (Haris 1999). Sehingga harapan besar akan berlangsungnya perubahan politik secara signifikan itulah yang mewarnai antusiasme masyarakat memberikan suaranya secara damai dalam pemilu multipartai pertama pasca-Orde Baru pada 1999 dan kedua Pemilu 2004 yang baru berakhir.

Dalam perspektif demokrasi, pemilu merupakan pemberian hak kepada rakyat untuk menentukan bagaimana jalannya pemerintahan.

Robert A. Dhal mengemukakan, paling kurang ada lima kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu negara-bangsa dalam proses demokrasi sehingga terbentuk pemerintahan yang bisa di-kategorikan sebagai demokrasi atau secara spesifik disebut poliarki. Kelima kriteria tersebut adalah persamaan hak pilih, partisipasi efektif, pembeberan kebenaran, kontrol terhadap agenda, dan pencakupan. Selanjutnya Dahl mengatakan ada tujuh lembaga demokrasi yang harus ada dalam rangka proses demokrasi, yaitu (1) para pejabat yang dipilih, (2) pemilu yang bebas dan adil, (3) hak untuk memilih yang inklusif, (4) hak dipilih atau dicalonkan dalam pemilu, (5) kebebasan me-nyatakan pendapat, (6) hak mendapatkan informasi alternatif; dan (7) kebebasan ber-serikat (Dahl 1992).

(2)

bertugas untuk memperjuangkan keinginan rakyat agar tercermin dalam segala kebijakan pemerintah.

Bulan April 2004 masyarakat pemilih di Indonesia telah menunaikan amanah yang tertuang dalam UU No. 12 Tahun 2003 untuk memilih wakil-wakilnya di tiga tingkatan lem-baga perwakilan rakyat, yaitu DPR-RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Dan ma-syarakat pemilih juga menuntaskan untuk me-milih wakilnya di DPD dan terakhir meme-milih presiden secara langsung. Pemilu 2004 dilaksa-nakan dengan dengan sistem baru di mana rakyat memilih wakilnya berdasarkan daerah-daerah pemilihan model baru, prosedur, dan mekanisme pencalonan, yang masuk dalam salah satu pengertian sistem pemilihan. Namun perlu disajikan ulasan kritis tentang daerah pe-milihan dalam sistem pepe-milihan tersebut se-hingga setidaknya kita bisa menelaah proses demokrasi yang sedang terjadi di Indonesia.

PEMBAHASAN

Daerah Pemilihan dalam Menjamin Keterwakilan dan Akuntabilitas Politik

Daerah-daerah pemilihan adalah suatu kesatuan wilayah. Para anggota lembaga per-wakilan rakyat yang terpilih dari suatu daerah pemilihan mewakili seluruh rakyat yang tinggal di wilayah yang termasuk dalam daerah pemilihan tersebut. Rakyat yang tinggal di daerah pemilihan disebut ”konstituen” dari para wakil rakyat yang terpilih mewakili daerah pemilihan.

Menurut model daerah pemilihan Indonesia terkini, daerah-daerah pemilihan DPR-RI umumnya kabupaten/kota atau gabu-ngannya, sama seperti daerah-daerah pemilihan DPRD Provinsi. Yang berbeda adalah daerah-daerah pemilihan DPRD Kabupaten/Kota yang merupakan kecamatan atau gabungannya. Sebagai perbandingan, pada Pemilu 1999, setiap provinsi menjadi daerah pemilihan untuk baik DPR-RI maupun DPRD Provinsi. Lalu setiap kabupaten/kota secara utuh menjadi daerah pemilihan untuk DPRD Kabupaten/Kota. Pada masa itu, setiap partai politik peserta Pemilu menyerahkan sebuah daftar caleg yang sangat panjang karena jumlah kursi yang diperebutkan dalam setiap daerah pemilihan dengan sendirinya menjadi sangat banyak. Pada Pemilu 2004, dari model daerah pemilihan, terbentuklah 550 anggota DPR-RI dipilih mewakili 69 daerah pemilihan yang

terbentang dari Sabang sampai Merauke. Untuk para anggota di 32 DPRD Provinsi di seluruh Indonesia, 211 daerah pemilihan dibentuk. Lantas untuk para anggota DPRD Kabupaten/Kota, 1745 daerah pemilihan telah dibentuk di 440 Kabupaten dan Kota.

Tujuan dari sistem daerah pemilihan model baru yang dipakai pada Pemilu 2004 adalah untuk menghasilkan sistem perwakilan rakyat yang lebih kecil wilayahnya, yang mengakibatkan jumlah daerah pemilihan menjadi lebih banyak. Meskipun demikian, setiap daerah pemilihan diwakili oleh wakil rakyat yang lebih sedikit jumlahnya. Situasi ini harusnya menguntungkan rakyat pemilih. Rakyat hendaknya menganggap para wakil rakyat itu bekerja untuk mereka. Rakyat hendaknya mengharapkan wakil rakyat mereka untuk mendengarkan keinginan mereka dan memperjuangkan kepentingan masyarakat yang tinggal di daerah pemilihan.

Pada Pemilu 2004, masyarakat pemilih hanya dapat memilih satu kali, yakni memilih partai politik yang mereka dukung, untuk setiap lembaga perwakilan rakyat (meskipun tidak wajib, satu orang caleg dari partai politik yang didukung juga dapat dipilih). Namun, sesungguhnya, secara bersama-sama, rakyat yang tinggal di daerah pemilihan yang sama diwakili oleh sekelompok wakil rakyat yang terpilih untuk mewakili daerah pemilihan tersebut.

(3)

masyarakat begitu juga orang-orang yang dicalonkan masih harus dipertanyakan kapabilitasnya dalam melakukan analisis pembangunan di daerah pemilihnya.

Sebagai anggota kelompok terpilih di dalam masyarakat, para wakil dapat digolong-kan sebagai elite dalam sistem politik. Kekuatan politik, dukungan, formalitas, posisi sosial, moralitas, dan segala atribut yang melekat pada diri wakil akan merupakan sumber kekuatan bagi wakil. Derajat akumulatif sumber-sumber itu menentukan tingkat kekuatan dan daya pengaruhnya di dalam masyarakat. Namun demikian, secara analitis perlu dibedakan wakil yang berkapasitas kepemimpinan dengan wakil yang hanya berkapasitas sebagai pemangku kewena-ngan. Karena tidak semua wakil memperoleh legitimasi yang memadai diri terwakil maka wakil seperti itu lebih banyak mengandalkan formalitas dan kedudukannya selaku wakil un-tuk menunaikan tugasnya. Justru wakil-wakil yang termasuk ke dalam tipe ini lebih dilihat sebagai pemangku kekuasaan daripada pemimpin rakyat.

Apa saja kewajiban wakil terhadap ter-wakil? Pada dasarnya wakil dituntut, pertama harus memiliki akses terhadap daerah pemilih-nya. Wakil mesti banyak meluangkan waktu di dalam daerah pemilihannya, menjawab surat dan telepon dari pemilihnya, dan menggunakan stafnya untuk mempertahankan kontak, bila ia tidak dapat melakukannya secara personal. Ia harus mempublikasikan kemampuan akses yang dimilikinya. Jika wakil tidak memiliki akses terhadap pemilih, maka pemilih tak dapat mengontak wakil-wakilnya dan tidak tahu bagaimana caranya untuk menyampaikan masalah yang dihadainya. Kedua, wakil harus aktif mencari informasi sumber-sumber untuk mengetahui kebutuhan dan pandangan-pandangan pemilihnya, mendekati pemilih dan mengakrabi masalah-masalah mereka, seperti perbaikan jalan, perumahan yang tak layak, pengangguran, ketegangan rasial, dan lain sebagainya. Hal ini termasuk akrab dengan kelompok-kelompok yang ada di daerahnya dan pemimpin kelompok-kelompok tersebut, menghadiri pertemuan, mengembangkan komunikasi, dengan demikian wakil dapat belajar dan mengevaluasi tuntutan-tuntutan mereka. Ketiga, wakil diharapkan menjalankan kepemimpinannya, mendidik, pemilih dan menjelaskan aktivitasnya. Wakil menjelaskan masalah-masalah dalam berhubungan dengan

negara dan distrik serta menjelaskan anggaran yang digunakan. Ia menjelaskan tindakan-tindakannya dan pendapat-pendapatnya pada

masalah-masalah tertentu. Ia menginformasikan kepada

kelompok-kelompok dan individu-individu mengenai program-program yang bermanfaat bagi mereka (Jewell 1982).

Indikator di atas merupakan jaminan bekerjanya sistem keterwakilan sekaligus me-nentukan kadar akuntabilitas wakil rakyat ter-sebut. Pertanyaan kemudian adalah apakah di daerah di mana kita tinggal dan memilih dalam daerah pemilihan, setelah Pemilu usai, hal ter-sebut dilakukan oleh wakil kita? Jawabannya bisa ya atau tidak, itu saja.

Sekelumit harapan tersebut sangat ter-gantung dari proses yang terjadi di partai poli-tik. Karena mereka yang melakukan rekrutmen, pengkaderan, dan sistem penilaian sumber daya manusianya. Partai politik harus lebih demokratis terutama dalam menentukan kadernya untuk didudukkan dalam jabatan publik tertentu. Partisipasi masyarakat harus diluaskan, sistem penilaian harus diperketat sehingga pertanggungjawaban kepada publik semakin lebih konkrit. Untuk itu, perlu dipertegas regulasi yang mengatur partai politik agar menjamin prosedur keterwakilan rakyat tersebut. Sehingga metode Daerah Pemilihan dalam Pemilu di Indonesia tidak akan pernah dapat menjamin keterwakilan politik dan akuntabilitas wakil rakyat yang baik, jika salah satu pilar demokrasi, yaitu partai politik tidak melakukan prinsip-prinsip yang demokratis.

Daerah Pemilihan dalam Prinsip Kesatuan Wilayah & Kepentingan Ekonomi

(4)

dengan masa pendaftaran yang dibuktikan de-ngan KTP atau surat keterade-ngan lain) yang di-gunakan untuk menentukan siapa yang dapat didaftar sebagai pemilih juga menimbulkan persoalan di kota besar (Surabaya, Semarang, Medan, dan sebagainya) baik mereka yang be-kerja di sektor publik seperti pemerintah daerah maupun sektor privat tetapi berdomisili di luar kota tidak dapat memilih wakil mereka untuk kota tersebut.

Pencalonan dan Penetapan Calon

Dari segi pencalonan, semua partai politik dalam Pemilu 2004 memiliki persyaratan tertentu untuk menomor-urutkan kader atau bukan kader partainya dalam posisi daftar pencalonan legislatif yang lalu. Mekanisme yang dilakukan oleh partai dalam penetapan calon pada Pemilu 2004 masih bersifat internal, tidak satupun partai yang bersedia melakukan seleksi eksternal partai misalnya mengumumkan kepada publik atau setidaknya di tingkat basis massanya dan kemudian menerima masukan dari kons-tituennya.

Dalam perspektif demokrasi, institusi politik seperti partai dan parlemen berfungsi dan bersifat aspiratif, melembagakan demokrasi tidak hanya sebagai prosedur, tetapi juga substansi perilaku, misalnya melalui sistem pemilu yang dapat menjamin keterwakilan dan partisipasi massa serta kompetisi terbuka bagi para elite (Diamond 1999). Dalam catatan Pemilu 2004, dari penetapan calon yang diajukan oleh partai politik, hanya ada dua orang yang memenuhi bilangan pembagi pemilih atau yang benar-benar dipilih oleh konstituennya. Selebihnya hanya mengandalkan tersisanya hasil suara dan nomor urut. Artinya, nomor urut dalam pene-tapan calon sangat menentukan besarnya ke-mungkinan untuk menjadi anggota dewan per-wakilan rakyat. Gejala ini menunjukkan bahwa sistem proporsional dengan daftar calon terbuka masih membuka peluang elite partai sangat mempunyai peran dalam menentukan calon yang berpeluang sangat besar menjadi anggota legislatif.

Kampanye

Kampanye dalam Pemilu 2004 masih bersifat konvensional. Menawarkan program-program yang kurang bisa diukur dan selalu tampil dengan entertainment yang sangat ber-lebihan, misalnya menghadirkan selebriti atau

tokoh-tokoh simbol yang berada dalam imaji-nasi sebagian publik. Kampanye sebagian besar masih didominasi oleh simbol-simbol yang kurang terukur dan tidak jarang hanya menampilkan figur-figur. Dalam perspektif pendidikan politik model dan metode kampanye tersebut tidak bisa terukur dengan baik. Pemasaran politik melalui ide-ide yang diramu berdasarkan kebutuhan dan kepentingan konstituen dari kontestan pemilu sangat mendesak untuk dilakukan melalui peraturan model dan metode kampanye. Pera-turan itu bisa diusulkan melalui serangkaian kajian-kajian berupa petunjuk pelaksana yang digunakan sebagai pedoman bagi penyelengga-ra. Di dalam petunjuk pelaksana itu terdapat sejumlah persyaratan yang dapat diukur dalam kriteria-kriteria kampanye yang baik.

Beli Kucing dalam Karung atau Cerdas Memilih

Sistem proporsional dalam pemilu telah digunakan sejak merdeka. Hasilnya, jelas seperti ini. Realitas carut-marutnya sistem demokrasi saat ini merupakan bukti adanya kelemahan menggunakan sistem itu. Rakyat dipaksa memilih wakil-wakil yang tak pernah mereka ketahui. Mereka ibarat membeli kucing dalam karung, karena tak tahu siapa yang menjadi wakilnya di legislatif. Mereka tidak tahu, apakah yang dipilih merah, hitam, atau bahkan blangtelon. Itulah kelemahan sistem proporsional. Belum lagi perilaku partai-partai peserta pemilu yang merugikan pelaksanaan demokrasi.

Ternyata sistem proporsional dengan sedikit modifikasi, masih dipergunakan pada Pemilu 2004. Tentu kesan yang muncul, amat tidak fair jika presiden dipilih langsung, tapi wakil rakyat dipilih masih dengan kemiripan metode nomor urut. Sejak merdeka pada tahun 1945, negeri ini baru sembilan kali melang-sungkan Pemilu, yaitu pada 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004. Dari sekian kali pemilu, banyak pengamat menilai yang paling demokratis hanya terjadi pada 1955 yang kala itu memilih anggota Konstituante.

(5)

sekian banyak calon anggota DPR dari partai besar adalah tokoh legendaris yang telah berjuang pada masa kemerdekaan. Selain Soekarno-Hatta yang menjadi presiden dan wakil presiden yang sudah punya nama, Pemilu 1955 juga menjadi ajang persaingan para tokoh, seperti Mr.Sunarjo (NU), Prof.Dr.Sumitro Djojohadikusumo (PSI), Ignatius (Partai Buruh), Bung Tomo, Syafrudin Prawiranegara, dan sejumlah tokoh beken lain. Nama-nama besar itu punya hak sama dengan tokoh desa dan mereka berkompetisi secara sehat.

Ganti Sistem?

Berangkat dari pengalaman dan per-bandingan sembilan kali pesta demokrasi itulah kini muncul wacana mengganti sistem pemilu. Banyak kalangan praktisi maupun pengamat mendorong agar Pemilu 2004 menggunakan sistem distrik.

Yang pasti, pertimbangan sistem demokrasi perwakilan dengan memakai sistem proporsional ternyata belum pernah memberikan kesempatan kepada rakyat memilih wakilnya di parlemen. Yang duduk di DPR/MPR jelas para wakil partai, bukan wakil rakyat sesungguhnya. Kondisi ini tentu menyebabkan terjadinya distorsi.

Indikasi adanya distorsi pilihan dalam setiap pemilihan terjadi sejak 1955 hingga 2004 adalah bisa dilihat dari pemberian suara secara sembarangan tanpa memahami suatu partai atau karena rendahnya pemahaman atas hakikat pemilu. Buktinya, banyak partai yang tidak ikut pemilihan di satu daerah, ternyata juga mendapat suara dari daerah itu.

Pemilu yang menjadi proses demokrasi perwakilan (representative democracy) dalam menyeleksi para wakil yang akan membawa kemauan dan aspirasi rakyat berubah menjadi permainan politik tanpa nilai dan menjadikan pemilih sebagai legitimasi belaka.

Ada yang menyatakan terjadi kegagalan dalam penerapan pemilihan perwakilan sepanjang sembilan kali pemilu yang digelar sejak 1955. Padahal selama itu juga telah diterapkan sistem proporsional. Pro dan kontra sistem pemilu terus berlanjut, demokrasi juga harus berani melakukan percobaan menuju kesempurnaan. Pertanyaannya, benarkah sistem distrik lebih baik dari proporsional?

Jawabnya cukup jelas. Hasil selama sembilan kali pemilu dengan sistem

proporsio-nal jelas seperti sekarang. Terjadi distorsi antara rakyat dan para wakilnya di DPR/MPR. Artinya, sistem itu telah gagal membangun demokrasi perwakilan. Setidaknya untuk Indonesia, sistem itu belum membuahkan hasil dalam membangun sistem politik dan demokrasi yang baik. Diakui di banyak negara yang semula menggunakan sistem distrik, sekarang beralih ke proporsional.

Sebut saja yang terjadi di negara-negara Eropa Timur. Ketika kekuasaan komunis gulung tikar sekitar tahun 1990-1995 yang ditandai runtuhnya imperium Uni Sovyet, tercatat sembilan dari 19 negara di kawasan itu yang awalnya menggunakan sistem distrik, ternyata belakangan enam di antaranya beralih ke sistem proporsional. Hal itu diungkapkan Presiden Komite Independen Pemantau Pemilu Eropa, Pipit Kartawidjaya dalam satu diskusi yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam diskusi itu, President Representative of Friedrich Naumann Stiftung (FNS), Rainer Adam, mengurai plus dan minusnya sistem distrik maupun proporsional.

Sistem distrik memiliki kelebihan, ca-lon legislatif (caleg) langsung bertanggung ja-wab pada pemilih yang diterjemahkan dalam hubungan pemilih-wakilnya yang lebih dekat. Caleg lebih independen terhadap parpol dan pimpinan parpol, sebab tidak bergantung pada daftar partai yang akan memastikan posisinya secara relatif.

Kelemahan sistem distrik, misalnya ca-leg yang memiliki status sosial, jaringan kelu-arga, bisnis besar, sumber daya finansial, atau tokoh karismatik mempunyai peluang besar untuk terpilih. Ada anekdot, para wakil rakyat dari Jatim yang notabene pemilu lalu dimenangkan PKB, akan banyak kiai yang duduk di DPR/MPR.

Proporsional Terbuka

Tentang sistem proporsional tampaknya masih akan dipertahankan para ''politisi Senayan''. Sistem ini memang mempunyai keuntungan, karena kekuatan sistem terdiri atas proporsionalitas yang tegas atas hasil pemilu. Namun sistem proporsional juga punya kelemahan.

(6)

menggunakan sistem kombinasi antara sional dan distrik atau dengan istilah propor-sional terbuka. Untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional daftar terbuka dan sistem distrik untuk memilih ang-gota Dewan Perwakilan Daerah/DPD. Konsep sistem pemilu proporsional daftar terbuka yang dinilai akan lebih menjamin penyelenggaraan pemilu yang berkualitas dibandingkan dengan sistem proporsional daftar tertutup yang digunakan selama ini.

Sistem proporsional daftar terbuka, mengacu pada Ketetapan (Tap) MPR No IV/1999 tentang GBHN 1999-2004 yang mengamanatkan penyelenggaraan pemilu secara lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya. Itu berbeda dari sistem proporsional daftar tertutup yang mengandung banyak kelemahan. Faktanya, ada anggota legislatif di daerah pemilihannya yang kurang dikenal para pemilih, sehingga tidak mempunyai legitimasi dari konstituennya.

Bagi pemerintah, sistem proporsional daftar tertutup cenderung mengandung dominasi dan otoritas DPP partai dalam menentukan calon. Sebaliknya, jika menggunakan sistem proporsional daftar

terbuka, akan menjamin kedaulatan anggota partai dan pemilih dalam menentukan calon anggota perwakilan.

KESIMPULAN

Penentuan caleg secara terbuka sangat kompetitif. Hal ini juga memberi peluang lang-sung anggota masyarakat untuk memperjuang-kan aspirasinya, karena bisa langsung melihat daftar wakilnya kelak di legislatif. Caleg yang diajukan partai peserta pemilu tidak didasarkan atas nomor urut, sehingga terpilihnya seseorang sepenuhnya bergantung pada peringkat perolehan suara. Namun dalam pelaksanaannya nomor urut masih menjadi prioritas dalam pelimpahan suara.

Sistem proporsional daftar terbuka me-rupakan alternatif terbaik untuk Indonesia. Ala-sannya, dengan sistem itu partisipasi rakyat be-sar dan akuntabilitas dalam penentuan caleg lebih terjamin. Proses politik yang demokratis itu bisa berjalan jika penetapan calon tidak ha-nya dilakukan melalui proses seleksi internal partai, yang sering menimbulkan bias, tetapi harus juga dilakukan melalui proses eksternal partai dan harus diatur secara tegas dalam un-dang-undang partai politik.

DAFTAR PUSTAKA

Dahl, Robert A. 1992. Demokrasi dan Para Pengkritiknya, Jilid II. Yayasan Obor Indonesia.

Diamond, Larry. 1999. Developing Democracy: Toward Consolidation. Baltimore and London, The Johns Hopkins University Press.

Haris, Syamsuddin. 1999. Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru (ed). Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Huntington, Samuel P. 1997. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Cetakan ke-2. Jakarta, Grafiti Pers.

Referensi

Dokumen terkait

Yang dimaksud dengan angka kelahiran adalah persentase anak sapi lahir hidup per induk sapi kelompok umur produktip dalam satu tahun.. Dari 3.554 induk sapi berumur 3.5 tahun ke

Activity diagram menggambar kan berbagai alir aktivitas dalam sistem yang sedang dirancang, bagaimana masing- masing alir berawal, decision yang mungkin terjadi,

Masalah lingkungan hidup yang paling mendesak pada saat ini di Indonesia adalah pencemaran air. Oleh karena itu, program pemeliharaan lingkungan hidup oleh perusahaan Jepang

Pekerjaan : Pembangunan Rumah Lokasi : Bumi Palir Sejahtera Type Rumah : RSh 27 Melati.. (Dinding Bataco diplester depan,

Kebijakan Pemerintah Pusat dalam program visi dan misi Nawa Cita lewat Kementerian Perhubungan dan Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Kota Jayapura dalam program

Stressor psikologis muncul karena tekanan waktu dan harapan yang tidak realistis pada individu sehingga menyebabkan tekanan dari dalam individu itu sendiri yang biasanya

Sebuah fungsi dikatakan not invertible (tidak dapat dibalikkan) jika ia bukan fungsi yang berkoresponden satu-ke-satu, karena fungsi balikannya tidak

Manajemen sumber daya manusia adalah suatu proses yang dilakukan suatu organisasi atau perusahaan untuk memastikan bahwa sumber daya manusia yang ada digunakan secara efektif