• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penetapan Kadar Sulfatmetoksazol Dan Trimetoprin dalam Sediaan Tablet Dengan Nama Dagang Dan Generik Secara Simultan Dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penetapan Kadar Sulfatmetoksazol Dan Trimetoprin dalam Sediaan Tablet Dengan Nama Dagang Dan Generik Secara Simultan Dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

PENETAPAN KADAR SULFAMETOKSAZOL DAN

TRIMETOPRIM DALAM SEDIAAN TABLET DENGAN

NAMA DAGANG DAN GENERIK SECARA SIMULTAN

DENGAN METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA

TINGGI (KCKT)

SKRIPSI

Oleh :

FARAHDIBA ASSEWETH 040804068

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PENETAPAN KADAR SULFAMETOKSAZOL DAN

TRIMETOPRIM DALAM SEDIAAN TABLET DENGAN

NAMA DAGANG DAN GENERIK SECARA SIMULTAN

DENGAN METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA

TINGGI (KCKT)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Diajukan Oleh :

FARAHDIBA ASSEWETH 040804068

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

PENETAPAN KADAR SULFAMETOKSAZOL DAN TRIMETOPRIM DALAM SEDIAAN TABLET DENGAN NAMA DAGANG DAN GENERIK

SECARA SIMULTAN DENGAN METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

Oleh :

FARAHDIBA ASSEWETH 040804068

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal : November 2008

Disetujui Oleh:

Pembimbing I, Panitia Penguji

(Drs.FathurRahmanHarun,M.Si.,Apt) (Prof.Dr.rer.nat.EffendyDeLuxPutra,SU.,Apt)

NIP 130 872 281 NIP 131 283 723

Pembimbing II,

(Drs. Fathur Rahman Harun, M.Si., Apt) NIP 130 872 281

(Dra. Fat Aminah, M.Sc., Apt.) NIP 130 809 706

(Dra. Salbiah M.Si., Apt) NIP 131 653 994

(Drs. Agusmal Dalimunthe, M.Si., Apt) NIP 131 286 002

Dekan,

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya, serta shalawat beriring salam kepada Nabi

Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada ayahanda H. Faisal Ali Asseweth dan ibunda Hj. Rahmawati,

serta adinda Fachriza Asseweth, M. Delfi Fadillah Asseweth dan Ahmad Rizki

Fadillah Asseweth atas doa tulus dan dukungan moril maupun materil serta cinta

dan kasih yang diberikan kepada penulis dalam menghantarkan penulis meraih

cita-cita.

Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Drs. Fathur Rahman Harun, M.Si., Apt dan Ibu Dra. Fat Aminah

M.Sc., Apt yang telah membimbing penulis dengan sabar sehingga

selesainya penulisan skripsi ini.

2. Bapak Dekan Fakultas Farmasi Prof. Dr.Sumadio Hadisahputra., Apt yang

telah memberikan fasilitas kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan

pendidikan.

3. Ibu Dra. Sudarmi, M.Si., Apt selaku penasehat akademik yang telah

memberikan nasehat dan arahan kepada penulis serta seluruh staf pengajar

Fakultas Farmasi USU atas ilmu yang telah diberikan selama perkuliahan

dan juga staf tata usaha yang telah memberikan bantuan administrasinya.

4. Bapak Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra, SU., Apt, Bapak Drs.

(5)

tim penguji yang sangat banyak memberikan masukan dan saran atas

skripsi ini.

5. Emil Salim, ST., yang telah memberikan petunjuk dan membantu penulis

selama melakukan penelitian di LPPOM MUI kota Medan.

6. Teman baik penulis Anes, Linda, Yelni, Nizar, Ririn, dan seluruh

mahasiswa Farmasi stambuk 2004 serta kakak-kakak maupun adik-adik

mahasiswa Farmasi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas

segala bantuan dan motivasinya.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada semua pihak yang telah turut membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.

Medan, November 2008 Penulis

(6)

ABSTRAK

Telah dilakukan penetapan kadar sulfametoksazol dan trimetoprim dalam

sediaan tablet dengan nama dagang dan generik dengan menggunakan

kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) fase balik dengan kolom VP-ODS (4,6

mm x 25 cm), fase gerak campuran air : asetonitril : trietilamin, laju aliran 2

ml/menit, sensitivitas 0,01 AUFS pada panjang gelombang 270 nm.

Hasil uji identifikasi sulfametoksazol BPFI, trimetoprim BPFI, sediaan

tablet yang dibuat sendiri dan yang terdapat dalam perdagangan diperoleh waktu

retensi yang sama yaitu 10 menit untuk sulfametoksazol dan 3 menit untuk

trimetoprim.

Penentuan linieritas kurva kalibrasi menunjukkan hubungan yang linier

antara luas puncak dengan konsentrasi untuk sulfametoksazol pada konsentrasi 50

sampai 250 μg/ml dengan koefisien korelasi, r = 0,9997 dan dari hasil perhitungan

diperoleh persamaan regresi Y = 123057,9697 + 42046,8699X, untuk trimetoprim

pada konsentrasi 10 sampai 50 μg/ml dengan koefisien korelasi, r = 0,9998 dan

dari hasil perhitungan diperoleh persamaan regresi Y = 5460,4848 +

11816,2472X.

Uji validasi dari sediaan tablet yang dibuat sendiri, secara statistik

diperoleh kadar sulfametoksazol yang sebenarnya 96.35% ± 3.29 dengan persen

perolehan kembali = 96.35%, kesalahan relatif (KR) = 3.65%, koefisien variasi

(KV) = 2.0%, limit deteksi (LOD)= 5.19 mcg/ml dan limit kuantitasi (LOQ) =

17.32 mcg/ml, untuk trimetoprim diperoleh kadar yang sebenarnya 96.67% ± 3.16

(7)

koefisien variasi (KV)= 1.98%, limit deteksi (LOD) = 0.87 mcg/ml, limit

kuantitasi (LOQ) = 2.89 mcg/ml.

Dari hasil penelitian diperoleh kadar sulfametoksazol dan trimetoprim

dalam sediaan tablet dengan nama generik untuk produk PT. Indofarma,

sulfametoksazol = 98.33% ± 2.52, dan trimetoprim = 98.70% ± 1.53, PT. Phyto

Kemo Agung Farma, sulfametoksazol = 102.25% ± 2.46, trimetoprim = 100.93%

± 1.79, untuk sediaan dengan nama dagang yaitu produk PT. Roche (Bactrim),

sulfametoksazol = 101.64% ± 2.78, trimetoprim = 101.95% ± 2.66.

Semua sediaan tablet yang dianalisis memenuhi persyaratan kadar yang

tercantum dalam Farmakope Indonesia edisi IV (1995), yaitu mengandung

sulfametoksazol dan trimetoprim tidak kurang 93,0% dan tidak lebih dari 107,0%

(8)

ABSTRACT

The determination of sulfametoxazole and trimetoprim in tablet with

branded and generic names by reversed phase high performance liquid

chromatography (HPLC) had been carried out. The column used was

Octadesylsilane (4,6 mm x 25 cm), as stationary phase, solution water :

acetonitrile : trietilamine, as mobile phase, flow rate 2 ml/minute, sensitivity 0,01

AUFS, with UV detection at 270 nm wavelength.

Identification of trimetoprim BPFI, sulfametoxazole BPFI, tablets who

made by researcher and tablets with branded and generic names got the same

retention time namely 10 minutes for sulfametoxazole and 3 minutes for

trimetoprim.

The determination of calibration curve linearity gave a linear correlation

between the peak area versus concentration, for sulfametoxazole from 50 to 250

μg/ml with the correlation coefficient, r = 0,9997 and the calculated had got the

regression Y = 123057,9697 + 42046,8699X, for trimetoprim from 10 to 50 μg/ml

with the correlation coefficient, r = 0,9998 and the calculated had got the

regression Y = 5460,4848 + 11816,2472X,

The validation test of the tablet mixture who made by researcher showed

the concentration 96.35% ± 3.29 for sulfametoxazole with percent recovery =

96.35%, relative error = 3.65%, coefficient of variation = 2.0% , limit of detection

(LOD) = 5.19 mcg/ml, limit of quantitation (LOQ) = 17.32 mcg/ml, and for

trimetoprim showed the concentration 96.67% ± 3.16 with percent recovery =

96.67%, relative error = 3.33%, coefficient of variation = 1.98%, limit of

(9)

The result of the quantitation of sulfametoxazole and trimetoprim in

tablets with generic names showed concentration for PT. Indofarma,

sulfametoxazole = 98.33% ± 2.52, dan trimetoprim = 98.70% ± 1.53, for PT.

Phyto Kemo Agung Farma, sulfametoxazole = 102.25% ± 2.46, trimetoprim =

100.93% ± 1.79, and for tablets with branded name, PT. Roche (Bactrim),

sulfametoxazole = 101.64% ± 2.78, trimetoprim = 101.95% ± 2.66.

All samples fulfilled the requirement of the fourth edition Farmakope

Indonesia (1995) namely containing sulfametoxazole, C10H11N3O3S and

trimetoprim, C14H18N4O3, not less than 93,0% and not more than 107,0% from

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR... ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 5

2.1 Obat Generik dan Paten... . 5

2.2 Tablet Kotrimoksazol... . 6

2.2.1 Sifat Fisikokimia... . 6

2.2.1.1 Sulfametoksazol... . 6

2.2.1.2 Trimetoprim... 6

2.2.2 Mekanisme kerja... ... 7

2.2.3 Farmakokinetika... . 7

2.2.4 Efek samping... . 8

2.2.5 Dosis... . 8

2.3 Teori Kromatografi... . 8

2.3.1 Pembagian Kromatografi... . 9

2.3.2 Migrasi dan Retensi Solut... . 9

2.3.3 Pemisahan pada Kolom... . 10

(11)

2.4 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi... 18

2.4.1 Jenis-jenis Kromatografi... . 19

2.4.2 Komponen Kromatografi Cair Kinerja Tinggi... . 22

2.4.2.1 Wadah fase gerak... . 22

2.4.2.2 Pompa... . 23

2.4.2.3 Injektor... . 23

2.4.2.4 Kolom... 24

2.4.2.5 Detektor... 25

2.4.2.6 Fase gerak... 25

2.5 Uji Validasi... 26

2.6 Uraian Bentuk Sediaan Tablet... 27

2.7 Bahan Tambahan dalam Sediaan Tablet... . 28

2.7.1 Bahan Pengisi... . 28

2.7.2 Bahan Pengikat... . 28

2.7.3 Bahan Pengembang... . 29

2.7.4 Bahan Pelicin... . 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 30

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 30

3.2 Alat-alat ... 30

3.3 Bahan-bahan ... 30

3.4 Metode penelitian ... 31

3.4.1 Pembuatan tablet kotrimoksazol... 31

3.4.2 Uji Preformulasi ... 31

3.4.2.1 Uji sudut diam... ... 32

3.4.2.2 Uji laju alir/kecepatan alir... ... 32

3.4.2.3 Uji indeks tap... ... 32

3.4.3 Pembuatan fase gerak ... 33

3.4.4 Penentuan panjang gelombang maksimum ... 33

3.4.4.1 Pembuatan larutan induk baku BPFI ... 33

(12)

3.4.4.3 Penentuan panjang gelombang maksimum trimetoprim

BPFI ... 33

3.4.6 Penentuan panjang gelombang analisis... . 34

3.4.6 Penyiapan alat KCKT... . 34

3.4.7 Identifikasi... ... 34

3.4.8 Penentuan kuantitatif... 35

3.4.8.1 Pembuatan linieritas kurva kalibrasi... 35

3.4.8.1.1 Kurva kalibrasi sulfametoksazol BPFI... 35

3.4.8.1.2 Kurva kalibrasi trimetoprim BPFI... 35

3.4.8.2 Penetapan kehandalan metode analisis... 36

3.4.8.3 Penetapan Kadar Sampel... 36

3.4.8.4 Analisa Data Secara Statistik... 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 38

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

5.1 Kesimpulan ... 48

5.2 Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Hasil pengolahan data dari tablet yang dibuat sendiri ... 45

Tabel 2. Parameter- parameter uji validasi ... 45

Tabel 3. Hasil pengolahan data dari sediaan tablet kotrimoksazol ... 46

Tabel 4. Hasil penetapan kadar trimetoprim dan sulfametoksazol dalam

sediaan tablet dengan nama dagang dan generik yang ditentukan

berdasarkan luas puncak ... 47

Tabel 5. Data hasil penyuntikan larutan Sulfametoksazol BPFI berdasarkan

Luas Puncak ... 55

Tabel 6. Data hasil penyuntikan larutan trimetoprim BPFI berdasarkan Luas

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Kurva serapan sulfametoksazol BPFI dengan konsentrasi 25

mcg/ml dalam fase gerak secara spektrofotometri ultraviolet...

. 39

Gambar 2. Kurva serapan trimetoprim BPFI dengan konsentrasi 20 mcg/ml dalam fase gerak secara spektrofotometri

ultraviolet... 39

Gambar 3. Kurva serapan trimetoprim BPFI (20 mcg/ml) dan sulfametoksazol (25 mcg/ml) dalam fase gerak secara spektrofotometri

ultraviolet...

. 40

Gambar 4. a, b, c, d, e dan f merupakan kromatogram penyuntikan larutan sulfametoksazol BPFI (160 mcg/ml), larutan trimetoprim BPFI (32 mcg/ml), dan larutan sampel setara dengan sulfametoksazol 160 mcg/ml, kolom VP-ODS (3,9 mm x 30 cm), fase gerak air; asetonitril; trietilamin, volume penyuntikan 20 μl, laju aliran 2

ml/menit pada λ 270 nm... 43

Gambar 5. Kurva kalibrasi sulfametoksazol BPFI ... 43

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Gambar alat KCKT ... 51

Lampiran 2. Gambar alat ultrasonic cleaner ... 52

Lampiran 3. Kromatogram dari larutan sulfametoksazol BPFI... 53

Lampiran 4. Perhitungan persamaan regresi dari kurva kalibrasi

sulfametoksazol BPFI yang diperoleh secara KCKT pada λ

270 nm... 55

Lampiran 5. Kromatogram dari larutan trimetoprim BPFI... 57

Lampiran 6. Perhitungan persamaan regresi dari kurva kalibrasi

trimetoprim BPFI yang diperoleh secara KCKT pada λ 270

nm... ... 59

Lampiran 7. Kromatogram dari larutan tablet yang dibuat sendiri

(PT.

Indofarma)... 61

Lampiran 8. Analisa data statistik untuk mencari kadar sebenarnya dari

penyuntikan larutan tablet yang dibuat sendiri (PT. Indofarma)

secara

KCKT... 63

Lampiran 9. Uji validasi dari tablet yang dibuat

sendiri... 65

Lampiran 10. Kromatogram dari larutan tablet Cotrimoksazole (PT. Phyto

Kemo Agung Farma) ... 68

Lampiran 11. Analisa data statistik untuk mencari kadar sebenarnya dari

penyuntikan larutan tablet Cotrimoksazole (PT. Phyto Kemo

Agung Farma) secara

KCKT... 70

Lampiran 12. Kromatogram dari larutan tablet Cotrimoksazole

(PT.Indofarma)...

(16)

Lampiran 13. Analisa data statistik untuk mencari kadar sebenarnya dari

penyuntikan larutan tablet Cotrimoksazole (PT.Indofarma)

secara KCKT... 75

Lampiran 14. Kromatogram dari larutan tablet bactrim (PT. Roche) ... 77

Lampiran 15. Analisa data statistik untuk mencari kadar sebenarnya dari penyuntikan larutan tablet bactrim (PT. Roche) secara KCKT... . 79

Lampiran 16. Uji preformulasi tablet ... 81

Lampiran 17. Perhitungan Penimbangan sampel ... 83

Lampiran 18. Contoh perhitungan untuk mencari kadar sulfametoksazol dan trimetoprim ... 84

Lampiran 19. Daftar spesifikasi sampel ... 85

Lampiran 20. Sertifikat pengujian trimetoprim BPFI ... 86

Lampiran 21. Sertifikat pengujian sulfametoksazol BPFI ... 87

Lampiran 22. Sertifikat pengujian trimetoprim baku ... 88

(17)

ABSTRAK

Telah dilakukan penetapan kadar sulfametoksazol dan trimetoprim dalam

sediaan tablet dengan nama dagang dan generik dengan menggunakan

kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) fase balik dengan kolom VP-ODS (4,6

mm x 25 cm), fase gerak campuran air : asetonitril : trietilamin, laju aliran 2

ml/menit, sensitivitas 0,01 AUFS pada panjang gelombang 270 nm.

Hasil uji identifikasi sulfametoksazol BPFI, trimetoprim BPFI, sediaan

tablet yang dibuat sendiri dan yang terdapat dalam perdagangan diperoleh waktu

retensi yang sama yaitu 10 menit untuk sulfametoksazol dan 3 menit untuk

trimetoprim.

Penentuan linieritas kurva kalibrasi menunjukkan hubungan yang linier

antara luas puncak dengan konsentrasi untuk sulfametoksazol pada konsentrasi 50

sampai 250 μg/ml dengan koefisien korelasi, r = 0,9997 dan dari hasil perhitungan

diperoleh persamaan regresi Y = 123057,9697 + 42046,8699X, untuk trimetoprim

pada konsentrasi 10 sampai 50 μg/ml dengan koefisien korelasi, r = 0,9998 dan

dari hasil perhitungan diperoleh persamaan regresi Y = 5460,4848 +

11816,2472X.

Uji validasi dari sediaan tablet yang dibuat sendiri, secara statistik

diperoleh kadar sulfametoksazol yang sebenarnya 96.35% ± 3.29 dengan persen

perolehan kembali = 96.35%, kesalahan relatif (KR) = 3.65%, koefisien variasi

(KV) = 2.0%, limit deteksi (LOD)= 5.19 mcg/ml dan limit kuantitasi (LOQ) =

17.32 mcg/ml, untuk trimetoprim diperoleh kadar yang sebenarnya 96.67% ± 3.16

(18)

koefisien variasi (KV)= 1.98%, limit deteksi (LOD) = 0.87 mcg/ml, limit

kuantitasi (LOQ) = 2.89 mcg/ml.

Dari hasil penelitian diperoleh kadar sulfametoksazol dan trimetoprim

dalam sediaan tablet dengan nama generik untuk produk PT. Indofarma,

sulfametoksazol = 98.33% ± 2.52, dan trimetoprim = 98.70% ± 1.53, PT. Phyto

Kemo Agung Farma, sulfametoksazol = 102.25% ± 2.46, trimetoprim = 100.93%

± 1.79, untuk sediaan dengan nama dagang yaitu produk PT. Roche (Bactrim),

sulfametoksazol = 101.64% ± 2.78, trimetoprim = 101.95% ± 2.66.

Semua sediaan tablet yang dianalisis memenuhi persyaratan kadar yang

tercantum dalam Farmakope Indonesia edisi IV (1995), yaitu mengandung

sulfametoksazol dan trimetoprim tidak kurang 93,0% dan tidak lebih dari 107,0%

(19)

ABSTRACT

The determination of sulfametoxazole and trimetoprim in tablet with

branded and generic names by reversed phase high performance liquid

chromatography (HPLC) had been carried out. The column used was

Octadesylsilane (4,6 mm x 25 cm), as stationary phase, solution water :

acetonitrile : trietilamine, as mobile phase, flow rate 2 ml/minute, sensitivity 0,01

AUFS, with UV detection at 270 nm wavelength.

Identification of trimetoprim BPFI, sulfametoxazole BPFI, tablets who

made by researcher and tablets with branded and generic names got the same

retention time namely 10 minutes for sulfametoxazole and 3 minutes for

trimetoprim.

The determination of calibration curve linearity gave a linear correlation

between the peak area versus concentration, for sulfametoxazole from 50 to 250

μg/ml with the correlation coefficient, r = 0,9997 and the calculated had got the

regression Y = 123057,9697 + 42046,8699X, for trimetoprim from 10 to 50 μg/ml

with the correlation coefficient, r = 0,9998 and the calculated had got the

regression Y = 5460,4848 + 11816,2472X,

The validation test of the tablet mixture who made by researcher showed

the concentration 96.35% ± 3.29 for sulfametoxazole with percent recovery =

96.35%, relative error = 3.65%, coefficient of variation = 2.0% , limit of detection

(LOD) = 5.19 mcg/ml, limit of quantitation (LOQ) = 17.32 mcg/ml, and for

trimetoprim showed the concentration 96.67% ± 3.16 with percent recovery =

96.67%, relative error = 3.33%, coefficient of variation = 1.98%, limit of

(20)

The result of the quantitation of sulfametoxazole and trimetoprim in

tablets with generic names showed concentration for PT. Indofarma,

sulfametoxazole = 98.33% ± 2.52, dan trimetoprim = 98.70% ± 1.53, for PT.

Phyto Kemo Agung Farma, sulfametoxazole = 102.25% ± 2.46, trimetoprim =

100.93% ± 1.79, and for tablets with branded name, PT. Roche (Bactrim),

sulfametoxazole = 101.64% ± 2.78, trimetoprim = 101.95% ± 2.66.

All samples fulfilled the requirement of the fourth edition Farmakope

Indonesia (1995) namely containing sulfametoxazole, C10H11N3O3S and

trimetoprim, C14H18N4O3, not less than 93,0% and not more than 107,0% from

(21)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sulfonamida merupakan kelompok zat antibakteri dengan rumus dasar

yang sama, yaitu H2N SO2

Sulfonamida mempunyai spektrum antibakteri yang luas, baik terhadap

gram positif maupun gram negatif, meskipun potensinya kurang dari antibiotika.

Umumnya hanya bersifat bakteriostatik, hanya dalam keadaan tertentu dapat

bekerja bakterisid, misalnya pada kadar yang tinggi dalam urin (Tjay dan

Rahardja, 2002).

-NHR dimana R adalah bermacam-macam

substituen. Pada prinsipnya senyawa-senyawa ini dapat digunakan untuk

menghadapi berbagai infeksi (Mariana, 1995).

Kotrimoksazol merupakan kombinasi dari sulfametoksazol dan

trimetoprim dengan perbandingan 5:1, bersifat bakterisid dengan spektrum kerja

lebih lebar dibandingkan dengan sulfonamida. Trimetoprim dan sulfametoksazol

menghambat reaksi enzimatik obligat pada dua tahap yang berurutan pada bakteri

sehingga kombinasi kedua obat memberikan efek sinergistik. Spektrum

antibakteri trimetoprim sama dengan sulfametoksazol, meskipun daya

antibakterinya 20-100 kali lebih kuat dari sulfametoksazol (Mariana, 1995).

Obat selain diproduksi dan dipasarkan dengan nama dagang juga

menggunakan nama generik yang harganya jauh lebih murah daripada obat

dengan nama dagang. Selama ini masyarakat cenderung menilai kualitas obat

identik dengan harga yang tinggi sehingga obat yang lebih mahal lebih baik

(22)

Departemen Kesehatan telah menetapkan peningkatan penggunaan obat

generik yang didukung dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.

085/Menkes/Per/1989 tanggal 28 Januari 1989 tentang kewajiban menuliskan

resep dan atau menggunakan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan

pemerintah. Dalam perdagangan kotrimoksazol dapat dijumpai dalam bentuk

sediaan tablet, kaplet dan sirop baik dengan nama dagang ataupun dengan nama

generik.

Menurut Farmakope Indonesia edisi IV (1995) dan USP XXX (2007)

tablet kotrimoksazol ditentukan kadarnya secara Kromatografi Cair Kinerja

Tinggi menggunakan kolom ODS (3,9 mm x 30 cm) dengan fase gerak campuran

1400 ml air, 400 ml asetonitril, dan 2 ml trietilamina, laju aliran (flow rate) 2

ml/menit, volume penyuntikan 20 µl dan deteksi dilakukan pada panjang

gelombang 254 nm.

Metode kromatografi cair kinerja tinggi memiliki banyak keuntungan

antara lain cepat, daya pisahnya baik, ideal untuk molekul besar dan ion, mudah

untuk memperoleh kembali cuplikan, kolom dapat dipakai berulang kali dan

perangkatnya dapat digunakan secara otomatis dan kuantitatif (Johnson and

Stevenson, 1991; Rohman, 2007).

Persyaratan kadar untuk sediaan tablet kotrimoksazol menurut Farmakope

Indonesia edisi IV tahun 1995 yaitu mengandung Sulfametoksazol, C10H11N3O3S

dan Trimetoprim, C14H18N4O3

Dalam penelitian ini, peneliti mencoba menggunakan kondisi kromatografi

yang berbeda dari prosedur yang terdapat di Farmakope Indonesia edisi IV (1995) , tidak kurang dari 93,0% dan tidak lebih dari

(23)

yaitu kolom Shimpac VP-ODS (4.6 mm x 25 cm) dan panjang gelombang 270 nm

sehingga perlu dilakukan uji validasi terhadap sediaan tablet yang dibuat sendiri

dengan bahan tambahan yang umumnya digunakan dalam pembuatan tablet.

Adapun parameter uji validasi yang dilakukan yaitu akurasi (kecermatan) dengan

parameter kesalahan relatif, presisi (keseksamaan) dengan parameter koefisien

variasi, sensitivitas dengan parameter limit deteksi dan limit kuantitasi

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik menggunakan metode

KCKT untuk menetapkan kadar sulfametoksazol dan trimetoprim dalam sediaan

tablet dengan nama dagang dan nama generik yang beredar di pasaran dengan

menggunakan kolom dan panjang gelombang yang berbeda dari yang ditetapkan

oleh Farmakope Indonesia edisi IV (1995) dan melihat apakah hasil yang

diperoleh memenuhi persyaratan yang tercantum dalam Farmakope Indonesia

edisi IV (1995).

1.2 Perumusan masalah

- Apakah metode KCKT yang digunakan memenuhi persyaratan uji validasi?

- Apakah kadar sulfametoksazol dan trimetoprim dalam sediaan tablet dengan

nama dagang dan nama generik yang ditetapkan secara KCKT dengan

menggunakan kondisi kromatografi yang berbeda dari Farmakope Indonesia

edisi IV (1995) memenuhi persyaratan yang ditetapkan Farmakope Indonesia

edisi IV (1995)?

1.3 Hipotesis

- Diduga metode KCKT yang dilakukan memenuhi persyaratan uji validasi yang

(24)

- Diduga kadar sulfametoksazol dan trimetoprim dalam sediaan tablet dengan

nama dagang dan nama generik yang ditetapkan secara KCKT dengan kondisi

kromatografi yang berbeda dari Farmakope Indonesia edisi IV (1995)

memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia edisi IV

(1995).

1.4 Tujuan penelitian

- Untuk mengetahui validitas dari metode KCKT yang digunakan pada

penetapan kadar sulfametoksazol dan trimetoprrim secara simultan.

- Untuk mengetahui kadar sulfametoksazol dan trimetoprim dalam sediaan

tablet dengan nama dagang dan nama generik secara KCKT dengan

menggunakan kolom dan panjang gelombang yang berbeda dari Farmakope

Indonesia edisi IV (1995) dan mengetahui hasil yang diperoleh sesuai atau

tidak dengan persyaratan yang tertera pada Farmakope Indonesia edisi IV

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Obat Generik dan Paten

Obat adalah bahan atau paduan bahan yang digunakan untuk

mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam

rangka penetapan diagnosa, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit,

pemulihan, dan peningkatan kesehatan termasuk kontrasepsi dan sediaan biologis

(Depkes RI, 2005).

Obat generik adalah obat dengan nama resmi yang telah ditetapkan dalam

Farmakope Indonesia dan INN WHO (International Non-proprietary Names

World of Health Organization) untuk zat berkhasiat yang dikandungnya di mana

obat generik hanya menggunakan nama yang sesuai dengan zat berkhasiat yang

dikandungnya walaupun diproduksi oleh pabrik yang berlainan (Depkes RI,

1989).

Obat paten adalah obat baru yang ditemukan oleh peneliti yang

mempunyai hak penuh/hak paten yang dikeluarkan WHO untuk obat yang

dihasilkannya. Obat dengan nama dagang yaitu nama pemberian pabrik yang

membuatnya di mana obat paten menggunakan nama dagang yang

bermacam-macam, tergantung pabrik yang memproduksi walaupun jenis obatnya sama.

Kemasannya dibuat mewah untuk menarik pembeli dan tiap pabrik

mempromosikannya dengan nama dagang masing-masing secara gencar melalui

berbagai cara sehingga harganya lebih mahal dari pada obat generik karena

(26)

2.2 Tablet Kotrimoksazol

Tablet Kotrimoksazol merupakan campuran dari Sulfametoksazol dan

Trimetoprim. Tablet Kotrimoksazol mengandung Sulfametoksazol C10H11N3O3S

dan Trimetoprim, C14H18N4O3

2.2.1 Sifat Fisikokimia

, tidak kurang dari 93,0% dan tidak lebih dari

107,0% dari jumlah yang tertera pada etiket (DitJen POM, 1995).

2.2.1.1 Sulfametoksazol

Rumus struktur : H2N SO2

N NH

O CH3

Rumus molekul : C10H11N3O3

Berat molekul : 253,28

S

Pemerian : serbuk hablur, putih sampai hampir putih, praktis

tidak berbau

Kelarutan : praktis tidak larut dalam air, dalam eter dan dalam

kloroform, mudah larut dalam aseton dan dalam

larutan natrium hidroksida encer, agak sukar larut

dalam etanol.

2.2.1.2 Trimetoprim

Rumus struktur :

NH2 OCH3 N

H2N CH2 OCH N

3

OCH Rumus molekul : C

3 14H18N4O3

(27)

Pemerian : hablur atau serbuk hablur,putih sampai krem, tidak

berbau

Kelarutan : sangat sukar larut dalam air, larut dalam

benzilalkohol, agak sukar larut dalam kloroform dan

dalam methanol, sangat sukar larut dalam etanol dan

dalam aseton, praktis tidak larut dalam eter dan

dalam karbon tetraklorida.

2.2.2 Mekanisme kerja

Aktivitas antibakteri kombinasi sulfametoksazol dan trimetoprim

berdasarkan kerjanya pada dua tahap yang berurutan pada reaksi enzimatik untuk

pembentukan asam tetrahidrofolat. Sulfonamida manghambat masuknya PABA

ke dalam molekul asam folat dan trimetoprim menghambat terjadinya reaksi

reduksi dari dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Tetrahidrofolat penting untuk

reaksi-reaksi pemindahan satu atom C, seperti pembentukan basa purin (adenine

dan guanine), timidin dan beberapa asam amino (metinin, glisin). Sel-sel mamalia

menggunakan folat jadi yang terdapat dalam makanan dan tidak mensintesis

senyawa tersebut. Trimetoprim menghambat enzim dihidrofolat reduktase

mikroba secara sangat selektif. Hal ini penting, karena enzim tersebut juga

terdapat pada sel mamalia (Mariana, 1995).

2.2.3 Farmakokinetika

Pada pemberian oral preparat kombinasi dengan dosis tunggal,

trimetoprim diabsorpsi lebih cepat daripada sulfametoksazol. Trimetoprim cepat

didistribusikan ke dalam jaringan dan relatif sedikit terikat pada protein plasma

(28)

mudah. Pemberian 400 mg sulfametoksazol dengan 80 mg trimetoprim tiga kali

sehari, kadar steady state minimal di dalam darah dari masing-masing obat

kira-kira 20 dan 1 μg/ml, yakni perbandingan optimal yang dicari (Mariana, 1995).

2.2.4 Efek samping

Biasanya berupa gangguan kulit dan gangguan lambung-usus,

stomatitis. Pada dosis tinggi efek sampingnya juga berupa demam dan gangguan

fungsi hati dan efek-efek darah (neutropenia, trombositopenia). Oleh karena itu,

penggunaan lebih dari dua minggu hendaknya disertai dengan pengawasan darah

(Tjay dan Rahardja, 2002).

2.2.5 Dosis

Dosis dewasa untuk sebagian besar penyakit infeksi adalah 2 tablet setiap

12 jam selama 10 sampai 14 hari. Pada tifus dan infeksi parah diberikan 3 tablet

setiap 12 jam selama maksimum 14 hari. Pemberian pada anak-anak di bawah 12

tahun tidak dianjurkan (Mariana, 1995).

2.3 Teori Kromatografi

Kromatografi merupakan suatu cara pemisahan berdasarkan partisi

cuplikan antara fase gerak dan fase diam. Fase gerak (mobile phase) dapat berupa

gas atau cairan dan fase diam (stationery phase) dapat berupa cairan atau padatan.

Kromatografi dapat juga didefinisikan sebagai suatu proses migrasi diferensial

dimana komponen-komponen cuplikan ditahan secara selektif oleh fase diam

(Sastrohamidjojo, 1985).

Kromatografi pertama kali dikembangkan oleh seorang ahli botani Rusia

(29)

tanaman dengan cara perkolasi ekstrak petroleum eter dalam kolom gelas yang

berisi kalsium karbonat (CaCO3

2.3.1 Pembagian Kromatografi

). (Johnson dan Stevenson, 1991).

Kromatografi dapat dibedakan atas berbagai macam, tergantung pada

pengelompokannya. Berdasarkan pada mekanisme pemisahannya, kromatografi

dibedakan menjadi : (a) kromatografi adsorbsi; (b) kromatografi partisi; (c)

kromatografi pasangan ion; (d) kromatografi penukar ion (e) kromatografi

eksklusi ukuran dan (f) kromatografi afinitas (Johnson dan Stevenson, 1991 dan

Rohman, 2007).

Berdasarkan pada alat yang digunakan, kromatografi dapat dibagi atas: (a)

kromatografi kertas; (b) kromatografi lapis tipis, yang kedua sering disebut

kromatografi planar; (c) kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dan (d)

kromatografi gas (KG) (Johnson dan Stevenson, 1991 dan Rohman, 2007).

2.3.2 Migrasi dan Retensi Solut

Kecepatan migrasi solut melalui fase diam ditentukan oleh perbandingan

distribusinya (D) dan besarnya D ditentukan oleh afinitas relatif solut pada kedua

fase (fase diam dan fase bergerak). Dalam konteks kromatorgafi, nilai D

didefinisikan sebagai perbandingan konsentrasi solut dalam fase diam (Cs) dan

dalam fase gerak (Cm).

D =

Cm Cs

Jadi semakin besar nilai D maka migrasi solut semakin lambat; dan semakin kecil

nilai D migrasi solut semakin cepat. Solut akan terelusi menurut perbandingan

distribusinya. Jika perbedaan perbandingan distribusi solut cukup besar maka

(30)

2.3.3 Pemisahan pada kolom

Kolom merupakan bagian terpenting dari keseluruhan peralatan

kromatografi karena proses pemisahan campuran komponen terjadi di dalamnya.

Kemampuan kolom untuk memisahkan suatu campuran komponen disebabkan

karena fase diam yang terdapat di dalamnya dapat mengadakan interaksi dengan

berbagai komponen dengan kekuatan yang cukup berbeda satu sama lain sehingga

masing-masing komponen akan keluar dari kolom dengan waktu retensi yang

berbeda juga.

Ukuran interaksi suatu senyawa dengan fase diam dinyatakan sebagai

faktor kapasitas (k’

k

) yang dinyatakan dengan persamaan :

o o r

t t

t

=

dimana tr adalah waktu retensi komponen yang ditahan oleh kolom dan to

Faktor kapasitas yang relatif besar menunjukkan adanya interaksi yang

relatif kuat antara komponen dengan fase diam sehingga komponen tertahan kuat

di dalam kolom dan sebaliknya faktor kapasitas yang relatif kecil menunjukkan

interaksi yang relatif lemah atau komponen hanya sedikit tertahan di dalam

kolom.

adalah

waktu retensi komponen yang tidak ditahan oleh kolom (Lily Wati, 1997).

Suatu kolom dikatakan selektif apabila kolom tersebut mempunyai

kemampuan menahan berbagai komponen dengan kekuatan yang cukup berbeda

sehingga faktor kapasitas dari masing-masing komponen juga berbeda. Suatu

campuran komponen dapat dipisahkan dengan sempurna di dalam kolom yang

(31)

Faktor selektivitas (α) didefinisikan sebagai ukuran pemisahan dua

komponen yang dapat dinyatakan dengan persamaan :

α = m m t t t t t t k k − − = = 1 2 1 ' 2 ' 1 ' 2 '

dimana k’1 = faktor kapasitas komponen 1; k’2 = faktor kapasitas komponen 2; t’1

= waktu retensi yang disesuaikan untuk komponen 1; t’2 = waktu retensi yang

disesuaikan untuk komponen 2; t1 = waktu retensi komponen 1; t2 = waktu retensi

komponen 2 dan tm

Faktor selektivitas (α) sebaiknya mempunyai harga lebih dari satu karena

pada harga α = 1 berarti k

= waktu retensi komponen yang tidak ditahan (garis depan

pelarut).

1 = k’2

Lebar atau sempitnya puncak suatu komponen ditentukan oleh efisiensi

kolom yang digunakan yang merupakan ukuran kemampuan kolom untuk

mencegah atau mengurangi terjadinya pergantian puncak. Suatu kolom yang

efisien akan dapat menghasilkan puncak-puncak komponen yang relatif sempit

sehingga jumlah komponen yang dapat dipisahkan relatif banyak. Efesiensi suatu

kolom akan semakin tinggi jika jumlah pelat teori (N) yang dikandung semakin

banyak.

sehingga komponen 1 dan komponen 2 tidak

terpisahkan. Harga α hanya menunjukkan adanya pemisahan pada bagian atas

puncak kromatogram tanpa memperhitungkan kemungkinan terjadinya tumpang

tindih pada bagian bawah puncak. Untuk suatu harga α yang sama terdapat dua

kemungkinan yang berbeda jika dilihat dari puncak dimana pemisahan sempurna

jika dihasilkan puncak-puncak komponen yang relatif sempit dan sebaliknya jika

puncak-puncak komponen yang dihasilkan lebar maka kemungkinan akan terjadi

(32)

Efisiensi dinyatakan secara kuantitatif sebagai jumlah pelat teori (N) yang

dinyatakan dengan persamaan :

N = 2 2 1 2 2 5 , 5 16         =       =       W t W t

tr r r

σ

Dimana σ = simpangan baku puncak, tr = jarak antara titik nol dengan titik potong

kedua garis singgung pada kedua sisi puncak komponen (waktu retensi), W =

lebar puncak pada alasnya yang ditentukan dengan memperpanjang garis

singgung puncak sampai memotong garis alas dan W1/2

Jumlah pelat teori berbanding lurus dengan panjang kolom, di mana

umumnya kolom yang lebih panjang mempunyai jumlah pelat yang lebih banyak,

tetapi penurunan tekanannya juga lebih besar. Karena panjang kolom

bermacam-macam, maka diperlukan ukuran keefisienan kolom yang tidak tergantung pada

panjang kolom. Tinggi atau jarak yang setara dengan dengan pelat teori, H atau

HETP (Height Equivalent to a Theoritical Plate), merupakan ukuran keefisienan

kolom yang lebih disukai karena memungkinkan perbandingan antara kolom yang

panjangnya berlainan dimana kolom yang mempunyai H yang kecil lebih baik. H

berkaitan dengan jumlah pelat teori dengan persamaan berikut :

= lebar puncak pada

setengah tinggi.

H = HETP =

N L

dimana L adalah panjang kolom (mm) dan N adalah jumlah pelat teori .

Ketiga parameter di atas mempunyai keterkaitan yang dapat

menggambarkan keberhasilan suatu pemisahan berupa ketergantungan resolusi

(33)

Rs  Ν      −       + α α 1 1 4 1 ' ' k k =

(a) (b) (c)

dimana a = faktor kapasitas, b = faktor selektivitas, c = faktor efisiensi (Lily Wati,

1997).

Jika resolusi atau daya pisah 0,4 atau lebih kecil maka puncak tidak

menunjukkan secara jelas adanya 2 komponen atau lebih dan sebaliknya jika daya

pisah 0,5 atau lebih maka jumlah komponen yang ada dapat diidentifikasikan

dengan jelas. Tetapi umumnya untuk pekerjaan kualitatif atau kuantitatif yang

baik diperlukan daya pisah 1,5 atau lebih besar (Johnson dan Stevenson, 1991).

Dari persamaan di atas nampak jelas bahwa faktor-faktor yang

menentukan resolusi yaitu : selektivitas (α), jumlah lempeng (N), dan faktor

kapasitas (k’). Selektivitas dapat diubah dengan mengubah susunan fase diam dan

fase gerak. Menaikkan selektivitas akan menghasilkan salah satu puncak relatif

terhadap lainnya. Efisiensi suatu pemisahan ditunjukkan dengan faktor N yang

akan berubah dengan mengubah panjang kolom (L) atau kecepatan alir fase gerak.

Menaikkan faktor N suatu kolom akan menyebabkan penyempitan dua puncak

sehingga W menjadi kecil dan resolusinya menjadi lebih besar. Faktor k’ berubah

dengan mengubah kekuatan fase gerak. Misalkan, suatu pemisahan awal

memberikan harga k’ pada daerah 0,5-2. Penurunan nilai k’ akan menghasilkan

pemisahan yang jelas dan waktu retensi yang pendek, sementara itu kenaikan k’

akan memberikan resolusi yang lebih baik. Meskipun demikian, jika nilai k’ ini

dinaikkan maka akan menyebabkan tinggi puncak kromatogram akan turun dan

(34)

2.3.4 Profil Puncak dan Pelebaran Puncak

Selama pemisahan kromatografi, solut individual akan membentuk profil

konsentrasi yang simetris atau dikenal juga dengan profil Gaussian dalam arah

aliran fase gerak. Profil, dikenal juga dengan puncak atau pita, secara

perlahan-lahan akan melebar dan sering juga membentuk profil yang asimetrik karena

solut-solut melanjutkan migrasinya ke fase diam.

Adanya puncak, yang asimetris dapat disebabkan oleh hal –hal berikut:

• Ukuran sampel yang dianalisis terlalu besar. Jika sampel terlalu besar maka

fase gerak tidak mampu membawa solut dengan sempurna karenanya terjadi

pengekoran atau tailing.

• Interaksi yang kuat antara solut dengan fase diam dapat menyebabkan solut

sukar terelusi sehingga dapat menyebabkan terbentuknya puncak yang

mengekor.

• Adanya kontaminan dalam sampel yang dapat muncul terlebih dahulu

[image:34.595.184.442.519.583.2]

sehingga menimbulkan puncak mendahului (fronting) (Rohman, 2007).

Gambar 2. Profil-profil puncak

2.3.5 Analisa Kualitatif dan Kuantitatif Analisis Kualitatif

Ada 3 pendekatan untuk analisa kualitatif yakni:

1. Perbandingan antara retensi solut yang tidak diketahui dengan data retensi

(35)

Untuk kromatografi yang menggunakan kolom (seperti KCKT dan KG),

waktu retensi (tR) atau volume retensi (VR

2. Dengan cara spiking.

) senyawa baku dan senyawa yang

tidak diketahui dibandingkan dengan cara kromatografi secara berurutan

dalam kondisi alat yang stabil dengan perbedaan waktu pengoperasian antara

keduanya sekecil mungkin.

Untuk kromatografi yang melibatkan kolom, spiking dilakukan dengan

menambah sampel yang mengandung senyawa tertentu yang akan diselidiki

dengan senyawa baku pada kondisi kromatografi yang sama. Hal ini dilakukan

dengan cara: pertama, dilakukan proses kromatografi sampel yang tidak di-

spiking. Kedua, sampel yang telah di-spiking dengan senyawa baku dilakukan

proses kromatografi. Jika pada puncak tertentu yang diduga mengandung

senyawa yang diselidiki terjadi peningkatan tinggi puncak/luas puncak setelah

di-spiking dibandingkan dengan tinggi puncak/luas puncak yang tidak

dilakukan spiking maka dapat diidentifikasi bahwa sampel mengandung

senyawa yang kita selidiki.

3. Menggabungkan alat kromatografi dengan spektrometer massa.

Pada pemisahan dengan menggunakan kolom kromatografi, cara ini akan

memberikan informasi data spektra massa solut dengan waktu retensi tertentu.

Spektra solut yang tidak diketahui dapat dibandingkan dengan spektra yang

ada di data base komputer yang diinterpretasi sendiri. Cara ini dapat dilakukan

(36)

Analisis Kuantitatif

Untuk menjamin kondisi yang digunakan dalam analisis kuantitatif stabil

dan reprodusibel, baik pada penyiapan sampel atau proses kromatografi, berikut

beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam analisis kuantitatif:

• Analit (solut) harus telah diketahui dan terpisah sempurna dari

kompomen-komponen lain dalam kromatogram.

• Baku dengan kemurnian yang tinggi dan telah diketahui harus tersedia.

• Prosedur kalibrasi yang sudah diketahui harus digunakan.

Untuk kromatografi yang melibatkan kolom, kuantifikasi dapat dilakukan

dengan: luas puncak atau tinggi puncak. Tinggi puncak atau luas puncak

berbanding langsung dengan banyaknya solut yang dikromatografi, jika dilakukan

pada kisaran detektor yang linier.

1. Metode tinggi puncak

Metode yang paling sederhana untuk pengukuran kuantitatif adalah

dengan tinggi puncak. Tinggi puncak diukur sebagai jarak dari garis dasar ke

puncak maksimum seperti puncak 1, 2, dan 3 pada gambar 3. Penyimpangan garis

dasar diimbangi dengan interpolasi garis dasar antara awal dan akhir puncak.

Gambar 3. Pengukuran tinggi puncak

Metode tinggi puncak hanya digunakan jika perubahan tinggi puncak

(37)

pada puncak yang mengalami penyimpangan (asimetris) atau jika kolom

mengalami kelebihan muatan.

2. Metode luas puncak

Prosedur penentuan luas puncak serupa dengan tinggi puncak. Suatu

teknik untuk mengukur luas puncak adalah dengan mengukur luas puncak sebagai

hasil kali tinggi puncak dan lebar pada setengah tinggi (W1/2

Saat ini integrator elektronik telah banyak digunakan untuk mengukur luas

puncak pada kromatografi cair kinerja tinggi dan pada kromatografi gas.

Integrator digital mengukur luas puncak dan mengubahnya dalam bentuk angka

(Johnson Stevenson, 1991 dan Rohman, 2007).

). Tehnik ini hanya

dapat digunakan untuk kromatografi yang simetris atau yang mempunyai bentuk

serupa.

Baik tinggi puncak maupun luasnya dapat dihubungkan dengan

konsentrasi. Tinggi puncak mudah diukur, akan tetapi sangat dipengaruhi

perubahan waktu retensi yang disebabkan oleh variasi suhu dan komposisi

pelarut. Oleh karena itu, luas puncak dianggap merupakan parameter yang lebih

akurat untuk pengukuran kuantitatif (Ditjen POM, 1995).

Metode Kuantifikasi

1. Metode baku eksternal

Metode yang paling umum untuk menetapkan konsentrasi senyawa yang

tidak diketahui konsentrasinya dalam suatu sampel adalah dengan menggunakan

(38)

2. Metode baku internal

Baku internal merupakan senyawa yang berbeda dengan analit, meskipun

demikian senyawa ini harus terpisah dengan baik selama proses pemisahan.

Seringkali perlakuan sampel memerlukan tahapan-tahapan yang meliputi

derivatisasi, ekstraksi, filtrasi, dan sebagainya yang dapat mengakibatkan

berkurangnya sampel. Jika baku internal ditambahkan pada sampel sebelum

dilakukan preparasi sampel, maka baku internal dapat mengoreksi hilangnya

sampel-sampel ini.

Syarat-syarat suatu senyawa dapat digunakan sebagai baku internal adalah:

terpisah dengan baik dari senyawa yang dituju atau puncak-puncak lain;

mempunyai waktu retensi yang hampir sama dengan analit; tidak terdapat dalam

sampel; mempunyai kemiripan sifat-sifat dengan analit dalam tahapan-tahapan

penyiapan sampel; tidak mempunyai kemiripan secara kimiawi dengan analit;

tersedia dalam perdagangan dengan kemurnian tinggi; stabil dan tidak reaktif

dengan sampel atau dengan fase gerak; mempunyai respon detektor yang hampir

sama dengan analit pada konsentrasi yang digunakan (Johnson Stevenson, 1991

dan Rohman, 2007).

2.4 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Kromatogarfi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan sistem pemisahan

dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi karena didukung oleh kemajuan dalam

teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi, dan detektor yang sangat sensitif

dan beragam sehingga mampu menganalisa berbagai cuplikan secara kualitatif

maupun kuantitatif, baik dalam komponen tunggal maupun campuran (Ditjen

(39)

Kegunaan umum KCKT adalah untuk: pemisahan sejumlah senyawa

organik, anorganik, maupun senyawa biologis, analisis ketidakmurnian

(impurities) dan analisis senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap

(non-volatil). KCKT paling sering digunakan untuk: untuk menetapkan kadar

senyawa-senyawa tertentu seperti asam-asam amino, asam-asam nukleat dan

protein-protein dalam cairan fisiologis, menentukan kadar senyawa-senyawa aktif obat

dan lain - lain.

2.4.1 Jenis-jenis Kromatografi

Menurut Johnson dan Stevenson (1991) dan Rohman (2007) jenis-jenis

kromatografi yaitu:

1. Kromatografi Cair-Padat (LSC)

Tehnik ini biasanya menggunakan fase diam silika gel atau alumina, meskipun

demikian sekitar 90% kromatografi ini memakai silika gel sebagai fase diamnya.

Fase geraknya berupa pelarut non polar yang ditambah dengan pelarut polar

seperti air atau alkohol rantai pendek untuk meningkatkan kemampuan elusinya

sehingga tidak timbul pengekoran puncak, seperti n-heksana ditambah metanol.

Jenis KCKT ini sesuai untuk pemisahan-pemisahan campuran isomer struktur dan

untuk pemisahan solut dengan gugus fungsional yang berbeda.

2. Kromatografi Partisi (LLC)

Kromatografi jenis ini disebut juga dengan kromatografi fase terikat.

Kebanyakan fase diamnya adalah silika yang dimodifikasi secara kimiawi atau

fase terikat. Sejauh ini yang digunakan untuk memodifikasi silika adalah

hidrokarbon-hidrokarbon non polar seperti oktadesilsilana, oktilsilana, atau

(40)

Fase diam yang paling populer digunakan adalah oktadesilsilana (ODS atau

C18

Kromatografi partisi (LLC), disebut “fase normal” bila fase diam lebih polar

dari fase gerak dan “fase terbalik” bila fase gerak lebih polar dari fase diam. ) dan kebanyakan pemisahannya adalah dengan fase terbalik. Sedangkan fase

geraknya adalah campuran asetonitril atau metanol dengan air atau dengan larutan

buffer.

a. Kromatografi fase normal

Kromatografi fase normal (fase diam lebih polar daripada fase gerak),

kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya polaritas pelarut. Fase

gerak ini biasanya tidak polar. Dietil eter, benzen, hidrokarbon lurus seperti

pentana, heksana, heptana maupun iso-oktana sering digunakan. Halida

alifatis seperti diklorometana, dikloroetana, butilklorida dan kloroform juga

digunakan. Umumnya gas terlarut tidak menimbulkan masalah pada fase

normal. (Munson, 1991 dan Rohman, 2007)

Fase diam yang digunakan dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

[image:40.595.165.456.528.636.2]

Gambar 11. Jenis-jenis fase diam untuk tipe kromatografi fase normal

b. Kromatografi fase terbalik

Kromatografi fase terbalik (fase diam kurang polar daripada fase gerak),

(41)

Kandungan utama fase gerak fase terbalik adalah air. Pelarut yang dapat

campur dengan air seperti metanol, etanol, asetonitril, dioksan, tetrahidrofuran

dan dimetilformamida ditambahkan untuk mengatur kepolaran fase gerak.

Dapat ditambahkan pula asam, basa, dapar dan/atau surfaktan. Mutu air harus

tinggi baik air destilasi maupun awamineral.

[image:41.595.155.437.274.384.2]

Fase diam yang digunakan dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

Gambar 12. Jenis-jenis fase diam untuk tipe kromatografi fase terbalik

3. Kromatografi penukar ion

Tehnik ini tergantung pada penukaran (adsorpsi) ion-ion diantara fase gerak

dan tempat-tempat berion dari kemasan. Kebanyakan resin-resin berasal dari

polimer stiren divinilbenzen dimana gugus-gugus fungsinya telah ditambah.

Resin-resin tipe asam sulfonat dan amin kuarterner merupakan jenis resin

pilihan paling baik dan banyak digunakan. Keduanya, fase terikat dan resin

telah digunakan. Tehnik ini dipakai secara luas dalam life sciences dan dikenal

secara khas untuk pemisahan asam-asam amino. Tehnik ini dapat dipakai

untuk keduanya, kation-kation dan anion-anion.

4. Kromatografi eksklusi (EC)

Tehnik ini unik karena dalam pemisahan didasarkan pada ukuran molekul dari

(42)

sangat kecil yang inert. Molekul-molekul kecil dapat masuk ke dalam jaringan

dan ditahan dalam fase gerak yang menggenang. Molekul-molekul yang lebih

besar tidak dapat masuk ke dalam jaringan dan lewat melalui kolom tanpa

ditahan.

5. Kromatografi Pasangan Ion (IPC)

Kromatografi ini merupakan bentuk khusus dari kromatografi cair-cair yang

digunakan untuk pemisahan senyawa atau cuplikan yang mengandung

komponen ion dan non ion, seperti garam ammonium kuarterner, sulfonat,

asam amino dan aminofenol. Kromatografi pasangan ion dilakukan dengan

kondisi yang serupa dengan kondisi pada kromatografi fase balik yaitu dengan

sistem pelarut campuran air dengan metanol atau asetonitril dan kolom seperti

oktadesilsilana yang terikat pada silika.

2.4.2 Komponen Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Gambar 5. Bagan alat KCKT 2.4.2.1 Wadah Fase gerak

Wadah fase gerak terbuat dari bahan yang inert terhadap fase gerak. Bahan

yang umum digunakan adalah gelas dan baja anti karat. Daya tampung tandon

harus lebih besar dari 500 ml, yang dapat digunakan selama 4 jam untuk

kecepatan alir yang umumnya 1-2 ml/menit.

pompa

injektor

kolom

oven

detektor

Wadah solven

[image:42.595.157.470.445.563.2]
(43)

2.4.2.2 Pompa

Untuk menggerakkan fase gerak melalui kolom diperlukan pompa. Pompa

harus mampu menghasilkan tekanan 6000 Psi pada kecepatan alir 0,1 – 10

ml/menit. Pompa ada 2 jenis yaitu pompa volume konstan dan pompa tekanan

konstan. Pompa terbuat dari bahan yang inert terhadap semua pelarut. Bahan yang

umum digunakan adalah gelas baja antikarat dan teflon. Aliran pelarut dari pompa

harus tanpa denyut untuk menghindari hasil yang menyimpang pada detektor.

2.4.2.3 Injektor

Cuplikan harus dimasukkan ke dalam pangkal kolom (kepala kolom),

diusahakan agar sesedikit mungkin terjadi gangguan pada kemasan kolom.

Ada tiga jenis dasar injektor, yaitu:

a. Hentikan aliran/stop flow: Aliran dihentikan, injeksi dilakukan pada

kinerja atmosfer, sistem tertutup, dan aliran dilanjutkan lagi. Tehnik ini

bisa digunakan karena difusi di dalam aliran kecil dan resolusi tidak

dipengaruhi.

b. Septum: Injektor-injektor langsung ke aliran fase gerak umumnya sama

dengan yang digunakan pada kromatografi gas. Injektor ini dapat

digunakan pada kinerja sampai 60-70 atmosfir. Tetapi septum ini tidak

tahan dengan semua pelarut-pelarut kromatografi cair. Disamping itu,

partikel kecil dari septum yang terkoyak (akibat jarum injektor) dapat

menyebabkan penyumbatan.

c. Katup putaran (loop valve): ditunjukkan secara skematik dalam Gambar 6,

tipe injektor ini umumnya digunakan untuk menginjeksi volume lebih

(44)

(dengan adaptor khusus, volume-volume lebih kecil dapat diinjeksikan

secara manual). Pada posisi LOAD, sampel loop (cuplikan dalam putaran)

diisi pada tekanan atmosfer. Bila katup difungsikan, maka cuplikan di

dalam putaran akan bergerak ke dalam kolom.

Gambar 6. Tipe injektor katup putaran

2.4.2.4 Kolom

Kolom adalah jantung kromatografi. Berhasil atau gagalnya suatu analisis

tergantung pada pemilihan kolom dan kondisi percobaan yang sesuai. Kolom

dapat dibagi menjadi dua kelompok:

• Kolom analitik: diameter khas adalah 2-6 mm. Panjang kolom tergantung

pada jenis kemasan. Untuk kemasan pelikular, panjang yang lumrah

adalah 50-100 cm. Untuk kemasan poros mikropartikulat, umumnya 10-30

cm. Dewasa ini ada yang 5 cm

• Kolom preparatif: umumnya memiliki diameter 6 mm atau lebih besar dan

panjang kolom 25 -100 cm.

Kolom umumnya dibuat dari stainless steel dan biasanya dioperasikan pada

temperatur kamar, tetapi bisa juga digunakan temperatur lebih tinggi, terutama

untuk kromatografi penukar ion dan kromatografi eksklusi. Kemasan kolom

(45)

2.4.2.5 Detektor

Suatu detektor dibutuhkan untuk mendeteksi adanya komponen cuplikan

dalam aliran yang keluar dari kolom. Detektor-detektor yang baik memiliki

sensitifitas yang tinggi, gangguan (noise) yang rendah, kisar respons linier yang

luas, dan memberi tanggapan/respon untuk semua tipe senyawa.

Detektor yang paling banyak digunakan dalam kromatografi cair modern

kecepatan tinggi adalah detektor spektrofotometer UV 254 nm.

Bermacam-macam detektor dengan variasi panjang gelombang UV-Vis sekarang menjadi

populer karena mereka dapat digunakan untuk mendeteksi senyawa-senyawa

dalam rentang yang luas. Detektor indeks refraksi juga secara luas digunakan,

terutama dalam kromatografi eksklusi, tetapi umumnya kurang sensitif dari pada

detektor spektrofotometer UV. Detektor lainnya, antara lain: detektor fluorometer,

detektor ionisasi nyala, detektor elektrokimia dan lain-lain juga telah digunakan.

2.4.2.7Fase Gerak

Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat

bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya

elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase

diam, dan sifat komponen-komponen sampel (Johnson dan Stevenson, 1991;

Munson, 1991 dan Rohman, 2007).

Dalam kromatografi cair komposisi pelarut atau fase gerak adalah satu

variabel yang mempengaruhi pemisahan. Terdapat keragaman yang luas dari

solven yang digunakan dalam semua mode kromatografi cair kinerja tinggi, tetapi

ada beberapa sifat-sifat yang diinginkan yang mana umumnya harus dipenuhi oleh

(46)

Fase gerak yang digunakan dalm KCKT harus murni, tidak ada

pencemar/kontaminan; tidak bereaksi dengan pengemas; sesuai dengan detektor;

melarutkan cuplikan; mempunyai viskositas rendah; mudah rekoveri cuplikan,

bila diinginkan; tersedia diperdagangan dengan harga yang pantas.

Umumnya, pelarut-pelarut dibuang setelah digunakan karena prosedur

pemurnian kembali membosankan dan mahal. Dari semua persyaratan di atas, 4

persyaratan pertama adalah yang paling penting.

Gelembung udara (degassing) yang ada harus dihilangkan dari pelarut,

karena udara yang terlarut keluar melewati detektor dapat menghasilkan banyak

noise sehingga data tidak dapat digunakan (Johnson dan Stevenson, 1991 dan

Rohman, 2007).

2.5Uji Validasi

Validasi metode dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis akurat,

spesifik, reprodusibel, dan tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis. Suatu

metode analisis harus divalidasi untuk melakukan verifikasi bahwa

parameter-parameter kinerjanya cukup mampu untuk mengatasi problem analisis.

Parameter-parameter uji validasi antara lain :

a. Akurasi (kecermatan)

Merupakan ketelitian metode analisis atau kedekatan antara nilai terukur

dengan nilai yang diterima baik nilai konvensi, nilai sebenarnya, atau nilai

rujukan. Akurasi diukur sebagai banyaknya analit yang diperoleh kembali

pada suatu pengukuran dengan melakukan spiking pada suatu sampel.

Untuk pengujian senyawa obat, akurasi diperoleh dengan membandingkan

(47)

b. Presisi (keseksamaan)

Merupakan ukuran keterulangan metode analisis dan biasanya dinyatakan

sebagai simpangan baku relatif dari sejumlah sampel yang berbeda

signifikan secara statistik.

c. Batas deteksi (Limit of detection, LOD)

Merupakan konsentrasi analit terkecil dalam sampel yang masih dapat

dideteksi, meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi.

d. Batas kuantitasi (Limit of Quantitation, LOQ)

Merupakan konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat

ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi

operasional metode yang digunakan (Rohman, 2007).

2.6Uraian Bentuk Sediaan Tablet

Tablet merupakan sediaan padat kompak, dibuat secara kempa cetak,

dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler, kedua permukaannya rata atau cembung,

mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau zat tambahan (Depkes RI,

1979).

ediaan tablet mempunyai keuntungan dibandingkan dengan bentuk

sediaan lainnya karena memberikan dosis yang tepat pada pemakaiannya, mudah

pemakaian, cara pembuatannya sederhana, mudah pengemasan dan distribusinya.

Pada pembuatan tablet biasanya diperlukan bahan-bahan lain sebagai

bahan tambahan, seperti bahan pengisi, bahan pengikat, bahan pelicin, dan bahan

(48)

Tablet dibuat dengan cara pengempaan campuran serbuk atau granul,

semakin kuat tekanan pengempaan maka tablet akan menjadi lebih kompak

karena permukaan partikel lebih rendah (Ansel, 1989).

2.7Bahan tambahan dalam sediaan tablet

Komposisi umum dari tablet adalah zat berkhasiat, bahan pengisi, bahan

pengikat dan bahan pelicin. Kadang-kadang dapat ditambahkan pewangi

(flavoring agent), bahan pewarna (coloring agent), bahan pemanis dan bahan

tambahan lain yang cocok (Ansel, 1989).

2.7.2Bahan pengisi

Bahan pengisi diperlukan bila dosis obat tidak cukup untuk membuat

sediaan. Pada bahan obat yang berdosis cukup tinggi, bahan pengisi tidak

diperlukan (misalnya aspirin, antibiotik tertentu). Bahan pengisi dapat juga

ditambah karena alasan kedua yaitu untuk memperbaiki daya kohesi sehingga

dapat dikempa langsung atau untuk memacu aliran. Bahan pengisi yang umumnya

digunakan adalah laktosa, sukrosa, mannitol, sorbitol, golongan amilum dan

avicel (Soekemi, dkk, 1987).

2.7.2 Bahan pengikat

Gunanya adalah untuk mengikat komponen-komponen tablet untuk

dijadikan granul dengan ukuran yang sama dan bentuk yang spheris setelah

dipaksakan melewati ayakan. Dengan adanya bahan pengikat, komponen tablet

akan mudah dibentuk menjadi granul, sehingga akan memudahkan pencetakan.

Bahan-bahan yang sering digunakan sebagai bahan pengikat yaitu amilum,

gelatin, akasia, Na alginat, sukrosa dan golongannya, CMC, Veegum dan lain-lain

(49)

2.7.3 Bahan pengembang

Ditambahkan untuk memecahkan tablet menjadi partikel-partikel kecil

sehingga luas permukaan diperbesar dan absorpsi dipermudah. Bahan-bahan yang

biasa digunakan sebagai pengembang yaitu amilum, gom, derivat sellulosa,

alginat, dan lain-lain.

2.7.4 Bahan pelicin

Ditambahkan dengan maksud meningkatkan daya alir granul-granul pada

corong pengisi, mencegah melekatnya massa pada punch dan die, mengurangi

pergesekan antara butir-butir granul, mempermudah pengeluaran tablet dari die.

Bahan pelicin yang umumnya digunakan adalah talkum dan metalik stearat seperti

(50)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat penelitian

Penelitian dilakuk an di laboratorium Kimia Farmasi Kuantitatif dan

laboratorium Teknologi Formulasi Resep Fakultas Farmasi Universitas Sumatera

Utara serta Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetik Majelis

Ulama Indonesia Kota Medan pada bulan Juni 2008 sampai Agustus 2008.

3.2 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu unit alat KCKT

(Shimadzu) yang terdiri dari vacuum degasser, pompa, UV/Vis detektor,

integrator, kolom Shimpac VP-ODS (3,9 mm x 30 cm), penyuntik mikroliter (100

μl), wadah fase gerak, pH meter (Hanna), spektrofotometer ultraviolet (Shimadzu

mini 1240), mesin pencetak tablet single punch (Atelier), strong cobb hardness

tester (Erweka), stopwatch, mortir, stamfer, oven, ayakan, dan alat-alat gelas

lainnya.

3.3 Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan jika tidak dinyatakan lain adalah kualitas p.a

produksi E.Merck yaitu asetonitril, metanol, trietilamina, asam asetat glasial,

natrium hidroksida, aquabidestilata (PT. Ikapharmindo Putramas), laktosa,

amilum manihot, talkum, magnesium stearat, Sulfametoksazol BPFI (PPOM

Jakarta), Trimetoprim BPFI (PPOM Jakarta), Sulfametoksazol baku (PT.

Indofarma), Trimetoprim baku (PT. Indofarma), tablet Cotrimoksazole (PT. Phyto

Kemo Agung Farma), tablet Cotrimoksazole (PT. Indofarma), tablet Bactrim (PT.

(51)

3.4 Metode penelitian

3.4.1 Pembuatan tablet kotrimoksazol R/ Sulfametoksazol 400 mg

Trimetoprim 80 mg

Amilum manihot 5%

Musilago amili 10% q.s.

Mg Stearat 1%

Talkum 1%

Laktosa q.s.

m.f.tab dtd no.C (Depkes RI, 1978)

Cara Pembuatan :

Ke dalam lumpang dimasukkan sulfametoksazol dan trimetoprim, lalu

ditambahkan amilum manihot sebagai pengembang dalam, ditambahkan laktosa

dan dicampurkan sampai homogen. Kemudian musilago amili ditambahkan

sedikit demi sedikit hingga diperoleh massa yang baik, kemudian diayak dengan

ayakan mesh 8. Granulat basah dikeringkan pada lemari pengering pada suhu

tidak lebih dari 40-60o

3.4.2 Uji preformulasi

C selama lebih kurang 6 jam. Setelah kering granulat

diayak kembali dengan ayakan mesh 12, ditambahkan amilum manihot sebagai

pengembang luar, talkum dan magnesium stearat dalam jumlah tertentu, diaduk

homogen lalu dicetak menjadi tablet dengan bobot 600 mg dan penampang 13

mm.

Uji preformulasi ini dilakukan terhadap massa granul yang telah ditambah

(52)

3.4.2.1 Uji Sudut Diam (Cartensen, 1977)

Ditimbang 50 gram granul kemudian dimasukkan ke dalam corong yang

telah dirangkai, permukaan granul diratakan, lalu penutup corong dibuka sehingga

granul mengalir sampai habis. Tinggi tumpukan granul yang terbentuk diukur.

Sudut diam dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

Tg θ = 2 H / D

Dimana : θ = Sudut diam

H = Tinggi tumpukan granul (cm)

D = Diameter tumpukan granul (cm)

Granul yang bersifat free flowing akan mempunyai sudut diam lebih kecil dari

35o

3.4.2.2 Uji Laju Alir / Kecepatan Alir (Cartensen, 1977) .

50 gram granul dimasukkan ke dalam corong yang telah dirangkai

kemudian permukaannya diratakan. Penutup bawah dibuka bersamaan dengan

stopwatch dihidupkan. Stopwatch dihentikan tepat pada saat granul habis

melewati corong dan dicatat waktu alirnya. Syarat laju alir granul lebih kecil dari

10 detik.

3.4.2.3 Uji Indeks Tap (Cartensen, 1977)

Dimasukkan 50 ml granul ke dalam gelas ukur volume 100 ml sampai

garis tanda dan dinyatakan sebagai volume awal (V1), kemudian gelas ukur

dihentakkan sebanyak 20 kali sehingga diperoleh volume akhir (V2

Syarat dari indeks tap lebih kecil dari 20%.

(53)

3.4.3 Pembuatan Fase Gerak

Dicampurkan 1400 ml air, 400 ml asetonitril, dan 2,0 ml trietilamina

dalam labu tentukur 2000 ml, biarkan hingga suhu kamar dan atur pH hingga 5,9

± 0,1 dengan larutan asam asetat glasial (1 dalam 100). Encerkan dengan air

sampai garis tanda, saring melalui membran 0,45 μm. Sebelum digunakan, fase

gerak diawaudarakan selama lebih kurang 15 menit.

3.4.4 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum 3.4.4.1 Pembuatan larutan induk baku BPFI

Ditimbang seksama sejumlah 50,0 mg sulfametoksazol BPFI dan

trimetoprim BPFI, masing-masing dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml,

dilarutkan dan diencerkan dengan metanol hingga garis tanda sehingga diperoleh

larutan dengan konsentrasi 1000 mcg/ml, disaring, filtratnya digunakan sebagai

larutan induk.

3.4.4.2 Penentuan panjang gelombang maksimum Sulfametoksazol BPFI Dari larutan induk baku Sulfametoksazol BPFI dipipet sebanyak 1,25 ml,

dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml, dicukupkan dengan fase gerak sampai

garis tanda. Dikocok sampai homogen sehingga diperoleh larutan dengan

konsentrasi 25 mcg/ml. Diukur dengan spektrofotometer UV-Vis, kemudian

dibuat kurva serapannya pada panjang gelombang 200 – 400 nm. (Hasil

pengukuran dapat dilihat pada gambar 1 di halaman 39)

3.4.4.3 Penentuan panjang gelombang maksimum Trimetoprim BPFI

Dari larutan induk baku trimetoprim BPFI dipipet sebanyak 1 ml,

dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml, dicukupkan dengan fase gerak sampai

(54)

konsentrasi 20 mcg/ml. Diukur dengan spektrofotometer UV-Vis, kemudian

dibuat kurva serapannya pada panjang gelombang 200 – 400 nm. (Hasil

pengukuran dapat dilihat pada gambar 2 di halaman 39)

3.4.5 Penentuan Panjang Gelombang Analisis

Panjang gelombang analisis ditentukan dengan cara membuat spektrum

serapan masing-masing dari sulfametoksazol dan trimetoprim dalam pelarut fase

gerak pada kerangka yang sama dan dipilih panjang gelombang yang sesuai, yaitu

yang memberikan serapan yang optimum untuk sulfametoksazol dan trimetoprim.

(Hasil pengukuran dapat dilihat pada gambar 3 di halaman 40)

3.4.6 Penyiapan alat KCKT

Kolom yang digunakan Shimpac VP-ODS (4.6 mm x 25 cm), detektor

UV-Vis pada panjang gelombang 270 nm. Pompa yang digunakan mode aliran

tetap dengan laju aliran (flow rate) 2 ml/menit, sensitivitas 0,01 AUFS.

Setelah alat KCKT dihidupkan, maka pompa dijalankan dan fase gerak

dibiarkan mengalir beberapa lama sampai diperoleh garis alas yang datar yang

menandakan sistem tersebut telah stabil.

3.4.7 Identifikasi

Sulfametoksazol BPFI konsentrasi 160 mcg/ml, trimetoprim BPFI

konsentrasi 32 mcg/ml, tablet kotrimoksazol yang dibuat sendiri dan

kotrimoksazol dalam sediaan tablet dengan nama dagang dan generik dengan

konsentrasi setara dengan sulfametoksazol 160 mcg/ml masing-masing

disuntikkan ke sistem KCKT dengan volume penyuntikan 20 µl pada kondisi

KCKT yang sama. Puncak yang ditunjukkan diperhatikan dan dicatat waktu

(55)

waktu retensi sulfametoksazol BPFI dan trimetoprim BPFI. (Hasil dapat dilihat

pada gambar 4 di halaman 41-42)

3.4.8 Penentuan kuantitatif

3.4.8.1 Pembuatan linieritas kurva kalibrasi 3.4.8.1.1 Kurva kalibrasi sulfametoksazol BPFI

Dipipet larutan induk baku sulfametoksazol sebanyak 0,5; 1,0; 1,6; 2,0;

dan 2,5 ml, masing-masing dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 ml, diencerkan

dengan fase gerak hingga garis tanda sehingga diperoleh konsentrasi 50, 100, 160,

200 dan 250 mcg/ml, disaring, kemudian filtratnya masing-masing diinjeksikan ke

sistem KCKT dengan volume penyuntikan 20 µl dengan laju aliran (flow rate) 2

ml/menit, deteksi dilakukan pada panjang gelombang 270 nm. Selanjutnya dari

luas area kromatogram yang diperoleh dibuat kurva kalibrasi lalu hitung

persamaan regresinya. (Hasil dapat dilihat pada lampiran 3-4 di halaman 53-56)

3.4.8.1.2 Kurva kalibrasi trimetoprim BPFI

Dipipet larutan induk baku trimetoprim sebanyak 0,1; 0,2; 0,32; 0,4; dan

0,5 ml, masing-masing dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 ml, diencerkan

dengan fase gerak hingga garis tanda sehingga diperoleh konsentrasi 10, 20, 32,

40 dan 50 mcg/ml, disaring, kemudian filtratnya masing-masing diinjeksikan ke

sistem KCKT dengan volume penyuntikan 20 µl dengan laju aliran (flow rate) 2

ml/menit, deteksi dilakukan pada panjang gelombang 270 nm. Selanjutnya dari

luas area kro

Gambar

Tabel 1. Hasil pengolahan data dari tablet yang dibuat sendiri ...........................
Gambar alat KCKT ...................................................................  51
Gambar 2. Profil-profil puncak
Gambar  11. Jenis-jenis fase diam untuk tipe kromatografi fase normal
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan kembalinya Perseroan ke lantai bursa pada pertengahan 2015, BUKAKA memiliki dukungan yang cukup untuk dapat memaksimalkan peluang bisnis yang ada di masa depan,

PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR DIREKTUR UTAMA DEWAN PENGAWAS KA.SUB BAG.. PIPA TRANS.&DIS

nickel mining, processing and trading, PT Bukaka Energi (BE) that runs power plant business and. PT Bukaka Forging Industries (BFI) that runs automotive component

94 GAYA BALI TOUR & TRAVEL Jl. By Pass Ngr Rai No. Dipenogoro 150 Bl. By Pass Ngurah Rai No. Raya Sesetan, Komp. By Pass Ngr. Raya Sesetan No.. 105 INDOPLAN HOLIDAY ASRI Jl. By

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Pembentukan Tim

[r]

Pendidikan Agama dan Budi Pekerti 3182. Pendidikan Pancasila dan

Penghargaan yang setinggi-tingginya diberikan kepada. DANAR WIDIYANTA,