Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
PREVALENSI KEBUTAAN AKIBAT GLAUKOMA
DI KABUPATEN LANGKAT
OLEH :
RENI GUSPITA
PEMBIMBING :
Dr. Masitha Dewi Sari, SpM
Dr. H. Azman Tanjung, SpM
Prof. Dr. H. Aslim. D. Sihotang, SpM
Drs. H. Abdul Djalil Amri Arma, MKes
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
PREVALENSI KEBUTAAN AKIBAT GLAUKOMA
DI KABUPATEN LANGKAT
TESIS
DOKTER SPESIALIS MATA
Diseminarkan dan dipertahankan pada hari Senin, 28 Desember 2009
Di hadapkan Dewan Guru Bagian Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Telah disetujui
---
1. Dr. Delfi, SpM Ketua Departemen
---
2. Prof. Dr. H. Aslim D Sihotang, SpM Ketua Program Studi
---
3. Dr. H. Azman Tanjung, SpM Pembimbing
---
4. Dr. Masitha Dewi Sari, SpM Pembimbing
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karuniaNya, sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan
tesis ini. Tesis ini dibuat untuk memenuhi salah satu kewajiban untuk memperoleh
keahlian dalam bidang Ilmu Penyakit Mata di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Pada kesempatan yang berbahagia ini saya menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pembimbing saya Prof. Dr. H. Aslim D.
Sihotang, SpM, Dr. H. Azman Tanjung, SpM, Dr. Masitha Dewi Sari, SpM, Drs. H.
Abdul Djalil Amri Arma, MKes, yang telah banyak memberi masukan saran dan bantuan
selama penulisan tesis ini.
Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada yang terhormat
guru-guru saya : Dr. H. M. Dien Mahmud, SpM, Dr. H. Chairul Bahri AD, SpM, Dr. H.
Azman Tanjung, SpM, Prof. Dr. H. Aslim D. Sihotang, SpM, Dr. Masang Sitepu, SpM,
Dr. H. Abdul Gani, SpM, Dr. H. Bachtiar, SpM, Dr. Suratmin, SpM, Dr. Hj. Adelina
Hasibuan, SpM, Dr. Hj. Nurhaida Djamil, SpM, Dr. Hj. Rizafatmi, SpM, Dr. H. Syaiful
Bahri, SpM, Dr. Beby Parwis, SpM, Dr. Hj. Heriyanti Harahap, SpM, Dr. Hj. Aryani A.
Amra, SpM, Dr. Delfi, SpM, Dr. Zaldy, SpM, Dr. Nurchaliza Hazaria Siregar, SpM, Dr.
Masitha Dewi Sari, SpM, Dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, SpM, Dr. Bobby Ramses
Erguna Sitepu, SpM dan Dr. T. Siti Harilza Zubaidah, SpM atas bimbingan dan
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada senior saya Dr. H. Hasmui,
SpM, Dr. Juniarson Barus (†),SpM, Dr. H. R. Handoko Pratomo,SpM, Dr. Andri
Libra,SpM, Dr. Meianto Ginting,SpM, Dr. Elly TE.Silalahi,SpM, Dr. Sri Ninin
Asnita,SpM, Dr. Lylys Surjani,SpM, Dr. Feriyani,SpM, Dr. Januar Sitorus,SpM, Dr.
Novie Diana Sari, SpM, Dr. Nova Arianti, SpM, Dr. Ira Karina Siregar, SpM, Dr.
Andriyeni, SpM, atas bimbingan yang telah diberikan kepada saya.
Terima kasih kepada rekan-rekan sejawat peserta Program Pendidikan Dokter
Spesialis Mata, terutama Dr. Vanda Virgayanti, Dr. Herman, Dr. Christina Bagun, Dr.
Fithria Aldy, Dr. Herna Hutasoit, Dr. Laszuarni, Dr. Kaherma Sari, dan Dr. Hasnawati
serta tak lupa Dr. Cut Nori A. Renardi serta Dr. Jenny Rahmalita dan para perawat SMF
RSUP. H. Adam Malik dan RSU Dr. Pirngadi Medan yang telah banyak membantu saya
dalam menjalani program pendidikan ini.
Kepada Pimpinan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, TKP PPDS,
saya ucapkan terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk
mengikuti pendidikan keahlian ini. Juga terima kasih kepada Pimpinan RSUP. H. Adam
Malik Medan, RSU Dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan izin untuk
menggunakan fasilitas yang ada selama saya menempuh pendidikan.
Ucapan terima kasih juga kepada Kadinkes Langkat yang telah memberi izin,
kepada rekan sejawat Dokter/Pimpinan Puskesmas serta Paramedis di Kabupaten
Langkat yang telah memberikan bantuan dan sarana utuk pelaksanaan penelitian ini.
Untuk yang sangat berarti dalam hidup saya adalah keluarga saya tercinta yang
senantiasa mendukung, membantu, memperhatikan, mencintai dan menerima saya apa
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
Dr. Abdul Gani dan Ibu Darmiana (Alm), dari lubuk hati yang paling dalam saya ucapkan
banyak terima kasih atas kasih sayang dan pengorbanannya selama ini sehingga saya
dapat menyelesaikan pendidikan program spesialis ini. Untuk Kakak, Abang-abang dan
Adik-adikku tercinta, terima kasih atas dukungan dan perhatiannya selama ini.
Kepada suami saya tercinta H. Tri Sugana, SE, terima kasih yang sangat dalam
atas pengorbanan, pengertian, kesabaran, cinta kasih, ketulusan dan dorongannya
sehingga semua ini dapat tercapai, dan untuk kedua buah hati saya terkasih Trinita Ariqah
Savira dan Rafif Muhammad Dhani, terima kasih atas pengorbanan dan pengertian serta
kesabaran kalian, sehingga Mama dapat menyelesaikan tugas Mama selama pendidikan
ini, semoga ini dapat menjadi pendorong untuk kalian dalam meraih cita-cita.
Kepada semua pihak yang tidak tertulis disini, yang telah banyak membantu saya
baik moril maupun materi selama menempuh pendidikan keahlian ini, tiada kata yang
dapat saya ucapkan selain ucapan terima kasih setulus-tulusnya, semoga Allah SWT
selalu melimpahkan rahmat dan kasih sayangNya kepada kita semua.
Saya menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, namun saya
berharap hasil karya ini dapat memberikan manfaat, sekecil apapun manfaatnya dapat
memberi arti dalam perkembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bagian Ilmu
Penyakit Mata Fakultas Kedokteran USU Medan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Medan, 5 Oktober 2009
Penulis
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
1.4. MANFAAT PENELITIAN ... 6
1.5.HIPOTESA ... 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1. KERANGKA TEORI... 7
2.2. STRUKTUR GEOGRAFI DAN DEMOGRAFI KABUPATEN LANGKAT... 20
BAB III. KERANGKA KONSEP, DEFENISI OPERASIONAL ... 23
3.1. KERANGKA KONSEPSIONAL ... 23
3.2. DEFENISI OPERASIONAL ... 23
BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 25
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
4.9. LAMA PENELITIAN ... 33
4.10. ANALISA DATA ... 33
4. 11. PERSONALIA PENELITIAN ... 34
4. 12. PERTIMBANGAN ETIKA ... 34
4. 13. BIAYA PENELITIAN ... 34
BAB V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……….…………35
5. 1. HASIL PENELITIAN ………35
A. DATA UMUM SAMPEL ………..36
B. PESERTA PENELITIAN ………..39
5. 2. PEMBAHASAN ……….44
5. 3. HUBUNGAN KEBUTAAN AKIBAT GLAUKOMA DENGAN DEMOGRAFI DAN SOSIO EKONOMI KABUPATEN LANGKAT ………..47
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ………49
6. 1. KESIMPULAN ………..49
6. 2. SARAN ………..49
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1LATAR BELAKANG
Pembangunan bidang kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia (SDM) Indonesia. Indera penglihatan (baca: mata) merupakan faktor kunci
bagi terwujudnya SDM yang berkualitas. Hal ini disebabkan karena jalur utama
penyerapan informasi dalam proses belajar individu terjadi melalui penglihatan (83%).
Karena itu, upaya pemeliharan kesehatan indera penglihatan dan pencegahan kebutaan
menjadi satu hal yang perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak.1
Pada tahun 1977, International Classification of Diseases (ICD) membagi
berkurangnya penglihatan menjadi 5 kategori dengan maksimum tajam penglihatan
kurang dari 6/18 Snellen, dimana kategori 1 dan 2 termasuk pada low vision sedangkan
kategori 3,4 dan 5 disebut blindness. Pasien dengan lapang pandangan 5 – 10
ditempatkan pada kategori 3 dan lapang pandangan kurang dari 5 ditempatkan pada
kategori 4. 2,3 Definisi low vision dan blindness baru-baru ini berdasarkan International
Statistical Classification of Diseases, injuries and causes of death, 10th revision (ICD-10): H54 (9) dimana visual impairment termasuk low vision dan blindness. Low vision
didefinisikan sebagai tajam penglihatan yang kurang dari 6/18, tapi sama atau lebih baik
dari 3/60, atau hilangnya lapang pandangan korespoden kurang dari 20° pada mata yang
lebih baik dengan koreksi terbaik (visual impairment kategori 1 dan 2). Blindness
didefinisikan sebagai tajam penglihatan yang kurang dari 3/60, atau hilangnya lapang
pandangan koresponden kurang dari 10° pada mata yang lebih baik dengan koreksi
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
Masalah kebutaan di Indonesia lebih merupakan masalah sosial, ketimbang
masalah kesehatan. Hal ini sesuai dengan kriteria Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni
bila angka kebutaan melebihi 1%, maka termasuk kriteria masalah sosial, bukan
semata-mata masalah kesehatan. Hal ini menegaskan bahwa upaya untuk mengurangi angka
kebutaan di Indonesia mesti bersifat lintas sektoral dan melibatkan peran aktif
masyarakat luas.5
WHO memperkirakan jumlah penderita kebutaan akibat katarak di dunia saat
ini mencapai 17 juta orang. Kondisi ini mendapat perhatian besar lembaga-lembaga
internasional sejak awal tahun 2000. Badan Kesehatan Dunia (WHO) bekerja sama
dengan International Agency for Prevention of Blindness (IAPB) telah mencanangkan
satu inisiatif global untuk penanggulangan masalah kesehatan mata dan kebutaan di
seluruh dunia, yaitu program ”Vision 2020, The Right To Sight” (hak untuk melihat). Visi
ini kemudian diimplementasikan sesuai dengan kondisi masing-masing negara.1
Ada beberapa faktor yang menyebabkan angka kebutaan di Indonesia masih
tinggi, antara lain yaitu, peningkatan jumlah penduduk, penambahan usia harapan hidup,
kondisi geografis yang tidak menguntungkan terkait dengan paparan sinar UV yang
tinggi, serta kurang meratanya pelayanan dan tenaga kesehatan mata (Azrul Azwar,
2004). Sebagai gambaran, saat ini di Indonesia hanya memiliki 700 tenaga dokter
spesialis mata yang harus melayani 210 juta penduduk. Ini berarti satu dokter harus
menangani 325.000 penduduk. Kondisi ini masih jauh dari ideal. Bandingkan dengan di
India, dimana setiap dokter spesialis mata hanya menangani 90.000 penduduk. Jumlah
dokter spesialis mata di Indonesia yang tidak mencukupi itu ternyata juga tidak
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
terkonsentrasi di Jakarta., 67,1 % berpraktek di kota-kota lain di Pulau Jawa, dan sisanya
melayani daerah di luar Jawa. Selain itu penambahan jumlah dokter spesialis mata setiap
tahunnya hanya sekitar 25-30 orang, padahal idealnya ada sekitar 100 dokter baru.1
Berdasarkan Survei Kesehatan Indera tahun 1993-1996, dari 1,5% penduduk
Indonesia mengalami kebutaan dengan penyebab utama adalah katarak (0,78%),
glaukoma (0,20%), kelainan refraksi (0,14%), gangguan retina (0,13%), dan kelainan
kornea (0,10%).6
Menurut perkiraan WHO pada tahun 2002, penyebab kebutaan paling utama di
dunia adalah katarak ( 47,8%), glaukoma (12,3%), uveitis (10,2%), age-related macular
degeneration (AMD) (8,7%), trakhoma (3,6%), corneal opacity (5,1%), dan diabetic retinopathy (4,8%).7
Glaukoma merupakan salah satu penyebab kebutaan. Pada negara Sub Sahara
Afrika Barat, glaukoma merupakan penyebab kebutaan kedua setelah katarak.8 Di
Amerika glaukoma merupakan salah satu penyebab “legal blindness” dengan perkiraan
12% kasus baru per tahun., pada orang kulit hitam dan hispanik glaukoma merupakan
penyebab kebutaan kedua setelah katarak.9
Prevalensi perkiraan berdasarkan studi populasi terbaru di Amerika Serikat (US),
Australia dan Eropa menghasilkan yaitu berdasarkan sensus US tahun 2000, diperkirakan
937.000 (0,78%) orang Amerika di atas usia 40 tahun mengalami kebutaan. Sebagai
tambahan 2,4 juta orang Amerika (1,98%) mengalami low vision. Penyebab utama
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
kasus), sementara di antara orang-orang kulit hitam katarak dan glaukoma tercatat lebih
dari 60% kebutaan.10
Menurut Bambang dan kawan-kawan yang melakukan penelitian di Kabupaten
Lamongan Jawa Timur diperoleh prevalensi kebutaan akibat glaukoma sebesar 0,20%
pada kedua mata dan 0,14% pada satu mata. 5
Propinsi Sumatera Utara terdiri dari 13 Kabupaten dan 6 Kota dengan jumlah
penduduk 11.476.272 jiwa dan populasi penduduk miskin 24,2% memiliki 46 Rumah
Sakit dan 402 Pusat Kesehatan Masyarakat, diperkirakan memiliki angka prevalensi
kebutaan akibat glaukoma yang lebih kecil dari pada prevalensi kebutaan akibat
glaukoma secara nasional seperti pada penelitian Sri Ninin Asnita di Kabupaten Karo
tahun 2004 didapat prevalensi kebutaan akibat glaukoma sebesar 0,094%.11,12 Berikut ini
adalah penelitian yang dilakukan di Sumatera Utara oleh Departemen Mata tahun 2004
didapat angka kebutaan sebagai berikut : kebutaan akibat Katarak ( Tanjung Balai 0,37%;
Karo 0,41% ), Glaukoma (Karo 0,094%) , Kelainan Refraksi ( Tanjung Balai 0,09%;
Karo 0,12% ), Gangguan Retina ( Tanjung Balai 0,06%; Karo 0,11% ), dan Kelainan
Kornea ( Tanjung Balai 0,11%; Karo 0,08% ). Hal ini mendorong penulis untuk
melakukan penelitian prevalensi kebutaan akibat glaukoma khususnya di Kabupaten
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
1.2RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang tersebut diatas, maka dirumuskan permasalahan sebagai
berikut :
1. Berapa prevalensi kebutaan akibat glaukoma di Kabupaten Langkat.
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi angka kebutaan akibat glaukoma.
1.3TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Mendapatkan angka kebutaan akibat glaukoma untuk Kabupaten Langkat dan
faktor-faktor yang mempengaruhi kebutaan tersebut.
2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui karakteristik geografi Kabupaten Langkat.
2. Untuk mengetahui gambaran karakteristik sosio – demografi responden atau
penderita kebutaan akibat glaukoma di wilayah Kabupaten Langkat.
3. Untuk mengetahui gambaran kesehatan mata responden di wilayah Kabupaten
Langkat.
4. Untuk mengetahui gambaran budaya di wilayah Kabupaten Langkat.
5. Untuk mengetahui gambaran sarana dan prasarana kesehatan mata di wilayah
Kabupaten Langkat.
6. Untuk mengetahui gambaran kebutaan akibat glaukoma di wilayah Kabupaten
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
1. Dengan penelitian ini, dapat dibuat pemetaan tentang kebutaan akibat glaukoma
di wilayah Kabupaten Langkat.
2. Dapat dibuat kebijakan yang berkaitan dengan penatalaksanaan kabupaten akibat
glaukoma serta estimasi proyek kegiatan yang dapat menurunkan angka kebutaan
tersebut.
1.5. HIPOTESA
Terdapat angka kebutaan akibat glaukoma yang lebih rendah di Kabupaten
Langkat pada tahun 2009 dibandingkan dengan angka kebutaan nasional
Tabel 1.1 Klasifikasi ICD terhadap penurunan penglihatan
Category of Visual Impairment Level of Visual Acuity (Snellen)
Low Vision 1 Less than 6/18 to 6/60
2 Less than 6/60 to 3/60
Blindness 3 Less than 3/60 (Finger Counting at 3 m) to
1/60 (Finger Counting at 1 m) or visual field between 5 – 10
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. KERANGKA TEORI
2.1.1. Definisi :
Glaukoma merupakan suatu kumpulan penyakit yang mempunyai suatu
karakteristik umum optik neuropati yang berhubungan dengan hilangnya fungsi
penglihatan. Walaupun kenaikan tekanan intra okuli (TIO) adalah satu dari faktor
resiko primer, ada atau tidaknya faktor ini tidak merubah definisi penyakit.13
2.1.2. Patofisiologi
Terdapat tiga faktor penting yang menentukan tekanan bola mata, yaitu :
1. Jumlah produksi akuos oleh badan siliar.
2. Tahanan aliran akuos humor yang melalui sistem trabekular meshwork-kanalis
Schlem.
3. Level dari tekanan vena episklera.
Umumnya peningkatan TIO disebabkan peningkatan tahanan aliran akuos humor.
Akuos humor dibentuk oleh prosesus siliaris, dimana masing-masing prosesus
ini disusun oleh epitel lapis ganda, dihasilkan 2-2,5µL/menit, mengalir dari kamera
okuli posterior, lalu melalui pupil mengalir ke kamera okuli anterior.13 Sebagian besar
akan keluar melalui sistem vena, yang terdiri dari jaringan trabekulum, juxta
kanalikuler, kanal Schlemm dan selanjutnya melalui saluran pengumpul (collector
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
Sebagian kecil akan melalui struktur lain pada segmen anterior hingga mencapai
ruangan supra khoroid. Untuk selanjutnya akan keluar melalui sklera yang intak atau
saraf maupun pembuluh darah yang memasukiya. Jalur ini disebut juga dengan jalur
uveosklera (10-15%)13-16.
Tekanan bola mata yang umum dianggap normal adalah 10-21 mmHg. Pada
banyak kasus peningkatan tekanan bola mata dapat disebabkan oleh peningkatan
resistensi aliran akuos humor. Beberapa faktor resiko dapat menyertai perkembangan
suatu glaukoma termasuk riwayat keluarga, umur, sex, ras, genetik, variasi diurnal,
olahraga, obat-obatan) 13,16
Proses kerusakan papil saraf optik (cupping) akibat tekanan intraokuli yang
tinggi atau gangguan vaskuler ini akan bertambah luas seiring dengan terus
berlangsungnya kerusakan jaringan sehingga skotoma pada lapang pandangan makin
bertambah luas. Pada akhirnya terjadi penyempitan lapang pandangan dari yang
ringan sampai berat. 13,15
Glaukomatous optik neuropati adalah tanda dari semua bentuk glaukoma.
Cupping glaukomatous awal terdiri dari hilangnya akson-akson, pembuluh darah, dan
sel glia. Perkembangan glaukomatous optik neuropati merupakan hasil dari berbagai
variasi faktor, baik intrinsik maupun ekstrinsik. Kenaikan TIO memegang peranan
utama terhadap perkembangan glaukomatous optik neuropati.13
Terdapat 2 hipotesa yang menjelaskan perkembangan glaukomatous optik
neuropati, teori mekanik dan iskemik. Teori mekanik menekankan pentingnya
kompresi langsung serat-serat akson dan struktur pendukung nervus optikus anterior,
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
berakibat pada kematian sel ganglion retina (RGCs). Teori iskemik fokus pada
perkembangan potensial iskemik intraneural akibat penurunan perfusi nervus optikus.
Perfusi ini bisa akibat dari penekanan TIO pada suplai darah untuk nervus atau proses
intrinsik pada nervus optikus. Gangguan autoregulasi pembuluh darah mugkin
menurunkan perfusi dan mengakibatkan gangguan saraf. Pembuluh darah nervus
optik secara normal meningkat atau menurunkan tekanannya untuk memelihara aliran
darah konstan, tidak tergantung TIO dan variasi tekanan darah.13,14
Pemikiran terbaru tentang glaukomatous optik neuropati mengatakan bahwa
kedua faktor mekanik dan pembuluh darah mungkin berperan terhadap kerusakan.
Glaukoma adalah seperti suatu kelainan famili heterogen, dan kematian sel ganglion
terlihat pada glaukomatous optik neuropati yang di mediasi oleh banyak faktor.13
2.1.3. Klasifikasi
Adapun menurut American Academy of Ophthalmology glaukoma dibagi atas :
1. Glaukoma Sudut Terbuka
Penyebabnya secara umum adalah sebagai suatu ketidaknormalan pada
matriks ekstraseluler trabekular meshwork dan pada sel trabekular pada daerah
jukstakanalikuler, meskipun juga ada di tempat lain. Sel trabekular dan matriks
ekstraseluler di sekitarnya diketahui ada pada tempat agak sedikit spesifik.13
A. Glaukoma Primer Sudut Terbuka/Primary open-angle glaucoma (POAG)
Tidak terdapat penyakit mata lain atau penyakit sistemik yang menyebabkan
peningkatan hambatan terhadap aliran akuos atau kerusakan terhadap syaraf optik,
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
terbuka merupakan glaukoma tipe terbanyak dan umumnya mengenai umur 40 tahun
keatas. POAG dikarakteristikkan sebagai suatu yang kronik, progresif lambat, optik
neuropati dengan pola karakteristik kerusakan saraf optik dan hilangnya lapang
pandangan. POAG didiagnosa dengan suatu kombinasi penemuan termasuk tingkat
TIO, gambaran diskus optik, dan hilangnya lapangan pandang. Tekanan bola mata
merupakan faktor resiko penting walaupun beberapa keadaan lain dapat menjadi
faktor yang berpengaruh seperti riwayat keluarga, usia, ras, myopia, diabetes mellitus
(DM) dan lain-lain.13
Patogenesis naiknya TIO pada POAG disebabkan oleh karena naiknya tahanan
aliran akuos humor di trabekular meshwork. Kematian sel ganglion retina timbul
terutama melalui apoptosis (program kematian sel) daripada nekrosis. Banyak faktor
yang mempengaruhi kematian sel, tetapi pendapat terbaru adalah dipertentangkan
antara kerusakan akibat iskemik dan mekanik.14
B. Glaukoma dengan Tensi Normal
Kondisi ini adalah bilateral dan progresif, dengan TIO dalam batas normal.
Banyak ahli mempunyai dugaan bahwa faktor pembuluh darah lokal mempunyai
peranan penting pada perkembangan penyakit. Penelitian memperkirakan bahwa
pasien dengan glaukoma tensi normal memperlihatkan prevalensi kelainan
vasospastik yang lebih tinggi seperti sakit kepala migraine dan fenomena Raynaud,
penyakit iskemik vaskular dan lain-lain dibanding pasien dengan glaukoma tensi
tinggi, penemuan ini belum tetap. Penelitian lain mengatakan adanya defek
autoregular pembuluh darah. Merupakan bagian dari glaukoma primer sudut terbuka,
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
C. Glaukoma Suspek
Glaukoma suspek diartikan sebagai suatu keadaan pada orang dewasa yang
mempunyai satu dari penemuan berikut paling sedikit pada satu mata yaitu :
- suatu defek nerve fiber layer atau nervus optikus perkiraan glaukoma
(perluasan cup-disc ratio, asimetris cup-disc ratio, notching neural rim,
perdarahan diskus, ketidaknormalan lokal atau difus pada nerve fiber
layer).
- Ketidaknormalan lapang pandangan sesuai dengan glaukoma.
- Peningkatan TIO lebih besar dari 21 mmHg.13
Biasanya, jika terdapat 2 atau lebih tanda di atas maka dapat mendukung
diagnosa untuk POAG, khususnya bila terdapat faktor-faktor resiko lain seperti usia
lebih dari 50 tahun, riwayat keluarga glaukoma, dan ras hitam, juga sudut bilik mata
terbuka pada pemeriksaan gonioskopi.13
D. Glaukoma Sekunder Sudut Terbuka
Bila terjadi peningkatan tekanan bola mata sebagai akibat manifestasi penyakit
lain di mata maka glaukoma ini disebut sebagai glaukoma sekunder. Contoh
glaukoma jenis ini adalah :
• Sindroma Pseudoeksfoliasi (Exfoliation Syndrome)
• Glaukoma pigmenter (Pigmentary Glaucoma)
• Glaukoma akibat kelainan lensa.
• Glaukoma akibat tumor intraokuli
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
Pada glaukoma pseudoeksfoliasi dijumpai endapan-endapan bahan berserat
mirip serpihan pada kapsul dan epitel lensa, pinggir pupil, epitel siliar, epitel pigmen
iris, stroma iris, pembuluh darah iris, dan jaringan subkonjungtiva. Pada glaukoma ini
material serpihan tersebut akan mengakibatkan obstruksi trabekulum dan
mengganggu aliran akuos humor. Asal material ini secara pasti tidak diketahui,
kemungkinan berasal dari berbagai sumber sebagai bagian dari kelainan membran
dasar umum.13,14
Glaukoma pigmenter terdiri dari deposit pigmen pada endotel kornea dalam
suatu pola vertical spindle (krukenberg spindle), pada tabekular meshwork, dan pada
perifer lensa, dan secara khas, defek transiluminasi iris midperifer. Glaukoma
pigmenter adalah glaukoma yang diakibatkan tertimbunnya deposit pigmen akibat
degenerasi epitel pigmen iris dan korpus siliaris. 13,14
Glaukoma akibat kelainan lensa dapat dalam berbagai bentuk yaitu fakolitik,
fakoantigenik dan akibat partikel lensa. Glaukoma fakolitik terjadi sebagai akibat
kebocoran protein lensa pada katarak matur dan hipermatur. Kebocoran ini sering
disertai pada awalnya dengan rasa nyeri dan inflamasi segmen anterior. Jaringan
trabekulum akan tersumbat oleh sel-sel makrofag dan protein lensa. Glaukoma
fakoantigenik (dulunya fakoanafilaktik) terjadi sebagai akibat tindakan bedah atau
karena trauma yang menyebabkan lensa pecah. Penderita akan tersensitisasi oleh
protein lensanya sendiri, dan selanjutnya terjadi reaksi inflamasi. Bila inflamasi
mengenai jaringan trabekulum maka dapat menyebabkan glaukoma. Glaukoma akibat
partikel lensa terjadi bila partikel korteks lensa menyumbat trabekular meshwork
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
2. Glaukoma Sudut Tertutup
Glaukoma sudut tertutup didefinisikan sebagai aposisi iris perifer terhadap
terhadap trabekular meshwork dan menghasilkan penurunan aliran akuos humor
melalui sudut bilik mata.
Mekanisme terjadinya sudut tertutup dibagi dalam 2 kategori yaitu :
- Mekanisme yang mendorong iris ke depan dari belakang.
- Mekanisme yang menarik iris ke depan dan kontak dengan trabekular
meshwork.
Blok pupil yang terjadi akibat iris yang condong kearah depan merupakan penyebab
tersering glaukoma sudut tertutup. Aliran akuos humor dari posterior ke anterior akan
terhalang. Dengan diproduksinya terus menerus akuos humor sementara tekanan bola
mata terus naik, maka akan sekaligus menyebabkan terjadinya pendorongan iris
menekan jaringan trabekulum sehingga sudut bilik menjadi sempit.13,14,16
A. Glaukoma Primer Sudut Tertutup dengan Blok Pupil Relatif
Glaukoma dengan blok pupil relatif ini timbul bila terdapat hambatan gerakan
akuos humor melalui pupil karena iris kontak dengan lensa, lensa intraokuli, capsular
remnants, anterior hyaloid, atau vitreous space-occupying substance (udara, minyak
silikon). Blok pupil relatif ini diperkirakan penyebab yang mendasari lebih dari 90%
glaukoma primer sudut tertutup.13
B. Glaukoma Sudut Tertutup Akut.
Timbul ketika tekanan intra okuli meningkat dengan cepat sebagai akibat
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
mata, sakit kepala, kabur, halo, muntah, mual, karena tingginya TIO menyebabkan
edema epitel.13
C. Glaukoma Sudut Tertutup Subakut (intermitten)
Glaukoma sudut tertutup akut yang berulang dengan gejala lebih ringan dan
sering didahului dengan peningkatan tekanan intra okuli. Gejala yang timbul dapat
hilang secara spontan, terutama pada waktu tidur-menginduksi miosis.13
D. Glaukoma Sudut Tertutup Kronik
Tekanan intraokuli meningkat disebabkan bentuk ruang anterior yang bervariasi
dan menjadi tertutup secara permanent oleh sinekia anterior. Penyakit ini cenderung
terdiagnosa pada stadium akhir, sehingga menjadi penyebab kebutaan terbanyak di
Asia Tenggara.13
E. Glaukoma Sekunder Sudut Tertutup dengan Blok Pupil
Dapat disebabkan oleh fakomorfik glaukoma (disebabkan oleh lensa yang
membengkak/intumensasi lensa), ektopia lentis (perubahan letak lensa dari posisi
anatomisnya), blok pupil juga dapat terjadi pada mata afakia dan pseudokafia.13
F. Glaukoma Sekunder Sudut Tertutup tanpa Blok Pupil
Glaukoma sekunder ini dapat terjadi oleh karena 1 dari 2 mekanisme berikut:
• Kontraksi dari inflamasi, perdarahan, membran pembuluh darah, band,
atau eksudat pada sudut yang menyebabkan perifer anterior sinekia (PAS).
• Perubahan tempat ke depan dari diafragma lensa-iris, sering disertai
pembengkakan dan rotasi ke depan badan siliar.
Yang termasuk glaukoma ini seperti glaukoma neovaskular, sindrom iridocorneal
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
G. Sindrom Iris Plateau
Gambarannya sebagai suatu konfigurasi yang tidak khas dari sudut kamera
okuli anterior sebagai akibat dari glaukoma akut dan kronik. Glaukoma sudut tertutup
primer dengan atau tanpa komponen blok pupil, tetapi lebih sering terjadi blok
pupil.13
3. Glaukoma pada Anak.
Glaukoma infantil atau kongenital primer ini timbul pada saat lahir atau
dalam 1 tahun kehidupannya. Kondisi ini disebabkan kelainan kelainan
perkembangan sudut bilik depan yang menghambat aliran akuos humor.
Patofisiologi terjadinya ada dua, yang pertama bahwa ketidaknormalan
membran atau sel pada trabekular meshwork adalah mekanisme patologik primer,
yang kedua adalah anomali segmen anterior luas, termasuk insersi abnormal
muskulus siliaris.13
A. Glaukoma kongenital primer
Glauko ma primer yang dijumpai pada saat baru lahir hingga usia 1 tahun.
B. Glaukoma disertai dengan kelainan kongenital
Disertai dengan penyakit mata (misal dysgenesis segmen anterior, aniridia),
juga dengan penyakit sistemik (misal rubella, sindrom Lowe).
C. Glaukoma Sekunder pada bayi dan anak
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
2.1.4. Evaluasi Klinis Nervus Optikus
Nervus optikus mengandung jaringan neuroglial, matriks ekstraseluler serta
pembuluh darah. Nervus optik manusia mengandung kira-kira 1,2-1,5 juta akson dari
sel ganglion retina (retinal ganglion cells/RGCs). Papil nervus optikus atau diskus
optikus dibagi atas 4 lapisan yaitu : lapisan nerve fiber, prelaminar, laminar dan
retrolaminar. Lapisan paling luar atau lapisan nerve fiber dapat dilihat langsung
dengan ophthalmoskop. Lapisan ini diperdarahi oleh arteri retina sentral. Lapisan
kedua atau prelaminar region secara klinis dapat dievaluasi adalah area sentral papil
optik. Daerah ini diperdarahi oleh arteri siliaris posterior. Pada nervus optikus dapat
diperiksa dengan ophthalmoskop direk, ophthalmoskop indirek atau slit lamp yang
menggunakan posterior pole lens. 13-14.
Kepala nervus optikus atau diskus optik, biasanya bulat atau sedikit oval dan
mempunyai suatu cup sentral. Jaringan di antara cup dan pinggir diskus disebut
neural rim atau neuroretinal rim. Pada orang normal, rim ini mempunyai kedalaman
yang retalif seragam dan warna yang bervariasi dari orange sampai merah muda.
Ukuran cup fisiologis secara perkembangannya ditetapkan dan bergantung ukuran
diskus.Ukuran cup dapat sedikit meningkat sesuai umur. Orang kulit hitam yang
bukan glaukoma rata-rata mempunyai diskus yang lebih lebar dan cup-disc
ratio/CDR lebih besar dibanding kulit putih. Rata-rata orang myopia mempunyai
mata dan diskus-up yang lebih besar dibanding emetropia dan hiperopia. CDR saja
tidak adekuat menentukan bahwa diskus optik mengalami kerusakan glaukomatous.13
Penting untuk menbandingkan mata yang satu dengan sebelahnya karena
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
antara 0,1-0,4, walaupun sekitar 5% individu normal mempunyai rasio CDR yang
lebih besar dari 0,6. Asimetri rasio CDR lebih dari 0,2 terdapat pada kurang dari 1%
orang normal.13
Membedakan cup normal dari cup glaukomatous adalah sulit. Perubahan awal
dari glaukomatous optik neuropati adalah sangat halus yaitu:
• Pembesaran umum cup
• Pembesaran cup secara fokal
• Pendarahan splinter superfisial
• Kehilangan lapisan fiber saraf
• Tembus pandang neuroratinal rim
• Perkembangan pembuluh darah menyilang
• Asimetri cup antara kedua mata.
• Atrofi peripapil
Perubahan lain yang ditemukan pada glaukoma di klinik adalah adanya
penyempitan lapang pandangan dengan pemeriksaan perimetri. Kerusakan serabut
saraf oleh proses glaukoma akan menunjukkan bentuk atau gambaran yang khas pada
pemeriksaan perimetri, dapat berupa :
• Depresi umum
• Paracentral scotoma
• Arcuarta atau Bjerrum scotoma
• Nasal step
• Defek altitudinal
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
2.1.5. Penatalaksanaan
Pengobatan terhadap glaukoma adalah dengan cara medikamentosa dan operasi.
Obat – obat anti glaukoma meliputi :
• Prostaglandin analog – hypotensive lipids
• Beta adrenergic antagonist (non selectif dan selectif
• Parasympathomimetik (miotik) agents, termasuk cholinergic dan
anticholinesterase agents
• Carbonic anhydrase inhibitors (oral, topical)
• Adrenergic agonists (nonselective dan selective alpha2 agonists)
• Kombinasi obat
• Hyperosmotic agents.13,14
Tindakan operasi untuk Glaukoma
• Untuk Glaukoma sudut terbuka.
o Laser trabeculoplasty
o Trabeculectomy
o Full – Thickness Sclerectomy
o Kombinasi bedah katarak dan filtrasi
• Untuk glaukoma sudut tertutup
o Laser iridectomy
o Laser gonioplasty atau Peripheral iridoplasty
• Prosedur lain untuk menurunkan tekanan intraokuli
o Pemasangan shunt
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010. o Cyclodialysis
o Viscocanalostomy
• Untuk glaukoma kongenital
o Goniotomy dan trabekulotomy.13
Pencegahan kebutaan akibat glaukoma serta penanganannya harus dilakukan
secara terintegrasi dengan pelayanan kesehatan mata lainnya. Program disesuaikan
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
2.2 STRUKTUR GEOGRAFI DAN DEMOGRAFI KABUPATEN LANGKAT.
Kabupaten Langkat merupakan salah satu daerah yang berada di Sumatera Utara.
Secara geografis Kabupaten Langkat berada pada 3° 14’– 4° 13’ Lintang Utara, 97°52’ –
98° 45’ Bujur Timur dan 4 – 105 m dari permukaan laut. Kabupaten Langkat menempati
area seluas ± 6.263,29Km² (626.329 Ha) yang terdiri dari 23 Kecamatan dan 277 Desa
serta 34 Kelurahan Definitif. Area Kabupaten Langkat di sebelah Utara berbatasan
dengan Kabupaten Aceh Tamiang dan Selat Malaka, di sebelah Selatan berbatasan
dengan Kabupaten Karo,di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara /
Tanah Alas, dan di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang.
Berdasarkan luas daerah menurut kecamatan di Kabupaten Langkat, luas daerah terbesar
adalah kecamatan Batang Serangan dengan luas 934,90 km2 atau 14,93persen diikuti
kecamatan Bahorok dengan luas 884,79 km2 atau 12,25 persen. Sedangkan luas daerah
terkecil adalah Kecamatan Binjai dengan luas 49,55 km2 atau 0,79 persen dari total luas
wilayah Kabupaten Langkat.17
Seperti umumnya daerah – daerah lainnya yang berada di kawasan Sumatera
Utara, Kabupaten Langkat termasuk daerah yang beriklim tropis. Sehingga daerah ini
memiliki 2 musim yaitu : musim kemarau dan musim hujan.17
Berdasarkan Kabupaten Langkat Dalam Angka 2008, Kabupaten Langkat
memiliki jumlah penduduk sekitar 1.042.523 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar
164,04 jiwa / km2 . Perkembangan jumlah penduduk tahun 2004, 2005, 2006, 2007
berkisar 955.348, 970.433, 1.013.849 dan 1.027.414 dengan laju pertumbuhan penduduk
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
Sarana kesehatan yang ada di Kabupaten Langkat meliputi 3 Rumah Sakit Umum
Pemerintahan, 1 Rumah Sakit Umum Swasta. Sementara pada daerah Kecamatan dan
Pedesaan Kabupaten Langkat pada tahun 2007 ini memiliki sarana kesehatan yang cukup
memadai yaitu : 28 buah Puskesmas, 153 Puskesmas pembantu dan 1.256 buah Pos
Yandu yang semuanya tersebar di tiap Kecamatan.
Banyaknya sarana / pelayanan kesehatan menurut Kecamatan pada tahun 2007.
Kecamatan Puskesmas Puskesmas
pembantu
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
Tenaga Medis yang tersedia di Kabupaten Langkat, baik negeri maupun swasta
ada 104 orang Dokter Umum, 49 orang Dokter Gigi dan 13 orang Dokter Spesialis. Dari
13 orang Dokter Spesialis yang ada di Kabupaten Langkat, 1 orang, Dokter Spesialis
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
BAB III
KERANGKA KONSEPSIONAL DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. KERANGKA KONSEPSIONAL
Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan dan
mengarahkan asumsi mengenai elemen-elemen yang diteliti. Berdasarkan rumusan
masalah yang telah dipaparkan dalam latar belakang, tinjauan kepustakaan yang ada,
maka kerangka konsep digambarkan sebagai berikut :
KERANGKA KONSEP
• Kebutaan glaukoma adalah penderita glaukoma dengan visus terbaik pada
kedua mata <3/60.
• Sosial ekonomi adalah segala sesuatu mengenai kemampuan daya beli
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
• Geografi adalah kondisi alam apakah mudak atau sulit dijangkau dari sarana
dan prasarana kesehatan yang tersedia, dimana hal tersebut akan
mempengaruhi cakupan pelayanan kesehatan yang akan diberikan.
• Sumber daya manusia adalah tenaga ahli, khususnya dokter spesialis mata dan
perawat refraksionis mata tersedia.
• Sarana dan prasarana kesehatan adalah ketersediaan Rumah Sakit Pemerintah
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. DESAIN PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian survei dengan pendekatan Cross Sectional atau
potong lintang yang bersifat deskriptif, artinya subjek yang diamati baik pada saat
monitoring biologik dan pengukuran tingkat pengetahuan masyarakat dinilai dengan
pengamatan pada saat bersamaan (transversal) atau dengan satu kali pengamatan atau
pengukuran.
4.2. PEMILIHAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian dilakukan di kabupaten Langkat yang merupakan daerah dataran
rendah dengan penentuan sampel secara purposif, sesuai dengan insiden dan kriteria
yang ada.
4.3. POPULASI PENELITIAN
Populasi penelitian adalah seluruh penduduk dengan penglihatan <3/60 yang
ada di wilayah kerja seluruh Puskesmas dalam satu kabupaten yang sesuai dengan
kriteria penelitian selanjutnya dilakukan pemeriksaan seluruh masyarakat desa di
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
4.4. BESAR SAMPEL
Untuk mendapatkan data yang representatif yang mewakili satu kabupaten
Langkat, maka sampel diambil dari 10 kecamatan yang terpilih.
Besarnya sampel adalah jumlah penduduk dari 10 kecamatan yang terpilih
yang dianggap mewakili satu Kabupaten yang ada di wilayah kerja, jumlah sampel
yang akan diambil, dihitung dengan rumus Cluster Random dengan Proportional
Allocation Methode yaitu :
Dimana : n = Jumlah sampel minimal yang akan diambil dalam
Penelitian ini.
N = Jumlah populasi
Z = Nilai baku normal dari tebal Z yang besarnya tergantung
Pada nilai = 0,05, nilai Zc = 1,96.
c2 = Varians populasi
∑ ( ai + P mi )2 = ∑ ai2 – 2P∑aiMi + P2 ∑mi2 =
n - 1 n - 1
G = galat pendugaan, diasumsikan 3 %.
M = Rerata kejadian buta glaukoma = ∑ mi
n
N Z
2c
2n =
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
Untuk menentukan jumlah sampel untuk masing-masing wilayah kerja Puskesmas
dihitung dengan rumus : nh =
N n Nh
Dengan demikian, sampel jumlah untuk masing – masing Kecamatan yaitu :
c2 = Varians populasi
∑ ( ai + P mi )2 = ∑ ai2 – 2 P ∑ai Mi + P2 ∑ mi2
= n -1 n -1
= 19345,13849
P = Proporsi kebutaan akibat glaukoma
= ∑ ai
∑ mi
= 0,1
= ∑ mi n
= 968,538
mi = jumlah kebutaan secara nasional
= 1,5 %
ai = jumlah kebutaan akibat glaukoma
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
Tabel 4.1. Distribusi Penduduk Kabupaten Langkat
Kecamatan Jlh
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
4.5. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI
Kriteria Inklusi :
a. Bersedia ikut dalam penelitian
b. Subjek penelitian adalah responden yang berusia diatas 5 tahun
c. Tajam penglihatan <3/60 pada kedua mata dengan koreksi terbaik, lapang
pandangan kurang dari 100.
d. Dengan funduskopi direk terdapat Cup Disc Ratio > 0,5, terdapat tanda-tanda
glaukoma pada papil saraf optik.
e. Tekanan intra okuli (TIO) lebih besar atau sama dengan 22 (≥22). Kriteria Eksklusi :
a. Tidak sesuai dengan kriteria penerimaan.
b. Dengan alasan tertentu menarik diri atau menolak dilakukan penelitian.
c. Sampel tidak adekuat (riwayat penyakit lain dijumpai).
d. Tekanan intra okuli (TIO) lebih kecil dari 22 (<22)
4.6. IDENTIFIKASI VARIABEL
• Variable terikat adalah kebutaan glaukoma
• Variabel bebas adalah :
a. Sosial ekonomi
b. Budaya
c. Geografi
d. Sumber daya manusia
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
4.7. BAHAN DAN ALAT
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Snellen Chart
2. Trial Lens
3. Ophthalmoskop direk ( Keeler )
4. Senter
5. Loop
6. Tonometer Schiotz
7. Tropicamide 1% tetes mata
8. Pantocain 0,5% tetes mata
9. Chloramphenicol 1% tetes mata
10.Alkohol 70% dan kapas
11.Pensil
12.Penghapus
13.Kertas Kuesioner
14.Tangen Screen
4.8. JALANNYA PENELITIAN DAN CARA KERJA
Pengumpulan data menggunakan formulir kuesioner yang berisi data
karakteristik dari sampel, sarana dan prasarana di daerah penelitian. Daerah penelitian
untuk satu kabupaten diwakili oleh 10 Kecamatan dengan beberapa desa terpilih
setelah survei pendahuluan. Peneliti akan mengunjungi seluruh Unit Pelayanan
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
Pembantu, dimana dengan kerja sama lintas sektor melalui kecamatan, lurah dan
kepala lingkungan yang berada di wilayah kabupaten tersebut. Kemudian peneliti
menentukan jadwal pemeriksaan yang sebelumnya berkoordinasi dengan kepala
Puskesmas yang bertugas di wilayah penelitian, lalu penderita glaukoma
dikumpulkan di puskesmas pada waktu tertentu, kemudian peneliti akan memeriksa
langsung sampel. Jumlah sampel yang belum mencukupi dilakukan pemeriksaan
langsung ke rumah-rumah pada lingkungan yang terpilih dengan dibantu kepala
lingkungan.
Terhadap subjek peserta penelitian dilakukan, serangkaian pemeriksaan sebagai
berikut :
• Semua data pasien dicatat pada lembar kuesioner
• Dilakukan pemeriksan tajam penglihatan dengan menggunakan Snellen Chart dan
dikoreksi.
• Dilakukan pemeriksaan segmen posterior dengan menggunakan ophthalmoskop
direk untuk mengevaluasi Cup Disc Ratio dan tanda-tanda glaukoma.
• Dilakukan penilaian lapang pandangan dengan alat tangen screen
• Dilakukan pemeriksaan tekanan bola mata dengan tonometer Schiotz
Semua data yang telah terkumpul akan disimpan dan di komputerisasi dengan
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
4.9. LAMA PENELITIAN
Lama penelitian diperkirakan 3 bulan seperti pada tabel di bawah ini :
Bulan Juli Agustus September Desember
Minggu 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Usulan penelitian Penelitian Penyusunan Laporan Presentasi
4.10. ANALISIS DATA
Analisa data dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabulasi
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
4.11. PERSONALIA PENELITIAN
Peneliti : Reni Guspita
Pembantu Penelitian : 1. Christina Bangun
2. Jenny Rahmalita
3. Cut Nori. A. R
4. Kaherma Sari
5. Laszuarni
6. Meriana Rasyid
4.12. PERTIMBANGAN ETIKA
1. Usulan penelitian ini terlebih dahulu disetujui oleh rapat bagian ilmu penyakit
mata FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini kemudian
diajukan untuk disetujui oleh rapat komite etika PPKRM Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
2. Inform konsen dan kerahasiaan
Penelitian ini melibatkan langsung pasien glaukoma yang ada di wilayah
penelitian, sehingga membutuhkan kerjasama lintas sektoral dalam bentuk
tembusan surat izin untuk melakukan penelitian kepada instansi terkait seperti
Dinas Kesehatan Kabupaten, Puskesmas, Camat, Kepolisian, serta aparat desa
setempat.
4.13. BIAYA PENELITIAN
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. HASIL PENELITIAN
Penelitian ini berbentuk survei yang dilakukan pada tanggal 13 Juli 2009 sampai
dengan 20 Agustus 2009 pada 10 kecamatan di Kabupaten Langkat dengan beberapa desa
dimana terdapat angka kebutaan dengan jumlah penduduk sebanyak 29.500 orang.
Jumlah penduduk yang diperiksa yang didapat dari 10 kecamatan adalah sebagai
berikut, yaitu : Kecamatan Babalan dengan sampel buta 39 orang, Kecamatan Selesai
dengan sampel buta 42 orang, Kecamatan Gebang dengan sampel buta 28 orang,
Kecamatan Padang Tualang dengan sampel buta 31 orang, Kecamatan Selapian dengan
sampel buta 15 orang, Kecamatan Stabat dengan sampel buta 51 orang,
, Kecamatan Secanggang dengan sampel buta 94 orang, Kecamatan Hinai dengan sampel
buta 30 orang, Kecamatan Kuala dengan sampel buta 30 orang, Kecamatan Binjai dengan
sampel buta 27 orang.
Hal ini sesuai dengan rumus pengambilan sampel, dimana jumlah sampel yang
diambil sesuai dengan rumus Cluster Random Sampling dengan cara Propositional
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
A. DATA UMUM SAMPEL
1. Usia
Tabel 5.1. Distribusi sampel berdasarkan usia.
Umur ( tahun ) Laki – laki Perempuan Jumlah
Dari table 5.1 distribusi sampel berdasarkan usia di atas, didapatkan jumlah
sampel terbanyak pada usia 66 – 70 tahun yaitu 67 orang. Selanjutnya usia 56 – 60 tahun
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
2. Jenis Kelamin
Tabel 5.2. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin
Penduduk
Binjai Gebang Padang Tualang
Dari table 5.2 didapatkan sampel berjenis kelamin laki-laki sebanyak 188 orang (
48,58 % ) dan perempuan sebanyak 199 orang ( 51,42 % ). Maka dari data ini didapatlah
jumlah sampel perempuan sedikit lebih banyak dibanding jumlah sampel laki – laki.
3. Tingkat pendidikan
Tabel 5.3 Distribusi sampel berdasarkan tingkat pendidikan.
Tingkat Pendidikan N %
Dari table 5.3 terlihat bahwa sampel yang tidak sekolah sebanyak 116 orang, SD
sederajat 191 orang , SMP/ sederajat 37 orang, SMA / sederajat 39 orang. Akademi /
Perguruan Tinggi 4 orang. Sebagian besar tingkat pendidikan sampel adalah sekolah
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
4. Jenis Pekerjaan
Tabel 5.4. Distribusi sampel berdasarkan jenis pekerjaan.
Pekerjaan N %
Dari table 5.4 di atas tampak bahwa petani merupakan porsi terbesar yaitu
sebanyak 204 orang ( 52,71% ) dan disusul dengan ibu rumah tangga sebanyak 89 orang (
23,00 % ) dan seterusnya.
5. Suku Bangsa
Tabel 5.5. Distribusi sampel berdasarkan suku bangsa
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
Dari table 5.5 diatas tampak bahwa suku Jawa merupakan suku yang terbanyak
yang mengalami kebutaan pada 10 Kecamatan yang mewakili Kabupaten Langkat.
B. PESERTA PENELITIAN
Dari penduduk yang diperiksa ditemukan sampel kebutaan yang menurut kriteria
inklusi sebanyak 387 orang, dengan buta dua mata 123 orang (31,78%) dan satu mata 264
orang (68,22%) sementara sampel kebutaan akibat glaukoma ditemukan sebanyak 11
orang dengan kebutaan bilateral ( dua mata ) dan penderita kebutaan akibat glaukoma
secara unilateral ( satu mata ) sebanyak 44 orang.
1. Karakteristik peserta penelitian
a. Usia
Tabel 5.6. Distribusi kebutaan akibat glaukoma berdasarkan usia.
Usia Satu mata Dua mata Total
N % N % N %
5 – 20 1 1,82 - - 1 1,82
21 – 40 2 3,64 2 3,64 4 7,28
41 – 60 18 32,72 4 7,27 22 40
61 – 80 23 41,82 5 9,09 28 49
> 81 - - - -
Jumlah 44 80 11 20 55 100
Dari tabel di atas tampak bahwa kelompok usia 61-80 tahun merupakan penderita
kebutaan akibat glaukoma terbanyak yakni sebanyak 28 orang ( 49% ). Selanjutnya usia
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
b. Jenis kelamin
Tabel 5.7. Distribusi kebutaan akibat glaukoma berdasarkan jenis kelamin.
Jenis kelamin
Satu mata Dua mata Total
N % N % N %
Laki – laki 23 41,82 4 7,27 27 49,09
Perempuan 21 38,18 7 12,73 28 50,91
Jumlah 44 80 11 20 55 100
Dari tabel di atas tampak bahwa kebutaan akibat glaukoma secara unilateral ( satu
mata ) banyak diderita oleh laki – laki yaitu 23 orang ( 41,82 % ) sedangkan perempuan
21 orang ( 38,18 % ). Kebutaan akibat glaukoma secara bilateral ( dua mata ) ditemukan
pada perempuan sebanyak 7 orang ( 12,72% ) dan laki-laki 4 orang ( 7,27% ).
c. Tingkat pendidikan
Tabel 5.8. Distribusi kebutaan akibat glaukoma berdasarkan tingkat pendidikan.
Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)
Tidak sekolah 11 20
SD 34 62
SMP 6 11
SMU 4 7
Akademi/PT - -
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
Dari tabel di atas tampak bahwa penderita kebutaan akibat glaukoma lebih banyak
terdapat pada yang memiliki tingkat pendidikan rendah yaitu 11 orang berpendidikan
tidak sekolah, 34 orang pendidikan sekolah dasar dan 6 orang berpendidikan SMP, 4
orang yang berpendidikan SMU. Pendidikan yang rendah biasanya sebanding dengan
tingkat pengetahuan dan tingkat sosio ekonomi yang rendah pula, sehingga hal ini
mempengaruhi pandangan terhadap kebutaan akibat glaukoma.
d. Pekerjaan
Tabel 5.9. Distribusi kebutaan akibat glaukoma berdasarkan pekerjaan.
Pekerjaan Jumlah Persentase (%)
Buruh/Karyawan 1 2
Petani 34 62
Dagang/Wiraswasta 4 7
Pegawai 2 4
IRT 7 13
Pelajar 1 2
Pengemudi - -
Lainnya 6 10
Jumlah 55 100
Dari 55 orang kebutaan akibat glaukoma dimana 34 orang pekerjaannya adalah
bertani (62%) dan 7 orang pekerjaan ibu rumah tangga (13%), serta 6 orang lagi adalah
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
e. Riwayat orang tua yang menderita kebutaan
Tabel 5.10. Distribusi kebutaan akibat glaukoma berdasarkan riwayat orang tua.
Riwayat orang tua Jumlah %
Ya 3 5
Tidak 47 85
Tidak tahu 5 10
Jumlah 55 100
Dari tabel di atas, 47 orang tidak mempunyai riwayat penyakit yang sama dengan
orang tuanya, 5 orang menjawab tidak tahu dan hanya 3 orang yang mempunyai orang
tua dengan riwayat sama.
f. Tempat berobat
Tabel 5.11. Distribusi kebutaan akibat glaukoma berdasarkan tempat berobat.
Tempat berobat Jumlah Persentase (%)
Puskesmas 19 34
RS. Pemerintah 9 16
RS. Swasta 4 7
Praktek Swasta 3 5
Tradisional 5 10
Obat sendiri 5 10
Dibiarkan 10 18
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
Dari tabel di atas 19 orang penderita berobat ke Puskesmas, 9 orang ke Rumah
Sakit Umum Pemerintah dan 4 orang Rumah Sakit Swasta, 5 orang berobat tradisional, 5
orang berobat sendiri dan 10 orang tak berobat/dibiarkan.
g. Pembagian glaukoma
Tabel 5.12. Distribusi kebutaan akibat glaukoma berdasarkan pembagiannya.
Pembagian glaukoma
Satu mata Dua mata Total
N % N % N %
Primer - - 8 14,55 8 14,55
Sekunder 44 80 3 5,45 47 85,45
Jumlah 44 80 11 20 55 100
h. Tabel Estimasi Kebutaan Akibat Glaukoma di Kabupaten Langkat.
Kabupaten Langkat Estimasi Pada CI 95 %
( Batas bawah ; Batas atas )
Prevalensi Kebutaan akibat glaukoma
11 / 29500 x 100 % = 0,037% ( 0,018 % ; 0,056 % )
Persentase Kebutaan akibat glaukoma
11 / 123 x 100 % = 8,943 % ( 3,906 % ; 13,98 % )
Prevalensi kebutaan
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
5.2. PEMBAHASAN
Dari tabel 5.1 sampai 5.5 tampak gambaran karakteristik penduduk sampel di
wilayah penelitian.
Dari tabel 5.1 dan 5.2 terlihat distribusi umur dan jenis kelamin menunjukkan
lebih banyak penduduk dengan usia tua dan jenis kelamin yang terbanyak adalah
perempuan. Distribusi umur ini sesuai dengan gambaran kependudukan di Indonesia
umumnya. Umumnya negara-negara yang sedang berkembang seperti Burma, India dan
Indonesia dikatakan berstruktur muda dengan penduduk yang berumur di bawah 15 tahun
jumlahnya lebih besar yaitu lebih dari 40% sedangkan peduduk yang berumur 65 tahun
ke atas kurang dari 10%.
Dari tabel 5.3 terlihat bahwa sebagian besar penduduk hanya sampai pada bangku
sekolah dasar. Rendahnya tingkat pendidikan ini berhubungan dengan rendahnya
pengetahuan yang menyebabkan rendahnya sumber daya manusia.
Dari tabel 5.4 terlihat bahwa sebagian besar penduduk yang merupakan objek
penelitian, mempunyai pekerjaan sebagai petani yaitu sekitar 52,71 %, hal ini sangat
sesuai dengan daerah Indonesia yang berdaerah Agraris yang mana sebagian besar
penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani
Dari tabel 5.5 suku terbanyak yang diperiksa adalah suku Jawa diikuti suku
Melayu dan yang lainnya. Sebenarnya penduduk asli setempat banyak bersuku Melayu,
namun dengan banyaknya daerah lahan transmigrasi, maka daerah tersebut banyak
didatangi oleh penduduk luar yang umumnya bersuku Jawa.
Dari tabel 5.6 tampak gambaran peserta penelitian yang mengalami kebutaan
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
sesuai dengan perpustakaan yang ada maupun penelitian yang pernah dilakukan,
menyebutkan bahwa usia sebagai salah satu faktor resiko kebutaan akibat glaukoma yaitu
40 tahun ke atas dan resiko makin bertambah dengan bertambahnya usia.
Dari table 5.7, penyebaran kebutaan akibat glaukoma menurut jenis kelamin
terdapat 28 orang wanita dan 27 orang laki-laki. Hal ini mungkin diakibatkan oleh
populasi wanita yang relatif lebih banyak dari laki-laki. Dari penelitian yang pernah
dilakukan di Indonesia wanita juga relatif lebih banyak.
Dari table 5.8, sebagian besar penderita tidak bersekolah dan sekolah dasar.
Rendahnya tingkat pendidikan ini menyebabkan penderita kurang memahami
penyakitnya sehingga hal ini perlu menjadi perhatian dalam upaya penanggulangan
kebutaan akibat glaukoma.
Dari tabel 5.9. terlihat bahwa, penderita yang mengalami glaukoma secara
mayoritas mempunyai pekerjaan sebagai petani, yaitu sekitar 34 orang ( 62 % ). Hal ini
sesuai dengan keadaan daerah Indonesia umumnya dan Langkat Khususnya yang
mempunyai daerah agraris.
Dari table 5.10, 47 orang menjawab orang tua mereka tidak mempunyai riwayat
penyakit buta, tapi 5 orang menjawab tidak tahu dan hanya 3 orang yang mempunyai
orang tua dengan riwayat sama, sehingga tidak dapat diambil kesimpulan mengenai
riwayat keturunan glaukoma pada penelitian ini.
Dari table 5.11, tampak bahwa sebagian besar penderita berobat ke tempat
fasilitas kesehatan yang ada seperti Puskesmas, Rumah Sakit Umum, Rumah Sakit
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
glaukoma dan alat yang tidak mendukung, dan ketidakrutinan berobat oleh karena faktor
ekonomi dan kebosanan karena mereka merasa penyakitnya tidak sembuh-sembuh.
Dari table 5.12, tampak bahwa glaukoma primer hanya terdapat pada 8 penderita,
sedangkan 47 penderita lainnya adalah glaukoma sekunder, dan kebutaan akibat
glaukoma dua mata terdapat pada 11 penderita serta dua mata pada 44 penderita.
Prevalensi kebutaan akibat glaukoma di Kabupaten Langkat.
Dari semua sampel peduduk sebesar 29500 orang, dijumpai kebutaan akibat
glaukoma sebanyak 55 orang, kejadian pada satu mata berkisar 44 orang dan pada dua
mata berkisar 11 orang. Prevalensi didapatkan dengan rumus jumlah penderita/jumlah
populasi dikali 100%, sehingga prevalensi kebutaan akibat glaukoma untuk Kabupaten
Langkat adalah 0,037 %, dengan estimasi sekitar 0,018 % - 0,056.
Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sri Ninin Asnita di Kabupaten Karo,
didapatkan angka prevalensi kebutaan akibat glaukoma yaitu berkisar 0,094 %8 . Pada
penelitian ini angka yang di dapat lebih rendah dibanding angka sebelumnya dan angka
nasional, beberapa faktor diduga berperan antara lain penelitian ini terbatas pada kasus
dimana tekanan intra okuli dapat diukur dan belum stadium lanjut yang mana pada
stadium lanjut tekanan intra okuli dapat di bawah normal dan mengalami atropi. Dari data
ini terlihat bahwa adanya penurunan prevalensi kebutaan akibat glaukoma di Kabupaten
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
5.3. HUBUNGAN KEBUTAAN AKIBAT GLAUKOMA DENGAN DEMOGRAFI
DAN SOSIO EKONOMI KABUPATEN LANGKAT.
a. Geografi
Pada penelitian ini, geografis dari Kabupaten Langkat dapat dikategorikan daerah
dataran rendah dengan ketinggian 105 m dari permukaan laut, yang mana prasarana jalan
dari desa – desa ke pusat – pusat pelayanan kesehatan dapat dilalui dengan mudah oleh
kendaraan roda dua khususnya. Jadi faktor geografis tidak menjadi halangan bagi
penderita glaukoma untuk mendapatkan pelayanan kesehatan mata.
b. Sosial – Ekonomi
Dari hasil survei yang telah dilakukan terhadap sampel, ternyata masih banyak
penduduk yang berpenghasilan rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya
tingkat pendidikan penduduk setempat dan pekerjaan penduduk yang secara mayoritas
adalah sebagai petani. Oleh sebab itu, untuk keberhasilan program kebutaan ini
diperlukan adanya pemberian pelayanan gratis bagi orang – orang yang tidak mampu,
dan juga memberikan pengetahuan kepada penduduk setempat pentingnya menjaga dan
mencegah kebutaan.
c. Budaya tentang pemeliharaan kesehatan mata
Dari hasil survei yang dilakukan terhadap sampel maka sebagian memeriksakan
diri ke Puskesmas dan Rumah Sakit Pemerintah pada keadaan penglihatannya yang
sangat sudah sangat kabur ataupun kasus-kasus terlambat, sehingga pemulihan
penglihatan sulit diharapkan. Untuk mengatasi keadaan ini tentunya petugas pelayanan
kesehatan harus tetap konsisten memberi penyuluhan/informasi ke masyarakat sehingga
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
d. Sumber Daya Manusia.
Sumber daya manusia di Kabupaten Langkat, terutama petugas kesehatan mata
khususnya belum memadai, meskipun semua kelurahan / desa umumnya telah memiliki
tenaga kesehatan ( bides/ bidan desa ) yang telah tersebar merata di Kabupaten tersebut.
Program Puskesmas salah satunya adalah tentang kesehatan mata, yang mana
program ini termasuk kedalam 18 program pokok. Namun di dalam pelaksanaannya
program ini belum dapat terlaksana dengan baik. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh
masih terbatasnya tenaga ahli kesehatan, khususnya dokter spesialis mata yang sampai
saat ini hanya terdapat 1 orang saja yaitu di Rumah Sakit Kabupaten. Oleh karena itu,
perlulah menjadi bahan perhatian bagi kita semua, khususnya bagi pengambil keputusan
untuk mengadakan tenaga – tenaga terlatih ataupun tenga ahli untuk memenuhi
kebutuhan akan keberhasilan salah satu program puskesmas ini yaitu untuk mencegah
dan menurunkan angka kebutaan.
e. Sarana dan Prasarana Kesehatan
Sarana dan Prasarana Kesehatan di Kabupaten Langkat belum memadai, dimana
untuk Kabupaten Langkat ini hanya tersedia 1 Rumah Sakit Umum Daerah yang juga
hanya memiliki 1 orang tenaga ahli ( Dokter Spesialis Mata ). Sementara di Kabupaten
Langkat itu sendiri sebenarnya banyak ditemukan Rumah Sakit Swasta atau Balai
Pengobatan, namun sarana ini tidak dapat berjalan dengan baik oleh karena sangat
terbatasnya tenaga ahli yang melayani penduduk di Kabupaten tersebut. Sehingga semua
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6. 1. KESIMPULAN
1. Prevalensi kebutaan akibat glaukoma di Kabupaten Langkat adalah 0,037 %, lebih
rendah dari prevalensi kebutaan akibat glaukoma secara nasional yaitu 0,2%.
2. Faktor geografi dari penelitian ini tidak menjadi hambatan untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan.
3. Faktor sosial ekonomi di Kabupaten Langkat yang masih rendah mempunyai
peranan terhadap keberhasilan penanggulan kebutaan akibat glaukoma.
4. Faktor budaya tentang pemeliharaan kesehatan mata juga mempunyai peranan
terhadap keberhasilan penanggulan kebutaan akibat glaukoma dimana hal ini erat
kaitannya dengan tingkat pendidikan.
5. Faktor sumber daya manusia belum memadai dimana hanya terdapat 1 Dokter
Mata dan tenaga medis lainnya belum memahami sepenuhnya tentang kesehatan
mata sehingga sosialisasi terhadap masyarakat belum tercapai.
6. Faktor sarana dan prasarana khususnya untuk tindakan penyakit galukoma belum
memadai sehingga perlu menjadi perhatian pemerintah setempat.
6. 2. SARAN
1. Upaya menurunkan angka kebutaan akibat glaukoma perlu adanya dilakukan
penyuluhan kepada masyarakat secara rutin di Puskesmas, Pustu, Posyandu, Dasa
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
2. Meningkatkan kesadaran penduduk yang beresiko tinggi untuk memeriksakan
matanya secara rutin dan berkala.
3. Melatih tenaga-tenaga kesehatan di Puskesmas untuk memantau kemungkinan
terjadi glaukoma dan merujuk pasien untuk pengobatan sebelum terjadi kebutaan.
4. Meningkatkan sarana dan prasarana kesehatan termasuk tenaga Dokter Spesialis
Mata.
5. Untuk mendapatkan angka yang lebih tepat karena terdapat glaukoma lanjut
dilakukan evaluasi dan penelitian lanjutan dngan menggunakan alat diagnostik
yang lengkap.
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
DAFTAR PUSTAKA
1. Promosi Kesehatan Keluarga. Visi 2020, Hak Untuk Melihat. Didapat dari
http://pestagagasan.blogspot.com/2008_12_01_archive.html.
2. Khurana A.K. Community Ophthalmology in Comprehensive Ophthalmology,
Fourth Edition, Chapter 20, New Delhi, New Age International Limited
Publisher, 2007, page 443 – 457.
3. Ramanjit Sihota, Radhika Tandon. The Cause and Prevention of Blindness in
Parsons’ Diseases of the Eye, Twentieth Edition, Section 34, New Delhi, Reed
Elsevier India Private Limited, 2007, page 523 – 536.
4. WHO, Global Data on Visual Impairment in the year 2002. In
5. Depkes RI, Perdami. Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan
dan Kebutaan ( PGPK ) Untuk Mencapai Vision 2020, 2003, hal 1 – 20.
6. Depkes RI. 1,5 persen Penduduk Indonesia Mengalami Kebutaan, 2008.
7. Wikipedia. Blindness, 2008. In
8. Egbert PR. Glacoma in West Africa; a Neglected Problem. BJO, 2002 ; 86 :
131-132.
9. Muno B, West SK. Blindness and Visual Impairment in the Americans and the
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
10.Archives of Ophthalmology. Causes and Prevalence of Visual Impairment Among
Adults in the United States, 2004 April; 122(4): 477-485. In
11.Asnita S. N. Prvalensi Kebutaan Akibat Glaukoma di Kabupaten Karo, Bagian
Ilmu Penyakit Mata FK USU, Medan, 2004, hal 43.
12.Badan Pusat Statistik Sumatera Utara dalam angka 2002. Badan Pusat Statistik
Propinsi Sumatera Utara, Medan, 2002.
13.American Academy of Ophthalmology. Glaucoma, Basic and Clinical Sciences
Course, section 10, 2008-2009.
14.Kanski J.J. Clinical Ophthalmology, A Systematic Approach, fifth edition,
Oxford, 2003 ; 193-269.
15.Langston D.P. Glaucoma in Manual of Ocular Diagnosis and Therapy, fourth
edition, Boston, 2003, 229-231.
16.Khurana A.K. Glaucoma in Ophthalmology. Fourth Edition, Chapter 20, New
Delhi, New Age International Limited Publisher, 2007, page 205-240.
17.Kabupaten Langkat Dalam Angka 2008, Badan Pusat Statistik Kabupaten
Langkat 2008.
18.Data Badan Pusat Statistik Indonesia thn 2006
19.Ophthalmology, volume 105, number2, February 1998 by The American
Academy of Ophthalmology.
20.Ophthalmology 2008 ; 115 : 85-93 by The American Academy of
Reni Puspita : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukomadi Kabupaten Langkat, 2010.
LEMBAR PERSETUJUAN PESERTA SETELAH PENJELASAN
KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN
( INFORMED CONCENT )
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : ....
Umur :
Pekerjaan :
Alamat :
Telah menerima dan mengerti penjelasan dokter tentang penelitian “Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukoma di Kabupaten Langkat”. Dengan kesadaran serta kerelaan sendiri saya bersedia menjadi peserta penelitian tersebut.
Demikianlah surat persetujuan ini saya perbuat tanpa paksaan siapapun.