• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

PREVALENSI KEBUTAAN AKIBAT KATARAK

DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN

TESIS

DOKTER SPESIALIS MATA

OLEH :

HERNA HUTASOIT NIM :

047110006

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN

(2)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

HASIL TESIS

PREVALENSI KEBUTAAN AKIBAT KATARAK

DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN

OLEH :

HERNA HUTASOIT

PEMBIMBING :

Dr. BEBY PARWIS, SpM

Prof. Dr. H. ASLIM D. SIHOTANG, SpM (K-VR)

Drs. H. ABDUL DJALIL AMRI ARMA, Mkes

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP. H. ADAM MALIK

(3)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

TESIS

DOKTER SPESIALIS MATA

Diseminarkan dan dipertahankan pada hari Senin, 28 Desember 2009

Di hadapkan Dewan Guru Bagian Ilmu Kesehatan Mata

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Telah disetujui

---

1. Dr. Delfi, SpM Kepala Bagian

---

2. Prof. Dr. H. Aslim D Sihotang, SpM (K-VR) Ketua Program Studi

---

3. Dr. Beby Parwis, SpM Pembimbing

(4)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih

dan Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan berkatNya sehingga saya dapat

menyelesaikan penulisan tesis dengan judul ” Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak di

Kabupaten Tapanuli Selatan”

Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi salah satu syarat untuk

memperoleh keahlian dalam bidang Ilmu Kesehatan Mata. Saya menyadari bahwa tesis ini

banyak kekurangannya dan masih jauh dari sempurna, namun demikian besar harapan saya

kiranya tulisan sederhana ini dapat bermanfaat.

Dengan selesainya laporan penelitian ini, perkenankanlah saya menyampaikan rasa terima

kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan

Dokter Spesialis di Fakultas Kedokteran USU Medan.

Dr. Delfi, SpM, Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK-USU Medan ; Dr. Rodiah

Rahmawaty Lubis,SpM, Sekretaris Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK-USU Medan ; Prof.

dr. H Aslim D Sihotang, SpM(K-VR), Ketua Program Studi Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan

Mata FK-USU Medan ; dr. Hj. Aryani Atiyatul Amra, SpM, Sekretaris Program Studi Dokter

Spesialis Ilmu Kesehatan Mata FK-USU Medan ; dan juga dr. H. Azman Tanjung, SpM,

selaku Kepala Bagian Ilmu Penyakit Mata pada saat saya diterima untuk mengikuti

(5)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

Dr.Beby Parwis, SpM selaku pembimbing tesis saya, dan nara sumber yang penuh dengan

kesabaran telah meluangkan waktu yang sangat berharga untuk membimbing, memeriksa, dan

melengkapi penulisan tesis ini hingga selesai.

Dr. Abd. Jalil Amri Arma, M.Kes, yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk

membimbing saya dalam penyelesaian uji statistik tesis ini.

Seluruh Staf Pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK-USU Medan, yang secara

langsung telah banyak membimbing dan mendidik saya sejak awal hingga akhir pendidikan.

Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada yang terhormat guru

guru saya : Dr. H. Mohd. Dien Mahmud, SpM, Dr. H. Chairul Bahri AD,SpM, Dr. H. Azman

Tanjung, SpM, Dr. H. Abdul Gani, SpM, Prof. Dr. H. Aslim. D. Sihotang, SpM ( KVR ), Dr.

Masang Sitepu SpM, Dr. Hj. Adelina Hasibuan, SpM, Dr. H. Bachtiar, SpM, Dr. Suratmin,

SpM, Dr. Hj. Nurhaida Djamil SpM, Dr, Hj. Rizafatmi, SpM, Dr. H. Syaiful Bahri, SpM, Dr.

Beby Parwis SpM, Dr. Hj. Heriyanti Harahap, SpM, Dr. Hj. Aryani A. Amra,SpM, Dr. Delfi,

SpM , Dr Zaldi, SpM, Dr. Nurchaliza SpM, Dr. Masitha Dewi, SpM, Dr. Rodiah Rahmawaty

Lubis,SpM, Dr. Bobby RE Sitepu, SpM dan Dr. T.Siti Harilza Zubaidah, SpM atas

pengajaran, bimbingan, kritik dan saran yang telah saya terima selama menempuh pendidikan

keahlian ini.

Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan RI, Kepala Kantor Wilayah Departemen

Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, atas ijin yang telah diberikan kepada saya untuk

(6)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan dan sarana

kepada saya untuk bekerja sama selama mengikuti pendidikan di Departemen Ilmu Kesehatan

Mata.

Direktur RSU Dr. Pirngadi Medan dan Kepala SMF Ilmu Kesehatan Mata RSU Dr. Pirngadi

Medan yang telah memberikan kesempatan dan sarana kepada saya untuk bekerja selama

mengikuti pendidikan di Departemen Ilmu Kesehatan Mata.

Direktur RSU Kisaran dan Direktur RSU Kabanjahe yang telah memberikan kesempatan dan

sarana kepada saya untuk bekerja selama mengikuti pendidikan di Departemen Ilmu

Kesehatan Mata.

Ucapan terima kasih juga kepada Bupati dan Kadinkes Kabupaten Tapanuli Selatan yang

telah memberikan izin dan membantu saya dalam melakukan penelitian di Kabupaten

Tapanuli Selatan.

Kepada senior-senior saya, dr. Hasmui, SpM ; dr. Juniarson Barus, SpM ; dr. Sri Ninin, SpM ;

dr. Elly TES, SpM ; dr. Lylys Surjani, SpM ; dr. Andri Libra,SpM ; dr. R.Handoko, SpM ;

dr. Meianto, SpM ; dr. Januar Sitorus, SpM ; dr. Feriyani, SpM ; dr. Raja C Lubis, SpM ; dr.

Hj. Novie Diana Sari, SpM ; dr. Ira Karina Siregar, SpM ; dr. Andriyeni, SpM, dr. Nova

Arianti, SpM , terimakasih banyak atas segala bimbingan, bantuan dan dukungannya yang

telah diberikan selama ini.

Kepada teman – teman belajar di perpustakaan, dr. Vanda Virgayanti, dr. Herman, dr.

Christina YY Bangun, dr.Cut Nori Altika, dr. Jenny Rahmalita, dr. Reni Guspita, dr. Iskandar

(7)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

serta dr. Fithria Aldy khususnya yang sudah memberikan dorongan serta persahabatan yang

sangat berarti dan kebersamaan selama saya menjalani pendidikan.

Seluruh teman sejawat PPDS yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas

kebersamaan dan dorongan semangat yang telah diberikan selama ini.

Dokter Muda, Bidan, Paramedis, karyawan/karyawati, serta para pasien di Departemen Ilmu

Kesehatan Mata FK USU/ RSUP H. Adam Malik – RSUD Dr. Pirngadi Medan yang

daripadanya saya banyak memperoleh pengetahuan baru, terima kasih atas kerja sama dan

saling pengertian yang diberikan kepada saya sehingga dapat sampai pada akhir program

pendidikan ini.

Kepada kedua orang tua saya yang terkasih, Bapak Alfred Hutasoit, SH SpN dan Ibu

Dameria Silaban, yang telah membesarkan, membimbing, mendoakan, serta mendidik saya

dengan penuh kasih sayang dari sejak kecil hingga kini serta memberikan bantuan dan

motivasi selama mengikuti pendidikan ini, saya ucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya.

Kepada yang saya sayangi Bapak Mertua saya, Drs. Hidup Bangun (Alm) dan Ibu Mertua

saya, Maria Sitepu (Almh) yang telah memberikan dorongan semangat serta doa kepada

saya dalam mengikuti pendidikan, saya ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya.

Buat Suamiku tercinta dan kukasihi, Dr.Arjuna Wijaya Bangun, terima kasih atas

pengertian, kesabaran, dorongan semangat, pengorbanan dan doa yang telah diberikan

untukku hingga dapat menyelesaikan pendidikan ini. Semoga Tuhan selalu memberkati rumah

(8)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

Buat anakku terkasih, Simon Hadi Bangun, terimakasih anakku atas doa untuk mama yang

selalu Simon panjatkan setiap hari dan terimakasih atas pengorbananmu di hari-hari sibuk.

Simon merupakan inspirasi dan pendorong motivasi mama serta pemberi semangat untuk

menyelesaikan pendidikan ini.

Kepada abang saya, Parlindungan Hutasoit, SH ; Sautma Tulus Hutasoit, SE dan adik saya

Ir. Ani Puspita Hutasoit ; Dr.Lina Puspita Hutasoit, SpM ; Dr. Yonas Immanuel Hutasoit,

SpU serta saudara-saudara ipar saya, terimakasih atas dukungannya selama ini.

Akhirnya kepada seluruh keluarga handai tolan yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu

persatu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang telah banyak memberikan

bantuan, baik moril maupun materil, saya ucapkan banyak terima kasih.

Semoga Tuhan Allah selalu melimpahkan rahmat dan kasih sayangNya kepada kita semua.

Medan, Desember 2009

Penulis

(9)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI ...vi

BAB I. PENDAHULUAN………... 1

1.1. LATAR BELAKANG ... 1

1.2. RUMUSAN MASALAH ... 4

1.3 TUJUAN PENELITIAN ... 4

1.4. MANFAAT PENELITIAN ... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. KERANGKA TEORI ... 6

2.2. STRUKTUR GEOGRAFI DAN DEMOGRAFI KABUPATEN TAPANULI SELATAN ... 16

BAB III. KERANGKA KONSEP, DEFENISI OPERASIONAL ... 20

3.1. KERANGKA KONSEPSIONAL ... 20

3.2. DEFENISI OPERASIONAL ... 20

BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 22

4.1. DESAIN PENELITIAN ... 22

4.2. PEMILIHAN TEMPAT PENELITIAN ... 22

4.3. POPULASI PENELITIAN ... 22

4.4. BESAR SAMPEL ... 22

4.5. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI ... 25

4.6. IDENTIFIKASI VARIABEL ... 25

4.7. BAHAN DAN ALAT ... 25

(10)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

4.9. ANALISA DATA ... 27

4.10. LAMA PENELITIAN ... 27

4.11. PERSONALIA PENELITIAN………....……….. 27

4.12. PERTIMBANGAN ETIKA ... 27

4.13. BIAYA PENELITIAN ... 28

BAB V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...29

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN... ... 45

DAFTAR PUSTAKA ...47

(11)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010. BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kebutaan di Indonesia merupakan bencana nasional. Sebab kebutaan menyebabkan

kualitas sumber daya manusia rendah. Hal ini berdampak pada kehilangan produktifitas serta

membutuhkan biaya untuk rehabilitasi dan pendidikan orang buta. Berdasarkan hasil survei

nasional tahun 1993-1996, angka kebutaan di Indonesia mencapai 1,5%. Angka ini

menempatkan Indonesia pada urutan pertama dalam masalah kebutaan di Asia dan nomor dua

di Dunia1.

Masalah kebutaan di Indonesia yang sudah mencapai 1,5% tidak hanya menjadi

masalah kesehatan, namun sudah menjadi masalah sosial yang harus ditanggulangi secara

bersama-sama oleh pemerintah, dengan melibatkan lintas sektoral, swasta dan partisipasi aktif

dari masyarakat. Tanggal 18 Februari 1999 WHO mencanangkan komitmen global vision

2020: The Right to Sight yang merupakan inisiatif global untuk menanggulangi gangguan

penglihatan dan kebutaan yang sebenarnya dapat dicegah atau direhabilitasi.2,3Pencanangan itu berarti pemberian hak bagi setiap penduduk di dunia termasuk Indonesia untuk

mendapatkan penglihatan yang optimal selambat-lambatnya tahun 2020.1

Terminologi kebutaan didefinisikan berbeda-beda ditiap negara seperti kebutaan total,

kebutaan ekonomi, kebutaan hukum dan kebutaan sosial. Sebegitu banyaknya yang kira-kira

ada 65 definisi kebutaan tertera dalam publikasi WHO tahun 1966. Di dalam oftalmologi,

terminologi kebutaan terbatas pada tidak dapatnya melakukan aktifitas sampai tidak adanya

(12)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

1972 telah mengajukan kriteria yang seragam dan definisi kebutaan sebagai suatu tajam

penglihatan yang kurang dari 3/60 (snellen) atau yang ekuivalen dengannya. Pada 1979 WHO

menambahkan dengan ketidaksanggupan hitung jari pada jarak 3 meter di ruang terbuka

dengan cahaya matahari.4

Pada 1977 International Classification of Diseases (ICD) membagi berkurangnya

penglihatan menjadi 5 kategori dengan maksimum tajam penglihatan kurang dari 6/18

Snellen, dimana kategori 1 dan 2 termasuk dalam low vision sedangkan kategori 3,4 dan 5

disebut blindness. Pasien dengan lapang pandangan 50 – 100 ditempatkan pada kategori 3 dan lapangan pandangan kurang dari 50 ditempatkan pada kategori 4.( Tabel 1)4

Katarak senilis adalah penyebab kebutaan di dunia sebesar 48 % atau sekitar 18 juta

orang. Hal inilah yang menyebabkan peningkatan jumlah operasi katarak. Jumlah operasi

katarak per 100.000 populasi per tahun disebut dengan cataract surgery rate ( CSR ),

digunakan sebagai indikator untuk menilai usaha pemberantasan kebutaan akibat katarak. Di

negara maju ( Amerika Utara, Eropa Barat, Australia dan Selandia Baru ) CSR lebih dari

4000, dimana Australia paling tinggi di dunia, mencapai 6500. Di Afrika dan Cina, CSR

kurang dari 500. Di Amerika Tengah dan Selatan, Eropa Timur, dan Timur Tengah, CSR

kurang dari 1000. Di India, lebih dari 4000. Kebutaan akibat katarak ( <3/60 ) jarang dijumpai

pada negara dengan CSR lebih dari 4000, kecuali India, dimana prevalensi kataraknya sangat

tinggi.6

Tidak berarti bahwa CSR yang tinggi bertujuan untuk mengatasi kebutaan akibat

katarak. Ada beberapa alasan yang dikemukakan. Pertama, ambang penglihatan saat

dilakukan operasi operasi menurun. Di beberapa negara maju, tajam penglihatan 6/9 (

dibandingkan dengan definisi kebutaan menurut WHO <3/60 ) sudah dilakukan operasi

sehingga terjadi peningkatan jumlah operasi katarak 3-4 kali lipat di negara – negara seperti

(13)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

menurunkan kebutaan akibat katarak lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas. Alasan

menarik lainnya, insentif operator juga mempengaruhi keputusan untuk melakukan operasi

katarak.6

Di Indonesia, katarak merupakan penyebab utama kebutaan dengan prevalensi buta

katarak 0,78% dari prevalensi kebutaan 1,5% pada tahun 1996. Walaupun katarak adalah

penyakit usia lanjut, namun 16-20% buta katarak telah dialami oleh penduduk Indonesia pada

usia 40-54 tahun, yang menurut kriteria Biro Pusat Statistik (BPS) termasuk dalam kelompok

usia produktif. Makin tingginya angka harapan hidup penduduk Indonesia maka jumlah

penderita katarak makin meningkat, sehingga pelayanan bedah katarakpun makin bertambah.7

Category of Visual Impairment Level of Visual Acuity ( Snellen )

Normal Vision 6 / 6 to 6 / 18

Tabel 1. International Classification Diseases terhadap penurunan penglihatan (dikutip dari

Comprehensive Opthalmology,Chapter 20, 2007,p 444)

Kebutaan karena katarak kejadiannya diperkirakan 0,1% dari jumlah penduduk per

(14)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

secara massal. Oleh karena keterbatasan laporan Rumah Sakit digabung dengan perkiraan

kasar, jumlah operasi katarak yang dilakukan saat ini tidak lebih dari 200.000 per tahun.9 Meskipun angka prevalensi buta katarak nasional sudah ditentukan, namun angka

prevalensi buta katarak ditiap-tiap daerah propinsi berbeda-beda, khusus untuk Sumatera

Utara yang memiliki 46 Rumah Sakit dan 402 Pusat Kesehatan Masyarakat, serta dokter mata

yang hampir tersebar merata diseluruh daerah, diperkirakan memiliki angka prevalensi buta

katarak yang jauh lebih kecil daripada angka prevalensi buta katarak nasional seperti

penelitian Handoko P di Tanjung Balai tahun 2004 didapat prevalensi kebutaan akibat katarak

sebesar 0,37% 10dan penelitian Elly T.E Silalahi di Kabupaten Karo tahun 2004 didapat prevalensi kebutaan akibat katarak sebesar 0,41%.11

Dari pengamatan dari tiap-tiap Kabupaten yang ada di Sumatera Utara, ada perbedaan

angka prevalensi buta katarak, sehingga hal ini menjadi latar belakang bagi peneliti untuk

melakukan survei di Kabupaten Tapanuli Selatan.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Berapa angka kebutaan katarak untuk Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 2009

dan faktor –faktor apa saja yang mempengaruhi angka kebutaan katarak tersebut.

1.3. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan Umum :

Mendapatkan angka kebutaan akibat katarak untuk Kabupaten Tapanuli Selatan dan

faktor-faktor yang mempengaruhi kebutaan katarak.

Tujuan Khusus:

(15)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

b. Untuk mengetahui gambaran karakteristik sosiodemografi responden atau

penderita kebutaan akibat katarak yang ada di wilayah Kabupaten Tapanuli

Selatan.

c. Untuk mengetahui gambaran kesehatan mata responden di wilayah Kabupaten

Tapanuli Selatan.

d. Untuk mengetahui gambaran budaya di wilayah kabupaten Tapanuli Selatan.

e. Untuk mengetahui gambaran sarana dan prasarana kesehatan mata di Kabupaten

Tapanuli Selatan.

f. Untuk mengetahui gambaran angka kebutaan katarak di Kabupaten Tapanuli

Selatan.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

1. Dengan penelitian ini dapat dibuat pemetaan tentang buta katarak di Kabupaten

Tapanuli Selatan.

2. Dapat dibuat kebijakan yang berkaitan dengan penatalaksanaan kebutaan akibat

katarak serta estimasi proyeksi kegiatan yang dapat menurunkan angka kebutaan

(16)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010. BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 KERANGKA TEORI

Katarak merupakan penyebab terbanyak kebutaan didunia. Meskipun dapat terjadi

katarak kongenital, dan katarak pada anak – anak serta dewasa muda bisa terjadi katarak oleh

karena trauma, namun mayoritas penyebab katarak adalah karena faktor usia.12 Deteksi dini, pemantauan ketat, dan intervensi operasi harus diterapkan dalam penatalaksanaan katarak.13

A. DEFINISI

Lensa adalah suatu struktur transparan ( jernih ). Kejernihannya dapat terganggu oleh

karena proses degenerasi yang menyebabkan kekeruhan serabut lensa. Terjadinya kekeruhan

pada lensa disebut dengan katarak.14

B. ANATOMI

Lensa kristalin adalah struktur transparan, bikonveks yang berfungsi untuk:15

 Mengatur kejernihannya sendiri

 Untuk merefraksikan cahaya

 Akomodasi

Lensa tidak mempunyai asupan darah ataupun inervasi syaraf, dan bergantung

sepenuhnya pada akuos humor untuk metabolisme dan pembuangan “limbahnya”. Terletak di

belakang iris dan di depan korpus vitreous. Posisinya ditopang oleh zonula zinni, terdiri dari

serabut – serabut kuat yang melekat ke korpus siliaris.15

Diameter lensa adalah 9-10 mm dan tebalnya bervariasi dengan umur, mulai dari 3,5

(17)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

Lensa mempunyai dua permukaan yaitu permukaan anterior dan posterior, dimana

kelengkungan permukaan posterior lebih besar dengan radius kurvatura 10 mm dibandingkan

permukaan anterior dengan radius kurvatura 6 mm.14,16 Kedua permukaan ini bertemu di ekuator.14

Lensa dapat merefraksikan cahaya karena memiliki indeks refraksi, normalnya sekitar

1,4 di sentral dan 1,36 di perifer. Dalam keadaan nonakomodatif, kekuatannya 15-20 dioptri

(D).14

Struktur lensa terdiri dari :

1. Kapsul

Tipis, transparan, dikelilingi oleh membran hialin yang lebih tebal pada

permukaan anterior dibanding posterior.14 Kapsul lensa merupakan membran basal yang dihasilkan oleh sel epitel lensa, dimana komposisi terbanyak adalah

kolagen tipe IV.16 Kapsul lensa paling tebal di zona preekuatorial anterior dan posterior dan paling tipis pada bagian posterior sentral.15,17 Dengan pertambahan umur, kapsul anterior menebal sekitar 2 lipatan.17

2. Serabut Zonular

Lensa disokong oleh serabut zonular berasal dari basal lamina nonpigmented

epithelium pars plana dan pars plikata daripada korpus siliaris. Zonular ini

masuk ke dalam lensa di regio ekuator. Diameter serabut adalah 5-30 µm.15 Pada keadaan tidak berakomodasi, badan siliaris memegang zonula sedemikian

rupa sehingga zonula dalam keadaan tegang dan menyebabkan kapsul lensa

tertarik dan bentuknya kurang cembung (konveks). Saat berakomodasi,

kontraksi otot badan siliaris akan menyebabkan processus ciliaris terdorong

lebih jauh ke arah sentral, hal ini membuat zonula mengendur. Dengan tidak

(18)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

anterior posterior bertambah), sehingga kekuatan refraksinya juga bertambah

saat berakomodasi.16 2. Epitel

Tepat di belakang kapsul anterior lensa terdapat satu lapisan sel epitel. Sel –

sel ini aktif dalam metabolisme dan melakukan aktivitas – aktivitas sel,

termasuk biosintesis DNA, RNA, protein, dan lemak, juga ATP untuk

memberi energi yang dibutuhkan lensa.15 Di bagian ekuator, sel ini aktif membelah dan membentuk serabut lensa baru sepanjang kehidupan.14 Dengan pertambahan umur, tinggi sel epitel berkurang dan lebarnya bertambah.

Beberapa studi menunjukkan berkurangnya jumlah sel epitel terjadi pada

pembentukan katarak.17 3. Nukleus dan Korteks

 Nukleus

Bagian sentralnya terdiri serabut – serabut tua. Terdiri beberapa zona

berbeda, yang menumpuk ke bawah sejalan dengan perkembangan.14

 Epinukleus adalah bagian nukleus terluar atau bagian korteks

terdalam17

 Nukleus dewasa adalah lapisan terdalam selanjutnya17

Nukleus fetal mengacu kepada area cotyledonous pada daerah

penyebaran cahaya pada lensa dewasa yang jernih17

 Embrional nukleus adalah inti nukleus paling dalam17

 Korteks

(19)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

 Korteks perifer berada tepat dibawah epitel anterior atau kapsul

posterior

 Korteks supranuklear dekat dengan nukleus

 Epinukleus sama dengan regio supranuklear

 Sutura adalah garis yang dibentuk oleh ujung serabut lensa

C. FAKTOR RESIKO

Katarak adalah penyakit degeneratif yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik

faktor intrinsik maupun faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik yang berpengaruh antara lain adalah

umur, jenis kelamin dan faktor genetik, sedangkan faktor ekstrinsik yang berpengaruh antara

lain adalah pendidikan dan pekerjaan yang berdampak langsung pada status sosial ekonomi

dan status kesehatan seseorang serta faktor lingkungan, dalam hubungannya dengan paparan

sinar ultra violet.7

Dari Gambar 1 dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Pekerjaan

Pekerjaan dalam hal ini erat kaitannya dengan paparan sinar matahari. Suatu

penelitian yang menilai secara individual, menunjukkan nelayan mempunyai

jumlah paparan terhadap sinar ultraviolet yang tinggi sehingga meningkatkan

resiko terjadinya katarak kortikal dan katarak posterior subkapsular.18 2. Lingkungan ( Geografis )

Katarak khususnya lebih banyak dijumpai di negara berkembang yang berlokasi di

khatulistiwa. Hampir semua studi epidemiologi melaporkan tingginya prevalensi

katarak di daerah yang banyak terkena sinar ultraviolet. Penduduk yang tinggal di

daerah berlainan tidak hanya berbeda dalam hal paparan sinar ultraviolet, tapi juga

dalam hal paparan oleh karena berbagai faktor lain. Ada suatu penelitian dari

(20)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

ketinggian berbeda. Dijumpai prevalensi katarak senilis yang lebih tinggi di Tibet

yakni 60 % dibandingkan di Beijing.18

Gambar 1. Proses terjadinya katarak( dikutip dari Gambar II.3 Faktor Resiko Buta Katarak

Usia Produktif :Tinjauan Khusus terhadap enzim Glutation Reduktase dan Riboflavin Darah,

2000,p20)

1. Pekerjaan

2. Lingkungan

Ultra violet

3. Pendidikan

Radikal bebas

antioksidan

Gangguan Struktur protein

Katarak

Reaksi fotokimia Gangguan osmotik lensa

8. Alkohol 9. Obat-obatan 10. Gender 6. Diare

7. Diabetes

4. Nutrisi

(21)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

3. Pendidikan

Dari beberapa pengamatan dan survei di masyarakat diperoleh prevalensi katarak

lebih tinggi pada kelompok yang berpendidikan lebih rendah. Meskipun tidak

ditemukan hubungan langsung antara tingkat pendidikan dan kejadian katarak,

namun tingkat pendidikan dapat mempengaruhi status sosial ekonomi termasuk

pekerjaan dan status gizi.7 4. Nutrisi

Walaupun defisiensi nutrisi dapat menyebabkan katarak pada hewan, tapi etiologi

ini sulit untuk dipastikan pada manusia.18,19 Beberapa penelitian mendapatkan bahwa multivitamin, vitamin A, vitamin C, vitamin E, niasin, tiamin, riboflavin,

beta karoten, dan peningkatan protein mempunyai efek protektif terhadap

perkembangan katarak. Lutein dan zeaxantin adalah satu – satunya karotenoid

yang dijumpai dalam lensa manusia, dan penelitian terakhir menunjukkan adanya

penurunan resiko katarak dengan peningkatan frekuensi asupan makanan tinggi

lutein (bayam, brokoli ). Dengan memakan bayam yang telah dimasak lebih dari

dua kali dalam seminggu dapat menurunkan resiko katarak.19 5. Perokok

Merokok dan mengunyah tembakau dapat menginduksi stress oksidatif dan

dihubungkan dengan penurunan kadar antioksidan, askorbat dan karotenoid.20 Merokok menyebabkan penumpukan molekul berpigmen – 3 hydroxykhynurinine

dan chromophores, yang menyebabkan terjadinya penguningan warna lensa.

Sianat dalam rokok juga menyebabkan terjadinya karbamilasi dan denaturasi

(22)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

6. Diare

Dideskripsikan oleh Harding, diare berperan dalam kataraktogenesis melalui 4

cara yaitu malnutrisi, asidosis, dehidrasi, dan tingginya kadar urea dalam darah.21

Gambar 2. Skema spekulatif yang menggambarkan 4 cara utama dimana diare

dapat berpengaruh dalam kataraktogenesis( Dikutip dari Figure 4.14 Anatomy and

Physiology of Eye, 2005, p90)

7. Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus dapat mempengaruhi kejernihan lensa, indeks refraksi, dan

amplitudo akomodatif. Dengan meningkatnya kadar gula darah, maka meningkat

pula kadar glukosa dalam akuos humor. Oleh karena glukosa dari akuos masuk ke

dalam lensa dengan cara difusi, maka kadar glukosa dalam lensa juga meningkat. Diare Kronis

malnutrisi asidosis dehidrasi Tingginya kadar urea

Ketidakseimbangan osmotik

antara ion & akuos sianat

Karbamilasi protein

GSH 

Inaktivasi enzim Unfolding

of protein

(23)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

Sebagian glukosa tersebut dirubah oleh enzim aldose reduktase menjadi sorbitol,

yang tidak dimetabolisme tapi tetap berada dalam lensa.19 8. Alkohol

Peminum alkohol kronis mempunyai resiko tinggi terkena berbagai penyakit mata,

termasuk katarak. Dalam banyak penelitian alkohol berperan dalam terjadinya

katarak. Alkohol secara langsung bekerja pada protein lensa dan secara tidak

langsung dengan cara mempengaruhi penyerapan nutrisi penting pada lensa.22 9. Obat – obatan

Data klinis dan laboratorium menunjukkan banyak obat yang mempunyai potensi

kataraktogenik. Obat – obatan yang meningkatkan resiko katarak adalah

kortikosteroid, fenotiazin, miotikum, kemoterapi, diuretik, obat penenang, obat

rematik, dan lain – lain.18 10.Gender

Tingginya resiko perempuan terkena katarak sebenarnya tidaklah terlalu besar tapi

secara konsisten dijumpai dalam banyak penelitian – penelitian. Tingginya

prevalensi pada perempuan terutama untuk resiko terjadinya katarak kortikal.18

D. GEJALA KLINIS

Kekeruhan lensa dapat terjadi tanpa menimbulkan gejala, dan dijumpai pada

pemeriksaan mata rutin. Gejala katarak yang sering dikeluhkan adalah :

1. Silau

Pasien katarak sering mengeluh silau, yang bisa bervariasi keparahannya mulai

dari penurunan sensitivitas kontras dalam lingkungan yang terang hingga silau

pada saat siang hari atau sewaktu melihat lampu mobil atau kondisi serupa di

(24)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

subkapsular. Pemeriksaan silau ( test glare ) dilakukan untuk mengetahui derajat

gangguan penglihatan yang disebabkan oleh sumber cahaya yang diletakkan di

dalam lapang pandangan pasien.23 2. Diplopia monokular atau polyopia

Terkadang, perubahan nuklear terletak pada lapisan dalam nukleus lensa,

menyebabkan daerah pembiasan multipel di tengah lensa. Daerah ini dapat dilihat

dengan refleks merah retinoskopi atau oftalmoskopi direk. Tipe katarak ini kadang

– kadang menyebabkan diplopia monokular atau polyopia.23 3. Halo

Hal ini bisa terjadi pada beberapa pasien oleh karena terpecahnya sinar putih

menjadi spektrum warna oleh karena meningkatnya kandungan air dalam lensa.14 4. Distorsi

Katarak dapat menyebabkan garis lurus kelihatan bergelombang,24 sering dijumpai pada stadium awal katarak.14

5. Penurunan tajam penglihatan

Katarak menyebabkan penurunan penglihatan progresif tanpa rasa nyeri.14 Umumnya pasien katarak menceritakan riwayat klinisnya langsung tepat sasaran,

dan pasien menceritakan kepada dokter mata, aktivitas apa saja yang terganggu.

Dalam situasi lain, pasien hanya menyadari adanya gangguan penglihatan setelah

dilakukan pemeriksaan.23

Setiap tipe katarak biasanya mempunyai gejala gangguan penglihatan yang

berbeda-beda, tergantung pada cahaya, ukuran pupil dan derajat miopia. Setelah

didapat riwayat penyakit, maka pasien harus dilakukan pemeriksaan penglihatan

lengkap, dimulai dengan refraksi. Perkembangan katarak nuklear sklerotik dapat

(25)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

6. Sensitivitas kontras

Sensitivitas kontras mengukur kemampuan pasien untuk mendeteksi variasi

tersamar dalam bayangan dengan menggunakan benda yang bervariasi dalam hal

kontras, luminance dan frekuensi spasial. Sensitivitas kontras dapat menunjukkan

penurunan fungsi penglihatan yang tidak terdeteksi dengan Snellen. Namun, hal

tersebut bukanlah indikator spesifik hilangnya tajam penglihatan oleh karena

katarak.23

7. Myopic shift

Perkembangan katarak dapat terjadi peningkatan dioptri kekuatan lensa, yang

umumnya menyebabkan miopia ringan atau sedang.23 Umumnya, pematangan katarak nuklear ditandai dengan kembalinya penglihatan dekat oleh karena

meningkatnya miopia akibat peningkatan kekuatan refraktif lensa nuklear

sklerotik, sehingga kacamata baca atau bifokal tidak diperlukan lagi. Perubahan ini

disebut “second sight”.24 Namun, seiring dengan perubahan kualitas optikal lensa, keuntungan tersebut akhirnya hilang juga.23

E. TIPE KATARAK

Tiga tipe utama katarak senilis, adalah :

1. Katarak Nuklear

Beberapa derajat nuklear sklerosis dan penguningan dikatakan normal pada pasien

dewasa setelah melewati usia menengah. Secara umum, kondisi ini hanya sedikit

mengganggu fungsi penglihatan. Sklerosis dan penguningan dalam jumlah yang

(26)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

pemeriksaan refleks merah dengan pupil dilatasi.19 Bila sudah lanjut, nukleus berwarna coklat (katarak brunescent) dan konsistensinya keras.25

2. Katarak kortikal

Perubahan komposisi ion pada korteks lensa dan perubahan hidrasi pada serabut lensa

menyebabkan kekeruhan kortikal.19 Gejala katarak kortikal yang sering dijumpai adalah silau19,25 akibat sumber cahaya fokal, seperti lampu mobil.19 Monokular diplopia bisa juga dijumpai. Tanda pertama pembentukan katarak kortikal terlihat

dengan slitlamp sebagai vakuola dan celah air (water clefts) di korteks anterior atau

posterior.19

3. Katarak Posterior Subkapsular

Katarak posterior subkapsular ( posterior subcapsular cataract = PSCs ) sering

dijumpai pada pasien yang lebih muda daripada katarak nuklear atau kortikal. PSCs

berlokasi di lapisan kortikal posterior dan biasanya aksial. Indikasi pertama

pembentukan PSC adalah kilauan warna yang samar (subtle iridescent sheen) pada

lapisan kortikal posterior yang terlihat dengan slitlamp. Pasien sering mengeluhkan

silau dan penglihatan jelek pada kondisi cahaya terang karena PSC menutupi pupil

(27)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

2.2. STRUKTUR GEOGRAFI DAN DEMOGRAFI KABUPATEN TAPANULI SELATAN.

Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan salah satu daerah yang berada di Sumatera

Utara. Secara geografis Kabupaten Tapanuli Selatan berada pada 0° 10’– 1° 50’ Lintang

Utara, 98°50’ – 100°10’ Bujur Timur26,27 dan 0 – 1.915 m di atas permukaan laut. Kabupaten Tapanuli Selatan menempati area seluas ± 4.367,05 km² yang terdiri dari 12 Kecamatan dan

503 Desa. Area Kabupaten Tapanuli Selatan di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten

Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah, di sebelah Selatan berbatasan dengan Propinsi Sumatera

Barat dan Kabupaten Madina, di sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia dan

Kabupaten Madina dan di sebelah Timur berbatasan dengan Propinsi Riau dan Kabupaten

Labuhan Batu. Berdasarkan luas daerah menurut kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan,

luas daerah terbesar adalah kecamatan Sipirok dengan luas 577,18 km2 atau 13,22 persen

diikuti Kecamatan Sayur-matinggi dengan luas 519,60 km2 atau 11,90 persen. Sedangkan luas daerah terkecil adalah Kecamatan Arse dengan luas 143,67 km2 atau 3,29 persen dari total luas wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.26

Seperti umumnya daerah – daerah lainnya yang berada di kawasan Sumatera Utara,

Kabupaten Tapanuli Selatan termasuk daerah yang beriklim tropis. Sehingga daerah ini

memiliki 2 musim yaitu : musim kemarau dan musim hujan.26

Berdasarkan Kabupaten Tapanuli Selatan Dalam Angka 2008, Kabupaten Tapanuli

Selatan memiliki jumlah penduduk sekitar 261.781 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar

59,94 jiwa / km2 . Perkembangan jumlah penduduk tahun 2005, 2006, 2007, berkisar 261.664, 266.477, 261.781 dengan laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Tapanuli Selatan pada

(28)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

Sarana kesehatan yang ada di Kabupaten Tapanuli Selatan meliputi 3 Rumah Sakit

Umum Pemerintah. Sementara pada daerah Kecamatan dan Pedesaan Kabupaten Tapanuli

Selatan pada tahun 2007 ini memiliki sarana kesehatan yang cukup memadai yaitu : 16 buah

Puskesmas, 57 Puskesmas pembantu dan 547 buah Posyandu yang semuanya tersebar di tiap

Kecamatan.26

Banyaknya sarana / pelayanan kesehatan menurut Kecamatan pada tahun 2007.

Kecamatan Puskesmas Puskesmas Pembantu

Tabel 2. Sarana/Pelayanan Kesehatan di Kabupaten Tapanuli Selatan (Sumber BPS. Prop.

(29)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

Tenaga Medis yang tersedia di Kabupaten Tapanuli Selatan, baik negeri maupun

swasta ada 43 orang Dokter Umum, 10 orang Dokter Gigi dan 1 orang Dokter Spesialis.

Dokter Spesialis Mata belum ada.26

(30)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010. BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESA

3.1. KERANGKA KONSEPSIONAL

Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan dan mengarahkan

asumsi mengenai elemen-elemen yang diteliti. Berdasarkan rumusan masalah yang telah

dipaparkan dalam latar belakang, tinjauan kepustakaan yang ada, maka kerangka konsep

digambarkan sebagai berikut:

3.2. DEFINISI OPERASIONAL

KERANGKA KONSEP

- Kebutaan katarak adalah penderita katarak dengan visus terbaik pada kedua mata

< 3/60

- Sosio-ekonomi adalah segala sesuatu mengenai kemampuan daya beli masyarakat

(31)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

- Geografi adalah kondisi alam apakah mudah/sulit dijangkau dari sarana dan

prasarana kesehatan yang tersedia, dimana hal tersebut akan mempengaruhi

cakupan pelayanan kesehatan yang akan diberikan

- Sumber daya manusia adalah tenaga ahli khususnya Dokter Spesialis Mata dan

perawat mahir mata yang tersedia

- Sarana dan prasarana kesehatan adalah ketersediaan Rumah Sakit Pemerintah /

(32)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010. BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian survei dengan pendekatan Cross Sectional atau potong

lintang yang bersifat deskriptif , artinya subjek yang diamati pada saat monitoring biologik

dan pengukuran tingkat pengetahuan masyarakat dinilai dengan pengamatan pada saat

bersamaan ( transversal ) atau dengan satu kali pengamatan / pengukuran.

4.2. PEMILIHAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Kabupaten Tapanuli Selatan yang merupakan daerah dataran

tinggi dengan diwakili 6 kecamatan terpilih dengan penentuan sampel secara purposive.

4.3. POPULASI PENELITIAN

Populasi penelitian adalah seluruh penduduk yang ada di wilayah kerja penelitian yang

memenuhi kriteria inklusi, di 6 kecamatan yang terpilih di Kabupaten Tapanuli Selatan.

4.4. BESAR SAMPEL

Untuk mendapatkan data yang representatif yang mewakili satu Kabupaten Tapanuli

Selatan, maka sampel diambil dari 6 kecamatan yang terpilih.

Besar sampel adalah jumlah penduduk dari 6 kecamatan yang terpilih yang dianggap

mewakili satu kabupaten yang ada di wilayah kerja, dimana jumlah sampel yang akan

diambil, dihitung dengan rumus sampling cluster dengan metode Propotional Allocation

(33)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

n =

Dimana : n = Jumlah sampel minimal yang akan diambil dalam

Penelitian ini.. .

N = Jumlah seluruh penduduk di Kabupaten Tapanuli Selatan .

Z = Nilai baku normal dari tebal Z yang besarnya tergantung

Pada nilai = 0,05, nilai Z = 1,96.

Dengan demikian, sampel jumlah untuk masing – masing Kecamatan yaitu :

2

c = Varians populasi

(34)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

Dengan demikian, sampel jumlah untuk masing – masing Kecamatan yaitu :

Kecamatan

Tabel 3 Distribusi Penduduk Kabupaten Tapanuli Selatan Sumber (BPS prop. Sumut tahun

(35)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010. 4.5. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI

 Kriteria inklusi :

- semua penderita katarak dengan visus < 3/60 dan dengan pemeriksaan direk

ophthalmoskop dengan midriatikum dijumpai kekeruhan lensa

- usia penderita lebih dari 5 tahun

- Bersedia ikut dalam penelitian

 Kriteria eksklusi :

- Tekanan intra okuli tinggi

- Dijumpai adanya kelainan pada segmen anterior dan posterior mata

4.6. IDENTIFIKASI VARIABEL

 Variabel terikat adalah kebutaan akibat katarak

 Variabel bebas adalah :

- sosial ekonomi

- budaya

- geografi

- sumber daya manusia

- sarana dan prasana kesehatan

4.7. BAHAN DAN ALAT

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Snellen Chart

2. Direct ophthalmoskop

3. Senter

(36)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

5. Tonometer Schiotz

6. Tropicamide 1 % tetes mata

7. Pantocain 0, 5 % tetes mata

8. Fenicol 1 % tetes mata

9. Alkohol 70 % dan kapas

10.Kapas steril

11.Kertas kuesioner

12.Alat tulis

4.8. JALANNYA PENELITIAN DAN CARA KERJA

Untuk pengumpulan data akan digunakan suatu formulir kuesioner dimana berisi

data karateristik dari sample, sarana dan prasarana didaerah penelitian. Daerah penelitian

untuk satu kabupaten akan diwakili oleh satu kecamatan terpilih berdasarkan informasi dari

dinas kesehatan dimana di wilayah itu dijumpai kasus katarak yang tidak tertangani yang

cukup tinggi, jika dibanding dengan kecamatan lain di kabupaten yang sama. Peneliti akan

mengunjungi seluruh unit pelayanan kesehatan di wilayah penelitian yang terdiri puskesmas

induk, puskesmas pembantu, bidan desa dan fasilitas kesehatan swasta. Kemudian peneliti

akan memberikan informasi kepada dokter umum/perawat/bidan yang bertugas diwilayah

penelitian tentang cara pengisian formulir kuesioner mengenai data pasien katarak yang

berkunjung ke unit pelayanan kesehatan, lalu penderita katarak dikumpulkan pada suatu

tempat dan waktu tertentu, kemudian peneliti akan memeriksa langsung sampel. Peneliti akan

tinggal di wilayah penelitian sampai seluruh pasien yang telah mengisi formulir kuesioner

(37)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010. 4.9. ANALISIS DATA

Analisa data dilakukan secara deskripsi dan disajikan dalam bentuk tabulasi data

4.10. LAMA PENELITIAN

Lama penelitian diperkirakan 3 bulan seperti pada tabel dibawah :

Bulan Februari Juli Agustus Desember

Peneliti : Herna Hutasoit

Pembantu penelitian : 1. Vanda Virgayanti

2. Herman

1. Usulan penelitian ini terlebih dahulu disetujui oleh rapat bagian ilmu penyakit mata

FK-USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.

Penelitian ini telah disetujui oleh rapat komite etika PPKRM Fakultas Kedokteran

(38)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

2. Inform konsen dan kerahasiaan

Penelitian ini melibatkan langsung pasien katarak yang ada di wilayah penelitian,

sehingga membutuhkan kerjasama lintas sektoral dalam bentuk tembusan surat izin

untuk melakukan penelitian kepada instansi terkait seperti Dinas Kesehatan Kota/

Kabupaten, Puskesmas, Camat, Kepolisian, serta aparat desa setempat.

4.13. BIAYA PENELITIAN

(39)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010. BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini berbentuk survei yang dilakukan pada tanggal 29 Juni 2009 sampai

dengan 31 Juli 2009 pada 6 kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan didapat penderita yang

mengalami kebutaan sebanyak 360 orang, dari beberapa desa yang terdapat sampel buta

dengan jumlah penduduk 29332 orang. Dimana dijumpai kebutaan dua mata yang sesuai

dengan kriteria WHO sejumlah 155 orang.

Jumlah sampel buta yang didapat dari 6 kecamatan adalah sebagai berikut, yaitu :

Kecamatan Angkola Barat : 22 jiwa, Kecamatan Sayurmatinggi : 103 Jiwa, Kecamatan

Batang Angkola : 99 jiwa, Kecamatan Sipirok : 43 jiwa, Kecamatan Batang Toru : 30 jiwa,

Kecamatan Angkola Timur : 63 jiwa.

Hal ini sesuai dengan rumus pengambilan sampel, dimana jumlah sampel yang

(40)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

5.1 HASIL PENELITIAN

5.1.1 DATA UMUM SAMPEL

1. Usia

Tabel 5.1.1.1 Sebaran sampel berdasarkan usia.

USIA ( TAHUN ) LAKI - LAKI PEREMPUAN

< 10 4 2

10 – 20 10 12

21 – 30 5 4

31 – 40 11 15

41 – 50 12 14

51 – 60 16 49

61 – 70 22 89

71 – 80 22 55

> 80 2 16

JUMLAH 104 256

Dari tabel 5.1.1.1 distribusi sampel berdasarkan usia diatas, didapatkan jumlah sampel

terbanyak pada usia 61 -70 tahun yaitu 111 orang. Selanjutnya usia 71 - 80 tahun sebanyak

77 orang .

2. Jenis kelamin

Tabel 5.1.1.2. Sebaran sampel berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin N %

Laki – laki 104 28,89

Perempuan 256 71,11

(41)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

Hasil tabel 5.1.1.2. didapatkan sampel berjenis kelamin laki – laki sebanyak 104 orang

( 28,89% ) dan perempuan sebanyak 256 orang ( 71,11% ).

3. Tingkat Pendidikan

Tabel 5.1.1.3. Sebaran sampel berdasarkan tingkat pendidikan.

Tingkat Pendidikan N %

Hasil tabel 5.1.1.3. memperlihatkan bahwa sampel yang tidak sekolah sebanyak 63

orang, SD / sederajat 226 orang , SMP / sederajat 40 orang, SMA / sederajat 30 orang.

Akademi / Perguruan Tinggi 1 orang. Sebagian besar tingkat pendidikan sampel adalah

Sekolah Dasar atau yang sederajat.

4. Jenis pekerjaan

Tabel 5.1.1.4. Sebaran sampel berdasarkan jenis pekerjaan

Pekerjaan N %

Dari tabel 5.1.1.4. diatas tampak bahwa petani merupakan porsi terbesar yaitu sebanyak 251

(42)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010. 5. Suku Bangsa

Tabel 5.1.1.5. Sebaran sampel berdasarkan suku bangsa

Suku Bangsa N %

Jawa 5 1,39

Mandailing 232 64,44

Melayu 1 0.28

Batak lainnya 117 32,50

Minang 5 1,39

Jumlah 360 100

Berdasarkan tabel 5.1.1.5. diatas tampak bahwa suku Mandailing merupakan suku

(43)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010. 5.1.2. PESERTA PENELITIAN

Dari penduduk yang diperiksa , didapatkan penderita katarak sebanyak 142 orang.

Penderita katarak dua mata berjumlah 70 orang sedangkan penderita katarak satu mata

berjumlah 72 orang yang juga ditampilkan sebagai perbandingan. Gambaran dan karakteristik

sosiodemografi penderita dapat dilihat pada tabel – tabel berikut.

Karakteristik Peserta Penelitian 1. Usia

Tabel 5.1.2.1.Sebaran Kebutaan Katarak berdasarkan Usia

Usia

Dua mata Satu mata

N % N %

5 - 20 2 2,88 1 1,42

21 - 40 - - 5 7,00

41 - 60 5 7,12 15 20.76

61 - 80 53 75,71 50 69.44

>81 10 14,29 1 1,38

Jumlah 70 100 72 100

2. Mata yang terkena

Tabel 5.1.2.2 Sebaran Kebutaan Katarak Berdasarkan Mata yang Terkena

Mata yang terkena Jumlah %

Satu Mata 72 50,70

Dua Mata 70 49,30

(44)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

Dari tabel 5.1.2.2 di atas tampak bahwa penderita kebutaan katarak satu mata

lebih banyak dibandingkan dua mata yaitu sejumlah 72 orang, sedangkan penderita

dua mata sebanyak 70 orang.

3. Jenis Kelamin

Tabel 5.1.2.3 Sebaran Kebutaan Katarak Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin

Dari tabel 5.1.2.3 tampak bahwa penderita kebutaan katarak lebih banyak

diderita oleh perempuan yaitu sebanyak 105 orang atau 73,94 %, sedangkan

laki-laki sebanyak 37 orang atau 26,06 %.

4. Tingkat Pendidikan

Tabel 5.1.2.4 Sebaran Kebutaan Katarak Berdasarkan Tingkat Pendidikan

(45)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

Dari tabel 5.1.2.4 di atas tampak bahwa penderita katarak dua mata ataupun satu mata

lebih banyak terdapat pada penderita katarak dengan pendidikan sekolah dasar yaitu

sebesar 68,60 % dan 63,8 %.

5. Pekerjaan

Tabel 5.1.2.5 Sebaran Kebutaan Katarak Berdasarkan Pekerjaan

Pekerjaan

Dua mata Satu mata

N % N %

Petani 58 82,86 55 76,39

IRT 5 7,14 7 9,72

Dagang 1 1,42 1 1,39

Buruh - - - -

Pegawai 3 4,29 3 4,17

Pengemudi - - - -

Lainnya 3 4,29 6 8,33

Jumlah 70 100 72 100

Pekerjaan penderita kebutaan katarak dua mata yang terbanyak adalah petani

(46)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010. 6. Lama Menderita Katarak

Tabel 5.1.2.6 Sebaran Kebutaan Katarak Berdasarkan Lama Menderita Katarak

Lama Menderita Katarak

Dua mata Satu mata

N % N %

< 1 tahun _ _ _ _

1 – 2 tahun 16 22,86 18 25,00

> 2 tahun 54 77,14 54 75,00

Jumlah 70 100 72 100

Dari tabel 5.1.2.6 di atas tampak bahwa penderita kebutaan katarak dua mata

dan kebutaan satu mata kebanyakan mengeluhkan kebutaan selama >2 tahun,

yaitu sebesar 77,14 % dan 75 %

7. Riwayat Penyakit DM

Tabel 5.1.2.7 Sebaran Kebutaan Katarak Berdasarkan Riwayat Penyakit DM

Riwayat Penyakit DM

Dua mata Satu mata

N % N %

DM 5 7,14 6 8,33

Tidak DM 65 92,86 66 91,67

Jumlah 70 100 72 100

Dari tabel diatas, terlihat bahwa kebanyakan penderita katarak dua mata

(47)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010. 8. Riwayat Merokok

Tabel 5.1.2.8 Sebaran Kebutaan Katarak Berdasarkan Riwayat Merokok

Riwayat Merokok Dua mata Satu mata

N % N %

Merokok 18 25,71 21 29,16

Tidak Merokok 52 74,29 51 70,84

Jumlah 70 100 72 100

Dari tabel 5.1.2.8 di atas tampak bahwa kebanyakan penderita katarak dua

mata maupun satu mata tidak mempunyai riwayat merokok, yaitu sebesar 74,29 %

dan 70,84%.

9. Tempat berobat

Tabel 5.1.2.9 Sebaran Kebutaan Katarak Berdasarkan Tempat Berobat

Tempat Berobat

Dua mata Satu mata

N % N %

Puskesmas 31 44,29 14 19,44

RS Pemerintah 9 12,85 16 22,22

RS Swasta 5 7,14 7 9,73

Tradisional 5 7,14 5 6,95

Obati Sendiri 10 14,29 8 11,11

Dibiarkan 10 14,29 22 30,55

(48)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

Puskesmas adalah sarana kesehatan yang paling banyak digunakan oleh

penderita katarak dua mata yaitu sebesar 44,29% . Sedangkan penderita kebutaan katarak

satu mata lebih banyak membiarkan keluhannya yaitu sebesar 30,55%.

10. Jenis Katarak

Tabel. 5.1.2.10 Sebaran Kebutaan Katarak Berdasarkan Jenis Katarak

Jenis Katarak Dua Mata Satu Mata

Kanan Kiri Kanan Kiri

Dari tabel 5.1.2.10 didapat jenis katarak yang terbanyak adalah nuklear baik pada dua

mata maupun satu mata.

11. Pengetahuan tentang Katarak

Tabel 5.1.2.11 Sebaran Kebutaan Katarak Berdasarkan Pengetahuan tentang Katarak

(49)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

Dari tabel 5.1.2.11 di atas tampak bahwa penderita kebutaan katarak kebanyakan

tidak mempunyai pengetahuan tentang katarak. Ketiadaan pengetahuan mempengaruhi

penderita dalam menyikapi keadaannya.

12. Estimasi Angka Kebutaan dan Prevalensi Kebutaan akibat Katarak Tabel 5.1.2.12 Estimasi Angka Kebutaan dan Prevalensi Kebutaan akibat Katarak

Kabupaten Tapanuli Selatan Estimasi Pada CI 95 %

( Batas bawah ; Batas atas )

Prevalensi Kebutaan

70 / 29332 x 100 % = 0.24 %

( 0,1840 % ; 0,2960 % )

Angka Kebutaan

70 / 155 x 100 % = 45,16 % (37,4 % ; 52,9 % )

Prevalensi Kebutaan Tapanuli Selatan

155 / 29332 x 100 % = 0,53 % (0,447 % ; 0,613 % )

5.2 PEMBAHASAN

Dari tabel 5.1.1.1 sampai tabel 5.1.1.5 tampak gambaran karakteristik penduduk

sampel sampel dari wilayah penelitian.

Dari tabel 5.1.1.1 dan 5.1.1.2 terlihat distribusi umur dan jenis kelamin menunjukkan

lebih banyak penduduk dalam usia 61 -70 tahun yaitu berkisar 30,83% dan jenis kelamin

terbanyak perempuan yaitu berkisar 71,11 %. Distribusi umur ini sesuai dengan gambaran

kependudukan di Indonesia umumnya. Seperti pada negara-negara yang sedang berkembang

(50)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

Dari tabel 5.1.1.3 terlihat distribusi bahwa tingkat pendidikan sebagian besar penduduk

mempunyai tingkat pendidikan hanya sampai sekolah dasar (SD) sederajat. Rendahnya

tingkat pendidikan ini menyebabkan rendahnya sumber daya manusia dan dampaknya ini juga

akan menyebabkan kurangnya pengetahuan penduduk tentang penyakit mata khususnya

katarak.

Dari tabel 5.1.1.4 terlihat bahwa sebagian besar penduduk mempunyai pekerjaan

sebagai petani yaitu sebesar 69,72%, hal ini sangat sesuai dengan daerah Indonesia yang

berdaerah agraris.

Dari tabel 5.1.1.5 terlihat bahwa suku terbanyak sebagai sampel dari 6 kecamatan

adalah suku Mandailing, diikuti suku batak lainnya.

Dari tabel 5.1.2.1 terlihat bahwa kelompok usia 61-80 tahun merupakan penderita

kebutaan katarak terbanyak baik pada dua mata yaitu sebesar 75,71% maupun pada kebutaan

katarak satu mata yaitu sebesar 69,44%. Katarak secara alamiah memang merupakan jenis

penyakit yang banyak diderita orang tua.

Dari tabel 5.1.2.2 terlihat bahwa penderita kebutaan katarak satu mata lebih banyak

dibandingkan dua mata yaitu sejumlah 72 orang, sedangkan penderita dua mata sebanyak 70

orang.

Dari tabel 5.1.2.3 terlihat bahwa penderita kebutaan katarak dua mata dan satu mata

lebih banyak diderita oleh perempuan yaitu 78,57 % dan 70,83%. Menurut Saw, Husain,

Gazzard dkk dalam satu penelitiannya di Riau tidak didapatkan perbedaan bermakna angka

kebutaan antara laki-laki dan perempuan.

Dari tabel 5.1.2.4 terlihat bahwa penderita katarak dua mata dan satu mata lebih banyak

terdapat pada mereka yang memiliki tingkat pendidikan rendah yaitu 68,57% dan 63,89%.

(51)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

pendidikan dasar ke bawah. Menurut suatu penelitian oleh Delcourt et al. resiko menderita

katarak lebih rendah pada mereka yang mempunyai pendidikan lebih tinggi.28

Dari tabel 5.1.2.5 terlihat bahwa sebagian besar penderita kebutaan katarak adalah

petani dan keadaan ini sesuai dengan kepustakaan bahwa pekerjaan dengan paparan matahari

lebih banyak mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kebutaan katarak. Pada suatu studi oleh

Neale et al. melaporkan adanya hubungan positif yang kuat antara pekerjaan yang terpapar

sinar matahari pada usia antara 20 dan 29 tahun dengan katarak nuklear. Paparan yang terjadi

di usia lebih lanjut mempunyai hubungan yang lebih lemah.28

Dari tabel 5.1.2.6 terlihat bahwa penderita kebutaan katarak kebanyakan telah menderita

kebutaan lebih dari 2 tahun. Hal ini menggambarkan bahwa perhatian masyarakat terhadap

kesehatan mata masih kurang.

Dari tabel 5.1.2.7 terlihat bahwa kebanyakan penderita kebutaan katarak dua mata

maupun satu mata tidak mempunyai riwayat diabetes melitus yaitu 92,86% dan 91,67%.

Telah kita ketahui bahwa penyakit DM merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya

katarak, khususnya mereka yang berusia kurang dari 70 tahun.29

Dari tabel 5.1.2.8 terlihat bahwa kebanyakan penderita katarak tidak mempunyai

riwayat merokok. Telah diketahui juga bahwa merokok merupakan salah satu faktor

predisposisi untuk terjadinya katarak. Tan et al. melaporkan hubungan antara merokok dan

insidensi katarak jangka panjang dan operasi katarak. Efek merokok lebih besar pada mereka

yang merokok lebih dari 36 bungkus per tahun dibanding dengan yang tidak pernah merokok.

Orang yang belum lama merokok juga menderita katarak nuklear lebih cepat dari orang yang

tidak merokok. Tidak ada hubungan statistik yang signifikan antara status merokok dan

insidensi katarak kortikal atau PSC.28

Dari tabel 5.1.2.9 terlihat bahwa sebagian besar penderita kebutaan katarak dua mata

(52)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

membiarkan keluhannya yaitu sebesar 30,55%. Tidak adanya tenaga dokter spesialis mata

dan perawat mahir mata, maka pelayanan dan pemberian informasi yang benar kepada

masyarakat tentang penyakit mata khususnya kebutaan katarak tidak dapat dilakukan.

Dari tabel 5.1.2.10 terlihat bahwa jenis katarak yang banyak ditemukan yaitu nuklear.

Dari tabel 5.1.2.11 terlihat bahwa penderita kebutaan katarak kebanyakan tidak

mempunyai pengetahuan mengenai penyakitnya dan ini kemungkinan disebabkan oleh

tingkat pendidikan penduduk yang sebagian besar masih rendah.

Prevalensi Kebutaan Katarak di Kabupaten Tapanuli Selatan

Dari jumlah sampel 360 orang, dijumpai kebutaan katarak dua mata yang sesuai dengan

kriteria WHO sejumlah 70 orang. Prevalensi didapatkan dengan rumus jumlah penderita /

jumlah sampel dikali 100 %, sehingga dijumpai prevalensi kebutaan katarak untuk Kabupaten

Tapanuli Selatan adalah 0,24%.

5.2.1 Hubungan faktor geografi dengan kebutaan akibat katarak

Pada penelitian ini, geografi dari kabupaten Tapanuli Selatan dikategorikan daerah

pegunungan dengan ketinggian 0-1915 meter diatas permukaan laut. Walaupun demikian

prasarana jalan dari desa ke pusat-pusat pelayanan kesehatan bisa dilalui kendaraan roda dua.

Jadi faktor geografis tidak menjadi penghalang bagi penderita katarak untuk mendapatkan

pelayanan kesehatan mata.

5.2.2 Hubungan faktor Sosial-Ekonomi dengan kebutaan akibat katarak

Dari hasil survey yang kami lakukan terhadap sampel ternyata masih banyak penduduk

yang berpenghasilan rendah. Ini kemungkinan disebabkan oleh derajat pendidikan yang masih

(53)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

kebutaan perlu pemberian pelayanan gratis bagi orang-orang yang tidak mampu. Terutama

penderita katarak, yang memerlukan bahan lensa tanam sebagai tambahan untuk

menanggulangi kebutaannya.

5.2.3 Hubungan faktor Budaya tentang Pemeliharaan Kesehatan Mata dengan kebutaan akibat katarak

Dari hasil survey yang kami lakukan terhadap sampel kebanyakan penderita kurang

peduli dengan kesehatan matanya.

Ini terlihat dari lamanya menderita katarak yang tidak segera ditangani oleh dokter spesialis

mata. Kemudian masih adanya penderita yang percaya dengan pengobatan tradisional untuk

mengobati kataraknya. Bahkan ada yang membiarkan kebutaannya dengan alasan umur sudah

lanjut. Tingkat pengetahuan yang masih rendah terhadap katarak juga turut mempengaruhi.

Untuk mengatasi keadaan ini, petugas pelayanan kesehatan harus tetap konsisten untuk

memberikan informasi ke masyarakat tentang pentingnya kesehatan mata tersebut.

5.2.4 Hubungan faktor Sumber Daya Manusia dengan kebutaan akibat katarak

Sumber daya manusia di kabupaten Tapanuli Selatan terutama petugas kesehatan

belum memadai walaupun semua desa telah mempunyai bidan desa. Program puskesmas

tentang kesehatan mata yang juga termasuk dalaam 18 program pokok kesehatan puskesmas

belum terlaksana dengan baik. Khususnya mengenai tenaga Spesialis Mata yang masih belum

ada sampai sekarang di Kabupaten Tapanuli Selatan. Oleh karena itu perlulah menjadi

perhatian bagi kita semua khususnya bagi pengambil keputusan untuk pengadaan tenaga

(54)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

5.2.5 Hubungan faktor sarana dan Prasarana Kesehatan dengan kebutaan akibat Katarak

Sarana dan Prasarana Kesehatan di Kabupaten Tapanuli Selatan belum memadai

dimana ada 1 (satu) RSU Pemerintah yang semestinya sudah dapat melakukan operasi

katarak terhadap penderita-penderita katarak, namun sampai sekarang belum bisa melayani

pelayanan kesehatan mata secara optimal oleh karena belum tersediannya sarana untuk

pelayananan kesehatan mata serta belum adanya tenaga dokter spesialis mata di Kabupaten

(55)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Prevalensi Kebutaan Katarak adalah 0,24%, ini berarti lebih kecil dari

prevalensi Kebutaan Katarak secara nasional yaitu 0,78 %.

2. Faktor ketidaktahuan dan kurangnya pengetahuan tentang katarak merupakan

faktor penyebab tingginya prevalensi Kebutaan Katarak ini. Keadaan ini

sebagian besar disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dari sebagian

besar penduduk setempat.

3. Faktor Geografi pada penelitian ini tidak menjadi hambatan terhadap penderita

Katarak untuk mendapatkan pelayanan.

4. Faktor Pekerjaan masyarakat secara mayoritas adalah petani, yang mana faktor

pekerjaan ini sangat berpengaruh terhadap tingginya prevalensi untuk

terjadinya Kebutaan Katarak.

5. Faktor Budaya tentang Pemeliharaan Kesehatan Mata juga mempunyai

peranan terhadap keberhasilan penanggulangan Kebutaan Katarak dan hal ini

erat hubungannya dengan tingkat pendidikan.

6. Masih kurangnya tenaga medis maupun paramedis, hal ini terlihat dari tidak

adanya dokter spesialis mata dan tidak adanya tenaga paramedis yang mahir

dalam menangani penyakit – penyakit mata di Kabupaten Tapanuli Selatan

tersebut.

7. Faktor Sarana dan Prasarana Kesehatan yang belum memadai untuk

(56)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

8. Faktor sosioekonomi ini juga merupakan penyebab dari peningkatan prevalensi

Kebutaan Katarak oleh karena rendahnya penghasilan masyarakat setempat

yang pada umumnya penduduk di Kabupaten Tapanuli Selatan tersebut

mempunyai pekerjaan sebagai petani.

B. SARAN

1. Untuk mengurangi penderita Kebutaan Katarak perlu dilakukan operasi

katarak secara gratis yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten

Tapanuli Selatan bekerjasama dengan Persatuan Dokter Mata Indonesia

(PERDAMI) Cabang Sumatera Utara, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

yang menaruh perhatian terhadap kesehatan khususnya kesehatan Mata serta

Fakultas Kedokteran Sumatera Utara.

2. Perlunya menambah dan menempatkan tenaga – tenaga ahli, seperti dokter

spesialis mata dan perawat mahir mata serta penyediaan sarana untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan mata.

3. Penyuluhan tentang kesehatan mata terhadap masyarakat sebaiknya rutin

dilakukan di Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Posyandu dan tempat

pelayanan kesehatan lainnya agar masyarakat dapat semakin mengerti dan tahu

bahwa betapa pentingnya menjaga kesehatan mata serta semakin tahu bahwa

penyakit katarak dapat disembuhkan dengan cara operasi.

(57)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010. DAFTAR PUSTAKA

1. Kebutaan di Indonesia Merupakan Bencana Nasional. Available from :

2. Kebutaan RI Tertinggi di Asia. Available from :

3. 1,5 % Penduduk Indonesia Mengalami Kebutaan. Available from:

4. Khurana A.K. Community Ophthalmology in Comprehensive Ophthalmology, Fourth

Edition, Chapter 20, New Delhi, New Age International Limited Publisher, 2007, p

443 – 446.

5. World Blindness overview available in www.cureblindness.org

6. Dua HS. Said DG. Otri AM. Are we doing too many cataract operations? Cataract

surgery : a global perspective. British Journal Ophthalmology. Volume 93. No. 1.

January 2009. p1-2

7. Sirlan F. Faktor Resiko Buta Katarak Usia Produktif : Tinjauan Khusus Terhadap

Enzim Glutation Reduktase dan Riboflavin Darah; 2000. p 1,12,19-20

8. Pembentukan Komnas Penanggulan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan. Available

from :

9. Sirlain F, Blind Reduction Rate, Is It Important to Evaluate?, Majalah Opthalmologica

Indonesiana, Volume 33, No. 3, Sept-Des 2006, CV. Usaha Prima, Jakarta, 2006.

10.Pratomo H, Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak di Tanjung Balai Tahun 2004,

Bagian Ilmu Penyakit Mata FK USU, Medan, 2004, hal 3, 37-41

11.Silalahi E, Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak di Kabupaten Karo Tahun 2004,

(58)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

12.American Academy of Ophthalmology. Cataract in International

Ophthalmology.Chapter 14, Section 13; 2004 – 2005.p 161-170.

13.Ocampo VVD. Foster CS. Cataract, Senile. Available from :

http://www.emedicine.com

14.Khurana AK. Community Ophthalmology in Comprehensive Ophthalmology. Fourth

Edition. Chapter 8. New Delhi. New Age International Limited Publisher; 2007. p

167-176

15.American Academy of Ophthalmology. Anatomy in Lens and Cataract. Section 11.

Chapter 1. Basic and Clinical Science Course; 2007-2008. p 5-9

16.Soekardi I. Hutauruk JA. Anatomi dan Fisiologi Lensa dalam Transisi menuju

Fakoemulsifikasi : Langkah-langkah menguasai teknik dan menghindari komplikasi.

Edisi I. Granit, Kelompok Yayasan Obor Indonesia. Jakarta; 2004. p 8-13

17.Steinert RF. Cataract Surgery : Techniques, Complications and Management. Second

Edition. Saunders. Philadelphia; 2004. p 9-12

18.Sperduto RD, Epidemiologic Aspects of Age-Related Cataract in Duane’s Clinical

Ophthalmolgy. Volume 1. Chapter 73A. Revised Edition. Lippincot Williams &

Wilkins;2004. p 3-4

19.American Academy of Ophthalmology, Pathology in Lens and Cataract, Section 11.

Chapter 5. Basic and Clinical Science Course;2007-2008. p 45-48

20.Taylor A. Nutritional and Environmental Influences on Risk for Cataract in Duane’s

Clinical of Ophthalmology. Volume 1. Chapter 72C. Lippincot Williams &

Wilkins;2004. p 4

21.Khurana AK. Khurana I. Anatomy and Physiology of Eye. India: CBS Publishers &

(59)

Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

22.Cataracts. Available from: http://www.umm.edu/patiented/articles/what_risk

_factors_cataracts_000026_5.htm

23.American Academy of Ophthalmology, Evaluation and Management of Cataract in

Adult in Lens and Cataract. Section 11. Chapter 7. Basic and Clinical Science Course ;

2007-2008. p 75-77

24.Langston DP. The Crystalline Lens and Cataract in Manual of Ocular Diagnosis and

Therapy. Fifth Edition. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia; 2002. p142

25.Kanski JJ. Lens in Clinical Ophthalmology A Systematic Approach. Sixth Edition.

Chapter 12. Philadelphia ST Louis. Elsevier Limited;2003. p337 - 338

26.Kabupaten Tapanuli Selatan Dalam Angka 2008, Badan Pusat Statistik Kabupaten

Tapanuli Selatan 2008.

27.Kabupaten Tapanuli Selatan available from :

28.Sinha R. et al Etiopathogenesis of cataract : Journal review. Indian Journal of

Ophthalmology Vol.57 No.3; May – June 2009. p248 – 249

29.Related Eye Disease Study Research Group. Risk Factors Associated with

Age-Related Nuclear and Cortical Cataract A Case-control Study in the Age-Age-Related Eye

Disease Study, AREDS Report No.5. Ophthalmology Vol. 108, Number 8, August

Gambar

Tabel 1. International Classification Diseases terhadap penurunan penglihatan (dikutip dari
Gambar 1. Proses terjadinya katarak( dikutip dari Gambar II.3 Faktor Resiko Buta Katarak
Gambar 2. Skema spekulatif yang menggambarkan 4 cara utama dimana diare
Tabel 2. Sarana/Pelayanan Kesehatan di Kabupaten Tapanuli Selatan (Sumber BPS. Prop.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan hukum sebagaimana dalam. pasal 59 ayat (2) tahun 1945 dilakukan melalui perlakuan,

(1) In the case of LPSK accept the petition of Witness and / or Victim referred to in Article 29, the Witness and / or Victim signed a statement of willingness

Placebo Used Assignment Parallel Other design features Secondary Ids empty Ethics committees 1 Ethics committee Name of ethics committee Ethics committee of Hormozgan University

dengan tanggapan terhadap kegiatan jalan sehat 10.000 langkah bersama Anlene.. Hubungan antara pemilihan lokasi kegiatan jalan sehat 10.000 langkah bersama Anlene dengan sikap

Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi di luar diri dan aktivitas kerja nelayan, selama ini masyarakat Jaring Halus jarang tersentuh

Negara bersama UU Otonomi daerah 1999 dibutuhkan dalam hal ini karena (i) model pembangunan kita telah bergeser ke arah desentralisasi daerah, sehingga setiap wilayah dipacu

Menarik juga untuk dicatat bahwa, orang-orang Cina yang pada awalnya datang ke Medan sebagai kuli perkebunan kemudian telah berkembang menjadi satu kelompok yang menguasai

Since Ompu Pulo Batu was then away in the Dairi region endeavouring to negotiate with the Dutch to find his new place under the colonial regime, 12 the Parmalims began to

Nurdin Sitohang : Perubahan mutu buah sawit segar akibat penyinaran , temperatur dan..., 2000.. Nurdin Sitohang : Perubahan mutu buah sawit segar akibat penyinaran , temperatur