PREVALENSI KEBUTAAN
AKIBAT KELAINAN REFRAKSI
DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN
TESIS
Oleh:
Lesus Eko Sakti
Departemen Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran
PREVALENSI KEBUTAAN AKIBAT KELAINAN REFRAKSI
DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN
TESIS
DOKTER SPESIALIS MATA
Diseminarkan dan dipertahankan pada hari Rabu 03 Maret 2010. Di hadapan Dewan Guru
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Telah Disetujui :
1. Dr. Delfi,SpM Kepala Departemen
2. Prof. Dr. H. Aslim D. Sihotang,SpM Ketua Program Studi
3. Dr. Nurchaliza H. Siregar,SpM Pembimbing
4. Dr. H. Abdul Gani,SpM Pembimbing
5. Dr. Masang Sitepu,SpM Pembimbing
6. Prof. Dr. H. Aslim D. Sihotang,SpM Pembimbing
Kuhadiahkan untuk yang terkasih
Ayahanda dan Ibunda
Bapak dan Ibu mertua
Istriku tercinta Nova Arianti
Dan anakku tersayang
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayahNya, serta memberikan bimbingan, petunjuk dan kekuatan lahir dan bathin
sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini dibuat untuk memenuhi salah satu
kewajiban untuk memperoleh keahlian dalam bidang Ilmu Kesehatan Mata di Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan yang berbahagia ini saya menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pembimbing saya Prof.Dr. H. Aslim D.
Sihotang,SpM, Dr. Nurchaliza H. Siregar,SpM, Dr. H. Abdul Gani,SpM, Dr. Masang
Sitepu,SpM dan Drs. H. Abdul Djalil Amri Arma,M.Kes. yang telah banyak memberi
masukan dan bantuan selama penulisan tesis ini.
Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada yang
terhormat guru-guru saya : Dr. H Mohd. Dien Mahmud,SpM, Dr. H. Chairul Bahri
AD,SpM, Dr. H. Azman Tanjung,SpM, Prof. Dr. H. Aslim D. Sihotang,SpM, Dr.Masang
Sitepu,SpM, Dr.H.Bachtiar,SpM, Dr.Suratmin,SpM, Dr. H. Abdul Gani,SpM, Dr. Hj.
Adelina Hasibuan,SpM, Dr. Hj. Nurhaida Djamil,SpM, Dr. H. Rizafatmi,SpM, Dr. H.
Syaiful Bahri,SpM, Dr. Beby Parwis,SpM, Dr. Hj. Heriyanti Harahap,SpM, Dr. Hj. Aryani
A. Amra,SpM, Dr. Delfi, SpM, Dr. H .Zaldi,SpM atas pengajaran, bimbingan, kritik
maupun saran yang telah terima selama menempuh pendidikan keahlian ini.
Terima kasih kepada bapak Drs. H. Abdul Djalil Amri Amra,M.Kes dari Fakultas
Kesehatan Masyarakat USU untuk bimbingan, masukan dan bantuannya dalam statistik.
Meianto Ginting,SpM, Dr. Elly T. E. Silalahi,SpM, Dr. Sri Ninin Asnita,SpM, Dr. Lylys
Surjani,SpM, Dr. Feriyani,SpM, Dr. Januar Sitorus,SpM, Dr. Hj. Novie Diana Sari,SpM,
Dr. Masitha Dewi Sari,SpM, Dr. Raja C. Lubis,SpM, Dr. Rodiah Rahmawaty Lubis,SpM,
Dr. Ira K.Siregar,SpM, Dr. Nova Arianti,SpM, Dr.Andriyeni,SpM, Dr. Bobby R.E.
Sitepu,SpM, Dr. T. Siti Harilza Z.,SpM, atas bimbingan yang telah diberikan kepada saya.
Kepada rekan-rekan sejawat peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Mata dan para
perawat SMF Mata RSUP. H.Adam Malik dan RSU Dr.Pirngadi Medan yang telah banyak
membantu saya dalam menjalani program pendidikan ini.
Kepada Pimpinan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Ketua TKP PPDS,
saya ucapkan terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk
mengikuti pendidikan keahlian ini.
Kepada Pimpinan RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSU. Dr. Pirngadi Medan yang telah
memberikan izin untuk menggunakan fasilitas yang ada selama saya menempuh
pendidikan.
Ucapan terima kasih kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Selatan yang
telah memberi izin dan membantu saya dalam melakukan penelitian di Kabupaten
Tapanuli Selatan.
Dan yang terakhir, namun sangat besar artinya bagi saya adalah keluarga saya tercinta
yang senantiasa mendukung, membantu, memperhatikan, mencintai dan menerima saya
apa adanya. Untuk orangtua saya tercinta H. Soetjipto Tjokrosoemarto dan Hj. Siti
Nur’aini Dalimunthe serta keluarga besar saya tercinta, terima kasih atas cinta, dukungan
dan perhatiannya selama ini baik moril maupun materil. Terima kasih saya ucapkan kepada
Kepada istri saya tercinta Dr. Nova Arianti,SpM dan anakku tersayang Nisrina Astrid
Valesti adalah anugerah yang tak terhingga dari Allah SWT buat saya, terima kasih atas
kehadiran kalian yang telah mendorong semangat untuk maju hingga dapat menyelesaikan
pendidikan ini.
Kepada semua pihak yang tidak tertulis disini, yang telah banyak membantu saya baik
moril maupun materil selama menempuh pendidikan keahlian ini, tiada kata yang dapat
saya ucapkan selain ucapan terima kasih setulus-tulusnya, semoga Allah SWT yang akan
membalas kebaikan ini.
Saya menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, namun saya berharap
hasil karya ini dapat memberikan manfaat, sekecil apapun manfaatnya dapat memberi arti
dalam perkembangan ilmu pengetahuan khususnya pada Departemen Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.
Medan, 03 Maret 2010
Penulis
DAFTAR ISI TINJAUAN KEPUSTAKAAN ... 6
2.1. KERANGKA TEORI ... 6
2.2. STRUKTUR GEOGRAFI DAN DEMOGRAFI KABUPATEN TAPANULI SELATAN ...13
BAB III KERANGKA KONSEPSIONAL, DEFINISI OPERASIONAL ... 15
3.1. KERANGKA KONSEPSIONAL ... 15
3.2. DEFINISI OPERASIONAL ... 16
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 17
4.1. DESAIN PENELITIAN ... 17
4.2. PEMILIHAN TEMPAT PENELITIAN ... 17
4.4. BESAR SAMPEL ... 17
4.5. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI ... 20
4.6. IDENTIFIKASI VARIABEL ... 21
4.7. BAHAN DAN ALAT ... 21
4.8. CARA KERJA DAN ALUR PENELITIAN ... 22
4.9. LAMA PENELITIAN ... 23
4.10. ANALISA DATA ... 23
4.11. PERSONALIA PENELITIAN ... 23
4.12. PERTIMBANGAN ETIKA ... 23
4.13. BIAYA PENELITIAN ... 24
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 25
5.1. DATA KEPENDUDUKAN ... 25
5.2. DATA UMUM SAMPEL ... 26
5.3. DATA KEBUTAAN AKIBAT KELAINAN SAMPEL ... 29
5.4. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ... 36
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 40
6.1. KESIMPULAN ... 40
6.2. SARAN ... 41
DAFTAR PUSTAKA ... 42
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Terminologi kebutaan didefenisikan berbeda – beda di setiap negara seperti kebutaan
total, kebutaan ekonomi, kebutaan hukum dan kebutaan Sosial. Publikasi WHO pada tahun
1966 memberikan 65 defenisi kebutaan. Di bidang oftalmologi, kebutaan adalah orang
yang oleh karena penglihatannya menyebabkan ia tidak mampu melakukan aktifitas
sehari-hari.1,2
Pada tahun 1972 WHO mendefenisikan kebutaan adalah tajam penglihatan <3/60.
Kemudian pada tahun 1979, WHO menambahkannya dengan ketidaksanggupan
menghitung jari pada jarak 3 meter.1,2
Pada tahun 2008, revisi yang direkomendasikan WHO dan International
Classification of Disease ( ICD ) membagi berkurangnya penglihatan menjadi 5 kategori
dengan maksimum tajam penglihatan kurang dari 6/18 Snellen, kategori 1 dan 2 termasuk
pada low vision sedangkan kategori 3, 4 dan 5 disebut blindness. Pasien dengan lapang
pandangan 5 – 10 ditempatkan pada kategori 3 dan lapang pandangan kurang dari 5
Tabel 1.1. Klasifikasi rekomendasi WHO-ICD 2007 terhadap gangguan penglihatan.1
Presenting Distance Visual Acuity
Category of Visual Impaiment Level of Visual Acuity ( Snellen )
Normal Vision 6 / 6 to 6 / 18 light perception or visual field less than 5
3. No light perception
Undang – undang no. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa
pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan
untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal. Kesehatan indra penglihatan merupakan syarat penting untuk meningkatkan
kwalitas sumber daya manusia dalam meningkatkan kwalitas kehidupan masyarakat dalam
rangka mewujudkan manusia yang cerdas, produktif, maju, mandiri dan sejahtera lahir
batin.5
Di negara berkembang di seluruh dunia selain masalah sosial dan ekonomi, maka
kebutaan masih merupakan masalah yang besar. Pada tahun 1990, WHO memperkirakan
prevalensi kebutaan berkisar antara 0,3%-0,7%, dan angka ini diperkirakan akan
angka kebutaan bilateral di negara berkembang di Asia berkisar 0,4% dan kebutaan
unilateral berkisar 2,6 %.6
Berdasarkan Survey Kesehatan Indera tahun 1993-1996, sebesar 1,5% penduduk
Indonesia mengalami kebutaan dengan penyebab utama adalah katarak (0,78%), Glaukoma
(0,20%), Kelainan Refraksi (0,14%), Gangguan Retina (0,13%), dan Kelainan Kornea
(0,10%). Kebutaan karena katarak kejadiannya diperkirakan 0,1% (sekitar 210.000 orang)
per tahun.7,8,9,10
Di Sumatera Utara, menurut penelitian yang dilakukan oleh Departemen Mata tahun
2004 didapat angka kebutaan sebagai berikut : kebutaan akibat Katarak ( Tanjung Balai
0,37%; Karo 0,41% ), Glaukoma ( Karo 0,094% ), Kelainan Refraksi ( Tanjung Balai
0,09%; Karo 0,12% ), Gangguan Retina ( Tanjung Balai 0,06%; Karo 0,11% ), dan
Kelainan Kornea ( Tanjung Balai 0,11%; Karo 0,08% ). Angka-angka yang diteliti ini
lebih rendah dari prevalensi kebutaan nasional akibat katarak, glaukoma, kelainan refraksi,
gangguan retina dan kelainan kornea.11
Pemeriksaan tajam penglihatan pada seseorang terutama pada anak selama ini
banyak menemui kendala, padahal di sisi lain, informasi tentang tajam penglihatan ini
sangat penting dalam membantu penegakan diagnosis dan memegang peranan penting
dalam analisis fungsi penglihatan.12
Dalam memeriksa tajam penglihatan pada anak selalu didapat kesulitan akibat
kurangnya komunikasi antara pemeriksa dengan anak tersebut oleh karena anak-anak
belum mampu melakukan kontak dengan baik. Untuk itu diperlukan ketrampilan
pemeriksa sehingga pemeriksa mendapat hasil yang baik, walaupun kadang kala selain
Kelainan refraksi merupakan penyebab kebutaan yang belum mendapatkan banyak
perhatian karena definisi kebutaan refraksi berdasarkan tajam penglihatan terbaik setelah
terkoreksi, termasuk defenisi yang digunakan oleh International Statistical Classification of
Diseases and Related Health Problems. Kebutaan akibat kelainan refraksi merupakan
penyebab kebutaan terbesar kedua yang dapat diobati setelah katarak.
Seorang yang mengalami kebutaan, baik pada satu mata maupun pada kedua
matanya memerlukan perhatian serius karena dapat menimbulkan dampak Sosio, Ekonomi
dan Psikologi yang akhirnya menjadi beban individu, masyarakat dan negara.
Hal – hal tersebut diatas menjadi latar belakang bagi Peneliti untuk mengetahui
prevalensi kebutaan terakhir (2009) akibat kelainan refraksi di Sumatera Utara khususnya
di Kabupaten Tapanuli Selatan.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Berapa angka kebutaan akibat kelainan refraksi untuk Kabupaten Tapanuli Selatan
pada tahun 2009 dan faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi angka kebutaan kelainan
refraksi tersebut.
1.3. TUJUAN PENELITIAN
1.3.1. Tujuan Umum
Mendapatkan angka kebutaan akibat kelainan refraksi untuk Kabupaten Tapanuli
Selatan dan faktor – faktor yang mempengaruhi kebutaan tersebut.
1.3.2. Tujuan Khusus
penderita kebutaan akibat kelainan refraksi di wilayah Kabupaten Tapanuli
Selatan.
3. Untuk mengetahui gambaran kesehatan mata responden di wilayah Kabupaten
Tapanuli Selatan.
4. Untuk mengetahui gambaran budaya di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.
5. Untuk mengetahui gambaran sarana dan prasarana kesehatan mata di Kabupaten
Tapanuli Selatan.
6. Untuk mengetahui gambaran kebutaan akibat kelainan refraksi di wilayah
Kabupaten Tapanuli Selatan.
1.4. MANFAAT PENELITIAN
1.4.1. Dengan Penelitian ini, akan didapat angka prevalensi kebutaan akibat kelainan
refraksi di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.
1.4.2. Dapat dibuat kebijakan yang berkaitan dengan penatalaksanaan kebutaan akibat
kelainan refraksi serta estimasi proyek kegiatan yang dapat menurunkan angka
kebutaan tersebut.
1.5. HIPOTESA
Terdapat penurunan angka kebutaan refraksi di Kabupaten Tapanuli Selatan pada
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. KERANGKA TEORI
Kelainan refraksi disebut juga “refraksi anomali”, ada 4 macam kelainan refraksi
yang dapat mengganggu penglihatan dalam klinis, yaitu:
1. Miopia
2. Hipermetropia
3. Astigmatisma
4. Afakia
Ad 1. Miopia
Miopia adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar masuk ke bola mata
tanpa akomodasi akan dibiaskan didepan retina. Untuk mengoreksinya dipakai lensa sferis
minus.
Bentuk dari Miopia menurut penyebabnya 12,13,1,15,16,17,18,19:
1.1. Miopia aksial
Diameter antero-posterior dari bola mata lebih panjang dari normal, walaupun
kornea dan kurvatura lensa normal dan lensa dalam posisi anatominya normal. Miopia
dalam bentuk ini dijumpai pada proptosis sebagai hasil dari tidak normalnya besar
segmen anterior, peripapillary myopic crescent dan exaggerated cincin skleral, dan
1.2. Miopia kurvatura
Mata memiliki diameter antero-posterior normal, tetapi kelengkungan dari kornea
lebih curam dari rata-rata, missal : pembawaan sejak lahir atau keratokonus, atau
kelengkungan lensa bertambah seperti pada hiperglikemia sedang ataupun berat, yang
menyebabkan lensa membesar.
1.3. Miopia karena peningkatan indeks refraksi
Peningkatan indeks refraksi daripada lensa berhubungan dengan permulaan dini
atau moderate dari katarak nuklear sklerotik. Merupakan penyebab umum terjadinya
Miopia pada usia tua. Perubahan kekerasan lensa meningkatkan indeks refraksi,
dengan demikian membuat mata menjadi myopik.
1.4. Miopia karena pergerakan lensa ke anterior
Keadaan ini sering terlihat setelah operasi glaukoma dan akan meningkatkan
miopia pada mata.
Ad 2. Hipermetropia
Hipermetropia (hyperopia) atau ‘Far – sightedness’ adalah suatu kelainan refraksi
daripada mata dimana sinar – sinar yang berjalan sejajar dengan sumbu mata tanpa
akomodasi dibiaskan dibelakang retina, oleh karena itu bayangan yang dihasilkan kabur.
Untuk mengoreksinya dipakai lensa sferis plus.
Struktur Hipermetropia berdasarkan pada konfigurasi anatomi dari bola mata :
2.1. Hipermetropia Aksial
Bola mata lebih pendek dari normal pada diameter antero-posterior, meskipun
2.2. Hipermetropia kurvatura
Keadaan dimana kelengkungan lensa atau kornea lebih tipis dari normal dan
power refraksinya turun. Sekitar setiap 1 mm penurunan dari radius kelengkungan
tersebut menghasilkan Hipermetropia 6 D
2.3. Hipermetropia indeks refraksi
Terjadi penurunan indeks refraksi akibat penurunan dari densitas beberapa atau
seluruh bagian dari system optik mata, juga penurunan power refraksi mata. Biasanya
terjadi pada usia tua dan juga pada penderita diabetes terkontrol.
Ad 3. Astigmatisma
Astigmatisma adalah suatu kondisi dengan kurvatura yang berlainan sepanjang
meridian yang berbeda-beda pada satu atau lebih permukaan refraktif mata ( kornea,
permukaan anterior atau posterior dari lensa mata ), akibatnya pantulan cahaya dari suatu
sumber atau titik cahaya tidak terfokus pada satu titik di retina.
Pada astigmatisma, karena adanya variasi dari lengkungan kornea atau lensa pada meridian
yang berbeda-beda mencegah berkas sinar itu memfokuskan diri kesatu titik.
Jenis-jenis Astigmatisma
3.1. Astigmatisma Reguler
Secara teori, pada setiap titik pada permukaan yang lengkung, arah dari
kelengkungan yang terbesar dan yang terkecil selalu terpisah 90 derajat tetapi arah ini
bias beribah saat melewati satu titik ke titik yang lain. Bila meridian utama dari
astigmatisma mempunyai orientasi yang konstan pada setiap titik yang melewati pupil
dikenal sebagai astigmatisma regular. Dan ini bisa dikoreksi dengan kacamata lensa
silindris.
Berdasarkan axis dan sudut antara 2 meridian utama, astigmatisma reguler dibagi
atas :
3.1.1. Horizonto-vertikal astigmatisma
Dibagi dalam 2 bentuk :
3.1.1.1. Astigmatisma with the rule
Suatu astigmatisma dimana meridian vertical lebih curam dari horizontal, dikoreksi
dengan lensa silindris positif dengan axis 9020 atau lensa silindris negatif dengan
axis 18020.
3.1.1.2. Astigmatisma against the rule
Suatu astigmatisma dimana meridian horizontalnya lebih curam dari meridian vertical.
Koreksinya dengan lensa silindris positif dengan axis 18020 atau lensa silindris
negatif dengan axis 9020.
3.1.2. Astigmatisma oblique
Suatu bentuk regular astigmatisma dimana garis meridian utamanya tidak tegak lurus
TipeRefraktif Dari Astigmatisma Reguler
Bergantung pada posisi dari 2 garis fokus yang berhubungan ke retina, astigmatisma
regular lebih lanjut dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe :
3.1.1. Simple astigmatisma
Berkas cahaya pada satu meridian terfokus tepat did retina, dan cahaya pada meridian
yang lain terfokus pada titik didepan retina disebut simple myopic astigmatisma. Jika
cahaya itu terfokus dibelakang retina disebut simple hypermetropic astigmatisma.
Contoh : C – 2 x 90 atau C 2 x 90.
3.1.2. Compound astigmatisma
Pada jenis ini, berkas cahaya pada kedua meridian terfokus didepan retina disebut
astigmatisma Miopia compound dan jika terfokus dibelakang retina disebut
astigmatisma Hipermetropia compound.
Contoh : S 4, C 2 x 90 atau S 4, C 2 x 90
3.1.3. Mixed astigmatisma
Pada jenis ini berkas cahaya pada satu meridian terfokus pada titik di depan retina dan
cahaya pada meridian yang lain terfokus di belakang retina.
Contoh : S 4, C 2 x 90 atau S 4, C 2 x 90
3.2. Astigmatisma Irregular
Suatu astigmatisma dimana sinar-sinar sejajar dengan garis pandang dibias tidak
teratur. Astigmatisma irregular ini bersifat / mempunyai perubahan-perubahan
irregular dari tenaga refraksinya pada meridian-meridian yang berbeda. Terdapat multi
memperbaiki penglihatan dalam kasus-kasus ini, tapi dapat diterapi dengan lensa
kontak rigid.
Ad 4. Afakia
Afakia secara literature berarti tidak adanya lensa dalam mata. Afakia akan
mengakibatkan Hipermetropia tinggi.
Penyebab :
1. Kongenital.
Suatu keadaan yang jarang dimana lensa tidak ada sejak lahir.
2. Afakia paska operasi.
Terjadi setelah operasi ICCE ( Intra Capsular Cataract Extraction ), ECCE
( Extra Capsular Cataract Extraction ).
3. Post Traumatik.
Diikuti oleh trauma tumpul atau tembus, yang mengakibatkan subluksasi atau
dislokasi dari lensa.
4. Posterior dislokasi dari lensa ke vitreus akan menyebabkan optikal Afakia.
Optik Afakia dari mata : perubahan optik terjadi setelah keluarnya lensa.
1. Mata menjadi Hipermetropia tinggi
2. Total power mata berkurang dari 60 D menjadi 44D
3. Fokal poin anterior menjadi 23.2 mm didepan kornea
4. Posterior fokal poin sekitar 31 mm dibelakang kornea atau sekitar 7 mm
dibelakang mata normal ( panjang bola mata anterior-posterior sekitar 24 mm )
Kelainan refraksi telah dilaporkan sebagai penyebab gangguan penglihatan yang
mencolok diberbagai belahan dunia. Prevalensi yang tinggi dari gangguan penglihatan
akibat kelainan refraksi juga telah dilaporkan terjadi diseluruh dunia, gangguan refraksi ini
dapat diterapi, dimana sebagian besar dapat dikoreksi.
Berdasarkan analisis WHO, diperkirakan terdapat 45 juta orang mengalami kebutaan
dan 135 juta orang dengan low vision atau terdapat kurang lebih 180 juta orang dengan
gangguan penglihatan diseluruh dunia.
Salah satu penyebab kebutaan adalah kelainan refraksi yang tidak terkoreksi. Hal; ini
dapat diketahui dari laporan-laporan penelitian mengenai kelainan refraksi. Kelainan
refraksi menjadi penyebab kebutaan ( ditandai dengan tajam penglihatan < 20/200 pada
mata yang terbaik ) pada 0,3% populasi di Andra Pradesh India. Prevalensi kebutaan akibat
kelainan refraksi pada usia 40 tahun atau lebih adalah 1,06% di Andra Pradesh India dan
0,11% di Victoria Australia.
Prevalensi yang tinggi dari gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi yang tidak
terkoreksi atau koreksinya tidak optimal telah dilaporkan dalam 10 tahun terakhir ini dari
beberapa penelitian-penelitian survey, seperti Baltimore Eye Survey, The Blue Mountains
Eye Study, The Victoria Visual Impairment Project, dan Andra Pradesh Eye Diseases
Study.
Sebagian besar penelitian epidemiologi terhadap kelainan refraksi difokuskan pada
Miopia, mungkin hal ini disebabkan karena Miopia merupakan penyebab tersering
gangguan penglihatan pada kelainan refraksi.
Miopia juga dapat berhubungan dengan kelainan mata yang lain seperti retinal
2.2. STRUKTUR GEOGRAFI DAN DEMOGRAFI KABUPATEN TAPANULI SELATAN.
Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan salah satu daerah yang berada dikawasan
dataran tinggi Pegunungan Bukit Barisan. Secara geografis Kabupaten Tapanuli Selatan
berada 00101- 10 501 Lintang Utara, 980501 – 1000101 Bujur Timur dan 0 – 1.915 m dari
permukaan laut.
Kabupaten Tapanuli Selatan menempati area seluas 12.261,55 km2 yang terdiri dari
12 kecamatan dan 503 desa. Area Kabupaten Tapanuli Selatan di sebelah Utara berbatasan
dengan Kabupaten Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah, di sebelah Selatan berbatasan
dengan Propinsi Sumatera Barat dan Kabupaten Madina, di sebelah Barat berbatasan
dengan Samudra Indonesia dan Kabupaten Madina, dan disebelah Timur berbatasan
dengan Propinsi Riau dan Kabupaten Labuhan Batu. Berdasarkan luas daerah menurut
kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan, luas daerah terbesar adalah kecamatan Sipirok
dengan luas 577,18 km2 atau 13,22 persen diikuti Kecamatan Sayurmatinggi dengan luas
519,60 km2 atau 11,90 persen. Sedangkan luas daerah terkecil adalah Kecamatan Arse
dengan luas 143,67 km2 atau 3,29 persen dari total luas wilayah Kabupaten Tapanuli
Selatan.
Seperti umumnya daerah-daerah lain yang berada di kawasan Sumatera Utara,
Kabupaten Tapanuli Selatan termasuk daerah beriklim tropis, sehingga seperti kebanyakan
Kabuapaten lain di Sumatera Utara memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim
kemarau. Jumlah Penduduk Kabupaten Tapanuli Selatan hingga keadaan 30 Juni 2007
berjumlah 261.781 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 59,94 jiwa/km2.
pertumbuhan penduduk Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 2007 dibandingkan tahun
2005 adalah sebesar 1,83 %.22
Sarana kesehatan yang ada di Kabupaten Tapanuli Selatan adalah tiga Rumah Sakit
Umum (RSU) milik Pemerintah. Sedangkan Puskesmas yang ada berjumlah 16 unit yang
disertai Puskesmas Pembantu 57 unit dan Posyandu 547 unit yang tersebar di tiap
Kecamatan.
Tenaga medis yang tersedia di Kabupaten Tapanuli Selatan baik negeri maupun
swasta ada 43 Dokter Umum, 10 Dokter Gigi dan 2 Dokter Spesialis. Khusus pelayanan
mata ada satu orang Dokter Spesialis Mata.
Tabel 2.2. Banyaknya sarana / pelayanan kesehatan menurut Kecamatan
PUSKESMAS
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
3.1. KERANGKA KONSEPSIONAL
Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan dan
mengarahkan asumsi mengenai elemen – elemen yang diteliti. Berdasarkan rumusan
masalah yang telah dipaparkan dalam latar belakang, tinjauan kepustakaan yang ada, maka
kerangka konsep digambarkan sebagai berikut :
KERANGKA KONSEPSIONAL
SOSIO EKONOMI SUMBER DAYA
MANUSIA
BUDAYA PEMELIHARAAN
KESEHATAN MATA
KEBUTAAN AKIBAT KELAINAN
REFRAKSI
GEOGRAFI
3.2. DEFINISI OPERASIONAL
- Kebutaan refraksi adalah penderita kelainan refraksi dengan visus terbaik pada kedua
mata < 3/60 dan belum dikoreksi dengan kacamata.
- Sosio ekonomi adalah segala sesuatu mengenai kemampuan daya beli masyarakat
dan pemerintah.
- Geografi adalah kondisi alam, apakah mudah / sulit dijangkau dari sarana dan
prasarana kesehatan yang tersedia, dimana hal tersebut akan mempengaruhi cakupan
pelayanan kesehatan yang akan diberikan.
- Sumber Daya Manusia adalah tenaga ahli khususnya dokter Spesialis Mata dan
Perawat Refraksionis Mata yang tersedia.
- Sarana dan Prasarana kesehatan mata adalah pengetahuan penderita terhadap
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. DESAIN PENELITIAN
Penelitian ini adalah Penelitian survei dengan pendekatan Cluster atau
pengelompokkan yang bersifat deskriptif, artinya subjek yang diamati pada saat
monitoring biologik dan pengukuran tingkat pengetahuan masyarakat dinilai dengan
pengamatan pada saat bersamaan ( transversal ) atau dengan satu kali pengamatan /
pengukuran.
4.2. PEMILIHAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Kabupaten Tapanuli Selatan yang merupakan daerah dataran
tinggi dengan penentuan sampel secara purposive.
4.3. POPULASI PENELITIAN
Populasi penelitian adalah seluruh penduduk yang ada di wilayah kerja Puskesmas
Kabupaten Tapanuli Selatan yang sesuai dengan kriteria penelitian, selanjutnya dilakukan
pemeriksaan seluruh masyarakat desa dan dusun di wilayah kerja Puskesmas tersebut
secara random sampling.
4.4. BESAR SAMPEL
Untuk mendapatkan data yang representatif yang mewakili satu Kabupaten Tapanuli
Besarnya sampel adalah jumlah penduduk dari 6 kecamatan yang terpilih yang
dianggap mewakili satu Kabupaten yang ada di wilayah kerja, jumlah sampel yang akan
diambil, dihitung dengan rumus Cluster Sampling dengan Proportional Allocation
Methode yaitu :
N Z
2σ
2c
n =
N G
2M
2+ Z
2 σc
2Dimana :
n = Jumlah sampel minimal yang akan diambil dalam penelitian ini.
N = Jumlah populasi.
Z = Nilai baku normal dari tebal Z yang besarnya tergantung
Pada nilai α = 0,05, nilai Zc = 1,96.
σ2
c = Varians populasi
= ∑ ( ai + P mi )2 = ∑ ai2 – 2P∑aiMi + P2 ∑mi2
n – 1 n – 1
P = Proporsi kebutaan refraksi = ∑ ai
∑ mi
G = Galat pendugaan, diasumsikan 3 %.
M = Rerata kejadian buta refraksi = ∑ mi
Dengan demikian, sampel jumlah untuk masing – masing Kecamatan yaitu :
σ2
c = Varians populasi
= ∑ ( ai + P mi )2 = ∑ ai2 – 2 P ∑ai Mi + P2 ∑ mi2
n – 1 n – 1
= 2894,282833
P = Proporsi kebutaan refraksi
= ∑ ai
∑ mi
= 0,1
M = ∑ mi
n
= 291,8265
mi = jumlah kebutaan secara nasional
= 1,5 %
ai = banyak kebutaan akibat kelainan refraksi
Tabel 4.5. Dengan demikian sampel masing – masing untuk tiap kecamatan adalah Sayurmatinggi 36.733 551 51 303.601 2.601 28.101 20 Batang Angkola 30.771 462 43 213.444 1.849 19.866 17
Sipirok 30.494 457 43 208.849 1.849 19.651 17 Batang Toru 25.918 389 36 151.321 1.296 14.004 14
Angkola Timur 23.548 353 33 124.609 1.089 11.649 13
Jumlah 19.4551 2.918 272 1.500.260 13.040 139.867 107
*Sumber : BPS Propinsi Sumatera Utara tahun 2008.
4.5. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI
4.5.1. Kriteria inklusi :
- Semua penderita kelainan refraksi dengan visus terbaik pada kedua mata < 3/60 dan
belum dikoreksi dengan kacamata.
- Usia penderita ≥ 5 tahun
- Tekanan intra okuli normal [10-21 mm Hg]
- Tidak dijumpai adanya kelainan di segmen anterior dan posterior mata
- Bersedia ikut dalam penelitian
4.5.2. Kriteria eksklusi :
- Penderita kelainan refraksi dengan visus terbaik pada kedua mata > 3/60 dan sudah
- Tekanan intra okuli tinggi
- Dijumpai adanya kelainan pada segmen anterior dan posterior mata
- Tidak bersedia ikut dalam penelitian
4.6. IDENTIFIKASI VARIABEL
4.6.1. Variabel terikat adalah kebutaan akibat refraksi.
4.6.2. Variabel bebas adalah :
- Sosio ekonomi
- Budaya
- Geografi
- Sumber daya manusia
- Sarana dan prasarana kesehatan
4.7. BAHAN DAN ALAT
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Snellen Chart
2. Trial lens set
3. Direct ophthalmoscope
4. Senter
5. Lup
6. Alat tulis
4.8. CARA KERJA DAN ALUR PENELITIAN
Pengumpulan data menggunakan formulir kwesioner yang berisi data karakteristik
dari sample, sarana dan prasarana di daerah Penelitian. Daerah Penelitian untuk satu
Kabupaten diwakili oleh 6 Kecamatan dengan beberapa Desa terpilih setelah survey
pendahuluan. Peneliti akan mengunjungi seluruh unit Pelayanan Kesehatan di wilayah
Penelitian yang terdiri dari Puskesmas induk dan Puskesmas pembantu, dengan kerjasama
lintas sektoral melalui Kecamatan, Lurah dan Kepala Lingkungan yang berada di wilayah
Kabupaten tersebut. Kemudian Peneliti menentukan jadwal pemeriksaan yang sebelumnya
berkoordinasi dengan Kepala Puskesmas yang bertugas di wilayah Penelitian, lalu
Penderita kelainan refraksi di kumpulkan di Puskesmas pada waktu tertentu, kemudian
Peneliti akan memeriksa langsung sampel. Jumlah sampel yang belum mencukupi
dilakukan pemeriksaan langsung ke rumah – rumah pada lingkungan yang terpilih dengan
di bantu oleh Kepala Lingkungan. Data yang telah terkumpul akan disimpan dan di
komputerisasi dengan menggunakan software Microsoft Excel.
Skema Alur Penelitian
Registrasi Pemeriksaan Visus < 3/60
Skrining kriteria eksklusi
Pemeriksaan Pin Hole
> 3/60 Maju 2-3 meter < 3/60
Kelainan Refraksi
Dilanjutkan peneliti lain yang kebetulan
4.9 LAMA PENELITIAN
Lama penelitian diperkirakan 3 bulan seperti pada tabel di bawah ini
Bulan Mei ‘09 Juni ‘09 Juli ‘09 Februari ‘10 Minggu M1 M2 M3 M4 M1 M2 M3 M4 M1 M2 M3 M4 M1 M2 M3 M4
UP Pnl PL Prs
Keterangan : UP = Usulan Penelitian ; Pnl = Penelitian ; PL = Penyusunan Laporan ; Prs = Presentasi
4.10. ANALISA DATA
Analisa data dilakukan secara deskriptif dan di sajikan dalam bentuk tabulasi data.
4.11. PERSONALIA PENELITIAN
Peneliti : Lesus Eko Sakti
Pembantu Penelitian : PPDS Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK USU Medan.
4.12. PERTIMBANGAN ETIKA
1. Usulan Penelitian ini terlebih dahulu di setujui oleh Departemen Ilmu Kesehatan
Mata FK USU / RSUP H Adam Malik Medan. Penelitian ini kemudian di ajukan
untuk disetujui oleh rapat Komite Etika PPKRM Fakultas Kedokteran Universitas
2. Inform konsen dan kerahasiaan.
Penelitian ini melibatkan langsung pasien kelainan refraksi yang ada di wilayah
Penelitian, sehingga membutuhkan kerjasama lintas sektoral dalam bentuk tembusan
surat izin untuk melakukan penelitian kepada instansi terkait seperti Dinas Kesehatan
Kabupaten / Kotamadya, Puskesmas, Camat, Kepolisian, serta Aparat Desa setempat.
4.13. BIAYA PENELITIAN
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. DATA KEPENDUDUKAN
Penelitian ini berbentuk survei yang dilakukan pada tanggal 29 Juni 2009 sampai
dengan 31 Juli 2009 pada 6 kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan didapat penderita
yang mengalami kebutaan sebanyak 360 orang, dari beberapa desa terpilih dari
masing-masing kecamatan dengan jumlah populasi 29.332 orang.
Jumlah sampel buta yang didapat dari 6 kecamatan adalah sebagai berikut, yaitu :
Kecamatan Angkola Barat : 22 orang, Kecamatan Sayurmatinggi : 103 orang, Kecamatan
Batang Angkola : 99 orang, Kecamatan Sipirok : 43 orang, Kecamatan Batang Toru : 30
orang, Kecamatan Angkola Timur : 63 orang.
Hal ini sesuai dengan rumus pengambilan sampel, dimana jumlah sampel yang
5.2. DATA UMUM SAMPEL
5.2.1. Usia.
Tabel 5.1. Distribusi sampel berdasarkan usia.
Usia [Tahun] Laki - laki Perempuan Jumlah [N]
< 10 4 2 6
10 – 20 10 12 22
21 – 30 5 4 6
31 – 40 11 15 26
41 – 50 12 14 26
51 – 60 16 49 65
61 – 70 22 89 111
71 – 80 22 55 77
> 80 2 16 18
Total 104 256 360
Dari tabel 5.1 distribusi sampel berdasarkan usia diatas, didapatkan jumlah sampel
terbanyak pada usia 61 – 70 tahun yaitu 111 orang. Selanjutnya usia 71 – 80 tahun
5.2.2. Jenis kelamin.
Tabel 5.2. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin.
Jenis Kelamin Jumlah [N] Persentase [%]
Laki-laki 104 28,89
Perempuan 256 71,11
Total 360 100
Hasil tabel 5.2. didapatkan sampel berjenis kelamin laki – laki sebanyak 104 orang
( 28,89% ) dan perempuan sebanyak 256 orang ( 71,11% ).
5.2.3. Tingkat Pendidikan.
Tabel 5.3. Distribusi sampel berdasarkan tingkat pendidikan.
Tingkat Pendidikan Jumlah [N] Persentase [%]
Tidak Sekolah 63 17,50
SD [Sederajat] 226 62,78 SMP [Sederajat] 40 11,11
SMU [Sederajat] 30 8,33
Akademi / PT 1 0,28
Total 360 100
Hasil tabel 5.3. memperlihatkan bahwa sampel yang tidak sekolah sebanyak 63 orang, SD
[Sederajat] 226 orang , SMP [Sederajat] 40 orang, SMU [Sederajat] 30 orang. Akademi /
Perguruan Tinggi 1 orang. Sebagian besar tingkat pendidikan sampel adalah Sekolah Dasar
5.2.4. Jenis pekerjaan.
Tabel 5.4. Distribusi sampel berdasarkan jenis pekerjaan.
Pekerjaan Jumlah [N] Persentase [%]
Petani 251 69,72
Pengemudi 3 0,83
Pegawai 5 1,39
Ibu Rumah Tangga 25 6,95
Dagang / wiraswasta 35 9,72
Lainnya 41 11,39
Total 360 100
Dari tabel 5.4. diatas tampak bahwa petani merupakan porsi terbesar yaitu sebanyak 251
orang atau 69,72%.
5.2.5. Suku Bangsa.
Tabel 5.5. Distribusi sampel berdasarkan suku bangsa.
Suku Bangsa Jumlah [N] Persentase [%]
Jawa 5 1,39
Mandailing 232 64,44
Melayu 1 0,28
Batak lainnya 117 32,50
Minang 5 1,39
Total 360 100
Berdasarkan tabel 5.5. diatas tampak bahwa suku Mandailing merupakan suku yang
5.3. DATA KEBUTAAN AKIBAT KELAINAN REFRAKSI
Karakteristik peserta penelitian kebutaan akibat kelainan refraksi di kabupaten
Tapanuli Selatan. Dari penduduk yang diperiksa, dengan sampel kebutaan 360 orang
didapatkan penderita yang buta akibat kelainan refraksi sebanyak 31 orang.
5.3.1.Karakteristik peserta penelitian.
5.3.1.1. Usia.
Tabel 5.6. Sebaran kebutaan refraksi berdasarkan usia.
Umur [Tahun] Jumlah [N] Persentase [%]
Pada table diatas tampak 4 orang menderita kebutaan refraksi pada kisaran umur 16–20
Usia 31-35 tahun sebanyak 2 orang, 6,45%. Usia 36-40 tahun sebanyak 2 orang, 6,45%.
Usia 41-45 tahun terdapat 1 orang, 3,22%. Usia 46-50 tahun sebanyak 4 orang, 12,90%.
Usia 56-60 tahun sebanyak 2 orang, 6,45%. Usia 61-65 tahun sebanyak 5 orang, 16,13%.
Usia 66-70 tahun sebanyak 3 orang, 9,68%. Usia 71-75 tahun sebanyak 3 orang, 9,68%.
Usia 76-80 tahun sebanyak 1 orang, 3,22%. Usia >80 tahun sebanyak 2 orang, 6,45%.
5.3.1.2. Jenis Kelamin.
Tabel 5.7. Sebaran kebutaan refraksi berdasarkan jenis kelamin.
Jenis Kelamin Jumlah [N] Persentase [%]
Perempuan 25 80,65
Laki-laki 6 19,35
Total 31 100
Dari tabel diatas tampak bahwa sebaran jenis kelamin pada kebutaan refraksi sebanyak 25
5.3.1.3. Tingkat Pendidikan.
Tabel 5.8. Sebaran kebutaan refraksi berdasarkan Tingkat Pendidikan.
Tingkat Pendidikan Jumlah [N] Persentase [%]
Tidak Sekolah 4 12,90 SD [Sederajat] 9 29,03 SMP [Sederajat] 11 35,48 SMU [Sederajat] 6 19,35
Akademi / PT 1 3,22
Total 31 100
Pada tabel diatas tampak penderita kebutaan akibat kelainan refraksi berpendidikan rendah,
dengan 29,03% di SD [Sederajat] dan 35,48% di SMP [Sederajat], 19,35% di SMU
[Sederajat], dan Akademi / Perguruan Tinggi, 3,22% sedangkan 12,90% tidak Sekolah.
Pendidikan sangat berpengaruh terhadap pengetahuan untuk mendapatkan kesehatan yang
layak, antara lain mendapatkan penglihatan yang sempurna.
5.3.1.4. Pekerjaan
Tabel 5.9. Sebaran kebutaan refraksi berdasarkan pekerjaan.
Pekerjaan Jumlah [N] Persentase [%]
Buruh / Karyawan - -
Petani 18 58,06
Pegawai 1 3,22
IRT 5 16,13
Pelajar / Mahasiswa 3 9,68
Lainnya 4 12,90
Total 31 100
Pada tabel diatas tampak 18 orang petani (32,72%) yang menderita kebutaan akibat
refraksi, 19orang (34,54) ibu rumah tangga, 9 orang (16,36%) pelajar, 7 orang (12,7%)
buruh, 1 orang (1,81%) pegawai, dan 1 orang (1,81%) lainnya.
5.3.1.5. Riwayat keluarga.
Tabel 5.10. Sebaran kebutaan refraksi berdasarkan adanya riwayat keluarga yang memakai kacamata.
Riwayat keluarga berkacamata Jumlah [N] Persentase [%]
Ya 11 35,48
Tidak 12 38,70
Tidak tau 8 25,80
Total 31 100
Pada table diatas tampak sampel dengan riwayat keluarga sedikit lebih besar daripada yang
tidak ada riwayat keluarganya yang memakai kacamata.
5.3.1.6. Riwayat tempat berobat [wawancara].
Tabel 5.11. Sebaran kebutaan refraksi berdasarkan riwayat tempat berobat [wawancara].
Riwayat tempat berobat Jumlah [N] Persentase [%]
Puskesmas 7 22,58
RS Pemerintah 4 12,90
RS Swasta 1 3,22
Tradisional 10 32,26
Optikal 1 3,22
Tidak melakukan pengobatan 8 25,80
Total 31 100
Pada tabel tampak riwayat masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan menggunakan sarana
32,26% dan 25,80%, di Puskesmas 22,58%, di Rumah Sakit Pemerintah 12,90%, di
Rumah Sakit Swasta dan Optikal masing-masing 3,22%.
5.3.1.7. Umur dan Jenis kelamin.
Tabel 5.12. Sebaran kebutaan akibat kelainan refraksi menurut umur dan jenis kelamin.
Laki-laki Perempuan
Pada tabel diatas tampak kebutaan refraksi pada kedua mata terbanyak didapat pada
kisaran umur antara 16 hingga 20 tahun dan antara 46 hingga 50 tahun. Dengan distribusi
Tabel 5.13. Sebaran jenis kelainan refraksi yang menyebabkan kebutaan.
Pada table diatas tampak distribusi jenis kelainan refraksi yang menyebabkan kebutaan
pada kedua mata, dimana penyebab yang terbanyak adalah miopia.
5.3.2. Hasil Pemeriksaan Mata Lanjutan
Tabel 5.14. Sebaran kebutaan akibat kelainan refraksi berdasarkan penyebab dan hasil koreksi.
2/60 2/60 S-8,00 S-8,50 5/50 5/50F Miopia 2,5/60 2,5/60 S+4,00 S+4,00 5/50 5/50 Hipermetropia 2,5/60 6/60 S+4,50 S+2,50 5/50 5/50 Hipermetropia
6/12 2/60 S+0,25 S+7,00 5/10 5/50 Hipermetropia
Dari table diatas tampak bahwa penyebab kebutaan refraksi yang terbanyak adalah miopia,
dan hasil koreksi dengan lensa sferis negatif, yang besarnya bervariasi antara –4,00 D
sampai –11,00 D, dan keseluruhan responden tidak dapat dikoreksi penuh.
Tabel 5.15. Estimasi Kebutaan Akibat Kelainan Refraksi di Kabupaten Tapanuli Selatan.
KABUPATEN TAPANULI SELATAN ESTIMASI PADA CI 95% ( Batas bawah, Batas atas ) Prevalensi Kebutaan Refraksi
25/29.332 x 100% = 0,08% ( 0,05% ; 0,11 % ) Prevalensi Kebutaan
5.4. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Dari tabel 5.1. sampai tabel 5.5. tampak gambaran karakteristik penduduk sampel
sampel dari wilayah penelitian.
Dari tabel 5.1. dan 5.2. terlihat distribusi umur dan jenis kelamin menunjukkan lebih
banyak penduduk dalam usia 61 -70 tahun yaitu berkisar 30,83% dan jenis kelamin
terbanyak perempuan yaitu berkisar 71,11 %. Distribusi umur ini sesuai dengan gambaran
kependudukan di Indonesia umumnya. Seperti pada negara-negara yang sedang
berkembang lainnya seperti Burma dan India.
Dari tabel 5.3. terlihat bahwa tingkat pendidikan sebagian besar penduduk
mempunyai tingkat pendidikan hanya sampai Sekolah Dasar (SD) sederajat. Rendahnya
tingkat pendidikan ini menyebabkan rendahnya sumber daya manusia dan dampaknya ini
juga akan menyebabkan kurangnya pengetahuan penduduk tentang penyakit mata
khususnya kelainan refraksi.
Dari tabel 5.4. terlihat bahwa sebagian besar penduduk mempunyai pekerjaan
sebagai petani yaitu sebesar 69,72%, hal ini sangat sesuai dengan daerah Indonesia yang
berdaerah agraris.
Dari tabel 5.5. terlihat bahwa suku terbanyak sebagai sampel dari 6 kecamatan
adalah suku Mandailing, diikuti suku batak lainnya.
Dari table 5.6. tampak gambaran peserta penelitian yang mengalami kebutaan akibat
kelainan refraksi berkisar 6-80 tahun lebih, dimana terbanyak pada kisaran umur 16 hingga
20 tahun dan antara umur 61 hingga 65 tahun.
Dari table 5.7., penyebaran kebutaan akibat kelainan refraksi menurut jenis kelamin
responden yang datang pada umumnya adalah wanita, jadi pada hasil penelitian ini
prevalensi kebutaan refraksi pada wanita lebih tinggi hanyalah merupakan faktor kebetulan
saja.
Dari tabel 5.8., sebagian besar penderita hanya menamatkan pendidikannya di tingkat
SMP [Sederajat]. Rendahnya tingkat pendidikan ini menyebabkan penderita kurang
memahami penyakitnya, sehingga hal ini perlu menjadi perhatian dalam upaya
penanggulangan kebutaan akibat kelainan refraksi.
Dari tabel 5.9., prevalensi kebutaan akibat refraksi tidak ada hubungannya dengan
pekerjaan.
Dari tabel 5.10., telah ditelusuri dari hasil anamnesa prevalensi kebutaan akibat
refraksi lebih banyak yang tidak ada riwayat keluarga berkacamata, ini disebabkan oleh
tingkat sosio-ekonomi yang rendah sehingga tidak mampu membeli kacamata dan juga
karena tingkat pendidikan yang rendah sehingga kurang memahami penyakitnya.
Dari tabel 5.11, sebagian besar penderita berobat secara Tradisional, kemudian tidak
mengobati penyakitnya dan juga ke Puskesmas, tetapi oleh karena keterbatasan tenaga
medis yang mengerti tentang penyakit kelainan refraksi dan alat yang tidak mendukung,
maka penderita kurang memahami penyakitnya.
Dari tabel 5.13., angka kebutaan refraksi mengenai kedua mata dan kedua mata lebih
banyak daripada yang satu mata, hal ini sesuai dengan referensi bahwa kebutaan refraksi
Hubungan Geografi dengan kebutaan refraksi
Pada penelitian ini, geografi dari kabupaten Tapanuli Selatan dikategorikan daerah
pegunungan dengan ketinggian 0-1.915 meter diatas permukaan laut. Walaupun demikian
prasarana jalan dari desa ke pusat-pusat pelayanan kesehatan masih bisa dilalui kendaraan
roda dua. Jadi faktor geografis sebenarnya tidak menjadi penghalang bagi penderita untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan mata.
Hubungan Sosio-Ekonomi dengan kebutaan refraksi
Dari hasil survey yang kami lakukan terhadap sampel ternyata masih banyak
penduduk berpenghasilan rendah. Ini mungkin diakibatkan oleh pendidikan dan pekerjaan
yang tersedia didaerah tersebut. Oleh sebab itu untuk keberhasilan program kebutaan perlu
pemberian pelayanan pemeriksaan dan pengobatan mata gratis terhadap orang-orang yang
tidak mampu, bila memungkinkan pemberian kacamata gratis bagi penderita kebutaan
refraksi, karena beberapa penderita kebutaan refraksi disebabkan oleh ketidakmampuan
memperoleh kacamata.
Hubungan Budaya Tentang Pemeliharaan Kesehatan Mata dengan kebutaan refraksi
Dari hasil survey yang kami lakukan terhadap sampel maka sebagian besar
mengobati penyakit mata diri secara tradisional bahkan ada yang tidak mengobati
penyakitnya, kemudian ke Puskesmas selanjutnya ke Rumah Sakit Swasta, ada yang
mendapatkan kacamata dari optik tetapi penderita tidak memakai kacamata lebih lanjut
tapi hanya waktu belajar saja, sementara sebagian penderita merasa malu memakai
kacamata atau merasa harga kacamatanya mahal.
Hubungan Sumber Daya Manusia dengan kebutaan refraksi
Sumber daya manusia di kabupaten Tapanuli Selatan terutama petugas kesehatan
belum memadai walaupun semua desa telah mempunyai bidan desa. Program puskesmas
tentang kesehatan mata yang juga termasuk dalaam 18 program pokok kesehatan
puskesmas belum terlaksana dengan baik. Khususnya mengenai tenaga Spesialis Mata
yang masih belum ada sampai sekarang di Kabupaten Tapanuli Selatan. Oleh karena itu
perlulah menjadi perhatian khususnya bagi pengambil keputusan untuk pengadaan tenaga
Spesialis Mata yang sangat dibutuhkan di Kabupaten Tapanuli Selatan.
Hubungan Sarana dan Prasarana Kesehatan dengan kebutaan refraksi
Sarana dan Prasarana Kesehatan di Kabupaten Tapanuli Selatan belum memadai
dimana ada 1 (satu) RSU Pemerintah yang semestinya sudah dapat melakukan
pemeriksaan kesehatan mata, namun sampai sekarang belum bisa melayani pelayanan
secara optimal oleh karena belum tersedianya sarana untuk pelayanan kesehatan mata serta
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. KESIMPULAN
6.1.1. Prevalensi kebutaan akibat kelainan refraksi di kabupaten Tapanuli Selatan adalah
0,08%, lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi kebutaan Nasional akibat
kelainan refraksi yaitu 0,14% dan prevalensi kebutaan akibat kelainan refraksi pada
penelitian sebelumnya di Kabupaten Karo yaitu 0,12%.
6.1.2. Faktor geografi dari penelitian ini tidak menjadi hambatan untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan.
6.1.3. Faktor Sosial Ekonomi yang masih rendah mempunyai peranan terhadap masih
tingginya kebutaan refraksi.
6.1.4. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat mengakibatkan kekurang pahaman
terhadap pemeliharaan kesehatan, khususnya kesehatan mata sehingga penyakit
yang diderita tak terobati dengan baik.
6.1.5. Faktor Budaya dengan adanya perasaan rendah diri dalam berkaca mata sehingga
menyebabkan penglihatan kabur bahkan akan dapat menyebabkan kebutaan.
6.1.6. Faktor Sumber Daya Manusia belum memadai dimana tenaga medis khususnya
6.2. SARAN
6.2.1. Upaya menurunkan angka kebutaan refraksi perlu adanya dilakukan penyuluhan
kepada masyarakat secara rutin, terutama tentang kelainan refraksi dapat di koreksi
dengan pemakaian kacamata yang merupakan cara penanggulangan kebutaan
refraksi yang paling sederhana, serta dengan mudah dapat dideteksi di puskesmas
oleh tenaga medis terlatih.
6.2.2. Perlunya menambah dan menempatkan tenaga – tenaga ahli, seperti dokter spesialis
mata dan perawat mahir serta penyediaan sarana untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan mata.
6.2.3. Mengadakan pemeriksaan dan penyuluhan mata secara rutin di Puskesmas dan
sekolah untuk mendeteksi dini kelainan refraksi pada lanjut usia, dewasa dan anak
usia sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Official WHO updates combined 1996-2007 available at
http://www.who.int/classifications/committees/Official%20WHO%20updates%20combined
%201996-2007.pdf
2. http://www.Br J Ophthalmol.com//Causes of low vision and blindness in rural Indonesia,
2003;87:1075-1078
3. Nema H.V., Community Ophthalmology in Textbook of Ophthalmology, 4th edition, Chapter
30, New Delhi, Jaypee Brothers Medical Publishers (P) LTD, 2002, page 398-403
4. Whitcher John P., Blindness in Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology, sixteenth
edition, Chapter 23, Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2004, page 413-418.
5. Ramanjit Sihota, Radhika Tandon,The Cause and Prevention of Blindness in Parsons’
Diseases of the Eye, Twentieth Edition, Section 34, New Delhi, Reed Elsevier India Private
Limited, 2007, page 523 – 536.
6. Depkes RI, Perdami, Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan
Kebutaan ( PGPK ) Untuk Mencapai Vision 2020, 2003, hal 1 - 2
7. http://dev.fk.unair.ac.id, Setiap Menit Satu Anak di Dunia Akan Menjadi Buta, 2007
8. Pusat Komunikasi Publik, Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan,
puskom.publik@yahoo.co.id, 2007
9. http://www.edusehat.com - Indonesian Health Education, 10 persen anak sekolah di
Indonesia kelainan refraksi, January 2008
10. RMEXPose.com; Tiap Menit, Ada Satu Orang Jadi Buta dalam 10 Persen Anak
11. Pratomo H, Silalahi E, Asnita SN, Libra A, Surjani L, Sitorus J, Ginting M, Sari MD, Siregar
NH, Barus J, Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak, Glaukoma, Kelainan Refraksi, Gangguan
Spesialis Mata, Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,
Medan, 2004.
12. Khurana A.K. Community Ophthalmology in Comprehensive Ophthalmology, Fourth Edition,
Chapter 20, New Delhi, New Age International Limited Publisher, 2007, page 443 – 457.
13. Dewanto I, Pardianto G, Saleh TT, Pemeriksaan Visus Pada Anak, Tinjauan Kepustakaan,
Bagian Ilmu Penyakit Mata RSU Dr. Soetomo / FK UNAIR, 2005, hal 1.
14. Handayani AT., Moestidjab, Gambaran Ketebalan Kornea Sentral Pada Penderita Miopia
Pra-Lasik Di Klinik Mata Surabaya, Laporan Penelitian, Departemen Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran UNAIR / RSU Dr. Soetomo Surabaya, Jurnal Oftalmologi Indonesia
Vol. 6, No. 2, Agustus 2008: Hal. 118-126
15. American Academy of Ophthalmology, Optics of the Human Eye in Clinical Optics, Section
3, Chapter 3, Basic and Clinical Science Course, 2005-2006, p. 105-123
16. American Academy of Ophthalmology, Clinical Refraction in Clinical Optics, Section 3,
Chapter 4, Basic and Clinical Science Course, 2005-2006, p. 125-141
17. Whitmore W.G, Curtin B.J, The Optics of Miopia in Duane’s Clinical Ophthalmology, Vol.
1, Chapter 42, Lippincot Williams & Wilkins, 2004, p. 1-10
18. Ramanjit Sihota, Radhika Tandon, Refractive Errors of the Eye in Parson’s Diseases of the
Eye, Twentieth Edition, Section II, New Delhi, Reed Elsevier India Private Limited, 2007, p.
71-83
19. Gallin P.F, Practical Pediatric Refraction in Pediatric Ophthalmology Clinical Guide,
Chapter 3, 2000, p. 23-29
20. Kanski J.J, Degenerative Miopia, Acquired Macular Disorders and Related Conditions in
Clinical Ophthalmology A Systematic Approach, Sixth Edition, 2007, p. 654-655
21. Tiharyo I., Gunawan W., Suhardjo, Pertambahan Miopia Pada Anak Sekolah Dasar Daerah
Perkotaan Dan Pedesaan Di Daerah Istimewa Yogyakarta, Laporan Penelitian, Bagian Ilmu
Penyakit Mata Fakultas Kedokteran UGM / RS Dr. Sardjito Yogyakarta, Jurnal Oftalmologi
23. American Academy of Ophthalmology, Glaucoma, Section 10, Chapter 4, Basic and Clinical
Science Course, 2008-2009, p. 85.
22. Kabupaten Tapanuli Selatan Dalam Angka 2008, Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli
LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
Umur :
Pekerjaan :
Alamat :
Telah menerima dan mengerti penjelasan dokter tentang penelitian “Prevalensi Kebutaan Akibat Kelainan Refraksi di Kabupaten Tapanuli Selatan”. Dengan kesadaran serta kerelaan sendiri saya bersedia menjadi peserta penelitian tersebut.
Demikianlah surat persetujuan ini saya perbuat tanpa paksaan siapapun.
Tapanuli Selatan, ………..2009
SURVEI PREVALENSI KEBUTAAN REFRAKSI
DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN PROPINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2009
Nama Responden Nomor :
I. Pengenalan Tempat
a. Kabupaten : Tapanuli Selatan b. Kecamatan
c. Desa / Kelurahan
d. Daerah 1. Perkantoran 2. Pedesaan e. Letak Geografis 1. Pantai 3. Dataran Rendah
2. Pegunungan 4. Dataran Tinggi
II. Fasilitas Rumah Tangga
a. Penerangan dirumah tangga 1. Listrik 3. Lampu minyak 2. Petromaks 4. Lainnya
b.Air bersih untuk mandi 1. Air ledeng 3. Air hujan 5. Sumur bor 2. Sumur tertutup 4. Sungai 6. Lainnya c. Bahan bakar memasak 1. Listrik 3. Kayu
2. Minyak tanah 4. Lainnya
III. Keterangan Anggota Rumah Tangga
No. Nama Hubungan dengan Kepala Keluarga Umur Jenis kelamin
IV. Sosial dan Demografi
a. Nama Responden :
b. Umur : tahun
c. Jenis kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan
d. Suku 1. Mandailing 3. Jawa 5. Melayu 2. Batak lainnya 4. Minang 6. Lainnya e. Pendidikan 1. Tidak sekolah 3. SLTP 5. Akademi
2. SD 4. SLTA 6. Perguruan Tinggi
f. Pekerjaan 1. Petani 3.Dagang 5.Pegawai 7. Lainnya 2. IRT 4. Buruh 6. Pengemudi
Nama Responden Nomor :
V. Hasil Pemeriksaan Mata Kanan Kiri
A a. Tandai 1 jika tajam penglihatan <3/60 b. Tandai 2 jika tajam penglihatan 3/60 >
Jika dikoreksi Sferis
[umur responden > 5 tahun] Silindris Aksis
Kanan Kiri B Bila umur responden > 40 tahun
a. Tandai 1 jika tonometri < 21 mmHg b. Tandai 2 jika tonometri > 21 mmHg
Kanan Kiri
VI. Kesimpulan Kanan Kiri
Nama Responden Nomor :
VII. Pemeriksaan Refraksi & Tonometri
Kanan Kiri
Bila visus dengan koreksi ≤ 3/60 beri stabilo jingga
Bila visus dengan koreksi pinhole tetap < 6/6 dan kornea jernih, beri 1 tetes Midriatil; sampaikan ke responden bahwa penglihatan akan kabur sampai ± 4 jam mendatang
02. Bila umur 35-39 tahun :
Presbiopia Tidak -1 Ya -2
03. Hasil Tonometri: Kurang dari 21 mmHg -1 ≥ 21 mmHg -2 Tak diukur -3
VIII. Anamnesa Kesehatan Mata Kelainan Refraksi
01. Apakah orangtua saudara sehari-harinya ada yang berkacamata ? Ya -2 Tidak -1 Tidak tahu -0
Bila ya siapa ? Bapak dan Ibu -2 Salah satu -1 02. Apakah saudara berkacamata ? Ya -2 Tidak -1
Bila Ya, sudah berapa tahun saudara berkacamata ?
03. Apakah saudara sering makan sayuran ? Ya -2 Tidak -1 Warna sayuran dan buah yang biasa dikonsumsi :
a. Sayuran warna hijau Ya-2 Tidak -1 b. Pepaya / Mangga Ya -2 Tidak -1 04. a. Mana yang lebih sering dimakan ? Daging (sapi, ayam, ikan dll) b. Dalam bentuk apa ? Segar -1 Diawetkan -2
05. Dapat membaca dan menulis ? Ya -2 Tidak -1 06. Bagaimana sikap badan biasanya saat membaca / menulis ?
Duduk -1 Berbaring/tiduran -2 Lainnya -3 07. Jenis penerangan yang biasanya digunakan pada waktu membaca & menulis ?
Sinar matahari -1 Lampu TL/Neon -3 Lampu teplok/senter/lilin -5 Listrik dengan lampu pijar -2 Lampu gas/petromaks -4 Lainnya -6 08. Apakah biasa membaca / menulis dikendaraan bergerak ? Ya -2 Tidak -2 09. Apakah saudara suka / sering menonton tv ? Ya -2 Tidak -1
Berapa jam rata-rata lama menonton tv secara terus menerus ? Berapa jarak tv dengan saudara ?
- < kali lebar diagonal tv -1 - ≥ 5 kali lebar diagonal tv -2
10. Menurut saudara, apakah anak-anak bisa mengalami gangguan penglihatan ? Ya -2 Tidak -1
11. Bila Ya, apa gejala yang saudara ketahui dan biasanya dilakukan oleh anak ?
Membaca terlalu dekat -1 Menonton tv terlalu dekat -2 Lainnya -3 12. Apakah gangguan penglihatan pada anak-anak dapat diatasi ?
Ya -2 Tidak -1 Bila ya, bagaimana cara mengatasinya ?
Pakai kacamata -1 Diberi obat -2 Dilakukan operasi -3 Tidak tahu -4 Lainnya -5
13. Bila saudara mempunyai keluhan pada mata, kemana biasanya berobat untuk mengatasi keluhan mata . Tulis Kode ya -2 Tidak -1
Tempat Berobat Petugas pemberi pelayanan Puskesmas
RS Pemerintah
14. Bila Saudara mengobati sendiri keluhan tersebut, sebutkan obat apa ?
Obat tetes/salep mata -1 Obat cuci mata (boorwater) -2 Ramuan tumbuhan -3 Lainnya -4 15. Apakah Saudara saat ini mempunyai keluhan pada mata ? Ya -2 Tidak -1
16. Keluhan mata apakah yang saudara rasakan ? (Jawaban bisa lebih dari satu )
Nyeri pada mata -1 Merah -2 Juling -4 Menonjol -8 Gangguan penglihatan -16 Lainnya -32 Keterangan : Bila pilihan hanya satu, tuliskan kode; bila pilihan lebih dari satu, jumlahkan kode
17. Bila ada gangguan penglihatan, bagaimana mula terjadinya gangguan tersebut ? Mendadak -1 Perlahan-lahan -2 Tidak Tahu -3
18. Bila memandang cahaya, apakah saudara ada melihat (pilih salah satu)
Pelangi -1 Tirai air hujan -2 Silau -3 Tidak Tahu -4 Tak ada -5 19. Bagaimana keadaan mata sebelum penglihatan saudara seperti ini
Merah -1 Sakit -2 Merah dengan kotoran -3 Tidak tahu -4 Lainnya -16 Keterangan : Bila pilihan hanya satu, tuliskan kode; bila pilihan lebih dari satu, jumlahkan kode
20. Bagaimana keadaan kesehatan tubuh sebelum penglihatan saudara seperti ini ? Sakit kepala & mata merah -1 Sakit darah tinggi [Hipertensi] -6 Keracunan minuman/makanan -2 Sakit campak -7
Sakit panas -3 Trauma -8 Sakit mata -4 Lainnya -9 Sakit gula [Diabetes Mellitus] -5
21. Sudah berapa lama saudara menderita kelainan/gangguan penglihatan seperti ini ? 22. Jika saudara memerlukan kacamata apakah sulit mendapatkannya di daerah saudara ? Ya -2 Tidak -1
23. Jika sudah berkaca mata, apa alasan untuk tidak memakainya
Berat -1 Mahal -2 Tidak enak dipakai -3 Bertambah pusing jika dipakai -4 Malu -5 Lainnya -6
IX. Pemeriksaan Mata Kelainan Refraksi
1. Hasil Kanan / Kiri Kanan / Kiri
Ya -2 Tidak -1
1. Kelainan refraksi (tanpa Presbiopia) 2. Konjungtivitis
3. Pterigiun & Pinquekula 4. Katarak
5. Sikatriks Kornea 6. Defisiensi Vitamin A 7. Trakhoma
8. Blefaritis
9. Hordeolum & Khalazion 10. Glaukoma
11. Afakia 12. Uveitis
13. Skleritis / Episkleritis 14. Ablasio Retina
15. Retinopati Diabetik / Hipertensi 16. Ptisis bulbi
17. Atrofi papil/ Neuritis optika 18. Strabismus/ Juling
19. Endoftalmitis 20. Lainnya 24. Bila visus dengan koreksi ≤ 0,05 atau buta, apa penyebab kebutaan ?
Miopia -1 Hipemetropia -2 Afakia -3 Astigmatisma -4 Lainnya -5