• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi Kebutaan Akibat Kelainan Refraksi Di Kabupaten Tapanuli Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Prevalensi Kebutaan Akibat Kelainan Refraksi Di Kabupaten Tapanuli Selatan"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

PREVALENSI KEBUTAAN

AKIBAT KELAINAN REFRAKSI

DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN

TESIS

Oleh:

Lesus Eko Sakti

Departemen Ilmu Kesehatan Mata

Fakultas Kedokteran

(2)

PREVALENSI KEBUTAAN AKIBAT KELAINAN REFRAKSI

DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN

TESIS

DOKTER SPESIALIS MATA

Diseminarkan dan dipertahankan pada hari Rabu 03 Maret 2010. Di hadapan Dewan Guru

Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Telah Disetujui :

1. Dr. Delfi,SpM Kepala Departemen

2. Prof. Dr. H. Aslim D. Sihotang,SpM Ketua Program Studi

3. Dr. Nurchaliza H. Siregar,SpM Pembimbing

4. Dr. H. Abdul Gani,SpM Pembimbing

5. Dr. Masang Sitepu,SpM Pembimbing

6. Prof. Dr. H. Aslim D. Sihotang,SpM Pembimbing

(3)

Kuhadiahkan untuk yang terkasih

Ayahanda dan Ibunda

Bapak dan Ibu mertua

Istriku tercinta Nova Arianti

Dan anakku tersayang

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan

hidayahNya, serta memberikan bimbingan, petunjuk dan kekuatan lahir dan bathin

sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini dibuat untuk memenuhi salah satu

kewajiban untuk memperoleh keahlian dalam bidang Ilmu Kesehatan Mata di Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan yang berbahagia ini saya menyampaikan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pembimbing saya Prof.Dr. H. Aslim D.

Sihotang,SpM, Dr. Nurchaliza H. Siregar,SpM, Dr. H. Abdul Gani,SpM, Dr. Masang

Sitepu,SpM dan Drs. H. Abdul Djalil Amri Arma,M.Kes. yang telah banyak memberi

masukan dan bantuan selama penulisan tesis ini.

Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada yang

terhormat guru-guru saya : Dr. H Mohd. Dien Mahmud,SpM, Dr. H. Chairul Bahri

AD,SpM, Dr. H. Azman Tanjung,SpM, Prof. Dr. H. Aslim D. Sihotang,SpM, Dr.Masang

Sitepu,SpM, Dr.H.Bachtiar,SpM, Dr.Suratmin,SpM, Dr. H. Abdul Gani,SpM, Dr. Hj.

Adelina Hasibuan,SpM, Dr. Hj. Nurhaida Djamil,SpM, Dr. H. Rizafatmi,SpM, Dr. H.

Syaiful Bahri,SpM, Dr. Beby Parwis,SpM, Dr. Hj. Heriyanti Harahap,SpM, Dr. Hj. Aryani

A. Amra,SpM, Dr. Delfi, SpM, Dr. H .Zaldi,SpM atas pengajaran, bimbingan, kritik

maupun saran yang telah terima selama menempuh pendidikan keahlian ini.

Terima kasih kepada bapak Drs. H. Abdul Djalil Amri Amra,M.Kes dari Fakultas

Kesehatan Masyarakat USU untuk bimbingan, masukan dan bantuannya dalam statistik.

(5)

Meianto Ginting,SpM, Dr. Elly T. E. Silalahi,SpM, Dr. Sri Ninin Asnita,SpM, Dr. Lylys

Surjani,SpM, Dr. Feriyani,SpM, Dr. Januar Sitorus,SpM, Dr. Hj. Novie Diana Sari,SpM,

Dr. Masitha Dewi Sari,SpM, Dr. Raja C. Lubis,SpM, Dr. Rodiah Rahmawaty Lubis,SpM,

Dr. Ira K.Siregar,SpM, Dr. Nova Arianti,SpM, Dr.Andriyeni,SpM, Dr. Bobby R.E.

Sitepu,SpM, Dr. T. Siti Harilza Z.,SpM, atas bimbingan yang telah diberikan kepada saya.

Kepada rekan-rekan sejawat peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Mata dan para

perawat SMF Mata RSUP. H.Adam Malik dan RSU Dr.Pirngadi Medan yang telah banyak

membantu saya dalam menjalani program pendidikan ini.

Kepada Pimpinan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Ketua TKP PPDS,

saya ucapkan terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk

mengikuti pendidikan keahlian ini.

Kepada Pimpinan RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSU. Dr. Pirngadi Medan yang telah

memberikan izin untuk menggunakan fasilitas yang ada selama saya menempuh

pendidikan.

Ucapan terima kasih kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Selatan yang

telah memberi izin dan membantu saya dalam melakukan penelitian di Kabupaten

Tapanuli Selatan.

Dan yang terakhir, namun sangat besar artinya bagi saya adalah keluarga saya tercinta

yang senantiasa mendukung, membantu, memperhatikan, mencintai dan menerima saya

apa adanya. Untuk orangtua saya tercinta H. Soetjipto Tjokrosoemarto dan Hj. Siti

Nur’aini Dalimunthe serta keluarga besar saya tercinta, terima kasih atas cinta, dukungan

dan perhatiannya selama ini baik moril maupun materil. Terima kasih saya ucapkan kepada

(6)

Kepada istri saya tercinta Dr. Nova Arianti,SpM dan anakku tersayang Nisrina Astrid

Valesti adalah anugerah yang tak terhingga dari Allah SWT buat saya, terima kasih atas

kehadiran kalian yang telah mendorong semangat untuk maju hingga dapat menyelesaikan

pendidikan ini.

Kepada semua pihak yang tidak tertulis disini, yang telah banyak membantu saya baik

moril maupun materil selama menempuh pendidikan keahlian ini, tiada kata yang dapat

saya ucapkan selain ucapan terima kasih setulus-tulusnya, semoga Allah SWT yang akan

membalas kebaikan ini.

Saya menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, namun saya berharap

hasil karya ini dapat memberikan manfaat, sekecil apapun manfaatnya dapat memberi arti

dalam perkembangan ilmu pengetahuan khususnya pada Departemen Ilmu Kesehatan Mata

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Medan, 03 Maret 2010

Penulis

(7)

DAFTAR ISI TINJAUAN KEPUSTAKAAN ... 6

2.1. KERANGKA TEORI ... 6

2.2. STRUKTUR GEOGRAFI DAN DEMOGRAFI KABUPATEN TAPANULI SELATAN ...13

BAB III KERANGKA KONSEPSIONAL, DEFINISI OPERASIONAL ... 15

3.1. KERANGKA KONSEPSIONAL ... 15

3.2. DEFINISI OPERASIONAL ... 16

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 17

4.1. DESAIN PENELITIAN ... 17

4.2. PEMILIHAN TEMPAT PENELITIAN ... 17

(8)

4.4. BESAR SAMPEL ... 17

4.5. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI ... 20

4.6. IDENTIFIKASI VARIABEL ... 21

4.7. BAHAN DAN ALAT ... 21

4.8. CARA KERJA DAN ALUR PENELITIAN ... 22

4.9. LAMA PENELITIAN ... 23

4.10. ANALISA DATA ... 23

4.11. PERSONALIA PENELITIAN ... 23

4.12. PERTIMBANGAN ETIKA ... 23

4.13. BIAYA PENELITIAN ... 24

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 25

5.1. DATA KEPENDUDUKAN ... 25

5.2. DATA UMUM SAMPEL ... 26

5.3. DATA KEBUTAAN AKIBAT KELAINAN SAMPEL ... 29

5.4. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ... 36

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

6.1. KESIMPULAN ... 40

6.2. SARAN ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Terminologi kebutaan didefenisikan berbeda – beda di setiap negara seperti kebutaan

total, kebutaan ekonomi, kebutaan hukum dan kebutaan Sosial. Publikasi WHO pada tahun

1966 memberikan 65 defenisi kebutaan. Di bidang oftalmologi, kebutaan adalah orang

yang oleh karena penglihatannya menyebabkan ia tidak mampu melakukan aktifitas

sehari-hari.1,2

Pada tahun 1972 WHO mendefenisikan kebutaan adalah tajam penglihatan <3/60.

Kemudian pada tahun 1979, WHO menambahkannya dengan ketidaksanggupan

menghitung jari pada jarak 3 meter.1,2

Pada tahun 2008, revisi yang direkomendasikan WHO dan International

Classification of Disease ( ICD ) membagi berkurangnya penglihatan menjadi 5 kategori

dengan maksimum tajam penglihatan kurang dari 6/18 Snellen, kategori 1 dan 2 termasuk

pada low vision sedangkan kategori 3, 4 dan 5 disebut blindness. Pasien dengan lapang

pandangan 5 – 10 ditempatkan pada kategori 3 dan lapang pandangan kurang dari 5

(10)

Tabel 1.1. Klasifikasi rekomendasi WHO-ICD 2007 terhadap gangguan penglihatan.1

Presenting Distance Visual Acuity

Category of Visual Impaiment Level of Visual Acuity ( Snellen )

Normal Vision 6 / 6 to 6 / 18 light perception or visual field less than 5

3. No light perception

Undang – undang no. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa

pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan

untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang

optimal. Kesehatan indra penglihatan merupakan syarat penting untuk meningkatkan

kwalitas sumber daya manusia dalam meningkatkan kwalitas kehidupan masyarakat dalam

rangka mewujudkan manusia yang cerdas, produktif, maju, mandiri dan sejahtera lahir

batin.5

Di negara berkembang di seluruh dunia selain masalah sosial dan ekonomi, maka

kebutaan masih merupakan masalah yang besar. Pada tahun 1990, WHO memperkirakan

prevalensi kebutaan berkisar antara 0,3%-0,7%, dan angka ini diperkirakan akan

(11)

angka kebutaan bilateral di negara berkembang di Asia berkisar 0,4% dan kebutaan

unilateral berkisar 2,6 %.6

Berdasarkan Survey Kesehatan Indera tahun 1993-1996, sebesar 1,5% penduduk

Indonesia mengalami kebutaan dengan penyebab utama adalah katarak (0,78%), Glaukoma

(0,20%), Kelainan Refraksi (0,14%), Gangguan Retina (0,13%), dan Kelainan Kornea

(0,10%). Kebutaan karena katarak kejadiannya diperkirakan 0,1% (sekitar 210.000 orang)

per tahun.7,8,9,10

Di Sumatera Utara, menurut penelitian yang dilakukan oleh Departemen Mata tahun

2004 didapat angka kebutaan sebagai berikut : kebutaan akibat Katarak ( Tanjung Balai

0,37%; Karo 0,41% ), Glaukoma ( Karo 0,094% ), Kelainan Refraksi ( Tanjung Balai

0,09%; Karo 0,12% ), Gangguan Retina ( Tanjung Balai 0,06%; Karo 0,11% ), dan

Kelainan Kornea ( Tanjung Balai 0,11%; Karo 0,08% ). Angka-angka yang diteliti ini

lebih rendah dari prevalensi kebutaan nasional akibat katarak, glaukoma, kelainan refraksi,

gangguan retina dan kelainan kornea.11

Pemeriksaan tajam penglihatan pada seseorang terutama pada anak selama ini

banyak menemui kendala, padahal di sisi lain, informasi tentang tajam penglihatan ini

sangat penting dalam membantu penegakan diagnosis dan memegang peranan penting

dalam analisis fungsi penglihatan.12

Dalam memeriksa tajam penglihatan pada anak selalu didapat kesulitan akibat

kurangnya komunikasi antara pemeriksa dengan anak tersebut oleh karena anak-anak

belum mampu melakukan kontak dengan baik. Untuk itu diperlukan ketrampilan

pemeriksa sehingga pemeriksa mendapat hasil yang baik, walaupun kadang kala selain

(12)

Kelainan refraksi merupakan penyebab kebutaan yang belum mendapatkan banyak

perhatian karena definisi kebutaan refraksi berdasarkan tajam penglihatan terbaik setelah

terkoreksi, termasuk defenisi yang digunakan oleh International Statistical Classification of

Diseases and Related Health Problems. Kebutaan akibat kelainan refraksi merupakan

penyebab kebutaan terbesar kedua yang dapat diobati setelah katarak.

Seorang yang mengalami kebutaan, baik pada satu mata maupun pada kedua

matanya memerlukan perhatian serius karena dapat menimbulkan dampak Sosio, Ekonomi

dan Psikologi yang akhirnya menjadi beban individu, masyarakat dan negara.

Hal – hal tersebut diatas menjadi latar belakang bagi Peneliti untuk mengetahui

prevalensi kebutaan terakhir (2009) akibat kelainan refraksi di Sumatera Utara khususnya

di Kabupaten Tapanuli Selatan.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Berapa angka kebutaan akibat kelainan refraksi untuk Kabupaten Tapanuli Selatan

pada tahun 2009 dan faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi angka kebutaan kelainan

refraksi tersebut.

1.3. TUJUAN PENELITIAN

1.3.1. Tujuan Umum

Mendapatkan angka kebutaan akibat kelainan refraksi untuk Kabupaten Tapanuli

Selatan dan faktor – faktor yang mempengaruhi kebutaan tersebut.

1.3.2. Tujuan Khusus

(13)

penderita kebutaan akibat kelainan refraksi di wilayah Kabupaten Tapanuli

Selatan.

3. Untuk mengetahui gambaran kesehatan mata responden di wilayah Kabupaten

Tapanuli Selatan.

4. Untuk mengetahui gambaran budaya di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.

5. Untuk mengetahui gambaran sarana dan prasarana kesehatan mata di Kabupaten

Tapanuli Selatan.

6. Untuk mengetahui gambaran kebutaan akibat kelainan refraksi di wilayah

Kabupaten Tapanuli Selatan.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

1.4.1. Dengan Penelitian ini, akan didapat angka prevalensi kebutaan akibat kelainan

refraksi di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.

1.4.2. Dapat dibuat kebijakan yang berkaitan dengan penatalaksanaan kebutaan akibat

kelainan refraksi serta estimasi proyek kegiatan yang dapat menurunkan angka

kebutaan tersebut.

1.5. HIPOTESA

Terdapat penurunan angka kebutaan refraksi di Kabupaten Tapanuli Selatan pada

(14)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. KERANGKA TEORI

Kelainan refraksi disebut juga “refraksi anomali”, ada 4 macam kelainan refraksi

yang dapat mengganggu penglihatan dalam klinis, yaitu:

1. Miopia

2. Hipermetropia

3. Astigmatisma

4. Afakia

Ad 1. Miopia

Miopia adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar masuk ke bola mata

tanpa akomodasi akan dibiaskan didepan retina. Untuk mengoreksinya dipakai lensa sferis

minus.

Bentuk dari Miopia menurut penyebabnya 12,13,1,15,16,17,18,19:

1.1. Miopia aksial

Diameter antero-posterior dari bola mata lebih panjang dari normal, walaupun

kornea dan kurvatura lensa normal dan lensa dalam posisi anatominya normal. Miopia

dalam bentuk ini dijumpai pada proptosis sebagai hasil dari tidak normalnya besar

segmen anterior, peripapillary myopic crescent dan exaggerated cincin skleral, dan

(15)

1.2. Miopia kurvatura

Mata memiliki diameter antero-posterior normal, tetapi kelengkungan dari kornea

lebih curam dari rata-rata, missal : pembawaan sejak lahir atau keratokonus, atau

kelengkungan lensa bertambah seperti pada hiperglikemia sedang ataupun berat, yang

menyebabkan lensa membesar.

1.3. Miopia karena peningkatan indeks refraksi

Peningkatan indeks refraksi daripada lensa berhubungan dengan permulaan dini

atau moderate dari katarak nuklear sklerotik. Merupakan penyebab umum terjadinya

Miopia pada usia tua. Perubahan kekerasan lensa meningkatkan indeks refraksi,

dengan demikian membuat mata menjadi myopik.

1.4. Miopia karena pergerakan lensa ke anterior

Keadaan ini sering terlihat setelah operasi glaukoma dan akan meningkatkan

miopia pada mata.

Ad 2. Hipermetropia

Hipermetropia (hyperopia) atau ‘Far – sightedness’ adalah suatu kelainan refraksi

daripada mata dimana sinar – sinar yang berjalan sejajar dengan sumbu mata tanpa

akomodasi dibiaskan dibelakang retina, oleh karena itu bayangan yang dihasilkan kabur.

Untuk mengoreksinya dipakai lensa sferis plus.

Struktur Hipermetropia berdasarkan pada konfigurasi anatomi dari bola mata :

2.1. Hipermetropia Aksial

Bola mata lebih pendek dari normal pada diameter antero-posterior, meskipun

(16)

2.2. Hipermetropia kurvatura

Keadaan dimana kelengkungan lensa atau kornea lebih tipis dari normal dan

power refraksinya turun. Sekitar setiap 1 mm penurunan dari radius kelengkungan

tersebut menghasilkan Hipermetropia 6 D

2.3. Hipermetropia indeks refraksi

Terjadi penurunan indeks refraksi akibat penurunan dari densitas beberapa atau

seluruh bagian dari system optik mata, juga penurunan power refraksi mata. Biasanya

terjadi pada usia tua dan juga pada penderita diabetes terkontrol.

Ad 3. Astigmatisma

Astigmatisma adalah suatu kondisi dengan kurvatura yang berlainan sepanjang

meridian yang berbeda-beda pada satu atau lebih permukaan refraktif mata ( kornea,

permukaan anterior atau posterior dari lensa mata ), akibatnya pantulan cahaya dari suatu

sumber atau titik cahaya tidak terfokus pada satu titik di retina.

Pada astigmatisma, karena adanya variasi dari lengkungan kornea atau lensa pada meridian

yang berbeda-beda mencegah berkas sinar itu memfokuskan diri kesatu titik.

Jenis-jenis Astigmatisma

3.1. Astigmatisma Reguler

Secara teori, pada setiap titik pada permukaan yang lengkung, arah dari

kelengkungan yang terbesar dan yang terkecil selalu terpisah 90 derajat tetapi arah ini

bias beribah saat melewati satu titik ke titik yang lain. Bila meridian utama dari

astigmatisma mempunyai orientasi yang konstan pada setiap titik yang melewati pupil

(17)

dikenal sebagai astigmatisma regular. Dan ini bisa dikoreksi dengan kacamata lensa

silindris.

Berdasarkan axis dan sudut antara 2 meridian utama, astigmatisma reguler dibagi

atas :

3.1.1. Horizonto-vertikal astigmatisma

Dibagi dalam 2 bentuk :

3.1.1.1. Astigmatisma with the rule

Suatu astigmatisma dimana meridian vertical lebih curam dari horizontal, dikoreksi

dengan lensa silindris positif dengan axis 9020 atau lensa silindris negatif dengan

axis 18020.

3.1.1.2. Astigmatisma against the rule

Suatu astigmatisma dimana meridian horizontalnya lebih curam dari meridian vertical.

Koreksinya dengan lensa silindris positif dengan axis 18020 atau lensa silindris

negatif dengan axis 9020.

3.1.2. Astigmatisma oblique

Suatu bentuk regular astigmatisma dimana garis meridian utamanya tidak tegak lurus

(18)

TipeRefraktif Dari Astigmatisma Reguler

Bergantung pada posisi dari 2 garis fokus yang berhubungan ke retina, astigmatisma

regular lebih lanjut dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe :

3.1.1. Simple astigmatisma

Berkas cahaya pada satu meridian terfokus tepat did retina, dan cahaya pada meridian

yang lain terfokus pada titik didepan retina disebut simple myopic astigmatisma. Jika

cahaya itu terfokus dibelakang retina disebut simple hypermetropic astigmatisma.

Contoh : C – 2 x 90 atau C  2 x 90.

3.1.2. Compound astigmatisma

Pada jenis ini, berkas cahaya pada kedua meridian terfokus didepan retina disebut

astigmatisma Miopia compound dan jika terfokus dibelakang retina disebut

astigmatisma Hipermetropia compound.

Contoh : S  4, C  2 x 90 atau S  4, C  2 x 90

3.1.3. Mixed astigmatisma

Pada jenis ini berkas cahaya pada satu meridian terfokus pada titik di depan retina dan

cahaya pada meridian yang lain terfokus di belakang retina.

Contoh : S  4, C  2 x 90 atau S  4, C  2 x 90

3.2. Astigmatisma Irregular

Suatu astigmatisma dimana sinar-sinar sejajar dengan garis pandang dibias tidak

teratur. Astigmatisma irregular ini bersifat / mempunyai perubahan-perubahan

irregular dari tenaga refraksinya pada meridian-meridian yang berbeda. Terdapat multi

(19)

memperbaiki penglihatan dalam kasus-kasus ini, tapi dapat diterapi dengan lensa

kontak rigid.

Ad 4. Afakia

Afakia secara literature berarti tidak adanya lensa dalam mata. Afakia akan

mengakibatkan Hipermetropia tinggi.

Penyebab :

1. Kongenital.

Suatu keadaan yang jarang dimana lensa tidak ada sejak lahir.

2. Afakia paska operasi.

Terjadi setelah operasi ICCE ( Intra Capsular Cataract Extraction ), ECCE

( Extra Capsular Cataract Extraction ).

3. Post Traumatik.

Diikuti oleh trauma tumpul atau tembus, yang mengakibatkan subluksasi atau

dislokasi dari lensa.

4. Posterior dislokasi dari lensa ke vitreus akan menyebabkan optikal Afakia.

Optik Afakia dari mata : perubahan optik terjadi setelah keluarnya lensa.

1. Mata menjadi Hipermetropia tinggi

2. Total power mata berkurang dari  60 D menjadi  44D

3. Fokal poin anterior menjadi 23.2 mm didepan kornea

4. Posterior fokal poin sekitar 31 mm dibelakang kornea atau sekitar 7 mm

dibelakang mata normal ( panjang bola mata anterior-posterior sekitar 24 mm )

(20)

Kelainan refraksi telah dilaporkan sebagai penyebab gangguan penglihatan yang

mencolok diberbagai belahan dunia. Prevalensi yang tinggi dari gangguan penglihatan

akibat kelainan refraksi juga telah dilaporkan terjadi diseluruh dunia, gangguan refraksi ini

dapat diterapi, dimana sebagian besar dapat dikoreksi.

Berdasarkan analisis WHO, diperkirakan terdapat 45 juta orang mengalami kebutaan

dan 135 juta orang dengan low vision atau terdapat kurang lebih 180 juta orang dengan

gangguan penglihatan diseluruh dunia.

Salah satu penyebab kebutaan adalah kelainan refraksi yang tidak terkoreksi. Hal; ini

dapat diketahui dari laporan-laporan penelitian mengenai kelainan refraksi. Kelainan

refraksi menjadi penyebab kebutaan ( ditandai dengan tajam penglihatan < 20/200 pada

mata yang terbaik ) pada 0,3% populasi di Andra Pradesh India. Prevalensi kebutaan akibat

kelainan refraksi pada usia 40 tahun atau lebih adalah 1,06% di Andra Pradesh India dan

0,11% di Victoria Australia.

Prevalensi yang tinggi dari gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi yang tidak

terkoreksi atau koreksinya tidak optimal telah dilaporkan dalam 10 tahun terakhir ini dari

beberapa penelitian-penelitian survey, seperti Baltimore Eye Survey, The Blue Mountains

Eye Study, The Victoria Visual Impairment Project, dan Andra Pradesh Eye Diseases

Study.

Sebagian besar penelitian epidemiologi terhadap kelainan refraksi difokuskan pada

Miopia, mungkin hal ini disebabkan karena Miopia merupakan penyebab tersering

gangguan penglihatan pada kelainan refraksi.

Miopia juga dapat berhubungan dengan kelainan mata yang lain seperti retinal

(21)

2.2. STRUKTUR GEOGRAFI DAN DEMOGRAFI KABUPATEN TAPANULI SELATAN.

Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan salah satu daerah yang berada dikawasan

dataran tinggi Pegunungan Bukit Barisan. Secara geografis Kabupaten Tapanuli Selatan

berada 00101- 10 501 Lintang Utara, 980501 – 1000101 Bujur Timur dan 0 – 1.915 m dari

permukaan laut.

Kabupaten Tapanuli Selatan menempati area seluas 12.261,55 km2 yang terdiri dari

12 kecamatan dan 503 desa. Area Kabupaten Tapanuli Selatan di sebelah Utara berbatasan

dengan Kabupaten Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah, di sebelah Selatan berbatasan

dengan Propinsi Sumatera Barat dan Kabupaten Madina, di sebelah Barat berbatasan

dengan Samudra Indonesia dan Kabupaten Madina, dan disebelah Timur berbatasan

dengan Propinsi Riau dan Kabupaten Labuhan Batu. Berdasarkan luas daerah menurut

kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan, luas daerah terbesar adalah kecamatan Sipirok

dengan luas 577,18 km2 atau 13,22 persen diikuti Kecamatan Sayurmatinggi dengan luas

519,60 km2 atau 11,90 persen. Sedangkan luas daerah terkecil adalah Kecamatan Arse

dengan luas 143,67 km2 atau 3,29 persen dari total luas wilayah Kabupaten Tapanuli

Selatan.

Seperti umumnya daerah-daerah lain yang berada di kawasan Sumatera Utara,

Kabupaten Tapanuli Selatan termasuk daerah beriklim tropis, sehingga seperti kebanyakan

Kabuapaten lain di Sumatera Utara memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim

kemarau. Jumlah Penduduk Kabupaten Tapanuli Selatan hingga keadaan 30 Juni 2007

berjumlah 261.781 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 59,94 jiwa/km2.

(22)

pertumbuhan penduduk Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 2007 dibandingkan tahun

2005 adalah sebesar 1,83 %.22

Sarana kesehatan yang ada di Kabupaten Tapanuli Selatan adalah tiga Rumah Sakit

Umum (RSU) milik Pemerintah. Sedangkan Puskesmas yang ada berjumlah 16 unit yang

disertai Puskesmas Pembantu 57 unit dan Posyandu 547 unit yang tersebar di tiap

Kecamatan.

Tenaga medis yang tersedia di Kabupaten Tapanuli Selatan baik negeri maupun

swasta ada 43 Dokter Umum, 10 Dokter Gigi dan 2 Dokter Spesialis. Khusus pelayanan

mata ada satu orang Dokter Spesialis Mata.

Tabel 2.2. Banyaknya sarana / pelayanan kesehatan menurut Kecamatan

PUSKESMAS

(23)

BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL

3.1. KERANGKA KONSEPSIONAL

Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan dan

mengarahkan asumsi mengenai elemen – elemen yang diteliti. Berdasarkan rumusan

masalah yang telah dipaparkan dalam latar belakang, tinjauan kepustakaan yang ada, maka

kerangka konsep digambarkan sebagai berikut :

KERANGKA KONSEPSIONAL

SOSIO EKONOMI SUMBER DAYA

MANUSIA

BUDAYA PEMELIHARAAN

KESEHATAN MATA

KEBUTAAN AKIBAT KELAINAN

REFRAKSI

GEOGRAFI

(24)

3.2. DEFINISI OPERASIONAL

- Kebutaan refraksi adalah penderita kelainan refraksi dengan visus terbaik pada kedua

mata < 3/60 dan belum dikoreksi dengan kacamata.

- Sosio ekonomi adalah segala sesuatu mengenai kemampuan daya beli masyarakat

dan pemerintah.

- Geografi adalah kondisi alam, apakah mudah / sulit dijangkau dari sarana dan

prasarana kesehatan yang tersedia, dimana hal tersebut akan mempengaruhi cakupan

pelayanan kesehatan yang akan diberikan.

- Sumber Daya Manusia adalah tenaga ahli khususnya dokter Spesialis Mata dan

Perawat Refraksionis Mata yang tersedia.

- Sarana dan Prasarana kesehatan mata adalah pengetahuan penderita terhadap

(25)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini adalah Penelitian survei dengan pendekatan Cluster atau

pengelompokkan yang bersifat deskriptif, artinya subjek yang diamati pada saat

monitoring biologik dan pengukuran tingkat pengetahuan masyarakat dinilai dengan

pengamatan pada saat bersamaan ( transversal ) atau dengan satu kali pengamatan /

pengukuran.

4.2. PEMILIHAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Kabupaten Tapanuli Selatan yang merupakan daerah dataran

tinggi dengan penentuan sampel secara purposive.

4.3. POPULASI PENELITIAN

Populasi penelitian adalah seluruh penduduk yang ada di wilayah kerja Puskesmas

Kabupaten Tapanuli Selatan yang sesuai dengan kriteria penelitian, selanjutnya dilakukan

pemeriksaan seluruh masyarakat desa dan dusun di wilayah kerja Puskesmas tersebut

secara random sampling.

4.4. BESAR SAMPEL

Untuk mendapatkan data yang representatif yang mewakili satu Kabupaten Tapanuli

(26)

Besarnya sampel adalah jumlah penduduk dari 6 kecamatan yang terpilih yang

dianggap mewakili satu Kabupaten yang ada di wilayah kerja, jumlah sampel yang akan

diambil, dihitung dengan rumus Cluster Sampling dengan Proportional Allocation

Methode yaitu :

N Z

2

σ

2

c

n =

N G

2

M

2

+ Z

2 σ

c

2

Dimana :

n = Jumlah sampel minimal yang akan diambil dalam penelitian ini.

N = Jumlah populasi.

Z = Nilai baku normal dari tebal Z yang besarnya tergantung

Pada nilai α = 0,05, nilai Zc = 1,96.

σ2

c = Varians populasi

= ∑ ( ai + P mi )2 = ∑ ai2 – 2P∑aiMi + P2 ∑mi2

n – 1 n – 1

P = Proporsi kebutaan refraksi = ∑ ai

∑ mi

G = Galat pendugaan, diasumsikan 3 %.

M = Rerata kejadian buta refraksi = ∑ mi

(27)

Dengan demikian, sampel jumlah untuk masing – masing Kecamatan yaitu :

σ2

c = Varians populasi

= ∑ ( ai + P mi )2 = ∑ ai2 – 2 P ∑ai Mi + P2 ∑ mi2

n – 1 n – 1

= 2894,282833

P = Proporsi kebutaan refraksi

= ∑ ai

∑ mi

= 0,1

M = ∑ mi

n

= 291,8265

mi = jumlah kebutaan secara nasional

= 1,5 %

ai = banyak kebutaan akibat kelainan refraksi

(28)

Tabel 4.5. Dengan demikian sampel masing – masing untuk tiap kecamatan adalah Sayurmatinggi 36.733 551 51 303.601 2.601 28.101 20 Batang Angkola 30.771 462 43 213.444 1.849 19.866 17

Sipirok 30.494 457 43 208.849 1.849 19.651 17 Batang Toru 25.918 389 36 151.321 1.296 14.004 14

Angkola Timur 23.548 353 33 124.609 1.089 11.649 13

Jumlah 19.4551 2.918 272 1.500.260 13.040 139.867 107

*Sumber : BPS Propinsi Sumatera Utara tahun 2008.

4.5. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI

4.5.1. Kriteria inklusi :

- Semua penderita kelainan refraksi dengan visus terbaik pada kedua mata < 3/60 dan

belum dikoreksi dengan kacamata.

- Usia penderita ≥ 5 tahun

- Tekanan intra okuli normal [10-21 mm Hg]

- Tidak dijumpai adanya kelainan di segmen anterior dan posterior mata

- Bersedia ikut dalam penelitian

4.5.2. Kriteria eksklusi :

- Penderita kelainan refraksi dengan visus terbaik pada kedua mata > 3/60 dan sudah

(29)

- Tekanan intra okuli tinggi

- Dijumpai adanya kelainan pada segmen anterior dan posterior mata

- Tidak bersedia ikut dalam penelitian

4.6. IDENTIFIKASI VARIABEL

4.6.1. Variabel terikat adalah kebutaan akibat refraksi.

4.6.2. Variabel bebas adalah :

- Sosio ekonomi

- Budaya

- Geografi

- Sumber daya manusia

- Sarana dan prasarana kesehatan

4.7. BAHAN DAN ALAT

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Snellen Chart

2. Trial lens set

3. Direct ophthalmoscope

4. Senter

5. Lup

6. Alat tulis

(30)

4.8. CARA KERJA DAN ALUR PENELITIAN

Pengumpulan data menggunakan formulir kwesioner yang berisi data karakteristik

dari sample, sarana dan prasarana di daerah Penelitian. Daerah Penelitian untuk satu

Kabupaten diwakili oleh 6 Kecamatan dengan beberapa Desa terpilih setelah survey

pendahuluan. Peneliti akan mengunjungi seluruh unit Pelayanan Kesehatan di wilayah

Penelitian yang terdiri dari Puskesmas induk dan Puskesmas pembantu, dengan kerjasama

lintas sektoral melalui Kecamatan, Lurah dan Kepala Lingkungan yang berada di wilayah

Kabupaten tersebut. Kemudian Peneliti menentukan jadwal pemeriksaan yang sebelumnya

berkoordinasi dengan Kepala Puskesmas yang bertugas di wilayah Penelitian, lalu

Penderita kelainan refraksi di kumpulkan di Puskesmas pada waktu tertentu, kemudian

Peneliti akan memeriksa langsung sampel. Jumlah sampel yang belum mencukupi

dilakukan pemeriksaan langsung ke rumah – rumah pada lingkungan yang terpilih dengan

di bantu oleh Kepala Lingkungan. Data yang telah terkumpul akan disimpan dan di

komputerisasi dengan menggunakan software Microsoft Excel.

Skema Alur Penelitian

Registrasi Pemeriksaan Visus < 3/60

Skrining kriteria eksklusi

Pemeriksaan Pin Hole

> 3/60 Maju 2-3 meter < 3/60

Kelainan Refraksi

Dilanjutkan peneliti lain yang kebetulan

(31)

4.9 LAMA PENELITIAN

Lama penelitian diperkirakan 3 bulan seperti pada tabel di bawah ini

Bulan Mei ‘09 Juni ‘09 Juli ‘09 Februari ‘10 Minggu M1 M2 M3 M4 M1 M2 M3 M4 M1 M2 M3 M4 M1 M2 M3 M4

UP Pnl PL Prs

Keterangan : UP = Usulan Penelitian ; Pnl = Penelitian ; PL = Penyusunan Laporan ; Prs = Presentasi

4.10. ANALISA DATA

Analisa data dilakukan secara deskriptif dan di sajikan dalam bentuk tabulasi data.

4.11. PERSONALIA PENELITIAN

Peneliti : Lesus Eko Sakti

Pembantu Penelitian : PPDS Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK USU Medan.

4.12. PERTIMBANGAN ETIKA

1. Usulan Penelitian ini terlebih dahulu di setujui oleh Departemen Ilmu Kesehatan

Mata FK USU / RSUP H Adam Malik Medan. Penelitian ini kemudian di ajukan

untuk disetujui oleh rapat Komite Etika PPKRM Fakultas Kedokteran Universitas

(32)

2. Inform konsen dan kerahasiaan.

Penelitian ini melibatkan langsung pasien kelainan refraksi yang ada di wilayah

Penelitian, sehingga membutuhkan kerjasama lintas sektoral dalam bentuk tembusan

surat izin untuk melakukan penelitian kepada instansi terkait seperti Dinas Kesehatan

Kabupaten / Kotamadya, Puskesmas, Camat, Kepolisian, serta Aparat Desa setempat.

4.13. BIAYA PENELITIAN

(33)

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. DATA KEPENDUDUKAN

Penelitian ini berbentuk survei yang dilakukan pada tanggal 29 Juni 2009 sampai

dengan 31 Juli 2009 pada 6 kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan didapat penderita

yang mengalami kebutaan sebanyak 360 orang, dari beberapa desa terpilih dari

masing-masing kecamatan dengan jumlah populasi 29.332 orang.

Jumlah sampel buta yang didapat dari 6 kecamatan adalah sebagai berikut, yaitu :

Kecamatan Angkola Barat : 22 orang, Kecamatan Sayurmatinggi : 103 orang, Kecamatan

Batang Angkola : 99 orang, Kecamatan Sipirok : 43 orang, Kecamatan Batang Toru : 30

orang, Kecamatan Angkola Timur : 63 orang.

Hal ini sesuai dengan rumus pengambilan sampel, dimana jumlah sampel yang

(34)

5.2. DATA UMUM SAMPEL

5.2.1. Usia.

Tabel 5.1. Distribusi sampel berdasarkan usia.

Usia [Tahun] Laki - laki Perempuan Jumlah [N]

< 10 4 2 6

10 – 20 10 12 22

21 – 30 5 4 6

31 – 40 11 15 26

41 – 50 12 14 26

51 – 60 16 49 65

61 – 70 22 89 111

71 – 80 22 55 77

> 80 2 16 18

Total 104 256 360

Dari tabel 5.1 distribusi sampel berdasarkan usia diatas, didapatkan jumlah sampel

terbanyak pada usia 61 – 70 tahun yaitu 111 orang. Selanjutnya usia 71 – 80 tahun

(35)

5.2.2. Jenis kelamin.

Tabel 5.2. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin.

Jenis Kelamin Jumlah [N] Persentase [%]

Laki-laki 104 28,89

Perempuan 256 71,11

Total 360 100

Hasil tabel 5.2. didapatkan sampel berjenis kelamin laki – laki sebanyak 104 orang

( 28,89% ) dan perempuan sebanyak 256 orang ( 71,11% ).

5.2.3. Tingkat Pendidikan.

Tabel 5.3. Distribusi sampel berdasarkan tingkat pendidikan.

Tingkat Pendidikan Jumlah [N] Persentase [%]

Tidak Sekolah 63 17,50

SD [Sederajat] 226 62,78 SMP [Sederajat] 40 11,11

SMU [Sederajat] 30 8,33

Akademi / PT 1 0,28

Total 360 100

Hasil tabel 5.3. memperlihatkan bahwa sampel yang tidak sekolah sebanyak 63 orang, SD

[Sederajat] 226 orang , SMP [Sederajat] 40 orang, SMU [Sederajat] 30 orang. Akademi /

Perguruan Tinggi 1 orang. Sebagian besar tingkat pendidikan sampel adalah Sekolah Dasar

(36)

5.2.4. Jenis pekerjaan.

Tabel 5.4. Distribusi sampel berdasarkan jenis pekerjaan.

Pekerjaan Jumlah [N] Persentase [%]

Petani 251 69,72

Pengemudi 3 0,83

Pegawai 5 1,39

Ibu Rumah Tangga 25 6,95

Dagang / wiraswasta 35 9,72

Lainnya 41 11,39

Total 360 100

Dari tabel 5.4. diatas tampak bahwa petani merupakan porsi terbesar yaitu sebanyak 251

orang atau 69,72%.

5.2.5. Suku Bangsa.

Tabel 5.5. Distribusi sampel berdasarkan suku bangsa.

Suku Bangsa Jumlah [N] Persentase [%]

Jawa 5 1,39

Mandailing 232 64,44

Melayu 1 0,28

Batak lainnya 117 32,50

Minang 5 1,39

Total 360 100

Berdasarkan tabel 5.5. diatas tampak bahwa suku Mandailing merupakan suku yang

(37)

5.3. DATA KEBUTAAN AKIBAT KELAINAN REFRAKSI

Karakteristik peserta penelitian kebutaan akibat kelainan refraksi di kabupaten

Tapanuli Selatan. Dari penduduk yang diperiksa, dengan sampel kebutaan 360 orang

didapatkan penderita yang buta akibat kelainan refraksi sebanyak 31 orang.

5.3.1.Karakteristik peserta penelitian.

5.3.1.1. Usia.

Tabel 5.6. Sebaran kebutaan refraksi berdasarkan usia.

Umur [Tahun] Jumlah [N] Persentase [%]

Pada table diatas tampak 4 orang menderita kebutaan refraksi pada kisaran umur 16–20

(38)

Usia 31-35 tahun sebanyak 2 orang, 6,45%. Usia 36-40 tahun sebanyak 2 orang, 6,45%.

Usia 41-45 tahun terdapat 1 orang, 3,22%. Usia 46-50 tahun sebanyak 4 orang, 12,90%.

Usia 56-60 tahun sebanyak 2 orang, 6,45%. Usia 61-65 tahun sebanyak 5 orang, 16,13%.

Usia 66-70 tahun sebanyak 3 orang, 9,68%. Usia 71-75 tahun sebanyak 3 orang, 9,68%.

Usia 76-80 tahun sebanyak 1 orang, 3,22%. Usia >80 tahun sebanyak 2 orang, 6,45%.

5.3.1.2. Jenis Kelamin.

Tabel 5.7. Sebaran kebutaan refraksi berdasarkan jenis kelamin.

Jenis Kelamin Jumlah [N] Persentase [%]

Perempuan 25 80,65

Laki-laki 6 19,35

Total 31 100

Dari tabel diatas tampak bahwa sebaran jenis kelamin pada kebutaan refraksi sebanyak 25

(39)

5.3.1.3. Tingkat Pendidikan.

Tabel 5.8. Sebaran kebutaan refraksi berdasarkan Tingkat Pendidikan.

Tingkat Pendidikan Jumlah [N] Persentase [%]

Tidak Sekolah 4 12,90 SD [Sederajat] 9 29,03 SMP [Sederajat] 11 35,48 SMU [Sederajat] 6 19,35

Akademi / PT 1 3,22

Total 31 100

Pada tabel diatas tampak penderita kebutaan akibat kelainan refraksi berpendidikan rendah,

dengan 29,03% di SD [Sederajat] dan 35,48% di SMP [Sederajat], 19,35% di SMU

[Sederajat], dan Akademi / Perguruan Tinggi, 3,22% sedangkan 12,90% tidak Sekolah.

Pendidikan sangat berpengaruh terhadap pengetahuan untuk mendapatkan kesehatan yang

layak, antara lain mendapatkan penglihatan yang sempurna.

5.3.1.4. Pekerjaan

Tabel 5.9. Sebaran kebutaan refraksi berdasarkan pekerjaan.

Pekerjaan Jumlah [N] Persentase [%]

Buruh / Karyawan - -

Petani 18 58,06

Pegawai 1 3,22

IRT 5 16,13

Pelajar / Mahasiswa 3 9,68

Lainnya 4 12,90

Total 31 100

(40)

Pada tabel diatas tampak 18 orang petani (32,72%) yang menderita kebutaan akibat

refraksi, 19orang (34,54) ibu rumah tangga, 9 orang (16,36%) pelajar, 7 orang (12,7%)

buruh, 1 orang (1,81%) pegawai, dan 1 orang (1,81%) lainnya.

5.3.1.5. Riwayat keluarga.

Tabel 5.10. Sebaran kebutaan refraksi berdasarkan adanya riwayat keluarga yang memakai kacamata.

Riwayat keluarga berkacamata Jumlah [N] Persentase [%]

Ya 11 35,48

Tidak 12 38,70

Tidak tau 8 25,80

Total 31 100

Pada table diatas tampak sampel dengan riwayat keluarga sedikit lebih besar daripada yang

tidak ada riwayat keluarganya yang memakai kacamata.

5.3.1.6. Riwayat tempat berobat [wawancara].

Tabel 5.11. Sebaran kebutaan refraksi berdasarkan riwayat tempat berobat [wawancara].

Riwayat tempat berobat Jumlah [N] Persentase [%]

Puskesmas 7 22,58

RS Pemerintah 4 12,90

RS Swasta 1 3,22

Tradisional 10 32,26

Optikal 1 3,22

Tidak melakukan pengobatan 8 25,80

Total 31 100

Pada tabel tampak riwayat masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan menggunakan sarana

(41)

32,26% dan 25,80%, di Puskesmas 22,58%, di Rumah Sakit Pemerintah 12,90%, di

Rumah Sakit Swasta dan Optikal masing-masing 3,22%.

5.3.1.7. Umur dan Jenis kelamin.

Tabel 5.12. Sebaran kebutaan akibat kelainan refraksi menurut umur dan jenis kelamin.

Laki-laki Perempuan

Pada tabel diatas tampak kebutaan refraksi pada kedua mata terbanyak didapat pada

kisaran umur antara 16 hingga 20 tahun dan antara 46 hingga 50 tahun. Dengan distribusi

(42)

Tabel 5.13. Sebaran jenis kelainan refraksi yang menyebabkan kebutaan.

Pada table diatas tampak distribusi jenis kelainan refraksi yang menyebabkan kebutaan

pada kedua mata, dimana penyebab yang terbanyak adalah miopia.

5.3.2. Hasil Pemeriksaan Mata Lanjutan

Tabel 5.14. Sebaran kebutaan akibat kelainan refraksi berdasarkan penyebab dan hasil koreksi.

(43)

2/60 2/60 S-8,00 S-8,50 5/50 5/50F Miopia 2,5/60 2,5/60 S+4,00 S+4,00 5/50 5/50 Hipermetropia 2,5/60 6/60 S+4,50 S+2,50 5/50 5/50 Hipermetropia

6/12 2/60 S+0,25 S+7,00 5/10 5/50 Hipermetropia

Dari table diatas tampak bahwa penyebab kebutaan refraksi yang terbanyak adalah miopia,

dan hasil koreksi dengan lensa sferis negatif, yang besarnya bervariasi antara –4,00 D

sampai –11,00 D, dan keseluruhan responden tidak dapat dikoreksi penuh.

Tabel 5.15. Estimasi Kebutaan Akibat Kelainan Refraksi di Kabupaten Tapanuli Selatan.

KABUPATEN TAPANULI SELATAN ESTIMASI PADA CI 95% ( Batas bawah, Batas atas ) Prevalensi Kebutaan Refraksi

25/29.332 x 100% = 0,08% ( 0,05% ; 0,11 % ) Prevalensi Kebutaan

(44)

5.4. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Dari tabel 5.1. sampai tabel 5.5. tampak gambaran karakteristik penduduk sampel

sampel dari wilayah penelitian.

Dari tabel 5.1. dan 5.2. terlihat distribusi umur dan jenis kelamin menunjukkan lebih

banyak penduduk dalam usia 61 -70 tahun yaitu berkisar 30,83% dan jenis kelamin

terbanyak perempuan yaitu berkisar 71,11 %. Distribusi umur ini sesuai dengan gambaran

kependudukan di Indonesia umumnya. Seperti pada negara-negara yang sedang

berkembang lainnya seperti Burma dan India.

Dari tabel 5.3. terlihat bahwa tingkat pendidikan sebagian besar penduduk

mempunyai tingkat pendidikan hanya sampai Sekolah Dasar (SD) sederajat. Rendahnya

tingkat pendidikan ini menyebabkan rendahnya sumber daya manusia dan dampaknya ini

juga akan menyebabkan kurangnya pengetahuan penduduk tentang penyakit mata

khususnya kelainan refraksi.

Dari tabel 5.4. terlihat bahwa sebagian besar penduduk mempunyai pekerjaan

sebagai petani yaitu sebesar 69,72%, hal ini sangat sesuai dengan daerah Indonesia yang

berdaerah agraris.

Dari tabel 5.5. terlihat bahwa suku terbanyak sebagai sampel dari 6 kecamatan

adalah suku Mandailing, diikuti suku batak lainnya.

Dari table 5.6. tampak gambaran peserta penelitian yang mengalami kebutaan akibat

kelainan refraksi berkisar 6-80 tahun lebih, dimana terbanyak pada kisaran umur 16 hingga

20 tahun dan antara umur 61 hingga 65 tahun.

Dari table 5.7., penyebaran kebutaan akibat kelainan refraksi menurut jenis kelamin

(45)

responden yang datang pada umumnya adalah wanita, jadi pada hasil penelitian ini

prevalensi kebutaan refraksi pada wanita lebih tinggi hanyalah merupakan faktor kebetulan

saja.

Dari tabel 5.8., sebagian besar penderita hanya menamatkan pendidikannya di tingkat

SMP [Sederajat]. Rendahnya tingkat pendidikan ini menyebabkan penderita kurang

memahami penyakitnya, sehingga hal ini perlu menjadi perhatian dalam upaya

penanggulangan kebutaan akibat kelainan refraksi.

Dari tabel 5.9., prevalensi kebutaan akibat refraksi tidak ada hubungannya dengan

pekerjaan.

Dari tabel 5.10., telah ditelusuri dari hasil anamnesa prevalensi kebutaan akibat

refraksi lebih banyak yang tidak ada riwayat keluarga berkacamata, ini disebabkan oleh

tingkat sosio-ekonomi yang rendah sehingga tidak mampu membeli kacamata dan juga

karena tingkat pendidikan yang rendah sehingga kurang memahami penyakitnya.

Dari tabel 5.11, sebagian besar penderita berobat secara Tradisional, kemudian tidak

mengobati penyakitnya dan juga ke Puskesmas, tetapi oleh karena keterbatasan tenaga

medis yang mengerti tentang penyakit kelainan refraksi dan alat yang tidak mendukung,

maka penderita kurang memahami penyakitnya.

Dari tabel 5.13., angka kebutaan refraksi mengenai kedua mata dan kedua mata lebih

banyak daripada yang satu mata, hal ini sesuai dengan referensi bahwa kebutaan refraksi

(46)

Hubungan Geografi dengan kebutaan refraksi

Pada penelitian ini, geografi dari kabupaten Tapanuli Selatan dikategorikan daerah

pegunungan dengan ketinggian 0-1.915 meter diatas permukaan laut. Walaupun demikian

prasarana jalan dari desa ke pusat-pusat pelayanan kesehatan masih bisa dilalui kendaraan

roda dua. Jadi faktor geografis sebenarnya tidak menjadi penghalang bagi penderita untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan mata.

Hubungan Sosio-Ekonomi dengan kebutaan refraksi

Dari hasil survey yang kami lakukan terhadap sampel ternyata masih banyak

penduduk berpenghasilan rendah. Ini mungkin diakibatkan oleh pendidikan dan pekerjaan

yang tersedia didaerah tersebut. Oleh sebab itu untuk keberhasilan program kebutaan perlu

pemberian pelayanan pemeriksaan dan pengobatan mata gratis terhadap orang-orang yang

tidak mampu, bila memungkinkan pemberian kacamata gratis bagi penderita kebutaan

refraksi, karena beberapa penderita kebutaan refraksi disebabkan oleh ketidakmampuan

memperoleh kacamata.

Hubungan Budaya Tentang Pemeliharaan Kesehatan Mata dengan kebutaan refraksi

Dari hasil survey yang kami lakukan terhadap sampel maka sebagian besar

mengobati penyakit mata diri secara tradisional bahkan ada yang tidak mengobati

penyakitnya, kemudian ke Puskesmas selanjutnya ke Rumah Sakit Swasta, ada yang

mendapatkan kacamata dari optik tetapi penderita tidak memakai kacamata lebih lanjut

(47)

tapi hanya waktu belajar saja, sementara sebagian penderita merasa malu memakai

kacamata atau merasa harga kacamatanya mahal.

Hubungan Sumber Daya Manusia dengan kebutaan refraksi

Sumber daya manusia di kabupaten Tapanuli Selatan terutama petugas kesehatan

belum memadai walaupun semua desa telah mempunyai bidan desa. Program puskesmas

tentang kesehatan mata yang juga termasuk dalaam 18 program pokok kesehatan

puskesmas belum terlaksana dengan baik. Khususnya mengenai tenaga Spesialis Mata

yang masih belum ada sampai sekarang di Kabupaten Tapanuli Selatan. Oleh karena itu

perlulah menjadi perhatian khususnya bagi pengambil keputusan untuk pengadaan tenaga

Spesialis Mata yang sangat dibutuhkan di Kabupaten Tapanuli Selatan.

Hubungan Sarana dan Prasarana Kesehatan dengan kebutaan refraksi

Sarana dan Prasarana Kesehatan di Kabupaten Tapanuli Selatan belum memadai

dimana ada 1 (satu) RSU Pemerintah yang semestinya sudah dapat melakukan

pemeriksaan kesehatan mata, namun sampai sekarang belum bisa melayani pelayanan

secara optimal oleh karena belum tersedianya sarana untuk pelayanan kesehatan mata serta

(48)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN

6.1.1. Prevalensi kebutaan akibat kelainan refraksi di kabupaten Tapanuli Selatan adalah

0,08%, lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi kebutaan Nasional akibat

kelainan refraksi yaitu 0,14% dan prevalensi kebutaan akibat kelainan refraksi pada

penelitian sebelumnya di Kabupaten Karo yaitu 0,12%.

6.1.2. Faktor geografi dari penelitian ini tidak menjadi hambatan untuk mendapatkan

pelayanan kesehatan.

6.1.3. Faktor Sosial Ekonomi yang masih rendah mempunyai peranan terhadap masih

tingginya kebutaan refraksi.

6.1.4. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat mengakibatkan kekurang pahaman

terhadap pemeliharaan kesehatan, khususnya kesehatan mata sehingga penyakit

yang diderita tak terobati dengan baik.

6.1.5. Faktor Budaya dengan adanya perasaan rendah diri dalam berkaca mata sehingga

menyebabkan penglihatan kabur bahkan akan dapat menyebabkan kebutaan.

6.1.6. Faktor Sumber Daya Manusia belum memadai dimana tenaga medis khususnya

(49)

6.2. SARAN

6.2.1. Upaya menurunkan angka kebutaan refraksi perlu adanya dilakukan penyuluhan

kepada masyarakat secara rutin, terutama tentang kelainan refraksi dapat di koreksi

dengan pemakaian kacamata yang merupakan cara penanggulangan kebutaan

refraksi yang paling sederhana, serta dengan mudah dapat dideteksi di puskesmas

oleh tenaga medis terlatih.

6.2.2. Perlunya menambah dan menempatkan tenaga – tenaga ahli, seperti dokter spesialis

mata dan perawat mahir serta penyediaan sarana untuk mendapatkan pelayanan

kesehatan mata.

6.2.3. Mengadakan pemeriksaan dan penyuluhan mata secara rutin di Puskesmas dan

sekolah untuk mendeteksi dini kelainan refraksi pada lanjut usia, dewasa dan anak

usia sekolah.

(50)

DAFTAR PUSTAKA

1. Official WHO updates combined 1996-2007 available at

http://www.who.int/classifications/committees/Official%20WHO%20updates%20combined

%201996-2007.pdf

2. http://www.Br J Ophthalmol.com//Causes of low vision and blindness in rural Indonesia,

2003;87:1075-1078

3. Nema H.V., Community Ophthalmology in Textbook of Ophthalmology, 4th edition, Chapter

30, New Delhi, Jaypee Brothers Medical Publishers (P) LTD, 2002, page 398-403

4. Whitcher John P., Blindness in Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology, sixteenth

edition, Chapter 23, Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2004, page 413-418.

5. Ramanjit Sihota, Radhika Tandon,The Cause and Prevention of Blindness in Parsons’

Diseases of the Eye, Twentieth Edition, Section 34, New Delhi, Reed Elsevier India Private

Limited, 2007, page 523 – 536.

6. Depkes RI, Perdami, Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan

Kebutaan ( PGPK ) Untuk Mencapai Vision 2020, 2003, hal 1 - 2

7. http://dev.fk.unair.ac.id, Setiap Menit Satu Anak di Dunia Akan Menjadi Buta, 2007

8. Pusat Komunikasi Publik, Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan,

puskom.publik@yahoo.co.id, 2007

9. http://www.edusehat.com - Indonesian Health Education, 10 persen anak sekolah di

Indonesia kelainan refraksi, January 2008

10. RMEXPose.com; Tiap Menit, Ada Satu Orang Jadi Buta dalam 10 Persen Anak

11. Pratomo H, Silalahi E, Asnita SN, Libra A, Surjani L, Sitorus J, Ginting M, Sari MD, Siregar

NH, Barus J, Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak, Glaukoma, Kelainan Refraksi, Gangguan

(51)

Spesialis Mata, Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,

Medan, 2004.

12. Khurana A.K. Community Ophthalmology in Comprehensive Ophthalmology, Fourth Edition,

Chapter 20, New Delhi, New Age International Limited Publisher, 2007, page 443 – 457.

13. Dewanto I, Pardianto G, Saleh TT, Pemeriksaan Visus Pada Anak, Tinjauan Kepustakaan,

Bagian Ilmu Penyakit Mata RSU Dr. Soetomo / FK UNAIR, 2005, hal 1.

14. Handayani AT., Moestidjab, Gambaran Ketebalan Kornea Sentral Pada Penderita Miopia

Pra-Lasik Di Klinik Mata Surabaya, Laporan Penelitian, Departemen Ilmu Kesehatan Mata

Fakultas Kedokteran UNAIR / RSU Dr. Soetomo Surabaya, Jurnal Oftalmologi Indonesia

Vol. 6, No. 2, Agustus 2008: Hal. 118-126

15. American Academy of Ophthalmology, Optics of the Human Eye in Clinical Optics, Section

3, Chapter 3, Basic and Clinical Science Course, 2005-2006, p. 105-123

16. American Academy of Ophthalmology, Clinical Refraction in Clinical Optics, Section 3,

Chapter 4, Basic and Clinical Science Course, 2005-2006, p. 125-141

17. Whitmore W.G, Curtin B.J, The Optics of Miopia in Duane’s Clinical Ophthalmology, Vol.

1, Chapter 42, Lippincot Williams & Wilkins, 2004, p. 1-10

18. Ramanjit Sihota, Radhika Tandon, Refractive Errors of the Eye in Parson’s Diseases of the

Eye, Twentieth Edition, Section II, New Delhi, Reed Elsevier India Private Limited, 2007, p.

71-83

19. Gallin P.F, Practical Pediatric Refraction in Pediatric Ophthalmology Clinical Guide,

Chapter 3, 2000, p. 23-29

20. Kanski J.J, Degenerative Miopia, Acquired Macular Disorders and Related Conditions in

Clinical Ophthalmology A Systematic Approach, Sixth Edition, 2007, p. 654-655

21. Tiharyo I., Gunawan W., Suhardjo, Pertambahan Miopia Pada Anak Sekolah Dasar Daerah

Perkotaan Dan Pedesaan Di Daerah Istimewa Yogyakarta, Laporan Penelitian, Bagian Ilmu

Penyakit Mata Fakultas Kedokteran UGM / RS Dr. Sardjito Yogyakarta, Jurnal Oftalmologi

(52)

23. American Academy of Ophthalmology, Glaucoma, Section 10, Chapter 4, Basic and Clinical

Science Course, 2008-2009, p. 85.

22. Kabupaten Tapanuli Selatan Dalam Angka 2008, Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli

(53)

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Umur :

Pekerjaan :

Alamat :

Telah menerima dan mengerti penjelasan dokter tentang penelitian “Prevalensi Kebutaan Akibat Kelainan Refraksi di Kabupaten Tapanuli Selatan”. Dengan kesadaran serta kerelaan sendiri saya bersedia menjadi peserta penelitian tersebut.

Demikianlah surat persetujuan ini saya perbuat tanpa paksaan siapapun.

Tapanuli Selatan, ………..2009

(54)

SURVEI PREVALENSI KEBUTAAN REFRAKSI

DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN PROPINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2009

Nama Responden Nomor :

I. Pengenalan Tempat

a. Kabupaten : Tapanuli Selatan b. Kecamatan

c. Desa / Kelurahan

d. Daerah 1. Perkantoran 2. Pedesaan e. Letak Geografis 1. Pantai 3. Dataran Rendah

2. Pegunungan 4. Dataran Tinggi

II. Fasilitas Rumah Tangga

a. Penerangan dirumah tangga 1. Listrik 3. Lampu minyak 2. Petromaks 4. Lainnya

b.Air bersih untuk mandi 1. Air ledeng 3. Air hujan 5. Sumur bor 2. Sumur tertutup 4. Sungai 6. Lainnya c. Bahan bakar memasak 1. Listrik 3. Kayu

2. Minyak tanah 4. Lainnya

III. Keterangan Anggota Rumah Tangga

No. Nama Hubungan dengan Kepala Keluarga Umur Jenis kelamin

IV. Sosial dan Demografi

a. Nama Responden :

b. Umur : tahun

c. Jenis kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan

d. Suku 1. Mandailing 3. Jawa 5. Melayu 2. Batak lainnya 4. Minang 6. Lainnya e. Pendidikan 1. Tidak sekolah 3. SLTP 5. Akademi

2. SD 4. SLTA 6. Perguruan Tinggi

f. Pekerjaan 1. Petani 3.Dagang 5.Pegawai 7. Lainnya 2. IRT 4. Buruh 6. Pengemudi

(55)

Nama Responden Nomor :

V. Hasil Pemeriksaan Mata Kanan Kiri

A a. Tandai 1 jika tajam penglihatan <3/60 b. Tandai 2 jika tajam penglihatan 3/60 >

Jika dikoreksi Sferis

[umur responden > 5 tahun] Silindris Aksis

Kanan Kiri B Bila umur responden > 40 tahun

a. Tandai 1 jika tonometri < 21 mmHg b. Tandai 2 jika tonometri > 21 mmHg

Kanan Kiri

VI. Kesimpulan Kanan Kiri

(56)

Nama Responden Nomor :

VII. Pemeriksaan Refraksi & Tonometri

Kanan Kiri

 Bila visus dengan koreksi ≤ 3/60 beri stabilo jingga

 Bila visus dengan koreksi pinhole tetap < 6/6 dan kornea jernih, beri 1 tetes Midriatil; sampaikan ke responden bahwa penglihatan akan kabur sampai ± 4 jam mendatang

02. Bila umur 35-39 tahun :

Presbiopia Tidak -1 Ya -2

03. Hasil Tonometri: Kurang dari 21 mmHg -1 ≥ 21 mmHg -2 Tak diukur -3

VIII. Anamnesa Kesehatan Mata Kelainan Refraksi

01. Apakah orangtua saudara sehari-harinya ada yang berkacamata ? Ya -2 Tidak -1 Tidak tahu -0

Bila ya siapa ? Bapak dan Ibu -2 Salah satu -1 02. Apakah saudara berkacamata ? Ya -2 Tidak -1

Bila Ya, sudah berapa tahun saudara berkacamata ?

03. Apakah saudara sering makan sayuran ? Ya -2 Tidak -1 Warna sayuran dan buah yang biasa dikonsumsi :

a. Sayuran warna hijau Ya-2 Tidak -1 b. Pepaya / Mangga Ya -2 Tidak -1 04. a. Mana yang lebih sering dimakan ? Daging (sapi, ayam, ikan dll) b. Dalam bentuk apa ? Segar -1 Diawetkan -2

05. Dapat membaca dan menulis ? Ya -2 Tidak -1 06. Bagaimana sikap badan biasanya saat membaca / menulis ?

Duduk -1 Berbaring/tiduran -2 Lainnya -3 07. Jenis penerangan yang biasanya digunakan pada waktu membaca & menulis ?

Sinar matahari -1 Lampu TL/Neon -3 Lampu teplok/senter/lilin -5 Listrik dengan lampu pijar -2 Lampu gas/petromaks -4 Lainnya -6 08. Apakah biasa membaca / menulis dikendaraan bergerak ? Ya -2 Tidak -2 09. Apakah saudara suka / sering menonton tv ? Ya -2 Tidak -1

Berapa jam rata-rata lama menonton tv secara terus menerus ? Berapa jarak tv dengan saudara ?

- < kali lebar diagonal tv -1 - ≥ 5 kali lebar diagonal tv -2

10. Menurut saudara, apakah anak-anak bisa mengalami gangguan penglihatan ? Ya -2 Tidak -1

11. Bila Ya, apa gejala yang saudara ketahui dan biasanya dilakukan oleh anak ?

Membaca terlalu dekat -1 Menonton tv terlalu dekat -2 Lainnya -3 12. Apakah gangguan penglihatan pada anak-anak dapat diatasi ?

Ya -2 Tidak -1 Bila ya, bagaimana cara mengatasinya ?

Pakai kacamata -1 Diberi obat -2 Dilakukan operasi -3 Tidak tahu -4 Lainnya -5

13. Bila saudara mempunyai keluhan pada mata, kemana biasanya berobat untuk mengatasi keluhan mata . Tulis Kode ya -2 Tidak -1

Tempat Berobat Petugas pemberi pelayanan Puskesmas

RS Pemerintah

(57)

14. Bila Saudara mengobati sendiri keluhan tersebut, sebutkan obat apa ?

Obat tetes/salep mata -1 Obat cuci mata (boorwater) -2 Ramuan tumbuhan -3 Lainnya -4 15. Apakah Saudara saat ini mempunyai keluhan pada mata ? Ya -2 Tidak -1

16. Keluhan mata apakah yang saudara rasakan ? (Jawaban bisa lebih dari satu )

Nyeri pada mata -1 Merah -2 Juling -4 Menonjol -8 Gangguan penglihatan -16 Lainnya -32 Keterangan : Bila pilihan hanya satu, tuliskan kode; bila pilihan lebih dari satu, jumlahkan kode

17. Bila ada gangguan penglihatan, bagaimana mula terjadinya gangguan tersebut ? Mendadak -1 Perlahan-lahan -2 Tidak Tahu -3

18. Bila memandang cahaya, apakah saudara ada melihat (pilih salah satu)

Pelangi -1 Tirai air hujan -2 Silau -3 Tidak Tahu -4 Tak ada -5 19. Bagaimana keadaan mata sebelum penglihatan saudara seperti ini

Merah -1 Sakit -2 Merah dengan kotoran -3 Tidak tahu -4 Lainnya -16 Keterangan : Bila pilihan hanya satu, tuliskan kode; bila pilihan lebih dari satu, jumlahkan kode

20. Bagaimana keadaan kesehatan tubuh sebelum penglihatan saudara seperti ini ? Sakit kepala & mata merah -1 Sakit darah tinggi [Hipertensi] -6 Keracunan minuman/makanan -2 Sakit campak -7

Sakit panas -3 Trauma -8 Sakit mata -4 Lainnya -9 Sakit gula [Diabetes Mellitus] -5

21. Sudah berapa lama saudara menderita kelainan/gangguan penglihatan seperti ini ? 22. Jika saudara memerlukan kacamata apakah sulit mendapatkannya di daerah saudara ? Ya -2 Tidak -1

23. Jika sudah berkaca mata, apa alasan untuk tidak memakainya

Berat -1 Mahal -2 Tidak enak dipakai -3 Bertambah pusing jika dipakai -4 Malu -5 Lainnya -6

IX. Pemeriksaan Mata Kelainan Refraksi

1. Hasil Kanan / Kiri Kanan / Kiri

Ya -2 Tidak -1

1. Kelainan refraksi (tanpa Presbiopia) 2. Konjungtivitis

3. Pterigiun & Pinquekula 4. Katarak

5. Sikatriks Kornea 6. Defisiensi Vitamin A 7. Trakhoma

8. Blefaritis

9. Hordeolum & Khalazion 10. Glaukoma

11. Afakia 12. Uveitis

13. Skleritis / Episkleritis 14. Ablasio Retina

15. Retinopati Diabetik / Hipertensi 16. Ptisis bulbi

17. Atrofi papil/ Neuritis optika 18. Strabismus/ Juling

19. Endoftalmitis 20. Lainnya 24. Bila visus dengan koreksi ≤ 0,05 atau buta, apa penyebab kebutaan ?

Miopia -1 Hipemetropia -2 Afakia -3 Astigmatisma -4 Lainnya -5

Gambar

Tabel 4.5. Dengan demikian sampel masing – masing untuk tiap kecamatan adalah
Tabel 5.1. Distribusi sampel berdasarkan usia.
Tabel 5.3. Distribusi sampel berdasarkan tingkat pendidikan.
Tabel 5.4. Distribusi sampel berdasarkan jenis pekerjaan.
+7

Referensi

Dokumen terkait

tersebut sudah menggunakan model e - learning sebagai media atau cara mengajar agar para siswa lebih mudah untuk memahami dan menerima materi yang di sampaikan.

Kualitas citra steganografi dengan metode ini menunjukkan kualitas yang cukup baik, karena nilai Means Square Error (MSE) yang dihasilkan sebesar 3.9 yang artinya

Berdasarkan contoh tersebut diasumsikan posisi paragraf adalah paragraf pertama dengan jumlah paragraf pada subbab pertama adalah 4, maka perhitungan skor fitur kalimat

Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi di luar diri dan aktivitas kerja nelayan, selama ini masyarakat Jaring Halus jarang tersentuh

Negara bersama UU Otonomi daerah 1999 dibutuhkan dalam hal ini karena (i) model pembangunan kita telah bergeser ke arah desentralisasi daerah, sehingga setiap wilayah dipacu

Menarik juga untuk dicatat bahwa, orang-orang Cina yang pada awalnya datang ke Medan sebagai kuli perkebunan kemudian telah berkembang menjadi satu kelompok yang menguasai

Since Ompu Pulo Batu was then away in the Dairi region endeavouring to negotiate with the Dutch to find his new place under the colonial regime, 12 the Parmalims began to

Namun dibanding dengan Pilkada, isu pemekaran kabupaten dan provinsi magnitudnya lebih besar karena tidak saja menjadi mainan baru wiraswastawan etnik yang ingin mencari