ABSTRAK
EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 5E
PADA MATERI ASAM BASA DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN
DAN INFERENSI
Oleh
DEWI TOMAN FRISKA NADEAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan efektivitas model pembelajaran
Learning Cycle 5 E pada materi asam basa dalam meningkatkan keterampilan
mengelompokkan dan inferensi. Penelitian ini menggunakan metode kuasi
eks-perimen dengan Non Equivalent (Pretest and Posttest) Control Group Design.
Pemilihan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI SMA Negeri I Kotaagung, dan
sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 1 dan XI IPA 2.
Efektivitas model pembelajaran Learning Cycle 5E dalam penelitian ini diukur
berdasarkan perbedaan n-Gain yang signifikan dan uji perbedaan dua rata-rata
(uji-t). Nilai rerata n-Gain keterampilan mengelompokkan pada kelas ekspe-
rimen dan kelas kontrol yaitu 0,63 dan 0,52; dan nilai rerata n-Gain keterampilan
inferensi pada kelas eksperimen dan kelas kontrol yaitu 0,70 dan 0,62. Hasil
uji-t menunjukkan bahwa keuji-terampilan mengelompokkan dan inferensi pada mauji-teri
ii
Hal tersebut menunjukkan bahwa model pembelajaran Learning Cycle 5E pada
materi asam basa efektif dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan
dan inferensi.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
E. Ruang Lingkup Penelitian ... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konstruktivisme... 8
B. Model Pembelajaran Learning Cycle 5 E (LC 5E)... 9
C. Keterampilan Proses Sains ... 15
D. Analisis Konsep. ... 19
E. Kerangka Berpikir. ... 23
F. Anggapan Dasar ... 26
G. Hipotesis Umum ... 26
v
C. Metode dan Desain Penelitian ... 28
D. Variabel Penelitian ... 29
E. Instrumen Penelitian ... 29
F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 30
G. Teknik Analisis Data ... 32
H. Pengujian Hipotesis ... 33
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 39
B. Pembahasan ... 46
V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 56
B. Saran ... 57
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 1. Silabus kelas eksperimen ... 58
2. RPP kelas eksperimen ... 67
3. Lembar Kerja Siswa (LKS) ... 98
4. Kisi–kisi soal pretest ... 137
5. Soal pretest ... 139
6. Rubrik penskoran pretest ... 144
7. Kisi–kisi soal posttest ... 153
8. Soal posttest ... 156
9. Rubrik penskoran posttest ... 161
10.n-Gain keterampilan mengelompokkan dan inferensi ... 170
I. PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Ilmu kimia merupakan ilmu pengetahuan alam yang mempelajari tentang
kom-posisi, struktur, dan sifat materi beserta segala perubahan yang menyertai
ter-jadinya reaksi kimia. Ilmu kimia memiliki tiga aspek yaitu proses/kerja ilmiah,
produk serta sikap. Dalam proses pembelajaran kimia, siswa perlu memiliki
keterampilan proses sains untuk menghasilkan produk pembelajaran berupa teori,
hukum, prinsip yang telah diterima kebenarannya serta menumbuhkan sikap
ilmiah dalam diri siswa.
Keterampilan Proses Sains (KPS) adalah keterampilan yang diperlukan untuk
menerapkan metode ilmiah dalam memahami fakta dan mengembangkan sendiri
konsep sains serta menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan nilai yang di-
tuntut. Guru sebagai tenaga pendidik perlu melatihkan keterampilan proses sains
kepada siswa karena keterampilan proses sains dapat menumbuhkan pengalaman
bagi siswa serta mengeksplorasi kemampuan siswa selama proses pembelajaran.
Selain itu, guru dapat membekali siswa dengan suatu keterampilan berpikir dan
bertindak melalui sains untuk menyelesaikan suatu masalah serta menjelaskan
Keterampilan proses sains yang harus dimiliki siswa diantaranya adalah keteram-
pilan mengelompokkan dan inferensi karena pada materi kimia terdapat
materi-materi yang menuntut keterampilan mengelompokkan dan inferensi seperti pada
materi asam basa. Selain itu, keterampilan mengelompokkan dan inferensi akan
membantu siswa dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya, setelah mengetahui sifat asam dan basa siswa dapat mengelompokkan
bahwa abu gosok tergolong ke dalam basa yang dapat digunakan untuk mencuci
piring. Selain itu, siswa yang telah mengetahui sifat asam dan basa dapat
menyimpulkan bahwa untuk mengurangi konsentrasi asam dapat ditambahkan
suatu basa ke dalamnya. Misalnya, ketika sakit mag seseorang meminum obat
mag yang terbuat dari basa magnesium hidroksida untuk mengurangi asam
lambung yang terlalu tinggi.
Faktanya pembelajaran kimia di sekolah cenderung hanya menghadirkan
konsep-konsep, hukum-hukum, dan teori-teori saja, tanpa menyuguhkan bagaimana pro-
ses ditemukannya konsep, hukum, dan teori tersebut, sehingga sikap ilmiah dalam
diri siswa kurang berkembang. Akibatnya pembelajaran kimia menjadi
kehilangan daya tariknya serta lepas relevansinya dengan dunia nyata yang
seharusnya menjadi obyek ilmu pengetahuan tersebut (Depdiknas, 2003).
Senada dengan hal tersebut, Liliasari (2007) mengemukakan bahwa pembelajaran
sains (khususnya kimia) di Indonesia umumnya masih menggunakan pendekatan
tradisional, yaitu siswa dituntut lebih banyak untuk mempelajari konsep-konsep
dan prinsip-prinsip sains secara verbalistis. Hal ini diperkuat oleh hasil observasi
yang diterapkan adalah pembelajaran yang menggunakan metode ceramah, latihan
soal, dan tanya jawab. Pembelajaran yang diterapkan masih terpusat pada guru,
dimana pada proses pembelajaran guru menyampaikan materi terlebih dahulu dan
sesekali menyampaikan pertanyaan kepada siswa. Guru meminta siswa untuk
mendengarkan dan mencatat materi yang dijelaskan oleh guru. Setelah semua
materi dijelaskan, guru memberikan latihan soal untuk dikerjakan siswa dan pada
akhir pembelajaran guru bersama siswa menyimpulkan materi yang baru saja
di-pelajari. Hal ini menyebabkan siswa cenderung menghafal konsep. Meskipun
ada praktikum, kegiatan ini jarang dilakukan sehingga membuat siswa kurang
mempunyai pengalaman dalam proses pembelajaran dan membuat siswa hanya
menganggap ilmu kimia sebagai sesuatu yang sangat abstrak yang membuat siswa
kurang tertarik pada pelajaran kimia. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dipilih
model pembelajaran yang berfilosofi konstruktivisme yang memungkinkan siswa
memperoleh kesempatan berlatih untuk meningkatkan keterampilan proses sains
siswa seperti keterampilan mengelompokkan dan inferensi.
Salah satu model pembelajaran dapat meningkatkan keterlibatan siswa dalam
proses pembelajaran dan membantu siswa dalam menemukan dan memahami
konsep serta meningkatkan keterampilan proses sains adalah Learning Cycle 5E.
Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan penerapan model pembelajaran
Learning Cycle 5E menunjukkan bahwa pembelajaran ini memberikan dampak
yang positif terhadap keterampilan proses sains siswa. Pandini (2011)
menya-takan bahwa keterampilan proses sains siswa kelas XI pada pembelajaran
hidro-lisis garam dengan metode praktikum dan model Learning Cycle 5E dikatakan
dan kelompok rendah. Nugraheni (2012) menyatakan bahwa penerapan model
pembelajaran Learning Cycle 5E berpengaruh positif terhadap keterampilan
proses sains biologi siswa kelas X Al Islam Surakarta.
Learning Cycle 5E merupakan salah satu model pembelajaran yang berpusat pa-
da siswa melalui rangkaian tahap-tahap (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa
sehingga siswa dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai deng-
an cara berperan aktif dalam proses pembelajaran. Pada pembelajaran Learning
Cycle 5E terdapat 5 fase yaitu engagement phase, exploration phase, explanati-
on phase ,elaboration phase, dan evaluation phase .
Pada engagement phase, siswa diberi motivasi agar berminat mengikuti pelajaran
dan guru membimbing siswa membuat prediksi-prediksi tentang fenomena ber-
dasarkan pengalaman siswa dan dibuktikan dalam exploration phase. Pada
exploration phase, guru memberi kesempatan pada siswa untuk bekerja sama da-
lam kelompok-kelompok kecil tanpa pengarahan langsung dari guru untuk meng-
uji prediksi, melakukan dan mencatat pengamatan serta ide-ide melalui
kegiatan-kegiatan seperti praktikum dan telaah literatur. Pada explanation phase, guru
mendorong siswa untuk menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri,
me-minta bukti dan klarifikasi dari penjelasan mereka, dan mengarahkan kegiatan
diskusi. Pada elaboration phase, siswa menerapkan konsep dan keterampilan da-
lam situasi baru melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum lanjutan dan yang
terakhir yaitu evaluation phase, guru melakukan evaluasi terhadap efektivitas
fase-fase sebelumnya dan juga evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian yang berjudul
“Efektivitas Model Pembelajaran Learning Cycle 5E pada Materi Asam Basa dalam Meningkatkan Keterampilan Mengelompokkan dan Inferensi ”.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah efektivitas model pembelajaran Learning Cycle 5E pada
materi asam basa dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan ?
2. Bagaimanakah efektivitas model pembelajaran Learning Cycle 5E pada materi
asam basa dalam meningkatkan keterampilan inferensi ?
C.Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk
men-deskripsikan efektivitas model pembelajaran Learning Cycle 5E pada materi
asam basa dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan inferensi.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat bagi semua yang berkecimpung di dunia pendidikan, ter-
utama bagi guru dan siswa yang terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Be-
rikut diuraikan manfaat penelitian bagi siswa, guru dan calon guru serta sekolah:
a. Siswa
Penerapan model pembelajaran Learning Cycle 5E membantu siswa untuk
le-bih aktif dalam memahami materi pelajaran kimia khususnya pada materi
b. Guru dan Calon Guru
Learning Cycle 5E dapat digunakan sebagai alternatif model pembelajaran
pada materi asam basa dan materi lain yang mempunyai karakteristik yang sa-
ma dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan inferensi bagi
siswa di sekolah.
c. Sekolah
Hasil penelitian ini dapat menjadi informasi dan referensi bagi sekolah untuk
meningkatkan mutu pembelajaran kimia di sekolah.
E.Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah:
1. Materi yang dibahas dalam penelitian ini adalah asam basa menurut Arrhenius.
2. Efektivitas model pembelajaran Learning Cycle 5E dilihat dari perbedaan
n-Gain keterampilan mengelompokkan dan inferensi yang signifikan antara
kelas eksperimen dan kelas kontrol.
3. Model Pembelajaran Learning Cycle 5E adalah model pembelajaran yang
terdiri dari 5 fase yaitu Engagement (Pendahuluan), Exploration (Eksplorasi),
Explaination (Penjelasan), Elaboration (Penerapan Konsep), Evaluation (Eva-
luasi).
4. Indikator keterampilan mengelompokkan yaitu mampu menentukan perbedaan,
mengkontraskan ciri-ciri, mencari kesamaan, membandingkan dan menentukan
5. Indikator keterampilan inferensi ialah mampu menjelaskan hasil pengamatan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Konstruktivisme
Menurut Von Glasersfeld (Sardiman, 2007) konstruktivisme adalah salah satu
filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi
(bentukan) kita sendiri. Pengetahuan bukanlahsuatu imitasi dari kenyataan (rea-
litas). Von Glasersfeld menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan
dari kenyataan(Suparno, 1997). Berdasarkan pandangan konstruktivisme, penge-
tahuan tidak dapat dipindahkan secara utuh dari guru ke siswa, namun sacara aktif
dibangun sendiri melalui pengsalaman nyata, sehingga peran guru hanya sebagai
fasilitator.
Konstruktivisme ini selanjutnya diturunkan menjadi teori belajar. Teori belajar
adalah kerangka kerja konseptual yang menggambarkan bagaimana informasi
diserap, diproses dan disimpan selama proses belajar. Teori belajar ini berkem-
bang dari teori Piaget, teori Vygotsky, teori Bruner, dan teori Ausubel.
Teori belajar Piaget menyebutkan bahwa struktur kognitif sebagai Skemata
(Schemes), yaitu kumpulan dari skema-skema. Seorang individu dapat mengikat,
memahami, dan memberikan respon terhadap stimulus disebabkan karena
beker-janya skemata ini. Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil in-
memiliki struktur kognitif yang lebih lengkap daripada ketika ia masih kecil. Per-
kembangan skemata ini terus menerus melalui adaptasi dengan lingkungannya.
Skemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran anak.
Makin baik kualitas skema ini, makin baik pulalah pola penalaran anak tersebut.
Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru
dilakukan dengan dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah
pengintegrasian stimulus baru ke dalam skemata yang telah terbentuk secara
langsung. Akomodasi adalah proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam
skema yang telah terbentuk secara tidak langsung.
B. Model PembelajaranLearning Cycle 5E (LC 5E)
Learning Cycle (LC) merupakan salah satu model perencanaan yang telah diakui
dalam pendidikan, khususnya pendidikan IPA. Model ini merupakan model yang
mudah untuk digunakan oleh guru dan dapat memberikan kesempatan untuk
me-ngembangkan kreativitas belajar IPA pada setiap siswa.Menurut I Kadek Adi
Hirawan (2009) menyatakan bahwaLearning Cycle (LC) adalah suatu kerangka
konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan proses
pembela-jaran yang berpusat pada pebelajar atau anak didik (student centre).
Piaget dan para konstruktivis pada umumnya (Sardiman, 2007) berpendapat bahwa :
Mengajar bukan sebagai proses memindahkan gagasan-gagasan guru kepada siswanya, melaiknkan proses untuk mengubah gagasan-gagasan siswa yang
strategi belajar untuk menerapkan model konstruktivis ialah penggunaan siklus belajar. Dimana terdapat tiga siklus belajar yaitu : deskriptif, empiris-induktif, dan hipotesis-deduktif, yang menunjukkan suatu continuum dari sains deskriptif ke sains eksperimental.
Salah satu pembelajaran yang di landasi konstruktivisme adalah model Learning
Cycle (Rustaman, 2005). Pembelajaran melalui model siklus belajar mengharus-
kan siswa membangun sendiri pengetahuannya dengan memecahkan permasala-
han yang dibimbing langsung oleh guru. Model pembelajaran ini memiliki tiga
langkah sederhana, yaitu pertama, fase eksplorasi, dalam fase ini guru menggali
pengetahuan awal siswa. Kedua, fase eksplanasi. Ketiga, fase aplikasi, dimak-
sudkan mengajak siswa untuk menerapkan konsep pada contoh kejadian yang
lain, baik yang sama tingkatannya atau yang lebih tinggi tingkatannya.
Karplus dan Their (Fajaroh dan Dasna, 2007) mengungkapkan bahwa :
Siklus Belajar (Learning Cycle) atau dalam penelitian ini disingkat LC ada- lah suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). LC merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi se- demikian rupa sehingga pebelajar dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperanan aktif. LC pada mulanya terdiri fase-fase eksplorasi (exploration), pengenalan konsep (concept introduction), dan aplikasi konsep (concept application).
Pada tahap eksplorasi, siswa diberi kesempatan untuk memanfaatkan panca inde-
ranya semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan melalui kegiat-
an-kegiatan seperti melakukan eksperimen, menganalisis artikel, mendiskusikan
fenomena alam atau perilaku sosial, dan lain-lain. Dari kegiatan ini diharapkan
timbul ketidakseimbangan dalam struktur mentalnya (cognitive disequilibrium)
yang ditandai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada
berkembangnya daya nalar tingkat tinggi (high level reasoning) yang diawali
sekaligus merupakan indikator kesiapan siswa untuk menempuh fase pengenalan
konsep. Pada fase pengenalan konsep, diharapkan terjadi proses me-nuju
keseimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki oleh siswa dengan
konsep-konsep yang baru dipelajari. Pada fase terakhir, yakni aplikasi konsep,
siswa diajak menerapkan pemahaman konsepnya. Penerapan konsep dapat me-
ningkatkan pemahaman konsep dan motivasi belajar, karena siswa mengetahui pe-
nerapan nyata dari konsep yang mereka pelajari.
Efektivitas implementasi LC biasanya diukur melalui observasi proses dan pem-
berian tes. Jika ternyata hasil dan kualitas pembelajaran tersebut belum memuas-
kan, maka belum dapat dilakukan siklus berikutnya yang pelaksanaannya harus
lebih baik dibanding siklus sebelumnya dengan cara mengantisipasi
kelemahan-kelemahan siklus sebelumnya, sampai hasilnya memuaskan(Fajaroh dan Dasna,
2007).
Hal serupa juga dikemukakan oleh Fajaroh dan Dasna (2003) bahwa:
Model pembelajaran Learning Cycle dikembangkan dari teori perkembangan kognitif Piaget. Model belajar ini menyarankan agar proses pembelajaran dapat melibatkan siswa dalam kegiatan belajar yang aktif sehingga proses asimilasi, akomodasi dan organisasi dalam struktur kognitif siswa. Bila terjadi proses konstruksi pengetahuan dengan baik maka siswa akan dapat
meningkatkan pemahamannya terhadap materi yang dipelajari.
Learning Cycle merupakan salah satu model pembelajaran yang berlandaskan
konstruktivisme yang pada mulanya terdiri atas tiga tahap, yaitu Exploration
(eksplorasi), Explanation (menjelaskan), Elaboration(memperluas), dikenal
dengan Learning Cycle 3E.Pada tahap eksplorasi, pebelajar diberi kesempatan
dengan lingkungan melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum, menganalisis
artikel, mendiskusikan fenomena alam, mengamati fenomena alam atau perilaku
sosial, dan lain-lain. Dari kegiatan ini diharapkan timbul ketidakseimbangan da-
lam struktur mentalnya (cognitive disequilibrium) yang ditandai dengan muncul-
nya pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada berkembangnya daya nalar ting-
kat tinggi (high level reasoning) yang diawali dengan kata-kata seperti mengapa
dan bagaimana (Dasna, 2005).
Pada proses selanjutnya, tiga tahap siklus tersebut mengalami pengembangan.
Tiga siklus tersebut saat ini dikembangkan menjadi lima tahap (Lorsbach, 2002)
yaitu engagement phase, exploration phase, explanation phase, elaboration
phase, dan evaluation phasesehingga dikenal dengan siklus belajar 5E (learning
cycle 5E). Tahapan dalam Learning Cycle 5E dijabarkan Dasna sebagai berikut:
Engagementphase bertujuan untuk mendapatkan perhatian siswa, mendorong ke-
mampuan berpikirnya, dan membantu mereka menggali pengetahuan awal yang
telah dimilikinya. Hal penting yang perlu dicapai oleh pengajar pada fase ini ada-
lah timbulnya rasa ingin tahu siswa tentang tema atau topik yang akan dipelajari.
Keadaan tersebut dapat dicapai dengan mengajukan pertanyaan kepada siswa ten-
tang fakta atau fenomena yang berhubungan dengan materi yang akan dipelajari .
Jawaban siswa digunakan untuk mengetahui hal-hal apa saja yang telah diketahui
oleh mereka. Pada fase ini pula siswa diajak membuat prediksi-prediksi tentang
fenomena yang akan dipelajari dan dibuktikan dalam fase eksplorasi. Fase ini da-
Pada explorationphase siswa diberi kesempatan untuk bekerja secara mandiri
maupun secara kelompok tanpa instruksi atau pengarahan secara langsung dari
guru. Siswa bekerja memanipulasi suatu obyek, melakukan percobaan (secara
ilmiah), melakukan pengamatan, mengumpulkan data, sampai pada membuat
kesimpulan dari percobaan yang dilakukan. Dalam kegiatan ini, guru sebaiknya
berperan sebagai fasilitator membantu siswa agar bekerja pada lingkup permasa-
lahan (hipotesis yang dibuat sebelumnya).
Sesuai dengan teori Piaget, pada kegiatan eksplorasi siswa diharapkan mengalami
ketidak setimbangan kognitif (disequilibrium). Siswa diharapkan bertanya kepada
dirinya sendiri :”Mengapa demikian” atau “Bagaimana akibatnya bila…” dan se-
terusnya. Kegiatan eksplorasi member kesempatan siswa untuk menguji dugaan
dan hipotesis yang telah mereka tetapkan. Mereka dapat mencoba beberapa alter-
natif pemecahan, mendiskusikannya dengan teman sekelompoknya, mencatat ha-
sil pengamatan dan mengemukakan ide dan mengambil keputusan memecahkan-
nya.
Kegiatan pada fase ini sampai pada tahap presentasi atau komunikasi hasil yang
diperoleh dari percobaan atau menelaah bacaan. Dari komunikasi tersebut diha-
rapkan diketahui seberapa tingkat pemahaman siswa terhadap masalah yang di-
pecahkan.
Explanation phase bertujuan untuk melengkapi, menyempurnakan, dan mengem-
bangkan konsep yang diperoleh siswa. Guru mendorong siswa untuk menjelaskan
konsep yang dipahaminya dengan kata-katanya sendiri, menunjukkan
kegiatan ini sangat penting adanya diskusi antar anggota kelompok untuk meng-
kritisi penjelasan konsep dari siswa yang satu dengan yang lainnya. Pada kegiat-
an yang berhubungan dengan percobaan, guru dapat memperdalam hubungan
antar variabel/ kesimpulan yang diperoleh siswa. Hal ini diperlukan agar siswa
dapat meningkatkan pemahaman konsep yang baru diperolehnya.
Kegiatan belajar pada elaboration phase mengarahkan siswa menerapkan
konsep-konsep yang telah dipahami dan keterampilan yang dimiliki pada situasi baru.
Guru dapat mengarahkan siswa untuk memperoleh penjelasan alternatif dengan
menggunakan data atau fakta yang mereka eksplorasi dalam situasi baru. Guru
dapat memulai dengan mengajukan masalah baru yang memerlukan pengujian
lewat eksplorasi dengan melakukan percobaan, pengamatan, pengumpulan data,
analisis data sampai membuat kesimpulan.
Pada evaluation phase, guru ingin mengamati perubahan pada siswa sebagai
akibat dari proses belajar. Pada fase ini guru dapat mengajukan pertanyaan ter-
buka yang dapat dijawab dengan menggunakan lembar observasi, fakta atau data
dari penjelasan sebelumnya yang dapat diterima. Kegiatan pada evaluasi berhu-
bungan dengan penilaian kelas yang dilakukan guru meliputi penilaian proses dan
evaluasi penguasaan konsep yang diperoleh siswa. Hal ini disajikan dalam gam-
bar tentang mekanisme fase-fase model pembelajaran Learning Cycle 5E(Bybee,
Gambar 1. Mekanisme fase-fase model pembelajaran Learning Cycle 5E
Menurut Fajaroh (Fajaroh dan Dasna, 2007), Learning Cycle 5 phase memiliki
kelebihan yaitu meningkatkan motivasi belajar karena siswa dilibatkan secara
aktif dalam proses pembelajaran, membantu mengembangkan sikap ilmiah siswa,
pembelajaran lebih jadi bermakna.
Dengan demikian proses pembelajaran dengan modelLearning Cycle 5E bukan
sekedar transfer pengetahuan dari guru ke siswa,tetapi merupakan proses
mem-bangun konsep yang berorientasi pada keterlibatan siswa secara aktif dan
lang-sung.
C.Keterampilan Proses Sains
Menurut Semiawan (1992) keterampilan proses sains adalah keterampilan-kete-
rampilan fisik dan mental untuk menemukan dan mengembangkansendiri fakta
dan konsep sains serta menumbuhkan dan mengembangkan sikapdan nilai yang
dituntut.Keterampilan proses sains (KPS) dibutuhkan untuk menggunakan dan
memahami sains (Hartono, 2007). Untuk dapat memahami hakikat IPA secara
keterampilan proses sains. Dalam pembelajaran IPA aspek proses perlu
ditekankan bukan hanya pada hasil akhir dan berpikir benar lebih penting dari
pada memperoleh jawaban yang benar. Dengan kata lain bila seseorang telah
memiliki keterampilan proses sains, IPA sebagai produk akan mudah dipahami,
bahkan dapatdiaplikasikan serta dikembangkan.Keterampilan proses sains adalah
semua keterampilan yang terlibat pada saat proses berlangsungnya sains. Guru
perlu untuk melatihkan keterampilan proses sais siswa untuk menyampaikan
pengetahuan/ informasi baru kepada siswa atau mengembangkan pengetahuan
/informasi yang telah dimiliki siswa.
Menurut Sanjaya (2007) pendekatan keterampilan proses dilaksanakan dengan
menekankan pada bagaimana siswa belajar, bagaimana siswa memperoleh hasil
belajar untuk menguasai suatu konsep melalui keterampilan proses sains, sehing-
ga dapat dipahami, dimengerti dan diterapkan sebagai bekal dalam kehidupan di
masyarakat sesuai kebutuhannya.
Menurut Funk (Dimyati dan Mudjiono, 2006) ada berbagai keterampilan dalam
keterampilan proses sains, keterampilan-keterampilan tersebut terdiri dari
kete-rampilan dasar (basic skills) dan ketekete-rampilan terintegrasi (integrated
skills).Ke-terampilan dasar terdiri dari enam keskills).Ke-terampilan yaitu mengamati
(mengobserva-si), mengklasifikasi, mengukur, memprediksi, menyimpulkan,dan
mengkomuni-kasikan. Sedangkan yang termasuk dalam keterampilan terintegrasi yaitu
meng-identifikasi variabel, membuat tabulasi data, menyajikan data dalam bentuk gra-
menganalisa penelitian, menyusun hipotesis, mendefinisikan variabel secara ope-
rasional, merancang penelitian, dan melaksanakan eksperimen.
Menurut Semiawan (1992) keterampilan proses sains adalah
keterampilan-keterampilan fisik dan mental untuk menemukan dan mengembangkansendiri
fakta dan konsep sains serta menumbuhkan dan mengembangkan sikapdan nilai
yang dituntut.
Menurut Hariwibowo (Fitriani, 2009) mengemukakan:
Keterampilan proses adalah keterampilan yang diperoleh dari latihan kemam- puan-kemampuan mental, fisik, dan sosial yang mendasar sebagai penggerak kemampuan-kemampuan yang lebih tinggi. Kemampuan-kemampuan men- dasar yang telah dikembangkan dan telah terlatih lama-kelamaan akan menja- di suatu keterampilan, sedangkan pendekatan keterampilan proses adalah cara memandang anak didik sebagai manusia seutuhnya. Cara memandang ini di- jabarkan dalam kegiatan belajar mengajar memperhatikan pengembangan pengetahuan, sikap, nilai, serta keterampilan. Ketiga unsur itu menyatu dalam satu individu dan terampil dalam bentuk kreatifitas.
Lebih lanjut, Hartono (Fitriani, 2009) mengemukakan:
Untuk dapat memahami hakikat IPA secara utuh, yakni IPA sebagai proses, produk dan aplikasi, siswa harus memiliki KPS. Dalam pembelajaran IPA, aspek proses perlu ditekankan bukan hanya pada hasil akhir dan berpikir be-nar lebih penting dari pada memperoleh jawaban yang bebe-nar. KPS adalah semua keterampilan yang terlibat pada saat berlangsungnya proses sains. KPS terdiri dari beberapa keterampilan yang satu sama lain berkaitan dan sebagai prasyarat. Namun pada setiap jenis keterampilan proses ada pene- kanan khusus pada masing-masing jenjang pendidikan.
Pendekatan keterampilan proses sains dirancang dengan beberapa tahapan yang
diharapkan akan meningkatkan penguasaan konsep. Tahapan-tahapan pendekatan
pembelajaran keterampilan proses sains menurut Dimyati dan Mudjiono (Fitriani,
1). Penampilan fenomena; 2) Apersepsi; 3) .Menghubungkan pembelajaran dengan pengetahuan awal yang dimiliki siswa; 4) Demonstrasi atau
eksperimen; 5) Siswa mengisi lembar kerja; 6) Guru memberikan penguatan materi dan penanaman konsep dengan tetap mengacu kepada teori
permasalahan.
Penerapan pendekatan pembelajaran keterampilan proses sains memungkinkan
siswa untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan yang pada dasarnya
su-dah dimiliki oleh siswa. Hal itu didukung oleh pendapat Arikunto (2005):
Pendekataan berbasis keterampilan proses adalah wawasan atau panutan pengembangan keterampilan-keterampilan intelektual, sosial dan fisik yang bersumber dari kemampuan-kemampuan mendasar yang pada prinsipnya keterampilan-keterampilan intelektual tersebut telah ada pada siswa.
Pendekatan keterampilan proses sains bukan tindakan instruksional yang berada
diluar kemampuan siswa. Pendekatan keterampilan proses sains dimaksudkan
un-tuk mengembangkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa. Menurut Esler
& Esler (1996) keterampilan proses sains dikelompokkan seperti pada Tabel 1
berikut:
Tabel 1. Keterampilan Proses Sains
Keterampilan Proses Dasar Keterampilan Proses Terpadu
Esler & Esler (1996) menyusun indikator keterampilan proses sains dasar seperti
pada Tabel 2 berikut:
Tabel 2. Indikator Keterampilan Proses Sains Dasar
Keterampilan Dasar Indikator
Mengelompokkan (classifying)
Mampu menentukan perbedaan, mengontraskan ciri-ciri, mencari kesamaan, membandingkan dan menentukan dasar penggolongan terhadap suatu obyek.
Inferensi (inferring) Mampu menjelaskan hasil pengamatan, menyimpulkan dari fakta yang terbatas.
D. Analisis Konsep
Herron et al. (1977) dalam Fadiawati (2011) mengemukakan bahwa analisis
konsep merupakan suatu prosedur yang dikembangkan untuk menolong guru
dalam merencanakan urutan-urutan pengajaran bagi pencapaian konsep. Prosedur
ini telah digunakan secara luas oleh Markle dan Tieman serta Klausemer dkk.
Analisis konsep dilakukan melalui tujuh tahapan, yaitu menentukan nama atau
label konsep, definisi konsep, jenis konsep, atribut kritis, atribut variabel, posisi
konsep, contoh dan non contoh. Analisis konsep pada materi asam-basa disajikan
20
Tabel 3. ANALISIS KONSEP MATERI ASAM-BASA
No Label
Konsep Definisi Konsep
Jenis Konsep
Atribut Konsep Posisi Konsep
Contoh Non Contoh
Kritis Variabel Superordinat Koordinat Subordinat
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
1. Larutan Campuran yang bersifat homogen. Berdasarkan sifat sifatnya dibedakan menjadi larutan asam dan larutan basa.
Larutan yang di dalam air melepaskan ion H+ menurut teori Arrhenius, dimana jumlah konsen-trasi ion H+ menunjukan kekuatan asam suatu larutan yang dinyatakan dengan suatu derajat keasaman (pH), spesi yang mendonorkan proton menurut teori Bronsted-Lowry, dan menerima pasangan elektron menurut teori Lewis.
Konsep Abstrak
Larutan asam
Kekuatan asam
Derajat keasaman (pH)
Larutan yang di dalam air melepaskan ion OH – menurut teori
Arrhenius,dimana larutan asam ba-sa tersebut dapat di-identifikasisifatnya dengan menggunakan
Konsep Abstrak
Larutan basa
21 (lanjutan)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
indikator asam basa, spesi yang menerima proton menurut Bronsted-Lowry, dan me-lepaskan
pasangan elektron menurut Lewis.
4. Kekuatan asam
Kemampuan spesi asam untuk menghasilkan ion H+ dalam air yang ber-gantung pada derajat ke-asaman (pH)
Konsep abstrak
Kekuatan asam basa
Derajat keasaman
Konsentrasi
Kemampuan spesi basa untuk menghasilkan ion OH- dalam air yang ber-gantung pada derajat ke-basaan (pOH)
Konsep abstrak
Kekuatan asam basa
Derajat keasaman
Konsentrasi
larutan yang bergantung pada konsentrasi ion H+
22 (lanjutan)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
7 Indikator asam basa
Suatu spesi yang digunakan untuk mengetahui sifat asam atau basa dari suatu larutan berdasarkan trayek pH pada indikator yang digunakan
Konsep konkrit
Indikator asam basa
Trayek pH
Larutan yang diuji
Asam basa menurut Arrhenius
pH larutan Metil
Orange
PP
Metil Merah
8
E. Kerangka Berpikir
Pembelajaran kimia merupakan proses pembelajaran yang menuntut siswa untuk
dapat memahami kimia sebagai produk, proses dan sikap. Agar siswa dapat me-
mahami hal tersebut, siswa perlu memiliki keterampilan proses sains, di antara-
nya adalah keterampilan mengelompokkan dan inferensi. Untuk dapat
melatih-kan keterampilan proses sains pada siswa diperlumelatih-kan model pembelajaran yang
sesuai dengan karakteristik dari siswa dan materi pelajaran yang akan diajarkan.
Pembelajaran Learning Cycle 5E merupakan pembelajaran yang berfilosofi
konstruktivisme yang terdiri dari 5 fase yaitu engagement phase, exploration
phase, explanation phase, elaboration phase, dan evaluation phase.
Pada engagement phase, guru mengajukan pertanyaan kepada siswa tentang fakta
atau fenomena yang berhubungan dengan materi yang akan dipelajari. Hal ini
bertujuan untuk menimbulkan rasa ingin tahu siswa. Misalnya: guru meminta
siswa memprediksi dan mengelompokkan beberapa zat dalam kehidupan
sehari-hari yang tergolong asam dan basa kemudian mengajukan pertanyaan: “Mengapa
suatu zat bisa bersifat asam dan mengapa suatu zat bisa bersifat basa?”. Dengan
demikian, kegiatan pada fase ini membantu siswa untuk melatih keterampilan
pro-ses sains terutama keterampilan mengelompokkan. Selanjutnya pada evaluation
phaseguru mengamati perubahan pada siswa sebagai akibat dari proses belajar
untuk mengetahui sejauh mana perkembangan keterampilan mengelompokkan
dan inferensi siswa selama proses pembelajaran. Pada fase ini guru dapat
9 observasi, fakta atau data dari penjelasan sebelumnya yang dapat diterima.
Misalnya : guru mengevaluasi fase-fase sebelumnya, pemahaman konsep dengan
meminta siswa menyelesaikan masalah atau soal-soal yang berkaitan dengan
konsep dengan memberikan pertanyaan :” Mengapa zat-zat tersebut bersifat asam
atau basa?”
Pada exploration phase siswa diberi kesempatan untuk bekerja secara mandiri
maupun secara kelompok tanpa instruksi atau pengarahan secara langsung dari
guru. Misalnya: siswa melakukan percobaanuji identifikasi asam dan basa suatu
larutan menggunakan indikator lakmus kemudian guru meminta siswa menulis-
kan data hasil pengamatandalam sebuah tabel. Melalui kegiatan tersebut, indera
penglihatan siswa dapat digunakan secara maksimal dalam mengamati fenomena
yang terjadi sehingga melalui berbagai fenomena tersebut siswa dapat melatih
keterampilan mengelompokkan dan inferensi, selain itu sikap ilmiah siswa dapat
dikembangkan melalui kerjasama antar anggota kelompok. Setelah itu, pada
evaluation phase guru meminta siswa mengulangi prosedur percobaan untuk
larutan H2SO4 (air aki) dan larutan Ca(OH)2 (air kapur) kemudian meminta siswa
untuk membuat tabel hasil pengamatan yang berisi kolom nomor, larutan,
perubahan warna kertas lakmus merah, perubahan warna kertas lakmus biru, asam
/ basa /netral, dan menuliskan reaksi ionisasinya.
Pada explanation phase, guru mendorong siswa untuk menjelaskan konsep yang
dipahaminya dengan kata-katanya sendiri, menunjukkan contoh-contoh yang
berhubungan dengan konsep untuk melengkapi penjelasannya. Misalnya : guru
10 berdasarkan pengalaman mereka sehari-hari kemudian meminta siswa
menjelas-kan perubahan warna kertas lakmus merah dan biru setelah dicelupmenjelas-kan ke dalam
air jeruk, air belimbing,dan air asam jawa dengan kata-kata mereka sendiri.
Setelah itu, guru meminta siswa mengelompokkan larutan-larutan yang
mem-punyai perubahan warna kertas lakmus yang sama dengan air jeruk, air belimbing,
dan air asam jawa sehingga siswa dapat melatih keterampilan mengelompokkan
dengan mencari kesamaan, membandingkan dan menentukan dasar penggolongan
terhadap suatu obyek. Kemudian siswa menyimpulkan bahwa larutan-larutan
yang mempunyai sifat yang sama dengan air jeruk, air belimbing, dan air asam
jawa merupakan larutan asam. Dengan demikian, siswa melatih keterampilan
inferensi dengan menjelaskan pengamatan dan menyim-pulkan dari fakta terbatas.
Pada evaluation phase, guru memberi pertanyaan kepada siswa: “Mengapa
larutan HCl, H2SO4 dan CH3COOH tergolong asam menurut Arrhenius?
Mengapa larutan NaOH, NH4OH, dan Ca(OH)2 tergolong basa menurut
Arrhenius?”.
Pada elaboration phase, gurumengarahkan siswa menerapkan konsep-konsep
yang telah dipahami dan keterampilan yang dimiliki. Misalnya: guru memberikan
data hasil pengamatan beberapa larutan yang berbeda dengan larutan yang
diguna-kan pada fase eksplorasi menggunadiguna-kan indikator lakmus kemudian meminta
siswa untuk menyelesaikan masalah atau soal-soal yang berkaitan dengan konsep.
Dengan demikian, siswa semakin terlatih dalam meningkatkan keterampilan
mengelompokkan dan inferensi. Pada evaluation phase, guru meminta siswa
menjelaskan pengertian larutan asam, basa, dan netral berdasarkan perubahan
11 Dengan demikian, siswa semakin terlatih dalam meningkatkan ke-terampilan
mengelompokkan dan inferensi melalui pertanyaan yang diajukan.
Berdasarkan uraian di atas, apabila model pembelajaranLearning Cycle
5Editerapkan pada pembelajaran kimia di kelas akan mampu meningkatkan
keteram- pilan mengelompokkan dan inferensi.
F.Anggapan Dasar
Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah:.
1. Siswa kelas XI IPA SMANegeri I Kotaagung tahun pelajaran 2012/2013 yang
menjadi subyek penelitian mempunyai kemampuan dasar yang sama dalam ke-
terampilan mengelompokkan dan inferensi
2. Perbedaan peningkatan keterampilan mengelompokkan dan inferensi siswa
kelas XI IPA SMA Negeri I Kotaagung tahun pelajaran 2012/ 2013 pada materi
asam basa hanya dipengaruhi oleh pembelajaran yang diterapkan pada
masing-masing kelas.
3. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi peningkatan keterampilan mengelom-
pokkan dan inferensi siswakelas XI IPA SMA Negeri I Kotaagung tahun
pelajaran 2012/ 2013 pada materi asam basa diabaikan.
G.Hipotesis Umum
Hipotesis umum dalam penelitian ini adalah:
Model pembelajaran Learning Cycle 5E pada materi asam basa efektif dalam me-
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas XI IPA SMA Negeri I
Kotaagung Tahun Ajaran 2012-2013 yang berjumlah 98 siswa yang tersebar
dalam 3 kelas yaitu XI IPA 1, XI IPA 2, dan XI IPA 3. Proporsi jumlah siswa
kelas XI SMA Negeri I Kotaagung yang memiliki kemampuan akademik yang
tinggi, sedang maupun kurang dalam tiap kelasnya hampir sama antara salah satu
kelas dengan kelas yang lainnya
Selanjutnya dari populasi diambil dua kelas untuk dijadikan sampel penelitian.
Kelas XI IPA 1 sebagai kelas eksperimen dan kelas XI IPA 2 sebagai kelas
kontrol.
B. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data primer yang bersifat
kuantitatif yaitu berupa data hasil tes keterampilan mengelompokkan dan infe-
rensi sebelum penerapan pembelajaran Learning Cycle 5E (pretest) dan data hasil
tes keterampilan mengelompokkan dan inferensi setelah pembelajaran Learning
Cycle 5E diterapkan (posttest). Data-data yang diperoleh bersumber pada seluruh
C. Metode dan Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen dengan Non
-Equivalence Control Group Design (Creswell, 1997) yaitu desain penelitian yang
menggunakan perbedaan pretest-posttest antara kelas kontrol dan kelas
eksperimen. Urutan kegiatan desain penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3 yaitu:
Tabel 4. Desain penelitian
Kelas Pretest Perlakuan Postest
Kontrol O1 - O2
Eksperimen O1 X O2
Adapun O1 adalah pretest yang diberikan sebelum diberikan perlakuan, O2 adalah
posttest yang diberikan setelah diberikan perlakuan, Xadalah pembelajaran kimia
dengan menggunakan pembelajaran Learning Cycle 5E.
Pengambilan sampel (kelas kontrol dan kelas eksperimen) dilakukan dengan
teknik purposive sampling. Dalam hal ini, guru bidang studi kimia dimintai saran
dalam menentukan dua kelas yang akan dijadikan sampel, karena guru tersebut
memahami karakteristik siswa kelas XI di SMA Negeri I Kotaagung.
Berdasar-kan teknik tersebut diperoleh kelas XI IPA 1 sebagai kelas eksperimen yang
menggunakan model pembelajaran Learning Cycle 5E dan kelas XI IPA 2 sebagai
kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran konvensional. Kedua kelas
D. Variabel Penelitian
Penelitian ini terdiri dari dua variabel bebas dan satu variabel terikat. Variabel
bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran yang menggunakan model
pem-belajaran Learning Cycle 5E dan pempem-belajaran konvensional. Sedangkan vari-
abel terikat dalam penelitian ini adalah keterampilan mengelompokkan dan infe-
rensi pada materi asam basa siswa kelas XI SMA Negeri I Kotaagung.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan adalah
1. Analisis konsep, silabus, RPP, LKS
2. Soal pretest dan posttest yang masing-masing berisi 10 soal pilihan jamak dan 5
soal essay.
Instrumen yang digunakan harus valid agar data yang diperoleh sahih dan dapat
dipercaya. Suatu instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang
diinginkan dan dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat.
Untuk itu, perlu dilakukan pengujian terhadap instrumen yang akan digunakan.
Pengujian instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah validitas isi.
Menurut Arikunto (2005) sebuah tes dikatakan memiliki validitas isi apabila
mengukur tujuan khusus tertentu yang sejajar dengan materi atau isi pelajaran
yang diberikan. Oleh karena materi yang diajarkan tertera dalam kurikulum maka
validitas isi ini sering juga disebut validitas kurikuler.
Pengujian validitas isi ini dilakukan dengan cara judgment. Pengujian dengan
tujuan penelitian, tujuan pengukuran, indikator, dan butir-butir pertanyaan. Bila
antara unsur-unsur itu terdapat kesesuaian, maka dapat dinilai bahwa instrumen
dianggap valid untuk digunakan dalam mengumpulkan data sesuai kepentingan
penelitian yang bersangkutan. Pengujian dengan cara judgment membutuhkan
ketelitian dan keahlian penilai, sehingga pengujian ini dilakukan oleh Dra. Nina
Kadaritna, M.Si dan Dr. Noor Fadiawati, M.Si selaku dosen pembimbing
penelitian.
F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Prosedur yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Observasi pendahuluan
Prosedur pada observasi pendahuluan yaitu:
a. Mengadakan observasi ke sekolah tempat penelitian untuk mendapatkan infor-
masi tentang data siswa, karakteristik siswa, jadwal dan sarana-prasarana yang
ada di sekolah yang dapat digunakan sebagai sarana pendukung pelaksanaan
penelitian.
b. Menentukan pokok bahasan yang akan diteliti berdasarkan karakteristik materi
yang cocok untuk diterapkannya pembelajaran model Learning Cycle 5E.
c. Menentukan dua kelas sebagai kelas sampel.
2. Pelaksanaan penelitian
Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari beberapa tahap, yaitu:
a.Tahap persiapan
Peneliti membuat analisis konsep, silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
b. Tahap pelaksanaan proses pembelajaran.
Pembelajaran dilakukan di 2 kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Prosedur dalam pelaksanaan proses pembelajaran ini yaitu:
1)Melakukan pretest dengan soal-soal yang sama pada kelas eksperimen dan
kelas kontrol.
2)Implementasi pembelajaran Learning Cycle 5E pada kelas eksperimen dan
pembelajaran konvensional pada kelas kontrol;
3)Memberikan posttest dengan soal-soal yang sama pada kelas eksperimen dan
kelas kontrol.
c. Tahap akhir
Tahap akhir dalam peneitian ini adalah mengumpulkan data, menganalisis data,
3. Alur Penelitian
Alur penelitian ini dapat digambarkan dalam bagan berikut:
Gambar 2. Alur Penelitian
G. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh berupa skor pretest dan posttest keterampilan menge-
lompokkan dan inferensi yang selanjutnya diolah menjadi nilai : Observasi Pendahuluan
Kelas eksperimen Kelas kontrol
Validasi instrumen
Rencana pembelajaran Learning Cycle 5E
Pembuatan kisi-kisi butir soal Butir soal tes
Pembelajaran konvensional Learning Cycle 5E
Pretest Pretest
Validasi instrumen Rencana pembelajaran
konvensional
Pembuatan kisi-kisi butir soal Butir soal tes
Posttest Posttest
Analisis data
1. Perhitungan nilai siswa
Nilai pretest dan posttest untuk keterampilan mengelompokkan dan inferensi
dirumuskan sebagai berikut:
100 x maksimal skor
Jumlah
diperoleh yang
skor jumlah siswa
Nilai ... (1)
2. Perhitungan n-Gain
Untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran Learning Cycle 5E pada materi
asam-basa dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan inferensi,
maka dilakukan analisis nilai gain ternormalisasi. Rumus n-Gain menurut Hake
(1999) adalah sebagai berikut:
... (2)
H. Pengujian Hipotesis
1. Uji normalitas
Uji normalitas data dilakukan untuk mengetahui apakah kedua kelompok sampel
berasal dari populasi berdistribusi normal atau tidak. Rumusan hipotesis untuk uji
normalitas adalah:
H0 : sampel berasal dari populasi berdistribusi normal.
H1 : sampel berasal dari populasi berdistribusi tidak normal.
Pengujian normalitas dalam penelitian ini menggunakan uji Chi-Kuadrat berikut
... (3)
dengan kriteria uji: terima H0 jika 2hitung 2tabel dengan taraf nyata 5%
Keterangan:
Oi : frekuensi pengamatan
Ei : frekuensi yang diharapkan
2. Uji homogenitas dua varians
Uji homogenitas dua varians digunakan unuk mengetahui apakah dua kelompok
sampel mempunyai varians yang homogen atau tidak.
H0 = data penelitian mempunyai varians yang homogen.
H1 = data penelitian mempunyai varians yang tidak homogen.
a. Rumusan hipotesis
H0: σ12= σ22 Sampel memiliki varians yang homogen.
H1: σ12≠ σ22 Sampel memiliki varians yang tidak homogen.
Keterangan :
= varians nilai kelompok 1
= varians nilai kelompok 2
b. Rumus statistik yang digunakan adalah uji-F :
Keterangan :
= varians terbesar
= varians terkecil
d. Kriteria uji
Pada taraf 0,05, tolak Ho jika F hitung F ½ ( 1 , 2) dan sebaliknya
(Sudjana, 2005).
3. Uji perbedaan dua rata-rata
Adapun langkah-langkah dalam uji ini sebagai berikut:
a. Merumuskan hipotesis
Merumuskan hipotesis 1 (keterampilan mengelompokkan)
H0: μ1x ≤ μ 2x : Rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan pada materi
asam-basa di kelas eksperimen lebih rendah atau sama dengan
re-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan di kelas kontrol.
H1: μ1x > μ 2x : Rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan pada materi
asam-basa di kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan
rerata n-Gain keterampilan mengelompokkan di kelas kontrol.
Merumuskan hipotesis 2 (keterampilan inferensi)
H0: μ1y ≤ μ 2y : Rata-rata n-Gain keterampilan inferensi pada materi asam-basa di
kelas eksperimen lebih rendah atau sama dengan rerata n-Gain
keterampilan inferensi di kelas kontrol.
H1: μ1y >μ 2y : Rata-rata n-Gain keterampilan inferensi pada materi asam-basa di
kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan rerata n-Gain
Keterangan :
µ1 = Rata-rata n-Gain (x,y) kelas eksperimen
µ2 = Rata-rata n-Gain (x,y) kelas kontrol
x = keterampilan mengelompokkan
y = keterampilan inferensi
b. Menyatakan besar masing-masing sampel yaitu n1= 33 dan n2= 32
Keterangan:
n1 = jumlah siswa kelas eksperimen
n2 = jumlah siswa kelas kontrol
c. Jika kedua varians kelas sampel homogen (σ12= σ22), maka statistik yang
digunakan ialah uji-t berikut (Sudjana, 2005):
2
d. Jika kedua varians kelas sampel tidak homogen (σ12≠ σ22), maka rumus statistik
yang digunakan ialah uji-t’ berikut (Sudjana, 2005):
dengan kriteria pengujian: tolak Ho jika
dan terima Ho jika terjadi sebaliknya
dan
= Rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan/keterampilan inferensi
kelas eksperimen
= Rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan/keterampilan inferensi
kelas kontrol
= Simpangan baku gabungan
i
x = n-Gain kelas kontrol/eksperimen
= Jumlah sampel kelas eksperimen
= Jumlah sampel kelas kontrol
= Jumlah sampel kelas eksperimen/kontrol
2 1
s = Varians kelas eksperimen
2 2
s = Varians kelas kontrol
2 i
s = Varians kelas eksperimen/kontrol
dengan kriteria pengujian tolak Ho jika
2
1
e. Mencari harga t tabel pada tabel distribusi t dengan level signifikan 0,05 dan
2
1 , sedangkan level signifikan 0,05 dan dk
masing-masing n1-1dan n2-1untuk
2 2 2
1 .
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data, pengujian hipotesis, dan pembahasan, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Model pembelajaran Learning Cycle 5E pada materi asam basa efektif dalam
meningkatkan keterampilan mengelompokkan karena pada fase penjelasan,
siswa dilatih untuk menentukan perbedaan, mengontraskan ciri-ciri, mencari
kesamaan, membandingkan dan menentukan dasar penggolongan terhadap
suatu obyek berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada exploration phase
diperkuat pada elaboration phase dan evaluation phase.
2. Model pembelajaran Learning Cycle 5E pada materi asam basa efektif dalam
meningkatkan keterampilan inferensi karena pada explanation phase siswa di-
latih untuk menjelaskan pengamatan dan menyimpulkan dari fakta terbatas dari
percobaan yang dilakukan pada exploration phase diperkuat pada elaboration
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disarankan bahwa:
1. Model pembelajaran Learning Cycle 5E hendaknya diterapkan dalam pem-
belajaran kimia, terutama pada materi asam basa karena terbukti efektif dalam
meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan inferensi.
2. Guru dan calon peneliti hendaknya memperhatikan serta mempersiapkan alat
dan bahan praktikum agar setiap fase dalam model pembelajaran Learning
Cycle 5E terutama pada exploration phase dapat diterapkan dengan maksimal.
3. Guru dan calon peneliti lebih memperhatikan pembagian waktu dalam proses
pembelajaran terutama pada exploration phase dan explanation phase yang
membutuhkan waktu yang lebih lama, agar seluruh fase pada model Learning
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2005. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Bina Aksara. Jakarta.
Bybee, R. W. 1997. Achieving Scientific Literacy from Purposes to Practices. Heinemann. Portsmouth.
Creswell, J. W. 1997. Research Design Qualitative and Quantitative Approaches. Sage Publications. London
Dasna, I. W. 2005. Kajian Implementasi Model Siklus Belajar (Learning Cycle) dalam Pembelajaran Kimia. Makalah Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya. FMIPA UM-Dirjen Dikti Depdiknas. 5 September 2005.
Depdiknas. 2003. Pedoman Khusus Pengembangan Silabus & Penilaian Mata Pelajaran Kimia. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta.
Esler, W.K. dan Esler, M.K. 1996. Teaching Elementary Cience. Wadsworth. California.
Fadiawati, N. 2011. Perkembangan Konsepsi Pembelajaran Tentang Struktur Atom Dari SMA Hingga Perguruan Tinggi. Disertasi. Tidak diterbitkan. Bandung.
Fajaroh, F dan I.W Dasna. 2003. Penggunaan Model Pembelajaran Learning Cycle untuk Meningkatkan Motivasi Belajar dan Hasil Belajar Kimia Zat Aditif dalam Bahan Makanan pada Siswa Kelas II SMU Negeri 1 Tumpang – Malang. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Vol 11 (2) Oktober 2004
Fajaroh, F dan I.W Dasna. 2007. Pembelajaran dengan Model Siklus Belajar (Learning Cycle). Online. Tersedia di: http://lubisgrafura.wordpress.com /2007/09/20/pembelajaran-dengan-model-siklus-belajar-learning-cycle. Tanggal akses : 10 Februari 2013
Hake, R. R. 1999. Analyzing Change / Gain Scores. [online]. Tersedia :
http://lists.asu.edu/cgi-bin/wa?A2=ind9903&L=area-d&&P=R6855.
Diakses pukul 04.05 pm tanggal 23 Februari 2012Heuvelen, V. and Zou. X.L. 2001. Multiple Representations of Work-energy Processes. American Journal of Physics. 69, No 2. p 184.
Hartono. 2007. Profil Keterampilan Proses Sains Mahasiswa Program
Pendidikan Jarak Jauh SI PGSD Universitas Sriwijaya. Seminar Proceeding of The International Seminar of Science Education, 27 Oktober 2007. Bandung
Hegerhahn, B.R dan Mattew H.O. 2008. Theories of Learning (Teori Belajar). Kencana. Jakarta.
Hirawan, I.K.A. 2009.Model Siklus Belajar (Learning Cycle).Online. Tersedia di:
http://16315603-Model-Siklus-Belajar. Tanggal Akses : 10 Februari 2013
Liliasari. 2007. Scientific Concepts and Generic Science Skills Relationship In The 21st Century Science Education. Seminar Proceeding of The First International Seminar of Science Education., 27 October 2007. Bandung.
Lorsbach, A. W. 2002. The Learning Cycle as A tool for Planning Science Instrumen. Online. Tersedia di: http: //www.coe.ilstu. edu/scienceed/ lorsbach/25/lrcy.html. Tanggal Akses : 12 Februari 2013.
Nugraheni, L.S. 2012. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle (5E) terhadap Keterampilan Proses Sains Biologi Siswa Kelas X SMA Al Islam I Surakarta . Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Pandini , D.E.Y . 2011. Analisis Keterampilan Proses Sains Siswa SMA Kelas XI pada Materi Hidrolisis Garam dengan Metode Praktikum dan Model Learning Cycle 5E . Skripsi.Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI. Bandung.
Rustaman, N. 2005. Strategi Belajar Mengajar Biologi. Universitas Malang. Malang.
Sanjaya, W. 2007. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Kencana Perdana Media Group. Jakarta.
Sardiman. 2007. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Rajawali Pers. Jakarta.
Semiawan, C. 1992. Pendidikan Keterampilan Proses. Gramedia. Jakarta.
Slavin, R.E. 2008. Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik. PT. Indeks. Jakarta.
, N. 2005. Metode Statistika Edisi Keenam. PT. Tarsito. Bandung.