• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Dan Makna Upacara “Manyue” Pada Suku Hokkian Di Kota Medan 棉兰福建裔华人满月礼的仪式形式及含义 (Mián lán fújiàn yì huárén mǎnyuè lì de xíngshì jí hányì)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Struktur Dan Makna Upacara “Manyue” Pada Suku Hokkian Di Kota Medan 棉兰福建裔华人满月礼的仪式形式及含义 (Mián lán fújiàn yì huárén mǎnyuè lì de xíngshì jí hányì)"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

STRUKTUR DAN MAKNA UPACARA

͞

MANYUE

͟

PADA

SUKU HOKKIAN DI KOTA MEDAN

棉兰福建裔华人满月礼的仪式形式及含义

( Mián lán fújiàn yì

huárén mǎnyuè lì de xíngshì jí hányì

)

SKRIPSI

OLEH :

ROTUA YATI SIAGIAN

NIM : 100710042

PROGRAM STUDI SASTRA CINA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

STRUKTUR DAN MAKNA UPACARA ͞MANYUE͟ PADA SUKU HOKKIAN DI KOTA MEDAN

棉 兰福建裔 华人满 月礼的仪 式形式 及含义 ( Mián lán fújiàn yì huárén

mǎnyuè lì de xíngshì jí hányì )

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu Budaya Sastra Cina.

Oleh:

Rotua Yati Siagian NIM : 100710042

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dra. Junita Setiana Ginting, M.Si Sheyra Silvia Siregar, S.S, MTSCOL NIP.196709081993032002

PROGRAM STUDI SASTRA CINA

(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015

Disetujui oleh

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Program Studi Sastra Cina Ketua,

(4)

PENGESAHAN

Diterima oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra dalam Bidang Ilmu Sastra Cina pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Pada : Tanggal : Hari :

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Dekan

Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP. 19511013 197603 1 001 Panitia Ujian

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya

yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan

tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat

yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis

diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan

yang saya buat ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa

pembatalan gelar sarjana yang pernah saya peroleh.

Medan, Januari 2015

Penulis

Rotua Yati Siagian

(6)

ABSTRACT

The title of this paper is “Struktur dan Makna Upacara “Manyue” Pada Suku Hokkian di Kota Medan”. The purpose of this paper is to determine the structure and meaning of each stages Manyue. This research is based on ceremonial

Manyue happens to the Hokkien in Medan. The methodology used in this

paper is descriptive analysis. The theory is used to analyze the topic is generic or schematic structure and semiotics that is used to determine the structure at a ceremony on the Hokkien Manyue in Medan. The result show that the structure contained on ceremonial Manyue consists of seven stages and mutually sustaining meaning.The seven stages are: the ceremony of homage to God, tribute

to ancestors, baby naming ceremony, a ceremony introducing the baby to your family andguests, the ceremony of cutting hair ceremony to pray for the baby, and last rites of eating together and the giving of gifts.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang diberikan judul “Struktur dan Makna Upacara “Manyue” Pada Suku Hokkian di Kota Medan”.

Skripsi ini ditulis sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Budaya, sepanjang penulisan skripsi tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang telah memberikan dukungan, semangat, materi, waktu, bimbingan dan doa kepada penulis. Oleh karena itu saya ingin menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

banyak membantu saya memberikan masukan, kritik dan meluangkan

waktunya selama menulis skripsi.

5. Bapak Peng Pai, M.A, dan Laoshi Sheyra Silvia Siregar, S.S, MTSCOL

selaku dosen pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu,

memberikan banyak masukan, kritikan, dan semangat kepada saya selama

menulis skripsi Mandarin.

6. Hormat dan sembah sujud penulis yang tidak terhingga kepada Ayahanda

Mardongan Siagian dan Ibunda tercinta Maslina Sitompul yang telah

membesarkan saya, mendidik, memberikan doa, nasehat, semangat, kasih

(8)

Jalribes Siagian, Martini Siagian, Oksvi Yen Siagian dan si bungsu keluarga

Edi Son Siagian yang selalu memberikan dukungan, doa dan semangat kepada

saya.

7. Kepada keluarga saya Bou Roma, Bou Inur, Uda Sabar dan keluarga Opung

S.Siagian/br.Napitupulu dan Keluarga Opung A.Sitompul/br.Simamora yang

memberi saya motivasi dan dukungan baik doa, materi dan dukungan dalam

penulisan skripsi ini.

8. Kepada Sahabat terkasih saya Dolin Kristian Simangunsong, ST yang selalu

memberikan dukungan, doa, semangat dan selalu meluangkan waktu disaat

suka dan duka selama penulisan skripsi ini.

9. Kepada sahabat-sahabat terbaik saya, Ade Danu, Zuraida Yamin, Paska

Apriani telah memberikan kenangan selama kuliah dan yang selalu

mendukung, memberikan semangat dan berbagi canda tawa.

10.Kepada teman-teman stambuk 2010: Jems, Amel, Putri, Donna, Anggel,

Monic, Joy, Devi (Acen), Grace, Bernard, Mangiring, Anas, Rudi, Febby,

Anisa, Jesica, Sindy, Romel, Ivo, Patricia dan teman-teman lainnya yang

mengisi kenangan masa perkuliahan selama 4 tahun dan juga berjuang dalam

menyelesaikan skripsi.

11.Kepada Kak Endang terima kasih sudah banyak membantu baik memberi

informasi, menyusun berkas dan doanya. Terima kasih buat candaanya selama

di kantor admin jurusan.

12.Kak Sheyla, Kak Vivi, Kak Chacha, Abang Kasa, Abang Roni Sagala, Abang

(9)

Kak Eirene, dan seluruh Senior 2007, 2008, 2009 yang tidak dapat saya

sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu untuk mengunduh jurnal

dan memberikan masukan serta motivasi kepada saya.

13.Kepada seluruh adik-adik stambuk 2012, 2013 dan 2014 yang tidak dapat saya

sebutkan satu persatu.

14.Kepada seluruh para informan dan pihak Keluruhan Sei Putih Timur yang

telah membantu saya dalam melengkapi data-data skripsi saya.

Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi yang

disajikan ini sangat jauh dari sempurna karena masih terdapat banyak kekurangan

dalam penulisan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran

yang membangun skripsi ini.

Akhir kata, sekali lagi saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh

pihak yang telah membantu. Demikianlah ucapan terima kasih ini saya sampaikan,

semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan rahmat-Nya kepada kita semua.

(10)

DAFTAR ISI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka ………..………...…..…. 9 3.1 Metode Penelitian Deskriptif Kualitatif ………... 21

3.2 Data dan Sumber Data ....……….…………... 22

3.3 Teknik Pengumpulan Data ……….…………... 23

3.3.1 Studi Kepustakaan (Library Research) ………... 24

3.3.2 Observasi ...………...… 24

3.3.3 Wawancara ...……….………... 25

3.4 Lokasi Penelitian ...……….………...… 26

3.5 Teknik Pengolahan Data ………...………... 27

3.6 Teknik Analisis Data ……….……….. 27

(11)

4.1.1 Upacara Penghomatan Kepada Tuhan atau Sang Pencipta ... 30

4.1.2 Upacara Penghormatan leluhur atau Orang tua ... 33

4.1.3 Upacara Pemberian Nama Sang Bayi ... 34

4.1.4 Upacara Memperkenalkan Sang Bayi ... 41

4.1.5 Upacara Pemotongan Rambut Sang Bayi ... 42

4.1.6 Upacara Mendoakan Sang Bayi ... 45

4.1.7 Upacara Makan Bersama, Pemberian Hadiah dan Pemberian Telur Merah ... 46

4.2 Makna Dari Struktur Upacara “Manyue” Pada Suku Hokkian di Kota Medan ... 48

4.2.1 Makna Upacara Penghormatan Kepada Tuhan atau Sang Pencipta ... 48

4.2.2 Makna Upacara Penghormatan Kepada Leluhur dan Orang tua ... 48

4.2.3 Makna Upacara Pemberian Nama Sang Bayi ... 49

4.2.4 Makna Upacara Memperkenalkan Sang Bayi ... 50

4.2.5 Makna Pemotongan Rambut Sang Bayi ... 51

4.2.6 Makna Upacara Mendoakan Sang Bayi ... 52

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 ... 28

Gambar 4.1 ……… 30

Gambar 4.2 ……… 31

Gambar 4.3 ……… 31

Gambar 4.4 ……… 32

Gambar 4.5 ……… 32

Gambar 4.6 ……… 42

Gambar 4.7 ………. 43

Gambar 4.8 ………. 43

Gambar 4.9 ………. 44

Gambar 4.10 ………. 44

Gambar 4.11 ………. 45

Gambar 4.12 ……… 47

(13)

ABSTRACT

The title of this paper is “Struktur dan Makna Upacara “Manyue” Pada Suku Hokkian di Kota Medan”. The purpose of this paper is to determine the structure and meaning of each stages Manyue. This research is based on ceremonial

Manyue happens to the Hokkien in Medan. The methodology used in this

paper is descriptive analysis. The theory is used to analyze the topic is generic or schematic structure and semiotics that is used to determine the structure at a ceremony on the Hokkien Manyue in Medan. The result show that the structure contained on ceremonial Manyue consists of seven stages and mutually sustaining meaning.The seven stages are: the ceremony of homage to God, tribute

to ancestors, baby naming ceremony, a ceremony introducing the baby to your family andguests, the ceremony of cutting hair ceremony to pray for the baby, and last rites of eating together and the giving of gifts.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman budaya dan suku

bangsa. Masing-masing dari suku bangsa tersebut memiliki tradisi atau

kebudayaan yang berbeda-beda. Koentjaranigrat (2009:144) mendefenisikan

budaya merupakan “...keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya

manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia

dengan cara belajar”.

Setiap suku bangsa yang ada di Indonesia mempunyai kebudayaan yang

berbeda dengan kebudayaan lain, namun mempunyai unsur yang sama. Seperti

yang dipaparkan Tylor dalam Poerwanto (2000:52); “kebudayaan adalah

keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum,

moral, adat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia

sebagai anggota masyarakat”. Setiap suku bangsa tentu memiliki ciri khasnya

masing-masing dalam mewujudkan kebudayaan. Suatu suku bangsa dapat

menampilkan ciri khas yang dapat dilihat oleh orang luar yang bukan suku bangsa

itu sendiri. Ciri khas dalam suatu kebudayaan dapat dilihat karena kebudayaan itu

menghasilkan sesuatu unsur kebudayaan yang khusus misalnya dari segi bahasa,

adat istiadat, ataupun upacara kebudayaan yang dimilikinya

Salah satu peninggalan budaya Tiongkok adalah budaya upacara kelahiran.

(15)

“lahir”yang berarti keluar dari kandungan atau muncul kedunia dan merupakan

proses akhir dari suatu kehamilan”. Kelahiran dianggap sebagai suatu peristiwa

yang penting dan berharga dalam kehidupan manusia karena kelahiran merupakan

awal kehidupan seseorang yang muncul kedunia ini. Seorang ibu berjuang agar

dapat melahirkan seorang anak dengan penuh kasih sayang serta kebahagian. Oleh

karena itu upacara kelahiran dilaksanakan atas rasa syukur terhadap Sang Pencipta

dan berhubungan dengan kekerabatan. Di Tiongkok upacara kelahiran disebut

dengan upacara “Manyue” yang artinya bulan purnama dan dilakukan ketika usia

bayi genap satu bulan . Menurut Kamus Besar Tionghoa-Indonesia (2010:204) ,

“Man” artinya penuh : berisi dan “Yue” artinya bulan. Upacara kelahiran atau

“Manyue” sering disebut juga dengan upacara pemberian telur merah. Telur yang

melambangkan suatu tahapan kehidupan yang baru, sedangkan warna merah

melambangkan perayaan dan keberuntungan. Bentuk telur yang oval

melambangkan harmoni dan kesatuan. Jadi telur merah menandakan kebahagian

dan permulaan hidup yang baru dengan hadirnya seorang bayi.

Menurut masyarakat Etnis Tionghoa pada zaman dahulu di Tiongkok

tingkat kematian bayi sangat tinggi karena ilmu pengobatan belum terlalu maju

seperti sekarang ini. Jika seorang bayi mampu bertahan hingga berusia satu bulan

maka kemungkina besar dapat bertahan hidup sampai dewasa, maka dari itu

dirayakanlah perayaan “Manyue” yang dimaknai sebagai perayaan rasa syukur

yang dipanjatkan kepada para dewa dan para leluhur karena telah melindungi sang

bayi. Budaya Tiongkok menganut garis patrilineal yaitu garis lurus keturunan

(16)

dari itu peran anak laki-laki sangat penting dalam tradisi Tionghoa. Upacara

“Manyue” kadang-kadang hanya dirayakan kepada bayi laki-laki saja, atau

perayaan buat bayi laki-laki lebih meriah dibanding bayi perempuan. Akan tetapi

sekarang pesta “Manyue” dirayakan untuk bayi laki-laki maupun bayi

perempuan.

Bukan hanya bayi, sang ibu yang telah melahirkan pun perlu diperhatikan.

Seorang ibu yang selesai melahirkan tentu akan menjalani masa nifas. Masa nifas

adalah masa dimana ibu beristirahat selama satu bulan tanpa keluar rumah. Pada

saat masa nifas sang ibu dan sang bayi dirawat oleh salah seorang perawat atau

yang biasa disebut dengan ibu angkat. Ibu angkat bertugas merawat sang bayi dan

ibunya sampai masa nifasnya selesai dan membantu sang ibu untuk menjaga dan

merawat sang bayi. Selain itu ibu angkat bertugas memasakkan makanan yang

membantu sang ibu agar kembali sehat dengan memasak makanan yang

menghangatkan sang ibu. Ini dimaksudkan agar sang ibu dapat kuat menjalankan

upacara “Manyue”. Suku Hokkian percaya bahwa kondisi seorang ibu paling

lemah selama hidupnya adalah ketika seorang ibu melahirkan. Hal ini

dimaksudkan agar ibu yang selesai melahirkan tidak jatuh kedalam kondisi yang

(17)

sebagai upacara rasa syukur atas karunia yang telah diberikan yaitu mendapatkan

anak dari Sang Pencipta. Etnis Tionghoa di Kota Medan masih tetap melakukan

tradisi ini. Akan tetapi tidak semua Etnis Tionghoa yang menetap di Kota Medan

melakukan sepenuhnya seperti halnya di tanah leluhurnya. Suku Hokkian adalah

salah satu yang masih berupaya melakukan dengan tata aturan upacara yang

hampir sama dengan leluhurnya, walaupun telah juga terjadi beberapa perubahan

Di dalam upacara tentu saja memiliki struktur. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia (2007:563) struktur dapat diartikan sebagai; “susunan antara

seluruh bagian-bagian dari sesuatu”. Struktur juga dapat diartikan sebagai susunan

yang saling berhubungan antara satu bagian dengan bagian lainnya sehingga

membentuk satu kesatuan yang utuh dan makna adalah arti. Menurut Boediono

dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2009:348) “makna adalah arti atau

maksud yang penting didalamnya” Setiap suku bangsa tentu memiliki ciri

khasnya masing-masing dalam mewujudkan kebudayaan. Pada Suku Hokkian di

Kota Medan upacara “Manyue” masih kental dengan tata cara budayanya

walaupun pada Suku Hokkian sistem kepercayaan sudah dipegang namun

unsur-unsur, struktur dan makna pada upacara “Manyue” masih dipertahankan.

Struktur upacara “Manyue” pada Suku Hokkian adalah berupa tahapan

yang terdiri atas penghormatan kepada Tuhan atau Sang Pencipta, penghormatan

kepada leluhur, pemberian nama bayi, upacara pemotongan rambut bayi, doa,

makan bersama, pemberian hadiah dan telur merah. Di Tiongkok struktur upacara

“Manyue” hampir sama dengan Suku Hokkian hanya yang membedakan dalam

(18)

emas kepada bayi yang dijadikan sebagai pelindung bayi. Selain Struktur terdapat

juga makna dari setiap struktur atau tahapan dari upacara “Manyue”,

Alasan peneliti memilih struktur dan makna pada penelitian ini

dikarenakan peneliti ingin mengetahui struktur dan makna upacara “Manyue”

berlangsung. Peneliti ingin secara langsung mengetahui tahapan dan makna setiap

tahapan upacara “Manyue” bagi orang tua yang baru memiliki anak dan

melaksanakan upacara “Manyue”. Peneliti memilih Suku Hokkian karena Suku

Hokkian adalah suku dengan jumlah terbesar di Kota Medan dan diluar tanah

leluhurnya serta telah menetap di Indonesia. Akan Tetapi mereka masih

mempertahankan dan menjaga warisan budaya mereka. Selain itu Suku Hokkian

dalam Upacara “Manyue” masih mempertahankan struktur upacaranya. Menurut

data dan narasumber pada struktur upacara “Manyue” Suku Hokkian merupakan

suku asli orang Tiongkok yang mampu mempertahankan setiap tahapan-tahapan

upacara “Manyue” di Tiongkok dengan upacara “Manyue” yang ada pada Suku

Hokkian sekalipun Suku Hokkian sudah beralkuturasi dengan budaya lain.

Peneliti juga memilih penelitian ini dikarena peneliti sedang mempelajari bahasa

dan budaya Tionghoa, sehingga peneliti lebih tertarik lagi untuk mengetahui

struktur atau tahapan yang dilakukan pada upacara kelahiran “Manyue” .

Peneliti memilih lokasi penelitian di Kota Medan untuk memberikan

pengetahuan kepada masyarakat bahwa Suku Hokkian dengan kepercayaan

kepada leluhur yang tinggi mampu mempertahankan upacara kelahiran “Manyue”

tetap terjaga ditengah berbagai etnis yang berada di Kota Medan. Sesuai dengan

(19)

tertarik untuk meneliti mengenai “ Struktur dan Makna Upacara “Man Yue” Pada

Suku Hokkian di Kota Medan “.

1.2Batasan Masalah

Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas sehingga dapat

mengaburkan penelitian, maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian

dengan memfokuskan penelitian terhadap struktur atau tahapan upacara “Man

Yue” pada Suku Hokkian di Kota Medan dari tahapan awal sampai akhir. Peneliti

juga ingin mengetahui makna dari setiap tahapan dari upacara kelahiran “Manyue”

tersebut.

1.3Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan usaha untuk mengarahkan peneliti pada

permasalahan yang lebih fokus. Berdasarkan latar belakang yang telah penulis

kemukaan diatas, beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini,

yaitu :

1. Bagaimana struktur upacara kelahiran “Manyue” pada Suku Hokkian

di Kota Medan ?

2. Apa makna setiap tahapan dari struktur upacara adat kelahiran

“Manyue” pada Suku Hokkian di Kota Medan?

1.4Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah penelitian yang telah diuraikan terlebih dahulu,

(20)

1. Menjelaskan struktur upacara “Manyue” pada Suku Hokkian di Kota

Medan

2. Menjelaskan makna dari tahapan dari struktur upacara yang ada dalam

upacara adat kelahiran “Manyue” pada Suku Hokkian di Kota Medan

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini juga diharapkan dapat memberi manfaat

sebagai berikut :

1. Dapat menambah wawasan dan pemahaman tentang Upacara

“Manyue” pada Suku Hokkian secara umum.

2. Mengetahui struktur dan makna Upacara “Manyue” yang dilakukan

Suku Hokkian saat ini khususnya di Kota Medan

3. Untuk memberikan informasi bagi pemerhati budaya dan generasi

muda agar lebih menghargai dan melestarikan budaya leluhurnya

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini untuk memberi pengetahuan dan

inspirasi tentang struktur dan makna Upacara “Manyue” pada Suku Hokkian di

Kota Medan kepada mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya khususnya Program Studi

Sastra Cina. Hal ini juga sebagai bahan perbandingan dalam kajian budaya

(21)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan daftar referensi dari semua karya tulis seperti

buku, skripsi, jurnal, tesis dan karya ilmiah lainnya yang dikutip di dalam

penulisan proposal ini.

Batu Sungkar dalam jurnal yang berjudul Upacara Masa Kelahiran di

daerah Betawi. 2010. Jurnal ini memaparkan tentang upacara adat kelahiran di

daerah Betawi yang diatur oleh sistem ritual keagamaan. Karya tulis ini

membantu peneliti untuk mengetahui bagaimana tata cara upacara adat kelahiran

yang terdapat di Etnis Betawi dan membandingkannya dengan tata cara upacara

Etnis Tionghoa khususnya pada Suku Hokkian.

Fu Chunjiang dalam buku yang berjudul Origins of Chinese Name.

Terjemahan: (Elia Chun). Asal Usul tentang Adat Buat Nama. 2013. Buku ini

menjelaskan tentang adat pembuatan nama pada Etnis Tionghoa dimana upacara

dilakukan untuk mengenal tata cara serta peralatan yang digunakan dalam upacara

kelahiran dan pembuatan nama sang bayi. Buku ini banyak membantu memberi

bahan penelitian mengenai cara pembuatan nama dalam budaya masyarakat

Tionghoa.

Periksa Ginting dalam jurnal yang berjudul Ma Gwe-Dilakukan Untuk

(22)

disediakan dalam upacara kelahiran “Manyue” dan tujuan membuat acara Ma

Gwe yang dikuti dengan pemberian bingkisan itu yakni selain memanjatkan doa

agar anak tersebut diberikan keselamatan, kemakmuran serta kejayaan. Hal ini

juga sebagai pemberitahuan kepada sanak saudara dan tetangga dekat bahwa di

keluarga yang bersangkutan telah lahir seorang anak. Jurnal ini memberikan

informasi yang mendalam mengenai upacara “Manyue” dan bingkisan yang

diberikan kepada para tamu dan dapat berguna bagi peneliti sebagai dasar dalam

penelitian ini.

Koentjranigrat dalam buku yang berjudul Manusia dan Kebudayaan di

Indonesia. 2004. Menjelaskan tentang sejarah dan demografi masyarakat

Tionghoa. Buku ini memberi penulis wawasan mengenai data demografi

masyarakat, sistem sosial dan kemasyarakataan serta budaya masyarakat

Tionghoa di Indonesia secara umum sehingga dapat dilakukan acuan tentang

sistem kemasyarakatan pada masyarakat Tionghoa di Kota Medan.

Li Xiao Xiang dalam buku yang berjudul Asal Mula Budaya dan Bangsa

Tionghoa. 2003. Menjelaskan makna dari Upacara”Manyue” yang dilakukan

pada saat bayi berusia 30 hari dan makanan serta peralatan apa yang digunakan

pada saat upacara tersebut berlangsung. Tulisan ini memberikan masukkan

terhadap peneliti tentang Upacara“Manyue” dan makanan yang di hidangkan saat

(23)

2.2 Konsep

Konsep adalah suatu abstraksi untuk menggambarkan ciri-ciri umum

sekelompok objek, peristiwa atau fenomena lainnya. Konsep merupakan peta

perencanaan untuk masa depan sehingga bisa dijadikan pedoman dalam penelitian.

Konsep biasanya untuk mendekripsikan dunia empiris yang diamati oleh peneliti

yang merupakan gejala sosial tertentu yang sifatnya abstrak. Untuk memahami

hal-hal yang ada dalam penelitian ini perlu dipaparkan beberapa konsep, yaitu:

2.2.1 Kebudayaan

Kebudayaan adalah ciptaan manusia yang dapat muncul, berkembang dan

hilang. Manusia adalah penghasil kebudayaan, dan kebudayaan sendiri

mempengaruhi pembentukkan watak seseorang. Widyasusanto (1996:15)

mendefenisikan kebudayaan adalah “suatu kompleks yang meliputi pengetahuan,

kepercayaan, keilmuan, hokum, moral, kesenian, adat istiadat dan kemampuan

yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat”.

Dari defenisi diatas dapat diperoleh pengertian kebudayaan adalah sesuatu

yang akan wmempengaruhi tingkat pengetahuan yang meliputi ide atau gagasan

yang terdapat dalam pikiran manusia. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari

kebudayaan itu bersifat abstrak. Kebudayaan juga memiliki ciri-ciri sehingga

dapat dengan mudah dikenali. Menurut Maran (2009:49-50) ciri-ciri kebudayaan

sebagai berikut:

(24)

kebudayaan. (2) Kebudayaan selalu bersifat sosial artinya kebudayaan tidak pernah dihasilkan secara bersama. Kebudayaan adalah suatu karya bersama bukan karya perorang. (3) Kebudayaan diteruskan lewat proses belajar. Artinya kebudayaan itu diwariskan dari generasi yang satu ke generasi yang lainnya melalui proses belajar. (4) Kebudayaan bersifat simbolik, sebab kebudayaan merupakan ekspresi, ungkapan kehadiran manusia. Kebudayaan disebut simbolik, sebab mengekspresikan manusia dan segala upayanya untuk mewujudkan dirinya. (5) Kebudayaan adalah sistem pemenuhan berbagai kebutuhan manusia. Manusia memenuhi segala keburuhannya dengan cara-cara beradab dengan cara-cara yang manusiawi”.

2.2.2 Struktur

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007) struktur diartikan sebagai

susunan antara seluruh bagian-bagian dari sesuatu. Struktur juga dapat diartikan

sebagai susunan yang saling berhubungan antara satu bagian dengan bagian

lainnya sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh. Istilah struktur berasal dari

kata structum (bahasa Latin) yang berarti menyusun. Struktur adalah pola

hubungan antara manusia dan kelompok manusia. Dengan demikian sebuah

struktur dapat kita lihat dalam kehidupan sosial masyarakat yang sering disebut

struktur sosial.

Komblum (1988) menyatakan “Struktur sosial sebagai pola perilaku berulang

-ulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok

masyarakat”. Hubungan terjadi ketika manusia memasuki pola interaksi yang

relatif stabil dan berkesinambungan atau saling ketergantungan yang

menguntungkan. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa struktur upacara

(25)

sebuah upacara kelahiran yang tersusun rapi dan telah disepakati oleh seluruh

masyarakat. Pada penelitian ini struktur yang akan diteliti adalah struktur atau

tahapan-tahapan yang terjadi pada upacara”Manyue” pada Suku Hokkian di Kota

Medan.

2.2.3 Makna

Menurut Boediono dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2009:348)

“makna adalah arti atau maksud yang penting didalamnya”. Menurut Mansoer

Pateda, (2001:82) mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna

dengan pengertian. Makna adalah sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki

atau terdapat pada suatu tanda atau simbol (Saussure,1994:286). Segala sesuatu

yang melekat dari apa yang kita tuturkan disebut makna. Makna memiliki tiga

tingkat keberadaan, yakni:

1. makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan

2. makna menjadi isi dari suatu kebahasaan

3. makna menjadi isi komunikasi yang mampu membuahkan isi

komunikasi yang mampu membuahkan informasi tertentu

2.2.4 Upacara

Upacara adalah rangkaian tindakan/perbuatan yang terikat kepada

aturan-aturan tertentu menurut adat/agama. Upacara juga dapat diartikan sebagai

perbuatan/perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubung dengan peristiwa

(26)

Istilah upacara selalu dikaitkan dengan budaya menjadi upacara budaya.

Budaya atau kebudayaan adalah keseluruhaan yang kompleks, yang didalamnya

terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat

dan kemampuan lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota

masyarakat.

Menurut Koentjaranigrat (1990:190) pengertian upacara ritual atau

ceremony adalah:

“Sistem aktifitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat/hukum yang

berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam

peristiwa yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan”. Jadi

upacara adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan

tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan. Upacara pada

dasarnya merupakan bentuk perilaku masyarakat yang menunjukkan

kesadaran terhadap masa lalunya. Masyarakat menjelaskan tentang masa

lalunya melalui upacara. Melalui upacara, kita dapat melacak tentang asal

usul baik itu tempat, tokoh, sesuatu benda, kejadian alam, dan lain-lain”.

2.2.5 Manyue

Menurut Kamus Besar Tionghoa-Indonesia (2010:204) , “Man” artinya

penuh : berisi dan “Yue” artinya bulan. Upacara ”Manyue” merupakan upacara

budaya yang berasal dari Tiongkok dan dilakukan ketika usia bayi mencapai satu

bulan atau tepatnya 30 hari saat bayi dilahirkan. Upacara adat kelahiran atau

(27)

melambangkan suatu tahapan kehidupan yang baru, sedangkan warna merah

melambangkan perayaan dan keberuntungan. Bentuk telur yang oval

melambangkan harmoni dan kesatuan. Jadi telur merah menandakan kebahagian

dan permulaan hidup yang baru dengan hadirnya seorang bayi ditengah-tengah

keluarga.

Pada zaman dahulu kematian bayi di Negara Tiongkok sangat tinggi

karena ilmu pengobatan belum maju seperti sekarang ini. Seorang bayi mampu

bertahan hingga berusia satu bulan kemungkinan besar dapat bertahan hidup

sampai dewasa, maka dari itu dirayakanlah perayaan “Manyue”. Lalu peran anak

laki-laki sangat penting dalam tradisi Etnis Tionghoa, maka dari itu pada zaman

dahulu Upacara “Manyue” hanya dirayakan kepada bayi laki-laki saja atau

perayaan buat bayi laki-laki lebih meriah dibanding bayi perempuan. Tetapi

sekarang pesta “Manyue” dirayakan untuk bayi laki-laki maupun bayi

perempuan. Ini di karenakan di Tiongkok masih menganut sistem garis patrilineal.

Akan tetapi seiring zaman yang berkembang cara pandang dan berpikir dalam

keluarga Etnis Tionghoa khususnya Suku Hokkian mulai terbuka dengan tidak

membedakan-bedakan upacara “Manyue”.

2.2.6 Suku Hokkian

Kelompok etnis atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang

anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya

berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama (Team Penyusun Besar Bahasa

Indonesia, 2007:579). Identitas suku ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan

(28)

dan ciri-ciri biologis. Begitu juga dengan Etnis Tionghoa di Indonesia telah

banyak yang bergaul dengan penduduk asli Indonesia namun sebagian dari

penduduk Indonesia belum mengetahui dan mengenal penduduk etnis Tionghoa

itu secara mendalam.

Seperti yang dilansir dari salah satu situs berita online

www.wisata.kompasiana.com (27/01/2014 pukul 13.09 WIB) menjelaskan:

“… Cerita tentang perdagangan Kota Medan, tidak terlepas dari datangnya para penjelajah dari berbagai negeri. Mulai dari kedatangan kaum kuli, pedagang, hingga penyebar agama, dan kelompok penjajah. Salah satunya adalah kaum pendatang dari negeri Tiongkok. Riwayat perjalanan mereka menyeberangi lautan diceritakan dalam berbagai literature sejarah. Termasuk prasasti dari kerajaan Sriwijaya. Jejak peradaban mereka terangkum dalam berbagai warisan kebudayaan. Seperti di daerah Medan Labuhan ini”.

Para leluhur Etnis Tionghoa di Indonesia migrasi secara bergelombang sejak

ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perdagangan. Setiap imigran yang datang

ke Indonesia akan membawa kebudayaan suku bangsanya masing-masing. Begitu

juga dengan para etnis Tionghoa yang memiliki kebudayaan tersendiri, misalnya :

budaya kelahiran atau “Manyue”, budaya perkawinan, budaya kematian, Imlek,

Cap Gomeh dan lain-lainnya.

Etnis Tionghoa yang berada di Indonesia, sebenarnya tidak merupakan satu

kelompok yang berasal dari satu daerah di Cina, tetapi terdiri dari beberapa suku

bangsa yang berasal dari dua provinsi yaitu Fukien dan Kwangtung yang sangat

terpencar daerahnya. Para imigran Tionghoa ini datang ke Indonesia mulai abad

ke-16 sampai kira-kira pertengahan abad ke-19. Koentjaraningrat (2007:195)

(29)

“Etnis Tionghoa sendiri merupakan orang yang berasal dari negara Cina namun pada kenyataannya etnis Tionghoa yang berasal dari negara Cina tersebut tidak menyukai jika para etnis Tionghoa tersebut dikatakan sebagai orang “Cina”. Hal ini dikarenakan pemakaian kata “Cina” dianggap sebagai konotasi yang negatif dimana kata “Cina” dianggap merendahkan etnis Tionghoa tersebut”.

Maka dari itu kata “Cina” diganti menjadi orang Tiongkok atau Etnis

Tionghoa. Pada dasarnya Etnis Tionghoa terbagi dalam beberapa kelompok etnis

atau suku yaitu : Suku Hokkian, Suku Hakka, Suku Kwongfu atau Suku Kanton,

Suku Teo-Chiu dan lainnya. Pada dasarnya para Suku Tionghoa yang ada di

Indonesia berasal dari Fukkien dan Kwantung. Akan tetapi di kota Medan Suku

Tionghoa yang paling banyak adalah Suku Hokkian, Suku Hakka, Suku Teo-Chiu.

Suku Tionghoa yang lainnya sudah jarang dijumpai karena kebanyakan sudah

menikah dengan Suku Tionghoa yang berbeda. Dengan kata lain Suku Tionghoa

tersebut melakukan pernikahan campuran dengan suku yang lain. Suku Hokkian

merupakan suku yang terbesar jumlahnya di Kota Medan karena penyebaran Suku

Hokkian yang melalui jalur buruh pertanian dan jalur perdangangan. Sampai

sekarang Suku Hokkian bermata pencarian sebagai pedagang atau usahawan.

2.3 Landasan Teori

Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk menganalisis berbagai

fenomena dan juga sebagai rujukan utama dalam memecahkan masalah penelitian

didalam ilmu pengetahuan. Sejalan dengan hal tersebut maka dalam sebuah

penelitian perlu ada landasan teori yang mendasarinya, karena landasan teori

merupakan kerangka dasar sebuah penelitian. Dalam skripsi yang berjudul

(30)

maka penulis mengggunakan landasan teori struktural fungsional dan semiotika

untuk membahas lebih dalam tentang Upacara“Manyue”.

2.3.1 Teori Upacara

Dalam rangka mendeskripsikan upacara “Manyue” bagi Suku Hokkian penulis

menggunakan teori upacara. Pelaksanaan upacara “Manyue” bermaksud untuk

menjawab dan menginterpretasikan permasalahan kehidupan sosialnya untuk

memenuhi kebutuhan untuk tujuan bersama agar upacara “Manyue” ini lestari

menurut waktu dan zaman di mana berada. Hal ini sesuai dengan pendapat

Melalatoa (1989:260) bahwa dalam ekspresi jiwa manusia dapat dilakukan

melalui upacara yang menjawab dan menginterpretasikan permasalahan

kehidupan sosialnya, mengisi kebutuhan, atau mencapai tujuan bersama, seperti

kemakmuran, persatuan, kemuliaan, kebahagiaan, dan rasa aman yang

berhubungan dengan dunia gaib (supernatural), dan lain-lain.

Upacara “Manyue” adalah upacara rasa syukurnya keluarga kepada Tuhan

atau Sang Pencipta atas perlindungan Tuhan kepada sang bayi atas bertambahnya

anggota keluarga di tengah-tengah keluarga dan wujud syukur keluarga atas

perlindungan Tuhan kepada sang bayi yang baru dilahirkan.

2.3.2 Teori Semiotik

Istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu semion yang berarti tanda.

Semiotik juga dapat menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan lambang,

(31)

Menurut C.S Peirce (2001:44) mengemukakan teori segitiga makna atau

triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object,

dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap

oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk

(merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri

dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari

perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat).

Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.Objek atau acuan tanda adalah konteks

sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.

Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang

menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna

yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.Hal

yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari

sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Baik semiotik

atau semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung dimana istilah itu

populer. (Endaswara, 2008:64)

Semiotika memiliki enam prinsip dasar, yaitu :

1. Prinsip Struktural.

Tanda dilihat sebagai sebuah kesatuan antara sesuatu yang bersifat

material dan konseptual. Yang menjadi fokus penelitian adalah relasi

antara unsur-unsur tersebut, karena dari relasi tersebut akan menghasilkan

(32)

2. Prinsip Kesatuan.

Sebuah tanda merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan

antarabidang penanda yang bersifat konkrit atau material dengan bidang

penanda.

3. Prinsip Konvensional.

Relasi antara penanda (signifer) dan petanda (signified) sangat tergantung

pada apa yang disebut konvensi, yaitu kesepakatan sosialtentang bahasa

(tanda dan makna) diantara komunitas bahasa.

4. Prinsip Sinkronik.

Tanda dipandang sebagai sebuah sistem yang tetap didalam konteks waktu

yang dianggap konstan, stabildan tidak berubah.

5. Prinsip Representasi.

Tanda merepresentasikan suatu realitas yang menjadi rujukan atau

referensinya.

6. Prinsip Kontinuitas.

Relasi antara sistem tanda dan penggunanya secara sosial dipandang

sebagai sebuah continuum, mengacu pada struktur yang tidak pernah

(33)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian Deskriptif Kualitatif

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian Struktur Upacara

Adat Kelahiran “Manyue“ dalam Pada Suku Hokkian di Kota Medan adalah

metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

Penelitian ini bersifat deskriptif, bertujuan menjelaskan secara tepat sifat

individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekwensi

adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala yang lain dalam

masyarakat. Dalam hal ini mungkin sudah ada hipotesa-hipotesa, mungkin juga

belum, tergantung dari sedikit banyaknya pengetahuan tentang masalah

bersangkutan (Koentjaningrat,1991:29).

Sedangkan menurut Hadari dan Mimi Martini (1994:176), penelitian yang

bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data atau

informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi

aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Penelitian ini tidak

mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif.

Data-data yang dikumpulkan oleh peneliti berbentuk catatan, foto, hasil

wawancara, pengamatan lapangan, dokumen pribadi dan lain-lain. Data

(34)

Dalam rangka penelitian terhadap struktur dan makna upacara “Manyue”

pada Suku Hokkian di Kota Medan ini, maka metode penelitian yang penulis

pergunakan adalah metode kualitatif, yaitu dengan cara mengkaji kegiatan ritual

(upacara) ini. Kemudian menginterpretasikan kegiatan tersebut berdasarkan etika

penelitian yang didasari oleh multidisiplin ilmu. Dalam hal ini ilmu yang

digunakan adalah mencakup ilmu antropologi, sosiologi dan budaya.

Untuk menginterpretasikan makna-makna yang terjadi, maka penulis

melakukan pendekatan wawancara kepada informan. Dengan demikian,

diharapkan penelitian ini akan mengungkapkan kebenaran realita yang ada serta

hal-hal yang melatarbelakangi upacara adat “Manyue” ini.

3.2 Data dan Sumber Data

Di dalam setiap penelitian, data menjadi patokan yang sangat penting bagi

setiap penulis untuk menganalisis masalah yang dikemukakan. Data yang

digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data yang dipakai pada

upacara-upacara keagamaan budaya khas Suku Hokkian di kota Medan. Data-data yang

digunakan diperoleh dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Data

primer merupakan data utama yang dibutuhkan dalam penelitian, yaitu berupa

wawancara dengan para informan dan pengamatan di lokasi penelitian sedangkan

data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku, majalah, artikel-artikel

di surat kabar, skripsi, jurnal, internet, dan lain-lain yang berkaitan dengan

(35)

informan yang di anggap dapat memberikan informasi secara terperinci untuk

mendukung penelitian. Informan sebagai berikut:

Sumber Data Primer : Li Mei

Profesi : Wiraswasta Grosir

Alamat :Jl.Pasundan Sekip No.38 Medan

Umur : 60 Tahun

Sumber Data Primer : A long

Profesi : Penjual Makanan

Alamat : Jl. Sekip No. 102 Medan

Umur : 75 Tahun

Selain sumber data sekunder yang berasal dari para informan terdapat juga

dokumentasi berupa foto yang dianggap dapat melengkapi kebutuhan penulis

dalam penelitian, seperti foto informan dari warga Suku Hokkian di sekitar Jalan

Meranti Kec.Sei Putih Timur, Kel.Medan Petisah dan dokumentasi video upacara

“Manyue” yang diberikan para informan untuk melengkapi penelitian ini.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara peneliti memperoleh dan

(36)

metode : Studi Kepustakaan (Library research), Observasi Lapangan, Wawancara

(Interview).

3.3.1 Studi Kepustakaan (Library research)

1. Mengunjungi perpustakaan untuk mencari referensi yang berkaitan

dengan kajian penulis.

2. Mencari buku yang berkaitan dengan kajian penulis di luar perpustakaan,

seperti tempat bimbingan belajar sempoa dan toko buku.

3. Mencari referensi melalui internet dengan mengunduh skripsi maupun

jurnal yang berkaitan dengan kajian penulis.

Setelah selesai melaksanakan proses studi kepustakaan lalu dilanjutkan

dengan melihat daftar isi buku yang sudah ditemukan, memeriksa setiap subjudul

yang berkaitan dengan objek yang akan dikaji oleh penulis. Lalu membaca

seluruh informasi yang ada di buku, skripsi maupun jurnal yang berkaitan dengan

kajian penulis. Penulis mengumpulkan seluruh data yang diperoleh agar

selanjutnya dapat dianalisis.

3.3.2 Observasi Lapangan

Observasi atau pengamatan berarti setiap kegiatan untuk melakukan

pengukuran dengan menggunakan indera penglihatan yang juga berarti tidak

melakukan pertanyaan-pertanyaan (Soehartono, 1955:69).

Di dalam penelitian ini peneliti menentukan lokasi penelitian yang cocok

dengan apa yang ingin diteliti oleh penulis. Kemudian peneliti melakukan

(37)

melihat dan mengamati keadaan yang sedang berlangsung dan segala fenomena

yang berkembang di wilayah tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan, penulis

berkeinginan untuk melakukan wawancara terhadap informan yang dianggap

dapat membantu melengkapi data-data yang dibutuhkan oleh penulis.

3.3.3 Wawancara (Interview)

Salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian adalah tehnik

wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan bertanya secara langsung

kepada objek penelitian. Sebagai modal awal penulis berpedoman pada pendapat

Koentjaraningrat (1981:136) yang mengatakan, “…kegiatan wawancara secara

umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: persiapan wawancara, tehnik

bertanya dan pencatat data hasil wawancara.”

Di dalam penelitian ini peneliti menulis pertanyaan-pertanyaan yang akan

diajukan kepada informan di buku catatan penulis, lalu menentukan beberapa

informan yang dianggap dapat membantu penulis dalam melengkapi data-data

yang dibutuhkan dalam penelitian. Selanjutnya penulis melakukan wawancara

terhadap informan. Pada saat wawancara berlangsung, penulis mencatat hal-hal

yang dianggap penting dan merekam seluruh dialog berupa rekaman video

maupun rekaman suara. Setelah wawancara selesai dan seluruh informasi telah

didapat dari informan, penulis membaca hasil informasi yang dicatat dan memutar

(38)

3.4 Lokasi Penelitian

Etnis Tionghoa yang berada di pusat Kota Medan banyak bermukim di tempat

yang strategis dimana Suku Hokkian tersebut dapat melangsungkan kehidupannya

dan bersosialisasi. Salah satu adalah di Kecamatan Medan Petisah tepatnya di

Kelurahan Sei Putih Timur.

Kecamatan Medan Petisah merupakan salah satu wilayah yang berada di pusat

Kota Medan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi dengan luas

wilayah 12, 547 km2 atau 4,97% dari luas Kota Medan. Data Badan Pusat Stastik

(BPS) Kota Medan :

“... Secara geografis Kecamatan Medan Petisah berada di tengah Kota Medan. Disebelah barat berbatasan debgan Kecamatan Medan Barat, di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Medan Baru, disebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Barat dan disebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Medan Sunggal. Sedangkan topografi permukaan dataran di kecamatan ini adalah datar”.

Berdasarkan data statistik tahun 2012 yang diperoleh dari kantor Kelurahan

Medan Petisah, luas wilayah kecamatan ini adalah 493 Hektar dengan jumlah 69

Lingkungan dengan total angka kelahiran 1060 jiwa dan memiliki jumlah

penduduk sebanyak 61.855 jiwa. Kelurahan Sei Putih Timur memiliki luas

(39)

Gambar 3.1 (Sumber: Google Maps)

Peta Jl. Meranti, Kel. Sei Putih Timur, Kec. Medan Petisah

3.5 Teknik Pengolahan Data

1. Semua data yang bersumber dari kepustakaan maupun lapangan

dikumpulkan menjadi satu oleh penulis.

2. Data disusun dan diklasifikasi berdasarkan konsep yang telah ditentukan

oleh penulis.

3. Data dibagi berdasarkan beberapa aspek, yaitu Etnis Tionghoa khususnya

Suku Hokkian, struktur dan makna serta upacara “Manyue”.

3.6 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini akan diupayakan untuk memperdalam atau

menginterpretasikan secara spesifik dalam rangka menjawab seluruh pertanyaan.

(40)

1. Mengumpulkan buku-buku atau jurnal-jurnal yang diharapkan dapat

mendukung tulisan ini kemudian memilih data yang dianggap paling

penting dan penyusunannya secara sistematis.

2. Membaca dan menyusun kronologis data upacara “Manyue” pada Suku

Hokkian yang dimulai dari upacara penghormatan kepada Tuhan dan

leluhur, upacara pemberian nama bayi, memperkenalkan sang bayi

kepada keluarga dan kepada para tamu, upacara pemotongan rambut,,

upacara mendoakan bayi dan upacara pemberian hadiah dan telur merah.

3. Berdasarkan data-data yang diambil, lalu penulis membuat objek kajian

peneliti dan melakukan analisis denggan menggunakan teori struktural

dan teori semiotika. Selanjutnya membuat kesimpulan dari hasil yang

(41)

BAB IV

STRUKTUR DAN MAKNA UPACARA

“MANYUE”

PADA

SUKU HOKKIAN DI KOTA MEDAN

Pada bab-bab sebelumnya penulis telah menjelaskan tinjauan pustaka,

konsep, landasan teori dan metode penelitianyang digunakan. Pada bab ini,

penulis menganalisis struktur dan makna “Manyue” pada Suku Hokkian di Kota

Medan dengan menggunakan teori struktur dan semiotik. Teori skematik harus

memiliki struktur pendahuluan, pertengahan dan akhir yang bersifat sama dengan

struktur dalam upacara “Manyue” Teori semiotik menggunakan tanda dan

menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam pikiran

seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.

4.1 Struktur Upacara “Manyue” pada Suku Hokkian di Kota Medan

Upacara “Manyue” pada suku Hokkian memiliki beberapa tahapan yang

harus dilakukan. Tahapan ini dimulai dari upacara penghormatan kepada Tuhan,

upacara penghormatan kepada leluhur, upacara pemberian nama kepada sang bayi,

upacara memperkenalkan sang bayi kepada keluarga dan kepada para tamu,

upacara pemotongan rambut bayi, upacara mendoakan sang bayi, upacara makan

(42)

4.1.1 Upacara Penghormatan Kepada Tuhan atau Sang Pencipta

Di pagi hari pada saat upacara “Manyue” terlebih dahulu yang akan

dilakukan adalah acara sembahyang atau acara kebaktian /Misa Syukur. Acara ini

tergantung dari agama atau kepercayaan yang dianut. Pada Agama Kristen

upacara pertama yang akan dilakukan adalah upacara kebaktian / Misa Syukur

dimana seorang pendeta atau pastor akan membuka acara kebaktian dengan

lantunan kidung-kidung lagu pujian lalu dilanjutkan dengan pemberian ayat suci

kepada sang bayi. Upacara kebaktian ini dilakukan di rumah karena pantangan

kepercayaan Suku Hokkian yang mengatakan bahwa tidak boleh ibu yang

melahirkan bayi keluar dari rumah sebelum upacara “Manyue” ini dilaksanakan.

Gambar 4.1 Upacara Kebaktian “Manyue”

Lalu pada upacara kebaktian atau misa syukur setelah ayah dari sang bayi

membacakan ayat suci dari Alkitab, pendeta/pastor akan memberikan roti kudus

(Hosti) kepada kedua orang tua bayi dan kepada sang bayi yang diwakilkan oleh

(43)

Gambar 4.2 Ayah dari sang bayi membacakan ayat suci dari Alkitab

(44)

Gambar 4.4 Pendeta memberikan roti kudus (Hosti) pada sang ibu

Pada agama Budha sebelum melaksanakan upacara “Manyue” terlebih

dahulu kedua orang tua bayi atau keluarga terdekat dari bayi tersebut akan

melakukan upacara sembahyang di tempat tidur sang bayi. Acara sembahyang

yang dilakukan di tempat tidur merupakan wujud rasa terima kasih keluarga atas

diberikannya dan dijaganya sang bayi oleh para Dewa dan Dewi. Lalu dilanjutkan

dengan upacara sembahyang yang dilakukan di meja sembahyang dengan

membakar dupa atau hio dengan berbagai sesajian yang di berikan kepada para

dewa dan dewi.

(45)

4.1.2 Upacara Penghormatan Kepada Leluhur dan Orangtua

Setelah Upacara penghormatan kepada Tuhan dilanjutkan dengan upacara

pengormatan kepada para leluhur. Upacara Penghormatan kepada leluhur terbagi

atas upacara penghormatan kepada leluhur yang sudah meninggal dan kepada

orang tua yang masih hidup. Upacara penghormatan kepada leluhur yang sudah

meninggal dilakukan juga di meja sembahyang yaitu dengan soja atau

membungkuk Cara soja atau pai itu sebenarnya dengan membungkukkan badan

45 derajat. Lalu dilanjutkan dengan upacara pemberian dupa atau hio di papan

meja sembahyang. Peletakan dupa atau hio pada saat upacara penghormatan

kepada leluhur tidak boleh dilakukan secara bersama-sama namun peletakan dupa

atau hio dilakukan secara satu persatu.

Pada Suku Hokkian percampuran agama di dalam keluarga sudah biasa

terjadi. Hal ini karena sang anak yang menikah dengan agama lain dan

meninggalkan agama yang dianutnya mengikuti agama dari sang suami atau sang

istri. Walaupun pada Suku Hokkian percampuran agama di dalam keluarga sudah

banyak telah terjadi namun Suku Hokkian tidak melupakan tradisi mereka.

Contohnya saja beberapa informan pada Upacara “Manyue” yang beragama

Kristen. Orang tua dari sang bayi yang melaksanakan upacara “Manyue”

beragama Kristen namun nenek dan kakek dari sang bayi adalah agama Budha.

Akan tetapi upacara penghormatan masih dilakukuan oleh nenek dan kakek dari

sang bayi. Kakek dan nenek dari sang bayi masih diberi kebebasan untuk

melakukan upacara penghormatan leluhur walaupun orangtua dari sang bayi tidak

(46)

Setelah upacara penghormatan leluhur selesai dilakukan dilanjutkan

dengan upacara penghormatan kepada orangtua yang masih hidup. Orang tua

adalah wakil Tuhan di dunia ini dan sebagai orang yang lebih dahulu dalam

membesarkan anak. Maka dari itu Suku Hokkian menggap bahwa orang tua

adalah orang yang patut di hormati karena jasa-jasa orang tua dalam

membesarkan anaknya juga dalam memberi doa-doa terhadap anak dan cucunya.

Upacara penghormatan ini dilakukan oleh kedua orang tua sang bayi dengan cara

membungkuk terlebih dahulu lalu dilanjutkan dengan cara bersujud atau

sungkeman kepada orang tua dari masing-masing. Upacara penghormatan kepada

orang tua dilakukan oleh semua agama baik agama Kristen maupun agama Budha.

Pada saat bersujud atau sungkeman orang tua akan memberikan nasihat dan

doa-doa kepada orang tua yang baru memiliki anak. Upacara penghormatan kepada

orang tua cenderung membuat orangtua dari bayi akan terharu mendengar nasihat

dan doa-doa.

4.1.3 Upacara Pemberian Nama Sang Bayi

Pemberian nama kepada bayi pada Suku Hokkian hampir sama dengan

suku-suku yang ada di Indonesia dan suku-suku pada Etnis Tionghoa lainnya

yaitu menganut sistem patrilineal dimana marga diturunkan dari pihak lelaki.

Marga diletakkan pada posisi depan dengan menggunakan nama keluarga atau

marga pada keturunannya. Pada suku-suku yang ada di Indonesia nama keluarga

atau marga diletakkan di belakang setelah nama sang bayi namun pada Suku

(47)

Secara tradisional Suku Hokkian biasa menggunakan nama yang diawali

dengan nama marga yang diambil dari pihak ayah. Selain itu ada juga yang

memakai marga atau She dari ibunya dan nama itu juga berfungsi sebagai

lambang atau tanda tertentu serta juga bisa menunjukkan kepribadian dan

karakternya. Misalnya: memakai (女, perempuan) sebagai elemen hurufnya.

Misalkan: 姜 (jiang), 姚 (yao), 姬 (ji). Bahkan kata “marga” (姓) itu sendiri

terdiri dari 女 dan 生. Hal ini adalah sesuai dengan karakter huruf-huruf mandarin

yang mengandung arti yang sangat dalam. Karena itu pada awalnya bahasa atau

huruf Mandarin adalah sebuah “gambar” yang kemudian disederhanakan dan pada

akhirnya dikenal sebagai huruf Mandarin. Maka dari itu dalam penulisan serta

penyebutannya haruslah tepat karena berbeda sebuah titik ataupun sebuah garis

saja maka bisa berbeda jauh arti dan maksudnya. Huruf Mandarin memang

memerlukan penyebutan yang teliti dan tepat akan tetapi huruf-huruf ini juga

banyak dipakai di berbagai negara dan cara penyebutannya pun bisa berlainan

akan tetapi arti dan maksudnya tetaplah sama untuk huruf tertentu walau disebut

degan dialek yg berbeda. Hal yang lazim nama tersebut terdiri dari 3 suku atau

buah kata, yakni: kata pertama, nama marga atau "She" Kata kedua adalah sesuai

dengan urutan syair marga atau keluarga. Kata ketiga barulah nama diri seseorang.

Pada zaman dahulu pemberian marga pada Etnis Tionghoa dapat dilihat

asal usul marganya. Misalnya:

1. Marga berasal dari binatang yang disembah orang zaman dulu. Misal: 马

(48)

Dalam suatu suku mempunyai marga Lung / Liong (Hokian) yang artinya

naga. Ada kemungkinan pada jaman dahulu leluhur suku tersebut

menggunakan lambang naga. Contoh lain misalnya suatu suku

menggunakan marga Ma yang artinya kuda. Bisa jadi bagi mereka kuda

mempunyai makna yang penting ataukah sebagai binatang yang berjasa

karena membantu meringankan kehidupan mereka atau karena alasan lain.

2. Marga dari negara leluhur. Misal: 赵 (Zhao), 宋 (Song), 秦 (Qin), 吴 (Wu).

3. Marga berasal dari nama gelar leluhur. Misal: 司马 (Sima), 司徒 (Situ),

yang merupakan nama gelar zaman dulu. Pada kelompok orang yang

menggunakan marga司马 (Sima) yang artinya Menteri Perang. Mungkin

dahulu leluhur suku tersebut ada yang menjabat sebagai menteri perang

suatu kerajaan sehingga keturunannya menggunakan marga司马 (Sima).

4. Marga berasal dari kedudukan leluhur. Misal: 王 (pangeran), 侯 (marquis).

5. Posisi dan keadaan tempat tinggal sebagai marga. Misal: 东郭 (tembok

timur), 西门 (gerbang barat), 池 (kolam), 柳 (willow).

6. Pekerjaan sebagai marga. Misal: pembuat tembikar bermarga 陶(tao,

tembikar).

7. Menggunakan nama leluhur sebagai marga. Misal: leluhur bangsa

Tiongkok, Huangdi, bernama Xuanyuan, maka akhirnya Xuanyuan

menjadi sebuah marga.

Selain marga yang dibawa kedalam penamaan bayi ada juga nama pribadi

(49)

orang lain; untuk memudahkan anggota keluarga/masyarakat memanggilnya,

menyuruhnya bila perlu. Nama dibuat untuk dipakai, untuk disebut demi

kepraktisan dalam kehidupan sehari-hari. (Tarigan, 1995). Di dalam pemberian

nama terdapat aturan cara pemberian nama. Menurut Thatcher (1970) ada 7 aturan

pemberian nama yaitu: (1) nama harus berharga, (2) nama harus mengandung

nama yang baik, (3) nama harus asli, (4) nama harus dilafalkan, (5) nama harus

bersifat membedakan, (6) nama harus cocok dengan nama keluarga, (7) nama

harus menunjukkan jenis kelamin.

Sama seperti suku bangsa pada umumnya. Pemberian nama bayi pada

Suku Hokkian mempunyai beberapa tata cara yaitu: dengan melihat kaitannya

dengan saat kelahiran, ada yang menggunakan cara yang sesuai dengan harapan

orangtua, ada yang mencari arti dan huruf yang di pergunakan, ada yang mencari

bunyi yang menurut orangtua bagus terdengarnya, ada yang menggunakan shio

dan ada yang menggunakan fengshui.

1. Pemberian nama bayi melihat kaitannya dengan saat kelahiran. Biasanya

orangtua akan melihat tanggal berapa, jam berapa, atau shio apa cara ini

yang dinamakan peqji

2. Pemberian nama dengan mencari bunyi yang menurut orang tuanya bagus

terdengarnya.

3. Pemberian nama yang mencari arti dari huruf yang menggunakan cara

yang sesuai dengan harapan orang tua

Misalnya: misal: 忠“Zhong” (kesetiaan), 义“Yi” (keadilan), 丽 “Li”

(50)

harapan kesehatan, panjang umur, bahagia, misal: 健“Jian” (sehat), 寿

atau tempat kelahiran. Contoh yang lahir di luar negeri diberi nama Haiwai

yang artinya diseberang lautan. Yang lahir di propinsi Fujian diberi nama

Min...(Min adalah singkatan dari nama propinsi Fujian, yang dalam dialek

Hokkian dibaca Ban), ada cara yang diberi nama dewa dan nama binatang

yang kuat untuk laki-laki, dan nama bintang, tumbuhan yang indah untuk

wanita.

6. Pemberian nama ada juga yang menggunakan shio pada pembuatan nama

sang bayi. Huìyuán, Dàshī 慧 缘 大 师 (2011) mengatakan sejak dahulu

masyarakat Tionghoa memiliki kebudayaan memberi nama berdasarkan

shio. Shio yang dimiliki oleh masing-masing orang merupakan

kebudayaan yang ditinggalkan leluhur sejak dahulu. Cara pertama adalah

langsung memberikan nama berdasarkan dua belas shio, contohnya orang

bernama 王申猴, Wáng Shēnhóu ,王子鼠 Wáng Zǐshù,牛丑牛Niú Chǒu.

Cara ini walaupun dapat dengan jelas mencerminkan dua belas

shio dalam nama seseorang, serta memiliki makna untuk menunjukan

(51)

lain yang diutarakan oleh Zhōu 周 (2012), yaitu menghubungkan makna

yang tercermin dalam radikal huruf Tionghoa dengan kebiasaan binatang

dalam dua belas shio, misalnya ada seorang anak yang memiliki shio

kambing. Kambing suka makan rumput 草 cǎo. Huruf yang mengandung

radikal rumput “草cǎo” akan sangat membantu melancarkan rejeki bagi

orang bershio kambing, seperti, 苑 yuàn, 莲 lián dan 秋 qiū, sehingga

anak tersebut diberi nama 吴秋莲Wú Qiūlián.

7. Selain menggunakan shio ada juga yang menggunakan fengshui. Ilmu

Fengshui ternyata tidak dipakai hanya untuk rumah atau bangunan saja,

tetapi bisa juga dipakai untuk membuat nama pada anak (sejak bayi).

Tujuan pembuatan nama anak berdasarkan Fengshui adalah dengan

harapan agar anaknya kelak bisa menjadi orang yang kaya rezeki, jadi

orang terkenal, jadi pejabat, jadi artis, dan sebagainya. Banyak teknik atau

cara dalam pemberian nama menggunakan fengshui anak, diantaranya

adalah :

a. Untuk nama karakter Hanzi juga ada hitungan unsur-nya. Misalnya

kalau unsur lahirnya kekurangan/lemah di unsur Kayu, maka dicarikan

nama yang berunsur kayu agar bisa seimbang. Untuk nama karakter Hanzi

juga harus lebih dari 30 coretan/goresan (tradisional).

b. Tanggal lahir dan jam lahir anak dicarikan unsurnya. Kalau sudah ketemu,

(52)

berarti angin. Kalau angin berarti unsurnya udara, atau dicarikan unsur lain

yang berkaitan terhadap udara.

Akan tetapi Suku Hokkian yang sudah menetap di Indonesia memilih

nama bayi dengan menggunakan nama yang menyerupai nama-nama orang

Indonesia. Ini diperjelas dengan Peraturan perundang-undangan atau Keppres No.

240 Tahun 1967 tentang Kebijaksanaan Pokok yang Menjangkut Warga Negara

Indonesia Keturunan Asing (“Keppres 240/1967”). Pasal 5 Keppres 240/1967

berbunyi “Khusus terhadap Warga Negara Indonesia Keturunan Asing jang

masih memakai nama Cina diandjurkan mengganti nama-namanja dengan nama

Indonesia sesuai dengan ketentuan jang berlaku.” Dalam konsiderans mengingat

Keppres 240/1967 merujuk antara lain pada Keputusan Presidium Kabinet No.

127/U/Kep/12/1966 tentang Peraturan Ganti Nama Bagi WNI yang Memakai

Nama Cina. Maka dari itu Suku Hokkian di Kota Medan lebih menggunakan

nama sang bayi dengan menyerupai nama-nama orang Indonesia atau nama-nama

Jawa yang mempunyai makna yang bagus dan menggunakan nama bayi

menyerupai nama-nama orang barat. Berikut tata cara penggunaan nama

Mandarin dibuat ke dalam nama Indonesia:

1. Tjie Kim Fie menjadi Silvie Djiono.

Bunyi (fie) pada unsur akhir nama Tionghoa mirip dengan bunyi unsur awal pada

(53)

2. Goey Kiong U menjadi Utuh Sastra Gunawan

Bunyi (goey) pada unsur awal nama Tionghoa mirip dengan bunyi unsure akhir

pada nama Indonesia [gunawan], bunyi [goe (-y) + nawan]. Bunyi [nawan] di

tambahkan pada bunyi [goe]. Selain itu, bunyi [u] pada akhir unsur nama menjadi

unsur awal pada nama Indonesia namun ditulis menjadi sebuah kata utuh.Jadi

bunyi [u] + [tuh] [utuh].

3. Tan Tie Yoke menjadi Elianawati Yulia Tanuwijaya.

Bunyi [tan] pada unsur awal nama Tionghoa mirip dengan bunyi unsur akhir pada

nama Indonesia yakni [tanuwijaya]. Kedua nama tersebut mengandung bunyi

[tan]. Bunyi [tan] + (u) wijaya] [tanuwijaya].Sedangkan bunyi [u] digunakan

sebagai penyelaras bunyi agar enak/indahdidengar.

4.1.4 Upacara Memperkenalkan Sang Bayi

Setelah upacara pemberian nama dilanjutkan dengan upacara

memperkenalkan bayi kepada para keluarga besar dan tamu. Upacara

memperkenalkan bayi pertama sekali dilakukan kepada keluarga terdekat dan

keluarga besar dengan pertama sekali di kenalkan kepada eyang atau kakek dan

nenek dari bayi lalu dilanjutkan dengan perkenalan kepada dalam sang bayi yakni

keluarga dari ayah yaitu paman dan bibi dari ayah sang bayi lalu dilanjutkan oleh

(54)

Gambar 4.6 Upacara Memperkenalkan sang bayi kepada keluarga

Setelah acara memperkenalkan bayi kepada para keluarga terdekat dan

keluarga besar dilanjutkan memperkenalkan sang bayi kepada para tamu. Dalam

acara ini beberapa tamu baik tamu dari keluarga maupun tetangga akan berbicara

kedepan dengan mengucapkan selamat kepada orang tua sang bayi. Upacara

perkenalan bayi ini dilakukan dengan rasa bahagia atas bertambahnya anggota

baru di tengah keluarga.

4.1.5 Upacara Pemotongan Rambut Sang Bayi

Upacara pemotongan rambut bayi dilakukan ketika bayi merasa sudah

terlelap tidur. Sebelum upacara pemotongan rambut dilaksanakan sang bayi di

pakaikan pakaian baju berwarna putih. Upacara pemotongan rambut pertama

sekali dilakukan oleh pendeta lalu dilanjutkan oleh ayah dari sang bayi

(55)

selanjutnya dilanjutkan oleh ibu dari bayi. Setelah kedua orangtua bayi selesai

memotong rambut sang bayi dilanjutkan oleh kakek dan nenek dari kedua

orangtua sang bayi di ikuti oleh keluarga dalam dari sang ayah dan keluarga luar

dari sang ibu dan dilanjutkan oleh beberapa para tamu.

Gambar 4.7 Ayah menggunting rambut sang bayi

Gambar 4.8 Ibu menggunting rambut sang bayi

Setelah upacara pemotongan rambut selesai dilanjutkan oleh pencukuran

rambut sang bayi yang dicukur sampai habis. Rambut sang bayi kemudian

dimasukkan ke dalam kain yang berwarna merah dan kain yang berisi rambut bayi

Gambar

Gambar 3.1 (Sumber: Google Maps)
Gambar 4.3 Pastor memberikan roti kudus (Hosti) pada ayah sang bayi
Gambar 4.10 Sang Bayi dimandikan
Gambar 4.13 Bingkisan yang diberikan pada para tamu

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta pengetahuan kepada penulis, sehingga dapat

Puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan karya tulis

Segala puji syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi

Segala puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya dengan selesainya tesis ini. Gagasan

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya dan segala limpahan Kekuatan-Nya sehingga dengan segala keterbatasan waktu,

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

Puji syukur ke hadirat TUHAN Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia- nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul