STRUKTUR DAN MAKNA UPACARA
͞
MANYUE
͟
PADA
SUKU HOKKIAN DI KOTA MEDAN
棉兰福建裔华人满月礼的仪式形式及含义
( Mián lán fújiàn yì
huárén mǎnyuè lì de xíngshì jí hányì
)
SKRIPSI
OLEH :
ROTUA YATI SIAGIAN
NIM : 100710042
PROGRAM STUDI SASTRA CINA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
STRUKTUR DAN MAKNA UPACARA ͞MANYUE͟ PADA SUKU HOKKIAN DI KOTA MEDAN
棉 兰福建裔 华人满 月礼的仪 式形式 及含义 ( Mián lán fújiàn yì huárén
mǎnyuè lì de xíngshì jí hányì )
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu Budaya Sastra Cina.
Oleh:
Rotua Yati Siagian NIM : 100710042
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dra. Junita Setiana Ginting, M.Si Sheyra Silvia Siregar, S.S, MTSCOL NIP.196709081993032002
PROGRAM STUDI SASTRA CINA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
Disetujui oleh
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan
Program Studi Sastra Cina Ketua,
PENGESAHAN
Diterima oleh :
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra dalam Bidang Ilmu Sastra Cina pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
Pada : Tanggal : Hari :
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Dekan
Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP. 19511013 197603 1 001 Panitia Ujian
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan
tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan
yang saya buat ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa
pembatalan gelar sarjana yang pernah saya peroleh.
Medan, Januari 2015
Penulis
Rotua Yati Siagian
ABSTRACT
The title of this paper is “Struktur dan Makna Upacara “Manyue” Pada Suku Hokkian di Kota Medan”. The purpose of this paper is to determine the structure and meaning of each stages Manyue. This research is based on ceremonial
Manyue happens to the Hokkien in Medan. The methodology used in this
paper is descriptive analysis. The theory is used to analyze the topic is generic or schematic structure and semiotics that is used to determine the structure at a ceremony on the Hokkien Manyue in Medan. The result show that the structure contained on ceremonial Manyue consists of seven stages and mutually sustaining meaning.The seven stages are: the ceremony of homage to God, tribute
to ancestors, baby naming ceremony, a ceremony introducing the baby to your family andguests, the ceremony of cutting hair ceremony to pray for the baby, and last rites of eating together and the giving of gifts.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang diberikan judul “Struktur dan Makna Upacara “Manyue” Pada Suku Hokkian di Kota Medan”.
Skripsi ini ditulis sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Budaya, sepanjang penulisan skripsi tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang telah memberikan dukungan, semangat, materi, waktu, bimbingan dan doa kepada penulis. Oleh karena itu saya ingin menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
banyak membantu saya memberikan masukan, kritik dan meluangkan
waktunya selama menulis skripsi.
5. Bapak Peng Pai, M.A, dan Laoshi Sheyra Silvia Siregar, S.S, MTSCOL
selaku dosen pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu,
memberikan banyak masukan, kritikan, dan semangat kepada saya selama
menulis skripsi Mandarin.
6. Hormat dan sembah sujud penulis yang tidak terhingga kepada Ayahanda
Mardongan Siagian dan Ibunda tercinta Maslina Sitompul yang telah
membesarkan saya, mendidik, memberikan doa, nasehat, semangat, kasih
Jalribes Siagian, Martini Siagian, Oksvi Yen Siagian dan si bungsu keluarga
Edi Son Siagian yang selalu memberikan dukungan, doa dan semangat kepada
saya.
7. Kepada keluarga saya Bou Roma, Bou Inur, Uda Sabar dan keluarga Opung
S.Siagian/br.Napitupulu dan Keluarga Opung A.Sitompul/br.Simamora yang
memberi saya motivasi dan dukungan baik doa, materi dan dukungan dalam
penulisan skripsi ini.
8. Kepada Sahabat terkasih saya Dolin Kristian Simangunsong, ST yang selalu
memberikan dukungan, doa, semangat dan selalu meluangkan waktu disaat
suka dan duka selama penulisan skripsi ini.
9. Kepada sahabat-sahabat terbaik saya, Ade Danu, Zuraida Yamin, Paska
Apriani telah memberikan kenangan selama kuliah dan yang selalu
mendukung, memberikan semangat dan berbagi canda tawa.
10.Kepada teman-teman stambuk 2010: Jems, Amel, Putri, Donna, Anggel,
Monic, Joy, Devi (Acen), Grace, Bernard, Mangiring, Anas, Rudi, Febby,
Anisa, Jesica, Sindy, Romel, Ivo, Patricia dan teman-teman lainnya yang
mengisi kenangan masa perkuliahan selama 4 tahun dan juga berjuang dalam
menyelesaikan skripsi.
11.Kepada Kak Endang terima kasih sudah banyak membantu baik memberi
informasi, menyusun berkas dan doanya. Terima kasih buat candaanya selama
di kantor admin jurusan.
12.Kak Sheyla, Kak Vivi, Kak Chacha, Abang Kasa, Abang Roni Sagala, Abang
Kak Eirene, dan seluruh Senior 2007, 2008, 2009 yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu untuk mengunduh jurnal
dan memberikan masukan serta motivasi kepada saya.
13.Kepada seluruh adik-adik stambuk 2012, 2013 dan 2014 yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu.
14.Kepada seluruh para informan dan pihak Keluruhan Sei Putih Timur yang
telah membantu saya dalam melengkapi data-data skripsi saya.
Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi yang
disajikan ini sangat jauh dari sempurna karena masih terdapat banyak kekurangan
dalam penulisan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun skripsi ini.
Akhir kata, sekali lagi saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh
pihak yang telah membantu. Demikianlah ucapan terima kasih ini saya sampaikan,
semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan rahmat-Nya kepada kita semua.
DAFTAR ISI
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka ………..………...…..…. 9 3.1 Metode Penelitian Deskriptif Kualitatif ………... 21
3.2 Data dan Sumber Data ....……….…………... 22
3.3 Teknik Pengumpulan Data ……….…………... 23
3.3.1 Studi Kepustakaan (Library Research) ………... 24
3.3.2 Observasi ...………...… 24
3.3.3 Wawancara ...……….………... 25
3.4 Lokasi Penelitian ...……….………...… 26
3.5 Teknik Pengolahan Data ………...………... 27
3.6 Teknik Analisis Data ……….……….. 27
4.1.1 Upacara Penghomatan Kepada Tuhan atau Sang Pencipta ... 30
4.1.2 Upacara Penghormatan leluhur atau Orang tua ... 33
4.1.3 Upacara Pemberian Nama Sang Bayi ... 34
4.1.4 Upacara Memperkenalkan Sang Bayi ... 41
4.1.5 Upacara Pemotongan Rambut Sang Bayi ... 42
4.1.6 Upacara Mendoakan Sang Bayi ... 45
4.1.7 Upacara Makan Bersama, Pemberian Hadiah dan Pemberian Telur Merah ... 46
4.2 Makna Dari Struktur Upacara “Manyue” Pada Suku Hokkian di Kota Medan ... 48
4.2.1 Makna Upacara Penghormatan Kepada Tuhan atau Sang Pencipta ... 48
4.2.2 Makna Upacara Penghormatan Kepada Leluhur dan Orang tua ... 48
4.2.3 Makna Upacara Pemberian Nama Sang Bayi ... 49
4.2.4 Makna Upacara Memperkenalkan Sang Bayi ... 50
4.2.5 Makna Pemotongan Rambut Sang Bayi ... 51
4.2.6 Makna Upacara Mendoakan Sang Bayi ... 52
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 ... 28
Gambar 4.1 ……… 30
Gambar 4.2 ……… 31
Gambar 4.3 ……… 31
Gambar 4.4 ……… 32
Gambar 4.5 ……… 32
Gambar 4.6 ……… 42
Gambar 4.7 ………. 43
Gambar 4.8 ………. 43
Gambar 4.9 ………. 44
Gambar 4.10 ………. 44
Gambar 4.11 ………. 45
Gambar 4.12 ……… 47
ABSTRACT
The title of this paper is “Struktur dan Makna Upacara “Manyue” Pada Suku Hokkian di Kota Medan”. The purpose of this paper is to determine the structure and meaning of each stages Manyue. This research is based on ceremonial
Manyue happens to the Hokkien in Medan. The methodology used in this
paper is descriptive analysis. The theory is used to analyze the topic is generic or schematic structure and semiotics that is used to determine the structure at a ceremony on the Hokkien Manyue in Medan. The result show that the structure contained on ceremonial Manyue consists of seven stages and mutually sustaining meaning.The seven stages are: the ceremony of homage to God, tribute
to ancestors, baby naming ceremony, a ceremony introducing the baby to your family andguests, the ceremony of cutting hair ceremony to pray for the baby, and last rites of eating together and the giving of gifts.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman budaya dan suku
bangsa. Masing-masing dari suku bangsa tersebut memiliki tradisi atau
kebudayaan yang berbeda-beda. Koentjaranigrat (2009:144) mendefenisikan
budaya merupakan “...keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan cara belajar”.
Setiap suku bangsa yang ada di Indonesia mempunyai kebudayaan yang
berbeda dengan kebudayaan lain, namun mempunyai unsur yang sama. Seperti
yang dipaparkan Tylor dalam Poerwanto (2000:52); “kebudayaan adalah
keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum,
moral, adat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia
sebagai anggota masyarakat”. Setiap suku bangsa tentu memiliki ciri khasnya
masing-masing dalam mewujudkan kebudayaan. Suatu suku bangsa dapat
menampilkan ciri khas yang dapat dilihat oleh orang luar yang bukan suku bangsa
itu sendiri. Ciri khas dalam suatu kebudayaan dapat dilihat karena kebudayaan itu
menghasilkan sesuatu unsur kebudayaan yang khusus misalnya dari segi bahasa,
adat istiadat, ataupun upacara kebudayaan yang dimilikinya
Salah satu peninggalan budaya Tiongkok adalah budaya upacara kelahiran.
“lahir”yang berarti keluar dari kandungan atau muncul kedunia dan merupakan
proses akhir dari suatu kehamilan”. Kelahiran dianggap sebagai suatu peristiwa
yang penting dan berharga dalam kehidupan manusia karena kelahiran merupakan
awal kehidupan seseorang yang muncul kedunia ini. Seorang ibu berjuang agar
dapat melahirkan seorang anak dengan penuh kasih sayang serta kebahagian. Oleh
karena itu upacara kelahiran dilaksanakan atas rasa syukur terhadap Sang Pencipta
dan berhubungan dengan kekerabatan. Di Tiongkok upacara kelahiran disebut
dengan upacara “Manyue” yang artinya bulan purnama dan dilakukan ketika usia
bayi genap satu bulan . Menurut Kamus Besar Tionghoa-Indonesia (2010:204) ,
“Man” artinya penuh : berisi dan “Yue” artinya bulan. Upacara kelahiran atau
“Manyue” sering disebut juga dengan upacara pemberian telur merah. Telur yang
melambangkan suatu tahapan kehidupan yang baru, sedangkan warna merah
melambangkan perayaan dan keberuntungan. Bentuk telur yang oval
melambangkan harmoni dan kesatuan. Jadi telur merah menandakan kebahagian
dan permulaan hidup yang baru dengan hadirnya seorang bayi.
Menurut masyarakat Etnis Tionghoa pada zaman dahulu di Tiongkok
tingkat kematian bayi sangat tinggi karena ilmu pengobatan belum terlalu maju
seperti sekarang ini. Jika seorang bayi mampu bertahan hingga berusia satu bulan
maka kemungkina besar dapat bertahan hidup sampai dewasa, maka dari itu
dirayakanlah perayaan “Manyue” yang dimaknai sebagai perayaan rasa syukur
yang dipanjatkan kepada para dewa dan para leluhur karena telah melindungi sang
bayi. Budaya Tiongkok menganut garis patrilineal yaitu garis lurus keturunan
dari itu peran anak laki-laki sangat penting dalam tradisi Tionghoa. Upacara
“Manyue” kadang-kadang hanya dirayakan kepada bayi laki-laki saja, atau
perayaan buat bayi laki-laki lebih meriah dibanding bayi perempuan. Akan tetapi
sekarang pesta “Manyue” dirayakan untuk bayi laki-laki maupun bayi
perempuan.
Bukan hanya bayi, sang ibu yang telah melahirkan pun perlu diperhatikan.
Seorang ibu yang selesai melahirkan tentu akan menjalani masa nifas. Masa nifas
adalah masa dimana ibu beristirahat selama satu bulan tanpa keluar rumah. Pada
saat masa nifas sang ibu dan sang bayi dirawat oleh salah seorang perawat atau
yang biasa disebut dengan ibu angkat. Ibu angkat bertugas merawat sang bayi dan
ibunya sampai masa nifasnya selesai dan membantu sang ibu untuk menjaga dan
merawat sang bayi. Selain itu ibu angkat bertugas memasakkan makanan yang
membantu sang ibu agar kembali sehat dengan memasak makanan yang
menghangatkan sang ibu. Ini dimaksudkan agar sang ibu dapat kuat menjalankan
upacara “Manyue”. Suku Hokkian percaya bahwa kondisi seorang ibu paling
lemah selama hidupnya adalah ketika seorang ibu melahirkan. Hal ini
dimaksudkan agar ibu yang selesai melahirkan tidak jatuh kedalam kondisi yang
sebagai upacara rasa syukur atas karunia yang telah diberikan yaitu mendapatkan
anak dari Sang Pencipta. Etnis Tionghoa di Kota Medan masih tetap melakukan
tradisi ini. Akan tetapi tidak semua Etnis Tionghoa yang menetap di Kota Medan
melakukan sepenuhnya seperti halnya di tanah leluhurnya. Suku Hokkian adalah
salah satu yang masih berupaya melakukan dengan tata aturan upacara yang
hampir sama dengan leluhurnya, walaupun telah juga terjadi beberapa perubahan
Di dalam upacara tentu saja memiliki struktur. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2007:563) struktur dapat diartikan sebagai; “susunan antara
seluruh bagian-bagian dari sesuatu”. Struktur juga dapat diartikan sebagai susunan
yang saling berhubungan antara satu bagian dengan bagian lainnya sehingga
membentuk satu kesatuan yang utuh dan makna adalah arti. Menurut Boediono
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2009:348) “makna adalah arti atau
maksud yang penting didalamnya” Setiap suku bangsa tentu memiliki ciri
khasnya masing-masing dalam mewujudkan kebudayaan. Pada Suku Hokkian di
Kota Medan upacara “Manyue” masih kental dengan tata cara budayanya
walaupun pada Suku Hokkian sistem kepercayaan sudah dipegang namun
unsur-unsur, struktur dan makna pada upacara “Manyue” masih dipertahankan.
Struktur upacara “Manyue” pada Suku Hokkian adalah berupa tahapan
yang terdiri atas penghormatan kepada Tuhan atau Sang Pencipta, penghormatan
kepada leluhur, pemberian nama bayi, upacara pemotongan rambut bayi, doa,
makan bersama, pemberian hadiah dan telur merah. Di Tiongkok struktur upacara
“Manyue” hampir sama dengan Suku Hokkian hanya yang membedakan dalam
emas kepada bayi yang dijadikan sebagai pelindung bayi. Selain Struktur terdapat
juga makna dari setiap struktur atau tahapan dari upacara “Manyue”,
Alasan peneliti memilih struktur dan makna pada penelitian ini
dikarenakan peneliti ingin mengetahui struktur dan makna upacara “Manyue”
berlangsung. Peneliti ingin secara langsung mengetahui tahapan dan makna setiap
tahapan upacara “Manyue” bagi orang tua yang baru memiliki anak dan
melaksanakan upacara “Manyue”. Peneliti memilih Suku Hokkian karena Suku
Hokkian adalah suku dengan jumlah terbesar di Kota Medan dan diluar tanah
leluhurnya serta telah menetap di Indonesia. Akan Tetapi mereka masih
mempertahankan dan menjaga warisan budaya mereka. Selain itu Suku Hokkian
dalam Upacara “Manyue” masih mempertahankan struktur upacaranya. Menurut
data dan narasumber pada struktur upacara “Manyue” Suku Hokkian merupakan
suku asli orang Tiongkok yang mampu mempertahankan setiap tahapan-tahapan
upacara “Manyue” di Tiongkok dengan upacara “Manyue” yang ada pada Suku
Hokkian sekalipun Suku Hokkian sudah beralkuturasi dengan budaya lain.
Peneliti juga memilih penelitian ini dikarena peneliti sedang mempelajari bahasa
dan budaya Tionghoa, sehingga peneliti lebih tertarik lagi untuk mengetahui
struktur atau tahapan yang dilakukan pada upacara kelahiran “Manyue” .
Peneliti memilih lokasi penelitian di Kota Medan untuk memberikan
pengetahuan kepada masyarakat bahwa Suku Hokkian dengan kepercayaan
kepada leluhur yang tinggi mampu mempertahankan upacara kelahiran “Manyue”
tetap terjaga ditengah berbagai etnis yang berada di Kota Medan. Sesuai dengan
tertarik untuk meneliti mengenai “ Struktur dan Makna Upacara “Man Yue” Pada
Suku Hokkian di Kota Medan “.
1.2Batasan Masalah
Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas sehingga dapat
mengaburkan penelitian, maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian
dengan memfokuskan penelitian terhadap struktur atau tahapan upacara “Man
Yue” pada Suku Hokkian di Kota Medan dari tahapan awal sampai akhir. Peneliti
juga ingin mengetahui makna dari setiap tahapan dari upacara kelahiran “Manyue”
tersebut.
1.3Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan usaha untuk mengarahkan peneliti pada
permasalahan yang lebih fokus. Berdasarkan latar belakang yang telah penulis
kemukaan diatas, beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini,
yaitu :
1. Bagaimana struktur upacara kelahiran “Manyue” pada Suku Hokkian
di Kota Medan ?
2. Apa makna setiap tahapan dari struktur upacara adat kelahiran
“Manyue” pada Suku Hokkian di Kota Medan?
1.4Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah penelitian yang telah diuraikan terlebih dahulu,
1. Menjelaskan struktur upacara “Manyue” pada Suku Hokkian di Kota
Medan
2. Menjelaskan makna dari tahapan dari struktur upacara yang ada dalam
upacara adat kelahiran “Manyue” pada Suku Hokkian di Kota Medan
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1.5.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini juga diharapkan dapat memberi manfaat
sebagai berikut :
1. Dapat menambah wawasan dan pemahaman tentang Upacara
“Manyue” pada Suku Hokkian secara umum.
2. Mengetahui struktur dan makna Upacara “Manyue” yang dilakukan
Suku Hokkian saat ini khususnya di Kota Medan
3. Untuk memberikan informasi bagi pemerhati budaya dan generasi
muda agar lebih menghargai dan melestarikan budaya leluhurnya
1.5.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini untuk memberi pengetahuan dan
inspirasi tentang struktur dan makna Upacara “Manyue” pada Suku Hokkian di
Kota Medan kepada mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya khususnya Program Studi
Sastra Cina. Hal ini juga sebagai bahan perbandingan dalam kajian budaya
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan daftar referensi dari semua karya tulis seperti
buku, skripsi, jurnal, tesis dan karya ilmiah lainnya yang dikutip di dalam
penulisan proposal ini.
Batu Sungkar dalam jurnal yang berjudul Upacara Masa Kelahiran di
daerah Betawi. 2010. Jurnal ini memaparkan tentang upacara adat kelahiran di
daerah Betawi yang diatur oleh sistem ritual keagamaan. Karya tulis ini
membantu peneliti untuk mengetahui bagaimana tata cara upacara adat kelahiran
yang terdapat di Etnis Betawi dan membandingkannya dengan tata cara upacara
Etnis Tionghoa khususnya pada Suku Hokkian.
Fu Chunjiang dalam buku yang berjudul Origins of Chinese Name.
Terjemahan: (Elia Chun). Asal Usul tentang Adat Buat Nama. 2013. Buku ini
menjelaskan tentang adat pembuatan nama pada Etnis Tionghoa dimana upacara
dilakukan untuk mengenal tata cara serta peralatan yang digunakan dalam upacara
kelahiran dan pembuatan nama sang bayi. Buku ini banyak membantu memberi
bahan penelitian mengenai cara pembuatan nama dalam budaya masyarakat
Tionghoa.
Periksa Ginting dalam jurnal yang berjudul Ma Gwe-Dilakukan Untuk
disediakan dalam upacara kelahiran “Manyue” dan tujuan membuat acara Ma
Gwe yang dikuti dengan pemberian bingkisan itu yakni selain memanjatkan doa
agar anak tersebut diberikan keselamatan, kemakmuran serta kejayaan. Hal ini
juga sebagai pemberitahuan kepada sanak saudara dan tetangga dekat bahwa di
keluarga yang bersangkutan telah lahir seorang anak. Jurnal ini memberikan
informasi yang mendalam mengenai upacara “Manyue” dan bingkisan yang
diberikan kepada para tamu dan dapat berguna bagi peneliti sebagai dasar dalam
penelitian ini.
Koentjranigrat dalam buku yang berjudul Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia. 2004. Menjelaskan tentang sejarah dan demografi masyarakat
Tionghoa. Buku ini memberi penulis wawasan mengenai data demografi
masyarakat, sistem sosial dan kemasyarakataan serta budaya masyarakat
Tionghoa di Indonesia secara umum sehingga dapat dilakukan acuan tentang
sistem kemasyarakatan pada masyarakat Tionghoa di Kota Medan.
Li Xiao Xiang dalam buku yang berjudul Asal Mula Budaya dan Bangsa
Tionghoa. 2003. Menjelaskan makna dari Upacara”Manyue” yang dilakukan
pada saat bayi berusia 30 hari dan makanan serta peralatan apa yang digunakan
pada saat upacara tersebut berlangsung. Tulisan ini memberikan masukkan
terhadap peneliti tentang Upacara“Manyue” dan makanan yang di hidangkan saat
2.2 Konsep
Konsep adalah suatu abstraksi untuk menggambarkan ciri-ciri umum
sekelompok objek, peristiwa atau fenomena lainnya. Konsep merupakan peta
perencanaan untuk masa depan sehingga bisa dijadikan pedoman dalam penelitian.
Konsep biasanya untuk mendekripsikan dunia empiris yang diamati oleh peneliti
yang merupakan gejala sosial tertentu yang sifatnya abstrak. Untuk memahami
hal-hal yang ada dalam penelitian ini perlu dipaparkan beberapa konsep, yaitu:
2.2.1 Kebudayaan
Kebudayaan adalah ciptaan manusia yang dapat muncul, berkembang dan
hilang. Manusia adalah penghasil kebudayaan, dan kebudayaan sendiri
mempengaruhi pembentukkan watak seseorang. Widyasusanto (1996:15)
mendefenisikan kebudayaan adalah “suatu kompleks yang meliputi pengetahuan,
kepercayaan, keilmuan, hokum, moral, kesenian, adat istiadat dan kemampuan
yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat”.
Dari defenisi diatas dapat diperoleh pengertian kebudayaan adalah sesuatu
yang akan wmempengaruhi tingkat pengetahuan yang meliputi ide atau gagasan
yang terdapat dalam pikiran manusia. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari
kebudayaan itu bersifat abstrak. Kebudayaan juga memiliki ciri-ciri sehingga
dapat dengan mudah dikenali. Menurut Maran (2009:49-50) ciri-ciri kebudayaan
sebagai berikut:
kebudayaan. (2) Kebudayaan selalu bersifat sosial artinya kebudayaan tidak pernah dihasilkan secara bersama. Kebudayaan adalah suatu karya bersama bukan karya perorang. (3) Kebudayaan diteruskan lewat proses belajar. Artinya kebudayaan itu diwariskan dari generasi yang satu ke generasi yang lainnya melalui proses belajar. (4) Kebudayaan bersifat simbolik, sebab kebudayaan merupakan ekspresi, ungkapan kehadiran manusia. Kebudayaan disebut simbolik, sebab mengekspresikan manusia dan segala upayanya untuk mewujudkan dirinya. (5) Kebudayaan adalah sistem pemenuhan berbagai kebutuhan manusia. Manusia memenuhi segala keburuhannya dengan cara-cara beradab dengan cara-cara yang manusiawi”.
2.2.2 Struktur
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007) struktur diartikan sebagai
susunan antara seluruh bagian-bagian dari sesuatu. Struktur juga dapat diartikan
sebagai susunan yang saling berhubungan antara satu bagian dengan bagian
lainnya sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh. Istilah struktur berasal dari
kata structum (bahasa Latin) yang berarti menyusun. Struktur adalah pola
hubungan antara manusia dan kelompok manusia. Dengan demikian sebuah
struktur dapat kita lihat dalam kehidupan sosial masyarakat yang sering disebut
struktur sosial.
Komblum (1988) menyatakan “Struktur sosial sebagai pola perilaku berulang
-ulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok
masyarakat”. Hubungan terjadi ketika manusia memasuki pola interaksi yang
relatif stabil dan berkesinambungan atau saling ketergantungan yang
menguntungkan. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa struktur upacara
sebuah upacara kelahiran yang tersusun rapi dan telah disepakati oleh seluruh
masyarakat. Pada penelitian ini struktur yang akan diteliti adalah struktur atau
tahapan-tahapan yang terjadi pada upacara”Manyue” pada Suku Hokkian di Kota
Medan.
2.2.3 Makna
Menurut Boediono dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2009:348)
“makna adalah arti atau maksud yang penting didalamnya”. Menurut Mansoer
Pateda, (2001:82) mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna
dengan pengertian. Makna adalah sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki
atau terdapat pada suatu tanda atau simbol (Saussure,1994:286). Segala sesuatu
yang melekat dari apa yang kita tuturkan disebut makna. Makna memiliki tiga
tingkat keberadaan, yakni:
1. makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan
2. makna menjadi isi dari suatu kebahasaan
3. makna menjadi isi komunikasi yang mampu membuahkan isi
komunikasi yang mampu membuahkan informasi tertentu
2.2.4 Upacara
Upacara adalah rangkaian tindakan/perbuatan yang terikat kepada
aturan-aturan tertentu menurut adat/agama. Upacara juga dapat diartikan sebagai
perbuatan/perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubung dengan peristiwa
Istilah upacara selalu dikaitkan dengan budaya menjadi upacara budaya.
Budaya atau kebudayaan adalah keseluruhaan yang kompleks, yang didalamnya
terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat
dan kemampuan lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota
masyarakat.
Menurut Koentjaranigrat (1990:190) pengertian upacara ritual atau
ceremony adalah:
“Sistem aktifitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat/hukum yang
berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam
peristiwa yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan”. Jadi
upacara adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan
tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan. Upacara pada
dasarnya merupakan bentuk perilaku masyarakat yang menunjukkan
kesadaran terhadap masa lalunya. Masyarakat menjelaskan tentang masa
lalunya melalui upacara. Melalui upacara, kita dapat melacak tentang asal
usul baik itu tempat, tokoh, sesuatu benda, kejadian alam, dan lain-lain”.
2.2.5 Manyue
Menurut Kamus Besar Tionghoa-Indonesia (2010:204) , “Man” artinya
penuh : berisi dan “Yue” artinya bulan. Upacara ”Manyue” merupakan upacara
budaya yang berasal dari Tiongkok dan dilakukan ketika usia bayi mencapai satu
bulan atau tepatnya 30 hari saat bayi dilahirkan. Upacara adat kelahiran atau
melambangkan suatu tahapan kehidupan yang baru, sedangkan warna merah
melambangkan perayaan dan keberuntungan. Bentuk telur yang oval
melambangkan harmoni dan kesatuan. Jadi telur merah menandakan kebahagian
dan permulaan hidup yang baru dengan hadirnya seorang bayi ditengah-tengah
keluarga.
Pada zaman dahulu kematian bayi di Negara Tiongkok sangat tinggi
karena ilmu pengobatan belum maju seperti sekarang ini. Seorang bayi mampu
bertahan hingga berusia satu bulan kemungkinan besar dapat bertahan hidup
sampai dewasa, maka dari itu dirayakanlah perayaan “Manyue”. Lalu peran anak
laki-laki sangat penting dalam tradisi Etnis Tionghoa, maka dari itu pada zaman
dahulu Upacara “Manyue” hanya dirayakan kepada bayi laki-laki saja atau
perayaan buat bayi laki-laki lebih meriah dibanding bayi perempuan. Tetapi
sekarang pesta “Manyue” dirayakan untuk bayi laki-laki maupun bayi
perempuan. Ini di karenakan di Tiongkok masih menganut sistem garis patrilineal.
Akan tetapi seiring zaman yang berkembang cara pandang dan berpikir dalam
keluarga Etnis Tionghoa khususnya Suku Hokkian mulai terbuka dengan tidak
membedakan-bedakan upacara “Manyue”.
2.2.6 Suku Hokkian
Kelompok etnis atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang
anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya
berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama (Team Penyusun Besar Bahasa
Indonesia, 2007:579). Identitas suku ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan
dan ciri-ciri biologis. Begitu juga dengan Etnis Tionghoa di Indonesia telah
banyak yang bergaul dengan penduduk asli Indonesia namun sebagian dari
penduduk Indonesia belum mengetahui dan mengenal penduduk etnis Tionghoa
itu secara mendalam.
Seperti yang dilansir dari salah satu situs berita online
www.wisata.kompasiana.com (27/01/2014 pukul 13.09 WIB) menjelaskan:
“… Cerita tentang perdagangan Kota Medan, tidak terlepas dari datangnya para penjelajah dari berbagai negeri. Mulai dari kedatangan kaum kuli, pedagang, hingga penyebar agama, dan kelompok penjajah. Salah satunya adalah kaum pendatang dari negeri Tiongkok. Riwayat perjalanan mereka menyeberangi lautan diceritakan dalam berbagai literature sejarah. Termasuk prasasti dari kerajaan Sriwijaya. Jejak peradaban mereka terangkum dalam berbagai warisan kebudayaan. Seperti di daerah Medan Labuhan ini”.
Para leluhur Etnis Tionghoa di Indonesia migrasi secara bergelombang sejak
ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perdagangan. Setiap imigran yang datang
ke Indonesia akan membawa kebudayaan suku bangsanya masing-masing. Begitu
juga dengan para etnis Tionghoa yang memiliki kebudayaan tersendiri, misalnya :
budaya kelahiran atau “Manyue”, budaya perkawinan, budaya kematian, Imlek,
Cap Gomeh dan lain-lainnya.
Etnis Tionghoa yang berada di Indonesia, sebenarnya tidak merupakan satu
kelompok yang berasal dari satu daerah di Cina, tetapi terdiri dari beberapa suku
bangsa yang berasal dari dua provinsi yaitu Fukien dan Kwangtung yang sangat
terpencar daerahnya. Para imigran Tionghoa ini datang ke Indonesia mulai abad
ke-16 sampai kira-kira pertengahan abad ke-19. Koentjaraningrat (2007:195)
“Etnis Tionghoa sendiri merupakan orang yang berasal dari negara Cina namun pada kenyataannya etnis Tionghoa yang berasal dari negara Cina tersebut tidak menyukai jika para etnis Tionghoa tersebut dikatakan sebagai orang “Cina”. Hal ini dikarenakan pemakaian kata “Cina” dianggap sebagai konotasi yang negatif dimana kata “Cina” dianggap merendahkan etnis Tionghoa tersebut”.
Maka dari itu kata “Cina” diganti menjadi orang Tiongkok atau Etnis
Tionghoa. Pada dasarnya Etnis Tionghoa terbagi dalam beberapa kelompok etnis
atau suku yaitu : Suku Hokkian, Suku Hakka, Suku Kwongfu atau Suku Kanton,
Suku Teo-Chiu dan lainnya. Pada dasarnya para Suku Tionghoa yang ada di
Indonesia berasal dari Fukkien dan Kwantung. Akan tetapi di kota Medan Suku
Tionghoa yang paling banyak adalah Suku Hokkian, Suku Hakka, Suku Teo-Chiu.
Suku Tionghoa yang lainnya sudah jarang dijumpai karena kebanyakan sudah
menikah dengan Suku Tionghoa yang berbeda. Dengan kata lain Suku Tionghoa
tersebut melakukan pernikahan campuran dengan suku yang lain. Suku Hokkian
merupakan suku yang terbesar jumlahnya di Kota Medan karena penyebaran Suku
Hokkian yang melalui jalur buruh pertanian dan jalur perdangangan. Sampai
sekarang Suku Hokkian bermata pencarian sebagai pedagang atau usahawan.
2.3 Landasan Teori
Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk menganalisis berbagai
fenomena dan juga sebagai rujukan utama dalam memecahkan masalah penelitian
didalam ilmu pengetahuan. Sejalan dengan hal tersebut maka dalam sebuah
penelitian perlu ada landasan teori yang mendasarinya, karena landasan teori
merupakan kerangka dasar sebuah penelitian. Dalam skripsi yang berjudul
maka penulis mengggunakan landasan teori struktural fungsional dan semiotika
untuk membahas lebih dalam tentang Upacara“Manyue”.
2.3.1 Teori Upacara
Dalam rangka mendeskripsikan upacara “Manyue” bagi Suku Hokkian penulis
menggunakan teori upacara. Pelaksanaan upacara “Manyue” bermaksud untuk
menjawab dan menginterpretasikan permasalahan kehidupan sosialnya untuk
memenuhi kebutuhan untuk tujuan bersama agar upacara “Manyue” ini lestari
menurut waktu dan zaman di mana berada. Hal ini sesuai dengan pendapat
Melalatoa (1989:260) bahwa dalam ekspresi jiwa manusia dapat dilakukan
melalui upacara yang menjawab dan menginterpretasikan permasalahan
kehidupan sosialnya, mengisi kebutuhan, atau mencapai tujuan bersama, seperti
kemakmuran, persatuan, kemuliaan, kebahagiaan, dan rasa aman yang
berhubungan dengan dunia gaib (supernatural), dan lain-lain.
Upacara “Manyue” adalah upacara rasa syukurnya keluarga kepada Tuhan
atau Sang Pencipta atas perlindungan Tuhan kepada sang bayi atas bertambahnya
anggota keluarga di tengah-tengah keluarga dan wujud syukur keluarga atas
perlindungan Tuhan kepada sang bayi yang baru dilahirkan.
2.3.2 Teori Semiotik
Istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu semion yang berarti tanda.
Semiotik juga dapat menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan lambang,
Menurut C.S Peirce (2001:44) mengemukakan teori segitiga makna atau
triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object,
dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap
oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk
(merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri
dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari
perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat).
Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.Objek atau acuan tanda adalah konteks
sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.
Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang
menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna
yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.Hal
yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari
sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Baik semiotik
atau semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung dimana istilah itu
populer. (Endaswara, 2008:64)
Semiotika memiliki enam prinsip dasar, yaitu :
1. Prinsip Struktural.
Tanda dilihat sebagai sebuah kesatuan antara sesuatu yang bersifat
material dan konseptual. Yang menjadi fokus penelitian adalah relasi
antara unsur-unsur tersebut, karena dari relasi tersebut akan menghasilkan
2. Prinsip Kesatuan.
Sebuah tanda merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
antarabidang penanda yang bersifat konkrit atau material dengan bidang
penanda.
3. Prinsip Konvensional.
Relasi antara penanda (signifer) dan petanda (signified) sangat tergantung
pada apa yang disebut konvensi, yaitu kesepakatan sosialtentang bahasa
(tanda dan makna) diantara komunitas bahasa.
4. Prinsip Sinkronik.
Tanda dipandang sebagai sebuah sistem yang tetap didalam konteks waktu
yang dianggap konstan, stabildan tidak berubah.
5. Prinsip Representasi.
Tanda merepresentasikan suatu realitas yang menjadi rujukan atau
referensinya.
6. Prinsip Kontinuitas.
Relasi antara sistem tanda dan penggunanya secara sosial dipandang
sebagai sebuah continuum, mengacu pada struktur yang tidak pernah
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian Deskriptif Kualitatif
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian Struktur Upacara
Adat Kelahiran “Manyue“ dalam Pada Suku Hokkian di Kota Medan adalah
metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Penelitian ini bersifat deskriptif, bertujuan menjelaskan secara tepat sifat
individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekwensi
adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala yang lain dalam
masyarakat. Dalam hal ini mungkin sudah ada hipotesa-hipotesa, mungkin juga
belum, tergantung dari sedikit banyaknya pengetahuan tentang masalah
bersangkutan (Koentjaningrat,1991:29).
Sedangkan menurut Hadari dan Mimi Martini (1994:176), penelitian yang
bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data atau
informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi
aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Penelitian ini tidak
mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif.
Data-data yang dikumpulkan oleh peneliti berbentuk catatan, foto, hasil
wawancara, pengamatan lapangan, dokumen pribadi dan lain-lain. Data
Dalam rangka penelitian terhadap struktur dan makna upacara “Manyue”
pada Suku Hokkian di Kota Medan ini, maka metode penelitian yang penulis
pergunakan adalah metode kualitatif, yaitu dengan cara mengkaji kegiatan ritual
(upacara) ini. Kemudian menginterpretasikan kegiatan tersebut berdasarkan etika
penelitian yang didasari oleh multidisiplin ilmu. Dalam hal ini ilmu yang
digunakan adalah mencakup ilmu antropologi, sosiologi dan budaya.
Untuk menginterpretasikan makna-makna yang terjadi, maka penulis
melakukan pendekatan wawancara kepada informan. Dengan demikian,
diharapkan penelitian ini akan mengungkapkan kebenaran realita yang ada serta
hal-hal yang melatarbelakangi upacara adat “Manyue” ini.
3.2 Data dan Sumber Data
Di dalam setiap penelitian, data menjadi patokan yang sangat penting bagi
setiap penulis untuk menganalisis masalah yang dikemukakan. Data yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data yang dipakai pada
upacara-upacara keagamaan budaya khas Suku Hokkian di kota Medan. Data-data yang
digunakan diperoleh dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Data
primer merupakan data utama yang dibutuhkan dalam penelitian, yaitu berupa
wawancara dengan para informan dan pengamatan di lokasi penelitian sedangkan
data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku, majalah, artikel-artikel
di surat kabar, skripsi, jurnal, internet, dan lain-lain yang berkaitan dengan
informan yang di anggap dapat memberikan informasi secara terperinci untuk
mendukung penelitian. Informan sebagai berikut:
Sumber Data Primer : Li Mei
Profesi : Wiraswasta Grosir
Alamat :Jl.Pasundan Sekip No.38 Medan
Umur : 60 Tahun
Sumber Data Primer : A long
Profesi : Penjual Makanan
Alamat : Jl. Sekip No. 102 Medan
Umur : 75 Tahun
Selain sumber data sekunder yang berasal dari para informan terdapat juga
dokumentasi berupa foto yang dianggap dapat melengkapi kebutuhan penulis
dalam penelitian, seperti foto informan dari warga Suku Hokkian di sekitar Jalan
Meranti Kec.Sei Putih Timur, Kel.Medan Petisah dan dokumentasi video upacara
“Manyue” yang diberikan para informan untuk melengkapi penelitian ini.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara peneliti memperoleh dan
metode : Studi Kepustakaan (Library research), Observasi Lapangan, Wawancara
(Interview).
3.3.1 Studi Kepustakaan (Library research)
1. Mengunjungi perpustakaan untuk mencari referensi yang berkaitan
dengan kajian penulis.
2. Mencari buku yang berkaitan dengan kajian penulis di luar perpustakaan,
seperti tempat bimbingan belajar sempoa dan toko buku.
3. Mencari referensi melalui internet dengan mengunduh skripsi maupun
jurnal yang berkaitan dengan kajian penulis.
Setelah selesai melaksanakan proses studi kepustakaan lalu dilanjutkan
dengan melihat daftar isi buku yang sudah ditemukan, memeriksa setiap subjudul
yang berkaitan dengan objek yang akan dikaji oleh penulis. Lalu membaca
seluruh informasi yang ada di buku, skripsi maupun jurnal yang berkaitan dengan
kajian penulis. Penulis mengumpulkan seluruh data yang diperoleh agar
selanjutnya dapat dianalisis.
3.3.2 Observasi Lapangan
Observasi atau pengamatan berarti setiap kegiatan untuk melakukan
pengukuran dengan menggunakan indera penglihatan yang juga berarti tidak
melakukan pertanyaan-pertanyaan (Soehartono, 1955:69).
Di dalam penelitian ini peneliti menentukan lokasi penelitian yang cocok
dengan apa yang ingin diteliti oleh penulis. Kemudian peneliti melakukan
melihat dan mengamati keadaan yang sedang berlangsung dan segala fenomena
yang berkembang di wilayah tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan, penulis
berkeinginan untuk melakukan wawancara terhadap informan yang dianggap
dapat membantu melengkapi data-data yang dibutuhkan oleh penulis.
3.3.3 Wawancara (Interview)
Salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian adalah tehnik
wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan bertanya secara langsung
kepada objek penelitian. Sebagai modal awal penulis berpedoman pada pendapat
Koentjaraningrat (1981:136) yang mengatakan, “…kegiatan wawancara secara
umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: persiapan wawancara, tehnik
bertanya dan pencatat data hasil wawancara.”
Di dalam penelitian ini peneliti menulis pertanyaan-pertanyaan yang akan
diajukan kepada informan di buku catatan penulis, lalu menentukan beberapa
informan yang dianggap dapat membantu penulis dalam melengkapi data-data
yang dibutuhkan dalam penelitian. Selanjutnya penulis melakukan wawancara
terhadap informan. Pada saat wawancara berlangsung, penulis mencatat hal-hal
yang dianggap penting dan merekam seluruh dialog berupa rekaman video
maupun rekaman suara. Setelah wawancara selesai dan seluruh informasi telah
didapat dari informan, penulis membaca hasil informasi yang dicatat dan memutar
3.4 Lokasi Penelitian
Etnis Tionghoa yang berada di pusat Kota Medan banyak bermukim di tempat
yang strategis dimana Suku Hokkian tersebut dapat melangsungkan kehidupannya
dan bersosialisasi. Salah satu adalah di Kecamatan Medan Petisah tepatnya di
Kelurahan Sei Putih Timur.
Kecamatan Medan Petisah merupakan salah satu wilayah yang berada di pusat
Kota Medan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi dengan luas
wilayah 12, 547 km2 atau 4,97% dari luas Kota Medan. Data Badan Pusat Stastik
(BPS) Kota Medan :
“... Secara geografis Kecamatan Medan Petisah berada di tengah Kota Medan. Disebelah barat berbatasan debgan Kecamatan Medan Barat, di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Medan Baru, disebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Barat dan disebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Medan Sunggal. Sedangkan topografi permukaan dataran di kecamatan ini adalah datar”.
Berdasarkan data statistik tahun 2012 yang diperoleh dari kantor Kelurahan
Medan Petisah, luas wilayah kecamatan ini adalah 493 Hektar dengan jumlah 69
Lingkungan dengan total angka kelahiran 1060 jiwa dan memiliki jumlah
penduduk sebanyak 61.855 jiwa. Kelurahan Sei Putih Timur memiliki luas
Gambar 3.1 (Sumber: Google Maps)
Peta Jl. Meranti, Kel. Sei Putih Timur, Kec. Medan Petisah
3.5 Teknik Pengolahan Data
1. Semua data yang bersumber dari kepustakaan maupun lapangan
dikumpulkan menjadi satu oleh penulis.
2. Data disusun dan diklasifikasi berdasarkan konsep yang telah ditentukan
oleh penulis.
3. Data dibagi berdasarkan beberapa aspek, yaitu Etnis Tionghoa khususnya
Suku Hokkian, struktur dan makna serta upacara “Manyue”.
3.6 Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini akan diupayakan untuk memperdalam atau
menginterpretasikan secara spesifik dalam rangka menjawab seluruh pertanyaan.
1. Mengumpulkan buku-buku atau jurnal-jurnal yang diharapkan dapat
mendukung tulisan ini kemudian memilih data yang dianggap paling
penting dan penyusunannya secara sistematis.
2. Membaca dan menyusun kronologis data upacara “Manyue” pada Suku
Hokkian yang dimulai dari upacara penghormatan kepada Tuhan dan
leluhur, upacara pemberian nama bayi, memperkenalkan sang bayi
kepada keluarga dan kepada para tamu, upacara pemotongan rambut,,
upacara mendoakan bayi dan upacara pemberian hadiah dan telur merah.
3. Berdasarkan data-data yang diambil, lalu penulis membuat objek kajian
peneliti dan melakukan analisis denggan menggunakan teori struktural
dan teori semiotika. Selanjutnya membuat kesimpulan dari hasil yang
BAB IV
STRUKTUR DAN MAKNA UPACARA
“MANYUE”
PADA
SUKU HOKKIAN DI KOTA MEDAN
Pada bab-bab sebelumnya penulis telah menjelaskan tinjauan pustaka,
konsep, landasan teori dan metode penelitianyang digunakan. Pada bab ini,
penulis menganalisis struktur dan makna “Manyue” pada Suku Hokkian di Kota
Medan dengan menggunakan teori struktur dan semiotik. Teori skematik harus
memiliki struktur pendahuluan, pertengahan dan akhir yang bersifat sama dengan
struktur dalam upacara “Manyue” Teori semiotik menggunakan tanda dan
menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam pikiran
seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.
4.1 Struktur Upacara “Manyue” pada Suku Hokkian di Kota Medan
Upacara “Manyue” pada suku Hokkian memiliki beberapa tahapan yang
harus dilakukan. Tahapan ini dimulai dari upacara penghormatan kepada Tuhan,
upacara penghormatan kepada leluhur, upacara pemberian nama kepada sang bayi,
upacara memperkenalkan sang bayi kepada keluarga dan kepada para tamu,
upacara pemotongan rambut bayi, upacara mendoakan sang bayi, upacara makan
4.1.1 Upacara Penghormatan Kepada Tuhan atau Sang Pencipta
Di pagi hari pada saat upacara “Manyue” terlebih dahulu yang akan
dilakukan adalah acara sembahyang atau acara kebaktian /Misa Syukur. Acara ini
tergantung dari agama atau kepercayaan yang dianut. Pada Agama Kristen
upacara pertama yang akan dilakukan adalah upacara kebaktian / Misa Syukur
dimana seorang pendeta atau pastor akan membuka acara kebaktian dengan
lantunan kidung-kidung lagu pujian lalu dilanjutkan dengan pemberian ayat suci
kepada sang bayi. Upacara kebaktian ini dilakukan di rumah karena pantangan
kepercayaan Suku Hokkian yang mengatakan bahwa tidak boleh ibu yang
melahirkan bayi keluar dari rumah sebelum upacara “Manyue” ini dilaksanakan.
Gambar 4.1 Upacara Kebaktian “Manyue”
Lalu pada upacara kebaktian atau misa syukur setelah ayah dari sang bayi
membacakan ayat suci dari Alkitab, pendeta/pastor akan memberikan roti kudus
(Hosti) kepada kedua orang tua bayi dan kepada sang bayi yang diwakilkan oleh
Gambar 4.2 Ayah dari sang bayi membacakan ayat suci dari Alkitab
Gambar 4.4 Pendeta memberikan roti kudus (Hosti) pada sang ibu
Pada agama Budha sebelum melaksanakan upacara “Manyue” terlebih
dahulu kedua orang tua bayi atau keluarga terdekat dari bayi tersebut akan
melakukan upacara sembahyang di tempat tidur sang bayi. Acara sembahyang
yang dilakukan di tempat tidur merupakan wujud rasa terima kasih keluarga atas
diberikannya dan dijaganya sang bayi oleh para Dewa dan Dewi. Lalu dilanjutkan
dengan upacara sembahyang yang dilakukan di meja sembahyang dengan
membakar dupa atau hio dengan berbagai sesajian yang di berikan kepada para
dewa dan dewi.
4.1.2 Upacara Penghormatan Kepada Leluhur dan Orangtua
Setelah Upacara penghormatan kepada Tuhan dilanjutkan dengan upacara
pengormatan kepada para leluhur. Upacara Penghormatan kepada leluhur terbagi
atas upacara penghormatan kepada leluhur yang sudah meninggal dan kepada
orang tua yang masih hidup. Upacara penghormatan kepada leluhur yang sudah
meninggal dilakukan juga di meja sembahyang yaitu dengan soja atau
membungkuk Cara soja atau pai itu sebenarnya dengan membungkukkan badan
45 derajat. Lalu dilanjutkan dengan upacara pemberian dupa atau hio di papan
meja sembahyang. Peletakan dupa atau hio pada saat upacara penghormatan
kepada leluhur tidak boleh dilakukan secara bersama-sama namun peletakan dupa
atau hio dilakukan secara satu persatu.
Pada Suku Hokkian percampuran agama di dalam keluarga sudah biasa
terjadi. Hal ini karena sang anak yang menikah dengan agama lain dan
meninggalkan agama yang dianutnya mengikuti agama dari sang suami atau sang
istri. Walaupun pada Suku Hokkian percampuran agama di dalam keluarga sudah
banyak telah terjadi namun Suku Hokkian tidak melupakan tradisi mereka.
Contohnya saja beberapa informan pada Upacara “Manyue” yang beragama
Kristen. Orang tua dari sang bayi yang melaksanakan upacara “Manyue”
beragama Kristen namun nenek dan kakek dari sang bayi adalah agama Budha.
Akan tetapi upacara penghormatan masih dilakukuan oleh nenek dan kakek dari
sang bayi. Kakek dan nenek dari sang bayi masih diberi kebebasan untuk
melakukan upacara penghormatan leluhur walaupun orangtua dari sang bayi tidak
Setelah upacara penghormatan leluhur selesai dilakukan dilanjutkan
dengan upacara penghormatan kepada orangtua yang masih hidup. Orang tua
adalah wakil Tuhan di dunia ini dan sebagai orang yang lebih dahulu dalam
membesarkan anak. Maka dari itu Suku Hokkian menggap bahwa orang tua
adalah orang yang patut di hormati karena jasa-jasa orang tua dalam
membesarkan anaknya juga dalam memberi doa-doa terhadap anak dan cucunya.
Upacara penghormatan ini dilakukan oleh kedua orang tua sang bayi dengan cara
membungkuk terlebih dahulu lalu dilanjutkan dengan cara bersujud atau
sungkeman kepada orang tua dari masing-masing. Upacara penghormatan kepada
orang tua dilakukan oleh semua agama baik agama Kristen maupun agama Budha.
Pada saat bersujud atau sungkeman orang tua akan memberikan nasihat dan
doa-doa kepada orang tua yang baru memiliki anak. Upacara penghormatan kepada
orang tua cenderung membuat orangtua dari bayi akan terharu mendengar nasihat
dan doa-doa.
4.1.3 Upacara Pemberian Nama Sang Bayi
Pemberian nama kepada bayi pada Suku Hokkian hampir sama dengan
suku-suku yang ada di Indonesia dan suku-suku pada Etnis Tionghoa lainnya
yaitu menganut sistem patrilineal dimana marga diturunkan dari pihak lelaki.
Marga diletakkan pada posisi depan dengan menggunakan nama keluarga atau
marga pada keturunannya. Pada suku-suku yang ada di Indonesia nama keluarga
atau marga diletakkan di belakang setelah nama sang bayi namun pada Suku
Secara tradisional Suku Hokkian biasa menggunakan nama yang diawali
dengan nama marga yang diambil dari pihak ayah. Selain itu ada juga yang
memakai marga atau She dari ibunya dan nama itu juga berfungsi sebagai
lambang atau tanda tertentu serta juga bisa menunjukkan kepribadian dan
karakternya. Misalnya: memakai nǚ (女, perempuan) sebagai elemen hurufnya.
Misalkan: 姜 (jiang), 姚 (yao), 姬 (ji). Bahkan kata “marga” (姓) itu sendiri
terdiri dari 女 dan 生. Hal ini adalah sesuai dengan karakter huruf-huruf mandarin
yang mengandung arti yang sangat dalam. Karena itu pada awalnya bahasa atau
huruf Mandarin adalah sebuah “gambar” yang kemudian disederhanakan dan pada
akhirnya dikenal sebagai huruf Mandarin. Maka dari itu dalam penulisan serta
penyebutannya haruslah tepat karena berbeda sebuah titik ataupun sebuah garis
saja maka bisa berbeda jauh arti dan maksudnya. Huruf Mandarin memang
memerlukan penyebutan yang teliti dan tepat akan tetapi huruf-huruf ini juga
banyak dipakai di berbagai negara dan cara penyebutannya pun bisa berlainan
akan tetapi arti dan maksudnya tetaplah sama untuk huruf tertentu walau disebut
degan dialek yg berbeda. Hal yang lazim nama tersebut terdiri dari 3 suku atau
buah kata, yakni: kata pertama, nama marga atau "She" Kata kedua adalah sesuai
dengan urutan syair marga atau keluarga. Kata ketiga barulah nama diri seseorang.
Pada zaman dahulu pemberian marga pada Etnis Tionghoa dapat dilihat
asal usul marganya. Misalnya:
1. Marga berasal dari binatang yang disembah orang zaman dulu. Misal: 马
Dalam suatu suku mempunyai marga Lung / Liong (Hokian) yang artinya
naga. Ada kemungkinan pada jaman dahulu leluhur suku tersebut
menggunakan lambang naga. Contoh lain misalnya suatu suku
menggunakan marga Ma yang artinya kuda. Bisa jadi bagi mereka kuda
mempunyai makna yang penting ataukah sebagai binatang yang berjasa
karena membantu meringankan kehidupan mereka atau karena alasan lain.
2. Marga dari negara leluhur. Misal: 赵 (Zhao), 宋 (Song), 秦 (Qin), 吴 (Wu).
3. Marga berasal dari nama gelar leluhur. Misal: 司马 (Sima), 司徒 (Situ),
yang merupakan nama gelar zaman dulu. Pada kelompok orang yang
menggunakan marga司马 (Sima) yang artinya Menteri Perang. Mungkin
dahulu leluhur suku tersebut ada yang menjabat sebagai menteri perang
suatu kerajaan sehingga keturunannya menggunakan marga司马 (Sima).
4. Marga berasal dari kedudukan leluhur. Misal: 王 (pangeran), 侯 (marquis).
5. Posisi dan keadaan tempat tinggal sebagai marga. Misal: 东郭 (tembok
timur), 西门 (gerbang barat), 池 (kolam), 柳 (willow).
6. Pekerjaan sebagai marga. Misal: pembuat tembikar bermarga 陶(tao,
tembikar).
7. Menggunakan nama leluhur sebagai marga. Misal: leluhur bangsa
Tiongkok, Huangdi, bernama Xuanyuan, maka akhirnya Xuanyuan
menjadi sebuah marga.
Selain marga yang dibawa kedalam penamaan bayi ada juga nama pribadi
orang lain; untuk memudahkan anggota keluarga/masyarakat memanggilnya,
menyuruhnya bila perlu. Nama dibuat untuk dipakai, untuk disebut demi
kepraktisan dalam kehidupan sehari-hari. (Tarigan, 1995). Di dalam pemberian
nama terdapat aturan cara pemberian nama. Menurut Thatcher (1970) ada 7 aturan
pemberian nama yaitu: (1) nama harus berharga, (2) nama harus mengandung
nama yang baik, (3) nama harus asli, (4) nama harus dilafalkan, (5) nama harus
bersifat membedakan, (6) nama harus cocok dengan nama keluarga, (7) nama
harus menunjukkan jenis kelamin.
Sama seperti suku bangsa pada umumnya. Pemberian nama bayi pada
Suku Hokkian mempunyai beberapa tata cara yaitu: dengan melihat kaitannya
dengan saat kelahiran, ada yang menggunakan cara yang sesuai dengan harapan
orangtua, ada yang mencari arti dan huruf yang di pergunakan, ada yang mencari
bunyi yang menurut orangtua bagus terdengarnya, ada yang menggunakan shio
dan ada yang menggunakan fengshui.
1. Pemberian nama bayi melihat kaitannya dengan saat kelahiran. Biasanya
orangtua akan melihat tanggal berapa, jam berapa, atau shio apa cara ini
yang dinamakan peqji
2. Pemberian nama dengan mencari bunyi yang menurut orang tuanya bagus
terdengarnya.
3. Pemberian nama yang mencari arti dari huruf yang menggunakan cara
yang sesuai dengan harapan orang tua
Misalnya: misal: 忠“Zhong” (kesetiaan), 义“Yi” (keadilan), 丽 “Li”
harapan kesehatan, panjang umur, bahagia, misal: 健“Jian” (sehat), 寿
atau tempat kelahiran. Contoh yang lahir di luar negeri diberi nama Haiwai
yang artinya diseberang lautan. Yang lahir di propinsi Fujian diberi nama
Min...(Min adalah singkatan dari nama propinsi Fujian, yang dalam dialek
Hokkian dibaca Ban), ada cara yang diberi nama dewa dan nama binatang
yang kuat untuk laki-laki, dan nama bintang, tumbuhan yang indah untuk
wanita.
6. Pemberian nama ada juga yang menggunakan shio pada pembuatan nama
sang bayi. Huìyuán, Dàshī 慧 缘 大 师 (2011) mengatakan sejak dahulu
masyarakat Tionghoa memiliki kebudayaan memberi nama berdasarkan
shio. Shio yang dimiliki oleh masing-masing orang merupakan
kebudayaan yang ditinggalkan leluhur sejak dahulu. Cara pertama adalah
langsung memberikan nama berdasarkan dua belas shio, contohnya orang
bernama 王申猴, Wáng Shēnhóu ,王子鼠 Wáng Zǐshù,牛丑牛Niú Chǒu.
Cara ini walaupun dapat dengan jelas mencerminkan dua belas
shio dalam nama seseorang, serta memiliki makna untuk menunjukan
lain yang diutarakan oleh Zhōu 周 (2012), yaitu menghubungkan makna
yang tercermin dalam radikal huruf Tionghoa dengan kebiasaan binatang
dalam dua belas shio, misalnya ada seorang anak yang memiliki shio
kambing. Kambing suka makan rumput 草 cǎo. Huruf yang mengandung
radikal rumput “草cǎo” akan sangat membantu melancarkan rejeki bagi
orang bershio kambing, seperti, 苑 yuàn, 莲 lián dan 秋 qiū, sehingga
anak tersebut diberi nama 吴秋莲Wú Qiūlián.
7. Selain menggunakan shio ada juga yang menggunakan fengshui. Ilmu
Fengshui ternyata tidak dipakai hanya untuk rumah atau bangunan saja,
tetapi bisa juga dipakai untuk membuat nama pada anak (sejak bayi).
Tujuan pembuatan nama anak berdasarkan Fengshui adalah dengan
harapan agar anaknya kelak bisa menjadi orang yang kaya rezeki, jadi
orang terkenal, jadi pejabat, jadi artis, dan sebagainya. Banyak teknik atau
cara dalam pemberian nama menggunakan fengshui anak, diantaranya
adalah :
a. Untuk nama karakter Hanzi juga ada hitungan unsur-nya. Misalnya
kalau unsur lahirnya kekurangan/lemah di unsur Kayu, maka dicarikan
nama yang berunsur kayu agar bisa seimbang. Untuk nama karakter Hanzi
juga harus lebih dari 30 coretan/goresan (tradisional).
b. Tanggal lahir dan jam lahir anak dicarikan unsurnya. Kalau sudah ketemu,
berarti angin. Kalau angin berarti unsurnya udara, atau dicarikan unsur lain
yang berkaitan terhadap udara.
Akan tetapi Suku Hokkian yang sudah menetap di Indonesia memilih
nama bayi dengan menggunakan nama yang menyerupai nama-nama orang
Indonesia. Ini diperjelas dengan Peraturan perundang-undangan atau Keppres No.
240 Tahun 1967 tentang Kebijaksanaan Pokok yang Menjangkut Warga Negara
Indonesia Keturunan Asing (“Keppres 240/1967”). Pasal 5 Keppres 240/1967
berbunyi “Khusus terhadap Warga Negara Indonesia Keturunan Asing jang
masih memakai nama Cina diandjurkan mengganti nama-namanja dengan nama
Indonesia sesuai dengan ketentuan jang berlaku.” Dalam konsiderans mengingat
Keppres 240/1967 merujuk antara lain pada Keputusan Presidium Kabinet No.
127/U/Kep/12/1966 tentang Peraturan Ganti Nama Bagi WNI yang Memakai
Nama Cina. Maka dari itu Suku Hokkian di Kota Medan lebih menggunakan
nama sang bayi dengan menyerupai nama-nama orang Indonesia atau nama-nama
Jawa yang mempunyai makna yang bagus dan menggunakan nama bayi
menyerupai nama-nama orang barat. Berikut tata cara penggunaan nama
Mandarin dibuat ke dalam nama Indonesia:
1. Tjie Kim Fie menjadi Silvie Djiono.
Bunyi (fie) pada unsur akhir nama Tionghoa mirip dengan bunyi unsur awal pada
2. Goey Kiong U menjadi Utuh Sastra Gunawan
Bunyi (goey) pada unsur awal nama Tionghoa mirip dengan bunyi unsure akhir
pada nama Indonesia [gunawan], bunyi [goe (-y) + nawan]. Bunyi [nawan] di
tambahkan pada bunyi [goe]. Selain itu, bunyi [u] pada akhir unsur nama menjadi
unsur awal pada nama Indonesia namun ditulis menjadi sebuah kata utuh.Jadi
bunyi [u] + [tuh] [utuh].
3. Tan Tie Yoke menjadi Elianawati Yulia Tanuwijaya.
Bunyi [tan] pada unsur awal nama Tionghoa mirip dengan bunyi unsur akhir pada
nama Indonesia yakni [tanuwijaya]. Kedua nama tersebut mengandung bunyi
[tan]. Bunyi [tan] + (u) wijaya] [tanuwijaya].Sedangkan bunyi [u] digunakan
sebagai penyelaras bunyi agar enak/indahdidengar.
4.1.4 Upacara Memperkenalkan Sang Bayi
Setelah upacara pemberian nama dilanjutkan dengan upacara
memperkenalkan bayi kepada para keluarga besar dan tamu. Upacara
memperkenalkan bayi pertama sekali dilakukan kepada keluarga terdekat dan
keluarga besar dengan pertama sekali di kenalkan kepada eyang atau kakek dan
nenek dari bayi lalu dilanjutkan dengan perkenalan kepada dalam sang bayi yakni
keluarga dari ayah yaitu paman dan bibi dari ayah sang bayi lalu dilanjutkan oleh
Gambar 4.6 Upacara Memperkenalkan sang bayi kepada keluarga
Setelah acara memperkenalkan bayi kepada para keluarga terdekat dan
keluarga besar dilanjutkan memperkenalkan sang bayi kepada para tamu. Dalam
acara ini beberapa tamu baik tamu dari keluarga maupun tetangga akan berbicara
kedepan dengan mengucapkan selamat kepada orang tua sang bayi. Upacara
perkenalan bayi ini dilakukan dengan rasa bahagia atas bertambahnya anggota
baru di tengah keluarga.
4.1.5 Upacara Pemotongan Rambut Sang Bayi
Upacara pemotongan rambut bayi dilakukan ketika bayi merasa sudah
terlelap tidur. Sebelum upacara pemotongan rambut dilaksanakan sang bayi di
pakaikan pakaian baju berwarna putih. Upacara pemotongan rambut pertama
sekali dilakukan oleh pendeta lalu dilanjutkan oleh ayah dari sang bayi
selanjutnya dilanjutkan oleh ibu dari bayi. Setelah kedua orangtua bayi selesai
memotong rambut sang bayi dilanjutkan oleh kakek dan nenek dari kedua
orangtua sang bayi di ikuti oleh keluarga dalam dari sang ayah dan keluarga luar
dari sang ibu dan dilanjutkan oleh beberapa para tamu.
Gambar 4.7 Ayah menggunting rambut sang bayi
Gambar 4.8 Ibu menggunting rambut sang bayi
Setelah upacara pemotongan rambut selesai dilanjutkan oleh pencukuran
rambut sang bayi yang dicukur sampai habis. Rambut sang bayi kemudian
dimasukkan ke dalam kain yang berwarna merah dan kain yang berisi rambut bayi