• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterkaitan faktor biofisik dan penguasaan lahan hutan dengan kerawanan kebakaran hutan dalam perspektif penataan ruang (studi kasus pada wilayah hutan tanaman industri di Jambi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keterkaitan faktor biofisik dan penguasaan lahan hutan dengan kerawanan kebakaran hutan dalam perspektif penataan ruang (studi kasus pada wilayah hutan tanaman industri di Jambi)"

Copied!
352
0
0

Teks penuh

(1)

KETERKAITAN FAKTOR BIOFISIK DAN PENGUASAAN

LAHAN HUTAN DENGAN KERAWANAN KEBAKARAN

HUTAN DALAM PERSPEKTIF PENATAAN RUANG

(

Studi Kasus pada Wilayah Hutan Tanaman Industri di Jambi

)

ANDRI YUSHAR ANDRIA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keterkaitan Faktor Biofisik dan Penguasaan Lahan Hutan dengan Kerawanan Kebakaran Hutan (Studi kasus pada wilayah Hutan Tanaman Industri di Jambi) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2009

Andri Yushar Andria

(3)

ANDRI YUSHAR ANDRIA. Significance of Biophysical and Land Tenure Factor to Vulnerability of Forest Fire in Spatial Planning Perspective: A Case Study in Industrial Timber Plantation, Jambi. Under direction of BABA BARUS and FREDIAN TONNY NASDIAN

(4)

RINGKASAN

ANDRI YUSHAR ANDRIA. Keterkaitan Faktor Biofisik dan Penguasaan Lahan Hutan dengan Kerawanan Kebakaran Hutan dalam Perspektif Penataan Ruang : Studi Kasus pada Wilayah HTI di Jambi. Dibimbing oleh BABA BARUS dan FREDIAN TONNY NASDIAN.

Kejadian kebakaran hutan telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, peristiwa tersebut melanda dan tersebar hampir di seluruh daerah kabupaten/kota di Provinsi Jambi tak terkecuali terjadi pada kawasan hutan produksi yang menjadi areal perijinan Hutan Tanaman Indsutri (HTI) PT. Wirakarya Sakti. Kebakaran hutan di areal HTI PT. Wirakarya Sakti pada dasarnya disebabkan faktor lingkungan fisik hutan yang mendukung serta adanya aktivitas masyarakat di sekitar hutan sebagai pemicu terjadinya kebakaran. Kegiatan masyarakat dalam penyiapan lahan secara tradisional dengan tahapan tebang, tebas, tumpuk dan bakar pada umumnya sebagai penyebab awal terjadinya kebakaran hutan.

Tahapan awal untuk meminimalisir kejadian kebakaran hutan adalah dengan menyusun informasi yang lengkap dan aktual mengenai wilayah-wilayah yang rawan terjadinya kebakaran di areal HTI PT. Wirakarya Sakti berdasarkan faktor-faktor penyebabnya, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi perusahaan khususnya dan pemerintah dalam perumusan kebijakan secara umum.

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk membangun model spasial dan pemetaan kerawanan kebakaran hutan pada areal Hutan Tanaman Industri, dan secara lebih khusus penelitian ini bertujuan untuk : 1) Mengidentifikasi faktor biofisik yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan di areal Hutan Tanaman Industri, 2) Mengidentifikasi faktor aktivitas masyarakat yang menguasai lahan hutan dalam kaitannya dengan kebakaran hutan di areal Hutan Tanaman Industri, 3) Menganalisis karakteristik dan tindakan masyarakat yang menguasai lahan hutan pada wilayah Hutan Tanaman Industri dalam kaitannya dengan kebakaran hutan, dan 4) Menganalisis kesesuaian peruntukkan rencana tata ruang Hutan Tanaman Industri (RTR-HTI) dengan penggunaan lahan dan pengaruhnya terhadap kebakaran hutan.

Metode untuk menganalisis faktor-faktor yang menjadi penyebab peristiwa kebakaran hutan di HTI PT. Wirakarya Sakti adalah dengan menggunakan analisis regresi logistik. Untuk mengetahui karakteristik dan tindakan masyarakat yang menguasai lahan hutan dalam melakukan kegiatan pembakaran terutama pada penyiapan lahan dilakukan analisis korelasi pearson dan analisis regresi terhadap variabel sosial masyarakat. Metode untuk menganalisis kesesuaian antara penggunaan lahan aktual terhadap RTR-HTI dengan analisis SIG yaitu melakukan tumpang tindih antara peta penggunaan lahan aktual dengan peta RTR-HTI. Sedangkan untuk membangun model kerawanan kebakaran hutan di areal HTI PT. Wirakarya Sakti adalah dengan analisis SIG dan untuk menentukan bobot relatif pada setiap faktor yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).

(5)

Peluang terjadinya kebakaran hutan berdasarkan hasil analisis dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat yang menguasai lahan hutan. Karakteristik dan tindakan masyarakat yang menguasai lahan hutan dalam melakukan kegiatan pembakaran terutama pada penyiapan lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pendidikan / pengetahuan serta persepsi masyarakat, pertambahan jumlah penduduk serta lapangan pekerjaan yang terbatas bagi masyarakat, tidak terakomodasinya peran masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, pendapatan masyarakat dari hasil pertanian/perkebunan, serta sistem penyiapan lahan dan kebiasaan masyarakat dalam penggunaan api.

Hasil analisis kesesuaian antara penggunaan lahan aktual dengan penataan ruang HTI dengan menghasilkan nilai Kesesuaian Penggunaan Lahan (KPL) sebesar 88,06% (218.288,95 Ha) dan yang tidak sesuai seluas 11,94% (29.589,06 Ha) dan termasuk kategori baik.

Hasil analisis penentuan bobot relatif terhadap faktor-faktor yang berpengaruh menghasilkan bobot faktor biofisik sebesar 0.394 dan bobot faktor aktivitas masyarakat sebesar 0.606. Sedangkan bobot faktor curah hujan sebesar 0.842 dan bobot jenis tanah sebesar 0.158 serta bobot jarak penguasaan lahan sebesar 0.458 dan jarak dari jalan sebesar 0.542.

Peruntukkan lahan pada Rencana Tata Ruang HTI berdasarkan kelas kerawanan kebakaran hutan menunjukkan kerawanan kebakaran hutan yang termasuk kelas rendah meliputi area seluas 11.368,85 Ha (4%), kelas sedang 175.272,00 Ha (57%) dan kelas tinggi 118.924,93 Ha (39%).

Dari hasil rumusan terhadap realitas kebakaran hutan di HTI PT. Wirakarya Sakti, beberapa usulan dalam upaya meminimalisir terjadinya kebakaran hutan adalah : 1) RTR-HTI perlu direvisi dalam hal re-alokasi peruntukan lahan tanaman pokok pada tanah gambut, 2) adanya pengendalian pembangunan infrastruktur jalan pada wilayah rawan kebakaran dan wilayah yang dilindungi, 3) diperlukan peningkatan kerjasama kemitraan dalam pengelolaan lahan hutan dengan masyarakat yang menguasai lahan di areal HTI PT. Wirakarya Sakti, dan 4) perlunya menyusun basis data yang lengkap dan aktual mengenai sebaran wilayah rawan kebakaran hutan.

(6)

Hak cipta milik IPB, tahun 2009

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

HUTAN DALAM PERSPEKTIF PENATAAN RUANG

(

Studi Kasus pada Wilayah Hutan Tanaman Industri di Jambi

)

ANDRI YUSHAR ANDRIA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang mulai dilaksanakan sejak Bulan Agustus 2008 ini adalah kerawanan kebakaran hutan, dengan judul Keterkaitan Faktor Biofisik dan Penguasaan Lahan Hutan dengan Kerawanan Kebakaran Hutan dalam Perspektif Penataan Ruang, suatu studi kasus pada wilayah Hutan Tanaman Industri di Jambi.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc dan Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS selaku pembimbing, serta Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc yang telah banyak memberikan saran. Selain itu, penulis juga menyampaikan penghargaan kepada Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M. Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB, Pemerintah Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi yang telah memberikan kesempatan tugas belajar, Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Bappenas, staf pengajar dan pengelola Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) serta rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah tahun 2007. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada umi, ibu ‘mertua’, istri, pelita hati-ku ‘aisha’, serta seluruh keluarga atas segala dukungan moril dan materiil, doa, kesabaran serta kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bisa berguna dan bermanfaat.

Bogor, April 2009

(11)

Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 29 Nopember 1971 dari ayah Adjat Darodjat (Alm) dan ibu Enah Maknunah. Penulis merupakan putra keempat dari tujuh bersaudara.

Sekolah Dasar diselesaikan oleh penulis di SD Kahuripan IV Tasikmalaya pada Tahun 1984. Kemudian Sekolah Menengah Pertama diselesaikan penulis di SMP Negeri 3 Tasikmalaya pada Tahun 1987. Selanjutnya Sekolah Menengah Atas diselesaikan penulis di SMA Negeri 1 Tasikmalaya pada Tahun 1990. Dan jenjang pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan diselesaikan pada Tahun 1995. Setelah lulus Sarjana Kehutanan, penulis bekerja di perusahaan HTI di Jambi sampai dengan Tahun 1999, kemudian menjadi Pegawai Negeri Sipil pada Kanwil Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Jambi pada Tahun 2000 dan beralih status menjadi Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten Batang Hari pada Dinas Kehutanan dari Tahun 2002 sampai dengan sekarang.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 4

Tujuan Penelitian ... 7

Manfaat Penelitian ... 8

TINJAUAN PUSTAKA ... 9

Kebakaran Hutan ... 9

Biofisik Hutan ... 10

Karakteristik Bahan Bakar ... 10

Cuaca dan Iklim ... 11

Topografi ... 12

Penguasaan Lahan Hutan... 13

Rencana Tata Ruang Hutan Tanaman Industri (RTR-HTI) ... 14

Penginderaan Jauh ... 15

Sistem Informasi Geografis ... 16

Analisis Spasial ... 17

METODE PENELITIAN ... 18

Kerangka Pemikiran ... 18

Ruang Lingkup Penelitian ... 19

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 20

Pengumpulan dan Sumber Data ... 20

Alat Penelitian ... 22

Penyusunan Kuisioner ... 22

Persiapan Data ... 22

Analisis Data ... 23

Sebaran Kebakaran Hutan ... 23

Analisis dan Tahapan Penyusunan Faktor yang Berpengaruh... 24

Penentuan Faktor-Faktor yang Berpengaruh ... 27

Pembangunan Model Spasial Kebakaran Hutan ... 28

Pengujian Model Spasial Kebakaran Hutan ... 30

Analisis Data Kuisioner ... 31

Kesesuaian antara Penggunaan Lahan Aktual dengan RTR-HTI ... 32

Rumusan dan Arahan untuk Meminimalisir Kebakaran Hutan ... 33

KEADAAN UMUM ... 34

Lokasi dan Luas Areal Penelitian ... 34

Lokasi Penelitian... 34

Letak Berdasarkan Geografis... 34

Letak Berdasarkan Administrasi ... 36

(13)

Kondisi Hujan ... 40

Tipe Iklim ... 40

Suhu dan Kelembaban ... 43

Kondisi Angin ... 44

Radiasi Matahari ... 44

Keadaan Lapangan ... 44

Topografi ... 45

Tanah ... 47

Satuan Peta Tanah ... 47

Keadaan Hutan ... 48

Penutupan Lahan ... 48

Vegetasi dan Potensi Tegakan ... 51

Kondisi Sosial dan Ekonomi ... 52

Kependudukan ... 52

Jumlah dan Kepadatan Penduduk ... 52

Penduduk Menurut Kelompok Umur Kerja... 53

Mata Pencaharian dan Aktivitas Ekonomi ... 55

Agama dan Kepercayaan... 58

Pendidikan ... 59

Sarana dan Prasarana Pendidikan Dasar ... 59

Sarana dan Prasarana Pendidikan Lanjutan Pertama ... 60

Sarana dan Prasarana Pendidikan Lanjutan Atas ... 61

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 63

Realitas dan Fenomena Kebakaran Hutan ... 63

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan ... 69

Keterkaitan Faktor Biofisik dengan Kebakaran ... 70

Keterkaitan Faktor Aktivitas Masyarakat dengan Kebakaran . 74 Karakteristik dan Tindakan Masyarakat terhadap Kebakaran Hutan 77 Kesesuaian Rencana Tata Ruang HTI ... 84

Model Kerawanan Kebakaran Hutan ... 91

Rumusan Upaya Meminimalisir Terjadinya Kebakaran Hutan ... 98

KESIMPULAN DAN SARAN ... 108

Kesimpulan ... 108

Saran ... 109

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Data Sekunder yang Digunakan dalam Penelitian ... 20

2 Batas-batas Lapangan setiap Distrik di HTI PT. Wirakarya Sakti .... 36

3 Luas Areal Kerja HTI PT. Wirakarya Sakti ... 39

4 Data Hujan di Wilayah Kerja PT. Wirakarya Sakti dan sekitarnya dari Hasil Catatan Instansi Pemerintah ... 41

5 Data Hujan di Wilayah Kerja PT. Wirakarya Sakti dan sekitarnya dari Hasil Catatan Stasiun Cuaca Milik PT. Wirakarya Sakti ... 43

6 Data Suhu Udara, Kelembaban Udara, Angin dan Radiasi Matahari di Sekitar Areal Kerja PT. Wirakarya Sakti ... 43

7 Sebaran Kondisi Lahan dan Kelas Lereng di Wilayah Kerja PT. Wirakarya Sakti ... 47

8 Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, Kepadatan Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin Penduduk di Kabupaten/Kecamatan di sekitar HTI .. 52

9 Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, Kepadatan Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin Penduduk Desa di sekitar HTI PT. Wirakarya Sakti.. 53

10 Jumlah Penduduk menurut Kelompok Umur Kerja di beberapa Kecamatan sekitar HTI PT. Wirakarya Sakti... 55

11 Luas dan Rata-rata Produksi Padi Sawah dan Padi Ladang di beberapa Kecamatan sekitar HTI PT. Wirakarya Sakti ... 56

12 Luas dan Rata-rata Produksi Tiga Jenis Tanaman Perkebunan Besar dan Rakyat di beberapa Kecamatan sekitar HTI PT. Wirakarya Sakti ... 58

13 Penduduk di beberapa Kecamatan berdasarkan Agama yang dianut. 58 14 Jumlah Sekolah, Murid, Guru, Rasio Murid Sekolah dan Guru SD/Ibtidaiyah di beberapa Kecamatan sekitar HTI ... 59

15 Jumlah Sekolah, Murid, Guru, Rasio Murid Sekolah dan Guru SLTP/Tsanawiyah di beberapa Kecamatan sekitar HTI ... 61

16 Jumlah Sekolah, Murid, Guru, Rasio Murid Sekolah dan Guru SMU, SMK dan Aliyah di beberapa Kecamatan sekitar HTI ... 62

17 Proporsi Luasan HTI PT. Wirakarya Sakti di setiap Kabupaten ... 67

18 Prosentase Luas Lahan yang Dikuasai oleh Masyarakat berdasarkan Subjek Penguasaan Lahan ... 68

19 Realisasi Kerjasama antara Perusahaan dan Masyarakat melalui HTPK ... 69

20 Sebaran Luas Areal Gambut di HTI PT. Wirakarya Sakti ... 71

21 Peruntukan Lahan pada Rencana Tata Ruang HTI ... 89

22 Kesesuaian antar Penggunaan Lahan dengan RTR-HTI ... 89

23 Perhitungan Perbandingan Berpasangan antara Kriteria Biofisik dan Aktivitas Manusia dari Beberapa Ahli ... 93

24 Bobot Relatif anatar Kriteria Biofisik dan Aktivitas Manusia ... 93

25 Perhitungan Perbandingan Berpasangan antara Faktor Curah Hujan dengan Jenis Tanah dan Faktor Jarak Lahan dengan Jarak Jalan ... 93

(15)

29 Kerapatan Jalan pada Setiap Distrik di HTI PT. Wirakarya Sakti .... 101 30 Kerapatan Jalan pada setiap Peruntukkan Lahan pada RTR-HTI... 101 31 Peruntukkan Lahan pada Rencana Tata Ruang HTI dengan Kelas

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Sebaran Kejadian Kebakaran di setiap Distrik pada Areal Kerja

HTI PT. Wirakarya Sakti ... 5 2 Penguasaan Lahan Hutan oleh Masyarakat di setiap Distrik pada

Areal HTI PT. Wirakarya Sakti ... 6 3 Diagram Alir Kerangka Pemikiran ... 19 4 Peta Lokasi Penelitian di Hutan Tanaman Industri PT. Wirakarya

Sakti ... 21 5 Peta Areal Kerja Distrik I HTI PT. Wirakarya Sakti ... 25 6 Tahapan dan Analisis Penyusunan Faktor-Faktor yang Berpengaruh 26 7 Tahapan Analisis Kesesuaian antara Penggunaan Lahan dengan

RTR-Hutan Tanaman Industri ... 32 8 Diagram Alir Tahapan Penelitian ... 33 9 Peta Pembagian Areal Kerja di Hutan Tanaman Industri PT.

Wirakarya Sakti... 35 10 Peta Desa/Kelurahan dan Kecamatan di sekitar Hutan Tanaman

Industri PT. Wirakarya Sakti ... 38 11 Peta Iklim di Hutan Tanaman Industri PT. Wirakarya Sakti ... 42 12 Peta Kelas Lereng di Hutan Tanaman Industri PT. Wirakarya Sakti. 46 13 Peta Satuan Lahan dan Tanah di Hutan Tanaman Industri PT.

Wirakarya Sakti... 49 14 Peta Penutupan Lahan di Hutan Tanaman Industri PT. Wirakarya

Sakti ... 50 15 Peta Persentase Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Kerja

di Kecamatan sekitar HTI PT. Wirakarya Sakti... 54 16 Peta Sebaran Kebakaran di Areal Hutan Tanaman Industri PT.

Wirakarya Sakti Tahun 2005-2007 ... 64 17 Waktu Terdeteksinya Kejadian Kebakaran di Areal HTI PT.

Wirakarya Sakti dari Tahun 2005-2007 ... 65 18 Peta Penguasaan Lahan oleh Masyarakat di Areal Hutan Tanaman

Industri PT. Wirakarya Sakti ... 66 19 Formasi Hutan Rawa Gambut dari Tepi hingga ke Kubah Gambut . 72 20 Persentase Kejadian Kebakaran pada Jenis Tanah di Areal HTI ... 72 21 Frekuensi Kejadian Kebakaran setiap Bulan di Areal HTI ... 74 22 Kejadian Kebakaran Hutan di HTI (Tahun 2005-2007) pada

Interval Jarak dari Lahan yang dikuasai oleh Masyarakat ... 76 23 Kejadian Kebakaran Hutan di HTI (Tahun 2005-2007) pada

Interval Jarak dari Jalan ... 77 24 Peta Posisi Relatif Responden yang Menguasai Lahan Hutan di

Hutan Tanaman Industri PT. Wirakarya Sakti ... 78 25 Proporsi Jawaban setiap Responden atas Variabel Kuesioner yang

Berpengaruh terhadap Parameter Sosial ... 82 26 Peta Jawaban Responden atas Kuesioner Parameter Sosial di Hutan

(17)

28 Peta Tata Ruang Hutan Tanaman Industri PT. Wirakarya Sakti ... 88 29 Pohon Hirarki AHP untuk Model Kerawanan Kebakaran Hutan ... 92 30 Peta Kerawanan Kebakaran Hutan di Hutan Tanaman Industri PT.

Wirakarya Sakti... 96 31 Kelas Kerawanan Kebakaran Hutan di HTI... 97 32 Kelas Kerawanan Kebakaran Hutan pada Penguasaan Lahan oleh

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Kejadian Kebakaran Hutan di Wilayah HTI PT. Wirakarya Sakti

dari Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2007 ... 113 2 Data Kompartemen/Petak pada Wilayah Distrik I ... 124 3 Data Penguasaan Lahan Hutan oleh Masyarakat di Areal HTI ... 138 4 Hasil Analisis Regresi Logistik atas Faktor-Faktor Biofisik dan

Faktor Aktivitas Manusia yang Berpengaruh terhadap Terjadinya

Kebakaran Hutan ... 140 5 Kuesioner Variabel Sosial Masyarakat yang Menguasai Lahan

Hutan dengan Kebakaran Hutan ... 141 6 Hasil Analisis Korelasi atas Variabel Sosial Masyarakat yang

Menguasai Lahan Hutan di Areal HTI ... 147 7 Hasil Analisis Regresi atas Variabel Sosial Masyarakat yang

Menguasai Lahan Hutan di Areal HTI... 150 8 Matrik antara Model Kerawanan Hutan dengan Kepadatan Hotspot. 153 9 Variabel Sosial yang Berpengaruh pada Masing-masing Materi

(19)

Latar Belakang

Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda hampir di seluruh daerah kabupaten/kota di Provinsi Jambi, demikian halnya peristiwa kebakaran terjadi di beberapa fungsi kawasan hutan menurut wilayah Tata Guna Hutan Kesepakaan (TGHK) yang terdistribusi pada kawasan hutan lindung, hutan konservasi, area penggunaan lain serta kawasan hutan produksi (tetap, terbatas dan yang dapat dikonversi), tak terkecuali terjadi pada kawasan hutan produksi yang menjadi areal perijinan Hutan Tanaman Indsutri (HTI) PT. Wirakarya Sakti.

Kebakaran hutan telah menimbulkan dampak kerugian yang cukup berarti, baik segi ekonomi, sosial maupun ekologi, bahkan peristiwa kebakaran hutan dapat dikategorikan sebagai bencana karena telah mengganggu dan mengancam kehidupan dan penghidupan masyarakat yang mengakibatkan kerugian materi, kerusakan harta benda bahkan korban jiwa. Dampak dari kebakaran hutan tersebut antara lain asap yang ditimbulkan yang sangat membahayakan kesehatan dan mengganggu transportasi darat, udara dan perairan.

Peristiwa kebakaran hutan pada dasarnya disebabkan oleh beberapa hal diantaranya karena faktor lingkungan fisik hutan yang mendukung serta adanya aktivitas manusia di sekitar hutan sebagai pemicu terjadinya kebakaran. Kegiatan masyarakat dalam penyiapan lahan secara tradisional dengan tahapan tebang, tebas, tumpuk dan bakar pada umumnya dididuga sebagai penyebab awal terjadinya kebakaran hutan. Sebagaimana menurut Suratmo dkk. (2003) bahwa penyebab utama kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera dipengaruhi oleh faktor manusia, baik dikarenakan kelalaian maupun kesengajaan (pembukaan lahan / slash and burning) dan kecil kemungkinannya oleh faktor alamiah seperti fenomena iklim, petir, gesekan kayu dan benturan batu.

(20)

2

masyarakat dari hasil hutan berupa kayu dan non-kayu seperti rotan, damar, gaharu, jelutung, lebah madu dan lain-lain. Selanjutnya, aktivitas masyarakat di sekitar hutan berubah orientasinya dengan keharusan dan keinginan mendapatkan lahan hutan untuk dijadikan ladang, kebun dan mata pencaharian lainnya sebagai sumber penghidupannya. Semakin tingginya intensitas untuk mendapatkan lahan hutan diduga disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan; antara lain tingkat pendapatan yang rendah, taraf pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang fungsi dan manfaat hutan masih rendah, adanya pertambahan penduduk masyarakat sekitar hutan serta lapangan pekerjaan yang terbatas. Kurangnya upaya-upaya pemerintah untuk memberdayakan masyarakat sekitar hutan ke arah kemapanan kehidupan sosial dan peningkatan ekonomi masyarakat akan meningkatkan alternatif aktivitas masyarakat berbasis lahan ke arah penguasaan lahan hutan.

Adanya kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kontribusi ekonomi sektor kehutanan melalui pembangunan Hutan Tanaman Industri telah melahirkan perijinan pemanfaatan hutan kepada pihak swasta atas kawasan hutan yang pada kenyataannya sebagian dari areal perijinan tersebut telah dikuasai oleh masyarakat. Hal ini berpotensi menimbulkan benturan kepentingan karena menghadapkan perusahaan dan masyarakat atas penguasaan lahan hutan. Berdasarkan hukum formal yang berlaku telah ada pembatasan akses masyarakat atas sumberdaya hutan, yang pada hakekatnya terjadi pengekangan untuk mendapatkan penghidupan bagi masyarakat. Dengan tidak terakomodasinya peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan pada faktanya melahirkan reaksi yang meningkatkan aktivitas masyarakat di kawasan hutan .

(21)

Kemitraan (HRPK) untuk areal masyarakat di luar HTI dan kerjasama Hutan Tanaman Kehidupan Pola Kemitraan (HTPK) untuk areal kebun masyarakat di dalam areal perijinan HTI PT. Wirakarya Sakti.

Walaupun penyelesaian permasalahan lahan di areal HTI antara pihak perusahaan dan masyarakat melalui pola kemitraan telah diupayakan namun masih belum banyak menunjukkan keberhasilan. Masyarakat masih mengusahakan lahan sendiri/berkelompok untuk menggarap kebun dengan cara tradisional. Penggunaan api dalam penyiapan lahan oleh masyarakat sebagai cara yang paling mudah dan murah yang akan menjadi pemicu terjadinya kebakaran hutan. Motif dan tindakan masyarakat dalam melakukan pembakaran lahan juga sebagai alternatif yang dipilih untuk mempertahankan eksistensi penguasaan lahan hutan oleh masyarakat atas lahan hutan, kondisi ini sangat berpotensi meningkatkan kerawanan kebakaran di areal HTI PT. Wirakarya Sakti.

Pembangunan Hutan Tanaman Industri pada kawasan hutan produksi mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan berupa kayu tanaman. Pemanfaatan kawasan hutan produksi sebagai wujud pemanfaatan ruang yang penetapannya lebih ditujukan pada pembagian ruang dalam suatu wilayah sesuai dengan fungsi dan manfaatnya. Padahal permasalahan yang muncul terkait dengan ruang tidak dapat dilepaskan dari penegasan terhadap hak penguasaan terhadap ruang tersebut.

Menurut Djajono (2006), kompleksitas permasalahan pengelolaan ruang ternyata telah berpengaruh besar pada proses penetapan perencanaan tata ruang suatu wilayah (kawasan hutan) dalam hal sulitnya penataan ruang yang akan ditetapkan menjadi acuan pihak-pihak yang akan memanfaatkan ruang tersebut. Beragam alasan dapat disebutkan sebagai penyebabnya, antara lain : kepentingan ekonomi terhadap ruang yang bersangkutan, belum ditampungnya kondisi riil masyarakat yang mendiami ruang tersebut dalam peraturan perundangan serta berbagai konflik penguasaan lahan yang terdapat di kawasan hutan.

(22)

4

Hutan Tanaman Industri sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/1995 (sebagaimana diubah dengan Kepmenhut No.246/Kpts-II/1996 dan Peraturan Menteri No. P.21/Menhut-II/2006), didasarkan atas pertimbangan aspek-aspek kepastian lahan, kontinuitas sumberdaya hutan, konservasi/fungsi lindung serta sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Penataan ruang HTI bertujuan untuk mengatur penggunaan suatu unit areal HTI sesuai peruntukannya, yaitu untuk areal tanaman pokok, tanaman unggulan, tanaman kehidupan, kawasan lindung serta sarana prasarana.

Kesesuaian pelaksanaan pembangunan Hutan Tanaman Industri dengan rencana tata ruang HTI diharapkan akan menjadi suatu pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Pada proses perencanaan tata ruang HTI juga diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana, antara lain mempertimbangkan kawasan rawan kebakaran hutan. Sehingga diharapkan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang HTI merupakan suatu upaya untuk meminimalkan kejadian kebakaran hutan dan pada akhirnya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan bagi kehidupan dan penghidupan pada umumnya.

Upaya meminimalisir terjadinya kebakaran hutan antara lain dengan menginventarisir lokasi rawan kebakaran hutan berdasarkan faktor-faktor penyebabnya sehingga dapat disusun suatu model kerawanan kebakaran hutan serta memetakan wilayah-wilayah yang rawan terjadinya kebakaran hutan di areal Hutan Tanaman Industri PT. Wirakarya Sakti

Perumusan Masalah

(23)

mengidentifikasikan bahwa kebakaran pada umumnya terjadi di sekitar permukiman (desa/kampung/transmigrasi), jalur jalan atau akses masuk ke hutan konversi dan lahan perkebunan, serta di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Kondisi biofisik lingkungan hutan yang diduga berpengaruh terhadap kebakaran hutan antara lain adalah: kuantitas bahan bakar, curah hujan dan kondisi iklim setempat, keadaan permukaan bumi (topografi), jenis tanah, kondisi tutupan lahan serta tipe lahan pada areal Hutan Tanaman Industri.

Pembukaan hutan sebagai desakan kebutuhan akan lahan untuk dijadikan kebun atau ladang mendorong terjadinya perubahan peruntukkan lahan hutan menjadi areal budidaya, konsekuensinya, terjadi interaksi yang lebih intensif antara aktivitas masyarakat dengan lingkungan hutan. Interaksi masyarakat atas lahan hutan dalam penyiapan lahan dengan menggunakan api dapat menimbulkan terjadinya kebakaran hutan. Faktor-faktor pendukung aktivitas masyarakat yang menguasai lahan hutan dan diduga berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan adalah kemudahan atau akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan antara lain disebabkan oleh faktor jarak dari jalan, jarak dari sungai serta jarak dari lahan hutan yang dikuasai oleh masyarakat,.

Kejadian kebakaran hutan di areal Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Wirakarya Sakti yang terjadi dari tahun 2005, 2006 dan 2007, menurut data dari pihak perusahaan terjadi berturut-turut sebanyak 61 kasus, 127 kasus serta 33 kasus yang tersebar di setiap distrik, seperti disajikan pada Gambar 1.

9 15 6 9 18 3 0 1 23 21 17 14 33 10 9 0 4 7 4 0 11 2 4 1 0 5 10 15 20 25 30 35

I II III IV V VI VII VIII

Distrik F re k u e n s i 2005 2006 2007

(24)

6

Areal perijinan yang diberikan kepada perusahaan HTI (PT. Wirakarya Sakti) berupa kawasan hutan produksi oleh pemerintah pusat pada kenyataannya secara fakta di lapangan sebagian telah dikuasai oleh masyarakat, lahan garapan milik perorangan atau kelompok, berupa kebun atau ladang. Akan tetapi ada juga sebagian penguasaan lahan hutan oleh masyarakat terjadi setelah perijinan diberikan kepada perusahaan serta pihak perusahaan telah menjalankan operasional di lapangan. Penguasaan lahan oleh masyarakat, di setiap distrik pada areal HTI disajikan pada Gambar 2.

17

12

9

15

26

4

6

12

0 5 10 15 20 25 30

I II III IV V VI VII VIII

Ditsrik

K

a

su

s

Klaim

Gambar 2 Penguasaan Lahan Hutan oleh Masyarakat di setiap Distrik pada Areal HTI PT. Wirakarya Sakti.

Dari gambaran pada Gambar 2 terlihat bahwa jumlah penguasan lahan pada areal HTI terdata 101 kasus yang tersebar di setiap distrik. Terdapat suatu indikasi bahwa semakin banyak jumlah penguasaan lahan maka semakin besar peluang terjadinya kebakaran, seperti terlihat pada Gambar 1.

(25)

pembalakan akan menjadi bahan bakar sebagai salah satu unsur terjadinya kebakaran. Semakin banyak sisa kayu yang tertinggal di areal bekas penebangan maka akan sangat berpotensi meningkatkan kerawanan kebakaran.

Sampai saat ini, meskipun kejadian kebakaran hutan di HTI terjadi hampir setiap tahun, namun informasi mengenai wilayah-wilayah yang mudah terjadi kebakaran belum banyak tersedia. Oleh karena itu pengembangan wilayah yang rawan terjadi kebakaran hutan dan terintegrasi dengan mempertimbangkan faktor kondisi biofisik serta faktor pendukung aktivitas masyarakat khususnya pada areal Hutan Tanaman Industri akan sangat diperlukan.

Apabila dilihat dari uraian rumusan masalah di atas, maka dapat dirangkum suatu pertanyaan umum penelitian yaitu bagaimana model spasial dan pemetaan kerawanan kebakaran hutan pada areal Hutan Tanaman Industri. Sedangkan pertanyaan khusus penelitian adalah sebagai berikut :

1. Apa faktor-faktor biofisik hutan yang berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan?

2. Sampai sejauh mana kebakaran hutan dipengaruhi oleh aktivitas masyarakat yang menguasai lahan hutan pada areal Hutan Tanaman Industri?

3. Sampai sejauh mana karakteristik dan tindakan masyarakat yang menguasai lahan hutan pada areal Hutan Tanaman Industri mempunyai keterkaitan dengan kebakaran hutan?

4. Sampai sejauh mana kesesuaian Rencana Tata Ruang Hutan Tanaman Industri dengan peruntukkannya serta pengaruhnya terhadap kebakaran hutan?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang serta rumusan masalah tersebut diatas maka penelitian ini bertujuan untuk :

(1) Mengidentifikasi faktor biofisik yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan di areal Hutan Tanaman Industri.

(26)

8

(3) Menganalisis karakteristik dan tindakan masyarakat yang menguasai lahan hutan pada areal Hutan Tanaman Industri dalam kaitannya dengan kebakaran hutan.

(4) Mengidentifikasi kesesuaian Rencana Tata Ruang Hutan Tanaman Industri dengan peruntukkannya dan pengaruhnya terhadap kebakaran hutan.

(5) Membangun model spasial serta memetakan kerawanan kebakaran hutan pada areal Hutan Tanaman Industri.

Manfaat Penelitian

(27)

Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan menurut JICA (2000), didefinisikan sebagai suatu keadaan hutan yang dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan hasil hutan serta menimbulkan kerugian ekonomis, ekologis dan sosial. Selanjutnya Brown dan Davis (1973) melukiskan suatu konsep kebakaran hutan sebagai segitiga api yang dikenal sebagai The Fire Triangle. Sisi-sisi segitiga api tersebut adalah bahan bakar, oksigen dan sumber panas atau api. Kebakaran akan terjadi jika terdapat ketiga komponen tersebut. Jika salah satu atau lebih dari ketiga komponen pada sisi-sisi segitiga api tersebut tidak ada, maka kebakaran tidak akan penah terjadi.

Penyalaan api pada umumnya berasal dari api larian akibat pembakaran tidak terkendali untuk pertanian, dalam lingkungan yang mendukung, akan menjalar ke arah bahan bakar yang lebih besar, dalam hal ini hutan. Hutan hujan tropis dalam keadaan tidak terganggu adalah mendekati kondisi tahan kebakaran.

Multi-strata dalam lapisan vegetasi hutan menjaga kelembaban lingkungan di dalamnya dan mengeluarkan udara panas dari dalam. Dalam lingkungan ini kondisi yang mendukung untuk terjadinya kebakaran tidak terjadi, akan tetapi ketika tajuk hutan terbuka, misalnya karena kegiatan pemanenan kayu / logging

atau pembuatan jalan, sinar matahari dan udara panas akan memasuki hutan, kelembaban menurun, dan biomassa hutan akan mengering. Dalam keadaan yang sama, hutan tidak hanya kehilangan ketahanan alaminya terhadap kebakaran, akan tetapi juga residu kayu dari logging atau pembukaan hutan akan tertinggal sehingga menjadi bahan bakar potensial untuk terjadinya kebakaran. Setelah hutan terbakar, cahaya masuk dan ruang untuk tumbuhnya semak atau alang-alang akan semakin banyak tersedia. Vegetasi ini akan sangat cepat mengering dan terbakar saat musim kemarau, menciptakan suatu siklus dimana hutan akan lebih mudah terbakar (Darmawan, 2008).

(28)

10

bahwa kebakaran hutan memiliki kaitan dengan serangkaian kegiatan komersial dan mata pencaharian utama (Tacconi, 2003).

Menurut hasil penelitian Jaya dkk. (2007) di Propinsi Riau dan di Kalimantan Barat, faktor yang mempengaruhi kerawanan kebakaran hutan adalah faktor aktivitas manusia (jarak dari desa/pemukiman, jarak dari jalan, jarak dari sungai dan penggunaan lahan) serta faktor lingkungan (curah hujan, NDVI dan NDWI) sedangkan di Propinsi Kalimantan Timur, faktor yang mempengaruhi kerawanan kebakaran hutan adalah faktor aktivitas manusia (jarak dari desa/permukiman, jarak dari jalan dan penggunaan lahan) serta faktor lingkungan (temperatur harian, curah hujan, kelembaban harian, zona agroklimat dan kemiringan lahan).

Resiko kebakaran dapat dibangun atau dibentuk berdasarkan parameter biofisik; diantaranya, curah hujan, indeks vegetasi, penggunaan lahan dan tipe lahan. Hasil analisis mengindikasikan bahwa curah hujan dan indeks vegetasi terhadap resiko kebakaran hutan lebih tinggi dibandingkan penggunaan lahan dan tipe lahan (Adiningsih, 2004).

Potensi kebakaran hutan telah diperkenalkan sebagai suatu fungsi dalam metodologi inventarisasi dan evaluasi manajemen sumberdaya hutan melalui konsep klasifikasi dari bahaya api (fire danger) dan resistensi api (fireresistance). Kejadian dan penyebaran atau meluasnya kebakaran dikendalikan oleh faktor yang kompleks dan fenomena yang saling berhubungan dan menurut analisis sistem terbagi menjadi (1) faktor eksternal (bahaya api) yang diformulasikan meliputi lingkungan hutan dalam keruangan yang luas dan skala temporal, dan (2) faktor internal (resistensi api) yang merupakan karakteristik struktur tegakan hutan yang berpengaruh terhadap kemudahan terbakar (Kalabokidis et al., 2002).

Biofisik Hutan

Karakteristik Bahan Bakar

(29)

susunan horizontal merupakan bahan bakar yang menyebar dan berkesinambungan secara mendatar di lantai hutan yang mempengaruhi penjalaran kebakaran. Sedangkan jumlah bahan bakar menunjukkan banyaknya bahan bakar yang tersedia di hutan, yaitu dapat berupa luasan hamparan bahan bakar, volume dan berat bahan bakar. Bahan bakar dalam jumlah besar menjadikan api lebih besar dan temperatur tinggi. Hal ini menyebabkan kebakaran sulit dipadamkan (Suratmo dkk., 2003).

Selanjutnya Suratmo dkk. (2003) menyatakan bahwa jenis bahan bakar digolongkan ke dalam pohon, semak dan anakan, tumbuhan penutup tanah, serasah dan lapisan humus yang belum hancur, cabang pohon-pohon yang mati dan pohon yang masih berdiri di hutan dan sisa penebangan. Kondisi bahan bakar dapat dilihat dari kadar air bahan bakar dan jumlah bahan bakar di hutan. Meskipun bahan bakar tertumpuk banyak, api tidak mudah menyala jika kadar airnya tinggi. Kerapatan bahan bakar berhubungan dengan jarak antar partikel dalam bahan bakar. Kerapatan berpengaruh pada persediaan udara dan pemindahan panas. Kerapatan berpengaruh pada persediaan udara dan pemindahan panas. Kerapatan partikel tinggi menjadikan tumpukan log kayu terbakar dengan baik dalam waktu lama. Kebakaran akan berhenti jika kerapatan partikelnya rendah.

Menurut Brown dan Davis (1973), bahan bakar dapat diklasifikasikan menurut lokasinya, yaitu : (1) bahan bakar bawah (ground fuels), yaitu terdiri dari serasah yang berada di bawah permukaan tanah, akar pohon, bahan organik yang membusuk, gambut dan batubara, (2) bahan bakar permukaan (surface fuels), yaitu bahan bakar yang berada di lantai hutan, antara lain serasah, log sisa tebangan, tunggak pohon dan tumbuhan bawah lainnya, (3) bahan bakar atas (aerial fuels), yaitu bahan bakar yang berada diantara tajuk tumbuhan tingkat bawah dan tajuk tumbuhan tingkat tinggi, seperti cabang pohon, daun dan semak serta pohon mati yang masih berdiri.

Cuaca dan Iklim

(30)

12

hutan yang bersifat tahunan, berulang maupun musiman, hal tersebut mencerminkan kondisi bahan bakar dan cuaca. Akan tetapi musim kebakaran yang parah juga dihubungkan dengan musim kering dan cenderung untuk terjadi secara periodik.

Iklim akan mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan karena temperatur udara, kelembaban relatif, kecepatan angin dan curah hujan serta kelembaban vegetasi (wetness) dapat mempengaruhi kondisi bahan bakar. Dalam hal ini bahan bakar yang kering akan mudah terbakar (Suratmo dkk., 2003).

Menurut Boonyanuphap (2001), faktor-faktor yang menentukan terjadinya kebakaran dipengaruhi oleh temperatur, curah hujan dan angin. Iklim adalah faktor yang bergantung pada waktu sekalipun merupakan suatu faktor yang tidak terkendali dalam kejadian dan frekuensi kebakaran. Iklim menentukan pergantian periode basah dan kering sehingga berpengaruh pada akumulasi biomassa dan muatan bahan bakar. Iklim juga mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dan lebih lanjut pada dekomposisi serasah.

Topografi

Saharjo (2007) menyatakan bahwa dampak lereng pada suatu daerah yang terbakar adalah sama dengan dampak angin. Penjalaran api dibawa hingga mendekat kepada permukaan yang berakibat pra-pemanasan bahan bakar akan berlangsung lebih cepat terhadap bahan bakar yang berdekatan dengan muka api. Dampak penting lain dari topografi adalah interaksinya dengan iklim lokal dan kelompok kecil dari komunitas tanaman. Api yang bergerak menaiki lereng dapat diharapkan untuk terbakar dengan cepat dan dengan intensitas yang tinggi.

(31)

Penguasaan Lahan Hutan

Dalam konteks kehutanan dapat ditemukan beragam wujud akses masyarakat atas sumberdaya hutan. Penggarapan lahan-lahan hutan oleh warga masyarakat sekitarnya atau warga pendatang dari desa/kota lain merupakan wujud akses masyarakat atas sumberdaya hutan, meskipun dianggap sebagai tindakan perambahan, tindakan illegal, oleh pihak pemerintah (Dinas/Departemen Kehutanan) atau pengusaha (BUMN/BUMS). Tindakan penggarapan lahan itu mungkin diakui oleh pelakunya sebagai tindakan melanggar hak pihak lain; mungkin juga sebagai tindakan tuntutan moral, atau tindakan merebut kembali haknya (Suharjito, 2008).

Penguasaan terhadap lahan dan sumberdaya alam yang dikandungnya sering disebut dengan istilah tenurial atau hak pemangkuan (Djajono, 2006). Sedangkan Galudra dkk. (2006) menjelaskan sistem penguasaan tanah (land tenure) adalah seperangkat unsur terdiri atas berbagai subjek (pelaku) dan objek (benda) yang satu sama lain saling berhubungan membentuk dan mempengaruhi berbagai hak-hak kepemilikan, penguasaan dan akses atas tanah dalam satuan bidang tanah/wilayah daratan tertentu. Sistem penguasaan tanah menjelaskan hak-hak yang dimiliki atas tanah. Hak atas tanah, jarang dipegang oleh satu pihak saja. Pada saat yang sama di bidang tanah yang sama, bisa saja terdapat sejumlah pihak yang memiliki hak penguasaan atas tanah tersebut secara bersamaan tetapi dengan sifat hak yang berbeda-beda. Disini terlihat betapa suatu pihak yang memiliki hak untuk menguasai tanah, belum tentu memegang hak kepemilikan atas tanah tersebut (sebaliknya kepemilikan secara pasti merupakan sebentuk hak penguasaan).

(32)

14

capaian ekonomi tertentu yang tentunya berorientasi pada keuntungan dan proses akumulasi kapital.

Permasalahan yang terjadi pada kawasan hutan yang telah diberikan perijinan, seperti Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), teridentifikasi dalam bentuk penebangan liar, tumpang tindih status lahan, klaim

lahan, perladangan liar serta pembakaran hutan. Suyanto dan Applegate (2001) menyatakan bahwa ada empat penyebab langsung kebakaran hutan dan lahan di Sumatera, yaitu; api digunakan dalam pembukaan lahan, api digunakan sebagai senjata dalam permasalahan konflik penguasaan tanah, api menebar secara tidak sengaja dan api yang berkaitan dengan ekstraksi sumberdaya alam.

Rencana Tata Ruang Hutan Tanaman Industri (RTR-HTI)

Menurut UU No. 26 Tahun 2007 bahwa penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang merupakan kebijakan dinamis yang mengakomodasikan aspek kehidupan pada suatu kawasan, dimana setiap keputusan merupakan hasil kesepakatan berbagai pihak sebagai bentuk kesinergian kepentingan.

Menurut Rustiadi dkk. (2007), penataan ruang pada dasarnya merupakan perubahan yang disengaja. Dengan memahaminya sebagai proses pembangunan melalui upaya-upaya perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik, maka penataan ruang merupakan bagian dari proses pembangunan. Penataan ruang memiliki tiga urgensi, yaitu: a) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya; b) alat dan wujud distribusi sumberdaya; dan c) keberlanjutan.

(33)

Penginderaan Jauh

Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of Photogrammetry, 1983) dalam Jaya (2007), pengertian remote sensing (penginderaan jauh) didefinisikan sebagai ilmu dan seni pengukuran atau mendapatkan informasi suatu objek atau penomena, menggunakan suatu alat perekaman dari suatu kejauhan, dimana pengukuran dilakukan tanpa melakukan kontak secara fisik dengan obyek atau fenomena yang diukur/diamati. Jadi penginderaan jauh merupakan ilmu, karena terdapat suatu sistimatika tertentu untuk dapat menganalisis informasi dari permukaan bumi. Dalam aplikasinya ilmu penginderaan jauh ini harus diintegrasikan dengan beberapa ilmu lain seperti ilmu tanah, geologi, hidrologi dan ilmu yang mempelajari geo-biofisik lainnya.

Rekaman data dijital tidak dapat dilihat langsung seperti citra piktorial, untuk pemanfaatannya harus diproses dengan menggunakan komputer. Produk dalam bentuk kasat mata hasil pengolahan komputer dapat diinterpretasi dengan menekankan pada kemampuan manusia yang disebut sebagai cara interpretasi citra manual atau dengan menggunakan sepenuhnya teknik komputer. Aspek penting lain dalam perkembangan penginderaan jauh adalah penggunaan satelit yang mengorbit bumi secara terus menerus sehingga mampu merekam data sesaat secara berulang-ulang dalam luasan yang sangat besar. Penginderaan jauh dibedakan antara sistem fotografik yang menghasilkan citra analog dan sistem non-fotografik yang umumnya menghasilkan data dijital. Sistem non-fotografik mampu merekam data pada panjang gelombang yang lebih lebar dan menerima radiasi objek, dan sistem deteksinya melalui sistem antena yang selanjutnya dikonversi ke signal elektronik. Walaupun demikian, produk fotopun telah diarahkan ke bentuk dijital, baik yang bersifat langsung seperti pemotretan dijital maupun secara tidak langsung seperti pengkonversian data foto analog menjadi dijital melalui proses penyiaman / scanning (Barus dan Wiradisastra, 2000).

(34)

16

pengamatan objek, wilayah atau fenomena yang dikaji sangatlah bergantung pada sensor wahana antariksa untuk membantu tugas-tugas manusia, mulai dari prakiraan cuaca, peramalan tanaman, penghitungan luasan vegetasi hutan, penelitian lahan dan sumber daya mineral, sampai kepada terapan antara lain pendeteksian pencemaran/polusi, pemantauan daerah kebakaran hutan/lahan, daerah banjir, perikanan komersial/sebaran ikan di laut dan lain sebagainya.

Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografi (SIG) sering diterapkan bagi teknologi informasi spasial atau geografi yang berorientasi pada penggunaan teknologi komputer. Pada pengertian yang lebih luas, sistem informasi geografi mencakup juga sistem yang berorientasi operasi secara manual, yang berkaitan dengan operasi pengumpulan, penyimpanan dan manipulasi data yang bereferensi geografi secara konvensional. Kemampuan untuk melaksanakan analisis spasial yang kompleks secara cepat mempunyai keuntungan kualitatif dan kuantitatif, dimana skenario-skenario perencanaan, model-model keputusan, deteksi perubahan dan analisis, dan tipe-tipe analisis lain dapat dikembangkan dengan membuat perbaikan secara terus-menerus (Barus dan Wiradisastra, 2000).

SIG memungkinkan pengguna untuk memahami konsep-konsep lokasi, posisi, koordinat, peta, ruang dan permodelan spasial secara mudah. Selain itu dengan SIG, pengguna dapat membawa, meletakkan dan menggunakan data yang menjadi miliknya sendiri kedalam sebuah bentuk (model) representasi miniatur permukaan bumi untuk kemudian dimanipulasi, dimodelkan atau dianalisis baik secara tekstual, secara spasial maupun kombinasinya, hingga akhirnya disajikan dalam bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna (Prahasta, 2004).

(35)

Menurut Chuvieco et al. (1999) SIG merupakan alat yang cocok untuk memetakan distribusi data spasial dari bahaya kebakaran hutan. SIG dapat juga memadukan secara spasial beberapa variabel bahaya, seperti vegetasi, topografi dan sejarah kebakaran. Variabel spasial untuk membangun kerawanan kebakaran hutan, yaitu : topografi (elevasi, slope, aspek dan iluminasi), vegetasi (tipe bahan bakar, kadar kelembaban), pola cuaca (suhu, kelembaban relatif, angin dan presipitasi), aksesibilitas terhadap jalan dan infrastruktur lain, tipe kepemilikan lahan atau tipe penggunaan lahan, jarak dari kota atau permukiman, tanah dan bahan bawah tanah, sejarah kebakaran/catatan kebakaran serta ketersediaan air.

Analisis Spasial

Analisis spasial lebih terfokus pada kegiatan investigasi pola-pola dan berbagai atribut atau gambaran di dalam studi kewilayahan dan dengan menggunakan pemodelan berbagai keterkaitan untuk tujuan meningkatkan pemahaman dan prediksi atau peramalan. Kejadian geografis (geographical event) dapat berupa sekumpulan obyek-obyek titik, garis atau areal yang berlokasi di ruang geografis dimana melekat suatu gugus nilai-nilai atribut. Dengan demikian, analisis spasial membutuhkan informasi, baik berupa nilai-nilai atribut maupun lokasi geografis obyek dimana atribut melekat di dalamnya (Rustiadi dkk.,2007). Selanjutnya Rustiadi dkk. (2007) menyatakan bahwa analisis spasial secara kuantitatif tidak hanya mencakup statistika spasial. Terdapat dua kajian studi yang bisa dibedakan, yaitu :

1. Analisis statistik data spasial : kajian-kajian untuk menemukan metode dan kerangka analisis guna memodelkan efek spasial dan proses spasial.

2. Pemodelan Spasial : pemodelan deterministik atau stokastik untuk memodelkan kebijakan lingkungan, lokasi-alokasi, interaksi spasial, pilihan spasial dan ekonomi regional.

(36)

METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Adanya kebijakan pemerintah memberikan perijinan atas kawasan hutan untuk pembangunan HTI mengharuskan pihak perusahaan untuk menyusun tata ruang HTI yang dijadikan sebagai acuan dalam pemanfaatan kawasan hutan. Kesesuaian penggunaan lahan dengan peruntukan lahan pada rencana tata ruang yang telah ditetapkan diharapkan akan menjadi suatu pengelolaan hutan yang berkelanjutan dalam hal aspek kontinuitas pemanfaatan sumberdaya hutan serta terpeliharanya kawasan untuk fungsi lindung dan konservasi. Sementara ketidaksesuaian penggunaan lahan akan membuat ketidakpastian dalam keberlanjutan pengelolaan hutan serta menciptakan lingkungan fisik hutan yang diduga memiliki kontribusi terhadap peluang terjadinya kebakaran hutan.

Sementara itu kurangnya upaya-upaya pemerintah untuk memberdayakan masyarakat sekitar hutan ke arah kemapanan kehidupan sosial dan peningkatan ekonomi masyarakat akan meningkatkan alternatif aktivitas masyarakat berbasis lahan ke arah penguasaan lahan hutan. Penyiapan lahan secara tradisional dengan tahapan tebang, tebas dan bakar pada umumnya diduga sebagai penyebab awal terjadinya kebakaran hutan.

Selain hal-hal tersebut diatas, peristiwa kebakaran hutan yang terjadi di areal HTI juga disebabkan oleh kondisi biofisik lahan yang mendukung terjadinya kebakaran yaitu karakteristik sumberdaya alam yang mencakup antara lain : iklim, curah hujan, lereng, jenis tanah, penutupan lahan, potensi bahan bakar dan kondisi lahan (rawa/darat).

(37)

Ruang Lingkup Penelitian

[image:37.595.111.511.74.538.2]

Ruang lingkup penelitian ini meliputi penentuan faktor-faktor biofisik dan aktivitas masyarakat yang menguasai lahan hutan serta pemanfaatan ruang Hutan Tanaman Industri aktual berdasarkan kondisi saat ini berdasarkan interpretasi citra dengan Rencana Tata Ruang Hutan Tanaman Industri PT. Wirakarya Sakti dengan mempertimbangkan lokasi yang berpotensi terjadinya kebakaran hutan. Selain itu dilakukan analisis berdasarkan wawancara/kuesioner untuk melihat sejauhmana aktivitas masyarakat yang menguasai lahan hutan terhadap kebakaran di areal HTI PT. Wirakarya Sakti.

Gambar 3 Diagram Alir Kerangka Pemikiran. Kebijakan Pemerintah

Tata Ruang Hutan Tanaman Industri

Sosial Ekonomi Masyarakat sekitar HTI

Faktor Biofisik Hutan

Curah Hujan Topografi Penutupan Lahan Jenis Tanah

Kuantitas Bahan Bakar Kondisi Lahan

Pemanfaatan Kawasan Hutan untuk HTI

Data Citra

Penguasaan Lahan Hutan

Terjadinya Klaim Lahan

Penyiapan Lahan

secara Tradisional

Kebakaran Hutan

Data Kejadian Kebakaran

Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran Hutan di HTI

(38)

20

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di areal perijinan Hutan Tanaman Industri PT. Wirakarya Sakti yang terletak di Provinsi Jambi, sebagian meliputi Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Tebo dan Kabupaten Muaro Jambi, dengan luasan areal ± 293.000 Ha sesuai SK Menhut No. 346/Menhut-II/2004 tanggal 10 September 2004. Penelitian dilaksanakan dari Bulan Agustus 2008 sampai dengan Bulan Desember 2008. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 4.

Pengumpulan dan Sumber Data

Untuk menjawab tujuan penelitian dikumpulkan dan digunakan data-data sekunder dan primer. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber sesuai dengan tujuan penelitian. Data sekunder berupa peta, laporan tertulis dan data numerik lainnya, seperti pada Tabel 1 di bawah ini :

Tabel 1 Data Sekunder yang Digunakan dalam Penelitian

No Jenis Data Format Tahun Skala Dasar Sumber

1 Peta Areal Kerja JPEG 2006 1 : 100.000 PT. Wirakarya Sakti 1 : 500.000

2 Peta Tanah JPEG 2006 1 : 100.000 PT. Wirakarya Sakti

1 : 500.000 1 : 250.000

3 Peta Kelas Lereng JPEG 2006 1 : 100.000 PT. Wirakarya Sakti 1 : 500.000

4 Peta Iklim JPEG 2006 1 : 100.000 PT. Wirakarya Sakti

1 : 500.000

5 Peta Penutupan Lahan JPEG 2006 1 : 100.000 PT. Wirakarya Sakti 1 : 500.000

6 Peta RTR-HTI JPEG 2006 1 : 100.000 PT. Wirakarya Sakti 1 : 500.000

7 Citra Satelit Landsat 5 TM Digital 2008 - BIOTROP 8 Peta Sungai dan Jaringan Digital 2006 1 : 100.000 BPDAS Batanghari

Jalan

9 Data Kebakaran Hutan Tabular 2005-2007 - PT. Wirakarya Sakti 10 Data Penguasaan Lahan Hutan Digital 2007 1 : 100.000 PT. Wirakarya Sakti

11 Data sosek Tabular 2008 - BPS Prov. Jambi

(39)
(40)

22

Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : personal computer, perangkat lunak seperti ArcView GIS versi 3.2, ArcGIS versi 9.2, Erdas Imagine versi 8.6, Microsoft Word dan Microsoft Excell, SPSS 16, receiver global positioning system (GPS), printer dan kamera digital.

Penyusunan Kuesioner

Kuesioner disusun untuk mendapatkan informasi mengenai karakteristik dan tindakan masyarakat yang menguasai lahan hutan pada areal perizinan HTI PT. Wirakarya Sakti terhadap kebakaran hutan. Perlakuan awal penyusunan kuesioner dilakukan dengan studi literatur dan pendapat ahli, sehingga diharapkan kuesioner dapat menjadi alat untuk menjawab tujuan penelitian. Metode pengambilan sampel dilakukan secara purposive random sampling, dan responden yang dijadikan sampel adalah masyarakat yang berada dan menguasai lahan hutan di HTI yang telah terdata secara spasial dan sebagian telah dilakukan pengukuran oleh pihak PT. Wirakarya Sakti. Responden berasal dari 8 (delapan) distrik atau unit pengelolaan atas wilayah hutan pada wilayah kerja HTI. Setiap distrik diambil 3 (tiga) orang responden secara acak. Jumlah responden yang diambil seluruhnya adalah sebanyak 24 responden (20 % dari jumlah seluruh kelompok masyarakat yang menguasai lahan hutan di areal HTI).

Kuesioner dibuat berdasarkan pertimbangan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat dengan kebakaran hutan diduga dari parameter sosial yaitu pendidikan, pengetahuan serta persepsi masyarakat tentang hutan dan keberadaan HTI, pertambahan jumlah penduduk serta ketersediaan lapangan pekerjaan, tidak terakomodasinya peran masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, pendapatan masyarakat dari hasil pertanian/perkebunan serta sistem penyiapan lahan dan kebiasaan masyarakat dalam penggunaan api.

Persiapan Data

(41)

yang masih berbentuk peta analog (manual) diubah ke dalam bentuk dijital dengan metode dijitasi melalui layar dan pemasukan data atribut. Peta yang mempunyai sistem koordinat yang berbeda dilakukan transformasi koordinat sehingga tersusun basis data spasial dengan sistem koordinat yang sama.

Analisis Data

Sebagai dasar pemetaan, maka peta dasar yang dipergunakan adalah peta areal kerja PT. Wirakarya Sakti yang digunakan juga sebagai peta acuan. Peta dasar dipersiapkan untuk penyajian peta-peta tematik sebagai parameter yang diduga sebagai faktor terjadinya kebakaran hutan. Berdasarkan data yang tersedia, maka parameter biofisik yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelas lereng, tipe iklim, curah hujan, penutupan lahan, potensi bahan bakar, jenis tanah dan kondisi lahan (rawa/darat). Peta dijital lainnya sebagai parameter pendukung aktivitas masyarakat yang berkaitan dengan kebakaran hutan adalah peta penguasaan lahan, jaringan jalan dan sungai/kanal.

Dari data kuesioner dilakukan analisis terhadap keterkaitan karakteristik dan tindakan serta aktivitas masyarakat yang menguasai lahan dengan kejadian kebakaran hutan, sedangkan untuk menganalisis kesesuaian pelaksanaan pembangunan HTI dengan Rencana Tata Ruang HTI digunakan data citra satelit Landsat 5 TM path/row 125/61 tanggal 12 Mei 2008 yang sebelumnya dilakukan perbaikan dan penajaman serta interpretasi citra secara manual.

Sebaran Kebakaran Hutan

Data tabular kejadian kebakaran dari catatan laporan harian PT. Wirakarya Sakti dari tahun 2005 sampai dengan 2007 (Lampiran 1) dipetakan berdasarkan informasi koordinat, lokasi petak dan atau jalan dimana peristiwa kebakaran terjadi. Dengan software ArcView ditampilkan sebaran titik-titik kebakaran hutan pada berbagai peta tematik biofisik, yaitu penutupan lahan, jenis tanah, tipe iklim serta topografi.

(42)

24

merupakan daerah rawa tergenang. Kondisi lahan berupa dataran dan rawa diduga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kebakaran.

Tipe iklim di areal HTI terdiri dari Sangat Basah (Q < 14,3%) dan Basah (14,3% < Q < 33,3%). Penutupan lahan secara umum terbagi menjadi Hutan, Hutan Tanaman dan Non Hutan. Sedangkan jenis satuan lahan terbagi menjadi tanah mineral dan tanah organik. Peristiwa kebakaran hutan diduga ditentukan oleh curah hujan, kebakaran diduga tidak akan terjadi apabila hujan turun atau akan padam apabila terjadi hujan. Kebakaran hutan juga diduga disebabkan oleh adanya bahan bakar tersedia berupa kayu ataupun sisa kayu. Pendugaan potensi kayu sebagai bahan bakar diperoleh dari tipe penutupan lahan dengan data potensi tegakan per hektar dari hasil survei. Untuk potensi bahan bakar dari penutupan lahan berhutan diduga dari potensi tegakan hutan, potensi bahan bakar dari penutupan hutan tanaman diduga dari potensi riap hutan tanaman sedangkan untuk potensi bahan bakar non hutan diduga dari potensi tegakan tingkat tiang dan pancang hasil survei delineasi mikro PT. Wirakarya Sakti.

Sebaran kejadian kebakaran juga ditampilkan pada peta tematik jaringan jalan, sungai dan penguasaan lahan untuk menduga faktor aktivitas masyarakat yang mendukung terjadinya kebakaran. Pendugaan pengaruh penguasaan lahan terhadap kejadian kebakaran adalah dengan menghitung jarak terdekat antara lahan yang dikuasai dengan setiap lokasi kebakaran. Demikian juga dengan pengaruh jaringan jalan dan sungai/kanal terhadap aktivitas masyarakat dilakukan dengan menghitung jarak terdekat antara jalan dan sungai/kanal dengan lokasi terjadinya kebakaran.

Analisis dan Tahapan Penyusunan Faktor-Faktor yang Berpengaruh

(43)

kesamaan aspek perlakuan silvikultur. Peta kompartemen atau petak di Distrik I disajikan seperti pada Gambar 5.

Petak-petak unit pengelolaan di areal Hutan Tanaman Industri yaitu kompartemen di Distrik I merupakan data spasial yang memiliki luasan tertentu dan sebagian besar hampir seragam, dengan identitas atau atribut tersendiri yang berbatasan dengan petak lainnya (Lampiran 2).

[image:43.595.111.528.393.723.2]

Data spasial peristiwa kebakaran kemudian diplotkan ke setiap unit kompartemen dengan ArcView pada ekstensi geoprocessing sehingga dihasilkan peta kebakaran pada setiap kompartemen. Dari hasil operasi tumpang tindih (overlay) tersebut diperoleh informasi setiap kompartemen yang terbakar dan tidak terbakar. Untuk selanjutnya dilakukan analisis spasial dengan menumpang tindihkan (overlay) kembali peta-peta tematik biofisik ke peta kompartemen dengan operasi intersect sehingga diperoleh satuan-satuan unit lahan yang unik/homogen yang memiliki informasi aspek biofisik yang seragam, dan memiliki informasi atribut kebakaran.

(44)

26

Penentuan faktor-faktor yang berpengaruh dari aktivitas masyarakat ditentukan dengan menghitung jarak terdekat dari penguasaan lahan, jalan dan sungai/kanal, dengan asumsi bahwa peristiwa kebakaran terjadi disebabkan oleh jarak penguasaan lahan oleh masyarakat yang terdekat. Demikian juga perhitungan dengan jarak jalan dan sungai/kanal. Penghitungan jarak dilakukan dengan sofware ArcGIS dengan analisis proximity pada operasi point distance

atau near. Untuk satuan unit lahan homogen dan penguasaan lahan dibuat

centriod sebagai titik tengah dari polygon, sehingga penghitungan jarak diukur dengan point to point. Sedangkan penghitungan dari centroid satuan unit lahan dengan jalan atau sungai/kanal, penghitungan jarak diukur dengan point to line. Data hasil penentuan jarak terdekat dari masing-masing centroid penguasaan lahan, jalan dan sungai/kanal ke centroid satuan unit lahan dilakukan joint table

untuk menggabungkan data atribut dengan poligon hasil intersect.

[image:44.595.106.503.309.744.2]

Peta hasil overlay secara keseluruhan menghasilkan satuan unit lahan dengan informasi setiap unit lahan meliputi data tipe penutupan lahan, potensi bahan bakar, kelas kelerengan, jenis tanah, tipe iklim dan data curah hujan, jarak terdekat dengan penguasaan lahan, jalan dan sungai/kanal. Tahapan dan analisis penyusunan faktor-faktor berpengaruh seperti terlihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Tahapan dan Analisis Penyusunan Faktor-Faktor yang Berpengaruh.

Peta Kompartement Peta Kebakaran

Overlay

Peta Sebaran Kebakaran

Overlay

Peta Landcover

Peta Kelas Lereng

Peta Iklim

Peta Jenis Tanah

Peta Analisis Indikator

Aktivitas Masyarakat Peta Satuan Lahan

(45)

Penentuan Faktor-Faktor yang Berpengaruh

Data yang dihasilkan dari tahapan analisis penyusunan faktor-faktor yang berpengaruh di eksport ke excell dan sudah dalam bentuk tabulasi data yang siap untuk dianalisis dengan program statistik SPSS 16.

Pendekatan analisis statistik yang digunakan adalah analisis regresi logistik yang merupakan bentuk khusus analisis regresi dengan variabel respon bersifat kategori dan variabel prediktor bersifat kategori, kontinu, atau gabungan antara keduanya. Persamaan regresi logistik ini tidak menghasilkan nilai pada variabel respon, namun menghasilkan peluang kejadian pada variabel respon. Dalam penerapannya, regresi logistik tidak memerlukan asumsi multivariat normal atau kesamaan matrik varian kovarian seperti halnya analisis diskriminan (Hosmer dan Lemeshow, 1989 dalam Wibowo, 2002).

Firdaus dan Farid (2008) menyatakan bahwa dalam analisis regresi logistik, pemodelan peluang kejadian tertentu dari kategori peubah respon dilakukan melalui transformasi dari regresi linier ke logit. Formula transformasi logit tersebut adalah :

pi Logit(pi) = Loge

1 - pi

dengan pi adalah peluang munculnya kejadian kategori tertentu dari peubah respon untuk variabel ke-i dan loge adalah logaritma dengan basis bilangan e.

Dengan demikian model yang digunakan dalam analisis regresi logistik adalah sebagai berikut :

Logit(pi) = 0 + 1*X

dengan logit(pi) adalah nilai transformasi logit untuk peluang kejadian tertentu, 0

adalah intersep model garis regresi, 1 adalah slope model garis regresi dan X

adalah peubah penjelas.

Thoha (2006) menerapkan analisis regresi logistik untuk memprediksi kebakaran gambut di Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau dengan membuat model umum prediksi kebakaran yang terdiri dari variabel-variabel yang berperan dari faktor biofisik dan faktor aktivitas manusia.

(46)

28

berupa peubah kategorik yaitu merupakan data status kejadian kebakaran yang berupa atribut terbakar dan tidak terbakarnya satuan lahan di areal HTI. Pada sofware program statistik SPSS 16 prosedur yang dijalankan melalui operasi

analyze regression-binary logistic dengan memasukan variabel status kebakaran sebagai variabel tak bebas dari tiap-tiap variabel biofisik dan variabel aktivitas masyarakat sebagai variabel bebas. Variabel bebas yang bersifat kategori dan numerik dipilah sehingga diperoleh output logistik regression.

Model umum persamaan statistik faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kebakaran adalah sebagai berikut :

p

Loge = 0 + 1x1 + 2x2 + 3x3 + 4x4 + 5x5 + 6x6 + 7x7 + 8x8 + 9x9 + 1- p 10x10 + 11x11 + 12x12 + 13x13 + 14x14 + 15x15 + 16x16 (3.1)

Keterangan :

0 = Konstanta

X1 = Landcover - Hutan Tanaman (1)

X2 = Landcover - Hutan (2)

X3 = Landcover - Non Hutan (3)

X4 = Potensi Kayu (m3)

X5 = Jenis tanah - Organik (0)

X6 = Jenis tanah - Mineral (1)

X7 = Slope - Datar (0)

X8 = Slope - Agak Curam (1)

X9 = Kondisi Lahan - Rawa (0)

X10 = Kondisi Lahan - Darat (1)

X11 = Tipe Iklim - Sangat Basah (0)

X12 = Tipe Iklim - Basah (1)

X13 = Curah Hujan (mm)

X14 = Jarak dari Penguasaan Lahan (m)

X15 = Jarak dari Jalan (m)

X16 = Jarak dari Sungai (m)

Pembangunan Model Spasial Kebakaran Hutan

(47)

mengukur faktor-faktor peubah bebas yang berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah tak bebas. Koefisien regresi logistik penyusunan model spasial kebakaran hutan tidak dapat dijadikan sebagai faktor pembobot untuk faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan dalam pembangunan model spasial.

Metode Analytical Hierarchy Process /AHP (Saaty, 1991) merupakan salah satu teknik untuk melakukan pengambilan keputusan. Melalui penerapan metoda AHP, hirarki atau ranking prioritas dari kriteria faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan di HTI PT. Wirakarya Sakti dapat ditetapkan.

Prinsip utama dari metode AHP adalah membandingkan beberapa pendapat ahli, pada perbandingan berpasangan antar elemen yang dilakukan pada tiga tahap, yaitu membangun matrik berpasangan sesuai level pada hirarki, menghitung bobot masing-masing elemen dari hirarki dan mengestimasi konsistensi dari beberapa pendapat ahli. Metode untuk memperoleh data dan informasi diperoleh dari hasil wawancara ahli dari berbagai institusi seperti institusi akademik, pemerintahan, kalangan profesional ataupun lembaga swadaya masyarakat dapat dimintai pendapat yang berhubungan dengan keahliannya tentang beberapa kriteria yang berkaitan erat dengan kebakaran hutan.

Selanjutnya skor yang digunakan dalam perbandingan berpasangan menggunakan skala likert 1 sampai dengan 9. Sedangkan formulasi perhitungan sintesa matrik perbandingan berpasangan dengan menghitung bobot prioritas dari kriteria, menghitung rasio konsistensi (consistency ratio), indeks konsistensi (consistency index), menyeleksi nilai yang sesuai dengan random indeks (RI) dan mengecek konsistensi dari matriks perbandingan berpasangan untuk mengetahui kekonsistenan pendapat ahli tersebut sebagai berikut (Firdaus dan Farid, 2008) :

Q = (3.2)

CI = (3.3)

CR = (3.4)

dengan AWT adalah perkalian antara matriks perbandingan berpasangan (A) dengan vektor kolom dari bobot yang dihasilkan dari matriks (A), Q merupakan rata-rata besarnya AWT relatif terhadap vektor kolom dari bobot yang dihasilkan

AWT n

Q-n n-1

(48)

30

dari mariks (WT), n adalah banyaknya faktor pada matriks perbandingan, CI adalah Consistency Index serta CR adalah Consistency Ratio.

Setelah bobot masing-masing faktor yang menjadi penyebab kebakaran diketahui, maka dilakukan pemodelan spasial menggunakan suatu tools yang telah disediakan dalam ekstensi ArcView Spatial Analyst yang berfungsi untuk membantu membuat model spasial dari suatu wilayah geografis. Dalam pemodelan dengan Model Builder, model spasialnya merekam semua proses yang terlibat seperti pembuatan buffer maupun overlay dari beberapa theme yang diperlukan untuk mengkonversi data input menjadi peta output (Jaya, 2007).

Berdasarkan hasil perhitungan dari persamaan skor kerawanan yang didapatkan maka untuk menentukan kelas kerawanan yang telah diperoleh dibagi atas 3 (tiga) tingkat kerawanan kebakaran hutan yaitu rendah, sedang dan tinggi.

Pengujian Model Spasial Kebakaran Hutan

Pengujian model bertujuan untuk mengetahui seberapa tepat model yang dibuat untuk menduga tingkat kerawanan kebakaran hutan terhadap kondisi sebenarnya. Pengujian dilakukan dengan dengan cara membuat wilayah verifikasi secara acak dari salah satu distrik pada HTI PT. Wirakarya Sakti dan referensi untuk verifikasi menggunakan data hotspot dari Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2007 yang bersumber dari citra satelit NOAA-AVHRR seri 18 (http://www.jica-forestfire.org). Pengujian dilakukan dengan cara menumpang tindihkan poligon kepadatan hotspot pada salah satu wilayah distrik HTI yang mewakili setiap kelas kerawanan dengan peta model kerawanan kebakaran hutan.

Peta sebaran titik hotspot terlebih dahulu dijadikan dalam bentuk poligon kepadatan hotspot dengan menggunakan ArcGIS ver 9.2 dengan ekstensi spatial analyst tools pada menu density (point density) untuk mengetahui jumlah hotspot pada radius tertentu (10 km), radius wilayah rata-rata pada setiap distrik, dengan ukuran output cell size 500 m. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah hotspot akan dihitung dalam radius 10 km yang kemudian dibagi dengan luas radiusnya.

(49)<

Gambar

Gambar 3  Diagram Alir Kerangka Pemikiran.
Gambar 5  Peta Areal Kerja Distrik I HTI PT. Wirakarya Sakti.
Gambar 6  Tahapan dan Analisis Penyusunan Faktor-Faktor yang Berpengaruh.
Gambar 7   Tahapan Analisis Kesesuaian antara Penggunaan Lahan dengan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan aspek manusia dalam hal kemiskinan informasi tidak berdasarkan perumpamaan kaya miskin, tetapi berdasarkan pandangan hermenetika informasi. Informasi dipandang

Analisa identifikasi permasalahan ini perlu melihat secara holistik yang melibatkan beberapa aspek secara terintegrasi seperti aspek sosial, ekonomi, budaya, lingkungan,

kegiatan Program peningkatan manajemen dan pelayanan Administrasi Persentase kinerja perkantoran yang baik Bidang pelaksana Uraian Indikator Kinerja 2016 2017 2018 2019

Ibid, hal.. 1) Untuk menentukan pertanggungjawaban korporasi dalam hukuk pidana, maka persyaratan pada umumnya menyangkut segi perbuatan dan segi orang (sebagai pelaku atau

Maknanya adalah; hanya milik Allah q apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi agar Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat buruk dengan melakukan

Dari analisis ragam pada Tabel 1 menunjukan kombinasi perlakuan tata letak penanaman bujur sangkar dengan benih, umur bibit 6 dan 9 hari setelah semai serta

|jejakseribupena.com, Soal dan Solusi Simak UI Matematika IPA, 2013

Pada penelitian ini, penulis menggunakan teknik klasifikasi untuk menggali pengetahuan yang dapat dihasilkan dari data sekunder HCC Survival Data Set dengan