• Tidak ada hasil yang ditemukan

Morfologi Cangkang Kerang Air Tawar Famili Unionidae (Moluska: Bivalvia) di Perairan Situ Gede Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Morfologi Cangkang Kerang Air Tawar Famili Unionidae (Moluska: Bivalvia) di Perairan Situ Gede Bogor"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

ROZI PUTRA

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Perairan Situ Gede Bogor. Dibimbing oleh DJOKO WALUYO dan TRI HERU WIDARTO. Penelitian fauna moluska di perairan Situ Gede Bogor dilakukan pada bulan Desember 2006-April 2007. Pengamatan dilakukan pada 5 stasiun. Substrat perairan didominasi oleh liat berdebu dan liat berpasir. Contoh moluska dikoleksi dengan menggunakan metode transek kuadrat yang dimulai dari tepi perairan ke arah tengah. Selama pengamatan berhasil dikumpulkan sebanyak 139 individuPilsbryoconcha exilis dari famili Unionidae. Nilai kegemukan cangkang bervariasi antara 12.3% dan 46.2%, sedangkan nilai tinggi relatifnya bervariasi antara 16.19% dan 51.81%. Ada korelasi positif antara panjang cangkang dengan tinggi relatif dan obesitas, namun tidak ada pengaruh faktor kedalaman dan perbedaan substrat yang signifikan untuk respon tinggi relatif dan obesitas. Berdasarkan pengamatan ciri morfologi cangkang, terdapat empat macam bentuk utama cangkang dan empat bentuk cangkang abnormal yang dilihat dari adanya pembelokan tak beraturan pada lengkungan garis tepi sayap cangkang.

ABSTRACT

ROZI PUTRA. Morphology of Freshwater Molluscs Shell from The Family of Unionidae (Mollusc: Bivalvia) at Situ Gede, Bogor. Supervised by DJOKO WALUYO and TRI HERU WIDARTO.

(3)

MORFOLOGI CANGKANG KERANG AIR TAWAR

FAMILI UNIONIDAE (MOLUSKA: BIVALVIA)

DI PERAIRAN SITU GEDE BOGOR

ROZI PUTRA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains Pada

Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Judul : Morfologi Cangkang Kerang Air Tawar Famili Unionidae (Moluska:

Bivalvia) di Perairan Situ Gede Bogor

Nama : Rozi Putra

NRP : G34102008

Menyetujui:

Pembimbing I,

Pembimbing II,

drh. Djoko Waluyo, MS

Ir. Tri Heru Widarto, M.Sc

NIP. 130350056

NIP. 131663018

Mengetahui:

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

DR. drh. Hasim, DEA

NIP. 131578806

(5)

PRAKATA

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, karena rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berlangsung dari bulan Desember 2006 sampai dengan bulan April 2007 di perairan Situ Gede Kecamatan Bogor Barat Kotamadya Bogor. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada teladan kita Rasulullah SAW, yang telah membawa kebenaran dan petunjuk sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Penulis menyampaikan, jazakumullaah khairan katsiira, kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian karya ilmiah ini, khususnya kepada Bapak Djoko Waluyo selaku pembimbing I dan Bapak Tri Heru Widarto selaku pembimbing II, Bapak Achmad Farajallah selaku pembimbing akademik dan seluruh staf dosen dan karyawan Departemen Biologi FMIPA IPB, Ibu Ristiyanti M Marwoto dan staf Laboratorium Malakologi LIPI Cibinong, serta Bapak Lurah kelurahan Situ Gede beserta jajarannya.

Penulis juga menyampaikan, jazakumullaah khairan katsiira kepada Ayah, Ibunda dan Ibu Farida, Robbigh-firlii waliwalidayya warhamhuma kamaa robbayaani shoghiiro, serta adik-adik di rumah, kepada segenap pengurus dan keluarga besar DKM Al-Ghifari IPB danahlu-shuffah-nya beserta paraasaatidzh, masyaikh, murobbi, seluruh mutarobbidihalaqoh danikhwahdi usrotu-da wah, kepausrotu-da segenap panitia PAGI ANABA 2004, pengurus WMH usrotu-dan HIMABIO IPB 2004, seluruh anggota DPM FMIPA IPB 2005, dan kepada segenapikhwah Biologi dan FMIPA 39, serta FORSAIK IPB dan Biru Muda, kepada seluruh teman-teman Biologi 39 beserta kakak dan adik angkatan di Departemen Biologi IPB. Semoga Allah SWT membalas jasa antum semua dengan sebaik-baiknya balasan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor,Rabi ul Awwal 1429 H

Mei 2008 M

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Batusangkar pada tanggal 30 Maret 1984 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Nasrun dan Rosmini.

Tahun 2002 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Sungai Tarab Batusangkar, Sumatera Barat. Pada tahun yang sama penulis memperoleh kesempatan melanjutkan studi di Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Tahun 2005 penulis melaksanakan Praktik Lapangan di PT Sumber Sari Bumi Pakuan Cisarua Bogor, dengan judul Proses Pengolahan Teh Hijau di PT Sumber Sari Bumi Pakuan Cisarua Bogor dengan nilai sangat memuaskan.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR . viii

DAFTAR LAMPIRAN .. viii

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 Tujuan . 1 BAHAN DAN METODE Pengambilan Sampel di Lapangan dan Penyimpanan ... 1

Identifikasi dan Pengukuran Morfologi Cangkang ... 2

Analisis Variasi Morfologi Cangkang dan Hubungannya dengan Faktor Lingkungan... 2

HASIL Kondisi Fisik dan Limnologi Perairan ... ... 2

Identifikasi Kerang... 2

Variasi Morfologi Cangkang ... 3

Variasi Nilai Kegemukan dan Tinggi Relatif ... 4

PEMBAHASAN Kondisi Perairan Situ Gede Bogor ... 5

Variasi Cangkang Berdasarkan Kondisi Lingkungan ... 5

SIMPULAN ... 7

SARAN ... 7

DAFTAR PUSTAKA ... 7

(8)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Morfologi cangkang bivalvia ... 2 2 JumlahPilsbryoconcha exilisyang diperoleh dari lima stasiun pengamatan ... 3 3 Variasi bentuk cangkang ... 3 4 Empat bentuk cangkang abnormalP. exilisyang ditemukan di perairan Situ

Gede ... 4 5 Hubungan antara panjang cangkang dan tinggi relatif dan panjang cangkang dan

kegemukan ... 4 6 Hubungan antara kedalaman perairan dan tinggi relatif dan kegemukan ...

4 7 Hubungan antara karakter stasiun dan tinggi relatif dan kegemukan ... 4 8 Hubungan antara substrat dan tinggi relatif dan kegemukan ... 5

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

(9)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan memberikan tekanan terhadap fungsi perairan. Situ merupakan salah satu bentuk lahan basah air tawar dengan sistem perairan tergenang yang memiliki beragam manfaat yang sangat penting antara lain sebagai tandon air (reservoir), peredam banjir, irigasi, perikanan, sumber plasma nutfah, dan rekreasi (Suryadiputra 1998).

Peraturan Pemerintah nomor 35 tahun 1991 menyebutkan bahwa situ merupakan sumber daya alam yang harus dilindungi serta dijaga kelestarian lingkungannya (Gunawan 1998). Menurut Dinas Pengairan (1998) ter-dapat 116 situ di Kabupaten Bogor dan 6 situ di Kotamadya Bogor dengan luas total 650 ha. Karena kurang baiknya pengelolaan, saat ini diperkirakan jumlah situ di Kabupaten dan Kotamadya Bogor tinggal 94 dengan luas total 515 ha. Hal ini berarti telah terjadi penyusutan sebesar 20% (Haeruman 1998). Dari 94 situ, 10% berada dalam kondisi baik, 77% kondisinya rusak dan 13% telah beralih fungsi (Suryadiputra 1998).

Penyusutan jumlah situ tersebut sangat memprihatinkan karena sebagai suatu ekosis-tem air tawar, situ merupakan habitat beragam jenis flora dan fauna. Terjaminnya pengelolaan situ berarti terjamin pula kelestarian flora dan fauna di dalamnya untuk menjaga keanekaragaman sumberdaya hayati. Penataan ruang secara terpadu dan terarah diperlukan supaya pengelolaan dan pemanfaatan situ sesuai dengan fungsinya. Kesalahan dalam perencanaan maupun pengendalian pemanfaatan ruang sekitar Situ Gede dapat berdampak negatif, terutama dalam menunjang ekosistem dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya (Suryadiputra 2003).

Menurut Odum (1994) kerang (Molusca: Bivalvia) merupakan kelompok benthos yang cukup dominan di perairan air tawar. Jutting (1753) melaporkan bahwa di pulau Jawa terdapat tiga famili kerang air tawar, yaitu famili Corbiculidae (7 jenis), Unionidae (6 jenis) dan Sphaeriidae (3 jenis).

Kerang Unionidae memiliki potensi ekologi dan ekonomi yang besar. Secara tradisional, kerang Unionidae di daerah Jawa Barat dikenal dengan nama lokal kijing . Kerang ini dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber protein (Suwignyo et al. 1975), sebagai pakan ternak, bahan kancing,

penghasil mutiara (Pennak 1989) serta sebagai komoditi budidaya perikanan darat (Suwignyo et al. 1981). Secara ekologis kerang Unionidae mampu menjernihkan air karena mampu menyaring partikel-partikel tersuspensi dan alga (Helfrich et al. 1955). Kerang ini juga mampu mengakumulasi logam berat ke dalam jaringan tubuh dan cangkangnya (Hameed & Raj 1990) serta menurunkan kadar fosfor dan BOD air limbah (Mackie & Wright 1994).

Melihat besarnya potensi kerang Unionidae dan pentingnya peranan situ dalam mendukung proses ekologis dan kehidupan masyarakat di sekitarnya, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengungkap karakteristik biota tersebut dengan menggunakan pendekatan ekobiologi, disamping masih kurangnya data yang pasti mengenai keberadaan moluska air tawar di perairan Situ Gede Bogor.

Pendekatan ekobiologi adalah suatu pendekatan yang mempelajari keterkaitan antara organisme (faktor biologi) dengan lingkungan (faktor ekologi). Pendekatan ini merupakan langkah awal yang diharapkan dapat memberikan data dasar yang mendukung upaya pengelolaan sektor perairan dan mengelola serta melestarikan biota tersebut, baik sebagai sumber plasma nutfah maupun untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperhatikan aspek pelestarian ekosistemnya.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan mempelajari hubungan antara variasi bentuk cangkang kerang bivalvia dengan faktor lingkungan pada perairan Situ Gede Bogor.

BAHAN DAN METODE

Pengambilan Sampel di Lapangan dan Penyimpanan

Lokasi pengambilan sampel dilakukan di 5 stasiun berbeda di perairan Situ Gede (Lampiran 1). Stasiun I adalah pintu keluar air situ (outlet), stasiun II adalah daerah perairan di bawah kanopi hutan percobaan Centre for International Forestry Research (CIFOR), stasiun III adalah daerah dengan tingkat aktivitas penduduk tinggi, stasiun IV adalah pintu masuk air (inlet), dan stasiun V adalah bagian tengah perairan (Lampiran 2).

(10)

Anterior

Ventral

(150m2). Kemudian dilakukan pengukuran kedalaman dan kecerahan perairan dengan tali tambang dan meteran, derajat keasaman (pH) menggunakan kertas pH MERCK dengan trayek pH 0-14, dan suhu perairan menggunakan termometer. Kedalaman perairan dibagi ke dalam empat tipe: I (70-90 cm), II (135-150 cm), III (170-190 cm) dan IV (210-220 cm).

Sampel kerang diambil menggunakan tangan dengan cara menyelam ke dasar perairan. Kerang dipisahkan dari subtratnya dan masing-masing dimasukkan ke plastik sampel. Selanjutnya kerang dibersihkan dan dipindahkan ke botol sampel yang berisi air dan diberi label. Substrat langsung diidentifikasi secara visual dengan mengacu kepada buku klasifikasi tanah dan lahan (Depdagri & IPB 1985), kemudian difoto menggunakan kamera digital (Samsung Digimax A402).

Identifikasi Kerang dan Pengukuran Cangkang

Seratus tiga puluh sembilan sampel kerang diidentifikasi berdasarkan ukuran dan bentuk cangkang menurut Heryantoet al. (2003) dan Jutting (1956). Sampel tersebut selanjutnya dibandingkan dengan koleksi yang ada di Laboratorium Malakologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong, Jawa Barat.

Panjang, lebar dan tinggi cangkang diukur menggunakan kaliper digital dengan tingkat ketelitian 0.05 mm mengikuti metode Bailey dan Green (1988). Panjang cangkang diukur dari ujung posterior ke ujung anterior cangkang, lebar cangkang diukur pada bagian yang tergemuk dari bagian kiri ke kanan cangkang, tinggi cangkang diukur dari tepi dorsal ke tepi ventral (Gambar 1). Data tersebut kemudian digunakan untuk mengetahui bentuk cangkang meliputi kegemukan cangkang (obesity) yang merupakan nisbah lebar terhadap panjang cangkang dan tinggi relatif cangkang (relative height) yang merupakan nisbah tinggi terhadap panjang cangkang (Bailey & Green 1988).

Analisis Variasi Morfologi Cangkang dan Hubungannya dengan Faktor Lingkungan

Untuk mengetahui variasi bentuk dan kelainan pada cangkang dilakukan pemisahan sampel dengan melihat perbedaan bentuk garis tepi cangkang. Faktor lingkungan yang dipelajari dalam penelitian ini adalah kedalaman perairan dan tipe substrat. Data nisbah ukuran morfologi kegemukan dan tinggi relatif cangkang hasil pengukuran digunakan untuk melihat besarnya pengaruh perbedaan tipe substrat dan kedalaman perairan Situ Gede terhadap kegemukan dan tinggi relatif cangkang.

HASIL

Kondisi Fisik dan Limnologi Perairan Suhu perairan pada lima stasiun pengamatan berkisar antara 28.2-29.6 oC, pH air 6, kedalaman perairan berkisar antara 0.7-2.2 m. Kedalaman tertinggi terdapat pada stasiun II, sedangkan yang terdangkal terdapat pada stasiun III. Secara umum perairan Situ Gede relatif tenang, rata-rata kecerahan perairan pada lima stasiun saat pengamatan berkisar antara 32.6-80.5 cm. Kecerahan terendah terdapat pada stasiun IV, sedangkan yang tertinggi terdapat pada stasiun V (Tabel 1).

Analisis substrat secara visual menunjukkan lima tipe tekstur berbeda yaitu liat berdebu yang memiliki tekstur halus dan menggumpal serta lengket dan plastis dalam keadaaan lembab, liat berdebu dengan campuran bahan anorganik berupa sampah rumah tangga, liat berpasir dengan campuran bahan organik yang memiliki tekstur licin dan lengket serta memiliki partikel pasir dan berwarna gelap, lempung liat berpasir yang memiliki tekstur kasar membentuk bongkahan dan menggumpal, lempung berliat yang memiliki tekstur halus dan lengket jika dipijit diantara ibu jari dan telunjuk (Lampiran 3).

Identifikasi Kerang

Hasil identifikasi berdasarkan bentuk dan warna cangkang serta pencocokan dengan spesimen koleksi Laboratorim Malakologi Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong, klasifikasi spesies kerang yang ditemukan adalah sebagai berikut:

Filum : Moluska Klas : Bivalvia

Sub klas : Palaeoheterodonta Gambar 1 Morfologi cangkang bivalvia.

(11)

Gambar 3 Variasi bentuk cangkang. 0 10 20 30 40 50 60 70

I II III IV V

Stasiun

Jumlah

Individu

Gambar 2 Jumlah P. exilisyang diperoleh dari lima stasiun pengamatan.

Ordo : Eulamellibranchia Sub ordo : Integripalliata Famili : Unionidae Genus :Pilsbryoconcha Spesies :Pilsbryoconcha exilis

Jumlah kerang bivalvia famili Unionidae yang diperoleh sebanyak 139. Jumlah individu terbanyak diperoleh pada stasiun I, diikuti oleh stasiun II, V, III dan IV (Gambar 2). Ukuran tubuh semua sampel yang dikoleksi relatif sama, warna cangkang kuning kehijauan menunjukkan bahwa sampel yang terambil masih berusia muda. Garis-garis pertumbuhan dan jarak antar garis sangat jelas terlihat pada cangkang kerang muda dibandingkan dengan cangkang yang sudah tua. Kerang yang sudah tua memiliki cangkang tebal dengan warna relatif lebih gelap, garis-garis pertumbuhan pada cangkang berumur tua sangat sulit dibedakan.

Variasi Morfologi Cangkang

Kerang P. exilis dewasa memiliki cangkang tipis, berwarna coklat kekuningan atau coklat kehijauan sampai hijau agak gelap. Cangkang berbentuk oval, elips atau memanjang, membulat di bagian anterior dan meruncing di bagian posterior. Umbo tidak jelas menonjol, bentuk cangkang tampak memipih dan halus dengan garis-garis pertumbuhan yang tidak terlalu jelas.

Terdapat empat bentuk cangkang dominan yang berhasil dibedakan secara visual dari sampel yang ditemukan dari perairan Situ Gede (Gambar 3). Perbedaan bentuk cangkang terlihat dari struktur bentuk lengkungan pada sayap atau garis tepi cangkang. Bentuk pertama ditemukan sebanyak 49 buah (35.5%) yang memiliki posterior dan anterior yang relatif membulat dengan pembelokan ke arah ventral atau sayap perut cenderung melengkung sempurna tanpa lekukan-lekukan tak beraturan, serta ukuran tubuh relatif gemuk. Bentuk kedua sebanyak 38 buah (27.3%), dengan garis sayap dorso-posteriornya mengalami penurunan tajam kemudian meruncing pada sayap belakang, dan turun ke arah anterior. Garis pada bagian sayap-sayap perut cenderung melengkung dengan baik. Bentuk ketiga ditemukan paling sedikit yaitu 20 buah (14.5%), yang memiliki posterior yang runcing, turun melengkung pada bagian ventral dan terjadi lekukan ke arah dalam sayap perut, cenderung membulat kearah anterior dan memiliki postur tubuh relatif lebih gemuk. Bentuk keempat ditemukan sebanyak 28 buah (20.3%), memiliki garis belakang sayap yang cenderung tidak beraturan dan disertai dengan adanya lekukan-lekukan tak beraturan kearah dalam pada bagian dorsal.

Selain itu ditemukan pula tipe cangkang abnormal yang berjumlah 4 buah (2.9%). Perbedaan bentuk cangkangnya apabila dibandingkan dengan bentuk utama adalah adanya pemipihan pada bagian dorso-posterior, dan pembelokan garis tepi pada bagian posterior ke arah perut (Gambar 4). Bentuk abnormal I memiliki sayap yang pipih

Stasiun Parameter

yang diamati I II III IV V

Suhu air rata-rata (0C) 28.2 28.5 29.6 29.6 28.5

Derajat Keasaman (pH) 6 6 6 6 6

Kecerahan rata-rata 39.8 45.6 73.6 32.6 80.5

Kedalaman (cm) 80 - 175 80 - 220 70 - 174 80 - 90 90 - 185

III IV

I II

(12)

pada bagian belakang posterior, dan mengalami lekukan ke arah dalam pada garis ventral, sedangkan bentuk abnormal II memiliki tubuh yang gemuk dan meruncing pada bagian posterior dengan warna cangkang relatif lebih hitam. Bentuk abnormal III memiliki tubuh relatif memanjang, warna cangkang kekuningan, mengalami lekukan tajam pada garis bagian belakang posterior cangkang dan sedikit lekukan kedalam pada garis sayap ventral. Bentuk abnormal IV memiliki garis dorsal relatif lurus setelah terjadinya penurunan dari ujung posterior bagian belakang, begitu juga garis pada sayap ventralnya yang relatif lurus kemudian melengkung ke arah anteriornya

Gambar 4 Empat bentuk cangkang abnormal P. exilis yang ditemukan di perairan Situ Gede.

Variasi Nilai Kegemukan dan Tinggi Relatif

Hubungan antara nilai kegemukan dengan panjang cangkang berkisar antara 12.28% sampai 46.23% dengan nilai R2 = 0.19. Sedangkan hubungan antara tinggi relatif cangkang dengan panjang cangkang berkisar antara 16.19% sampai 51.81% dengan R2 = 0.10 (Gambar 5). Terdapat korelasi positif antara panjang cangkang dengan kegemukan dan panjang cangkang dengan tinggi relatif walaupun nilai R kecil.

Tinggi relatif dan kegemukan meningkat seiring dengan bertambahnya panjang cangkang.

Gambar 5 menunjukkan adanya korelasi positif antara pengaruh pertambahan panjang cangkang terhadap kegemukan dan tinggi relatif. Kegemukan dan tinggi relatif meningkat seiring dengan pertambahan panjang cangkang. Nilai R yang kecil menunjukkan bahwa semakin bertambah panjang cangkang, kegemukan dan tinggi relatifnya juga meningkat tetapi sangat kecil. Gambar 6 dan 7 menunjukkan bahwa pengaruh kedalaman dan karakter stasiun terhadap kegemukan dan tinggi relatif juga sangat kecil. Tipe substrat juga memperlihatkan pengaruh yang kecil terhadap kegemukan dan tinggi relatif cangkang (Gambar 8).

Gambar 6 Hubungan antara kedalaman per-airan dan tinggi relatif dan kegemukan.

Gambar 7 Hubungan antara karakter stasiun dan tinggi relatif dan kegemukan.

Gambar 8 Hubungan antara substrat dan tinggi relatif dan kegemukan.

I II III IV 0 10 20 30 40 50 60

0 20 40 60 80 100 120

Panjang Cangkang (mm)

N il a i R ata -R at a Tinggi R e latif (%) 0 10 20 30 40 50 60 Nil ai Rat a-Rata Ke ge mu kan (%)

Gambar 5 Hubungan antara panjang cangkang dan tinggi relatif dan panjang cangkang dan kegemukan.

0 10 20 30 40 50 60

1 2 3 4

Tipe Kedal aman

Ni lai Rata-Rata Kegem ukan dan Ting gi Re lati f (%)

Kegemukan Tinggi Relatif

0 10 20 30 40 50 60

1 2 3 4 5

Stasiun Nil ai R ata-Rata Kegem ukan dan Tngg i Re la ti f (% )

Kegemukan Tinggi Relatif

0 10 20 30 40 50 60

1 2 3 4 5

Tipe Substra t

Nilai Ra ta-Ra ta Kegemukan dan Tinggi R ela tif (%)

(13)

PEMBAHASAN

Kondisi Perairan Situ Gede

Secara geografis perairan Situ Gede terletak pada 06o30 LS dan 06o45 BT. Situ ini terletak di wilayah Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat, Kotamadya Bogor, kira-kira 10 km dari pusat kota Bogor. Daerah ini terletak pada ketinggian 250 m dpl. Luas perairan Situ Gede sekitar 5.6 ha dengan kedalaman air rata-rata 85 cm. Perairan Situ Gede semula berhubungan dengan Situ Leutik dan Situ Panjang, tetapi hubungan tersebut terputus karena pembangunan jalan desa (Lampiran 1). Selain itu, sebagian perairan Situ Gede telah diubah masyarakat sekitar menjadi kolam pemeliharaan ikan.

Sumber air yang ada di Situ Gede berasal dari mata air, air hujan, dan air dari saluran air induk Kali Sindangbarang (Ciapus) dan saluran sekunder Cibenda yang bertemu + 50 km dari Situ Gede. Sebelum tahun 1986, perairan Situ Gede ini merupakan perairan tergenang yang dipenuhi dengan tumbuhan air. Karena dikhawatirkan nantinya akan terjadi pendangkalan dan penyempitan areal situ, maka pada bulan Januari 1986 seluruh tumbuhan air yang ada di perairan tersebut dibersihkan.

Tata guna lahan di sekitar perairan Situ Gede terdiri dari lahan pertanian, pemukiman, kolam ikan, dan irigasi. Bendungan yang terletak di sebelah utara dibangun pada tahun 1962 dan berfungsi sebagai irigasi. Selain itu potensi yang dimiliki oleh Situ Gede dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata untuk menunjang pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar khususnya.

Variasi Cangkang Berdasarkan Kondisi Lingkungan

Substrat. Sedimentasi substrat yang meliputi ukuran partikel dan kandungan organik mempengaruhi distribusi, morfologi fungsional, dan tingkah laku hewan bentos seperti Bivalvia dan Gastropoda (Levinton 1982). Tekstur substrat merupakan salah satu sifat tanah yang secara praktis dapat dipakai sebagai alat evaluasi atau pertimbangan dalam menentukan penggunaan tanah. Tekstur tanah menunjukkan perbandingan relatif antara pasir, debu, dan liat dalam tanah. Tanah terdiri dari empat komponen utama, yaitu bahan mineral, bahan organik, air, dan udara. Bahan organik tanah berasal dari timbunan sisa tumbuhan dan hewan. Bahan ini adalah sisa tidak statis yang mengalami serangan jasad

renik dan merupakan bahan transisi tanah yang nantinya akan membentuk struktur cangkang.

Cangkang Unionidae terdiri dari tiga lapisan yaitu, lapisan luar (periostrakum) yang tersusun dari senyawa konchiolin, lapisan tengah (perismatik) yang tersusun dari kalsium karbonat, dan lapisan dalam (nekrous) berupa lapisan mutiara dari senyawa kalsium karbonat yang dapat memantulkan cahaya. Bagian ujung dorsal (umbo) merupakan pusat pertumbuhan cangkang. Pertautan kedua keping cangkang dihubungkan oleh ligamen yang juga berfungsi untuk membuka dan menutup cangkang.

Sebagian besar struktur cangkang terbuat dari kalsium karbonat, yaitu kira-kira 89-99% dan sebagian kecil terdiri dari 1-2% fosfat, bahan organik konchiolin dan air. Kandungan mutiara terdiri dari 91% kalsium karbonat, 6% konchiolin dan 3% air (Dharma 1988).

Pada substrat berpasir kandungan oksigen lebih tinggi dibandingkan substrat berlumpur, tetapi substrat berlumpur kandungan nutriennya lebih tinggi dibandingkan dengan substrat pasir. Berdasarkan informasi ini dapat dikatakan bahwa kombinasi tempat hidup yang ideal bagi hewan bentos adalah kombinasi lumpur dan pasir (Razak 2002). Dari hasil analisis visualisasi substrat perairan Situ Gede diperoleh 5 tipe tekstur substrat yang berbeda yaitu liat berdebu, liat berdebu dengan campuran bahan anorganik, liat berpasir dengan campuran bahan organik, lempung liat berpasir dan lempung berliat (lampiran 3).

(14)

Menurut Harman dan Berg (1970) nilai kegemukan kerang meningkat ke arah perairan tenang (muara) dan berarus lambat. Stasiun I, II, dan V yang memiliki arus relatif tenang dan lambat tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap morfologi cangkang. Banyaknya kerang yang ditemui di daerah ini menunjukkan bahwa daerah ini adalah habitat yang sesuai untuk kehidupan kerang. Hal ini juga didukung dengan banyaknya endapan bahan organik di daerah ini. Bahan organik yang masuk ke dalam perairan akan mempengaruhi keragaman dan kelimpahan zooplankton secara langsung maupun tidak langsung.

Kedalaman. Perbedaan kedalaman mengakibatkan perbedaan jumlah individu yang ditemukan, tetapi tidak memberikan pengaruh terhadap bentuk cangkang. Stasiun I adalah stasiun dengan jumlah individu terbanyak yaitu 59 individu per 150m2, kemudian stasiun II sebanyak 35 individu, stasiun V 33 individu, stasiun III dengan 10 individu dan terakhir stasiun IV dengan dua individu (Gambar 3).

Bahan organik yang masuk kedalam perairan dan mengendap, mempengaruhi kelimpahan individu di dua stasiun ini. Bahan organik tersebut mempengaruhi keragaman dan kelimpahan zooplankton baik secara langsung maupun tidak langsung. Seluruh kehidupan perairan bergantung pada hasil fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air karena keduanya mampu mengubah unsur-unsur anorganik menjadi bahan organik dengan bantuan cahaya matahari. Oksigen hasil samping proses fotosintesis merupakan salah satu sumber pemasok oksigen perairan. Oksigen terlarut di perairan merupakan faktor yang menentukan distribusi dan kelimpahan moluska. Kedangkalan pada stasiun IV akibat sedimentasi membuat jumlah individu kerang jarang ditemukan, hal ini diduga terjadi karena pengendapan bahan-bahan anorganik berupa sampah plastik dan rumah tangga yang terbawa masuk oleh air ke dalam perairan ini. Kondisi ini dapat mengganggu kehidupan mikroorganisme lain yang membantu pertumbuhan kerang.

Perairan Situ Gede yang relatif dangkal sesuai untuk habitat kerang Unionidae, sehingga faktor kedalaman perairan ini tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kegemukan dan tinggi relatifnya.

Suhu,pH dan Kecerahan. Suhu perairan dipengaruhi oleh cahaya matahari, adanya naungan di sekitar perairan, masukan air dari saluran induk dan saluran sekunder, tingkat kedalaman, serta kecepatan arus. Perairan Situ Gede memiliki kisaran suhu 28.2-29.6 oC, kondisi ini masih dapat ditolerir oleh organisme akuatik terutama moluska. Secara umum suhu optimum untuk organisme akuatik berkisar 20-30 oC. Selain itu ada beberapa jenis moluska yang hidup pada suhu optimum 30 oC (Huet 1972). Suhu merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi kehidupan moluska. Pengaruh suhu ini dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung dapat terjadi pada proses metabolisme. Throp dan Fell (1994) melaporkan bahwa tingkat konsumsi oksigen bivalvia Dreissena polymorpha pada proses respirasi dipengaruhi oleh suhu. Sedangkan pengaruh suhu secara tidak langsung dapat mengakibatkan kematian organisme. Hal ini terjadi karena habisnya air yang disebabkan oleh meningkatnya suhu perairan (Nybakken 1992).

Limbah rumah tangga yang dibuang di sekitar perairan berupa deterjen diduga dapat menaikkan pH, namun hasil pengamatan menunjukkan bahwa kondisi perairan Situ Gede masih mendekati pH optimum bagi perairan air tawar (pH=6). Pada umumnya moluska air tawar dapat hidup pada kisaran pH 5.7-8.4. Bivalvia dapat hidup dengan baik pada perairan dengan kisaran pH 5.6-8.3. Pada perairan dengan kisaran pH 4.4-6.1 akan menyebabkan kerang menutup cangkangnya (estivasi) dan secara bertahap kehilangan bobot tubuhnya. Pada pH yang berkisar antara 4.4-5.2 menyebabkan kematian gastropoda air tawar (Hamidah 2000).

(15)

SIMPULAN

Pada penelitian ini diidentifikasi satu jenis kerang Unionidae yaitu Pilsbryoconcha exilis yang banyak ditemukan pada bagian outlet perairan Situ Gede. Ada 4 bentuk cangkang dominan dan abnormal.

Kondisi lingkungan perairan yang cukup baik untuk kehidupan kerang di Situ Gede adalah bersubstrat liat berdebu dan berpasir dengan kedalaman rata-rata 135-150 cm (tipe II) serta memiliki arus relatif tenang. Namun, dalam studi ini tipe substrat dan kedalaman perairan tidak berpengaruh nyata terhadap karakter morfologi cangkang.

SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang aspek biologi serta dinamika populasi dan keragaman kerang pada perairan Situ Gede.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander JE, Throp JH, and Fell RD. 1994. Turbidity and temperature effects on oxigen consumtion in the Zebra Mussel (D.Polymorpha).Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences. 51: 179-184.

Bailey RC, Green RH. 1988. Within-basin variation in the shell morphology and growth rate of a freshwater mussel. Canadian J. Zool. 66:1704-1708. Dharma B. 1988.Siput dan Kerang Indonesia

I (Indonesian Shell). Jakarta: PT. Sarana Graha.

[Depdagri] Departemen Dalam Negeri, Badan Pendidikan dan Latihan. 1985. Klasifikasi Tanah dan Lahan. Jakarta: Departemen Dalam Negeri.

Dinas Pengairan. 1998. Daftar Inventarisasi Situ-Situ pada Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Cabang Dinas Bogor. Bogor: Dinas Pekerjaan Umum Pengairan. Gunawan E. 1998. Kebijaksanaan

Pengelo-laan Situ-Situ di Wilayah Jabotabek. Prosiding Workshop Pengelolaan Situ-Situ di Wilayah Jabotabek. PPLH-LP IPB.

Haeruman H. 1998. Kebijaksanaan Pengelo-laan Situ di Jabotabek. Prosiding Workshop Pengelolaan Situ-Situ di Wilayah Jabotabek. PPLH-LP IPB.

Hameed PS, Raj AIM. 1990. Freshwater mussel, Lamellidens marginalis (Lamarck) (Mollusca: Bivalvia: Unionidae) as an indicator of river pollution. Chemistry and Ecology 4:2. 57 64.

Helfrich et al. 1955. Control of suspended soilds and phytoplankton with fishes and a mussel.Water Resources Bulletin (USA) 31: 2. 307-316.

Heryanto et al. 2003. Keong dari Taman Nasional Gunung Halimun. Cibinong: Biodiversity Conservation Project LIPI-JICA-PHKA.

Huet M. 1972. Text Book of Fish Culture-Breeding and Cultivation of Fish. London: Fishing News (Books) Ltd. Jutting BWSS. 1753. Systematic studies on

the non-marine mollusca of The Indo-Australian archipelago. Treubia 22:19-72.

____________. 1956. Systematic studies on the non-marine mollusca of The Indo-Australian archipelago. Treubia 28:259-477

Levinton JS. 1982. Marine Ecology. Englewoods Cliffs New Jersey: Prentice Hall.

Mackie GL, Wright CA. 1994. Ability of the Zebra mussel (Dreissena polymorpha) to biodeposit and remove phosphorus and BOD from diluted activated sewage sludge. Water Research Oxford. 28:5. 1123 1130.

Nybakken JW. 1992. Biologi Laut: Studi Pendekatan Ekologis. M. Eidman dkk (Penerj). Ed. Ke-2. Jakarta : PT. Gramedia.

Odum EP. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. T. Samingan (Penerj). Ed ke-3. Yogya-karta: Gajah Mada University Press. Pennak RW. 1989. Freshwater Invertebrates

of the United States. Protozoa to Mollusca. Ed ke-3. New York: John Wiley & Sons.

Razak A. 2002. Dinamika Karakteristik Fisika-Kimiawi Sedimen dan Hubungannya dengan Struktur Komunitas Moluska Bentik (Bivalvia dan Gastropoda) di Muara Bandar Bakali Padang. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(16)

Suryadiputra INN. 2003. Penelitian Situ-situ di Jabotabek. Prosiding Workshop Pengelolaan Situ-situ di Wilayah Jabotabek. PPLH-LP IPB.

(17)
(18)

Lampiran 1 Peta wilayah kelurahan Situ Gede Kecamatan Bogor Barat

U

Skala 1 : 10.000

LEGENDA :

Batas Kelurahan

Batas RW

Jalan Kampung

Sungai Kecil

Sungai Besar

Kantor

Situ Gede

Situ Panjang

(19)

Lampiran 2 Lokasi stasiun pengambilan sampel

Stasiun V (tengah situ) Stasiun III (rawa dan daerah aktivitas manusia)

Stasiun I (outlet) Stasiun II (tepi hutan)

(20)

Lampiran 3 Variasi tipe substrat dari Perairan Situ Gede

a. Liat berdebu

b. Liat berpasir dengan bahan organik

c. Liat berdebu dengan bahan organik

d. Lempung liat berpasir

(21)

ROZI PUTRA

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(22)

Perairan Situ G ede Bogor. D ibim bing oleh D JO K O W A LU Y O dan TRI H ERU W ID A RTO . Penelitian fauna m oluska di perairan Situ G ede Bogor dilakukan pada bulan D esem ber 2006-A pril 2007. Pengam atan dilakukan pada 5 stasiun. Substrat perairan didom inasi oleh liat berdebu dan liat berpasir. Contoh m oluska dikoleksi dengan m enggunakan m etode transek kuadrat yang dim ulai dari tepi perairan ke arah tengah. Selam a pengam atan berhasil dikum pulkan sebanyak 139 individu Pilsbryoconcha exilis dari fam ili Unionidae. N ilai kegem ukan cangkang bervariasi antara 12.3% dan 46.2% , sedangkan nilai tinggi relatifnya bervariasi antara 16.19% dan 51.81% . A da korelasi positif antara panjang cangkang dengan tinggi relatif dan obesitas, nam un tidak ada pengaruh faktor kedalam an dan perbedaan substrat yang signifikan untuk respon tinggi relatif dan obesitas. Berdasarkan pengam atan ciri m orfologi cangkang, terdapat em pat m acam bentuk utam a cangkang dan em pat bentuk cangkang abnorm al yang dilihat dari adanya pem belokan tak beraturan pada lengkungan garis tepi sayap cangkang.

A BSTR A C T

RO ZI PU TRA . M orphology of Freshw ater M olluscs Shell from The Fam ily of U nionidae (M ollusc: Bivalvia) at Situ G ede, Bogor. Supervised by D JO K O W A LU Y O and TRI H ERU W ID A RTO .

(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan memberikan tekanan terhadap fungsi perairan. Situ merupakan salah satu bentuk lahan basah air tawar dengan sistem perairan tergenang yang memiliki beragam manfaat yang sangat penting antara lain sebagai tandon air (reservoir), peredam banjir, irigasi, perikanan, sumber plasma nutfah, dan rekreasi (Suryadiputra 1998).

Peraturan Pemerintah nomor 35 tahun 1991 menyebutkan bahwa situ merupakan sumber daya alam yang harus dilindungi serta dijaga kelestarian lingkungannya (Gunawan 1998). Menurut Dinas Pengairan (1998) ter-dapat 116 situ di Kabupaten Bogor dan 6 situ di Kotamadya Bogor dengan luas total 650 ha. Karena kurang baiknya pengelolaan, saat ini diperkirakan jumlah situ di Kabupaten dan Kotamadya Bogor tinggal 94 dengan luas total 515 ha. Hal ini berarti telah terjadi penyusutan sebesar 20% (Haeruman 1998). Dari 94 situ, 10% berada dalam kondisi baik, 77% kondisinya rusak dan 13% telah beralih fungsi (Suryadiputra 1998).

Penyusutan jumlah situ tersebut sangat memprihatinkan karena sebagai suatu ekosis-tem air tawar, situ merupakan habitat beragam jenis flora dan fauna. Terjaminnya pengelolaan situ berarti terjamin pula kelestarian flora dan fauna di dalamnya untuk menjaga keanekaragaman sumberdaya hayati. Penataan ruang secara terpadu dan terarah diperlukan supaya pengelolaan dan pemanfaatan situ sesuai dengan fungsinya. Kesalahan dalam perencanaan maupun pengendalian pemanfaatan ruang sekitar Situ Gede dapat berdampak negatif, terutama dalam menunjang ekosistem dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya (Suryadiputra 2003).

Menurut Odum (1994) kerang (Molusca: Bivalvia) merupakan kelompok benthos yang cukup dominan di perairan air tawar. Jutting (1753) melaporkan bahwa di pulau Jawa terdapat tiga famili kerang air tawar, yaitu famili Corbiculidae (7 jenis), Unionidae (6 jenis) dan Sphaeriidae (3 jenis).

Kerang Unionidae memiliki potensi ekologi dan ekonomi yang besar. Secara tradisional, kerang Unionidae di daerah Jawa Barat dikenal dengan nama lokal kijing . Kerang ini dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber protein (Suwignyo et al. 1975), sebagai pakan ternak, bahan kancing,

penghasil mutiara (Pennak 1989) serta sebagai komoditi budidaya perikanan darat (Suwignyo et al. 1981). Secara ekologis kerang Unionidae mampu menjernihkan air karena mampu menyaring partikel-partikel tersuspensi dan alga (Helfrich et al. 1955). Kerang ini juga mampu mengakumulasi logam berat ke dalam jaringan tubuh dan cangkangnya (Hameed & Raj 1990) serta menurunkan kadar fosfor dan BOD air limbah (Mackie & Wright 1994).

Melihat besarnya potensi kerang Unionidae dan pentingnya peranan situ dalam mendukung proses ekologis dan kehidupan masyarakat di sekitarnya, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengungkap karakteristik biota tersebut dengan menggunakan pendekatan ekobiologi, disamping masih kurangnya data yang pasti mengenai keberadaan moluska air tawar di perairan Situ Gede Bogor.

Pendekatan ekobiologi adalah suatu pendekatan yang mempelajari keterkaitan antara organisme (faktor biologi) dengan lingkungan (faktor ekologi). Pendekatan ini merupakan langkah awal yang diharapkan dapat memberikan data dasar yang mendukung upaya pengelolaan sektor perairan dan mengelola serta melestarikan biota tersebut, baik sebagai sumber plasma nutfah maupun untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperhatikan aspek pelestarian ekosistemnya.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan mempelajari hubungan antara variasi bentuk cangkang kerang bivalvia dengan faktor lingkungan pada perairan Situ Gede Bogor.

BAHAN DAN METODE

Pengambilan Sampel di Lapangan dan Penyimpanan

Lokasi pengambilan sampel dilakukan di 5 stasiun berbeda di perairan Situ Gede (Lampiran 1). Stasiun I adalah pintu keluar air situ (outlet), stasiun II adalah daerah perairan di bawah kanopi hutan percobaan Centre for International Forestry Research (CIFOR), stasiun III adalah daerah dengan tingkat aktivitas penduduk tinggi, stasiun IV adalah pintu masuk air (inlet), dan stasiun V adalah bagian tengah perairan (Lampiran 2).

(24)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan memberikan tekanan terhadap fungsi perairan. Situ merupakan salah satu bentuk lahan basah air tawar dengan sistem perairan tergenang yang memiliki beragam manfaat yang sangat penting antara lain sebagai tandon air (reservoir), peredam banjir, irigasi, perikanan, sumber plasma nutfah, dan rekreasi (Suryadiputra 1998).

Peraturan Pemerintah nomor 35 tahun 1991 menyebutkan bahwa situ merupakan sumber daya alam yang harus dilindungi serta dijaga kelestarian lingkungannya (Gunawan 1998). Menurut Dinas Pengairan (1998) ter-dapat 116 situ di Kabupaten Bogor dan 6 situ di Kotamadya Bogor dengan luas total 650 ha. Karena kurang baiknya pengelolaan, saat ini diperkirakan jumlah situ di Kabupaten dan Kotamadya Bogor tinggal 94 dengan luas total 515 ha. Hal ini berarti telah terjadi penyusutan sebesar 20% (Haeruman 1998). Dari 94 situ, 10% berada dalam kondisi baik, 77% kondisinya rusak dan 13% telah beralih fungsi (Suryadiputra 1998).

Penyusutan jumlah situ tersebut sangat memprihatinkan karena sebagai suatu ekosis-tem air tawar, situ merupakan habitat beragam jenis flora dan fauna. Terjaminnya pengelolaan situ berarti terjamin pula kelestarian flora dan fauna di dalamnya untuk menjaga keanekaragaman sumberdaya hayati. Penataan ruang secara terpadu dan terarah diperlukan supaya pengelolaan dan pemanfaatan situ sesuai dengan fungsinya. Kesalahan dalam perencanaan maupun pengendalian pemanfaatan ruang sekitar Situ Gede dapat berdampak negatif, terutama dalam menunjang ekosistem dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya (Suryadiputra 2003).

Menurut Odum (1994) kerang (Molusca: Bivalvia) merupakan kelompok benthos yang cukup dominan di perairan air tawar. Jutting (1753) melaporkan bahwa di pulau Jawa terdapat tiga famili kerang air tawar, yaitu famili Corbiculidae (7 jenis), Unionidae (6 jenis) dan Sphaeriidae (3 jenis).

Kerang Unionidae memiliki potensi ekologi dan ekonomi yang besar. Secara tradisional, kerang Unionidae di daerah Jawa Barat dikenal dengan nama lokal kijing . Kerang ini dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber protein (Suwignyo et al. 1975), sebagai pakan ternak, bahan kancing,

penghasil mutiara (Pennak 1989) serta sebagai komoditi budidaya perikanan darat (Suwignyo et al. 1981). Secara ekologis kerang Unionidae mampu menjernihkan air karena mampu menyaring partikel-partikel tersuspensi dan alga (Helfrich et al. 1955). Kerang ini juga mampu mengakumulasi logam berat ke dalam jaringan tubuh dan cangkangnya (Hameed & Raj 1990) serta menurunkan kadar fosfor dan BOD air limbah (Mackie & Wright 1994).

Melihat besarnya potensi kerang Unionidae dan pentingnya peranan situ dalam mendukung proses ekologis dan kehidupan masyarakat di sekitarnya, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengungkap karakteristik biota tersebut dengan menggunakan pendekatan ekobiologi, disamping masih kurangnya data yang pasti mengenai keberadaan moluska air tawar di perairan Situ Gede Bogor.

Pendekatan ekobiologi adalah suatu pendekatan yang mempelajari keterkaitan antara organisme (faktor biologi) dengan lingkungan (faktor ekologi). Pendekatan ini merupakan langkah awal yang diharapkan dapat memberikan data dasar yang mendukung upaya pengelolaan sektor perairan dan mengelola serta melestarikan biota tersebut, baik sebagai sumber plasma nutfah maupun untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperhatikan aspek pelestarian ekosistemnya.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan mempelajari hubungan antara variasi bentuk cangkang kerang bivalvia dengan faktor lingkungan pada perairan Situ Gede Bogor.

BAHAN DAN METODE

Pengambilan Sampel di Lapangan dan Penyimpanan

Lokasi pengambilan sampel dilakukan di 5 stasiun berbeda di perairan Situ Gede (Lampiran 1). Stasiun I adalah pintu keluar air situ (outlet), stasiun II adalah daerah perairan di bawah kanopi hutan percobaan Centre for International Forestry Research (CIFOR), stasiun III adalah daerah dengan tingkat aktivitas penduduk tinggi, stasiun IV adalah pintu masuk air (inlet), dan stasiun V adalah bagian tengah perairan (Lampiran 2).

(25)

Anterior

Ventral

(150m2). Kemudian dilakukan pengukuran kedalaman dan kecerahan perairan dengan tali tambang dan meteran, derajat keasaman (pH) menggunakan kertas pH MERCK dengan trayek pH 0-14, dan suhu perairan menggunakan termometer. Kedalaman perairan dibagi ke dalam empat tipe: I (70-90 cm), II (135-150 cm), III (170-190 cm) dan IV (210-220 cm).

Sampel kerang diambil menggunakan tangan dengan cara menyelam ke dasar perairan. Kerang dipisahkan dari subtratnya dan masing-masing dimasukkan ke plastik sampel. Selanjutnya kerang dibersihkan dan dipindahkan ke botol sampel yang berisi air dan diberi label. Substrat langsung diidentifikasi secara visual dengan mengacu kepada buku klasifikasi tanah dan lahan (Depdagri & IPB 1985), kemudian difoto menggunakan kamera digital (Samsung Digimax A402).

Identifikasi Kerang dan Pengukuran Cangkang

Seratus tiga puluh sembilan sampel kerang diidentifikasi berdasarkan ukuran dan bentuk cangkang menurut Heryantoet al. (2003) dan Jutting (1956). Sampel tersebut selanjutnya dibandingkan dengan koleksi yang ada di Laboratorium Malakologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong, Jawa Barat.

Panjang, lebar dan tinggi cangkang diukur menggunakan kaliper digital dengan tingkat ketelitian 0.05 mm mengikuti metode Bailey dan Green (1988). Panjang cangkang diukur dari ujung posterior ke ujung anterior cangkang, lebar cangkang diukur pada bagian yang tergemuk dari bagian kiri ke kanan cangkang, tinggi cangkang diukur dari tepi dorsal ke tepi ventral (Gambar 1). Data tersebut kemudian digunakan untuk mengetahui bentuk cangkang meliputi kegemukan cangkang (obesity) yang merupakan nisbah lebar terhadap panjang cangkang dan tinggi relatif cangkang (relative height) yang merupakan nisbah tinggi terhadap panjang cangkang (Bailey & Green 1988).

Analisis Variasi Morfologi Cangkang dan Hubungannya dengan Faktor Lingkungan

Untuk mengetahui variasi bentuk dan kelainan pada cangkang dilakukan pemisahan sampel dengan melihat perbedaan bentuk garis tepi cangkang. Faktor lingkungan yang dipelajari dalam penelitian ini adalah kedalaman perairan dan tipe substrat. Data nisbah ukuran morfologi kegemukan dan tinggi relatif cangkang hasil pengukuran digunakan untuk melihat besarnya pengaruh perbedaan tipe substrat dan kedalaman perairan Situ Gede terhadap kegemukan dan tinggi relatif cangkang.

HASIL

Kondisi Fisik dan Limnologi Perairan Suhu perairan pada lima stasiun pengamatan berkisar antara 28.2-29.6 oC, pH air 6, kedalaman perairan berkisar antara 0.7-2.2 m. Kedalaman tertinggi terdapat pada stasiun II, sedangkan yang terdangkal terdapat pada stasiun III. Secara umum perairan Situ Gede relatif tenang, rata-rata kecerahan perairan pada lima stasiun saat pengamatan berkisar antara 32.6-80.5 cm. Kecerahan terendah terdapat pada stasiun IV, sedangkan yang tertinggi terdapat pada stasiun V (Tabel 1).

Analisis substrat secara visual menunjukkan lima tipe tekstur berbeda yaitu liat berdebu yang memiliki tekstur halus dan menggumpal serta lengket dan plastis dalam keadaaan lembab, liat berdebu dengan campuran bahan anorganik berupa sampah rumah tangga, liat berpasir dengan campuran bahan organik yang memiliki tekstur licin dan lengket serta memiliki partikel pasir dan berwarna gelap, lempung liat berpasir yang memiliki tekstur kasar membentuk bongkahan dan menggumpal, lempung berliat yang memiliki tekstur halus dan lengket jika dipijit diantara ibu jari dan telunjuk (Lampiran 3).

Identifikasi Kerang

Hasil identifikasi berdasarkan bentuk dan warna cangkang serta pencocokan dengan spesimen koleksi Laboratorim Malakologi Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong, klasifikasi spesies kerang yang ditemukan adalah sebagai berikut:

Filum : Moluska Klas : Bivalvia

Sub klas : Palaeoheterodonta Gambar 1 Morfologi cangkang bivalvia.

(26)

Anterior

Ventral

(150m2). Kemudian dilakukan pengukuran kedalaman dan kecerahan perairan dengan tali tambang dan meteran, derajat keasaman (pH) menggunakan kertas pH MERCK dengan trayek pH 0-14, dan suhu perairan menggunakan termometer. Kedalaman perairan dibagi ke dalam empat tipe: I (70-90 cm), II (135-150 cm), III (170-190 cm) dan IV (210-220 cm).

Sampel kerang diambil menggunakan tangan dengan cara menyelam ke dasar perairan. Kerang dipisahkan dari subtratnya dan masing-masing dimasukkan ke plastik sampel. Selanjutnya kerang dibersihkan dan dipindahkan ke botol sampel yang berisi air dan diberi label. Substrat langsung diidentifikasi secara visual dengan mengacu kepada buku klasifikasi tanah dan lahan (Depdagri & IPB 1985), kemudian difoto menggunakan kamera digital (Samsung Digimax A402).

Identifikasi Kerang dan Pengukuran Cangkang

Seratus tiga puluh sembilan sampel kerang diidentifikasi berdasarkan ukuran dan bentuk cangkang menurut Heryantoet al. (2003) dan Jutting (1956). Sampel tersebut selanjutnya dibandingkan dengan koleksi yang ada di Laboratorium Malakologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong, Jawa Barat.

Panjang, lebar dan tinggi cangkang diukur menggunakan kaliper digital dengan tingkat ketelitian 0.05 mm mengikuti metode Bailey dan Green (1988). Panjang cangkang diukur dari ujung posterior ke ujung anterior cangkang, lebar cangkang diukur pada bagian yang tergemuk dari bagian kiri ke kanan cangkang, tinggi cangkang diukur dari tepi dorsal ke tepi ventral (Gambar 1). Data tersebut kemudian digunakan untuk mengetahui bentuk cangkang meliputi kegemukan cangkang (obesity) yang merupakan nisbah lebar terhadap panjang cangkang dan tinggi relatif cangkang (relative height) yang merupakan nisbah tinggi terhadap panjang cangkang (Bailey & Green 1988).

Analisis Variasi Morfologi Cangkang dan Hubungannya dengan Faktor Lingkungan

Untuk mengetahui variasi bentuk dan kelainan pada cangkang dilakukan pemisahan sampel dengan melihat perbedaan bentuk garis tepi cangkang. Faktor lingkungan yang dipelajari dalam penelitian ini adalah kedalaman perairan dan tipe substrat. Data nisbah ukuran morfologi kegemukan dan tinggi relatif cangkang hasil pengukuran digunakan untuk melihat besarnya pengaruh perbedaan tipe substrat dan kedalaman perairan Situ Gede terhadap kegemukan dan tinggi relatif cangkang.

HASIL

Kondisi Fisik dan Limnologi Perairan Suhu perairan pada lima stasiun pengamatan berkisar antara 28.2-29.6 oC, pH air 6, kedalaman perairan berkisar antara 0.7-2.2 m. Kedalaman tertinggi terdapat pada stasiun II, sedangkan yang terdangkal terdapat pada stasiun III. Secara umum perairan Situ Gede relatif tenang, rata-rata kecerahan perairan pada lima stasiun saat pengamatan berkisar antara 32.6-80.5 cm. Kecerahan terendah terdapat pada stasiun IV, sedangkan yang tertinggi terdapat pada stasiun V (Tabel 1).

Analisis substrat secara visual menunjukkan lima tipe tekstur berbeda yaitu liat berdebu yang memiliki tekstur halus dan menggumpal serta lengket dan plastis dalam keadaaan lembab, liat berdebu dengan campuran bahan anorganik berupa sampah rumah tangga, liat berpasir dengan campuran bahan organik yang memiliki tekstur licin dan lengket serta memiliki partikel pasir dan berwarna gelap, lempung liat berpasir yang memiliki tekstur kasar membentuk bongkahan dan menggumpal, lempung berliat yang memiliki tekstur halus dan lengket jika dipijit diantara ibu jari dan telunjuk (Lampiran 3).

Identifikasi Kerang

Hasil identifikasi berdasarkan bentuk dan warna cangkang serta pencocokan dengan spesimen koleksi Laboratorim Malakologi Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong, klasifikasi spesies kerang yang ditemukan adalah sebagai berikut:

Filum : Moluska Klas : Bivalvia

Sub klas : Palaeoheterodonta Gambar 1 Morfologi cangkang bivalvia.

(27)

Gambar 3 Variasi bentuk cangkang. 0 10 20 30 40 50 60 70

I II III IV V

Stasiun

Jumlah

Individu

Gambar 2 Jumlah P. exilisyang diperoleh dari lima stasiun pengamatan.

Ordo : Eulamellibranchia Sub ordo : Integripalliata Famili : Unionidae Genus :Pilsbryoconcha Spesies :Pilsbryoconcha exilis

Jumlah kerang bivalvia famili Unionidae yang diperoleh sebanyak 139. Jumlah individu terbanyak diperoleh pada stasiun I, diikuti oleh stasiun II, V, III dan IV (Gambar 2). Ukuran tubuh semua sampel yang dikoleksi relatif sama, warna cangkang kuning kehijauan menunjukkan bahwa sampel yang terambil masih berusia muda. Garis-garis pertumbuhan dan jarak antar garis sangat jelas terlihat pada cangkang kerang muda dibandingkan dengan cangkang yang sudah tua. Kerang yang sudah tua memiliki cangkang tebal dengan warna relatif lebih gelap, garis-garis pertumbuhan pada cangkang berumur tua sangat sulit dibedakan.

Variasi Morfologi Cangkang

Kerang P. exilis dewasa memiliki cangkang tipis, berwarna coklat kekuningan atau coklat kehijauan sampai hijau agak gelap. Cangkang berbentuk oval, elips atau memanjang, membulat di bagian anterior dan meruncing di bagian posterior. Umbo tidak jelas menonjol, bentuk cangkang tampak memipih dan halus dengan garis-garis pertumbuhan yang tidak terlalu jelas.

Terdapat empat bentuk cangkang dominan yang berhasil dibedakan secara visual dari sampel yang ditemukan dari perairan Situ Gede (Gambar 3). Perbedaan bentuk cangkang terlihat dari struktur bentuk lengkungan pada sayap atau garis tepi cangkang. Bentuk pertama ditemukan sebanyak 49 buah (35.5%) yang memiliki posterior dan anterior yang relatif membulat dengan pembelokan ke arah ventral atau sayap perut cenderung melengkung sempurna tanpa lekukan-lekukan tak beraturan, serta ukuran tubuh relatif gemuk. Bentuk kedua sebanyak 38 buah (27.3%), dengan garis sayap dorso-posteriornya mengalami penurunan tajam kemudian meruncing pada sayap belakang, dan turun ke arah anterior. Garis pada bagian sayap-sayap perut cenderung melengkung dengan baik. Bentuk ketiga ditemukan paling sedikit yaitu 20 buah (14.5%), yang memiliki posterior yang runcing, turun melengkung pada bagian ventral dan terjadi lekukan ke arah dalam sayap perut, cenderung membulat kearah anterior dan memiliki postur tubuh relatif lebih gemuk. Bentuk keempat ditemukan sebanyak 28 buah (20.3%), memiliki garis belakang sayap yang cenderung tidak beraturan dan disertai dengan adanya lekukan-lekukan tak beraturan kearah dalam pada bagian dorsal.

Selain itu ditemukan pula tipe cangkang abnormal yang berjumlah 4 buah (2.9%). Perbedaan bentuk cangkangnya apabila dibandingkan dengan bentuk utama adalah adanya pemipihan pada bagian dorso-posterior, dan pembelokan garis tepi pada bagian posterior ke arah perut (Gambar 4). Bentuk abnormal I memiliki sayap yang pipih

Stasiun Parameter

yang diamati I II III IV V

Suhu air rata-rata (0C) 28.2 28.5 29.6 29.6 28.5

Derajat Keasaman (pH) 6 6 6 6 6

Kecerahan rata-rata 39.8 45.6 73.6 32.6 80.5

Kedalaman (cm) 80 - 175 80 - 220 70 - 174 80 - 90 90 - 185

III IV

I II

(28)

pada bagian belakang posterior, dan mengalami lekukan ke arah dalam pada garis ventral, sedangkan bentuk abnormal II memiliki tubuh yang gemuk dan meruncing pada bagian posterior dengan warna cangkang relatif lebih hitam. Bentuk abnormal III memiliki tubuh relatif memanjang, warna cangkang kekuningan, mengalami lekukan tajam pada garis bagian belakang posterior cangkang dan sedikit lekukan kedalam pada garis sayap ventral. Bentuk abnormal IV memiliki garis dorsal relatif lurus setelah terjadinya penurunan dari ujung posterior bagian belakang, begitu juga garis pada sayap ventralnya yang relatif lurus kemudian melengkung ke arah anteriornya

Gambar 4 Empat bentuk cangkang abnormal P. exilis yang ditemukan di perairan Situ Gede.

Variasi Nilai Kegemukan dan Tinggi Relatif

Hubungan antara nilai kegemukan dengan panjang cangkang berkisar antara 12.28% sampai 46.23% dengan nilai R2 = 0.19. Sedangkan hubungan antara tinggi relatif cangkang dengan panjang cangkang berkisar antara 16.19% sampai 51.81% dengan R2 = 0.10 (Gambar 5). Terdapat korelasi positif antara panjang cangkang dengan kegemukan dan panjang cangkang dengan tinggi relatif walaupun nilai R kecil.

Tinggi relatif dan kegemukan meningkat seiring dengan bertambahnya panjang cangkang.

Gambar 5 menunjukkan adanya korelasi positif antara pengaruh pertambahan panjang cangkang terhadap kegemukan dan tinggi relatif. Kegemukan dan tinggi relatif meningkat seiring dengan pertambahan panjang cangkang. Nilai R yang kecil menunjukkan bahwa semakin bertambah panjang cangkang, kegemukan dan tinggi relatifnya juga meningkat tetapi sangat kecil. Gambar 6 dan 7 menunjukkan bahwa pengaruh kedalaman dan karakter stasiun terhadap kegemukan dan tinggi relatif juga sangat kecil. Tipe substrat juga memperlihatkan pengaruh yang kecil terhadap kegemukan dan tinggi relatif cangkang (Gambar 8).

Gambar 6 Hubungan antara kedalaman per-airan dan tinggi relatif dan kegemukan.

Gambar 7 Hubungan antara karakter stasiun dan tinggi relatif dan kegemukan.

Gambar 8 Hubungan antara substrat dan tinggi relatif dan kegemukan.

I II III IV 0 10 20 30 40 50 60

0 20 40 60 80 100 120

Panjang Cangkang (mm)

N il a i R ata -R at a Tinggi R e latif (%) 0 10 20 30 40 50 60 Nil ai Rat a-Rata Ke ge mu kan (%)

Gambar 5 Hubungan antara panjang cangkang dan tinggi relatif dan panjang cangkang dan kegemukan.

0 10 20 30 40 50 60

1 2 3 4

Tipe Kedal aman

Ni lai Rata-Rata Kegem ukan dan Ting gi Re lati f (%)

Kegemukan Tinggi Relatif

0 10 20 30 40 50 60

1 2 3 4 5

Stasiun Nil ai R ata-Rata Kegem ukan dan Tngg i Re la ti f (% )

Kegemukan Tinggi Relatif

0 10 20 30 40 50 60

1 2 3 4 5

Tipe Substra t

Nilai Ra ta-Ra ta Kegemukan dan Tinggi R ela tif (%)

(29)

PEMBAHASAN

Kondisi Perairan Situ Gede

Secara geografis perairan Situ Gede terletak pada 06o30 LS dan 06o45 BT. Situ ini terletak di wilayah Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat, Kotamadya Bogor, kira-kira 10 km dari pusat kota Bogor. Daerah ini terletak pada ketinggian 250 m dpl. Luas perairan Situ Gede sekitar 5.6 ha dengan kedalaman air rata-rata 85 cm. Perairan Situ Gede semula berhubungan dengan Situ Leutik dan Situ Panjang, tetapi hubungan tersebut terputus karena pembangunan jalan desa (Lampiran 1). Selain itu, sebagian perairan Situ Gede telah diubah masyarakat sekitar menjadi kolam pemeliharaan ikan.

Sumber air yang ada di Situ Gede berasal dari mata air, air hujan, dan air dari saluran air induk Kali Sindangbarang (Ciapus) dan saluran sekunder Cibenda yang bertemu + 50 km dari Situ Gede. Sebelum tahun 1986, perairan Situ Gede ini merupakan perairan tergenang yang dipenuhi dengan tumbuhan air. Karena dikhawatirkan nantinya akan terjadi pendangkalan dan penyempitan areal situ, maka pada bulan Januari 1986 seluruh tumbuhan air yang ada di perairan tersebut dibersihkan.

Tata guna lahan di sekitar perairan Situ Gede terdiri dari lahan pertanian, pemukiman, kolam ikan, dan irigasi. Bendungan yang terletak di sebelah utara dibangun pada tahun 1962 dan berfungsi sebagai irigasi. Selain itu potensi yang dimiliki oleh Situ Gede dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata untuk menunjang pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar khususnya.

Variasi Cangkang Berdasarkan Kondisi Lingkungan

Substrat. Sedimentasi substrat yang meliputi ukuran partikel dan kandungan organik mempengaruhi distribusi, morfologi fungsional, dan tingkah laku hewan bentos seperti Bivalvia dan Gastropoda (Levinton 1982). Tekstur substrat merupakan salah satu sifat tanah yang secara praktis dapat dipakai sebagai alat evaluasi atau pertimbangan dalam menentukan penggunaan tanah. Tekstur tanah menunjukkan perbandingan relatif antara pasir, debu, dan liat dalam tanah. Tanah terdiri dari empat komponen utama, yaitu bahan mineral, bahan organik, air, dan udara. Bahan organik tanah berasal dari timbunan sisa tumbuhan dan hewan. Bahan ini adalah sisa tidak statis yang mengalami serangan jasad

renik dan merupakan bahan transisi tanah yang nantinya akan membentuk struktur cangkang.

Cangkang Unionidae terdiri dari tiga lapisan yaitu, lapisan luar (periostrakum) yang tersusun dari senyawa konchiolin, lapisan tengah (perismatik) yang tersusun dari kalsium karbonat, dan lapisan dalam (nekrous) berupa lapisan mutiara dari senyawa kalsium karbonat yang dapat memantulkan cahaya. Bagian ujung dorsal (umbo) merupakan pusat pertumbuhan cangkang. Pertautan kedua keping cangkang dihubungkan oleh ligamen yang juga berfungsi untuk membuka dan menutup cangkang.

Sebagian besar struktur cangkang terbuat dari kalsium karbonat, yaitu kira-kira 89-99% dan sebagian kecil terdiri dari 1-2% fosfat, bahan organik konchiolin dan air. Kandungan mutiara terdiri dari 91% kalsium karbonat, 6% konchiolin dan 3% air (Dharma 1988).

Pada substrat berpasir kandungan oksigen lebih tinggi dibandingkan substrat berlumpur, tetapi substrat berlumpur kandungan nutriennya lebih tinggi dibandingkan dengan substrat pasir. Berdasarkan informasi ini dapat dikatakan bahwa kombinasi tempat hidup yang ideal bagi hewan bentos adalah kombinasi lumpur dan pasir (Razak 2002). Dari hasil analisis visualisasi substrat perairan Situ Gede diperoleh 5 tipe tekstur substrat yang berbeda yaitu liat berdebu, liat berdebu dengan campuran bahan anorganik, liat berpasir dengan campuran bahan organik, lempung liat berpasir dan lempung berliat (lampiran 3).

(30)

Menurut Harman dan Berg (1970) nilai kegemukan kerang meningkat ke arah perairan tenang (muara) dan berarus lambat. Stasiun I, II, dan V yang memiliki arus relatif tenang dan lambat tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap morfologi cangkang. Banyaknya kerang yang ditemui di daerah ini menunjukkan bahwa daerah ini adalah habitat yang sesuai untuk kehidupan kerang. Hal ini juga didukung dengan banyaknya endapan bahan organik di daerah ini. Bahan organik yang masuk ke dalam perairan akan mempengaruhi keragaman dan kelimpahan zooplankton secara langsung maupun tidak langsung.

Kedalaman. Perbedaan kedalaman mengakibatkan perbedaan jumlah individu yang ditemukan, tetapi tidak memberikan pengaruh terhadap bentuk cangkang. Stasiun I adalah stasiun dengan jumlah individu terbanyak yaitu 59 individu per 150m2, kemudian stasiun II sebanyak 35 individu, stasiun V 33 individu, stasiun III dengan 10 individu dan terakhir stasiun IV dengan dua individu (Gambar 3).

Bahan organik yang masuk kedalam perairan dan mengendap, mempengaruhi kelimpahan individu di dua stasiun ini. Bahan organik tersebut mempengaruhi keragaman dan kelimpahan zooplankton baik secara langsung maupun tidak langsung. Seluruh kehidupan perairan bergantung pada hasil fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air karena keduanya mampu mengubah unsur-unsur anorganik menjadi bahan organik dengan bantuan cahaya matahari. Oksigen hasil samping proses fotosintesis merupakan salah satu sumber pemasok oksigen perairan. Oksigen terlarut di perairan merupakan faktor yang menentukan distribusi dan kelimpahan moluska. Kedangkalan pada stasiun IV akibat sedimentasi membuat jumlah individu kerang jarang ditemukan, hal ini diduga terjadi karena pengendapan bahan-bahan anorganik berupa sampah plastik dan rumah tangga yang terbawa masuk oleh air ke dalam perairan ini. Kondisi ini dapat mengganggu kehidupan mikroorganisme lain yang membantu pertumbuhan kerang.

Perairan Situ Gede yang relatif dangkal sesuai untuk habitat kerang Unionidae, sehingga faktor kedalaman perairan ini tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kegemukan dan tinggi relatifnya.

Suhu,pH dan Kecerahan. Suhu perairan dipengaruhi oleh cahaya matahari, adanya naungan di sekitar perairan, masukan air dari saluran induk dan saluran sekunder, tingkat kedalaman, serta kecepatan arus. Perairan Situ Gede memiliki kisaran suhu 28.2-29.6 oC, kondisi ini masih dapat ditolerir oleh organisme akuatik terutama moluska. Secara umum suhu optimum untuk organisme akuatik berkisar 20-30 oC. Selain itu ada beberapa jenis moluska yang hidup pada suhu optimum 30 oC (Huet 1972). Suhu merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi kehidupan moluska. Pengaruh suhu ini dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung dapat terjadi pada proses metabolisme. Throp dan Fell (1994) melaporkan bahwa tingkat konsumsi oksigen bivalvia Dreissena polymorpha pada proses respirasi dipengaruhi oleh suhu. Sedangkan pengaruh suhu secara tidak langsung dapat mengakibatkan kematian organisme. Hal ini terjadi karena habisnya air yang disebabkan oleh meningkatnya suhu perairan (Nybakken 1992).

Limbah rumah tangga yang dibuang di sekitar perairan berupa deterjen diduga dapat menaikkan pH, namun hasil pengamatan menunjukkan bahwa kondisi perairan Situ Gede masih mendekati pH optimum bagi perairan air tawar (pH=6). Pada umumnya moluska air tawar dapat hidup pada kisaran pH 5.7-8.4. Bivalvia dapat hidup dengan baik pada perairan dengan kisaran pH 5.6-8.3. Pada perairan dengan kisaran pH 4.4-6.1 akan menyebabkan kerang menutup cangkangnya (estivasi) dan secara bertahap kehilangan bobot tubuhnya. Pada pH yang berkisar antara 4.4-5.2 menyebabkan kematian gastropoda air tawar (Hamidah 2000).

(31)

SIMPULAN

Pada penelitian ini diidentifikasi satu jenis kerang Unionidae yaitu Pilsbryoconcha exilis yang banyak ditemukan pada bagian outlet perairan Situ Gede. Ada 4 bentuk cangkang dominan dan abnormal.

Kondisi lingkungan perairan yang cukup baik untuk kehidupan kerang di Situ Gede adalah bersubstrat liat berdebu dan berpasir dengan kedalaman rata-rata 135-150 cm (tipe II) serta memiliki arus relatif tenang. Namun, dalam studi ini tipe substrat dan kedalaman perairan tidak berpengaruh nyata terhadap karakter morfologi cangkang.

SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang aspek biologi serta dinamika populasi dan keragaman kerang pada perairan Situ Gede.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander JE, Throp JH, and Fell RD. 1994. Turbidity and temperature effects on oxigen consumtion in the Zebra Mussel (D.Polymorpha).Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences. 51: 179-184.

Bailey RC, Green RH. 1988. Within-basin variation in the shell morphology and growth rate of a freshwater mussel. Canadian J. Zool. 66:1704-1708. Dharma B. 1988.Siput dan Kerang Indonesia

I (Indonesian Shell). Jakarta: PT. Sarana Graha.

[Depdagri] Departemen Dalam Negeri, Badan Pendidikan dan Latihan. 1985. Klasifikasi Tanah dan Lahan. Jakarta: Departemen Dalam Negeri.

Dinas Pengairan. 1998. Daftar Inventarisasi Situ-Situ pada Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Cabang Dinas Bogor. Bogor: Dinas Pekerjaan Umum Pengairan. Gunawan E. 1998. Kebijaksanaan

Pengelo-laan Situ-Situ di Wilayah Jabotabek. Prosiding Workshop Pengelolaan Situ-Situ di Wilayah Jabotabek. PPLH-LP IPB.

Haeruman H. 1998. Kebijaksanaan Pengelo-laan Situ di Jabotabek. Prosiding Workshop Pengelolaan Situ-Situ di Wilayah Jabotabek. PPLH-LP IPB.

Hameed PS, Raj AIM. 1990. Freshwater mussel, Lamellidens marginalis (Lamarck) (Mollusca: Bivalvia: Unionidae) as an indicator of river pollution. Chemistry and Ecology 4:2. 57 64.

Helfrich et al. 1955. Control of suspended soilds and phytoplankton with fishes and a mussel.Water Resources Bulletin (USA) 31: 2. 307-316.

Heryanto et al. 2003. Keong dari Taman Nasional Gunung Halimun. Cibinong: Biodiversity Conservation Project LIPI-JICA-PHKA.

Huet M. 1972. Text Book of Fish Culture-Breeding and Cultivation of Fish. London: Fishing News (Books) Ltd. Jutting BWSS. 1753. Systematic studies on

the non-marine mollusca of The Indo-Australian archipelago. Treubia 22:19-72.

____________. 1956. Systematic studies on the non-marine mollusca of The Indo-Australian archipelago. Treubia 28:259-477

Levinton JS. 1982. Marine Ecology. Englewoods Cliffs New Jersey: Prentice Hall.

Mackie GL, Wright CA. 1994. Ability of the Zebra mussel (Dreissena polymorpha) to biodeposit and remove phosphorus and BOD from diluted activated sewage sludge. Water Research Oxford. 28:5. 1123 1130.

Nybakken JW. 1992. Biologi Laut: Studi Pendekatan Ekologis. M. Eidman dkk (Penerj). Ed. Ke-2. Jakarta : PT. Gramedia.

Odum EP. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. T. Samingan (Penerj). Ed ke-3. Yogya-karta: Gajah Mada University Press. Pennak RW. 1989. Freshwater Invertebrates

of the United States. Protozoa to Mollusca. Ed ke-3. New York: John Wiley & Sons.

Razak A. 2002. Dinamika Karakteristik Fisika-Kimiawi Sedimen dan Hubungannya dengan Struktur Komunitas Moluska Bentik (Bivalvia dan Gastropoda) di Muara Bandar Bakali Padang. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(32)

SIMPULAN

Pada penelitian ini diidentifikasi satu jenis kerang Unionidae yaitu Pilsbryoconcha exilis yang banyak ditemukan pada bagian outlet perairan Situ Gede. Ada 4 bentuk cangkang dominan dan abnormal.

Kondisi lingkungan perairan yang cukup baik untuk kehidupan kerang di Situ Gede adalah bersubstrat liat berdebu dan berpasir dengan kedalaman rata-rata 135-150 cm (tipe II) serta memiliki arus relatif tenang. Namun, dalam studi ini tipe substrat dan kedalaman perairan tidak berpengaruh nyata terhadap karakter morfologi cangkang.

SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang aspek biologi serta dinamika populasi dan keragaman kerang pada perairan Situ Gede.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander JE, Throp JH, and Fell RD. 1994. Turbidity and temperature effects on oxigen consumtion in the Zebra Mussel (D.Polymorpha).Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences. 51: 179-184.

Bailey RC, Green RH. 1988. Within-basin variation in the shell morphology and growth rate of a freshwater mussel. Canadian J. Zool. 66:1704-1708. Dharma B. 1988.Siput dan Kerang Indonesia

I (Indonesian Shell). Jakarta: PT. Sarana Graha.

[Depdagri] Departemen Dalam Negeri, Badan Pendidikan dan Latihan. 1985. Klasifikasi Tanah dan Lahan. Jakarta: Departemen Dalam Negeri.

Dinas Pengairan. 1998. Daftar Inventarisasi Situ-Situ pada Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Cabang Dinas Bogor. Bogor: Dinas Pekerjaan Umum Pengairan. Gunawan E. 1998. Kebijaksanaan

Pengelo-laan Situ-Situ di Wilayah Jabotabek. Prosiding Workshop Pengelolaan Situ-Situ di Wilayah Jabotabek. PPLH-LP IPB.

Haeruman H. 1998. Kebijaksanaan Pengelo-laan Situ di Jabotabek. Prosiding Workshop Pengelolaan Situ-Situ di Wilayah Jabotabek. PPLH-LP IPB.

Hameed PS, Raj AIM. 1990. Freshwater mussel, Lamellidens marginalis (Lamarck) (Mollusca: Bivalvia: Unionidae) as an indicator of river pollution. Chemistry and Ecology 4:2. 57 64.

Helfrich et al. 1955. Control of suspended soilds and phytoplankton with fishes and a mussel.Water Resources Bulletin (USA) 31: 2. 307-316.

Heryanto et al. 2003. Keong dari Taman Nasional Gunung Halimun. Cibinong: Biodiversity Conservation Project LIPI-JICA-PHKA.

Huet M. 1972. Text Book of Fish Culture-Breeding and Cultivation of Fish. London: Fishing News (Books) Ltd. Jutting BWSS. 1753. Systematic studies on

the non-marine mollusca of The Indo-Australian archipelago. Treubia 22:19-72.

____________. 1956. Systematic studies on the non-marine mollusca of The Indo-Australian archipelago. Treubia 28:259-477

Levinton JS. 1982. Marine Ecology. Englewoods Cliffs New Jersey: Prentice Hall.

Mackie GL, Wright CA. 1994. Ability of the Zebra mussel (Dreissena polymorpha) to biodeposit and remove phosphorus and BOD from diluted activated sewage sludge. Water Research Oxford. 28:5. 1123 1130.

Nybakken JW. 1992. Biologi Laut: Studi Pendekatan Ekologis. M. Eidman dkk (Penerj). Ed. Ke-2. Jakarta : PT. Gramedia.

Odum EP. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. T. Samingan (Penerj). Ed ke-3. Yogya-karta: Gajah Mada University Press. Pennak RW. 1989. Freshwater Invertebrates

of the United States. Protozoa to Mollusca. Ed ke-3. New York: John Wiley & Sons.

Razak A. 2002. Dinamika Karakteristik Fisika-Kimiawi Sedimen dan Hubungannya dengan Struktur Komunitas Moluska Bentik (Bivalvia dan Gastropoda) di Muara Bandar Bakali Padang. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(33)

Suryadiputra INN. 2003. Penelitian Situ-situ di Jabotabek. Prosiding Workshop Pengelolaan Situ-situ di Wilayah Jabotabek. PPLH-LP IPB.

(34)
(35)

Lampiran 1 Peta wilayah kelurahan Situ Gede Kecamatan Bogor Barat

U

Skala 1 : 10.000

LEGENDA :

Batas Kelurahan

Batas RW

Jalan Kampung

Sungai Kecil

Sungai Besar

Kantor

Situ Gede

Situ Panjang

(36)

Lampiran 2 Lokasi stasiun pengambilan sampel

Stasiun V (tengah situ) Stasiun III (rawa dan daerah aktivitas manusia)

Stasiun I (outlet) Stasiun II (tepi hutan)

(37)

Lampiran 3 Variasi tipe substrat dari Perairan Situ Gede

a. Liat berdebu

b. Liat berpasir dengan bahan organik

c. Liat berdebu dengan bahan organik

d. Lempung liat berpasir

Gambar

Gambar 2 Jumlah P. exilis yang diperoleh dari
Gambar 6 Hubungan antara kedalaman per-
Gambar 2 Jumlah P. exilis yang diperoleh dari
Gambar 6 Hubungan antara kedalaman per-

Referensi

Dokumen terkait

Izradom rada u potpunosti su postignuti sljedeći ciljevi: dan je uvid u discipline koje kombiniraju znanje, alate, tehnike i vještine koje su potrebne za

Simpulan dari penelitian pe- ngembangan ini adalah: 1) dihasilkan sebuah produk berupa modul in- teraktif dengan program LCDS pada materi pokok cahaya dan alat optik

Hubungan dalam persamaan (13) Pengolahan data MT dimaksudkan untuk mengekstraksi fungsi transfer antara medan listrik dan medan magnet dalam domain frekuensi yang mengandung

Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan persepsi siswa tentang metode mengajar guru terhadap hasil belajar fiqih

kritis siswa perempuan lebih tinggi dari siswa laki-laki, maka dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran matematika realistik pada siswa perempuan lebih baik dari siswa

Sesuai Pasal 188 ayat (2) KUHAP bahwa ketiga alat bukti itu harus ada kesesuaian dan saling berhubungan. Kesesuaian antara perbuatan ,kejadian satu sama lain menunjukan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di hutan pinus dan hutan campuran, diketahui bahwa total jenis burung yang ditemukan dikedua tipe habitat tersebut sebanyak 38 jenis,

GCP adalah suatu lokasi titik di permukaan bumi yang dapat diindentifikasi dengan menyesuaikan koordinat piksel pada citra dengan koordinat objek yang sama pada peta