commit to user
14BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Pembuktian dan Alat Bukti a.Pengertian Pembuktian
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian yang terpenting dalam hukum acara pidana. Dalam hal ini hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim,padahal tidak benar.Untuk inilah maka hukum acara
pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil.(Andi
Hamzah,2008:249).
Menurut Adami Chazawi pembuktian ditujukan untuk memutus perkara pidana dan bukan semata mata untuk menjatuhkan pidana. Sebab untuk menjatuhkan pidana masih di perlukan lagi syarat terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana. Jika setelah kegiatan pembuktian dijalankan dan berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah majelis hakim mendapatkan keyakinan,yaitu terbuktinya terjadinya tindak pidana, terdakwa melakukannya dan keyakinan terdakwa bersalah. Sebaliknya ,apabila tindak pidana yang didakwakan terbukti dilakukan terdakwa tetapi dalam persidangan terbukti adanya dasar atau alasan yang meniadakan pidana baik dalam Undang maupun diluar Undang-Undang, maka tidak dibebaskan dan juga tidak dipidana melainkan dijatuhi amar putusan pelepasan dari tuntutan hukum ( AdamiChazawi,2008:31)
M. Yahya Harahap berpendapat, pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-Undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur
commit to user
alat-alat bukti yang dibenarkan oleh Undang-Undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 1988: 793).
Penuntut Umum terikat pada pasal ketentuan dan penilai alat bukti yang ditentukan Undang-Undang. Penuntut Umum, hakim, terdakwa maupun penasehat hukumnya tidak boleh sekehendak hati dengan kemauannya sendiri dalam menggunakan dan menilai alat bukti di luar apa yang telah digariskan Undang-Undang. Dalam hal ini Penuntut Umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan segala kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pada prinsipnya, terdakwa atau penasehat hukumnya mempunyai hak untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan Penuntut Umum, sesuai dengan cara yang dibenarkan Undang-Undang. Cara tersebut dapat berupa sangkalan atau bantahan yang beralasan dengan
saksi yang meringankan atau saksi de charge. Hakim sendiri harus
benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ada.
b. Prinsip Batas Minimum Pembuktian
Prinsip batas minimum pembuktian adalah suatu prinsip yang harus digunakan dalam menilai cukup atau tidaknya alat bukti untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa. Prinsip ini mengatur batas yang harus dipenuhi dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana seseorang kecuali apabila dengan sekurang kurangnya dua alat bukti yang ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya (Pasal 183 KUHAP).
Menurut Minna Joki Erkkila dalam disertasinya yang berjudul Child sexual abuse Medical statement conclusion in criminal legal process
sebagai berikut : Indicted cases tend to have at last two type of
commit to user
minimal dua alat bukti agar dalam pengungkapan informasi pada korban dapat memperkuat bukti) (Minna Joki Erkkila 2015:49)
Penentuan minimum pembuktian tetap harus berpegang pada rumusan Pasal 183 KUHAP. Maka prinsip minimum pembuktian yang dianggap cukup memadai menurut sistem yang diatur sebagai berikut :
a) Sekurang kurangnya dengan dua alat bukti yang sah ,atau paling
minimum kesalahan terdakwa harus dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah ;
b) Dengan demikian tidak dibenarkan dan dianggap tidak cukup kesalahan
terdakwa jika hanya dengan satu alat bukti saja. Pasal 183 KUHAP tidak membenarkan pembuktian kesalahan terdakwa hanya dengan satu alat bukti yang berdiri sendiri.
c. Asas-Asas Pembuktian
Pembuktian pidana memiliki beberapa prinsip yang harus diketahui, yaitu:
a) Hal yang Secara Umum Sudah Diketahui Tidak Perlu Dibuktikan
Prinsip ini terdapat dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang .
Notoire feiten adalah suatu kesimpulan umum yang didasarkan pada
pengalaman umum bahwa suatu keadaan atau peristiwa akan senantiasa menimbulkan kejadian atau akibat yang selalu demikian. Hanya dengan
notoire feiten tanpa dikuatkan dengan alat bukti lain yang sah menurut
Undang-Undang maka hakim tidak boleh yakin akan kesalahan terdakwa.
b) Menjadi Saksi adalah Kewajiban
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
commit to user
Prinsip ini terkait dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang
Prinsip ini disebut dengan istilah unus testis nullus testis yang artinya satu
saksi bukan saksi. Menurut Undang-Undang, menjadi saksi adalah wajib dan berdasarkan pengalaman praktik, keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling banyak atau dominan dalam mengadili perkara pidana di pengadilan. Kesaksian yang berdiri sendiri yang tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan untuk itu hakim harus membebaskan terdakwa dari tuntutan Penuntut Umum.
d) Keterangan terdakwa hanya mengikat dirinya
Asas ini terdapat dalam Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa tidak boleh digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa lainya.
e) Pengakuan Terdakwa tidak Menghapus Kewajiban Penuntut Umum
Membuktikan Kesalahan Terdakwa
Indonesia. Pasal 184 ayat (4) KUHAP menyatakan keterangan terdakwa saja tidak cukup membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain.
d. Teori atau Sistem Pembuktian
Sistem atau teori pembuktian dalam hukum acara pidana menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada. Adapun sistem atau teori pembuktian sebagai berikut:
commit to user
Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif
Keyakinan hakim tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan Undang-Undang (M. Yahya Harahap, 2003: 278).
Sistem ini berdasarkan Undang-Undang mengatur jenis alat-alat bukti dan cara mempergunakan atau menentukan kekuatan pembuktian. Keyakinan hakim dalam hal ini tidak boleh berperan (Leden Marpaung, 2011: 26).
Menurut D. Simons yang dikutip oleh Andi Hamzah (Andi Hamzah, 2008: 251):
-Undang secara positif (positif wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkuisitor (inquisitoir
Sistem ini keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa.Sistem ini berpedoman pada prinsip dan pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditemukan Undang-Undang . Dengan demikan walaupun hakim tidak yakin dengan kesalahan terdakwa tetapi perbuatannya sudah memenuhi syarat dan ketentuan pembuktian menurut Undang-Undang maka sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa.
b) Sistem Negatif (Negatief Wettelijk)
Pembuktian menurut sistem ini seorang hakim
ditentukan/dibatasi mempergunakan alat-alat bukti. Alat-alat bukti tertentu telah ditentukan Undang-Undang. Hakim tidak diperkenankan mempergunakan alat bukti lain. Cara menilai atau menggunakan alat
commit to user
bukti tersebut pun telah diatur oleh Undang-Undang. Hakim harus
Menurut M. Yahya Harahap, sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif dengan sistem
pembuktian menurut keyakinan atau conviction intime. Untuk
menentukan salah tidaknya seorang terdakwa menurut sistem ini, terdapat 2 (dua) komponen, yaitu:
(1) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti
yang sah menurut Undang-Undang.
(2) Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan
dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. S
menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut. Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa (M. Yahya Harahap, 2003: 279).
Sistem pembuktian negatif ini dianut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHA
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
Kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada Undang-Undang (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut (Andi Hamzah, 2009: 254).
commit to user
c) Sistem atau Teori Pembuktian Keyakinan Hakim Berdasarkan Alasan
Yang Logis (Conviction Rasionee)
Hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan
keyakinannya. Keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar
pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang
berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu( Andi Hamzah,2008:253). Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis hampir sama dengan teori pembuktian keyakinan melulu, akan tetapi teori ini faktor kebebasan hakim lebih di batasi dimana setiap keyakinan hakim dalam memutus suatu perkara pidana harus berdasarkan alasan alasan yang logis dalam menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa sehingga bisa mengambil suatu putusan.
d) Sistem atau Teori Pembuktian Keyakinan Hakim Melulu (Conviction In
time)
Teori pembuktian keyakinan hakim melulu suatu pengakuan terdakwa tidak menjamin bahwa terdakwa benar-benar melakukan
perbuatan yang didakwakan.Menurut Andi Hamzah Teori Conviction In
Time atau disebut juga teori pembuktian menurut keyakinan hakim
melulu merupakan teori yang berlawanan dengan teori pembuktian menurut Undang-Undang. Teori keyakinan hakim melulu didasarkan keyakinan hati nurani hakim sehingga pemidanaan dapat tanpa didasarkan pada alat-alat bukti dalam Undang-Undang (Andi Hamzah, 2008: 252).
Menurut M. Yahya Harahap, conviction intime menentukan
salah tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian yakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dapat diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan dan bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan
commit to user
langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa (M. Yahya Harahap, 2001: 277).
Teori Conviction In time keyakinan hakim tidak terikat atas
alat-alat bukti apapun. Putusan diserahkan kepada kebijaksanaan hakim, walaupun hakim secara logika mempunyai alasan-alasan tetapi tetapi hakim tersebut tidak diwajibkan menyebutkan alasan-alasan tersebut. Penilaian berdasarkan sistem ini betul-betul tergantung pada penilaian subyektif dari hakim tersebut, kecuali atas sistem ini adalah bahwa pengawasan terhadap putusan hakim sangat teliti (Leden Marpaung, 2011: 26).
e. Alat Bukti
Alat-alat bukti yang sah yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah: a) Keterangan saksi; b) Keterangan ahli; c) Surat; d) Petunjuk; e) Keterangan terdakwa.
Pasal 184 ayat (1) telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. Di luar alat bukti itu, tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Yang dinilai
da alat-alat bukti itu saja. Pembuktian dengan alat bukti di luar jenis alat bukti yang disebut pada Pasal 184 ayat (1) tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat.
Selanjutnya akan diuraikan kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP tersebut, yaitu:
commit to user
a) Keterangan SaksiPembuktian suatu perkara pidana ,keterangan saksi merupakan alat bukti utama . Pengertian keterangan saksi menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP adalah sebagai ber
adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebutkan
Pasal 185 ayat (6) KUHAP untuk menilai kebenaran keterangan saksi hakim harus memperhatikan:
(1)Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya;
(2)Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
(3)Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan
keterangan tertentu;
(4)Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
Umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Pengecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 168 KUHAP (Andi Hamzah, 2009: 260):
(1)Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
(2)Saudara dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
(3)Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
commit to user
Disamping karena hubungan kekeluargaan (sedarah atau semenda), ditentukan oleh Pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang karena pekerjaan , harkat, martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia ,dapat dibebaskan dari kewajiban memberikan keterangan sebagai saksi. Menurut penjelasan pasal tersebut,pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 171 KUHAP ditambahkan tentang pengecualian untuk memberikan kesaksian di bawah sumpah:
(1)Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum
pernah kawin;
(2)Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik
kembali.
Mengenai kekuatan pembuktian saksi sebagai alat bukti yang sah dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dapat dijelaskan sebagai berikut (M. Yahya Harahap, 2003: 294-295):
(1)Mempunyai Kekuatan Pembuktian Bebas
P
yang sempurna (volledig bewijskracht) dan juga tidak melekat di dalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan (beslissende bewijskracht) Tegasnya, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah mempunyai nilai kekuatan
alat bukti yang sah, tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan juga tidak memiliki kekuatan pembuktian yang menentukan. Atau dengan singkat dapat dikatakan alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah bersifat bebas dan tidak sempurna dan tidak menentukan atau tidak mengikat.
commit to user
(2)Nilai Kekuatan Pembuktiannya Tergantung pada Penilaian Hakim
Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenaran kterangan saksi. Tergantung pada penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan saksi. Hakim bebas menilai kekuatan
b)Keterangan Ahli (verklaringen van een deskundige;expert testimony)
Keterangan ahli sebagai alat bukti pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut sama dengan Ned Sv. dan hukum acara pidana di negara lain. Ini berbeda dengan HIR dahulu yang tidak mencantumkan keterangan ahli sebagai alat bukti( Andi Hamzah,2008:272)
Pengertian keterangan ahli sesuai Pasal 1 angka 28 KUHAP
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau Penuntut Umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan
Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau Penuntut Umum maka pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara
commit to user
pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim (Leden Marpaung, 2011: 35).
Pasal 343 Ned Sv. definisi keterangan ahli adalah pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya. Keterangan Ahli dibagi kedalam dua kelompok ahli,yaitu ahli kedokteran dan ahli-ahli lainnya sesuai dengan Pasal 179 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Syarat sah keterangan ahli adalah:
a) Keterangan diberikan kepada ahli;
b) Memiliki keahlian khusus dibidang keahliannya;
c) Menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya;
d) Diberikan di bawah sumpah.
Alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan saksi. (M. Yahya Harahap, 2003: 304-305).
c) Surat
Surat sebagai alat bukti sah yang diatur oleh Pasal 187 KUHAP yang berbunyi:
dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
(1)Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan-alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
(2)Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan
commit to user
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
(3)Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
(4)Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan
Surat untuk menjadi alat bukti harus memiliki kekuatan pembuktian. Surat mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna
dan mengikat bagi hakim dengan syarat (Dyah Prita
Wardani,2015:66):
1) Bentuk formil maupun materiil sudah sesuai dengan ketentuan
yang diatur oleh Undang-Undang;
2) Bahwa surat tersebut tidak ada cacat hukum;
3) Tidak ada orang lain yang mengajukan bukti bahwa yang dapat
melemahkan bukti surat tersebut.
Menentukan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti surat, dapat ditinjau dari segi teori serta dihubungkan dengan beberapa prinsip pembuktian yang diatur dalam KUHAP (M. Yahya Harahap, 2003: 309-310):
(1)Ditinjau dari Segi Formal
Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut pada
bentuk surat-surat yang disebut di dalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Dengan dipenuhinya ketentuan formal dalam pembuatannya serta dibuat dan berisi keterangan resmi dari seorang pejabat yang berwenang, dan pembuatan serta keterangan yang terkandung dalam surat dibuat atas sumpah jabatan maka ditinjau dari segi formal alat bukti surat seperti yang disebut dalam Pasal 187 huruf a, b, dan c
commit to user
surat resmi m
(2)Ditinjau dari Segi Materiil
Dari sudut meteriil, semua bentuk alat bukti surat yang
kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat, sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, sama-sama mempunyai nilai kekuatan ngi sifat kesempurnaan formal alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c sifat kesempurnaan formal tersebut tidak dengan sendirinya mengandung nilai kekuatan pembuktian yang mengikat. Hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktiannya. Hakim dapat mempergunakan atau menyingkirkannya.
Menurut teoritik dan praktik terhadap ketentuan Pasal 187 huruf d KUHAP sering menimbulkan titik permasalahan yang dapat ditinjau secara konkret dari aspek redaksional dan dari aspek penilaian pembuktiannya. Menurut analisis M. Yahya Harahap dalam buku Lilik Mulyadi, yaitu:
(a) Dari segi redaksi
Redaksinya yang berbunyi: surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dan alat pembuktian yang
lain.Redaksinya tidak jelas mulai dari kalimat jika ada
hubungannya dengan isi dan alat pembuktian yang lain pembuktian harus ada hubungannya dengan alat pembuktian yang lain, maka pengertian yang seperti ini tampak bertentangan dengan redaksi yang diatur pada huruf d tersebut. Sebab menurut redaksi,
commit to user
isi surat yang harus ada hubungannya dengan alat bukti yang lain. Tetapi harus sebaliknya, isi alat pembuktian yang lain harus ada hubungannya dengan surat.
(b) Dari segi penilaian pembuktian
Ketentuan huruf tersebut, dengan tegas dinyatakan bentuk ari
hubungan dengan alat pembuktian lain. Nilai berlakunya masih
kalau alat pembuktian yang lain itu terdapat saling hubungan, barulah surat itu berlaku dan dinilai sebagai alat bukti surat (Lilik Mulyadi, 2007: 95).
Selaras dengan bunyi Pasal 187 butir d Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana maka menurut Andi Hamzah surat di bawah tangan masih memiliki nilai pembuktian jika ada hubungan dengan isi dari alat bukti yang lain.Contoh : keterangan saksi yang menerangkan bahwa ia (saksi ) telah menyerahkan uang kepada terdakwa . Dan keterangan ini sesuai dengan kuitansi atau surat tanda terima yang ada .Maka ini sudah memenuhi Pasal 183 dan Pasal 187 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana(Andi Hamzah,2008:276)
d)Petunjuk
Alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal 188 KUHAP yang berbunyi:
(1)Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya;
commit to user
(2)Petunjuk sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) hanya dapat
diperoleh dari:
(a) Keterangan saksi;
(b) Surat;
(c) Keterangan terdakwa.
(3)Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam
setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kese
Sesuai Pasal 188 ayat (2) KUHAP bahwa ketiga alat bukti itu harus ada kesesuaian dan saling berhubungan. Kesesuaian antara perbuatan ,kejadian satu sama lain menunjukan adanya suatu tindak pidana atau tidak,jika tidak ada kesesuaian diantara ketiganya maka belum bisa ditentukan merupakan petunjuk dan yang dapat melakukan penilaian itu merupakan petunjuk atau bukan adalah hakim. Hakim melakukan pemeriksaan secara seksama dan cermat berdasarkan hati nurani.
Adapun mengenai kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk serupa sifat kekuatannya dengan alat bukti yang lain. Sebagaimana yang sudah diuraikan mengenai kekuatan pembuktian keterangan saksi, keterangan ahli, dan alat bukti surat, hanya mempunyai sifat kekuatan pembuktian
Harahap, 2003: 317).
e) Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa dalam hukum acara pidana berbeda dengan pengakuan terdakwa yang ada di HIR. Keterangan terdakwa bersifat lebih luas baik yang merupakan penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. Perbedaan yang lebih jelas lagi bahwa keterangan terdakwa yang menyangkal dakwaan,tetapi membenarkan beberapa keadaan atau perbuatan yang
commit to user
menjurus kepada terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat bukti.Sedangkan pengakuan terdakwa harus memiliki syarat sebagai berikut ( Andi Hamzah,2008:278):
(1)Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan;
(2)Mengaku ia bersalah
Alat bukti keterangan terdakwa diatur dalam Pasal 189 KUHAP yang berbunyi:
(1)Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang
tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri;
(2)Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat
digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya;
(3)Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya
sendiri;
(4)Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Mengenai Pasal 189 ayat (3) memang selayaknya demikian, karena terdakwa tidak disumpah dan keterangannya dipertegas disini, hanya untuk dirinya. Perlu diperhatikan bahwa keterangan terdakwa benar-benar tuntas dalam arti tidak cukup pengakuan atas perbuatan yang didakwakan melainkan segala keterangan mengenai perbuatan yang dilakukannya dan cara-cara melakukannya (Leden Marpaung, 2011: 40-41).
Nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan atau pengakuan terdakwa adalah sebagai berikut (M. Yahya Harahap, 2003: 332-333):
commit to user
Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti keterangan terdakwa. Dia bebas untuk menilai kebenaran yang terkandung di dalamnya. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya sebagai alat bukti dengan jalan mengemukakan alasan-alasannya
(2)Harus Memenuhi Batas Minimum Pembuktian
Hakim harus memperhatikan ketentuan yang dirumuskan pada Pasal 189 ayat
saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai
(3)Harus Memenuhi Asas Keyakinan Hakim
Sekalipun kesalahan terdakwa telah terbukti sesuai dengan asas batas minimum pembuktian, masih harus lagi dibarengi
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Asas keyakinan hakim harus melekat pada putusan yang diambil sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 KUHAP
-2. Tinjauan Umum tentang Berita Acara Nikah Siri a. Kajian Umum tentang Berita Acara
Berita acara adalah catatan atau laporan resmi mengenai berlangsungnya suatu kegiatan atau kejadian, misalnya serah terima jabatan,penerimaan barang,dan lain-lain. Adapun kegunaan berita acara adalah sebagai berikut (Suparjati,dkk,2000:79) :
a) Sebagai tanda bukti tertulis;
b) Sebagai alat untuk mengetahui bahwa suatu kegiatan telah dilaksanakan ;
c) Sebagai alat pengawasan bagi yang terkait ,apakah segala sesuatu sudah
commit to user
d) Alat pelengkap administrasi untuk mencatat kejadian;
e) Alat pengigat bagi pihak-pihak yang terkait.
Pada saat merencanakan berita acara harus kita pikirkan apa saja yang harus dimuat di dalamnya. Berita acara harus memuat ( Suparjati,dkk,2000:79):
a) Pihak pertama dan pihak kedua yang saling menyerahkan barang;
b) Hari, tangal, bulan, dan tahun pelaksanaan kegiatan;
c) Tempat;
d) Waktu;
e) Sesuatu yang diserah terimakan;
f) Tanda tangan para pihak.
Berita Acara adalah naskah atau surat yang berisi pernyataan yang bersifat pengesahan atas sesuatu kejadian,peristiwa,perubahan status dan
lain-lain bagi suatu permasalahan baik berupa perencanaan
,pelaksanaan,maupun pengendalian kebijakan pimpinan. Berita Acara merupakan salah satu wujud akta dimana pembuatannya secara sengaja untuk menjadi alat bukti tentang peristiwa atau kejadian dan ditandatangani. Unsur kesengajaan menciptakan bukti tulisan dan penandatanganan akta.(Lusy K.F.R. Gerungan,Vol.XX/Nomor1/Januari-Maret/2012:10)
Berita Acara merupakan surat dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu secara resmi maupun tidak resmi. Berita Acara resmi sesuai Pasal 187 KUHAP huruf (a),(b),(c) adalah Berita Acara yang dibuat oleh pejabat yang berwenang atau berdasarkan ketentuan atau surat keterangan ahli yang bersifat khusus mengenai keadaan tetentu yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Sedangkan Berita Acara tidak resmi sesuai Pasal 187 KUHAP huruf (d) adalah surat pada umumnya yang bersifat pribadi dan tidak dibuat oleh pejabat.
Adapun susunan Berita Acara sebagai
berikut(Suparjati,dkk,2000:79);
a) Kepala Berita Acara
commit to user
(2) Nomor Berita Acara; (3) Nama Berita Acara. b) Isi Berita Acara
(1) tempat, hari, tanggal, bulan dan tahun.; (2) Identitas para pihak;
(3) Permasalahan pokoknya. c) Bagian akhir Berita Acara.
(1) Nama tempat, tanggal, Bulan dan Tahun;
(2)
(3) Tanda tangan pihak yang terlibat dalam berita acara;
(4) Tanda tangan yang menyaksikan;
(5)
b. Kajian Umum tentang Nikah Siri
Nikah Siri adalah pernikahan yang dilaksanakan dengan tidak memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundangan. Terdapat perbedaan pendapat tentang sah tidaknya nikah siri atau pernikahan di bawah tangan, hal ini dikarenakan adanya perbedaan penafsiran terhadap ketentuan Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengharuskan pencatatan pernikahan dan mengatur tentang sahnya pernikahan yang harus dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan.
Menurut Hukum Islam, Pengertian Nikah Siri adalah sah, asalkan telah terpenuhi syarat rukun pernikahan. Namun dari aspek peraturan Undang-Undang perkawinan model ini belum lengkap dikarenakan belum dicatatkan. Pencatatan pernikahan hanya merupakan perbuatan administratif yang tidak berpengaruh pada sah tidaknya pernikahan (ABD. Shomad, 2010: 119)
commit to user
perspektif hukum nasional ( Halim,2003:23). Kajian ini berujung kepada berbagai pendapat fuqaha seputar boleh dan tidaknya nikah siri dilihat dari berbagai aspek dan akibatnya. Sedang secara hukum nasional, berdasarkan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, sudah ada kejelasan bahwa nikah siri tetap dipandang tidak sah karena tidak mempunyai kepastian hukum. Tulisan Abdul Halim ini cukup memberi penjelasan, bahwa meskipun ditinjau dari perspektif Islam nikah siri relatif dianggap sah, tapi berdasarkan dalil-dalil ushuliyyun serta kaidah-kaidah fiqhiyah, kalangan fuqoha mengklasifikasi boleh dan tidaknya pernikahan siri dilangsungkan, tergantung dari aspek lengkap dan tidaknya syarat dan rukun nikah, maupun dari aspek manfaat dan madharatnya. Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam tulisan tersebut tidak sedetail analisanya dalam perspektif fikh.
c. Kajian Umum tentang Berita Acara Nikah Siri
Berita Acara Nikah Sirimerupakan salah satu contoh surat dibawah
tangan yang hanya mengikat pada pihak yang membuat.Kekuatan pembuktian materil surat di bawah tangan menurut Pasal 1875 KUHPerdata
diterangkan bahwa Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui
kebenarannya oleh orang yang dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap telah dibenarkan olehnya, menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta otentik bagi orang-orang yang menandatanganinya, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka; ketentuan Pasal 1871
Surat dibawah tangan dapat memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan lengkap jika alat bukti surat dibawah tangan dilengkapi alat
bukti lain yang isinya saling berhubugan. Surat dibawah tangan dalam
pembuatannya dituntut adanya tanda tangan para pihak yang membuat. Surat dibawah tangan tanda tangan para pihak menjadi kebenaran yang dapat dibawa sebagai alat bukti di persidangan. Kebenaran terletak di
commit to user
tanda tangan para pihak yang diakui maka kekuatan pembuktian surat di bawah tangan setara dengan surat Autentik yang kekuatan pembuktiannya sempurna (Lusy K.F.R. Gerungan,Vol.XX/Nomor1/Januari-Maret/2012:9).
3. Tinjauan Umum tentang Putusan Hakim
a. Kajian Umum tentang Hakim
Hakim adalah organ pengadilan yang memegang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia( Bambang Poernomo,1988:30).
Menurut ketentuan KUHAP Pasal 1 butir (8) yang dimaksud dengan pengertian hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang yang mengadili. Sedangkan menurut Pasal 1 butir (5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum ,lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer ,lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara ,dan hakim pada Pengadilan Khusus yang berada pada
lingkungan peradilan tersebut. Pada Pasal 19 akim adalah pejabat
Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang . Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa seorang hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela , jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum . Kebebasan peradilan dan kebebasan hakim merupakan syarat mutlak bagi suatu Negara Hukum. Peradilan yang bebas dapat memberikan suatu keadilan tanpa dipengaruhi oleh kekuatan dan kekuasaan dari pihak manapun dalam bentuk apapun. Kebebasan hakim juga mutlak diperlukan terutama untuk menjamin keobyektifan hukum dalam putusannya. Kebebasan hakim bukan dimaksudkan untuk suatu hak-hak istimewa dari para hak-hakim untuk dapat berbuat sebebas-bebasnya
commit to user
terhadap suatu perkara yang diperiksa karena hakim harus terikat dan tunduk pada hakim.
b. Teori Penjatuhan Putusan
Beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:
a) Teori Pendekatan Seni dan Intuisi
Adalah penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim.
b) Teori Pendekatan Keilmuan
Penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian, khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskan.
c) Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapai perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, karena dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana, yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.
d) Teori Ratio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan
commit to user
yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta mempertimbangkan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.
e) Teori Kebijaksanaan
Landasan dalam teori ini adalah rasa cinta terhadap tanah air, nusa dan bangsa Indonesia serta kekeluargaan yang harus ditanam, dipupuk dan dibina. Selanjutnya aspek teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, mendidik, dan melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat, dan bagi bangsanya (Ahmad Rifai, 2010: 105).
c. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan
Putusan yang dijatuhkan hakim terhadap suatu perkara ,harus benar-benar menghayati arti amanah dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya sesuai dengan fungsi dan kewenangannya masing-masing. Hakikat pada pertimbangan yuridis hakim merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu tindak pidana yang dapat menunjukkan perbuatan terdakwa tersebut memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum sehingga pertimbangan tersebut relevan terhadap amar atau diktum putusan hakim( Lilik Mulyadi ,2007:193).
a) Pertimbangan Yuridis
Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan ada fakta fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan ( Rusli Muhammad,2007 212-220)
Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh Undang-Undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat
commit to user
di dalam putusan. Pertimbangan yang bersifat yuridis ini diantaranya yaitu (repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/4748/1/09E01948.pdf):
(1)Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka pengadilan. Dalam menyusun sebuah surat dakwaan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah syarat-syarat formil dan materilnya. Dakwaan berisi identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu dilakukannya tindak pidana dan memuat Pasal yang dilanggar (Pasal 143 ayat (2) KUHAP).
(2)Tuntutan Pidana
Penyusunan surat tuntutan oleh Penuntut Umum disesuaikan dengan dakwaan Penuntut Umum dengan melihat proses pembuktian dalam persidangan, yang disesuaikan pula dengan bentuk dakwaan yang digunakan oleh Penuntut Umum sebelum sampai pada
tuntutannya di dalam requisitoir itu biasanya Penuntut Umum
menjelaskan satu demi satu tentang unsur-unsur tindak pidana yang ia dakwakan kepada terdakwa, dengan memberikan alasan tentang anggapannya tersebut.
(3)Keterangan Saksi
Keterangan saksi merupakan alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf a. Keterangan saksi merupakan keterangan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, ia lihat sendiri, dan alami sendiri, yang harus disampaikan dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi yang disampaikan di muka sidang pengadilan yang merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari kesaksian orang lain tidak dapat dinilai sabagai alat bukti yang sah. Kesaksian
commit to user
semacam ini dalam hukum acara pidana disebut dengan istilah
testimonium de auditu. Kesaksian de auditu dimungkinkan dapat
terjadi di persidangan.
(4)Keterangan Terdakwa
Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf e, keterangan terdakwa digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri, ini diatur dalam Pasal 189 KUHAP. Keterangan terdakwa dapat meliputi keterangan yang berupa penolakan dan keterangan yang berupa pengakuan atas semua yang didakwakan kepadanya.
(5)Barang-barang Bukti
Barang bukti adalah barang yang dipergunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana atau barang sebagai hasil dari suatu tindak pidana. Barang yang digunakan sebagai bukti yang diajukan dalam sidang pengadilan bertujuan untuk menguatkan keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Adanya barang bukti yang diperlihatkan pada persidangan akan menambah keyakinan hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan sudah barang tentu hakim akan lebih yakin apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh terdakwa maupun para saksi.
b) Pertimbangan Non Yuridis
Pertimbangan yang bersifat yuridis, hakim dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat non yuridis. Pertimbangan yuridis saja tidaklah cukup untuk menentukan nilai keadilan, tanpa ditopang dengan pertimbangan non yuridis yang bersifat sosiologis, psikologis, kriminologis dan filosofis.
commit to user
Aspek sosiologis berguna untuk mengkaji latar belakang sosial mengapa seseorang melakukan suatu tindak pidana, aspek psikologis berguna untuk mengkaji kondisi psikologis pelaku pada saat melakukan suatu tindak pidana dan setelah menjalani pidana, sedangkan aspek
kriminologi diperlukan untuk mengkaji sebab-sebab seseorang
melakukan tindak pidana dan bagaimana sikap serta perilaku seseorang yang melakukan tindak pidana, dengan demikian hakim diharapkan dapat memberikan putusan yang adil sesuai dengan kebutuhan pelaku.
c) Pertimbangan Sosiologi
Kehendak rakyat Indonesia dalam penegakan hukum ini tertuang dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang rumusannya Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya .
Sebagai upaya pemenuhan yang menjadi kehendak rakyat ini maka di keluarkan berbagai peraturan Perundang-Undangan yang salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan tujuan agar penegakan hukum di Indonesia dapat dipenuhi. Salah satu Pasal dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berkaitan
Pasal 5 ayat ( 1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa Hakim wajib menggali ,mengikuti,dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
Penjelasan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dikalangan rakyat sehingga dia harus turun langsung ke
tengah-commit to user
tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan,dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut dikalangan praktisi hukum terdapat kecenderungan untuk senantiasa melihat pranata pradilan hanya sekedar sebagai pranata hukum belaka yang penuh dengan muatan normatif dan diikuti dengan sejumlah asas-asas peradilan yang sifatnya sangat ideal dan normatif . Dengan demikian penggunaan kajian moral dan kajian ilmu hukum( normatif) maka pengadilan cederung dibebani tanggungjawab yang sangat berat dan tidak terwujud.
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan secara sosiologis oleh hakim dalam menjatuhkan putusan adalah:
(1)Memperhatikan sumber hukum tertulis dan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat;
(2) Memperhatikan sifat baik dan buruk dari terdakwa serta nilai-nilai
yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan terdakwa;
(3)Memperhatikan ada atau tidaknya perdamaian ,kesalahan, peran
korban;
(4)Faktor masyarakat yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan;
(5)Faktor kebudayaan yaitu sebagai hasil karya cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.
Penjatuhan putusan apapun bentuknya akan berpengaruh besar baik pelaku ,masyarakat dan hukum itu sendiri. Oleh karna itu,semakin besar dan banyak pertimbangan hakim akan semakin mendekati keputusan yang rasional dan dapat diterima oleh semua pihak. Selain itu, juga harus diperhatikan sistem pembuktian yang dipakai di Indonesia yakni hakim harus berusaha untuk menetapkan hukuman yang dirasa oleh masyarakat dan oleh terdakwa sebagai suatu hukuman yang setimpal dan adil.
commit to user
Penyusunan surat putusan pengadilan harus didasarkan pada Pasal 50 dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,serta surat putusan pemidanaan harus memuat persyaratan sebagai mana diatur dalam Pasal 197 KUHAP.
d) Pertimbangan yang Memberatkan dan Meringankan
Selain alat bukti yang sah, untuk menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa, ada faktor lain yang harus diperhatikan oleh hakim, yaitu hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan.
(1)Pertimbangan yang Memberatkan
(a)Hal-hal yang Memberatkan Pidana dalam KUHP
KUHP hanya mengatur hal-hal yang dijadikan alasan memberatkan pidana yaitu pertama, sedang memangku suatu jabatan (Pasal 52 KUHP) dimana pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHP yang rumusannya sebagai berikut
melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya
Yang kedua yaitu Recidive atau pengulangan dimana
dalam KUHP menganut sistem Recidive Khusus artinya
pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan jenis-jenis tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) tertentu saja dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu, dan yang terakhir yaitu gabungan atau semenloop (adalah orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana).
commit to user
Dalam hal ini yang dijadikan dasar alasan memberatkan pidana yaitu meresahkan masyarakat.
(2)Hal-hal yang Meringankan
Menurut KUHP alasan-alasan yang dapat meringankan pidana adalah:
(1)Percobaan (Pasal 53 ayat (2 dan 3));
(2)Membantu atau medeplichgqheid (Pasal 57 ayat (1 dan 2));
(3)Belum dewasa atau minderjarigheid (Pasal 47).
Selain itu hal-hal yang dapat meringankan dalam persidangan adalah sebagai berikut:
(1)Sikap correct dan hormat terdakwa terhadap pengadilan, dan
pengakuan terus terang sehingga memperlancar jalannya
persidangan;
(2)Pada kejahatannya tersebut tidak ada motif yang berhubungan
dengan latar belakang publik;
(3)Dalam persidangan terdakwa telah menyatakan penyesalan atas
perbuatannya.
d. Jenis-Jenis Putusan Hakim dalam Perkara Pidana
Mengenai jenis putusan hakim ,ada 2 (dua) jenis putusan hakim dalam hukum pidana yang dikenal selama ini, yaitu putusan sela dan putusan akhir.
a) Putusan Sela
Putusan sela merupakan putusan yang belum menyinggung mengenai pokok perkara yang terdapat di dalam surat dakwaan. Dalam hal ini berkaitan dengan pengajuan keberatan oleh terdakwa atau penasehat hukum mengenai kewenangan pengadilan mengadili perkara,dakwaan tidak dapat diterima dan surat dakwaan harus dibatalkan. Mengenai putusan sela dapat disimpulkan dalam Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
commit to user
b) Putusan Akhir
Setelah pemeriksaan perkara dinyatakan selesai oleh hakim, maka sampailah hakim pada tugasnya, yaitu menjatuhkan putusan, yang akan memberikan penyelesaian pada suatu perkara yang terjadi antara negara dengan warga negaranya. Putusan yang demikian biasanya disebut sebagai putusan akhir (Ahmad Rifai, 2010: 112).
Menurut KUHAP ada beberapa jenis putusan akhir yang dapat dijatuhkan oleh hakim dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:
(a)Putusan Bebas (vrijspraak)
Putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang berupa pembebasan terdakwa dari suatu tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, apabila dalam dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum tidak terbukti terhadap terdakwa di persidangan.
Putusan bebas ini dijelaskan dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP, yaitu jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Dakwaan tidak terbukti berarti bahwa apa yang diisyaratkan oleh pasal 183 KUHAP tidak dipenuhi, yaitu karena:
i Tiadanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, yang
disebut oleh pasal 184 KUHAP, misalnya hanya ada satu saksi saja, tanpa diteguhkan dengan bukti lain;
ii Meskipun terdapat dua alat bukti yang sah, akan tetapi Hakim tidak
mempunyai keyakinan atas kesalahan terdakwa, misalnya terdapat dua keterangan saksi, akan tetapi Hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa;
commit to user
(b) Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum (onslaag van
allerecht vervolging)
Putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan dijatuhkan oleh hakim apabila dalam persidangan ternyata terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum, tetapi diketahui bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, dan oleh karena itu terhadap terdakwa akan dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (Ahmad Rifai, 2010: 113).
Putusan Pengadilan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui pemeriksaan ternyata menurut pendapat Pengadilan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana. Dasar hukum jenis putusan ini terdapat
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan.
(c)Putusan Pemidanaan
Jenis putusan pengadilan ini adalah putusan yang membebankan suatu pidana kepada terdakwa karena perbuatan yang didakwakan terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan itu. Apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan maka pengadilan menjatuhkan pidana (Pasal 193 ayat (1) KUHAP). Berdasarkan Pasal 10 KUHP, pidana terdiri atas :
(1) Pidana Pokok : Pidana Mati, Pidana Penjara, Pidana
Kurungan, dan Denda;
(2) Pidana Tambahan : Pencabutan hak-hak tertentu, Perampasan
commit to user
4. Tinjauan Umum tentang Persetubuhan terhadap Anak a. Pengertian Tindak Pidana Persetubuhan
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tindak pidana kesusilaan dibagi menjadi dua yaitu tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh dan tidak pidana perkosaan untuk berbuat cabul. Tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh diatur dalam Pasal 285 KUHP ,sedangkan tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul diatur dalam Pasal 289-296 KUHP.
Tindakan memasukan kemaluan laki-laki kedalam kemaluan perempuan yang pada umumnya menimbulkan kehamilan ,dengan kata lain bilamana kemaluan itu mengeluarkan air mani di dalam kemaluan perempuan. Oleh karna itu,apabila dalam peristiwa perkosaan walaupun kemaluan laki-laki telah agak lama masuknya kedalam kemaluan perempuan, air mani laki-laki belum keluar hal itu belum merupakan perkosaan ,akan tetapi percobaan perkosaan. Pengertian persetubuhan tersebut masih pengertian aliran klasik. Menurut teori modern tanpa mengeluarkan air mani maka hal tersebut sudah dapat dikatakan sebagai persetubuhan sehingga tidak tepat jika disebut hanya sebagai percobaan. Persetubuhan yang lengkap terdiri dari penetrasi penis kedalam vagina,gesekan-gesekan penis terhadap vagina dan ejakulasi. Menurut kalangan ahli hukum suatu persetubuhan tidak harus diakhiri dengan ejakulasi. Bahkan penetrasi yang ringan ,yaitu masuknya kepala zakar diantara kedua bibir luar,sudah dapat dianggap sebagai tindakan persetubuhan (Sofwan Dahlan,2000: 108 ).
Persetubuhan sendiri dibagi menjadi dua macam yaitu
persetubuhan yang dilakukan secara legal dan persetubuhan yang dilakukan secara tak legal. Persetubuhan terhadap wanita dianggap legal jika wanita itu sudah cukup umur ,tidak dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki dan dilakukan dengan izinnya atau persetujuannya. Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia ,seorang wanita dianggap cukup umur dalam soal
commit to user
persetubuhan jika ia sudah genap berumur 15 tahun. Pada umur tersebut ia sudah dianggap mampu memahami resiko-resikonya dan oleh karenanya ia dapat menentukan sendiri apakah ia akan menyetujui suatu persetubuhan atau tidak. Namun persetubuhan dengan wanita yang tidak sehat akalnya tidak dianggap sah ,meskipun wanita itu sudah berumur 15 tahun . Ikatan perkawinan dapat dianggap sebagai persetujuan atau izin bagi suami untuk melakukan persetubuhan dengan istrinya. Jika persetubuhan dilakukan dengan tidak mengindahkan prinsip-prinsip di atas maka persetubuhan dianggap tak legal dan dapat dipidana ( Sofwan Dahlan, 2000:108-109).
Berdasarkan KUHP persetubuhan tak legal terdiri atas
persetubuhan tak legal yang harus dilakukan di dalam perkawinan dan persetubuhan tak legal yang dilakukan di luar perkawinan. Yang dimaksud persetubuhan tak legal yang dilakukan di dalam perkawinan di sini adalah persetubuhan yang dilakukan terhadap istrinya sendiri yang belum cukup umur dan persetubuhan tersebut telah menimbulkan luka-luka. Ancaman hukuman berdasarkan Pasal 288 KUHP ialah penjara selama-lamanya 4 tahun jika mengakibatkan luka berat maka ancaman hukumannya 8 tahun dan jika mengakibatkan mati ancaman hukumannya 12 tahun. Sedangkan persetubuhan tak legal diluar perkawinan adalah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan wanita yang bukan istrinya,dengan kata lain antara laki-laki dan wanita yang melakukan persetubuhan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan. Persetubuhan ini dapat dibagi menjadi 2 ,yaitu:
a) Persetubuhan yang dilakukan atas persetujuan atau izin dari wanita yang
disetubuhi,misalnya persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur dan perzinaan.
b) Persetubuhan yang dilakukan tanpa persetujuan atau izin dari wanita
yang disetubuhi,misalnya perkosaan dan persetubuhan degan wanita yang tidak berdaya
Yang dimaksud dengan persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur ialah persetubuhan dengan wanita bukan istrinya yang umurnya
commit to user
belum genap 15 tahun. Berdasarkan Pasal 287 KUHP, jika umurnya wanita itu belum genap 12 tahun termasuk delik biasa dan jika umurnya sudah genap 12 tahun tetapi belum genap 15 tahun termasuk delik aduan ( Sofwan Dahlan ,2000:110-111).
b. Tinjauan tentang Persetubuhan Terhadap Anak
Di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ,tindak pidana persetubuhan terhadap seorang anak diatur dalam pasal 81 ayat (1) dan (2) yang rumusannya sebagi berikut:
(1)Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain ,dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 ( lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2)Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu
muslihat,serangkaian kebohongan,atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Ada perbedaan tentang batasan umur seseorang dikatakan sebagai anak,yaitu :
a) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Di dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979,anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
b) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Pengertian anak menurut undang-undang ini adalah seseorang yang belum berusia 18 ( delapan belas) tahun,termasuk anak yang masih dalam kandungan.
c) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) yang berisi mengenai pembatasan usia anak di bawah kekuasaan orang tua atau di bawah
commit to user
perwalian adalah sebelum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan dapat diartikan bahwa pengertian anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun.
d) Konvensi PBB
Dalam Konvensi PBB yang ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia tahun 1990 dikatakan bahwa umur anak adalah dibawah umur 18 ( delapan belas )tahun.
Hukum Pidana Indonesia berlaku asas
dimana menurut asas ini,peraturan yang khusus
mengesampingkan peraturan yang umum. Oleh karena itu ,dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Anak yang mengatur mengenai persetubuhan pada anak yaitu Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, maka ketentuan di dalam Pasal 287 KUHP yang mengatur mengenai persetubuhan pada anak tidak dapat lagi diterapkan.
5. Tinjauan Umum tentang Sistem Peradilan Pidana Anak a. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak
ngan sistem peradilan pidana orang dewasa,sehingga sistem peradilan pidana anak adalah sistem peradilan pidana bagi anak. Anak dalam sistem peradilan anak dibagi dalam beberapa pengertian yaitu :
1) Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik
dengan hukum ,anak yang menjadi korban tindakan pidana,dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.disebut anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 ( dua belas) tahun,tetapi belum berumur 18 ( delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana;
commit to user
2) Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak
korban adalah anak yang belum berumur 18 ( delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental,dan /atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana;
3) Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak
saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan
,penuntutan,dan pemeriksaan disidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar ,dilihat dan /atau dialaminya sendiri.
Frase sistem peradilan anak merupakan terjemahan dari istilah
The Juvenile Justice System yaitu suatu istilah yang digunakan dengan
sejumlah institusi yang tergabung dalam pengadilan yang meliputi polisi, jaksa,penasihat hukum,lembaga pengawasan ,pusat penahanan anak dan fasilitas pembinaan anak. Dengan demikian para pihak yang terkait
dalam The Juvenile Justice System yang pertama adalah polisi sebagai
institusi formal ketika anak pertama kali diproses secara hukum. Prosedur pertama kali inilah yang akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, Jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang memiliki kewenangan untuk menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, pengadilan anak adalah tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan berdasarkan kebijakan hakim. Menurut Sudarto ,di dalam peradilan anak terdapat aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang tertuju pada kepentingan anak yaitu segala aktivitas yang dilakukan polisi,jaksa ,hakim dan pejabat lain harus didasarkan pada prinsip demi kesejahteraan anak dan kepentingan anak (Sudarto,1981:129).
b. Tujuan Sistem Peradilan Anak
Sistem peradilan pidana tidak terlepas dari pembicaraan upaya penanggulangan kejahatan. Upaya penanggulangan kejahatan dapat
dilakukan dengan saran penal dan nonpenal. Penanggulangan kejahatan
commit to user
pidana. Penggunaan sarana hukum pidana untuk penanggulangan kejahatan secara formil bekerjanya lewat sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana memiliki tujuan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek adalah resosialisasi pelaku tindak pidana, tujuan menengah adalah pencegahan kejahatan dan tujuan jangka panjang adalah kesejahteraan sosial.
Tujuan sistem peradilan pidana berupa resosialisasi pelaku karena penyelenggaraan peradilan pidana berguna untuk pembinaan pelaku sehingga ketika kembali ke masyarakat sudah menjadi baik,sedangkan tujuan pencegahan kejahatan maksudnya dengan putusan pengadilan dapat menjaga pelaku untuk tidak berbuat kejahatan. Tujuan ini fungsinya hukum preventif bagi masyarakat umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana (Barda Nawawi Arief ,2007:143).
Bedasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 perwujudan keadilan restoratif salah satunya adalah dengan mekanisme diversi . Diversi adalah pengalihan penyelesaian Perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Undang Undang mengamanatkan untuk upaya adanya diversi dalam sistem peradilan anak.
Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Diversi bertujuan untuk:
a) Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
b) Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
c) Menghindari Anak dari perampasan kemerdekaan;
d) Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e) Menanam rasa tanggung jawab kepada Anak.
Diberlakukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 maka
terdapat ketentuan lex specialis terhadap tugas dan wewenang kepolisian,
kejaksaan dan hakim. Salah satu yang khas dan membedakan adalah bentuk diversi. Pada tingkat penyidikan ,penuntutan dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib di upayakan Diversi oleh aparat penegak hukum. Diversi sebagaimana dimaksud dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang
commit to user
dilakukan diancam dengan pidana penjara dibawah 7( tujuh) tahun; dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana (Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012).
Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan :
a) Kategori tindak pidana;
b) Umur Anak;
c) Hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas dan;
d) Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
Proses Peradilan Pidana Anak dilanjutkan dalam hal proses diversi jika tidak dapat menghasilkan kesepakatan maka diversi tidak dilaksanakan. Oleh karena itu maka akan diberlakukan hukum formil yang tunduk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dalam persidangan.
c. Asas-Asas dalam Sistem Peradilan Anak
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan asas-asas dalam sistem peradilan anak antara lain ( M.Nasir Djamil, 2013:131-132) :
a) Asas perlindungan meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak
langsung dari tindakan yang membahayakan anak secara fisik dan/ atau psikis
b) Asas keadilan adalah bahwa setiap penyelesaian perkara anak harus
mencerminkan rasa keadilan bagi anak.
c) Asas nondiskriminasi adalah tidak adanya perlakukan yang berbeda pada
suku,agama,ras ,golongan,jenis kelamin ,etnik,budaya dan bahasa ,status hukum anak,urutan kelahiran anak, serta kondisi filsik dan/mental.
d) Asas kepentingan terbaik bagi anak adalah segala pengambilan
keputusan harus selalu mempertimbangan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak.
commit to user
e) Asas penghargaan terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas hak
anak untuk berpatisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam
pengambilan keputusan,terutama jika menyangkut hal yang
mempengaruhi anak
f) Asas kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak adalah hak asasi
yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara pemerintah,masyarakat,keluarga dan orang tua.
g) Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan.
h) Mendorong masyarakat untuk berpatisipasi.
commit to user
2. Kerangka PemikiranGambar 1. Kerangka Pemikiran Persetubuhan Terhadap
Anak
Pembuktian
Alat Bukti (KUHAP)
Keterangan saksi
Keterangan Ahli
Surat
Berita Acara Nikah Siri
Keterangan Terdakwa Petunjuk Pertimbangan Hakim Putusan Nomor: 07/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Byl
commit to user
Keterangan:Persetubuhan terhadap anak terjadi apabila tindak pidana persetubuhan dilakukan terhadap anak di bawah 18 tahun. Dalam perkara persetubuhan terhadap anak diperlukan pembuktian terhadap alat bukti yang sah dalam Hukum Acara Pidana yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu terdiri dari:
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa
Dalam perkara persetubuhan terhadap anak dapat
dilakukan perdamaian di luar pengadilan dengan diadakannya
nikah siri. Penuntut umum sesuai kewenangannya dalam
pembuktian dapat membawa berita acara nikah siri sebagai alat
bukti surat. Dimana keterangan saksi juga berhubungan dengan
isi berita acara nikah siri yang ditunjukkan. Berita acara nikah
siri dalam perkara persetubuhan terhadap anak ini digunakan
sebagai hal yang meringankan pidana dalam pertimbangan
hakim sehingga dijatuhkan Putusan Pengadilan Negeri