AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK BIJI PICUNG
(Pangium edule Reinw) DAN PENGARUHNYA TERHADAP
STABILITAS FISIKO KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN
SENSORI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger neglectus)
DIAN APRIANTI
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK BIJI PICUNG
(Pangium edule Reinw) DAN PENGARUHNYA TERHADAP
STABILITAS FISIKO KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN
SENSORI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger neglectus)
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh : Dian Aprianti 104096003082
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, April 2011
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puja dan puji hanya bagi-Mu Ya Allah, setinggi langit, sepenuh bumi, sebanyak manapun yang Engkau kehendaki. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW, juga kepada kaum keluarganya serta mereka yang mengikuti petunjuknya hingga akhir usia dunia. Rasa syukur penulis curahkan kepadaNya atas nikmat sehat yang telah diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Stabilitas Sifat Kimia, Mikrobiologi Dan Sensori Ikan Kembung (Rastrelliger neglectus) yang diawetkan dengan Bubuk Picung (Pangium edule Reinw)”.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan semua pihak sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
3. Prof. DR. Endang Sri Heruwati selaku Pembimbing I yang telah memberi kesempatan penulis untuk melakukan penelitian ini serta dukungan yang telah diberikan.
4. Anna Muawanah, M.Si selaku Pembimbing II yang telah membimbing dan memberikan pengarahan serta motivasi kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
5. Para staff Laboratorium BBRP2BKP terutama staff Laboratorium Keamanan Pangan yang turut membantu tenaga, pikiran dan bimbingannya selama penulis melakukan penelitian.
6. Keluarga penulis (Mama, Papa, adikku Roby Hidayat, Aba) yang selalu memberikan cinta, do’a dan semangat hingga saat ini.
7. Teman- teman seperjuanganku (Lina, Imoy, Fira, Miftah, Mey, Iis, Ranti, Ijal, Tiar, Ridho) atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan.
8. Anthony Gunawan, SE atas hati, tenaga, kesabaran dan semangat yang telah diberikan kepada penulis.
Demikianlah skripsi ini disusun sebagai pelengkap dari penelitian yang telah dilakukan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya. Amin.
Jakarta, April 2011
vii
1.3 Hipotesis Penelitian ... 4
1.4 Tujuan Penelitian ... 4
1.5 Manfaat Penelitian ... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1 Botani Picung (Pangium edule Reinw) ... 6
2.1.1 Komposisi Kimia dan Kegunaan Biji Picung ... 7
2.2 Senyawa Antimikroba ... 9
2.2.1 Pengujian Aktivitas Antibakteri ... 11
2.2.2 Mikroorganisme sebagai Indikator Mutu.... ... 12
2.3 Ekstraksi ... 15
2.3.1 Maserasi ... 19
2.4 Ikan Kembung (Rastrelliger neglectus) ... 20
2.4.1 Karakteristik Mutu Ikan Kembung (Rastrelliger neglectus) ... 21
2.5 Penggunaan Serbuk Gergaji pada Teknologi Penanganan Ikan Hidup ... 26
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 29
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 29
3.2 Alat dan Bahan ... 29
3.3 Prosedur Kerja ... 30
3.3.1 Ekstraksi Biji Picung dan Pembuatan Biji Picung.... ... 31
3.3.2 Aplikasi Bubuk Picung pada Ikan Kembung Segar ... 31
viii
3.3.2.1.1 Kadar Protein dengan Metode Total Nitrogen
”Kjeltec” ... 32
3.3.2.1.2 Kadar Lemak Total pada Produk Perikanan ... 33
3.3.2.1.3 Kadar Air ... 34
3.3.2.1.4 Kadar Abu ... 34
3.3.2.1.5 Kadar TVB Metode Conway.... ... 35
3.3.2.1.6 Pengukuran pH ... 36
3.3.2.2 Uji Mikrobiologis ... 36
3.3.2.2.1 Penghitungan Bakteri dengan Metode Plate Count ... 36
3.3.2.3 Uji Organoleptik... 37
3.3.3 Uji Daya Hambat Bakteri ... 38
3.3.4 Analisis Data ... 39
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.... ... 41
4.1 Karakteristik Fisiko Kimia Ikan Kembung yang diawetkan dengan Bubuk Picung ... 41
4.1.1 Kadar Air Ikan Kembung ... 41
4.1.2 Perubahan pH Ikan Kembung ... 43
4.1.3 Hasil Analisis TVB Ikan kembung ... 46
4.1.4 Hasil Analisis Tanin .... ... 49
4.2 Karakteristik Mikrobiologi Ikan Kembung yang diawetkan dengan Bubuk Picung ... 50
4.2.1 Hasil Analisis TPC Ikan Kembung...50
4.3 Karakteristik Organoleptik Ikan Kembung yang diawetkan dengan Bubuk Picung ... 51
4.3.1 Mata Ikan Kembung ... 52
4.3.2 Daging Ikan Kembung ... 53
4.3.3 Konsistensi Ikan Kembung ... 54
4.3.4 Bau Ikan Kembung ... 55
4.3.5 Rasa Ikan Kembung.... ... 56
4.4 Hasil Aktivitas Antibakteri Bubuk Picung ... 57
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 62
ix
x
DAFTAR GAMBAR
Hal.
Gambar 1. Anatomi Tanaman Picung (Pangium edule Reinw) ... 6
Gambar 2. Biji Picung (Pangium edule Reinw) ... 8
Gambar 3. Struktur Tanin ... 11
Gambar 4. Bakteri Staphylococcus aureus dan Micrococcus luteus. ... 15
Gambar 5. Bakteri Enterobacter aerogenes dan Alcaligenes eutrophus ... 15
Gambar 6. Ikan Kembung (Rastrelliger neglectus) ... 20
Gambar 7. Bagan Alir Pembuatan dan Aplikasi Bubuk Picung ... 40
Gambar 8. Hasil Analisis Kadar Air Ikan Kembung yang diawetkan dengan Bubuk Picung Perlakuan Ekstrak Aquades ... 41
Gambar 9. Hasil Analisis Kadar Air Ikan Kembung yang diawetkan dengan Bubuk Picung Perlakuan Ekstrak Etanol 50% ... 41
Gambar 10. Hasil Analisis Kadar Air Ikan Kembung yang diawetkan dengan Bubuk Picung Perlakuan Ekstrak Etanol 80% ... 42
Gambar 11. Hasil Analisis pH Ikan Kembung yang diawetkan dengan Bubuk Picung Perlakuan Ekstrak Aquades ... 44
Gambar 12. Hasil Analisis pH Ikan Kembung yang diawetkan dengan Bubuk Picung Perlakuan Ekstrak Etanol 50% ... 44
Gambar 13. Hasil Analisis pH Ikan Kembung yang diawetkan dengan Bubuk Picung Perlakuan Ekstrak Etanol 80% ... 44
Gambar 14. Hasil Analisis TVB Ikan Kembung yang diawetkan dengan Bubuk Picung Perlakuan Ekstrak Aquades ... 46
Gambar 15. Hasil Analisis TVB Ikan Kembung yang diawetkan dengan Bubuk Picung Perlakuan Ekstrak Etanol 50% ... 47
Gambar 16. Hasil Analisis TVB Ikan Kembung yang diawetkan dengan Bubuk Picung Perlakuan Ekstrak Etanol 80% ... 47
xi
DAFTAR TABEL
Hal.
Tabel 1. Komposisi Gizi Daging Biji Picung (Pangium edule Reinw) ... 9
Tabel 2. Klasifikasi Zona Hambat Aktivitas Antibakteri... 12
Tabel 3. Indeks Polaritas Pelarut ... 19
Tabel 4. Komposisi Kimia Ikan Kembung (Rastrelliger neglectus) ... 21
Tabel 5. Persyaratan Mutu dan Keamanan Pangan ... 26
Tabel 6. Prosedur Kerja Analisis yang Dilakukan pada Tahap Aplikasi ... 32
Tabel 7. Hasil Analisis TPC Ikan Kembung yang diawetkan dengan Bubuk Picung ... 50
Tabel 8. Hasil Uji Organoleptik Mata Ikan Kembung yang diawetkan dengan Bubuk Picung ... 52
Tabel 9. Hasil Uji Organoleptik Daging Ikan Kembung yang diawetkan dengan Bubuk Picung ... 53
Tabel 10. Hasil Uji Organoleptik Konsistensi Ikan Kembung yang diawetkan dengan Bubuk Picung ... 55
Tabel 11. Hasil Uji Organoleptik Bau Ikan Kembung yang diawetkan dengan Bubuk Picung ... 56
Tabel 12. Hasil Uji Organoleptik Rasa Ikan Kembung yang diawetkan dengan Bubuk Picung ... 57
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Hal.
Lampiran 1. Score Sheet Organoleptik Ikan Kembung + Bubuk Picung ... 68 Lampiran 2. Tabel Sidik Ragam ... 69 Lampiran 3. Analisis Organoleptik Ikan Kembung dengan Penambahan
xiii ABSTRAK
DIAN APRIANTI, Aktivitas Antibakteri Ekstrak Biji Picung (Pangium edule Reinw) dan Pengaruhnya terhadap Stabilitas Fisiko Kimia, Mikrobiologi dan Sensori Ikan Kembung (Rastrelliger neglectus). Dibimbing oleh Prof. DR. Endang Sri Heruwati dan Anna Muawanah, M.Si.
Biji picung dapat digunakan sebagai bahan pengawet alami karena mengandung komponen antibakteri. Namun pada saat diaplikasikan pada ikan, biji picung masih membutuhkan proses penanganan. Untuk itu dibuat bubuk picung yang didalamnya mengandung ekstrak picung dan serbuk gergaji. Penelitian ini bertujuan mengetahui jenis dan konsentrasi pelarut terhadap aktivitas antibakteri ekstrak biji picung serta mengetahui stabilitas sifat kimia, mikrobiologi dan organoleptik ikan kembung yang diawetkan dengan bubuk picung. Penelitian ini terdiri dari dua tahap: pembuatan bubuk picung dan aplikasi bubuk picung pada ikan kembung. Tahap aplikasi dilanjutkan dengan analisis kimia (uji proksimat, air, pH, TVB, tanin), analisis mikrobiologi TPC dan analisis organoleptik (parameter mata, daging, konsistensi, bau, rasa). Berdasarkan penelitian dapat diketahui bahwa senyawa yang bersifat antibakteri pada biji picung dapat terekstrak dalam pelarut aquades, alkohol 50% dan alkohol 80%. Uji daya hambat terhadap bakteri menunjukkan bahwa bubuk picung yang dihasilkan memberikan zona hambat yang bervariasi pada bakteri gram positif dengan zona hambat terbesar oleh ekstrak aquades terhadap bakteri M. luteus. Ikan kembung yang diawetkan dengan bubuk picung terlihat stabilitasnya berdasarkan parameter kadar air, nilai pH, uji daya hambat dan uji organoleptik. Namun tidak terlihat stabilitasnya berdasarkan parameter TVB dan TPC.
xiv
ABSTRACT
DIAN APRIANTI, Antibacterial Activity Extract Pangium (Pangium edule Reinw) and the Impact on Physico-Chemical, Microbiological and Sensory Stability of Rastrelliger (Rastrelliger neglectus). Guided by Prof. DR. Endang Sri Heruwati and Anna Muawanah, M.Si.
Pangium kernel can be used as natural preservative because it contains antibacterial components. However, when it’s applied to fish, Pangium kernel still requires more handling process. So it could be made Pangium powder by mixing extracts Pangium with sawdust. The aim of this research is to identify the type and concentration of solvents on the antibacterial activity of Pangium extract and to explore the chemical, microbiological and organoleptic stability of Rastrelliger which preserved with Pangium powder. This research consists of two stages: the extraction and application of Pangium powder on Rastrelliger. Application stage followed by chemical analysis (proximate, water, pH, TVB, tannin), microbiological analysis and organoleptic analysis (consist of eyes, meat, consistency, smell and taste). The result show that antibacterial compounds in Pangium kernel can be extracted in aquades, alcohol 50% and alcohol 80% as a solvent. The inhibition test of bacteria showed that the Pangium powder give weak inhibition zone on several of gram-positive bacteria except for aquades with the biggest inhibition zone to Micrococcus luteus. Rastrelliger with Pangium powder preserved, saw the relative stability based on the water content, pH, inhibition bacteria test and organoleptic test but neither in the stability based on TVB and TPC parameters test.
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Pada penanganan bahan makanan, ketahanan terhadap kerusakan merupakan masalah utama yang harus diperhatikan, terutama bahan pangan segar yang memiliki kandungan air tinggi seperti ikan, daging maupun yang lain. Bahan pangan tersebut sangat mudah rusak terutama disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme. Pada komoditas ikan segar perlu dilakukan pengawetan untuk menjamin mutu ikan segar selama pendistribusian.
Penggunaan es merupakan salah satu cara yang sering digunakan untuk mempertahankan mutu ikan segar yang dilakukan di daerah penangkapan ikan. Namun penggunaan es seringkali terkendala pengadaan es yang tidak mudah dan efisien. Permasalahan ini mendasari pencarian bahan dan cara pengawetan ikan yang lebih praktis.
2 Usaha mencari pengawet pangan yang bersifat alami dan aman masih sangat terbuka karena kebutuhan pengawet masih sangat besar, salah satunya adalah biji picung. Biji picung (Pangium edule Reinw) merupakan alternatif bahan pengawet alami yang tidak berbahaya. Di Banten dan Pariaman, biji picung digunakan untuk mengawetkan ikan. Konsentrasi 3% (b/v) biji picung telah menghambat pertumbuhan bakteri gram positif batang (Bacillus sp.), bakteri gram positif kokus (Micrococcus sp.), bakteri gram negatif batang non fermentatif (Pseudomonas sp.) dan bakteri gram negatif batang fermentatif (koliform) yang diisolasi dari ikan mas (Cyprinus carpio Linn) yang dibusukkan pada suhu kamar selama 24 jam, sedangkan pada konsentrasi 5% (b/v) atau lebih bersifat bakterisidal terhadap empat jenis bakteri tersebut (Indriyati, 1987).
Meskipun telah dilaporkan bahwa senyawa aktif yang berfungsi sebagai antibakteri pada buah picung kemungkinan adalah glikosida sianogenik, tanin serta asam hidnokarpat, asam khaulmograt dan asan gorlat (Indriyati, 1987), namun belum diketahui senyawa mana di antara ketiga kelompok tersebut yang paling berperan dalam pengawetan ikan. Kecil kemungkinan bahwa glikosida sianogenik yang berperan mengingat senyawa ini sangat mudah terurai menjadi asam sianida yang menguap pada suhu 26°C terutama bila buah picung dihancurkan atau terkena air. Dugaan lebih kuat mengarah kepada tanin dan ketiga jenis asam lemak.
n-3 heksan biji picung segar tidak menunjukkan aktivitas antibakteri pada semua tingkat konsentrasi (Ismaini, 2007).
Hasil analisis GCMS dari ekstrak etanol 50% dan ekstrak air biji picung segar, yang telah teruji dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk, mengandung senyawa yang sangat mirip dengan asam 9-oktadekanoat. Senyawa asam lemak tersebut telah dilaporkan mempunyai sifat antibakteri (Mangunwardoyo et al.,2008)
4 1.2Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah aktivitas antibakteri biji picung yang diekstrak dengan aquades dan etanol?
2. Bagaimanakah pengaruh penambahan ekstrak biji picung terhadap stabilitas fisikokimia, mikrobiologi dan organoleptik ikan kembung yang diawetkan dengan bubuk picung?
1.3Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Pelarut polar dan semi polar mampu melarutkan senyawa antibakteri yang terdapat dalam biji picung sehingga memiliki aktivitas antibakteri.
2. Pengawetan ikan kembung dengan bubuk picung diharapkan mampu meningkatkan stabilitas fisikokimia, mikrobiologi dan organoleptik ikan kembung sehingga kualitas gizinya dapat dipertahankan.
1.4Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui jenis dan konsentrasi pelarut terhadap aktivitas antibakteri ekstrak biji picung yang dihasilkan.
5 1.5Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Memaksimalkan pengembangan potensi biji picung sebagai pengawet ikan yang bersifat alami dan aman untuk digunakan.
6 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Botani Biji Picung (Pangium edule Reinw)
Picung memiliki nama botani Pangium edule Reinw. Jenis tanaman ini mempunyai banyak nama daerah antara lain kepayang (Jakarta), pangi atau hapesong (Batak), kayu ruba buah (Lampung), pacung atau picung (Sunda), pakem atau pucung (Jawa) dan kalowa (Sumbawa).
Gambar 1. Anatomi Tanaman Picung (Francisco, 1983)
Sistematika biji picung (Pangium edule Reinw) menurut Heyne (1987) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Parietales Famili : Flacourtiaceae Genus : Pangium
Spesies : Pangium edule Reinw
7 berbau. Tanaman picung dapat hidup sampai umur di atas 100 tahun. Tinggi pohon dapat mencapai 40 meter dengan diameter batang mencapai 1 meter. Batang pokoknya besar, ranting muda berambut (berbulu) dan berwarna. Kulit kayu berwarna kemerahan atau abu-abu kecoklatan dan kadang-kadang kasar dengan banyak celah yang mengeras.
Daun tanaman berwarna hijau tua mengkilap ketika sudah tua, mengkilat dan berbulu lembut rapat berwarna cokelat dan bagian bawah daun berwarna buram. Ukuran daun dapat mencapai panjang 30 cm dan lebar 15 cm. Sedangkan tulang-tulang daun pada sisi bawah sangat menonjol.
Buah picung mengandung biji yang jumlahnya banyak dan tersusun rapi pada poros buah seperti buah cempedak. Setiap biji buah terbalut daging buah berwarna kuning (seperti pada biji buah durian). Buah yang berukuran besar mengandung biji yang jumlahnya dapat mencapai 30 biji, sedangkan buah yang berukuran kecil mengandung sekitar 12 biji.
Biji buah picung berkulit luar keras yang disebut tempurung atau cangkang. Tempurung biji picung berwarna cokelat. Biji picung mengandung inti biji (endosperm) berwarna putih dan keras, antara inti biji dengan tempurung dibatasi oleh selaput tipis berwarna cokelat.
2.1.1 Komposisi Kimia dan Kegunaan Biji Picung (Pangium edule Reinw)
8 mempunyai sifat antibakteri (Hilditch dan Williams, 1964 dalam Widyasari, 2006).
Biji picung merupakan bagian tanaman yang paling banyak mengandung ginokardin, yaitu suatu glukosida yang mudah melepaskan asam sianida karena hidrolisis oleh enzim ginokardase. Asam sianida yang dilepaskan ini bersifat racun, pada konsentrasi rendah dapat menyebabkan orang sakit kepala, pusing, mual dan muntah apabila terhirup pernafasan, pada konsentrasi tinggi (50-60 mg) dapat menyebabkan kematian (Winarno, 1991).
Daging biji picung (Gambar 2) mengandung senyawa golongan alkaloid, flavonoid, tanin dan sianida (Sulistiyani, 2005). Biji picung juga mengandung tanin, yaitu suatu senyawa polifenol atau polialkohol sehingga apabila dibiarkan di udara terbuka akan cepat berwarna coklat.
Gambar 2. Biji Picung (Pangium edule Reinw)
9 1. Daun dan biji picung setelah diseduh dapat digunakan sebagai desinfektan. 2. Kulit dan daun picung dapat digunakan sebagai racun ikan.
3. Minyak dari daging biji picung dapat digunakan untuk membuat ekstrak yang dipakai untuk obat reumatik dan penyakit kulit.
4. Daging biji picung segar yang dilarutkan dalam air dapat digunakan untuk obat pembasmi kutu.
Sumber: Supriyanto dan Supriyadi, 1991 dalam Sarkono, 2002.
2.2 Senyawa Antibakteri
Senyawa antibakteri didefinisikan sebagai senyawa biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri (Pelczar dan Reid, 1979). Mekanisme zat antibakteri dalam membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroba antara lain:
a. Merusak dinding sel bakteri sehingga mengakibatkan lisis atau menghambat pembentukan dinding sel pada sel yang sedang tumbuh.
b. Mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien dari dalam sel, misalnya yang disebabkan oleh senyawa fenolik. c. Menyebabkan denaturasi sel, misalnya oleh alkohol.
10 Efektivitas antibakteri dalam mengawetkan bahan makanan terjadi baik dengan cara mengontrol pertumbuhan mikroorganisme maupun secara langsung memusnahkan seluruh atau sebagian mikroorganisme (Brannen dan Davidson, 1993). Senyawa antibakteri dalam biji picung yang diduga mampu memberikan efek pengawetan terhadap ikan adalah asam sianida dan tanin.
a) Asam Sianida
Asam sianida adalah suatu asam lemah yang berbentuk cairan yang pada suhu kamar mempunyai bau khas dan apabila terbakar mengeluarkan nyala biru. Senyawa sianida dapat bereaksi dengan beberapa ion logam membentuk senyawa kompleks misalnya dengan ion besi membentuk senyawa Fe(CN)42- atau
Fe(CN)63- (Winarno, 1991).
Ion fero banyak terdapat dalam darah sebagai komponen hemoglobin. Apabila ion sianida terdapat dalam darah maka ion fero dalam darah akan bereaksi dengan ion sianida sehingga hemoglobin kehilangan kemampuannya untuk mengangkut oksigen. Pada konsentrasi rendah asam sianida tersebut dapat mengakibatkan pusing, mual dan muntah, sedangkan pada konsentrasi tinggi (>50 mg) dapat mengakibatkan kematian.
b) Tanin
11 Tanin terkondensasi secara biosintesis dapat dianggap terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal yang membentuk senyawa dimer dan oligomer yang lebih tinggi. Senyawa tanin (Gambar 3) biasanya terdapat pada tanaman dan dapat bereaksi dengan kulit hewan mengakibatkan warna coklat. Oleh karena itu sering digunakan untuk menyamak kulit. Tanin membentuk warna kehitaman dengan beberapa ion logam misalnya ion besi, kalsium, tembaga dan ion magnesium (Meyer, 1971).
Adanya tanin dapat menyebabkan warna daging biji picung menjadi coklat. Reaksi tersebut dikenal dengan reaksi browning enzymatic, yang terjadi jika dikatalisis oleh enzim polifenolase dengan substrat berupa senyawa fenolik (Winarno, 1991).
Gambar 3. Struktur Tanin (Harborne, 1987)
2.2.1 Pengujian Aktivitas Antibakteri
Untuk menguji kekuatan antibakteri dalam menghambat pertumbuhan mikroba dapat digunakan cakram kertas (paper disk). Bila senyawa antibakteri menghambat pertumbuhan mikroba, maka akan terlihat daerah jernih disekeliling
12 cakram kertas atau juga dinamakan zona hambat. Luas daerah terang ini menjadi ukuran kekuatan daya kerja antibakteri.
Tabel 2. Klasifikasi Zona Hambat Aktivitas Antibakteri
Diameter Zona Hambat Aktivitas Antibakteri
< 5 mm
2.2.2 Mikroorganisme sebagai Indikator Mutu
Upaya standarisasi mutu ikan segar telah dilakukan. Kriteria mutu mikrobiologis ikan segar adalah jumlah mikroba yang tumbuh pada ikan segar. Menurut ketetapan dari Standar Nasional Indonesia (2006) batas maksimum jumlah mikroba pada ikan segar tiap gramnya adalah 5 x 105 sel mikroba.
Kandungan mikroorganisme suatu bahan pangan dapat memberikan keterangan yang mencerminkan mutu bahan mentahnya, keadaaan sanitasi pada pengolahan pangan tersebut serta keefektifan metode pengawetannya. Kebanyakan bahan makanan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan berbagai macam mikroorganisme. Pada keadaan fisik yang menguntungkan, terutama pada kisaran suhu 7-60°C, mikroorganisme akan tumbuh dan menyebabkan terjadinya perubahan dalam hal penampilan, rasa dan bau pada bahan makanan.
13 mikroorganisme pencemar dapat mengakibatkan kerusakan dan yang lain menimbulkan penyakit atau menghasilkan racun pada makanan.
Beberapa sifat dasar dari kelompok dan spesies bakteri yang terdapat dalam mikrobiologi pangan di antaranya adalah:
a) Pseudomonadaceae
Genus utama dari famili bakteri ini yang berhubungan dengan bahan pangan adalah Pseudomonas. Mikroorganisme ini adalah bakteri gram negatif berbentuk batang kecil, dapat bergerak, umumnya berflagella dan mempunyai tipe metabolisme yang bersifat oksidatif. Bakteri ini merupakan penyebab berbagai jenis kerusakan bahan pangan yang sebagian besar berhubungan dengan kemampuan spesies ini dalam memproduksi enzim yang dapat memecah komponen lemak maupun protein pada bahan pangan.
b) Enterobacteriaceae
Golongan bakteri ini merupakan sekelompok besar dari bakteri gram negatif, tidak berspora dan berbentuk batang kecil. Secara keseluruhan kelompok ini mempunyai sifat khas yaitu mampu tumbuh secara aerobik maupun anaerobik pada beraneka macam karbohidrat. Beberapa genus Enterobacteriaceae berbahaya bagi kesehatan masyarakat karena menimbulkan wabah keracunan pangan dan penyakit infeksi yang ditularkan melalui makanan yang cukup serius. c) Micrococcaceae
14 diperhatikan dalam makanan adalah Staphylococcus aureus. Pada waktu pertumbuhan, organisme ini mampu memproduksi suatu enterotoksin yang cukup berbahaya karena dapat menyebabkan terjadinya peristiwa keracunan makanan.
Bakteri gram positif memiliki struktur dinding sel tebal (15-80nm) dan berlapis tunggal dengan komposisi kandungan lipid rendah (1-4%), peptidoglikan lapis tunggal (>50%) dan asam tekoat. Bakteri gram positif peka terhadap penisilin, lebih resisten terhadap gangguan fisik dan pertumbuhannya dihambat oleh zat warna dasar (ungu kristal).
Bakteri gram negatif memiliki struktur dinding sel tipis (10-15nm) berlapis tiga dengan kandungan lipid tinggi, peptidoglikan (10%) dan tidak memiliki asam tekoat. Bakteri gram negatif kurang rentan terhadap penisilin, kurang resisten terhadap gangguan fisik dan pertumbuhannya tidak begitu dihambat oleh zat warna dasar.
Beberapa klasifikasi bakteri yang digunakan dalam penelitian ini: Bakteri Staphylococcus aureus (Gambar 4a)
Kingdom : Monera Divisi : Firmicutes Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Famili : Staphylococcaceae Genus : Staphylococcuss Spesies : Staphylococcus aureus Bakteri Micrococcus luteus (Gambar 4b)
15
(a) (b)
Gambar 4. Bakteri gram positif Staphylococcus aureus (a), Micrococcus luteus (b) (Widodo, 2008)
Bakteri Enterobacter aerogenes (Gambar 5a) Kingdom : Monera
Divisi : Proteobacteria
Kelas : Gamma Proteobacteria Ordo : Enterobacteriales Famili : Enterobacteriaceae Genus : Enterobacter
Spesies : Enterobacter aerogenes Bakteri Alcaligenes eutrophus (Gambar 5b)
Kingdom : Monera Divisi : Proteobacteria Kelas : Beta Proteobacteria Ordo : Burkholderiales Famili : Alcaligenaceae Genus : Alcaligenes
Spesies : Alcaligenes eutrophus
(a) (b)
Gambar 5. Bakteri gram negatif Enterobacter aerogenes (a), Alcaligenes eutrophus (b) (Widodo, 2008)
2.3 Ekstraksi
16 yang terdapat dalam bagian tanaman tersebut. Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan massa komponen zat padat ke dalam pelarut di mana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka, kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut. Metode ekstraksi ada dua macam yaitu:
a. Ekstraksi cair-cair, bila mengekstraksi fase berair dengan fase organik, air yang terlarut perlu dibuang sebelum bahan yang diekstrak dipulihkan melalui penguapan pelarut. Biasanya sebagian besar air yang terlarut dalam fase organik dijenuhkan dengan NaCl. Pengeringan tahap akhir dari fase organik dilakukan dengan membiarkan fase organik beberapa saat dalam garam anorganik anhidrat.
b. Ekstraksi padat-cair atau leaching adalah transfer difusi komponen terlarut dari padatan inert ke dalam pelarutnya. Proses ini merupakan proses yang bersifat fisik karena komponen terlarut kemudian dikembalikan lagi ke keadaan semula tanpa mengalami perubahan kimiawi. Ekstraksi dari bahan padat dapat dilakukan jika bahan yang diinginkan dapat larut dalam solven pengekstraksi. Ekstraksi berkelanjutan diperlukan apabila padatan hanya sedikit larut dalam pelarut. Namun sering juga digunakan pada padatan yang larut karena efektivitasnya.
Senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman dapat diekstraksi dengan menggunakan pelarut polar dan non polar. Beberapa contoh pelarut yang sering digunakan dalam proses ekstraksi adalah:
a) Air
Air adalah substansi kimia dengan rumus kimia H2O. Satu molekul air
17 oksigen. Air bersifat tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau pada kondisi standar, yaitu pada tekanan 100 kPa (1 bar) dan temperatur 273,15 K (0°C). Zat kimia ini merupakan suatu pelarut yang penting karena memiliki kemampuan untuk melarutkan banyak zat kimia seperti garam-garam, gula, asam, beberapa jenis gas dan banyak macam molekul organik.
18 Air sering disebut sebagai pelarut universal karena air melarutkan banyak zat kimia. Air berada dalam kesetimbangan dinamis antara fase cair dan padat di bawah tekanan dan temperatur standar. Dalam bentuk ion, air dapat dideskripsikan sebagai sebuah ion hidrogen (H+) yang berikatan dengan sebuah ion hidroksida (OH-).
b) Alkohol
Alkohol merupakan senyawa seperti air yang satu hidrogennya diganti oleh rantai atau cincin hidrokarbon. Alkohol mempunyai titik didih yang tinggi dibandingkan alkana-alkana yang jumlah atom C nya sama yaitu sebesar 78,5°C. Hal ini disebabkan antara molekul alkohol membentuk ikatan hidrogen. Rumus umum alkohol R – OH, dengan R adalah suatu alkil baik alifatis maupun siklik. Dalam alkohol, semakin banyak cabang semakin rendah titik didihnya. Sedangkan dalam air, metanol, etanol, propanol mudah larut dan hanya butanol yang sedikit larut. Alkohol dapat berupa cairan encer dan mudah bercampur dengan air dalam segala perbandingan (Brady, 1999). Berdasarkan jenisnya, alkohol ditentukan oleh posisi atau letak gugus OH pada rantai karbon utama. Ada tiga jenis alkohol antara lain alkohol primer, alkohol sekunder dan alkohol tersier. Alkohol primer yaitu alkohol yang gugus –OH nya terletak pada C primer yang terikat langsung pada satu atom karbon yang lain, contohnya adalah CH3CH2CH2OH (C3H7O).
19 Metode ekstraksi dengan pelarut polar, misalnya ekstraksi biji picung segar dengan pelarut metanol efektif mengekstraksi senyawa antimikroba dan memiliki aktivitas insektisida terhadap Plutella xylostella Linn (Sulistiyani, 2005). Metode ekstraksi dengan pelarut non polar, misalnya daun inggu (Ruta angustifolia) dan biji kedawung (Parkia timoriana) dengan n-heksan untuk
mencari golongan senyawa kimia yang bersifat antimikroba (Nuraida et al.,2000; Priyono, 2004).
Tabel 3. Indeks Polaritas Pelarut
Pelarut Indeks Polaritas (P)
Heksan (C6H14) 0
20 memperhatikan kelarutan pelarut. Secara umum pelarut metanol merupakan pelarut yang paling banyak digunakan dalam proses isolasi senyawa organik bahan alam, karena dapat melarutkan seluruh golongan metabolit sekunder.
2.4 Ikan Kembung (Rastrelliger neglectus)
Ikan kembung (Gambar 6) merupakan salah satu dari jenis ikan ekonomis penting, yaitu jenis ikan yang mempunyai nilai pasaran tinggi, volume produksi tinggi dan daya produksi tinggi (Ditjen Perikanan, 1990). Komposisi kimia ikan kembung segar disajikan pada Tabel 4. Klasifikasi ikan kembung adalah sebagai berikut:
Gambar 6. Ikan Kembung (Rastrelliger neglectus)
Kingdom : Animalia Fillum : Chordata Kelas : Pisces
Ordo : Percommorphy Famili : Scomberidae
Genus : Rastrelliger
21 Tabel 4. Komposisi kimia Ikan Kembung Segar
Sumber: Yuzuv, 2009.
2.4.1 Karakteristik Mutu Ikan
Proses perubahan pada ikan setelah mati terjadi karena aktivitas enzim, mikroorganisme, dan kimiawi yang menyebabkan kesegaran ikan menurun. Hal ini terlihat dengan adanya perubahan fisik, kimia, dan organoleptik pada ikan. Setelah ikan mati, berbagai proses perubahan fisik, kimia dan organoleptik berlangsung dengan cepat. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah pada pembusukan. Urutan proses yang terjadi pada ikan setelah mati meliputi perubahan prarigormortis, rigormortis, aktivitas enzim, aktivitas mikroba, dan oksidasi.
Perubahan prarigormortis merupakan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit. Lendir ini sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri.
Perubahan rigormortis merupakan akibat dari suatu rangkaian perubahan kimia yang kompleks di dalam otot ikan setelah ikan mati. Setelah ikan mati, sirkulasi darah berhenti dan oksigen yang masuk berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan ini menyebabkan pH tubuh ikan menurun diikuti dengan penurunan jumlah Adenosin Trifosfat (ATP) serta
22 ketidakmampuan jaringan otot mempertahankan kekenyalannya. Kondisi inilah yang dikenal dengan istilah rigormortis.
Waktu yang diperlukan ikan untuk masuk dan melewati fase rigormortis ini tergantung pada spesies dan ukuran ikan, kondisi fisik ikan, cara penangkapan ikan, cara penanganan setelah penangkapan dan suhu selama penyimpanan.
Pada fase rigormortis pH tubuh ikan menurun menjadi 6,2-6,6 dari pH awal 6,9-7,2. Tinggi rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga pada daging ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat, TMAO dan basa-basa menguap. Setelah fase rigormortis berakhir dan pembusukan bakteri berlangsung maka pH daging ikan naik mendekati netral hingga 7,5-8 atau lebih tinggi jika pembusukan telah sangat parah. Tingkat keparahan pembusukan disebabkan oleh kadar senyawa-senyawa yang bersifat basa. Pada kondisi ini, pH ikan naik dengan perlahan-lahan dan semakin banyak senyawa basa yang terbentuk akan semakin mempercepat kenaikan pH ikan. Proses rigormortis dikehendaki selama mungkin karena proses ini dapat menghambat proses penurunan mutu oleh aksi mikroba. Semakin singkat proses rigormortis pada ikan maka semakin cepat ikan membusuk.
a. Karakteristik Fisiko Kimia
23 bentuk karbohidrat (glikogen), lemak dan protein. Bila energi digunakan maka tubuh akan kehilangan karbohidrat, lemak dan protein. Meskipun terjadi pengurangan bobot, namun kalau diperhatikan, ukuran tubuh ikan tidak berubah menjadi lebih kecil. Ini berarti ada senyawa lain yang menggantikan tempat karbohidrat, lemak dan protein sehingga ukuran ikan tidak berubah.
b. Karakteristik Mikrobiologis
24 c. Karakteristik Sensori (Organoleptik)
Kenampakan, aroma, tekstur dan cita rasa merupakan karakter organoleptik yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat kesegaran hasil perikanan. Aroma suatu produk bahan pangan sangat berperan penting dalam penilaian panelis karena memberikan hasil penilaian disukai atau tidak disukai produk tersebut.
Penilaian rasa merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan keputusan akhir konsumen untuk menerima atau menolak suatu makanan (Soekarto, 1985). Selama penyimpanan, produk hasil perikanan juga mengalami oksidasi asam lemak tidak jenuh yang dapat menyebabkan penurunan cita rasa. Menurut Winarno (1991), selama oksidasi akan terbentuk komponen-komponen (keton, alkohol, hidrokarbon, asam dan epoksi) yang dapat menimbulkan rasa yang tidak enak. Perubahan rasa produk hasil perikanan diduga merupakan akibat dari oksidasi lemak maupun adanya senyawa nitrogen larut seperti asam-asam amino, TMA, TMAO, anserin dan lainnya yang dapat menyuguhkan rasa.
25 yang dihasilkan. Tekstur daging pindang selama penyimpanan akan berubah dari padat dan kompak menjadi agak berair dan rapuh. Hal tersebut disebabkan oleh aktivitas bakteri yang mengakibatkan kerusakan pada komponen penyusun jaringan pengikat sehingga tidak ada lagi kekuatan yang menopang struktur daging dengan kompak. Hal tersebut dapat menyebabkan terlepasnya ikatan hidrogen pada air sehingga terbentuknya air bebas, protein akan kehilangan kelenturannya dan daging menjadi lunak (Hadiwiyoto, 1993).
26 Tabel 5. Persyaratan Mutu dan Keamanan Pangan
Jenis uji Satuan Persyaratan
a. Organoleptik Angka (1-9) Minimal 7
b. Cemaran Mikroba
2.5 Penggunaan Serbuk Gergaji pada Teknologi Penanganan Ikan Hidup
Kayu adalah bagian xylem dari pohon yang tersusun dari berbagai macam sel kayu. Sel kayu terdiri dari bagian dinding sel dan rongga sel. Menurut Panshin dan de Zeuw (1978), sel kayu tersusun dari komponen-komponen yang berbeda jumlah, sifat fisik, kimia dan mekaniknya. Proporsi komponen dan sifat-sifat kimia kayu sangat bervariasi tergantung umur kayu, jenis kayu dan posisi kayu di dalam pohon. Komponen penyusun kayu terdiri dari :
a) Komponen Penyusun Dinding Sel Kayu
27 paling bermanfaat dari kayu. Jumlah zat selulosa mayoritas 40%, hemiselulosa sekitar 23% dan lignin kurang dari 3 %.
Lignin merupakan zat yang keras, lengket, kaku dan mudah mengalami oksidasi. Lignin dibutuhkan pada kayu dengan tujuan konstruksi karena dapat meningkatkan kekerasan/kekuatan kayu tetapi tidak dibutuhkan dalam industri kertas karena lignin sangat sukar dibuang dan membuat kertas jadi kecoklatan karena sifat aslinya dan pengaruh oksidasi.
Selulosa tersusun atas alfa, beta dan gamma selulosa. Selulosa paling besar terdapat pada jenis kapas dan rami yaitu sekitar 97%. Pada bahan pulp, selulosa paling sedikit dijumpai yaitu 30%. Lignin banyak terdapat pada kelompok kayu daun jarum yaitu di atas 26% sedangkan pada kayu daun lebar biasanya kurang dari 26%. Pada kayu bengkok/condong atau banyak cabang besar, kandungan lignin dalam kayu umumnya meningkat hampir 5%.
b)Komponen Pengisi Rongga Sel Kayu
Zat pengisi rongga sel kayu sering disebut dengan komponen ekstranous, yang sebagian besar diisi oleh zat ekstraktif. Zat ekstraktif merupakan kumpulan banyak zat seperti gula, tepung/pati, tanin, resin, pektin, zat warna kayu, asam-asam, minyak-minyak, lemak dalam kayu dan sebagainya.
28 kayu, karung goni dan pasir, dan ternyata serbuk gergaji merupakan penghambat panas terbaik (Suryaningrum et al.,2001).
29 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2008 sampai dengan Februari 2009. Seluruh percobaan dan analisis dilakukan di Laboratorium Pengolahan Produk, Laboratorium Kimia, Laboratorium Bioteknologi dan Laboratorium Mikrobiologi pada Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBRP2BKP), Jl. K.S Tubun Petamburan VI Jakarta.
3.2 Alat Dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah labu ukur 100 mL, gelas piala 500 mL, Erlenmeyer 250 mL, corong, labu destruksi, labu bulat, pipet volume, pipet tetes, timbangan analitik, alat destruksi, alat analisis protein “Kjeltec”, extractor soxhlet, desikator, food processor, shaker incubator,
inkubator 37°C, pH meter, handblender, oven, tanur, autoklaf, cawan porselein, cawan Conway, cawan petri, biuret, hot plate, spatula, kain kasa, paper disk Whatmann no.1 diameter 6 mm, Laminar Air Flow, batang gelas L, vortex, colony counter, spidol, pembakar spiritus, alat pencungkil, pisau, papan irisan, keranjang
plastik, ember, bak penampung, kain lap, plastik steril, kertas timbang, kertas saring, piring, garpu makan dan nampan.
30 Pejompongan, Jakarta Barat; ikan kembung segar yang diperoleh dari tempat pelelangan ikan Muara Angke; isolat bakteri (Micrococcus luteus, Staphylococcus aureus, Alcaligenes eutrophus, dan Enterobacter aerogenes) yang diperoleh dari
Laboratorium Mikrobiologi BBRP2BKP; larutan H2SO4 pekat; larutan H3BO3
1%; larutan HCl 0,014N; larutan KMnO4 0,1N; larutan TCA 5%; larutan Na2CO3;
larutan CaCO3; larutan NaCl; larutan kloroform; larutan gelatin; aquades; alkohol
teknis 96%; larutan garam asam 30%; larutan indigocarmine; batu didih; garam Kjeldahl; kaolin; medium Plate Count Agar (PCA); medium Mueller Hinton; medium Nutrient Agar (NA); medium Nutrient Broth dan butterfield’s phosphate buffered.
3.3 Prosedur Kerja
Penelitian ini terdiri dari 2 tahap yaitu pembuatan bubuk picung dan aplikasi bubuk picung pada ikan (Gambar 7). Tahap pendahuluan bertujuan untuk memproduksi bubuk picung yang disertai uji daya hambat antibakteri. Selanjutnya tahap aplikasi bubuk picung pada ikan kembung dilanjutkan dengan analisis kimia, mikrobiologis dan organoleptik ikan (Tabel 3). Analisis kimia meliputi kadar protein, kadar lemak, kadar abu, kadar air, kadar TVB (Total Volatil Base) dan kadar pH. Uji mikrobiologis meliputi penghitungan bakteri dengan metode plate count. Uji organoleptik meliputi parameter mata, daging, konsistensi, bau
31 3.3.1 Ekstraksi Biji Picung dan Pembuatan Bubuk Picung
Picung segar yang telah dicacah dengan menggunakan food processor selanjutnya dimaserasi (100 g picung dilarutkan dalam 300 mL pelarut) selama 2 hari dengan tiga jenis pelarut (air, etanol 50% dan etanol 80%) menggunakan shaker incubator pada suhu 25,7ºC dan kecepatan 121 rpm.
Setelah proses maserasi selesai dilanjutkan dengan proses penyaringan sampai diperoleh ekstrak picung. Selanjutnya setiap 100 mL ekstrak picung dicampur dengan 70 g serbuk gergaji yang sebelumnya telah dicuci dan disterilisasi, lalu dikeringkan menggunakan oven suhu 40ºC, yang selanjutnya disebut sebagai bubuk picung. Bubuk picung yang dihasilkan lalu diaplikasikan sebagai bahan pengawet ikan kembung segar dan diuji daya hambat antibakterinya.
3.3.2 Aplikasi Bubuk Picung pada Ikan Kembung Segar
32 Tabel 6. Prosedur Kerja Analisis yang Dilakukan Pada Tahap Aplikasi
Pengamatan
Keterangan: √ adalah analisis yang dilakukan pada masing-masing pengamatan
Ikan kembung dibuang isi perut dan insangnya, dicuci bersih lalu ditiriskan selanjutnya ditimbang sesuai kebutuhan. Bubuk picung ditimbang sesuai dengan kebutuhan. Bubuk picung yang diaplikasikan adalah 3% dan 6% (b/b) dari berat ikan. Bubuk picung yang telah ditimbang sebagian dilumurkan pada seluruh permukaan ikan dan sebagian lagi dimasukkan ke dalam isi perut ikan kembung segar. Ikan yang sudah diberi bubuk picung disimpan pada suhu kamar dengan cara meletakkannya dalam keranjang plastik yang ditutup dengan lap basah untuk menjaga kelembabannya. Sebagai kontrol negatif adalah ikan segar tanpa perlakuan apapun dan kontrol positif adalah ikan segar yang telah dilumuri dengan serbuk gergaji kering steril yang tidak mengandung ekstrak picung. Seluruh analisis dilakukan menggunakan 3 kali ulangan.
3.3.2.1 Analisis Kimia
3.3.2.1.1 Kadar Protein dengan Metode Total Nitrogen “Kjeltec” pada
Produk Perikanan
33 destruksi. Sebanyak ± 1 g garam Kjeldahl serta beberapa butir batu didih dan 10 mL H2SO4 pekat (95–97%) ditambahkan ke dalam labu destruksi . Selanjutnya
didestruksi pada suhu 410°C selama ± 2 jam atau sampai larutan jernih lalu didiamkan hingga mencapai suhu kamar. Kemudian larutan contoh hasil destruksi dianalisis kadar proteinnya dengan alat Kjeltec. Pengujian kadar protein dengan metode total nitrogen sesuai dengan SNI 01-2354.4-2006.
3.3.2.1.2 Kadar Lemak Total pada Produk Perikanan
Labu alas bulat kosong ditimbang (A g). Sebanyak ± 1 g homogenat contoh ditimbang (B g) dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak. Selanjutnya 150 mL kloroform dimasukkan ke dalam labu alas bulat, selongsong lemak dimasukkan ke dalam ekstraktor soxhlet dan dipasang rangkaian soxhlet dengan benar. Ekstraksi dilakukan pada suhu 600°C selama 6 jam. Campuran lemak dan kloroform dievaporasikan dalam labu alas bulat sampai kering. Labu alas bulat yang berisi lemak dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105°C selama ± 2 jam untuk menghilangkan sisa kloroform dan uap air. Labu dan lemak didinginkan di dalam desikator selama 30 menit. Labu alas bulat yang berisi lemak ditimbang (C g) sampai berat konstan. Pengujian kadar lemak total sesuai dengan SNI 01-2354.3-2006.
Perhitungan:
(C – A) B
34 3.3.2.1.3 Kadar Air
Oven dikondisikan pada suhu yang akan digunakan hingga mencapai kondisi stabil. Cawan kosong dimasukkan ke dalam oven minimal 2 jam. Cawan kosong dipindahkan ke dalam desikator sekitar 30 menit sampai mencapai suhu ruang dan ditimbang bobot kosong (A g). Sebanyak ± 1 g contoh ditimbang ke dalam cawan (B g). Cawan yang telah berisi contoh dimasukkan ke dalam oven suhu 105°C selama 16-24 jam. Cawan dipindahkan ke dalam desikator selama ± 30 menit kemudian ditimbang (C g). Pengujian kadar air sesuai dengan SNI 01-2354.2-2006.
Perhitungan:
3.3.2.1.4 Kadar Abu
35 3.3.2.1.5 Kadar Total Volatile Base (TVB) Metode Conway
Sebanyak 15 g contoh ditimbang lalu ditambah dengan 45 mL larutan TCA (Tri Chloro Acetic Acid) 7,5% kemudian dihomogenkan selama 2 menit selanjutnya disaring hingga diperoleh filtrat yang jernih. Dipipet 1 mL larutan asam borat 1 %, dimasukkan ke dalam inner chamber cawan Conway. Dengan pipet lain, 1 mL filtrat dimasukkan ke dalam outer chamber dan pada sisi yang berlawanan dari ruangan luar, 1 mL larutan kalium karbonat dimasukkan pada sisi yang lain, pada kondisi ini kedua larutan pada outer chamber belum bercampur sehingga posisi cawan Conway harus dimiringkan. Bagian pinggir dari cawan Conway dan penutupnya ditetesi dengan sedikit larutan kalium karbonat sehingga
diperoleh penutupan yang rapat. Setelah cawan ditutup, kedua larutan yang terdapat dalam kedua sisi outer chamber cawan Conway dicampur hati-hati selama 1 menit. Setiap kali mengerjakan sampel, dikerjakan pula blanko yaitu filtrat diganti dengan larutan TCA 5 %. Semua cawan Conway yang telah disiapkan di atas, diinkubasikan selama 2 jam pada suhu 35°C atau semalam bila diletakkan pada suhu kamar. Selesai inkubasi, asam borat pada inner chamber dari cawan blanko dititrasi lebih dahulu dengan larutan HCl 0,014N hingga warna larutan asam borat berubah menjadi merah muda (pink). Selanjutnya berturut-turut larutan asam borat pada cawan Conway contoh dititrasi sampai diperoleh warna merah muda yang sama dengan warna merah muda pada cawan Conway blanko.
Perhitungan:
36 3.3.2.1.6 Pengukuran pH
Nilai pH diukur dengan alat pH meter pada suhu 25°C. Cara kerjanya adalah 15 g contoh yang sudah dihaluskan dilarutkan dalam 30 mL aquades dalam erlenmeyer, kemudian elektroda dicelupkan ke dalam larutan contoh. Nilai pH dibaca pada layar. Elektroda harus dibilas aquades setiap kali akan dilakukan pengukuran contoh berikutnya.
3.3.2.2 Uji Mikrobiologis
3.3.2.2.1 Penghitungan Bakteri dengan Metode Plate Count
Media yang digunakan adalah PCA (Plate Count Agar), caranya dengan melarutkan 23,5 g bubuk PCA dalam 100 mL air destilasi di dalam labu erlenmeyer ukuran besar. Larutan tersebut kemudian disterilkan dalam autoklaf selama 15 menit pada tekanan 1 atm dan suhu 121°C. Setelah disterilisasi suhu media dipertahankan pada 45-55°C dalam oven.
Dengan menerapkan teknis aseptis, diambil contoh secara acak dan dipotong kecil-kecil hingga beratnya mencapai 10 g dan dimasukkan ke dalam 90 mL larutan butterfield’s phosphate buffered, dihomogenkan selama 2 menit. Homogenat ini merupakan larutan pengencer 10-1. Dengan menggunakan pipet steril, 1 mL homogenat di atas diambil dan dimasukkan ke dalam 9 mL larutan
butterfield’s phosphate buffered untuk mendapatkan pengenceran 10-2.
37 sama dilakukan untuk pengenceran 10-4, 10-5 dan seterusnya sesuai dengan kondisi contoh.
Sebanyak 1 mL dari setiap pengenceran 10-1, 10-2 dan seterusnya dipipet lalu dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Setiap pengenceran dilakukan secara duplo. Selanjutnya ditambahkan 12-15 mL PCA yang sudah didinginkan sampai suhu 45°C ke dalam masing-masing cawan yang sudah berisi contoh. Supaya contoh dan media PCA tercampur sempurna dilakukan pemutaran cawan. Setelah agar menjadi padat, cawan-cawan tersebut diinkubasi dalam posisi terbalik selama 48 jam pada suhu 35°C.
Cara perhitungan dipilih cawan petri yang mempunyai koloni antara 30– 300 buah. Jika perbandingan antara hasil tertinggi dan terendah dari kedua pengenceran yang berurutan kurang dari 2, maka nilai yang diambil adalah rata-rata dari kedua nilai tersebut dengan memperhatikan pengencerannya. Jika hasil perbandingannya lebih dari 2, maka diambil hasil pengenceran yang terendah atau terkecil.
3.3.2.3 Uji Organoleptik
38 semua produk yang dihasilkan. Contoh scoresheet terdapat pada Lampiran 1. Pengujian organoleptik sesuai dengan SNI 01-2346-1991.
3.3.3Uji Daya Hambat Bakteri
a)Pembuatan Ekstrak Picung
Sebanyak 1 g bubuk picung yang telah didapatkan dari uji pendahuluan dilarutkan dalam 7 mL aquades kemudian dihomogenkan.
b)Penyiapan Bakteri Uji
Bakteri Micrococcus luteus, Staphylococcus aureus, Alcaligenes eutrophus, dan Enterobacter aerogenes ditumbuhkan pada medium Nutrient Agar
miring selama 24 jam pada suhu 37°C, kemudian diambil satu ose bakteri dan ditumbuhkan dalam tabung reaksi 35 mL yang berisi 20 mL media Nutrient Broth, diinkubasi pada shaker water bath dengan kecepatan 160 rpm selama 24 jam pada suhu 37°C, kemudian tabung yang berisi suspensi bakteri di kocok dan diukur kerapatan optik (OD) nya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang (λ) 600 nm sehingga diperoleh absorbansi (A) 0,5-0,6.
c) Pengujian Antibakteri
39 cakram yang mengandung ekstrak picung dengan perlakuan yang berbeda. Daerah hambat diukur berdasarkan diameter zona bening yang terbentuk di sekitar kertas cakram. Pengulangan dilakukan sebanyak tiga kali.
d)Penentuan Aktivitas Antibakteri
Aktivitas senyawa antibakteri ekstrak picung dinyatakan berdasarkan zona hambat yang dihasilkan. Aktivitas tersebut dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu aktivitas lemah (< 5 mm), sedang (5-10 mm), kuat (11-20 mm) dan sangat kuat (21-30 mm).
3.3.4 Analisis Data
Analisis statistika dilakukan menggunakan program SPSS versi 13,0. Rancangan percobaan yang digunakan untuk hasil analisis kimia dan mikrobiologi adalah rancangan acak lengkap dengan tiga kali ulangan. Data yang diperoleh terlebih dahulu di uji sebaran normalnya. Selanjutnya analisis data dilakukan menggunakan uji One-Way dan Two-Way Anova. Uji ini digunakan untuk menguji pengaruh suatu variabel terhadap rata-rata variabel dependent pada berbagai kelompok.
40
Penyimpanan ikan pada suhu ruang
*Aplikasi bubuk picung perlakuan:
1. Ikan segar tanpa perlakuan (kontrol negatif)
2. Ikan segar + serbuk gergaji (kontrol positif)
3. Ekstrak aquades, picung 3% 4. Ekstrak aquades, picung 6% 5. Ekstrak etanol 50%, picung 3% 6. Ekstrak etanol 50%, picung 6% 7. Ekstrak etanol 80%, picung 3% 8. Ekstrak etanol 80%, picung 6% Analisis dilakukan setiap 6 jam selama 24 jam:
kimia (kadar air, pH, TVB) mikrobiologi (TPC)
organoleptik (mata, daging, konsistensi, bau, rasa)
Gambar 7. Bagan Alir Pembuatan dan Aplikasi Bubuk Picung Sebagai Pengawet pada Ikan Kembung Segar
Endapan Disaring
Dikocok, suhu 25,7 oC, kecepatan 121 rpm selama 2x24 jam Maserasi biji picung
+
(aquades, etanol 50%, etanol 80 % perbandingan 1:3)
Filtrat
41 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Fisiko Kimia Ikan Kembung yang diawetkan dengan
Bubuk Picung
4.1.1 Kadar Air Ikan Kembung
Hasil analisis kadar air ikan kembung yang diawetkan dengan bubuk picung dapat dilihat pada Gambar 8, 9 dan 10.
Gambar 8. Hasil Analisis Kadar Air Ikan Kembung yang diawetkan dengan Bubuk Picung Perlakuan Ekstrak Aquades (%)
Gambar 9. Hasil Analisis Kadar Air Ikan Kembung yang diawetkan dengan Bubuk Picung Perlakuan Ekstrak Etanol 50% (%)
42 Gambar 10. Hasil Analisis Kadar Air Ikan Kembung yang diawetkan dengan
Bubuk Picung Perlakuan Ekstrak Etanol 80% (%)
Berdasarkan data pada Gambar 8 dapat diketahui bahwa nilai kadar air pada kontrol lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kadar air perlakuan. Hal ini terlihat pada pengamatan jam ke 6 dan 12. Dari gambar tersebut juga terlihat kestabilan bubuk picung perlakuan ekstrak aquades picung 6% dalam mempertahankan nilai kadar air ikan kembung.
Hasil pada Gambar 9 juga menunjukkan trend yang sama, nilai kadar air kontrol tetap lebih tinggi dibandingkan perlakuan terutama pada jam ke 6 dan 12. Kestabilan nilai kadar air pada Gambar 9 terlihat pada bubuk picung perlakuan ekstrak etanol 50% picung 3%. Trend yang serupa juga terlihat pada Gambar 10. Kestabilan nilai kadar air ikan kembung yang diawetkan dengan bubuk picung terlihat pada perlakuan ekstrak etanol 80% picung 3%.
43 kontrol berada pada subset 2. Data sidik ragam kadar air dapat dilihat pada Lampiran 2. Hal ini menunjukkan penambahan bubuk picung mampu menjaga kestabilan kadar air ikan kembung sehingga nilainya lebih rendah dibandingkan kontrol. Dengan demikian nilai kadar air ikan kembung yang rendah mempengaruhi keawetan ikan kembung.
Kandungan air dalam bahan makanan dapat menentukan kesegaran dan daya tahan bahan makanan tersebut. Hal ini sesuai dengan Apriantono (1989) bahwa ikan mengandung air yang cukup tinggi sehingga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan bakteri pembusuk dan mikroorganisme lain. Dengan demikian rendahnya nilai kadar air pada berbagai perlakuan menunjukkan efektivitas bubuk picung sebagai pengawet karena mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada ikan. Pada kondisi ini, air yang terdapat dalam jaringan daging ikan diduga dapat diserap oleh bubuk picung.
Berdasarkan data pengamatan menunjukkan bahwa bubuk picung perlakuan ekstrak etanol 50% picung 3% (b/b) merupakan perlakuan yang lebih unggul dibandingkan dengan perlakuan lainnya dalam hal menjaga kestabilan nilai kadar air pada ikan. Kestabilan nilai kadar air ini terlihat mulai dari pengamatan jam ke 0, 6, 12 dan terus menurun pada pengamatan jam ke 18 hingga jam ke 24. Nilai kadar air tersebut secara berturut-turut adalah 77,44%, 77,18%, 77,36%, 76,88% dan 76,80%.
4.1.2 Perubahan pH Ikan Kembung
44 Gambar 11. Hasil Analisis pH Ikan Kembung yang diawetkan dengan Bubuk
Picung Perlakuan Ekstrak Aquades
Gambar 12. Hasil Analisis pH Ikan Kembung yang Diawetkan dengan Bubuk Picung Perlakuan Ekstrak Etanol 50%
45 Hasil analisis pH ikan kembung segar dengan penambahan bubuk picung pada semua perlakuan berkisar antara 6,64–7,04. Nilai pH ikan kembung segar pada kontrol negatif berkisar antara 6,97–7 dan untuk kontrol positif nilai pH ikan berkisar antara 6,94–7,24. Berdasarkan data yang diperoleh terlihat bahwa semakin lama waktu pengamatan ada kecenderungan penurunan nilai pH ikan kembung. Penambahan bubuk picung pada ikan kembung segar memberikan pengaruh terhadap penurunan nilai pH ikan dibandingkan dengan nilai pH ikan pada kontrol.
Pada kontrol nilai pH ikan terus meningkat karena peran serta mikroorganisme yang dapat memecah senyawa organik seperti protein, lemak, gula atau senyawa anorganik yang secara alamiah ada dalam ikan. Hal tersebut dapat mengakibatkan kenaikan pH (pH normal) yang cukup memungkinkan tumbuhnya spesies bakteri pembusuk yang sebelumnya terhambat pertumbuhannya (Buckle et al.,1987). Sedangkan ikan dengan penambahan bubuk picung nilai pH ikan terus mengalami penurunan dikarenakan pertumbuhan bakteri pembusuk ikan dihambat oleh senyawa antibakteri yang terdapat pada biji picung. Hal ini menunjukkan efektivitas bubuk picung sebagai pengawet.
46 lainnya. Pada pengamatan jam ke 0 dan ke 6 diperoleh nilai pH ikan 6,92 kemudian menjadi 6,93 pada pengamatan jam ke 12 selanjutnya mengalami penurunan pada pengamatan jam ke 18 yaitu 6,68 dan bertahan pada pH 6,73 di akhir pengamatan.
Berdasarkan data pengamatan terlihat bahwa semakin lama waktu pengamatan maka nilai pH cenderung meningkat hingga pengamatan jam ke 12 lalu kembali menurun pada akhir pengamatan. Dari data pengamatan nilai pH menunjukkan bahwa penyerapan bubuk picung ke dalam jaringan ikan kembung memerlukan waktu agak lama sehingga efek pengawetan baru terlihat setelah pengamatan jam ke 12. Hal inilah yang menyebabkan nilai pH ikan kembung berbagai perlakuan lebih rendah pada akhir pengamatan jika dibandingkan dengan nilai pH ikan kembung pada awal pengamatan.
4.1.3 Hasil Analisis TVB Ikan Kembung
Hasil analisis TVB ikan kembung yang diawetkan dengan bubuk picung dapat dilihat pada Gambar 14, 15 dan 16.
47 Gambar 15. Hasil Analisis TVB Ikan Kembung yang diawetkan dengan Bubuk
Picung Perlakuan Ekstrak Etanol 50% (mgN%)
Gambar 16. Hasil Analisis TVB Ikan Kembung yang diawetkan dengan Bubuk Picung Perlakuan Ekstrak Etanol 80% (mgN%)
Nilai TVB ikan kembung dengan penambahan bubuk picung pada pengamatan 0 jam berkisar antara 8-11 mgN%, pada pengamatan jam ke 6 berkisar antara 14-17 mgN%, pada pengamatan jam ke 12 berkisar antara 37-41 mgN%, pada pengamatan jam ke 18 berkisar antara 47–53 mgN% dan pada pengamatan jam ke 24 berkisar antara 105–109 mgN%.
Total Volatile Base (TVB) terbentuk dalam otot jaringan ikan dengan
48 mutu produk-produk perikanan, khususnya ikan segar. Selama berlangsungnya proses kemunduran mutu ikan, protein diuraikan oleh bakteri-bakteri pembusuk menjadi senyawa-senyawa nitrogen yang lebih sederhana seperti TMA (trimetilamin), DMA (dimetilamin), ammoniak, aldehid dan keton. TMA, DMA dan ammoniak merupakan bagian terbesar dari TVB (Zaitsev et al.,1969). Keadaan dan jumlah kadar TVB tergantung kepada mutu kesegaran ikan, makin mundur mutu ikan maka kadar TVB semakin meningkat jumlahnya.
Semakin lama waktu pengamatan maka nilai TVB semakin meningkat akibat aktivitas mikroba dan enzim yang menimbulkan proses pemecahan protein daging dengan pembentukan pepton dan asam amino serta senyawa-senyawa basa volatil yang mengandung nitrogen (Soediyono et al.,1996). Berdasarkan data yang diperoleh pada Gambar 14, 15 dan 16 terlihat bahwa nilai TVB ikan kembung pada kontrol maupun berbagai perlakuan nilainya terus mengalami peningkatan mulai dari awal hingga akhir pengamatan. Fenomena ini menunjukkan efektivitas bubuk picung sebagai pengawet tidak terlihat pada hasil analisis TVB.
Hal yang sama juga terlihat dari hasil analisis data sidik ragam yang tidak menunjukkan adanya perbedaan nilai TVB pada berbagai perlakuan dengan nilai signifikansi (α) > 0,05. Hasil analisis data sidik ragam hanya menunjukkan adanya
perbedaan perlakuan terhadap waktu pengamatan. Data sidik ragam nilai TVB dapat dilihat pada Lampiran 2.
49 kembung terus mengalami kenaikan menunjukkan bahwa kesegaran ikan terus menurun. Hal ini disebabkan oleh tingginya jumlah bakteri proteolitik pada ikan sehingga menyebabkan terurainya pada ikan sehingga menyebabkan terurainya protein dalam tubuh ikan menjadi senyawa yang menghasilkan bau yang tidak enak, seperti indol, skatol, hidrogen sulfida, metilanin, asam propionate butirat, laktat dan asam-asam lemak yang menguap lainnya (Ketaren, 1986).
4.1.4 Hasil Analisis Tanin
Kandungan tanin tidak ditemukan dengan menggunakan metode Lowenthal-Procter. Analisis kadar tanin pada pengamatan jam ke 0 dan 24 setelah ikan kembung segar dilumuri dengan bubuk picung menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya tanin pada jaringan ikan kembung tersebut. Asumsi awal yang mendasari pengujian kadar tanin pada awal dan akhir pengamatan adalah pada pengamatan jam ke 0 yang merupakan titik awal pengamatan diyakini mampu memberikan informasi awal jumlah tanin yang terserap dalam jaringan ikan selanjutnya pada pengamatan jam ke 6, 12 dan 18 diduga jumlah tanin yang terserap dalam jaringan ikan akan terus meningkat jumlahnya. Sedangkan kadar tanin pada pengamatan jam ke 24 yang merupakan titik akhir pengamatan diyakini jumlah tanin akan terus berkurang seiring dengan indikasi kebusukan ikan yang terlihat. Namun pada kenyataannya asumsi tersebut tidak dapat dibuktikan karena tidak terdeteksinya kadar tanin dengan metode pengujian yang digunakan.
50 (2006) yang menyatakan bahwa kandungan bahan aktif tanin pada daging biji picung segar adalah sebesar 16,0 ppm. Namun demikian Manitto (1992) dalam Sarkono (2002) menyatakan bahwa picung yang digunakan untuk mengawetkan ikan, dimana picung yang digunakan telah dijemur selama 2-3 hari tanpa mengalami proses fermentasi mempunyai kadar tanin tertinggi yaitu sebesar 2,27 %. Faktor lainnya yang diduga berpengaruh adalah proses ekstraksi yang belum optimal memisahkan komponen senyawa aktif pada biji picung yang berpotensi sebagai antibakteri.
4.2 Karakteristik Mikrobiologi Ikan Kembung yang diawetkan dengan
Bubuk Picung
4.2.1 Hasil Analisis Total Plate Count (TPC) Ikan Kembung
Hasil analisis TPC ikan kembung yang diawetkan dengan bubuk picung ditampilkan pada Tabel 7.
51 Efektivitas bubuk picung tidak terlihat berdasarkan hasil analisis TPC. Hal ini dikarenakan laju pertumbuhan mikroba yang cepat tidak dapat dihambat oleh senyawa antimikroba dalam jumlah kecil. Dengan demikian nilai TPC terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan mikroba. Tanin sebagai senyawa antimikroba yang terdapat pada biji picung idealnya mampu menghambat pertumbuhan mikroba dengan cara merusak dinding sel bakteri sehingga mengakibatkan lisis atau menghambat pembentukan dinding sel pada sel yang sedang tumbuh, mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien dari dalam sel (Pelczar dan Reid, 1979).
Tanin merupakan salah satu senyawa antimikroba yang terdapat dalam biji picung sehingga mampu memberikan efek pengawet pada bahan makanan dengan cara mengontrol pertumbuhan mikroorganisme dengan cara memusnahkan seluruh atau sebagian mikroorganisme (Brannen dan Davidson, 1993). Kemampuan tanin sebagai senyawa antimikroba berkaitan dengan gugus-gugus fenolik yang dimilikinya pada ujung cincin benzen. Namun demikian kandungan tanin dalam jumlah kecil tidak mampu memberikan efek pengawet pada bahan makanan, dalam hal ini ikan kembung.
4.3 Karakteristik Organoleptik Ikan Kembung yang diawetkan dengan
Bubuk Picung
52 dan 6. Penilaian dilakukan berdasarkan skoring 5 hingga 9 dengan nilai tertinggi menunjukkan kondisi yang terbaik.
Berdasarkan hasil analisis ragam organoleptik (parameter mata, daging, konsistensi, bau dan rasa) ikan kembung menunjukkan nilai signifikansi (α) < 0,05 yang berarti bahwa ada perbedaan yang nyata pada mata, daging, konsistensi, bau dan rasa ikan kembung dengan penambahan bubuk picung pada berbagai perlakuan. Data hasil analisis ragam organoleptik ikan kembung selengkapnya ditampilkan pada Lampiran 3. Dengan demikian, secara umum penambahan bubuk picung mempengaruhi nilai organoleptik ikan kembung.
4.3.1 Mata Ikan Kembung
Hasil uji organoleptik ikan kembung semua perlakuan untuk parameter mata pada awal pengamatan memiliki mutu yang baik dengan nilai berkisar antara 7,6–8,6 secara deskriptif terletak pada kategori penilaian mata ikan berwarna cerah dengan bola mata menonjol/rata. Hasil uji organoleptik mata pada ikan kembung dengan penambahan bubuk picung dapat dilihat pada Tabel 8.
53 Berdasarkan penilaian panelis pada pengamatan jam ke 6 terlihat mata ikan kembung dengan penambahan bubuk picung perlakuan ekstrak aquades picung 6% (b/b) dan ekstrak etanol 80% picung 3% (b/b) memiliki nilai mutu tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya yaitu sebesar 6,6 dengan kategori penilaian mata ikan berwarna agak cerah dan bola mata rata.
Penilaian panelis pada pengamatan jam ke 12 menunjukkan bahwa mata ikan kembung kontrol positif dan negatif memiliki nilai mutu 5 yaitu bola mata agak cekung, pupil keabu-abuan sedangkan untuk perlakuan lainnya memiliki nilai mutu 6 dengan kategori penilaian bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan.
4.3.2 Daging Ikan Kembung
Hasil uji organoleptik daging ikan kembung dengan penambahan bubuk picung dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil Uji Organoleptik Daging Ikan Kembung yang diawetkan dengan
54 penampilan sayatan daging sangat cemerlang dengan kondisi perut utuh. Selanjutnya penilaian panelis pada pengamatan jam ke 6 dan 12 memberikan skor 5-5,6 yang menunjukkan penampilan sayatan daging mulai pudar, banyak pemerahan serta kondisi perut yang lembek.
Kondisi fisik daging ikan kembung dengan penambahan bubuk picung perlakuan ekstrak etanol 50% picung 6% (b/b) pada pengamatan jam ke 0 menyebabkan panelis memberikan skor 5,3 yang menunjukkan penampilan sayatan daging mulai pudar, banyak pemerahan serta kondisi perut yang lembek. Pada pengamatan jam ke 6 dan 12 panelis memberikan skor 6,8 dan 7 mewakili penampilan sayatan daging cemerlang dengan perut agak lembek. Berdasarkan data ini terlihat bahwa proses penurunan mutu ikan kembung dapat diperlambat dengan adanya penambahan bubuk picung.
4.3.3 Konsistensi Ikan Kembung
Secara umum konsistensi ikan kembung antara kontrol dengan perlakuan berbanding terbalik. Pada kontrol, semakin lama waktu pengamatan maka nilai yang diberikan panelis semakin rendah. Pada perlakuan, di titik awal pengamatan panelis cenderung memberikan nilai yang rendah namun nilai tersebut terus mengalami peningkatan pada pengamatan selanjutnya. Hasil uji organoleptik konsistensi pada ikan kembung segar dengan penambahan bubuk picung dapat dilihat pada Tabel 10.