DAN SELAMA PENYIMPANAN MAKANAN
PENDAMPING ASI BUBUK INSTAN
ASI PEBRINA CICILIA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Ketahanan Spora dan Sel
Vegetatif Bacillus cereus Terhadap Suhu Awal Preparasi dan Selama
Penyimpanan Makanan Pendamping ASI Bubuk Instan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2012
Asi Pebrina Cicilia
ASI PEBRINA CICILIA. Survival of Bacillus cereus spores and vegetative cell on water temperature during the preparation and storage of infant food instan
powder. Under direction of HARSI D. KUSUMANINGRUM, and
SULIANTARI.
Bacillus cereus is one of foodborne pathogenic bacteria and constituting one of ‘emerging’ pathogen that can cause serious disease in baby, such as low
body weight and neonatal premature. Data in Indonesia on B. cereus
contamination incidence in food are limited. This research aimed to evaluate the survival of B. cereus spores and vegetative cell in infant food (MP-ASI), during preparation at various water temperature (30,70, and 90 oC), to analyze the ability germination of B. cereus spores at room temperature and to evaluate the survival of B. cereus spores during storage of infant food instan powder. In addition, the microbiological quality of infant food instan powder i.e. total plate counts and the presence of B. cereus were also determined. The result showed that the average total B. cereus in sample were 1.85 log CFU /g with a range of 1.73 log CFU /g to 2.06 log CFU /g, the TPC was in range of 0.86 log CFU /g to 2.53 log CFU /g. The water temperature for preparation affected significantly in reduction of vegetative cell B. cereus. B. cereus spores can germinate in infant food (MP-ASI) and the growth of population bacteria were increase ≥ 1 log during 3 hours, at room temperature (28-29 oC), after preparation using water at 30 ⁰C. Water temperature of 70 °C found as the optimum temperature for preparation. The spore of B. cereus can survive on dry condition.
ASI PEBRINA CICILIA. Ketahanan Spora dan Sel Vegetatif Bacillus cereus
Terhadap Suhu Awal Preparasi dan Selama Penyimpanan Makanan Pendamping ASI Bubuk Instan. Dibimbing oleh HARSI D. KUSUMANINGRUM dan SULIANTARI.
Bacillus cereus merupakan salah satu bakteri patogen penyebab penyakit karena makanan (foodborne diseases). Bakteri ini umumnya ditemukan didalam tanah, material tanaman, jerami kering, makanan mentah dan matang, serta mampu membentuk enterotoksin komplek. Spesies Bacillus spp. memiliki kemampuan membentuk spora yang dorman secara metabolik, yang secara ekstrim resisten terhadap stress lingkungan, seperti panas, radiasi, dan bahan kimia toksik. Kondisi yang resisten menyebabkan spora spesies ini secara signifikan berperan sebagai agen pembusuk makanan dan penyebab penyakit gastrointestinal akibat pangan.
Produk MP-ASI yang beredar di Indonesia sangat beragam, baik buatan dalam negeri maupun luar negeri. Ada yang berbentuk biskuit, bubuk instan dan makanan siap untuk disantap dengan mutu yang beragam. Berdasarkan SNI No. 01-7111 Tahun 2005 Makanan Pendamping ASI terbagi menjadi 4 kelompok besar, yaitu : MP-ASI Biskuit, MP-ASI Bubuk Instan, MP-ASI Siap Santap dan MP-ASI Siap Masak.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengkaji ketahanan spora Bacillus cereus dan pertumbuhan sel vegetatif Bacillus cereus dalam MP-ASI bubuk instan, menganalisis pengaruh suhu air matang preparasi dan pengaruh lamanya penyimpanan MP-ASI bubuk instan terhadap kemampuan bertahan dan tumbuh spora Bacillus cereus. Selain itu, ada tujuan lain dari penelitian ini yaitu mengetahui kualitas mikrobiologi MP-ASI bubuk instan secara keseluruhan melalui pengujian total mikroba, mendeteksi dan mengevaluasi keberadaan
Bacillus cereus dalam MP-ASI bubuk instan.
Total mikroba dengan perlakuan pelarutan MP-ASI menggunakan suhu air preparasi 30⁰C menunjukkan rata-rata sebesar 1.93 CFU/g ± 0.66, dengan suhu air preparasi 70⁰C sebesar 1.54 CFU/g ± 0.92, dan pelarutan MP-ASI menggunakan suhu air 90⁰C menghasilkan rata-rata sebesar 1.47 CFU/g ± 0.86. Pada perlakuan pelarutan MP-ASI dengan suhu air preparasi 70⁰C dan 90⁰C, dari 6 sampel yang dianalisa terdapat 1 sampel yang tidak mengandung mikroba yaitu untuk sampel CR II, sedangkan pada perlakuan pelarutan MP-ASI menggunakan suhu air preparasi 30⁰C pada 6 sampel yang dianalisis tersebut ditemukan sejumlah mikroba dengan bentuk dan ukuran yang beragam. Hal ini mengindikasikan bahwa suhu air preparasi yang digunakan untuk pelarutan MP-ASI memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keberadaan dan jumlah mikroba yang terdapat pada MP-ASI bubuk Instan tersebut.
MP-ASI yang tidak mengandung Bacillus cereus yaitu CR I dan CR II. Kandungan Bacillus cereus pada MP-ASI bervariasi mulai dari 1.73 log CFU/g sampai 2.06 log CFU/g. Berdasarkan ketentuan FSANZ (2001), kandungan
Bacillus cereus untuk produk susu formula dan makanan bayi yang berbahan susu maksimal sebesar 2 log CFU/g produk. Jika dilihat dari ketentuan tersebut maka
Bacillus cereus yang ada pada produk MP-ASI yang diteliti masih dalam batas wajar dan dapat dikatakan aman untuk dikonsumsi dan didistribusikan.
MP-ASI yang dilarutkan dengan suhu air preparasi 30⁰C, menunjukkan kecenderungan peningkatan jumlah sel Bacillus cereus dari 2.14 menjadi 2.2 log cfu/g setelah dibiarkan pada suhu ruang selama 60 menit. Kecenderungan peningkatan jumlah sel Bacillus cereus tersebut juga ditemukan pada MP-ASI yang dilarutkan dengan air matang suhu 70⁰C dan suhu 90⁰C. Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh lamanya penyimpanan larutan MP-ASI pada suhu ruang terhadap pertumbuhan sel vegetatif Bacillus cereus, setelah dilakukan proses preparasi.
Perubahan jumlah bakteri terutama sel vegetatif Bacillus cereus setelah pelarutan MP-ASI meningkat secara nyata (α< 0.05). Uji Duncan menunjukkan bahwa perlakuan suhu air 30⁰C yang digunakan saat preparasi menghasilkan jumlah log cfu/g paling besar dan berbeda nyata dengan perlakuan suhu air 70⁰C dan perlakuan suhu air 90⁰C. Perlakuan suhu air berbeda nyata dengan waktu pengamatan, dimana pada menit ke-60 jumlah koloni yang diperoleh tinggi dan berbeda nyata dengan menit ke-0 dan menit ke-30. Spora mampu melakukan proses germinasi (spora berubah menjadi sel vegetatif) setelah diberi perlakuan suhu air yang berbeda dengan waktu generasi yang berbeda.
Jumlah bakteri Bacillus cereus mengalami peningkatan berbeda nayata selama penyimpanan (α<0.05). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, ternyata spora Bacillus cereus mampu bertahan dan tumbuh selama proses penyimpanan berlangsung. Spora Bacillus cereus mampu melakukan proses germinasi selama proses penyimpanan (8 minggu), pada suhu ruang (± 27⁰C) dengan kelembaban ruang sebesar > 70%. Spora tersebut mampu bertahan terhadap suhu air 70⁰C yang digunakan saat preparasi produk MP-ASI dan dapat bergerminasi menjadi sel vegetatif Bacillus cereus.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
DAN SELAMA PENYIMPANAN MAKANAN
PENDAMPING ASI BUBUK INSTAN
ASI PEBRINA CICILIA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Asi Pebrina Cicilia
NIM : F251080161
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum, M.Sc
Ketua Anggota
Dr. Dra. Suliantari, MS.
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr.Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat penulis selesaikan. Rangkaian kegiatan penelitian dan penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum, M.Sc. selaku ketua komisi
pembimbing dan Dr. Suliantari, MS. selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, kritik, saran, dan motivasi selama pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.
2. Dr. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. selaku ketua Program Studi Ilmu Pangan yang telah memberikan bimbingan dan motivasi selama mengikuti perkuliahan di Program Studi Ilmu Pangan.
3. Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP, DEA sebagai dosen penguji luar komisi pada ujian tesis yang telah memberikan, komentar, kritik dan saran yang berharga sebagai bentuk lain dari pembimbingan untuk kesempurnaan tesis ini.
4. Ayahanda Drs. Djanius Runting, M.Si, ibunda Dra. Aqsiwa Sandy, dan
Andrie Santoso Runting, SP atas motivasi, semangat, doa dan kasih sayang yang selalu diberikan kepada penulis dalam suka dan duka.
5. Yulius Triadi Limandra, ST atas perhatian, motivasi dan kasih sayang yang tulus terhadap penulis.
6. Staf laboratorium Southeast Asia Food and Agricultural Science and Technology Center (SEAFAST Center) IPB: Mbak Ari, Bu Sari, Pak Taufik dan Mas Yerris atas bantuannya selama pelaksanaan penelitian.
7. Teman-teman seperjuangan di Program Studi Ilmu Pangan, khususnya
sahabat-sahabat saya: Bu Triana, Bu Nurha, Bu Paini Sri, Mas Andi, Mas Zaki, Mas Wahyu, Mas Arief, Mas Isak, Mbak Devy, Mbak Yenni, Mas Zaim, Nono, Wanny Hamdani, Melina Sari, Tinna dan Riyanti.
8. Teman-teman perwira 4, khususnya sahabat-sahabat saya: Bude Endah, Mbak Prima, Kani, Marika Veraria, Mbak Dian, Mbak Dani, dan Risa.
9. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu atas dukungan dan doanya selama ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas budi baik Bapak/Ibu/Saudara/i semuanya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2012
Asi Pebrina Cicilia
Penulis dilahirkan di Palangka Raya pada tanggal 3 Pebruari 1985 sebagai anak ke dua dari ayah Djanius Runting dan ibu Aqsiwa Sandy. Penulis lulus dari SMU Negeri 1 Palangkaraya pada tahun 2002 dan melanjutkan pendidikan sarjana di Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan, Universitas Brawijaya Malang, dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2008, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan magister sains di Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti kepanitiaan dalam kegiatan yang diselenggarakan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), dan beberapa kali mengikuti berbagai kegiatan ilmiah dan seminar yang berkaitan dengan studi penulis. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master Sains, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Ketahanan Spora dan Sel Vegetatif Bacillus Cereus Terhadap Suhu Awal Preparasi dan
DAFTAR TABEL ………... Makanan Pendamping ASI ... Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI ... Jenis dan Bentuk Makanan Pendamping ASI ...
Bacillus cereus ………...
Fitting Model Pertumbuhan ……….. Kasus Cemaran Bacillus cereus pada Makanan Bayi ………...
METODOLOGI………... Waktu dan Tempat Penelitian ... Bahan dan Alat Penelitian ……….. Metodologi .……... Isolasi Bacillus cereus dan Analisis Total Mikroba pada Sampel Makanan Pendamping ASI……….. Evaluasi Pengaruh Suhu Preparasi dan Penyimpanan MP-ASI (bubuk
instan) terhadap Bacillus cereus ATCC 10876………..
Analisis pendugaan pertumbuhan Bacillus cereus pada produk MP-ASI dengan menggunakan model Baranyi……… Analisa Data………...
PEMBAHASAN ………... Total Mikroba pada Sampel Produk MP-ASI ……….. Pengaruh Suhu Air Preparasi terhadap Total Mikroba pada Sampel Produk MP-ASI………. Kandungan Bacillus cereus pada Sampel Produk MP-ASI ………… Pengaruh Suhu Air yang Digunakan Saat Preparasi MP-ASI
terhadap sel vegetatif Bacillus cereus ………
Pengaruh Suhu Air yang Digunakan Saat Preparasi MP-ASI terhadap
sel vegetatif Bacillus cereus ATCC 10867 ………..
Pengaruh Penyimpanan MP-ASI (bubuk Instan) terhadap spora
1. 2. 3.
4. 5. 6. 7.
Pola Pemberian Makanan Anak Balita ………. Jenis dan Bentuk MP-ASI yang Pertama Kali Diberikan ……… Standar Mikrobiologik Dalam Peraturan di Beberapa Negara/Lembaga yang Berhubungan Dengan Susu Formula dan Makanan Bayi
(dalam CFU) ……… Kondisi yang Diperlukan Bagi Pertumbuhan Bacillus cereus …………. Karakteristik Penting dari Group Species Bacillus cereus ………... Karakteristik penyakit akibat Bacillus cereus ……….. Kadar air dalam persen dan Aw produk MP-ASI………..
10 11
1.
Penampakan Bacillus cereus pada media MYP ………... Diagram alir proses penelitian ……….. Metode Tuang (Pour Plate Method) pada Metode Hitungan Cawan (Plate Count Method) ………... Skema Pengujian Sampel terhadap Bacillus cereus ATCC ..…………... Total mikroba produk MP-ASI setelah preparasi dengan menggunakan
suhu air preparasi 30o
Total Mikroba produk MP-ASI, setelah preparasi dengan 2 (70°C dan 90°C), suhu yang berbeda dilakukan sebanyak 3 kali ulangan………...
C, dilakukan sebanyak 3 kali ulangan………...
Berbagai bentuk dan ukuran koloni pada media PCA ……….. Pertumbuhan isolate Bacillus cereus dari MP-ASI pada media agar MYP………... Jumlah koloni Bacillus cereus pada produk MP-ASI, setelah di
preparasi dengan suhu 70°C……… Hasil perwarnaan gram positif terhadap bakteri yang diduga Bacillus cereus pada pembesaran 1000x ……… Hasil pewarnaan spora terhadap bakteri Bacillus cereus pada pembesaran 1000x ……… Tipe pertumbuhan pada medium motilitas setelah diinokulasi dengan
isolat Bacillus cereus ………...
Adanya gelembung udara menunjukkan Bacillus cereus katalase positif. Perubahan jumlah sel vegetatif Bacillus cereus alami pada produk PR II selama penyimpanan 1 jam pada suhu ruang, dengan suhu air preparasi
30⁰C, 70⁰C dan 90⁰C……….
Pola pertumbuhan Bacillus cereus alami pada produk B MP-ASI, pada suhu optimum pertumbuhan 30-40°C selama 24 jam dengan suhu air preparasi 70⁰C (♦ data eksperimen, — hasil fitting DMFit) …………. Perubahan jumlah sel vegetatif Bacillus cereus dengan penambahan spora sebesar 103
Perubahan jumlah sel vegetatif Bacillus cereus spora sebesar 2.5x10 , pada produk CR II selama penyimpanan 1 jam pada suhu ruang dengan suhu air preparasi 30⁰C, 70⁰C dan 90⁰C………….
4 15
, dengan proses penyimpanan MP-ASI produk CR II pada suhu ruang dengan lama pengamatan 60 menit dan suhu air preparasi 70⁰C...
1. 2. 3. 4.
5.
6.
Prosedur produksi spora Bacillus cereus ATCC 10876 ………... Komposisi MP-ASI yang digunakan sebagai sampel pada penelitian …. Hasil uji sidik ragam Total Plate Count pada MP-ASI yang dipreparasi menggunakan 3 suhu air yang berbeda (30⁰, 70⁰ dan 90⁰C)………. Hasil uji sidik ragam jumlah sel vegetatif Bacillus cereus pada suhu air
yang digunakan saat preparasi MP-ASI produk PR II……….. Hasil uji sidik ragam jumlah sel vegetatif Bacillus cereus (103
Hasil uji sidik ragam jumlah sel vegetatif Bacillus cereus (2.5x10
) pada suhu air yang digunakan saat preparasi MP-ASI produk CR II……….
4 ) selama proses penyimpanan MP-ASI produk CR II ………
70 71
72
74
76
Latar Belakang
Air susu ibu merupakan makanan terbaik bagi bayi jika ditinjau dari,
komposisi zat gizinya, dimana zat gizi yang terdapat dalam air susu ibu ini sangat
kompleks, tetapi ketersediaan air susu ibu sifatnya terbatas sehingga di saat bayi
masih membutuhkan air susu ibu untuk pertumbuhannya, maka pemberian
makanan tambahan lainnya juga sangat diperlukan untuk pemenuhan gizinya.
Makanan jenis ini dikenal dengan istilah makanan pendamping ASI (MP-ASI),
dimana komposisi gizi dari makanan ini hampir mirip dengan air susu ibu.
Berdasarkan rekomendasi Resolusi World Health Assembly (WHA) Tahun
2001 dengan ketentuan Menteri Kesehatan yang tertuang dalam SK Menkes No.
450/Menkes/SK/IV/2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif
pada bayi di Indonesia, menyatakan bahwa bayi perlu diberi ASI ekslusif sampai
usia 6 bulan dan dilanjutkan hingga usia 2 (dua) tahun dengan pemberian
makanan tambahan yang sesuai untuk bayi. Berdasarkan Surat Keputusan tersebut
diatas maka ditetapkan bahwa MP-ASI diberikan setelah bayi berumur 6 bulan.
Makanan bayi didefinisikan sebagai makanan yang secara tunggal dapat
memenuhi kebutuhan anak, sedangkan makanan sapihan dapat berupa makanan
tunggal maupun makanan campuran untuk dapat memenuhi kecukupan gizi anak.
(Hartoyo et al., 2000).
Produk makanan tambahan untuk bayi biasanya dikenal dengan istilah
makanan pendamping ASI (MP-ASI). MP-ASI yang beredar di Indonesia sangat
beragam, baik buatan dalam negeri maupun luar negeri. Ada yang berbentuk
biskuit, bubuk instan dan makanan siap untuk disantap dengan mutu yang
beragam. Berdasarkan SNI No. 01-7111 Tahun 2005 Makanan Pendamping ASI
terbagi menjadi 4 kelompok besar, yaitu : MP-ASI Biskuit, MP-ASI Bubuk
Instan, MP-ASI Siap Santap dan MP-ASI Siap Masak
Produk ini sangat disukai oleh ibu dan bayi karena rasanya yang enak serta
sangat mudah untuk disajikan. Salah satu bentuk makanan yang memenuhi
kriteria tersebut, selain susu formula lanjutan adalah MP-ASI bubuk instan seperti
biasanya ditambahkan bahan dasar susu bubuk. Susu bubuk merupakan bahan
pangan yang tidak steril, karena beberapa bakteri mampu bertahan hidup
khususnya bakteri pembentuk spora yaitu kelompok Bacillus terutama Bacillus
cereus (Dadhicd, 2006). Makanan pendamping ASI yang formulasinya
ditambahkan susu bubuk, dapat dikategorikan ke dalam pangan beresiko tinggi,
sehingga membutuhkan persyaratan yang lebih ketat dalam hal penyajian dan
penyimpanannya.
Susu bubuk terbuat dari susu murni yang telah mengalami proses
pemanasan menjadi bubuk kering yang padat atau tepung susu yang dibuat
sebagai kelanjutan dari proses penguapan. Perlakuan pengolahan susu bubuk
seperti pemanasan dan pengeringan belum mampu membunuh seluruh mikroba
yang pada awalnya sudah ada didalam susu mentahnya, terutama bakteri
pembentuk spora. Bakteri pembentuk spora seperti Bacillus spp yang ditemukan
dalam susu mentah masih mampu bertahan selama proses pengolahan karena
sporanya tahan terhadap proses pemanasan (Muir, 2000).
Bacillus cereus merupakan salah satu bakteri patogen penyebab penyakit
karena makanan (foodborne diseases). Bakteri ini berbentuk batang, gram positif,
membentuk spora, aerobik fakultatif, motil dan non motil, umumnya ditemukan
didalam tanah, material tanaman, jerami kering, makanan mentah dan matang,
serta mampu membentuk enterotoksin komplek. Enterotoksin terdiri atas protein
dengan berat molekul antara 35-50 kDa, diproduksi selama fase pertumbuhan
logaritmik (Harmon et al., 1992; Granum dan Lund, 1997; Jay, 2000). Toksin
Bacillus cereus pada umumnya diproduksi atau terbentuk sebelum Bacillus cereus
dalam bahan pangan mencapai jumlah sebanyak 107 sel/ml (Granum et al., 1993).
Aas et al., (1992), menyatakan bahwa mengkonsumsi makanan yang mengandung
Bacillus cereus sebanyak > 104
Bakteri ini menyebabkan diare tipe sedang yaitu diare yang dapat sembuh
dengan sendirinya dalam waktu 12-24 jam. Diare tipe sedang jika terjadi pada
bayi dapat mengganggu pertambahan berat badannya dan apabila terkonsumsi
dalam jumlah yang tinggi akan menyebabkan kematian pada bayi. Dosis infeksi
sebesar 10
sel/gram atau spora Bacillus cereus, menjadi
sumber utama keracunan makanan di Norwegia.
5
Bentuk bubuk dan bersifat mudah larut, kadang membuat ibu kurang
waspada dalam tata cara penyimpanan dan pelarutannya, sehingga tanpa disadari
menyebabkan spora bakteri mampu bergerminasi dan tumbuh.
sel/ml (Gianella dan Brasile., 1997; McClane, 2001). Keberadaan Bacillus cereus
enterotoksigenik dalam makanan bayi telah dilaporkan oleh Becker et al., (1994),
dimana dari 261 sampel yang diperiksa, yang berasal dari 17 negara positif
terkontaminasi oleh bakteri tersebut. Pada tahun 1992, 70% makanan bayi dan
produk susu formula di Jerman juga positif Bacillus cereus dengan level 0,3-600
sel/g.
Produk susu kering
dan makanan bayi diketahui sering terkontaminasi oleh bakteri Bacillus cereus.
Kontaminasi pada makanan yang disebabkan oleh Bacillus cereus
biasanya dapat mengakibatkan derajat tingkat kesakitan sedang, tetapi jika
mengkonsumsi makanan yang mengandung Bacillus cereus ≥ 10
Bacillus cereus enterotoksigenik terdistribusi secara luas dilingkungan (Labbe,
1989).
5
Spesies Bacillus spp. memiliki kemampuan membentuk spora yang
dorman secara metabolik, yang secara ekstrim resisten terhadap stress lingkungan,
seperti panas, radiasi, dan bahan kimia toksik (Setlow, 2006; Raju et al., 2007).
Kondisi yang resisten menyebabkan spora spesies ini secara signifikan berperan
sebagai agen pembusuk makanan dan penyebab penyakit gastrointestinal akibat
pangan (Setlow, 2003). Bakteri ini merupakan bakteri yang sering
mengkontaminasi berbagai macam makanan, termasuk produk-produk susu dan
susu, sereal (terutama beras), dan food aditif (Kramer dan Gilbert, 1989; Becker et
al, 1994.).
sel atau spora
dapat menyebabkan terjadinya diare akut dan dapat menyebakan kematian. Pada
bayi dan balita dosis infeksinya dapat lebih rendah hal ini dikarenakan belum
sempurnanya sistem imun pada bayi dan balita, sehingga kelompok ini menjadi
lebih peka dibandingkan orang dewasa atau anak-anak yang usianya lebih dari 24
Rumusan Permasalahan
Bacillus cereus telah diketahui sebagai penyebab keracunan pangan di
Eropa sejak tahun 1906, KLB yang disebabkan oleh Bacillus cereus
didokumentasikan pertama kali di Amerika pada tahun 1969 dan di Inggris
pertama kali pada tahun 1971 (Jay et al., 2005). Di Indonesia, data mengenai
kasus keracunan pangan yang disebabkan oleh kontaminasi Bacillus cereus
terutama pada produk pangan yang berbahan dasar susu dan sereal masih sangat
sedikit, sehingga perlu dilakukan penelitian dan pengkajian yang lebih lanjut.
Keberadaan Bacillus cereus pada produk olahan berbahan dasar susu
dilaporkan oleh Bean dan Griffin (1990), menyatakan bahwa 94% penyakit
keracunan disebabkan oleh Bacillus cereus yang pada umumnya berasal dari
produk-produk asal susu yang disimpan pada suhu penyimpanan yang tidak tepat.
Suhu penyimpanan dan kelembaban lingkungan yang tepat untuk susu bubuk
maupun produk makanan berbahan dasar susu adalah ± 25⁰C dan RH ≤ 50%. Becker et al., (1994) menemukan adanya kontaminasi dan pertumbuhan Bacillus
cereus pada makanan bayi dan produk-produk susu bubuk dimana dari 261
sampel yang diperiksa, yang berasal dari 17 negara positif terkontaminasi oleh
bakteri tersebut. Pada tahun 1992, 70% makanan bayi dan produk susu formula di
Jerman juga positif Bacillus cereus dengan kisaran 0,3-600 sel/g. Penelitian
terhadap kontaminasi Bacillus cereus pada makanan bayi dimulai pada tahun
1982/1983 yang menyatakan bahwa 31% makanan bayi dan produk susu formula
di Jerman positif Bacillus cereus. Rowan dan Anderson (1997) menemukan
bahwa B. cereus tumbuh di 63 sampel dari 100 sampel susu formula bayi yang
diuji setelah proses perlarutan dengan lama waktu 4 jam pada suhu 250C.
Beberapa strain B. cereus yang berasal dari makanan bayi di temukan sebagai
produsen cereulide (Andersson et al., 2004;. Ehling-Schulz et al., 2005). Di Chile,
lebih dari 1,3 juta makanan yang disajikan setiap hari untuk anak-anak sekolah
oleh School Feeding Program mengandung Bacillus cereus. Produk-produk
makanan kering, seperti : produk susu, susu bubuk, pengganti susu, dan makanan
penutup yang mengandung susu (misalnya puding karamel, puding susu, dan
temperatur ruang yang tinggi untuk waktu yang lama sebelum dikonsumsi (Kain
et al., 2002).
Pengolahan susu segar menjadi susu bubuk yang nantinya akan digunakan
untuk formulasi produk makanan bayi dan balita ternyata tidak dapat
mengeliminasi keberadaan spora dari kelompok Bacillus. Susu segar tersebut
dikontaminasi oleh Bacillus cereus sesaat setelah proses pemerasan susu, dimana
susu tersebut dibiarkan terbuka dan terpapar udara serta debu.
Habitat utama Bacillus cereus adalah lingkungan dan saluran pencernaan.
Terutama tanah dan air yang menyebabkan bakteri ini mempunyai peluang yang
besar untuk mencemari bahan makanan asal hewan maupun tanaman. Selain itu
pencemaran juga bisa terjadi pada ruang proses pengolahan karena bakteri ini
dapat menempel pada sepatu, pakaian, dan kulit karyawan, serta dapat melalui
udara ataupun debu (Soejoedono, 2002).
Makanan bayi yang
mengandung bahan-bahan sereal dan susu adalah yang paling mendukung untuk
produksi Bacillus cereus cereulide.
Tujuan Penelitian
1. Mengkaji ketahanan spora dan pertumbuhan sel vegetatif Bacillus cereus
dalam MP-ASI bubuk instan.
2. Menganalisis pengaruh suhu air matang preparasi dan pengaruh lamanya
penyimpanan MP-ASI bubuk instan terhadap kemampuan bertahan dan
tumbuh spora Bacillus cereus.
3. Mengetahui kualitas mikrobiologi MP-ASI bubuk instan setelah preparasi
melalui pengujian total mikroba
4. Mendeteksi keberadaan Bacillus cereus dalam MP-ASI bubuk instan.
Hipotesis
1. Spora Bacillus cereus tahan panas mampu bertahan dan tumbuh di dalam
MP-ASI bubuk instan selama penyimpanan.
2. Spora dan sel vegetatif Bacillus cereus mampu bertahan terhadap suhu
3. Jumlah sel vegetatif Bacillus cereus pada MP-ASI meningkat setelah preparasi
yang disimpan pada suhu ruang.
Manfaat Penelitian
1. Sebagai penyedia data bagi penentu kebijakan di bidang kesehatan masyarakat
dan industri pengolahan pangan sehingga dapat menjamin bahwa produk
MP-ASI bubuk instan tersebut aman untuk dikonsumi.
2. Membantu industri pangan untuk menyikapi dan mengambil langkah
pencegahan yang diperlukan.
3. Sebagai landasan untuk memperbaiki tatacara penyajian dan kondisi
TINJAUAN PUSTAKA
Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
Makanan yang ditujukan untuk anak-anak usia dibawah 6 bulan sering
disebut makanan bayi (infant food), sedangkan makanan sapihan (weaning food)
ditujukan untuk anak-anak usia diatas 6 bulan sampai sekitar 24 atau 36 bulan.
Makanan bayi didefinisikan sebagai makanan yang secara tunggal dapat
memenuhi kebutuhan anak, sedangkan makanan sapihan dapat berupa makanan
tunggal maupun makanan campuran yang dapat memenuhi kecukupan gizi anak.
Makanan jenis ini juga dikenal dengan istilah makanan pendamping ASI
(MP-ASI) (Hartoyo et al., 2000).
MP-ASI tidak berperan sebagai pengganti ASI melainkan sebagai
pendamping ASI, sehingga dengan pemberian MP-ASI tidak berarti ASI
dihentikan. Tujuan pemberian MP-ASI adalah memenuhi kebutuhan zat gizi bayi
yang tidak dapat dipenuhi lagi oleh ASI karena bertambahnya umur dan berat
badan bayi. Selain itu, pemberian MP-ASI juga bertujuan mengembangkan
kemampuan bayi untuk menerima berbagai macam makanan dengan berbagai rasa
dan tekstur, mengembangkan kemampuan mengunyah dan menelan serta
melakukan adaptasi terhadap makanan yang mengandung energi tinggi (Anomin,
1992).
Menurut Muchtadi (1994), makanan tambahan untuk bayi sebaiknya
memenuhi persyaratan sebagai berikut : (a) nilai energi dan proteinnya tinggi,
yaitu 370 Kal/100 gr bahan dan 5.4 gr protein/100 gr bahan (PAG, 1972 dalam
Muchtadi, 1994), (b) jumlah yang cukup untuk memenuhi kelengkapan zat gizi
yang dianjurkan, (c) dapat diterima dengan baik oleh pencernaan bayi, (d) harga
relatif murah, (e) dapat diproduksi dari bahan-bahan yang tersedia secara lokal.
Makanan tambahan untuk bayi usia 6-8 bulan diberikan lebih sering daripada bayi
usia 4-6 bulan, yaitu tiga kali sehari kemudian meningkat menjadi lima kali sehari
ketika bayi berusia 12 bulan (WHO, 1997).
Hal yang perlu diperhatikan dalam penyediaan makanan tambahan bagi
bayi adalah jumlah dan mutu makanan yang diberikan harus cukup untuk
bahwa makanan tersebut juga harus dapat melatih kebiasaan makan yang baik
bagi bayi. Hal ini harus diperhatikan karena pada masa tersebut indera pengecap
rasa bayi sedang berkembang. Anak sebaiknya hanya diperkenalkan atau dicoba
dengan satu makanan saja, kemudian ditunggu satu minggu sebelum
diperkenalkan makanan baru lainnya dengan memperhatikan reaksi yang muncul.
Jika anak tidak mau makan makanan yang baru, jangan dipaksa, namun dapat
ditawarkan kembali pada hari berikutnya. Jika makanan tersebut masih ditolak,
tunggu dua atau tiga minggu sebelum ditawarkan kembali (Hartoyo et al., 2000).
Pemberian makanan tambahan sebaliknya diberikan sedikit demi sedikit
dan berangsur-angsur dengan memperhatikan perkembangan anak. Pemberian
makanan tambahan yang terlalu dini, yaitu pada saat bayi berusia kurang dari 4
bulan akan mengurangi keinginan bayi untuk menyusui sehingga kekuatan bayi
untuk menyusui juga berkurang yang akan mengakibatkan produksi ASI
berkurang. Pemberian makanan tambahan yang tidak sesuai dengan usia tidak
jarang menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan alat-alat pencernaan bayi
belum kuat untuk menerima makanan. Dalam jangka panjang pemberian makanan
tambahan yang terlalu dini akan mengakibatkan obesitas. Sebaliknya
keterlambatan pemberian makanan tambahan kepada bayi akan menyebabkan
bayi kekurangan kalori dan protein yang selanjutnya juga akan mengakibatkan
pertumbuhan anak menjadi terhambat. Tujuan, pemberian MP-ASI adalah untuk
menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat
memenuhi kebutuhan bayi secara terus menerus seiring dengan bertambahnya
umur dan berat badan bayi. Apabila berat badan seorang bayi tidak mengalami
peningkatan maka hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan gizi bayi tidak terpenuhi
secara maksimal. Hal tersebut dapat disebabkan karena asupan makanan bayi
hanya mengandalkan ASI saja atau pemberian MP-ASI kurang memenuhi syarat.
Disamping itu, faktor terjadinya infeksi pada saluran pencernaan bayi juga
memberikan pengaruh yang cukup besar (Krisnatuti dan Yenrina, 2000)
Menurut RSCM dan PERSAGI (1994), jenis dan bentuk serta frekuensi
makan untuk bayi berusia 6-8 bulan dalam sehari meliputi : ASI diberikan
lumat sebanyak 2 kali/hari, makanan lembek sebanyak 1 kali/hari dan telur
sebanyak 1 kali/ha
Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI
Sejak anak berusia 5 bulan, kebutuhannya akan berbagai zat gizi sudah
tidak dapat dipenuhi hanya dengan ASI, maka perlu diberikan makanan tambahan
sebagai pendamping ASI (Moehji, 2003). Penberian MP-ASI pertama kali kepada
bayi merupakan suatu proses dimana bayi mulai secara perlahan-lahan dibiasakan
dengan makanan orang dewasa. Selama masa tersebut makanan anak berubah
secara perlahan dari hanya ASI menjadi campuran ASI dan makanan lain yang
berbentuk padat. Selama proses ini terkadang menjadi masa yang berbahaya
karena sering terjadi resiko infeksi yang lebih tinggi terutama penyakit diare. Hal
ini disebabkan karena terjadinya perubahan konsumsi ASI yang bersih dan
mengandung faktor anti-infeksi, menjadi makanan yang seringkali disiapkan,
disimpan dan diberikan pada anak dengan cara yang tidak higienis. Masalah
kurang gizi lebih banyak terjadi pada masa transisi ini (Muchtadi, 1994). Hal ini
sesuai dengan pendapat Pudjiadi (2001), yang menyatakan bahwa pemberian
makanan tambahan sebelum usia 4-5 bulan akan beresiko :
1. Tingginya solute load hingga dapat menimbulkan hyperosmolality
2. Kenaikan berat badan yang terlalu cepat hingga menjurus ke obesitas
3. Alergi terhadap salah satu zat gizi yang terdapat dalam makanan tersebut
4. Mendapat zat-zat tambahan seperti garam dan nitrat yang dapat merugikan
kesehatan bayi (dilihat dari segi pandang ilmu toksikologi)
5. Mungkin saja dalam makanan padat yang dipasarkan terdapat zat pewarna dan
pengawet yang tidak diinginkan
6. Kemungkinan pencemaran dalam menyediakan atau menyimpannya.
Jika terjadi penundaan pemberian makanan tambahan pada bayi dapat
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan bayi, hal ini dikarenakan jumlah energi
dan zat gizi yang dihasilkan oleh ASI tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan bayi
yang terus menerus meningkat sesuai dengan bertambahnya usia bayi tersbut
(Pudjiadi, 2001).
Bentuk dan frekuensi makanan bayi (0-12 bulan) disesuaikan dengan
Menurut Depkes (2000) pola pemberian makanan kepada anak dibawah umur dua
tahun dibagi dalam lima tahap seperti tercantum dalam Tabel 1. Sedangkan untuk
anak diatas dua tahun pola makannya sudah menyerupai makanan orang dewasa.
Tabel 1. Pola Pemberian Makanan Anak Balita
Umur
Makanan Bayi Umur 6-9 bulan. Pemberian ASI tetap diteruskan, dan
ASI diberikan terlebih dahulu sebelum MP-ASI. Bayi mulai diperkenalkan
dengan MP-ASI lumat 2 kali sehari. Sumber zat lemak, yaitu santan atau minyak
kelapa/margarine dapat ditambah sedikit demi sedikit, untuk mempertinggi nilai
gizi makanan.
Makanan Bayi Umur 9-12 bulan. Pemberian ASI tetap diteruskan. Pada
umur 10 bulan bayi mulai diperkenalkan dengan makanan keluarga secara
bertahap. Bentuk makanan adalah lunak dan diberikan 3 kali sehari. Makanan
selingan yang bernilai gizi tinggi seperti bubur kacang hijau dan buah diberikan 1
kali sehari.
Makanan Anak Umur 12-24 bulan.
Frekuensi pemberian makan pada anak umur lebih dari 6 bulan adalah
4-6 kali sebagai tambahan untuk ASI, sedangkan untuk anak umur 2-3 tahun yang
dapat dikurangi menjadi 3 kali sehari. Pemberian makan kepada anak dengan
frekuensi yang sering tapi dengan porsi kecil dikarenakan anak umur 1-3 tahun
hanya bisa mengkonsumsi 200-300 ml makanan (Muchtadi, 1994).
Pemberian ASI juga tetap diteruskan,
dan pemberian MP-ASI dengan bentuk makanan seperti makanan keluarga
diberikan 3 kali sehari. Pemberian makanan selingan 2 kali sehari (Depkes dan
Jenis dan Bentuk Makanan Pendamping ASI
Jenis makanan pendamping-ASI yang pertama kali diberikan kepada
anak bayi cukup beragam. Jenis MP-ASI yang diberikan oleh kebanyakan ibu
sekitar 78% adalah bubur instant seperti SUN, Promina dan Milna dengan alasan
praktis cara membuatnya dan mudah diperoleh. Selain itu juga ada ibu yang
memberikan pisang mas (11.9%), bubur beras (6.8%) dan biskuit (3.4%) (Sitti,
2004). Pada Tabel 2. Diketahui bahwa sebagian besar (98.3 %) bentuk MP-ASI
yang pertama kali diberikan adalah lumat halus. Hal ini sesuai dengan anjuran
Depkes agar bayi umur 4-6 bulan mulai diperkenalkan MP-ASI berbentuk lumat
halus karena bayi sudah memiliki reflek mengunyah. Untuk lebih jelasnya dapat
di lihat pada Tabel 2. jenis dan bentuk MP-ASI yang umumnya diberikan pada
bayi.
Tabel 2. Jenis dan Bentuk MP-ASI yang Pertama Kali Diberikan Jenis dan bentuk MP-ASI
yang diberikan pertama kali
Makanan anak baduta harus mengandung enam kelompok bahan pangan,
yaitu 1) makanan pokok, 2) kacang-kacangan, 3) bahan pangan hewani, 4)
sayuran berwarna, 5) buah-buahan dan 6) lemak dan minyak. Secara komersial,
makanan bayi tersedia dalam bentuk tepung campuran instan atau biscuit yang
dapat dimakan langsung atau dapat dijadikan bubur. Beberapa merek yang
sebagainya. Produk makanan bayi komersial ini dibuat dengan teknologi modern
dan terkait dengan tatacara produksi yang ketat (Krisnatuti dan Yenrina, 2000).
Untuk menjaga kesehatan masyarakat konsumen, pemerintah membuat
berbagai regulasi yang harus dipatuhi oleh produsen, antara lain :
1.) SNI 01-7111.1-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu
(MP-ASI) bubuk instant (bagian 1), mencantumkan angka lempeng total 1.0 x
104 koloni/g, MPN koliform harus kurang dari 20/g, E.coli harus negatif,
Salmonella harus negatif dalam 25/g, Staphylococcus sp. tidak lebih dari
1.0 x 102
2.) SNI 01-7111.2-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu
(MP-ASI) biskuit (bagian 2), mencantumkan angka lempeng total tidak lebih
dari 1.0 x 10
koloni/g dan produk yang menggunakan madu atau sirup
gula(antara lain maple, fruktosa glukosa) harus diproses sehingga bebas
(negatif) Clostridium botulinum.
4
koloni/g, MPN coliform harus kurang dari 20/gram,
Escherichia coli harus negatif, Salmonella harus negatif dalam 25 gram
contoh (sampel), Staphylococcus sp. tidak lebih dari 1.0 x 102
3.) SNI 01-7111.3-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu
(MP-ASI) bagian 3 (siap masak), mencantumkan angka lempeng total tidak
lebih dari 1.0 x 10
koloni/gram
dan produk yang menggunakan madu atau sirup gula (antara lain maple,
fruktosa, glukosa) harus diproses sehingga bebas (negatif) dari
Clostridium botulinum.
4
koloni/g, MPN koliform harus kurang dari 20/g, E.coli
harus negatif, Salmonella harus negatif/25g, Staphylococcus sp. tidak lebih
dari 1.0 x 102
4.) SNI 01-7111.4-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu
(MP-ASI) bagian 4 (siap santap), mencantumkan angka lempeng total tidak
lebih dari 1.0 x 10
koloni/g dan Clostridium botulinum negatif untuk produk
yang menggunakan madu atau sirup gula.
2
koloni/g, MPN koliform harus kurang dari 3/g, E.coli
harus negatif, Salmonella harus negatif/25g, Staphylococcus sp. harus
negatif dan Clostridium botulinum negatif untuk produk yang
Selain Indonesia yang memiliki persyaratan mikrobiologi untuk produk
susu formula dan makanan bayi, ada beberapa negara yang memiliki kiteria
khusus untuk produk susu formula dan makanan bayi yang beredar di negaranya.
Peraturan yang berhubungan dengan susu formula dan makanan bayi dibuat lebih
ketat dan lebih terinci, hal ini dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel tersebut
menggambarkan persyaratan standar mikrobiologi yang tercantum dalam sebuah
peraturan di beberapa negara/lembaga yang berhubungan dengan susu formula
dan makanan bayi (dalam CFU).
Tabel 3. Standar Mikrobiologi Dalam Peraturan di Beberapa Negara/Lembaga yang Berhubungan Dengan Susu Formula dan Makanan Bayi (dalam CFU/g).
Nama Peraturan Standar
Codex standard n c m M
konsentrasi mikroba yang dapat diterima dalam sebuah unit sampel pada 2-class plan, pada 3-class plan nilai ini memisahkan antara kualitas mikroba yang “dapat diterima” dengan “kualitas marginal yang dapat diterima”, M = hanya digunakan pada 3-class plan, yaitu level mikroba yang mengindikasikan potensi bahaya, yang memisahkan antara kualitas marginal yang dapat diterima dan yang harus ditolak; * standard plate count (SPC) pada suhu 300C, selama 72 jam.
Bacillus cereus
Bacillus cereus merupakan bakteri gram positif berbentuk batang besar
(>0,9 µm) dengan ukuran panjang sel 3-5 mikron dan lebarnya 1 mikron. Bakteri
ini menghasilkan spora yang berbentuk elips dan terletak ditengah-tengah sel.
Spora hanya terbentuk bila terdapat oksigen dilingkungan sekitar (aerob
fakultatif). Bacillus cereus termasuk salah satu organisme mesofilik yaitu dapat
tumbuh pada suhu optimal 30-35◦C (Blackburn dan McClure, 2002). Bakteri
Bacillus cereus mempunyai alat gerak berupa flagella yang jumlahnya lebih dari
dua dan mengeliling seluruh permukaan sel bakteri (peritrichous). Bacillus cereus
dapat menyebabkan beberapa penyakit infeksi dan intoksikasi. Spora sel B.cereus
bertunas dan sel vegetatif menghasilkan toksin selama fase eksponensial
pertumbuhan atau selama masa sporulasi. Munculnya diare terjadi setelah masa
inkubasi 1-24 jam dan terlihat sebagai diare yang terus menerus disertai nyeri dan
kejang perut; jarang terjadi demam dan muntah. Enterotoksin dapat ditemukan
pada bahan pangan atau dibentuk dalam usus (Granum dan Baird-Parker 2000).
Kondisi yang diperlukan bagi pertumbuhan maksimal Bacillus cereus terdapat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Kondisi yang Diperlukan Bagi Pertumbuhan Bacillus cereus
Parameter Nilai data Referensi pH minimal 4.3 Reed, 1994
pH maksimal 9.3 Fluer and Ezepchuk, 1970 % maksimal NaCl 18 Pradhan et al., 1985
Suhu minimal 4◦C FDA, 1998 Suhu maksimal 50◦C FDA, 1998
Bacillus cereus (Gambar 1) mampu tumbuh pada suhu 4-50◦C, dengan
26-57 menit, pada suhu 35◦C adalah 18-27 menit (Kramer and Gilbert, 1989).
Rentang minimum aktivitas air untuk pertumbuhan sel vegetative adalah
0.91-0.95 (Jenson and Moir, 1997). Spora Bacillus cereus lebih tahan terhadap panas
kering dibandingkan dengan panas lembab. Spora Bacillus cereus dapat bertahan
untuk waktu yang lama di produk kering (FSANZ, 2003). Spora yang dihasilkan
relatif tahan panas, walaupun nilai D yang dimiliki cenderung bervariasi antara
strain. Secara umum, D100 Bacillus cereus berkisar antara 2.5-5.4 menit. Spora ini
dapat bertahan hidup pada kondisi ekstrim dan ketika dibiarkan pada suhu yang
dingin, maka kemampuan spora untuk tumbuh dan berkembang menjadi sel
vegetatif relatif lambat. Proses germinasi sporanya cepat dan pada beberapa strain
dapat berlangsung dalam waktu 30 menit. Germinasi membutuhkan beberapa
molekul protein seperti glisin, alanin, dan basa purin (Batt, 2000). Sel vegetatif
dapat tumbuh dan menghasilkan enterotoksin pada kisaran suhu 25-420C. Sel
vegetatif Bacillus cereus berbentuk batang dengan lebar 1.0-1.2 μm (Rajkowski et al., 2003). Selain itu, germinasi juga dapat terjadi karena adanya perlakuan
pemanasan, pH, dan bahan kimia. Germinasi Bacillus cereus secara optimum
terjadi pada suhu 370C (White et al., 1974).
Sifat Biokimiawi
Bacillus cereus bersifat proteolitik yang kuat yaitu memproduksi enzim
(protease, amylase, lecithinase, dan lain-lain) yang dapat memecah protein dan
mempunyai sifat yang hampir sama dengan renin sehingga dapat menggumpalkan
susu (Fardiaz, 1998). Species ini juga memfermentasi karbohidrat (glukosa dan
mannosa). Selain itu, bakteri ini akan tumbuh pada pH 4.3-9.3 dan aktivitas air
(Aw) 0.95 (Blackburn and McClure, 2002).
Bacillus cereus membentuk koloni yang spesifik bila ditumbuhkan pada
agar darah (Horse Blood Agar), pada suhu 35-37◦
Bacillus cereus memproduksi enzim ekstraseluler yang dapat
menghidrolisis protein, lemak, pati dan karbohidrat lainnya. Oleh karena itu,
mikroorganisme ini dapat memanfaatkan berbagai jenis pangan untuk
mendukukng pertumbuhannya, tetapi pangan yang mengadung pati merupakan
sumber optimal untuk pertumbuhannya (Gibbs, 2005).
C, selama 48 jam akan
membentuk koloni yang mempunyai ukuran besar (4-7µm) dengan permukaan
datar dan berwarna kehijauan. Koloni tersebut biasanya menunjukkan sifat α
-hemolitik, tetapi beberapa strain membentuk β-hemolitik. Pada keadaan anaerobik, koloni berbentuk kecil dengan diameter 2-3 mm, dikelilingi oleh areal
bersifat β-hemolitik yang menyerupai koloni Clostridium perfringens, hanya bedanya bagian tepinya tidak rata (Imam dan Sukamto, 1999).
Media yang cukup selektif digunakan untuk mendeteksi adanya Bacillus
cereus dalam bahan makanan adalah agar mannitol egg-yolk polymyxin (MYP).
Penambahan polymyxin-B ditujukan untuk menekan pertumbuhan mikroba lain,
sedangkan Bacillus cereus sangat resisten terhadap polymyxin-B . Mannitol tidak
digunakan oleh Bacillus cereus sehingga akan membentuk koloni yang berwarna
merah jambu dengan zona presipitasi di sekelilingnya. Ekstrak daging sapi dan
pepton yang ada didalam media MYP berfungsi sebagai sumber nitrogen, vitamin,
mineral dan asam amino essensial yang digunakan untuk pertumbuhan Bacillus
cereus (Batt, 2000). Untuk uji konfirmasi mengacu pada karakteristik bentuk
Bacillus cereus dan reaksi metabolisme, yaitu mampu memfermentasi glukosa
motilitas (Harmon et al., 1992). Untuk lebih jelas tentang karakteristik penting
Bacillus spp. dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Karakteristik Penting dari Group Species Bacillus spp.
Ciri-ciri Bacillus
Habitat utama Bacillus cereus adalah lingkungan dan saluran
pencernaan. Terutama tanah dan air yang menyebabkan bakteri ini mempunyai
peluang yang besar untuk mencemari bahan makanan asal hewan maupun
tanaman. Selain itu pencemaran juga bisa terjadi pada ruang proses pengolahan
karena bakteri ini dapat menempel pada sepatu, pakaian, dan kulit karyawan, serta
ditemukan pada beberapa jenis pangan, seperti madu, keju, rempah-rempah
(Iurlina et al., 2006), nasi yang telah dimasak (From et al., 2007), susu
pasteurisasi (Zhou et al., 2008), dan daging (Borge et al., 2001). Pangan yang
mengandung lebih dari 104-105 sel atau spora per gram tidak aman untuk
dikonsumsi karena dosis infeksi diperkirakan berkisar antara 105-108 sel atau
spora per gram (Beattie et al., 1999).
Endospora
Endospora tahan terhadap proses yang secara normal akan membunuh sel
bakteri vegetatif, seperti proses pemanasan, pembekuan, pengeringan,
penggunaan bahan kimia (desifektan) dan radiasi. Kebanyakan sel vegetatif akan
mati dengan temperatur di atas 70◦
Dalam kondisi stress, seperti kekurangan makanan atau dalam lingkungan
yang tidak cocok, Bacillus cereus akan mengalami proses sporulasi. Spora
tersebut kemudian dapat berubah kembali menjadi sel vegetatif (proses
germinasi). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan germinasi
Bacillus cereus antara lain suhu, pH, kandungan oksigen, serta terdapatnya
kandungan nitrogen dan karbon (Vlaemynck dan Van Heddeghem, 1992). Spora
Bacillus cereus mampu melekat pada berbagai macam permukaan, terutama
permukaan yang terbuat dari bahan hidrofobik. Spora Bacillus cereus juga
memiliki sifat tahan panas dan mampu bertahan hidup melalui proses pasteurisasi.
Spora psikrotropik kemudian mengalami germinasi dan akan tumbuh kembali
selama penyimpanan pada suhu dingin (Kramer dan Gilbert, 1989). Proses
pasteurisasi merupakan pemicu germinasi spora, setelah pasteurisasi selesai C, sedangkan endospora dapat bertahan hidup
dalam air mendidih untuk beberapa jam atau lebih. Salah satu bakteri yang
membentuk spora untuk mempertahankan diri dari lingkungan adalah Bacillus
cereus. Spora Bacillus cereus sering ditemukan pada pangan seperti susu, sereal,
rempah-rempah, makanan kering, dan pada permukaan daging karena kontaminasi
debu atau tanah. Bila kondisi memungkinkan untuk tumbuh, maka spora akan
tumbuh menjadi sel vegetatif, beberapa spesies akan menghasilkan toksin yang
mikroba yang tidak tahan panas akan mati dan tak adanya kompetisi mikroba,
Bacillus cereus mampu tumbuh kembali dengan baik (Granum dan Lund, 1997).
Pembentukan endospora melibatkan jalur yang membutuhkan energi dan
produksi struktur morfologi yang kompleks. Sinyal eksternal (dan mungkin
internal) memaksa sel untuk memberikan respon dengan menghambat
pembelahan sel dan memulai proses sporulasi. Sporulasi menghasilkan sekat yang
membagi sel ke dalam kompartemen dengan ukuran berbeda. Bagian yang lebih
kecil disebut forespore. Selama proses sporulasi, beberapa gen diaktifkan secara
bertahap; aktivasi gen tertentu dimulai karena adanya komunikasi antara sel induk
(mothercell) dan forespore, dengan sinyal yang ditransfer melewati sekat.
Pengaturan transkripsi gen spora dipengaruhi oleh aktivasi faktor sigma yang
berbeda-beda, yang menentukan spesifitas promoter terhadap RNA polymerase.
Pada akhirnya, forespore akan berubah menjadi endospora dan sel induk akan
mati karena lisis (Dahl, 1999).
Germinasi Spora
Endospora dapat tumbuh menjadi sel vegetatif apabila kondisi
lingkungannya memungkinkan. Proses germinasi dirangsang oleh perlakuan
kejutan panas (heat shock) pada suhu subletal, adanya asam amino, glukosa, dan
ion-ion magnesium dan mangan. Pada waktu germinasi sifat dorman endospora
menghilang sehingga mulai terjadi aktivitas metabolisme yang mengakibatkan sel
dapat tumbuh (Fardiaz, 1992).
Proses germinasi dirangsang oleh faktor nutrisi dan nonnutrisi (bahan
kimia dan enzim). L-alanin merupakan nutrisi paling umum yang merangsang
proses germinasi dengan cara menarik air masuk ke dalam spora dan mengurangi
Ca2+
Perubahan struktur yang terjadi pada saat germinasi adalah hidrasi
korteks, ekskresi Ca
dan asam dipikolinat sehingga spora kehilangan sifat refraktilnya dan mulai
terjadi metabolisme pada inti spora (Pol et al, 2001).
2+
dan DPN serta hilangnya sifat resisten dan refraktil.
Sedangkan perubahan fungsional yang terjadi yaitu inisiasi aktivitas metabolik,
aktivasi beberapa protease spesifik dan cortex-lytic enzymes, dan pelepasan hasil
(konsentrasi tinggi), NO2, dan sorbat. Proses aktivasi spora diperlukan sebelum
germinasi untuk reorganisasi makromolekul di dalam spora. Aktivasi spora dapat
dilakukan dengan perlakuan panas subletal, radiasi, tekanan tinggi, kombinasi
tekanan tinggi dengan oksidator atau reduktor, pH yang ekstrim, dan sonifikasi.
Perlakuan tersebut akan meningkatkan permeabilitas struktur spora untuk
reorganisasi makromolekul. Setelah germinasi maka akan terjadi proses
outgrowth. Outgrowth meliputi biosisntesis dan perbaikan proses setelah
germinasi dan sebelum perumbuhan sel vegetatif. Selama outgrowth akan terjadi
pembengkakan spora karena hidrasi dan pengambilan nutrisi, perbaikan dan
sintesis RNA, protein dan bahan untuk membran dan dinding sel, pelarutan
lapisan luar spora, elongasi sel, dan replikasi DNA. Faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya outgrowth adalah nutrisi, pH, dan suhu. Setelah
outgrowth maka sel vegetatif keluar dari spora dan mulai tumbuh (Ray, 2004).
Patogenesis
Bakteri Bacillus cereus mempunyai dua tipe toksin yaitu tipe pertama
enterotoksin yang biasanya timbul pada produk pangan nabati dan makanan siap
saji (Soejoedono, 2002). Toksin ini mengandung protein dengan berat molekul
sebesar 38-39 kDa, tidak tahan panas dan akan hancur pada suhu 56◦C selama 5
menit. Bila terkonsumsi oleh manusia dalam jumlah yang tinggi sebesar 105 – 107
sel/gram, maka akan menimbulkan gangguan saluran pencernaan berupa sakit
perut dan diare tipe sedang. Toksin diare dari Bacillus cereus diproduksi selama
fase logaritmik. Enterotoksin tersebut berinteraksi dengan membran sel epitel usus
halus dan menyebabkan gejala keracunan pangan yang mirip dengan Clostridium
perfringens. Keduanya memproduksi toksin yang merusak membran, tetapi
berbeda mekanismenya. Clostridium perfringens membutuhkan ion Ca2+ untuk
mengikat sel target dan menyebabkan kebocoran. Kebalikannya Bacillus cereus
enterotoksin menjadi terhambat kemampuannya dalam menyebabkan kebocoran
sel karena adanya ion Ca2+
Toksin tipe kedua yaitu emetic toksin yang mengandung peptida dengan
berat molekul < 10 kDa dan relatif tahan panas karena tidak hancur pada suhu
yang mencapai 120
(Beattie et al., 1999).
nasi, susu beserta produknya dan bila terkonsumsi oleh manusia dalam jumlah 105
– 108
Gejala awal keracunan umumnya muncul 6-24 jam setelah mengkonsumsi
susu. Lama penyakit sangat pendek sehingga sering diabaikan (Gilbert et al.,
1979). Bacillus cereus baru akan menghasilkan toksin jika tumbuh di dalam usus
halus (Harmon et al., 1992). Untuk lebih jelas tentang karakteristik penyakit yang
disebabkan oleh
sel/gram sel dapat menyebabkan mual-mual dan muntah (Harmon et al.,
1992). Toksin emetik Bacillus cereus adalah cereulide. Molekul toksin ini sangat
stabil panas, pH ekstrem, dan proteolisis oleh tripsin. Pembentukan toksin emetic
biasanya dihubungkan dengan Bacillus cereus serovar H-1 dan terjadi setelah
pembentukan spora. Produksi toksin ini dipengaruhi oleh komposisi media
tumbuh. Susu dan media berbasis nasi efektif dalam mendukung pembentukan
toksin emetik (Beattie et al., 1999). Menurut Wijnads et al., (2006), Bacillus
cereus memiliki empat faktor virulen, yaitu tiga enterotoksin (haemolisin
BL/HBL, nono hemolitik enterotoksin/nhE, sitotoksin K) dan cereulide.
Haemolisin BL (HBL) dipercayai merupakan toksin diare utama dari Bacillus
cereus (Burgess and Horwood, 2006). Beecher and MacMillan (1990),
mengidentifikasi bahwa HBL kompleks terdiri atas tiga protein yaitu B, L1 dan
L2 yang menurut Beecher and Wong (1997), protein B berperan sebagai
komponen pelekat dan protein L1 (36 kDa) dan L2 (45 kDa) sebagai pelisis sel.
Toksin ini memiliki aktivitas haemolitik dan dermonekrotik, serta menyebabkan
peningkatan permiabilitas vaskuler dan menyebabkan akumulasi cairan di gelung
ileum kelinci (Beecher et al., 1995).
Tabel 6. Karakteristik Penyakit Akibat Bacillus cereus
Sindrom diare Sindrom emetik
Dosis infektif 105 – 107 sel/g 105 – 108 sel/g
Produksi toksin Di usus halus penderita Terbentuk di dalam makanan
Tipe toksin Protein Peptide siklik
Masa inkubasi 8-16 jam (bisa > 24 jam) 0,5-5 jam Lama penyakit 12-24 jam (bisa beberapa hari) 6-24 jam Gejala Sakit perut, diare encer dan ada
mual
Mual, muntah dan lesu
Makanan yang sering terlibat
Produk daging, sup, sayuran, susu dan produk susu, pudding/sausnya
Nasi, nasi goring, pasta, pastry, dan mie
Sumber : Granum dan Lund, 1997
Kasus Cemaran Bacillus cereus pada Makanan Bayi
Keberadaan Bacillus cereus enterotoksigenik dalam makanan bayi telah
dilaporkan oleh Becker et al., (1994), dimana dari 261 sampel yang diperiksa,
yang berasal dari 17 negara positif terkontaminasi oleh bakteri tersebut. Pada
tahun 1992, 70% makanan bayi dan produk susu formula di Jerman juga positif
mengandung Bacillus cereus dengan kisaran sebesar 0.3-600 sel/g. Di negara
Chile, lebih dari 1.3 juta makanan yang disajikan setiap hari untuk anak-anak
sekolah oleh School Feeding Program positif mengandung Bacillus cereus.
Makanan yang disajikan tersebut terdiri dari produk-produk kering seperti :
produk susu, susu bubuk, pengganti susu, dan makanan penutup yang
mengandung susu (misalnya puding karamel, puding susu, dan beras campur
susu), yang pada umumnya sering terkontaminasi Bacillus cereus, produk-produk
ini dilarutkan di dapur sekolah dan sering dibiarkan pada suhu ruang yang tinggi
untuk waktu yang lama sebelum dikonsumsi oleh anak-anak (Kain et al., 2002).
Bacillus cereus dinyatakan sebagai penyebab berbagai infeksi saluran
pencernaan. Hal ini terbukti secara signifikan dimana Bacillus cereus menjadi
penyebab beberapa infeksi sistemik klinis pada bayi (Hilliard et al., 2003). Rowan
dan Anderson (1997), menemukan bahwa Bacillus cereus tumbuh di 63 sampel
susu formula dari 100 sampel yang diuji, hal ini terjadi pada susu formula bayi
beberapa strain Bacillus cereus yang berasal dari makanan bayi juga terungkap
sebagai produsen cereulide (toksin emetik) (Andersson et al., 2004;.
Ehling-Schulz et al., 2005).
Fitting Model Pertumbuhan
DMFit adalah Excell add-in, dapat digunakan pada Windows 98 dan Excel
97 keatas, untuk membuat fit suatu kurva dimana fase linear didahului dan diikuti
oleh fase diam. Perbedaan utama antara model ini dan kurva sigmoid lainnya
seperti Gompertz, Logistic, dan lain-lain adalah bahwa fase-mid (mid-phase)
sangat dekat dengan linear, tidak seperti kurva sigmoid klasik yang dinyatakan
dengan kelengkungan. DMFit adalah bagian dari sistem yang digunakan in-house
di Institute of Food Research untuk membuat model waktu-variasi logaritma dari
konsentrasi sel pada sejumlah kultur bakteri (DM: Dynamic Modelling). Hal ini
berdasarkan pada model yang sama (Baranyi dan Roberts, 1994) tetapi hanya
cocok untuk kurva pertumbuhan. Namun, juga membandingkan
parameter-parameter berdasarkan F-test, yang tidak termasuk dalam prosedur DMFit. Model
dari program Growth Predictor, didukung oleh UK Food Standards Agency, di
download dari situs web yang sama
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Pebruari - September 2011
bertempat di Laboratorium Mikrobiologi, Seafast Center PAU Institut Pertanian
Bogor.
Bahan dan Alat Penelitian
Makanan Pendamping ASI
Bahan baku yang digunakan dalam analisis sampel adalah 6 merek
makanan pendamping asi (bubuk instan), meliputi PR I, PR II, CR I, CR II, SN I
dan SII, yang diperoleh dari pasar tradisional dan warung kelontong yang ada
dikota Bogor dengan berat 20 g/kemasan. Pengujian dilakukan sebanyak 3 x
ulangan dengan waktu yang berbeda.
Media
Media yang digunakan adalah Mannitol-egg yolk-polymyxine agar
(MYP/Oxoid CM 0929), egg yolk emulsion dan polymyxin B, Plate Count Agar
(PCA), Tryptone Soya Agar (TSA), Brain Heart Infusion Broth (BHIB), Nutrient
Agar (NA) dan sulfit indol motility medium (SIM).
Kultur
Kultur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bacillus cereus yang
diisolasi dari sampel makanan pendamping asi (MP-ASI) dan Bacillus cereus
ATCC 10876 sebagai kontrol positif.
Bahan kimia
Bahan kimia yang digunakan adalah KH2PO4 (buffer fosfat), alkohol 70%,
alkohol 95%, akuades, spiritus, hijau malasit, gram’s iodine, safranin, kristal
violet-ammonium oksalat, minyak emersi, MnSO4 40 mg/L, CaCl2 100mg/L dan
Alat
Alat yang digunakan adalah cawan petri (berdiameter 100 mm, tinggi 15
mm), mikropipet dan tipnya, erlenmeyer (ukuran 50-100 ml), neraca analitik,
bunsen, inkubator 30⁰C dan 37⁰C, autoklaf, waterbath, vortex, oven, hockey stick,
ose mata bulat, kaca obyek, mikroskop, gunting, plastic HDPE, botol semprot,
alumunium foil, batang pengaduk, pipet tetes, termometer, hot plate, bulb, pipet
Mohr (ukuran 5 dan10 ml), tabung reaksi bertutup beserta raknya, sendok, labu
takar (ukuran 100, 500 dan 1000 ml) dan colony counter.
Metodologi
Tahapan awal penelitian ini adalah pengujian MP-ASI bubuk instan
terhadap kualitas mikrobiologi MP-ASI berdasarkan Total Plate Count (mengacu
pada BAM, Aerobic Plate Count) dan analisis jumlah awal Bacillus cereus
(mengacu pada BAM, Bacillus cereus). Pada tahap selanjutnya diuji pengaruh
variasi suhu air yang digunakan untuk preparasi makanan pendamping ASI
terhadap Bacillus cereus ATCC 10876 dan pengaruh masa simpan makanan
pendamping ASI terhadap Bacillus cereus ATCC 10876. Sebelum dilakukan
penelitian tahap ini, terlebih dahulu dilakukan proses produksi spora dari Bacillus
cereus ATCC 10876. Preparasi MP-ASI di penelitian ini menggunakan 3 suhu
preparasi yang berbeda (30⁰C, 70⁰C dan 90⁰C) dengan lama penyimpanan pada
suhu ruang 60 menit dan untuk pengaruh masa simpan, penyimpanan dilakukan
pada suhu ruang ± 27⁰C dengan kelembaban >70% selama 8 minggu. Diagram
Isolasi Bacillus cereus dan Analisis Total Mikroba pada Sampel Makanan Pendamping ASI
a. Pengambilan sampel
Sampel makanan pendamping ASI diperoleh dari pasar tradisional dan
warung kelontong yang ada dikota Bogor. Sampel yang akan dianalisis adalah 6
merek makanan pendamping asi (bubuk instan), meliputi PR I, PR II, CR I, CR II,
SN I dan SII, yang diperoleh dari pasar tradisional dan warung kelontong yang
ada dikota Bogor dengan berat 20 g/kemasan. Sampel tersebut langsung dibawa
ke laboratorium untuk dianalisis. Sampel komersil
Produksi spora Bacillus cereus ATCC 10876
Inokulasi spora ke dalam sampel MP-ASI
Uji reaksi terhadap kuning telur
b. Analisis total mikroba
Analisis total mikroba dilakukan dengan merujuk pada metode [BAM]
Bacteriological Analytical Manual (2001a), yaitu sebanyak 20 gram sampel
diencerkan dengan 100 ml larutan pengencer Butterfield’s phosphate-buffered
(sesuai dengan petunjuk penyajian yang tertera pada kemasan) dan
dihomogenkan. Selanjutnya, dibuat seri pengenceran 10-1 dan 10-2
Rumus perhitungan yang digunakan adalah :
(perbandingan
1:10), dengan mengencerkan 1 ml sampel dari pengenceran sebelumnya kedalam
9 ml larutan pengencer BPB. Pengujian hitungan cawan dilakukan dengan cara
menginokulasikan dari masing-masing pengenceran sebanyak 1 ml (duplo) ke
dalam cawan petri. Kemudian ditambahkan media Plate Count Agar (PCA)
sebanyak 13-15 ml ke dalam cawan petri, digoyangkan di atas meja secara
mendatar (membentuk angka 8), lalu dibiarkan memadat. Cawan kemudian
diinkubasi selama ± 3 hari pada suhu 37⁰C. Setelah diinkubasi, jumlah koloni
yang tumbuh dihitung berdasarkan metode Bacteriological Analytical Manual
(BAM). Untuk analisis total koloni yang dihitung adalah 25-250 koloni/cawan.
Diagram alir proses analisis total mikroba dapat dilihat pada Gambar 3.
N = ΣC/ [1 * n1] + [0.1 * n2 Keterangan :
] * (d)
N = jumlah koloni per ml atau per g produk
ΣC = jumlah koloni yang dihitung n1
n
= jumlah cawan pada pengenceran pertama
2
Gambar 3. Metode Tuang (Pour Plate Method) pada Metode Hitungan Cawan (Plate Count Method)
c. Analisis Bacillus cereus
Analisis Bacillus cereus dilakukan dengan metode modifikasi BAM
(2001b). Sebanyak 20 gram sampel bubuk insant diencerkan dengan 100 ml
larutan pengencer Butterfield’s phosphate-buffered (sesuai dengan petunjuk
penyajian yang tertera pada kemasan) dan pengujian dilakukan dengan cara
menginokulasi suspensi sebanyak 1 ml yang dibagi kedalam 3 buah cawan petri
yang berisi media mannitol egg yolk polymyxine (MYP) agar padat
masing-masing 0.3 ml, 0.3 ml dan 0.4 ml. Suspensi kemudian diratakan pada permukaan
media dengan menggunakan hockey stick steril yang terbuat dari kaca.
Selanjutnya, cawan petri diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30⁰C dengan posisi
cawan dibalik. Media mannitol egg yolk polymyxine agar (MYP) yang digunakan
ditambah dengan egg yolk emulsion dan polymyxin B.
Bacillus cereus tidak memiliki kemampuan untuk memfermentasi
mannitol pada media MYP agar, sehingga koloni Bacillus cereus akan
menunjukkan warna pink pada media MYP agar. Egg yolk emulsion mengandung
lesitin. Lesitin merupakan substrat untuk enzim lesitinase yang diproduksi oleh
Bacillus cereus. Enzim lesitinase dapat menghidrolisis lesitin dan menyebabkan
ditambahkan ke dalam MYP agar merupakan antibiotik yang berfungsi untuk
menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif (Oxoid, 2001). Bacillus cereus
adalah bakteri gram positif dan sangat resisten terhadap polymyxin B sehingga
penambahan polymyxin B tidak akan menghambat pertumbuhan Bacillus cereus
(Batt, 2000). Koloni Bacillus cereus yang tumbuh pada MYP agar dihitung
dengan rumus standard plate count. Perhitungan Bacillus cereus, yang dihitung
hanya pada cawan yang mengandung jumlah koloni sebanyak 15-150 koloni
(BAM, 2001b).
Koloni yang diduga Bacillus cereus kemudian diisolasi dan ditumbuhkan
pada media Tryptone Soya Agar miring (TSA) dan disimpan pada lemari
pendingin sebagai koloni stok yang nantinya akan diuji konfirmasi Bacillus cereus
secara biokimia.
d. Konfirmasi kultur Bacillus cereus
Uji konfirmasi yang dilakukan adalah pewarnaan spora, pewarnaan gram,
uji katalase, uji reaksi terhadap kuning telur dan uji motilitas. Uji konfirmasi
kultur Bacillus cereus dilakukan pada kultur yang berumur 24-72 jam.
Prosedur pewarnaan spora (modifikasi Hussey et al., 2007), yaitu dibuat
olesan bakteri di atas kaca objek dan difiksasi. Olesan bakteri kemudian digenangi
dengan hijau malasit selama 10 menit kemudian diletakkan diatas gelas kimia
yang berisi air mendidih, yang dipanaskan diatas penangas air sehingga uap yang
dihasilkan akan mengenai kaca objek yang berisi bakteri. Kaca objek kemudian
dibilas dengan aquades dan ditiriskan. Selanjutnya, digenangi dengan safranin
selama 1 menit. Kemudian dibilas dengan aquades, dikeringkan dan diamati di
bawah mikroskop.
Prosedur perwarnaan gram menurut dilakukan BAM (2001c), yaitu dibuat
olesan bakteri di atas kaca objek dan difiksasi. Olesan bakteri lalu digenangi
dengan pewarna kristal violet-ammonium oksalat selama 1 menit. Kemudian
dibilas dengan aquades dan dikeringkan. Selanjutnya, digenangi dengan Gram’s
iodine selama 1 menit, dibilas dengan aquades, dan dikeringkan. Warnanya
dihilangkan dengan etanol 95% hingga tidak ada lagi warna biru yang menempel
pewarna safranin selama 10-30 detik. Selanjutnya, dibilas dengan aquades,
dikeringkan dan diamati dibawah mikroskop.
Prosedur uji katalase dilakukan menurut Rhodehamel dan Harmon (1998),
yaitu disiapkan gelas objek yang bersih. Biakan diambil sebanyak 1 ose kemudian
diinokulasi pada kaca objek dan difiksasi. Olesan bakteri kemudian ditetesi
dengan H2O2 3% sebanyak 2-3 tetes. Amati perubahan yang terjadi, jika ada
gelembung udara maka bakteri tersebut katalase positif (gelembung terbentuk dari
hasil penguraian H2O2
Prosedur uji motilitas dilakukan menurut BAM (2001c), yaitu medium
motilitas, medium Sulfide-Indole-Motility (SIM) ditusuk dengan jarum yang telah
dicelupkan ke dalam kultur isolat Bacillus cereus, kemudian diinkubasi selama
18-24 jam pada suhu 30⁰C dan diamati tipe pertumbuhan yang terjadi disepanjang
garis tusukan. Mikroba yang motil akan tumbuh secara difus menjauhi garis
tusukan tersebut. Untuk diagram alir proses analisis Bacillus cereus secara
keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 4. ).
Diencerkan dengan 100 ml BPB (sesuai dengan prosedur penyajian) dan dihomogenkan
Penanaman sebanyak 1 ml pada media MYP agar masing-masing sebanyak 0.3 ; 0.3 dan 0.4 ml kemudian
diinkubasi pada suhu 30oC selama 24 jam
Koloni yang berwarna merah jambu dan lecithinase
positif
Uji konfrimasi : pewarnaan gram, pewarnaan spora, uji katalase, uji reaksi terhadap kuning telur, dan uji motilitas
Gambar 4. Skema pengujian sampel terhadap Bacillus cereus