• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PEMBATALAN PERKAWINAN DALAM PUTUSAN NO: 1597/Pdt.G/2008/PA.Kdl

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PEMBATALAN PERKAWINAN DALAM PUTUSAN NO: 1597/Pdt.G/2008/PA.Kdl"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ABSTRAK

ANALISIS PEMBATALAN PERKAWINAN DALAM PUTUSAN NO: 1597/Pdt.G/2008/PA.Kdl

Oleh

HELEN SELVYANA SIGALINGGING

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 22 menentukan

bahwa “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat

-syarat untuk melangsungkan perkawinan” dan ditegaskan dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU

Perkawinan bahwa “Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh

Pengadilan”. Permasalahan yang ditelaah adalah mengenai alasan pembatalan

perkawinan dalam Putusan No: 1597/Pdt.G.2008/PA.Kdl, syarat dan prosedur pembatalan perkawinan, dan mengenai akibat hukum dari suatu pembatalan perkawinan.

(3)

Begitu diketahui bahwa Termohon ternyata masih memiliki isteri yang hidup, maka Pemohon mengajukan permohonan pembatalan perkawinan karena merasa telah ditipu dan dirugikan secara moril. Sehingga akhirnya permohonan pemabatalan perkawinan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Agama Kendal sebagai tempat yang berwenang menangani permohonan tersebut. Akibat pembatalan perkawinan ini tidak berlaku surut terhadap anak yang dihasilkan dalam perkawinan tersebut, tetapi dalam perkawinan ini Pemohon dan Termohon tidak memiliki anak sehingga tidak ada permasalahan mengenai hak asuh di dalamnya, sedangkan mengenai harta kekayaan juga tidak dipermasalahkan dalam permohonan pembatalan perkawinan ini.

(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK JUDUL DALAM

HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN RIWAYAT HIDUP

PERSEMBAHAN MOTTO

SANWACANA DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah dan Lingkup Penelitian ... 7

1. Masalah ... 7

2. Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Kegunaan Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

A. Perkawinan... 10

1. Pengertian Perkawinan ... 10

2. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan ... 13

a. Rukun Perkawinan... 13

b. Syarat-Syarat Perkawinan ... 14

(7)

4. Pencatatan Perkawinan ... 17

B. Penipuan Identitas ... 18

C. Pembatalan Perkawinan ... 19

1. Pengertian Pembatalan Perkawinan ... 19

2. Alasan-Alasan Pembatalan Perkawinan ... 21

D. Pengadilan Agama ... 23

G. Kerangka Pikir... 25

III. METODE PENELITIAN ... 27

A. Jenis Penelitian ... 27

B. Tipe Penelitian ... 27

C. Pendekatan Masalah ... 28

D. Data Dan Sumber Data ... 29

E. Metode Pengumpulan ... 30

F. Pengolahan Data ... 31

G. Analisis Data ... 31

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

A. Alasan Pembatalan Perkawinan dalam Putusan No:1597/Pdt.G/2008/PA.Kdl ... 32

B. Syarat dan Prosedur Permohonan Pembatalan Perkawinan ... 43

1. Syarat Permohonan Pembatalan Perkawinan ... 43

2. Prosedur Permohonan Pembatalan Perkawinan ... 47

C. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan ... 55

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 61

A. Kesimpulan ... 61

B. Saran... 62

(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Perkawinan adalah sesuatu yang sakral karena perkawinan merupakan masalah keagamaan, sehingga perkawinan harus dilaksanakan dengan rangkaian upacara yang bersifat religius dan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan dari para pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut. Hal ini seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan), juga sesuai dengan perumusan pada Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan.2 Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) menentukan bahwa perkawinan merupakan akad yang sangat kuat atau miitssaaqan gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan

1

Zainuddin Ali. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:Sinar Grafika. 2012. hal. 7 2

(9)

ialah suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan dasar sukarela dan keridhaan keduanya dalam rangka mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman dan kasih sayang dengan cara yang diridai oleh Allah.3 Suatu perkawinan dianggap sah apabila tidak keluar dari peraturan agama yang bersangkutan.4

Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari Alquran dan Alhadis, yang kemudian dituangkan dalam garis-garis hukum melalui UU Perkawinan dan KHI mengandung 7 (tujuh) asas atau kaidah hukum, yaitu sebagai berikut:5

1. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

Suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

2. Asas keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan, dan harus dicatat oleh petugas yang berwenang,

3. Asas monogami terbuka

Artinya, jika suami tidak mampu berlaku adil terhadap hak-hak istri bila lebih dari seorang maka cukup seorang istri saja.

4. Asas calon suami dan calon istri telah matang jiwa raganya, agar mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan mendapat keturunan yang baik sehat, sehingga tidak berpikir kepada perceraian.

3

Abdulkadir Muhammad. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti. 2000. hal 70

4

Wati Rahmi Ria. Hukum Islam Dan Islamologi. Bandar lampung: CV Sinar Sakti. 2011. hal 128 5

(10)

5. Asas mempersulit terjadinya perceraian.

6. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.

7. Asas pencatatan perkawinan

Pencatatan perkawinan mempermudah mengetahui manusia yang sudah menikah atau melakukan ikatan perkawinan.

UU Perkawinan bertujuan mengatur pergaulan hidup yang sempurna, bahagia dan kekal di dalam suatu rumah tangga guna terciptanya rasa kasih sayang dan saling mencintai.6 Di samping itu, UU Perkawinan dan KHI juga mengatur mengenai pembatalan perkawinan. Perkawinan dapat dibatalkan oleh Pengadilan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.7 Ditegaskan juga dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU Perkawinan (selanjutnya disebut PP No. 9 tahun 1975) bahwa “Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan”.

Dalam Pasal 28 ayat (1) UU Perkawinan, dijelaskan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Dalam mengajukan permohonan pembatalan pernikahan harus dilihat terlebih dahulu pihak mana yang dapat mengajukan permohonan tersebut dan alasan-alasan sehingga permohonan pembatalan perkawinan dapat diterima.

6

MR Martiman Prodjohamidjojo. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta:Indonesia Legal Center Publishing. 2007. hal.1

7

(11)

Sesuai dengan undang-undang No. 1 Tahun 1974 prinsip perkawinan adalah monogami. Asas monogami terbuka artinya, jika suami tidak mampu berlaku adil terhadap hak-hak istri bila lebih dari seorang maka cukup seorang istri saja. Di Indonesia, ketentuan tentang poligami ini diatur oleh UU Perkawinan khususnya bab 1 Pasal 3 sampai dengan Pasal 5 dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 Bab VII Pasal 40 sampai dengan Pasal 44, yang mana kesemuanya itu mengacu pada tujuan menjaga kehormatan wanita agar tidak terjadi adanya tindakan diluar ketentuan hukum, dengan jelas ditentukan dalam pasal 3 UU Perkawinan bahwa Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.8

Poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan). Hal ini berlawanan dengan praktik monogami yang hanya memiliki satu suami atau istri. Pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, begitupun isteri hanya boleh memiliki seorang suami. Poligini adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai isterinya dalam waktu yang bersamaan.9 Seorang suami yang beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi izin (Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan).

8

http://escampur-sari.blogspot.com/2012/06/makalah-poligami.html (diakses pada 29 Oktober 2013 pkl. 6:41 wib)

9

(12)

Dasar pemberian izin poligini oleh Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan dan juga dalam Bab IX KHI Pasal 57 seperti dijelaskan sebagai berikut:

a.Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

b.Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c.Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Apabila diperhatikan alasan pemberian izin melakukan poligini di atas, dapat dipahami bahwa alasannya mengacu kepada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal (istilah KHI disebut sakinah, mawaddah, dan rahmah ) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.10

Dijelaskan oleh Ibu Redoyati, S.H. selaku panitera muda di Pengadilan Agama Kelas IA Tanjung Karang, karena undang-undang menetapkan berbagai persyaratan yang tidak mudah untuk dipenuhi begitu saja, maka ada kecenderungan di masyarakat untuk melakukan poligini dengan mengambil jalan pintas dengan cara-cara yang dilarang, sehingga melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu secara diam-diam, tanpa sepengetahuan istri, bahkan tanpa didaftarkan di pencatatan nikah, dan ada juga yang menggunakan identitas palsu.

Setiap permohonan pembatalan perkawinan berbeda-beda masalahnya, antara lain karena penipuan identitas, wali nikah yang tidak sah, menikah di bawah ancaman,

(13)

dan hal-hal lainnya. Penipuan identitas yang terjadi dalam Putusan ini adalah seorang pria yang menikahi seorang wanita dengan mengaku sebagai duda ditinggal mati oleh isterinya yang terdahulu, padahal masih berstatus sebagai suami yang terikat perkawinan dengan isteri sahnya yang masih hidup. Berarti pria tersebut telah memalsukan identitasnya agar dapat melakukan perkawinan dengan wanita lain, yang jelas hal ini melanggar ketentuan dalam Pasal 71 KHI dan UU Perkawinan Pasal 27 ayat (2).11

Menurut Ibu Redoyati, S.H., penipuan identitas ini dapat merugikan pihak suami maupun istri, sehingga perlu mengajukan permohonan pembatalan perkawinan ke Pengadilan Agama, karena jelas bahwa pernikahan tersebut telah dilandasi oleh kebohongan dan melanggar ketentuan dari UU Perkawinan dan KHI. Alasan untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan pada saat ini sebenarnya banyak terjadi di kalangan masyarakat, namun tidak semua orang mengajukan permohonan pembatalan tersebut dengan pertimbangan tertentu. Pihak yang dapat mengajukan pembatalan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami dan isteri, suami atau isteri pejabat dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut.12

Dalam putusan No. 1597/Pdt.G.2008/PA.Kdl tertulis bahwa seorang laki-laki yang selanjutnya disebut sebagai suami memalsukan identitasnya sehingga seorang wanita yang selanjutnya disebut sebagai istri mengajukan permohonan pembatalan perkawinan karena merasa telah tertipu, sehingga si istri tidak berkeinginan lagi untuk melanjutkan perkawinan tersebut merasa telah dirugikan.

11

Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.

12

(14)

Dalam putusan tersebut dapat diketahui mengapa suatu perkawinan dapat dibatalkan walaupun telah sah dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang telah ada. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian, dan menuliskannya dalam skripsi yang berjudul : “Analisis Pembatalan Perkawinan Dalam Putusan No: 1597/Pdt.G/2008/PA. Kdl”.

B. Rumusan Masalah dan Lingkup Penelitian 1. Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka masalah yang akan diteliti adalah:

Faktor apakah yang menjadi penyebab terjadinya Pembatalan Perkawinan dalam Putusan No: 1597/Pdt.G/2008/PA.Kdl ?

Pokok bahasan pada penelitian ini adalah :

a.Alasan pembatalan perkawinan dalam kasus putusan No. 1597/Pdt.G.2008/PA.Kdl

b. Syarat dan prosedur pembatalan perkawinan

c. Akibat hukum pembatalan perkawinan

2. Ruang Lingkup

(15)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan penulisan skripsi ini adalah:

1. Menganalisis alasan pembatalan perkawinan dalam kasus putusan No. 1597/Pdt.G.2008/PA.Kdl

2. Menganalisis syarat dan prosedur dalam mengajukan permohonan pembatalan perkawinan

3. Menganalisis akibat hukum pembatalan perkawinan.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu : 1. Kegunaan Teoritis

Secara teorotis penelitian ini adalah sebagai dasar pemikiran dalam upaya mengembangkan teori-teori yang sesuai disiplin ilmu hukum, khususnya hukum keluarga Islam dan untuk memberikan masukan dan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum, khususnya ilmu hukum yang berkenaan dengan analisis pembatalan perkawinan dalam putusan no : 1597/Pdt.G/2008/PA.Kdl.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini berguna untuk :

a. Sebagai upaya pengembangan wawasan keilmuan dan pengetahuan penelitian di bidang ilmu hukum khususnya hukum keluarga.

(16)
(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

UU Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dilihat dari tujuan perkawinan untuk membentuk suatu keluarga yang kekal dan bahagia, keluarga merupakan kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, isteri, dan anak yang berdiam dalam suatu tempat tinggal. Dilihat dari pengertian tersebut, maka terdapat lima unsur didalamnya:1

1. Ikatan lahir bathin.

2. Antara seorang Pria seorang wanita. 3. Sebagai suami-istri.

4. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, 5. Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.

Dalam KHI Pasal 2 berbunyi “Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholidhan untuk

mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Selanjutnya

1

(18)

Pasal 3 KHI menyatakan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Pada dasarnya hukum perkawinan adalah Mubah (boleh), tapi hukum mubah ini dapat berubah tergantung dari situasi dan kondisi orang yang bersangkutan. Oleh karena itu hukum perkawinan di kategorikan wajib, sunnat, makruh, mubah dan juga haram.2

a. Hukum nikah menjadi Wajib, yaitu nikah bagi orang yang takut akan terjerumus kedalam perbuatan zinah jika ia tidak menikah. Menikah menjadi wajib apabila seseorang dari segi persyaratan jasmani dan rohani mencukupi dan dari sudut jasmani telah sangat mendesak untuk menikah. Karena dalam kondisi semacam ini menikah akan membantunya menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan.

b. Hukum nikah menjadi Sunnah, ketika seseorang telah memiliki syahwat yang sangat tinggi dan ia tidak takut akan terjerumus keperbuatan zinah. Jika menikah akan membawa maslahat serta kebaikan yang banyak baik bagi laki-laki itu maupun bagi wanita yang dinikahinya. Jadi jika seseorang dari segi jasmaninya telah wajar dan cenderung untuk menikah serta biaya hidup telah ada maka sunnah baginya untuk melakukan pernikahan. Kalau ia menikah maka dia akan mendapatkan pahala dan jika tidak atau belum menikah maka dia juga tidak berdosa.

c. Hukum nikah menjadi Makruh, yaitu bagi orang yang tidak mampu. Kondisi seperti ini biasanya dialami oleh laki-laki yang impoten atau dia

2

(19)

telah berusia lanjut, karena hal ini bisa menghalangi tujuan untuk meneruskan keturunan bagi wanita yang dinikahinya serta bisa mengecewakannya. Jika seorang dari sudut jasmaninya telah wajar untuk menikah walaupun belum sangat mendesak tetapi belum ada biaya untuk hidup sehingga bila ia menikah hanya akan membawa kesengsaraan hidup bagi istri dan anak-anaknya maka makruhlah baginya untuk melakukan perkawinan. Jika ia menikah maka ia tidak akan berdosa dan tidak pula akan mendapat pahala. Sedangkan jika ia tidak menikah berdasarkan pada pertimbangan diatas maka ia akan mendapat pahala.

d. Hukum nikah menjadi Haram, bagi seorang muslim yang berada didaerah orang kafir yang sedang memeranginya. Karena hal itu bisa membahayakan isteri dan anak-anaknya. Selain itu pula orang-orang kafir tersebut bisa mengalahkan dan menjadikannya dibawah kendali mereka. Dalam kondisi seperti ini seorang isteri tidak bisa aman dari mereka. Hukum nikah menjadi haram jika seorang laki-laki hendak menikahi seorang wanita dengan maksud menganiaya atau memperolok-oloknya maka haramlah bagi laki-laki untuk menikah dengan wanita tersebut. Melakukan perkawinan dengan tujuan untuk melakukan balas dendam juga hukumnya menjadi haram untuk dilakukan.3

Dari perkawinan akan timbul akibat hukum antara lain:4 1. tentang keabsahan anak/keturunan

2. tentang kewajiban orang tua terhadap anak

3

Martiman Prodjohamidjojo. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: PT Abadi. 2001. hal 1

4

(20)

3. tentang kewajiban anak terhadap orang tua dan 4. tentang harta yang timbul dari perkawinan.

2. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan a. Rukun Perkawinan

Untuk dapat melangsungkan perkawinan yang sah maka harus dipenuhi rukun dan syarat perkawinan.

Rukun Perkawinan:5

1. Ada calon mempelai pengantin pria dan wanita 2. Ada wali pengantin perempuan

3. Ada dua orang saksi pria dewasa 4. Adanya Mahar

Mahar adalah sesuatu yang diserahkan oleh calon suami kepada calon isteri dalam akad perkawinan sebagai lambang kecintaan calon suami terhadap calon isterinya serta perlambang kesediaan calon isteri menjadi istrinya. Unsur-unsur yang ada dalam mahar adalah sebagai berikut:

a. Mahar itu tidak ditentukan berapa jumlahnya b. Harus berupa sesuatu yang halal

c. Harus mempunyai nilai guna dan manfaatnya

d. Bahwa mahar itu hukumnya sunnah disebutkan dalam akad perkawinan. 5. Adanya Ijab dan Kabul

Syarat Ijab :

1. Diucapkan lafaznya dengan jelas dan tegas 2. Diucapkan oleh walinya atau wakilnya

5

(21)

3. Ijab harus didengar oleh pihak-pihak yang bersangkutan baik pengantinnya maupun saksi-saksinya

Syarat Kabul :

1. Dengan lafaz tertentu yang diucapkan secara tegas yang diambil dari kata-kata nikahnya

2. Diucapkan oleh calon suami

3. Kabul tersebut harus didengar oleh yang bersangkutan atau para saksinya

b. Syarat-Syarat Perkawinan

Yang dimaksud dengan syarat sahnya perkawinan adalah sebagai berikut:6

1. Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan yang menentukan bahwa “Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai” jadi dalam melangsungkan suatu perkawinan bukan didasarkan atas unsur paksaan siapapun dan harus dilakukan atas kehendak kedua calon mempelai.

2. Terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menentukan “Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam

belas) tahun”. Kedua calon mempelai yang akan melangsungkan akad nikah harus mencapai usia yang diatur dalam Undang-Undang ini.

3. Pasal 6 ayat (2) disebutkan apabila calon suami atau calon isteri belum berumur seperti yang dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (1) maka calon mempelai yang akan melakukan perkawinan harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari orang tua ataupun walinya, karena mereka dianggap

6

(22)

belum dewasa secara hukum. Apabila izin dari kedua orang tua tidak didapat maka kedua calon mempelai harus meminta izin kepada pengadilan.

Suatu perkawinan terdapat syarat-syarat yang harus dijalani atau dilakukan agar perkawinan itu dapat dianggap sah baik secara agama maupun secara hukum dalam catatan sipil. Rukun perkawinan tercantum dalam Bab IV Pasal 14 KHI, sedangkan syarat perkawinan tercantum dalam Pasal 16 KHI. Dalam Pasal 16 KHI ayat (1) perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai, dalam ayat (2) ditentukan bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan tegas, kemudian dalam Pasal 17 ayat (1) menyatakan sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua orang saksi nikah.

3. Dasar Perkawinan

Dalam melangsungkan suatu perkawinan harus ada dasar-dasar yang mengatur didalamnya.

a. Dalam Bab I Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menentukan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(23)

c. Dalam Pasal 3 ayat (2) menentukan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

d. Dalam Pasal 4 ayat (1) menentukan bahwa dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tesebut dalam pasal 3 ayat (2) undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

Dasar Perkawinan dalam KHI ditentukan dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 10 KHI.

a. Dalam Bab II Pasal 3 KHI menyatakan bahwa Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

b. Dalam Pasal 4 menyatakan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

(24)

4. Pencatatan Perkawinan

a. Pencatatan Perkawinan dalam Perspektif UU Perkawinan: Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan

(1) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku

b. Pencatatan Perkawinan Dalam Perspektif KHI, terdapat pada Pasal 5 ayat 1-2 sebagai berikut:

(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.

(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah Sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

Kemudian juga dijelaskan pada Pasal 6 ayat 1-2 yang berbunyi sebagai berikut: (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah”.

(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum

Aturan-aturan di dalam KHI ini tidak hanya berbicara pada tataran administratif, namun lebih dari itu, sebagaimana tercantum pada Pasal 5 ayat 1, yaitu agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam.

(25)

(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan.

(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

(3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.

B. Penipuan Identitas

Penipuan identitas itu sendiri menjadi salah satu alasan pembatalan dalam suatu perkawinan. Jika salah satu dari suami atau isteri itu diketahui dan terbukti melakukan penipuan identitas, maka berhak diajukan pembatalan perkawinan oleh pihak yang merasa dirugikan. Seperti yang dijelaskan di dalam kompilasi hukum Islam BAB XI yang menjelaskan mengenai pembatalan perkawinan.7 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, penipuan berarti proses, perbuatan, cara menipu, perkara menipu (mengecoh), sedangkan identitas adalah ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang; jati diri. Jadi, penipuan identitas adalah proses atau cara untuk membuat ciri-ciri seseorang menjadi berbeda agar tidak diketahui keadaan yang sebenarnya. Perbuatan pemalsuan dapat digolongkan dalam kelompok kejahatan ”

penipuan ” ; tidak semua penipuan apabila seseorang memberikan gambaran

tentang sesuatu gambaran atas barang seakan-akan asli atau benar, sedangkan sesungguhnya atau kebenaran tersebut tidak dimilikinya, karena gambaran data ini

7

(26)

orang lain terperdaya dan mempercaya bahwa keadaan yang digambarkan atas barang/surat/data tersebut adalah benar atau asli. Penipuan terhadap tulisan/data terjadi apabila isinya atau datanya tidak benar. Pengertian identitas adalah tanda pengenal/tanda asal usul seseorang.

C. Pembatalan Perkawinan

1. Pengertian Pembatalan Perkawinan

UU perkawinan mengatur tentang pembatalan perkawinan sebagaimana tercantum dalam Pasal 138 sampai dengan Pasal 209 dan Pasal 2210 sampai dengan Pasal 2811.12 Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkan akad nikah. Oleh karena itu, akan dikaji mengenai langkah-langkah pembatalan setelah perkawinan selesai dilangsungkan, dan diketahui adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi menurut Pasal 22 UU Perkawinan.13

8

Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

9

Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8. Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undag-Undang ini meskupin tidak ada pencegahan perkawinan.

10

Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

11

(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsunya perkawinan.

(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap :

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

b. Suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.

c. Orang-orang yang ketiga lainnya tidak termasuk dalam huruf a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

12

K. Wantjik Saleh. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1980. hal 29

13

(27)

Dalam Bab XI Pasal 70 KHI perkawinan batal apabila :

a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam iddah talak raj’i;

b. seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili’annya;

c. sesorang menikah bekas isterinya yang pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa

iddahnya;

d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan, menurut pasal 8 UU Perkawinan, yaitu:

1. berhubungan darah dalam garis lurus ke bawah atau ke atas;

2. berhubungan darah dalam garis lurus keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.

3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri;

4. berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.

e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya.

(28)

zonder kracht (tidak ada kekuatan) zonder waarde (tidak ada nilai). Dapat dibatalkan berarti nietig verklaard, sedang ; absolut nietig adalah kebatalan mutlak, berarti sejak semula tidak pernah terjadi perkawinan.14

Adanya kesan pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidak berfungsinya pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga perkawinan itu terlanjur terlaksana kendati setelah itu ditemukan pelanggaran terhadap undang-undang perkawinan atau hukum munakahat. Jika ini terjadi maka Pengadilan Agama dapat membatalkan perkawinan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan. Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami dan istri dan orang-orang yang memiliki kepentingan langsung terhadap perkawinan tersebut.15

2. Alasan-Alasan Pembatalan Perkawinan

Undang-Undang Perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Ketentuan ini bukan berarti dengan sendirinya perkawinan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut batal, tetapi harus melalui prosedur pengadilan dalam daerah hukum tempat perkawinan itu dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri.16

14

Zainuddin Ali. Op.cit. hal.23

15

Martiman P. Op.Cit.,hal. 25

16

(29)

Dalam setiap melakukan suatu keputusan semua orang harus mampu menjelaskan alasan-alasan ataupun sebab-sebab keputusan itu akan dijalani. Seperti halnya dengan pembatalan perkawinan yang dibahas ini dimana suatu perkawinan ini bisa berakhir atau batal dengan sebab/alasan salah satu pihak telah memalsukan identitas (penipuan). Pembatalan dengan alasan seperti ini harus segera dilakukan dan tidak boleh ditunda lagi karena telah merugikan pihak lain dan telah melanggar ketentuan dalam UU Perkawinan N0. 1 tahun 1974 dan dalam KHI.

Adapun alasan-alasan pembatalan perkawinan yang terdapat didalam KHI Pasal 71 adalah sebagai berikut:

a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;

b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud;

c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain;

d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 UU Perkawinan;

e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;

f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

(30)

Para ahli hukum berpendapat bahwa tipe perkawinan hanya dapat dinyatakan

vernietigbaar (dapat dibatalkan), artinya bahwa perkawinan itu hanya dapat dinyatakan batal sesudah keputusan hakim atas dasar-dasar yang diajukan oleh penuntut yang ditunjuk undang-undang.17 Dalam peraturan perundang-undangan, pembatalan perkawinan karena adanya penipuan, dalam hal ini memalsukan identitas, hanya dibahas sebagai dasar hukum. Hal ini dapat diambil suatu pengertian apabila ada suatu perkawinan tanpa adanya suatu persetujuan dari pihak suami atau isteri yang masih dalam ikatan perkawinan yang sah dengan yang bersangkutan, maka perkawinan tersebut dinyatakan cacat dan batal demi hukum.

D. Pengadilan Agama

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang dimaksud dengan peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Jadi, Peradilan Agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan hukum agama Islam kepada orang-orang Islam yang dilakukan di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Sebagai lembaga peradilan, peradilan agama dalam bentuknya yang sederhana berupa tahkim, yaitu lembaga penyelesaian sengketa antara orang-orang Islam yang dilakukan oleh para ahli agama, dan telah lama ada dalam masyarakat Indonesia yakni sejak agama Islam datang ke Indonesia.

17

(31)

Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Agama memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:18

a. perkawinan; b. warta; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq;

h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah.

Pengadilan Agama dibentuk melalui undang-undang dengan daerah hukum meliputi wilayah Kota atau Kabupaten. Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan (Ketua PA dan Wakil Ketua PA), Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita.

Dalam suatu pengadilan pasti terdapat aturan tentang wewenang dan tugas dari pengadilan itu sendiri. Yang mana pembagian tugas dan wewenang pengadilan itu bertujuan untuk:

1. Agar terbina suatu pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang tertib antar masing-masing lingkungan.

2. Tidak saling berebut kewenangan.

18

(32)

3. Masing-masing bergerak dan berfungsi sesuai dengan patokan batas yurisdiksi yang ditentukan.

4. Memberi arah yang pasti bagi setiap anggota masyarakat pencari keadilan untuk berperkara.

E. KERANGKA PIKIR

Sepasang suami isteri menjalankan perkawinannya berdasarkan hukum dan ketentuan agama Islam, tetapi salah satu pihak ternyata diketahui telah melakukan penipuan identitas sehingga pihak lain merasa tertipu. Berdasarkan atas kejadian tersebut salah satu pihak ingin melakukan pembatalan perkawinan dengan berlandaskan pada UU Perkawinan Pasal 27 ayat (2) jo KHI Pasal 72 ayat (2) yang pada dasarnya permasalahan pembatalan ini masuk kedalam kekuasaan

Suami Isteri

Permohonan Pembatalan Perkawinan

Putusan PA No: 1597/Pdt.G.2008/PA.Kdl

Alasan pembatalan perkawinan

Syarat dan prosedur

dalam mengajukan

permohonan

pembatalan

perkawinan

(33)
(34)

III. METODE PENELITIAN

A.Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif terapan. Penelitian hukum normatif terapan adalah penelitian hukum yang objek kajiannya meliputi ketentuan-ketentuan perundang-undangan (in abstracto) serta penerapannya pada peristiwa hukum (in concreto).1

B.Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian deskriptif.2 Tipe penelitian deskriptif bertujuan untuk memperoleh pemaparan (deskripsi) secara lengkap, rinci, jelas dan sistematis tentang beberapa aspek yang diteliti pada undang-undang atau peraturan daerah atau naskah kontrak atau objek kajian lainnya. Untuk itu pada penelitian ini akan diuraikan secara lengkap, rinci, jelas, dan sistematis mengenai pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas di pengadilan agama yang akan dteliti berdasarkan pada peraturan-peraturan yang terkait.

1

Abdulkadir Muhammad. Hukum Dan Penelitian Hukum. Bandung: PT Aditya Bakti, 2004.hal 201

2

(35)

C.Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian.3 Pendekatan masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan masalah normatif terapan. Dalam pendekatan normatif terapan terdiri dari beberapa langkah, antara lain:4

1. Identifikasi pokok bahasan dan subpokok bahasan berdasarkan rumusan masalah;

2. Identifikasi ketentuan hukum normatif yang menjadi tolak ukur terapan yang bersumber dari dan lebih sesuai dengan subpokok bahasan;

3. Penerapan ketentuan hukum normatif sebagai tolak ukur terapan pada peristiwa hukum yang bersangkutan, yang menghasilkan prilaku yang sesuai atau tidak sesuai.

Adapun yang menjadi pokok bahasan pada penelitian ini adalah analisis pembatalan perkawinan dalam putusan no:1597/Pdt.G/2008/PA.Kdl. Ketidaksesuaian dengan undang-undang tentang perkawinan dan KHI sehingga dihasilkan putusan pembatalan perkawinan.

3

Ibid, hal 112 4

(36)

D. Data dan Sumber Data

Dalam penelitian hukum normatif terapan, data yang diperlukan adalah data sekunder. Data sekunder dibedakan antara bahan hukum :5

1. Yang berasal dari hukum, yaitu perundang-undangan, dokumen hukum, putusan pengadilan, laporan hukum dan catatan hukum.

2. Yang berasal dari ilmu pengetahuan hukum, yaitu ajaran atau doktrin hukum, teori hukum, pendapat hukum, dan ulasan hukum.

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi pustaka bahan-bahan hukum, jenis data sekunder yang dipergunakan dalam penulisan ini terdiri dari: Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang meliputi :

1. Bahan hukum primer terdiri dari :

a. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

b. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Agama

c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

d. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

a. Kompilasi Hukum Islam Instruksi Presiden Republik Indonesia No 1 Tahun 1991

f. Putusan Pengadilan Agama Nomor : 1597/Pdt.G/2008/PA.Kdl

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang mempelajari penjelasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari literatur-literatur,

5

(37)

buku-buku ilmu pengetahuan hukum yang berkaitan dengan perkawinan dan pembatalan perkawinan.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan informasi, penjelasan, terhadap bahan hukum primer dan sekunder yaitu kamus hukum, majalah atau jurnal, internet, dan informasi lainnya yang mendukung penelitian ini.

E. Metode Pengumpulan Data

Merujuk pada pendekatan masalah dan sumber data yang diperlukan, maka pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan:

1. Studi pustaka (Library Research)

Data sekunder didapatkan dan dikumpulkan melalui studi pustaka dengan melakukan serangkaian kegiatan seperti membaca, meneliti dan mengutip dari literature perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan.

2. Studi Dokumen

Mengkaji informasi tertulis mengenai hukum yang tidak dipublikasikan secara umum, tetapi dapat diketahui oleh pihak tertentu. Pengkajian dan analisis informasi tertulis mengenai hukum yang tidak dipublikasikan secara umum berupa dokumen yang berkaitan dengan pokok bahasan penelitian ini adalah analisis pembatalan perkawinan dalam putusan no:1597/Pdt.G/2008/PA.Kdl

3. Wawancara

(38)

Karang dan Ibu Redoyati, S.H. selaku Panitera Muda di Pengadilan Agama Kelas IA Tanjung Karang. Wawancara ini dilakukan sebagai data pendukung dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan pedoman pertanyaan secara tertulis.

F. Pengolahan Data

Setelah terkumpulnya data maka akan dilakukan pengolahan data sehingga data tersebut dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan yang diteliti. Pengolahan data umumnya dilakukan dengan cara:6

1. Pemeriksaan data (editing), yaitu mengoreksi apakah data yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar dan sudah sesuia/relevan dengan masalah. 2. Rekonstruksi data (reconstructing), yaitu menyusun ulang data secara teratur,

berurutan, logis sehingga mudah dipahami dan diinterprestasikan.

3. Sistematisasi data (sistematizing), yaitu menempatkan data berdasarkan kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah.

G. Analisis Data

Analisis data dilakukan setelah selesainya pengahan data, sehingga data dapat dianalisis secara kualitatif, yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang tertatur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan dalam interprestasi data dan pemahaman hasil analisis.7

6

Ibid, hal 126 7

(39)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis maka dapat diambil kesimpulan dari masalah yang menjadi obyek penelitian yaitu :

1. Pada Pengadilan Agama Kendal dalam memutus perkara pembatalan perkawinan Nomor : 1597/Pdt.G/2008/PA.Kdl. berdasarkan pada Pasal 72 ayat (2) menyatakan seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila dalam waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri. Penipuan identitas dapat menyebabkan terjadinya suatu pembatalan perkawinan karena pada dasarnya penipuan identitas merugikan pihak-pihak yang bersangkutan.

(40)

dengan tatacara pengajuan gugatan perceraian. Prosedur pembatalan perkawinan terdapat dua bagian yaitu prosedur perlengkapan administrasi dan prosedur penyelesaian perkara pembatalan perkawinan di persidangan.

3. Akibat hukum dari pembatalan perkawinan pada Putusan Nomor 1597/Pdt.G/2008/PA.Kdl bagi pasangan suami isteri yaitu putusnya ikatan pekawinan. Suami dan isteri yang telah dibatalkan perkawinannya tersebut kembali pada statusnya terdahulu, seperti pada saat mereka belum melakukan perkawinan tersebut.

B. Saran

(41)

DAFTAR PUSTAKA

Buku/Literatur

Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2012 Amnawaty dan Wati Rahmi Ria. Hukum Dan Hukum Islam. Bandar Lampung:

CV Sinar Sakti. 2007

Ashshofa Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2004 Hadikusuma, H. Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut : Perundangan,

Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: CV Mandar Maju. 2007 Hakim, Mr.S.A. Hukum Perkawinan. Jakarta: Hak Cipta Dipertahankan. 1974 Mardani. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah.

Jakarta: Sinar Grafika. 2009

Muhammad Abdulkadir. Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti. 2000

____________________. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti. 2000

____________________. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti. 2004

Prodjohamidjojo Martiman. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: PT Abadi. 2001

Ria,Wati Rahmi. Hukum Islam dan Islamologi. Bandar lampung: CV Sinar Sakti. 2009

____________. Hukum Waris Islam. Bandar Lampung: Lembaga Penelitian Universitas Lampung. 2009

(42)

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Agama

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Kompilasi Hukum Islam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1Tahun 1991

Media Internet

http://eprints.upnjatim.ac.id/3639/1/file1.pdf, diakses pada 25 Februari 2013 http://digilib.uinsuka.ac.id/1468/1/BAB%20I,%20BAB%20V,%20DAFTAR%20 PUSTAKA.pdf, diakses pada 10 Maret 2013

http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/377/1/102159MUHAM AD%20MUSLIH-FSH.PDF, diakses pada 24 Juli 2013

Referensi

Dokumen terkait

(d) Earing adalah bentuk cacat pada tepi atas cawan yang terjadi karena logam lembaran tidak isotropi (gambar 1.25.d);.. (e) Guratan pada permukaan ( surface scratches ) terjadi

Menurut Herzberg seandainya kondisi lingkungan yang baik dapat menciptakan prestasi yang tinggi, Kondisi lingkungan kerja yang baik dan nyaman akan dapat meningkatkan

Menyatakan bahwa skripsi saya berjudul “KRITIK SOSIAL DAN NILAI MORAL DALAM NOVEL NEGERI DI UJUNG TANDUK KARYA TERE LIYE SERTA RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN

the costume of the Javanese performing arts, especially the function of shawls they use in the traditional dance theatre, which inspired me for doing my shawls. I will divide into

Pada umumnya, bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah sebagai bahasa pertama dan bahasa Indonesia (atau bahasa nasional) sebagai bahasa kedua. Dalam beberapa

Pengertian sistem menurut para ahli.. Diperoleh

Sedangkan rasio likuiditas, leverage , reputasi auditor, ukuran perusahaan dan umur obligasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap peringkat

variabel moderat, dengan pengertian bahwa variabel moderating (umur obligasi) tidak dapat memoderasi variabel leverage terhadap peringkat obligasi pada