EFEKTIVITAS BRIKET KULIT DURIAN DALAM
MENURUNKAN KADAR BESI (Fe) AIR SUMUR
DI PERUMAHAN MILALA KELURAHAN
LAU CIH KECAMATAN
MEDAN TUNTUNGAN
TAHUN 2014
Oleh:
SISCA RAMAYANTI MAIBANG
NIM.121021017
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
EFEKTIVITAS BRIKET KULIT DURIAN DALAM
MENURUNKAN KADAR BESI (Fe) AIR SUMUR
DI PERUMAHAN MILALA KELURAHAN
LAU CIH KECAMATAN
MEDAN TUNTUNGAN
TAHUN 2014
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh GelarSarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh:
SISCA RAMAYANTI MAIBANG
NIM.121021017
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Salah satu sumber air adalah air tanah seperti air sumur. Air sumur tergolong bersih dari segi mikrobiologis karena mengalami penyaringan alamiah. Tetapi dapat mengandung zat mineral dengan konsentrasi tinggi salah satunya adalah besi (Fe). Oleh karena itu diperlukan teknik pengolahan untuk menurunkan kadar Fe pada air. Salah satu caranya adalah teknik absorbsi, dengan media briket. Absorben yang digunakan adalah briket kulit durian sebagai salah satu media filter dalam penyaringan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas briket kulit durian dalam menurunkan kadar Fe air sumur di Perumahan Milala.
Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimen semu dengan rancangan penelitian pre and post test design. Sampel berupa air sumur Perumahan Milala Kelurahan Lau Cih Kecamatan Medan Tuntungan dengan perlakuan penyaringan dengan media filter kerikil 15 cm, pasir 20 cm dan briket kulit durian dengan ketebalan lapisan briket kulit durian 45 cm, 50 cm, 55 cm dan 60 cm. Masing- masing dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan. Dimana air yang disaring sebanyak 6 L dan membutuhkan waktu 18 menit selama penyaringan.
Hasil penelitian menunjukkan pada sampel sebelum penyaringan air sumur kadar besinya adalah 6.48 mg/l. Pada penyaringan dengan ketebalan briket 45 cm, 50 cm, 55 cm dan 60 cm masing- masing rata-rata kadar Fe adalah 1.78 mg/l, 1.02 mg/l, 0.70 mg/l dan 0.63 mg/l. Pada hasil penyaringan terjadi penurunan kadar Fe air sumur, sehingga penggunaan briket kulit durian sebagai media filter efektif dalam menurunkan kadar Fe.
Disarankan kepada masyarakat yang menggunakan sumber air dengan kadar besi yang tinggi dapat menggunakan briket kulit durian sebagai media filter dalam penyaringan untuk menurunkan kadar Fe dan sekaligus mengurangi volume sampah kulit durian.
ABSTRACT
Water is the most important in life after air . One source of water is ground water as well water. Water wellrelatively clean in terms of microbiological because of a natural filtering. But can contain minerals with high concentrations of one of which is ferrum ( Fe ). Therefore required processing techniques to reduce standards of ferrum in the water. One way is the absorption technique, with media briquettes. Absorbent used is the durian shell briquettes as one of the filters in the filter media.
The purpose of this research is to determine effectiveness of the durian shell briquettes reduce Fe water wells in housing Milala.
This type of research is quasy experiment with Pre and Post Test Design. Samples of well water housing Milala Kelurahan Lau Cih Kecamatan Medan Tuntungan the filtration treatment with gravel filter media 15 cm, 20 cm and briquettes sand durian shell with a layer thickness shell briquettes durian 45 cm, 50 cm , 55 cm and 60 cm . Each performed a total of three repetitions. Where the filtered water as much as 6 L and takes 18 minutes during filtration.
The results showed the well water samples before filtering the ferrum concentration is 6.48 mg / l. In filtering with a thickness of 45 cm briquettes, 50 cm, 55 cm and 60 cm respectively average Fe content was 1.78 mg /l, 1.02 mg /l, 0.70 mg /l and 0.63 mg /l. In the result there is a decrease of Fe content filtering water wells, so the use of briquettes durian shell as an effective filter media in the lower standards of Fe.
It is recommended to people who use water sources with high standards of ferrum can use durian shell briquettes as a filter media in the filtration to reduce Fe and reducing waste volume durian shell.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Sisca Ramayanti Maibang
Tempat/ Tanggal Lahir : Tigabaru, 30 September 1989
Agama : Kristen Protestan
Status Perkawinan : Belum Menikah
Anak ke : 1 dari 4 bersaudara
Alamat Rumah : Jln SM.Raja No 80 Tigabaru Kecamatan Pegagan Hilir
Kabupaten Dairi Sumatera Utara
Riwayat Pendidikan
1. Tahun 1997-2002 : SD Negeri 030328 Bandar Huta Usang
2. Tahun 2002-2005 : SMP Negeri 1 Pegagan Hilir
3. Tahun 2005-2008 : SMA Budi Murni 2 Medan
4. Tahun 2008-2011 : D-III Kesehatan Lingkungan Poltekes Kemenkes Medan
5. Tahun 2012-2015 : S1-Ekstensi Fakultas Kesehatan Masyarakat USU
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
kasih karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul
“EFEKTIVITAS BRIKET KULIT DURIAN DALAM MENURUNKAN
KADAR BESI (Fe) AIR SUMUR DI PERUMAHAN MILALA KELURAHAN
LAU CIH KECAMATAN MEDAN TUNTUNGAN TAHUN 2014 ”. Skripsi ini
merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan guna memperoleh
gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa yang disajikan dalam skripsi ini mungkin masih
terdapat kekurangan yang harus diperbaiki. Untuk itu penulis mengharapkan saran
dan kritik yang sifatnya membangun untuk memperkaya materi skripsi ini.
Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai
pihak baik secara moril dan materil. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
2. Ir. Evi Naria, M.Kes selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, MS selaku Dosen Pembimbing I yang
telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan
kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
4. Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis
dalam penulisan skripsi ini.
5. Ir. Indra Chahaya, M.Si dan Dra.Nurmaini, MKM, Ph.D selaku dosen penguji
6. Asfriyati, SKM, M.Kes selaku dosen pembimbing akademik, yang telah
memotivasi penulis agar mendapatkan nilai terbaik dalam perkuliahan.
7. Seluruh dosen serta staf Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara, khususnya dosen dan staf departemen kesehatan lingkungan yang telah
memberikan bekal ilmu kepada penulis selama mengikuti perkuliahan dan
selama proses penulisan skripsi.
8. Jernita Sinaga, SKM selaku asisten Laboratorium Poltekes Kemenkes Medan
Jurusan Kesehatan Lingkungan, yang telah banyak membantu dalam
penelitian ini.
9. Teristimewa untuk kedua orang tuaku tercinta Ayahanda T. Maibang, Ibunda
R. Girsang dan adik-adikku Evrika Sanny Maibang, Indra Suveron Maibang
dan Iwan Aliansi Maibang serta seluruh keluarga yang telah memberikan
dukungan doa, kasih sayang serta semangat yang telah diberikan dalam
penyelesaian skripsi ini.
10.Seluruh teman-teman FKM USU khususnya ekstensi 2012 dan peminatan
Kesehatan Lingkungan yang telah membantu proses penulisan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan
bagi perkembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.
Medan, Desember 2014
Penulis
DAFTAR ISI
2.4.1. Dampak Besi (Fe) Terhadap Kesehatan ... 17
2.4.2. Teknologi Penurunan Kandungan Besi Pada Air ... 18
2.4.3. Proses Pengolahan Air Dengan Filter Karbon Aktif ... 22
2.5. Tanaman Durian (Durio zibethinus) ... 23
2.6. Karbon Aktif ... 25
2.6.1. Pembuatan Karbon Aktif ... 29
2.6.2. Proses Aktivasi Karbon Aktif ... 31
2.7 Kerangka Konsep ... 35
BAB III METODE PENELITIAN ... 36
3.1. Jenis Dan Desain Penelitian ... 36
3.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian ... 36
3.3. Objek Penelitian dan Sampel ... 36
3.3.2. Sampel ... 37
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 37
3.4.1. Data Primer ... 37
3.4.2. Data Sekunder ... 37
3.5. Defenisi Operasional ... 37
3.6. Prosedur Pembuatan Briket Kulit Durian ... 38
3.7. Penyaringan Air Sumur Dengan Briket Kulit Durian ... 39
3.8. Metode Pemeriksaan Sampel ... 42
3.9. Analisa Data ... 43
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 44
4.1. Pemeriksaan Sampel ... 44
BAB V PEMBAHASAN ... 46
5.1. Hasil Pemeriksaan Kadar Besi (Fe) Air Sumur Di Perumahan Milala Kelurahan Lau Cih Kecamatan Medan Tuntungan ... 46
5.2. Pengaruh Penyaringan Dengan Berbagai Ketebalan Briket Terhadap Penurunan Kadar Besi (Fe) Air Sumur ... 47
5.3. Pemanfaatan Briket Kulit Durian Sebagai Media Filter ... 51
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 53
6.1. Kesimpulan ... 53
6.2. Saran ... 54
Daftar Pustaka ... 55
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Kadar Besi (Fe) Sebelum dan Sesudah
Penyaringan ... ... 44
Tabel 4.2 Persentase Penurunan Kadar Besi (Fe) Sebelum dan Sesudah
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Konsep ... 35
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
Lampiran 1. Surat Keterangan Penelitian ... 57
Lampiran 2. Surat Hasil Pemeriksaan Laboratorium ... 58
Lampiran 3. Permenkes Republik Indonesia No 416 Tahun 1990 ... 59
ABSTRAK
Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Salah satu sumber air adalah air tanah seperti air sumur. Air sumur tergolong bersih dari segi mikrobiologis karena mengalami penyaringan alamiah. Tetapi dapat mengandung zat mineral dengan konsentrasi tinggi salah satunya adalah besi (Fe). Oleh karena itu diperlukan teknik pengolahan untuk menurunkan kadar Fe pada air. Salah satu caranya adalah teknik absorbsi, dengan media briket. Absorben yang digunakan adalah briket kulit durian sebagai salah satu media filter dalam penyaringan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas briket kulit durian dalam menurunkan kadar Fe air sumur di Perumahan Milala.
Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimen semu dengan rancangan penelitian pre and post test design. Sampel berupa air sumur Perumahan Milala Kelurahan Lau Cih Kecamatan Medan Tuntungan dengan perlakuan penyaringan dengan media filter kerikil 15 cm, pasir 20 cm dan briket kulit durian dengan ketebalan lapisan briket kulit durian 45 cm, 50 cm, 55 cm dan 60 cm. Masing- masing dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan. Dimana air yang disaring sebanyak 6 L dan membutuhkan waktu 18 menit selama penyaringan.
Hasil penelitian menunjukkan pada sampel sebelum penyaringan air sumur kadar besinya adalah 6.48 mg/l. Pada penyaringan dengan ketebalan briket 45 cm, 50 cm, 55 cm dan 60 cm masing- masing rata-rata kadar Fe adalah 1.78 mg/l, 1.02 mg/l, 0.70 mg/l dan 0.63 mg/l. Pada hasil penyaringan terjadi penurunan kadar Fe air sumur, sehingga penggunaan briket kulit durian sebagai media filter efektif dalam menurunkan kadar Fe.
Disarankan kepada masyarakat yang menggunakan sumber air dengan kadar besi yang tinggi dapat menggunakan briket kulit durian sebagai media filter dalam penyaringan untuk menurunkan kadar Fe dan sekaligus mengurangi volume sampah kulit durian.
ABSTRACT
Water is the most important in life after air . One source of water is ground water as well water. Water wellrelatively clean in terms of microbiological because of a natural filtering. But can contain minerals with high concentrations of one of which is ferrum ( Fe ). Therefore required processing techniques to reduce standards of ferrum in the water. One way is the absorption technique, with media briquettes. Absorbent used is the durian shell briquettes as one of the filters in the filter media.
The purpose of this research is to determine effectiveness of the durian shell briquettes reduce Fe water wells in housing Milala.
This type of research is quasy experiment with Pre and Post Test Design. Samples of well water housing Milala Kelurahan Lau Cih Kecamatan Medan Tuntungan the filtration treatment with gravel filter media 15 cm, 20 cm and briquettes sand durian shell with a layer thickness shell briquettes durian 45 cm, 50 cm , 55 cm and 60 cm . Each performed a total of three repetitions. Where the filtered water as much as 6 L and takes 18 minutes during filtration.
The results showed the well water samples before filtering the ferrum concentration is 6.48 mg / l. In filtering with a thickness of 45 cm briquettes, 50 cm, 55 cm and 60 cm respectively average Fe content was 1.78 mg /l, 1.02 mg /l, 0.70 mg /l and 0.63 mg /l. In the result there is a decrease of Fe content filtering water wells, so the use of briquettes durian shell as an effective filter media in the lower standards of Fe.
It is recommended to people who use water sources with high standards of ferrum can use durian shell briquettes as a filter media in the filtration to reduce Fe and reducing waste volume durian shell.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara.
Sekitar tiga per empat bagian dari tubuh kita terdiri dari air dan tidak seorangpun
dapat bertahan hidup lebih dari empat sampai lima hari tanpa minum air. Volume air
dalam tubuh manusia rata-rata 65 % dari total berat badannya, dan volume tersebut
sangat bervariasi pada masing-masing orang, bahkan juga bervariasi antara
bagian-bagian tubuh seseorang. Beberapa organ tubuh manusia yang mengandung banyak
air, antara lain otak 74.5%, tulang 22%, ginjal 82.7%, otot 75.6%, dan darah 83%
(Chandra, 2007).
Sumber-sumber air yang ada di bumi dapat berasal dari air permukaan yang
merupakan air sungai dan danau. Air tanah tergantung kedalamannya bisa disebut air
tanah dangkal atau air tanah dalam. Serta air angkasa, yaitu air yang berasal dari
atmosfir, seperti hujan dan salju. Kualitas berbagai sumber air tersebut berbeda-beda
sesuai dengan kondisi alam serta aktivitas manusia yang ada disekitarnya (Slamet,
2009).
Air tanah merupakan sebagian air hujan yang mencapai permukaan bumi dan
menyerap ke dalam lapisan tanah dan menjadi air tanah (Chandra, 2007). Air tanah
dalam pada umumnya tergolong bersih dilihat dari segi mikrobiologis, karena
sewaktu proses pengaliran mengalami penyaringan alamiah dan dengan demikian
kebanyakan mikroba sudah tidak lagi terdapat didalamnya. Namun demikian, kadar
tanah yang dilalui (Slamet, 2009). Sebelum mencapai lapisan tempat air tanah, air
hujan akan menembus beberapa lapisan tanah dan menyebabkan terjadinya kesadahan
air (hardness of water). Kesadahan pada air ini menyebabkan air mengandung zat-zat
mineral dalam konsentrasi tinggi. Zat-zat mineral tersebut, antara lain kalsium,
magnesium dan logam berat seperti Fe dan Mn. Akibatnya, apabila kita menggunakan
air sadah untuk mencuci, sabun tidak akan berbusa dan bila diendapkan akan
terbentuk endapan semacam kerak (Chandra, 2007).
Kadar Fe yang berlebihan dalam air selain menimbulkan dampak kesehatan
juga dapat menimbulkan warna kuning pada pakaian, wastafel dan lantai pada kamar
mandi, rasa yang tidak enak pada air, pengendapan pada dinding pipa kekeruhan pada
air. Sekalipun Fe itu diperlukan oleh tubuh, tetapi dalam dosis besar dapat merusak
dinding usus. Kematian seringkali disebabkan oleh rusaknya dinding usus (Slamet,
2009). Menurut PERMENKES RI No. 416/MENKES/PER/IX/1990 tentang
syarat-syarat dan pengawasan kualitas air, kadar Fe dalam air bersih maksimum yang
diperbolehkan adalah 1,0 mg/L.
Oleh karena itu diperlukan teknik pengolahan untuk menurunkan kadar Fe
pada air. Salah satu cara pengolahan air yaitu dengan teknik absorbsi, media yang
digunakan adalah karbon aktif atau arang yang terbuat dari bahan apa saja. Karbon
aktif adalah sejenis absorben (penyerap) berwarna hitam, berbentuk granula, pelet
atau bubuk ( Kusnaedi, 2010).
Dalam penelitian ini absorben yang digunakan adalah kulit durian. Durian
merupakan buah berpotensial tinggi karena seluruh bagiannya bisa dimanfaatkan.
banyaknya hasil perkebunan durian yang meningkat tiap tahunnya, maka limbah kulit
durian pun meningkat. Buah durian memiliki bobot total terdiri dari tiga bagian.
Bagian yang pertama adalah daging buah sekitar 20-35%; kedua, biji sekitar 5-15 %;
sisanya berupa bobot kulit yang mencapai 60-75 % dari bobot total buah, maka
sampah buah durian lebih besar berasal dari kulitnya (Untung, 2003).
Untuk mengatasi peningkatan produksi sampah tersebut maka upaya
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan untuk mengolah
sampah dari kulit durian tersebut. Kulit durian dapat dimanfaatkan menjadi produk
yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Kulit durian dapat diolah menjadi briket yang
digunakan sebagai bahan bakar maupun sebagai absorben dalam penyaringan air.
Berdasarkan penelitian dari University Chulalongkom Thailand yang menyebutkan
bahwa kulit durian memiliki kandungan selulosa sekitar 50%-60%
carboxymethylcellulose dan lignin 5%. Penggunaan selulosa ini dapat diaplikasikan
karena bahan ini dapat mengikat bahan logam (Soekardjo, 1990).
Pemanfaatan limbah kulit durian sebagai karbon aktif akan mengatasi dua
masalah sekaligus, yaitu akan mengurangi volume limbah kulit durian itu sendiri,
serta dapat menghilangkan atau paling tidak mengurangi kadar besi (Fe) dalam air
sampai ambang batas tertentu yang diinginkan. Penelitian tentang pemanfaatan kulit
durian yang dijadikan sebagai karbon aktif sebagai bahan penyerap telah dilakukan
sebelumnya yaitu sebagai penyerap zat warna Mthylene Blue (Ismadji, et al, 2006),
sebagai peningkatan minyak jelantah (Hasibuan, 2008), sebagai adsorben logam Cu
pada air dengan aktivator H2SO4 (Gultom, 2012) dan aktivator HCl (Wardani, 2012).
aktivator Kalium Hidroksida (KOH) terhadap kualitas karbon aktif kulit durian
sebagai adsorben logam Fe pada air gambut, yang menurunkan konsentrasi logam Fe
sebanyak 85,38%, dari 2,6 mg/L menjadi 0,38 mg/L dengan waktu kontak 24 jam.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengembangkan
penggunaan kulit durian menjadi briket yang digunakan sebagai media dalam
menurunkan kadar besi (Fe) air sumur. Dimana berdasarkan pengamatan yang
dilakukan bahwa air sumur yang ada di Perumahan Milala Kelurahan Laucih
Kecamatan Medan Tuntungan terlihat bercak kuning-coklat, menimbulkan bau yang
kurang enak dan menyebabkan warna kuning pada dinding bak kamar mandi serta
manimbulkan noda atau bercak-bercak kuning pada pakaian, sehingga penulis ingin
menelitinya.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka timbul pertanyaan seberapa efektifkah briket
kulit durian dalam menurunkan kadar besi (Fe) air sumur.
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui efektivitas briket kulit durian dalam menurunkan kadar besi
(Fe) air sumur.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui kadar besi (Fe) air sumur sebelum dilakukan
2. Untuk mengetahui kadar besi (Fe) air sumur sesudah dilakukan
penyaringan dengan media briket kulit durian dengan ketebalan lapisan
briket adalah 45 cm, 50 cm, 55 cm dan 60 cm.
3. Untuk mengetahui persentase penurunan kadar besi (Fe) setelah dilakukan
penyaringan dengan media briket kulit durian.
4. Untuk mengetahui ketebalan media filter briket kulit durian yang paling
efektif untuk menurunkan kadar besi (Fe) pada air sumur yang disesuaikan
dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416/Menkes/Per/IX/1990.
1.4. Manfaat
1. Memberikan informasi kepada masyarakat bahwa kulit durian dapat
digunakan sebagai briket yang dapat digunakan sebagai media penyaringan
dalam menurunkan kadar besi (Fe) air.
2. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam mencanangkan program
penyediaan dan penyehatan air bersih.
3. Menambah wawasan penulis dan sebagai bahan referensi bagi peneliti
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Air
2.1.1. Pengertian Air
Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara.
Sekitar tiga perempat bagian dari tubuh manusia terdiri dari air. Volume air dalam
tubuh manusia rata-rata 65 % dari total berat badannya, dan volume tersebut sangat
bervariasi pada masing-masing orang, bahkan juga bervariasi antara bagian-bagian
tubuh seseorang. Beberapa organ tubuh manusia yang mengandung banyak air, antara
lain otak 74,5%, tulang 22%, ginjal 82,7%, otot 75, 6%, dan darah 83%. Air
digunakan untuk mendukung hampir seluruh kegiatan manusia. Sebagai contoh, air
digunakan untuk minum, memasak, mandi,mencuci dan membersihkan lingkungan
rumah. Air juga dimanfaatkan untuk keperluan industri, pertanian, pemadam
kebakaran, tempat rekreasi dan transportasi. Air dibutuhkan organ tubuh untuk
membantu terjadinya proses metabolisme, sistem asimilasi, keseimbangan cairan
tubuh, proses pencernaan, pelarutan dan pengeluaran racun dari ginjal, sehingga kerja
ginjal menjadi ringan (Chandra, 2007).
2.1.2. Siklus Hidrologi Air
Siklus hidrologi merupakan suatu fenomena alam. Hidrologi sendiri
merupakan suatu ilmu yang mempelajari siklus air pada semua tahapan yang
dilaluinya (Chandra, 2007).
Menurut Sutrisno (2010), jumlah air di alam ini tetap ada dan mengikuti
penyinaran matahari, maka semua air yang ada di permukaan bumi akan menguap.
Penguapan terjadi pada air permukaan, air yang berada pada lapisan tanah bagian
atas, air yang ada di dalam tumbuhan, hewan, dan manusia. Karena adanya angin,
maka uap air ini akan bersatu dan berada di tempat yang tinggi yang sering dikenal
dengan nama awan. Oleh angin, awan ini akan terbawa makin lama makin tinggi
dimana temperatur di atas makin rendah, yang menyebabkan titik – titik air dan jatuh
ke bumi sebagai hujan. Air hujan ini ada yang mengalir langsung masuk ke dalam air
permukaan (run-off), ada yang meresap ke dalam tanah (perkolasi) dan menjadi air
tanah yang dangkal maupun yang dalam, dan ada yang diserap oleh tumbuhan. Air
tanah dalam akan timbul ke permukaan sebagai mata air dan menjadi air permukaan.
Air permukaan yang mengalir di permukaan bumi, umumnya berbentuk
sungai-sungai dan jika melalui suatu tempat rendah (cekung) maka air akan berkumpul,
membentuk suatu danau atau telaga. Tetapi banyak diantaranya yang mengalir ke laut
kembali dan kemudian akan mengikuti siklus hidrologi ini.
2.1.3. Sumber Air Di Alam
Menurut Chandra (2007), berdasarkan sumbernya air tawar dimuka bumi ini
dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
1. Air hujan (air angkasa)
Walau pada saat prepitasi merupakan air yang paling bersih, air tersebut cenderung
mengalami pencemaran ketika berada di atmosfer.
2. Air Permukaan
Air permukaan yang meliputi badan air semacam sungai, danau, telaga, waduk,
3. Air Tanah
Berasal dari air hujan yang jatuh kepermukaan bumi yang kemudian mengalami
perlokasi atau penyerapan kedalam tanah dan mengalami proses filtrasi secara
alamiah. Air tanah memiliki beberapa kelebihan dibanding sumber air lain,
pertama air tanah biasanya bebas dari kuman penyakit sehingga tidak perlu
mengalami proses furifikasi atau penjernihan. Persediaan air tanah juga cukup
tersedia sepanjang tahun. Sementara itu beberapa kelemahan dari air tanah
dibanding air lainnya adalah mengandung zat-zat mineral dalam kosentrasi yang
tinggi. Kosentrasi yang tinggi dari zat-zat mineral semacam magnesium, kalsium,
dan logam berat seperti besi dapat menyebabkan kesadahan air (Chandra, 2007).
Karakteristik air tanah kadang-kadang sangat berbeda dengan kualitas air
permukaan. Pada saat infiltrasi kedalam tanah, air permukaan mengalami kontak
dengan mineral-mineral yang terdapat dalam tanah dan melarutkannya, sehingga
kualitas air mengalami perubahan karena terjadi reaksi kimia. Kadar oksigen air
yang masuk kedalam tanah menurun, digantikan oleh karbondioksida yang berasal
dari aktivitas biologis, yaitu dekomposisi bahan organik yang terdapat dalam
lapisan tanah pucuk (top soil). Air tanah biasanya memiliki kandungan besi relatif
tinggi sehingga jika kontak dengan udara, mengalami oksigenisasi. Ion ferri yang
banyak terdapat dalam air akan teroksidasi menjadi ion ferro akan mengalami
Air tanah terbagi menjadi 3 yaitu : air tanah dangkal, air tanah dalam dan mata
air.
a. Air Tanah Dangkal
Terjadi karena proses peresapan air dari permukaan tanah. Lumpur akan tertahan,
demikian pula dengan sebagian bakteri, sehingga air tanah akan jernih tetapi masih
banyak mengandung zat kimia (garam-garam yang terlarut) karena melalui lapisan
tanah yang mempunyai unsur-unsur kimia tertentu untuk masing-masing lapisan
tanah. Lapis tanah disini berfungsi sebagai saringan. Disamping penyaringan,
pengotoran juga masih terus berlangsung, terutama pada muka air yang dekat
dengan muka tanah, setelah menemui lapisan rapat air, air akan terkumpul
merupakan air tanah dangkal dimana air tanah ini dimanfaatkan untuk sumber air
minum melalui sumur-sumur dangkal.
b. Air Tanah Dalam
Terdapat setelah lapis rapat air yang pertama. Pengambilan air tanah dalam, tak
semudah pada air tanah dangkal. Dalam hal ini harus digunakan bor dan
memasukan pipa kedalamnya sehingga dalam suatu kedalaman (biasanya antara
100-300 m) akan didapatkan suatu lapis air. Jika tekanan air tanah ini besar, maka
air dapat menyembur ke luar dan dalam keadaan ini, sumur ini disebut dengan
sumur artetis. Jika air tak dapat ke luar dengan sendirinya, maka digunakanlah
pompa untuk membantu pengeluaran air tanah dalam ini. Kualitas dari air tanah
dalam umumnya lebih baik dari air dangkal, karena penyaringannya lebih
c. Mata Air
Mata air adalah air tanah yang ke luar dengan sendirinya ke permukaan tanah.
Mata air yang berasal dari dalam tanah, hampir tidak terpengaruh oleh musim dan
kualitas. Berdasarkan keluarnya (munculnya permukaan tanah) terbagi atas
rembesan, dimana air keluar dari lereng-lereng dan umbul dimana air ke luar ke
permukaan pada suatu dataran (Sutrisno, 2010).
2.2. Air Bersih
2.2.1. Pengertian Air Bersih
Air yang bersih mutlak diperlukan, karena air merupakan salah satu media
dari berbagai macam penularan penyakit. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 416 Tahun 1990, air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan
sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah
dimasak.
2.2.2. Persyaratan Biologi
Menurut Slamet (2009), sumber-sumber air di alam pada umumnya
mengandung bakteri, baik air hujan (air angkasa), air permukaan maupun air tanah.
Jumlah dan jenis bakteri berbeda sesuai dengan tempat dan kondisi yang
mempengaruhinya. Bakteri yang bersifat patogen berbahaya bagi kesehatan manusia.
Penyakit yang ditransmisikan melalui fecal material dapat disebabkan virus, bakteri,
protozoa dan metazoan. Oleh karena itu air yang digunakan untuk keperluan
sehari-hari harus bebas dari bakteri patogen. Bakteri golongan Coli (Coliform bakteri)
merupakan bakteri flora normal di usus manusia yang membantu proses pembusukan
merupakan indikator dari pencemaran air oleh bakteri patogen seperti Salmonella
typhi, dan lain-lain.
Selain bakteri patogen, bakteri non-patogen juga sebaiknya tidak terdapat di
dalam air khususnya air minum. Bakteri non-patogen merupakan jenis bakteri yang
tidak berbahaya bagi kesehatan tubuh. Namun, dapat menimbulkan bau dan rasa yang
tidak enak, lendir dan kerak pada pipa. Beberapa bakteri non-patogen yang berada di
dalam air antara lain Actinomycetes (Moldlikose bacteria), Fecal streptococci, dan
Bakteri Besi (Iron Bacteria).
Menurut Permenkes RI No. 416 Tahun 1990, total coliform yang
diperbolehkan dalam air perpipaan adalah 10 per 100 ml air sedangkan untuk non
perpipaan adalah 50 per 100 ml air.
2.2.3. Persyaratan Fisik
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor : 416/Menkes/per/IX/1990,
menyatakan bahwa air yang layak pakai sebagai sumber air bersih antara lain harus
memenuhi persyaratan secara fisik yaitu tidak berbau, tidak berasa, tidak keruh dan
tidak bewarna.
Adapun sifat-sifat air secara fisik dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor
diantaranya sebagai berikut:
1. Suhu
Air yang baik mempunyai temperatur normal, 8º dari suhu kamar (27ºC).
Suhu air yang melebihi batas normal menunjukkan indikasi terdapat bahan kimia
yang terlarut dalam jumlah yang cukup besar (misalnya, fenol atau belerang) atau
Permenkes No. 416 tahun 1990, suhu air yang memenuhi syarat kesehatan adalah
sebesar suhu udara ± 3 ºC.
2. Bau dan Rasa
Bau dan rasa air merupakan dua hal yang mempengaruhi kualitas air secara
bersamaan. Bau dan rasa dapat dirasakan langsung oleh indra penciuman dan
pengecap. Biasanya, bau dan rasa saling berhubungan. Air yang berbau busuk
memiliki rasa kurang (tidak) enak. Bau dan rasa biasanya disebabkan oleh adanya
bahan-bahan organik yang membusuk, tipe-tipe tertentu organisme mikroskopik,
serta persenyawaan-persenyawaan kimia seperti fenol. Bahan-bahan yang
menyebabkan bau dan rasa ini berasal dari berbagai sumber. Intensitas bau dan rasa
dapat meningkat bila di dalam air dilakukan klorinasi. Karena pengukuran bau dan
rasa itu tergantung pada reaksi individual, maka hasil yang dilaporkan tidak mutlak.
Untuk standard air bersih dan air minum ditetapkan oleh Permenkes RI No. 416
Tahun 1990, yaitu tidak berbau dan tidak berasa (Depkes RI, 1997).
3. Warna
Banyaknya air permukaan khususnya yang berasal dari rawa-rawa dan daerah
pasang surut, seringkali bewarna. Warna pada air terjadi karena adanya zat-zat
substansi yang terlarut dalam air, dimana zat-zat tersebut dapat terjadinya karena
proses dekomposisi dalam berbagai tingkat, asam humus dan bahan yang berasal dari
bahan humus serta dekomposisi lignin dianggap sebagai bahan yang memberi warna
yang paling utama, demikian juga unsur besi yang berkaitan dengan zat organik dapat
menghasilkan warna sedemikian tinggi, warna yang disebabkan oleh bahan-bahan
manusia, sedangkan yang disebabkan oleh mikroorganisme atau kekentalan organis
atau tumbuh-tumbuhan yang merupakan kolodial disebut sebagai true colour.
Untuk mengukur tingkat warna digunakan satuan TCU (True colour Unit).
Berdasarkan Permenkes RI No. 416 tahun 1990 tingkat warna untuk air bersih
dianjurkan 15 TCU dan yang diperbolehkan 50 TCU (Depkes RI, 1997).
4. Zat Padat Terlarut
Bahan padat adalah bahan yang tertinggal sebagai residu pada penguapan dan
pengeringan pada suhu 103ºC-105ºC. Kebanyakan bahan padat terdapat dalam bentuk
terlarut (dissolved) dalam air yang berupa bahan-bahan kimia anorganik dan gas-gas
yang terlarut. Pengaruh yang menyangkut aspek kesehatan daripada penyimpangan
standart dari total solit (padatan terlarut) yakni akan mengakibatkan air tidak enak
pada lidah, rasa mual terutama yang disebabkan oleh natrium sulfat dan magnesium
sulfat, penyebab serangan jantung (cardiacdisease) serta dapat menyebabkan toxemia
pada wanita hamil. Standar untuk zat padat terlarut ditetapkan oleh Permenkes No.
416 Tahun 1990, yaitu dianjurkan 500 mg/l dan diperbolehkan 1500 mg/l (Depkes
RI, 1997).
5. Kekeruhan
Kualitas air yang baik adalah jernih (bening) dan tidak keruh. Kekeruhan air
disebabkan oleh partikel-partikel yang tersuspensi di dalam air yang menyebabkan air
terlihat keruh, kotor, bahkan berlumpur. Bahan-bahan yang menyebabkan air keruh
antara lain tanah liat, pasir dan lumpur. Air keruh bukan berarti tidak dapat diminum
atau berbahaya bagi kesehatan. Namun, dari segi estetika, air keruh tidak layak atau
Kekeruhan pada air merupakan satu hal yang harus dipertimbangkan dalam
penyediaan air bagi umum, mengingat bahwa kekeruhan tersebut akan mengurangi
segi estetika, menyulitkan dalam usaha penyaringan dan akan mengurangi efektivitas
usaha desinfeksi (Sutrisno, 2010).
Tingkat kekeruhan air dapat diketahui melalui pemeriksaan laboratorium
dengan metode Turbidimeter. Untuk standar air bersih ditetapkan oleh Permenkes RI
No. 416 Tahun 1990, yakni kekeruhan yang dianjurkan 5 NTU (Nephelometric
Turbidy Unit) dan yang diperbolehkan hanya 25 NTU (Depkes RI, 1997).
2.2.4. Persyaratan Kimia
Menurut Slamet (2000), air yang baik adalah air yang tidak tercemar secara
berlebihan oleh zat-zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan antara lain Air raksa
(Hg), Aluminium (Al), Arsen (As), Barium (Ba), Besi (Fe), Flourida (F), Kalsium
(Ca), Derajat keasaman (pH) dan zat-zat kimia lainnya. Kandungan zat kimia dalam
air bersih yang digunakan sehari-hari hendaknya tidak melebihi kadar maksimum
yang diperbolehkan seperti tercantum dalam Permenkes RI No. 416 Tahun 1990.
Penggunaan air yang mengandung bahan kimia beracun dan zat-zat kimia yang
melebihi kadar maksimum yang diperbolehkan berakibat tidak baik lagi bagi
kesehatan dan material yang digunakan manusia, contohnya pH. Air yang baik
sebaiknya bersifat netral yaitu tidak asam dan tidak basa untuk mencegah terjadinya
pelarutan logam berat dan korosi jaringan distribusi air. Menurut Permenkes RI No.
416 tahun 1990, batas pH minimum dan maksimum untuk air bersih adalah 6,5-8,5.
baik sekali maka dengan dibantu dengan pH yang tidak netral dapat melarutkan
berbagai elemen kimia yang dilaluinnya.
2.2.5. Persyaratan Radioaktif
Warlina (2004) menyatakan bahwa tidak tertutup kemungkanan adanya
pembuangan sisa zat radioaktif ke air lingkungan secara langsung. Ini dimungkinkan
karena aplikasi teknologi nuklir yang menggunakan zat radioaktif pada berbagai
bidang sudah banyak dikembangkan, sebagai contoh adalah aplikasi teknologi nuklir
pada bidang pertanian, kedokteran, farmasi dan lain-lain. Adanya zat radioaktif dalam
air lingkungan jelas sangat membahayakan bagi lingkungan dan manusia. Zat
radioaktif dapat menimbulkan kerusakan biologis baik melalui efek langsung atau
efek tertunda. Dari segi radioaktivitas, apapun bentuk radioaktivitas efeknya adalah
sama, yakni menimbulkan kerusakan pada sel yang terpapar. Kerusakan dapat berupa
kematian, dan perubahan komposisi genetik. Kematian sel dapat diganti kembali
apabila sel dapat beregenerasi dan apabila tidak seluruh sel mati. Perubahan genetis
dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker dan mutasi.
2.3. Pengolahan air bersih
Air yang dikonsumsi oleh masyarakat harus memenuhi syarat kesehatan
karena air merupakan media paling baik untuk berkembangnya mikroorganisme.
Pengolahan air untuk memperoleh air yang memenuhi persyaratan perlu dilakukan.
Tahapan-tahapan dalam proses pengolahan air adalah penyimpanan, penyaringan dan
klorinasi (Chandra, 2007).
Air baku yang berupa air sungai, air hujan atau air tanah dialirkan ke dalam
secara alami yang meliputi proses fisika, kimia dan biologis. Secara fisika partikel
terlarut dengan ukuran cukup besar akan mengendap dan terpisah dari air. Oksigen
bebas dalam air digunakan oleh bakteri aerobik untuk mengoksidasi bahan-bahan
organik dan organisme patogen berangsur-angsur mati (Chandra, 2007).
Penyaringan dilakukan untuk memisahkan partikel-partikel yang tidak terendapkan
selama penyimpanan. Proses penyaringan ini melibatkan proses koagulasi, flokulasi
dan sedimentasi. Koagulasi dilakukan dengan penambahan koagulan, misal alum
[Al2(SO4)3]. Tujuan flokulasi adalah untuk memperbesar ukuran gumpalan yang
terbentuk dengan cara memutar secara pelan. Sedangkan dalam proses sedimentasi
terjadi pengendapan gumpalan yang juga mengikat bakteri. Penyaringan dilakukan
untuk mengambil sisa-sisa partikel yang masih ikut dalam air (Chandra, 2007).
Proses pembunuhan kuman atau disinfeksi disebut klorinasi karena yang
dilakukan selama ini adalah penambahan senyawa klor, baik berupa gas klor,
senyawa hipoklorit, klor dioksida, bromine klorida ataupun kloramin. Senyawa klor
yang sering digunakan adalah kalsium hipoklorit (Chandra, 2007).
2.4. Besi (Fe)
Besi atau ferrum adalah metal bewarna putih keperakan, liat dan dapat
dibentuk. Unsur-unsur besi dalam air diperlukan untuk memenuhi akan unsur
tersebut. Zat besi merupakan suatu unsur yang berguna untuk metabolisme tubuh.
Untuk keperluan ini tubuh memerlukan 7-35 mg unsur tersebut perhari, yang tidak
hanya di peroleh dari air (Sutrisno, 2010). Didalam air, Fe menimbulkan rasa, warna
Besi (Fe) seperti juga cobalt dan nikel didalam susunan berkala unsur
termasuk logam golongan VII, dengan berat atom 55,85, berat jenis 7,86 dan
mempunyai titik lebur 24500 C. Dialam biasanya banyak terdapat didalam biji besi
hematile, magnetite, limonite dan pyrite (FeS), sedangkan didalam air
umumnyadalam bentuk senyawa garam ferri atau garam ferro (valensi 2). Senyawa
ferro yang sering dijumpai dalam air adalah FeO, FeSO4.7H2O, FeCO3, Fe(OH)2,
FeCl2, dan lainnya, sedangkan senyawa ferri yang sering dijumpai yakni FePO4,
Fe3O3, FeCl3, Fe(OH)3,dan lainnya. (Tatsumi, 1971).
2.4.1. Dampak Besi (Fe) terhadap Kesehatan
Unsur besi merupakan unsur yang penting dan berguna untuk metabolisme
tubuh. Setiap hari tubuh memerlukan unsur besi 7-35 mg/hari yang sebagian
diperoleh dari air. Tetapi zat besi (Fe) yang melebihi dosis yang diperlukan oleh
tubuh dapat menimbulkan masalah kesehatan. Depkes RI menetapkan kadar
maksimum unsur besi terdapat dalam air minum adalah 0,3 mg/l (Sutrisno, 2010).
Besi (Fe) dibutuhkan tubuh dalam pembentukan hemoglobin. Banyaknya besi
dalam tubuh dikendalikan oleh fase adsorpsi. Tubuh manusia tidak dapat
mengekskresikan besi (Fe), karenanya mereka yang sering mendapat transfusi darah,
warna kulitnya menjadi hitam karena akumulasi Fe. Air minum yang mengandung
besi cenderung menimbulkan rasa mual apabila dikonsumsi. Sekalipun Fe diperlukan
oleh tubuh, tetapi dalam dosis yang besar dapat merusak dinding usus. Kematian
sering disebabkan oleh rusaknya dinding usus ini. Kadar Fe yang lebih dari 1 mg/l
akan menyebabkan terjadinya iritasi pada mata dan kulit. Apabila kelarutan besi
Fe juga dapat diakumulasi dalam alveoli dan menyebabkan berkurangnya fungsi
paru-paru (Slamet, 2011).
Hemokromatis merupakan penyakit akibat kelebihan zat besi. Biasanya
penyakit ini memiliki tanda-tanda diantaranya kulit berwarna merah, kanker hati,
diabetes, impotensi, kelelahan dan gangguan jantung. Seseorang yang telah mendapat
penyakit tersebut akan lebih rentan terhadap serangan jantung, stroke, dan gangguan
pembuluh darah (Widowati, 2008).
Pada Hemokromatis primer besi yang diserap, disimpan dalam jumlah yang
berlebihan dalam tubuh. Feritrin berada dalam keadaan jenuh akan besi sehingga
kelebihan mineral ini akan disimpan dalam bentuk kompleks dengan mineral lain
yaitu hemosiderin. Akibatnya terjadilah sirosis hati dan kerusakan pancreas sehingga
menimbulkan diabetes. Hemokromatis sekunder terjadi karena transfusi yang
berulang-ulang. Dalam keadaan ini besi masuk kedalam tubuh sebagai hemoglobin
dari darah yang ditransfusikan dan kelebihan besi ini tidak disekresikan.
2.4.2. Teknologi Penurunan Kandungan Besi Pada Air
Pengolahan air secara fisika yang mudah dilakukan adalah penyaringan,
pengendapan dan absorpsi (Kusnaedi, 2010). Beberapa Metode yang dapat dilakukan
untuk menurunkan kadar Fe dalam air adalah :
a. Koagulasi
Koagulasi merupakan proses penggumpalan melalui reaksi kimia. Reaksi
koagulasi dapat berjalan dengan membubuhkan zat pereaksi (koagulan) sesuai
Pertimbangannya karena garam-garam seperti Ca, Fe dan Al bersifat tidak larut
dalam air sehingga mampu mengendap bila bertemu dengan sisa-sisa basa.
b. Aerasi
Aerasi merupakan suatu sistem oksigenasi melalui penangkapam O2 dari udara
pada air olahan yang akan diproses. Pemasukan oksigen ini bertujuan agar
oksigen dapat bereaksi dengan kation yang ada di dalam air olahan. Reaksi
kation dan oksigen menghasilkan oksidasi logam yang sukar larut dalam air
sehingga dapat mengendap.
c. Oksidasi dengan khlorine (khlorinisasi)
Khlorin, CL2 dan ion hipokrit (OCL)- adalah merupakan oksidator yang kuat
meklipun pada kondisi Ph rendah dan oksigen terlarut sedikit tetap dapat
mengoksidasi dengan cepat. Untuk melakukan khlorinasi, chlorine dilarutkan
dalam air yang jumlahnya diatur dengan melalui flowmeter atau dosimeter yang
disebut khlorinator. Pemakaian kaporit atau kalsium hipoklorit untuk
mengoksidasi atau menghilangkan Fe relatip mudah, karena kaporit berupa
serbuk atau tablet yang mudah larut dalam air.
d. Penghilangan Fe Dengan Cara Pertukaran Ion
Penghilangan besi dan mangan dengan cara pertukaran ion yaitu dengan cara
mengalirkan air baku yang mengandung Fe melalui suatu media penukaran ion.
Sehingga Fe akan bereaksi dengan media penukaran ionnya. Sebagai media
penukaran ion yang sering dipakai zeolite alami yang merupakan senyawa
e. Penghilangan Fe dengan Mangan Zeolit
Air baku yang mengandung besi dan mangan dialirkan melalui suatu filter beda
yang media filternya terdiri dari mangan-zeolite (K2Z.MnO.Mn2O7). Mangan
Zeolit berfungsi sebagai katalis dan pada waktu yang bersamaan besi yang ada
dalam air teroksidasi menjadi bentuk ferri-oksida yang tak larut dalam air.
Reaksi penghilangan besi mangan zeolite tidak sama denganp roses pertukaran
ion, tetapi merupakan reaksi dari Fe2+ dengan oksida mangan tinggi (higher
mangan oxide). Filtrat yang terjadi mengandung mengandung ferri-oksida dan
mangan-dioksida yang tak larut dalam air dan dapat dipisahkan dengan
pengendapan dan penyaringan. Selama proses berlangsung kemampunan
reaksinya makin lama makin berkurang dan akhirnya menjadi jenuh. Untuk
regenerasinya dapat dilakukan dengan menambahkan larutan kalium
permanganat kedalam zeolite yang telah jenuh tersebut sehingga akan terbentuk
lagi mangan zeolit (K2Z.MnO.Mn2O7).
f. Filtrasi
Penyaringan merupakan proses pemisahan antara padatan/koloid dengan cairan.
Proses penyaringan bisa merupakan proses awal (primary treatment) atau
penyaringan dari proses sebelumnya, misalnya penyaringan dari hasil koagulasi.
Apabila air yang akan disaring berupa cairan yang mengandung butiran halus
atau bahan-bahan yang larut sebelum proses penyaringan sebaiknya dilakukan
proses koagulasi atau netralisasi yang menghasilkan endapan. Dengan demikian
Dalam proses penjernihan air minum diketahui dua macam filter, yaitu saringan
pasir lambat ( slow sand filter) dan saringan pasir cepat (rapid sand filter).
1). Saringan Pasir Lambat ( slow sand filter)
Saringan pasir lambat dapat digunakan untuk menyaring air keruh ataupun air
kotor. Saringan pasir lambat sangat cocok untuk komunitas skala kecil atau
skala rumah tangga. Hal ini tidak lain karena debit air bersih yang dihasilkan
relatif kecil. Ada dua jenis proses penyaringan yang terjadi pada saringan
pasir lambat, yakni secara fisika dan secara biologi. Partikel-partikel yang ada
dalam sumber air yang keruh secara fisik akan tertahan oleh lapisan pasir,
disisi lain, bakteri-bakteri dari genus pseudomonas dan trichoderma akan
tumbuh dan berkembang biak. Saat proses filtrasi pathogen yang tertahan oleh
saringan akan dimusnahkan oleh bakteri tersebut. Secara berkala pasir dan
kerikil harus dibersihkan, hal ini untuk menjaga kualitas air bersih yang
dihasilkan selalu terjaga dan yang terpenting adalah tidak terjadi penumpukan
patogen/kuman pada saringan. Untuk disenfeksi kuman dalam air dapat
digunakan berbagai cara seperti brominasi, ozonisasi, penyinaran ultraviolet
ataupun menggunakan aktif karbon (Aimyaya, 2009).
2). Saringan Pasir Cepat ( rapid sand filter)
Merupakan saringan air yang dapat menghasilkan debit air hasil penyaringan
yang lebih banyak daripada saringan pasir lambat. Walaupun demikian,
saringan ini kurang efektif untuk mengatasi bau dan rasa yang ada pada air
yang disaring. Secara umum bahan lapisan saringan pasir cepat sama dengan
pada arah aliran air ketika penyaringan. Saringan pasir lambat arah aliran
airnya dari atas kebawah, sedangkan pada saringan pasir cepat dari bawah
keatas (up flow). Selain itu saringan pasir cepat umumnya dapat melakukan
backwash atau pencucian saringan tanpa membongkar saringan (Aimyaya,
2009).
2.4.3. Proses Pengolahan Air Dengan Filter Karbon Aktif
Penyaringan dengan karbon aktif adalah penyaringan dengan menggunakan
karbon aktif sebagai media absorpsi yang merupakan proses penyerapan
bahan-bahan tertentu. Dengan penyerapan tersebut air menjadi jernih karena zat-zat
didalamnya diikat oleh absorben. Media filter yang digunakan adalah pasir, kerikil,
dan karbon aktif.
Pengisian media filter kedalam saringan atau filter adalah sebagai berikut :
lapisan paling bawah yakni kerikil (diameter 5-10mm) dengan ketebalan 10-15 cm.
Di atas lapisan kerikil adalah lapisan pasir dengan ketebalan 20 cm , dan diatas
lapisan pasir adalah lapisan karbon aktif dengan ketebalan 45-60 cm. Pengisian
diusahakan agar merata dan lebih baik lagi sebelum dimasukkan kedalam filter media
filter dicuci terlebih dahulu. Sedangkan ketebalan lapisan media filter yang efektif
umumnya berkisar 80-120 cm (Asmadi, 2011).
Absorpsi dalah proses dimana suatu partikel terperangkap kedalam suatu
media dan seolah-olah menjadi bagian dari keseluruhan media tersebut. Karbon aktif
memiliki pori-pori yang sangat banyak yang berguna untuk menangkap partikel
karena berfungsi menghilangkan zat organik, bau, rasa serta polutan mikro lainnya, (
Said, 2005). Dengan mengkombinasikanya bersama pasir dapat menurunkan Fe
sampai 92,57% ( Ridwan, 2005).
2.5. Tanaman Durian (Durio zibethinus)
Durian atau Durio zibethinus adalah nama tumbuhan tropik yang berasal dari asia tenggara sekaligus nama buahnya yang biasa dimakan. Nama ini diambil dari ciri
khas kulit buahnya yang keras dan berlekuk-lekuk tajam sehingga menyerupai duri.
Varian namanya yang juga populer adalah duren. Orang-orang menyebutnya kadu.
Tanaman durian banyak tumbuh di hutan-hutan yang memiliki ketinggian kurang dari
800 m diatas permukaan laut, jenis tanah yang gembur, dan kedalaman lapisan tanah
atas lebih dari 1 meter. Tanaman durian banyak diperbanyak secara generatif (biji)
atau secara vegetatif (misalnya okulasi, sambung, dan susun). (Kanisius, 1997)
Kulit durian mengandung unsur selulose yang tinggi (50-60 %) dan
kandungan lignin (5 %) serta kandungan pati yang rendah (5 %). Hasil utama
tanaman durian ialah buahnya (Fadli, 2010).
Produksi buah durian terbanyak menurut provinsi per tahun adalah Provinsi
Sumatera Utara dengan jumlah produksi 128.803 ton, diikuti Provinsi Jawa Barat,
Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Jawa Tengah masing-masing dengan jumlah
produksi 91.097 ton, 91.078 ton dan 65.019 ton, sementara total produksi buah durian
di Indonesia adalah 682.323 ton. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa sebagai
daerah yang banyak memproduksi buah durian, berarti banyak pula sampah biji dan
Tanaman durian memberikan beberapa manfaat dan hasil ikutan, antara lain
sebagai berikut.
1. Tanaman durian dapat dimanfaatkan sebagai pencegah erosi di lahan-lahan miring,
terutama tanah yang miring ke timur karena intensitas sinar matahari pagi yang
diterima akan lebih banyak. Perakaran durian akan mencengkram lapisan tanah
atas sehingga tanah tersebut terbebas dari erosi. Adapun sisa-sisa tanaman akan
tertahan oleh batang-batang durian sehingga dapat menyuburkan tanah.
2. Batang durian dapat digunakan untuk bahan bangunan atau perkakas rumah tangga.
Kendati tidak termasuk kelas istimewa kayu durian dapat digunakan sebagai bahan
bangunan. Kulit durian setaraf dengan kayu sengon sebab kayu durian cenderung
lurus. Disamping itu, kayu durian bisa diolah menjadi kayu lapis olahan dan
mudah dibubut serta dibentuk menjadi perkakas rumah tangga, seperti rak gelas
dan piring, sendok nasi, alu, lumpang, dan lain-lain.
3. Biji durian memiliki kandungan pati yang cukup tinggi sehingga berpotensi
sebagai alternatif pengganti bahan makanan. Biji durian sebagai bahan makanan
memang belum dimasyarakatkan di Indonesia. Di Thailand, biji duria sudah cukup
memasyarakat untuk dibuat bubur dengan cara diberi campuran daging buahnya.
Bubur biji durian ini menghasilkan kalori yang cukup potenisal bagi manusia.
4. Kulit durian dapat dipakai sebagai bahan baku abu gosok dan briket yang bagus.
Caranya adalah dengan dijemur sampai kering, kemudian dibakar sampai hancur.
Lalu dibentuk menjadi briket. Untuk menjadi abu gosok, harus dibakar hingga
juga dapat digunakan sebagai media tanaman di dalam pot, baik tanaman indoor
maupun bunga-bungaan (Kanisius, 1997).
Kulit durian adalah salah satu limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan
kembali, dengan membuatnya menjadi briket. Menurut penelitian Samsudin, Anis
(2006) dapat diketahui bahwa briket kulit durian mempunyai nilai kalor diatas nilai
kalor briket arang kayu, yaitu 5.010 kal/gr.
Beberapa keunggulan briket kulit durian adalah nilai kalorinya relatif tinggi,
tak berbau, tidak bersifat polutan, tidak menghasilkan gas SO, dan bisa langsung
menyala jika digunakan sebagai bahan bakar (Green Action, 2009)
2.6. Karbon Aktif
Arang adalah padatan berpori yang terdiri dari karbon yang berbentuk amorf
(Silalahi, 1996). Arang aktif adalah sejenis adsorben (penyerap) yang berwarna hitam
dan berbentuk granula, bulat, pelet atau bubuk. Sumber arang aktif antara lain kayu
lunak, sekam, tongkol jagung, tempurung kelapa, sabut kelapa, ampas penggilingan
tebu, ampas pembuatan kertas, serbuk gergaji, kayu keras dan batubara (Sembiring,
2003). Arang aktif dipakai dalam proses pemurnian udara, gas, larutan, penyerap
rasa dan bau dari air, menghilangkan senyawa-senyawa organik dalam air. Hanya
dengan 1 g arang aktif akan didapatkan suatu material yang memiliki luas permukaan
sekitar 500 m2. Dengan luas permukaan yang sangat besar, arang aktif memiliki
kemampuan menyerap zat-zat yang terkandung dalam air dan sangat efektif dalam
menyerap zat terlarut dalam air baik organik maupun anorganik (Kusnaedi, 2010).
Daya serap ditentukan oleh luas permukaan partikel dan kemampuan ini dapat
kimia atau dengan pemanasan pada suhu tinggi sehingga akan mengalami perubahan
sifat-sifat fisik dan kimia. Beberapa keuntungan arang aktif dibandingkan dengan
adsorben – adsorben lain yaitu:
a. Penyerapan yang dilakukan untuk proses pemisahan dan pemurnian umumnya
tanpa terlebih dahulu melakukan penghilangan kelembapan.
b. Karena luasnya untuk mencapai permukaan bagian dalam dapat menyerap dengan
banyak molekul non polar.
c. Panas adsorpsi atau kekuatan ikatan, pada arang aktif lebih rendah dibandingkan
penyerap yang lain karena kekuatan Vander Waals merupakan kekuatan utama
dalam adsorpsi sehingga pelepasan molekul–molekul yang terserap relatif lebih
mudah (Ralph, 2003).
Menurut Silalahi (1996), proses pembuatan arang dibagi atas 4 (empat)
tahapan sebagai berikut :
1. Pada permulaan pemanasan, air menguap, kemudian selulosa terurai pada suhu
antara 200-2600C.
2. Pada suhu 260-3100C selulosa terurai secara intensif, pada tingkatan ini banyak
3. dihasilkan cairan piroligneous, gas, dan ter.
4. Pada suhu 310-5000C lignin terurai dan ter yang dibentuk lebih banyak, sedangkan
cairan piroligneous dan gas menurun.
5. Pada suhu lebih besar dari 5000C, diperoleh gas hidrogen yang sukar
dikondensasikan dan tahapan ini merupakan proses pemurnian arang.
Arang dapat dibedakan menurut penggunaannya dan jenisnya, sebagai berikut
1. Bentuk Sebuk
Karbon aktif berbentuk serbuk dengan ukuran lebih keci dari 0,18 mm.
Karbon aktif ini digunakan dalam aplikasi fase cair dan gas. Umumnya karbon aktif
jenis ini dimanfaatkan pada indrustri pengolahan air minum , industri farmasi,
terutama untuk pemurnian monosodium glutamat, bahan tambahan makanan, penghilang warna asam furan, pengolahan pemurnian jus buah, penghalus gula,
pemurnian asam sitrat, asam tartarat, pemurnian glukosa, dan pengolahan zat pewarna
kadar tinggi.
2. Bentuk Granula
Karbon aktif bentuk granula/tidak beraturan dengan ukuran 0,2-5mm. Jenis ini
umumnya digunakan dalam aplikasi fase cair dan gas. Beberapa penggunaan dari
karbon aktif ini adalah untuk pemurnian emas, pengolahan air, air limbah dan air
tanah, pemurniaan pelarut, dan penghilang bau busuk.
3. Bentuk Pelet
Karbon aktif berbentuk pelet dengan diameter 0,8-5 mm. Kegunaannya adalah
untuk aplikasi gas karena mempunyai tekanan rendah, kekuatan mekenik tinggi, dan
kadar abu rendah. Karbon aktif bentuk pelet ini biasa digunakan untu pemurniaan
udara, kontrol emisi, tromol otomotif, penghilang bau kotoran, dan pengontrol emisi
pada gas buang.
Sifat arang aktif yang paling penting adalah daya serap. Dalam hal ini, ada
1. Sifat Adsorben
Arang aktif yang merupakan adsorben adalah suatu padatan berpori, yang sebagian
besar terdiri dari unsur karbon bebas dan masing-masing berkaitan secara kovalen.
Dengan demikian, permukaan arang aktif bersifat non polar. Selain komposisi dan
polaritas, struktur pori juga merupakan faktor yang penting diperhatikan. Struktur
pori berhubungan dengan luas permukaan, semakin kecil pori-pori arang aktif
mengakibatkan semakin luas besar. Dengan demikian kecepatan adsorbsi
bertambah. Untuk meningkatkan kecepatan adsorbsi, dianjurkan agar
menggunakan arang aktif yang telah dihaluskan. Jumlah atau dosis arang aktif
yang digunakan juga harus diperhatikan.
2. Sifat Serapan
Banyak senyawa yang dapat diadsorpsi oleh arang aktif, tetapi kemampuannya
untuk mengadsorpsi berbeda untuk masing-masing senyawa. Adsorbsi akan
bertambah besar sesuai dengan bertambahnya ukuran molekul serapan dari
struktur yang sama, seperti deret homolog. Adsorbsi juga dipengaruhi oleh gugus
fungsi, posisi gugus fungsi, ikatan rangkap, struktur rantai dari senyawa serapan.
3. Temperatur
Dalam pemakaian arang aktif dianjurkan untuk mengamati temperatur pada saat
berlangsungnya proses. Faktor yang mempengaruhi temperatur proses adsorbsi
adalah viskositas dan stabilitas termal senyawa serapan. Jika pemanasan tidak
mempengaruhi sifat-sifat senyawa serapan, seperti terjadi perubahan warna
senyawa volatile, adsorbsi dilakukan pada temperatur kamar atau bila
memungkinkan pada temperatur yang lebih rendah.
4. pH (Derajat Keasaman)
Untuk asam-asam organik, adsorbsi akan meningkat bila pH diturunkan, yaitu
dengan penambahan asam-asam mineral. Ini disebabkan karena kemampuan asam
mineral untuk mengurangi ionisasi asam organik tersebut. Sebaliknya bila pH
asam organik dinaikkan yaitu dengan menambahkan alkali, adsorbsi akan
berkurang sebagai akibat terbentuknya garam.
5. Waktu Kontak
Bila arang aktif ditambahkan dalam suatu cairan, dibutuhkan waktu untuk
mencapai kesetimbangan. Pengadukan juga mempengaruhi waktu singgung.
Pengadukan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan pada partikel arang aktif
untuk bersinggungan dengan senyawa serapan. Untuk larutan yang mempunyai
viskositas tinggi, dibutuhkan waktu singgung yang lebih lama. Semakin lama
waktu kontak dapat memungkinkan proses difusi dan penempelan molekul
adsorbat berlangsung lebih baik. Konsentrasi zat-zat organik dan logam dalam air
akan turun apabila kontaknya cukup. Waktu kontak biasanya sekitar 10-15 menit
(Sembiring, 2003)
2.6.1. Pembuatan Karbon Aktif
1. Metode Tradisional
Pembuatan karbon aktif dengan metode tradisional sangat sederhana yaitu
dengan menggunakan drum atau lubang bawah tanah dengan cara pengolahan sebagai
pelat besi atau lubang yang yang telah disiapkan, kemudian dinyalakan sehingga
terbakar.
Pada saat pembakaran drum atau lubang ditutup sehingga hanya ventilasi
yang dibiarkan terbuka, untuk sebagai jalan keluarnya asap, ketika asap yang keluar
sudah berwarna kebiru-biruan, ventilasi ditutup dan dibiarkan selama lebih kurang 12
jam. Setelah itu dengan hati-hati tutup drum dibuka dan dicek apakah masih ada bara
yang menyala jika masih ada tutup drum ditutup kembali, tidak dibenarkan
menggunakan air untuk mematikan bara yang sedang menyala karena dapat
menurunkan kualitas karbon yang dihasilkan (Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan, 1994).
Pembuatan karbon aktif dengan metode ini biasanya menghasilkan keaktifan
yang rendah bahkan dibawah keaktifan menurut standar industri Indonesia (SII), hal
ini disebabkan proses pembentukan karbon aktif tidak memungkinkan terbentuknya
pori-pori dengan baik. Pada saat pembakaran, residu-residu yang ada pada bahan
dasar berupa senyawa-senyawa hidrokarbon ikut terbakar tetapi masih ada tersisa dan
tetap masih melekat pada karbon tersebut, residu yang terbakar ini menutupi pori-pori
karbon sehingga menurunkan kualitasnya (Sudrajat, 1993)
2. Metode yang diperbaharui
Metode pembuatan karbon aktif yang diperbaharui dilakukan dengan dua
tahap yaitu tahap pengarangan (karbonisasi) dan tahap pengaktifan (aktivasi), dalam
metode ini bahan baku dipanaskan dengan jumlah udara seminimal mungkin agar
berupa karbon yang memberi keaktifan dan rendemen yang cukup besar (Supeno,
1990).
Pada proses pengaktifan terjadi pemecahan ikatan hidrokarbon atau
mengoksidasi molekul-molekul pada permukaan karbon sehingga pori-pori atau 1uas
permukaan menjadi lebih besar.Metode pengaktifan yang umum digunakan dalam
pembuatan karbon aktif ada dua cara, yaitu pengaktifan secara kimia dan pengaktifan
secara fisika (Sembiring, 2003).
2.6.2. Proses Aktivasi Karbon Aktif
1. Proses Kimia
Bahan baku dicampur dengan bahan-bahan kimia tertentu, kemudian dibuat
padat. Selanjutnya padatan tersebut dibentuk menjadi batangan yang dikeringkan
serta dipotong-potong. Aktivasi dilakukan pada temperatur 100 ºC. Arang aktif yang
dihasilkan, dicuci dengan air selanjutnya dikeringkan pada temperatur 300 ºC. dengan
proses kimia, bahan baku dapat dikarbonisasi terlebih dahulu, kemudian dicampur
dengan bahan-bahan kimia.
4. Proses Fisika
Bahan baku terlebih dahulu dibuat arang. Selanjutnya arang tersebut digiling,
diayak untuk selanjutnya diaktivasi dengan cara pemanasan pada temperatur 1000 ºC
yang disertai dengan pengaliran uap. Proses fisika banyak digunakan dalam aktivasi
arang antara lain :
a. Proses Briket yaitu bahan baku atau arang terlebih dahulu dibuat briket, dengan
cara mencampurkan bahan baku atau arang halus dengan ter. Kemudian, briket
b. Destilasi kering yaitu merupakan suatu proses penguraian suatu bahan akibat
adanya pemanasan pada temperatur tinggi dalam keadaan sedikit maupun tanpa
udara. Hasil yang diperoleh berupa residu yaitu arang dan destilat yang terdiri dari
campuran methanol dan asam asetat. Residu yang dihasilkan bukan merupakan
karbon murni, tetapi masih mengandung abu dan ter. Hasil yang diperoleh seperti
methanol, asam asetat dan arang tergantung pada bahan baku yang digunakan dan
metoda destilasi (Sembiring, 2003).
Diharapkan daya serap arang aktif yang dihasilkan dapat menyerupai atau
lebih baik dari pada daya serap arang aktif yang diaktifkan dengan menyertakan
bahan-bahan kimia. Dengan cara ini, pencemaran lingkungan sebagai akibat adanya
penguraian senyawa-senyawa kimia dari bahan-bahan pada saat proses pengarangan
dapat dihindari. Selain itu, dapat dihasilkan asap cair sebagai hasil pengembunan uap
hasil penguraian senyawa-senyawa organik dari bahan baku.
Menurut Hawley dalam Sembiring (2003), ada empat hal yang dapat dijadikan
batasan dari penguraian komponen kayu yang terjadi karena pemanasan pada proses
destilasi kering, yaitu :
1. Batasan A adalah suhu pemanasan sampai 200 ºC. Air yang terkandung dalam
bahan baku keluar menjadi uap, sehingga kayu menjadi kering, retak-retak dan
bengkok. Kandungan karbon lebih kurang 60 %.
2. Batasan B adalah suhu pemanasan antara 200-280 ºC. Kayu secara perlahan-lahan
menjadi arang dan destilat mulai dihasilkan. Warna arang menjadi coklat gelap
3. Batasan C adalah suhu pemanasan antara 280-500 ºC. Pada suhu ini akan terjadi
karbonisasi selulosa, penguraian lignin dan menghasilkan ter. Arang yang
terbentuk berwarna hitam serta kandungan karbonnya meningkat menjadi 80 %.
Proses pengarangan secara praktis berhenti pada suhu 400 ºC.
4. Batasan D adalah suhu pemanasan 500 ºC, terjadi proses pemurnian arang, dimana
pembentukan ter masih terus berlangsung. Kadar karbon akan meningkat
mencapai 90 %. Pemanasan di atas 700 ºC, hanya menghasilkan gas hidrogen.
Namun Cheremisinoff dan A. C. Moressi (1978) dalam Sembiring (2003)
mengemukakan secara umum dan sederhana proses pembuatan arang aktif terdiri dari
tiga tahap, yaitu :
1. Dehidrasi yaitu proses penghilangan air dimana bahan baku dipanaskan sampai
temperatur 170 ºC.
2. Karbonisasi yaitu pemecahan bahan-bahan organik menjadi karbon. Suhu di atas
170 ºC akan menghasilkan CO, CO2 asam asetat. Pada suhu 275 ºC, dekomposisi
menghasilkan ter, methanol dan hasil samping lainnya. Pembentukan karbon
terjadi pada temperatur 400-600 ºC.
3. Aktivasi yaitu dekomposisi ter dan perluasan pori-pori. Dapat dilakukan dengan
uap atau CO2 sebagai aktivator.
Proses aktifasi merupakan hal yang penting diperhatikan disamping bahan
baku yang digunakan. Yang dimaksud dengan aktifasi adalah suatu perlakuan
terhadap arang yang bertujuan untuk memperbesar pori yaitu dengan cara
sehingga arang mengalami perubahan sifat, baik fisika maupun kimia, yaitu luas
permukaannya bertambah besar dan berpengaruh terhadap daya adsorbsi.
Metode aktifasi yang umum digunakan dalam pembuatan arang aktif adalah
(Rajagukguk, 2011) :
1. Aktifasi Kimia
Aktifasi ini merupakan proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik
dengan pemakaian bahan kimia. Aktifator yang digunakan adalah
bahan-bahan kimia seperti hidroksida logam alkali, garam-garam karbonat,klorida, sulfat,
fosfat dari logam alkali tanah dan khususnya ZnCl2, asam-asam anorganik seperti
H2SO4 dan H3PO4 .
2. Aktifasi Fisika
Aktifasi ini merupakan proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik
dengan bantuan panas, uap dan CO2. Umumnya arang dipanaskan di dalam tanur
pada temperatur 800-900 ºC. Oksidasi dengan udara pada temperatur rendah
merupakan reaksi isotherm sehingga sulit untuk mengontrolnya. Sedangkan
pemanasan dengan uap atau CO2. Sifat arang aktif yang paling penting adalah
daya serap pada temperatur tinggi merupakan reaksi endoterm sehingga lebih