• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Salinitas dan Dampaknya terhadap Produktivitas Padi di Wilayah Pesisir Indramayu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Salinitas dan Dampaknya terhadap Produktivitas Padi di Wilayah Pesisir Indramayu"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

i

ANALISIS SALINITAS DAN DAMPAKNYA TERHADAP

PRODUKTIVITAS PADI DI WILAYAH PESISIR INDRAMAYU

TAMARA AYUNINGSIH SITORUS

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii ABSTRAK

TAMARA AYUNINGSIH SITORUS. Analisis Salinitas dan Dampaknya terhadap Produktivitas Padi di Wilayah Pesisir Indramayu. Dibimbing oleh PROF. DR. IR. RIZALDI BOER, M. SC.

Kabupaten Indramayu merupakan salah satu pusat produksi beras utama di Jawa Barat. Sebagian besar sawahnya terletak di sepanjang pesisir utara Jawa dan dipengaruhi oleh salinitas. Masalah salinitas muncul terutama pada musim kemarau saat ketersediaan air irigasi sedikit karena kandungan air tanah rendah sehingga terjadinya intrusi air laut. Masalah salinitas semakin meningkat apabila terjadi musim kemarau yang berkepanjangan. Di bawah kondisi salinitas tinggi, produktivitas padi akan menurun secara signifikan. Kajian ini bertujuan menganalisa disitribusi spasial dari salinitas pada lahan sawah di Indramayu dan perubahannya selama musim kemarau serta dampaknya pada produktivitas padi. Nilai salinitas diukur selama musim kemarau (Juli, Oktober, dan November) pada 32 titik yang tersebar dari Utara ke Selatan dan produktivitas padi juga diukur pada lokasi yang sama dengan ukuran sampel seluas 2.5x2.5 m2 pada bulan November. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa nilai salinitas menurun dengan semakin jauh jaraknya dari garis pantai. Pada beberapa daerah dekat garis pantai, nilai salinitas dapat mencapai 9 dS/m dan sebagian besar dari daerah-daerah ini sudah berubah fungsinya menjadi tambak atau tambak garam. Pada lahan sawah yang dipengaruhi oleh salinitas, nilai salinitasnya secara umum kurang dari 5.5 dS/m. Luas areal yang dipengaruhi oleh intrusi air laut (salinitas) semakin besar dengan menurunnya curah hujan pada musim kemarau. Namun demikian produktivitas padi tidak dipengaruhi secara nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis varietas padi yang digunakan saat ini oleh para petani relatif tahan atau toleran terhadap salinitas tinggi. Akan tetapi, risiko salinitas diperkirakan akan meningkat di sama datang dengan adanya masalah peningkatan tinggi muka air laut dan berubahnya karakteristik pantai (diantaranya degradasi dan konversi hutan mangrove). Varietas padi yang saat ini digunakan dapat bertahan pada salinitas kurang dari 5.5 dS/m. Untuk beradaptasi terhadap risiko peningkatan salinitas ini, penggunaan varietas yang lebih tahan salinitas tinggi dan juga rehabilitasi kawasan mangrove perlu dilakukan selain perbaikan sistem irigasi.

(3)

iii ABSTRACT

TAMARA AYUNINGSIH SITORUS. The Analysis of Soil Salinity and its Impact on Rice Productivity in Indramayu.Supervised by PROF. DR. IR. RIZALDI BOER, M. SC.

Indramayu District is one of main rice production centre in West Java. Most of rice fields locate next to Java’s North Coast and some of the areas are influenced by salinity problem. The problem of salinity increases during dry season particularly when irrigation water is limited as salt water intrusion will increases under this condition. The salinity problem will be more severe when dry season extends. Under high salinity condition, yield of rice will decrease significantly. This study analyzed the spatial distribution of salinity and its changes in the rice field during dry season and its impact on rice yield. The salinity were measured during dry season (July, October and November) in a number of location and yield of rice was measured in the same location from a plot with size of area of size 2.5x2.5 m2 in November. It was found that the salinity decreased with distance from the coast. In some area near the cost, the salinity could go up to 9 dS/m and most this area had been converted to pond or salt mining or other uses. In most of paddy fields affected by salinity have salinity level of less than 5.5 dS/m. The area of paddy field affected by salinity expanded as the rainfall in the dry season decreased. The rice yield was not significantly affected by the salinity. This study suggests that the current rice variety used by farmers is tolerant to salinity. However, the risk of salinity may increase in the future due to change in sea level and coastal characteristics (e.g. degradation and conversion of mangrove forests). Current rice variety may be tolerant to salinity of not more than 5.5 dS/m. Adapting to increasing risk of salinity, it is very important to introduce alternative rice varieties which are more tolerant to salinity, restoration of mangrove forest and also improvement of irrigation facilities.

(4)

iv

ANALISIS SALINITAS DAN DAMPAKNYA TERHADAP

PRODUKTIVITAS PADI DI WILAYAH PESISIR INDRAMAYU

TAMARA AYUNINGSIH SITORUS

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Mayor Meteorologi Terapan

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

v Judul Skripsi : Analisis Salinitas dan Dampaknya terhadap Produktivitas Padi di Wilayah

Pesisir Indramayu

Nama : Tamara Ayuningsih Sitorus

NIM : G24061818

Menyetujui : Pembimbing I,

Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc. NIP. 19600927 198903 1 002

Mengetahui : Ketua Departemen

Dr. Ir. Rini Hidayati, MS NIP. 19600305 198703 2 002

(6)

vi KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas karunia dan penyertaan-Nya yang luar biasa sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik. Judul dari karya ilmiah ini adalah Analisis Salinitas dan Hubungannya dengan Produktivitas Padi di Wilayah Pesisir Indramayu. Tulisan ini secara khusus penulis persembahkan untuk kedua orang tua, Richard Sitorus dan Wahyu Indianti, serta kedua adik, Natashia dan Tracy, atas kasih sayang, dukungan dan doanya selama ini. Juga kepada keluarga besar Sitorus dan Soetomo atas semangat dan dukungan doa yang telah diberikan. Terima kasih.

Pada kesempatan ini juga penulis ingin berterima kasih untuk semua pihak yang telah membantu penulisan karya ilmiah ini. Kepada Dr. Ir. Rizaldi Boer, M. SC selaku pembimbing, yang sudah dengan sabar memberikan waktu, nasehat, dan ilmunya selama proses penelitian berlangsung. Terima kasih juga penulis ucapkan pada Bapak Kusnomo Tamkani selaku mantan Kepala Dinas Pertanian Indramayu yang sudah banyak sekali membantu proses pengambilan data di lapangan. Terima kasih kepada rekan-rekan penelitian di Indramayu, Daniel Naek Chrisendo, Jessica Rossen, Dan Huber, Andrea Basche, serta seluruh tim IMHERE dan CCROM atas bantuan dan kebersamaannya. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Juanda Sianturi, Daniel Naek Chrisendo, Christine Mahardika, Saputri Sapta, Sarah Balfas, Rizki Krisnanto, Bambang Tri Atmojo, Enrico Doloksaribu, Wastin Hutabarat, Ghulam Zakiyan, Gito Immanuel, Yohanes Ariyanto, Nancy Stephanie, Amelia Puspita, yang sudah memberikan banyak bantuan dan masukan terhadap karya ilmiah ini, serta teman-teman tersayang GFM 43 dan Laboratorium Klimatologi yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih kepada teman-teman Komisi Kesenian atas dukungan, doa, dan kebersamaannya. Rasa terima kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh dosen pengajar dan staf Departemen Meteorologi dan Geofisika, teman-teman, serta organisasi lain yang juga turut membantu penyelesaian karya ilmiah ini Ucapan terima kasih dan penghargaan juga saya ucapkan khususnya kepada para petani di Indramayu, yang telah memberikan hidupnya untuk kelangsungan hidup masyarakat banyak.

Penulis menyadari karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, sehingga sangat diharapkan saran dan kritik yang membangun sehingga peneletian ini dapat lebih berguna di kemudian hari. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagu semua yang membacanya.

Bogor, September 2012

(7)

vii RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 Juli 1987, putri dari Richard Sitorus dan Wahyu Indianti. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Pada tahun 2006, penulis menyelesaikan jenjang pendidikannya dari SMA Tarakanita 1 Jakarta dan kemudian diterima sebagai salah satu mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Pada tahun berikutnya, penulis diterima pada Mayor Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi.

(8)

viii DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Kabupaten Indramayu ... 1

2.2 Wilayah Pesisir ... 1

2.3 Salinitas... 2

2.4 Pengukuran Salinitas ... 3

2.5 Toleransi Tanaman Terhadap Salinitas ... 4

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 9

3.2 Bahan dan Alat ... 10

3.3 Metode Penelitian ... 10

3.3.1 Survei Lapang ... 11

3.3.2 Metode Pengukuran Salinitas dan Sampel Ubinan ... 11

3.3.3 Analisis Data ... 11

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pemetaan Salinitas, Curah Hujan, dan Jumlah Hari Hujan ... 12

4.2 Analisis Hubungan Produktivitas Padi dengan Salinitas. ... 14

4.3 Solusi Permasalahan Salinitas. ... 17

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 18

5.2. Saran ... 18

DAFTAR PUSTAKA ... 19

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Klasifikasi tanah berdasarkan daya hantar listrik ... 2

2 Klasifikasi nilai salinitas berdasarkan tekstur tanah ... 4

3 Klasifikasi nilai salinitas dan efeknya terhadap tanaman ... 4

4 Deskripsi Padi Ciherang ... 17

DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Keretakan pada tanah di lahan sawah Indramayu ... 2

2 Nekrosis sebagai akibat salinitas pada tanaman ... 5

3 Kristal garam pada permukaan tanah di lahan sawah Indramayu ... 5

4 Dampak kenaikan salinitas pada tahapan pertumbuhan padi (a) jumlah bulir terisi, (b) persentase rasio jumlah malai dan anakan (c) persentase berat jerami, (d) total jumlah gabah per malai ... 7

5 Hubungan antara salinitas dengan variabel pengukuran padi (a) tinggi tanaman, (b) anakan kosong, (c) bulir kosong, (d) kesuburan, (e) jumlah anakan, (f) jumlah bulir pada malai (g) jumlah malai (h) berat 100 bulir ... 8

6 Diagram hubungan persentase produktivitas lahan dan salinitas ... 9

7 Tinggi tanaman pada berbagai tahapan salinitas ... 9

8 Persamaan hubungan antara nilai salinitas musiman terhadap produktivitas padi... ... 9

9 Lokasi stasiun hujan di Indramayu... 10

10 Alat EM38 untuk pengukuran salintias secara (a) vertical, (b) horizontal ... 10

11 Diagram alir penelitian ... 10

12 Periode waktu pelaksanaan kegiatan penelitian ... 10

13 Lokasi titik-titik pengamatan salinitas dan pengambilan sampel ubinan ... 11

14 Pemetaan sebaran salinitas tanah, curah hujan, dan jumlah hari hujan di Indramayu ... 13

15 Hubungan produktivitas padi dan salinitas pada bulan November 2010 ... 15

16 Sebaran produktivitas padi di Indramayu ... 16

17 Padi Ciherang ... 17

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Kuesioner ... 21

2 Data Curah Hujan Bulanan dan Jumlah Hari Hujan Juli 2009, Oktober 2009, dan November 2010 ... 25

3 Data Salinitas Juli 2009, Oktober 2009, dan November 2010 ... 30

4 Data Sampel Ubinan November 2010 ... 33

(11)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Padi merupakan sumber pangan penting di Indonesia karena peranannya sebagai sumber makanan utama sebagian besar masyarakat. Dengan meningkatnya jumlah penduduk dari waktu ke waktu, maka upaya peningkatan produksi padi harus terus dilakukan agar ketahanan pangan dapat dicapai dan dipertahankan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, produksi padi di Indonesia secara umum cenderung meningkat dari waktu ke waktu walaupun pada tahun tertentu terjadi penurunan produksi yang cukup besar akibat kegagalan panen, baik karena bencana iklim maupun peledakan serangan hama penyakit. Bencana iklim yang paling sering terjadi di Indonesia ialah bencana kekeringan dan banjir. Namun demikian pada pusat-pusat pertanaman padi yang berada di wilayah pesisir, masalah salinitas mulai dominan (Motamed, 2008; Yadav, 2005).

Indramayu merupakan salah satu lumbung padi terbesar di Pulau Jawa yang berada di wilayah pesisir yaitu di Pantai Utara Jawa. Sebagian wilayah pertanaman padinya berbatasan langsung dengan laut. Menurut Motamed (2008), tingginya salinitas pada wilayah pertanaman padi yang terletak di wilayah pesisir akan berpengaruh besar pada fase pertumbuhan. Salinitas di sebagian wilayah dekat pantai Indramayu sangat beragam yaitu dari 0.03 – 12.91 ds/m (Marwanto et al, 2009). Semakin tinggi nilai salinitas, tanaman akan semakin pendek. Grattan (2002) juga menemukan bahwa tanaman padi memiliki jumlah anakan yang lebih sedikit apabila tumbuh pada tanah bersalinitas tinggi. Lebih lanjut lagi penelitiannya menunjukkan bahwa apabila salinitas tanah sudah melebihi 6 ds/m hasil padi akan menurun drastis, hingga lebih dari 50 % hasil normal. Hal ini memberikan kerugian yang besar bagi para petani.

Kondisi salinitas tanah pertanaman padi yang ada diwilayah pesisir juga diduga dipengaruhi oleh kondisi hujan. Pada musim hujan salinitas lahan diperkirakan akan turun karena pori-pori tanah dipenuhi oleh air hujan dan intrusi air laut akan terhalang. Akan tetapi pada musim kemarau pada saat kondisi air tanah sudah menurun, adanya tekanan dari air laut menyebabkan terjadinya intrusi air laut ke darat dan kemudian diikuti dengan meningkatnya salinitas.

Wilayah pertanaman padi yang ada di Pantai Utara Jawa umumnya berbatasan langsung dengan garis pantai. Karena itu, kajian untuk mempelajari hubungan antara musim dengan kondisi salinitas tanah dan kaitannya dengan hasil padi perlu dilakukan. Hasil kajian ini akan dapat dimanfaatkan dalam menyusun strategi untuk mengatasi masalah salinitas pada pertanaman padi di wilayah pesisir.

1.2 Tujuan Penelitian

1. Memetakan dan menganalisis sebaran salinitas lahan pertanaman padi di Indramayu dan hubungannya dengan kondisi hujan

2. Menganalisis hubungan antara salinitas tanah dan hasil padi di Indramayu

3. Menyusun pilihan teknologi antisipasi yang dapat digunakan untuk penanganan masalah salinitas

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran umum Kabupaten Indramayu

Kabupaten Indramayu secara geografis terletak pada 107° 52° - 108° 36° Bujur Timur dan 6° 15° - 6° 40° Lintang Selatan. Indramayu terletak di daerah pesisir utara Pulau Jawa. Sebagian besar wilayahnya merupakan dataran atau daerah landai dengan kemiringan tanahnya rata-rata 0 – 2 % dan ketinggian 0-100 mdpl. Keadaan wilayah yang demikian akan mempengaruhi kondisi tata air tanah. Pada saat curah hujan yang tinggi apabila fasilitas drainase tidak baik akan mudah terbentuk genangan-genangan air. Sebaliknya pada saat musim kemarau, masalah intrusi air laut akan mudah terjadi, terutama apabila kondisi hutan mangrove sudah mengalami degradasi atau sudah dikonversi.

Luas wilayah Indramayu yang tercatat seluas 204.011 hektar dan memiliki 10 kecamatan dengan 35 desa yang berbatasan langsung dengan laut dengan panjang garis pantai 114,1 km. Suhu udara di kabupaten ini cukup tinggi yaitu berkisar antara 18 C - 28° C. Curah hujan rata-rata tahunan 1.428 mm, dengan jumlah hari hujan 75 hari. 2.2 Wilayah Pesisir

Menurut letak geografis dan kondisi wilayahnya, Indramayu dapat dikatakan sebagai wilayah pesisir. Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan dimana sebagian wilayah daratannya dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sementara ke arah laut, sebagian wilayah lautnya dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh manusia seperti pencemaran.

(12)

kesepakatan dalam penentuan batas wilayah pesisir menurut garis tegak lurus dari garis pantai. Hal ini menyebabkan batas wilayah pesisir pada tiap-tiap negara berbeda-beda karena karakteristik lingkungan, sumber daya dan sistem penetapan batasnya tidak sama. Namun demikian, dengan meggunakan definisi tersebut, ekosistem pesisir dapat dikatakan sebagai ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling berinteraksi satu dengan yang lain.

Wilayah pesisir kabupaten Indramayu terdiri atas pantai pasir berlumpur, kawasan hutan mangrove dan estuaria serta pantai berpasir. Daerah terumbu karang tidak dijumpai di daerah pesisir Indramayu. Pemakaian lahannya sebagian besar digunakan untuk pertambakan, pemukiman, ladang dan industri. Marwanto dkk (2009) menyatakan bahwa wilayah Indramayu pada penelitian bulan Januari 2009 memiliki nilai ECe yang bervariasi antara 0,03-12,91 ds/m, dengan rata-rata curah hujan bulanan 293 mm.

Pengembangan usaha pertanian di wilayah pesisir merupakan salah satu bagian dari kebijaksanaan pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan nasional. Namun, pengembangan yang dilakukan pun harus sesuai dengan tetap memperhatikan aspek-aspek perlindungan lingkungan sehingga tidak menimbulkan masalah-masalah lingkungan seperti pencemaran perairan, perubahan siklus air, dan meningkatnya laju sedimentasi.

Pada wilayah pesisir, tidak dipungkiri bahwa perembesan air asin pasti terjadi dan berpengaruh besar terhadap kadar garam dalam tanah (salinitas). Hal ini menyebabkan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan usaha pertanian seperti pembuatan saluran irigasi serta drainase akan mempengaruhi pola tata air dan juga pertumbuhan tanaman. Pengaruh pada pola tata air meliputi aspek kualitas, volume, dan debit air. Pengurangan debit air sungai bagi keperluan irigasi dapat mengubah salinitas dan pola sirkulasi air di perairan pesisir seperti wilayah estuaria. Berkurangnya debit air sungai mengakibatkan jangkauan intrusi garam semakin jauh ke hulu sungai dan mempengaruhi tidak hanya ekosistem perairan pantai itu sendiri tetapi juga ekosistem daratan di sekitar perairan tersebut.

2.3 Salinitas

Salinitas tanah menunjukkan besar konsentrasi garam terlarut di dalam tanah (Sembiring dan Gani, 2010). Lahan yang tanahnya memiliki salinitas tinggi disebut lahan salin. Lahan salin umumnya ditemui pada daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut dan intrusi air asin lebih dari 3 bulan dalam setahun, dengan kandungan Na dalam tanah lebih dari 8% (Aswidinnoor et al., 2008).

Tanah yang salin dapat diukur berdasarkan daya hantar listrik (DHL) yang tergantung pada kadar garam yang terlarut dalam tanah. Berdasarkan daya hantar listriknya, Follet et al

(1981) mengelompokkan tanah menjadi 3 yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Klasifikasi tanah berdasarkan DHL (sumber : Rosita Sipayung, 2003)

Garam-garam yang menimbulkan stres tanaman antara lain ialah NaCl, NaSO4, CaCl2, MgSO4, MgCl2 yang terlarut dalam air (Sipayung, 2003). Menurut Follet et al, (1981), tanah salin memiliki pH kurang dari 8,5 dengan daya hantar listrik lebih dari 4 mmhos/cm. Hakim dkk (1986) menyatakan bahwa kandungan NaCl yang tinggi pada tanah salin menyebabkan rusaknya struktur tanah, sehingga aerasi dan permeabilitas tanah tersebut menjadi sangat rendah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan FAO pada tahun 2005, ciri-ciri tanah yang terkena salinitas adalah munculnya endapan liat atau butiran-butiran kristal garam yang terdapat di permukaan tanah. Keretakan adalah tanda yang jelas adanya endapan liat atau debu.

Gambar 1 Keretakan pada tanah di lahan sawah Indramayu

(13)

surut sangat dipengaruhi oleh pergerakan air pasang dan mempunyai nilai salinitas yang bervariasi. Keadaan ini, seperti yang dijelaskan oleh Sipayung (2003), akan menghambat pertumbuhan akar, batang, dan luas daun karena adanya cekaman garam, yaitu ketidakseimbangan metabolik yang disebabkan oleh keracunan ion (Na+) dan kekurangan unsur hara (N, P, dan K).

Kekeringan merupakan sumber utama dari permasalahan salinitas khususnya di wilayah pesisir. Soemarno (2004) menyatakan apabila persediaan air tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan tanaman secara penuh, evapotranspirasi aktual (Eta) akan menurun di bawah evapotranspirasi maksimum (Etm). Pada kondisi ini, akan berkembang stres air pada tanaman yang akan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Pengurangan potensi air tanah yang terjadi di akuifer daerah pantai dapat menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan hidrostatis air tawar dan air asin. Bila tekanan hidrostatis air tawar berkurang maka terjadi intrusi air asin yang meningkatkan kadar garam pada akuifer.

Penyerapan yang buruk merupakan salah satu faktor penyebab salinisasi. Cepat lambatnya perkolasi air tanah sangat dipengaruhi oleh jenis tanah. Tekstur tanah yang halus memiliki pori-pori yang kecil sehingga evaporasi rendah dan penyerapan akan menjadi sulit. Akibat lambatnya perkolasi tanah, air yang menguap dari dalam tanah akan menarik air tanah yang melarutkan garam ke atas, sehingga pada saat menguap akan membentuk kerak bermuatan garam di permukaan tanah yang sering disebut kristal garam. (Darmawidjaya dalam Santoso, 1993). Salinitas dikombinasikan dengan irigasi dan kondisi drainase yang buruk, dapat mengakibatkan hilangnya kesuburan tanah secara permanen (FAO, 2005). kemudian diuji pada laboratorium. ECa dapat diukur dengan metode induksi elektromagnetik menggunakan alat EM38. Metode EM induktif adalah salah satu teknik geofisika permukaan non destruktif yang digunakan untuk mengukur konduktivitas bawah permukaan tanah, batuan, dan air tanah. Metode ini merupakan metode aktif karena menggunakan sumber medan EM terkontrol. Pengukuran dapat dilakukan tanpa elektroda maupun kontak dengan tanah, sehingga survei sangat memungkinkan dilakukan untuk beragam daerah geologi termasuk daerah dengan resistivitas permukaan yang tinggi seperti pasir, aspal, kerikil, tetapi biasanya metode ini digunakan untuk eksplorasi dangkal (Telford, 1990).

Pada umumnya sensor EM induksi terdiri dari dua bagian utama yaitu koil transmiter dan koil receiver. Transmiter koil yang dialiri arus bolak balik akan memancarkan medan EM primer ke segala arah, sebagian dari medan elektromagnetik ini menembus bumi dan akan berinteraksi dengan material bumi. Material yang bersifat konduktif akan terinduksi oleh medan tersebut, dan menimbulkan arus Eddy (telluric current). Arus ini kemudian membangkitkan medan elektromagnetik sekunder yang akan dipancarkan kembali ke segala arah. Kuat lemahnya arus Eddy dan medan elektromagnetik sekunder bergantung pada sifat konduktif dari material bumi, semakin tinggi konduktivitas material semakin kuat arus dan medan sekunder yang mampu dibangkitkan. Sesampai di permukaan bumi, medan sekunder kemudian ditangkap oleh koil receiver sebagai data. Koil receiver akan menerima baik medan primer maupun medan sekunder, yang dibedakan berdasarkan fasenya. Perbedaan medan resultan terhadap medan primer akan memberikan informasi mengenai geometri, ukuran, dan sifat kelistrikan dari konduktor bawah permukaan.

Sebagian besar sensor EM induktif bekerja pada domain frekuensi dan dikembangkan dengan sistem sounding geometri tetap. Sensor terdiri dari dua buah koil, berfungsi sebagai transmiter dan receiver yang terpisah pada jarak tertentu. Jarak kedua koil tersebut menjadi salah satu variabel dalam menentukan nilai konduktivitas tanah. Pengoperasian alat diatur pada satu nilai frekuensi tertentu, yang telah disesuaikan dengan target kedalaman yang dapat dijangkau oleh alat. EM 38 dengan frekuensi arus 14.6 kHz jarak koil 1 m, sensitif hingga kedalaman 0.4 m pada mode horisontal coplanar (Simpson et al.,2009).

Alat ini dapat digunakan untuk mengukur salinitas tanah di lapangan secara cepat. Semakin tinggi elektrolit dalam tanah, menandakan jumlah garam juga semakin meningkat. EM38 akan menangkap besaran konduktivitas elektrik di dalam tanah untuk dapat menentukan kadar garamnya. Alat EM38 juga digunakan di propinsi NAD untuk memantau perubahan tingkat salinitas tanah di 20 lokasi di daerah yang terkena tsunami.

(14)

Hasil pengukuran salinitas tanah dengan EM38 dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama tekstur tanah. Berdasarkan hal tersebut, menurut Irhas dan M. Nasir (2010), interpretasi hasil dari pengukuran menggunakan EM38 ini harus disesuaikan dengan tekstur tanah yang diukur. Berikut merupakan tingkat salinitas tanah pada berbagai tekstur tanah.

Tabel 2 Klasifikasi nilai salinitas berdasarkan tekstur tanah

(sumber : McKenzie, 1988)

2.5 Toleransi tanaman terhadap salinitas Jenis tanaman bervariasi dalam hal sensitifitas terhadap tanah yang berkadar garam tinggi. Beberapa tanaman dapat mengatasi kadar garam yang tinggi pada tanah, sedangkan yang lain tidak. Spesies-spesies tanaman yang hanya mentoleransi konsentrasi garam rendah termasuk dalam kelompok tanaman glikofita, dan spesies-spesies tanaman yang mentoleransi konsentrasi garam tinggi termasuk kelompok tanaman halofita (Sipayung, 2003). Sensitifitas tanaman terhadap keberadaan garam ini, sering disebut dengan toleransi garam.

Menurut Oosterbaan (1992), tekanan osmosis merupakan pergerakan air dari tempat dengan konsentrasi garam rendah (tanah) ke tempat yang memiliki konsentrasi garam tinggi (bagian dalam dari sel-sel akar). Jika konsentrasi garam pada tanah lebih tinggi dibandingkan dengan di dalam sel-sel akar, maka tanah akan menyerap air dari akar, dan tanaman akan layu dan mati. Ini merupakan prinsip dasar bagaimana salinisasi mempengaruhi produksi tanaman (FAO, 2005).

Padi merupakan salah satu tanaman pangan yang paling sering ditemukan, dan merupakan makanan pokok dari setengah populasi dunia. Tetapi amat disayangkan bahwa tanaman padi bukan merupakan tanaman yang resistan terhadap salinitas (Zeng et al., 2004). Salinitas dapat menjadi masalah utama dalam pertumbuhan tanaman padi, khususnya di daerah kering dan pesisir (Ashraf dan Harris, 2004). Besarnya pengaruh yang ditimbulkan pada pertumbuhan tanaman padi tergantung dari besarnya nilai salinitas.

Brinkman dan Singh (1982) menjelaskan lebih lanjut mengenai gejala keracunan garam pada

tanaman padi berupa tanaman menjadi lebih pendek, berkurangnya anakan, ujung-ujung daun berwarna keputihan dan sering terlihat bagian yang khlorosis pada daun. Kondisi seperti ini, apabila dibiarkan terus-menerus, akan menyebabkan kematian pada tanaman.

Follet et all (1981) juga menyatakan bahwa pada tanah yang salin, kandungan larutan garam dalam tanah dapat menghambat perkecambahan, penyerapan unsur hara dan pertumbuhan tanaman. Pada tanah sodik, garam yang terlarut dalam tanah relatif rendah dan keadaan tanah cenderung terdispersi dan tidak permeable terhadap air hujan serta air irigasi. Tingkat toleransi garam ini dapat dilihat melalui nilai konduktivitas elektriknya atau EC. Penentuan konduktivitas elektrik dari salinitas tanah dapat dilakukan dengan mengambil sampel tanah untuk dilakukan uji laboratorium. Caranya adalah dengan mengalirkan arus listrik dalam sel kaca menggunakan dua elektroda pada larutan ekstrak tanah hasil pengukuran. Satuan dari salinitas tanah ini dinyatakan dalam decisiemens per meter (ds/m).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yadaf dan Ibrol (1988), berdasarkan besaran konduktivitasnya, salinitas dibagi menjadi lima bagian seperti tertera pada Tabel 3.

Tabel 3 Klasifikasi nilai salinitas dan efeknya terhadap tanaman

(sumber : Sipayung, 2003)

(15)

tanaman. Semakin bertambahnya tingkat salinitas tanah, tekanan pada pengecambahan juga bertambah tinggi. Suwarno (1983) menyatakan bahwa salinitas dapat menyebabkan kerusakan daun, memperpendek tinggi tanaman, menurunkan jumlah anakan, bobot 100 butir gabah, bobot kering akar, tajuk, dan total tanaman, serta hasil gabah, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap panjang akar.

Garam mempengaruhi pertumbuhan tanaman sebab memiliki unsur sodium yang dapat menyerap unsur garam secara berlebih. Gejala awal terjadinya salinitas adalah warna daun menjadi lebih gelap daripada warna normalnya. Selain warna menjadi lebih gelap, ukuran daun juga menjadi lebih kecil dari biasanya dengan jarak tangkai daun pada batang menjadi lebih pendek. Puncaknya adalah daun berubah warna menjadi kuning dan tepi daun mati (Gambar 2).

Gambar 2 Nekrosis sebagai akibat salinitas pada tanaman

(sumber : www.deptan.go.id)

Terjadinya nekrosis (matinya jaringan) pada bagian ujung dan tepi daun disebabkan oleh pengaruh akumulasi ion Cl pada daun. Kerusakan daun akan terjadi apabila akumulasi ion Cl dalam tanaman mencapai lebih dari 2% (Francois 1982 dalam Yahya (1987)). Dominansi dari kadar garam ditandai dengan kation Calsium (Ca), Magnesium (Mg), Sodium (Na) dan anion Sulfat (SO4). Apabila konsentrasi Na tinggi atau tidak seimbang dengan nilai Ca dan Mg, maka kesuburan tanah akan terganggu. Muatan positif pada kation Na akan bereaksi dengan muatan negatif pada partikel liat di tanah, akibatnya tanah menjadi lengket atau lekat pada saat basah serta keras dan rapat pori-porinya pada saat kering. Pada umumnya, tanaman yang dapat mentolerir kekeringan lebih baik, akan dapat mentolerir salinitas lebih baik pula.

Salinitas sering terjadi pada daerah dataran rendah dengan iklim kering dan permukaan air tanah yang tinggi. Dataran yang rendah dan permukaan air yang tinggi akan mengakibatkan berlangsungnya proses infiltrasi air laut dengan

mudah, sedangkan iklim yang kering memiliki curah hujan yang rendah sehingga pencucian garam dalam tanah akan sulit dilakukan. Pada tanah yang salin, sering ditemukan butiran seperti kristal, atau sering disebut sebagai kristal garam (Gambar 3).

Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan kelembapan tanah antara bagian bawah dengan bagian permukaan tanah, sehingga terjadi peristiwa kapiler dimana air dan garam yang terlarut akan bergerak ke atas dan mengendapkan garam di daerah perakaran dan bagian atas tanah. Faktor-faktor lain penyebab terjadinya salinitas adalah penggunaan pupuk dengan dosis yang tinggi, kontaminasi garam pada air irigasi, dan pertumbuhan tanaman padi adalah tanah dengan pH 4–7. Pada padi sawah, penggenangan akan mengubah pH tanah menjadi netral (7). Pada prinsipnya, tanah berkapur dengan pH 8,1–8, 2 tidak merusak tanaman padi (Warintekristek, 2008). Tanaman padi dapat tumbuh di daerah tropis/subtropis pada 45° LU– 45° LS, mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi dengan cuaca panas dan kelembapan tinggi dengan musim hujan 4 bulan. Pada dataran rendah padi memerlukan ketinggian tempat 0–650 m dpl dengan temperatur 22° C–27° C sedangkan di daerah dataran tinggi dibutuhkan 650–1.500 m dpl dengan temperatur 19° C–23° C. Rata–rata curah hujan yang baik adalah 200 mm/bulan atau 1500–2000 mm/tahun (Warintekbantul, 2008).

(16)

penelitian yang dilakukan Yadaf (2004), tanaman memiliki nilai toleransi yang lebih tinggi terhadap salinitas pada daerah yang relatif lebih lembab dan dingin Kondisi salinitas tanah sangat ditentukan oleh ketinggian lahan, kondisi porositas tanah, kelembaban tanah, tekstur, iklim dan jaringan irigasi aktif (Rhoades, 1989).

Menurut Yadaf (1988), ada tiga faktor yang mempengaruhi toleransi tanaman terhadap salinitas, yaitu (1) tahap pertumbuhan, (2) faktor lingkungan, dan (3) varietas tanaman itu sendiri. Tahap pertumbuhan merupakan tahap yang penting dimana pengaruh salinitas akan jelas melalui kecepatan perkecambahannya, berkurangnya tinggi tanaman dan jumlah anakan. Dobermann dan fairhurst (2000) menyimpulkan bahwa padi relatif lebih toleran terhadap salinitas saat perkecambahan, tapi tanaman juga dapat dipengaruhi saat pindah tanam, bibit masih muda, dan pembungaan.

Marwanto dkk (2009) melalui sebuah penelitian menjelaskan bahwa semakin jauh dari pantai, jumlah tanaman padi yang terkena salinitas mulai berkurang. Hasil pengukuran salinitas di lapangan menggunakan alat EM38 juga menunjukkan hal yang sama dimana kadar salinitas sawah semakin berkurang ke arah daratan, menjauh dari pantai. Akan tetapi untuk wilayah yang memiliki jalur drainase yang bermuara ke laut, tingkat salinitas lahan di sekitarnya juga tinggi yang disebabkan karena intrusi air laut ke daratan tersebut dapat melalui saluran drainase ini.

Faktor-faktor utama yang membatasi tanah yang salin dalam pertumbuhan tanaman adalah air (irigasi) dan nutrisi atau unsur hara (Eynard et al., 2005). Menurut Bray (1993), Salinitas yang tinggi menyebabkan terjadinya keracunan unsur hara serta stres air pada tanaman yang menyebabkan terganggunya aktivitas membran sel, enzim-enzim, dan unsur-unsur yang penting dalam proses fotosintesis. Respon yang diberikan oleh tanaman tersebut adalah dengan mengumpulkan unsur-unsur metabolisme yang penting dalam sitoplasma untuk mengatasi permasalahan stres air (Muns, 2002). Dampak yang ditimbulkan salinitas terhadap tanaman padi tergantung dari beberapa faktor yaitu intensitas stres, klimatologi, dan nilai resistansi masing-masing tanaman (Asch dan Wopereis, 2001). Hoai

et al. (2005) menyatakan bahwa salinitas dapat mempengaruhi akumulasi unsur Amonium dan menurunkan klorofil dalam daun.

Gambar 4 menunjukkan pengaruh dari nilai salinitas terhadap produktivitas padi pada tiap tahapan pertumbuhan. Pada gambar 4(a), terlihat bahwa salinitas sangat mempengaruhi jumlah bulir pada tiap malai pada proses perkecambahan. Jumlah bulir terbanyak terjadi pada saat nilai salinitas rendah yaitu 1 ds/m. Pada saat nilai

salinitas meningkat, jumlah bulir dalam anakan mengalami penurunan sampai dengan 25 %.

Gambar 4(c) juga menunjukkan bahwa salinitas memberikan pengaruh nyata terhadap persentase rasio antara jumlah anakan dan malai pada fase pembentukan malai, bukan pada fase perkecambahan. Sedangkan pada gambar 4(d) terlihat bahwa tingga rendahnya nilai salinitas tidak berpengaruh pada total jumlah bulir tiap malai. Berdasarkan grafik-grafik tersebut, terlihat bahwa pengaruh dari salinitas sangat nyata terlihat pada fase perkecambahan.

Panduan mengenai salinitas pertama kali dikembangkan oleh Maas dan Hoffman (1977) yang menyatakan bahwa toleransi tanaman terhadap salinitas dapat diketahui dengan memplotkan produktivitas sebagai fungsi yang berkelanjutan pada salinitas tanah. Penelitian tersebut dilakukan pada tahun 1959 sampai dengan 1972 pada lahan yang sudah tidak terpakai. Sejak saat itu, Hasil ini menjadi panduan internasional dan digunakan sebagai acuan dalam penelitian lainnya. Pada tahun 2010, sebuah penelitian dilakukan di Iran, untuk mengetahui perbedaan hasil produktivitas tanaman padi dengan perlakuan salnitas yang berbeda-beda.

Penelitian yang dilakukan oleh M. K. Motamed et al. mengenai hubungan antara proses pertumbuhan tanaman padi dengan salinitas memberikan informasi mengenai seberapa besar salinitas mempengaruhi pertumbuhan padi khususnya pada tiap-tiap tahapan pertumbuhan, terlihat pada Gambar 5. Penelitian tersebut memperbandingkan hasil tanaman padi yang dikenakan perlakuan nilai salinitas yang berbeda-beda dalam setiap tahap pertumbuhannya, yaitu 0.8, 2, 4, 6, dan 8 ds/m. Penelitian tersebut dilakukan dalam rumah kaca buatan dan menggunakan 8 jenis varietas padi yang berbeda guna menguji ketahanan dari masing-masing varietas.

(17)

(a)

(b)

(c)

(d)

(18)

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

(g)

(h)

Gambar 5 Hubungan antara salinitas dengan variabel pengukuran padi (a) tinggi tanaman (b) anakan kosong (c) bulir kosong (d) kesuburan (e) jumlah anakan (f) jumlah bulir pada malai (g) jumlah malai (h) berat 100 bulir

(sumber : Motamed et al, 2008)

Tinggi tanaman Jumlah anakan

Anakan kosong Total bulir tiap malai

Bulir kosong Jumlah malai

(19)

Pada penelitian ini, salah satu hal yang sangat berpengaruh dalam proses penentuan hubungan antara produktivitas tanaman padi dengan salinitas adalah hubungan antara berat 100 butiran padi dengan salinitas tersebut. Pada Gambar 6, terlihat bahwa persentase tertinggi didapat pada saat nilai salinitas terendah yaitu mendekati 0 ds/m.

Gambar 6 Diagram hubungan persentase produtivitas lahan dan salinitas (sumber : Motamed et al, 2008) Nilai R2 yang didapat dari persamaan diatas adalah sebesar 0.9965 yang artinya data-data yang digunakan adalah akurat dan hasilnya memiliki nilai korelasi yang tinggi. Persentase produktivitas lahan terendah didapat pada saat nilai salinitas mencapai 6 ds/m, yaitu hanya sebesar 20 %. Penurunan terjadi secara bertahap seiring dengan bertambahnya salinitas. Pada nilai salinitas 1 ds/m, produktivitas masih dapat dipertahankan. Perubahan terlihat secara signifikan pada saat salinitas mencapai angka 4 ds/m, yaitu terjadi penurunan sebesar 60 %.

Hasil yang didapat oleh Motamed (2008) ini berkesesuaian dengan penelitian yang dilakukan oleh Grattan (2002) yang juga melakukan uji coba untuk membandingkan tinggi tanaman padi yang dikenai berbagai perlakuan salinitas dengan tanaman padi dengan perlakuan normal. Penelitian tersebut dilakukan pada tahun 1996 dengan menggunakan ring metal berdiameter 8 kaki. Perlakuan salinitasnya mencakup 0.4, 1, 2, 4, 6, 8, dan 10 ds/m. Perbedaan tinggi tanaman terlihat secara nyata pada masing-masing perlakuan salinitas. Hasil penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 7.

Berdasarkan Gambar 7, dapat terlihat perbedaan tinggi tanaman serta jumlah anakan pada setiap perlakuan. Tanaman padi dengan perlakuan salinitas yang paling tinggi, memiliki jumlah anakan yang paling sedikit. Tinggi tanamannya pun terlihat berbeda secara nyata, dimana tanaman padi yang paling tinggi adalah yang mendapat perlakuan salinitas paling kecil, yaitu 0.3 ds/m. Persamaan

hasil produktivitas padi dengan nilai salinitas dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 7 Tinggi tanaman pada berbagai tahapan salinitas

(sumber : Grattan, 2002)

Gambar 8 Persamaan hubungan antara nilai salinitas musiman terhadap produktivitas padi

(sumber : Grattan, 2002)

Pada gambar 8 didapat berdasarkan hasil studi lapangan pada tahun 1996-1997 tentang produktivitas padi dan kenaikan salinitas. Penurunan produksi terlihat pada saat nilai salinitas di sawah mengalami kenaikan sebesar 1.9 ds/m. Hasil persamaan yang didapat menunjukkan berkurangnya produktivitas padi seiring dengan bertambahnya nilai salinitas, dimana pada nilai salinitas tertinggi yaitu 12 ds/m, produktivitas padi mencapai angka 0. Penurunan terbesar terjadi pada saat nilai salinitas sebesar 9 ds/m. Menurut Grattan (2002), identifikasi pengaruh salinitas pada tiap-tiap pertumbuhan tanaman padi sangat berguna untuk mengatur sistem irigasi sehingga dapat mengontrol nilai salinitas.

III BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

(20)

sawah besar dan berdekatan dengan garis pantai. Data hasil pengumpulan dari lapangan dianalisis di Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini ialah :

1. Kuesioner yang digunakan dalam survei untuk mempelajari sistem usaha tani padi (Lampiran 1)

2. Data hujan harian dari 17 stasiun (Gambar 9) untuk bulan Juli 2009, Oktober 2009, dan November 2010, yaitu bulan-bulan waktu pengukuran salinitas

3. EM38, alat untuk mengukur salinitas (Gambar 10) diperlukan untuk analisis data

Gambar 9 Lokasi Stasiun Hujan di Indramayu (sumber : Dinas Pertanian Indramayu,

2010)

(a)

(b)

Gambar 10 Alat EM38 untuk pengukuran salinitas secara (a) horizontal (b) vertikal (sumber : Dokumentasi pribadi)

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11. Tahap pertama ialah melakukan studi literatur tentang kajian dampak salinitas terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi dan survei lapang SUT dengan menggunakan kuesioner pada Lampiran 1.

Tahap kedua ialah melakukan pengukuran salinitas di kecamatan yang sudah dipilih pada beberapa titik pengamatan pada bulan November 2010. Titik pengamatan salinitas ditetapkan pada lokasi yang sama dengan lokasi tempat pengukuran hasil ubinan padi yang dipanen pada bulan November 2010. Untuk mempelajari pengaruh kondisi hujan terhadap salinitas, penelitian ini juga menggunakan data hasil pengukuran salinitas yang dilakukan pada bulan Juli dan Oktober 2009 oleh Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian-Departemen Pertanian. Periode waktu pengambilan sampel ubinan dan salinitas dilakukan selama periode pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Gambar 12).

Tahap ketiga ialah melakukan analisis data yang diperoleh dari Tahap 1 dan 2 untuk menyusun peta sebaran kondisi salinitas dan hubungannya dengan kondisi hujan, menyusun persamaan hubungan antara salinitas dengan hasil tanaman padi dan alternatif teknologi usahatani untuk mengatasi masalah salinitas.

Gambar 11 Diagram Alir Penelitian

(21)

3.3.1 Survei Lapang

Survei lapang terhadap SUT padi dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam (In-depth Intervew). Penggunaan metode ini didasarkan pada dua alas an. Pertama, dengan wawancara, peneliti dapat menggali tidak saja apa yang diketahui dan dialami petani, tetapi juga memungkinkan peneliti mendapat informasi lain yang dirasa penting.

Kedua, apa yang ditanyakan kepada petani bisa mencakup hal-hal yang bersifat lintas waktu, yang berkaitan dengan masa lampau, masa sekarang, dan juga masa mendatang.

Responden yang dipilih dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode purposive sampling atau pemilihan secara sengaja sebanyak 40 responden. Ketentuan responden yang dipilih adalah petani-petani yang lahan sawahnya dipilih untuk pengukuran salinitas dan menjadi bahan sampel ubinan. Setiap petani mewakili satu kelompok petani. Responden yang dipilih terdiri dari petani dengan tipe pengairan lahan irigasi dan tadah hujan.

3.3.2 Metode Pengukuran Salinitas dan Sampel Ubinan

Pengukuran salinitas dan hasil padi ubinan dilakukan pada bulan November 2010. Salinitas diukur dengan alat EM-38, dengan dua kali pengukuran yaitu secara vertikal dan horizontal.

Pada satu titik pengamatan dilakukan pengambilan contoh sebanyak 10 kali baik secara vertikal dan horizontal dan kemudian dihitung nilai rata-ratanya. Sedangkan data hasil padi diukur dengan pengambilan sampel ubinan berukuran 2.5 x 2.5 meter. Banyak titik pengukuran salinitas dan pengambilan contoh ubinan ialah sebanyak 32 titik (Gambar 13).

3.3.3 Analisis Data

Analisis data dilakukan untuk mempelajari pola sebaran kondisi salinitas tanah dan hubungannya dengan kondisi hujan dengan menyusun data jumlah hujan dan banyak hari hujan dari semua stasiun hujan (Gambar 9) dan data hasil pengamatan salinitas pada semua titik pengamatan (Gambar 13) selama periode pengamatan salinitas ke dalam software Surfer 10. Software Surfer 10 selanjutnya dijalankan dengan menggunakan metode Kriging. Hasil dari proses ini adalah pola sebaran salinitas dan juga pola sebaran tinggi hujan dan banyak hari hujan. Langkah berikutnya dilakukan analisis visual untuk melihat hubungan antara pola sebaran salinitas dan kondisi hujan. Selanjutnya untuk menyusun hubungan antara salinitas dan hasil tanaman, data hasil padi dari pengukuran ubinan dan salinitas dianalisis dengan menggunakan teknik regresi. Bentuk-bentuk hubungan yang diperoleh dari hasil kajian literatur digunakan sebagai referensi dalam menentukan bentuk persamaan hubungan yang akan dibangun.

(22)

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pemetaan salinitas, curah hujan, dan jumlah hari hujan

Indramayu merupakan salah satu penghasil padi terbesar di Jawa Barat. Jenis persawahan yang ditemui di wilayah Indramayu adalah sawah tadah hujan dan sawah irigasi. Letak Indramayu yang berbatasan langsung dengan laut menimbulkan permasalahan salinitas yang sangat berpengaruh terhadap hasil produktivitas. Curah hujan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam situasi ini dikarenakan fungsinya sebagai pencuci garam dalam tanah.

Pada bulan Juli 2009 curah hujan di wilayah Indramayu cenderung rendah dengan nilai tertinggi adalah 6 mm pada stasiun Bulak dan Bangkir. Kecamatan yang dicakup adalah desa Pamayahan, Bulak, Karangsinom, Soge, Muntur, Santing, dan sebagian wilayah Karanganyar. Nilai terendahnya adalah tidak ada hujan pada stasiun Cikedung Sukadana, Tugu, Sumurwatu, Losarang, Sudimampir Lor, Kedokan Bunder, dan Bondan. Stasiun-stasiun tersebut mencakup wilayah Selatan Indramayu dan sebagian wilayah dekat laut seperti desa Brondong, Indramayu. Jumlah hari hujan tertinggi terdapat pada wilayah stasiun Bangkir dan Cidempet yaitu selama 2 hari.

Pada Gambar 14 terlihat perbandingan antara 3 variabel yaitu curah hujan, jumlah hari hujan, serta nilai salinitas. Perbandingan antara 3 variabel tersebut ditunjukkan dengan skala warna. Warna merah menunjukkan curah hujan rendah, sedangkan warna biru menunjukkan curah hujan tinggi. Demikian juga dengan jumlah hari hujan, warna merah menunjukkan intensitas hujan rendah dan warna biru menunjukkan intensitas hujan tinggi. Variabel salinitas ditunjukkan dengan warna merah yang didefinisikan sebagai wilayah rawan salinitas, serta warna biru yang didefinisikan sebagai wilayah dengan salinitas rendah. Berdasarkan Gambar 14, terlihat kesesuaian pola hubungan antara ketiga variabel tersebut.

Wilayah dengan curah hujan tinggi dan jumlah hari hujan yang banyak memiliki nilai salinitas yang rendah, tepatnya di daerah Barat Laut Indramayu yang berbatasan langsung dengan laut. Nilai salinitas yang tinggi terdapat pada Desa Brondong, Kecamatan Indramayu, dimana pada wilayah tersebut jumlah hari hujannya banyak tetapi curah hujannya relatif rendah. Nilai salinitasnya mencapai 10.54 ds/m. Rendahnya curah hujan disertai dengan permasalah salinitas di wilayah pesisir Indramayu mengakibatkan banyak kesulitan bagi petani. dimana mereka tidak dapat menanam apapun di lahannya.

Selain itu juga, nilai salinitas yang rendah pada wilayah Barat Laut Indramayu (Patrol, Kandanghaur) menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi lahan garam

atau tambak. Bulan Juli merupakan puncak musim kemarau dengan rata-rata curah hujan bulanannya kurang dari 2 mm. Menurut Soemarno (2004) apabila persediaan air tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan tanaman secara penuh, evapotranspirasi aktual (Eta) akan menurun di bawah evapotranspirasi maksimum (Etm). Pada kondisi ini, akan berkembang stres air di dalam tanaman yang akan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman.

Ketersediaan air yang kurang ditambah dengan jarak lahan yang dekat dengan laut mengakibatkan turunnya tingkat kesuburan tanah di wilayah tersebut karena terkena salinitas. Masalah utama yang dihadapi adalah keretakan pada lahan serta banyaknya kristal garam pada permukaan tanah yang sangat terlihat jelas di sepanjang wilayah pesisir Indramayu pada bulan tersebut. Pada bulan Oktober 2009, sebaran curah hujan di wilayah Indramayu didominasi oleh warna merah. Nilai tertinggi yang tercatat adalah 41 mm pada stasiun Krangkeng dengan cakupan wilayah desa Krangkeng, Kapringan, dan Kali Anyar.

Nilai terendahnya adalah tidak ada hari hujan yaitu pada stasiun Cikedung dengan cakupan wilayah desa Loyang dan Cikedung Lor. Rata-rata curah hujan pada bulan Oktober 2009 adalah sebesar 18 mm. Terdapat sedikit perbedaan antara curah hujan bulan Juli dengan bulan Oktober. Hal tersebut juga berdampak pada produktivitas padi pada bulan-bulan terkait.

Jumlah hari hujan terbanyak adalah 4 hari tercatat pada wilayah Stasiun Bangkir, Cidempet, dan Jatibarang. Sedangkan pada beberapa stasiun lainnya tidak turun hujan sama sekali. Tanaman padi membutuhkan air untuk hidup. Variasi jumlah hari hujan ini juga dapat mengakibatkan fluktuasi nilai produktivitas padi di wilayah Indramayu. Kesesuaian pola terlihat pada nilai salinitas yang tinggi pada wilayah dengan intensitas hujan yang tinggi, tetapi curah hujannya rendah.

Menurut Sipayung (2003), kadar garam yang tinggi pada tanah menyebabkan terganggunya pergerakan air dari tanah menuju akar, akibatnya tanaman akan kekurangan air, bahkan air dari tanaman itu sendiri akan diserap oleh tanah, sehingga pertumbuhannya akan terhambat. Irigasi dapat menjadi salah satu solusi yang baik untuk mengatasi hal tersebut karena air memiliki nilai pH yang sangat netral sehingga dapat membantu proses pencucian garam pada lahan sehingga tanah dapat berfungsi lebih maksimal. Lahan yang diairi dengan baik (irigasi atau curah hujan) akan dapat mengurangi permasalahan salinitas.

(23)

Gambar 14 Pemetaan Sebaran Salinitas Tanah, Curah Hujan, dan Jumlah Hari Hujan di Indramayu (sumber : Balai Penelitian Tanah dan Dinas Pertanian Indramayu, 2010)

(24)

salah satu penyebab tingginya salinitas di wilayah tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Yadraf dan Ibrol (1988), angka tersebut termasuk kategori salinitas sedang. Sebaran salinitas pada bulan Juli dan Oktober mengindikasikan hal yang sama, yaitu jarak antara laut dengan lahan pertanian berpengaruh terhadap besar nilai salinitas tanah di wilayah tersebut. Semakin mendekati laut, nilai salinitasnya menjadi lebih tinggi dan demikian pula sebaliknya.

Sebaran curah hujan pada bulan November 2010 didominasi dengan warna biru, yang artinya pada bulan ini curah hujannya relatif tinggi, dengan rata-rata curah hujannya sebesar 268 mm. Curah hujan tertinggi terdapat pada wilayah Stasiun Sukadana dengan angka 325 mm. Sedangkan curah hujan terendah terjadi di wilayah stasiun Lohbener dengan angka 37 mm. Jumlah hari hujan pada bulan November juga termasuk tinggi, apabila dibandingkan pada bulan-bulan hasil penelitian yang sebelumnya, yaitu Juli dan Oktober 2009.

Rata-rata jumlah hari hujan pada bulan November adalah 11 hari per stasiun dalam sebulan. Jumlah hari hujan terbanyak terjadi di wilayah Jutinyuat selama 15 hari. Sedangkan angka terendahnya terjadi di wilayah Lohbener dengan 4 hari kejadian hujan. Angka tersebut masih lebih tinggi dari jumlah hari hujan di bulan Juli dan Oktober. Berkebalikan dengan curah hujan dan jumlah hari hujannya, variabel salinitas didominasi oleh warna biru tua, yang berarti memiliki sebaran dengan nilai yang rendah. Hal ini sangat sesuai, dikarenakan curah hujan serta jumlah hari hujan yang tinggi dapat membantu proses pencucian garam di dalam tanah, sehingga tanah dapat berfungsi lebih maksimal dan mengurangi angka salinitas di daerah tersebut. Akan tetapi, walaupun perbedaan curah hujan pada bulan Juli dan Oktober 2009 sangat besar dibandingkan dengan curah hujan bulan November 2010, nilai salinitas yang didapatkan dari hasil penelitian tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.

Berdasarkan hasil pengamatan pada bulan November 2010, dapat diketahui bahwa semakin mendekati laut, nilai salinitas cenderung akan meningkat, tetapi tidak dipungkiri bahwa banyak faktor-faktor yang mempengaruhi selain daripada jaraknya terhadap laut, curah hujan, dan jumlah hari hujan. Faktor tersebut antara lain jenis tanah yang dapat menyimpan kapasitas air lebih baik. Tanah dengan pori-pori yang kecil akan menghambat pergerakan air sehingga penyerapan air dengan kandungan garam yang tinggi akan menjadi sulit. Selain itu faktor lain yang menyebabkan hal tersebut adalah terjadinya konversi lahan di beberapa lokasi di Indramayu. Lahan yang tadinya dialokasikan untuk kegiatan

pertanian berubah menjadi lahan garam, tambak, dan rawa-rawa.

Salinitas memberikan pengaruh yang besar pada saat musim kemarau. Pada musim kemarau, ketersediaan air tanah menurun sehingga tanah menjadi kering. Kekeringan menyebabkan tanah mengalami keretakan, akibatnya intrusi air asin dapat dengan mudah terjadi. Penyerapan air laut tersebut mengakibatkan akumulasi garam sehingga konsentrasi garam dalam tanah meningkat. Tanaman membutuhkan kandungan air yang cukup dalam tanah untuk dapat melakukan pertumbuhan. Kondisi tanah dengan kapasitas air yang rendah serta akumulasi garam yang tinggi menyebabkan tanaman kesulitan bertumbuh sehingga akan menyebabkan kematian.

Pengaruh curah hujan pada penurunan nilai salinitas terletak pada konsentrasi air yang terserap ke dalam tanah. Curah hujan yang turun ke permukaan bumi memiliki pH yang hampir, atau bisa diasumsikan, netral. Curah hujan yang jatuh ke bumi dan terserap ke dalam tanah akan berikatan dengan kation-kation garam dalam tanah sehingga akan menurunkan konsentrasi garam di dalam tanah.

4.2 Analisis hubungan produktivitas padi dengan salinitas

Salinitas merupakan masalah utama pada lahan pertanian di wilayah pesisir. Permasalahan tersebut berpengaruh terhadap hasil produktivitas padi di wilayah Indramayu. Mengetahui hal tersebut, ada juga petani yang akhirnya menkonversi lahannya menjadi lahan garam atau tambak. Kondisi ini merupakan bentuk adaptasi dari sistem pertanian yang umumnya dilakukan di wilayah dataran rendah (650 mdpl) dengan pH tanah 4-7. Oleh sebab itu dibutuhkan perlakuan yang berbeda pada sistem usaha pertanian yang diterapkan.

Sampel produksi panen yang diambil pada pengamatan akan menentukan banyaknya hasil panen di wilayah pesisir Indramayu yang rentan terhadap bencana salinitas. Salinitas tanah yang tinggi akan menurunkan hasil panen karena kadar garam tinggi dalam tanah akan menghambat aliran air serta unsur hara dalam tanah. Hubungan produktivitas padi dan salinitas tersedia pada Gambar 15. Berdasarkan diagram pada Gambar 15, terlihat bahwa hasil plot titik-titik tersebut menyebar dan peningkatan salinitas tidak diikuti dengan adanya perbedaan nyata terhadap produktivitas padi. Persamaan yang didapat adalah sebagai berikut.

(25)

Persamaan yang didapat pada penelitian ini kurang berkesesuaian dengan persamaan yang didapat oleh Grattan (2002) pada Gambar 8. Terdapat penurunan yang nyata pada produktivitas padi seiring dengan bertambahnya nilai salinitas. Penurunan secara signifikan terjadi pada saat nilai salinitas 8 menuju 9 ds/m dengan penurunan produktivitas sebesar 70 %. Sedangkan pada diagram yang didapat dari hasil penelitian, sampai dengan nilai salinitas 7 ds/m masih belum ditemukan penurunan produktivitas padi secara signifikan.

Pada penelitian yang dilakukan Grattan (2002) terjadi penurunan produktivitas sebesar 40 % pada nilai salinitas 6 ds/m, berbeda dengan produktivitas padi yang didapat pada penelitian ini. Produktivitas padi yang didapat dari penelitian ini hanya berkisar pada angka 2 kg sampai dengan 3 kg per 2.5 m2 atau sekitar 4 ton/ha, walaupun nilai salinitasnya fluktuatif antara 1 sampai dengan 6 ds/m.

Gambar 16 menunjukkan sebaran produktivitas padi di Indramayu selama bulan November 2010. Sebaran ditunjukkan dengan skala warna, dengan warna hijau sebagai indikasi lahan memiliki produktivitas yang baik sedangkan warna putih menunjukkan lahan memiliki produktivitas kurang baik. Hasil produktivitas padi terbesar dicapai di desa Pamayahan dengan angka salinitas 1.85 ds/m, yaitu 4.80 kg/ubinan. Sedangkan angka terendahnya ditunjukkan oleh area berwarna putih pada Gambar 16 sebesar 0 kg pada angka salinitas

3.12 ds/m, yaitu di Desa Losarang. Angka salinitas tersebut tergolong salinitas rendah, namun demikian lahan tidak menghasilkan sama sekali. Hal tersebut dikarenakan lahan yang tadinya merupakan wilayah persawahan telah berubah fungsinya menjadi rawa-rawa sehingga tidak dapat menghasilkan.

Konversi lahan juga terjadi di berbagai wilayah lain di Indramayu seperti di Patrol, yang tadinya adalah lahan sawah berubah menjadi lahan garam dan tambak. Para petani yang pada akhirnya menggarap sawah garam, karena dianggap lebih menguntungkan. Sawah garam banyak terdapat di wilayah Indramayu, khususnya di daerah sepanjang pantai utara Jawa.

Pada wilayah lainnya, Desa Santing memiliki angka produktivitas sebesar 2.23 kg/ubinan dan nilai salinitas sebesar 5.51 ds/m. Nilai salinitas sedang disertai curah hujan yang rendah, akan membuat tanaman padi akan mengalami kekurangan ketersediaan air. Pertumbuhan tanaman akan terganggu, tanamannya menjadi pendek dan bahkan sampai mati. Hal tersebut sangat merugikan petani sawah.

(26)

terjadi adalah kebalikannya, pada saat angka salinitas mencapai 9.59 ds/m, ternyata angka produktivitasnya dapat mencapai 2.64 kg/ubinan. Hal ini tidak berkesesuaian dengan teori dimana nilai salinitas berbanding terbalik dengan hasil produktivitas (Grattan et al, 2002).

Berdasarkan data dari kuesioner, penyebab utamanya adalah jenis tanah serta irigasi yang baik. Jenis tanah yang ada di wilayah Brondong merupakan jenis tanah yang dapat menyimpan kapasitas air dengan lebih baik, sehingga lebih tahan terhadap ancaman salinitas. Penerapan irigasi yang cukup baik juga sudah dilakukan di wilayah ini, sehingga hampir sebagian besar dari lahan sawah di wilayah ini dapat terairi dengan baik. Wilayah Brondong memiliki angka salinitas yang tergolong tinggi, tetapi dapat menjaga hasil produktivitasnya. .

Pada penelitian yang dilakukan oleh Grattan (2002) dan Motamed (2008), terjadi penurunan hasil produktivitas padi yang nyata seiring dengan bertambahnya nilai salinitas. Jumlah anakan yang lebih sedikit, tinggi tanaman yang lebih pendek, serta berkurangnya berat 100 bulir padi menjadi pengaruh-pengaruh yang diakibatkan oleh salinitas. Hal ini tidak berkesesuaian dengan penelitian yang dilakukan di Indramayu ini. Pada pengambilan hasil ubinan yang dilakukan pada bulan November 2010, kenaikan nilai salinitas tidak terlalu berpengaruh terhadap hasil produktivitas padi di wilayah tersebut. Nilai salinitas yang diamati pada penelitian ini mencapai angka 9.59 ds/m yang menurut klasifikasi besaran

salinitas dan efeknya terhadap tanaman pada Tabel 3 (Sipayung, 2003), hanya sedikit tanaman yang dapat bertahan.

Ketidaksesuaian yang terjadi pada penelitian ini salah satunya diakibatkan oleh faktor cuaca atau curah hujan, dimana pada bulan November curah hujan relatif tinggi mencapai 325 mm, dengan jumlah hari hujan yang cukup banyak. Curah hujan yang tinggi dapat membantu proses pencucian garam dalam tanah, sehingga tanaman padi dapat menyerap unsur hara dengan lebih baik. Berdasarkan hasil survei yang dikumpulkan, sistem irigasi pada sistem pertanian di Indramayu secara umum masih kurang memadai sehingga tidak semua lahan sawah di Indramayu terairi dengan baik. Irigasi merupakan hal yang sangat penting mengingat lokasi Indramayu yang berdekatan dengan laut, sehingga akan sulit mendapatkan air dengan pH netral. Proses infiltrasi air laut menyebabkan air irigasi dengan kandungan garam yang tinggi merembes ke dalam lahan, sehingga tanaman padi tidak dapat bertumbuh dengan baik.

Salah satu komponen yang juga mempengaruhi analisis hubungan ini adalah jenis varietas padi yang digunakan oleh para petani di Indramayu. Tanaman padi bukan merupakan tanaman halofita atau tanaman yang memiliki ketahanan tinggi terhadap salinitas, tetapi pada kenyataannya varietas padi Ciherang memiliki toleransi yang cukup baik terhadap salinitas. Hal ini dikuatkan dengan deskripsi padi Ciherang yang terdapat pada Tabel 4.

(27)

Berdasarkan hasil kuesioner yang dikumpulkan, 80 % dari petani di wilayah Indramayu menggunakan varietas padi Ciherang, sebagaimana disarankan oleh penyuluh pertanian setempat. Padi Ciherang dikeluarkan oleh pemerintah sejak tahun 2000 dan dinilai memiliki kualitas yang unggul. Umur tanamnya berkisar antara 116-125 hari, lebih pendek dari varietas lainnya seperti IR 64. Hal ini menguntungkan petani khususnya dalam penentuan waktu tanam. Petani dapat menentukan waktu tanam yang sesuai agar dapat mengatasi musim kemarau dengan baik. Selain itu, varietas Ciherang juga terbukti cocok ditanam baik pada musim kemarau dan musim hujan. Salah satu petani di Indramayu mengatakan bahwa varietas Ciherang telah dipakai sejak tahun 2000 dan masih tetap bertahan karena menghasilkan produksi yang baik sampai sekarang. Gambar padi, beras, dan gabah Ciherang dapat dilihat pada Gambar 17 dan Gambar 18.

Gambar 17 Padi Ciherang

(sumber : Balai Besar Penelitian Padi)

Gambar 18 Gabah dan beras Ciherang (sumber : Balai Besar Penelitian Padi)

Pada musim tanam 2005, varietas Ciherang menempati posisi kedua terbanyak ditanam di wilayah Jawa Barat, yaitu mencapai 0.73 juta ha, 33% lebih luas dari jenis varietas IR 64 yang seluas 0.5 juta ha. Sampai dengan tahun 2011, varietas Ciherang masih mendominasi luas

pertanian di Indonesia yaitu sebesar 47%, dari total lahan pertanian seluas 12.8 juta ha (Hermanto, 2006).

Varietas ini merupakan jenis persilangan antara IR 64 dengan varietas lainnya. Para petani di Indramayu menilai varietas ini memiliki rasa nasi yang pulen dan enak. Varietas Ciherang dianjurkan ditanam pada wilayah dengan ketinggian di bawah 500 mdpl, sehingga Indramayu yang memiliki ketinggian 0-100 mdpl merupakan lokasi yang sesuai untuk ditanami varietas ini.

Informasi mengenai iklim sudah banyak diterapkan di wilayah Indramayu. Para petani di wilayah tersebut sudah mendapatkan penyuluhan mengenai penerapan informasi iklim dalam meningkatkan produktivitas padi. Ciherang merupakan varietas yang dianjurkan penyuluh pertanian untuk ditanam di wilayah Indramayu, dan terbukti cukup resistan terhadap salinitas

Tabel 4 Deskripsi padi Ciherang (sumber : Litbang Deptan, 2002)

4.3 Solusi Permasalahan Salinitas

(28)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ciherang ternyata memiliki toleransi yang cukup baik dalam menghadapi permasalahan salinitas. Oleh sebab itu penggunaan varietas Ciherang dapat dilanjutkan sebagai salah satu solusi permasalahan salinitas. Penelitian lebih lanjut mengenai padi Ciherang juga akan sangat membantu keberlangsungan kegiatan pertanian di wilayah pesisir Indramayu. Selain itu, Dinas Pertanian juga telah mengeluarkan beberapa jenis varietas padi yang tahan salin yang dapat diterapkan di wilayah bersalinitas tinggi, yaitu padi Banyuasin dan Lambur. Jenis-jenis padi ini mempunyai toleransi yang tinggi terhadap tanah yang salin. Padi Banyuasin tahan terhadap penyakit bias, serta WBC biotipe 3 dan penyakit HBD strain III. Sedangkan varietas Lambur, memiliki ketahanan terhadap bias dan toleran terhadap keracunan Fe dan Al. Kedua varietas ini diharapkan juga dapat menjadi salah satu solusi dari permasalahan salinitas di Indramayu.

Selain itu, solusi lain yang dapat dilakukan adalah dengan memperhatikan irigasi serta pemupukan. Efek salinitas yang terutama dalam kegiatan tanam menanam adalah berkurangnya unsur-unsur hara yang seharusnya digunakan tanaman padi untuk pertumbuhan. Akumulasi garam dalam tanah menyebabkan air dalam tanah tidak terserap baik oleh akar tanaman. Sepanjang kegiatan tanam menanam, proses pemupukan bertujuan untuk menambah unsur-unsur hara yang diperlukan oleh tanaman untuk bertumbuh. Air serta unsur hara yang cukup akan menunjang pertumbuhan tanaman padi dengan baik. Pengelolaan irigasi yang baik akan sangat membantu petani dan menjadi salah satu solusi peningkatan produktivitas.

Berdasarkan survei yang dilakukan pada petani di wilayah Indramayu, salah satu keluhan yang kerap kali disebutkan adalah sulitnya mendapatkan air untuk irigasi, khususnya air bersih. Letak Indramayu yang dekat dengan pesisir menyebabkan air yang digunakan untuk irigasi pun sudah terkontaminasi oleh garam. Sulit untuk mendapatkan air dengan pH netral, sehingga para petani merasa kesulitan selama musim tanam, khususnya di musim kemarau, dimana curah hujan sangat sedikit. Pada saat curah hujan turun, intrusi air asin bisa masuk jauh ke dalam.

Kekeringan adalah musuh utama dari salinitas. Apabila wilayah Indramayu mengalami kekeringan berkepanjangan, maka berdasarkan hasil yang didapat dari penelitian ini, kemungkinan terjadinya penurunan produksi adalah sangat besar. Pemerataan irigasi harus dilakukan guna meningkatkan hasil produktivitas padi. Peran dinas pertanian setempat dengan organisasi yang mengatur pembagian air irigasi sangat besar. Harus ada pengaturan waktu atau interval yang jelas dalam pembagian irigasi sehingga setiap lahan

dapat terairi dengan baik. Pembangunan bendungan-bendungan karet pada titik-titik penting yang dapat mengalirkan air ke sawah-sawah disekitarnya juga dapat menjadi solusi. Bendungan-bendungan ini akan disebar di berbagai daerah, khususnya daerah-daerah yang terletak jauh dari sumber mata air dan dekat dengan laut.

V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Letak Indramayu yang dekat dengan laut mengakibatkan terjadinya peleburan sifat-sifat fisik antara daratan dan laut di daerah pesisir. Kenaikan permukaan air laut, curah hujan, jumlah hari hujan menjadi sangat berpengaruh terhadap kelangsungan kegiatan pertanian di wilayah Indramayu. Pada beberapa kecamatan di daerah yang berdekatan dengan garis pantai Indramayu, salinitas menjadi salah satu permasalahan utama. Pengadaan irigasi menjadi sulit karena sumber air yang dibutuhkan telah terkontaminasi oleh garam akibat intrusi air laut.

Hasil penelitian menyatakan bahwa pada bulan November 2010, salinitas masih dapat ditoleransi dengan baik oleh tanaman padi di Indramayu. Penurunan produktivitas belum nyata terlihat. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi. Salah satunya adalah dikarenakan curah hujan yang tinggi pada bulan tersebut yang mencapai 324 mm, sehingga membantu proses pencucian garam dalam tanah.

Berdasarkan hasil pemetaan antara nilai salintias dengan peta lahan sawah di Indramayu, terlihat bahwa semakin menjauhi pesisir, nilai salinitas cenderung semakin rendah. Hal tersebut berkesuaian dengan analisis spasial salinitas dengan curah hujan dan jumlah hari hujan dimana pada saat curah hujan rendah, potensi nilai salinitas cenderung meningkat dan berbahaya bagi kelangsungan pertanian di wilayah tersebut. Semakin sering terjadinya hari hujan, potensi meningkatnya salinitas menjadi lebih kecil. Jenis tanah juga menjadi salah satu faktor penentu. Jenis tanah dengan kapasitas penyimpanan air yang lebih baik serta pori-pori yang kecil akan membantu menurunkan laju infiltrasi air laut sehingga akan meningkatkan akumulasi garam dalam tanah.

Gambar

Tabel 3 Klasifikasi nilai salinitas dan efeknya
Gambar 4   Dampak kenaikan salinitas pada tahapan pertumbuhan padi (a) jumlah bulir terisi (b) persentase
Gambar 5  Hubungan antara salinitas dengan variabel pengukuran padi (a) tinggi tanaman (b) anakan kosong
Gambar 6
+6

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keadaan isoosmotik ikan air tawar pada stadia benih tidak selalu pada kondisi salinitas yang relatif tinggi yaitu 3 hingga

Hasil perlakuan cekaman 25 mM NaCl diperoleh 38 tanaman transgenik yang positif mengandung gen faktor transkripsi OsDREB1A dan OsERF1 dari 48 tanaman toleran salinitas

Anomali terjadi pada titik sampel wilayah bagian selatan yang jaraknya relatif jauh dari laut memiliki salinitas yang lebih tinggi dibanding wilayah yang relative

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keadaan isoosmotik ikan air tawar pada stadia benih tidak selalu pada kondisi salinitas yang relatif tinggi yaitu 3 hingga

Dari data pengujian laju korosi diketahui bahwa pengelasan basah bawah air dengan salinitas 35‰ lebih tinggi di bandingkan dengan pengelasan basah bawah air dengan

Penelitian ini dilakukan guna menganalisis ekspresi gen BADH1 pada tanaman yang beradaptasi dalam kondisi salinitas tinggi, yang berperan dalam biosintesis dari

Kriteria toleransi genotipe terhadap kahat P yang digunakan adalah nilai relatif dari jumlah anakan, bobot kering tajuk, dan tinggi tanaman, yakni perbandingan anta- ra

Beberapa hal yang membutuhkan penelitian lebih lanjut dalam pemuliaan padi toleran salinitas antara lain: (i) karakterisasi mekanisme toleransi terhadap salinitas yang dimiliki