UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH DENGAN
PENCAMPURAN BUNGKIL INTI SAWIT DAN
DISTILLERS
DRIED GRAINS WITH SOLUBLES
DALAM KONSENTRAT
MASHA MARINA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Upaya Peningkatan Produksi Susu Sapi Perah dengan Pencampuran Bungkil Inti Sawit dan Distillers Dried Grains with Solubles dalam Konsentrat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013
Masha Marina
RINGKASAN
MASHA MARINA. Upaya Peningkatan Produksi Susu Sapi Perah dengan Pencampuran Bungkil Inti Sawit dan Distillers Dried Grains with Solubles dalam Konsentrat. Dibimbing oleh BAGUS PRIYO PURWANTO dan RA YENI WIDIAWATI.
Tingkat produksi susu nasional yang masih rendah, tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi susu national. Salah satu alternatif untuk meningkatkan produksi susu nasional adalah dengan meningkatkan produksi susu sapi perah melalui perbaikan kualitas pakan. Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra pengembangan usaha ternak sapi perah karena produksi susu pada provinsi ini mencapai 34.81% dari produksi susu nasional. Populasi sapi perah terbesar di Jawa Barat berada di Lembang. Rata-rata produksi susu di Lembang berada di atas rata-rata produksi susu nasional. Ketergantungan terhadap pakan tambahan berupa konsentrat juga menjadi sangat tinggi guna mempertahankan produksi susu. Bungkil inti sawit (BIS) adalah hasil sampingan dari industri minyak sawit yang dapat digunakan sebagai bahan pakan untuk ternak yang berpotensi sebagai bahan pakan lokal untuk alternatif sumber energi dan protein. Meskipun harganya murah, namun penggunaannya masih sangat terbata karena belum banyak penelitian tentang penggunaan BIS pada sapi perah. Bahan lain sebagai sumber protein dan energi adalah distillers dried grains with solubles (DDGS) yang merupakan bahan pakan impor tetapi harganya relatif lebih murah dari pada bungkil kedele. Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh pencampuran konsentrat oleh bahan baku pakan lokal BIS dan bahan baku pakan impor DDGS, sebagai pengganti konsentrat terhadap produksi susu sapi perah di Lembang. Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam meningkatkan produksi susu sapi perah, menurunkan biaya pakan dan meningkatkan pendapatan peternak sapi perah di Lembang.
General Linear Model. Jika terdapat perbedaan hasil, akan dilanjutkan dengan uji Duncan.
Hasil penelitian menunjukkan pencampuran BIS dan DDGS pada pakan konsentrat tidak memberikan perbedaan yang nyata (P>0.05) terhadap status fisiologi ternak yang meliputi denyut jantung, respirasi dan temperatur rektal. Hasil pengukuran terhadap status fisiologi ternak masih berada pada kisaran normal. Hasil analisis pengaruh perlakuan terhadap kuantitas dan kualitas susu berupa kadar lemak susu, bahan kering tanpa lemak, protein dan bahan kering total, menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05). Konsumsi total digestible nutrients (TDN) pada perlakuan R1, R2, R3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap perlakuan R0, sedangkan perlakuan R1 dan R2 menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap perlakuan R3. Konsumsi energi metabolis (ME) dan net energi laktasi (NEL) pada perlakuan R1, R2 dan R3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap perlakuan R0, sedangkan perlakuan R1 dan R3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap perlakuan R2.
Produksi susu menunjukkan hasil yang sesuai dengan data konsumsi energi oleh ternak di setiap kelompok perlakuan. Produksi susu tertinggi terdapat pada ternak di R2 diikuti oleh R3, R1 dan R0. Sementara konsumsi energi yang meliputi TDN, ME dan NEL tertinggi terdapat pada ternak di R2 diikuti oleh R3, R1 dan R0. Pencampuran konsentrat oleh BIS dan DDGS juga dapat meningkatkan produksi susu selama periode perlakuan. Hal ini menunjukkan kontribusi campuran BIS dan DDGS dalam konsentrat. Biaya konsentrat R3 yang diperlukan tiap ekor ternak dalam sehari setelah dicampur oleh BIS, lebih murah daripada konsentrat yang dicampur oleh DDGS atau kombinasinya. Keuntungan peternak per kg susu yang dihasilkan lebih besar pada perlakuan R3, tetapi produksi susu yang dihasilkan lebih besar pada R2, sehingga keuntungan peternak pada kelompok perlakuan R2 adalah yang terbesar, diikuti oleh kelompok perlakuan R3.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pencampuran pakan konsentrat dengan kombinasi BIS dan DDGS dapat mempertahankan puncak produksi susu selama perlakuan. Pencampuran konsentrat dengan DDGS secara tunggal dapat menghasilkan persistensi produksi susu paling tinggi. Pencampuran konsentrat dengan BIS dapat menurunkan biaya pakan tiap kg susu yang dihasilkan. Kombinasi BIS dan DDGS dapat meningkatkan pendapatan peternak. Supaya peternak mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari usahanya, disarankan peternak menggunakan BIS yang dikombinasikan dengan DDGS sebagai salah satu bahan campuran konsentrat.
SUMMARY
MASHA MARINA. Improvement of Milk Yield by Using Palm Kernel Cake and Distillers Dried Grains with Solubles Mixed in Concentrate Feed. Supervised by BAGUS PRIYO PURWANTO and RA YENI WIDIAWATI.
National milk yield can not supply the national milk consumption. One alternative to improve national milk yield is by increasing the dairy cattle productivity through better feeding management. West Java is one of the centers of development of dairy cattle for milk yield. It provides about 34.81% of the national milk yield. The largest population of dairy cattle in West Java is in Lembang. The average milk yield in Lembang is higher than the average national milk yield. To maintain high milk yield, addition of high quality feed such as concentrates is very important for dairy cattle. Palm kernel cake (PKC) is a by-product of the palm oil industry. As a local feed, it has a very high potential to be used as an alternative of energy and protein feed sources. Even though the price is low, there is still limited research that has been done concerning its effect on dairy cattle production. Using good quality of local feed for dairy cattle has two
benefits, it decreases production costs while increasing farmer’s income as well as
improving animal production. Distillers dried grains with solubles (DDGS) is a feedstuff that can be used as a protein and energy source. Distillers dried grains with solubles is imported feed but the price is lower than soybean meal. Concentrate feed mixed by PKC and DDGS, was expected to increase production and quality of milk of dairy cows in Lembang. An experiment was conducted to study the effect of concentrate mix by using PKC and DDGS on milk yield in Lembang, West Java. This experiment was expected to increase milk yield, to decrease feed costs and to increase dairy farmers income in Lembang.
The experiment showed that there was no significant effect of treatment (P>0.05) on physiological status, feed consumption, body weight, milk yield and milk quality. Physiological status of cows was still in the normal range. The experiment showed there were no significant effect of treatments (P<0.05) on milk yield and milk quality (included milk fat, solid non fat, milk protein and total solid). Total digestible nutrients (TDN) consumption of R1, R2 and R3 showed significant effect (P<0.05) compared to R0, R1 and R2 showed significant effect (P<0.05) on R3. Metabolized energy (ME) consumption and Net energy of Lactation (NEL) consumption of R1, R2 and R3 showed significant effect (P<0.05) compared to R0, R1 and R3 showed significant effect (P<0.05) on R2.
Milk yield showed the same pattern to energy consumption. R2 had the highest milk yield, followed by R3, R1 and R0. R2 had the highest energy feed consumption, included TDN, ME and NEL, followed by R3, R1 and R0. The experiment showed that mixture of PKC and DDGS on concentrate feed increased milk yield during the experiment period. Concentrate feed costs on R3 needed per day were lower than concentrate feed costs on R1 or R2. Dairy farmers profit of each kg of milk on R3 was higher than R2, but milk yield on R2 was the highest.
It was concluded that dairy farmers profit on R2 was the highest. PKC and DDGS mixed in concentrate feed has increased energy consumption greater than DDGS mixed in concentrate feed and PKC mixed in concentrate feed.
Combination of PKC and DDGS mixed in concentrate feed, maintain milk yield’s
peak during experiment periods and also also increased profits of dairy farmers in Lembang. Mixture of DDGS in concentrate feed resulted in the highest milk yield persistency. Mixture of PKC in concentrate feed decreased feed costs in every kg of milk. Dairy farmers are advised to use a combination of PKC and DDGS as a mixture in their concentrate feed.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
MASHA MARINA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2013
UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH DENGAN
PENCAMPURAN BUNGKIL INTI SAWIT DAN
DISTILLERS
Judul Tesis : Upaya Peningkatan Produksi Susu Sapi Perah dengan Pencampuran Bungkil Inti Sawit dan Distillers Dried Grains with Solubles dalam Konsentrat
Nama : Masha Marina NIM : D151100091
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Bagus Priyo Purwanto, MAgr Dr RA Yeni Widiawati
Ketua Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu dan Teknologi Peternakan
Prof Dr Ir Muladno, MSA Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2012 sampai Maret 2012 ini ialah produksi susu, dengan judul Upaya Peningkatan Produksi Susu Sapi Perah dengan Pencampuran Bungkil Inti Sawit dan Distillers Dried Grains with Solubles dalam Konsentrat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Bagus Priyo Purwanto, MAgr dan Ibu Dr RA Yeni Widiawati selaku pembimbing, dan Dr Ir Afton Atabany, MSi selaku penguji luar komisi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik-adik serta seluruh keluarga dan sahabat atas segala do’a, dukungan dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2013
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN viii
1. PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
2. TINJAUAN PUSTAKA 3
Sapi Perah 3
Status Fisiologis Ternak 3
Energi Pakan 4
Total Digestible Nutrient 4
Energi Metabolis 5
Protein Pakan 5
Bungkil Inti Sawit 6
Distillers Dried Grains with Solubles 8
Produksi Susu 9
3. METODE 10
Bahan 10
Alat 12
Lokasi dan Waktu Penelitian 12
Prosedur Penelitian 12
Analisis Data 14
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 14
Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara 14
Status Fisologis Ternak 15
Denyut Jantung / Pulsus 15
Respirasi 17
Temperatur Rektal 18
Konsumsi Pakan 20
Konsumsi Hijauan 21
Konsumsi Konsentrat 22
Konsumsi BIS 23
Konsumsi DDGS 24
Total Konsumsi Pakan 25
Bobot Badan 28
Produksi Susu 30
Kadar Lemak Susu 34
Bahan Kering Tanpa Lemak 36
Kadar Protein 37
Bahan Kering Total 38
Uji Mastitis 38
Gambaran Pendapatan Berdasarkan Harga Pakan 40
5. SIMPULAN DAN SARAN 41
Simpulan 41
Saran 41
DAFTAR PUSTAKA 42
LAMPIRAN 46
DAFTAR
TABEL
1 Kebutuhan gizi untuk produksi per liter susu 6
2 Hasil ikutan tanaman dan olahan kelapa sawit tiap hektar 7
3 Komposisi nutrien bungkil inti sawit 7
4 Komposisi nutrien DDGS 8
5 Syarat mutu susu berdasarkan SNI 01-3141-1998 10 6 Kondisi ternak yang digunakan selama penelitian 11 7 Persentase BIS dan DDGS dalam konsentrat serta kandungan PK dan
TDN konsentrat yang digunakan selama penelitian 11 8 Populasi sapi di wilayah binaan KPSBU tahun 2010-2011 15 9 Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata denyut jantung sapi 16 10 Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata respirasi sapi 17 11 Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata temperatur rektal sapi 19 12 Kandungan nutrisi bahan pakan yang digunakan dalam penelitian 21 13 Rata-rata konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat
kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NEL (Mkal/kg) hijauan
selama penelitian 22
14 Rata-rata konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NEL (Mkal/kg)konsentrat
selama penelitian 23
15 Rata-rata konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NEL (Mkal/kg)BIS selama
penelitian 24
16 Rata-rata konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NEL (Mkal/kg) DDGS
selama penelitian 25
17 Rata-rata total konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NEL (Mkal/kg)pakan
selama penelitian 26
18 Perngaruh perlakuan pakan terhadap selisih rata-rata bobot badan sapi
yang digunakan dalam penelitian 28
19 Perhitungan energi dibandingkan dengan laju metabolisme ternak
selama penelitian 29
20 Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata selisih produksi susu
(kg/ekor/hari) 30
21 Pengaruh perlakuan pakan terhadap rataan persistensi produksi susu
selama penelitian 33
22 Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata selisih kadar lemak susu 34
23 Produksi susu 4% FCM 35
24 Pengaruh perlakuan pakan terhadap kadar BKTL dalam susu 36 25 Pengaruh perlakuan pakan terhadap protein susu 37 26 Pengaruh perlakuan pakan terhadap kadar bahan kering total dalam
susu 38
DAFTAR GAMBAR
1 Produksi lemak dan protein susu selama laktasi (Phillips 2001) 10
2 Bungkil inti sawit expeller 11
3 Distillersdried grains with solubles 12
4 Timbangan gantung 12
5 Kurva denyut jantung sapi dengan perlakuan berturut-turut (a) R0, (b) R1, (c) R2 dan (d) R3, periode 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah pra
perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan 16
6 Kurva respirasi sapi dengan perlakuan berturut-turut (a) R0, (b) R1, (c) R2 dan (d) R3, periode 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah pra
perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan 18
7 Kurva temperatur rektal sapi dengan perlakuan berturut-turut (a) R0, (b) R1, (c) R2 dan (d) R3, periode 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah pra
perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan 20
8 Kurva produksi susu selama 7 minggu masa penelitian, R0 (◊), R1
(□), R2 (∆), dan R3 (X) 31
9 Diagram produksi susu perlakuan (a) R0, (b) R1, (c) R2, dan (d) R3, periode 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah pra perlakuan, perlakuan dan
pasca perlakuan 32
DAFTAR LAMPIRAN
1 Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata
denyut jantung sapi selama penelitian 48
2 Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata
respirasi sapi selama perlakuan 49
3 Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata
temperatur rektal sapi selama perlakuan 50
4 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan pakan terhadap konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN
ME dan NEL pakan selama penelitian 51
5 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan pakan terhadap selisih bobot
badan ternak selama penelitian 53
6 Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata
produksi susu selama penelitian 54
7 Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata
kadar lemak susu selama penelitian 55
8 Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata
kadar BKTL susu selama penelitian 56
9 Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata
kadar protein susu selama penelitian 57
10 Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata
1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tingkat produksi susu nasional yang masih rendah, tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi susu nasional, sehingga menjadi tantangan bagi usaha ternak sapi perah untuk melakukan pengembangan produksi. Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra pengembangan usaha ternak sapi perah karena produksi susu pada provinsi ini mencapai 34.81% dari produksi susu nasional. Pada tahun 2010 populasi sapi perah di Provinsi Jawa Barat sebanyak 117 060 ekor dan populasi ternak sapi perah terbesar di Jawa Barat terdapat di Kabupaten Bandung Barat khususnya wilayah Kecamatan Lembang. Pada tahun 2010, populasi sapi perah di Kabupaten Bandung Barat sebanyak 31 816 ekor (Ditjennak 2010). Daerah ini memiliki rataan produksi susu terbesar di Jawa Barat sehingga mempunyai peluang yang sangat besar untuk dikembangkan lebih lanjut. Kecamatan Lembang terletak pada ketinggian 1 200 hingga 1 257 meter di atas permukaan laut dan memiliki suhu yang berkisar antara 15.6 sampai 16.8 oC pada musim hujan dan 30.5 sampai 32.7 oC pada musim kemarau (rataan suhu mencapai 15 sampai 18 oC) (Marliani 2008).
Rata-rata produksi susu di Lembang 10 sampai 15 liter/ekor/hari dan masih di atas rata-rata produksi susu di Indonesia yang hanya 8 sampai 12 liter/ekor/hari. Ketergantungan terhadap pakan tambahan berupa konsentrat juga menjadi sangat tinggi guna mempertahankan produksi susu. Hal ini disebabkan kebutuhan nutrisi sapi perah yang sedang produksi belum dapat dipenuhi dari pakan hijauan. Kualitas konsentrat yang baik (mengandung protein kasar 18 sampai 19%) umumnya menggunakan bahan baku impor sebagai sumber protein seperti bungkil kedele, pollard dan lain-lain. Hal ini menyebabkan harga konsentrat menjadi tinggi, sedangkan harga susu masih relatif rendah, dan akan berpengaruh terhadap keuntungan peternak.
Guna mendapatkan keuntungan dari usaha sapi perahnya, mayoritas peternak lebih memilih membeli konsentrat yang harganya dapat terjangkau atau lebih murah tetapi mempunyai kualitas yang kurang baik. Hal ini jelas akan berpengaruh terhadap produksi susu, sehingga diperlukan alternatif untuk mengganti pakan konsentrat dengan yang murah dan selalu tersedia, tanpa mempengaruhi produksi susu bahkan dapat meningkatkan produksi susu. Menurut Sukira dan Krisnan (2009), sumber bahan baku pakan lokal berbasis pertanian dan agroindustri di Indonesia sangat melimpah, namun ketersediaan bahan pakan tersebut sebagai makanan ternak masih belum termanfaatkan secara baik dan optimal. Telah banyak upaya yang dilakukan untuk menekan biaya pakan dan penggunaan bahan pakan alternatif yang berasal dari limbah industri yang tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, diharaokan dapat menekan biaya pakan.
Perumusan Masalah
berpotensi sebagai bahan pakan alternatif sumber protein dan energi, namun penggunaannya masih terbatas karena belum banyak penelitian tentang penggunaan BIS pada sapi perah. Bungkil inti sawit adalah hasil sampingan dari industri minyak sawit yang dapat digunakan sebagai bahan pakan untuk ternak. Menurut Sinurat et al. (2004), BIS merupakan bahan pakan yang mengandung protein yang cukup tinggi yaitu ada pada kisaran 14.6 sampai 19.0%. Bahan lain sebagai sumber protein dan energi adalah distillers dried grains with solubles
(DDGS), namun bahan ini masih perlu diimpor dari negara produsen DDGS. Walaupun kandungan proteinnya masih lebih rendah dibandingkan bungkil kedele, tetapi harganya relatif lebih murah, sehingga masih memungkinkan untuk dapat digunakan sebagai pengganti bungkil kedele.
Distillers dried grains with solubles adalah produk samping utama dari pengolahan etanol dan memiliki protein dan energi yang baik digunakan untuk pakan ternak. Sebagian besar DDGS berbahan dasar jagung. Menurut Rokhayati (2010), jagung dikenal sebagai bahan pakan sumber energi dan merupakan bahan pakan yang lambat terdegradasi dalam rumen. Menurut NRC (2003), DDGS memiliki kandungan protein kasar sebesar 29.7% dan fosfor sebesar 0.83%. Penelitian Schingoethe et al. (2009) mengungkapkan bahwa penggunaan DDGS dalam ransum seimbang sebesar 20% bahan kering atau lebih, dapat menghasilkan produksi susu yang sama bahkan bisa lebih tinggi dari pada pemberian 10 %. Kebutuhan energi ternak bergantung pada proses fisiologis yang berlangsung di dalam tubuh. Status fisiologis ternak sangat mempengaruhi konsumsi pakannya. Nutrisi yang sangat berpengaruh terhadap konsumsi pakan adalah jumlah energi yang terkandung dalam pakan (Tobing 2010). Pencampuran sebagian konsentrat oleh bahan baku lokal BIS dan bahan baku impor DDGS, diharapkan dapat meningkatkan produksi dan kualitas susu sapi perah di Lembang.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh pencampuran konsentrat oleh bahan baku pakan lokal BIS dan bahan baku pakan impor DDGS sebagai pengganti konsentrat, terhadap produksi susu sapi perah di Lembang.
ManfaatPenelitian
2.
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Perah
Sapi perah merupakan ternak penghasil susu yang penting, sekitar 95% produksi susu dunia dihasilkan oleh sapi perah. Sapi perah diperkirakan berasal dari Asia Tengah dan telah didomestikasi sejak 400 tahun SM, kemudian menyebar ke Eropa, Afrika dan seluruh wilayah Asia (Sudono et al. 2005). Bangsa sapi perah yang umum dipelihara di Indonesia ialah sapi Friesian Holstein (FH). Tingginya produksi susu sapi perah ditentukan oleh faktor keturunan sebesar 25%, dan 75% ditentukan oleh faktor lingkungan termasuk di dalamnya adalah faktor pakan dan suhu lingkungan (Soetarno 2003). Apabila sapi FH ditempatkan pada lokasi yang memiliki suhu tinggi dan kelembaban udara yang tidak mendukung, maka sapi tersebut akan mengalami cekaman panas yang berakibat pada menurunnya produktivitas sehingga potensi genetiknya tidak dapat tampil secara optimal (Yani et al. 2007). Hal yang menentukan untuk mendapatkan produksi susu sapi yang baik dan optimal, selain bibit yang produksinya bagus, juga ditentukan oleh kualitas pakan dan cara pemberian pakan yang baik. Kualitas pakan yang rendah dapat menyebabkan produksi susu tidak optimal (Hartati 2010).
Susu dihasilkan oleh sel-sel epitel pada alveoli (alveolus-alveolus) dari darah yang mengandung bahan-bahan pembentuk susu (milk precursors) melalui jalan darah yang halus (cappilair). Pada sapi yang sedang laktasi terdapat 150 sampai 220 alveoli. Susu yang dihasilkan ditampung di lumen. Zat-zat yang tidak dipergunakan (bukan pembentuk susu) dikembalikan ke jantung melalui dua vena susu: 1) vena pudica externa dan 2) vena abdominalis, vena yang besar berkelok-kelok di bawah kulit dinding perut menuju ke depan dan melalui lubang (sumber susu) di dinding ruang dada kembali ke jantung. Aliran darah sebanyak 300 sampai 400 liter ke dalam ambing dibutuhkan untuk membentuk 1 liter susu. Seekor sapi yang menghasilkan susu 20 liter sehari, membutuhkan darah yang mengalir melalui ambing sebanyak 6 sampai 8 ton sehari semalam.
Sapi setelah melahirkan, lima hari pertama menghasilkan kolostrum. Pada awal laktasi produksi susu meningkat dengan cepat, dan puncak (peak) produksi susu dicapai pada hari ke-30 sampai ke-60 atau minggu ke-3 sampai ke-6 atau bulan ke-1 sampai ke-2 (Soetarno 2003). Produksi rata-rata sapi FH di Indonesia 10 liter per ekor per hari atau lebih kurang 3 050 kg per laktasi (Sudono et al. 2005).
Status Fisiologis Ternak
(suhu tubuh 38.6 oC) adalah 60 sampai 70 kali/menit dengan frekuensi nafas 10 sampai 30 kali/menit (Ensminger 1993). Denyut jantung dan aliran darah lebih dipengaruhi oleh konsumsi pakan dan hasil proses fermentasi di rumen memiliki efek terhadap aliran darah (Cristoppherson 1984). Peningkatan frekuensi pernafasan membantu ternak meningkatkan pelepasan panas melalui pernapasan. Adapun peningkatan denyut jantung dapat membantu transportasi oksigen dan zat-zat makanan ke seluruh tubuh. Selain itu, peningkatan denyut jantung juga membantu transportasi panas hasil metabolisme ke seluruh tubuh sehingga dapat meningkatkan suhu permukaan tubuh (Gatenby 1986).
Suhu rektal sedikit bervariasi pada kondisi fisik dan pada kondisi suhu lingkungan yang ekstrim. Bila laju pembentukan panas dalam tubuh lebih tinggi daripada laju hilangnya panas dalam tubuh, maka temperatur tubuh akan meningkat (Guyton dan Hall 1997). Jika suhu lingkungan meningkat dari 15.5 oC sampai 35 oC, suhu tubuh akan meningkat dari 38 oC sampai 40 oC, selanjutnya produksi susu turun dari 12.25 kg sampai 7.71 kg (Habibah 2004). Pengaruh yang ditimbulkan akibat peningkatan suhu tubuh antara lain menurunnya nafsu makan, anabolisme, konsentrasi hormon dalam darah, serta meningkatnya konsumsi air minum, katabolisme, pelepasan panas melalui penguapan, respirasi, temperatur tubuh dan denyut jantung (Mc Dowell 1972 dan Armstrong 1977).
Energi Pakan
Upaya perbaikan nutrisi sapi perah, diantaranya dengan meningkatkan kualitas konsentrat yang dikonsumsi (Mundingsari et al 2006). Sapi akan merespon energi yang tersedia dalam bentuk produksi susu dan perubahan berat badan (Broster dan Thomas 1988). Respon ternak terhadap protein kasar pakan akan menjadi lebih baik apabila energi yang dikonsumsi tersedia dalam jumlah yang cukup (Satter 1986). Perlu diketahui bahwa nutrien yang terpenting dalam pakan sapi perah adalah energi (Schmidt dan Van Vleck 1974).
Total Digestible Nutrient
Aboenawan (1991) menyatakan bahwa total digestible nutrient (TDN) merupakan salah satu cara untuk mengetahui jumlah energi pakan yang tercerna. TDN suatu bahan makanan dinyatakan dengan bagian dari bahan makanan yang dimakan dan tidak diekskresikan dalam feses. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya cerna perlu diketahui guna mempertinggi efisiensi konversi makanan, antara lain suhu lingkungan, laju perjalanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan makanan, komposisi ransum dan pengaruh terhadap perbandingan dari zat makanan lainnya (Anggorodi 1990). Total digestible nutrient yang dikonsumsi dipengaruhi oleh kualitas ransum, dimana semakin tinggi kandungan serat kasar dalam ransum, maka TDN yang dikonsumsi semakin rendah dan ransum yang semakin baik kualitasnya maka TDN yang dikonsumsi semakin tinggi (Utomo 2003). Semakin tinggi nilai TDN suatu pakan maka pakan tersebut akan semakin baik karena semakin banyak zat-zat makanan yang dapat digunakan (Mundingsari
Kebutuhan energi dibedakan berdasarkan masa laktasinya, pada awal laktasi kebutuhan TDN sangat tinggi yaitu 73%, sedangkan pada bulan laktasi berikutnya kebutuhan TDN bergantung pada jumlah produksi susunya. Sapi yang memproduksi susu 7 sampai 13 kg/hari membutuhkan TDN sebanyak 63 sampai 67% dan sapi yang produksi susunya 13 sampai 20 kg/hari membutuhkan TDN sebanyak 67 sampai 71%. Sapi perah induk yang berada pada masa kering mempunyai kebutuhan TDN yang lebih rendah dari pada sapi yang berproduksi, kebutuhannya yaitu 56% (NRC 2003).
Protein, lemak dan karbohidrat adalah bahan organik, sehingga TDN dapat juga didefinisikan sebagai bahan organik tercerna dengan mengalikan lemak dapat dicerna 1.25 (Sutardi 1981). Ternak muda menyimpan energi dalam bentuk otot, sedangkan ternak tua menyimpannya dalam bentuk lemak (Tillman et al. 1991). Energi digunakan dalam segala proses yaitu kerja otot jantung, pemeliharaan tekanan darah, pengantar impuls syaraf, transportasi ion menembus membran, absorbsi dalam ginjal, pembentukan protein dan lemak, sekresi susu, produksi dan tenaga gerak (Budianto 2002). Konsentrasi energi pakan berbanding terbalik dengan tingkat konsumsinya. Makin tinggi konsentrasi energi di dalam pakan, maka jumlah konsumsinya akan menurun (Tobing 2010). Nilai TDN tidak bisa menggambarkan jumlah energi yang terkandung dalam beberapa jenis pakan, salah satunya adalah DDGS (NRC 2003), oleh karena itu perhitungan jumlah energi dengan menghitung energi metabolis dan net energi laktasi perlu dilakukan.
Energi Metabolis
Kebutuhan energi untuk hidup pokok dan produksi susu dinyatakan dalam Net Energi Laktasi (NEL), energi dalam pakan juga dinyatakan dalam NEL (NRC 2003). Energi metabolis (ME) telah digunakan dalam penentuan energi pada sapi laktasi, tetapi untuk produksi susu memiliki efisiensi 60 sampai 64% dan untuk pertumbuhan sapi laktasi 75%. Ditambahkan pula bahwa energi tercerna (DE) adalah gross energi pakan yang dimakan dikurangi dengan energi yang terkandung dalam feses. Energi metabolis didapat dengan mengurangkan DE dengan energi yang terkandung dalam metan dan urin. Umumnya, ME digunakan untuk mengestimasi jumlah energi untuk metabolisme (Moe 1981).
Protein Pakan
Ketersediaan TDN yang tinggi perlu diimbangi dengan suplai protein agar terjadi kesimbangan energi dan protein guna mendukung produksi susu. Selain itu, pakan yang mengandung protein kasar (PK) dan TDN tinggi dapat menghasilkan produksi susu yang tinggi pula (Mundingsari et al. 2006). Protein di dalam ransum ternak sangat penting karena berperan sebagai bahan untuk pembangun tubuh dan pengganti sel-sel yang rusak; mengatur transportasi zat-zat makanan terlarut dan sebagai bahan pembuat hormon, enzim dan antibodi (Sutardi 1981).
dan produktivitasnya (McDonald et al. 1988). Terdapat beberapa pendekatan untuk mengevaluasi protein makanan untuk ruminansia dan ruminansia, salah satunya adalah dengan mencari nilai PK yang ditentukan dengan prosedur Kjeldahl (Tillman et al. 1991). Martawidjaja et al (1999) mengungkapkan bahwa konsumsi protein kasar meningkat sejalan peningkatan protein ransum.
Ternak ruminansia membutuhkan protein, yang nantinya akan dikonversi menjadi asam amino, yang berguna untuk menghasilkan protein susu dan proses lainnya (Charles et al. 2009). Penggunaan protein pakan oleh mikrobia rumen sangat bergantung pada ketersediaan energi. Selain itu, suplai protein yang tidak diimbangi oleh ketersediaan energi, akan menyebabkan protein tersebut difermentasi dalam rumen sehingga suplai asam amino tidak cukup dan tidak dapat langsung digunakan (McDonald et al. 1988). Nilai kebutuhan gizi yang diperlukan untuk memproduksi susu dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kebutuhan gizi untuk produksi per liter susu
Kadar lemak (%) Protein kasar (g) TDN (kg) NEL (Mkal) Ca (g) P (g)
TDN = Total Digestible Nutrients
NEL = Net Energy for Lactation
Kebutuhan protein bagi sapi perah dipengaruhi oleh umur, masa pertumbuhan, kebuntingan, laktasi, ukuran tubuh, kondisi tubuh dan rasio energi-protein (Ensminger 1993). Kebutuhan energi-protein kasar untuk sapi yang sedang tumbuh adalah 16%, untuk ternak yang bobot badannya lebih dari 100 kg (NRC, 2003). Konsentrat dengan kandungan PK 13% merupakan komposisi yang paling baik untuk menghasilkan produksi susu paling optimal serta dapat memberikan nilai penerimaan dan incomeoverfeedcost paling tinggi (Sugandi et al. 2005).
Bungkil Inti Sawit
Bungkil inti sawit atau palm kernel cake (PKC), merupakan hasil ikutan dalam pembuatan minyak sawit atau crude palm oil (CPO), yang paling tinggi nilai gizinya untuk pakan ternak dengan kandungan protein kasarnya yang bervariasi yaitu 15 sampai 17% (Sukria dan Krisnan 2009). Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar kedua di dunia setelah Malaysia. Luas pengembangannya di Indonesia hingga saat ini sangat pesat, dengan laju peningkatan areal penanaman sawit sebesar 14% per tahun (Muchtadi 2003). Hasil utama pengolahan tandan buah sawit adalah minyak sawit dan minyak inti sawit, dan sebagai hasil ikutan diperoleh bungkil inti sawit dan sisanya adalah limbah berupa serat perasan buah, tandan buah kosong, lumpur minyak sawit dan tempurung (Simanjuntak 1998).
kurang dari 10%, protein 14 sampai 17%, lemak 9.5 sampai 10.5%, dan serat kasar 12 sampai 18%, dimana dengan komposisi gizi seperti ini BIS berpotensi sebagai bahan pakan, baik untuk ternak ruminansia maupun nonruminansia (Iskandar et al. 2008). Hasil sampingan tanaman sawit dapat dilihat pada Tabel 2, dengan asumsi 1 hektar terdiri atas 130 pohon, 1 pohon dapat menghasilkan 22 pelepah per tahun, yang berbobot masing-masing 7 kg (Mathius 2009).
Tabel 2 Hasil ikutan tanaman dan olahan kelapa sawit tiap hektar
Biomassa Segar banyak mengandung cangkang atau batok. Penelitian terhadap perlakuan fisik BIS, yakni pengayakan/penyaringan atau dengan pemisahan yang menggunakan gaya gravitasi (blower) menunjukkan bahwa tingkat cemaran cangkang pada BIS dapat dikurangi (Mathius 2009). Pengayakan memberikan pengaruh terhadap perubahan struktur fisik bahan, dimana jumlah produk hasil ayakan terendah pada BIS berada pada nomor mesh 100, yaitu sebesar 2.31% dan tertinggi berada pada nomor mesh 30, yaitu sebesar 29.04% (Situmorang 2011). Komposisi zat nutrien BIS disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Komposisi nutrien bungkil inti sawit
Nutrien Siregar (2003) Simanjuntak (1998)
bobot badan 750 g/ekor/hari (Sukria dan Krisnan 2009). Penggunaan 100% larutan ekstrak BIS pada sapi perah Sahiwal-Friesian meningkatkan produksi susu dari 4.8 kg menjadi 7.9 kg (Chin 2002).
Distillers Dried Grains with Solubles
Distillers dried grains with solubles merupakan hasil sampingan pada industri penyulingan etanol dan sebagian besar berbahan dasar jagung, dan dapat digunakan sebagai suplemen protein untuk sapi laktasi (Powers et al. 1995), disamping itu, DDGS dapat digunakan dalam bentuk basah atau kering dan biasanya DDGS digunakan sebagai pengganti konsentrat dan hijauan dalam pakan sapi perah (Schingoethe 2006). Menurut Linn dan Chase (1996), DDGS memiliki kandungan nutrien tiga kali lebih banyak daripada bijian, mengandung pati yang rendah, memiliki kandungan lemak, protein, serat, dan fosfor yang tinggi. Dalam hasil penelitiannya, Owen dan Larson (1991) mengungkapkan bahwa DDGS dapat meningkatkan produksi susu jika diberikan 18.8% dari total bahan kering pakan, namun produksi berkurang jika DDGS diberikan 35.8% dari total bahan kering pakan. Hal ini dikarenakan kecernaan protein makin rendah dan rendahnya konsentrasi lisin, sehingga menyebabkan menurunnya performa sapi.
meningkatkan kadar lemak dan laktosa susu selama dan setelah pemberian (Tanaka 2008).
Penggunaan DDGS yang berlebihan dapat menurunkan produksi susu dan performans sapi, karena DDGS memiliki kecernaan yang rendah dan defisiensi asam amino lisin (Linn dan Chase 1996). Meskipun DDGS dihasilkan dari bahan dasar jagung, namun keduanya mengandung energi dalam bentuk yang berbeda. Sumber energi DDGS dalam bentuk serat dan lemak tercerna sedangkan sumber energi dalam jagung dalam bentuk pati. Fermentasi pati dalam rumen biasanya menghasilkan asidosis, laminitis dan lemak hati (Schingoethe 2004). Konsentrat yang lambat degradasinya, seperti jagung dan kulit kedelai, dalam rumen cenderung menghasilkan susu lebih tinggi dibanding dengan yang cepat degradasinya, seperti gandum, gula beet, kulit jeruk dan bekatul (Agus 1997).
Produksi Susu
Faktor yang dapat mempengaruhi kualitas susu adalah kesehatan ternak, pakan, kondisi pemerahan, kebersihan alat yang digunakan pemerahan, dan penanganan pasca panen (Mubarack et al. 2010). Pakan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan kualitas dan kuantitas susu, dimana pakan dengan kualitas rendah dapat berpengaruh buruk terhadap produksi susu maupun reproduksi. Nutrisi pakan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, produksi dan reproduksi (Ensminger 1993). Penggunaan konsentrat level tinggi dalam ransum dapat meningkatkan produksi susu, tetapi jika terlalu berlebihan akan menurunkan persentase lemak susu tetapi dapat meningkatkan protein susu (Keslera dan Spahra 2010). Tipe konsentrat dalam ransum dapat mempengaruhi produksi dan komposisi susu, jika proporsi konsentrat dalam ransum melebihi 60% (Agus 1997).
Ditambahkan oleh Agus (1997), pemberian konsentrat tipe pati akan menghasilkan kadar protein yang lebih tinggi dan kadar lemak yang lebih rendah daripada konsentrat tipe serat. Konsentrat yang cepat degradasinya dalam rumen dapat menurunkan konsumsi bahan kering. Dalam ransum sapi perah harus diperhatikan imbangan protein dan energi. Jika energi dalam ransum berlebihan, konsumsi pakan akan meningkat dan apabila energi dalam pakan rendah, maka akan meningkatkan efisiensi penggunaan protein sehingga terjadi penurunan protein susu (Rokhayati 2010). Energi yang persentasenya ditingkatkan dari 60 menjadi 90% akan menurunkan kadar lemak susu (Sutton 1988). Defisiensi protein pada awal laktasi dapat menurunkan produksi susu dan kandungan lemaknya tapi tidak banyak berpengaruh terhadap kandungan bahan kering tanpa lemak (BKTL) atau solid non fat (SNF) (Oldham dan Smith 1981).
Gambar 1 Produksi lemak dan protein susu selama laktasi (Phillips 2001) Menurut Tillman et al. (1991), susu sapi mengandung sekitar 87.2% air, 3.7% lemak, 3.5% protein, 4.9% laktosa, 0.71% abu, 0.121% kalsium, 0.095% fosfor dan 73 Kkal/l. Sedangkan menurut Ensminger (1993), rata-rata komposisi susu sapi FH adalah BK 12.27%, lemak 3.80%, protein 3.19%, dan laktosa 8.47%. Standar Nasional Indonesia juga telah menetapkan syarat mutu susu seperti terlihat di Tabel 5.
Tabel 5 Syarat mutu susu berdasarkan SNI 01-3141-1998
Karakteristik Syarat
Berat jenis (27.5 °C) minimum 1.028 kg/l
Kadar lemak minimum 3.0%
Kadar BKTL/SNF minimum 8.0%
Kadar protein minimum 2.7%
Warna, bau, rasa, kekentalan Tidak ada perubahan
Derajat asam 6 sampai 7 °SH
Uji alcohol Negatif
Uji katalase maksimum 3 (cc)
Kotoran dan benda asing Negatif
Uji pemalsuan Negatif
Total kuman maksimum 1 x 106 CFU/ml
Sumber: SNI 1998
3.
METODE
Bahan
laktasi, umur dan bobot badan yang dicatat dan dirata-rata sebelum penelitian, dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Kondisi ternak yang digunakan selama penelitian
Keterangan Perlakuan
R0 R1 R2 R3
Bulan laktasi ke- 1-7 1-5 1-4 1-7
Tahun laktasi ke- 2-6 2-8 2-7 3-8
Bobot Badan (kg) 414 ± 13.18 434 ± 26.17 421 ± 11.14 426 ± 24.99
R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg
R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg
R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Pakan basal yang digunakan terdiri atas rumput gajah, rumput raja, rumput taiwan, rumput lapang, onggok dan makanan konsentrat produksi KPSBU. BIS (Gambar 2) mengandung PK 16.22% dan TDN 64.87%, sedangkan DDGS (Gambar 3) mengandung PK 28.68% dan TDN 83.58%. Kandungan PK dan TDN konsentrat setelah dicampur dengan BIS dan DDGS, ditampilkan pada Tabel 7. Tabel 7 Persentase BIS dan DDGS dalam konsentrat serta kandungan PK dan
TDN konsentrat yang digunakan selama penelitian
Perlakuan BIS DDGS PK TDN
(%)
R0 - - 16.82 71.22
R1 - 14 18.52 72.95
R2 28 14 18.32 71.00
R3 42 - 16.64 69.29
R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg
R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg
R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Gambar 3 Distillersdried grains with solubles
Alat
Peralatan yang digunakan adalah milkcan ukuran 15 dan 40 liter, untuk menampung susu; timbangan gantung (salter) kapasitas 22 kg dengan kepekaan 250 g (Gambar 4) untuk menimbang susu, pakan, dan sisa pakan; termometer, stetoskop; paddle mastitis test; pita ukur dan milkanalyzer Lactoscan untuk mengukur berat jenis susu, protein, kadar lemak, bahan kering tanpa lemak dan
total solid.
Gambar 4 Timbangan gantung
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2012 sampai Maret 2012 di Desa Gunung Putri, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Lokasi penelitian berada di Peternakan sapi perah Lembang yang berada dibawah binaan Koperasi Peternak Sapi Perah Bandung Utara (KPSBU), Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Pengujian dan analisis sampel susu dilakukan di Laboratorium Proksimat, Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. Sedangkan pengujian sampel pakan dilakukan di Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak, Dinas Peternakan Jawa Barat, Cikole, Lembang.
Prosedur Penelitian
Keadaan mastitis diuji dengan Mastitis Test dengan reagen IPB-1 yang dilakukan sebelum, saat dan setelah penelitian yaitu saat pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan pakan.
pada pagi, siang dan sore hari. Pengukuran dilakukan sebelum, saat dan setelah aplikasi perlakuan pakan. Periode pra perlakuan adalah pengukuran fisiologis pada minggu pertama, perlakuan adalah saat pengukuran fisiologis pada minggu ke 2 sampai 5, dan pasca perlakuan adalah pengukuran fisiologis pada minggu keenam. Suhu rektal diukur dengan memasukkan termometer ke dalam rektal sedalam ± 10 cm selama 15 detik yang kemudian dikonversi menjadi 1 menit. Denyut jantung diukur dengan menempelkan stetoskop di dekat tulang axilla sebelah kiri (dada sebelah kiri) selama 15 detik yang kemudian dikonversi menjadi 1 menit, diulang sebanyak tiga kali. Frekuensi pernafasan diukur dengan cara menempelkan stetoskop di dada untuk menghitung inspirasi dan ekspirasi pernafasan selama 15 detik yang kemudian dikonversi menjadi 1 menit, diulang sebanyak tiga kali pada setiap periode pengukuran.
2. Konsumsi pakan (kg/ekor/hari). Konsumsi pakan diukur setiap hari dengan menghitung selisih pakan yang diberikan, dikurangi dengan pakan yang tersisa pada keesokan harinya.
3. Konsumsi bahan kering pakan. Untuk mengetahui kandungan bahan kering, diambil sampel pakan rumput dan konsentrat baik yang diberikan maupun pakan sisa kemudian dikeringkan dalam oven 105 oC selama 24 jam. Kandungan bahan kering pakan ini kemudian dikalikan dengan jumlah pakan yang diberikan dan pakan sisa, sehingga selisih keduanya merupakan jumlah bahan kering yang dikonsumsi.
4. Kandungan nutrisi rumput dan konsentrat, BIS, DDGS dan onggok. Sampel rumput dan konsentrat dikumpulkan secara komposit untuk kemudian dianalisa kandungan nutrisinya di laboratrorium analisis proksimat Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak, Dinas Pertanian Cikole, Lembang, Jawa Barat. Hal ini dilakukan untuk mengetahui jumlah nutrisi yang terkonsumsi oleh ternak.
5. Lingkar dada (cm) diukur dengan menggunakan pita ukur dilakukan pada pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan, setelah itu dikonversi menjadi bobot badan (kg) dengan rumus Schrool (Soetarno 2003) dengan persamaan:
Bobot Badan = (Lingkar dada cm +22) 2
100
Hasil pengukuran bobot badan kemudian dikonversi menjadi metabolic body size (MBS) (Kleiber 1947), yang didapat dengan persamaan:
MBS = Bobot badan (kg)0,75
6. Produksi susu harian, diukur dan ditimbang (kg) dan dicatat setiap hari pada pemerahan pagi pukul 04.00 sampai 06.00 WIB dan sore pukul 15.00 sampai 17.00 WIB selama penelitian dari minggu pertama hingga minggu ketujuh. Persistensi produksi susu (%) dihitung berdasarkan penurunan produksi susu setiap minggu setelah puncak produksi dengan persamaan:
% Persistensi = Produksi susu setelah produksi puncak (kg )
Produ ksi puncak (kg ) x 100%
dan pasca perlakuan yaitu setelah diberi perlakuan pakan pada minggu keenam penelitian, dengan mengambil sampel susu sebanyak 200 ml. Analisis kualitas yang diukur meliputi berat jenis susu, protein (%), kadar lemak (%), bahan kering tanpa lemak (BKTL) (%) dan total bahan kering (%). Berdasarkan hasil analisis kadar lemak dan data produksi susu yang didapat, kemudian produksi susu dihitung berdasarkan 4% FCM dengan persamaan:
Produksi susu 4% FCM = (0,4 x PS) + (15 x PS x %Fat)
FCM = Fat Corrected Milk
PS = Produksi susu
Fat = Kadar lemak susu sebenarnya
Analisis Data
Sapi perah yang digunakan dalam penelitian dikelompokkan menjadi empat kelompok perlakuan pakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) (Mattjik dan Sumertajaya 2006) berdasarkan bulan laktasi dan tahun laktasi. Faktor jenis pakan (R0, R1, R2 dan R3) diamati dengan model linear pada rancangan percobaan ini. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam General Linear Model. Jika terdapat perbedaan hasil, akan dilanjutkan dengan uji Duncan.
Penelitian terdiri dari tiga periode, yaitu pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan. Periode pra perlakuan adalah saat ternak belum diberi perlakuan pakan yaitu selama 7 hari; periode perlakuan adalah saat ternak diberi pakan perlakuan yaitu selama 30 hari; dan pasca perlakuan adalah saat ternak kembali tidak diberi pakan perlakuan yaitu selama 14 hari.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara
Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara adalah koperasi persusuan yang berada di Kabupaten Lembang, Jawa Barat dengan jumlah anggota mencapai 6 969 orang pada tahun 2011. Sepanjang tahun 2011, produksi susu di koperasi ini terus mengalami penurunan. Bahkan produksi terendah mencapai angka 98 500 liter/hari dengan rataan produksi 119 006 liter/hari. Namun, jika dibandingkan dengan tahun 2010, jumlah sapi menurun 0.88% yaitu dari 22 026 ekor menjadi 21 830 ekor. Populasi sapi di wilayah KPSBU pada tahun 2010 hingga 2011 dapat dilihat pada Tabel 8.
dimana jumlah sapi yang dikelola peternak rakyat sekitar 95% nya dari populasi sapi yang ada di Indonesia, kepemilikannya sekitar 3 ekor per peternak (Soetarno 2003).
Tabel 8 Populasi sapi di wilayah binaan KPSBU tahun 2010-2011
Keadaan sapi 2010 2011
Semakin meningkatnya harga pakan dan tidak diiringi dengan peningkatan harga susu, menjadi salah satu penyebab banyaknya peternak yang tidak melanjutkan usaha ternaknya. Produksi susu merupakan tujuan utama dalam pemeliharaan ternak. Sehingga berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan produksi susu dan memenuhi taraf hidup peternak. Salah satu cara yang dilakukan adalah meningkatkan efisiensi produksi melalui penggunaan bahan pakan lokal yang mempunyai kualitas baik tetapi harga relatif lebih murah. Bungkil inti sawit yang merupakan limbah pabrik pembuatan minyak sawit merupakan bahan pakan yang potensial untuk peternakan sapi perah.
Status Fisologis Ternak
Reaksi sapi terhadap perubahan suhu yang dilihat dari respons pernapasan dan denyut jantung merupakan mekanisme dari tubuh sapi untuk mengurangi atau melepaskan panas yang diterima dari luar tubuh ternak (Yani dan Purwanto 2006). Denyut Jantung / Pulsus
63,50
Tabel 9 Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata denyut jantung sapi
Periode Perlakuan
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg
R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg
R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Rata-rata denyut jantung pada perlakuan R0, R1, R2 dan R3 masih berada pada kisaran normal. Frandson (1992) menyatakan bahwa pulsus sapi sekitar 60 sampai 70 kali/menit. Hasil analisis statistik menunjukkan denyut jantung antar perlakuan selama penelitian tidak berbeda nyata (P>0.05). Hal ini disebabkan oleh konsumsi pakan berupa bahan kering dan bobot badan ternak selama penelitian juga tidak berbeda nyata. Faktor-faktor yang mempengaruhi denyut jantung adalah bangsa, ukuran tubuh, umur, musim, kondisi fisik, temperatur lingkungan (Kelly 1984), derajat metabolisme tubuh, latihan dan aktivitas kerja (Evans et al.
1997).
(a) R0 (b) R1
(c) R2 (d) R3
Hasil penelitian Rakhman (2012) mengungkapkan bahwa peningkatan denyut jantung terjadi satu jam setelah ternak mengonsumsi pakan pada pagi hari. Peningkatan denyut jantung merupakan respon dari tubuh ternak untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin (Anderson 1983 dalam Yani dan Purwanto 2006). Kurva denyut jantung sapi selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan Gambar 5 yang merupakan rataan denyut jantung pra perlakuan (1), perlakuan (2) dan pasca perlakuan (3), diketahui bahwa perlakuan R2 menunjukkan bentuk kurva yang berbeda dibandingkan dengan perlakuan R0, R1 dan R3. Kenaikkan denyut jantung selama penelitian pada perlakuan R0, R1 dan R3 menurut Swenson (1997) adalah keadaan sapi yang proestrus dimana terjadi gejala-gejala perubahan tingkah laku sapi yaitu sapi menjadi gelisah dan sapi selalu bergerak, dapat mengakibatkan kenaikkan pulsus.
Kadar energi yang lebih tinggi menyebabkan produksi panas metabolis lebih tinggi dan selanjutnya dapat memicu peningkatan respon fisiologis termasuk denyut jantung. Berdasarkan hasil penelitian Rakhman (2012), diungkapkan bahwa ternak yang mengonsumsi konsentrat dengan tingkat energi (TDN) yang lebih tinggi, memiliki denyut jantung yang cenderung lebih tinggi terutama saat ada cekaman panas.
Respirasi
Fungsi utama respirasi adalah mengambil O2 dan melepaskan CO2, dan fungsi tambahannya adalah membantu pengaturan suhu tubuh (Frandson 1992). Frekuensi respirasi dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu berat badan, umur,
exercise, rangsangan atau gerakan aktivitas yang banyak, temperatur lingkungan, kebuntingan, faktor kekenyangan pada ternak dan status kesehatan (Swenson 1997). Hasil pengukuran laju respirasi ternak disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata respirasi sapi
Periode Perlakuan
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg
R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg
R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
29,00
dengan konsumsi pakan ternak. Semakin tinggi konsumsi pakan dan produksi susu, maka laju respirasi yang dihasilkan akan semakin rendah. Hal ini sejalan dengan Schütz et al. (2010), yang menyatakan bahwa keadaan panas yang menyebabkan meningkatnya suhu udara akan meningkatkan suhu tubuh, laju respirasi yang akan menurunkan konsumsi pakan dan menurunkan produksi susu.
(a) R0 (b) R1
(c) R2 (d) R3
Gambar 6 Kurva respirasi sapi dengan perlakuan berturut-turut (a) R0, (b) R1, (c) R2 dan (d) R3, periode 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan
Pernapasan merupakan respon tubuh ternak untuk membuang atau mengganti panas dengan udara di sekitarnya (Anderson 1983 dalam Yani dan Purwanto 2006). Berdasarkan Gambar 6 diketahui bahwa perlakuan R2 menunjukkan bentuk kurva yang berbeda dibandingkan dengan perlakuan R0, R1 dan R3. Tingginya laju respirasi pada perlakuan R2 pada periode perlakuan disebabkan oleh pakan yang dikonsumsi mengandung energi metabolis lebih tinggi dibandingkan dengan pakan pada perlakuan R0, R1 dan R3. Peningkatan laju respirasi merupakan salah satu aktivitas yang dapat dilakukan ternak agar suhu tubuhnya tidak terus menerus naik (McNeilly 2001).
Temperatur Rektal
dengan melihat suhu rektal dengan pertimbangan bahwa rektal merupakan tempat pengukuran terbaik dan dapat mewakili suhu tubuh secara keseluruhan sehingga dapat disebut sebagai suhu tubuh. Hasil pengukuran temperatur rektal selama penelitian disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata temperatur rektal sapi
Periode Perlakuan
R0 R1 R2 R3
(o C)a
Pra perlakuan 37.93 ± 0.33 37.81 ± 0.38 37.96 ± 0.29 37.88 ± 0.29 Perlakuan 37.85 ± 0.11 37.70 ± 0.20 37.78 ± 0.20 37.75 ± 0.24 Pasca perlakuan 37.84 ± 0.13 37.72 ± 0.08 37.62 ± 0.19 37.74 ± 0.15
a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg
R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg
R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Hasil pengukuran menunjukkan perlakuan pakan tidak berpengaruh terhadap penurunan atau kenaikkan temperatur rektal ternak (P>0.05). Temperatur rektal yang didapat masih berada dalam kisaran normal sesuai dengan Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yang menyatakan bahwa temperatur rektal ideal bagi sapi adalah berkisar 38 oC. Kelompok R0 memiliki temperatur rektal tertinggi selama periode perlakuan dan pasca perlakuan. Perbedaan konsumsi energi pada ternak selama penelitian tidak dapat mempengaruhi temperatur rektal ternak. Gambaran peningkatan dan penurunan temperatur rektal selama penelitian pada tiap perlakuan, disajikan pada Gambar 7.
37,80
Makanan yang berserat menghasilkan panas yang paling tinggi dalam proses pencernaannya, kemudian diikuti oleh protein, karbohidrat dan disusul oleh lemak yang memiliki kadar energi yang paling tinggi, akan tetapi, lemak menghasilkan panas terbuang/heat increament yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan protein dan karbohidrat (Parakkasi 1999). Penelitian Dian et al. (2010), mengungkapkan bahwa sapi perah induk berkemampuan produksi tinggi mempunyai aktivitas faali yang lebih tinggi, sehingga proses metabolisme pada sapi-sapi induk berkemampuan produksi tinggi berlangsung lebih cepat, guna mengimbangi produksi susu.
Konsumsi Pakan
konsumsi pakan perlu dinyatakan dalam bahan kering mengingat kandungan air dari pakan yang tersedia sangat bervariasi. Sapi yang berproduksi tinggi dapat mengonsumsi bahan kering pakan 3.6% sampai 4% bobot badannya (Sutardi 1983). Total digestible nutrients dihitung dengan rumus -21.7656 + (1.4284 x protein kasar) + (1.0277 x bahan ekstrak tanpa nitrogen) + (1.2321 x lemak kasar) + (0.4867 x serat kasar) (Wardek 1981). Tabel 12 menunjukkan hasil analisis proksimat bahan pakan yang digunakan saat penelitian.
Tabel 12 Kandungan nutrisi bahan pakan yang digunakan dalam penelitian
Bahan Pakan Bahan
Kering
Kadar Air
Kadar Abu
Kadar Protein
Kadar Lemak
Serat
Kasar BETN TDN
(%)
BIS 93.46 6.54 4.06 16.22 2.51 35.08 42.13 64.87
DDGS 90.04 9.96 4.53 28.68 3.63 9.24 53.92 83.58
Konsentrat
KPSBU 89.81 10.19 8.99 16.82 8.32 16.15 49.72 71.46
Onggok 11.83 88.17 1.26 2.10 0.03 17.02 79.59 71.35
Rumput Gajah 22.20 77.80 12.00 8.69 2.71 32.30 43.70 54.62
Rumput
Lapang 24.40 75.60 14.50 8.20 1.44 31.70 44.20 52.57
Batang Pisang 7.60 92.40 18.30 8.90 2.30 26.50 46.90 54.88
Rumput Raja 24.60 75.40 8.60 9.00 2.50 35.20 44.70 57.24
Konsumsi Hijauan
Tabel 13 Rata-rata konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NEL (Mkal/kg) hijauan selama penelitian
Konsumsi Hijauan
Perlakuan
R0 R1 R2 R3
(kg/ekor/hari)a
Bahan kering 13.21 ± 1.70 13.89 ± 1.20 14.08 ± 1.96 13.60 ± 1.42
Protein kasar 1.16 ± 0.17 1.22 ± 0.12 1.24 ± 0.20 1.19 ± 0.14
Lemak kasar 0.36 ± 0.05 0.37 ± 0.04 0.38 ± 0.06 0.36 ± 0.04
Serat kasar 4.32 ± 0.64 4.57 ± 0.48 4.61 ± 0.74 4.44 ± 0.54
BETN 5.84 ± 0.83 6.16 ± 0.62 6.24 ± 0.98 6.00 ± 0.68
TDN 7.08 ± 0.59 7.40 ± 0.62 7.56 ± 0.96 7.06 ± 0.64
(Mkal/kg)a
ME 1.96 ± 0.18 1.94 ± 0.18 1.95 ± 0.13 1.87 ± 0.12
NEL 1.21 ± 0.09 1.20 ± 0.10 1.20 ± 0.07 1.16 ± 0.07
a
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg
R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg
R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada konsumsi bahan kering, protein kasar, serat kasar, lemak kasar, BETN, TDN, ME dan NEL hijauan dalam setiap kelompok perlakuan pakan (P>0.05). Konsumsi bahan kering hijauan tertinggi terdapat pada perlakuan R2 yaitu 14.08 kg/ekor/hari sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan R0 yaitu 13.21 kg/ekor/hari. Konsumsi ME dan NEL hijauan tertinggi terdapat pada perlakuan R0, namun tingginya konsumsi ME dan NEL hijauan tidak diikuti oleh tingginya produksi susu.
Konsumsi Konsentrat
Tabel 14 Rata-rata konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg
R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg
R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Berdasarkan hasil analisis statistik, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan nyata dalam konsumsi bahan kering, protein kasar, serat kasar, lemak kasar, BETN, ME dan NEL dari setiap perlakuan (P>0.05). Pemberian konsentrat berupa onggok dan ampas tahu berbeda-beda pada tiap ternak, hal ini bergantung pada produksi susu masing-masing ternak. Penelitian Sugandi et al. (2005) mengungkapkan ternak yang mengonsumsi total bahan kering pakan rata-rata sekitar 17 kg/ekor/hari menghasilkan susu rata-rata 10 kg/ekor/hari. Menurut Tillman et al. (1991), sapi dengan kemampuan produksi susu tinggi, membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan dengan sapi yang berproduksi susu rendah. Ternak yang digunakan pada perlakuan R2 memiliki produksi susu tertinggi yang diikuti oleh perlakuan R3, sedangkan perlakuan R0 memiliki produksi susu yang terendah.
Konsumsi BIS
Tabel 15 Rata-rata konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NEL (Mkal/kg)BIS selama penelitian
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg
R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg
R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering dan nutrisi lainnya dari BIS pada kelompok R2 dan R3 tidak berbeda (P>0.05). Selama periode perlakuan, tidak semua BIS yang diberikan (3 kg/ekor/hari) habis dikonsumsi oleh ternak. Kandungan lemak kasar dalam BIS yang tinggi, mengakibatkan rendahnya palatabilitas BIS. Lemak mempengaruhi palatabilitas suatu pakan oleh karenanya mempengaruhi tingkat konsumsi pakan (Sutardi 1981).
Bungkil inti sawit memiliki keterbatasan yaitu kandungan serat kasar yang cukup tinggi terutama lignin serta palatabilitasnya rendah (Widjastuti et al. 2007), disamping itu faktor adaptasi juga berpengaruh pada konsumsi BIS. Ternak belum terbiasa mengkonsumsi BIS sehingga masih memerlukan waktu untuk beradaptasi. Jumlah konsumsi akan dipengaruhi oleh palatabilitas, komposisi kimia, jumlah pakan yg tersedia serta kualitas pakan tersebut, sedangkan kualitas ransum akan mempengaruhi besarnya protein yang dikonsumsi, palatabilitas, kapasitas alat pencernaan serta kemampuan menggunakan zat-zat makanan yang diserap menggunakan faktor yang ikut menentukan tingkat konsumsi (Okmal 1993).
Konsumsi DDGS
Tabel 16 Rata-rata konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg
R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg
R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Berdasarkan hasil analisis statistik, konsumsi bahan kering dan nutrien lainnya dari DDGS tidak berbeda nyata pada kelompok R1 dan R2 (P>0.05). Hal ini dapat disebabkan oleh DDGS diberikan dan dikonsumsi dalam jumlah yang sama pada perlakuan R1 dan R2 yaitu 1 kg/ekor/hari. Penggunaan DDGS dalam pakan sangatlah ekonomis karena dapat menggantikan soybean meal (SBM) atau tepung kedelai dan merupakan sumber dikalsium fosfat pada pakan ternak (Anonim 2011). Pemberian yang berlebihan akan mengakibatkan kelebihan protein, pemberian 27 sampai 40% akan mengakibatkan menurunnya produksi susu, persentase lemak susu akan turun jika pemberiannya sebesar 13%, dengan penggunaan silase jagung dan hay alfalfa sebagai sumber hijauan (Schingoethe 2004).
Total Konsumsi Pakan
Biaya yang dikeluarkan untuk pakan di Indonesia mencapai 60 hingga 70% dari total biaya produksi (Sudono et al. 2005), oleh karena itu pemberian pakan hendaknya memperhatikan kebutuhan hidup pokok dan produksi. Menurut Kurihara dan Shioya (2003), sapi yang mengonsumsi pakan lebih dari 20 kg/ekor/hari bahan kering dengan TDN 75 sampai 77%, akan menurunkan suhu efektif lingkungan untuk berproduksi pada 25 oC, jika kurang dari 20 kg maka suhu akan relatif konstan. Peningkatan mutu pakan dapat memperbaiki kuantitas dan kualitas susu sapi perah yang dikelola peternak rakyat, tanpa harus meningkatkan volume pakan yang disediakan (Sugandi et al. 2005).
Menurut McCullough (1973), untuk mencapai produksi susu yang tinggi dengan tetap mempertahankan kadar lemak susu yang memenuhi persyaratan kualitas, maka perbandingan antara bahan kering hijauan dengan konsentrat yang ideal adalah 60:40. Imbangan rumput dapat ditingkatkan menjadi 64:35 apabila rumput yang diberikan berkualitas sedang hingga tinggi. Total rata-rata konsumsi pakan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17 Rata-rata total konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NEL (Mkal/kg) pakan
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg
R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg
R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Hasil analisis statistik menunjukkan perlakuan pakan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05) terhadap konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan BETN. Hasil analisis statistik menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap TDN, ME dan NEL. Konsumsi TDN pada perlakuan R1, R2, R3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap perlakuan R0, sedangkan perlakuan R1 dan R2 menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap perlakuan R3. Terjadi kenaikan TDN sebesar 1.25 kg bahan kering pada R1, 4.85 kg pada R2 dan 1.82 kg pada R3. Adapun konsumsi ME pada perlakuan R1, R2 dan R3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap perlakuan R0, sedangkan perlakuan R1 dan R3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap perlakuan R2.
2.13 Mkal/kg atau terjadi peningkatan sebesar 30%, dibandingkan dengan penambahan BIS saja yaitu 1.82 Mkal/kg atau 19%. Hal ini menunjukkan kontribusi DDGS terhadap ME pakan lebih besar, yaitu sekitar 26% pada perlakuan R1 dibandingkan dengan BIS yaitu sebesar 21% pada perlakuan R3.
Adapun konsumsi NEL pada perlakuan R1, R2 dan R3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap perlakuan R0, sedangkan perlakuan R1 dan R3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap perlakuan R2. Terjadi peningkatan NEL sebesar 1.45 Mkal/kg pada perlakuan R1, 3.38 Mkal/kg pada perlakuan R2 dan 1.41 Mkal/kg pada perlakuan R3. Pemberian campuran DDGS secara tunggal pada konsentrat memberikan tambahan NEL lebih besar dari pada NEL pada pemberian campuran BIS dan DDGS atau BIS secara tungga pada konsentrat.
Menurut Ensminger et al. (1990), kebutuhan zat-zat gizi untuk hidup pokok sapi perah dengan bobot 400 kg yaitu protein sebesar 373 g dan ME 11.9 Mkal atau setara dengan DE 14512.19 Kkal, sedangkan untuk memproduksi 1 kg susu, sapi perah membutuhkan protein sebesar 77 g dan ME 1.07 Mkal atau setara dengan DE 1304.87 Kkal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi energi metabolis ternak di perlakuan kontrol (R0) hanya 9.47 MKal dan masih dibawah kebutuhan ternak sapi laktasi dengan bobot 400 kg yaitu 11.9 Mkal. Penambahan BIS saja (R3) hanya meningkatkan konsumsi energi metabolis menjadi 11.33 Mkal sedikit dibawah kebutuhan untuk bobot hidup 400 kg yaitu 11.9 Mkal. Tetapi penambahan DDGS secara tunggal dapat meningkatkan konsumsi energi metabolis sampai 12.45 Mkal dan meningkat lagi menjadi 14.34 Mkal jika penambahan DDGS dikombinasi dengan BIS. sehingga dapat memenuhi kebutuhan untuk sapi yang sedang laktasi. Dengan adanya penambahan pada konsumsi energi ini maka diharapakan akan terjadi peningkatan produksi susu pada perlakuan yang diberi konsentrat dengan campuran BIS dan DDGS baik secara tunggal maupun campuran keduanya.