• Tidak ada hasil yang ditemukan

Construction of Public Identity through a Significant Symbol of the New Social Movement (Case Study of Tengkorak band Underground Rock Music)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Construction of Public Identity through a Significant Symbol of the New Social Movement (Case Study of Tengkorak band Underground Rock Music)"

Copied!
282
0
0

Teks penuh

(1)

KONSTRUKSI IDENTITAS KHALAYAK MELALUI

SIMBOL SIGNIFIKAN GERAKAN SOSIAL BARU

(Studi Kasus Musik

Rock Underground

Tengkorak Band)

HARYO RADIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Konstruksi Identitas Khalayak Melalui Simbol Signifikan Gerakan Sosial Baru (Studi Kasus MusikRock UndergroundTengkorak Band) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, 27 Juli 2011

Haryo Radianto

(3)

ABSTRACT

HARYO RADIANTO.Construction of Public Identity through a Significant Symbol of the New Social Movement (Case Study of Tengkorak band Underground Rock Music)

Under direction of SARWITITI SARWOPRASODJO and RICHARD W. E. LUMINTANG

As the manifestation of the new social movement in the globalization era, underground rock music is a potential form of human expression that can mobilize hearts and mind. It is a symbolic communication that can be a theme, a rallying cry, a protest around which we gather to do something about social conditions. The objectives of the research were (1) to identify about the power of underground rock music in the process of identity construction of it’s audience and (2) to identify about the social conditions that condusive to the growth of new social movement among the young generation. Methodology of study was a qualitative paradigm using a case study design. Research located in Jakarta and conducted from July 2009 to December 2010. The study’s findings indicated that at the level of Tengkorak band showed that at first the band try to imitate the music comes from abroad. After a long period of time the tendency is to incorporate into their own cultural experience. At the level of Tengkorak band’s significant symbols, study’s findings indicated that their illustration, lyrics, oration, and one finger movement implied a semiotic guerilla warfare. The emergence of three different identity among their audiences due to penetration of Tengkorak’s band significant symbols occurred at the level of audience. From the first one emerged “the grey” identity audience, from the second and third emerged the critical thinking identity audiences, and from the fourth emerged the apolitical identity audience. And, the new social movement growth at condition when there was a rapid importation of new ideas, items, and values of foreign societies that contrary to the values of local communities.

(4)

RINGKASAN

HARYO RADIANTO. Konstruksi Identitas Khalayak Melalui Simbol Signifikan Gerakan Sosial Baru (Studi Kasus Musik Rock Underground Tengkorak Band). Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO dan RICHARD W. E. LUMINTANG

Bidang komunikasi pembangunan mengalami titik kritis terkait dengan perubahan struktur sosial, ekonomi, dan politik dalam skala global. Oleh karena itu, bidang ini harus mengalihkan perhatian, terutama dengan menggambarkan penemuan ilmu pengetahuan gerakan sosial baru dan mengkombinasikannya dengan area-area yang relevan dari komunikasi partisipatori untuk riset pembangunan. Musik rock underground, sebagai musik subkultur oposisi, merupakan manisfestasi dari gerakan sosial baru ketika simbol-simbol signifikan di dalamnya mampu memobilisasi hati dan pikiran audiensnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami sejauhmana kekuatan musik rock underground

dalam membentuk identitas audiensnya serta memahami kondisi seperti apa yang mendukung lahirnya gerakan sosial baru ini.

Desain penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif digunakan untuk mengetahui fenomena sosial tertentu, namun tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi terhadap data. Hal tersebut dimaksudkan juga untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan tuntas. Penelitian dikonstruksi melalui makna yang tercermin dalam realitas. Penyusunan hasil penelitian tentang realitas sosial yang kompleks dalam bentuk tampilan kalimat yang bermakna dan mudah dimengerti. Wawancara mendalam dilakukan terhadap informan kunci, yaitu orang yang kompeten, terlibat dan mengetahui banyak informasi dalam proses konstruksi realitas melalui simbol-simbol signifikan Tengkorak band. Selain itu, wawancara mendalam juga dilakukan terhadap informan untuk mengetahui kekuatan simbol-simbol signifikan Tengkorak band dalam proses konstruksi identitas. Informan penelitian ini satu orang berstatus pelajar, satu orang berstatus pekerja kasar, satu orang tanpa pekerjaan, satu orang wanita berstatus karyawati swasta. Peneliti menggunakan alat bantu handycam, kamera digital, dan alat tulis untuk merekam, mendokumentasikan serta mencatat apa yang disampaikan informan kunci dan para informan. Setelah itu, peneliti memasukkan data yang diperoleh ke dalam catatan lapang. Data sekunder didapat dari kumpulan dokumen yang berkaitan dan mendukung penelitian. Analisis data dialogik atau dialektikal untuk mengembangkan terjadinya dialog dan dialektika antara peneliti dan sumber data. Analisis dilakukan secara komprehensif, kontekstual dan multilevel, menempatkan peneliti sebagai aktivis/partisipan dalam proses transformasi sosial. Langkah-langkah yang dilakukan adalah (1) mencatat atau merekam informasi, menyeleksi data sesuai dengan faktor-faktor yang diteliti dan memahami data satu per satu untuk memperoleh pengertian; (2) mengembangkan data yang sudah bermakna terhadap tema-tema secara sistematis berdasarkan kerangka pemikiran, sehingga terbangun suatu pemahaman yang sebenarnya; (3) dari tema yang sudah dikembangkan disusun penjelasan secara deskriptif dan diformulasikan kesimpulan-kesimpulan secara keseluruhan dalam bentuk tampilan kalimat yang lebih bermakna dan mudah dimengerti.

(5)

untuk meniru secara detail musikrock underground yang berasal dari luar negeri. Setelah melalui perjalanan waktu yang cukup lama, terlihat kecenderungan Tengkorak band berusaha menyesuaikan musikrock undergrounddengan budaya lokal.

Analisis pada tingkatan signifikan simbol Tengkorak band menunjukkan bahwa lirik, ilustrasi, orasi, dan salam satu jari merefleksikan sebuah “perang gerilya semiotik” (semiotic guerilla warfare). Hal ini berarti bahwa simbol-simbol signifikan yang dihasilkan Tengkorak band tidak saja menjadi sebuah kekuatan sosial dalam proses konstruksi identitas namun juga menjadi kekuatan sosial dalam mendekonstruksi simbol-simbol signifikan musikrock undergroundbarat.

Pada tingkatan audiens, hasil analisis penetrasi simbol-simbol signifikan Tengkorak band di dalam proses sosialisasi sekunder keempat audiensnya menghasilkan identitas yang beragam. Dari informan pertama menghasilkan audiens identitas ”abu-abu”, sedangkan dari informan kedua dan ketiga menghasilkan audiens dengan kesadaran kritis. Sementara itu, dari informan keempat, penetrasi simbol-simbol signifikan Tengkorak band menghasilkan audiens yang apolitis.

Suatu kondisi sosial yang kondusif mendorong lahirnya gerakan sosial baru adalah kondisi sosial ketika dimana terjadi peningkatan yang tajam dari arus impor ide-ide baru, barang-barang serta nilai-nilai dari masyarakat asing yang bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat lokal.

(6)

©

Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak cipta dilindungi

(7)

KONSTRUKSI IDENTITAS KHALAYAK MELALUI

SIMBOL SIGNIFIKAN GERAKAN SOSIAL BARU

(Studi Kasus Musik

Rock Underground

Tengkorak Band)

HARYO RADIANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Tesis : Konstruksi Identitas Khalayak Melalui Simbol Signifikan Gerakan Sosial Baru (Studi Kasus MusikRock UndergroundTengkorak band)

Nama : Haryo Radianto

NRP : I353060211

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS Ir. Richard W. E. Lumintang, MSEA

(Ketua) (Anggota)

Diketahui,

Koordinator Mayor

Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(9)
(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga karya ilmiah berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2009 ini ialah gerakan sosial baru, dengan judul Konstruksi Identitas Khalayak Melalui Simbol Signifikan Gerakan Sosial Baru (Studi Kasus Musik Rock UndergroundTengkorak Band)

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo dan Bapak Ir. Richard W. E. Lumintang, MSEA yang telah banyak memberi bimbingan dan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada rekan-rekan program studi KMP yang selalu mendukung dan berbagi pengetahuan selama studi. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak M. Hariadi Nasution, SH, rekan-rekan Tengkorak band, dan audiensnya yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2011

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 Maret 1974 dari ayah H. Gandhi Suharto dan ibu Hj. Nurhasanah Wahid. Penulis merupakan putra sulung dari tiga bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Nasional, Jakarta, lulus pada tahun 1999. Pada tahun 2006, penulis berkesempatan melanjutkan studi magister di Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

(12)
(13)

KESIMPULAN DAN SARAN……….. 117

DAFTAR PUSTAKA ………... 119

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Lirik Musik Subkultur Oppositional (pattern of resistance)... 27

2. MaknaStagedivingdanSlamming... 30

3. Warna yang Diasosiasikan dengan Kepribadian... 31

4. Nilai Perlambangan Warna... 31

5. Karakteristik Informan... 52

6. Perkembangan Musik Rock... 58

7. Perubahan Identitas Tengkorak band... 80

8. Lirik Tengkorak band... 82

9. Ilustrasi Sampul Album dan T-shirt Tengkorak band... 85

10. Salam Satu Jari... 89

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Teori Segitiga Makna... 22

2. Ilustrasi pada cover cd Napalm Death dan Tengkorak... 26

3. Aktivitasstagediving... 29

4. Aktivitasslamming... 29

5. Media Massa Paradigma Lama... 34

6. Media Massa Paradigma Baru... 35

7. Fully Respecified Perspective on School-Media relationship………….. 40

8. Skema Kerangka Pikir……… 44

9. Komponen Analisis Data: Model Interaktif…..……….. 54

10. Skema Konstruksi Identitas Audiens 1………... 94

11. Skema Konstruksi Identitas Audiens 2………... 99

12 Skema Konstruksi Identitas Audiens 3………... 103

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Silsilah Musik Rock... 128

(17)

I. PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang Masalah

Wilkins dalam Huesca (2001) mengemukakan bahwa bidang komunikasi pembangunan menghadapi titik kritis terkait teori dan relevansi pragmatis karena debat internal dan kritik-kritik, serta restrukturisasi eksternal politik, ekonomi, dan sistem sosial pada skala global. Debat-debat internal dan kritik-kritik mengindikasikan, di satu sisi, bahwa bidang ini sedang dalam kondisi yang ”kacau

balau”, sebaliknya, mengganggu tujuan peningkatan kondisi manusia secara materi

dan simbolik. Sesuai dengan perubahan eksternal pada sistem sosial, merupakan satu konteks menakutkan yang mempertanyakan legitimasi serta dasar pemikiran dari usaha-usaha pengembangan ketika menunjang bentuk-bentuk baru perubahan sosial.

Oleh karena itu, Huesca (2001) berargumen bahwa bidang komunikasi pembangunan harus mengalihkan perhatian dalam rangka merespon kondisi-kondisi persistensi kehidupan di bawah standar yang mendemonstrasikan relevansi berkelanjutan dari usaha-usaha pembangunan secara umum, terutama dengan menggambarkan penemuan ilmu pengetahuan gerakan sosial baru dan mengkombinasikannya dengan area-area yang relevan dari komunikasi partisipatori untuk riset pembangunan.

(18)

perkotaan, diseminasi musik indie juga meluas ke berbagai wilayah negeri ini, urban dan sub-urban.

Generasi muda dan musik merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Pemuda

merupakan sumber perubahan dari ”bawah” atau kalangan grassroot yang seringkali

memelopori suatu gerakan sosial, sementara itu, musik belakangan ini merupakan media yang seringkali digunakan oleh banyak anak muda dalam mengekspresikan diri, menunjukkan identitas atau konsep diri, serta menyampaikan pesan berupa kritik sosial atau ide-ide baru (survey Litbang Kompas, 31/8/2008). Artinya, di sini generasi muda atau musisi muda tidak hanya berpotensi menjadi pionir gerakan sosial baru, namun juga memungkinkan mereka menjadi subyek pembangunan atau agen perubahan dalam masyarakat, setidaknya di lingkungannya maupun audiensnya. Fenomena yang mengarah pada munculnya gerakan sosial baru yang menunjang perubahan sosial semakin kuat terlihat di kalangan generasi muda kita pasca-reformasi.

Dari sini muncul satu pertanyaan, apakah musik memiliki suatu arti? Pertanyaan yang juga menjadi judul dari tulisan John Sloboda (1998) ini, merupakan pertanyaan umum dan menjadi inspirasi studi masa kini. Jika dalam mencari jawabannya diuji cara masyarakat memanfaatkan musik, ternyata musik sangat berarti bagi banyak orang. Oleh karena itu, James Lull (1989) mengatakan bahwa musik populer merupakan suatu bentuk komunikasi unik dan benar-benar berpengaruh yang layak untuk dianalisa dengan sungguh-sungguh – bukan hanya di jalanan dan pers umum, akan tetapi juga dalam karya ilmiah maupun saat di dalam kelas. Eksplorasi terhadap “musik sebagai komunikasi” mengundang untuk menganalisis di banyak area.

(19)

kuat konteks sosial politik dalam musik yang menyuarakan protes akan situasi nasional dalam negeri tentang hak-hak rakyat sipil terlihat di awal 1960-an sampai dengan pertengahan tahun itu. Sedangkan, konteks anti perang Vietnam terlihat pada pertengahan 1960-an sampai awal 1970-an.

Bagaimana dengan Indonesia? Globalisasi musik indie di Indonesia sebenarnya sudah terlihat pada awal tahun 1990-an. Hadirnya puluhan ribu anak muda pada pertunjukan Sepultura band, salah satu kelompok musik rock

underground dari Brasil, di Jakarta pada tahun 1992, menguatkan asumsi bahwa globalisasi musik indie telah mencapai Indonesia.

Jeremy Wallach, asisten profesor pada Departemen Popular Culture di Bowling Green University, Amerika, dalam artikel ilmiahnya pada World Literature Today (September-Desember 2005) yang berjudul Underground Rock Music and Democratization in Indonesia menyatakan keterkejutannya ketika tiba di Jakarta untuk melakukan penelitian lapang tentang musik populer dan generasi muda. Awalnya, berasumsi bahwa pengetatan musik rock di Indonesia hanya terbatas pada kelompok-kelompok yang dipromosikan oleh industri musik global. Di balik semua itu, justru menemukan jaringan ekstensif skala nasional dari scenedi Indonesia yang didedikasikan terhadap satu genre musik yang dikenal dengan istilahunderground.

Lebih jauh, Wallach mengungkapkan bahwa komunitas ini tidak hanya dilengkapi dengan penjualan musik rock underground dari berbagai penjuru dunia, namun juga memproduksi kaset-kaset, fanzines, bersusah payah dalam melakukan latihan atau merekam hasil karya serta mengorganisir konser-konser pertunjukan yang menampilkan band-band lokal yang memainkan lagu-lagu band asing favoritnya atau sebaliknya memainkan lagu-lagu komposisi mereka sendiri baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia. Jelas sekali hal ini tidak dapat dijelaskan dengan mudah melalui strategi konglomerat-konglomerat media multinasional.

(20)

masing-masing dan menghasilkan lagu-lagu yang secara langsung menunjukkan rasa ketakutan, emosi-emosi, serta aspirasi-aspirasi generasi muda Indonesia masa kini (Wallach, 2005).

Bentuk pengakuan lain dari eksistensi band-band indie di Indonesia adalah dengan diikutsertakannya band indie Indonesia Tengkorak band, yang telah merilis piringan hitam dan compact disc (cd) produksi indie label Jepang, Bloodbath Records, dalam sebuah film dokumenter produksi Universal Music Kanada “Global Metal” yang dilakukan olehpeneliti antropologi dari Kanada, Sam Dunn, pada 2006.

Selain itu, pembuatan film dokumenter serupa juga dilakukan terhadap band yang sama oleh Amkas dkk (2007), salah satu kelompok mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Program Studi Penyiaran D3 Departemen Ilmu Komunikasi, namun dengan tema berbeda, “Metal is Not a Crime”. Film ini bertujuan untuk menghilangkan stereotipe negatif yang melekat pada musik ini dan memberikan penjelasan kepada masyarakat umum seperti apa sebenarnya visi dan misi generasi muda pengguna musik indie tersebut.

Adalah Urban Indie Festival X Over 24-26 Agustus 2007 dan 28-29 Juni 2008 lalu yang semakin mempertegas legitimasi pergerakan musik indie di tanah air. Acara yang merupakan rangkaian kegiatan festival masyarakat urban meliputi gaya hidup, seni rupa, kuliner, fashion, musik, dan olah raga melibatkan empat pihak, Kelompok Kompas-Gramedia, bekerjasama dengan Institut Kesenian Jakarta, Masima (Radio Prambors) dan PT Jaya Ancol, Jakarta.

Salah satu tujuannya adalah mengangkat potret komunitas dan musik indie di Indonesia. Bahkan, sejak pertengahan Maret sampai dengan Agustus 2007, Kompas

sengaja menyediakan kolom khusus yang mengulas segala hal menyangkut budaya dan problematik indie tersebut sebagai bentuk sosialisasi sekaligus transmisi budaya kepada masyarakat. Dalam tulisannya, Kompas mengakui bahwa musik masih menjadi “perhatian utama” dan “ujung tombak” dari berbagai kegiatan yang

(21)

1. 2. Masalah Penelitian

Persentase musik dalam ruang lingkup pendengaran meningkat drastis beberapa dekade terakhir. Kini, setiap individu tidak hanya terekspose oleh musik lewat radio, berbagai jenis kaset dan cd saja. Musik juga telah menjadi bagian yang esensial dari program-program televisi, film, iklan-iklan televisi, computer games, dan CD-ROM’s. Musik terus mengalir masuk ke dalam ruang publik, sehingga indra pendengaran kita tidak mampu menolak suara-suara musik yang muncul di pertokoan, supermarket, ruang tunggu, restoran, cafe, transportasi umum, hingga nada sambung pribadi telepon genggam (ring back tone). Pada sisi lain, tidak dapat disangkal bahwa walkman dan piranti pemutar musik (mp3 player) memungkinkan kita semua membawa”musik kita” kemanapun kita melangkah.

Sebagai komunikasi simbolik, musik merupakan salah satu varian komunikasi antarmanusia yang paling tua yang dapat berperan besar atau pun kecil dalam interaksi antarmanusia. Suatu ”human universal” yang dapat dijumpai di berbagai budaya sepanjang masa, bahkan dalam beberapa hal, musik adalah aspek paling global dari apa yang kita sebut”global village”. Musik memiliki berbagai bentuk dan kegunaannya, namun, telah diakui secara umum keutamaan musik adalah membangkitkan emosi. Sebagai himne, lagu kebangsaan, lagu cinta atau lagu protes bernuansa politis, musik mampu membangkitkan perasaan religiusitas, patriotisme, romantis bahkan memberontak (Roe, 1999).

(22)

mulut” serta internet, bukan karena tingginya intensitas volume pemberitaan berbagai media massa (Aykroyd, 2008). Suatu fenomena komunikasi yang disebut Huesca (2001) dengan istilah globalization from below. Singkatnya, globalisasi musik indie adalah sebuah realitas sosial.

Menurut Abrar (2005), fenomena komunikasi terdiri atas (i) semua kenyataan masyarakat yang berkaitan dengan penerimaan, penyampaian dan pemanfaatan informasi; (ii) semua situasi komunikasi yang mengarah pada berbagai perubahan wawasan, sikap, perilaku, dan sosial pada individu, kelompok serta masyarakat secara sukarela; dan (iii) semua yang berkaitan dengan media, mulai dari media massa, media sosial hingga media interaktif. Ketiga fenomena inilah sumber dari tema penelitian komunikasi, atau seperti yang diungkapkan oleh Hamidi (2007), penelitian komunikasi di lapangan berawal dari tertangkapnya suatu fenomena atau peristiwa komunikasi.

Meski demikian, pada mulanya, para peneliti komunikasi sedikit terlambat menaruh perhatian terhadap fenomena tersebut. Menjelang tahun 1970-an, studi atas musik populer baru benar-benar meraih legitimasi sebagai suatu penelitian yang serius. Ada tiga tonggak penting yang menjadi pertanda kemapanan musik pada agenda penelitian adalah publikasi pertama ”The Sociology of Rock” oleh Simon Frith pada tahun 1978 yang banyak menginspirasi para peneliti untuk memulai studi sosial atas musik dengan sunguh-sungguh. Yang kedua adalah pada tahun 1981, yaitu formasi the International Association for The Study of Popular Music yang dengan cepat menyediakan forum internasional dan interdisiplin penting bagi para peneliti. Ketika American Journal, Communication Research, mendedikasikan seluruh edisinya pada hasil-hasil penelitian tentang musik, inilah tonggak sejarah ketiga yang terjadi pada tahun 1985. Sehingga, situasi tersebut menjadi sinyal bagi para peneliti musik bahwa pada akhirnya terbuka peluang bagi mereka menerbitkan hasil karyanya untuk dipublikasikan dalam jurnal internasional terdepan (Roe, 1999).

(23)

dari hasil-hasil penelitian tersebut belum ada yang menjawab permasalahan sejauhmana musik indie, sebagai agen sosialisasi di dalam masyarakat Indonesia, mempengaruhi audiensnya dalam proses pembentukan konsep diri atau konstruksi identitas.

Dengan demikian, berdasarkan penjelasan kegiatan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka penelitian ini diarahkan untuk memahami:

a. Apakah musik rock underground, sebagai musik subkultur oppositional, dapat menjadi suatu kekuatan sosial dalam membentuk identitas diri?

b. Kondisi seperti apa yang cenderung mendorong terjadinya gerakan sosial baru?

1. 3. Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan apa yang telah diuraikan pada rumusan masalah penelitian, maka tujuan penelitian ini diarahkan untuk memahami:

a. Kekuatan musik rock underground dalam membentuk identitas diri di kalangan audiens Tengkorak band.

b. Kondisi sosial yang mendorong terjadinya gerakan sosial baru di kalangan generasi muda.

1. 4. Kegunaan Penelitian

Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap minimnya informasi dan ilustrasi mengenai kajian musik, khususnya musik indie, sebagai komunikasi simbolik dalam kehidupan generasi muda kepada para akademisi, praktisi komunikasi maupun para mahasiswa.

(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Komunikasi Pembangunan

Secara sederhana Widjaya et al. (Dilla, 2007), mengartikan komunikasi pembangunan sebagai komunikasi yang berisi pesan-pesan pembangunan. Ibarat dua mata sisi uang yang saling mendukung, posisi komunikasi dan pembangunan tidak dapat dipisahkan. Secara konseptual komunikasi dan pembangunan memandang perubahan sebagai proses sosial yang tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan komunikasi, setiap individu dan kelompok dalam masyarakat mampu melihat, menafsirkan, dan memaknai tentang diri serta realitas sosialnya. Selanjutnya, para ahli sepakat bahwa komunikasi berperan penting dalam pembangunan, baik pembangunan diri individu, pembangunan masyarakat, maupun pembangunan bangsa.

Sejak diperkenalkan hingga digunakan, konsep pembangunan di negara-negara dunia ketiga diklaim sebagai awal paradigma pembangunan dilaksanakan. Pada mulanya, paradigma awal pembangunan ini banyak terinspirasi oleh tiga teori besar tentang perubahan sosial pada masyarakat, yaitu teori modernisasi, teori ketergantungan, dan teori sistem dunia. Teori modernisasi lahir pada akhir tahun 1950-an, disusul lahirnya paradigma yang lebih radikal pada akhir tahun 1960-an, yaitu teori ketergantungan (teori dependensi). Selanjutnya, pada pertengahan tahun 1970-an lahir paradigma baru, yaitu teori sistem dunia yang tampil menguji isu-isu pembangunan kedua teori terdahulu. Di akhir tahun 1980-an, ketiga aliran bergerak saling melakukan sintesis. Singkatnya, sisi pandang ketiga teori ini melihat kondisi keterbelakangan dan keterpurukan ekonomi akibat berbagai situasi. Ketiga teori ini menawarkan formulasi penanggulangan terhadap kondisi tersebut dengan cara pandang masing-masing (Dilla, 2007).

(25)

teoritis. Kondisi ini dikarakterisasi oleh berbagai perubahan eksternal, material, dan konteks-konteks simbolik yang membentuk banyak tantangan dimana berpotensi pada progresivitas teori komunikasi pembangunan. Kemajuan teknologi-teknologi komunikasi yang terjadi secara simultan dengan restrukturisasi politik, ekonomi, dan sistem sosial dunia telah mereduksi legitimasi institusi-institusi tradisional, menawarkan pasar yang lebih baik serta mempertanyakan ketepatan teori komunikasi pembangunan dan penerapannya. Lebih jauh, evolusi teori komunikasi pembangunan telah ditandai dengan kritikkritik internal dan perdebatan yang semakin memanas -meski memperluas definisi, mendorong pluralisme intelektual, dan memperbarui kajian dalam bidang ini - telah mengarahkan pada kemajuan konseptual di masa yang akan datang.

Oleh karena itu, bidang komunikasi pembangunan harus mengalihkan perhatian dalam rangka merespon persistensi kondisi-kondisi kehidupan di bawah standar yang mendemonstrasikan relevansi berkelanjutan dari usaha-usaha pembangunan secara umum, terutama dengan menggambarkan penemuan ilmu pengetahuan gerakan sosial baru dan mengkombinasikannya dengan area-area yang relevan dari komunikasi partisipatori untuk riset pembangunan (Huesca, 2001).

2. 2. Gerakan Sosial Baru

Horton dan Hunt (1999) menjelaskan bahwa gerakan sosial merupakan salah satu bentuk utama dari perilaku kolektif. Secara formal, gerakan sosial didefinisikan sebagai suatu kolektivitas yang melakukan kegiatan dengan kadar kesinambungan tertentu untuk menunjang atau menolak perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok yang mencakup kolektivitas itu sendiri. Sedangkan batasan yang sedikit kurang formal dari gerakan sosial adalah usaha kolektif yang bertujuan untuk menunjang atau menolak perubahan.

(26)

tradisional memfokuskan pada isu-isu ekonomi dan seringkali dipimpin oleh orang yang memiliki kesamaan pekerjaan atau oleh serikat-serikat buruh, akan tetapi beberapa gerakan sosial yang aktif dekade belakangan ini – seperti gerakan wanita kontemporer, gerakan perdamaian, dan gerakan lingkungan – tidaklah memiliki akar kelas sosial seperti halnya protes-protes kaum buruh di Amerika dan Eropa yang terjadi ratusan tahun silam.

Lebih jauh, Huesca (2001) menjelaskan bahwa pada permulaan akhir tahun 1960-an tersebut, para ahli sosiologi dan politik mulai mengkonseptualisasikan kekuatan-kekuatan perubahan sosial yang muncul dari aksi terkoordinasi di luar institusi-institusi formal seperti partai politik dan serikat buruh. Yang menjadikan teori-teori perubahan sosial ini menjadi ”sesuatu yang baru” adalah perhatian mereka terhadap formasi identitas sebagai sebuah tempat dari aksi terkoordinasi dan kurangnya perhatian mereka atas akses kelompok terhadap sumberdaya institusi atau kesetiaan terhadap ideologi-ideologi yang mengarah pada mobilisasi. Dalam perkembangannya, fokus gerakan sosial baru ini memperoleh kembali momentum pada tahun 1980-an dan 1990-an, terutama di Amerika Latin, dengan munculnya etnis, gender, dan isu-isu mengorganisasi inisiatif-inisiatif yang tidak dijelaskan secara memuaskan oleh demokrasi liberal atau pun teori Marxist tentang perubahan sosial.

Kendall (2005) mengemukakan bahwa istilah gerakan sosial baru mengacu kepada kebanyakan gerakan sosial yang muncul dari berbagai masyarakat barat sejak pertengahan tahun 1960-an yang berangkat dari paradigma konvensional gerakan sosial. Teori gerakan sosial baru melihat pada berbagai aksi-aksi kolektif, identitas mereka serta hubungannya dengan budaya, ideologi, dan politik.

(27)

lesbian dan gay, pecinta lingkungan sampai dengan seperti yang diungkapkan oleh George H. Lewis dalam Lull (1989) yaitu gerakan ideologi anti perang Vietnam pertengahan tahun 1960-an dan awal 1970-an yang dikomunikasikan lewat musik-musik subkultur politis di Amerika dan berbagai negara di dunia - mulai dari gerakan budaya anak muda internasional tahun 1960-an, gerakan British punkdi akhir tahun 1970-an, sampai dengan new wave sound tahun 1980-an - adalah bagian yang menunjukkan revolusi budaya sedang terjadi di Barat.

Oleh karena itu, Huesca (2001) berpendapat gerakan-gerakan sosial baru ini telah dikonseptualisasikan sebagai respon secara efektif terhadap perubahan besar di dalam hubungan-hubungan sosial, politik, dan ekonomi dalam skala global. Kesimpulannya bahwa dalam pemikiran yang lebih umum, gerakan sosial baru telah didefinisikan sebagai kelompok heterogen yang terbentuk di luar institusi formal dan beroperasi di dalam lingkaran-lingkaran terputus guna meneguhkan makna bersama dan identitas-identitas yang menunjukkan aksi.

2. 2. 1. Sebab-sebab dan Kondisi-kondisi Terbentuknya Gerakan Sosial

(28)

karangan, para warga negara menulis surat pembaca ke editor, atau orang melakukan eksperimen meyangkut bentuk eksperimen baru.

Dari perspektif psikologi sosial, khususnya perspektif yang berpusat pada persona (person-centered perpective), kemarahan, kekecewaan sampai dengan ketidakpuasan adalah berbagai bentuk dari emosi. McDougall dalam Rakhmat (2004) menekankan pentingnya faktor-faktor personal dalam menentukan interaksi sosial dan masyarakat. Menurutnya, faktor-faktor personallah yang menentukan perilaku manusia.

Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan emosi merupakan salah satu faktor personal atau internal yang mempengaruhi perilaku manusia secara psikologis, termasuk salah satu bentuk utama perilaku kolektif yaitu gerakan sosial.

Berasal dari bahasa Latin, emovere, dimana ”e” berarti out dan ”movere” adalah move, emosi merupakan suatu pernyataan mental serta psikologis yang berasosiasi dengan berbagai bentuk perasaan, pemikiran, dan perilaku. Selain itu, emosi juga merupakan faktor yang menentukan kebahagiaan subyektif dan menjadi peran utama dalam berbagai aktivitas manusia (www.emotionalcompetency.com).

Menurut Rakhmat (2004) emosi menunjukkan kegoncangan organisme yang disertai oleh gejala-gejala kesadaran, keperilakuan, dan proses fisiologis. Misalnya saja, bila anda dicemoohkan, anda akan bereaksi secara emosional karena anda mengetahui makna cemoohan itu (kesadaran). Jantung akan berdetak lebih cepat atau kulit memberikan respon dengan mengeluarkan keringat (proses fisiologis). Anda mungkin saja membalas cemoohan dengan mengeluarkan kata-kata keras (keperilakuan).

Meski demikian, emosi sebagai faktor-faktor yang timbul dari dalam diri individu (psikologis) dan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku manusia, tidak selalu bersifat negatif. Oleh karena itu, Coleman dan Hammen dalam Rakhmat (2004) menguraikan empat fungsi emosi, antara lain:

(29)

membangkitkan dan memobilisasi energi, misalnya saja marah menggerakkan kita untuk menyerang, takut menggerakkan untuk lari.

b) Emosi adalah pembawa informasi (messenger). Bagaimana keadaan diri dapat diketahui dari emosi. Jika marah, diketahui dan dihambat atau diserang orang lain. Sedih berarti kehilangan sesuatu yang disenangi.

c) Emosi bukan saja pembawa informasi dalam komunikasi intrapersonal, tetapi juga pembawa pesan dalam komunikasi interpersonal. Contohnya, dalam retorika diketahui bahwa pembicara yang menyertakan seluruh emosinya dalam pidato akan dipandang lebih hidup, lebih dinamis, dan meyakinkan.

d) Emosi juga merupakan sumber informasi tentang keberhasilan. Misalnya saja menginginkan kesehatan dan mengetahuinya ketika dirasakan sehat.

Dengan demikian, emosi merupakan faktor internal individu dan menjadi penggerak dalam mengekspresikan pemikiran secara simbolik atau memvisualisasikan berbagai informasi yang ada dalam pikirannya dalam bentuk simbol-simbol yang memiliki makna emosional. Menurut Gerungan (2004) semua penggerak, alasan atau dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu adalah pengertian dari motif. Dalam gerakan sosial baru, kekuatan (power) baru berada dalam kode-kode informasi dan representasi imej-imej di sekeliling dalam mana masyarakat mengorganisasi institusi-institusi, membangun kehidupan serta memutuskan bagaimana mereka berperilaku. Karenanya, pikiran adalah tempat dari kekuatan individu.

(30)

Meski demikian, Fritz Heider dalam Walgito (2003) menyatakan bahwa selain faktor internal, perilaku manusia ditentukan pula oleh faktor eksternal. Sehingga, menurut perspektif yang berpusat pada situasi (situation-centered perspective), perilaku manusia juga dipengaruhi oleh faktor sosial atau faktor-faktor berpengaruh yang datang dari luar diri individu (faktor-faktor eksternal). Ross dalam Rakhmat (2004) menegaskan utamanya faktor situasional dan sosial dalam membentuk perilaku individu. Oleh karena itu, J. Milton Yinger dalam Roberts dan Kloss (1979) mengutip tujuh kondisi sosial yang diasosiasikan dengan munculnya

counterculture di Amerika dan Eropa. Ditegaskan bahwa tak perlu dijelaskan lagi kondisi-kondisi ini juga diakui serupa dengan kondisi-kondisi yang kondusif terhadap tumbuhnya gerakan-gerakan sosial. Menurut Yinger, gerakan sosial dapat terbentuk dalam kondisi-kondisi sosial:

a. Ketika terjadi reorganisasi drastis dari pola masyarakat dalam mencukupi kebutuhan hidup mereka.

b. Ketika terjadi perubahan dalam ”ukuran, lokasi, distribusi usia, dan rasio jenis kelamin suatu populasi”.

c. Ketika terjadi peningkatan yang tajam dari impor ide-ide baru, teknik-teknik, barang-barang serta nilai-nilai dari masyarakat-masyarakat asing atau periode-periode sebelumnya.

d. Ketika terdapat suatu ”peluang besar meningkatkan taraf hidup yang lebih baik, harapan-harapan, aktualisasi-aktualisasi yang diikuti dengan masa stabil, kerugian atau pun ancaman serius dari kerugian itu sendiri.”

e. Ketika dijumpai ”semakin rendahnya partisipasi sosial dalam mendekatkan dan mendukung lingkaran-lingkaran sosial – keluarga, lingkungan sekitar, dan kelompok-kelompok kerja.

f. Ketika terjadi peningkatan jumlah orang-orang yang menentang aturan-aturan dan cara-cara lama (antinomian persons).

(31)

2. 2. 2. Karakteristik Gerakan Sosial Baru

Meski pendefinisian terhadap gerakan sosial baru yang dilakukan oleh para ahli masih terus berlanjut, Huesca (2001) mengemukakan bahwa terdapat beberapa karakteristik umum yang ada dan membedakan gerakan sosial baru tersebut dengan pendekatan sebelumnya, yaitu:

a. Gerakan sosial baru ini dipahami sebagai kecil atau sedikit, terdesentralisasi, dan demokratis dalam struktur mereka. Menurut Borda dalam Huesca (2001), kecil atau sedikit, terdesentralisasi, dan demokratis dalam struktur gerakan sosial baru diinterpretasikan sebagai satu penolakan atas, alternatif dari, dan model organisasi-organisasi tradisional yang menjembatani lingkungan-lingkungan sistem yang terinstitusionalisasi dengan kehidupan sehari-hari di dunia. Gerakan sosial baru menawarkan struktur-struktur yang merefleksikan skala yang lebih manusiawi dan mengandalkan partisipasi anggotanya dalam pemeliharaan. Hasil partisipasi yang intens dalam struktur-struktur alternatif ini berarti bahwa gerakan-gerakan sosial baru seringkali bertemu pada isu-isu yang sangat personal, seperti gender dan seksualitas, yang membatasi kepentingan mereka. Ironisnya, b. Gerakan sosial baru ini membentuk lingkaran (cyclical) dan menyebar dalam

(32)

menyatakan sebuah “realitas yang permanen” karena dampaknya atas hubungan -hubungan sosial yang tidak mudah dipahami (Huesca, 2001).

c. Gerakan sosial baru ini tidak terlalu berorientasi pada tujuan instrumen material namun lebih kepada konstruksi identitas serta makna-makna yang mengarah kepada perilaku kolektif (Huesca, 2001). Namun, orientasi identitas gerakan-gerakan sosial baru telah dikonseptualisasikan dengan sangat beragam oleh para ahli. Satu kelompok menganggap identitas formasi sebagai kategori statis yang secara teoritis beroperasi menggantikan ideologi. Sedangkan yang lainnya, memberi istilah “experienced conciousness,” “interactional accomplishment,” and “identity frames,” berbagai konseptualisasi identitas ini memfokuskan pada ekspresi simbolik diri, bersifat antagonis, bersekutu atau beraliansi, dan audiens-audiens sebagai sebagai basis dalam menginterpretasi aksi sosial. Meski terdapat suatu pernyataan akan pentingnya peran dari proses interaksional dalam konstruksi dan rekonstruksi identitas, berbagai analisis dari orientasi ini cenderung memfokuskan pada “skema interpretif” atau produk-produk akhir, yang mendahului dan mengarahkan pada aksi-aksi berikutnya.

2. 2. 3. Musik Subkultur sebagai Gerakan Sosial Baru (Pattern of Resistance)

Musik atau lagu dapat didefinisikan sebagai organisasi atau susunan suara atau bebunyian (Irwin, 1982), dan merupakan sebuah cetusan ekspresi perasaan atau pikiran yang dikeluarkan secara teratur dalam bentuk bunyi (Ensiklopedi, 1990). Diambil dari nama dewa Yunani yang memimpin seni dan ilmu, musik berasal dari katamousike.

(33)

keberhasilan, mudah terluka, perayaan, dan hentakan irama antagonisme-antagonisme kehidupan yang menghipnotis, yang dapat dialami seseorang secara pribadi atau pun dengan orang lain.

Sementara itu, Guevara (2005) mengemukakan bahwa musik lebih dari sekadar obyek hiburan semata, akan tetapi musik juga menjadi sebuah perangkat penting yang memengaruhi sikap kita dan juga sebagai referensi dasar dari konstruksi dan ekspresi dari pemikiran “siapa diri kita”. Lebih jauh, Redana (2007) menambahkan bahwa musik jelas seperti bahasa: suatu artikulasi rangkaian bunyi yang kemudian bermakna lebih dari bunyi. Musik mengungkapkan sesuatu, baik politis dan bisa juga manusiawi. Meski demikian, apa pun bunyi yang dihasilkan dan maknanya, musik berasal dan berada di dalam kehidupan sosial-budaya suatu masyarakat.

WilliamdalamLull (1989) menjelaskanif a culture is a particular way of life, then a subculture is an alternative particular way of life that contrasts with the mainstream culture. Oleh karena itu, Blacking dalam Lull (1989) berasumsi bahwa

music is not a language that describes the way society seems to be, but a methaporical expression of feelings associated with the way society really is.Dengan demikian, kedua pendapat tersebut secara tegas menyatakan dikotomi pemikiran musik sebagai realitas obyektif dan subyektif, serta kategori musik mainstream dan subkultur.

Menurut Lull (1989), musik subkultur dibedakan menjadi dua tipe utama. Kategori pertama adalah “aesthetic subculture” atau taste culture, yaitu kategori yang terdiri dari berbagai musisi dan audiens yang menciptakan serta mengapresiasi musik yang berbeda dari genre-genre musik populer dalam hal style-nya saja. Jazz, klasik, dan beragam musik etnik (misalnya saja: salsa, polka, flamenco) termasuk dalam kategori ini. Musik kategori ini tidak bersifat politis, namun lebih merayakan bentuk-bentuk alternatif atau irama-irama yang jarang diputar di radio karena limited commercial appeal. Oleh karena itu, musisi dan pendengarnya tidak memiliki ketertarikan akan isu-isu politis. Sebagian besar musik kategori ini berada di wilayah

(34)

Kategori yang kedua dari musik subkultur adalah “oppositional subculture”. Dari sisi sejarahnya, banyak musik subkultur yang bernuansa politis ini berasal dari kelompok-kelompok tertindas yang seringkali didefinisikan pada seluruh lapisan sosial-ekonomi. Musisi kadang kala menciptakan musik tidak sesuai dengan parameter budaya industri. Oleh karena itu, ideologi bisnis musik dalam beberapa manifestasinya tidak semata-mata mewakili pemikiran umum. Kondisi ini mengakibatkan tumbuhnya ketegangan antara kekuatan konvensional dan kekuatan resistensi dalam produksi pop culture. Kekuatan konvensional ini dianggap sebagai

pattern of control, dimana ideologi-ideologi dominan (konservatif, keamanan, atau “status quo” cara berpikir mengenai politik, ekonomi, sosial, dan isu-isu budaya yang umum serta cara melakukan bisnis yang menunjukkan karakterisasi aktivitas dari industri-industri rekaman dan radio) dinyatakan dalam manufaktur dan promosi musik populer (Lull, 1989).

(35)

adalahpunkdanRastafarians(Lull, 1989). Oleh karena itu, dari perspektif ini, musik mencoba untuk:

1. Mendapatkan atau membangun dukungan untuk gerakannya. 2. Menguatkan struktur nilai individu yang mendukung gerakan ini. 3. Menciptakan kohesi, solidaritas, dan moril untuk anggota gerakan ini. 4. Merekrut individu ke dalam suatu gerakan tertentu.

5. Membuat solusi bagi suatu masalah sosial dengan aksinya.

6. Menggambarkan masalah sosial, di dalam terminologi emosional.

7. Membagi para pendukungnya dari dunia di sekitar mereka (fungsi esoteric-eksoteric).

8. Menetralkan keputusasaan dalam pembaharuan sosial, ketika harapan untuk berubah tidak dapat diwujudkan.

Berdasarkan hal tersebut, Lull (1989) menyimpulkan bahwa musik memberi kontribusi pada konstruksi personal, sosial, dan kehidupan kultural pendengarnya pada lokasi yang variatif (rumah, tempat kerja, lokasi konser), dengan kelompok orang yang berbeda (teman dan jutaan orang lainnya), melalui berbagai macam teknis (merekam, melalui radio, penampilan langsung) serta pada berbagai level volume.

(36)

2. 3. Simbol sebagai Bentuk Pesan

Pada dasarnya pesan bersifat abstrak. Untuk membuatnya konkret agar dapat dikirim dan diterima oleh komunikan, manusia dengan akal budinya menciptakan sejumlah lambang komunikasi berupa suara, mimik, gerak-gerik, bahasa lisan, dan bahasa tulisan. Karena pesan bersifat abstrak, maka komunikan tidak mengetahui apa yang ada di benak komunikator sampai ia mewujudkannya dalam salah satu bentuk atau kombinasi lambang-lambang kombinasi ini. Oleh karena itu, lambang atau simbol (Mulyana, 2007) komunikasi disebut juga bentuk pesan, yaitu wujud konkret dari pesan, berfungsi mewujudkan pesan yang abstrak menjadi konkret. Suara, mimik, dan gerak-gerik lazim digolongkan dalam pesan nonverbal, sedangkan bahasa lisan dan bahasa tulisan dikelompokkan dalam pesan verbal. Dengan demikian, pesan didefinisikan sebagai segala sesuatu, verbal maupun nonverbal, yang disampaikan komunikator kepada komunikan untuk mewujudkan motif komunikasinya (Vardiansyah, 2004).

Menurut teori interaksionisme simbolik Herbert Blumer (1969):

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.

2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain. 3. Makna-makna tersebut disempurnakan pada saat proses interaksi sosial sedang

berlangsung.

Dalam satu frase, interaksionisme simbolik adalah studi bagaimana diri seseorang dan lingkungan sosial saling membentuk satu sama lain melalui komunikasi. George Herbert Mead dalam Lindlof dan Taylor (2002) berpendapat bahwa komunikasi merupakan hal yang fundamental dalam pengembangan diri. Esensi dari interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yaitu komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna (Mulyana, 2001).

(37)

lainnya berdasarkan kesepakatan bersama. Dengan demikian, musik sebagai sebuah sistem tanda dan simbol-simbol, juga merupakan suatu bentuk komunikasi.

Menurut Poerwadarminta (1982) definisi simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya yang menyatakan sesuatu hal, atau mengandung maksud tertentu. Misalnya warna putih merupakan lambang kesucian atau padi sebagai lambang kemakmuran.

Sementara itu, Hartoko dan Rahmanto dalam Sobur (2006), menjelaskan bahwa secara etimologis simbol berasal dari kata Yunani sym-ballein yang berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide. Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain di luar perwujudan bentuk simbolik itu sendiri. Simbol yang tertuliskan sebagai bunga, misalnya, mengacu dan mengemban gambaran fakta yang disebut ”bunga” sebagai sesuatu yang ada di luar

bentuk simbolik itu sendiri.

Pierce mengemukakan bahwa: ”A symbol is a sign which refers to the object that is denotes by virtue of a law, usually an association of general ideas, which operates to cause the symbol to be interpreted as refering to that object”. Dengan demikian, dalam konsep Pierce, simbol diartikan sebagai tanda yang mengacu pada obyek tertentu di luar tanda itu sendiri (Sobur, 2006).

Musik sebagai komunikasi simbolik, menurut Lewis dalam Lull (1989), dapat menjadi sebuah tema, sebuah protes mengenai kondisi-kondisi sosial bahkan musik juga menjadi badge identitas – sebuah makna yang menunjukkan pada orang lain (juga diri kita sendiri) bahwa kita merupakan bagian dari suatu kelompok atau aspirasi tertentu. Selain itu, sebagai komunikasi simbolik, musik juga merupakan suatu sistem tanda dan simbol-simbol yang teratur dalam interaksi sosial. Lebih jauh, di dalam musik populer terdapat kerangka kepercayaan, ekspresi simbol-simbol, serta nilai-nilai dimana individu-individu mendefinisikan dunia, mengekspresikan perasaan, dan membuat penilaian mereka.

(38)

pesan yang mengandung informasi kepada audiens, baik secara verbal maupun nonverbal bagi mereka yang menemukan signifikansi di dalamnya.

2. 3. 1. Simbol-simbol Signifikan Musik Subkultur (Oppositional Subculture)

Menurut Mead dalam Ritzer dan Goodman (2007), simbol signifikan adalah sejenis gerak isyarat yang hanya dapat diciptakan manusia. Isyarat menjadi simbol signifikan bila muncul dari individu yang membuat simbol-simbol itu sama dengan sejenis tanggapan (tetapi tidak selalu sama) yang diperoleh dari orang yang menjadi sasaran isyarat. Kita hanya dapat berkomunikasi bila mempunyai simbol yang signifikan. Kumpulan isyarat suara yang paling mungkin menjadi simbol yang signifikan adalah bahasa, yaitu ”simbol yang menjawab makna yang dialami individu pertama dan yang mencari makna dalam individu kedua.” Isyarat suara yang

mencapai situasi seperti itulah yang dapat menjadi ”bahasa”. Ia menjadi simbol yang

signifikan dan memberitahukan makna tertentu. Dengan bahasa, yang dikomunikasikan adalah isyarat dan maknanya. Karenanya, simbol signifikan memungkinkan proses mental, berpikir atau percakapan implisit individu dengan dirinya sendiri dengan memakai isyarat. Mead bahkan juga menyatakan bahwa ”berpikir adalah sama dengan berbicara dengan orang lain.”

Menurut teori segitiga makna, lambang komunikasi atau simbol mengacu kepada sesuatu di luar dirinya, yaitu obyek, dan ini akan mempunyai pengaruh pada pikiran pemakainya. Ini terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara ketiga elemen tersebut. Hasil dari hubungan ini menghasilkan makna atas suatu obyek, yang kemudian disimbolkan sebagai lambang komunikasi oleh pemakainya (Vardiansyah, 2004).

Pikiran Pemakai

Simbol Obyek

(39)

Oleh karena itu, MeaddalamRitzer dan Goodman (2007) menyatakan bahwa simbol signifikan juga memungkinkan interaksi simbolik. Artinya, orang dapat saling berinteraksi tidak hanya melalui isyarat tetapi juga melalui simbol signifikan yang memungkinkan terwujudnya pola interaksi dan bentuk organisasi sosial.

Begitu pula halnya dengan musik, sebagai bentuk komunikasi simbolik, di dalam musik juga terdapat simbol-simbol signifikan sebagai lambang komunikasi. Simbol-simbol signifikan tersebut memungkinkan terjadinya interaksi atau komunikasi di antara pencipta dengan audiensnya secara simbolik. Aktivitas interaksi dan komunikasi melalui simbol-simbol signifikan tersebut, juga melibatkan proses berpikir setiap partisipan. Selanjutnya, dari proses berpikir dengan menggunakan akal budinya, pada akhirnya menghasilkan suatu makna atas simbol-simbol signifikan tersebut di dalam pikiran masing-masing individu.

Pada musik subkultur oposisi atau ”pattern of resistance” simbol-simbol signifikan atau lambang-lambang komunikasi yang digunakan dapat bersifat verbal maupun nonverbal. Adapun simbol-simbol signifikan atau lambang-lambang komunikasi yang memiliki makna dalam musik subkultur oposisi antara lain:

 Artefak

Artefak adalah berbagai jenis benda yang dihasilkan dari kecerdasan manusia. Benda-benda yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan dalam interaksi manusia, seringkali mengandung makna tertentu. Rumah, kendaraan, perabot, patung, lukisan, kaligrafi, bendera, foto saat bersalaman dengan presiden, buku, koran, dan benda-benda lain dalam lingkungan kita adalah pesan-pesan bersifat nonverbal, sejauh dapat diberi makna (Mulyana, 2007).

(40)

Lull (1989) mengemukakan bahwa terdapat aksesoris-aksesoris kultural yang berasosiasi dengan musik dan diaplikasikan pada saat postexposure. Sebagai contoh, memakai t-shirt yang sesuai atau tampilan poster di dinding kamar. Hal ini dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk pernyataan tentang nilai-nilai atau style audiens muda. Lebih jauh, audiens kadang-kadang mengidentifikasi diri secara kuat dengan satu kelompok atau jenis musik tertentu (country dan western, jazz, heavy metal, dan sebagainya), sehingga pakaian, poster-poster, stiker-stiker, dan berbagai artefak lainnya, yang menyangkut preferensi musikal, juga menegaskan suatu kebanggaan dari pendengarnya bahwa artis atau genre tersebut pada dasarnya merepresentasikan kepribadian audiens dalam beberapa hal.

 Gaya vokal/vokalika/parabahasa

Gaya vokal/parabahasa adalah merujuk pada aspek-aspek selain ucapan yang dapat dipahami, misalnya kecepatan berbicara, nada (tinggi atau rendah), intensitas (volume) suara, geraman, gerutuan, dialek dan sebagainya. Setiap karakteristik suara ini mengkomunikasikan emosi dan pikiran kita (Mulyana, 2007).

(41)

sebagai pernyataan sikap antikomersil. Meski tidak begitu dipahami oleh masyarakat awam, namun gaya vokal seperti ini sangat populer baik di kalangan musisi maupun audiens musik subkultur di Indonesia.

Mehrabian dan FerrisdalamMulyana (2007) menyebutkan bahwa parabahasa adalah terpenting kedua setelah ekspresi wajah dalam menyampaikan perasaan atau emosi. Menurut formula mereka, parabahasa punya andil 38% dari keseluruhan impak pesan.

 Genre

Menurut Roy Shuker dalam Novarina (2005), genre dapat didefinisikan sebagai kategori atau tipe. Genre secara luas dapat digunakan untuk menganalisa teks

popular culture terutama untuk menjelaskan berbagai macam kategori musik (pop, rock, folk, dance) dan film (sains fiksi, horor, komedi, drama). Ada juga yang menyatakan bahwa genre dan style tidak berbeda, dan menyatakan bahwa genre seharusnya didefinisikan sebagai sebuah musik yang menyajikan style tertentu (Negus, 1999; Holt, 2007). Misalnya, Dunaway dalam Lull (1989) mengemukakan bahwa ketika para musisi kulit hitam meninggalkan gaya bernyanyi gospel pada masa hak-hak sipil, banyak dari mereka yang mencoba mencari bentuk-bentuk musik yang baru untuk menyuarakan isu-isu terkini. Sebagai contoh adalah genre soul untuk nasionalisme kulit hitam serta kebanggaan cultural, funk untuk redistribusi ekonomi dan penolakan atas budaya kemiskinan.

(42)

 Ilustrasi

Ilustrasi adalah sesuatu yang dapat berbentuk gambar, ungkapan dan lain-lain untuk memperindah atau memperjelas suatu hasil pemikiran (Effendy, 1989). Menurut Arsyad (2000), ilustrasi merupakan unsur-unsur desain yang paling banyak digunakan pada media komunikasi cetak. Ilustrasi, baik foto maupun gambar garis, dapat mengungkapkan sesuatu dengan lebih cepat dari pada hanya berupa teks.

Ilustrasi berupa gambar garis berfungsi menjelaskan teks atau hal abstrak yang tidak mungkin dilukiskan dalam foto. Kegunaan lainnya adalah untuk membuat karikatur dan ilustrasi iklan. Pada sisi lain, foto sebagai hasil pemotretan dari benda sesungguhnya, mengungkapkan bayangan konkrit secara menyeluruh. Foto melibatkan emosi pembaca, sehingga kadangkala lebih efektif dari kata-kata. Turnbull dan Baird (1980) menyatakan bahwa suatu gambar mempunyai arti sama dengan seribu kata. Berikut contoh-contoh ilustrasi pada covercompact disc:

Gambar 2. Ilustrasi pada cover cd Napalm Death dan Tengkorak

 Lirik

(43)

pengarang. Bahkan, hal ini juga untuk menggambarkan kesadaran masyarakat umum. Misalnya saja lirik lagu dari Napalm Death, pionir band indie asal Birmingham, Inggris, seperti diungkapkan oleh Dan Tobin (2001) yang menyatakan bahwa dampak band ini tidak hanya di dunia musik subkultur namun juga pada kesadaran publik.

Matriks 1. Lirik Musik Subkultur Oposisi (pattern of resistance)

ASAP TEBAL UNFIT EARTH

Bumi dihamparkan dan langit dibentangkan Alam semesta ini bukan warisan nenek moyangmu Ribuan pasang mata kini berlinang air mata Hutan yang dulu hijau kini berwarna hitam legam

Lihat hutan, hangus hancur

A view to dumbfound the most outspoken minds

Silent screams from an unfit earth Battered and bruised with nowhere to hide

Disasters man made and natural Gradually pushing to absolute imbalance On the scales of survival

Soon to tip in favour of extinction

An unrelenting dioxin cloud Propelled to dispel our oxygen Slowly seizing up our lungs

And choking the ground we depend upon

Silent screams from an unfit Earth Battered and bruised with nowhere to hide

Transforming aquatic inhabitance

Overcome by cocktails of sludge and chemicals Interfering with life on which so many rely Then dumping our shit to economise A future of provocation with nowhere to go

Sumber: Tengkorak, 2001 dan Napalm Death, 1992

(44)

juga menekankan liriknya yang eksplisit pada masalah-masalah sosial skala lokal maupun global. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lirik merupakan elemen musik subkultur yang bermakna dalam proses interaksi antara musisi dan audiensnya.

 Nama (band)

Menurut Mulyana (2007) penamaan adalah dimensi atau fungsi pertama dari bahasa. Nama adalah simbol pertama dan utama bagi seseorang. Nama dapat melambangkan status, cita-rasa budaya, untuk memperoleh citra tertentu (pengelolaan kesan), sebagai nama hoki atau apapun alasannya. Selain itu, nama adalah unsur penting identitas seseorang dalam masyarakat, karena interaksi dimulai dengan nama dan hanya kemudian diikuti dengan atribut-atribut lainnya. Nama adalah bagian dari konsep diri yang sangat penting, bahkan nama juga menunjukkan kesadaran seseorang.

Demikian pula dalam dunia musik, pemilihan atau penggunaan sebuah nama bagi suatu kelompok musik pada umumnya juga menjadi simbol yang memiliki makna tertentu. Dedi (2006) menyatakan bahwa selain sebagai identitas, dengan mengenal nama band maka asosiasi akan terbentuk dan menciptakan citra yang akan tersimpan di dalam kepala orang atau audiensnya. Artinya, nama band juga memiliki makna yang menyampaikan pesan kepada audiensnya. Misalnya saja Dead Kennedy’s, sebuah band punk asal Amerika, yang memilih nama tersebut sebagai

bentuk perhatian anggota band atas kematian Presiden John F. Kennedy, ikon perubahan bagi anak muda Amerika di tahun 70-an.

Stage diving dan slamming

Umumnya, aktivitasstage diving seringkali diikuti dengan aktivitasslamming

(45)

Gambar 3. Aktivitasstagediving

Selain itu, Thorne (2008) juga mengemukakan bahwa slamming atau sering juga disebut dengan istilah seperti yang diungkapkan Tsitsos (1999) yaitu slam dancing, adalah bentuk tarian yang muncul sekitar tahun 1980-an dan berhubungan dengan musik post-punk hardcore. Para peminatnya saling melemparkan tubuh atau membenturkan badan di tembok, panggung, dan peralatan lainnya. Slamming lahir bersama generasi pertama punk pada tahun 1977 sebagai bentuk kekerasan yang diritualkan secara gembira sehingga lebih bersifat katarsis daripada agresif.

(46)

Dengan demikian, bentuk komunikasi yang unik antara musisi dan audiens musik tersebut berimplikasi ideologis. Selain itu, kedua aktivitas ini juga merupakan simbolisasi suatu kesadaran pada setiap orang yang tidak menginginkan adanya perbedaan-perbedaan “kelas” di antara kedua pihak yang berinteraksi (Lull, 1989).

Matriks 2. MaknaStagedivingdanSlamming

Aktivitas Makna

Stagediving dan

Slamming

Runtuhnya jarak baik secara fisik maupun psikis antara musisi dan audiensnya. Menjadi simbolisasi suatu kesadaran pada setiap orang yang tidak menginginkan adanya perbedaan-perbedaan “kelas”. Sumber: diadaptasi dari Lull

 Warna

Warna adalah spektrum tertentu yang terdapat di dalam suatu cahaya sempurna (berwarna putih). Warna dapat mempengaruhi jiwa atau emosi manusia serta menggambarkan suasana hati seseorang atau ungkapan emosi pribadi (Sulasmi, 2002). Selain itu, warna juga sering digunakan untuk menunjukkan cita rasa, afiliasi politik, dan agama (Mulyana, 2007).

(47)

Matriks 3. Warna yang Diasosiasikan dengan Kepribadian

Warna Makna

Merah Cinta, nafsu, kekuatan, berani, primitif, menarik, bahaya, dosa, pengorbanan, vitalitas.

Merah jingga Semangat, tenaga, kekuatan, pesat, hebat, gairah. Jingga Hangat, semangat muda, ekstremis, menarik.

Kuning jingga Kebahagiaan, penghormatan, kegembiraan, optimisme, terbuka. Kuning Cerah, bijaksana, terang, bahagia, hangat, pengecut, pengkhianatan. Kuning hijau Persahabatan, muda, kehangatan, baru, gelisah, berseri.

Hijau muda Kurang pengalaman, tumbuh, cemburu, iri hati, kaya, segar, istirahat, tenang.

Hijau biru Tenang, santai, diam, lembut, setia, kepercayaan.

Biru Damai, setia, konsevatif, pasif terhormat, depresi, lembut, menahan diri, ikhlas.

Biru ungu Spiritual, kelelahan, hebat, kesuraman, kematangan, sederhana, rendah hati, keterasingan, tersisih, tenang, sentosa.

Ungu Misteri, kuat, supremasi, formal, melankolis, pendiam, agung (mulia). Merah ungu Tekanan, intrik, drama, terpencil, penggerak, teka-teki.

Coklat Hangat, tenang, alami, bersahabat, kebersamaan, tenang, sentosa, rendah hati.

Hitam Kuat, duka cita, resmi, kematian, keahlian, tidak menentu.

Abu-abu Tenang.

Putih Senang, harapan, murni, lugu, bersih, spiritual, pemaaf, cinta, terang. Sumber: Sulasmi,(2002)

Matriks 4. Nilai Perlambangan Warna

Warna Makna

Merah Darah, marah, berani, seks, bahaya, kekuatan, kejantanan, cinta, kebahagiaan.

Merah keunguan Mulia,agung, kaya, bangga (sombong), mengesankan. Ungu Dukacita, kontemplatif, suci, lambang agama.

(48)

2. 4. Sosialisasi

Clausen (1968) mengemukakan bahwa sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Bagi individu, di satu sisi, sosialisasi menyediakan sumberdaya untuk bertindak dan berpartisipasi di dalam masyarakat. Pada sisi lain, bagi masyarakat, memasukkan semua individu ke dalam norma-norma, sikap-sikap, nilai-nilai, motif-motif, peran-peran sosial, bahasa, dan simbol-simbol berarti terwujudnya kontinuitas sosial dan budaya.

Sementara itu, menurut Schaefer (2003), proses sosialisasi adalah dimana seseorang belajar akan sikap-sikap, nilai-nilai, dan perilaku-perilaku yang tepat untuk menjadi anggota suatu kebudayaan tertentu. Sosialisasi terjadi melalui interaksi-interaksi manusia. Setiap individu mempelajari banyak hal dari orang-orang yang dianggap penting dalam hidupnya, seperti anggota keluarga, teman-teman dekat, dan para pengajar. Namun demikian, setiap individu juga belajar dari orang-orang yang dilihatnya di jalanan, di televisi, di internet, maupun di film-film dan majalah-majalah. Sosialisasi mempengaruhi seluruh aspek-aspek kebudayaan suatu masyarakat, selain itu juga membentuk imej-imej kita.

(49)

2. 4. 1. Agen Sosialisasi

Kontinuitas dan keberlangsungan proses sosialisasi melibatkan berbagai kekuatan sosial yang berbeda yang mempengaruhi kehidupan serta mengubah citra diri seseorang (Schaefer, 2003). Kekuatan-kekuatan sosial tersebut merupakan agen-agen sosialisasi, yaitu pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Menurut Henslin (2006), agen sosialisasi adalah orang-orang dan kelompok-kelompok yang mempengaruhi konsep diri, emosi, sikap, dan perilaku kita. Lebih jauh, Henslin mengidentifikasi lima agen sosialisasi, yaitu:

1) Keluarga. Dalam sosialisasi, keluarga bertanggung jawab pada beberapa hal diantaranya menentukan sikap seseorang terhadap religi serta memperkuat tujuan yang akan dicapai.

2) Sekolah. Dalam hal ini, sekolah merupakan agensi yang bertanggung jawab atas generasi muda dalam menyosialisasikan berbagai keahlian tertentu dan nilai-nilai yang ada pada masyarakat. Menurut Horton dan Hunt (1991) fungsi nyata pendidikan antara lain: (a) sebagai modal penting dalam menentukan mata pencaharian; (b) Dapat mengembangkan potensi demi pemenuhan kebutuhan pribadi dan pengembangan masyarakat; (c) Melestarikan kebudayaan dengan cara mewariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan; (d) Membentuk kepribadian.

3) Kelompok Sebaya (peer group). Kelompok sebaya berfungsi antara lain: (a) Memberi rasa aman dan dianggap penting dalam kelompoknya; (b) Perkembangan kemandirian; (c) Tempat penyaluran rasa kecewa, takut, khawatir, gembira dan sebagainya yang mungkin tidak di dapat di rumah; (d) Melalui interaksi, dapat mengembangkan berbagai keterampilan sosial; (e) Mendorong bersikap lebih dewasa karena adanya pola perilaku dan norma-norma tertentu dalam kelompok.

(50)

hanya memiliki efek langsung terhadap individu, namun juga mempengaruhi kultur, pengetahuan kolektif, dan norma serta nilai-nilai dari suatu masyarakat. Oleh karena itu, McQuail (1994) berpendapat bahwa fungsi utama media massa bagi masyarakat diantaranya adalah: (a) Informasi; (b) Korelasi; (c) Kesinambungan; (d) Hiburan; (e) Mobilisasi. Sedangkan fungsi utama bagi individu adalah: (a) Informasi; (b) Identitas pribadi; (c) Integrasi dan interaksi sosial; (d) Hiburan. Sementara itu, secara lebih spesifik Arnett dalam Santrock (2001) menyebutkan fungsi media bagi generasi muda adalah: (a) Hiburan; (b) Informasi; (c) Sensasi; (d) Fungsi kopi. Dua cara kopi yang paling terkenal adalah ”mendengarkan musik” dan ”menonton televisi”; (e) Gender-role modeling; (f)

Youth culture identification. Berikut beberapa media massa berdasarkan paradigma lama dan paradigma baru (Nurudin, 2007):

(51)

Gambar 6. Media Massa Paradigma Baru (Nurudin, 2007)

5) Agen-agen lainnya, antara lain: religi, lingkungan kerja, dan negara.

Berdasarkan fungsinya, pesan-pesan yang disampaikan oleh agen sosialisasi tersebut berlainan dan tidak selamanya sejalan satu sama lain. Apa yang diajarkan oleh keluarga mungkin saja berbeda dan bisa jadi bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh agen sosialisasi lain. Sehingga, sangat sulit untuk menentukan manakah di antara agen-agen sosialisasi tersebut yang paling mempengaruhi konsep diri seseorang.

Meski demikian, pada dasarnya sosialisasi memiliki dua fungsi utama yaitu

(52)

Oleh karena itu, Lull (1989) mengemukakan bahwa musik, sebagai agen sosialisasi dan komunikasi, mempengaruhi sosialisasi dalam dua sisi, yang pertama berkaitan dengan peran musik terhadap munculnya konsep diri atau identitas diri para audiens serta dampak isi pesan yang ditunjukkan generasi muda melalui musik populer. Dengan demikian, secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa musik subkultur, sebagai kekuatan sosial, memiliki kemampuan mempengaruhi proses sosialisasi seorang individu yang menjadi audiensnya dengan membentuk konsep diri atau identitas serta melestarikan budaya subkultur itu sendiri melalui simbol-simbol signifikan yang ada di dalamnya. Sehingga, keterlibatan individu secara aktif dengan suatu musik, memberikan makna khusus dan meningkatkan potensinya sebagai agen sosialisasi.

2. 4. 2. Musik dan Sosialisasi Generasi Muda

Individu oleh Berger dan Luckman (1990) dikatakan mengalami dua proses sosialisasi, yaitu sosialisasi primer dan sekunder. Sosialisasi primer dialami individu pada masa anak-anak, yang dengan itu, ia menjadi anggota masyarakat. Sedangkan sosialisasi sekunder adalah proses lanjutan dari sosialisasi primer yang mengimbas ke individu, yang sudah disosialisasikan ke dalam sektor-sektor baru di dalam dunia obyektif masyarakat. Oleh karena itu, dalam setiap kehidupan individu memang terdapat suatu urutan waktu, dan selama itu pula ia diimbaskan sebagai partisipan ke dalam dialektika masyarakat, eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.

(53)

(Berger dan Luckmann, 1990). Karena, bahasa merupakan isi dan alat yang paling penting dalam sosialisasi. Melalui bahasa seluruh dunia bisa diaktualisasikan setiap saat serta berbagai skema motivasi dan interpretasi diinternalisasikan yang pada akhirnya ada penginternalisasian perangkat legitimasi. Anak mengidentifikasi dirinya dengan anggota keluarga yang mempengaruhinya dengan berbagai cara yang emosional. Anak-anak mengalihkan peran dan sikap orang tua atau orang-orang berpengaruh (significant others) yang mempengaruhi mereka. Artinya, anak menginternalisasi dan menjadikan peran serta sikap orang tua sebagai sikapnya sendiri. Melalui internalisasi seperti ini, anak mampu melakukan identifikasi terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian, dalam sosialisasi primer inilah dunia pertama individu terbentuk.

Sampai di sini, tidak ada masalah identifikasi. Dalam sosialisasi primer, orang-orang berpengaruh tidak dapat dipilih, si anak tidak memahami orang lain yang berpengaruh sebagai-fungsionaris-fungsionaris kelembagaan, tetapi semata-mata hanya sebagai perantara bagi kenyataan. Anak menginternalisasi dunia orang tua sebagai dunia satu-satunya dan tidak sebagai dunia yang termasuk dalam suatu konteks kelembagaan yang spesifik. Pada masa ini, dunia terbentuk begitu rupa sehingga menanamkan dalam diri individu suatu struktur kesadaran di mana ia dapat menaruh kepercayaan bahwa ’everythings is all right’ (tidak apa-apa). Penemuan individu di belakang hari bahwa ada hal-hal yang sama sekali tidak ”all right” mungkin akan sangat atau tidak begitu mengejutkan, tergantung kepada kondisi biografisnya (Berger dan Luckman, 1990).

(54)

lagi internalisasi-internalisasi berikutnya - atau sosialisasi sekunder - dalam biografi selanjutnya (Berger dan Luckman, 1990).

Pada masa transisi ini, menurut Berger dan Luckman (1990), berbagai krisis dapat terjadi yang sesungguhnya disebabkan oleh timbulnya kesadaran bahwa dunia orang tua bukanlah satu-satunya dunia yang ada. Di sini, perkembangan usia individu menjadi seorang pemuda, menandakan suatu masa dalam kehidupan generasi muda dimana banyak perubahan terjadi. Tidak hanya fisik, namun orientasi mental dan aktivitaslifestylejuga mengalami perubahan. Pada masa ini pula, bagi sebagian besar anak muda, merupakan suatu masa yang penuh gejolak serta resistensi. Mereka mencari kesenangan serta berusaha menemukan jalan untuk menyalurkan ekspresi kreatif yang tidak mereka dapatkan baik di rumah atau pun sekolah. Keluarga dan televisi, dua entitas yang tidak terpisahkan dalam dunia barat, tidak lagi menyediakan hal-hal yang mereka cari. Kontak dengan keluarga semakin berkurang, sebaliknya terjadi peningkatan interaksi dengan peer group dan juga mobilitas dalam rutinitas sehari-hari.

Gambar

Gambar 2. Ilustrasi pada cover cd Napalm Death dan Tengkorak
Gambar 4. Aktivitas slamming
Gambar 5. Media Massa Paradigma Lama (Nurudin, 2007)
Gambar 6. Media Massa Paradigma Baru (Nurudin, 2007)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada konteks Indonesia, pendidikan karakter kesadaran anti korupsi dapat dianggap sebagai strategi penting yang memungkinkan dijalankan secara integrative dengan pendidikan

Cikondang adalah spesies yang sudah secara alami ada dan dipelihara oleh masyarakat Beberapa spesies tumbuhan yang digunakan merupakan spesies yang masuk ke

Sisi positif dari menonton televisi adalah bahwa di beberapa tayangan tertentu dapat menjadi sumber pelajaran yang membantu kita, terutama anak dan remaja untuk memahami dunia

Luonnonvarakeskuksen perustamishankkeen johtoryhmä asetti toisessa kokouksessaan 13.3.2013 kahdeksan temaattista projektia yhdistymisen toteuttamiseksi: 1) Tutkimus-

tanah maupun solar, belum banyak terpikirkan lebih lanjut penggunaan limbah (hasil sam- ping) dalam proses pembuatan minyak jarak pagar seperti bung- kil yang

Malaysian palm oil futures rebounded from early losses to rise over 1 percent in evening trade on Monday, as traders forecast improving demand in January and lower production in

'eluruh Balita dan  balita BM Bidan Koordinator ATK Transport Dokumentasi 'nack Bidan uni ; Desember !"1# $ p. Melaksanakan re)resing kader  posyandu Agar pengetahuan kader

start mining. The more consumats engage in min- ing, the larger the chances for uncertain con- sumats who are fishing and will also start mining on the basis of imitation or