• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Daya Dukung Lingkungan dan Kelayakan Ekonomi Unit Pengolahan Sampah “Mutu Elok” di Perumahan Cipinang Elok Jakarta Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Daya Dukung Lingkungan dan Kelayakan Ekonomi Unit Pengolahan Sampah “Mutu Elok” di Perumahan Cipinang Elok Jakarta Timur"

Copied!
213
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Jumlah penduduk Jakarta cenderung meningkat setiap tahun. Peningkatan jumlah penduduk yang disertai perubahan pola konsumsi dan gaya hidup turut meningkatkan jumlah sampah yang dihasilkan oleh warga Jakarta seperti yang terlihat pada tabel berikut ini:

Tabel 1. Jumlah Penduduk dan Timbulan Sampah di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2007-2010

Sumber: * Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta (2011)1

** BPS (2011)

*** Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta (2011)

Tabel di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2010, jumlah sampah yang dihasilkan oleh penduduk Jakarta sangat tinggi, yaitu 24.773 /hari. Dalam 2 hari, jumlah timbulan2 sampah ini setara dengan volume Candi Borobudur sebesar 55.000 . Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta (2005) memprediksi jumlah timbulan sampah akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk hingga mencapai 26.720 /hari pada tahun 2015.

Di sisi lain, keterbatasan lahan dan mahalnya biaya operasional menyulitkan pemerintah dalam mengelola sampah yang dihasilkan. Pada tahun 2009, Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)3 Bantargebang yang memiliki

1

BPS Provinsi DKI Jakarta.

http://jakarta.bps.go.id/index.php?bWVudT0yMzA0JnBhZ2U9ZGF0YSZzdWI9MDQmaWQ9

MzE= diakses pada tanggal 5 Oktober 2011

2

Banyaknya sampah yang timbul dari masyarakat. Dapat dinyatakan dalam satuan volume maupun berat kapita per hari, atau per luas bangunan, atau per panjang jalan

3

(2)

2 daya tampung 4.500 ton per hari harus menampung sampah sebanyak 6.400 ton yang dihasilkan oleh penduduk Jakarta setiap harinya. Sebanyak 400 ton timbulan sampah dapat dibuang ke TPST Cilincing, tetapi masih menyisakan kelebihan 1.500 ton yang menyebabkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus mengeluarkan dana 700 miliyar untuk membuka TPST baru di daerah Ciangir. Dalam menjamin kelancaran pengangkutan sampah ke TPST, pemerintah DKI Jakarta juga mengalami masalah ketersediaan truk sampah. Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta memiliki 800 unit truk sampah, tetapi hanya 480 unit yang masih dapat digunakan karena selebihnya sudah terlalu tua untuk beroperasi. Jumlah ini tidak sebanding dengan titik pengangkutan sampah di lima wilayah administrasi Jakarta yang mencapai 600 pool4. Keterbatasan truk sampah menyebabkan sebagian sampah tidak atau terlambat diangkut, sehingga menimbulkan pencemaran.

Peningkatan jumlah timbulan sampah menimbulkan tekanan terhadap daya dukung lingkungan. Keterbatasan kapasitas pelayanan dalam mengimbangi jumlah timbulan memperparah tekanan dan menurunkan kemampuan lingkungan dalam mendukung organisme di dalamnya secara lestari dan berkelanjutan. Jika daya dukung lingkungan terlampaui, ekosistem akan terganggu dan mengancam keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya. Tragedi ledakan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah dan longsor sampah di TPST Bantargebang merupakan bukti nyata terlampauinya daya dukung lingkungan oleh sampah.

4

Lenny. http://www.beritajakarta.com/v_ind/berita_print.asp?nNewsId=34969 diakses pada

(3)

3 Mengurangi sampah mulai dari sumber merupakan solusi yang dipilih pemerintah dalam memecahkan permasalahan sampah. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, pemerintah menegaskan bahwa pengelolaan sampah kini harus meliputi upaya pengurangan sampah dari sumber dengan cara melibatkan partisipasi masyarakat dan pelaku usaha. Undang-undang ini mengubah konsep pengelolaan sampah jakarta dari kumpul-angkut-buang menjadi pengelolaan sampah 3R (Reduce, Reuse, Recycle) berbasis masyarakat. Pengelolaan tersebut mendorong masyarakat dan pelaku usaha untuk berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sampah, mulai dari mengurangi sampah yang dibuang (reduce), memilah sampah dan menggunakan kembali sampah yang masih dapat digunakan (reuse), hingga mengolah sampah menjadi bentuk lain yang berguna (recycle). Cara ini diharapkan dapat efektif mengurangi jumlah timbulan sampah, mengingat 62,27 persen sampah yang dihasilkan oleh Jakarta berasal dari sampah rumah tangga (Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta, 2005).

Akan tetapi, pelaksanaan 3R berbasis masyarakat di Jakarta hingga kini masih belum optimal5. Banyak pelaku usaha termasuk pengembang kawasan (developer) yang tidak mau menyediakan fasilitas pengelolaan sampah 3R, terutama untuk kegiatan pengolahan. Sampai saat ini, baru ada satu pengembang kawasan yang mau menyediakan fasilitas pengolahan6. Kontribusi masyarakat terhadap kegiatan pemilahan dan pengolahan sampah juga dapat dikatakan minim. Hal ini karena kegiatan pengolahan sampah dianggap tidak menguntungkan, sehingga tidak menarik untuk dilakukan.

5

Bataviase. http://bataviase.co.id/node/631834 diakses pada tanggal 5 0ktober 2011

6

(4)

4 Padahal jika dikaji lebih lanjut, kegiatan pengolahan sampah sebenarnya memberikan sejumlah manfaat yang membawa keuntungan bagi pemerintah, masyarakat, dan pengembang kawasan. Selain mengurangi sampah dan memperbaiki daya dukung lingkungan, hasil dari pengolahan sampah dapat menjadi sumber penghasilan. Kegiatan pengolahan sampah juga memberikan banyak manfaat lingkungan, tetapi manfaat-manfaat tidak diperhitungkan dalam analisis finansial.

Oleh karena itu perlu dilakukan analisis lebih mendalam mengenai pengelolaan sampah 3R berbasis masyarakat, khususnya kegiatan pengolahan. Manfaat lingkungan yang dihasilkan oleh kegiatan pengolahan perlu diperhitungkan agar manfaat pengolahan dapat terlihat secara keseluruhan.

1.2. Perumusan Masalah

Jumlah timbulan sampah Jakarta terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Keterbatasan luas lahan dan mahalnya biaya pengelolaan menyulitkan pemerintah dalam mengelola seluruh sampah yang dihasilkan. Ketidakmampuan pemerintah memperparah tekanan yang ditimbulkan sampah terhadap daya dukung lingkungan. Jika jumlah timbulan sampah melampaui daya dukung lingkungan, ekosistem akan terganggu dan mengancam keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya. Untuk mengatasi masalah ini, sampah harus dikurangi dengan pengelolaan sampah 3R berbasis masyarakat. Melalui pengelolaan sampah tersebut, sampah dikurangi dari sumbernya dengan cara mengajak masyarakat dan pelaku usaha melakukan kegiatan 3R.

(5)

5 yang mau berpartisipasi dalam pengelolaan sampah 3R, khususnya dalam kegiatan pengolahan. Sebagian besar masyarakat dan pelaku usaha menganggap kegiatan pengolahan tidak cukup menguntungkan, sehingga kurang menarik untuk dilakukan.

Perumahan Cipinang Elok merupakan salah satu kompleks perumahan yang menerapkan pengelolaan sampah 3R berbasis masyarakat di Jakarta. Warga berupaya mengurangi timbulan sampah yang dibuang ke TPST dengan mendirikan Unit Pengolahan Sampah (UPS) yang berfungsi mengolah sampah organik menjadi kompos. Kompos kemudian dipasarkan ke warga sekitar dengan nama dagang “Mutu Elok”. Proyek yang diadakan sejak tahun 2005 ini sering dijadikan wilayah percontohan atau studi banding oleh LSM dan warga perumahan wilayah lainnya.

Daya dukung lingkungan harus menjadi salah satu pertimbangan dalam pendirian UPS “Mutu Elok”. Kegiatan pengolahan UPS “Mutu Elok” harus dintegrasikan dengan daya dukung lingkungan agar alokasi kegiatan sesuai dengan kondisi dan kapasitas sumberdaya di wilayah UPS tersebut. Pengintegrasian juga bertujuan untuk menghindari kerusakan sumberdaya dan ekosistem oleh kegiatan pengolahan yang dapat mengganggu kenyamanan warga dan menyebabkan kegiatan pengolahan tidak berkelanjutan.

(6)

6 dari sudut pandang ekonomi karena UPS memberikan banyak manfaat eksternal7 berupa manfaat lingkungan yang tidak diperhitungkan dalam analisis finansial. Pengabaikan manfaat eksternal oleh analisis finansial dapat menyebabkan kelayakan UPS dinilai terlalu rendah (underestimate).

Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian meliputi:

1. Bagaimana pengelolaan sampah 3R berbasis masyarakat di Perumahan Cipinang Elok?

2. Bagaimana daya dukung lingkungan UPS “Mutu Elok” dan bagaimana pengaruh UPS “Mutu Elok” terhadap daya dukung lingkungan Perumahan Cipinang Elok?

3. Bagaimana kelayakan ekonomi UPS “Mutu Elok”? 1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Memperoleh gambaran pengelolaan sampah 3R berbasis masyarakat yang diterapkan di Perumahan Cipinang Elok;

2. Menganalisis daya dukung lingkungan UPS “Mutu Elok” dan pengaruh UPS “Mutu Elok” terhadap daya dukung lingkungan Perumahan Cipinang Elok; 3. Menganalisis kelayakan ekonomi UPS “Mutu Elok”.

7

(7)

7 1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Penulis dalam memberikan wawasan dan pengetahuan mengenai penerapan ilmu yang telah diberikan selama kuliah;

2. Pihak lain terutama pengembang kawasan dan masyarakat dalam memahami daya dukung lingkungan serta analisis kelayakan ekonomi suatu proyek yang berbasis lingkungan, dalam hal ini UPS;

3. Institusi swasta dan pemerintah dalam menyusun kebijakan lingkungan khususnya yang terkait dengan sampah.

1.5. Ruang Lingkup

1. Pelaksanaan pengelolaan sampah 3R berbasis masyarakat dianalisis hanya pada aspek teknis operasional.

2. Analisis terhadap daya dukung lingkungan dibatasi pada kemampuan lingkungan dalam menerima beban sampah dengan meninjau sarana prasarana dan respon warga terhadap UPS “Mutu Elok” sesuai dengan definisi daya dukung lingkungan menurut Soerjani et al. dan Khana dalam Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

3. Analisis kelayakan hanya dilakukan dari sudut pandang ekonomi. Hal ini dilakukan karena analisis kelayakan dari sudut pandang finansial telah dilakukan sebelumnya oleh Cahyani (2009).

4. Umur proyek UPS “Mutu Elok” adalah 20 tahun, ditentukan dari ketahanan bangungan UPS secara teknis.

(8)

8 6. Analisis kelayakan ekonomi menggunakan harga bayangan (shadow price)

karena dapat menggambarkan nilai ekonomi sesungguhnya dari suatu barang dan jasa.

7. Produksi kompos diasumsikan terjual semua.

8. Volume penggunaan kompos untuk mengisi LRB dari tahun 2011-2024 diasumsikan sama setiap tahunnya. Asumsi ini digunakan karena jumlah LRB selama delapan tahun ke depan tidak dapat diprediksikan.

9. Biaya untuk mendapatkan sampah sebagai bahan baku kompos diasumsikan nol. Biaya pengangkutan sampah dari rumah ke UPS “Mutu Elok” dapat dianggap sebagai biaya sampah, tetapi UPS “Mutu Elok”yang teletak satu lokasi dengan Tempat Penampungan Sementara (TPS) menyebabkan biaya ini harus diabaikan. Tanpa adanya proyek UPS “Mutu Elok”, sampah akan tetap diangkut ke TPS, sehingga keberadaan proyek UPS “Mutu Elok” tidak menimbulkan biaya tambahan pengangkutan sampah.

10. Pajak diasumsikan tidak ada.

(9)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan Klasifikasi Sampah

Sampah adalah istilah umum yang sering digunakan untuk menyatakan limbah padat. Sampah merupakan sisa-sisa bahan yang mengalami perlakuan-perlakuan, baik karena telah diambil bagian utamanya, karena pengolahan, maupun karena sudah tidak memberikan manfaat dari segi sosial ekonomi serta dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan terhadap lingkungan hidup (Hadiwiyoto, 1983).

Menurut Gelbert et al. (1996), sumber-sumber timbulan sampah terdiri dari:

1. Sampah pemukiman, yaitu sampah rumah tangga berupa sisa pengolahan makanan, perlengkapan rumah tangga bekas, kertas, kardus, gelas, kain, sampah kebun atau halaman, dan lain-lain;

2. Sampah pertanian dan perkebunan, terdiri dari sampah organik, sampah bahan kimia, dan sampah anorganik seperti plastik penutup tempat tumbuh-tumbuhan;

3. Sampah dari sisa bangunan dan konstruksi gedung, seperti kayu, triplek, semen, pasir, spesi, batu bata, ubin, besi, baja, kaca, dan kaleng;

4. Sampah dari perdagangan dan perkantoran, berupa bahan organik, kardus, pembungkus, kertas, toner fotokopi, pita printer, baterai, pita mesin ketik, klise film, komputer rusak, dan lain-lain;

(10)

10 perlakuan dan pengemasan produk berupa kertas, kayu, plastik, atau lap yang jenuh dengan pelarut untuk pembersihan.

Sedangkan berdasarkan tingkat penguraian, sampah pada umumnya dibagi menjadi dua macam (Hadiwiyoto, 1983):

1. Sampah organik, yaitu sampah yang mengandung senyawa-senyawa organik, karena tersusun dari unsur-unsur seperti C, H, O, N, dan sebagainya. Sampah organik umumnya dapat terurai secara alami oleh mikroorganisme, contohnya sisa makanan, karton, kain, karet, kulit, sampah halaman.

2. Sampah anorganik, yaitu sampah yang bahan kandungannya bersifat anorganik dan umumnya sulit terurai oleh mikroorganisme. Contohnya kaca, kaleng, alumunium, debu, dan logam lainnya.

2.2. Sistem Pengelolaan Sampah

(11)

11 2.3. Standar Pengelolaan Sampah

2.3.1. Standar Teknis Operasional Pengelolaan Sampah

Standar teknis operasional pengelolaan sampah untuk kawasan permukiman diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 3242-2008 tentang Pengelolaan Sampah di Permukiman dan SNI Nomor 19-2454-2002 tentang Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan. Menurut kedua SNI tersebut, pengelolaan sampah kawasan permukiman terdiri dari serangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara integral dan terpadu, meliputi: 1. Pewadahan

Pewadahan adalah aktivitas menampung sampah sementara dalam suatu wadah individual atau komunal di tempat sumber sampah. Pewadahan terdiri dari dua macam, yaitu pewadahan individual dan pewadahan komunal. Tiap rumah minimal memiliki 2 buah wadah sampah untuk memisahkan sampah organik dengan anorganik.

2. Pengumpulan

(12)

12 Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2002)

Gambar 1. Diagram Pola Pengumpulan Sampah Menurut SNI 19-2454-2002 3. Pengolahan dan Daur Ulang di Sumber dan TPS

Mekanisme pengolahan dan daur ulang sampah di sumber dan TPS dapat dilakukan dengan: 1) pengomposan skala rumah tangga dan daur ulang sampah anorganik, sesuai dengan tipe rumah atau luas halaman yang ada; 2) pengomposan skala lingkungan di TPS; 3) daur ulang sampah anorganik di TPS.

4. Pemindahan

Pemindahan sampah adalah proses memindahkan sampah hasil pengumpulan ke dalam alat pengangkut untuk dibawa ke tempat pembuangan akhir. Pemindahan sampah dapat dilakukan di TPS atau TPST dan di lokasi wadah sampah komunal.

5. Pengangkutan

(13)

13 wadah komunal dilakukan bila kontainer8 telah penuh dan sesuai jadwal pengangkutan yang telah dikonfirmasikan dengan pengelola sampah kota. Menurut SNI 19-2454-2002, terdapat tiga metode pembuangan akhir yang dapat dilakukan pada TPST atau TPA, yaitu: (1) penimbunan terkendali (controlled landfill) yang dilengkapi pengolahan dan gas; (2) lahan urug saniter (sanitary landfill) yang diengkapi pengolahan lindi dan gas; (3) penimbunan dengan sistem kolam (fakultatif, maturasi) untuk daerah pasang-surut.

2.3.2. Spesifikasi Peralatan dan Bangunan

Standar peralatan dan bangunan untuk pengelolaan sampah perumahan diatur dalam SNI 3242-2008. Spesifikasi peralatan dan bangunan menurut SNI 3242-2008 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Spesifikasi Peralatan dan Bangunan Menurut SNI 3242-2008

No. Peralatan/Bangunan Kapasitas Pelayanan

Volume KK Jiwa 6. Bangunan pendaur ulang sampah

skala lingkungan

150 600 3.000

Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2008)

Secara matematis, rumus untuk menghitung luas bangunan pendaur ulang skala lingkungan luas 150 adalah sebagai berikut:

8

(14)

14

Keterangan:

C = Jumlah Rumah Sederhana

Vbk = Volume 1 cetakan bahan kompos 2.4. Kompos

Pengomposan adalah sistem pengolahan sampah organik dengan bantuan mikroorganisme, sehingga membentuk pupuk organik (Artiningsih, 2008). Sampah kota bisa digunakan sebagai kompos dengan catatan sampah kota harus dipilah dengan memisahkan sampah yang sukar membusuk terlebih dahulu sebelum diproses menjadi kompos. Jadi, sampah yang diolah menjadi kompos hanya sampah yang mudah membusuk (Wied dalam Sulistyorini, 2005).

Beberapa manfaat kompos menurut Isroi antara lain9: (1) menghemat biaya transportasi dan penimbunan limbah; (2) mengurangi kebutuhan lahan untuk penimbunan; (3) mengurangi volume atau ukuran limbah; (4) memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari pada bahan asalnya; (5) mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah; (6) meningkatkan kesuburan tanah; (7) memperbaiki struktur dan karakteristik tanah.

2.5. Pengertian Daya Dukung Lingkungan

Menurut Soerjani et al. (1987), daya dukung lingkungan adalah batas teratas dari pertumbuhan suatu populasi saat jumlah populasi tidak dapat didukung lagi oleh sarana, sumber daya dan lingkungan yang ada. Menurut Khana dalam KLH (2010) daya dukung lingkungan dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk mendapatkan hasil atau produk di suatu daerah dari

9

Isroi. http://www.ipard.com/art_perkebun/KomposLimbahPadatOrganik.pdf diakses pada tangga

(15)

15 sumberdaya alam yang terbatas dengan mempertahankan jumlah dan kualitas sumberdayanya.

Sesuai dengan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa daya dukung lingkungan tidak hanya diukur dari kemampuan lingkungan dan sumberdaya alam dalam mendukung kehidupan manusia, tetapi juga dari kemampuan menerima beban pencemaran dan bangunan. Dengan demikian, daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi dua komponen yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity), seperti yang

teruang pada Gambar 2 (KLH, 2010).

Sumber: Khana dalam KLH (2010)

Gambar 2. Daya Dukung Lingkungan Sebagai Dasar Pembangunan Berkelanjutan

2.6. Hubungan Daya Dukung Lingkungan dengan Pengetahuan dan Teknologi

Masuknya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) serta energi dalam cara pemanfaatan suatu sumberdaya dapat meningkatkan daya dukung suatu

(16)

16 lingkungan. Akan tetapi, karena keterbatasan dari potensi sumberdaya alam, ekosistem, dan IPTEK yang dikuasai manusia itu sendiri menyebabkan peningkatan daya dukung juga dapat bersifat signoid, bahkan pada ujung grafik signoid dapat menurun seperti pada Gambar 3 (KLH, 2010).

Sumber: KLH (2010)

Gambar 3. Hubungan Peningkatan Daya Dukung dan Penggunaan IPTEK 2.7. Penentuan Daya Dukung Lingkungan

Penentuan daya dukung lingkungan hidup dalam pengendalian perkembangan kawasan didasarkan pada tiga komponen, yaitu kesesuaian dan ketersediaan lahan, kesesuaian mutu dan ketersediaan air, dan ketersediaan sarana prasarana. Apabila salah satu dari ketiga komponen tersebut terlampaui, maka dapat diindikasikan bahwa daya dukung lingkungan di kawasan tersebut telah terlampaui (KLH, 2010).

Penentuan daya dukung lingkungan dapat dilakukan dengan mendasarkan tingkat ketersediaan sarana prasarana untuk pemenuhan kebutuhan pada setiap jenis kawasan sesuai peruntukannya. Apabila terdapat kesesuaian, maka dapat diindikasikan bahwa daya dukung lingkungan berada dalam keadaan belum terlampaui. Tetapi apabila sebaliknya, maka dapat diindikasikan bahwa daya dukung lingkungan telah terlampaui (KLH, 2010). Untuk lebih jelasnya,

K

ena

ik

an Daya D

u

kung

(17)

17 penentuan daya dukung lingkungan berdasarkan ketersediaan sarana prasarana dapat dilihat pada Gambar 4.

Sumber: KLH (2010)

Gambar 4. Diagram Penentuan Daya Dukung Lingkungan dengan Pendekatan Kesesuaian Ketersediaan Sarana Prasarana

2.8. Analisis Kelayakan Ekonomi

Perhitungan biaya dan manfaat proyek pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua pendekatan, tergantung pada pihak yang berkepentingan langsung dalam proyek. Suatu perhitungan dikatakan privat atau analisis finansial jika yang berkepentingan langsung dalam biaya dan manfaat proyek adalah individu atau pengusaha. Dalam hal ini, yang dihitung sebagai manfaat adalah apa yang diperoleh orang-orang atau badan-badan swasta yang menanamkan modalnya dalam proyek tersebut. Sebaliknya, suatu perhitungan dikatakan sosial atau ekonomi jika yang berkepentingan langsung dalam biaya dan manfaat proyek adalah pemerintah atau masyarakat. Dalam hal ini, yang dihitung adalah seluruh manfaat yang terjadi dalam masyarakat sebagai hasil dari proyek dan semua biaya yang terpakai terlepas dari siapa saja yang menikmati manfaat dan siapa saja yang mengorbankan sumber-sumber tersebut (Gray, 2007).

Setiap kebijakan program atau keputusan ekonomi harus dianalisis dalam rangka melihat pengaruh-pengaruh yang ada. Analisis ekonomi adalah suatu alat yang digunakan oleh para ahli untuk memberikan arahan dalam proses-proses

(18)

18 pengambilan keputusan secara nasional serta menganalisis kebijakan ekonomi. Analisis ekonomi juga digunakan untuk mengevaluasi kontribusi dari kebijakan-kebijakan yang ada, keputusan-keputusan atau proyek yang memberikan kemakmuran bagi masyarakat. Nilai dari setiap barang atau sumberdaya yang digunakan atau dihasilkan oleh proyek dinilai berdasarkan kontribusinya terhadap kemakmuran negara (Maturana, 2005).

Menurut Gray (2007) pada dasarnya perhitungan dalam analisis privat dan analisis ekonomi berbeda menurut lima hal, yaitu:

1. Harga

Dalam analisis ekonomi, harga yang digunakan adalah harga bayangan yang merupakan nilai tertinggi suatu produk atau faktor produksi dalam penggunaan alternatif terbaik. Menurut Husnan dan Suwarsono (2000), beberapa cara penggunaan harga bayangan antara lain sebagai berikut10:

a) Harga bayangan yang digunakan untuk input output diperdagangkan adalah harga internasional atau border price yang dinyatakan dalam satuan moneter setempat pada kurs pasar. Menurut Djamin (2003), border price yang relevan untuk input dan output impor adalah harga

CIF (Cost, Insurance and Freight). Sementara untuk input dan output ekspor, border price yang relevan digunakan adalah harga FOB (Free On Board) pada titik masuk pelabuhan ekspor;

b) Harga bayangan dari input tidak diperdagangkan adalah consumer willingness to pay (WTP) atau kesediaan konsumen untuk membayar,

10

(19)

19 dalam hal ini adalah kesediaan pihak yang berkepentingan dalam proyek untuk membayar;

c) Harga bayangan untuk biaya tenaga kerja adalah berapa sektor lain bersedia membayar untuk tenaga kerja tersebut. Jika proyek tersebut menciptakan tenaga kerja, maka harga bayangan tenaga kerja jauh lebih rendah dibandingkan dengan upah yang dibayarkan perusahaan kepada tenaga kerja;

d) Harga bayangan modal untuk lahan diperhitungkan dari biaya pengorbanan produksi (production foregone), yaitu hasil produksi dari tanah apabila tidak digunakan untuk proyek. Untuk tanah yang tidak menghasilkan, harga bayangan dapat berupa harga sewa dari tanah tersebut;

e) Harga bayangan untuk nilai valuta asing adalah nilai resmi yang ditentukan oleh lembaga pemerintah yang berwenang dikali dengan faktor konversi.

2. Pajak

(20)

20 yang dibayarkan konsumen, harus dikurangi dalam menghitung harga ekonomi.

3. Subsidi

Pada analisis ekonomi, subsidi dianggap sebagai sumber-sumber yang dialihkan dari masyarakat untuk digunakan dalam proyek. Oleh karena itu subsidi yang diterima proyek adalah beban masyarakat, sehingga dari segi perhitungan ekonomi tidak mengurangi biaya proyek.

4. Biaya Investasi dan Pelunasan Pinjaman

Pada analisis ekonomi, seluruh biaya investasi baik yang berasal dari modal yang dihimpun dari dalam atau luar negeri maupun dari modal saham atau pinjaman, dianggap sebagai biaya proyek pada saat dikeluarkannya. Jadi, pelunasan pinjaman yang digunakan untuk membiayai sebagian investasi tersebut diabaikan dalam perhitungan biaya ekonomi demi menghindari perhitungan ganda (double-counting). Terdapat pengecualian jika bagian investasi dibiayai dengan pinjaman luar negeri yang diperuntukkan hanya untuk proyek itu sendiri. Dana pinjaman tidak boleh dipakai untuk proyek lain apabila proyek tersebut tidak jadi dilaksanakan. Sama halnya dengan perhitungan privat, biaya pinjaman luar negeri yang diperuntukkan hanya untuk proyek termaksud diperhitungkan dalam bentuk arus pelunasan pinjaman.

5. Bunga

(21)

21 dari manfaat ekonomi. Akan tetapi, jika bunga berasal dari peminjaman luar negeri yang terikat dan tersedia hanya untuk proyek tertentu, bunga dibayarkan sebagai biaya proyek pada tahun pertama.

2.9. Penelitian Terdahulu

(22)

22 Penelitian mengenai analisis kelayakan finansial telah dilakukan oleh Kurniawan (1999) dengan mengambil studi kasus usaha pengolahan sampah yang terdapat di TPST Bantargebang. Kurniawan menyimpulkan bahwa dengan kapasitas produksi 540 ton kompos per tahun dan harga jual Rp 1.000 per kg, usaha pengolahan sampah memperoleh penerimaan total sebesar Rp 540.000.000 per tahun. Nilai Benefit Cost Ratio (B/C) yang diperoleh adalah 1,05 yang berarti setiap Rp1,00 biaya yang dikeluarkan akan diperoleh keuntungan sebesar Rp 1,05. Payback periode hasil perhitungan adalah 0,28 tahun atau tiga bulan lebih 4 hari,

yang artinya modal usaha pembuatan kompos akan kembali dalam jangka waktu 3 bulan lebih 4 hari.

(23)

23 1.306.187,50, 1,22 dan 12 persen, sehingga layak untuk dijalankan. Pemberian subsidi harga kompos, peningkatan alokasi dana dari kas warga, dan peningkatan tarif retribusi kebersihan akan meningkatkan kelayakan finansial dari UPS “Mutu Elok”. Sebaliknya, penurunan alokasi dana dari kas warga dan penurunan tarif retribusi kebersihan akan menurunkan kelayakan finansial UPS “Mutu Elok”. Penjelasan selengkapya mengenai penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Meskipun penelitian mengenai daya dukung lingkungan dan analisis kelayakan sampah telah dilakukan sebelumnya, penelitian ini memiliki perbedaan, sehingga tetap penting untuk dilakukan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah sebagai berikut:

1. Analisis kelayakan UPS dilakukan dari sudut pandang ekonomi dengan memperhitungkan manfaat dan biaya eksternal11;

2. Penelitian ini menganalisis daya dukung lingkungan UPS “Mutu Elok” dengan memfokuskan analisis pada kemampuan lingkungan dalam menerima beban sampah;

3. Penelitian menganalisis pengaruh UPS “Mutu Elok” terhadap daya dukung lingkungan Perumahan Cipinang Elok.

11

(24)

24 Tabel 3. Matriks Penelitian Terdahulu

Penulis Judul Metode Hasil

1. Wibowo Evaluasi Daya Dukung Lingkungan Hidup Kota Jakarta

Expost facto Daya dukung Jakarta dalam memperbaiki suhu turun dari diatas 100 persen pada tahun 1940 menjadi 86,76 persen pada tahun 2003, sedangkan kapasitas daya dukung menyerap air turun dari 100 persen menjadi 66,25 persen

2. Inkantriani Evaluasi Daya Dukung Lingkungan Zona Industri Genuk Semarang

Pembobotan dan distribusi

frekuensi

Kawasan industri Terboyo Semarang, Terboyo Megah, dan LIK Buangan memiliki tingkat daya dukung yang rendah karena nilainya berada pada kisaran 20-46, sedangkan wilayah industri sepanjang jalan Kaligawe memiliki tingkat daya dukung lingkungan sedang karena nilainya berada pada kisaran 47-73

3. Kurniawan Analisis Kelayakan Usaha Pengolahan Sampah Kota

Usaha pengolahan sampah memiliki penerimaan total sebesar Rp 540.000.000 per tahun dan Net B/C sebesar 1,05. Payback periode usaha ini adalah 0,28 tahun atau 3 bulan lebih 4 hari, yang artinya modal usaha pembuatan kompos akan kembali dalam jangka waktu 3 bulan lebih 4 hari

Jika luas tempat tinggal dimasukkan sebagai variabel, maka variabel yang mempengaruhi jumlah timbulan adalah pola hidup, jumlah anggota keluarga, pendapatan rumah tangga, pengeluaran konsumsi rumah tangga, jenis sampah dan retribusi kebersihan. Sementara jika luas tempat tinggal tidak dimasukkan sebagai variabel, maka variabel yang mempengaruhi jumlah timbulan adalah pola hidup, jumlah anggota keluarga, pendapatan rumah tangga, pengeluaran konsumsi rumah tangga dan retribusi kebersihan dan jenis sampah. Pada tingkat suku bunga 10 persen, UPS “Mutu Elok” layak dijalankan dengan nilai NPV, Net B/C dan IRR masing-masing sebesar Rp 1.306.187,50, 1,22 dan 12 persen

(25)

25 BAB III

KERANGKA PEMIKIRAN

Jumlah timbulan sampah yang dihasilkan penduduk Jakarta terus meningkat setiap tahunnya seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Keterbatasan lahan dan mahalnya biaya operasional menyebabkan pemerintah tidak dapat mengimbangi peningkatan timbulan sampah dengan peningkatan pelayanan pengelolaan sampah. Jika terus dibiarkan, jumlah timbulan sampah akan melampaui daya dukung lingkungan dan menimbulkan kerusakan pada sumberdaya dan ekosistem.

Mengurangi timbulan sampah merupakan langkah penyelesaian yang dapat diambil untuk keluar dari masalah ini. Agar efektif, sampah harus dikurangi sejak dari sumber dengan melibatkan seluruh pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun pelaku usaha. Hal ini juga telah ditegaskan pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Pengelolaan sampah 3R berbasis masyarakat merupakan paradigma baru dalam pengelolaan sampah yang dibuat untuk mengakomodasi upaya pengurangan sampah sejak dari sumber. Pelaksanaan pengelolaan sampah 3R berbasis masyarakat di Jakarta masih belum optimal karena masyarakat dan pelaku usaha dalam pengelolaan sampah 3R masih minim, khususnya untuk kegiatan pengolahan. Masyarakat dan pengembang kawasan tidak tertarik melakukan pengolahan sampah karena dianggap tidak menguntungkan.

(26)

26 dengan menggunakan Perumahan Cipinang Elok sebagai studi kasus, analisis lebih mendalam mengenai pengelolaan sampah 3R berbasis masyarakat akan dilakukan, khususnya untuk kegiatan pengolahan. Manfaat lingkungan yang dihasilkan oleh kegiatan pengolahan akan diperhitungkan agar manfaat pengolahan dapat terlihat secara keseluruhan.

Penelitian diawali dengan analisis terhadap pelaksanaan pengelolaan sampah 3R berbasis masyarakat yang diterapkan di Perumahan Cipinang Elok. Analisis dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap teknis operasional pengelolaan sampah, mulai dari sistem pewadahan di tiap rumah tangga hingga pembuangan akhir ke TPST Bantargebang. Seluruh hasil analisis disajikan secara deskriptif.

Penelitian kemudian dilanjutkan dengan analisis daya dukung lingkungan UPS “Mutu Elok” dengan membatasi lingkup analisis pada kemampuan lingkungan dalam menerima beban sampah. Kegiatan pengolahan UPS “Mutu Elok” harus dintegrasikan dengan daya dukung lingkungan agar alokasi kegiatan

sesuai dengan kondisi dan kapasitas sumberdaya di wilayah UPS tersebut. Pengintegrasian juga bertujuan untuk menghindari kerusakan sumberdaya dan ekosistem oleh kegiatan pengolahan yang dapat mengganggu kenyamanan warga dan menyebabkan kegiatan pengolahan tidak berkelanjutan. Daya dukung lingkungan UPS “Mutu Elok” dianalisis dengan cara mengkaji sarana dan prasarana yang dimiliki UPS “Mutu Elok”. Respon warga dianalisis untuk melihat

(27)

27 IPTEK berupa UPS dapat meningkatkan daya dukung lingkungan perumahan. Seluruh analisis daya dukung lingkungan disajikan secara deskriptif.

Terakhir, kelayakan ekonomi UPS “Mutu Elok” dianalisis dengan menggunakan kriteria NPV, Net B/C, dan IRR. Hasil dari penilaian tersebut akan menentukan layak tidaknya UPS “Mutu Elok” tersebut dijalankan. Setelah itu, analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat apakah UPS “Mutu Elok” masih layak dijalankan seandainya terjadi perubahan-perubahan.

(28)

28 Gambar 5. Diagram Alir Kerangka Pemikiran

(29)

29 BAB IV

METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu

Daerah penelitian mencakup Perumahan Cipinang Elok RW 10, Kelurahan Cipinang Muara, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan: (1) terdapat UPS pada lokasi tersebut; (2) penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dari ketua RW setempat, sehingga memudahkan peneliti untuk melakukan penelitian. Pengambilan data dilaksanakan dari bulan Agustus–September 2011.

4.2. Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi lapang dan wawancara dengan responden menggunakan kuisioner. Sementara data sekunder diperoleh melalui studi literatur yang didapatkan dari berbagai sumber yang relevan dan instansi yang terkait dengan permasalahan. Sumber-sumber relevan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari buku, laporan, dan internet. Sementara, instansi yang dijadikan sumber dalam penelitian ini adalah RW Cipinang Elok, Kelurahan Cipinang Muara, dan Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta.

4.3. Metode Pengambilan Sampel

(30)

30 4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan data kualitatif dilakukan secara deskriptif dan interpretatif. Pengolahan dan analisis data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Office Excel. Tabel 4 berikut menunjukkan matriks metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan dalam penelitian ini.

Tabel 4. Matriks Metode Analisis Data

Tujuan Penelitian Jenis Data Metode Analisis Data

1. Memperoleh gambaran pengelolaan sampah 3R berbasis masyarakat yang diterapkan di Perumahan Cipinang Elok

Primer Deskriptif

2. Analisis daya dukung lingkungan UPS “Mutu Elok” dan pengaruh UPS “Mutu Elok” terhadap daya dukung lingkungan

Primer Deskriptif

3. Analisis kelayakan UPS “Mutu Elok” secara ekonomi membandingkan potensi sampah terolah dan potensi mesin pencacah dengan realisasi pemanfaatan potensi tersebut. Jika potensi yang dimiliki ≤ potensi yang termanfaatkan, maka dapat disimpulkan bahwa UPS “Mutu Elok” memiliki daya dukung lingkungan yang tinggi. Sementara jika potensi yang dimiliki > potensi yang termanfaatkan, maka dapat disimpulkan bahwa UPS “Mutu Elok” memiliki daya dukung yang rendah. Indeks daya dukung lingkungan dihitung secara matematis dengan menggunakan rumus berikut:

(31)

31 Daya dukung lingkungan UPS “Mutu Elok” juga dianalisis dengan cara membandingkan antara ketersediaan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh UPS “Mutu Elok” dengan jumlah kebutuhan. Jumlah kebutuhan UPS “Mutu Elok” diukur dari luas ideal bangunan UPS yang dihitung dengan menggunakan rumus yang ditetapkan dalam SNI 3242-2008. Luas ideal bangunan UPS berdasarkan rumus SNI yang telah disesuaikan dengan kondisi di lapangan adalah sebagai berikut:

Jika luas bangunan UPS “Mutu Elok” ≥ luas ideal, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat kesesuaian antara sarana prasarana dengan jumlah kebutuhan yang merupakan indikasi belum terlampauinya daya dukung lingkungan. Namun jika luas bangunan UPS “Mutu Elok” < luas ideal, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat ketidakesesuaian antara sarana prasarana dengan jumlah kebutuhan yang merupakan indikasi telah terlampauinya daya dukung lingkungan.

Analisis respon masyarakat terhadap pengelolaan sampah juga dilakukan untuk melihat apakah ada indikasi gangguan atau pencemaran yang disebabkan oleh UPS “Mutu Elok”. Analisis ini disajikan dalam bentuk uraian berdasarkan hasil wawancara dan observasi.

(32)

32 dan kapasitas pengomposan yang secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan:

KPS = Kapasitas penampungan sementara KDU = Kapasitas daur ulang

KPO = Kapasitas pengomposan

Sementara pada kondisi tanpa UPS “Mutu Elok”, kapasitas pengelolaan sampah hanya terdiri dari kapasitas penampungan sementara dan kapasitas daur ulang yang secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan:

KPS = Kapasitas penampungan sementara KDU = Kapasitas daur ulang

Masing-masing total kapasitas pengelolaan ini kemudian dibandingkan dengan total jumlah timbulan sampah dengan cara menghitung selisihnya menggunakan rumus berikut:

(33)

33 4.4.2. Komponen Arus Penerimaan (Inflow) dan Pengeluaran (Outflow) UPS

“Mutu Elok”

Komponen Arus Penerimaan (Inflow) dihitung berdasarkan sejumlah manfaat (Bt) yang diterima dari adanya UPS “Mutu Elok”, terdiri dari:

1. Manfaat Kompos

Manfaat Kompos yang dimaksud di sini adalah manfaat langsung yang diperoleh dari produksi kompos oleh UPS “Mutu Elok”, yaitu:

a) Penjualan Kompos

Nilai manfaat penjualan diperoleh dari hasil perkalian antara harga penjualan kompos dengan volume penjualan. Nilai penjualan kompos dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan:

NP = Nilai penjualan kompos

Pi = Harga kompos yang dijual pada tahun i

Qi = Volume penjualan kompos pada tahun i

i = Waktu ke-i

b) Penggunaan Kompos Untuk LRB

(34)

34 Elok”. Namun dalam analisis ekonomi, penggunaan tersebut dianggap sebagai manfaat kompos yang harus diperhitungkan dalam cashflow. Nilai penggunaan kompos pada LRB dihitung dengan menggunakan rumus:

Keterangan:

NL = Nilai penggunaan kompos pada LRB Pi = Harga kompos yang dijual pada tahun i

Qi = Jumlah kompos yang digunakan untuk LRB pada tahun i

i = Waktu ke-i c) Kesuburan

Penggunaan kompos sebagai pupuk memberikan manfaat kesuburan bagi tanaman. Nilai manfaat ini diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya pada objek dan lokasi yang sama.

2. Nilai Kenyamanan

(35)

35 Simonson dan Drolet (2003) mendefinisikan WTP sebagai harga pada tingkat konsumen yang merefleksikan nilai barang atau jasa dan pengorbanan untuk memperolehnya. Menurut Tamin (1999) WTP adalah kesediaan pengguna untuk mengeluarkan imbalan atas jasa yang diperolehnya. Pendekatan yang digunakan dalam analisis WTP didasarkan pada persepsi pengguna terhadap tarif dari jasa tersebut.

Nilai WTP masyarakat terhadap UPS “Mutu Elok” diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuisioner. Tahap-tahap untuk memperoleh nilai WTP adalah sebagai berikut:

1) Membuat Pasar Hipotetik

Dalam penelitian ini pasar hipotetik dibentuk atas dasar terjadinya perbaikan kualitas lingkungan dengan adanya UPS “Mutu Elok”.

2) Mendapatkan Penawaran Besarnya Nilai WTP.

Metode yang digunakan untuk mendapatkan nilai penawaran pada penelitian ini adalah campuran antara Close Ended Question dan Open Ended Question, yaitu dengan cara memberikan pilihan nilai WTP yang

diperlukan untuk memperoleh perbaikan kualitas lingkungan yang kemudian dilanjutkan dengan pilihan terbuka seandainya responden ingin memberikan nilai yang lebih besar dari nilai-nilai yang telah ditawarkan. 3) Memperkirakan Nilai Tengah WTP

(36)

36 sebenarnya. Hal ini karena nilai dipengaruhi oleh penawaran responden yang terlalu besar atau kecil yang mungkin disebabkan oleh kesalahan persepsi dalam proses wawancara. Oleh karena itu, nilai WTP akan lebih baik jika diperoleh dengan menggunakan nilai tengah. Dugaan nilai tengah WTP dihitung dengan rumus:

Keterangan:

EWTP = Estimasi nilai WTP

Bb = Batas bawah dari interval yang mengandung nilai tengah

= Frekuensi kumulatif di bawah interval yang mengandung nilai tengah

= Frekuensi interval yang mengandung nilai tengah i = Lebar interval

N = Jumlah responden 4) Menjumlahkan Data

Setelah estimasi nilai tengah WTP didapatkan, selanjutnya nilai total WTP diestimasi dengan menggunakan rumus:

Keterangan:

TWTP = Total WTP

EWTP = Estimasi WTP

(37)

37 5. Nilai Sisa

Nilai sisa merupakan pos penerimaan yang berasal dari sisa barang-barang investasi dan diperhitungkan pada akhir proyek UPS “Mutu Elok”.

Komponen Arus Pengeluaran (Outflow) dihitung berdasarkan sejumlah biaya (Ct) yang dikeluarkan untuk UPS “Mutu Elok” yang terdiri dari:

1. Biaya Investasi

Komponen biaya investasi terdiri dari:

a) Biaya lahan. Pada kondisi sebenarnya, penggunaan lahan untuk UPS “Mutu Elok” tidak dipungut biaya karena menggunakan lahan bersama yang memang diperuntukkan untuk fasilitas umum. Namun dari sudut pandang ekonomi, penggunaan lahan ini merupakan bentuk pengalihan sumber yang dimiliki masyarakat ke dalam proyek sehingga menimbulkan biaya dalam perhitungannya;

b) Biaya bangunan. Biaya ini meliputi seluruh biaya yang dikeluarkan untuk pendirian bangunan UPS “Mutu Elok”;

c) Biaya mesin. Biaya ini terdiri dari biaya pembelian mesin pencacah dan mesin pengayak. Pada analisis finansial, kedua mesin ini termasuk dalam komponen penerimaan karena merupakan sumbangan dari Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta. Akan tetapi, sumber dana sumbangan Dinas Kebersihan itu sendiri sebenarnya berasal dari masyarakat, sehingga sumbangan tersebut hanyalah biaya transfer dari masyarakat ke proyek;

(38)

38 tong air, penyiram tanaman, gerobak sampah, sepatu boot, selang air, steples besar, dan becak untuk mengantarkan kompos ke konsumen; e) Biaya inventaris meja. Meja ini digunakan untuk memfasilitasi petugas

UPS “Mutu Elok”. 2. Biaya Operasional

Biaya operasional adalah biaya-biaya yang diperlukan untuk menjalankan UPS “Mutu Elok” dan menghasilkan kompos. Biaya operasional terdiri dari: a) Biaya bahan baku. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan

kompos antara lain: cairan EM4, dedak, pupuk kandang, dan gula. Meskipun selama ini pupuk kandang diperoleh dari Dinas Kebersihan secara gratis, tetapi dalam analisis ekonomi penggunaan pupuk kandang tetap dianggap sebagai biaya;

b) Biaya pengemasan. Biaya ini terdiri dari biaya pembelian isi staples dan plastik kemasan serta biaya fotokopi untuk label kemasan;

(39)

39 d) Biaya tenaga kerja. Biaya ini adalah biaya yang timbul karena

penggunaan tenaga kerja dalam proyek;

e) Ongkos kirim pupuk kandang. Setiap kali pupuk kandang dikirim ke UPS “Mutu Elok”, ketua RW setempat memberikan tip untuk supir. Oleh karena itu, tip ini masuk ke dalam komponen biaya.

3. Biaya Perawatan

Biaya perawatan meliputi biaya perawatan gerobak dan becak yang dilakukan secara berkala.

4. Biaya Lain-Lain

Biaya lain-lain terdiri dari biaya pengangkutan dan pembuangan sampah organik terolah yang tidak diolah oleh UPS. Biaya ini merupakan biaya eksternal yang timbul akibat UPS tidak dapat mengolah seluruh sampah, sehingga sebagian sampah masih harus dibuang dan diangkut ke TPST Bantargebang.

4.4.3. Kriteria Kelayakan

Penilaian kelayakan ekonomi UPS “Mutu Elok” diperoleh dengan menggunakan kriteria kelayakan investasi yaitu, NPV, Net B/C, dan IRR. Nilai NPV, Net B/C, dan IRR diperoleh dari pengolahan komponen arus penerimaan dan pengeluaran dengan menggunakan Microsoft Office Excel.

1. NPV

NPV adalah selisih antara total net present value dari manfaat dengan total net present value dari biaya. Secara matematis, NPV dapat dihitung dengan

(40)

40

Keterangan:

NPV = Net Present Value Bt = Manfaat pada tahun ke t Ct = Biaya pada tahun ke t

= Discount factor

i = social discount rate t = 1, 2, 3, …, n

n = Umur proyek

Proyek dikatakan layak jika NPV ≥ 0. Jika NPV = 0, berarti manfaat proyek dapat mengembalikan biaya yang dipergunakan persis sama besar. Jika NPV < 0, berarti proyek tidak dapat menghasilkan manfaat senilai dengan biaya yang dikeluarkan, sehingga tidak layak untuk dijalankan.

2. Net B/C

Net B/C adalah indeks efisiensi proyek yang diperoleh dari perbandingan antara present value (PV) dari net benefit yang positif dengan present value dari net benefit yang negatif. Secara matematis, Net B/C dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Gray, 2007):

⁄ ∑

Keterangan:

= untuk , (PV positif)

(41)

41 Proyek dikatakan layak jika Net B/C ≥ 1. Net B/C =1 memiliki arti NPV = 0, sedangkan Net B/C < 1 memiliki arti NPV < 0 yang mengindikasikan proyek tidak layak untuk dijalankan.

3. IRR

IRR adalah nilai social discount rate yang membuat NPV sama dengan nol. Secara matematis, IRR dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Gray, 2007):

Keterangan:

= social discount rate yang menghasilkan NPV positif = social discount rate yang menghasilkan NPV negatif

= NPV positif

= NPV negatif

= selisih i

Proyek layak untuk dijalankan jika IRR ≥ social discount rate. Jika IRR = social discount rate, maka NPV proyek tersebut = 0. Jika IRR < social

discount rate, maka NPV < 0 dan proyek tidak layak untuk dijalankan.

4.4.4. Analisis Sensitivitas

Sensitivity analysis is analysis on the effect on project profitability of

(42)

42 Menurut Djamin (1984), perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada proyek antara lain sebagai berikut: (1) terdapat cost over run seperti kenaikan biaya konstruksi, (2) perubahan dalam harga hasil produksi, (3) mundurnya waktu implementasi, (4) kesalahan dalam memperkirakan produksi.

(43)

78 BAB IX

SIMPULAN DAN SARAN 9.1. Simpulan

1. Pengelolaan sampah Perumahan Cipinang Elok terdiri dari pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan dan pembuangan akhir. Pelaksanaan pengelolaan sampah 3R berbasis masyarakat di Perumahan Cipinang Elok sejauh ini sudah baik, tetapi belum optimal karena masih ada warga yang belum melakukan pemilahan sampah.

2. UPS “Mutu Elok” memiliki tingkat daya dukung lingkungan yang rendah dengan indeks sebesar 0,63 untuk timbulan dan 0,31 untuk mesin. Ketidaksesuaian antara luas bangunan yang dimiliki dengan luas bangunan yang dibutuhkan juga menyebabkan daya dukung UPS “Mutu Elok”

terlampaui. Meskipun demikian, tidak ditemukan indikasi adanya gangguan ataupun pencemaran yang disebabkan oleh UPS. Penambahan IPTEK berupa UPS “Mutu Elok” meningkatkan daya dukung lingkungan Perumahan Cipinang Elok.

3. UPS “Mutu Elok” layak secara ekonomi untuk dijalankan pada tingkat social discount rate 16 persen dengan menggunakan kriteria NPV, Net B/C, dan

(44)

79 9.2. Saran

1. Timbulan sampah organik terolah yang dihasilkan oleh Perumahan Cipinang Elok perlu dikurangi agar sampah organik terolah yang dihasilkan tidak lagi melampaui daya dukung lingkungan UPS “Mutu Elok”. Pengurangan timbulan sampah dapat dilakukan dengan cara pengomposan skala rumah tangga atau membuat LRB pada masing-masing rumah warga.

2. Kegiatan pemilahan sampah di rumah tangga perlu digiatkan dengan cara melakukan pengawasan terhadap warga dan petugas pengumpul. Petugas pengumpul sampah perlu didisiplinkan untuk tidak mencampurkan sampah-sampah yang telah dipilah agar warga yang telah memisahkan sampah-sampah tidak merasa upayanya sia-sia. Cara ini akan menghindari rusaknya sampah yang berpotensi untuk diolah akibat tercampur dengan sampah lainnya, sehingga pengolahan dapat berjalan optimal dan jumlah timbulan sampah yang dibuang ke TPST Bantargebang berkurang.

(45)

43 BAB V

GAMBARAN UMUM 5.1. Deskripsi Perumahan Cipinang Elok

Perumahan Cipinang Elok terletak di Kelurahan Cipinang Muara, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Perumahan ini memiliki dua pintu gerbang utama, yaitu Cipinang Elok I dan Cipinang Elok II yang menghadap ke Jalan Raya Cipinang Jaya. Secara administrasi yang lebih kecil, Perumahan Cipinang Elok termasuk ke dalam RW 10 Kelurahan Cipinang Muara dan terdiri dari lima belas RT. Perumahan dengan area seluas 33 hektar ini memiliki kurang lebih 571 unit rumah dengan jumlah penduduk sekitar 2.891 jiwa atau 724 Kepala Keluarga (KK). Seluruh rumah sudah bersertifikat dengan luas bervariasi mulai dari 48-800 . Sebagian besar rumah dibangun vertikal dan telah mengalami perubahan tinggi dari permukaan tanah karena sering mengalami banjir dan genangan air.

Penerangan jalan dan lingkungan di Perumahan Cipinang Elok berfungsi dengan baik. Kebutuhan air sudah dipasok seluruhnya oleh PAM Palyja. Air tanah masih digunakan oleh sebagian warga untuk keperluan tertentu, seperti MCK dan pengomposan di UPS “Mutu Elok”.

(46)

44 swadaya masyarakat berupa iuran bulanan, sumbangan dan hasil penjualan kompos.

Terdapat tiga taman seluas 2.913 di dalam area Perumahan Cipinang Elok. Jika memperhitungkan jalur hijau dan pekarangan warga, maka total Ruang Terbuka Hijau (RTH) diperkirakan seluas 2 hektar. Tanaman yang ditanam mencapai seratus jenis termasuk jenis tanaman obat keluarga. Tanaman obat ditanam oleh warga di pekarangan masing-masing dan di halaman Kantor RW. Daftar luas taman dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Luasan Taman Perumahan Cipinang Elok

No. Lokasi Luas ( )

1. Blok S 653

2. Blok AV 1.460

3. Blok AH 800

Jumlah 2.913

Sumber: RW 10 Kelurahan Cipinang Muara dalam Kaisar (2011)

Perumahan Cipinang Elok memiliki dataran yang relatif rendah dibandingkan daerah sekitarnya, sehingga sering tergenang air setiap kali hujan berlangsung lama atau deras. Genangan ini disebabkan oleh air larian (surface run off) yang timbul karena belum memadainya drainase wilayah lain di sekitar

(47)

45 responden merasa air genangan lebih cepat surut dengan selisih waktu bervariasi mulai dari 10 menit hingga 165 menit.

5.2. Deskripsi UPS “Mutu Elok”

UPS “Mutu Elok” pertama kali didirikan pada tahun 2005 atas inisiatif warga sebagai upaya mengurangi jumlah timbulan sampah yang diangkut ke TPST Bantargebang. Pengurus RW dan warga merasa perlu mengurangi jumlah timbulan sampah karena sampah yang dihasilkan sebelumnya seringkali melebihi kapasitas kontainer yang digunakan untuk menampung dan mengangkut sampah yang dihasilkan oleh warga Perumahan Cipinang Elok. UPS “Mutu Elok” mengurangi jumah timbulan sampah dengan cara mengolah sampah organik terolah menjadi kompos.

Pendirian UPS “Mutu Elok” mendapatkan bantuan dari warga, Kelurahan

(48)

46 oleh pengurus RW dibawah pengawasan ketua RW setempat, Bapak Saksono Soehodo.

Sejauh ini, kompos “Mutu Elok” hanya dipasarkan di sekitar daerah

Jakarta Timur, khususnya kelurahan Cipinang Muara. Kompos disalurkan melalui toko yang dimiliki oleh salah satu pengelola UPS “Mutu Elok”. Kegiatan bazar

yang rutin diadakan warga juga menjadi salah satu sarana untuk menjual kompos. Selain dijual, kompos “Mutu Elok” juga digunakan untuk menyuburkan taman

dan jalur hijau. LRB juga diisi dengan kompos karena berdasarkan pengalaman warga, penyerapan air oleh LRB akan lebih efektif jika menggunakan kompos dibandingkan menggunakan sampah organik yang belum diolah. Penggunaan kompos untuk taman, jalur hijau, dan LRB tidak dikenakan biaya karena digunakan untuk kepentingan bersama warga Perumahan Cipinang Elok.

5.3. Karakteristik Responden

Sebanyak empat puluh keluarga yang bertempat tinggal di Perumahan Cipinang Elok RW 010 dipilih sebagai responden. Responden pria berjumlah 21 orang atau sama dengan 52,5 persen dari populasi sampel dan wanita berjumlah sembilan belas orang atau sama dengan 47,5 persen dari populasi sampel.

5.3.1. Sebaran Tempat Tinggal Responden

(49)

47 dua rumah tangga masing-masing berasal dari RT 6, 7, 14, 15, dan sebanyak 2,5 responden masing-masing berasal dari RT 9 dan RT 11. Karena tidak ada warga dari RT 3 yang bersedia untuk dijadikan responden, maka tidak ada responden yang berasal dari RT tersebut. Meskipun demikian, sebaran tempat tinggal responden ini menunjukkan bahwa pengambilan sampel sudah cukup mewakili populasi. Grafik sebaran tempat tinggal responden dapat dilihat pada Gambar 6.

Sumber: Data Primer (2011)

Gambar 6. Sebaran Tempat Tinggal Responden 5.3.2. Tingkat Pendidikan Responden

Tingkat pendidikan responden bervariasi, mulai dari jenjang SMP hingga perguruan tinggi. Sebanyak satu orang atau 2 persen dari total responden menempuh pendidikan hingga SMP, sembilan orang atau 23 persen dari total responden menempuh pendidikan hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Empat orang atau 10 persen dari responden menempuh pendidikan diploma atau akademi. Sisanya, sebanyak 26 orang atau 65 persen dari total responden menempuh pendidikan hingga pergurungan tinggi. Sebagian besar responden yang menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi menunjukkan bahwa umumnya warga Cipinang Elok berpendidikan tinggi. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi penilaian responden terhadap UPS “Mutu Elok”, sehingga secara

(50)

48 tidak langsung juga mempengaruhi besaran nilai WTP yang akan diberikan. Perbandingan persentase tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 7.

Sumber: Data Primer (2011)

Gambar 7. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan 5.3.3. Tingkat Pendapatan Responden

Pendapatan rumah tangga yang dimaksud adalah penerimaan yang diperoleh rumah tangga dalam kurun waktu 1 bulan. Penerimaan tersebut berasal dari seluruh anggota keluarga yang telah mempunyai penghasilan dan tinggal di dalam satu rumah.

Pada Gambar 8, terlihat bahwa 60 persen dari total responden memiliki tingkat pendapatan diatas Rp 8.000.000 per bulan. Sebanyak dua rumah tangga atau 5 persen dari total responden memiliki tingkat pendapatan Rp 6.100.000-8.000.000, sedangkan empat rumah tangga atau 10 persen dari total responden memiliki tingkat pendapatan masing-masing Rp 4.100.000-6.000.000 dan Rp 2.100.000-4.000.000. Selebihnya, enam rumah tangga atau 25 persen dari total responden memiliki tingkat pendapatan dibawah Rp 2.000.000 per bulan. Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa rata-rata warga Cipinang Elok memiliki tingkat pendapatan yang relatif tinggi, yaitu diatas Rp 8.000.000. Meskipun demikian, jumlah responden yang memiliki tingkat pendapatan rendah

2,5%

22,5%

10% 65%

SMP SMA

(51)

49 yaitu dibawah Rp 2.000.000 juga cukup besar. Hal ini disebabkan banyak responden yang sudah pensiun, sehingga memiliki tingkat pendapatan yang relatif rendah. Tingkat pendapatan akan mempengaruhi besaran nilai WTP yang diberikan responden terhadap UPS “Mutu Elok”. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendapatan rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 8.

Sumber: Data Primer (2011)

Gambar 8. Sebaran Responden berdasarkan Tingkat Pendapatan Rumah Tangga

15%

10%

10%

5% 60%

(52)

50 BAB VI

PENGELOLAAN SAMPAH 3R BERBASIS MASYARAKAT DI PERUMAHAN CIPINANG ELOK

6.1. Pewadahan Sampah

Pewadahan individual Perumahan Cipinang Elok pada umumnya dibagi menjadi tiga macam. Pertama, menggunakan plastik kemudian menggantungkannya di pagar rumah. Kedua, menggunakan kaleng-kaleng bekas atau barang bekas lainnya untuk kemudian dijadikan wadah sampah dan diletakkan di depan rumah. Ketiga, membangun wadah permanen yang tebuat dari semen di depan rumah.

Selain wadah individual, warga Cipinang Elok juga memiliki wadah komunal dalam bentuk kontainer. Wadah ini menampung semua sampah yang berasal dari rumahan maupun fasilitas umum. Untuk memudahkan pengelolaan, wadah komunal diletakkan di depan bangunan UPS “Mutu Elok”.

(53)

51 Himbauan untuk memisahkan sampah dari rumah telah intensif dilakukan sejak tahun 2005. Setelah dikeluarkan himbauan dalam bentuk surat edaran pada tahun 2007, hampir seluruh warga Perumahan Cipinang Elok kegiatan pemilahan di Perumahan Cipinang Elok sempat berjalan, namun hanya bertahan selama 3 bulan. Berdasarkan keterangan beberapa responden, tidak adanya pengawasan terhadap warga dan petugas pengumpul menjadi penyebab kegiatan pemilahan sampah tidak lagi berjalan optimal. Warga yang tadinya melakukan pemilahan sampah sering mendapati petugas pengumpul mencampurkan sampah yang telah mereka pilah, sehingga warga malas untuk memisahkan sampah lagi karena merasa upayanya akan sia-sia.

Sumber: Data Primer (2011)

Gambar 9. Proporsi Pembedaan Wadah oleh Responden 6.2. Pengumpulan dan Pengangkutan

Pengumpulan dan pengangkutan sampah dari setiap rumah dilakukan oleh lima belas petugas pengumpul dengan menggunakan 15 unit gerobak sampah. Setiap petugas dilengkapi satu unit gerobak sampah dan bertugas untuk melayani satu RT. Pengumpulan sampah dari rumah ke TPS dilakukan setiap hari dengan ritasi12 sebanyak satu rit13.

12

Banyaknya gerakan bolak-balik pengambilan sampah dari suatu sumber menuju TPS, TPST, atau TPA dan kembali lagi ke sumber

(54)

52 Sementara itu, pengumpulan sampah yang berasal dari taman dan jalur hijau dilakukan oleh satu orang petugas UPS “Mutu Elok” dengan menggunakan 1 unit gerobak khusus. Gerobak khusus dicat dengan warna hijau agar tampak berbeda dengan gerobak yang digunakan untuk mengangkut sampah dari rumah. Pengumpulan sampah dari taman dan jalur hijau ke UPS “Mutu Elok” dilakukan setiap hari dengan ritasi sebanyak 1 rit.

6.3. Pemindahan dan Pengolahan

Seluruh sampah yang dikumpulkan dari rumahan dibawa ke TPS dan dipilah oleh tiga orang pemulung tetap. Sampah anorganik yang memiliki nilai jual akan diambil oleh pemulung untuk dijual ke penadah. Sementara, sampah yang tidak memiliki nilai jual akan dipindahkan ke dalam kontainer. Jika selama pemilahan pemulung menemukan sampah organik terolah, maka sampah tersebut dibawa ke UPS “Mutu Elok” untuk kemudian disortir dan diolah oleh petugas UPS. Sampah organik terolah biasanya berupa sampah tanaman dan sampah bekas sayuran yang belum dimasak. Sampah berupa bonggol kayu sengaja tidak diolah karena akan merusak mesin pencacah, sedangkan sampah berupa ranting harus di potong kecil-kecil dahulu agar dapat dicacah oleh mesin pencacah. Sampah bekas makanan yang telah dimasak juga tidak diolah di UPS “Mutu Elok” karena akan menimbulkan air lindi yang dapat mencemari lingkungan.

Sebagian besar sampah yang dikumpulkan dari taman dan jalur hijau terdiri dari sampah organik, sehingga setelah pengumpulan, sampah langsung dibawa ke UPS “Mutu Elok”. Bonggol kayu dan sampah anorganik yang terbawa

13

(55)

53 ke dalam UPS “Mutu Elok” dipisahkan dan dipindahkan ke dalam kontainer, sedangkan sampah organik terolah dikumpulkan untuk dijadikan kompos.

Berdasarkan pengamatan selama penelitian, tahapan dalam pengomposan di UPS “Mutu Elok” adalah sebagai berikut:

1. Sampah organik terolah dikumpulkan oleh petugas UPS dan dihancurkan dengan mesin pencacah;

2. Secara terpisah, petugas UPS kemudian membuat larutan air yang terdiri dari 200 l air, 1 l EM4, dan 1 kg gula;

3. Selanjutnya, petugas UPS membuat adonan bokashi yang terdiri dari 30 l dedak, 10 l sekam atau gergaji kayu, dan 10 l larutan EM4 yang sudah dibuat sebelumnya. Bokashi lalu didiamkan selama 4-5 hari hingga menjadi ragi. Sekam dan gergaji kayu merupakan bahan baku kompos yang relatif sulit untuk didapatkan dan tidak bersifat harus digunakan, sehingga adonan bokashi seringkali hanya terdiri dari dedak dan larutan EM4 saja;

4. Sampah yang telah dicacah sebelumnya dicampur dengan larutan EM4 dengan kandungan larutan sebanyak 20 sampai 25 persen;

5. Kemudian, sampah yang telah tercampur dengan larutan EM4 dicampur lagi dengan dedak dan pupuk kandang masing-masing sebanyak 8-10 kg;

6. Setelah itu, adonan bokasi yang telah dibuat sebelumnya ditebar di atas tumpukan sampah organik yang telah tercampur dengan dedak dan pupuk kandang;

(56)

54 tumpukan sampah dengan terpal bertujuan agar sampah dapat terfermentasi dengan baik dengan setiap bahan campurannya;

8. Setelah 15-18 hari, sampah akan mulai matang dan mengeluarkan asap. Sampah yang telah mejadi kompos ini kemudian diayak agar menjadi lebih halus. Jika setelah diayak ada butiran-butiran kompos yang masih kasar, kompos dimasukkan ke mesin pencacah dan mengalami proses yang sama seperti yang tercantum pada poin dua sampai delapan;

9. Kompos yang telah halus lalu ditaruh di bak terbuka untuk diangin-anginkan agar mengandung uap air yang cukup;

10. Kompos dikemas dalam plastik atau karung sesuai dengan pemesanan. Pemesanan sebanyak 5 kg dikemas dengan plastik. Sementara pemesanan sebanyak 25 kg dikemas dengan menggunakan karung.

6.4. Pengangkutan dan Pembuangan Akhir

Sampah yang terkumpul di kontainer diangkut ke TPST Bantargebang menggunakan truk armroll14. Truk armroll ini datang ke TPS Cipinang Elok dengan membawa kontainer kosong. Kontainer kosong kemudian diletakkan di TPS untuk menggantikan kontainer yang telah penuh terisi sampah. Selanjutnya, kontainer yang telah penuh dibawa ke TPST Bantargebang untuk pengosongan. Karena keterbatasan truk armroll yang dimiliki oleh kecamatan, pengangkutan sampah dari TPS Cipinang Elok ke TPST Bantargebang memiliki ritasi sebanyak 1 rit. Jika timbulan sampah terlampau banyak hingga memerlukan pengangkutan lebih dari sekali, maka ritasi dapat mencapai 2 rit. Akan tetapi, hal tersebut tidak efisien dan menghabiskan biaya.

14

(57)

55 Pada TPST, sampah Perumahan Cipinang Elok dibuang ke dalam sebuah lubang dengan kedalaman tertentu bersama sampah dari daerah lainnya. Sampah kemudian dilapisi dengan tanah hingga mencapai ketinggian tertentu. Setelah itu sampah yang telah terlapisi oleh tanah ditimbun lagi oleh sampah yang baru, dan seterusnya. Setelah 40 hari, sampah yang ditimbun ini telah berubah menjadi kompos dan dapat diambil dengan cara pengurugan. Selama masa pengomposan, sampah yang ditimbun menghasilkan gas metan yang kemudian disalurkan ke Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSA). Air lindi yang dihasilkan dari proses pembusukan disalurkan ke Instalasi Pengolahan Air Sampah (IPAS) untuk dinetralkan dengan menggunakan teknologi activated sludge system sebelum dikembalikan ke lingkungan. Teknologi pengelolaan sampah yang diterapkan di TPST Bantargebang ini dinamakan sanitary landfill. Untuk lebih jelasnya mengenai teknologi ini, dapat dilihat pada Gambar 10.

Sumber: Wahyono (2011)

Gambar 10. Teknologi Sanitary Landfill

(58)

56 dengan pertimbangan sampah yang dihasilkan oleh pasar umumnya berupa sampah organik. Pengomposan dilakukan secara aerobik dengan menggunakan 6 unit mesin pencacah, 3 unit mesin pengayak, dan 1 unit mesin granule untuk memadatkan kompos dari menjadi butiran. Hanggar juga dilengkapi dengan saluran air lindi yang dialirkan ke IPAS. Kompos yang dihasilkan oleh TPST Bantargebang dipasarkan ke masyarakat dan pengusaha pertanian.

Pola pengelolaan sampah Perumahan Cipinang Elok dapat dilihat secara keseluruhan pada Gambar 11.

Sumber: Data Primer (2011)

Gambar 11. Pola Pengelolaan Sampah Perumahan Cipinang Elok Mulai dari Pewadahan Hingga Pembuangan Akhir

Berdasarkan gambar di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pengelolaan sampah 3R berbasis masyarakat di Perumahan Cipinang Elok sudah berjalan dengan baik. Namun, kegiatan pengolahan belum berjalan optimal karena masih ada warga yang belum memilah sampah.

(59)

57 BAB VII

ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN UPS “MUTU ELOK” 7.1. Jumlah Timbulan Sampah dan Kapasitas Pengelolaan Sampah

Total timbulan sampah yang diangkut dari Perumahan Cipinang Elok memiliki volume rata-rata 13,5 per hari. Sebanyak 10 dari sampah yang diangkut berasal dari rumahan dan sisanya sebanyak 3,5 berasal dari taman dan jalur hijau. Sebanyak 1,7 m3 sampah rumahan merupakan sampah organik dan sebanyak 8,3 merupakan sampah anorganik. Tidak semua sampah organik rumahan dapat terolah menjadi kompos, dari 1,7 sampah rumahan yang dihasilkan, hanya 0,5 yang merupakan sampah terolah dan selebihnya, sebanyak 1,2 merupakan sampah organik tidak terolah. Begitu juga halnya dengan sampah anorganik, dari 8,3 sampah yang dihasilkan, hanya 0,89 yang merupakan sampah terolah atau dapat diambil oleh pemulung untuk kemudian diolah menjadi produk daur ulang. Sisanya, sebanyak 7,41 sampah anorganik tidak terolah dipindahkan ke dalam kontainer. Sampah yang biasanya diambil oleh pemulung terdiri dari sampah kertas, kaca, besi, dan barang plastik (bukan plastik kemasan). Sampah-sampah tersebut dijual ke penadah untuk selanjutnya didaur ulang dan dijual kembali.

Sampah yang diangkut dari taman dan jalur hijau umumnya berupa sampah organik terolah dengan volume 1,5 . Selebihnya, sebanyak 2 merupakan sampah anorganik atau sampah organik tidak terolah. Sampah anorganik dari taman biasanya berupa bekas bungkus makanan atau puntung rokok.

(60)

58 jalur hijau. Namun dari total sampah organik tersebut, hanya 2 yang dapat dijadikan bahan dasar kompos dengan komposisi 0,5 sampah rumahan dan 1,5

sampah taman dan jalur hijau.

Kapasitas pengelolaan sampah di Perumahan Cipinang Elok terdiri dari kapasitas penampungan dan pengolahan. Kegiatan pengolahan di perumahan ini meliputi daur ulang dan pengomposan. Meskipun tidak terlibat dalam proses mendaur-ulang secara langsung, pemulung memiliki kemampuan untuk membuat 0,89 sampah anorganik didaur-ulang setiap harinya. Oleh karena itu, kapasitas daur ulang didekati dari kemampuan pemulung dalam mengumpulkan sampah. Kapasitas pengomposan didekati dari kapasitas yang dimiliki UPS “Mutu Elok” dalam mengolah sampah menjadi kompos. Bangunan UPS “Mutu Elok” memiliki kapasitas sebesar 1,25 per hari, sedangkan mesin pencacah memiliki kapasitas 4 per hari. Kapasitas penampungan didekati dari volume kontainer, yaitu 12

per hari.

Total timbulan sampah tidak terolah dari Perumahan Cipinang Elok yang dibuang ke TPST Bantargebang mencapai 10,61 per hari. Timbulan sampah ini sama dengan 78,59 persen dari total sampah yang dihasilkan Perumahan Cipinang Elok setiap harinya. Berdasarkan keterangan dari pengurus RW, sebagian sampah yang dibuang ke TPST ini sebenarnya berpotensi untuk diolah, tetapi karena telah tercampur dengan sampah lainnya, maka sampah jadi rusak dan tidak dapat diolah.

Gambar

Gambar 1.  Diagram Pola Pengumpulan Sampah Menurut SNI 19-2454-2002
Tabel 2.  Spesifikasi Peralatan dan Bangunan Menurut SNI 3242-2008
Gambar 2.  Daya Dukung Lingkungan Sebagai Dasar Pembangunan
Gambar 4.  Diagram Penentuan Daya Dukung Lingkungan dengan Pendekatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Isyani (2015) dengan judul “Pengaruh return on investment (ROI) dan earning per share (EPS) terhadap harga saham perusahaan dengan memperhatikan perceived risk

Penentuan lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive),dengan pertimbangan bahwa usaha bawang goreng ini merupakan salah satu sentra usaha dengan kapasitas

Lemak yang berikatan dengan serat tidak dapat diserap sehingga akan terus ke usus besar untuk diekskresi melalui feses atau didegradasi oleh bakteri usus.. Meningkatkan

1) Nini Anteh: tokoh cerita rakyat dari Tatar Sunda, yang tinggal di Bulan. 2) Candramawat: nama kucing yang setia menemani Nini Anteh. 3) Struktur: komposisi teks yang memiliki

Perdarahan pasca pembedahan tiroid terjadi pada 0,1  –    1,5%  pasien, hal ini dapat terjadi karena banyaknya suplai darah ke organ dan sebagai hasil

Sejauh yang penulis teliti dari ketiga skripsi diatas terjadi perbedaan antara karya yang penulis buat dengan ketiga skripsi tersebut, letak perbedaannya yaitu terdapat pada

Sistem otorisasi dan prosedur pencatatan pada Clowor Distro Semarang belum baik karena dalam menerima order dari pembeli diotorisasi oleh fungsi kas dengan menggunakan

Class diagram berikut adalah class diagram dari Rancang Bangun Aplikasi Standar Pelayanan Minimum Universitas Tanjungpura dengan analisis Metode PIECES yang