• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi pemanfaatan gambir (Uncaria gambir Roxb.) dalam pembuatan cat alami

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi pemanfaatan gambir (Uncaria gambir Roxb.) dalam pembuatan cat alami"

Copied!
183
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PEMANFAATAN GAMBIR (Uncaria gambir Roxb.)

DALAM PEMBUATAN CAT ALAMI

SKRIPSI

Oleh:

MUTHI ANISA

F34070081

2011

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

(2)

STUDY OF GAMBIER (Uncaria gambir Roxb.) UTILIZATION IN THE PREPARATION OF NATURAL PAINT

Gumbira-Sa’id, E., Suparno, O., Anisa, M.

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, Darmaga IPB Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia.

Phone : 62 856 7902670, email: muthianisa@ymail.com

ABSTRACT

The main component of paints are binder, pigment, solvent and additive. Binder can be made from natural materials and also synthetic or polymeric materials. This study was conducted to observe the effect of weight ratio of casein to calcium oxide and concentration of gambier solution in the preparation of natural paint. The binder used in the manufacture of natural paints was casein mixed with calcium oxide (alkali). When casein was reacted with an alkali then casein will become more soluble in water and has adhesive properties. Use of gambier as dyes in the manufacture of natural paints was expected to increase the added value of gambier. Catechin and tannin as the substances contained in gambier will easily dissolve in water and can give brownish red colour.

The paint quality parameters analysis have been done were density, total solid content and evaporated material, viscosity, pH, drying time, adhesive, hiding power, colour test (L*, a* and b* value), chalking effect, and settling. The experimental design used was complete randomized factorial design with two factors (weight ratio of casein to calcium oxide and concentration of gambier solution) and two times replications. Weight ratio of casein to calcium oxide consisted of three levels, i.e. 1:3, 1:1, and 3:1. Concentration of gambier solution consisted of three levels, i.e. 5%, 15% and 25%.

The best paint formula was treatment with weight ratio of casein to calcium oxide of 1:1. The best treatment was selected based on the most important parameter of the paint quality, i.e. adhesion of paint. Concentration of gambier solution did not significanly affect the adhesion of paint. To prevent the occurence of sediment, thickener was added in the form of hydroxyethyl cellulose (HEC).

Once added HEC, density value, total solid content and evaporated material, pH, drying time, adhesive, hiding power, colour test (L*, a*, and b* value), and chalking effect did not significanly change. The addition of HEC increased the viscosity and the adhesion of paint. The best paint formula was treatment with weight ratio of casein to calcium oxide of 1:1 and 25% consentration of gambier solution, because it did not occure sediment.

(3)

Muthi Anisa. F34070081. Studi Pemanfaatan Tanaman Gambir (Uncaria gambir Roxb.) dalam Pembuatan Cat Alami. Di bawah bimbingan E.Gumbira Sa’id dan Ono Suparno. 2011.

RINGKASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh perbandingan bobot kasein terhadap kapur tohor dan konsentrasi larutan gambir dalam pembuatan cat alami. Perekat yang digunakan pada pembuatan cat adalah kasein yang dicampurkan dengan kapur tohor (alkali). Penggunaan gambir sebagai pewarna dalam pembuatan cat alami diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah gambir. Katekin dan tanin sebagai zat yang terkandung pada gambir akan mudah larut dalam air dan dapat memberikan warna merah kecoklatan.

Analisis parameter mutu cat yang dilakukan adalah densitas, total padatan dan bahan menguap, kekentalan (viskositas), nilai pH, waktu mengering, daya rekat, daya tutup, nilai L*, a*, dan b*, efek kapur (chalking) dan endapan (settling). Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor (perbandingan bobot kasein terhadap kapur tohor dan konsentrasi larutan gambir), dan dua kali ulangan. Perbandingan bobot kasein terhadap kapur tohor mempunyai tiga taraf, yaitu 1:3, 1:1 dan 3:1. Konsentrasi larutan gambir mempunyai tiga taraf, yaitu 5%, 15% dan 25%.

Densitas cat yang diperoleh dari penelitian ini berkisar antara 1,064 – 1,137 g/ml. Kadar padatan total dan bahan menguap cat berkisar antara 24,392 – 14,495 persen dan 85,505 – 75,608 persen. Nilai kekentalan (viskositas) cat berkisar antara 98,965 – 64,400 Krebs Unit (KU). Nilai pH yang diperoleh dari hasil penelitian berkisar antara 9,843 – 9,38. Waktu mengering cat terbagi dua, yaitu waktu kering sentuh dan waktu kering keras. Waktu kering sentuh cat berkisar antara 15,50 – 17,75 menit dan waktu kering keras cat berkisar antara 31,75 – 36 menit. Daya rekat cat berkisar antara 44 – 81,75 persen. Nilai daya tutup yang didapatkan adalah berkisar antara 29,165 – 50,000 m3/liter. Nilai L* cat yang diperoleh dari hasil pengukuran berkisar antara 55.78 – 33.43. . Nilai a* cat yang diperoleh berkisar antara 23.278 – 35.608. Nilai b* yang diperoleh dari hasil pengukuran berkisar antara 12.367 – 8.523.

Berdasarkan hasil pengujian efek kapur , didapatkan bahwa pada sampel yang menggunakan perlakuan perbandingan kasein terhadap kapur tohor 1 : 3 dengan konsentrasi larutan gambir 5%, 15%, dan 25% tidak mengalami efek kapur. Pada perlakuan perbandingan kasein terhadap kapur tohor 1:1 dan 3:1 dengan konsentrasi larutan gambir 5%, 15%, dan 25% terjadi efek kapur. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap ada atau tidaknya endapan, didapatkan bahwa cat alami yang telah disimpan selama 24 jam mengalami pengendapan.

Formula cat yang terbaik adalah dengan perlakuan dengan perbandingan bobot kasein terhadap kapur tohor 1:1. Pemilihan perlakuan yang terbaik berdasarkan parameter mutu cat yang paling utama yaitu daya rekat cat. Konsentrasi larutan gambir tidak berpengaruh nyata terhadap daya rekat cat. Untuk mencegah terjadinya endapan pada cat, ditambahkan bahan pengental (thickener) berupa hydroxyethyl cellulose (HEC).

(4)

STUDI PEMANFAATAN GAMBIR (Uncaria gambir Roxb.)

DALAM PEMBUATAN CAT ALAMI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

MUTHI ANISA

F34070081

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Studi Pemanfaatan Gambir (

Uncaria gambir

Roxb.) Dalam

Pembuatan Cat Alami

Nama : Muthi Anisa

NIM : F34070081

Menyetujui,

Pembimbing I,

Pembimbing II,

(Prof. Dr. Ir. E.

Gumbira Sa’id, MA

Dev.)

(Dr. Ono Suparno, STP, MT)

NIP 195505211979031002

NIP 197212031997021001

Mengetahui :

Ketua Departemen,

(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti)

NIP 196210091989032001

(6)

BIODATA RINGKAS

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dipanjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Studi Pemanfaatan Gambir (Uncaria gambir Roxb.) dalam Pembuatan Cat Alami. Skripsi ini ditulis dan disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan selama tiga bulan, sejak bulan Maret hingga Mei 2011 di Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini dapat dibuat dengan bantuan, bimbingan, motivasi dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada para personalia di bawah ini.

1. Prof. Dr. Ir. Endang Gumbira Sa’id, MA.DEV. sebagai pembimbing I yang telah membimbing, memberikan kritik, saran dan memotivasi selama penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Dr. Ono Suparno, STP, MT sebagai dosen pembimbing II yang telah membimbing, memberikan kritik dan saran dalam penyusunan skripsi.

3. Dr. Ika Amalia Kartika, STP, MSi sebagai dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu menguji penulis serta memberikan kritik dan saran dalam penyusunan skripsi.

4. Kedua orang tua, kakak dan seluruh keluarga yang telah memberikan do’a, kasih sayang dan dukungan kepada penulis.

5. Ir. Alexi Herryandie, MT yang telah memberikan kritik, saran, dan motivasi selama penelitian dan penyusunan skripsi.

6. Egnawati Sari, Sri Mulyasih, Rini Purnawati, Sugiardi, dan Gunawan selaku laboran di Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, yang telah memberikan bantuan, kritik dan saran selama penelitian.

Akhirnya kritik dan saran yang membangun, penulis harapkan untuk memyempurnakan skripsi ini. Penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Juli 2011

(8)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Susu ... 4

2.2. Kasein ... 4

2.3. Kapur Tohor (CaO) ... 7

2.4. Gambir ... 8

2.5. Cat ... 10

2.5.1 Pewarna (Pigmen) ... 11

2.5.2 Perekat (Binder) ... 12

2.5.3 Pelarut (Solvent) ... 13

2.5.4 Bahan Tambahan Lainnya (Additive)... 13

BAB III METODE PENELITIAN ... 14

3.1 Alat dan Bahan ... 14

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 14

3.3 Tata Laksana Penelitian... 14

3.3.1 Proses Pengambilan Kasein ... 14

3.3.2 Karakterisasi Awal Bahan Baku ... 15

3.3.3 Pembuatan Cat ... 15

(9)

v

Halaman

3.3.3.2 Proses Pembuatan Perekat ... 15

3.3.3.3 Proses Pembuatan Cat ... 16

3.4 Analisis Produk Cat ... 16

3.5 Rancangan Percobaan... 16

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

4.1 Analisis Mutu Bahan Baku ... 18

4.2 Pembuatan Produk Cat ... 20

4.3 Analisis Mutu Produk Cat ... 21

4.3.1 Uji Kuantitatif ... 21

4.3.1.1 Densitas Cat ... 21

4.3.1.2 Total Padatan dan Bahan Menguap ... 23

4.3.1.3 Kekentalan ... 25

4.3.1.4 Nilai pH ... 27

4.3.1.5 Waktu Mengering ... 29

4.3.1.6 Daya Rekat ... 31

4.3.1.7 Daya Tutup ... 32

4.3.1.8 Nilai L*, a*, dan b* ... 33

4.3.2 Uji Kualitatif ... 38

4.3.2.1 Efek Kapur ... 38

4.3.2.2 Endapan ... 38

4.4 Pengaruh Penambahan Pengental (Thickener) ... 39

BAB V Kesimpulan dan Saran ... 45

5.1 Kesimpulan ... 45

5.2 Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46

(10)

vi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi Kimia antara acid casein, rennet casein, dan calcium caseinate ... 7

Tabel 2. Persyaratan Mutu Gambir Berdasarkan SNI 02-3391-2000 ... 9

Tabel 3. Komponen – komponen yang Terdapat dalam Daun Gambir ... 10

Tabel 4. Syarat Mutu Cat Emulsi berdasarkan SNI 3564-2009 ... 13

Tabel 5. Rincian Formula Cat ... 16

Tabel 6. Hasil Analisis Mutu Kasein ... 18

Tabel 7. Hasil Analisis Mutu Gambir ... 19

Tabel 8. Hasil Pengujian Mutu Cat Setelah Penambahan Hydroxyethyl Cellulose (HEC) ... 42

Tabel 9. Data Hasil Pengukuran Densitas Cat ... 57

Tebel 10. Data Hasil Pengukuran Total Padatan Cat ... 59

Tabel 11. Data Hasil Pengukuran Total Bahan Menguap Cat ... 59

Tabel 12. Data Hasil Pengukuran Kekentalan (Viskositas) Cat ... 62

Tabel 13. Data Hasil Pengukuran Nilai pH Cat ... 64

Tabel 14. Data Hasil Pengukuran Waktu Kering Sentuh Cat ... 66

Tabel 15. Data Hasil Pengukuran Waktu Kering Keras Cat ... 66

Tabel 16. Data Hasil Pengukuran Daya Rekat Cat ... 69

Tabel 17. Data Hasil Pengukuran Daya Tutup Cat ... 71

Tabel 18. Data Hasil Pengukuran Nilai L* Cat ... 73

Tabel 19. Data Hasil Pengukuran Nilai a* Cat ... 76

Tabel 20. Data Hasil Pengukuran Nilai b* Cat ... 78

(11)

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Reaksi Antara Kasein dengan Asam ... 6

Gambar 2. Reaksi Antara Kasein dengan Alkali ... 6

Gambar 3. Proses Pembentukan Kalsium Oksida dan Kalsium Hidroksida ... 8

Gambar 4. Hubungan Antara Perbandingan Bobot Kasein Terhadap Kapur Tohor dengan Densitas Cat pada Berbagai Tingkat Konsentrasi Larutan Gambir ... 22

Gambar 5. Hubungan Antara Perbandingan Bobot Kasein Terhadap Kapur Tohor dengan Total Padatan Cat pada Berbagai Tingkat Konsentrasi Larutan Gambir ... 24

Gambar 6. Hubungan Antara Perbandingan Bobot Kasein Terhadap Kapur Tohor dengan Total Bahan Menguap Cat pada Berbagai Tingkat Konsentrasi Larutan Gambir ... 24

Gambar 7. Hubungan Antara Perbandingan Bobot Kasein Terhadap Kapur Tohor dengan Kekentalan (Viskositas) Cat pada Berbagai Tingkat Konsentrasi Larutan Gambir... 26

Gambar 8. Hubungan Antara Perbandingan Bobot Kasein Terhadap Kapur Tohor dengan Nilai pH Cat pada Berbagai Tingkat Konsentrasi Larutan Gambir ... 28

Gambar 9. Hubungan Antara Perbandingan Bobot Kasein Terhadap Kapur Tohor dengan Waktu Kering Sentuh Cat pada Berbagai Tingkat Konsentrasi Larutan Gambir ... 29

Gambar 10. Hubungan Antara Perbandingan Bobot Kasein Terhadap Kapur Tohor dengan Waktu Kering Keras Cat pada Berbagai Tingkat Konsentrasi Larutan Gambir... 30

Gambar 11. Hubungan Antara Perbandingan Bobot Kasein Terhadap Kapur Tohor dengan Daya Rekat Cat pada Berbagai Tingkat Konsentrasi Larutan Gambir ... 31

Gambar 12. Hubungan Antara Perbandingan Bobot Kasein Terhadap Kapur Tohor dengan Daya Tutup Cat pada Berbagai Tingkat Konsentrasi Larutan Gambir ... 32

Gambar 13. Hasil Warna Setelah Pengecatan ... 34

Gambar 14. Hubungan Antara Perbandingan Bobot Kasein Terhadap Kapur Tohor dengan Nilai L* Cat pada Berbagai Tingkat Konsentrasi Larutan Gambir ... 35

Gambar 15. Hubungan Antara Perbandingan Bobot Kasein Terhadap Kapur Tohor dengan Nilai a* Cat pada Berbagai Tingkat Konsentrasi Larutan Gambir ... 36

Gambar 16. Hubungan Antara Perbandingan Bobot Kasein Terhadap Kapur Tohor dengan Nilai b* Cat pada Berbagai Tingkat Konsentrasi Larutan Gambir ... 38

Gambar 17. Struktur Kimia Glukosa ... 40

Gambar 18. Struktur Kimia Hydroxyethyl Cellulose (HEC) ... 41

Gambar 19. Ilustrasi Pembungkusan Partikel Kotoran oleh Hydroxyethyl Cellulose (HEC) ... 41

Gambar 20. Proses Pengasaman Susu ... 81

Gambar 21. Proses Penyaringan Kasein ... 81

Gambar 22. Proses Pencampuran Kasein, Kapur Tohor, dan Akuades ... 81

Gambar 23. Hasil Proses Pencampuran Perekat (Binder) dengan Larutan Gambir ... 82

Gambar 24. Proses Pengujian Densitas Formula Cat ... 82

(12)

viii

Halaman

Gambar 26. Proses Pengujian Kekentalan dengan Menggunakan Viscometer Brookfield ... 82

Gambar 27. Penampakan Alat pH Meter ... 83

Gambar 28. Hasil Proses Pengujian Daya Rekat ... 83

(13)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Cat merupakan suspensi dari pigmen padat di dalam fase cair (yang bertindak sebagai vehicle) yang ketika diaplikasikan ke suatu permukaan akan mengering dan membentuk suatu lapisan padat (Hall, 1981). Menurut Banov (1982), cat adalah sebuah produk yang berbentuk cairan maupun bubuk yang di dalamnya terdapat zat-zat pewarna, dan apabila diaplikasikan di atas permukaan sebuah benda kerja akan membentuk suatu lapisan yang memiliki fungsi sebagai pelindung, dekorasi atau fungsi khusus yang dibutuhkan secara teknis. Perkembangan dunia saat ini mengarah kepada pengembangan cat berbasis air. Hal ini mengingat bahwa cat berbasis air lebih ramah lingkungan daripada cat yang berbasis minyak. Pada awal mulanya cat berbasis air hanya digunakan untuk cat lukis, tetapi perkembangan ilmu pengetahuan menjadikan cat berbasis air dapat juga digunakan untuk cat tembok, cat kayu, cat mobil dan cat besi (Lambourene dan Strivens, 1999).

Komponen utama dalam sebuah cat adalah perekat (binder), pigmen, pelarut (solvent) dan bahan tambahan (additive). Mutu dari cat yang dihasilkan ditentukan dari pemilihan komponen – komponen cat, seperti perekat dan bahan tambahan yang tepat, sehingga dihasilkan cat yang bermutu baik. Perekat pada cat dapat menggunakan bahan alam dan juga bahan sintetik atau polimer. Bahan perekat dari alam contohnya adalah getah damar, gum arab, minyak biji rami dan lain sebagainya. Bahan perekat dari alam juga termasuk polimer, namun termasuk polimer alami. Terdapat juga polimer sintetik yang dibuat dari bahan alam yang dimodifikasi secara kimia, contohnya resin alkid. Pembuatan cat saat ini lebih didominasi oleh polimer sintetik yang seluruhnya sintetik, terutama resin akrilik (Talbert, 2008).

Akibat adanya isu pemanasan global, pencemaran lingkungan dan alasan kesehatan perlu dilakukan subtitusi bahan yang sifatnya sintetik dan toksik dengan bahan yang sifatnya lebih alami dan aman bagi kesehatan. Menurut Budiono (2007), resin akrilik dapat menyebabkan masalah kesehatan, seperti iritasi hidung, mata, tenggorokan dan kulit. Menurut Zunava (2009), konsentrasi polutan di dalam rumah lebih tinggi dibandingkan diluar rumah. Ruangan yang dicat dalam keadaan ventilasi yang kurang akan menyebabkan bahan – bahan kimia yang mudah menguap (airborne chemicals) akan terakumulasi didalamnya dan akhirnya akan merusak kesehatan manusia. Sakit kepala, pusing, asma, kanker dan serangan jantung adalah beberapa efek samping jangka panjang akibat adanya polusi udara di dalam suatu ruangan. Airborne chemicals akan terlepas setelah proses pengecatan. Bahan – bahan kimia yang mudah menguap termasuk kedalam kategori polutan volatile organic compounds (VOCs), yang merupakan salah satu penyebab terjadinya pemanasan global dan memiliki efek karsinogenik yang mudah menguap dan berkontribusi menyebabkan polusi dalam suatu ruangan akibat pengecatan (Lambourene dan Strivens, 1999). Oleh karena itu, perlu dikembangkan cat yang lebih ramah lingkungan dan tidak memiliki efek samping terhadap kesehatan.

(14)

2 sesuatu yang lebih baik seperti dijadikan perekat pada cat. Pada susu yang sudah basi terjadi akumulasi pertumbuhan bakteri asam laktat yang menyebabkan laktosa berubah menjadi asam laktat dan menyebabkan susu menjadi asam. Pada keadaan asam kasein akan terkoagulasi dan akan terpisah dari protein whey (Southward, 2000).

Kasein merupakan protein susu yang tidak dapat larut dalam air. Jika direaksikan dengan suatu alkali contohnya kapur tohor (CaO) dapat menjadi larut dalam air dan merupakan perekat yang baik. Dalam industri non-pangan kasein dimanfaatkan sebagai perekat kayu, pelapis kertas, cat dan lain sebagainya (Southward, 2000). Di Indonesia kasein masih belum dikembangkan sebagai salah satu alternatif perekat alami yang ramah lingkungan. Untuk didapatkan perekat yang baik pada dengan bahan alami berupa kasein dan kapur tohor perlu adanya perbandingan yang tepat antara kasein dan kapur tohor, sehingga mutu cat yang dihasilkan baik.

Pigmen yang biasa digunakan pada pembuatan cat adalah pigmen sintetis. Penggunaan pigmen alami sudah lama ditinggalkan, karena sifat pigmen sintetis yang lebih superior dalam kekuatan dan variasi warnanya. Salah satu pigmen alami yang dapat dimanfaatkan adalah pigmen yang terdapat pada tanaman gambir (Uncaria gambir Roxb.). Gambir adalah ekstrak getah dari daun dan ranting muda tanaman gambir. Gambir merupakan salah satu komoditi ekspor unggulan Indonesia.

Menurut Gumbira Sa’id et al. (2009), India merupakan negara pengimpor gambir Indonesia terbesar yaitu sekitar 84% dari total gambir yang diekspor. Meskipun Indonesia mengekspor dalam volume tinggi ke India, namun harga jual gambir masih relatif rendah. Hal tersebut disebabkan oleh mutu gambir Indonesia yang rendah. Salah satu cara meningkatkan harga jual gambir adalah dengan meningkatkan nilai tambah gambir.

Gambir memiliki dua komponen kimia yang terpenting yaitu katekin dan tanin. Kegunaan gambir diantaranya adalah sebagai campuran untuk menyirih, anti bakteri, anti diare, zat warna alami, zat penyamak kulit dan penetralisir nikotin (Gumbira Sa’id et al., 2009). Penggunaan gambir sebagai pewarna dalam pembuatan cat alami diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah gambir. Katekin dan tanin sebagai zat yang terkandung pada gambir akan mudah larut dalam air dan dapat memberikan warna merah kecoklatan, sehingga untuk mendapatkan zat pewarna dari gambir adalah hal yang tidak sulit dan tidak memakan biaya banyak.

Perkembangan zaman dan kemajuan peradaban menjadikan manusia lebih sadar akan isu pencemaran lingkungan, pemanasan global dan kesehatan, sehingga mendorong untuk lebih menggunakan produk – produk yang sifatnya back to nature dan mengurangi penggunaan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Dalam proses pembuatan cat yang ada sekarang ini di Indonesia masih banyak yang menggunakan bahan – bahan yang berbahaya bagi kesehatan seperti akrilik, epoxy resin, urethane resin, toluene, cadmium, chromium, lead chromate dan sebagainya (Budiono, 2007).

(15)

3

1.2

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Membuat cat alami yang berbahan baku kasein, kapur tohor, dan gambir.

2. Mempelajari pengaruh perbandingan kasein terhadap kapur tohor dan konsentrasi larutan gambir dalam proses pembuatan cat.

(16)

4

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Susu

Susu yang biasa dikenal didefinisikan sebagai air susu ambing hewan sehat yang tidak dikurangi atau ditambahi suatu apapun. Susu diperoleh dari hasil sekresi normal kelenjar susu pada hewan sehat secara teratur dan sekaligus. Hewan penghasil susu biasanya adalah jenis hewan mamalia terutama sapi, kambing, kerbau dan unta. Untuk konsumsi manusia pada umumnya dipergunakan susu sapi, walaupun pada daerah tertentu juga mengkonsumsi susu kambing dan susu kerbau (Syarief, 1991).

Susu merupakan cairan berbentuk koloid agak kental yang berwarna putih sampai kuning, tergantung jenis hewan, makanan dan jumlah susu. Apabila volume yang agak besar, susu tampak sebagai cairan berwarna putih atau kuning padat (opaque), namun bila dalam suatu lapisan yang tipis (volume yang sedikit) akan tampak transparan. Pemisahan lemak susu menyebabkan warnanya menjadi agak kebiruan (Syarief, 1991).

Lemak susu berbentuk emulsi dengan ukuran diameter lemak yang memungkinkan terjadinya pemisahan “cream” dan pembuatan keju. Lemak susu inilah yang menentukan aroma dan cita rasa susu maupun hasil olahannya. Aroma dan cita rasa susu sangat dipengaruhi oleh laktosanya. Penyimpangan aroma susu dapat berasal dari hewan penghasil susu. Warna susu sangat bervariasi, dari putih kebiruan sampai kuning keemasan, tergantung jenis hewan penghasilnya, jenis makanannya dan jumlah kandungan lemaknya. Sifat susu yang perlu diperhatikan adalah susu merupakan media yang baik sekali bagi pertumbuhan mikroorganisme, sehingga apabila penanganannya tidak baik akan dapat menimbulkan penyakit (Syarief, 1991).

Susu adalah cairan, tidak termasuk kolostrum, yang disekresikan oleh mamalia dari kelenjar mamae untuk memberi nutrisi turunannya. Komponen utama dari susu adalah air, lemak, protein dan laktosa. Sekitar 80-85% protein susu adalah kasein. Air susu segar mempunyai pH antara 6,5-6,7 (Adams dan Moss, 1995).

Susu yang sering dikomsumsi oleh manusia adalah susu yang berasal dari sapi kambing dan kerbau. Zaman sekarang susu yang paling banyak dikomersialkan adalah susu sapi. Susu berwarna putih, putih kekuningan, cairan buram, warna yang dihasilkan diakibatkan pencaran dan absorpsi sinar oleh tetesan lemak susu dan misel protein. Oleh karena itulah, susu skim berwarna putih. Susu berasa sedikit manis, sedangkan aromanya cukup memuakkan. Beberapa protein, karbohidrat, mineral dan komponen lainnya terlarut dalam serum susu. Bobot jenis susu sekitar 1,029-1,039 pada suhu 15oC. Bobot jenis susu menurun dengan meningkatnya kandungan lemak dalam susu, dan meningkat dengan meningkatnya jumlah protein, gula susu dan garam yang terdapat dalam susu (Belitz et al., 2009).

2.2

Kasein

(17)

5 protein, yang secara lebih terinci terdiri dari 2,9% kasein dan 0,6% protein whey (Webb et al., 1981).

Menurut Adnan (1984), kasein di dalam susu merupakan partikel yang besar. Di dalamnya tidak hanya terdiri dari zat-zat organik, melainkan mengandung juga zat anorganik seperti kalsium, fosfor dan magnesium. Kasein yang merupakan partikel yang besar dan senyawa yang kompleks tersebut dinamakan juga misel kasein (casein micell). Misel kasein tersebut besarnya tidak seragam, berkisar antara 30 - 300 mμ. Kasein juga mengandung sulfur (S) yang terdapat pada metionin (0,69%) dan sistin (0,09%). Kasein adalah protein yang khusus terdapat dalam susu. Dalam keadaan murni, kasein berwarna putih seperti salju, tidak berbau dan tidak mempunyai rasa yang khas. Selanjutnya Buda et al. (1980) menjelaskan, bahwa kasein dapat diendapkan oleh asam, enzim rennet dan alkohol. Oleh karena itu, kasein dalam susu dapat dikoagulasikan atau digumpalkan oleh asam yang terbentuk di dalam susu sebagai aktivitas dari mikrobia, sehingga pada susu basi terdapat dua lapisan yaitu gumpalan dan cairan, gumpalan tersebut merupakan kasein.

Buckel et al. (1987) secara sederhana mengelompokan protein susu menjadi dua kelompok utama, yaitu kasein dan protein whey. Menurut Swaisgood (1985), total protein di dalam susu berjumlah 30-35 g/l dengan mutu gizi yang sangat tinggi. Di New Zealand, kasein diendapkan dari susu skim. Susu skim diberi asam untuk menghasilkan atau diberikan enzim untuk menghasilkan kasein renet. Kasein dipisahkan dari whey, dicuci (dibersihkan) kemudian dikeringkan. Kasein asam dapat larut dalam air dengan mereaksikan kasein asam tersebut dengan alkali, yang biasa disebut caseinates (Southward, 2000).

Kasein komersial umumnya dihasilkan dari susu skim dimana pengendapan kasein dilakukan dengan penambahan asam atau renet (Webb et al., 1981). Kasein komersial yang diproduksi merupakan substansi granular bewarna putih kekuningan. Dalam keadaan murni, kasein bewarna putih salju, tidak berbau dan tidak berasa. Kasein menyumbang warna putih susu (Buckel et al.,1987). Komposisi kasein komersial terdiri atas 88,5% protein, 0,2% lemak, 7,0% air, dan mempunyai kadar abu 3,8% (Webb et al., 1981).

Titik isoelektrik kasein adalah pada pH sekitar 4,6. Pada pH tersebut acid casein dipresipitasi dari susu. Didalam susu yang memiliki pH sekitar 6,6 misel kasein memiliki energi yang negatif dan stabil didalamnya. Kasein dapat digunakan pada industri non pangan dan pangan. Pada industri non pangan kasein dapat digunakan sebagai perekat pada kayu, pelapis kertas, synthetic fibres, plastik untuk kancing dan sebagainya, pada industri pangan biasa digunakan sebagai emulsifikasi, meningkatkan nutrisi, dan lain – lain (Southward,2000).

Kasein dalam air susu merupakan partikel yang besar. Di dalamnya tidak saja terdiri dari zat-zat organik, melainkan mengandung juga zat-zat anorganik seperti kalsium dan fosfor. Di samping itu, magnesium dan sitrat terdapat dalam jumlah lebih kecil. Kasein dapat diendapkan pada pH 4,6 karena pH tersebut merupakan titik isoelektriknya. Stabilitas kasein mulai terganggu pada pH 5,3 (Belitz et al., 2009).

(18)

6 Pengendapan kasein dapat juga dijalankan dengan enzim proteolitik semacam enzim pepsin dan fisin (Belitz et al., 2009).

Protein dengan penambahan asam atau pemanasan akan mengalami koagulasi. Pada pH isoelektrik (pH larutan tertentu biasanya berkisar 4 – 4,5 dimana protein mempunyai muatan positif dan negatif sama, sehingga saling menetralkan) kelarutan protein sangat menurun. Pada temperatur diatas 600C kelarutan protein akan berkurang (koagulasi), karena pada temperatur yang tinggi energi kinetik molekul protein meningkat sehingga terjadi getaran yang cukup kuat untuk merusak ikatan atau struktur sekunder, tertier dan kuartener yang menyebabkan koagulasi. Denaturasi dapat diartikan suatu proses terpecahnya ikatan hidrogen, ikatan garam atau bila susunan ruang atau rantai polipetida suatu molekul protein berubah. Dengan perkataan lain, denaturasi adalah terjadi kerusakan struktur sekunder, tertier dan kuartener, tetapi struktur primer (ikatan peptida) masih utuh (Simanjuntak, 2008).

Menurut Southward (2000), proses presipitasi untuk mendapatkan kasein merupakan proses pengasaman. Dalam reaksi kimia yang sederhana, proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 dengan R adalah kasein :

H2N-R-COO- + H+ +H3N-R-COO- Kasein misel acid casein (pH=6,6) (pH=4,6)

Dispersi koloid Partikel yang tidak larut

Gambar 1. Reaksi Antara Kasein dengan Asam (Southward, 2000)

Kasein dapat terkoagulasi akibat adanya pertumbuhan bakteri di dalam susu, karena terjadi proses fermentasi laktosa menjadi asam laktat, sehingga menyebabkan susu menjadi asam dan kasein akan terkoagulasi. Proses inilah yang terjadi pada susu yang telah basi (McGee, 2004). Kasein memiliki sifat yang dapat merekatkan, sehingga kasein dapat diubah menjadi lem jika dibuat bersifat basa dengan menambahkan kapur, sodium karbonat, boraks atau triethanclamine, atau diubah menjadi suatu lapisan dalam bentuk kertas, atau suatu bahan pokok untuk pembuatan sejenis plastik yang digunakan untuk membuat kancing, hiasan dan akhirnya dapat digunakan dalam industri tekstil wool (Simanjuntak, 2008).

Kasein jika ditambahkan dengan alkali akan menjadi caseinates yang merupakan bentuk lain dari kasein yang lebih larut dalam air. Alkali yang biasa digunakan adalah natrium hidroksida (NaOH), kalsium hidroksida (Ca(OH)2) dan kalium hidroksida (KOH). Pada Gambar 2 dapat dilihat reaksi antara acid casein dengan alkali.

+

H3N-R-COO- + OH- H2N-R-COO- + H2O

Acid Casein caseinate

(pH=4,6) (pH=6,6)

Partikel yang tidak larut dispersi koloid (Calcium caseinate)

Gambar 2. Reaksi antara Kasein dan Alkali (Southward, 2000)

(19)

7 adalah kasein yang didapatkan dengan bantuan enzim. Kalsium kaseinat merupakan kasein yang sudah dicampurkan dengan alkali.

Tabel 1. Komposisi kimia antara acid casein, rennet casein dan calsium caseinate Komponen Kasein Asam Kasein Renet Kalsium Kaseinat

Air (%) 11,4 11,4 3,8

Protein (%) 85,4 79,9 91,2

Abu (%) 1,8 7,8 3,8

Laktosa (%) 0,1 0,1 0,1

Lemak (%) 1,3 0,8 1,1

Sodium (%) <0,1 <0,1 <0,1

Kalsium (%) 0,1 2,6 – 3,0 1,3 – 1,6

pH 4,6 – 5,4 7,3 – 7,7 6,8 – 7,0

pH dari whey setelah pemisahan kasein

4,3 – 4,6 6,5 – 6,7 -

Kelarutan dalam air (%) 0 0 90 – 98

Sumber : Southward (2000)

2.3

Kapur Tohor (CaO)

Senyawa alkali tanah yang paling berlimpah di alam adalah senyawa-senyawa kalsium. Di setiap gunung dan bukit dijumpai batu kapur, yaitu CaCO3 yang bercampur dengan tanah lempung dan zat-zat lain. Batu kapur merupakan jenis batuan yang paling banyak digunakan. Kegunaan utama batu kapur adalah sebagai bahan bangunan (70%), pembuatan semen (15%), pengolahan besi, salah satu bahan campuran gelas, serta sebagai bahan baku CaO dan Ca(OH)2 (Hermiyati, 2009).

CaCO3 murni digunakan sebagai bahan pasta gigi, bahan kapur tulis dan zat tambahan pada pembuatan kertas agar menyerap tinta dengan baik. CaO dikenal sebagai kapur tohor, dan jika dicampurkan dengan air akan segera membentuk air kapur, Ca(OH)2. Oleh karena harganya murah, Ca(OH)2 merupakan basa yang paling banyak digunakan dalam bidang industri. Kegunaan lain Ca(OH)2 adalah untuk pemurnian gula pasir, penetralan keasaman tanah dan pengolahan air limbah industri (Davey, 1991).

Ketika mengapur tembok, air kapur dioleskan pada dinding. warna putih pada tembok muncul setelah air kapur bereaksi dengan gas CO2 dari udara untuk membentuk CaCO3. Batu kapur atau gamping dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu secara organik, mekanik atau secara kimia. Sebagian besar batu kapur yang terdapat di alam terjadi secara organik. Jenis ini berasal dari pengendapan cangkang atau rumah siput dan kerang. Batu kapur dapat berwarna putih susu, abu-abu muda, abu-abu tua, coklat bahkan hitam, tergantung pada mineral pengotornya (Hermiyati, 2009).

(20)

8 Kalsium oksida yang biasa disebut dengan quicklime atau kapur tohor terbentuk dengan proses pemanasan batuan kapur (CaCO3) dengan penambahan air. CaO akan menjadi bentuk yang lebih tidak mudah terbakar (less caustic), tetapi masih merupakan alkali kuat, kalsium hidroksida (Ca(OH)2) (Oates, 1998). Pada Gambar 3 dapat dilihat reaksi pembentukan kalsium oksida dan kalisum hidroksida dari batu kapur (CaCO3). CaO memiliki densitas sebesar 3,37 g/cm3, larut dalam air pada suhu 20°C dan memiliki bobot jenis sebesar 56,08 g/mol (Merck Index, 2000).

CaCO3 + panas CaO + CO2 CaO + H2O Ca (OH)2

Gambar 3. Proses pembentukan kalsium oksida dan kalsim hidroksida (Oates, 1998)

2.4

Gambir

Tanaman gambir (Uncaria gambir Roxb) termasuk famili Rubiaceae (kopi-kopian). Batangnya berkayu berbentuk semak dan daunnya bulat telur, atasnya lonjong tersusun berhadap-hadapan. Tinggi tanaman gambir berkisar 1,5-2 m dapat memanjat tanaman lain dengan cara melingkar-lingkar, warna batang coklat muda sampai coklat tua, warna daun hijau muda sampai hijau coklat dan coklat muda, dengan panjang petiole 0,2-0,4 cm warna hijau. Tanaman ini tumbuh baik dari dataran rendah sampai ketinggian 900 m di atas permukaan laut, curah hujan merata sepanjang tahun yaitu 2500-3000 mm/tahun dengan penyinaran cahaya matahari cukup banyak dan suhu udara 18-29oC. Tanaman tersebut akan tumbuh baik pada tanah yang gembur, dapat diperbanyak secara vegetatif dan generatif (Yusmeiarti et al., 2000 ; Hamzah, 2004).

Gambir merupakan komoditas spesifik dan unggulan daerah Provinsi Sumatera Barat, yang berorientasi ekspor dan merupakan sumber mata pencarian petani. Daerah penghasil utama gambir adalah Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kabupaten Pesisir Selatan. Saat ini, gambir juga sudah mulai dihasilkan oleh Kabupaten Agam dan Kabupaten Pasaman. Daerah Kecamatan Kapur IX Kabupaten Lima Puluh Kota bahkan merupakan sentra produksi gambir terbesar di dunia (Gumbira Sa’id et al., 2009).

Delapan puluh persen dari total ekspor gambir Indonesia berasal dari Sumatera Barat (Sumbar). Nilai ekspor gambir Sumbar mencapai US $ 622.460.00 yang didukung oleh produksi gambir mencapai 13.249 ton dengan luas panen 19,316 Ha (Dinas Perkebunan Sumbar, 2007).

Tanaman gambir dapat diandalkan sebagai investasi jangka panjang karena dianggap tidak mempunyai musuh alam. Tanaman gambir memiliki nilai ekonomi dibagian batang dan daunnya (Amos et al., 2004). Getah atau ekstrak daun dan ranting tanaman gambir yang telah dikeringkan merupakan produk yang dikenal sebagai gambir, sedangkan nama dagangnya ialah gambier, cutch, catechu atau pale catechu (Gumbira-Sa’id et al., 2009).

(21)

9 Gambir dapat juga digunakan sebagai bahan pencelup (dyeing) pada industri tekstil dan bahan pengawet ikan hasil tangkapan laut (Gove dan Webster,1966). Gambir digunakan sebagai pewarna pada batik soga tetapi warna kecoklat-cokelatan itu baru muncul jika ditambahkan suatu garam diazonium (Lemmens, 1998). Pada proses pencelupan, gambir diutamakan untuk mewarnai sutera dan bahan pakaian militer. Selain itu, gambir juga berguna sebagai bahan penjernih bir pada industri bir (Heyne, 1987).

Kandungan tanin pada gambir dapat digunakan sebagai penawar racun dan logam berat. Tanin akan mengendapkan alkaloid dan logam berat dengan membentuk senyawa yang tidak larut (Bakhtiar, 1991).

Menurut Gumbira-Sa’id et al. (2009), berdasarkan perbedaan bentuknya, gambir yang diproduksi di Indonesia dibedakan menjadi gambir bootch, lumpang, coin, wafer block, dan stick. Gambir bootch berbentuk tabung silinder. Namun, karena perubahan bentuk akibat proses pengeringan, maka gambir bootch kering tidak memiliki bentuk silinder yang merata. Gambir lumpang menyerupai gambir bootch yang berbentuk silinder tetapi memiliki cekungan seperti lumpang pada salah satu ujung silinder. Gambir coin menyerupai gambir bootch yang berbentuk silinder, namun gambir coin memiliki ukuran tinggi yang lebih kecil sehingga tampak seperti coin. Gambir wafer block adalah gambir asalan (berupa gambir bootch atau gambir lumpang) yang diproses ulang dan dicetak berbentuk balok. Gambir stick serupa dengan gambir wafer block yang berbentuk balok dan seragam, namun bahan baku yang digunakan adalah daun dan ranting tanaman gambir, bukan gambir asalan seperti pada gambir wafer block. Standar mutu gambir di Indonesia ditentukan berdasarkan SNI 02-3391-2000 yang dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Persyaratan Mutu Gambir berdasarkan SNI 02-3391-2000

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

Mutu I Mutu II

1. a. Bentuk - Utuh Utuh

b. Warna - Kuning

Kecoklatan

Kuning Kehitaman

c. Bau - Khas Khas

2. Kadar Air b/b (%) Maks. 14 Maks. 16

3. Kadar Abu b/b (%) Maks. 5 Maks. 5

4. Kadar Katekin b/b (%) Min. 60 Min. 50

5. a. Kadar bahan tidak larut dalam air

b/b (%) Maks. 7 Maks. 10

b. kadar bahan tidak larut dalam alkohol

b/b (%) Maks. 12 Maks. 16

Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2000)

(22)

10 yang khas serta warna merah kecoklatan, mudah larut dalam air dingin dan alkohol, tetapi tidak larut dalam ester dan bila airnya diuapkan akan membentuk kristal yang bewarna coklat kemerahan, sedangkan katekin memberikan rasa manis dan enak, tidak mudah larut dalam air dingin dan larut baik dalam air panas, serta pada keadaan kering berbentuk kristal berwarna kuning. Menurut Gumbira-Sa’id et al. (2009), senyawa utama yang terkandung di dalam gambir adalah pseudotanin katekin dan phlobatanin asam cathechutannat dengan persentase masing – masing senyawa adalah 7 – 30% dan 22-55%. Komponen – komponen yang terdapat dalam daun gambir dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komponen – komponen yang terdapat dalam daun gambir No Nama Komponen Komponen (%)

1 Catechin 7-33

2 Asam catechutannat 20-55

3 Pyrocathecol 20-30

4 Gambir floresensi 1-3

5 Red Catechu 3-5

6 Quersetin 2-4

7 Fixed Oil 1-2

8 Lilin 1-2

9 Alkaloid Sedikit

Sumber : Thorpe danWhiteley (1921) diacu dalam Nazir (2000)

Asam catechu tannat (C15H12O5) atau tanin merupakan anhidrat dari katekin. Tanin mudah berikatan dengan protein, karena mengandung sejumlah gugus hidroksil (Swain 1965 diacu dalam Harborne dan Sumere 1975). Atom H pada gugus hidroksil tersebut sangat reaktif dan dapat membentuk ikatan hidrogen dengan senyawa lain (Winarno dan Wirantakusumah 1981 diacu dalam Agriawati 2003).

Dalam industri tekstil, tanin digunakan sebagai zat warna. Reaksi tanin dengan garam – garam logam seperti besi, krom, alumunium, dan timah akan menghasilkan warna biru tua dan hijau kehitam-hitaman (Suryadi, 1983).

Katekin (C15H14O6) termasuk dalam struktur flavonoid, tidak bewarna dan dalam keadaan murni sedikit tidak larut dalam air dingin tetapi sangat larut dalam air panas, larut dalam alkohol dan etil asetat. Apabila katekin dipanaskan pada suhu 110°C atau dipanaskan pada larutan alkalikarbonat, maka akan kehilangan satu molekul air dan berubah menjadi asam catechu tannat (Thorpe dan Whiteley 1921 diacu dalam Nazir 2000).

2.5

Cat

Cat didefinisikan sebagai suspensi pigmen padat didalam fase cair yang akan berubah menjadi film padat yang tidak tembus cahaya dan membentuk suatu lapisan tipis apabila diaplikasikan pada suatu permukaan. Pigmen merupakan partikel – partikel padat halus yang digunakan pada pembuatan cat dan tidak larut dalam vehicle. Vehicle adalah keseluruhan bagian zat cair dari suatu cat, termasuk pengikat pigmen, pembentuk film, pelarut mudah menguap (volatil) dan semua bahan yang terlarut didalamnya (Hall 1981 diacu dalam Hambali et al. 2002).

(23)

11 dalam porsi cairan atau carrier. Solids atau padatan adalah bahan yang tertinggal di permukaan setelah bagian liquid menguap. Solids terdiri dari beberapa material, setiap material dirancang untuk menghasilkan beberapa fitur dari cat, namun yang utama adalah pigmen dan perekat (binder) (Koleske, 1972). Komponen penyusun cat terdiri dari perekat, pigmen dan bahan tambahan lainnya (aditif) (Talbert, 2008).

Ketika cat diaplikasikan ke permukaan proses pengeringan dimulai, bagian cair atau carrier mulai menguap dan meninggalkan lapisan film. Lapisan film terdiri dari perekat, pigmen dan aditif. Pada basis minyak partikel – partikel cat mulai bergabung dan membentuk partikel yang lebih panjang, proses tersebut dikenal sebagai chemical bonding (ikatan kimia). Pada cat basis air, pigmen, binder, dan aditif tidak secara kimiawi saling mengikat ketika cat mengering, namun partikel – partikel bergerak merapat atau mendekat atau menyatu bersama – sama untuk mengisi gap yang ditinggalkan oleh menguapnya partikel air. Fenomena diatas dikenal sebagai coalescence atau penyatuan (Talbert, 2008).

Menurut Talbert (2008), perekat pada cat dapat digolongkan dalam dua jenis, convertible (dapat diganti atau diubah) dan nonconvertible (tidak dapar diganti atau dirubah). Perekat jenis convertible merupakan material yang digunakan pada reaksi polimerisasi untuk membentuk suatu lapisan padat setelah proses pengaplikasian ke suatu permukaan contohnya adalah alkyds, resin amino, resin epoxy, resin fenolik, resin poliurethan dan thermosetting acrylics. Sedangkan perekat jenis nonconvertible adalah perekat yang terpolimerisasi yang terdispersi dalam suatu medium yang akan menguap setelah lapisan cat diaplikasikan pada suatu permukaan, contohnya adalah cellulose, nitrocellulose dan resin vinil.

Pada pembuatan cat alami diutamakan penggunaan bahan – bahan alami yang tidak merusak kesehatan, baik pada saat proses pembuatan maupun setelah proses pengecatan. Menurut Tyler (2009), berdasarkan hasil penelitian WHO (World Health Organization) telah ditemukan bahwa akibat adanya bahan – bahan yang terkandung pada cat modern saat ini para dekorator menghadapi kemungkinan 40% terkena penyakit kanker akibat adanya bahan – bahan yang terkandung pada cat yang memiliki efek karsinogenik. Kebanyakan cat yang beredar saat ini mengandung VOC (Volatile Organic Compounds) seperti aseton trichloroethilen, isopropyl alkohol dan metiletil keton. VOC menguap pada saat penggunaan dan ini merupakan salah satu hal dapat menyebabkan rusaknya lapisan ozon dan berbahaya bagi manusia, binatang dan tanaman. VOC sering menyebabkan mual, sakit kepala, asma dan masalah pernapasan lainnya (Tyler, 2009). Oleh karena itu, pembuatan cat alami berbasis kasein dan kapur tohor dengan pewarna alami gambir dapat dijadikan salah satu alternatif cat yang ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan.

Bahan – bahan yang biasa digunakan dalam pembuatan cat dapat dibagi menjadi beberapa kategori yaitu pigmen, perekat, pelarut dan aditif. Di bawah ini dibahas masing – masing kategori diatas.

1) Pigmen

(24)

12 kimia atau proses kimia. Pigmen alami sudah banyak diganti dengan pigmen sintetis yang kekuatan dan variasi warnanya lebih baik (Bently dan Turner, 1997).

Pigmen non organik adalah pigmen tersebut merupakan suatu mineral atau campuran mineral, seperti oxide, sulfide, metal atau earth. Organik dapat diartikan bahawa pigmen tersebut adalah molekul karbon dikombinasi dengan hidrogen, nitrogen atau oksigen. Dua kriteria tersebut dapat dikombinasikan untuk mendefinisakan empat kategori pigmen, yaitu non organik sintetis, non organik alami, organik sintetis, dan organik alami (Koleske, 1972). Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan berikut.

1. Pigmen non organik alami adalah pigmen logam atau batuan yang diekstrak dari bahan tambang atau mineral.

2. Pigmen non organik sintetis adalah pigmen logam atau batuan yang dibuat dengan mengkombinasikan bahan kimia dengan logam atau batuan mineral melalui proses kimia.

3. Pigmen organik alami adalah pigmen yang dibuat dari ekstrak tumbuhan atau binatang

4. Pigmen organik sintetis adalah pigmen berbasis karbon, seringkali dibuat dari turunan minyak bumi melalui proses kimia yang menyerupai sifat kimiawi dari pewarna hewan atau tumbuhan.

Menurut Hall (1981), cat merupakan suspensi dari pigmen padat di dalam fase cair yang ketika diaplikasikan ke suatu permukaan akan mengering dan membentuk suatu lapisan padat. Pada lapisan cat kering, pigmen terdispersi dalam suatu matriks kontinyu (sebagai pengikat) yang umumnya berupa polimer.

Hampir seluruh pigmen di industri cat menggunakan pigmen sintetis. Pigmen organik alami sudah lama ditinggalkan karena kalah dengan kekuatan warna dari pigmen sintetis dan variasi warna dari pigmen sintetis Pigmen yang biasa digunakan pada industri cat antara lain pigmen putih (Titanium oksida), pigmen kuning (Zinc chromate), pigmen hijau (Chromium oxide), pigmen biru (Prussian blue), pigmen merah (Red iron oxide), dan pigmen hitam (Carbon black) (Joko, 2009). Pada pembuatan cat alami, digunakan gambir sebagai pigmen atau pewarna, karena gambir mengandung senyawa tanin yang memberikan warna merah kecoklatan.

2) Perekat (Binder)

Perekat bertugas merekatkan partikel – partikel pigmen ke dalam lapisan film cat dan membuat cat merekat pada permukaan. Tipe perekat dan persentase perekat dalam suatu formula cat menentukan performa cat seperti daya rekat cat (Talbert, 2008).

(25)

13 Kasein yang direaksikan dengan kalsium hidroksida (Ca(OH)2) dapat digunakan sebagai perekat pada cat berbasis air. Kasein setelah direaksikan dengan kalsium hidroksida akan terjadi reaksi ionisasi dan kasein akan lebih larut dalam air dan akan memiliki sifat yang lengket seperti lem (Robertson, 1908).

3) Pelarut (solvent)

Sebuah cat membutuhkan bagian cair agar partikel pigmen, perekat dan material padat lainnya dapat mengalir. Cairan pada suatu cat disusun oleh pelarut. Solvent berasal dari kata dissolve dan diluent berasal dari kata dilute. Keduanya adalah suatu cairan yang mempunyai kemampuan untuk melarutkan (dissolve) suatu material. Keduanya juga dikenal sebagai thinner karena keduanya memiliki kemampuan untuk mengencerkan cat ke kekentalan yang diinginkan. Air meskipun dapat melarutkan senyawaan tidak dianggap sebagai pelarut untuk cat karena air tidak melarutkan resin. Air adalah solvent untuk gula karena gula dapat larut oleh air, bukan solvent untuk resin. Air pada cat lateks hanya sebagai pengencer bukan pelarut resin (Talbert, 2008).

Lain halnya dengan cat lateks, cat alami yang menggunakan kasein dan kapur tohor sebagi perekat dapat menggunakan air sebagai pelarutnya. Saat kasein direaksikan dengan kapur tohor akan mudah larut dalam air, sehingga menjadikan cat tersebut lebih ramah lingkungan, dan membutuhkan sedikit energi untuk pembuatannya.

4) Bahan Tambahan Lainnya (Aditif)

Suatu cat dapat megandung satu atau lebih aditif atau zat tambahan. Zat tambahan tersebut akan membantu meningkatkan performa dari cat yang dihasilkan. Zat tambahan atau aditif dalah zat yang ditambahkan ke dalam cat dengan kadar relatif rendah, tetapi dapat mempengaruhi sifat-sifat dari cat, sebagai contoh yaitu drying agent, filler, anti foam, slip agents, dispersing agent, thickener dan lain-lain (Talbert, 2008). Standar mutu cat harus memenuhi syarat mutu SNI 3564-2009 seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Syarat Mutu Cat Tembok Emulsi berdasarkan SNI 3564-2009

No Uraian Satuan Persyaratan

1 Daya Tutup

1.1 a. Warna Cerah m2/L Min. 8

1.2 b. Warna Gelap m2/L Min. 11

2 Densitas (Suhu 28 – 30 °C) g/cm3 Min. 1,2

3 Waktu Mengering

3.1 a. Waktu Kering Sentuh Menit Maks. 30

3.2 b. Waktu Kering Keras Menit Maks. 60

4 Padatan Total % bobot Min. 40

5 Kekentalan (suhu 28 - 30 °C) KU (Krebs Unit) Min. 90

(26)

14

III.

METODE PENELITIAN

3.1

Alat dan Bahan

Alat – alat yang digunakan untuk membuat formula cat adalah mixer, gelas piala, neraca analitik, gelas ukur, penangas air, wadah (baskom) dan sudip. Alat - alat yang digunakan untuk karakterisasi bahan baku dan anlisis produk adalah labu takar, pipet Mohr, pipet tetes, cawan alumunium, cawan porselen, labu dekstruksi, soxhlet, erlenmeyer, desikator, corong, sudip, oven, colormeter Colortech PCM, spektrofotometer Ultraviolet, spektrofotometer HACH, cutter, viscometer Brookfield, lempeng kaca, termometer, stopwatch, piknometer, kain putih, eternit (GRC board) dan kuas.

Bahan - bahan yang digunakan untuk pembuatan formula cat adalah, susu segar yang dibasikan untuk mendapatkan kasein, gambir bootch, jeruk nipis, kapur tohor, aquades, dan hydroetil cellulose (HEC). Bahan – bahan yang digunakan untuk karakterisasi bahan baku dan analisis produk adalah H2SO4 pekat, NaOH, HCl 0,02 N, etil asetat, reagen Folin Ciocalteu, natrium karbonat, aquades dan etanol.

3.2

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai Mei 2011 di Laboratorium Dasar Ilmu Terapan, Laboratorium Teknologi Kimia, Laboratorium Teknologi Pengemasan Distribusi dan Transportasi, Laboratorium Pengawasan Mutu dan Laboratorium Instrumen, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

3.3

Tata Laksana Penelitian

1)

Proses Pengambilan Kasein

(27)

15

2)

Karakterisasi Awal Bahan Baku

Karakterisasi awal bahan baku dilakukan untuk mengetahui sifat fisik dan kimia dari gambir dan kasein yang digunakan. Analisis yang dilakukan adalah kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat, kadar karbohidrat, kadar katekin, kadar bahan tidak larut dalam air dan kadar bahan tidak larut dalam alkohol. Prosedur analisisnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

3)

Pembuatan Cat

3.3.3.1 Pembuatan Larutan Gambir

Proses awal pembuatan cat adalah pembuatan larutan gambir. Gambir ditimbang sebanyak 5, 15, dan 25 gram. Kemudian dilarutkan dalam aquades yang sebelumnya telah dipanaskan hingga suhu 70 °C. Konsentrasi larutan gambir dibuat dengan konsentrasi yang berbeda – beda, yaitu 5, 15 dan 25%. Konsentrasi 5% didapatkan dengan melarutkan sebanyak 5 gram gambir dengan aquades hingga tanda tera 100 ml pada gelas piala. Konsentrasi 15% didapatkan dengan melarutkan sebanyak 15 gram gambir dengan aquades hingga tanda tera 100 ml pada gelas piala. Konsentrasi 25% didapatkan dengan melarutkan sebanyak 25 gram gambir dengan aquades hingga tanda tera 100 ml pada gelas piala. Densitas larutan gambir dihitung dengan konsentrasi yang berbeda untuk mendapatkan bobot dari setiap konsentrasi larutan gambir.

3.3.3.2 Proses Pembuatan Perekat (Binder)

Kasein dan kapur tohor merupakan bahan utama pembuat perekat pada formula cat yang akan dibuat. Perbandingan bobot kasein terhadap kapur tohor yang digunakan dalam pembuatan cat adalah 75% : 25% (3:1), 50%:50% (1:1) dan 25% :75% (1:3). Basis total perekat yang digunakan adalah 50 gram. Akuades digunakan sebagai pelarut dengan jumlah sebanyak 200 ml. Perhitungan jumlah perekat yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 2.

(28)

16 3.3.3.3 Proses Pembuatan Cat

Setelah larutan perekat selesai dibuat larutan gambir ditambahkan dan dicampur menggunakan mixer selama 10 menit (hingga benar – benar tercampur). Hasil proses pencampuran perekat dengan larutan gambir dapat dilihat pada Lampiran 25, perekat yang awalnya bewarna putih keabu-abuan berubah menjadi warna coklat .

3.4

Analisis Produk Cat

Pengamatan terhadap cat yang dihasilkan meliputi uji kuantitatif dan uji kualitatif. Uji kuantitatif yang dilakukan adalah pengujian densitas, viskositas, kadar padatan total dan bahan menguap, nilai pH, waktu mengering (waktu kering sentuh dan waktu kering keras), daya rekat, daya tutup dan uji warna dengan colormeter. Uji kualitatif yang dilakukan adalah efek kapur (chalking) dan settling atau endapan. Prosedur pelaksanaan pengujian dapat dilihat pada Lampiran 3.

3.5

Rancangan Percobaan

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial. Rancangan tersebut dilakukan dengan dua faktor perlakuan, yaitu perbandingan kasein terhadap kapur tohor dan konsentrasi larutan gambir. Perbandingan bobot kasein terhadap kapur tohor yang digunakan adalah 3 : 1 , 1 : 1 dan 1 : 3. Penetapan perbandingan bobot kasein terhadap kapur tohor adalah berdasarkan trial dan error. Konsentrasi larutan gambir yang digunakan adalah 5%, 15% dan 25%. Rincian formula cat alami yang dibuat dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rincian Formula Cat Perbandingan Bobot Kasein

terhadap Kapur Tohor

Jumlah konsentrasi larutan gambir

5% 15% 25%

75%:25% (3:1) A1B1 A1B2 A1B3

50%:50% (1:1) A2B1 A2B2 A2B3

25%:75% (1:3) A3B1 A3B2 A3B3

Rancangan acak lengkap faktorial atau model yang digunakan dijelaskan sebagai berikut (Walpole, 1992).

Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + ɛ ijk

Keterangan:

Yijk = Nilai pengamatan perlakuak ke-i, perlakuan ke-j, ulangan ke-k µ = Nilai rata-rata

Ai = Pengaruh perbandingan bobot kasein terhadap kapur tohor ke-i Bj = Pengaruh konsentrasi larutan gambir ke-j

(29)

17 Eijk = Error (Pengaruh unit eksperimen ke-k dalam kombinasi perlakuan (ij))

Beberapa faktor dan taraf yang digunakan adalah sebagai berikut. A1 = Kasein : Kapur tohor = 3 : 1

A2 = Kasein : Kapur tohor = 1 : 1 A3 = Kasein : Kapur tohor = 1 : 3

(30)

18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Mutu Bahan Baku

[image:30.595.212.428.284.370.2]

Analisis mutu bahan baku dilakukan untuk mengetahui karakteristik bahan baku yang digunakan dalam penelitian. Kasein dan gambir merupakan bahan baku yang dianilisis karakteristiknya. Pada pengujian karakteristik kasein dilakukan pengujian kadar air, kadar abu, kadar lemak dan kadar protein. Pengujian karakteristik gambir meliputi kadar air, kadar abu, kadar bahan tidak larut alkohol, kadar bahan tidak larut air, kadar katekin, dan kadar tanin. Hasil analisis mutu kasein dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil analisis mutu kasein yang diperoleh

Jenis Uji Komponen(%) Pustaka *

Kadar Air 10,965 7,0

Kadar Abu 0,665 3,8

Kadar Lemak 3,575 0,2

Kadar Protein 70,855 88,5 *Sumber : Webb et al. (1981)

Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa kasein yang digunakan memiliki kadar air 10,965% dan nilai tersebut diatas kadar air dari pustaka (7,0 %). Pada saat proses pemisahan kasein dari susu, kadar air kasein masih tergolong tinggi. Untuk mengatasi masalah penyimpanan seperti tumbuh jamur dan busuk, kasein dikeringkan dalam oven pada suhu sekitar 45 – 50 °C (Southward, 2000). Kadar air yang terkandung dalam kasein merupakan air sisa penguapan kasein yang dilakukan melalui pengeringan di dalam oven pada suhu 50 °C.

Kadar abu yang terdapat dalam kasein dapat berupa zat pengotor dan senyawa anorganik yang terdapat pada kasein. Zat pengotor tersebut dapat berupa debu atau kotoran yang menempel pada kasein pada proses pemisahan dari susu. Kasein dalam air susu merupakan partikel yang besar. Di dalamnya tidak saja terdiri dari zat-zat organik melainkan mengandung juga zat-zat anorganik, seperti kalsium, fosfor, magnesium dan sitrat di dalam jumlah lebih kecil (Belitz et al., 2009). Menurut Soebito (1988), kadar abu adalah komponen yang tidak mudah menguap dan tetap tertinggal setelah proses pembakaran dan pemijaran senyawa organik. Kadar abu kasein yang digunakan pada penelitian ini memiliki kadar abu 0,665% dan nilai tersebut dibawah nilai kadar abu literatur (3,8%). Kadar lemak yang terdapat dalam kasein merupakan lemak yang masih tersisa saat proses pemisahan kasein dari susu. Kadar lemak kasein yang digunakan pada penelitian ini adalah 3,575% yang masih berada diatas nilai kadar lemak pustaka (0,2%).

(31)
[image:31.595.79.541.186.429.2]

19 Analisis mutu gambir bertujuan untuk mengetahui karakteristik gambir yang digunakan pada penelitian. Parameter uji yang digunakan adalah kadar air, kadar abu, kadar katekin, kadar tidak larut alkohol, kadar tidak larut air, bentuk, warna dan bau. Hasil analisis mutu gambir kemudaian dibandingkan dengan satandar SNI 01-3391-2000. Hasil analisis mutu gambir dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil Analisis Mutu Gambir

No Jenis Uji Satuan Contoh Uji Persyaratan (SNI 01-3391-2000)

Mutu 1 Mutu 2

1 Keadaan

a. Bentuk - Pecah dan

utuh Utuh Utuh

b. Warna - Hitam

kecoklatan

Kuning sampai kuning kecoklatan

Kuning kecoklatan sampai kuning

kehitaman

c. Bau - khas Khas Khas

2 Kadar Air, b/b % 13,89 Maks. 14 Maks. 16

3 Kadar Abu, b/b % 3,69 Maks. 5 Maks. 5

4 Kadar Katekin, b/b % 49,7 Min. 60 Min. 50

5 Kadar bahan tidak larut dalam :

a. Air b/b % 111,46 Maks. 7 Maks. 10

b. Alkohol b/b % 111,63 Maks. 12 Maks. 16

Kadar air merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi daya simpan suatu bahan. Kadar air gambir dipengaruhi oleh tingkat pengeringan gambir setelah pencetakan serta lamanya penyimpanan gambir. Semakin tinggi kadar air suatu bahan, maka semakin tinggi pula tingkat kerusakan bahan. Kadar air yang didapatkan pada gambir asalan yang digunakan sebagai bahan baku penelitian ini adalah 13,89%. Nilai tersebut telah memenuhi syarat mutu I SNI 01-3391-2000 yakni persyaratan kadar air gambir maksimal 14%. Batas kadar air minimum dimana mikroorganisme masih dapat tumbuh adalah 14 – 15% (Fardiaz, 1989). Penetapan kadar air pada gambir berguna untuk menentukan umur simpan dan daya tahan gambir terhadap serangan jamur. Semakin tinggi kadar air, maka gambir semakin mudah untuk terserang jamur (Zulnely et al., 1994).

Kadar abu yang didapatkan pada gambir asalan yang digunakan sebagai bahan baku penelitian ini adalah 3,69%. Nilai tersebut telah memenuhi syarat mutu I SNI 01-3391-2000 yakni persyaratan kadar abu gambir maksimal 5%. Hal tersebut menunjukan bahwa kandungan anorganik atau mineral penyusun gambir terdapat dalam jumlah yang kecil. Menurut Gumbira-Sa’id et al. (2009), penggunaan air perebusan berulang dan cairan sisa penirisan untuk perebusan kembali dalam proses produksi gambir diduga berkontribusi terhadap tingginya kadar abu dalam gambir. Semakin tinggi kadar abu gambir menunjukkan mutu gambir yang semakin rendah, karena tingkat kemurnian gambir yang semakin rendah pula. Zat pengotor yang dapat menurunkan kemurnian gambir adalah seperti debu atau kotoran dan juga zat – zat anorganik.

(32)

20 Kandungan katekin dalam gambir dapat digunakan sebagai pewarna (Gove dan Webster, 1966) dan menghasilkan warna kecoklatan (Thorpe, 1938). Kadar katekin gambir yang didapatkan pada gambir yang digunakan sebagai bahan baku penelitian ini adalah 49,7%. Nilai tersebut tidak memenuhi syarat mutu I dan mutu II SNI 01-3391-2000 yakni persyaratan kadar katekin gambir minimal 60% dan 50%.

Menurut Burkill (1935), gambir mengandung padatan yang diukur berdasarkan kelarutan pada air dan alkohol. Kadar bahan tidak larut dalam air yang didapatkan pada gambir yang digunakan pada penelitian adalah 11,46%. Nilai tersebut belum memenuhi persyaratan mutu I dan II SNI 01-3391-2000 yakni persyaratan kadar bahan tidak larut dalam air gambir maksimal 7% dan 10%. Hal ini menandakan bahwa tingkat kemurnian gambir rendah, dan dapat disebabkan oleh adanya kotoran – kotoran, seperti pasir, tanah dan kotoran lain yang tidak terndapkan oleh air saat pengolahan gambir kering. Komponen penyusun dinding sel seperti selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin, protein dan lemak merupakan komponen yang tidak larut di dalam air (Winarno dan Wiranatakusumah 1981 diacu dalam Agriawati 2003).

Kadar bahan tidak larut di dalam alkohol yang didapatkan pada gambir yang digunakan pada penelitian adalah 11,63%. Nilai tersebut telah memenuhi syarat mutu I dan mutu II SNI 01-3391-2000 yakni persyaratan kadar bahan tidak larut di dalam alkohol gambir minimal 12% dan 16%. Menurut Sudibyo et al. (1988), kadar bahan tidak larut alkohol yang tinggi dapat disebabkan oleh lamanya interaksi air dengan daun pada saat pengolahan gambir. Semakin lama daun kontak dengan air, maka komponen bahan yang tidak larut di dalam alkohol akan semakin mudah dikeluarkan dan terbawa bersama ekstrak gambir. Semakin tinggi kadar bahan tidak larut alkohol menunjukkan tingginya kandungan bahan bukan gambir seperti kotoran, dinding sel daun dan bahan pemadat seperti tepung yang bukan berasal dari ekstrak gambir (Agriawati, 2003).

4.2 Pembuatan Produk Cat

Proses pembuatan cat alami dilakukan menggunakan bahan baku berupa kasein, kapur tohor dan gambir. Kasein didapatkan dari proses pengasaman susu segar. Susu segar didiamkan selama 48 jam dalam keadaan terbuka dan pada suhu ruang. Agar didapatkan kasein dalam waktu yang singkat proses pengasaman susu dapat menggunakan bahan tambahan berupa asam. Asam yang dapat digunakan adalah asam cuka dan jeruk nipis. Pada penelitian ini untuk mempercepat terjadinya koagulasi kasein ditambahan jeruk nipis. Jeruk nipis dipilih karena jeruk nipis merupakan salah satu asam kuat dan merupakan bahan pertanian yang ramah lingkungan walaupun harga cuka lebih murah namun diharapkan dalam pembuatan cat tersebut menggunakan bahan – bahan alami.

Proses pembuatan cat dilakukan dengan proses pencampuran (mixing). Tahap awal pembuatan cat adalah proses pencampuran bahan sebagai perekat (binder). Bahan yang dijadikan sebagai perekat adalah kasein dan kapur tohor. Pada pembuatan cat basis perekat yang digunakan adalah 50 gram. Dibuat formula cat dengan memvariasikan perbandingan bobot kasein terhadap kapur tohor dan konsentrasi larutan gambir. Selanjutnya setelah diperoleh konsentrasi terbaik dari perbandingan bobot kasein terhadap kapur tohor dan konsentrasi larutan gambir dilakukan penelitian tambahan dengan menambahkan bahan pengental (thickener) berupa hydroxyethy cellulose (HEC).

(33)

21 yang berbasis kasein dan kapur ini menghasilkan efek antik pada furniture atau tembok yang telah dicatkan (Baird, 1908).

Menurut Baird (1908), perbandingan antara kasein dan kapur yang digunakan tergantung dari pigmen yang digunakan dan hasil warna yang akan dihasilkan. Penggunaan perbandingan kasein dan kapur tohor yang digunakan akan mempengaruhi mutu dari cat yang dihasilkan. Setelah proses pencampuran bahan untuk perekat adalah proses penambahan pewarna atau pigmen. Pigmen yang digunakan pada penelitian ini adalah pigmen alami yaitu gambir. Menururt Nazir (2000) gambir dapat digunakan sebagai campuran untuk menyirih, anti bakteri, anti diare, zat warna alami dan sebagai zat penyamak kulit. Untuk didapatkan warna yang berbeda – beda diperlukan konsentrasi gambir yang berbeda – beda.

Dalam pembuatan cat alami digunakan air destilasi sebagai pelarut. Syarat umum kualitas air yang digunakan pada pembuatan cat adalah bersih, tidak bewarna tidak berbau, tidak sadah, tidak mengandung unsur – unsur logam, tidak mengandung mikroorganisme yang merusak dan jika dimungkinkan tidak mengandung trace mineral dalam bentuk apapun (Baird,1908). Kualitas air akan berpengaruh besar pada pembuatan cat. Adanya mineral dan logam akan memungkinkan terjadinya reaksi yang tidak diharapkan pada cat yang diproduksi, seperti terjadinya perubahan warna.

Proses pembuatan cat alami mudah dan tidak membutuhkan biaya mahal. Untuk mengetahui mutu dari cat alami diperlukan analisis mutu cat, seperti densitas, viskositas, total padatan dan bahan menguap, waktu mengering (waktu kering sentuh dan waktu kering keras), daya tutup, daya rekat, nilai L* a* b* (uji warna), nilai pH, efek chalking dan settling atau endapan.

4.3 Analisis Mutu Produk Cat

Cat yang dihasilkan dari penelitian ini adalah cat yang bewarna coklat muda hingga coklat tua yang dapat diaplikasikan atau dioleskan pada tembok dan kayu. Cat tersebut dianalisa parameter mutunya, yang bertujuan untuk mengetahui sifat – sifat cat tersebut. Secara umum, pengujian cat terdiri dari dua jenis yaitu uji kuantitatif dan uji kualitatif. Berdasarkan hasil uji kuantitatif dan kualitatif, diperoleh mutu cat tersebut, seperti yang dijelaskan di bawah ini.

4.3.1 Uji Kuantitatif

Uji kuantitatif merupakan pengujian yang dilakukan untuk mengetahui karakteristik cat yang dapat dinyatakan dalam suatu besaran. Uji kuantitatif terdiri dari pengukuran densitas, viskositas, kadar padatan total dan bahan menguap, waktu mengering, daya rekat, daya tutup, nilai pH dan nilai L* a* b* (uji warna). Proses pengujian dilakukan pada grc board atau eternit yang terbuat dari semen yang memiliki kesamaan dengan tembok.

4.3.1.1 Densitas Cat

(34)

22 adalah perbandingan bobot dari volume suatu bahan dengan bobot air pada volume yang sama pada suhu tertentu. Densitas suatu cat ditentukan oleh komponan – komponen penyusun yang ada di dalam cat. Bahan pengikat, pewarna, dan pengering serta bahan pengisi merupakan komponen yang dapat meningkatkan densitas suatu cat. Pelarut dan pengencer selain berfungsi sebagai pengatur kekentalan juga memiliki fungsi untuk menurunkan bobot jenis.

Hubungan antara perbandingan bobot kasein terhadap kapur tohor dengan densitas formula cat pada konsentrasi larutan gambir 5%, 15% dan 25% diperlihatkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Hubungan antara perbandingan bobot kasein terhadap kapur tohor dengan densitas cat pada berbagai tingkat konsentrasi larutan gambir.

Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa densitas cat cenderung naik dengan meningkatnya konsentrasi larutan gambir dan penggunaan kapur tohor. Hal ini terjadi karena dengan semakin tingginya jumlah bahan pengisi, binder, dan pigmen yang digunakan, maka densitas cat akan semakin meningkat (Talbert, 2008). Semakin banyak jumlah gambir yang digunakan maka semakin tinggi densitasnya. Hal ini disebabkan semakin tinggi konsentrasi larutan gambir, maka semakin tinggi pula padatan yang terkandung dan menyebabkan naiknya densitas cat. Pada Lampiran 4 dapat dilihat data hasil pengukuran densitas cat.

Densitas cat yang dihasilkan dari penelitian berkisar antara 1,064 – 1,137 g/ml. Nilai tersebut berbeda jauh dengan Standar Nasional Indonesia (SNI), yang memiliki nilai minimum sebesar 1,2 g/ml. Hal ini disebabkan oleh pada pembuatan cat ini tidak diberikan bahan tambahan lainnya seperti bahan pengisi (filler) dan bahan aditif. Sampel A3B3 memiliki densitas tertinggi yaitu 1,137 g/ml, karena menggunakan konsentrasi larutan gambir tertinggi (25%) dan perbandingan bobot kasein terhadap kapur tohor dengan jumlah kapur tohor yang lebih banyak (1 : 3). Di lain pihak, sampel A1B1 memiliki nilai densitas terendah yaitu 1,064 g/ml, karena menggunakan konsentrasi larutan gambir terendah dan perbandingan bobot kasein terhadap kapur tohor dengan bobot kapur tohor lebih rendah (3 : 1). Tingginya 1,02 1,04 1,06 1,08 1,1 1,12 1,14 1,16

5% 15% 25%

Densi ta s Ca t (g /m l)

Konsentrasi Larutan Gambir

Kasein : Kapur Tohor 3 : 1

Kasein : Kapur Tohor 1 : 1

(35)

23 densitas cat dapat disebabkan oleh banyaknya fraksi bobot yang digunakan pada cat seperti kapur, kaolin, talc dan mica (Ernest, 1989).

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa penggunaan kapur tohor yang semakin meningkat akan meningkatkan densitas cat, hal tersebut dapat dikarenakan kapur tohor memiliki kerapatan molekul yang lebih tinggi dibandingkan kasein, sehingga ketika digunakan sebagai bahan baku cat akan mempengaruhi densitas cat tersebut. Densits kapur tohor adalah sebesar 3,35 g/ml sedangkan densitas kasein adalah sebesar 1,12 g/ml. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan kapur tohor akan memepngaruhi densitas cat.

Pengukuran densitas cat dimaksudkan untuk mengetahui mutu cat tersebut. Cat dengan densitas yang tinggi patut dicurigai banyak kandungan bahan pengisi yang digunakan. Bahan pengisi biasa digunakan untuk mengurangi biaya produksi cat, dengan membantu meningkatkan daya tutup dengan mengurangi penggunaan pigmen.

Hasil analisis keragaman (Lampiran 5) menunjukkan bahwa faktor konsentrasi gambir, perbandingan kasein terhadap kapur tohor dan interaksi antara kedua faktor tersebut memberikan pengaruh nyata terhadap nilai densitas formula cat pada α = 0,05 dan α = 0,01. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan perbandingan kasein terhadap kapur tohor, konsentrasi gambir, dan interaksi antara perlakuan berbeda nyata terhadap nilai densitas formula cat pada α = 0,05 dan α = 0,01, tetapi pada sampel A3B2 (perbandingan bobot kasein terhadap kapur tohor 1:3, dan konsentrasi gambir 15%) tidak berbeda nyata dengan sampel A2B3 (perbandingan bobot kasein terhadap kapur tohor 1:1, dan konsentrasi gambir 25%) pada α = 0,05 dan α = 0,01.

4.3.1.2 Total Padat

Gambar

Tabel 6. Hasil analisis mutu kasein yang diperoleh
Tabel 7. Hasil Analisis Mutu Gambir
Gambar 13. Hasil warna setelah pengecatan
Gambar 17. Struktur kimia glukosa
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi maltodekstrin yang digunakan dalam pembuatan bubuk pewarna alami dari daun suji maka akan semakin tinggi

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan formula proporsi antara konsentrasi dan jenis bahan pengisi yang tepat dalam pembuatan pewarna bubuk merah alami,

Kombinasi perlakuan yang dihasilkan mutu cat tembok emulsi terbaik diperoleh dari perlakuan konsentrasi emulsifier 20% dan perekat 15% dengan karakteristik sebagai

Hasil dari penelitian bahan yang tidak larut dalam air dari pengolahan gambir tradisional di Kecamatan Pergetteng Getteng Sengkut dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil uji

Kemurnian gambir ditandai dengan tidak adanya urea dalam gambir. Identifikasi urea dilakukan dengan cara 100 mg serbuk gambir dilarutkan dalam 1mL air lalu ditambahkan

dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi maltodekstrin yang digunakan dalam pembuatan bubuk pewarna alami dari daun suji maka akan semakin tinggi

2.5 Pembuatan Bedak Kompak dengan Ekstrak Buah Buni sebagai Pewarna dalam Berbagai Konsentrasi 2.5.1 Formula sediaan pewarna pipi Formula dasar yang dipilih pada pembuatan bedak