i
PRESLI NAINGGOLAN
C24062080
Skripsi
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
ii
Dengan ini saya menyataan bahwa skripsi yang berjudul:
Distribusi Spasial Dan Pengelolaan Lamun (
Seagrass
) di Teluk
Bakau, Kepulauan Riau
Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada pergurun tinggi manapun. Semua sumber dan informasi yang berasal
atau kutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2011
Presli Nainggolan, C24062080. Distribusi Spasial dan Pengelolaan Lamun (Seagrass) Di Teluk Bakau, Kepulauan Riau. Dibawah bimbingan Agustinus M. Samosir dan M. Husni Azkab
Padang lamun sebagai suatu ekosistem di daerah pesisir panatai akan terus mengalami perubahan oleh berbagai sebab, sehingga penelitian menegenai distribusi spasial lamun juga harus dilakukan. Data dan informasi yang diperoleh tidak hanya untuk ilmu pengetahuan tetapi juga untuk pengelolaan sumberdayanya. Penelitian dilakukan kurang lebih 2 minggu pada bulan Agustus 2010 dengan menggunakan metode gabungan yang biasa dilakukan pada terumbu karang yaitu, “Line Intersecpt Transect” dan “Stop and Go”. Selama penelitian ditemukan 10 dari 13 jenis lamun dan penyebarannya mulai dari pantai ke arah tubir umumnya berkesinambungan. Hal ini menyebabkan tidak ditemukan lamun yang hidup secara monospesifik dan daerah tersebut belum mengalamin ganguan ekologis secara nyata. Karakteristik habitat, struktur komunitas, ancaman dan rencana pengelolaan lamun ikut dibahas.
Presli Nainggolan, C24062080. Spatial Distribution And Management Of Seagrass in Teluk Bakau, Kepulauan Riau. Dibawah bimbingan Agustinus M. Samosir dan M. Husni Azkab
Seagrass beds as ecosystem in the coastal areas will continue to experience change by various reasons, so that research on the spatial distribution of seagrasses also be done. Data and information obtained not only for science but also for the management of resources. The study was conducted approximately 2 weeks in August 2010 using a combination of the usual method on coral reef that is, "Line Intercept Transect " and"Stop and Go". During the study found 10 of 13 species of seagrass and its spread from the coast towards the edge of generally continuous. This causes no seagrass was found living in the area monospesifik and not undergo significant ecological disturbance. Characteristics of habitats, community structure, threats and seagrass management plan involved are discussed.
(Seagrass) Di Teluk Bakau, Kepulauan Riau. Dibawah bimbingan Agustinus M. Samosir dan M. Husni Azkab
Padang lamun yang tersebar luas di perairan dangkal merupakan ekosistem bahari sangat produktif dan berperan penting dalam kehidupan tetapi sering kali kurang mendapat perhatian. Menurut Fortes (1994) in Warastri (2009), kondisi ekosistem padang lamun di perairan Indonesia telah mengalami kerusakan sekitar 30-40%. Adapun kerusakan tersebut antara lain disebabkan pengembangan wilayah, penangkapan ikan yang tidak ramah ikan dan pencemaran. Kerusakan akan berdampak kepada keanekaragaman dan juga perubahan luasaan (zonasi). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kondisi lingkungan dan struktur komunitas lamun pada kegiatan-kegiatan yang memberikan dampak tersebut, khususnya melihat perubahan pola sebaran spasial lamun dan membuat rencana pengelolaan bagi kegiatan yang memberikan dampak bagi lamun.
Pendugaan sebaran wilayah dan luas tutupan lamun dapat dilakukan dengan beberapa metode. Salah satunya adalah metode survei lapang yang digunakan dalam peneltian, yaitu menggunakan gabungan antara “Line Intersecpt Transect” dan metode “Stop and Go” yang biasa digunakan untuk mengamati Terumbu Karang. Metode ini menggunakan garis paralel yang saling terhubung sehingga dapat melihat distribusi lamun secara horisontal dan vertikal. Adapun parameter yang diamati dalam setiap stasiun adalah jenis, dan luas penutupan lamun, serta kecerahan, kedalaman, jenis substrat, kedalaman substrat dan kecepatan arus, juga TSS, Ortophospat, Nitrat dan Amonia. Pengukuran dilakukan di lain stasiun, yang mewakili karakteristik wilayah perairan Teluk Bakau.
Dari hasil pengukuran lapangan Teluk Bakau ditemukan 10 jenis lamun yang tersebar di 5 lokasi pengamatan, yaitu: Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Cymodocea serullata, Halodule pinilofolia, Halodule uninervis, Halophila ovalis.
Halophila spinoulosa, Syringodium isoetifolium, Thalassia hempricii dan
hampir disetiap Stasiun. Persentase penutupan lamun tertinggi pada Stasiun 5 yang mencapai 89,96 % dan penutupan lamun terendah terdapat di Stasiun 4 sebesar 24,83%. Berdasarkan jumlah jenis lamun yang ditemukan di Teluk Bakau menunjukan bahwa Stasiun 4 memiliki jumlah jenis yang paling banyak ditemukan, yaitu 8 jenis kemudian diikuti oleh Stasiun 5 sekitar 7 jenis dan stasiun lainnya jumlah jenis yang ditemukan hampir merata. Ini menggambarkan tingkat keanekaragaman Teluk Bakau sangat tinggi (10 dari 13 jenis lamun yang telah ditemukan di Indonesia) dan berada dalam kondisi baik dan stabil. Berdasarkan pengukuran kualitas lingkungan perairan Teluk Bakau keadaan lingkugan perairan juga dalam kondisi baik, sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi lamun diperairan Teluk Bakau belum mengalami ganguan ekologis secara nyata.
Walaupun demikian adanya kegiatan pengembangan wilyah pesisir merupakan suatu ancaman bagi lamun. Ancaman yang terindentifikasi di Teluk Bakau adalah penambangan pasir, pengembangan wisata, pembangunan pemukiman diatas perairan dan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu, perlu adanya Peraturan Daerah yang tegas mengatur tata guna lahan dan penggunaan alat tangkap ikan, serta yang paling utama adalah menentukan daerah konservasi lamun. Hal ini perlu dilakukan agar lamun pada daerah tersebut tetap lestari.
Presli Nainggolan, C24062080. Spatial Distribution And Management Of Seagrass in Teluk Bakau, Kepulauan Riau. Dibawah bimbingan Agustinus M. Samosir dan M. Husni Azkab
Seagrass beds are widespread in shallow waters are highly productive marine ecosystem and play an important role in life but often receive less attention. According to Fortes (1994) in Warastri (2009), the condition of seagrass ecosystems in the waters of Indonesia has suffered damage of about 30-40%. The damage is partly due to the development of the region, which is not friendly fishing and fish contamination. Damage will also affect the diversity and changes in area (zoning). This research was conducted to determine the environmental conditions and community structure of seagrass on activities that provide the impact, especially given the changes in spatial distribution patterns of seagrasses and create a management plan for activities that give effect to the seagrass.
Estimation of the distribution of seagrass cover wide areas and can be done by several methods. One of them is a field survey methods used in the course of a study, using a combination of "Line Intercept Transect " and method "Stop and Go" which is used to observe the Coral Reef. This method uses parallel lines which are connected so that they can see seagrass distribution horizontally and vertically. The parameters were observed in each station is a type, and widespread closure of beds, as well as brightness, depth, substrate type, substrate depth and current velocity, as well as TSS, Ortophospat, Nitrate and Ammonia. Measurements were taken at other stations, which represent the characteristics of the territorial waters of Teluk Bakau.
From the observation data, found 10 Mangrove Bay seagrass species spread across 5 locations of observation, namely: Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Cymodocea serullata, Halodule pinilofolia, uninervis Halodule,
Halophila ovalis. Halophila spinoulosa, Syringodium isoetifolium, hempricii and
Thalassodendron Thalassia ciliatum. The seagrass species found in waters pontianak is dominated by species Thalassia hempricii and Enhalus acoroides
a number of species most commonly found, 8 species, followed by Station 5 of 7 species and other stations the number of species found almost evenly. This illustrates a very high level of diversity Teluk Bakau (10 of 13 seagrass species have been discovered in Indonesia) and are in good condition and stable. Based on the measurement of water environment quality of environmental waters Teluk Bakau state also in good condition, so it can be concluded that the condition of seagrass Teluk Bakau waters have not experienced significant ecological disturbance.
Nevertheless the coastal wilyah development activities are a threat to the seagrass. Threats identified in Teluk Bakau is sand mining, tourism development, residential development above the water and catching fish that are not environmentally friendly. Therefore, the need for regional regulation that expressly regulate land use and the use of fishing gear, as well as the most important is to determine seagrass conservation area. This needs to be done for seagrass in the region remain stable.
iii
(
Seagrass
) Di Teluk Bakau, Kepulauan Riau. Dibawah bimbingan Agustinus M.
Samosir dan M. Husni Azkab
Padang lamun yang tersebar luas di perairan dangkal merupakan ekosistem
bahari sangat produktif dan berperan penting dalam kehidupan tetapi sering kali
kurang mendapat perhatian. Menurut Fortes (1994)
in
Warastri (2009), kondisi
ekosistem padang lamun di perairan Indonesia telah mengalami kerusakan sekitar
30-40%. Adapun kerusakan tersebut antara lain disebabkan pengembangan wilayah,
penangkapan ikan yang tidak ramah ikan dan pencemaran. Kerusakan akan
berdampak kepada keanekaragaman dan juga perubahan luasaan (zonasi). Penelitian
ini dilakukan untuk mengetahui kondisi lingkungan dan struktur komunitas lamun
pada kegiatan-kegiatan yang memberikan dampak tersebut, khususnya melihat
perubahan pola sebaran spasial lamun dan membuat rencana pengelolaan bagi
kegiatan yang memberikan dampak bagi lamun.
Pendugaan sebaran wilayah dan luas tutupan lamun dapat dilakukan dengan
beberapa metode. Salah satunya adalah metode survei lapang yang digunakan dalam
peneltian, yaitu menggunakan gabungan antara “
Line Intersecpt Transect”
dan
metode “
Stop and Go”
yang biasa digunakan untuk mengamati Terumbu Karang.
Metode ini menggunakan garis paralel yang saling terhubung sehingga dapat melihat
distribusi lamun secara horisontal dan vertikal. Adapun parameter yang diamati
dalam setiap stasiun adalah jenis, dan luas penutupan lamun, serta kecerahan,
kedalaman, jenis substrat, kedalaman substrat dan kecepatan arus, juga TSS,
Ortophospat, Nitrat dan Amonia. Pengukuran dilakukan di lain stasiun, yang
mewakili karakteristik wilayah perairan Teluk Bakau.
Dari hasil pengukuran lapangan Teluk Bakau ditemukan 10 jenis lamun yang
iv
Thalassodendron ciliatum.
Adapun jenis lamun yang ditemukan pada perairan Desa Teluk Bakau di
dominasi oleh jenis
Enhalus acoroides
dan
Thalassia hempricii
yang tersebar merata
hampir disetiap Stasiun. Persentase penutupan lamun tertinggi pada Stasiun 5 yang
mencapai 89,96 % dan penutupan lamun terendah terdapat di Stasiun 4 sebesar
24,83%. Berdasarkan jumlah jenis lamun yang ditemukan di Teluk Bakau
menunjukan bahwa Stasiun 4 memiliki jumlah jenis yang paling banyak ditemukan,
yaitu 8 jenis kemudian diikuti oleh Stasiun 5 sekitar 7 jenis dan stasiun lainnya
jumlah jenis yang ditemukan hampir merata. Ini menggambarkan tingkat
keanekaragaman Teluk Bakau sangat tinggi (10 dari 13 jenis lamun yang telah
ditemukan di Indonesia) dan berada dalam kondisi baik dan stabil. Berdasarkan
pengukuran kualitas lingkungan perairan Teluk Bakau keadaan lingkugan perairan
juga dalam kondisi baik, sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi lamun diperairan
Teluk Bakau belum mengalami ganguan ekologis secara nyata.
v
PRESLI NAINGGOLAN
C24062080
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
vi
Judul penelitian
: Distribusi Spasial dan Pengelolaan Lamun (
Seagrass
) di
Teluk Bakau, Kepulauan Riau
Nama
: Presli Nainggolan
Nomor pokok
: C24062080
Program studi
: Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui :
Pembimbing 1
Ir. Agustinus M. Samosir, M. Phil
NIP.19611211 198703 1003
Pembimbing 2
Drs. M. Husni Azkab, APU
NIP. 19510111 197903 1001
Diketahui :
Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc
NIP.19660728 199103 1 002
vii
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunianya yang telah diberikan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul
Distribusi Spasial dan
Pengelolaan Lamun (
Seagrass
) di Teluk Bakau, Kepulauan Riau;
disusun
berdasarkan tujuan penelitian yang akan dilaksanakan pada Agustus 2010, dan
merupakan salah satu syarat untuk untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Pada kesempatan ini, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada Ir. Agustinus M. Samosir, M.phil selaku ketua komisi dosen
pembimbing dan Ketua Komisi Pendidikan S1, dan Drs. M. Husni Azkab, APU
selaku pembimbing anggota serta seluruh pihak yang telah memberikan bimbingan,
arahan, masukan dan bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, di karenakan
keterbatasan penulis. Namun demikian, penulis mengharapkan bahwa hasil penelitian
ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.
Bogor, Februari 2011
Penulis
viii
Penulis dilahirkan di Padang Tikar pada tanggal 21 November
1988 yang merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari
pasangan Bapak Adolf Nainggolan dan Ibu Lasma Ida
Pangaribuan. Pendidikan formal penulis dimulai di SD negeri 02
Padang Tikar (1994-2000), SLTP Negeri 2 Pontianak
(2000-2003), dan SMA Negeri 7 Pontianak (2003-2006). Penulis
melanjutkan pendidikan di Institut Pertanaian Bogor melalui jalur
USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Setelah melewati tahap Tingkat Persiapan
Bersama selama setahun, penulis diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam mengikut kegiatan Unit
Kegiatan Mahasiswa Kerohanian (UKM-PMK), Himpuanan Mahasiswa Manajemen
Sumberdaya Perairan (Himasper), Ormas Kemahasiswaan Kristen (GMKI) dan
beberapa kegiatan mahasiswa lainya. Penulis diberi kepercayaan dan kesempatan
menjadi asistem Mata Kuliah Ekotoksiologi (2009) dan Konservasi Sumberdaya
Hasil Perairan (2010).
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh untuk memperoleh gelar sarjana,
penulis menyusun skripsi dengan judul
“Distribusi Spasial dan Pengelolaan
Lamun (
Seagrass
) di Teluk Bakau, Kepulauan Riau ”.
ix
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1.
Ir. Agustinus M. Samosir, M. Phil dan Drs. M. Husni Azkab, APU selaku dosen
pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan nasehat serta,
masukan kepada penulis selama penelitian sampai kepada penyususnan skripsi
ini.
2.
Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku dosen penguji dan Dr. Ir. Yunizar
Ernawati, M. Sc selaku wakil komisi pendidikan program S1, atas saran, nasehat,
dan perbaikan yang diberikan.
3.
Drs. Niken TM. Pratiwi selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
membimbing penulis selama perkuliahan.
4.
Keluarga tercinta; Ayahnda Adolf Nanggolan, Ibunda Lasma Ida Pangaribuan,
dan adinda Rosiana Nainggolan yang tak pernah henti-hentinya memberikan doa,
dukungan, semangat dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini.
5.
P2O-LIPI Jakarata : Pak Hutomo, Pak Tri Edi, Pak Sam, dan Pak Happy yang
membantu penulis dengan memberikan nasehat dan saran masukan untuk
penelitian saya.
6.
Kepala BAPPEDA Bintan, Camat Gunung Kijang dan Kepala Desa Teluk Bakau
yang telah memberikan izin penelitian lamun di Teluk Bakau. Bang Dul dan
Bang Zahid selaku Fasilitator lapangan yang telah banyak membantu penelitian
penulis. Keluarga besar H. Sitorus dan H. Manurung yang telah memberikan
fasilitas tempat tinggal selama penelitian penulis berlangsung. Para Staf Tata
usaha MSP atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis.
Salomo Anderson Ricky Santo Sitorus Dwicko Patrick Sukma Saragih, Parulian
Sinaga, R. H. Restama Gustar, dan Daniel Januar Prakasa Haraditha Siahaan.
Yang telah memberikan dukungan dan masukan, bantuan kepada penulis selama
masa perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini. Serta Keluarga Besar MSP 42,
43, dan 44 atas dukungan dan kebersamaannya selama ini serta seluruh pihak
yang membantu.
7.
Civitas Cipayung, Khususnya GMKI yang telah memberikan dukungan Doa dan
semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini
x
DAFTAR GAMBAR
... xiii
DAFTAR LAMPIRAN
... xiv
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang ... 1
1.2. Perumusan masalah ... 2
1.3. Tujuan ... 5
1.4. Manfaat ... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lamun ... 6
2.1.1. Karakteristik dan habitat ... 6
2.1.2. Pola distribusi ... 7
2.1.3. Suksesi ... 9
2.2. Habitat ... 10
2.2.1. Substrat ... 10
2.2.1. Kedalaman dan kecerahan ... 11
2.2.2. Padatan tersuspensi total ... 12
2.2.3. Pasang lamun ... 12
2.3. Konservasi Lamun ... 12
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 14
3.2. Alat dan Bahan ... 15
3.3. Jenis dan Metode Pengumpulan Data ... 15
3.4. Analisis Data ... 18
3.4.1. Struktur komunitas lamun ... 18
3.4.2. Distribusi spasial lamun ... 21
3.4.3. Zonasi lamun ... 21
3.4.4. Zona konservasi ... 21
IV. TELUK BAKAU
4.1. Profil Wilayah ... 22
4.1.1. Letak geografis ... 22
4.1.2. Iklim ... 22
4.1.3. Topografi dan lereng ... 23
4.1.4. Morfologi dan bentuk lahan ... 25
4.1.5. Jenis dan kondisi tanah ... 26
4.1.6. Hidrologi ... 28
xi
5.2.1. Komposisi jenis lamun ... 34
5.2.2. Kerapatan jenis ... 38
5.2.3. Persentase penutupan ... 39
5.2.4. Indeks nilai penting (INP) ... 40
5.2.5. Indeks keanekaragaman, keseragaman, dominansi ... 41
5.3. Sebaran Spasial Lamun ... 44
5.4. Ancaman Terhadap Padang Lamun Teluk Bakau ... 48
5.5. Rencana pengelolaan lamun Teluk Bakau ... 51
VI. KESIMPULAN
6.1. Kesimpulan ... 55
6.2. Saran ... 56
DAFTAR PUSTAKA
... 57
xii
1.
Status padang lamun ... 10
2.
Ukuran besar butiran untuk tipe substrat menurut skala Wenworth
(Wenworth
1992
in
Mckenzie dan Yoshida 2009) ... 13
3.
Alat dan Bahan ... 15
4.
Komposisi, Jenis dan teknik pengambilan data ... 16
5.
Kelas kemiringan lereng ... 23
6.
Sebaran Kemiringan Lereng Per-desa ... 24
7.
Deskripsi bentuk lahan timur P. Bintan ... 25
8.
Distribusi bentuk lahan per desa ... 26
9.
Deskripsi dan sebaran jenis tanah ... 27
10.
Deskripsi dan Sebaran Jenis Tanah Per Desa ... 27
11.
Hasil pengamatan karakteristik perairan ... 32
12.
Kerapatan jenis lamun ... 39
13.
Persentase penutupan lamun ... 40
xiii
1.
Diagram alir tahap penelitian ... 4
2.
Tumbuhan lamun ... 6
3.
Lokasi Penelitian ... 14
4.
Cara pengambilan titik sampel ... 17
5.
Peta umum P. Bintan ... 24
6.
Kondisi stasiun ... 31
7.
Komposisi jenis lamun setiap stasiun berdasarkan kerapatan jenis
setiap stasiun ... 36
8.
Nilai indeks keanekaragaman(H’), keseragaman(E), dan dominasi (D)
Lamun
...
42
9.
Peta Sebaran Spasial Lamun ... 45
10.
Peta Sebaran lamun (2008) ... 47
11.
Peta pemanfaatan Teluk Bakau saat ini ... 49
xiv
1.
Data sampling ... 61
2.
Indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman, dan Indeks Dominansi ... 68
3.
Baku mutu air laut untuk biota laut ... 69
4.
Persen penutupan standar menurut McKenzie (2003) ... 70
5.
Identifikasi lamun ... 71
6.
Metode analisis ... 73
7.
Contoh Perhitungan ... 74
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lamun atau secara internasional dikenal sebagai seagrass, merupakan
tumbuhan tingkat tinggi dan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya
menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut dangkal. Keberadaan bunga dan
buah ini adalah faktor utama yang membedakan lamun dengan jenis tumbuhan
laut lainnya, seperti rumput laut (seaweed). Hamparan lamun sebagai ekosistem
utama pada suatu kawasan pesisir disebut sebagai padang lamun (seagrass bed).
Padang lamun yang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir
memiliki keanekaragaman-hayati yang kaya dan merupakan penyumbang nutrisi
yang sangat potensial bagi perairan disekitarnya mengingat produktivitasnya yang
tinggi. Pada ekosistem padang lamun, berasosiasi berbagai jenis biota laut yang
bernilai penting dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi (pksplipb.or.id,
2009).
Berdasarkan fungsinya padang lamun memiliki fungsi ekologis dan fungsi
ekonomis yang sangat penting bagi manusia. Menurut Nybakken 1988 in
pksplipb 2009, fungsi ekologis padang lamun adalah: (1) sumber utama
produktivitas primer, (2) sumber makanan bagi organisme dalam bentuk detritus,
(3) penstabil dasar perairan dengan sistem perakarannya yang dapat menangkap
sediment (trapping sediment), (4) tempat berlindung bagi biota laut, (5) tempat
perkembangbiakan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), serta
sumber makanan (feeding ground) bagi biota-biota perairan laut, (6) pelindung
pantai dengan cara meredam arus, (7) penghasil oksigen dan mereduksi CO2 di
dasar perairan. Sedang fungsi ekonomis dari lamun adalah sebagai daerah
tangkapan ikan, karena keberadaan lamun dapat meningkatkan produktivitas ikan.
Selain itu lamun juga dimanfaatkan sebagai bahan kerajianan dan obat.
Menurut Kuriandewa (2009) Indonesia mempunyai luas padang lamun
sekitar 30.000 Km2. Padang lamun yang begitu luas memungkinkan banyaknya
biota yang hidup berasosiasi dengan lamun seperti alga, moluska, krustasea,
baik tinggal menetap, sementara maupun mengunjungi untuk mencari makan atau
melindungi diri dari pemangsa. Peranan lamun begitu besar namun sering kali
ekosistem ini kurang mendapat perhatian. Menurut Fortes (1994) in Warastri
(2009), kondisi ekosistem padang lamun di perairan Indonesia mengalami
kerusakan sekitar 30-40%.
Setidaknya ada 13 jenis lamun telah dilaporkan terdapat di perairan
Indonesia. Disamping itu, ada dua jenis lamun yakni Halophila beccarii dan
Ruppia maritima yang dipercaya terdapat di Indonesia, meskipun keberadaan
keduanya hanya di ketahui dari herbarium yang terletak di Bogor. H. beccarii
tanpa informasi yang jelas lokasi ditemukannya, sedangkan R. maritima ditemui
dikawasan mangrove sekitar Ancol (Jakarta) dan pasir putih (Jawa Timur).
Namun setelah itu tidak ditemukan lagi dilapangan oleh para peneliti sampai
beberapa dekade terkhir in. Lain halnya Thalassodendron ciliatum menunjukan
sebaran yang sangat khusus yakni hanya terdapat di Indonesia bagian timur, di
Maluku dan Nusa Tenggara. Thalassodendron ciliatum ditemukan juga di
Indonesia bagian barat yaitu perairan Kangean dan Kepulauan Riau. Dua jenis
lainya Halophila spinulosa dan Halophila dicipiens tercatat hanya terdapat
dibeberapa lokasi saja. Tahun 1989, ditemukan jenis baru, Halophila sulawesii,
diperairan Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Jenis ini mirip dengan
Halophila ovalis namun bersifat monoceious (berumah satu) dan ditemukan di
perairan dalam sekitar 10-30 m (Kuriandewa, 2009).
Meneurut penelitian sebelumnya ditemukan 10 jenis lamun berada di Teluk
Bakau. Hal ini merupakan jenis lamun yang ditemukan sangat tinggi
dibandingkan daerah lainnya. Namun keberadaanya terancam akibat lemahnya
pengelolaan. Ancaman tersebut dapat datang dari kegiatan pembangunan
pemukiman, pengembangan daearah wisata, penangkapan ikan dan pengerukan
pasir.
1.2 Perumusan Masalah
Dipesisir Pulau Jawa kondisi ekosistem padang lamun telah mengalami
ganguaan yang cukup serius, diperkirakan 60% padang lamun telah mengalami
Pulau Bali dan Pulau Lombok ganguan diduga bersumber dari penggunaan
potassium sianida dan telah berdampak pada penurunan nilai penutupan dan
kerapatan spesies padang lamun.
Kepulauan Riau merupakan daerah provinsi baru yang sedang berkembang
dalam berbagai sektor, baik sektor ekonomi maupun sosial. Salah satu
perkembangan dalam sektor ekonomi adanya reklamasi daerah pesisir.
Berdasarkan Gambar 1, hal ini memungkinkan akan menjadi salah satu faktor
penyebab kerusakan alam di perairan Kepulauan Riau. Menurut informasi yang
didapat kegiatan penambangan pasir laut telah berlangsung sejak tahun 1970,
yakni wilayah yang berbatasan langsung dengan Singapura. Kegiatan tersebut
telah mengeruk jutaan ton pasir setiap hari dan mengakibatkan kerusakan
ekosistem pesisir pantai yang cukup parah. Penambangan pasir laut juga
mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil karena dapat menenggelamkannya,
misalnya kasus Pulau Nipah. Tenggelamnya pulau-pulau kecil tersebut
menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia, karena dengan perubahan pada
kondisi geografis pantai akan berdampak pada penentuan batas maritim dengan
Singapura di kemudian hari (Yono, 2009)
Dampak negatif lain yang ditimbulkan oleh penambangan adalah
peningkatan kekeruhan yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi padatan
tersuspensi. Perubahan fisik dasar laut, seperti erosi, sedimentasi, dan pelumpuran
merupakan ancaman yang dihadapai komunitas lamun. Kekeruhan juga
mengangu proses fotosintesis dan pertumbuhan pada lamun karena menghalangi
cahaya matahari yang masuk kedalam perairan.Perubahan fisik tersebut
mengurangi wilayah dan kepadatan tutupan padang lamun.
Oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk mengetahui status lamun saat
ini sebagai dampak kegiatan manusia dan aktivitas alam terhadap
keanekaragaman dan sebaran lamun secara rutin. Sehingga kelestarian dari
ekosistem ini dapat terjaga. Salah satu cara untuk melakukan pemantauan adalah
dengan melihat sebaran spasial lamun. Salah satu alternatif dalam mengetahui
sebaran spasial lamun adalah dengan menggunakan teknologi penginderaan jarak
yang luas dan waktu yang cepat sehingga dapat menghemat waktu dan biaya.
Untuk mendukung akurasi data perlu dilakukan pengecekan data dilapangan.
Gambar 1. Diagram alir tahap penelitian
Setelah data-data mengenai status lamun terkumpul baik data yang
diperoleh dari pengamatan dilapangan berupa data tata guna lahan yang diperoleh
dari penelitian dan data stastus lamun sebelumnya. Data tersebut akan
mengambarkan status padang lamun Teluk Bakau yang menggalami perubahan.
Setelah itu dibuat bentuk rencana pengelolaan lamun di Teluk Bakau.Kemudian
disusun bentuk pemanfaatan yang ideal di perairan Teluk Bakau. SUMBERDAYA LAMUN
KEGIATAN MANUSIA DAN AKTIVITAS ALAM
Habitat
1. Kondisi Substrat dasar 2. Pasang surut
3. TSS
4. Kecerahan dan kedalaman 5. Kecepatan aus
6. Nutrien (Ortofosfat, Ammonia, nitrat) Struktur Komunitas:
1. Komposisi jenis lamun 2. Kerapatan lamun 3. Penutupan lamun. 4. INP
5. Indeks keanekaragaman, keseragaman dan
domainansi
RENCANA PENGELOLAAN
LAMUN
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengidentifikasi pola sebaran spasial lamun di Teluk Bakau.
Khususnya untuk mengetahui kondisi lingkungan terhadap struktur komunitas
lamun dan kegiatan yang memberikan dampak bagi lamun.
1.4. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah :
• Memberikan informasi mengenai karakteristik penyebaran lamun di
perairan Teluk Bakau, Kepulauan Riau.
• Memberikan informasi mengenai perubahan komunitas lamun melalui penyebaran lamun.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lamun
2.1.1. Karakteristik lamun
Lamun atau seagrass merupakan tumbuhan berbunga yang sepenuhnya
menyesuaikan diri dengan hidup terbenam dalam laut. Tumbuhan ini (Gambar 2)
terdiri dari rhizome (rimpang), daun, dan akar. Rhizome merupakan batang yang
terbenam dan merayam secara mendatar, serta berbuku-buku. Pada buku-buku
tersebut tumbuh batang pendek yang tegak keatas, berdaun dan berbunga, serta
tumbuh akar. Dengan rhizome dan akar inilah tumbuhan tersebut menampakan
diri dengan kokoh di dasar laut sehingga tahan terhadap hempasan ombak dan
arus. Lamun sebagian besar berumah dua, yaitu dalam satu tumbuhan hanya ada
satu bunga jantan saja atau satu bunga betina saja. Sistem pembiakan bersifat khas
karena mampu melakukan penyerbukan di dalam air (hydrophilous pollination)
dan buahnya juga terbenam di dalam air (Azkab, 2006). Tumbuhan ini memiliki
beberapa sifat yang memungkinkan hidup di lingkungan laut, yaitu mampu hidup
di media air asin, mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, mempunyai
sistem perakaran jangkar yang berkembang dengan baik, mempunyai kemampuan
untuk berkembang biak secara generatif dalam keadaan terbenam, dan dapat
berkompetisi dengan organisme lain dalam keadaan stabil ataupun tidak stabil
pada lingkungan laut (Azkab, 2006).
Lamun tumbuh subur terutama di daerah pasang surut terbuka serta perairan
pantai yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan dengan karang
mati dengan kedalaman 4 m. Dalam perairan yang sangat jernih, beberapa jenis
lamun bahkan di temukan tumbuh sampai kedalaman 8-15 m dan 40 m. Bila
dibandingkan dengan padang lamun yang tumbuh di sedimen karbonat yang
berasal dari patahan terumbu karang, maka padang lamun yang tumbuh di
sedimen yang berasal dari daratan lebih dipengaruhi oleh faktor run off daratan
yang berkaitan dengan kekeruhan, suplai nutrient pada musim hujan, serta
fluktuasi salinitas (Erftemeijer, 1993 in Dahuri, 2003).
Diseluruh dunia telah di identifikasi terdapat 60 jenis lamun, 13 diantaranya
di temukan di Indonesia. Dari 13 jenis lamun yang tumbuh di perairan Indonesia,
10 jenis di temukan di kawasan Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Kerapatan jenis
lamun di pengaruhi faktor tempat tumbuh dari lamun tersebut. Beberapa faktor
yang mempengaruhi kerapatan jenis lamun di antaranya adalah kedalaman,
kecerahan, dan tipe substrat. Lamun tumbuh pada daerah yang lebih dalam dan
jernih memilki kerapatan jenis lebih tinggi daripada lamun yang tumbuh di daerah
dangkal dan keruh. Lamun berada pada substrat lumpur dan pasir kerapatannya
akan lebih tinggi daripada lamun yang tumbuh pada substrat karang mati
(Kiswara, 2004).
2.1.2. Pola distribusi
Ekosistem lamun di Indonesia di jumpai pada daerah pasang surut (inner
intertidal ) dan dibawahnya (upper subtidal). Dilihat dari pola zonasi lamun
secara horizontal, ekosistem lamun terletak diantara dua ekosistem penting yaitu
ekosistem terumbu karang dan mangrove. Ekosistem lamun berhubungan erat dan
berinteraksi dengan mangrove dan terumbu karang serta sebagai mata rantai dan
penyangga (buffer) bagi kedua ekosistem tersebut. Interaksi ketiga kelompok ini
yaitu, interaksi fisik, nutrien dan zat organik melayang, ruaya hewan dan dampak
kegiatan manusia (Begen, 2001)
Zonasi sebaran lamun dari pantai kearah tubir secara umum
berkesinambungan, namun bisa terdapat perbedaan pada komposisi jenis maupun
vegetasi tunggal yang tersusun atas satu jenis lamun dengan membentuk padang
lebat. Vegetasi campuran terdiri dua sampai 12 jenis lamun yang tumbuh
bersama-sama pada satu substrat. Spesies lamun yang biasanya tumbuh dengan
vegetasi tunggal adalah Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophilla
ovalis, Holodule uninervis, Cymodocea serrulata, dan Thalassodendron ciliatum
(Dahuri, 2003). Pada substart berlumpur di daerah mangrove kearah laut sering di
jumpai padang lamun dari spesies tunggal yang berasosiasi tinggi. Sementara
padang lamun vegetasi campuran terbentuk didaerah daerah yang berada didekat
pantai yang lebih rendah dan subtidal yang dangkal. Padang lamun tumbuh
dengan baik di daerah perlindungan serta substrat berpasir dan stabil (Hutomo et
al. 1988 in Dahuri 2003).
Untuk perairan tropis seperti Indonesia padang lamun lebih dominan
tumbuh dengan koloni yang terdiri dari beberapa jenis (mix species) pada suatu
kawasan tertentu. Berbeda dengan kawasan temperate atau daerah dingin yang
kebanyakan di dominasi satu jenis lamun (single species). Penyebaran lamun
memang sangat bervariasi tergantung pada topografi pantai dan pola pasang surut
(Azkab, 2006).
Berdasarkan genangan air dan kedalaman, sebaran lamun secara vertikal
dapat dikelompokan menjadi tiga kategori, yaitu (Kiswara, 1997).
1. Jenis lamun yang tumbuh di daerah dangkal dan selalu terbuka saat air
surut yang mencapai kedalaman kurang dari 1 m saat surut terendah.
Contoh: Holodule pinifola, Holodule uninervis, Halophila minor,
Halophilla ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodoceae rodunata,
Cymodoceae serrulata, Syringodinium isotifolium dan Enhalus acoroides.
2. Jenis lamun yang tumbuh di daerah dengan kedalaman sedang atau daerah
pasang surut dengan kedalaman perairan berkisar 1-5 m. Contoh:
Holodule uninervis, Halophilla ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodoceae
rodunata, Cymodoceae serrulata, Syringodinium isotifolium, Enhalus
acoroides dan Thalassodendron ciliatum.
3. Jenis lamun yang tumbuh pada perairan dalam dengan kedalaman mulai
spinulosa, Thalassia hemprichii, Syringodinium isotifolium dan
Thalassodendron ciliatum.
Sedangkan berdasarkan keadaan pasang surut membagi lamun yang tumbuh
menjadi dua zona, yaitu zona intertidal dan daerah yang berada jauh pantai . Zona
intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis,
Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, Sedangkan Thalassodendron
ciliatum mendominasi zona daerah yang berada jauh pantai (Hutomo, 1997).
2.1.3. Suksesi
Suksesi adalah suatu proses perubahan yang terjadi pada suatu komunitas
dalam jangka tertentu sehingga membentuk komunitas baru yang berbeda dengan
komunitas semula. Sukesi dapat diartikan sebagai perkembangan ekosistem yang
tidak seimbang menuju ekosistem seimbang. Suksesi terjadi akibat modifikasi
lingkungan fisik dalam komunitas dan ekosistem (Sam, 2008).
Komunitas klimaks terjadi pada akhir dari proses suksesi. Komunitas
klimaks adalah suatu komunitas akhir dan stabil (tidak berubah) yang mencapai
keseimbangan dengan lingkunganya. Komunitas klimaks ditandai dengan
terjadinya homeostasis atau keseimbangan, yaitu suatu komunitas yang mampu
mempertahankan kestabilan komponennya dan dapat bertahan dan berbagai
perubahan dalam sistem secara keseluruhan (Sam, 2009).
Menurut Sam (2009) berdasarkan kondisi habitat pada awal suksesi dapat
dibedakan menjadi dua suksesi, yaitu:
a. Suksesi primer terjadi apabila suatu komunitas mendapat ganguan baik
secara alami maupun adanya ganguan akibat campur tangan manusia yang
mengakibatkatkan hilangnya komunitas awal secara total kemudian
terbentuk komunitas baru.
b. Suksesi sekunder terjadi apabila suatu ganguan terhadap komunitas tidak
bersifat merusak total habitat komunitas tersebut sehingga masih terdapat
kehidupan atau substrat seperti sebelumnya. Proses suksesi sekunder
dimulai lagi dari tahap awal, tetapi tidak dari komunitas pionir. Ganguan
yang menyebabkan terjadinya suksesi sekunder dapat berasal dari
2.2. Habitat
Ekosistem lamun merupakan ekosistem yang dinamis sehingga apabila
terjadi ganguan tersebut akan menurunkan keseimbangan ekologisnya. Gangguan
tersebut dapat berupa ganguan fisik, seperti badai dan pasang rendah yang
membuka dan mengeringkan ekosistem lamun sehingga dapat berubah struktur
komunitas dan luasan wilayah ekosistem lamun. Ganguan biologi yang
ditimbulkan aktivitas hewan pengali lubang (udang, kepeting, dan beberapa jenis
ikan) serta aktivitas hewan pemakan lamun (bintang laut, bulu babi, dan duyung).
Selain ganguan alam, kerusakan ekosistem lamun juga disebabkan oleh kegiatan
manusia terutama pulau-pulau yang dijadikan resort wisata, pemukiman dan
kegiatan penambangan pasir laut. Kondisi substrat dasar, kecerahan perairan, dan
adanya pencemaran sangat berperan dalam menentukan komposisi jenis,
kerapatan jenis dan biomasa lamun. Kondisi ekosistem lamun dapat diketahui
dengan melihat persentase penutupan lamun (Tabel 1).
Tabel 1. Status padang lamun
Kondisi Penutupan (%)
Kaya/sehat ≥ 60
Kurang Kaya/Kurang Sehat 30 - 59.9
Miskin ≤ 29.9
Sumber: Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 200 tahun 2004
2.2.1. Substrat
Menurut Dahuri et.al. (2001), tumbuhan lamun mampu hidup pada berbagai
macam tipe substrat mulai dari lumpur hingga karang. Kebutuhan substrat yang
paling utama adalah kedalaman substrat yang cukup. Peranan kedalaman pada
substrat dalam stabilitas sedimen, yaitu sebagai pelindung tanaman dari arus laut
dan sebagai tempat pengolahan serta pemasok nutrien. Hampir semua tipe substrat
lumpur berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang
(Begen, 2001). Berdasarkan karakteristik dan tipe substratnya, padang lamun di
pasir, pasir lumpuran, puing karang, dan batu karang. Pengelompokan ini
berdasarkan ukuran partikel dari substrat tersebut (Dahuri, 2003).
Berdasarkan ukuran dan besar butiran tipe substat dapat diklasifikasi seperti
[image:31.612.121.444.191.494.2]yang ditunjukan tabel 2.
Tabel 2. Ukuran besar butiran untuk tipe substrat menurut skala Wenworth (Wenworth 1992 in Mckenzie dan Yoshida 2009)
Nama Substrat Ukuran
(mm)
Batu (stone)
Bongkah (boulder) > 256
Krakal (coble) 64 – 256 Kerikil (peble) 4 - 64 Butiran (granule) 2 – 4 Pasir sangat kasar (v. coarse
sand) 1 – 2
Pasir (Sand)
Pasir kasar (coarse sand) 1/2 – 1
Pasir sedang (medium sand) 1/4 - ½
Pasir halus (fine sand) 1/8 - ¼
Pasir sangat halus (v.fine sand) 1/16 - 1/8
Lumpur kasar (coarse silt) 1/32 - 1/16
Lumpur sedang (medium silt) 1/64 - 1/32
Lumpur (Silt)
Lumpur halus (silt) 1/128 - 1/64
Lumpur sangat halus (v. fine silt) 1/256 - 1/128
Lempung kasar (coarse clay) 1/640 - 1/256
Lempung sedang (medium clay) 1/1024 - 1/640
Lempung (Clay)
Lempung halus (fine clay) 1/2360 - 1/1024
Lempung sangat halus(v. fine
clay) 1/4096 - 1/2360
2.2.2. Kedalaman dan kecerahaan
Kecerahan perairan menunjukan kemampuan cahaya untuk menembus
lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami, kecerahan sangat
penting karena erat dengan proses fotosintesis. Semakin tinggi nilai kecerahan
maka akan tinggi pula tingkat penetrasi cahaya ke kolom perairan. Penetrasi
cahaya matahari atau kecerahan sangat penting bagi tumbuhan lamun. Hal ini
terlihat dari sebaran lamun yang terbatas pada daerah yang masih menerima
cahaya matahari (Supriharyono, 2009). Daya jangkau atau kemampuan tumbuh
saturasi cahaya setiap individu lamun. Distribusi kedalaman tergantung dari
hubungan beberapa faktor yaitu, gelombang, arus substrat, turbiditas dan penetrasi
cahaya (BTNKpS, 2008 in Dwintasari, 2009).
2.2.3. Padatan tersuspensi total
Padatan tersuspensi total atau TSS adalah bahan-bahan tersuspensi
(diameter >1 µm) yang tertahan di kertas miliopore dengan diameter pori 0,45
µm. TSS terdiri dari lumpur dari pasir halus serta jasad-jasad renik yang terutama
disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi yang terbawa badan air (Effendi, 2003).
Pada perairan yang tingkat erosi dan sedimentasi tinggi, sedimen (padatan
tersuspensi) akan mengahalangi cahaya matahari sehingga mempengaruhi
pertumbuhan lamun, dan dalam jangka waktu lama kerapatan tanaman lamun
akan menurun (BTNKsP, 2008 in Dwintasari, 2009.
2.2.4. Pasang surut
Lamun tumbuh subur terutama di daerah pasang surut terbuka serta perairan
pantai yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan dengan karang
mati dengan kedalaman 4 m. Pengaruh pasang surut serta struktur substrat
mempengaruhi zona sebagian jenis lamun dan bentuk pertumbuhannya. Lamun
hidup di perairan yang dangkal dan jernih pada kedalaman berkisar antara 2-12
meter dengan sirkulasi air yang baik.
2.3. Konservasi Lamun
Perencanaan konservasi membutuhkan pengambilan keputusan tentang
konfigurasi, lokasi dan pengelolaan kawasan. Tujuannya adalah untuk mencapai
representasi keanekaragaman hayati untuk biaya sekecil mungkin. Efektivitas
perencanaan konservasi sistematis ditentukan oleh; efisiensi dalam menggunakan
sumber daya yang terbatas untuk mencapai tujuan konservasi, ketahanan dan
fleksibilitas dalam menghadapi penggunaan lahan, dan akuntabilitas dalam
memungkinkan keputusan untuk ditinjau secara kritis. Penentuan rencana
konservasi ditentukan 3 prinsip yaitu kelengkapan, kecukupan, dan keterwakilan
Kelengkapan dimaksudkan adalah dalam penentuan zona konsevasi tersebut
dalam kondisi baik dan memilki keanekaragaman yang khas. Selain itu yang
menjadi pertimbangan adalah komposisi keanekaragaman hayati, struktur dan
fungsinya dalam ekosistem. Sedangkan, kecukupan adalah penenentuan zona
konservasi tidak hanya mementingkan keanekaragaman yang tinggi. Maksudnya
adalah apabila zona tersebut memiliki keanekaragaman yang tinggi dan tersebar
luas, maka akan sulit melakukan konservasi karena tidak efisien dan memakan
dana yang besar (Anonim, 2010).
Oleh karena itu, penentuan zona konservasi adalah harus mewakili area
yang luas tersebut. Sehingga konservasi akan semakin mudah dilakukan karena
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Teluk Bakau, Pulau Bintan, Kepulauan Riau.
Kawasan lokasi tersebut merupakan salah satu daerah perlindungan Lamun di
Laut Cina selatan. Lokasi pengamatan (Gambar 3) terletak pada 10 00' LU - 10 05'
LU hingga 1040 35' BT - 1040 40' BT. Pengambilan contoh dilakukan sekali pada
[image:34.612.111.488.224.573.2]lokasi penelitian.berdasarkan perbedaaan spasial.
Gambar 3. Lokasi penelitian
Penelitian ini dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan, yaitu : Tahap pertama
pengumpulan data dan informasi mengenai objek penelitian, berupa studi pustaka.
Tahapan kedua adalah tahapan penanganan dan identifikasi sampel pada bulan
Agustus 2010, dan tahapan ketiga, pengolahan data berdasarkan metode analisa
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penggumpulan data primer pada penelitian ini
tercantum dalam Tabel 3, antara lain: GPS (Geographic Position System), Kertas
waterproof, rollmeter, transek kuadrat berskala 50 x 50 cm, kamera digital, dan
alat dasar selam. Selanjut alat yang digunakan dalam pengukuran parameter fisika
adalah tongkat beskala, plastik, dan sekop. Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah peta lokasi penelitian kawasan pulau Bintan dan buku
[image:35.612.128.506.279.495.2]indentifikasi lamun.
Tabel 3. Alat dan Bahan
No. Parameter Alat Metode
1 Posisi stasiun GPS (Global Position System)
dan peta lokasi Pengamatan lansung
2
Kerapatan dan penutupan lamun
Kertas waterproof, rollmeter, transek kuadrat (50 x 50 c m), alat dasar selam dan buku identifikasi
Pengamatan langsung
3 Kedalaman Tongkat berskala Pengamatan Langsung
4 pasang surut Tongkat Berskala Pengamatan lansung
5 TSS
Botol sampel, kertas saring, labu erlenmeyer, gelas ukur, pingset, oven, desikator, timbangan digital, vacuum pump, akuades
Pengamatan di Laboratorium
6 Substrat Plastik, sekop Pengamatan langsung
3.3. Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer yang
meliputi data lamun (jenis, persentase penutupan dan kerapatan lamun),
Tabel 4. Komposisi, Jenis dan teknik pengambilan data
No. Komponen Data
Jenis Data Sumber
Data
Teknik Pengambilan
Data
Primer Sekunder
1 Keadaan Umum Lokasi
Geografi √ Laporan Studi Pustaka
2 Lamun
Jenis Lamun √ √
Laporan, lapangan
Studi Pustaka, Observasi Persentase penutupan
Lamun √ √
Laporan, lapangan
Studi Pustaka, Observasi
Kerapatan Jenis lamun √ √
Laporan, lapangan
Studi Pustaka, Observasi
Frekuensi lamun √ √
Laporan, lapangan
Studi Pustaka, Observasi
3 Parameter Lingkungan
Kedalaman √ √
Laporan, lapangan
Studi Pustaka, Observasi
Pasang Surut √ √
Laporan, lapangan
Studi Pustaka, Observasi
TSS √ √
Laporan, lapangan
Studi Pustaka, Observasi
Substrat √ √
Laporan, lapangan
Studi Pustaka, Observasi
Pengumpulan data primer maupun data sekunder diperoleh dengan
menggunakan metode observasi berbeda. Metode observasi yang digunakan
adalah sebagai berikut:
1. Observasi langsung
Cara pengumpulan data menggunakan metode ini adalah dengan mengamati
dan melakukan pengukuran langsung kondisi ekosistem lamun. Metode ini
digunakan menggunakan metode gabungan antara “Line Intersecpt Transect” dan
metode “Stop and Go” yang biasa digunakan untuk mengamati Terumbu Karang.
Adapun Langkah-langkah pengukuran struktur komunitas lamun adalah sebagai
berikut.
a. Metode yang digunakan yaitu transek atau petak contoh (Transect plot).
Metode transek atau petak contoh (transect plot) adalah metode pencuplikan
contoh populasi suatu komunitas dengan mendekati petak contoh yang berada
b. Disetiap stasiun pengamatan diletakan transek-transek garis dari arah darat
kearah laut (tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi padang lamun) di daerah
intertidal sampai mendekati tubir laut sehingga membentuk garis horizontal,
ulang sampai 3 kali. Daerah pinggir dan tengah juga diamati sehingga
membentuk garis vertikal yang berhubungan seperti “zig-zag” Transek hanya
diletakkan pada zona padang lamun yang mengalami perubahan di jalur
pengamatan (misalnya: zona padang lamun yang hanya terdapat satu jenis,
campuran dan daerah yang kosong) sampai batas tubir. Amati daerah tengah
dan ntertidal setiap line yang dilalui
c. Pada transek kuadrat berukuran 50 cm x 50 cm, dibuat kotak-kotak sebesar 10
cm x 10 cm sehingga transek berjumlah 25 kotak, hal ini agar mempermudah
mengidentifiasi lamun. Pengambilan contoh jenis lamun akan dihitung secara
[image:37.612.148.502.345.554.2]acak dan dihitung jumlah individu setiap jenis.
Gambar 4. Cara pengambilan titik sampel
Untuk lebih jelas perhatikan Gambar 4, observasi dapat dilakukan langsung
pada transek kuadrat yang telah diletakan pada stasiun yang diplotkan
menggunakan GPS, sehingga dapat dihitung persentase penutupan lamun, jenis
lamun, jenis dan jenis substrat, persentase kecerahan, kedalaman, dan kecepatan
arus.
STASIUN
T
U
B
I
R 300 m
100 m
2. Analisis laboratorium
Analisi TSS dan nutrien dilaksanakan di laboratorium Produktivitas
Lingkungan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK, IPB.
3.4. Analisis Data
3.4.1. Struktur komunitas lamun
a. Kerapatan jenis (Di) adalah jumlah individu (tegakan) persatuan luas.
Kerapatan masing-masing Jenis pada setiap stasiun dihitung dengan
menggunakan rumus (Brower et.al. 1988)
Keterangan : Di = Jumlah Individu (tegakan) ke-i per satuan luas
Ni = Jumlah Individu (tegakan) ke-I dalam transek kuadrat
A = Luas transek kuadrat
b. Kerapatan Relatif (RDi) adalah perbandingan antara jumlah individu spesies
dan jumlah total individu seluruh spesies:
Keterangan : RDi = Jumlah Individu (tegakan) ke-i per satuan luas
Ni = Jumlah Individu(tegakan) ke-I dalam transek kuadrat
= Luas transek kuadrat
c. Frekuensi jenis adalah peluang ditemukan suatu jenis dalam titik contoh yang
diamati. Frekunsi jenis dihitung dengan rumus:
Keterangan : Fi = Frekuensi Jenis Ke-i
Pi = Jumlah petak contoh dimana ditemukan jenis i
d. Frekuensi relatif (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi spesies-I (Fi) dan
jumlah frekuensi seluruh spesies
Keterangan : RFi = Frekuensi relatif
Fi = Frekuensi jenis ke-i
= Jumlah frekuensi seluruh spesies
e. Pengamatan persen peneutupan menggunakan metode visual (lampiran 4),
yang memiliki standar penutupan lamun. metode tersebut diterapkan oleh Mc.
Kenzie, dkk (2003)
f. Penutupan relatif (RCi) adalah perbandingan antara penutupan individu spesies
ke-i dengan jumlah total penutupan seluruh jenis.
Keterangan : RCi = Penutupan relatif
Ci = Luas area yang tertutupi jenis ke-i
= Penutupan seluruh spesies
g. Indeks nilai penting lamun (INP) digunakan untuk menghitung dan menduga
secara keseuruhan dari peranan satu spesies didalam suatu komunitas. Indeks
nilai penting (INP) berkisar antara 0-3 dimana INP memberikan gambaran
mengenai pegaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan suatu daerah. Semakin
tinggi nilai INP suatu spesies relatif terhadap terhadap jenis lainnya, maka
semakin tinggi peranan spesies tersebut pada komunitas lainya. Rumus yang
digunakan dalam menghitung INP adalah (Brower et.al. 1988).
Keterangan : INP = Indeks nilai penting
RFi = Frekuensi relatif
RDi = Kerapatan relatif
RCi = Penutupan relatif
1. Indeks kenaekaragaman Shannon-Wiener
Indeks keanekaragaman digunakan untuk mengukur kelimpahan
komunitas berdasarkan jumlah jenis spesies dan jumlah individu dari
setiap spesies pada suatu lokasi. Semakin banyak jumlah spesies, maka
semakin beragam komunitasnya. Rumus Indeks keanekaragaman Shannon
sebagai berikut Shannon-Wiener(Krebs, C.J., 1972) yaitu:
atau
Keterangan : H' = lndeks Keanekaragaman
Pi =Proporsi jumlah individu spesies ke-i terhadap jumlahindividu total (ni/N)
N = Jumlah total individu semua spesies S = Jumlah taksa spesies
2. Indeks keseragaman
Untuk mengetahui seberapa besar kesemaan penyebaran jumlah individu setiap jenis digunakan indeks keseragaman, yaitu dengan cara membandingkan indeks keanekaragaman dengan nilai maksimumnya. Semakin seragam penyebaran individu antaraspesies maka keseimbangan ekosistem akan smakin meningkat. Indeks keseragaman ditentukan berdasarkan rumus berikut (Brower, J.E. and J.H. Zar, 1998).
Keterangan : E = Indeks Keseragaman Shannon
H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener H’max = Indeks Keseragaman maksimum
S = Jumlah jenis 3. Indeks dominan Simpson
Untuk mengambarkan jenis yang paling banyak ditentuakn dapat diketahui
dengan menghitung nilai dominasinya. Dominansi dinyatakan dalam
indeks dominansi Simpson (Brower, J.E. and J.H. Zar, 1998).
Keterangan : D = Indeks dominasi Simpson ni = Jumlah individu jenis ke-i
N = Jumlah total individu seluruh jenis
3.4.2. Distribusi spasial lamun
Zonasi sebaran lamun dari pantai kearah tubir secara umum
berkesinambungan, namun bisa terdapat perbedaan pada komposisi jenis maupun
luas penutupannya. Ekosistem lamun dapat berupa vegetasi tunggal berupa
vegetasi tunggal yang tersusun atas satu jenis lamun dengan membentuk padang
lebat. Untuk melihat hal tersebut dengan memplotkan titik pengamatan dan jenis
lamun yang ditemukan kedalam peta. Hal ini dilakukan dengan bantuan perangkat
lunak arcview 3.3.
3.4.3. Zonasi lamun
Pembagian zonasi lamun berdasarkan daerah yang digunakan sebagai
dareah pemanfaatan pesisir serta kesamaannya baik jenis lamun yang dapat
ditemui, jenis pemanfaatan maupun jenis substrat yang dapat ditemui. Penyusunan
zonasi lamun dapat menggunakan perangkat lunak arcview 3.3. perangkat lunak
ini digunakan untuk melihat informasi umum lamun berdasarakan keadaan lamun
dengan pemanafaatan lamun. Hal ini akan menjadi dasar perencanaan mitigasi dan
adaptasi lamun di daerah tertentu.
3.4.4. Zona konservasi
Penyusunan daerah konservasi disusun berdasarkan konsep Marxan.
Dimana dalam konsep tersebebut memilki tujuan meminimalkan biaya dikenakan
mencapai target yang ditetapkan (Marxan, 2010).
Biaya yang dikeluarkan untuk penentuan awal
+
Biaya konservasi total = Panjang batas zona konservasi
+
IV. TELUK BAKAU
4.1. Profil Wilayah
4.1.1. Letak geografis
Teluk Bakau merupakan desa yang terletak Pulau Bintan, Kepulauan Riau
dan memiliki potensi sumberdaya alam yang kaya, diantaranya pertambangan
(bauksit), minyak dan gas serta pariwisata. Daerah Teluk Bakau mempunyai luas
area 112.12 km2 yang terletak 10 meter diatas permukaan laut dan berbatasan
langsung :
Sebelah Utara : Desa Malang Rapat
Sebelah Selatan : Kelurahan Kawal
Sebelah Barat : Desa Toa Paya Utara
Sebelah Timur : Laut Cina Selatan
4.1.2. Iklim
Secara umum Pulau Bintan termasuk daerah yang beriklim tropis basah; curah hujan rata-rata ± 2.214 mm/tahun,berkisar antara 2.000-2.500 mm/th,
dengan hari hujan ±110 hari. Curah hujan tertinggi pada bulan Desember (347
mm), terendah pada bulan Agustus (101 mm). Suhu rata-rata bulanan selama lima
tahun (1996-2000) antara 22,5oC-26,2oC , suhu terendah rata-rata 23,9oC dan
tertinggi rata-rata 31,8o. Cuaca di daratan Pulau Bintan cukup terik dan panas
pada siang hari, namun di wilayah pantai cuaca cukup nyaman karena mendapat
pengaruh dari angin laut yang dapat menyeimbangkan cuaca terik tersebut.
Kelembaban udara berkisar antara 83%-89% (Kuriandewa, 2010).
Angin dalam setahun mengalami perubahan empat kali: Desember-Februari
bertiup angin utara: bulan Maret-Mei bertiup angin timur, bulan Juni-Agustus
bertiup angin selatan dan bulan September-November bertiup angin barat. Angin
dari arah utara dan selatan sangat berpengaruh terhadap terjadinya gelombang
laut. Gelombang laut pada bulan Desember-Februari dan bulan Juni-Agustus
umumnya cukup besar. Gelombang di perairan pesisir Pulau Bintan sebelah utara
pada musim angin utara atau selatan, dapat mencapai ketinggian 2 meter.
Kecepatan angin terbesar adalah 9 knot pada bulan Desember-Januari, sedangkan
4.1.3. Topografi dan lereng
Menurut Kuriwandewa (2009) Daratan P. Bintan memiliki topografi lereng
yang beragam. Ketinggian wilayah berkisar antara 0-50 m di atas permukaan laut.
Data lereng yang diperoleh melalui proses pemodelan digital menghasilkan
informasi bahwa bentuk topografi wilayah ini sebagian besar merupakan lahan
berombak hingga bergelombang (53,37%). Lahan dengan topografi datar banyak
terdapat di Desa Berakit dan Gunung Kijang.
Daratan P. Bintan dapat dibedakan menjadi empat kelas kemiringan lereng:
(1) Wilayah datar-landai (0-5%) sebagian besar dijumpai di bagian utara dan
selatan daerah, terutama di sekitar sempadan sungai, hutan bakau dan
sepanjang tepi pantai.
(2) Wilayah datar berombak (5-8%), menyebar di bagian tengah dan selatan,
terutama di Desa Teluk Bakau, Desa Malang Rapat dan sebagian Desa
Berakit.
(3) Wilayah bergelombang (8-15%), yang merupakan daerah perbukitan dapat
dijumpai di bagian tengah.
(4) Wilayah berbukit (15-30%), penyebarannya terutama di bagian tengah Desa
Teluk Bakau dan Desa Malang Rapat.
Sebaran kelas kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6
yang menyajikan sebaran dan persentase luas dari masing-masing kelas
kemiringan lereng.
Tabel 5. Kelas kemiringan lereng
Lereng Deskripsi Lereng Total Luas (ha) %
0-5 % Datar - landai 6.182,46 44,47
5-8 % Berombak 5.195,53 37,37
8-15 % Bergelombang 2.225,91 16,00
15-30 % Berbukit 299,85 2,16
Tabel 6. Sebaran Kemiringan Lereng Per-desa
Kelas Lereng Berakit Malang Rapat Teluk Bakau Gunung Kijang Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) %
0-5 % 1.970,34 72,43 1.732,94 31,81 1.393,93 31,64 1.085,25 81,57
5-8 % 649,63 23,88 2.555,70 46,91 1.785,78 40,54 204,42 15,37
8-15 % 85,51 3,15 1.044,71 19,18 1.066,08 24,20 29,61 2,22
15-30 % 14,71 0,54 114,87 2,10 159,15 3,62 11,12 0,84
Total Luas 2.720,19 100 5.448,22 100 4.404,94 100 1.330,40 100
Sumber: Hasil Analisis Data
ke Lagoi
ke Tanjung Pinang
Sumber : 1. Citra ASTER, perekaman 25 Maret 2005 2. Citra Landsat , perekaman 28 April 2000 3. Citra SRTM, (resolusi 100m) NASA, perekaman 2003 4. Peta Jantop TNI-AD, skala 1:50.000 5. Peta Rupa Bumi Indonesia, lb. 1016 & 1017, skala 1:250.000, BAKOSURTANAL 1986 6. Peta Geologi, lb. Tanjung Pinang, Skala 1:250.000 7. Peta Sistem Lahan, lb. 1016/Tanjung Pinang dan 1017/Tanjung Uban, skala 1:250.000. BAKOSURTANAL - Dep. Pertanian, 1988 8. Peta Lereng, Revisi RTRW Kabupaten Bintan, 2004 9. Rencana Induk Ibukota Kec. Gn. Kijang, 2004
Sei Kawal S. K
aru bi Karubi Bopeng Mengkuros Kuros Sungai Angus Kp. P. Pucung
S. Tl. Dalam
S . Kampa
Kampa Sialang Malangrapat Telukdalam Teluk Merbau Bukit Balau Teluk Asah Berakit P. Wangkang P. Penyusu P. Balau P. Payung
P. Beralas Bakau
P. Beralas Pasir
Petunjuk Lokasi
KECAMATAN GUNUNG KIJANG KECAMATAN GUNUNG KIJANG
KECAMATAN TELUK SEBONG
DESA BERAKIT
DESA MALANG RAPAT
DESA TELUK BAKAU
DESA GUNUNG KIJANG
N
E W
S
2 0 2 4 6 Km
Skala 1 : 125.000
Proyeksi : Universal Transverse Mercator (UTM) Zone UTM : 48 N Sistem Grid : Grid UTM
Datum : WGS-84
Program Studi Ilmu Lingkungan P r o g r a m P a s c a s a r j a n a U N I V E R S I T A S I N D O N E S I A
PETA KELAS LERENG
PESISIR TIM UR PULA U BIN TA N
Kecamat an Gunung Kij ang dan Teluk Sebong KABUPATEN BINTAN 12 00 00 11 80 00 11 6000 11 4000 11 20 00 11 0000 1 08 000 m U 11 80 00 11 60 00 11 40 0 0 1 120 00 m U 11 00 00 10 80 00 m U 464000 mT 462000 460000 458000 456000 mT 454000 mT 450000 mT 1 38 000 m U 13 6000 13 40 00 13 80 00 m U 13 60 00 13 40 00 13 20 00 13 00 0 0 12 8 000 12 60 00 Sungai Jalan Utama Jalan Pkb. Sawit Jalan Tanah Batas Kecamatan Batas Desa Batas Penelitian Garis Pantai LEGENDA # Kampung 12 40 00 12 20 00 12 00 00
448000 mT 450000 452000 454000 456000 mT
S. Kawa l
0-5% 5-8% 8-15% 15-30% Berbukit Bergelombang Berombak Datar - landai
299,85 2.225,91 5.195,53 6.182,4644,47% 37,37% 16,00% 2,16% % Luas Kelas Kemiringan Lereng
100% 13.903,75 Luas Total
Distribusi Kelas Lereng
0-5% 5-8% 8-15% 15-30% 14,71 85,51 649,63 1.970,34 72,43% 23,88% 3,15% 0,54% % Luas Kelas Lereng 100% 2.720,19
Luas Total 5.448,22 100%
Luas % 2,10% 19,18% 46,91% 31,81% 1.732,94 2.555,70 1.044,71 114,87 159,15 1.066,08 1.785,78 1.393,93 31,64% 40,54% 24,20% 3,62% % Luas 100% 4.404,94 1.330,40 100%
Luas % 0,84% 2,22% 15,37% 81,57% 1.085,25 204,42 29,61 11,12 Gunung Kijang Teluk Bakau Malang Rapat Berakit Distribusi Kelas Lereng Per Desa
S. Angus
PETA 4
47
[image:44.612.205.448.257.654.2]Jika memperhatikan fisiografi dan bentuk permukaan yang dapat diamati
melalui kenampakan topografi pada Gambar/Peta 5, wilayah ini merupakan
daerah yang mengalami pengikisan intensif dan merupakan daerah yang memiliki
kerawanan gerak massa. Permukaan lahan seperti ini seharusnya selalu tertutup
oleh vegetasi untuk mengurangi risiko pengikisan atau terjadinya gerak massa.
Walaupun gerak massa yang terjadi hanya bersifat lokal dikarenakan wilayah
dengan lereng-lereng terjal hanya berada pada luasan terbatas, namun kondisi ini
dapat saja membahayakan masyarakat pada umumnya.
4.1.4. Morfologi bentuk lahan
Bentuk lahan yang dapat dijumpai di wilayah ini meliputi 7 (tujuh) macam
yang di bedakan menurut genesanya. Macam dari bentuk lahan yang dapat
dijumpai di seluruh wilayah idisajikan pada Tabel 7. Sedangkan distribusi bentuk
lahan per desa disajikan pada Tabel 8. Penyajian data distribusi sebaran bentuk
lahan pada masing-masing desa bertujuan untuk menunjukkan kondisi dan
[image:45.612.132.503.414.651.2]potensi fisik lahan masing-masing desa secara rinci (Kuriandewa, 2010).
Tabel 7. Deskripsi bentuk lahan pesisir timur P. Bintan
Bentuk lahan Deskripsi Total Luas
(ha) %
Rataan pasang surut (M5) Pantai dengan endapan pasir yang
terpengaruh pasang surut 65,35 0,47
Dataran alluvial (F1) Dasar-dasar lembah kecil diantara
bukit-bukit 1.306,68 9,40
Dataran alluvial pantai (M6) Gunung-gunung dari endapan pasir pantai 1.774,64 12,76
Dataran nyaris (D5) Dataran-dataran sediment campuran yang
berombak – bergelombang 3.515,45 25,28
Perbukitan terkikis (D1) Dataran-dataran batuan berapi asam yang
berombak sampai berbukit 6.737,77 48,46
Rawa (F4) Dataran campur antar pasut di bawah
bakau 465,52 3,35
Bukit sisa (D3) Bukit sisa, berupa batuan api masam yang
membentuk pulau 38,34 0,28
Tabel 7 menunjukkan bahwa bentuk lahan yang paling dominan ditemui di
daerah penelitian adalah perbukitan terkisis (48,46%) dan dataran nyaris
(25,28%). Kedua bentuk lahan ini merupakan bentuk lahan yang terjadi karena
proses denudasional atau pelapukan. Pelapukan yang terjadi merupakan pelapukan
tingkat lanjut sehingga bentuk permukaan yang ada umumnya berupa bukit-bukit
kecil. Sesuai batuan dasarnya yaitu granit maka lahan dengan proses denudasional
tingkat lanjut ini memiliki beberapa ciri berkaitan dengan kondisi tanahnya, yaitu
memiliki ukuran butir sedang hingga halus dengan tingkat kesuburan sedang
hingga rendah, tergantung pada bentuk tutupan lahan yang ada di atasnya.
Bentuk lahan yang terbentuk melalui proses denudasional umumnya
memerlukan pengelolaan yang tepat dari segi pemanfaatan dan perlakuan.
Pengelolaan yang tidak tepat dapat mengakibatkan terjadinya bencana atau
kerusakan lingkungan seperti longsor atau terbentuknya lahan kritis. Gambaran
distribusi sebaran bentuk lahan di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 8
[image:46.612.126.506.394.591.2](Kuriandewa, 2010).
Tabel 8. Distribusi bentuk lahan per desa
Bentuk lahan
Berakit Malang Rapat Teluk Bakau Gunung Kijang
Luas
(ha) %
Luas
(ha) %
Luas
(ha) %
Luas
(ha) %
Rataan pasang surut (M5) 10,82 0,40 33,07 0,61 10,34 0,23 11,12 0,84
Dataran alluvial (F1) 207,13 7,61 582,18 10,69 287,17 6,53 230,20 17,30
Dataran alluvial pantai
(M6) 789,62 29,03 576,96 10,59 227,47 5,16 180,59 13,57
Dataran nyaris (D5) 501,03 18,41 837,64 15,37 1.406,11 31,92 770,67 57,93
Perbukitan terkikis D1) 767,40 28,22 3.418,37 62,74 2.436,91 55,32 115,09 8,65
Rawa (F4) 442,79 16,27 - - - - 22,73 1,71
Bukit sisa (D3) 1,40 0,06 - - 36,94 0,84 - -
Total Luas 2.720,19 100 5.448,22 100 4.404,94 100 1.330,40 100
Sumber: Hasil analisis data
4.1.5. Jenis dan kondisi tanah
Sebaran jenis tanah diuraikan menurut komposisi tanah berdasarkan Peta
Sistem Lahan (Bakosurtanal, 1983) dan Peta Tanah (Puslitan, 1999) in
didominasi oleh jenis tanah podsolik, aluvial, litosol, dan sebagian kecil jenis
tanah andosol. Jenis-jenis tanah tersebut menurut sistem USDA dibedakan
menjadi beberapa satuan tanah, yaitu: tropudults, paleudults, tropaquepts,
tropofluvents, eutropepts, troposaments, tropoquents, hydraquents, sulfaquents
dan dystropepts.
Sebaran jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 9 dan Tabel 10 yang
menyajikan sebaran dan persentase luas dari masing-masing jenis tanah yang
[image:47.612.130.477.257.448.2]berhasil diidentifikasi di daerah ini.
Tabel 9. Deskripsi dan sebaran jenis tanah
Jenis Tanah Sistem
Satuan Deskripsi Luas (ha) %
Tropudults, Paleudults SKA Tekstur
agak halus - halus 9.779,91 70,34
Tropaquepts, Tropofluvents,
Eutropepts BKN
Tekstur
agak halus - halus 825,34 5,94
Troposamments, Tropoquents PTG Tekstur
agak kasar - halus 582,98 4,19
Hydraquents, Sulfaquents KJP Tekstur halus 444,20 3,19
Tropudults, Dystropepts,
Tropaquepts LWW
Tekstur
agak halus - halus 2.271,32 16,34
Total Luas (ha) 13.903,75 100
Sumber: Hasil Analisis Data
Tabel 10. Deskripsi dan sebaran jenis tanah per desa
Sistem Satuan
Tanah
Berakit Malang Rapat Teluk Bakau Gunung Kijang
Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) %
SKA 2.178,08 80,07 4.729,71 86,81 2.336,79 53,05 535,33 40,24
BKN - - 151,65 2,78 420,76 9,55 252,93 19,01
PTG 97,91 3,62 311,92 5,73 128,56 2,92 44,59 3,35
KJP 444,20 16,31 - - -
LWW - - 254,94 4,68 1.518,83 34,48 497,55 37,40
Total Luas (ha) 2.720,19 100 5.448,22 100 4.404,94 100 1.330,40 100
[image:47.612.120.482.500.656.2]Jenis-jenis tanah yang banyak dijumpai di daerah ini adalah jenis tropudults,
paleudults, dystropepts dan tropaquepts (86,68%), pada satuan sistem lahan
Sukaraja (SKA) dan Lawangguang (LWW). Jenis-jenis tanah ini umumnya
memiliki ciri kesuburan yang sedang-rendah karena susunan material dasarnya
yang memang miskin hara. Sebaran jenis-jenis tanah di daerah ini, ternyata
memiliki hubungan sangat erat dengan informasi satuan bentuk lahan dan geologi
yang telah diidentifikasi sebelumnya. Hubungan antara bentuk lahan, geologi dan
jenis tanah ini merupakan hubungan positif yang saling menguatkan sehingga
makin memperjelas gambaran tentang kondisi lahan