• Tidak ada hasil yang ditemukan

Digestibility of Ration Added Corn Oil and Lemuru Fish Oil on Female Local Sheep

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Digestibility of Ration Added Corn Oil and Lemuru Fish Oil on Female Local Sheep"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

DAYA CERNA RANSUM YANG DITAMBAH MINYAK

JAGUNG DAN MINYAK IKAN LEMURU PADA

DOMBA LOKAL CALON INDUK

SKRIPSI INDARI ICI

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

INDARI ICI. D24080344. 2012. Daya Cerna Ransum yang Ditambah Minyak Jagung dan Minyak Ikan Lemuru pada Domba Lokal Calon Induk. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Kukuh Budi Satoto, M. S. Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Komang G. Wiryawan

Bungkil kelapa merupakan hasil samping dari pengolahan minyak kelapa yang dapat dijadikan bahan pakan sumber protein karena kandungan protein kasarnya yang mencapai 21,3%. Bungkil kelapa banyak mengandung asam lemak jenuh, seperti laurat 45,95%; miristat 18,12%; palmitat 9,92%; stearat 3,78%. Selain dapat meningkatkan kandungan kolesterol pada daging ternak, asam lemak jenuh yang tinggi dapat menurunkan kecernaan bahan kering pada domba. Minyak mengandung energi tinggi yang dapat membantu meningkatkan kecernaan pada ternak ruminansia. Penambahan beberapa sumber minyak, seperti minyak jagung dan minyak ikan lemuru, diharapkan dapat mengurangi beberapa efek negatif asam lemak jenuh bungkil kelapa serta meningkatkan kecernaan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan kecernaan zat makanan dari ransum yang ditambah beberapa sumber minyak (minyak jagung, minyak ikan lemuru, dan minyak ikan lemuru terproteksi) pada domba lokal calon induk.

Ransum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari rumput lapang dan konsentrat dengan rasio 30:70. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Empat perlakuan terdiri dari P0 = ransum kontrol; MJ = ransum yang ditambah 1,5% minyak jagung; MIL = ransum yang ditambah 1,5% minyak ikan lemuru; dan MIT = ransum yang ditambah 1,5% minyak ikan lemuru terproteksi. Tiga ulangan menggunakan pengelompokan berdasarkan bobot badan kecil (7,00±0,33 kg), sedang (9,15±0,53 kg) dan besar (11,80±1,82 kg) dari 12 ekor domba yang digunakan. Peubah yang diukur terdiri dari konsumsi dan kecernaan Bahan Kering (BK), Protein Kasar (PK), Lemak Kasar (LK), Serat Kasar (SK), BETN dan Total Digestible Nutrient (TDN). Data yang diperoleh, dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan jika terjadi perbedaan diuji lanjut dengan uji jarak Duncan

Ransum yang ditambah 1,5% sumber minyak (minyak jagung, minyak ikan lemuru, dan minyak ikan lemuru terproteksi) tidak nyata (P>0,05) mempengaruhi konsumsi dan kecernaan BK, PK, SK dan BETN, serta TDN, namun, sangat nyata (P<0,01) meningkatkan konsumsi dan kecernaan LK. Ransum yang ditambah 1,5% minyak ikan lemuru terproteksi menghasilkan konsumsi LK dan LK tercerna paling tinggi, yaitu berturut-turut sebesar 41,81 dan 39,34 gram/ekor/hari. Kesimpulan penelitian ini adalah penambahan 1,5% minyak ikan lemuru terproteksi mampu meningkatkan kecernaan LK ransum domba lokal calon induk.

(3)

ABSTRACT

Digestibility of Ration Added Corn Oil and Lemuru Fish Oil on Female Local Sheep

I. Ici, K. B. Satoto, and K. G. Wiryawan

The objective of this research was to compare digestibility of ration added different sources of oil (corn oil, fish oil, and fish-oil protected) on local female sheep. The research was conducted in Stable B of Faculty of Animal Science, PAU Laboratory, Bogor Agricultural University from August 2011 to February 2012. The experiment used twelve post weaning female local sheep aged 3-4 months, with initial body weight of 9.32 ± 2.28 kg. The experiment was arranged in block design with four treatments and three blocks as replications. The block was based on body weight of small (7.00 ± 0.33 kg), medium (9.15 ± 0.53 kg), and large (11.80 ± 1.82kg). Four treatments were P0=control ration, MJ= ration added 1.5% corn oil, MIL= diet ration added 1.5% fish oil and MIT= diet ration added 1.5% fish oil protected. The results showed that P0, MJ, MIL, MIT didn’t affect (P>0.05) the consumption and digestibility of DM, CP, CF, N-free extract, and TDN, although it significantly affected (P<0.01) EE consumption and EE digestibility. It is concluded that adding different sources of oil in female local sheep ration have similar effect on all parameters observed and significantly increase EE consumption and EE digestibility. Ration added 1,5% fish-oil protected has resulted the highest EE consumption and EE digestibility.

(4)

DAYA CERNA RANSUM YANG DITAMBAH MINYAK

JAGUNG DAN MINYAK IKAN LEMURU PADA

DOMBA LOKAL CALON INDUK

INDARI ICI D24080344

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

Judul : Daya Cerna Ransum yang Ditambah Minyak Jagung dan Minyak Ikan Lemuru pada Domba Lokal Calon Induk

Nama : Indari Ici NIM : D24080344

Menyetujui,

Pembimbing Utama

(Ir. Kukuh Budi Satoto, MS) NIP. 19490118 197603 1 001

Pembimbing Anggota

(Prof. Dr. Ir. Komang G. Wiryawan) NIP. 19610914 198703 1 002

Mengetahui, Ketua Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(Dr. Ir. Idat Galih Permana, MSc.Agr) NIP. 19670506 199103 1 001

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 16 Oktober 1990 di Baturaja, Sumatera Selatan. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Udi Marsudi dan Ibu Karimah.

Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1996 di Sekolah Dasar Negeri 2 Rawalaut Bandar Lampung dan diselesaikan pada tahun 2002. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 2002 dan

diselesaikan pada tahun 2005 di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Bandar Lampung. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bandar Lampung pada tahun 2005 dan diselesaikan pada tahun 2008. Penulis juga mengikuti pendidikan bahasa Inggris non-formal di Lembaga Bahasa dan Pendidikan Profesional LIA yang dimulai pada tahun 2001 hingga 2005.

Penulis diterima di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Penulis pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak (HIMASITER) periode 2009-2011. Penulis pernah mengikuti kepanitiaan dalam berbagai kegiatan seperti Green Festival BEM KM 2009, D’farm Festival 2009, Dekan Cup 2010, Nutrition In Action 2010 dan 2011, serta The Second International Seminar on Animal Industry (ISAI) Fakultas Peternakan IPB pada tahun 2012. Penulis pernah mengikuti pelatihan Feed Formulation Training dari HIMASITER pada tahun 2011. Penulis berkesempatan mendapatkan dana hibah DIKTI dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) sebanyak 2 judul yaitu PKM dalam bidang penelitian dan pengabdian masyarakat pada tahun 2011 dan 2012. Penulis berkesempatan menjadi penerima beasiswa Perningkatan Prestasi Akademik (PPA) pada tahun 2010-2011 dan beasiswa Karya Salemba Empat (KSE) pada tahun 2011-2012.

Bogor, September 2012

(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirahim

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi, penelitian, seminar dan penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Daya Cerna Ransum yang Ditambah Minyak Jagung dan Minyak Ikan Lemuru pada Domba Lokal Calon Induk” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini disusun dengan harapan dapat memberi informasi mengenai manfaat dari penambahan beberapa sumber minyak dalam ransum terhadap kecernaan pada domba lokal calon induk. Kecernaan merupakan faktor penting dalam pemenuhan hidup pokok dan produksi ternak. Selain mengandung tinggi asam lemak tak jenuh, minyak jagung dan minyak ikan lemuru juga mengandung tinggi energi yang dapat membantu meningkatkan kecernaan pada ternak ruminansia, Penulis mengharapkan dengan adanya pengkajian terhadap kecernaan diperoleh informasi mengenai dampak dari penambahan beberapa sumber minyak kaya asam lemak tak jenuh tersebut dalam ransum, sehingga selanjutnya diharapkan pula dapat bermanfaat untuk hidup pokok dan produksi domba lokal calon induk. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya dalam dunia peternakan.

Bogor, September 2012

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Domba Lokal ... 3

Onggok ... 4

Bungkil Kelapa ... 5

Minyak Jagung ... 7

Minyak Ikan Lemuru ... 8

Urea ... 10

Kecernaan Zat Makanan ... 11

Pencernaan Lemak pada Ternak Ruminansia ... 12

Energi pada Ruminansia ... 14

MATERI DAN METODE ... 16

Lokasi dan Waktu ... 16

Materi ... 16

Kandang dan Peralatan ... 16

Ternak Percobaan ... 17

Ransum Penelitian ... 17

Prosedur ... 19

Pembuatan Ransum ... 19

Sistem Pemeliharaan ... 19

Koleksi Feses ... 19

Pengukuran Konsumsi Zat Makanan ... 20

Pengukuran Konsumsi Zat Makanan (BB0,75) ... 20

Pengukuran Kecernaan Zat Makanan ... 21

(9)

Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

Konsumsi dan Kecernaan Bahan Kering ... 23

Konsumsi dan Kecernaan Protein Kasar ... 24

Konsumsi dan Kecernaan Lemak Kasar ... 27

Konsumsi dan Kecernaan Karbohidrat ... 31

Total Digestible Nutrient (TDN) ... 31

KESIMPULAN DAN SARAN ... 33

Kesimpulan ... 33

Saran ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34

UCAPAN TERIMAKASIH ... 42

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Kimia Onggok ... 4

2. Kandungan Zat Makanan Bungkil Kelapa ... 5

3. Komposisi Asam Lemak Bungkil Kelapa ... 6

4. Komposisi Asam Lemak Minyak Jagung ... 7

5. Komposisi Asam Lemak Minyak Ikan Lemuru ... 10

6. Komposisi Bahan Pakan Ransum Penelitian ... 18

7. Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian (Konsentrat dan Hijauan ... 18

8. Konsumsi dan Kecernaan Bahan Kering ... 23

9. Konsumsi dan Kecernaan Protein Kasar ... 25

10. Konsumsi dan Kecernaan Lemak Kasar ... 27

11. Konsumsi dan Kecernaan Karbohidrat ... 29

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Domba Ekor Tipis Jawa Lokal atau Domba Lokal ... 3 2. Tahapan Hidrogenasi Asam Lemak Lenolenat oleh Mikroba

Rumen ... 13 3. Kandang Individu ... 17 4. Baki Pakan (Gambar5a), ember (Gambar 5b), timbangan digital

(gambar 5c), timbangan pegas (Gambar 5d) ... 16 5. Bambu panggung (Gambar 6a), plastik penampung feses (gambar

6b), label (Gambar 6c), aluminium foil (Gambar 6d) ... 17

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Analisa Sidik Ragam Konsumsi Protein Kasar ... 44

2. Uji Lanjut Duncan Konsumsi Protein Kasar ... 44

3. Hasil Analisa Sidik Ragam Konsumsi Lemak Kasar ... 44

4. Uji Lanjut Duncan Konsumsi Lemak Kasar ... 44

5. Hasil Analisa Sidik Ragam Lemak Kasar Tercerna ... 45

6. Uji Lanjut Duncan Lemak Kasar Tercerna ... 45

7. Hasil Analisa Sidik Ragam Koefisien Lemak Kasar ... 45

8. Uji Lanjut Duncan Koefisien Lemak Kasar ... 45

9. Hasil Analisa Sidik Ragam Konsumsi Lemak Kasar ... 46

(13)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bungkil kelapa merupakan hasil samping dari pengolahan minyak kelapa yang dapat dijadikan bahan pakan sumber protein karena kandungan protein kasarnya yang mencapai 21,3% (Sutardi, 1981). Bungkil kelapa banyak mengandung asam lemak jenuh, seperti laurat 45,95%; miristat 18,12%; palmitat 9,92%; stearat 3,78% (Jakob, 2001). Selain dapat meningkatkan kandungan kolesterol pada daging ternak (Grundy, 1994), penggunaan asam lemak jenuh yang tinggi dapat menurunkan kecernaan bahan kering, bahan organik dan selulosa pada domba (Davison, 1960).

Minyak jagung dan minyak ikan lemuru merupakan sumber asam lemak tak jenuh. Menurut Ketaren (1986), minyak jagung mengandung asam lemak tidak jenuh sebesar 86%, yang terdiri atas 30% oleat dan 56% linoleat. Asam lemak tak jenuh tersebut yang merupakan prekursor Polyunsaturated Fatty Acid (PUFA) seperti asam lemak arakhidonat dan DHA (Docosa Hexaenoic Acid). Pakan yang mengandung PUFA memiliki beberapa pengaruh baik terhadap kecernaan pakan, metabolisme rumen yang mempengaruhi pola fermentasi, jumlah protozoa, serta efisiensi pertumbuhan mikroba (Chikunya et al., 2004). Lubis (1993) juga menyebutkan kandungan EPA (Eicosa Pentaenoic Acid) dan DHA minyak ikan lemuru berturut-turut sebesar 34,7% dan 27,1%. EPA dan DHA tersebut dapat pula berperan menjaga organ otak dan membantu penglihatan (Wainwright, 2002).

Pada ternak ruminansia, terjadi proses biohidrogenasi yang dapat mengubah asam lemak tak jenuh dari minyak jagung dan minyak ikan lemuru menjadi asam lemak jenuh berupa stearat. Menurut Chikunya et al. (2004), PUFA yang banyak terkandung pada minyak ikan memiliki proteksi yang alami terhadap proses biohidrogenasi. Meskipun demikian, 70% sampai 90% PUFA mengalami hidrogenasi sebelum mencapai saluran pencernaan usus halus dan dimanfaatkan (Klusmeyer & Clark, 1991). Oleh sebab itu, diperlukan suatu bentuk proteksi terhadap minyak seperti penyabunan dengan sabun kalsium (Sudarman et al., 2008) atau formaldehid (Pond et al., 2005).

(14)

2 pula konsumsi energi. Kandungan energi yang tinggi dalam ransum dapat membantu proses sintesis protein, sehingga pada akhirnya meningkatkan kecernaan. Menurut Schroeder et al. (2007), penambahan energi dapat meningkatkan retensi nitrogen pada sapi.

Penambahan beberapa sumber minyak yang kaya akan asam lemak tak jenuh, seperti minyak jagung dan minyak ikan lemuru, diharapkan dapat memperbaiki kecernaan asam lemak jenuh dari bungkil kelapa. Bagaimanapun juga, peningkatan lemak dalam ransum dapat mengganggu aktivitas mikroba selulolitik, sehingga menghambat laju fermentasi dalam rumen dan pada akhirnya mempengaruhi kecernaan. Menurut Pond et al. (2005), penambahan lemak lebih dari 5%-7% dari bahan kering ransum dapat menurunkan kecernaan serat dengan menghambat aktivitas bakteri pencerna serat. Oleh sebab itu, pengkajian kecernaan terhadap penggunaan beberapa sumber minyak, seperti minyak jagung dan minyak ikan lemuru, perlu dilakukan.

Tujuan

(15)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Domba Lokal

Domba (Ovis aries) merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang dapat dikembangkan dengan sistem pemeliharaan yang relatif mudah, mempunyai siklus reproduksi yang singkat dan lebih tahan terhadap penyakit dibandingkan ternak lainnya (Almahdy et al., 2000). Menurut FAO (2004), terdapat tiga bangsa asli domba di Indonesia, yaitu domba Ekor Tipis Jawa Lokal (Local Javanese thin-tailed) atau domba lokal, domba Priangan (Priangan of West Java) atau domba Garut dari Jawa Barat dan domba Ekor Gemuk (Javanese fat-tailed) dari Jawa Timur. Populasi domba lokal sebanyak 50%-80% tersebar di Jawa Barat dan Jawa Tengah, dengan ciri-ciri jantan bertanduk dan betina tidak bertanduk (Djajanegara dan Rangkuti, 1989). Salah satu domba lokal dapat dilihat di Gambar 1.

Gambar 1. Domba Ekor Tipis Jawa Lokal atau Domba Lokal

Sumber: Sudarmono (2008)

Menurut Mason (1980), domba lokal merupakan ternak yang memiliki sifat prolifik yang tinggi, yakni mampu beranak hingga 4 ekor per tiap kelahirannya. Domba lokal telah beradaptasi dengan kondisi panas dan kelembaban tinggi, serta biasa dipelihara secara tradisional oleh keluarga petani dengan skala pemeliharaan kecil (Bradford dan Inounu, 1996). Menurut Sutama et al. (1995), domba lokal memiliki keunggulan berupa umur pubertas yang dapat dicapai lebih awal, yakni pada umur antara 6-12 bulan atau pada berat sekitar 55%-66% dari bobot dewasa. Selain itu, domba lokal tidak mengenal sifat kawin musiman sehingga sangat menguntungkan untuk kondisi tropis dan dapat bunting kembali setelah sebulan melahirkan (Diwyanto dan Inounu, 2001). Menurut Partodihardjo (1980), panjang siklus birahi domba yakni 16,5 hari dengan variasi antara 14-20 hari.

(16)

4 pakan yang buruk kualitasnya. Namun, tidak pada kecernaan bahan kering dan bahan organik, dimana domba lebih baik mencerna bahan-bahan tersebut dibanding sapi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sapi cenderung mencerna hijauan lebih baik dibandingkan domba, tetapi domba cenderung untuk mencerna konsentrat lebih baik dibandingkan sapi. Martens dan Ely (1982) melaporkan bahwa domba mencerna pakan yang tinggi kualitasnya lebih baik dibandingkan sapi, namun, sebalikanya pada pakan yang kualitasnya rendah.

Onggok

Onggok merupakan limbah padat berupa ampas hasil pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka. Menurut Djarwati et al. (1993), jumlah onggok sebagai limbah padat industri tapioka dapat mencapai 30% (b/b) dari bahan baku.Dari setiap ton ubi kayu dapat dihasilkan 114 kg onggok (Enie, 1989). Apabila setengah dari produksi ubi kayu tahun 2000 yang mencapai 15.351.200 ton diolah menjadi tapioka, onggok yang dihasilkan mencapai 828.965 ton. Jumlah tersebut cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan. Berdasarkan data BPS Indonesia (2010) menunjukkan bahwa produksi ubi kayu meningkat setiap tahunnya, seperti tahun 2010, dimana ubi kayu yang dapat diproduksi mencapai 7.625.554 ton, lebih besar dibandingkan tahun 2008 -2009 (BPS Indonesia, 2010).

Unsur utama nutrisi onggok adalah karbohidrat (Mulyono, 1999). Kandungan karbohidrat dalam onggok mencapai 93,8% (Gohl, 1981). Komposisi kimia onggok dapat dilihat di Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Onggok

Komponen Jumlah (%)

Amilosa* Amilopektin* Selulosa** Hemiselulosa** Lignin**

13,93 14,26 5,37 15-30 70-75

Sumber: *) Suarni dan Widowati (2007) **) Rokhmani (2005).

(17)

5 ekstrak tanpa nitrogen (BETN) 81,10% (Wizna et al., 2008). Tingginya serat kasar, rendahnya protein merupakan kendala nutritif pemanfaatan onggok sebagai bahan pakan unggas (Mursyid dan Zuprizal, 2005).

Menurut Rahmarestia (2007), onggok mengandung pati sebesar 12,47%. Pati tapioka merupakan salah satu jenis pati yang mengandung 16% amilosa dan 84% amilopektin. Amilosa adalah polimer rantai lurus yang dibangun oleh ikatan α-(1,4)- glikosidik, sementara amilopektin adalah polimer berantai cabang dengan ikatan α -(1,4)-glikosidik dan ikatan α-(1,6)-glikosidik. Ikatan α-(1-4)-glikosidik dan α -(1-6)-glikosidik ini merupakan ikatan dari komponen karbohidrat yang mudah dicerna, termasuk dengan cara fermentasi. Oleh sebab itu, onggok sebagai salah satu sumber karbohidrat mudah tercerna dapat efektif digunakan sebagai bahan baku pakan ternak ruminansia untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam rumen.

Bungkil Kelapa

Bungkil kelapa merupakan ampas hasil ikutan yang didapat dari ekstraksi daging buah kelapa segar atau kering dari proses pembuatan minyak kelapa. Bungkil kelapa dapat dijadikan sebagai bahan pakan karena tinggi kandungan protein kasarnya serta harganya yang relatif murah. Komposisi zat makanan bungkil kelapa dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Zat Makanan Bungkil Kelapa

Komponen Jumlah (%)

Bahan Kering (BK) Abu

Protein Kasar (PK) Lemak Kasar (LK) Serat Kasar (SK)

Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN)

88,6 8,24 21,3 10,9 14,2 45,4

Sumber: Sutardi (1981).

(18)

6 Berdasarkan Tabel 3, bungkil kelapa mengandung banyak asam lemak jenuh berupa laurat, yaitu sebesar 46,9%. Komposisi asam lemak bungkil kelapa dapat dilihat di Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Asam Lemak Bungkil Kelapa

Jenis Asam Lemak Jumlah (%)

Kaprilat (C8:0) Kaprat (C10:0) Laurat (C12:0) Miristat (C14:0) Palmitat (C16:0) Stearat (C18:0)

Oleat (C18:1) Linoleat (C18:2) Linolenat (C18:3)

4,05 4,52 46,9 19,9 10,3 2,06 10,0 2,23

-

Sumber: Santoso et al. (2006)

Selain dari komposisi zat makanan, bungkil kelapa juga memiliki banyak keunggulan. Bungkil kelapa mengandung banyak sumber asam amino yang berguna sebagai sumber protein dan bersifat glukogenik (dapat dirombak menjadi sumber energi berupa glukosa). Menurut NRC (2001), bungkil kelapa mengandung 21,3% protein kasar yang terdiri dari 10,87% arginin; 1,78% histidin; 3,42% isoleusin; 6,21% leusin; 2,05% lisin; 1,60% metionin,; 1,32% sistin; 3,84% fenilalanin; 3,06% treonin; 0,87% triptopan; dan 4,89% valin. Bungkil kelapa juga memiliki kecernaan RUP (Rumen Undegradable Protein) yang tinggi, yaitu sebesar 90%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar asam amino bungkil kelapa dapat lolos dari pencernaan dalam rumen (bypass) dan dimanfaatkan secara optimal dengan penyerapan langsung di usus halus.

(19)

7 karkas. Sapi yang mengonsumsi bungkil kelapa memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengeluarkan susu yang kaya asam lemak (Moorthy dan Viswanathan, 2009).

Minyak Jagung

Minyak jagung diperoleh dengan mengekstrak bagian lembaga dari jagung. Sistem ekstraksi yang biasa digunakan adalah sistem press (pressing) atau kombinasi sistem press dan pelarut menguap (pressing and solvent extraction). Minyak jagung mempunyai nilai gizi yang sangat tinggi yaitu sekitar 250 Kkal/ons. Penggunaan asam lemak tak jenuh yang tinggi dari minyak jagung dapat menurunkan kandungan kolesterol daging sehingga mengurangi resiko terkena penyakit jantung koroner atau aterosklerosis pada manusia (Rusmana, 2000).

Minyak jagung merupakan trigliserida yang disusun oleh gliserol dan asam-asam lemak. Presentase trigliserida sekitar 98,6%, sedangkan sisanya merupakan bahan non minyak, seperti abu, zat warna atau lilin. Asam lemak penyusun terdiri dari asam lemak jenuh sekitar 13%, meliputi asam palmitat dan stearat, dan asam lemak tak jenuh sekitar 86%, yang terdiri dari asam oleat dan asam linoleat. Kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi tersebut diharapkan dapat menyediakan jumlah asam lemak esensial yang banyak pula pada minyak jagung. Menurut Noble (1984), ternak ruminansia merupakan salah satu jenis ternak yang dapat memanfaatkan asam lemak esensial secara efisien. Komposisi asam lemak minyak jagung dapat dilihat di Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi Asam Lemak Minyak Jagung

Komponen Jumlah (%)

Total gliserida 98,6

Bahan tidak tersabunkan (total) 1,26–1,63

Sitosterol 0,92–1,08

Asam lemak jenuh 13

Palmitat (C16:0) 10

Stearat (C18:0) Asam lemak tak jenuh

Linoleat (C18:2) Oleat (C18:1)

3 86 56 30

(20)

8 Pavan et al. (2007) menyebutkan kecernaan bahan kering, bahan organik dan NDF secara linier menurun dengan adanya suplementasi minyak jagung hingga 1,5 g/kg BB. MachmÜller et al. (2003) juga melaporkan bahwa minyak jagung dapat menurunkan degradasi serat dalam rumen dan kecernaan berkurang seiring peningkatan level pemberian minyak jagung tersebut. Namun, suplementasi minyak jagung dengan kadar yang optimal pada ransum finisher sapi dapat meningkatkan persentase dari asam lemak linoleat dan arakhidonat di dalam jaringan lemak, sebab, asam lemak linoleat tidak dapat disintesis di dalam tubuh. Adanya penimbunan di jaringan, mengindikasikan bahwa asam lemak linoleat dapat mencapai usus halus untuk diabsorpsi lalu didepositkan. Kandungan Conjugated Linoleic Acids (CLA) dapat berperan sebagai sebagai antikarsinogen (Ha et al., 1987). Menurut McGuire et al. (1996), CLA dalam susu juga dapat meningkat seiring dengan suplementasi asam lemak tak jenuh dari minyak nabati. Suplementasi lemak dari minyak pada ransum finisher sapi dapat meningkatkan pertambahan bobot badan dan efisiensi pakan (Brandt et al., 1992). Minyak jagung dilaporkan juga dapat digunakan sebagai bahan yang efektif untuk menurunkan produksi metan (CH4). Menurut Lovett et al. (2003), terjadi penurunan 26% produksi metan dari sapi yang diberi 359 gram minyak jagung per hari.

Minyak Ikan Lemuru

Minyak ikan lemuru merupakan limbah industri pengolahan, pengalengan dan pembuatan tepung ikan yang menggunakan bahan dasar ikan lemuru. Proses pengalengan dan penepungan ikan lemuru menghasilkan rendemen berupa minyak ikan masing-masing sebesar 5% (b/b) dan 10% (b/b) (Joseph, 2007). Minyak ikan lemuru umumnya mengandung 25% asam lemak jenuh dan 75% asam lemak tak jenuh (Brody, 1965). Minyak tersebut mengandung 99% gliserida dan 1% zat yang tidak tersabunkan yang berisi 60%-80% kolesterol, vitamin A dan D. Minyak ikan lemuru kaya akan asam lemak tak jenuh ganda berupa Eicosa Pentaenoic Acid (EPA) dan Docosa Hexaenoic Acid (DHA) (Rusmana, 2008).

(21)

9 negara untuk mencegah dan mengobati beberapa penyakit, seperti penyakit kardiovaskular.

Menurut Kim et al. (2007), penambahan ransum yang mengandung asam lemak tak jenuh tinggi seperti omega-3 dan omega-6 tidak mempengaruhi kecernaan bahan kering, lemak kasar dan Acid Detergent Fiber (ADF), namun secara signifikan, meningkatkan kecernaan protein kasar (P<0,05) dan Neutral Detergent Fiber (NDF). Peningkatan kecernaan protein kasar disebabkan oleh perubahan populasi mikroba rumen, khususnya protozoa. Newbold dan Chamberlain (1988) menyebutkan bahwa ransum dengan kandungan asam lemak tak jenuh dapat menghambat pertumbuhan protozoa rumen. Pengurangan protozoa ini menyebabkan proliferasi bakteri dan produksi protein mikroba yang lebih besar (Jouany, 1996).

Menurut Schingoethe et al. (1996), kandungan PUFA pada produk ternak seperti susu, dapat ditingkatkan dengan adanya kandungan asam lemak tak jenuh dari minyak ikan lemuru. Konsumsi lemak asal PUFA dari minyak ikan lemuru dapat meningkatkan densitas energi dan mengatasi kekurangan energi yang seringkali terjadi pada awal laktasi ternak sapi. Minyak ikan lemuru yang ditambahkan dalam ransum dapat memperbaiki performa reproduksi dengan merubah status energi. Manfaat dari penggunaan minyak ikan, seperti minyak ikan lemuru, pada ransum ruminansia dibandingkan dengan minyak yang berasal dari nabati adalah minyak ikan lebih resisten terhadap kecernaan rumen, tetapi akan sangat mudah dicerna di usus halus.

Susunan asam lemak minyak ikan lemuru tidak berbeda dengan minyak ikan lainnya, yaitu terdiri dari trigliserida dengan panjang rantai yang bervariasi. Kelebihan minyak ikan lemuru adalah jumlah asam lemak tidak jenuhnya lebih tinggi dengan lima atau enam ikatan rangkap yang dimulai pada atom karbon ke tiga dari gugus metil (Lubis, 1993).

(22)

10 membunuh sel-sel kanker. Tabel 5 menunjukkan komposisi asam lemak minyak ikan lemuru.

Tabel 5. Komposisi Asam Lemak Minyak Ikan Lemuru

Jenis Asam Lemak Jumlah (%)

Miristat (C14:0) Palmitat (C16:0) Stearat (C18:0)

Oleat (C18:1) Linoleat (C18:2) Linolenat (C18:3) Arakhidonat (C20:0)

EPA (C20:5n-3) DHA (C22:6n-3)

12,5 9,5 0,8 3,9 1,1 0,7 1,6 34,7 27,1

Sumber: Lubis (1993)

Pada hewan ruminansia proses biohidrogenasi terjadi di dalam rumen, asam lemak tidak jenuh dari pakan diubah menjadi asam lemak jenuh oleh aksi mikroba rumen. Kandungan lemak ransum yang melebihi 7% juga dapat mengganggu mikroba selulolitik. Untuk mencegah terjadinya biohidrogenasi tersebut dan dapat diberikan sebanyak 7% dalam ransum, lemak (khususnya lemak tidak jenuh) harus diproteksi, yaitu dengan cara dibentuk sabun kalsium (Jenkins, 1993). Menurut Sudarman et al. (2008), penambahan sabun-Ca dari minyak ikan dalam ransum sampai taraf 1,5% memberikan hasil yang baik pada pertambahan bobot badan dan konversi pakan domba.

Urea

(23)

11 menemukan bahwa urea dapat menggantikan 30%-50% dari protein dalam ransum sapi dan domba (Loosli dan McDonald, 1968).

Jika urea diberikan dalam pakan ruminansia, urea akan segera dihidrolisis menjadi amonia dalam rumen sehingga amonia yang dilepaskan tidak digunakan secara efisien untuk sintesis protein mikroba (Chalupa et al., 1984). Keracunan amonia dapat terjadi secara periodik jika ruminansia mengonsumsi urea dalam jumlah besar, tidak teradaptasi dengan urea, urea tidak tercampur sempurna dalam ransum, atau jika kadar urea yang tinggi terkandung dalam ransum berserat tinggi, berenergi dan protein rendah (Ortolani et al., 2000). Penambahan karbohidrat mudah difermentasi ke dalam ransum yang mengandung NPN, memperbaiki retensi nitrogen. Penggunaan urea pada ransum ruminansia berkisar antara 0,5%-1,5% dari bahan kering ransum (Galyean, 1996). Menurut Banerjee (1978), urea sendiri tidak dapat menggantikan protein, urea dapat mensuplai nitrogen amino tetapi bagian lain dari molekul protein harus diperoleh dari sumber lain. Kerangka karbon dan hidrogen dari molekul protein dapat diperoleh dari karbohidrat yang mudah difermentasi.

Penggunaan urea dalam ransum akan menjadi efisien apabila amonia yang terbentuk masih seimbang dengan kesanggupan mikroba rumen dalam menggunakan ammonia. Penggunaan urea akan menunjukkan hasil yang maksimum bila ditambahkan pada ransum yang berprotein rendah (Maynard dan Loosli, 1979). Tingkat penggunaan urea yang dianjurkan oleh Chalupa (1975) adalah 1% dari bahan kering ransum dan tidak melebihi 3% dari campuran konsentrat atau tidak lebih dari 1/3 dari kebutuhan protein. Pond et al. (2005) juga menyebutkan penggunaan urea harus dilakukan secara bertahap sebagai adaptasi mikroba rumen; waktu yang diperlukan untuk adaptasi penuh berkisar antara dua sampai tiga minggu.

Kecernaan Zat Makanan

Daya cerna (digestibility) adalah bagian zat makanan dari makanan yang tidak diekskresikan dalam feses (Tillman et al., 1991). Kecernaan pakan dapat diukur dengan metode in vitro, seolah-olah menyerupai kondisi saluran pencernaan ternak, atau dengan metode in vivo, langsung pada ternak percobaan.

(24)

12 Faktor-faktor yang mempengaruhi daya cerna makanan adalah komposisi kimia pakan, komposisi ransum, perlakuan terhadap bahan pakan, faktor hewan dan jumlah pakan yang dimakan (Tillman et al., 1991), serta faktor lain yang mempengaruhi kecernaan yaitu suhu, laju perjalanan melalui alat pencernaan dan bentuk fisik pakan.

Daya cerna protein kasar akan tertekan dengan meningkatnya kadar serat pakan. Pada umumnya, semakin tua hijauan seratnya akan semakin meningkat dan protein kasarnya akan semakin menurun. Koefisien cerna protein juga bisa menurun dengan semkain banyaknya N feses yang dikeluarkan (Nasution, 1984). Faktor lain yang mempengaruhi kecernaan adalah kandungan antinutrisi. Kandungan antinutrisi, seperti tannin dan saponin dalam pakan juga mempengaruhi jumlah PK feses, karena keberadaan antinutrisi tersebut mengganggu aktivitas mikroba rumen dan kecernaan protein dalam usus halus. Keberadaan substansi tannin dapat mengikat protein dan mengurangi penyerapan sehingga menyebabkan tingginya kandungan nitrogen pada feses yang diekskresikan.

Jafar dan Hasan (1990) menyatakan bahwa kandungan lignin, selulosa dan hemiselulosa mempengaruhi kecernaan makanan dan telah diketahui bahwa antara kandungan liginin dan kecernaan bahan kering berhubungan sangat erat terutama pada rumput-rumputan. Kadar serat yang tinggi tersebut dapat menurunkan nilai Total Digestible Nutrient (TDN) dari bahan makanan. Kandungan serat kasar dapat dipengaruhi spesies, umur dan bagian tanaman. Pengaruh negatif dari serat kasar terhadap kecernaan dan absorpsi disebabkan oleh peningkatan viskositas digesta dan mempengaruhi kondisi fisiologis serta ekosistem saluran pencernaan.

Menurut Darwis (1990), peningkatan kecernaan bahan kering mengakibatkan kecernaan bahan organik meningkat pula, sebab kecernaan bahan kering berbanding lurus dengan kecernaan bahan organik. Kecernaan juga dipengaruhi oleh level pemberian pakan. Pada umumnya, peningkatan level pemberian pakan akan menyebabkan menurunnya kecernaan karena berkurangnya waktu retensi pakan dalam rumen dan meningkatnya laju aliran pakan dari rumen ke usus halus

Pencernaan Lemak pada Ternak Ruminansia

(25)

13 ternak ruminansia yang didominasi oleh hijauan, lebih banyak mengandunga galaktolipid dan glikolipid lain yang kaya dengan asam lemak linolenat (Drackley, 2000).

Bakteri dan protozoa di dalam rumen menghidrolisis lipid yang komplek menjadi penyusun-penyusunnya, yakni asam lemak rantai panjang, glukosa, dan gliserol. Rumen menjadi tempat yang lebih utama dalam mengidrolisis lipid pada ternak ruminansia dibandingkan dengan usus halus pada ternak non-ruminansia. Glukosa dan gliserol difermentasikan dengan cepat menjadi VFA. Sedangkan asam lemak tak jenuh dihidrogenasi menjadi asam lemak jenuh (stearat dan palmitat) oleh bakteri rumen dan protozoa. Proses hidrogenasi, yang hanya terjadi pada asam lemak bebas, membutuhkan sejumlah populasi dari berbagai spesies mikroba (Drackley, 2000). Proses biohidrogenasi asam lemak linoleat terjadi dengan beberapa tahap reaksi seperti yang terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Tahapan hidrogenasi asam lemak lenoleat oleh mikroba rumen

Sumber: Drackley (2000)

(26)

14 biohidrogenasi yang belum sempurna tersebut. Penelitian lain menyebutkan bahwa CLA juga dapat berfungsi untuk meningkatkan sistem imun (Cook et al., 1993).

Usus halus bagian atas merupakan tempat utama dari penyerapan lemak. Adanya garam empedu dan sekresi baberapa zat pankreas di duodenum merupakan faktor penting untuk proses penyerapan lemak (Drackley, 2000). Lipid dari pakan, terutama trigliserida, diserap di duodenum melalui pencampuran dengan garam empedu dan zat sekeresi dari pankreas.

Energi pada Ruminansia

Energi merupakan kemampuan untuk melakukan suatu kerja (Pond et al., 2005). Hewan yang sedang tumbuh membutuhkan energi untuk pemeliharaan tumbuh (hidup pokok), memenuhi kebutuhan akan energi mekanik untuk gerak otot dan sintesa jaringan-jaringan baru (Tillman et al.,1989).

Pengukuran energi untuk ruminansia biasa digunakan dalam bentuk Total Digestible Nutrient (TDN). Menurut Perry et al. (2003), nilai TDN dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain persentase bahan kering suatu pakan, kecernaan bahan kering, serta jumlah abu dan lemak kasar dari bahan kering tercerna. Komponenen nutrisi yang dapat digunakan sebagai sumber energi adalah karbohidrat, lemak dan protein.

(27)

15 Lemak di dalam rumen dirombak menjadi asam lemak, gliserol dan galaktosa. Gliserol dan galaktosa akan mengalami fermentasi menjadi VFA terutama asam propionate. Energi dalam bentuk VFA tersebut dimanfaatkan ternak ruminansia sebagai sumber energi untuk kebutuhan hidup pokok produksi dan reproduksinya.

Sumber energi utama bagi ternak ruminansia juga didapat dari karbohidrat. Karbohidrat dibagi menjadi bentuk yang sederhana, seperti monosakarida dan diskaraida, serta bentuk yang kompleks seperti polisakarida (Church dan Pond, 1988). Polisakarida memiliki ikatan β1-4 yang sulit dicerna sedangkan karbohidrat mudah dicerna memiliki ikatan α1-4 dan α1-6. Dengan adanya fermentasi oleh mikroba rumen, ruminansia dapat mencerna fraksi serat kasar. Fermentasi karbohidrat dalam rumen menghasilkan kerangka karbon untuk sintesa sel mikroba dan membentuk ATP, CO2, dan CH4. Karbohidrat tercerna dapat menghasilkan Digestible Energy (DE) sebesar 4,15 Kkal/gram, sedangkan protein tercerna menghasilkan DE sebesar 5,63 Kkal/gram (Perry et al., 2003).

(28)

16 MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Nutrisi Ternak Ruminansia Kecil Blok B dan Laboratorium Nutrisi Ternak Daging dan Kerja Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dari bulan Juli 2011 hingga Februari 2012. Analisa Proksimat ransum dilakukan di Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU) Institut Pertanian Bogor.

Materi

Kandang dan Peralatan

Ternak percobaan dipelihara di kandang individu berukuran 123 x 55 x 110 cm yang berjumlah 12 buah (Gambar 4).

Gambar 4. Kandang Individu

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu baki pakan (Gambar 5a), ember (Gambar 5b), timbangan digital (gambar 5c), timbangan pegas (Gambar 5d).

(Gambar 5a) (Gambar 5b)

(Gambar 5c) (Gambar 5d)

(29)

17 Selama collecting feces peralatan tambahan yang digunakan, antara lain bambu panggung (Gambar 6a), plastik penampung feses (Gambar 6b), label (Gambar 6c), aluminium foil (Gambar 6d), dan oven 600C.

(Gambar 6a) (Gambar 6b)

(Gambar 6c) (Gambar 6d)

Gambar 6. Bambu panggung (Gambar 6a), plastik penampung feses (Gambar 6b), label (Gambar 6c), aluminium foil (Gambar 6d)

Ternak Percobaan

Ternak yang digunakan adalah domba lokal betina lepas sapih, hasil persilangan antara domba Jonggol dan domba Garut. Domba-domba tersebut berumur 3-4 bulan dengan bobot badan rata-rata sebesar 9,32±2,28 kg. Jumlah domba yang digunakan sebanyak 12 ekor dan dikandangkan secara individu.

Ransum Penelitian

Ransum yang digunakan selama penelitian adalah ransum yang mengandung TDN sebesar 72%-74% dan PK sebesar 16%-18%. Ransum terdiri atas rumput lapang dan konsentrat dengan perbandingan 30:70, sedangkan air diberikan ad libitum.

(30)

18 Tabel 5. Komposisi Bahan Pakan Ransum Penelitian

Bahan Pakan Ransum Penelitian

P0* MJ* MIL* MIT*

Keterangan: *) P0=Ransum kontrol; MJ=Penggunaan 1,5% Minyak Jagung dalam ransum; MIL= penggunaan 1,5% Minyak Ikan Lemuru dalam ransum; MIT=Penggunaan 1,5% Minyak Ikan Lemuru Terproteksi dalam ransum.

Tabel 6. Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian (Konsentrat dan Hijauan)*

Zat Makanan Ransum Penelitian

P0 MJ MIL MIT

Keterangan : *) Hasil Analisa Proksimat Laboratorium PAU, IPB (2012).

**) Perhitungan TDN (Total Digestible Nutrient) menurut Wardeh (1981).

(31)

19 sehingga dapat mensuplai jumlah asam lemak tak jenuh yang diharapkan dapat berperan untuk membantu meningkarkan kecernaan domba lokal betina.

Prosedur

Pembuatan Ransum

Bahan pakan konsentrat yang digunakan terdiri dari sumber energi, onggok, sumber protein, bungkil kelapa, dan sumber vitamin mineral, CaCO3, garam, premix dan urea. Sumber minyak kaya asam lemak tak jenuh yang digunakan terdiri dari minyak jagung komersil, minyak ikan lemuru sebagai hasil samping dari industri pengalengan ikan di Jawa Timur, dan minyak ikan lemuru terproteksi komersil. Pencampuran ransum dilakukan mulai dari bahan-bahan terkecil yang digunakan yakni sumber vitamin dan mineral. Sumber energi berupa onggok di campur dengan sumber protein, bungkil kelapa. Pada perlakuan penggunaan minyak, onggok terlebih dahulu dicampur dengan minyak sebelum dicampur dengan bungkil kelapa. Sebagian campuran sumber energi dan sumber protein tersebut dicampurkan dengan sumber mineral vitamin, kemudian dicampurkan kembali dengan campuran sumber energi dan sumber protein sisa sebelumnya.

Sistem Pemeliharaan

Pemeliharaan domba betina dilakukan selama 3 bulan mulai dari masa lepas sapih untuk adaptasi terhadap pakan perlakuan. Setiap domba dipelihara di kandang individu dan ditimbang setiap 14 hari sekali. Pemberian pakan untuk masa adaptasi ini diberikan 2 kali sehari, pada pagi dan siang hari. Pemberian pakan pada saat adaptasi 3% bobot badan, tetapi seiring bertambahnya bobot badan maka konsumsi ransum dinaikkan sampai 4% bobot badan. Perbandingan konsumsi hijauan dan konsentrat yaitu 30:70, sedangkan air minum diberikan ad libitum.

Koleksi Total

(32)

20 Koleksi feses diambil selama 24 jam dimulai pada pagi hari sampai keesokan pagi harinya. Feses yang baru keluar segera ditampung agar tidak tercampur dengan urin. Feses yang terkumpul selama 24 jam ditimbang sebagai bobot feses segar, kemudian sampel feses dikeringkan matahari untuk mendapatkan berat feses kering matahari. Sampel yang sudah kering matahari langsung dimasukkan dalam oven 60ºC, kemudian sampel dihaluskan dan dikomposit. Sampel yang sudah dikomposit selanjutnya diambil 10% dari setiap perlakuan dan ulangan, lalu dilakukan analisa proksimat berdasarkan AOAC (2000).

Pengukuran Konsumsi Zat Makanan

Konsumsi zat makanan (gram/ekor/hari) selama collecting feces dihitung dengan menggunakan rumus:

Konsumsi BK = (Pakan yang diberikan x %BK pakan) – (Sisa pakan x %BK sisa pakan)

Konsumsi PK = (Pakan yang diberikan x %PK pakan) – (Sisa pakan x %PK sisa pakan)

Konsumsi LK = (Pakan yang diberikan x %LK pakan) – (Sisa pakan x %LK sisa pakan)

Konsumsi SK = (Pakan yang diberikan x %SK pakan) – (Sisa pakan x %SK sisa pakan)

(33)

21 Pengukuran Kecernaan Zat Makanan

Kecernaan zat makanan dihitung dari selisih konsumsi zat makanan dengan kandungan zat makanan feses. Kecernaan zat makanan yang dihitung yaitu BK, PK, LK, SK, dan BETN.

Pengukuran Total Digestible Nutrient (TDN)

Pengukuran TDN dihitung dengan menggunakan data kecernaan zat makanan menurut NRC (1985), dengan rumus:

TDN = PK tercerna + (2,25 x LK tercerna) + SK tercerna + BETN tercerna Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 3 kelompok sebagai ulangan yang disusun secara acak untuk seluruh satuan percobaan. Adapun model matematik yang digunakan adalah sebagai berikut:

Xij = + i+βj + ij

Keterangan :

 = Rataan umum pengamatan

i = Pengaruh jenis ransum (i = 1, 2, 3, 4) βj = Pengaruh kelompok ke-j (j = 1, 2, 3)

(34)

22 Perlakuan

Empat perlakuan yang diberikan adalah sebagai berikut: P0 = ransum kontrol

MJ = ransum yang ditambah 1,5% Minyak Jagung MIL = ransum yang ditambah 1,5% minyak ikan lemuru

MIT = Ransum yang ditambah 1,5% minyak ikan lemuru terproteksi.

Penelitian ini menggunakan 3 kelompok sebagai ulangan. Pengelompokan dilakukan berdasarkan bobot badan domba, yaitu bobot badan kecil (7,00±0,33 kg), sedang (9,15±0,53 kg), dan besar (11,80±1,82 kg).

Peubah yang diamati

Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah konsumsi dan kecernaan BK, PK, LK, SK, BETN, serta TDN.

Analisis Data

(35)

23 HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi dan Kecernaan Bahan Kering

Konsumsi dan kecernaan bahan kering dapat dilihat di Tabel 8. Penambahan minyak jagung, minyak ikan lemuru dan minyak ikan lemuru terproteksi tidak nyata (P>0,05) mempengaruhi konsumsi bahan kering, bahan kering feses, bahan kering tercerna, dan koefisien cerna bahan kering.

Tabel 8. Konsumsi dan Kecernaan Bahan Kering

Peubah Ransum Penelitian

Keterangan: *) P0=Ransum kontrol; MJ=Penggunaan 1,5% Minyak Jagung dalam ransum; MIL= penggunaan 1,5% Minyak Ikan Lemuru dalam ransum; MIT=Penggunaan 1,5% Minyak Ikan Lemuru Terproteksi dalam ransum.

Rataan konsumsi bahan kering pada saat koleksi total masing-masing perlakuan berkisar antara 437,78–482,91 gram/ekor/hari atau 54,52-55,85 gram/kg BB0,75.

Menurut Kearl (1982), kebutuhan bahan kering domba dengan bobot badan 10–20 kg dan PBB 50–100 gram/hari berkisar antara 390–710 gram/ekor/hari. Suhardi (2010) juga menyatakan, domba lokal jantan dengan bobot badan rata-rata 21,25 kg yang diberi pakan berupa 70% konsentrat dan 30% rumput gajah menghasilkan konsumsi bahan kering sebesar 75,55 gram/kg BB0,75.

Konsumsi bahan kering (gram/ekor/hari) masih dalam kisaran normal. Pengukuran kecernaan dengan metode koleksi total tidak mengganggu konsumsi bahan kering domba.

(36)

24 bangsa ternak. Menurut Parakkasi (1998), tingkat konsumsi dipengaruhi oleh ternak itu sendiri, pakan yang diberikan serta lingkungan tempat ternak tersebut dipelihara.

Kecernaan bahan kering ransum P0, MJ, MIL, dan MIT berturut-turut sebesar 303,08; 326,01; 324,60; dan 301,93 gram/ekor/hari atau 66,23%; 67,22%; 67,98%; dan 67,98%.

Karolita et al. (2011) menyebutkan bahwa kombinasi jagung dan bungkil kelapa, onggok dan bungkil kelapa, serta jagung, onggok dan bungkil kelapa dalam ransum domba bunting menghasilkan bahan kering tercerna berturut-turut sebesar 295,92; 301,98; dan 320,47 gram/ekor/hari. Suci et al. (2011) juga menyebutkan, dengan ransum yang sama pada domba jantan lepas sapih menghasilkan koefisien cerna bahan kering berturut-turut sebesar 71,59%; 65,20%; dan 69,88%. Penelitian Adawiyah et al. (2007) menunjukkan bahwa penggunaan 1,5% minyak jagung dan minyak ikan lemuru pada ransum domba garut betina dengan bobot badan rata-rata 22,38 kg tidak mengganggu sistem pencernaan dalam rumen dan menghasilkan kecernaan bahan kering sebesar 68% (dengan minyak jagung) dan 70% (dengan minyak ikan lemuru).

Bahan kering tercerna dan koefisien cerna bahan kering lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Karolita et al. (2011) dan Suci et al. (2011). Hal ini menunjukkan penambahan minyak dalam ransum dapat memperbaiki kecernaan bahan kering. Menurut Adawiyah et al. (2007) minyak ikan dapat berfungsi dalam membantu penyerapan zat makanan di usus dengan memasok asam lemak arakhidonat sebagai prekursor prostaglandin sehingga meningkatkan kecernaan.

Nilai kecernaan yang berbeda dengan Karolita et al. (2011) dan Suci et al. (2011) kemungkinan disebabkan juga oleh perbedaan status fisiologis ternak percobaan, kualitas pakan yang digunakan, dan jumlah konsumsi. Secara umum, peningkatan jumlah konsumsi dapat menurunkan kecernaan, sebab terjadi penurunan waktu retensi rumen dan peningkatan laju aliran pakan dari rumen menuju usus halus sehingga penyerapan zat makanan tidak optimal.

Konsumsi dan Kecernaan Protein Kasar

(37)

25 (P>0,05) mempengaruhi konsumsi protein kasar (gram/ekor/hari), protein kasar feses, protein kasar tercerna, dan koefisien cerna protein kasar, namun, sangat nyata (P<0,01) meningkatkan konsumsi protein kasar pada bobot badan metabolis.

Tabel 9. Konsumsi dan Kecernaan Protein Kasar

Peubah Ransum Penelitian

Keterangan: *) P0=Ransum kontrol; MJ=Penggunaan 1,5% Minyak Jagung dalam ransum; MIL= penggunaan 1,5% Minyak Ikan Lemuru dalam ransum; MIT=Penggunaan 1,5% Minyak Ikan Lemuru Terproteksi dalam ransum.

Menurut Kearl (1982), kebutuhan protein kasar domba dengan bobot badan 10–20 kg dan PBB 50–100 gram/hari berkisar antara 35–72 gram/ekor/hari. Rataan konsumsi protein kasar (gram/ekor/hari) masih di atas kisaran normal, yaitu antara 72,42–84,73 gram/ekor/hari.

Ransum dengan penambahan minyak ikan lemuru dan minyak ikan lemuru terproteksi menghasilkan konsumsi protein kasar (gram/kg BB0,75) lebih rendah dibandingkan dengan ransum kontrol dan ransum dengan minyak jagung (8,99 dan 9,07 vs 9,51 dan 10,13 gram/kg BB0,75). Hal ini diduga karena kandungan protein kasar pada ransum dengan penambahan minyak ikan dan minyak ikan lemuru terproteksi lebih rendah jika dibandingkan dengan ransum kontrol dan ransum dengan minyak jagung (16,32% vs 16,71% dan 18,27%), seperti yang terlihat pada Tabel 2.

(38)

26 protein ternak (induk semang) dapat dipenuhi oleh mikroba sebanyak 70% apabila kondisi rumen yang optimal bagi pertumbuhan dan sintesis protein mikroba dapat dicapai.

Kecernaan protein kasar ransum P0, MJ, MIL, dan MIT berturut-turut sebesar 63,33; 59,07; 5,99; dan 52,51 gram/ekor/hari atau 74,71%; 71,72%; 71,68%; dan 72,56%. Kecernaan protein dalam tubuh ruminansia sangat tergantung dengan jumlah rumen undegradable protein (RUP) dan sintesis protein mikroba. Menurut Sutton et al. (1975), penggunaan minyak ikan tidak berpengaruh terhadap sintesis protein mikroba selama konsumsi tidak menurun.

Suci et al. (2011) menyebutkan bahwa kombinasi jagung dan bungkil kelapa, onggok dan bungkil kelapa, serta jagung, onggok dan bungkil kelapa dalam ransum domba jantan lepas sapih menghasilkan koefisien cerna protein kasar berturut-turut sebesar 75,72%; 72,55%; dan 77,69%. Karolita et al. (2011) juga menyebutkan bahwa protein kasar tercerna dari ransum yang sama pada domba bunting berturut-turut sebesar 52,11; 40,80; dan 52,59 gram/hari/ekor.

(39)

27 mudah terfermentasi, seperti onggok, 80%–85% N-NH3 dari urea dapat efisien dimanfaatkan mikroba untuk mensintesis protein mikroba (Orskov, 1992).

Konsumsi dan Kecernaan Lemak Kasar

Konsumsi dan kecernaan lemak kasar dapat dilihat di Tabel 10. Penambahan minyak jagung, minyak ikan lemuru dan minyak ikan lemuru terproteksi dalam ransum sangat nyata (P<0,01) meningkatkan konsumsi lemak kasar, lemak kasar tercerna, dan koefisien cerna lemak kasar.

Tabel 10. Konsumsi dan Kecernaan Lemak Kasar

Peubah Ransum Penelitian

Keterangan: *) P0=Ransum kontrol; MJ=Penggunaan 1,5% Minyak Jagung dalam ransum; MIL= penggunaan 1,5% Minyak Ikan Lemuru dalam ransum; MIT=Penggunaan 1,5% Minyak Ikan Lemuru Terproteksi dalam ransum.

Rataan konsumsi lemak kasar berkisar antara 17,80–41,81 gram/ekor/hari atau 2,13–5,23 gram/kg BB0,75. Peningkatan ini diduga karena kandungan lemak kasar yang tinggi pada ransum yang ditambah dengan minyak jagung, minyak ikan lemuru dan minyak ikan lemuru terproteksi. Penambahan minyak ikan lemuru terproteksi menghasilkan nilai konsumsi lemak kasar tertinggi diikuti dengan penambahan minyak jagung dan minyak ikan lemuru, serta ransum kontrol.

Kecernaan lemak kasar ransum P0, MJ, MIL, dan MIT berturut-turut sebesar 14,79; 23,41; 27,17; dan 39,34 gram/ekor/hari atau 83,49%; 91,13%; 89,55%; dan 94,08%. Penambahan minyak ikan lemuru terproteksi menghasilkan lemak kasar tercerna yang paling tinggi. Sementara itu, penambahan minyak jagung dan minyak ikan lemuru terproteksi menghasilkan koefisien lemak kasar paling tinggi.

(40)

28 lemak. Komponen lemak merupakan komponen yang mudah dicerna, sehingga jumlah lemak yang tinggi pada pakan juga akan menunjukkan kecernaan lemak yang tinggi pula. Kecernaan lemak tidak dipengaruhi oleh bahan pakan lain dalam ransum, hampir 90% lemak yang terkandung dalam ransum asal sumbangan bahan-bahan pakan penyusunnya dapat dicerna. Ransum penelitian yang terdiri dari hijauan juga mengandung lemak kasar sebanyak 1,83%. Oleh sebab itu, selain dari lemak konsentrat, tingginya lemak hijauan yang mendorong tingginya tingkat kecernaan lemak juga disumbangkan dari lemak hijauan. Menurut Parrakasi (2005), komponen asam lemak dari hijauan terdiri dari asam lemak tak jenuh.

Hasil penelitian ini sesesuai dengan penelitian Bayourthe (1993) yang menyebutkan bahwa penggunaan lemak terproteksi (prolip) sebesar 0%; 5%; 10%, dan 15% pada ransum domba jantan dewasa signifikan dapat meningkatkan kecernaan lemak kasar secara linier sebasar 48,0%; 64,9%; 74,6%; dan 84,6%. Manso (2006) juga menyebutkan penambahan 44% minyak kelapa sawit dan sabun kalsium minyak kelapa sawit dalam pakan domba dapat meningkatkan nilai kecernaan lemak kasar dan konversi pakan, meskipun tidak mempengaruhi nilai karkas. Menurut Johnson (1973), penambahan 4% minyak jagung dapat menghasilkan kecernaan lemak kasar sebesar 87% dan absorbsi lemak sebesar 1,39 gram/kg BB0,75, dengan kandungan lemak kasar dalam ransum sebesar 5,77%. Pond et al. (2005) menyatakan bahwa daya cerna sejati lemak yaitu melebihi 80%. Kecernaan lemak kasar hasil penelitian ini menunjukkan nilai masing-masing perlakuan masih di atas nilai kisaran normal.

Toharmat et al. (2006) menyebutkan komponen lemak pakan lebih banyak dicerna jika komponen lemak lebih terikat pada komponen serat pakan. Komponen lemak pakan lebih banyak dicerna jika komponen lemak lebih banyak terikat pada komponen serat kasar dari bahan pakan penyusun ransum. Penambahan minyak ke dalam ransum, khususnya onggok yang mengandung serat tinggi dapat meningkatkan daya ikat partikel bahan sehingga mudah dicerna.

Konsumsi dan Kecernaan Karbohidrat

(41)

29 (P>0,05) mempengaruhi konsumsi serat kasar dan BETN, serat kasar dan BETN feses, serat kasar dan BETN tercerna, serta koefisien cerna serat kasar dan BETN.

Rataan konsumsi serat kasar dan BETN berturut-turut berkisar antara 64,11– 73,08 gram/ekor/hari dan 226,31–264,62 gram/ekor/hari atau sebesar 8,00-8,45 gram/kg BB0,75 dan 29,4-30,60 gram/kg BB0,75.

Tabel 11. Konsumsi dan Kecernaan Serat Kasar dan BETN

Peubah Ransum Penelitian

Keterangan: *) P0=Ransum kontrol; MJ=Penggunaan 1,5% Minyak Jagung dalam ransum; MIL= penggunaan 1,5% Minyak Ikan Lemuru dalam ransum; MIT=Penggunaan 1,5% Minyak Ikan Lemuru Terproteksi dalam ransum.

Hasil ini sesuai dengan penelitian Hartati et al. (2008) yang menyebutkan bahwa tidak ada pengaruh terhadap konsumsi serat kasar dan BETN dari ransum sapi bali yang terdiri atas rumput dan pakan padat gizi dengan penambahan 1,5% minyak ikan lemuru dan ZnSO4 dengan rasio 70%:30%. Konsumsi serat kasar dan BETN menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada ransum MJ dan MIL. Hal ini di duga karena kandungan serat kasar dan BETN pada ransum MJ yang lebih tinggi dibandingkan dengan ransum yang lain.

(42)

30 penelitian Sukarji et al. (2005). Hal tersebut diduga karena perbedaan jenis ternak yang digunakan, rasio antara hijauan dan konsentrat, serta komposisi kimia hijauan dan konsentrat.

Kecernaan serat kasar pada ransum P0, MJ, MIL, dan MIT berturut-turut sebesar 31,23; 33,15; 30,96; dan 29,08 gram/ekor/hari atau sebesar 54,41%; 54;12%; 54,37%; dan 54,86%. Kecernaan BETN pada ransum P0, MJ, MIL, dan MIT berturut-turut sebesar 169,85; 187,79; 185,45; dan 161,70 gram/ekor/hari atau sebesar 63,26%; 66,91%; 67,20%; dan 68,69%. Meskipun lemak dapat mempengaruhi degradasi serat dan sebagian komponen karbohidrat dalam rumen, dengan menghambat aktivitas mikroba selulitik, penambahan minyak 1,5% dalam ransum tidak mempengaruhi kecernaan serat kasar. Menurut Pond et al. (2005), kadar lemak ransum yang melebihi 7% dapat mengganggu pencernaan, terutama pada proses fermentasi serat kasar di rumianansia. Meskipun ransum MIT memiliki kandungan lemak kasar sebesar 9,32%, namun, perlakuan ransum MIT tersebut tidak sampai menurun serat kasar tercerna dan bahkan menghasilkan nilai yang hampir sama dengan serat kasar tercerna pada perlakuan kontrol. Hal ini diduga karena bahan yang digunakan dalam proteksi minyak ikan lemuru masih dapat menjaga kestabilan sistem fermentasi rumen sehingga tidak menggangu kecernaan.

(43)

31 semakin rendah. Menurut Jung (1989), lignin sebagai komponen kimia dinding sel hijauan sering dihubungkan dengan pengurangan kecernaan serat kasar.

Meskipun cenderung meningkat, ransum dengan penambahan minyak tidak mempengaruhi koefisien cerna BETN. Hal ini sejalan dengan penelitian Kucuk et al. (2004), yang menyebutkan bahwa penambahan minyak biji kedelai dari 0%; 3,2%; 6,3% hingga 9,4% dalam pakan konsentrat pada domba tidak berpengaruh terhadap kecernaan karbohidrat.

Total Digestible Nutrient (TDN)

TDN dapat dilihat di Tabel 12. Penambahan minyak jagung, minyak ikan, dan minyak ikan lemuru tidak nyata (P>0,05) mempengaruhi TDN.

Tabel 12. Total Digestible Energy (TDN)

Peubah Ransum Penelitian Penggunaan 1,5% Minyak Ikan Lemuru Terproteksi dalam ransum.

TDN pada ransum P0, MJ, MIL, dan MIT berturut-turut sebesar 458,08; 482,21; 470,48; dan 437,78 gram/ekor/hari atau sebesar 66,03%; 69,99%; 71,74%; dan 77,33%.

TDN yang tinggi kemungkinan disebabkan oleh lemak kasar tercerna yang tinggi. Penggunaan bungkil kelapa, minyak jagung, serta minyak ikan dapat meningkatkan kadar lemak kasar dan pada akhirnya berpengaruh pada nilai TDN, sebab lemak kasar yang tercerna memberikan 2,25 kali energi dari yang disumbangkan protein serta karbohidrat tercerna. Semakin banyak lemak kasar tercerna dapat meningkatkan pula nilai TDN. Ketersediaan energi untuk metabolism ketika lemak ditambahakan ke dalam pakan diperkirakan sebesar 85%–90% (Chiliard, 1993). Menurut Sutardi (1981), bungkil kelapa juga banyak mengandung lemak kasar, yaitu sebesar 10,9%.

(44)

32 menyebutkan meskipun berpengaruh terhadap kecernaan serat, penambahan lemak tidak berpengaruh terhadap kecernaan energi. Menurut Moore et al. (1986), konsumsi energi tercerna pada sapi kebiri meningkat ketika 4% lemak menggantikan pakan berupa jerami, meskipun konsumsi energi tercerna tidak menunjukkan perbedaan secara nyata dengan penambahan antara 2% - 4% lemak.

NRC (1985) menyebutkan domba dengan bobot badan 10–20 kg dan PBB 200–250 gram/hari membutuhkan TDN sebasar 400–800 gram/ekor/hari. Kearl (1982) juga menyebutkan, domba dengan bobot badan 10–20 kg dan PBB 50–100 gram/hari membutuhakan TDN 210–470 gram/ekor/hari. Kebutuhan TDN masih berada di atas kisaran normal.

Menurut Haryanto (1992), kebutuhan energi harian domba untuk bobot badan berkisar 14 kg dengan PBB 0-50 gram/hari, yaitu sebanyak 1,33 MKal. Jika dibandingkan dengan penelitian Haryanto (1992), ketersediaan energi dapat dicerna pada masing-masing perlakuan ini masih lebih tinggi yakni antara 1,33–1,51 MKal (konversi TDN ke energi dapat dicerna menurut NRC, 1985). Hal tersebut diduga karena panambahan lemak yang dapat dikonversikan menjadi sumber energi. Menurut Czerkawski et al. (1969), penambahan PUFA dapat meningkatkan efisiensi penggunaan energi. Energi yang disumbangkan dari lemak merupakan energi asal VFA yang didapat dari fermentasi gliserol penyusun lemak.

(45)

33 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Ransum calon induk domba lokal yang ditambah sumber minyak berbeda (minyak jagung, minyak ikan lemuru dan minyak ikan lemuru terproteksi) tidak mempengaruhi kecernaan BK, PK, SK, dan BETN, namun, secara signifikan mempengaruhi kecernaan LK. Ransum yang ditambah 1,5% minyak jagung, minyak ikan lemuru, dan minyak ikan lemuru terproteksi meningkatkan kecernaan LK. Penambahan 1,5% minyak ikan lemuru terproteksi menghasilkan kecernaan lemak kasar paling tinggi.

Saran

(46)

34 DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah, T. Sutardi, T. Toharmat, W. Manalu, Nahrowi, & U. H. Tanuwiria. 2006. Suplementasi Sabun Mineral dan Mineral Organik serta Kacang Kedelai Sangrai pada Domba. Med. Pet. 29: 27-34.

Almahdy, H., M. W. Tess, E. El-Tawil, E. Shaheta, & H. Mansour. 2000. Evaluation of Eyptian sheep production system: I. Breed crosses and management systems. J. Anim. Sci. 78: 283-287.

AOAC. 2000. Official Methods of Analysis. 17th Edition. Assoc. Off. Anal. Chem., Arlington, Virginia.

Aritonang, S. N. 2009. The effect of forage energy level on production and reproduction performances of Kosta female goat. J. Nutr. 8(3): 251-255. Ashes J. R., B. D. Siebert, S. K. Gulati, A. Z. Cuthbertson, & T. W. Scott. 1992.

Incorporation of n−3 fatty acids of fish oil into tissue and serum lipids of ruminants. Lipids 27: 629–631.

Balai Pusat Statistik Indonesia. 2010. Lampung dalam Angka: Tanaman Pangan di Provinsi Lampung Tahun 2005 – 2010. http://www.bps.go.id/. [11 Juni 2012].

Banerjee, G.C. 1978. Animal Nutrition. Oxford & IBM Publising. Calcutta.

Bayourthe, C., R. Moncoulon, & M. Vernay. 1993. Effect of protein-protected fat on ruminal and total nutrient digestibility of sheep diets. J. Anim. Sci. 71: 1026-1031.

Bradford , G.E. & I. Inounu. 1996. Prolific breeds of Indonesian. In: Fahmy, M. H. (Editor). Prolific Sheep. CAB. International, Oxan.

Brandt, Jr., R. T., G. L. Kuhl, R. E. Campbell, C. L. Kastner, & S. L. Stroda. 1992. Effects of steam-flaked sorghum grain or corn and supplemental fat on feedlot performance, carcass traits, longissimus composition, and sensory properties of steers. J. Anim. Sci. 70: 343−348.

Brody, J. 1965. Fishery by Product Technology. The AVI Publishing Company Inc., Westport Conecticut.

Chalupa, W. 1975. Rumen by pass and protection of protein and amino acids. J. Dairy. Sci. 58: 198-204.

Chalupa, W., Evans, J. L., & Stillions, M. C. 1984. Metabolic Aspects of urea utilization by ruminant animals. J. Nutr. 84: 77-82.

Cheeke, P. R. 2004. Animal Agriculture. 3th Edition. Upper Saddle Rive. Prentice Hall, New Jersey.

Chikunya, S., G. Demirel, M. Enser, J. D. Wood, R. G. Wilkinson, & L. A. Sinclair. 2004. Biohydrogenation of dietary n-3 PUFA and stability of ingested vitamin E in the rumen, and their effects on microbial activity in sheep. Brit. J. Nutr. 91: 539-550.

(47)

35 Cipolloni, M. A., Schneider, B. H., Lucas, H. L., & Pevlech, H. M. 1951. Significance of the differences in digestibility of Feeds by cattle and sheep. J. Anim. Sci. 10: 337-343.

Cook, M. E., Miller, C. C., Park, Y. & Pariza, M. W. 1993. Immune modulation by altered nutrient metabolism: nutritional control of immune-induced growth depression. Poult. Sci. 72: 1301–1305.

Czerkawski, J. W. & G. Breckenridge. 1969. The Fermentation of Sugar-Beet Pulp and Sucrose in anartificial rumen and the effect of linseed oil fatty acids on the fermentation. Brit. J. Nutr. 23: 51.

Church, D. C. & W. G. Pond. 1988. Basic Animal Nutrition and Feeding. 3rd Edition. John Wiley & Sons, Inc., Canada.

Darwis, A. 1990. Produksi Enzim Selulase dan Biomassa untuk Pakan Ternak dan Biokonversi Coklat oleh Trichoderma viridae. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan, Universitas Jambi, Jambi.

Davidson, K. L. & Walter, W. 1960. Influence of fatty acids upon digestibility of ration component by lambs and upon cellulose digestion in Vitro. J. Anim. Sci. 19: 54-59.

Diwyanto, K. & I. Inounu. 2001. Ketersediaan teknologi dan pengembangan ruminansia kecil. Makalah pada Seminar Nasional Domba dan Kambing. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Djajanegara, A. & M. Rangkuti. 1989. Sheep Production and Development in Indonesia. In: C. Devendra & P.S. Faylon (Editors). Book Series No. 80/1989. International Development Res. Center, Los Banos, Philippines. Djarwati., Fauzi, I., & Sukani. 1993. Pengolahan Air Limbah Industri Tapioka

Secara Kimia Fisika. Laporan Penelitian, Departemen Perindustrian RI, Semarang.

Drackley, J. K. 2000. Farm Animal Metabolism and Nutrition. CABI Publishing, United Kingdom.

Enie, A.B. 1989. Teknologi Pengolahan Singkong. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Nilai Tambah Singkong. Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jawa Barat.

FAO Corporate Document Repository. 2004. Profilic sheep in Java. http://www.fao.org/DOCREP/004/X6517E/X6517E04.htm [3 Desember 2011].

Funston, R. N. 2004. Fat supplementation and reproduction in beef females. J. Anim. Sci. 82: 154–161.

Galgal, K. K., N. P. McMeniman, & B. W. Norton. 1994. Effect of copra pra expeller pellet supplementation on flow of nutrients from rumen of sheep fed low quality Pangola grass (Digitaria decumbens). Small Rum. Res. 15:3 1-37.

(48)

36 Gohl, B. 1981. Tropical Feeds. Food and Agricultural Organization of United

Nations. Rome.

Grundy, S. M. 1994. Influence of stearic acid on cholesterol metabolism relative to other long chain fatty acids. Am. J. Clin. Nutr. 60(Suppl): 986S-990S.

Ha, Y. L., N. K. Grimm & M. W. Pariza. 1987. Anticarcinogens from fried ground beef: Heat-altered derivatives of linoleic acid. Carcinogenesis 8: 1881–1887. Hartati, E. N. G. F. Katipana, & A. Shaleh. 2008. Konsumsi dan Kecernaan Zat-zat

Makanan pada Sapi Bali Akhir Kebuntingan yang Diberi pakan Padat Gizi Mengandung Minyak Ikan Lemuru dan Seng. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Bogor.

Haryanto, B., I. K. Sutama, B. Sudaryanto, & A. Djajanegara. 1992. Domba dan kambing untuk kesejahteraan masyarakat. Prosiding Sarasehan Usaha Ternak Domba dan Kambing Menyongsong Era PJPT II. Bogor.

Hidajati, Nurhasanah, M. Martawidjaja & I. Inounu. 2001. Peningkatan Protein Ransum untuk Pembesaran Domba Hasil Persilangan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor.

Jafar, M. D. & A. O. Hassan, 1990. Optimum Steaming Condition of PPF for feed utilization. Processing and utilization of oil palm by-products for ruminant. MARDI-TARC Collaborative Study. Malaysia.

Jakob S., R. Zabielskit, R. Mosenthin, J. L. Valverde Piedra, L. Evilevitch, M. Kuria, C. Rippe, M. S. Winzel, & S.G. Pierzynowski. 2001. Infuence of intraduodenally infused olive and coconut oil on postprandial exocrine pancreatic secretion of growing pigs. J. Anim. Sci. 79: 447-485.

Jenkins, T.C. 1993. Lipids metabolism in the rumen. J. Dairy Sci. 76: 3851-3863. Johnson, R. R. & K. E. McClure. 1973. High Fat Ration of Rminant. II. Effects of

Fat Added to Corn Plant Material Prior to Ensiling on Digestibility and Voluntary Intake of The Silage. J. Anim. Sci. 36: 397-405.

Joseph, G. 2007. Suplementasi Sabun Kalsium dalam Pakan Ternak Ruminansia Sebagai Sumber Energi Alternatif Untuk Meningkatkan Produksi Daging yang Berkualitas. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Jouany, J. P. 1996. Effect of rumen protozoa on nitrogen utilization by ruminants. J. Nutr. 126: 1335S–1346S.

Karolita, J., L. Khotidjah, & K. B. Satoto. 2011. Konsumsi dan kecernaan zat makanan pada domba lokal bunting yang mendapat ransum dengan sumber karbohidrat jagung dan onggok. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kearl, L. C. 1982. Nutrition Requirments of Ruminants in Developing Countries. International Feedstuff Utah Agricultural Experiment Station. 1st Edition. Utah State University, Logan.

Gambar

Tabel 2. Kandungan Zat Makanan Bungkil Kelapa
Tabel 3. Komposisi Asam Lemak Bungkil Kelapa
Tabel 4. Komposisi Asam Lemak Minyak Jagung
Tabel 5. Komposisi Asam Lemak Minyak Ikan Lemuru
+7

Referensi

Dokumen terkait

Suatu lintasan merupakan lintasan kapasitas interval maksimum jika dan hanya lintasan tersebut merupakan lintasan kapasitas real maksimum, di mana untuk semua busur yang

Bahwa setelah menikah Penggugat dan Tergugat tinggal di rumah orangtua.. Tergugat di Banjar Dinas Yehanakan, Desa Banjarasem,

POLA PERTUMBUHAN DAN FAKTOR KONDISI IKAN LUMO Labiobarbus ocellatus (Heckel, 1843) DI SUNGAI TULANG

memperkuat hal yang lain. Hal demikian dipedukan untuk dapat menjamin terakomodasinya minat utama dari setiap anak atau peserta didik Selain itu, keberadaan

Data dari Rock-Eval menunjukkan bahwa sampel batuan memiliki tingkat kematangan rendah, tingkat indeks oksigen tinggi, potensial generasi hidrokarbon rendah, serta

Untuk obat fenitoin dengan berat mencit ( Mus musculus) pertama adalah 16 gr,setelah pemberian obat secara oral mencit ( Mus musculus) bertahan selama 42 detik,

 Block moved to user space when needed  Another block is moved into the buffer. 

Berdasarkan gambaran di atas peneliti tertarik melakukan penelitian yang bertujuan untuk: (1) mengetahui kepercayaan diri siswa SMP Plus Mambaul Ulum Sukowono