• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Pengaruh Proses Kompaksi Terhadap Munculnya Retakan Pada Green Body Dan Hasil Sinter Magnet Barium-Strontium Hexaferrite

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Pengaruh Proses Kompaksi Terhadap Munculnya Retakan Pada Green Body Dan Hasil Sinter Magnet Barium-Strontium Hexaferrite"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1

Dokumentasi Peralatan Yang Digunakan

(2)

GAMBAR. CETAKAN (DIE)

GAMBAR. HAND PRESS ENERPAC

(3)

GAMBAR. MICRO HARDENESS TESTER MXT50 MATSUZAWA

GAMBAR. PEGAS

(4)

GAMBAR. FURNACE

(5)

GAMBAR. MESIN BUBUT MERK TONG-IL

GAMBAR. TIMBANGAN DIGITAL MERK ADAM

(6)

GAMBAR. MIKROSKOP OPTIK

GAMBAR. OVEN

(7)

GAMBAR MESIN PEMOTONG MERK ISOMET

GAMBAR. JANGKA SORONG

(8)

GAMBAR. STOPWATCH

GAMBAR. ARCHIMEDES DENSITY

(9)
(10)

Lampiran 2

Contoh Perhitungan Energi Drop Test,

Kecepatan Drop Test dan

Bulk Density

(11)

1. Dik: h = 100 cm = 1 m

m= 4 gram

g = 10 m/s2

Dit: EP =...?

Maka Energi Potensial (EP) = m . g . h

= 4 . 10 . 1

= 40 J

Vt2 = V02 + 2gh

Vt2 = 02 + 2.10.1

Vt = √20 = 4,47 m/s2

1. Dik: d1 = 0,0496 mm

Contoh Perhitungan nilai kekerasan Vickers(VHN)

d2 = 0,0468 mm

drata-rata = 0,0482

P = 0,2 Kgf

Dit: VHN = ...?

VHN = 2P sin (θ / 2) �2 =

(1,854)P �2 = 1,854( 0,2) / (0,0482)2

(12)

1. Dik: mk = 1,254 gram

Contoh Perhitungan nilai bulk density

mb = 1,086 gram

ρair = 0,99651 gr/cm3

Dit: ρBulk = ...?

ρ

Bulk

=

��

��−��

��� = 1,354

1,354−1,086 � 0,99651

(13)

Lampiran 3

Data Hasil Pengujian Bulk Densitydan

(14)

Data Hasil Pengujian Densitas Bulk

Sampel Terbaik( ΔT/min = 50

C/min)

Bagian

Sampel Massa Kering

Massa Basah Bagian Sampel Massa Kering Massa Basah

ATAS 1,354 1,086 BAWAH 1,21 0,957

1,354 1,08 1,208 0,966

1,353 1,082 1,209 0,965

1,355 1,081 1,208 0,966

1,353 1,093 1,209 0,965

Rata-rata 1,3538 1,0844 Rata-rata 1,2088 0,9638

ρ bulk 5,00 gr/cm3 ρ bulk 4,91 gr/cm3

Sampel Terburuk( ΔT/min = 50

C/min)

Bagian

Sampel Massa Kering

Massa Basah Bagian Sampel Massa Kering Massa Basah

ATAS 1,086 0,862 BAWAH 1,536 1,233

1,086 0,863 1,535 1,234

1,087 0,863 1,537 1,228

1,087 0,863 1,537 1,229

1,086 0,863 1,536 1,23

Rata-rata 1,0864 0,8628 Rata-rata 1,5632 1,2308

ρ bulk 4,84 gr/cm3 ρ bulk 5,01 gr/cm3

Sampel Terbaik( ΔT/min = 100

C/min)

Bagian

Sampel Massa Kering

Massa Basah Bagian Sampel Massa Kering Massa Basah

ATAS 1,302 1,037 BAWAH 1,396 1,09

1,303 1,038 1,398 1,114

1,302 1,037 1,396 1,115

1,302 1,04 1,397 1,117

1,303 1,04 1,397 1,114

Rata-rata 1,3024 1,0384 Rata-rata 1,3968 1,11

ρ bulk 4,91 gr/cm3 ρ bulk 4,85 gr/cm3

Sampel Terburuk( ΔT/min = 100C/min)

Bagian

Sampel Massa Kering

(15)

ATAS 1,077 0,856 BAWAH 1,718 1,361

1,079 0,859 1,719 1,369

1,078 0,86 1,719 1,372

1,077 0,858 1,718 1,373

1,08 0,86 1,718 1,371

Rata-rata 1,0782 0,8586 Rata-rata 1,7184 1,3692

ρ bulk 4,93 gr/cm3 ρ bulk 4,90 gr/cm3

Sampel Terbaik( ΔT/min = 150

C/min)

Bagian

Sampel Massa Kering

Massa Basah Bagian Sampel Massa Kering Massa Basah

ATAS 1,383 1,102 BAWAH 1,3 1,026

1,383 1,101 1,3 1,039

1,384 1,102 1,301 1,036

1,384 1,103 1,3 1,037

1,384 1,105 1,301 1,04

Rata-rata 1,3836 1,1026 Rata-rata 1,3004 1,0356

ρ bulk 4,90 gr/cm3 ρ bulk 4,89 gr/cm3

Sampel Terburuk( ΔT/min = 150

C/min)

Bagian

Sampel Massa Kering

Massa Basah Bagian Sampel Massa Kering Massa Basah

ATAS 1,4 1,116 BAWAH 1,025 0,801

1,401 1,117 1,024 0,803

1,399 1,119 1,024 0,803

1,4 1,12 1,025 0,807

1,401 1,12 1,025 0,81

Rata-rata 1,4002 1,1184 Rata-rata 1,0246 0,8048

(16)

Lampiran 4

STANDARD SPESIFICATIONS

FOR

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Agus Sukarto Wismogroho. 2013. Pengembangan Dilatometer Untuk Analisa Karakteristik Sintering Magnet Berbasis Ferrite. Pusat Penelitian Fisika (P2F) LIPI.

Amin, James, J. R. 1981. Techniques for The Utilization of Hexagonal Ferrites In Radar Absorber. Part I. Broadband Planar Coating. Radio Electron Engineers, 51, 209–218.

Broek, David. 1986. Elementary Engineering Fracture Mechanics. M. Nijhoff (Dordrecht And Boston Ang Hingham). Mass, U.S.A

Chandra, H. 1993. Analisis Kegagalan Feed Tube Centrifuge. Thesis. ITB. Bandung.

Cullity, B.D. 1972. Introduction to Magnetic Material.Canada: Addison-Wesley Publishing Company Inc.

C.Y. Wu. 2005. Modelling The Mechanical Behaviour Of Pharmaceutical Powders During Compaction. Powder Technology 152 (2005) 107-117, Science Direct.

David, Myrna . 1999. Metalurgi Serbuk , Teori Dan Aplikasi. Jilid 1. Depok.

Dieter. 1987. Pengujian Kekerasan.

E. Paul DeGarmo. Materials and Processes inManufacturing. Ninth Edition, John Wiley &Sons, Inc 2003.

G. Alderborn, C. Nystrom. Pharmaceutical Powder Compaction Technology. Marcel Dekker Inc., New York, 1996.

German, R. M. 1991. Fundamental of Sintering, Engineered Materials Handbook, vol 4, Ceramic-Glasses, L. F Heather, W.D Nikki,ed. The Materials Information Society.

German R.M. 1994.Powder Metallurgy Science, The Penylvania State University, USA.

(18)

meter.

Jurnal Fisika HFI Vol.A5 No.0528. Tangerang: Himpunan Fisika Indonesia.

Jasim, K Mohammed. Simulation Of Cold Die Compaction Alumina Powder. Trends In Mechanical Engineering& Technology, Vol 1, Issue 1, February, 2011, Pages 1-21.

J.T. Carstensen, J.M. Geoffroy, C. Dellamonica. Compression Characteristics Of Binary Mixtures, Powder Technology 62 (1990) 119 – 124.

K. Kawakita, K.H. Ludde. Some Considerations On Powder Compres-Sion Equations, Powder Technology 4. (1970/71) 61 – 68.

Klar, Enhard. 1983. Powder Metallurgy Application, Advantages And Limitation. Ohio : american society for metals.

Masanori, K. 2000. Fracture Mechanics. Science University of Technology. Tokyo, Japan.

McEntire B. J. dan Norton, 1991. Powder Compaction Processes Dry Pressing,Engineered Materials Handbook Ceramics and Glassses. ASM International, USA.

Moulson A.J. and J.M. Herbert. 1985. Electroceramics: Materials, Properties andApplications,Chapman and Hall, London-New York.

R.W. Heckel. Density Pressure Relationship in Powder Compaction. Transactions of the Metallurgical Society of AIME 221 (1961) 671 – 675.

Trisna. 2012. Perambatan Retak(Crack Propagation) Tap Bolt Unc-Oil Coated Astm 325. Jurnal Teknik Mesin Vol. 2, No.1, oktober 2012 : 20-25.

Van Vlack, L. H. 1989. Ilmu dan Teknologi Bahan-bahan Logam dan BukanLogam, Edisi kelima, Erlangga, Jakarta.

Widayat, W. 2008. Kajian Sifat Mekanis Briket Tongkol Jagung yang dikompaksi dengan Tekanan Rendah. Jurnal Ilmiah Popular dan Teknologi Terapan. Vol. 6. No. 2. Hal. 905-914. Semarang: FT UNNES.

http://blog.uin-malang.ac.id/nurun/files/2013/03/METALURGI-SERBUK.pdf Diakses tanggal 23 April 2014, Pukul : 10.00

http://electrochem.cwru.edu/edencycl/art-p04-metalpowder.htm Diakses tanggal 23 April 2014, Pukul : 11.00

(19)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

3.1.1 Tempat Penelitian

Penelitian untuk tugas akhir ini dilakukan di Pusat Penelitian Fisika (PPF),

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Kawasan PUSPIPTEK

Serpong,Tangerang Selatan, Indonesia

3.1.2 Waktu Penelitian

Penelitian untuk tugas akhir ini dilakukan pada 03 Maret 2014 sampai

dengan 06 Juni 2014.

3.2 Peralatan dan Bahan

Peralatan dan bahan- bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

3.2.1 Peralatan

1. Timbangan Digital Merk ADAM

Berfungsi untuk mengukur massa sampel.

2. Oven

Berfungsi untuk mengeringkan sampel.

3. Alat cetak terdiri dari 2 bagian

• Cetakan(die compaction) Halus( standart kehalusan = 0,13mm ), φ = 1

(20)

• Cetakan (die compaction) Kasar(standart kekasaran = 0,64mm),

φ = 1,6 cm dan φ = 1 cm

Berfungsi sebagai alat untuk mencetak sampel uji.

4. Plastik

Berfungsi sebagai tempat sampel uji.

5. Hand Press

Berfungsi untuk alat untuk menekan serbuk yang telah dimasukkan

kedalam cetakan dengan tekanan tertentu.

6. Penggaris/ Meteran

Berfungsi untuk mengukur panjang alat cetak dan jarak jatuh( drop test)

sampel.

7. Jangka Sorong

Berfungsi untuk mengukur diameter alat cetak.

8. Camera Digital

Berfungsi sebagai alat untuk mengamati struktur makro retakan, alat

cetakan, dan green body.

9. Stopwatch

Berfungsi untuk menghitung waktu kompaksi.

10.Furnace

Berfungsi sebagai alat sintering material magnet berbasis ferrit.

11.Pegas 2 buah (l = 5,5 cm)

Berfungsi sebagai alat penahan pada saat kompaksi dari 2 sisi.

12.Mikroskop Optik

Berfungsi sebagai alat pengamatan struktur mikro crack sampel.

13.Kertas Ampelas

Berfungsi sebagai alat untuk menghaluskan permukaan bagian dalam.

cetakan

14.Mesin Bubut Merk TONG-IL

Berfungsi sebagai alat untuk melobangi besi dan menghaluskan

(21)

15.Mesin Pemotong Merk ISOMET

Berfungsi sebagai alat untuk memotong besi dan magnet.

16.Mesin Bor

Berfungsi sebagai alat untuk menghaluskan permukaan bagian dalam

cetakan.

17.Micro Hardeness Tester MXT50 MATSUZAWA

Berfungsi sebagai alat uji kekerasan Vickers.

18.Pipa Paralon

Berfungsi Media untuk uji drop test.

19.ArchimedesDensity

Berfungsi Sebagai alat untuk mengukur Bulk Density.

20.Gergaji

Berfungsi untuk memotong besi.

3.2.2 Bahan

1. Serbuk Ba-Sr Hexaferrite China (ukuran partikel = 21,40μm)

Berfungsi sebagai bahan pembuatan magnet permanen( Sampel uji).

2. Besi (Fe)

(22)

3.3 Diagram Alir Penelitian

Adapun alur penelitian secara umum adalah sebagai berikut:

v

Pengujian Bulk Density Pengujian Kekerasan

Vickers Pengujian

Mikrostruktur

Sintering(T=11000C t holding = 1 Jam

Pengujian Mikrostruktur Dipilih 20 Sampel

Terbaik dan Terburuk

Observasi Crack (Foto Makro) Pengujian Drop

test(Ep = 2, 4, 6 dan

Kompaksi dengan 6 variasi : 1.Variasi Tekanan

2. Variasi Massa Sampel 3. Variasi Waktu Penahanan 4. Variasi Diameter Penekan 5. Variasi Permukaan

cetakan

6. Variasi Arah Penekanan

Drying (T=800C, t = 24 Jam)

[Kecepatan Pemanasan

(ΔT/min)= 50C/min,100C/min , 150C/min]

Pembuatan Alat Cetak kasar dan halus

Powder Ba-Sr Hexaferrite China

(23)

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Pembuatan Alat cetak

1. Disediakan dua potong besi berbentuk silinder pejal.

2. Masing-masing besi berbentuk silinder pejal tersebut dipotong dengan

mesin pemotong dengan panjang 6 cm.

3. Masing-masing besi berbentuk silinder pejal tersebut dipotong dengan

menggunakan mesin bubut dengan diameter 1cm.

4. Empat buah alat penekan (punch) ditempa untuk 2 buah cetakan

tersebut.

5. Permukaan dalam besi yang telah dibubut tersebut kemudian

dihaluskan dengan menggunakan mesin bor yang sudah dilapisi kertas

ampelas mulai dari ukuran 100, 400, 800, 1000, 1200 dan 1500 sampai

permukaannya benar-benar halus seperti kaca sedangkan permukaan

alat cetak lain tidak diberi perlakuan pengamplasan.

6. Besi yang permukaan dalamnya diberi perlakuan pengamplasan disebut

alat cetak halus dan besi yang permukaan dalamnya tidak diberi

perlakuan pengamplasan disebut alat cetak kasar.

3.4.2 Persiapan Bahan Baku

Untuk membuat magnet keramik BaO.6Fe2O3 disediakan bahan baku yang

dibutuhkan yaitu serbuk BaO.6Fe2O3 . Bahan baku tersebut ditimbang

sesuai dengan massa yang dibutuhkan.. Kemudian dimasukkan ke dalam

plastik (tempat sampel) sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan.

3.4.3 Proses Drying

(24)

Serbuk yang sudah ditimbang dalam timbangan digital, kemudian

dikeringkan di dalam oven dengan temperatur 800 C selama 24 jam.

3.4.4 Proses Kompaksi

Serbuk yang sudah dikeringkan kemudian dicetak yang dilakukan dengan

cara dry pressing(cetak kering) beberapa variasi antara lain sebagai

berikut :

3.4.4.1Variasi Tekanan

Sampel dicetak dengan menggunakan hand press. Sebelum serbuk

dimasukkan ke dalan cetakan, dinding cetakan terlebih dahulu dibersihkan

agar mempermudah proses kompaksi (penekanan), serbuk 4 gr masukkan

ke dalam cetakan berdiameter 1,6 cm dan dilakukan kompaksi dengan

tekanan 3000 Psi. Proses kompaksi ditahan selama 5 menit dan hasil

pencetakannya berupa pellet. Dengan prosedur yang sama dilakukan

kompaksi dengan tekanan 4000 Psi dan 5000 Psi dengan massa serbuk dan

waktu penahanan yang sama.

3.4.4.2Variasi Waktu Penahanan

Sampel dicetak dengan menggunakan hand press. Sebelum serbuk

dimasukkan ke dalan cetakan, dinding cetakan terlebih dahulu dibersihkan

agar mempermudah proses kompaksi (penekanan), serbuk 4 gr masukkan

ke dalam cetakan berdiameter 1,6 cm dan dilakukan kompaksi dengan

tekanan 5000 Psi dan waktu penahanan selama 1 menit dan hasil

pencetakannya berupa pellet. Dengan prosedur yang sama dilakukan

kompaksi dengan waktu penahanan 2,5 menit, 5 menit, 7,5 menit dan 10

(25)

3.4.4.3Variasi Jumlah Sampel

Sampel dicetak dengan menggunakan hand press. Sebelum serbuk

dimasukkan ke dalan cetakan, dinding cetakan terlebih dahulu dibersihkan

agar mempermudah proses kompaksi (penekanan), serbuk 2 gr masukkan

ke dalam cetakan berdiameter 1,6 cm dan dilakukan kompaksi dengan

tekanan 5000 Psi dan waktu penahanan selama 5 menit dan hasil

pencetakannya berupa pellet. Dengan prosedur yang sama dilakukan

kompaksi dengan massa 4 gr, 6 gr, 8 gr, dan 10 gr dengan waktu

penahanan dan tekanan yang sama.

3.4.4.4Variasi Permukaan Alat Cetak

Sampel dicetak dengan menggunakan hand press. Sebelum serbuk

dimasukkan ke dalan cetakan, dinding cetakan terlebih dahulu dibersihkan

agar mempermudah proses kompaksi (penekanan), serbuk 4 gr masukkan

ke dalam cetakan halus ( standart kehalusan = 50μ) berdiameter 1 cm dan

dilakukan kompaksi dengan tekanan 5000 Psi dan waktu penahanan

selama 5 menit dan hasil pencetakannya berupa pellet. Dengan prosedur

yang sama dilakukan kompaksi dengan cetakan kasar (standar kekasaran =

200μ) berdiameter 1 cm dengan massa serbuk, waktu penahanan dan

tekanan yang sama.

3.4.4.5Variasi Diameter alat Penekan

Sampel dicetak dengan menggunakan hand press. Sebelum serbuk

dimasukkan ke dalan cetakan, dinding cetakan terlebih dahulu dibersihkan

(26)

tekanan 5000 Psi, dengan diameter alat penekan 1,6 cm, ditahan 5 menit

dan hasil pencetakannya berupa pellet. Dengan prosedur yang sama

dilakukan kompaksi dengan diameter alat penekan 1 cm dengan massa

serbuk, waktu penahanan dan tekanan yang sama.

3.4.4.6Variasi SingleUniaxial Pressingdan Double Uniaxial Pressing

3.4.4.6.1 Double uniaxial pressing( Penekanan dengan dua arah)

Sampel dicetak dengan menggunakan cetakan halus dan kasar dengan

hand press. Sebelum serbuk dimasukkan ke dalan cetakan, dinding

cetakan terlebih dahulu dibersihkan agar mempermudah proses

kompaksi (penekanan), serbuk 3 gr masukkan ke dalam cetakan halus

berdiameter 1 cm dan dilakukan kompaksi dengan penekanan 2 arah

(double uniaxial pressing)dengan tekanan 3000 Psi dan waktu

penahanan selama 5 menit dan hasil pencetakannya berupa pellet.

Dengan prosedur yang sama dilakukan kompaksi sehingga diperoleh

20 buah sampel.

Dengan prosedur yang sama, juga dilakukan kompaksi dengan

cetakan kasar sehingga diperoleh 20 buah sampel.

3.4.4.6.2 Single Uniaxial Pressing(Penekanan dengan satu arah)

Sampel dicetak dengan menggunakan cetakan halus dan kasar dengan

hand press. Sebelum serbuk dimasukkan ke dalan cetakan, dinding

cetakan terlebih dahulu dibersihkan agar mempermudah proses

kompaksi(penekanan), serbuk 3 gr masukkan ke dalam cetakan halus

berdiameter 1 cm dan dilakukan kompaksi dengan penekanan 1 arah

(single uniaxial)dengan tekanan 3000 Psi dan waktu penahanan selama

5 menit dan hasil pencetakannya berupa pellet. Dengan prosedur yang

(27)

Dengan prosedur yang sama, juga dilakukan kompaksi dengan

cetakan kasar sehingga diperoleh 20 buah sampel.

3.4.5 Sintering

Proses sintering dilakukan setelah drop test( tes jatuh), dimana 20 sampel

terbaik dan 20 sampel terburuk akan disinter pada furnace dengan suhu

11000 yang ditahan selama 1 jam. Proses sintering dilakukan dengan

variasi kecepatan pemanasan yaitu 50C/min, 100C/min, dan 150C/min

dengan variasi suhu awal yaitu 250C dan 2500C.

3.5 Karakterisasi Sampel

3.5.1 Pengujian Drop Test dan observasi retakan

Pengujian drop test dilakukan dengan metode ASTM D 440-86. Pengujian

drop test dilakukan untuk mengetahui inisial dan pola-pola retak (crack).

Pellet dijatuhkan pada ketinggian 5 cm, 10 cm, 15 cm dan 100 cm dengan

permukaan landasan rata. Setelah dijatuhkan, diamati bentuk - bentuk

retak dan distribusi retakan yang terjadi. Kemudian diambil foto struktur

pellet sebelum dicetak dan dilakukan drop test.

3.5.2 Pengujian Mikrostruktur

Pengujian ini dilakukan untuk mengamati bentuk struktur makro dan

mikro yang terjadi pada permukaan pelet sebelum dan sesudah

disinter.Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan mikroskop optik.

Permukaan yang akan amati pada penelitian ini adalah

microcrackPengamatan dilakukan dengan lensa objektif dengan

pembesaran yang bisa dilihat struktur butir hingga dapat mengukur butir

tersebut. Jika pembesaran pada objek 100 x, maka pembesaran pada mata

(28)

3.5.3 Pengujian Kekerasan Vickers

Kekerasan ini diukur dengan mempergunakan Micro Hardeness Tester

MXT50 MATSUZAWA. Dalam pengujian ini dipakai piramid dengan

sudut bidang-duanya 136o sebagai penekan. Pada penggujian ini dipakai

standar kekerasan Vickers, menggunakan indentor berbentuk

piramiddengan dasar bujur sanggkar dari bahan intan.Sudut puncak

piramid adalah 1360. Angka kekerasan Vickers adalah besar beban (P)

dibagi dengan luas indentasi.

Gambar 3.1Skema pengujian kekerasan Vickers(Dieter, 1987)

Prosedur uji kekerasan Vickers adalah sebagai berikut:

1. Disiapkan permukaan benda kerja:

a. Kedua permukaan benda kerja diratakan dengan menggunakan

kikir dan amplas kasar, sehingga kedua bidang permukaan tersebut

sejajar.

(29)

2. Disiapkan perangkat uji kekerasan Vickers pada Universal Hardness

Tester MXT50:

a. Dipasang bandul beban 60 kg (588 N).

b. Dipasang indentor piramida intan bersudut 1360.

c. Dipasang benda kerja pada landasan

d. Handel diatur pada posisi ke atas.

3. Benda kerjadisentuhkan pada indentor dengan memutar piringan

searah jarum jam sampai jarum besar pada skala berputar 21/2 kali dan

jarum kecil menunjuk pada angka 3. Jika terasa berat, jangan

dipaksakan tetapi harus diputar balik dan diulangi.

4. Dilepaskan handel ke depan secara perlahan-lahan. Jangan menekan

handel ke bawah, tetapi biarkanlah handel bergerak sendiri turun ke

bawah. Jarum besarpada skala akan bergerak seiring dengan turunnya

handel ke bawah. Ditunggu hingga jarum besar pada skala berhenti

dengan sendirinya.

5. Ditunggu selama 20 detik dari saat berhentinya jarum, kemudian

digerakkan handel ke atas secara perlahan-lahan sampai maksimal.

6. Dilepaskan benda kerja dengan memutar piringan berlawanan arah

jarum jam.

7. Diukur panjang diagonal indentasi dengan kaca pembesar berskala.

8. Diulangi pengujian sampai lima kali pada limatitik yang berbeda.

9. Dihitung nilai kekerasan di masing-masing titik dengan persamaan

dibawah ini :

VHN

=

2P sin (θ / 2)

�2

=

(1,854)P

(30)

3.5.4 Pengujian Densitas

Cara kerja pengujian Densitas diamati dengan menggunakan prinsip

Archimedes danmengacu pada standar ASTM D-792, prosedur yang

dilakukan adalah :

1. Sampel uji kering berbentuk pelet terlebih dahulu ditimbang di udara

dan angkanya dicatat disebut dengan massa kering (mk).

2. Sampel uji ditimbang dalam air dan angkanya dicatat disebut dengan

massa basah (mb).

Setelah diketahui nilainya, maka Densitas sampel dapat dihitung dengan

rumus :

�����

=

��

�−��

����...(3.2)

Dimana : ρ = Bulk density(gr/cm3)

Mb = massa basah (gr)

(31)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Desain Alat cetak

Telah dilakukan pembuatan alat cetak kasar dengan kekasaran permukaan sebesar

0,64 mm dan alat cetak halus dengan kekasaran permukaan 0,13 mm.

A B

(32)

Gambar 4.1 A)Foto permukaan alat cetak kasar; B) Foto permukaan alat cetak halus; C) Morfologi permukaan alat cetak kasar dengan perbesaran 50X; D) Morfologi permukaan alat cetak halus dengan perbesaran 50X; E),Foto sistem single uniaxial pressing; F)Foto sistem double uniaxial pressing.

4.2Data dan Analisa hasil Observasi Crackdengan Uji drop test

Energi yang dihasilkan pada saat penjatuhan sampel (5 cm, 10 cm, 15 cm

dan 100 cm) dengan V0 = 0 m/s2

(33)
[image:33.595.119.539.366.679.2]

(b) (c) (d)

Gambar 4.2 Skema drop test (a), pellet hasil cetakan berdiameter 1,6 cm (b), pellet hasil cetakan halus berdiameter 1 cm (c), pellet hasil cetakan kasar berdiameter 1 cm (d).

4.2.1 Variasi Tekanan dengan Cetakan Kasar( m = 4gr, t = 5 menit, φ= 1.6 cm)

(34)

Hasil cetakan pada variasi tekanan menunjukkan bahwa retakan terbentuk

setelah dicetak, pada penekanan 3000 dan 5000 Psi sehingga pellet mengalami

patah di posisi atas dan melintang. Sedangkan pada penekanan 4000 Psi, pellet

tidak patah. Setelah diuji drop test, patah semakin terlihat pada semua tekanan.

Hal ini menunjukkan bahwa dengan pengaturan kondisi pencetakan, dapat

diketahui bahwa efek variasi tekanan terhadap terbentuknnya retakan tidak

berpengaruh secara signifikan. Dengan kata lain, pengaruh syarat pengujian yang

dilakukan lebih dominan dari pada efek dari variasi tekanan tersebut.

[image:34.595.118.552.334.671.2]

4.2.2 Variasi Waktu Penahanan dengan Cetakan Kasar ( P = 5000 PSI, m = 4gr, φ= 1.6 cm)

Gambar 4.4 Hasil drop test dengan waktu penahan

Variasi waktu penahanan terhadap green compact hasil pencetakan yang

(35)

bahwa waktu penahanan yang paling singkat dan paling lama menyebabkan

terjadinya retakan, sedangkan interval waktu penahanan diantara kedua waktu

tersebut memperoleh hasil green compact yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa

adanya waktu optimum penahanan. Pada kondisi penelitian yang dilakukan,

waktu penahanan yang optimal berada pada interval 2,5-7,5 menit.

Pada hasil drop test, dapat diketahui bahwa green compact mengalami

retakan dan patah. Hal ini menunjukkan bahwa rapuhnya green compact terjadi

karena dimungkinkan adanya retakan di dalam pellet yang tidak terobservasi.

Retakan ini menjadi salah satu sumber munculnya pecahan ketikan dilakukan uji

drop test.

[image:35.595.121.548.373.700.2]

4.2.3 Variasi Massa Sampel dengan Cetakan Kasar( P = 5000 PSI, t = 5 menit , φ= 1.6 cm)

(36)

Variasi massa sampel terhadap green compact hasil pencetakan yang

ditunjukkan pada gambar 4.5, green compact yang dihasilkan menunjukkan

bahwa massa sampel sebanyak 6 gram menyebabkan terjadinya retakan,

sedangkan massa sampel lain ( 2, 4, 8, 10) gram memperoleh hasil green compact

yang baik. Retakan yang terjadi pada kompaksi sampel sebanyak 6 gram itu,

dimungkinkan terjadi akibat posisi yang tidak tepat pada saat pengeluaran green

compact dari cetakan.

Pada hasil drop test, dapat diketahui bahwa green compact mengalami

retakan dan patah. Hal ini menunjukkan bahwa rapuhnya green compact terjadi

karena dimungkinkan adanya retakan di dlam pellet yang tidak terobservasi.

Retakan ini menjadi salah satu sumber munculnya pecahan ketikan dilakukan uji

(37)
[image:37.595.117.557.146.499.2]

4.2.4 Variasi Permukaan Alat Cetak ( P = 5000 PSI, t = 5 menit, m = 4gr, φ = 1 cm)

Gambar 4.6 Hasil drop test dengan variasi permukaan alat cetak

Gambar 4.6 menujukkan hasil pencetakan dengan alat cetak kasar dengan

kekasaran permukaan sebesar 200μ dan alat cetak halus dengan kekasaran 50μ.

Hasil pencetakan menunjukkan bahwa permukaan green compact hasil cetakan

halus menunjukkan kualitas permukaan yang lebih mengkilat, sedangkan hasil

cetakan kasar lebih tidak mengkilat. Hal ini menunjukkan semakin halus

permukaan alat cetak, maka semakin sedikit timbulnya goresan pada permukaan

green compact.

Hasil pencetakan menunjukkan bahwa green compact yang dihasilkan

(38)

melintang terjadi karena deformasi ketika terjadi penekanan. Namun patahan yang

terjadi bukan berbentuk lurus artinya bahwa proses deformasi tersebut (deformasi

tambahan) terjadi setelah deformasi umum yang terjadi pada pencetakan.

Pada umumnya, patah yang terjadi pada kegagalan proses pencetakan

adalah patah sejajar. Patah tersebut terjadi karena deformasi simetris karena

mekanisme pencetakan yang kurang sempurna. Sedangkan patah melintang

menunjukkan bahwa proses pencetakan sudah dilakukan dengan benar, namun

dalam proses pemadatannya terjadi deformasi asimetris.

[image:38.595.115.558.331.678.2]

4.2.5 Variasi Diameter Alat Penekan dengan Cetakan Kasar ( P = 5000 PSI, t = 5 menit, m = 4gr)

(39)

Variasi diameter penekan terhadap green compact hasil pencetakan yang

ditunjukkan pada gambar 4.7, green compact yang dihasilkan menunjukkan

bahwa pada kedua variasi diameter, belum terjadi retakan atau dengan kata lain

diperoleh hasil green compact yang baik. Hal ini mennjukkan bahwa diameter

penekan tidak lebih berpengaruh dibandingkan dengan syarat pengujian sampel

tersebut.

Pada hasil drop test, dapat diketahui bahwa green compact mengalami

retakan dan patah. Hal ini menunjukkan bahwa pada diamater berapa pun, retak

akan terjadi setelah di drop test. Terlihat bahwa green compact hasil kompaksi

dengan diameter penekan 1 cm mengalami patah melintang. Patah melintang

tersebut terjadi akibat adanya deformasi asimetris serbuk. Dan green compact

hasil kompaksi dengan diameter penekan 1,6 cm mengalami patah atas. Patah

atas tersebut terjasi akibat deformasi simetris pada serbuk saat dikompaksi.

4.2.6 Variasi Arah Penekanan (Single Uniaxial Pressing dan Double Uniaxial

Pressing)

(40)

Tabel 4.1 menunjukkan hasil uji pencetakan dan drop test pada 4 variasi

metode pencetakan dengan jumlah sampel masing-masing 20 buah. Uji ini

dilakukan untuk mempelajari proses kompaksi dari segi kuantitas dan efek dari

masing-masing parameter pencetakan yang dilakukan. Hasil pengujian

menunjukkan bahwa :

a. Pada proses pencetakan dengan alat cetak halus dengan metode single

uniaxial pressing, hanya 40% pellet yang berhasil dicetak dalam kondisi

utuh, sedangkan 60% lagi mengalami kerusakan dengan distribusi terbesar

terjadi pada patah simetris bagian atas yaitu 45%, patah melintang 10%

dan patah tengah 5%. Setelah dilakukan pengujian drop test , pellet utuh

yang tersisa hanya 15% dan pellet yang mengalami kerusakan setelah

pengujian yaitu 5% patah bagian atas, 25% patah melengkung, 10% patah

bagian tengah dan distribusi kerusakan terbesar berada pada patah

melintang sebesar 35%.

b. Pada proses pencetakan dengan alat cetak halus dengan metode single

uniaxial pressing, 75% pellet yang berhasil dicetak dalam kondisi utuh,

sedangkan 30% lagi mengalami kerusakan dengan distribusi terbesar

terjadi pada patah melintang yaitu 15% dan 10% patah bagian atas.

Setelah dilakukan pengujian drop test , pellet utuh yang tersisa hanya 20%

dan pellet yang mengalami kerusakan setelah pengujian ada 80% dengan

deskripsi yaitu 15% patah bagian atas, 20% patah melengkung, 5% patah

bagian tengah, 5% pellet hancur total dan distribusi kerusakan terbesar

berada pada patah melintang sebesar 35%.

c. Pada proses pencetakan dengan alat cetak kasar dengan metode double

uniaxial pressing, 70% pellet yang berhasil dicetak dalam kondisi utuh,

sedangkan 30% lagi mengalami kerusakan dengan distribusi terbesar

terjadi pada patah bagian atas yaitu 20% dan 10% patah pada bagian

tengah. Setelah dilakukan pengujian drop test , pellet utuh yang tersisa

hanya 20% dan pellet yang mengalami kerusakan setelah pengujian ada

80% dengan deskripsi yaitu 15% patah bagian atas, 15% patah bagian

tengah, dan distribusi kerusakan terbesar berada pada patah melintang dan

(41)

d. Pada proses pencetakan dengan alat cetak halus dengan metode double

uniaxial pressing, 90% pellet yang berhasil dicetak dalam kondisi utuh,

sedangkan 10% lagi mengalami kerusakan dengan distribusi terbesar

terjadi pada patah bagian atas yaitu 10%. Setelah dilakukan pengujian

drop test , pellet utuh yang tersisa hanya 30% dan pellet yang mengalami

kerusakan setelah pengujian ada 70% dengan deskripsi yaitu patah bagian

atas, patah bagian tengah, dan pellet hancur masing-masing 10% dan

distribusi kerusakan terbesar berada pada patah melintang sebesar 40%.

Dari Hasil tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan cetakan metode

double uniaxial pressing meningkatkan persentase keberhasilan proses

pencetakan dari 40% menjadi 90%. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan pada

single uniaxial pressing terjadi akibat faktor kehalusan permukaan alat cetak.

Permukaan yang kasar akan memberikan hambatan yang besar dan permukaan

yang halus akan memberikan hambatan yang lebih kecil.

Apabila pencetakan dilakukan dengan alat cetak kasar dengan jarak

penggerakan penekan yang jauh, besar gesekan akan semakin tinggi dan

kerusakan sampel akan meningkat. Ketika jarak pergerakan penekan pada saat

kompaksi diperpendek, maka efek gesekan akan semakin kecil dan diperoleh

green compact yang baik. Besarnya gaya gesek yang terjadi akan menyebabkan

peningkatan densitas pada daerah serbuk yang dikompaksi dengan pergerakan

penekanan yang jauh. Sehingga distribusi densitas yang kurang merata akan lebih

mudah untuk memunculkan retak. Perbedaan distribusi densitas powder yang

terbentuk dapat memicu terjadinya retakan.

Disamping itu, faktor permukaan cetakan yang kasar menjadikan

diperolehnya permukaan yang kasar dari pellet yang akan memicu terjadinya

(42)
[image:42.595.113.513.84.351.2]

Gambar 4.8 Grafik presentase keberhasilan proses pencetakan

4.2.7 Pola-pola retak yang terbentuk dari hasil observasi crackdengan pengujian drop test.

Pola-pola retak yang terbentuk dari hasil observasi crack adalah sebagai berikut :

1. Patah Atas

2. Patah Tengah

3. Patah Melengkung

4. Patah Melintang

(1) (2)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 alat cetak kasar (single uniaxial pressing) Alat cetak halus (single uniaxial pressing) Alat cetak halus (double uniaxial pressing)

Persentase Keberhasilan proses cetak(%)

Persentase

(43)

(3) (4)

Gambar 4.9 Foto makro pola-pola retak yang terbentuk dari hasil pengujian drop test

4.3Hasil dan AnalisaPengujian Mikrostruktur

Pengujian mikrostruktur bertujuan untuk mengamati permukaan dari pellet

sebelum dan setelah disintering pada suhu 11000Cyang ditahan selama 1 Jam,

suhu awal T0 = 250C dan 2500C dengan perbesaran 50X. Hasil analisa pengujian

mikrostruktur adalah sebagai berikut :

Sampel 1

(44)

Sampel 3

Sampel 4

[image:44.595.116.497.99.568.2]

Sampel 5

Gambar 4.10 Mikrostruktur pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik sebelum(kiri) dan

setelah sinter 11000C, Tholding= 1 Jam, ΔT = 50C/Min, T0 = 250C(kanan) dengan

perbesaran 50X.

Mikrostruktur pellet terbaik sebelum disinter (gambar 4.10 bagian kiri),

dapat diketahui bahwa pada sampel 1,2,3 dan 5 belum ada terlihat inisial crack

(retak awal) dan green compact masih berwarna kecoklatan, sedangkan pada

sampel 4 terlihat beberapa gumpalan serbuk hasil kompaksi pada permukaan

pellet. Pada sampel 1,2,3,4 dan 5 setelah disinter( gambar 4.10 bagian kanan)

terlihat perubahan warna pellet menjadi keabu-abuan dan belum ada terlihat retak

(45)

awal akibat proses sinter. Namun, pada sampel 5 masih terlihat butiran serbuk

pada permukaannya. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat sinter beberapa

gumpalan serbuk green compact berubah menjadi butiran serbuk yang homogen.

Sampel 1

Sampel 2

Sampel 3

Retak Gumpalan Serbuk

Gumpalan Serbuk

(46)

Sampel 4

[image:46.595.113.508.95.378.2]

Sampel 5

Gambar 4.11 Mikrostruktur pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk sebelum(kiri) dan

setelah sinter 11000C, Tholding= 1 Jam, ΔT = 50C/Min, T0 = 250C(kanan) dengan

perbesaran 50X.

Mikrostruktur pellet terburuk sebelum disinter (gambar 4.11 bagian kiri),

dapat diketahui bahwa pada sampel 1dan 3 terdapat gumpalan serbuk pada

permukaan green compact, sedangkan pada sampel 2 dan 5 belum ada terlihat

retak awal dan pada sampel 5 sudah terlihat retak awal. Retak ini disebabkan oleh

kompaksi yang kurang tepat. Pada sampel 1,2,3,4 dan 5 setelah disinter( gambar

4.11 bagian kanan) terlihat perubahan warna pellet menjadi keabu-abuan dan

sudah terlihat retak akibat proses sinter pada sampel 3,4 dan 5. Pada sampel 1

belum terlihat retak awal akibat sinter. Namun, pada sampel 2 masih terlihat

butiran serbuk pada permukaannya. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat sinter

beberapa gumpalan serbuk green compact berubah menjadi butiran serbuk yang

homogen.

Retak

(47)

Sampel 1

Sampel 2

Sampel 3

Sampel 4

(48)

Sampel 5

Gambar 4.12 Mikrostruktur pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik sebelum(kiri) dan

setelah sinter 11000C, Tholding= 1 Jam, ΔT = 100C/Min, T0 = 250C(kanan) dengan

perbesaran 50X.

Mikrostruktur pellet terbaik sebelum disinter (gambar 4.12 bagian kiri),

dapat diketahui bahwa pada sampel 2,3,4 dan 5 belum ada terlihat inisial crack

(retak awal) dan green compact masih berwarna kecoklatan, sedangkan pada

sampel 1 terlihat beberapa gumpalan serbuk hasil kompaksi pada permukaan

pellet. Pada sampel 1,2,3,4 dan 5 setelah disinter( gambar 4.12 bagian kanan)

terlihat perubahan warna pellet menjadi keabu-abuan dan belum ada terlihat retak

awal akibat proses sinter.

Sampel 1

Sampel 2

(49)

Sampel 3

Sampel 4

[image:49.595.115.511.86.679.2]

Sampel 5

Gambar 4.13 Mikrostruktur pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk sebelum(kiri) dan

setelah sinter 11000C, Tholding= 1 Jam, ΔT = 100C/Min, T0 = 250C(kanan) dengan

perbesaran 50X.

(50)

Mikrostruktur pellet terburuk sebelum disinter (gambar 4.13 bagian kiri),

dapat diketahui bahwa pada sampel 1,2,3 dan 5 belum ada terlihat inisial crack

(retak awal) dan green compact masih berwarna kecoklatan, sedangkan pada

sampel 4 terlihat beberapa gumpalan serbuk hasil kompaksi pada permukaan

pellet. Pada sampel 2,3,4 dan 5 setelah disinter( gambar 4.13 bagian kanan)

terlihat perubahan warna pellet menjadi keabu-abuan dan belum ada terlihat retak

awal akibat proses sinter. Sedangkan pada sampel 1 sudah terlihat retak awal

akibat sintering.

Sampel 1

Sampel 2

Sampel 3

(51)

Sampel 4

[image:51.595.113.512.92.377.2]

Sampel 5

Gambar 4.14 Mikrostruktur pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik sebelum(kiri) dan

setelah sinter 11000C, Tholding= 1 Jam, ΔT = 150C/Min, T0 = 250C(kanan) dengan

perbesaran 50X.

Mikrostruktur pellet terbaik sebelum disinter (gambar 4.14 bagian kiri),

dapat diketahui bahwa pada sampel 1,2,3,4 dan 5 belum ada terlihat retak awal

dan green compact masih berwarna kecoklatan. Pada sampel 1,3 dan 4 setelah

disinter ( gambar 4.14 bagian kanan) terlihat perubahan warna pellet menjadi

keabu-abuan dan belum terlihat retak akibat proses sinter. Pada sampel 2 terlihat

retak awal akibat kecepatan pemanasan (heating rate) sinter yang semakin tinggi.

Namun, pada sampel 5 masih terlihat butiran serbuk pada permukaannya. Hal ini

menunjukkan bahwa pada saat sinter beberapa gumpalan serbuk green compact

berubah menjadi butiran serbuk yang homogen.

(52)

Sampel 1

Sampel 2

Sampel 3

Sampel 4

Sampel 5

Retak

Butiran serbuk

Butiran serbuk

(53)

Gambar 4.15 Mikrostruktur pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk sebelum(kiri) dan

setelah sinter 11000C, Tholding= 1 Jam, ΔT = 150C/Min, T0 = 250C(kanan) dengan

perbesaran 50X.

Mikrostruktur pellet terburuk sebelum disinter (gambar 4.15 bagian kiri),

dapat diketahui bahwa pada sampel 1,2,3, dan 4 belum ada terlihat retak awal dan

green compact masih berwarna kecoklatan, sedangkan pada sampel 5 terlihat

beberapa gumpalan serbuk hasil kompaksi pada permukaan pellet.Pada sampel

setelah disinter ( gambar 4.15 bagian kanan) terlihat perubahan warna pellet

menjadi keabu-abuan dan belum terlihat retak akibat proses sinter. Pada sampel 4

dan 5 terlihat retak awal akibat kecepatan pemanasan (heating rate) sinter yang

semakin tinggi. Namun, pada sampel 1,2 dan 3 masih terlihat butiran serbuk pada

permukaannya. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat sinter beberapa gumpalan

serbuk green compact berubah menjadi butiran serbuk yang homogen.

Sampel 1

Retak Retak

Permukaan patah

(54)

Sampel 2

Sampel 3

Sampel 4

[image:54.595.113.511.95.704.2]

Sampel 5

Gambar 4.16 Mikrostruktur pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik sebelum(kiri) dan

setelah sinter 11000C, Tholding= 1 Jam, ΔT = 150C/Min, T0 = 2500C(kanan) dengan

perbesaran 50X.

Retak

Retak

(55)

Mikrostruktur pellet terbaik sebelum disinter (gambar 4.16 bagian kiri),

dapat diketahui bahwa pada sampel 3,4, dan 5 belum ada terlihat retak awal dan

green compact masih berwarna kecoklatan, sedangkan pada sampel 2 terlihat

beberapa gumpalan serbuk hasil kompaksi pada permukaan pellet dan pada

sampel 1 terlihat permukaan patah akibat hasil green compact yang kurang

optimal. Pada sampel setelah disinter ( gambar 4.16 bagian kanan) terlihat

perubahan warna pellet menjadi keabu-abuan. Pada sampel 1,3,4 dan 5 terlihat

retak awal akibat kecepatan pemanasan (heating rate) sinter yang semakin tinggi.

Namun, pada sampel 2 belum terlihat retak akibat proses sinter dan permukaannya

terlihat kasar.

Sampel 1

Sampel 2

Retak Retak

(56)

Sampel 3

Sampel 4

[image:56.595.113.508.90.550.2]

Sampel 5

Gambar 4.17 Gambar 4.16 Mikrostruktur pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk

sebelum(kiri) dan setelah sinter 11000C, Tholding= 1 Jam, ΔT = 150C/Min, T0 =

2500C(kanan) dengan perbesaran 50X.

Mikrostruktur pellet terburuk sebelum disinter (gambar 4.17 bagian kiri),

dapat diketahui bahwa pada sampel 1,2 dan 4 sudah terlihat retak awal dan green

compact masih berwarna kecoklatan, sedangkan pada sampel 5 terlihat beberapa

gumpalan serbuk hasil kompaksi pada permukaan pellet dan pada sampel 2 belum

terlihat retak awal. Pada sampel setelah disinter ( gambar 4.17 bagian kanan)

terlihat perubahan warna pellet menjadi keabu-abuan dan terlihat bahwa semua

sampel mengalami cracking akibat kecepatan pemanasan (heating rate) sinter

Retak Retak

Retak

(57)

yang semakin tinggi. Namun, pada sampel 3 belum terlihat retak akibat proses

sinter dan permukaannya terlihat kasar.

[image:57.595.150.457.249.675.2]

4.4 Data dan Analisa Hasil Uji Kekerasan Vickers

Tabel 4.2 Data Hasil Uji Kekerasan vickers pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik

sintering 11000C, ΔT = 50C/Min, T0 =250C

Uji ke- d1 (mm)

d2 (mm)

d rata2 (mm)

F (kgf) VHN 1 0,0623 0,0576 0,05995 0,2 103,1719

2 0,0568 0,0597 0,05825 0,2 109,2818

3 0,0552 0,0564 0,0558 0,2 119,0889

4 0,0539 0,0581 0,056 0,2 118,2398

5 0,0528 0,0596 0,0562 0,2 117,3997

1 2 3 4 5

0 20 40 60 80 100 120 140 N il ai K ek er as an V ic k er s (V H N ) Titik Pengujian Terbaik (50C/min) 103,1719 109,2818 119,0889 118,2398 117,3997

Gambar 4.18Grafik Kekerasan vickers pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik

(58)

Tabel 4.3 Data Hasil Uji Kekerasan vickers pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk

sintering 11000C, ΔT = 50C/Min, T0 =250C

uji ke- d1 (mm)

d2 (mm)

d rata2 (mm)

F (kgf) VHN 1 0,0984 0,0833 0,09085 0,2 44,92518

2 0,0973 0,0846 0,09095 0,2 44,82645

3 0,0802 0,0917 0,08595 0,2 50,19356

4 0,0974 0,1007 0,09905 0,2 37,79469

5 0,0911 0,0925 0,0918 0,2 44,00017

1 2 3 4 5

[image:58.595.154.462.168.559.2]

0 10 20 30 40 50 60 70 50,19356 37,79469 44,00017 44,82645 N il ai K ek er as an ( V H N ) Titik Pengujian Terburuk (50C/min) 44,92518

Gambar 4.19 Grafik Kekerasan vickers pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk

(59)

Tabel 4.4 Data Hasil Uji Kekerasan vickers pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik

sintering 11000C, ΔT = 100C/Min, T0 =250C

uji ke- d1 (mm)

d2 (mm)

d rata2 (mm)

F (kgf) VHN 1 0,0496 0,0468 0,0482 0,2 159,6047

2 0,0515 0,0493 0,0504 0,2 145,9751

3 0,0512 0,0501 0,05065 0,2 144,5376

4 0,0515 0,0515 0,0515 0,2 139,8058

5 0,0512 0,0506 0,0509 0,2 143,1213

1 2 3 4 5

[image:59.595.152.457.167.553.2]

0 40 80 120 160 200 143,1213 145,9571 144,5376 139,8058 Titik Pengujian Terbaik (100C/min) N il ai K ek er as an ( V H N ) 159,6047

Gambar 4.20 Grafik Kekerasan vickers pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik

(60)

Tabel 4.5 Data Hasil Uji Kekerasan vickers pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk

sintering 11000C, ΔT =100C/Min, T0 =250C

uji ke- d1 (mm)

d2 (mm)

d rata2 (mm)

F (kgf) VHN 1 0,0438 0,0483 0,04605 0,2 174,856

2 0,0456 0,0478 0,0467 0,2 170,0223

3 0,0454 0,0432 0,0443 0,2 188,9436

4 0,0461 0,0463 0,0462 0,2 173,7224

5 0,0482 0,0447 0,04645 0,2 171,8574

1 2 3 4 5

[image:60.595.159.446.334.595.2]

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 173,7224 171,8574 188,9436 170,0223 N il ai K ek er as an ( V H N ) Titik Pengujian Terburuk (100C/min) 174,856

Gambar 4.21 Grafik Kekerasan vickers pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk

(61)

Tabel 4.6 Data Hasil Uji Kekerasan vickers pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik

sintering 11000C, ΔT =150C/Min, T0 =250C

uji ke- d1 (mm)

d2 (mm)

d rata2 (mm)

F (kgf) VHN 1 0,0405 0,0423 0,0414 0,2 216,3411

2 0,0425 0,0445 0,0435 0,2 195,9572

3 0,0449 0,0448 0,04485 0,2 184,338

4 0,0428 0,0429 0,04285 0,2 201,9473

5 0,0408 0,0432 0,042 0,2 210,2041

1 2 3 4 5

[image:61.595.154.459.213.591.2]

0 40 80 120 160 200 240 280 201,9473 195,9572 184,338 210,2041 N il ai K ek er as an ( V H N ) Titik Pengujian Terbaik (150C/min) 216,3411

Gambar 4.22 Grafik Kekerasan vickers pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik

(62)
[image:62.595.165.442.330.591.2]

Tabel 4.7 Data Hasil Uji Kekerasan vickers pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk

sintering 11000C, ΔT =150C/Min, T0 =250C

uji ke- d1 (mm) d2 (mm) d rata2 (mm)

F (kgf) VHN 1 0,0479 0,0412 0,04455 0,2 186,829

2 0,0443 0,0468 0,04555 0,2 178,7158

3 0,0427 0,0482 0,04545 0,2 179,5031

4 0,0457 0,0442 0,04495 0,2 183,5187

5 0,0431 0,0455 0,0443 0,2 188,9436

1 2 3 4 5

0 40 80 120 160 200 240 188,9346 183,5187 179,5031 178,7158 N il ai K ek er as an ( V H N ) Titik Pengujian

Terburuk (150C/min)

186,829

Gambar 4.23 Grafik Kekerasan vickers pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk

sintering 11000C, ΔT = 150C/Min, T0 =250C

Hasil Uji kekerasan untuk kecepatan pemanasan 50C/min pada sampel

terbaik memiliki nilai kekerasan sekitar 103,1719 – 119,0889 (gambar 4.18) dan

sampel terburuk memiliki nilai kekerasan sekitar 37,79469 – 44,92518 (gambar

(63)

kekerasan sekitar 139,8058 – 159,6047 (gambar 4.20) dan sampel terburuk

memiliki nilai kekerasan sekitar 171,8574 – 188,9436 (gambar 4.21) dan pada

kecepatan 150C/min pada sampel terbaik memiliki nilai kekerasan sekitar 184,338

– 216,3411 (gambar 4.22) dan sampel terburuk memiliki nilai kekerasan sekitar

178,7158 - 188,9346 (gambar 4.23). Perbedaan nilai kekerasan pada kelima titik

pengujian itu disebabkan oleh permukaan(surface) sampel uji yang tidak rata,

susunan butiran partikel dalam pellet tersebut (microstructure) tidak merata pada

semua sisi, juga disebabkan oleh ketelitian alat yang masih memiliki ralat yang

[image:63.595.142.463.292.551.2]

besar.

Gambar 4.24 Grafik hubungan nilai kekerasan vickers dengan kecepatan

pemanasan pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik

4 6 8 10 12 14 16

0 50 100 150 200 250 300 146,6089 201,75754 N ilai K ek er as an V ic ker s ( V H N )

(64)

4 6 8 10 12 14 16 0 40 80 120 160 200 240 183,50204 175,88034

Kecepatan Pemanasan Sintering (0C/min)

N ilai K ek er as an V ic ker s (V H N ) 44,60

Gambar 4.25 Grafik hubungan nilai kekerasan vickers dengan kecepatan

pemanasan pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk

Dari gambar 4.24 dan 4.25 dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi

kecepatan pemanasansintering(heating rate) maka semakin tinggi juga nilai VHN

(Vickers Hardeness Number). Perbedaan nilai kekerasan rata-rata pada setiap

kecepatan pemanasan sintering tersebut juga dipengaruhi oleh faktor penggerusan/

pengampelasan yang tidak merata pada permukaan pellet.

[image:64.595.170.442.104.322.2]

4.5 Data dan Analisa Hasil Uji Bulk Density

Tabel 4.8 Hubungan kecepatan pemanasan dengan densitas bulk pada pelet

(Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik

Kecepatan

Pemanasan(0C/min)

ρ bulk (atas)

gr/cm3

ρ bulk (bawah)

gr/cm3

5 5 4,91

10 4,91 4,85

(65)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 5,0 5,5 6,0 4,90 4,89 4,85 4,91 4,91 B ul k D ens it y ( gr /c m 3 )

Kecepatan Pemanasan(0C/min) atas bawah

5,00

Gambar 4.26 Grafik hubungan kecepatan pemanasan terhadap nilai densitas bulk

pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik

Dari gambar 4.26 untuk setiap kecepatan pemanasan sinter terlihat bahwa

nilai ρ bulkbagian atas lebih tinggi dibandingkan nilai ρ bulk bagian bawah, nilai

ρ bulk bagian atas sekitar 4,9- 5 gr/cm3 dan nilai ρ bulk bagian bawah sekitar 4,85- 4,91 gr/cm3. Dapat juga diketahui bahwa semakin tinggi kecepatan

pemanasan sintering maka nilai densitas bulk-nya semakin menurun. Namun,

pada pellet bagian bawah pada kecepatan pemanasan 100C/min terlihat nilai

densitas yang kurang signifikan. Hal ini terjadi akibat perbedaan volume bulk

[image:65.595.147.470.128.367.2]

pada saat pemotongan sampel.

Tabel 4.9 Hubungan kecepatan pemanasan dengan densitas bulk pada pelet

(Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk

Kecepatan

Pemanasan(0C/min)

ρ bulk (atas)

gr/cm3

ρ bulk (bawah)

gr/cm3

5 4,84 5,01

(66)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 5,0 5,5 6,0 4,93 4,9 4,95 4,64 4,84 5,01 B ul k D ens ity (gr /c m 3 )

Kecepatan Pemanasan( 0C/min)

[image:66.595.144.470.131.385.2]

Atas Bawah

Gambar 4.27 Grafik hubungan kecepatan pemanasan terhadap nilai densitas bulk

pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk

Dari gambar 4.27 untuk setiap kecepatan pemanasan sinter terlihat bahwa

nilai ρ bulkbagian atas lebih tinggi dibandingkan nilai ρ bulk bagian bawah, nilai

ρ bulk bagian atas sekitar 4,84- 4,95 gr/cm3dan nilai ρ bulk bagian bawah sekitar 4,64- 5,01 gr/cm3. Dapat juga diketahui bahwa semakin tinggi kecepatan

pemanasan sintering maka nilai densitas bulk-nya semakin menurun. Namun,

pada pellet bagian atas pada setiap kecepatan pemanasan terlihat nilai densitasnya

berbanding lurus dengan kcepatan pemanasannya. Hal ini terjadi akibat perbedaan

(67)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan analisis penelitian yang telah dilakukan,maka dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut :

1. Tekanan, waktu penahan, jumlah sampel, diameter alat penekan dan

kehalusan permukaan cetakan berpengaruh pada proses terbentuknya

retakan. Semakin halus permukaan alat cetak maka semakin tinggi

kemungkinan untuk tidak terjadinya fenomena retakan.

2. Semakin tinggi laju pemanasan dan suhu awal sintering, maka pellet hasil

sinter lebih mudah retak.

3. Kecepatan pemanasan berpengaruh besar terhadap nilai VHN (Vickers

Hardness Numbers). Pellet Ba-SrO.6Fe2O3 memiliki nilai VHN tertinggi

sebesar 216,3411 pada kecepatan pemanasan tertinggi yaitu 150C/min.

4. Nilai densitas pelet Ba-SrO.6Fe2O3 bagian atas adalah sekitar 4,92 gr/cm3

dan bagian bawah sekitar 4,82 gr/cm3.

5. Green body yang bagus diperoleh dari proses kompaksi dengan mengguna

(68)

5.2 Saran

Untuk proses penelitian lebih lanjut mengenai studi pengaruh kompaksi terhadap

retakan pada magnet Ba-SrO.6Fe2O3 disarankan :

1. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilakukan karakterisasi sifat

magnet dengan VSM (Vibrating Sample Magnetometer).

2. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilakukan pembuatan alat

(69)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Magnet keramik

Keramik adalah bahan-bahan yang tersusun dari senyawa anorganik bukan logam

yang pengolahannya melalui perlakuan dengan temperatur tinggi. Kegunaannya

adalah untuk dibuat berbagai keperluan desain teknis khususnya dibidang

kelistrikan, elektronika, mekanik dengan memanfaatkan magnet keramik sebagai

magnet permanen, dimana material ini dapat menghasilkan medan magnet tanpa

harus diberi arus listrik yang mengalir dalam sebuah kumparan atau selenoida

untuk mempertahankan medan magnet yang dimilikinya. Disamping itu, magnet

permanen juga dapat memberikan medan yang konstan tanpa mengeluarkan daya

yang kontinu. Magnet keramik yang merupakan magnet permanen mempunyai

struktur Hexagonal close-pakced. Dalam hal ini bahan yang sering digunakan

adalah Barrium Ferrite (BaO.6Fe2O3). Barium dapat juga digantikan dengan

bahan yang menyerupai(segolongan) dengannya, yaitu seperti Strontium.

Bahan keramik yang bersifat magnetik umumnya merupakan golongan

ferit, yang merupakan oksida yang disusun oleh hematit (α-Fe2O3) sebagai

komponen utama. Bahan ini menunjukkan induksi magnetik spontan meskipun

medan magnet dihilangkan. Material ferit juga dikenal sebagai magnet keramik,

bahan itu tidak lain adalah oksida besi yang disebut ferit besi (ferrous ferrite).

Pada umumnya ferit dibagi menjadi tiga kelas :

1. Ferit Lunak, ferit ini mempunyai formula Mfe2O4, dimana M = Cu, Zn, Ni, Co,

Fe,Mn, Mg dengan struktur kristal seperti mineral spinel. Sifat bahan ini

mempunyaipermeabilitas dan hambatan jenis yang tinggi, koersivitas yang

rendah.

2. Ferit Keras, ferit jenis ini adalah turunan dari struktur magneto plumbit yang

dapat ditulis sebagai Mfe12O19, dimana M = Ba, Sr, Pb. Bahan ini mempunyai

(70)

3. Ferit Berstruktur Garnet, magnet ini mempunyai magnetisasi spontan yang

bergantung pada suhu secara khas. Strukturnya sangat rumit, berbentuk

kubik dengan sel satuan disusun tidak kurang dari 160 atom (Idayanti,

2002).

Ferit lunak mempunyai struktur kristal kubik dengan rumus umum

MO.Fe2O3dimana M adalah Fe, Mn, Ni, dan Zn atau gabungannya seperti Mn-Zn

dan Ni-Zn. Bahan ini banyak digunakan untuk inti transformator, memori

komputer,induktor, recording heads, microwave dan lain-lain. Ferit keras banyak

digunakan dalam komponen elektronik, diantaranya motor-motor DC kecil,

pengeras suara (loudspeaker), meteran air, KWH-meter, telephone receiver,

circulator, dan rice cooker(Cullity, 1972).

2.2 Sifat-sifat Magnet Keramik

Sifat-sifat kemagnetan suatu bahan dapat diperlihatkan dalam kurva histerisis

yaitu kurva hubungan intensitas magnet (H) terhadap medan magnet (B). Seperti

ditunjukkan pada gambar 2.1 merupakan kurva histerisis pada saat magnetisasi.

Gambar 2.1 Kurva saat proses magnetisasi (Moulson A.J, et all., 1985).

Pada gambar 2.1 di atas tampak bahwa kurva tidak berbentuk garis lurus

sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan antara B dan H tidak linier. Dengan

kenaikan harga H, mula-mula B turut naik cukup besar, tetapi mulai dari nilai H

tertentu terjadi kenaikan nilai B yang kecil dan makin lama nilai B akan konstan.

(71)

magnet saturasi. Saturasi magnetisasi adalah keadaan dimana terjadi kejenuhan,

nilai medan magnet B akan selalu konstan walaupun medan eksternal H dinaikkan

terus.

Bahan yang mencapai saturasi untuk harga H rendah disebut magnet lunak

seperti yang ditunjukkan kurva (a). Sedangkan bahan yang saturasinya terjadi

pada harga H tinggi disebut magnet keras seperti yang ditunjukkan kurva (c).

Sesudah mencapai saturasi ketika intensitas magnet H diperkecil hingga mencapai

H = 0, ternyata kurva B tidak melewati jalur kurva semula. Pada harga H = 0,

medan magnet atau rapat fluks B mempunyai harga Br ≠0 seperti ditunjukkan

pada kurva histerisis pada gambar 2.1. Harga Br ini disebut dengan induksi

remanen atau remanensi bahan. Remanen atau ketertambatan adalah sisa medan

magnet B dalam prosesmagnetisasi pada saat medan magnet H dihilangkan, atau

remanensi terjadi pada saat intensitas medan magnetik H berharga nol dan medan

magnet B menunjukkan harga tertentu.

Pada gambar 2.2 tampak bahwa setelah harga intensitas magnet H = 0 atau

dibuat negatif (dengan membalik arus lilitan), kurva B(H) akan memotong sumbu

pada harga Hc. Intensitas Hc inilah yang diperlukan untuk membuat rapat fluks

B=0 atau menghilangkan fluks dalam bahan. Intensitas magnet Hc ini disebut

koersivitas bahan. Koersivitas digunakan untuk membedakan hard magnet atau

soft magnet. Semakin besar gaya koersivitasnya maka semakin keras sifat

magnetnya. Bahan dengan koersivitas tinggi berarti tidak mudah hilang

kemagnetannya.

Untuk menghilangkan kemagnetannya diperlukan intensitas magnet H

yang besar. Bila selanjutnya harga diperbesar pada harga negatif sampai mencapai

saturasi dan dikembalikan melalui nol, berbalik arah dan terus diperbesar pada

harga H positif hingga saturasi kembali, maka kurva B(H) akan membentuk satu

lintasan tertutup yang disebut kurva histeresis. Bahan yang mempunyai

koersivitas tinggi kemagnetannya tidak mudah hilang. Bahan seperti itu baik

(72)
[image:72.595.223.397.86.220.2]

Gambar 2.2 Kurva histerisis material magnetik (Moulson A.J, et all., 1985).

Magnet permanen dapat diberi indeks berdasarkan momen koersif yang

diperlukan untuk menghilangkan induksi (tabel 2.1). Patokan ukuran yang yang

lebih baik adalah hasil kali BH. BaFe12O19 mempunyai nilai –Hc yang sangat

besar, tetapi BHmaksyang tidak terlalu tinggi, karena rapat fluks lebih rendah

dibandingkan bahanmagnet permanen lainnya. Dari tabel 2.1 akan diperoleh

gambaran mengenai peningkatan yang mungkin diperoleh beberapa para ahli

peneliti dan rekayasawan dengan pengembangan alnico (metalik) dan magnet

BaFe12O19 (keramik).

Magnet lunak merupakan pilihan tepat untuk penggunaan pada arus

bolak-balik atau frekuensi tinggi, karena harus mengalami magnetisasi dan

demagnetisasi berulang kali selama selang satu detik. Spesifikasi yang agak kritis

untuk magnet lunak adalah : induksi jenuh (tinggi), medan koersif (rendah), dan

pemeabilitas maksimum (tinggi).

Tabel 2.1. sifat berbagai magnet keras (dari berbagai sumber)

Bahan magnet Remanen,

Medan

koersif, Produk demagnetisasi

Br(V.det/m2) -Hc (A/m) maksimum BHmaks(J/m3)

Baja karbon 1,0 0,4 x 104 0,1 x 104

Alnico 1,2 5,5 x 104 3,4 x 104

Ferroxdur (BaFe12O19) 0,4 15,0 x 104 2,0 x 104

Perbandingan sifat magnetnya dari beberapa material dapat diperlihatkan

(73)

Gambar 2.3 Kurva yang menunjukkan perbandingan sifat magnet dari beberapa jenis magnet permanen (Moulson A.J, et all., 1985).

2.3 Barium Hexaferrite (BaO.6Fe2O3)

Barium hexaferrite merupakan keramik oksida komplek dengan rumus kimia

BaO.6Fe2O3 atau BaFe12O19. Bariumhexaferrite mempunyai kestabilan kimia

yang bagus dan relatif murah dan kemudahan dalam produksi. Walaupun

kekuatan magnet heksaferit lebih rendah dibandingkan jenis magnet terbaru

berbasis logam tanah jarang, magnet permanen hexaferrite (Ba-ferit dan Sr-ferit)

masih menempati tempat teratas dalam pasar magnet permanen dunia baik dalam

hal nilai uang maupun berat produksi.

Barium heksaferit (BaFe12O19) dikenal sebagai magnet permanen dengan

struktur heksagonal yang sesuai dengan space group P 63/mmc. Seperti keluarga

oksida lainnya, material ini memiliki sifat mekanik yang sangat kuat dan tidak

mudah terkorosi. Pemakaian senyawa ini sebagai perekam magnetik, divais

gelombang mikro (microwave) dan absorber sangat diminati sehingga banyak

usaha dilakukan untuk memproduksi subtitusi kation yang mungkin ke dalam

BaFe12O19 guna meningkatkan sifat magnetiknya. Divalen logam transisi seperti

Co, Ti dan Mn sering digunakan karena persamaan jari–jari ionik dan konfigurasi

elektron.

Heksaferit memiliki kristal anisotropi yang besar dan lokasi resonansi

(74)

permeabilitas yang relatif besar. Oleh karena itu, heksaferit adalah kandidat yang

menjanjikan untuk pengembangan material anti radar (Amin, 1981).Material

Barium M-Heksaferit(BaFe12O19) mempunyai polarisasi magnet saturasi

tinggi(78 emu/g), yang terdiri dari kristal uniaxial anisotropi yang kuat,

temperatur Curie tinggi (4500C) dan medan koersifitas yang besar (6700 Oe),

terkait dengan sangat baikdalam stabilitas kimia dan ketahanannya terhadap

korosi.

Material magnet oksida BaO6Fe2O3 merupakan jenis magnet keramik yang

banyak dijumpai disamping material magnet Sr.6Fe2O3. seperti pada jenis oksida

lainnya, material magnet tersebut memiliki sifat mekanik yang sangat kuat dan

tidak mudah terkorosi. Sebagai magnet permanen, material BaO.6Fe2O3 memiliki

sifat kemagnetan dengan tingkat kestabilan tinggi terhadap pengaruh medan

magnet luar pada suhu diatas 300oC. Sehingga sangat cocok dipergunakan dalam

peralatan teknologi pada jangkauan yang cukup luas.

Barium hexaferrite BaO.6Fe2O3 yang memiliki parameter kisi a = 5,8920

Angstrom, dan c = 23,1830 Angstrom. Gambar struktur kristal barium hexaferrite

[image:74.595.203.353.440.572.2]

BaO.6Fe2O3 diperlihatkan pada gambar 2.4

Gambar 2.4 Struktur kristal BaO.6Fe2O3 [Moulson A.J, et all., 1985].

Barium heksaferrit dapat disintesa dengan beberapa metoda seperti

kristalisasi gas, presipitasi hidrotermal, sol-gel, aerosol, copresipitasi dan

pemaduan mekanik. Diantara metoda ini pemaduan/gerus mekanik adalah

ekonomis karena ketersediaan bahan baku secara komersial dan relatif murah.

(75)

dan produksi skala besar dapat diimplementasikan dengan mudah.

2.4 Kompaksi

2.4.1 Karakteristik Serbuk

Karakteristik serbuk mempengaruhi perilaku serbuk ketika pemrosesan yang akan

menentukan sifat dari produk yang dihasilkan. Karakteristik partikel serbuk

diantaranya meliputi distribusi ukuran partikel, bentuk partikel, luas permukaan,

berat jenis serbuk, mampu alir, kompressibilitas, gesekan antar partikel dan

komposisi kimia serbuk(German R.M, 1994). Berikut ini akan diuraikan secara singkat mengenai karakteristik dari partikel serbuk dan pengaruhnya terhadap

pemrosesan serbuk dan produk yang dihasilkan.

a. Ukuran dan Distribusi Ukuran Partikel

Ukuran partikel akan mempengaruhi densitas, porositas dan sifat

mekanis material serbuk kompaksi, dimana semakin kecil atau halus

ukuran partikel serbuk maka densitas bakalan (green density) akan

semakin besar. Ada beberapa teknik yang digunakan untuk menentukan

ukuran partikel serbuk diantaranya dengan pengayakan (screening),

mikroskop, teknik sedimentasi, hamburan cahaya (light scattering),

konduktivitas listrik, penghalangan cahaya (light blocking) (David, 1999).

Ukuran partikel juga akan menentukan stabilitas dimensi, pelepasan gas

yang terperangkap dan karakteristik selama pencampuran. Distribusi

ukuran partikel sangat menentukan kemampuan partikel dalam mengisi

ruang kosong antar partikel untuk mencapai volume terpadat dan pada

akhirnya akan menentukan besar densitas, porositas serta kekuatan green

compact dan hasil sinternya (David, Myrna, 1999).

b. Bentuk Partikel

Bentuk partikel serbuk sangat mempengaruhi sifat massa serbuk,

yaitu efisiensi pemadatan (packing efficiency), mampu alir (flowbility) dan

mampu tekan (compressibility). Bentuk partikel serbuk akan

(76)

saat proses kompaksi. Peningkatan luas permukaan partikel (semakin kecil

ukuran partikel, semakin tidak beraturan bentuk partikel , semakin besar

permukaan partikel) akan meningkatkan reaktivitas kimia serbuk sehingga

hal ini meningkatkan penyerapan gas dan uap air dari lingkungan (Klar,

1983). Bentuk partikel serbuk ditentukan oleh sifat dari material bahan

baku serbuk tersebut dan juga proses yang digunakan untuk menghasilkan

serbuk dari material bulk-nya. Partikel serbuk bisa berbentuk bulat,

angular, serpihan(flake),fibrous, sponge/porous, dan lainnya.

c. Mampu Alir Serbuk

Mampu alir sebuk merupakan karakteristik yang menggambarkan sifat alir

serbuk dan kemampuan serbuk memenuhi ruang cetakan. Karakteristik

serbuk seperti berat jenis nyata serbuk dan gesekan partikel seringkali

dihubungkan dengan mampu alir serbuk. Pada umumnya, faktor-faktor

yang mengurangi gesekan antarpartikel dan meningkatkan berat jenis

nyata (seperti partikel bulat dan halus) akan meningkatkan mampu alir

serbuk. Disamping itu karakteristik serbuk seperti bentuk serbuk, berat

jenis serbuk, kelembaban serbuk, dan distribusi ukuran partikel dapat

mempengaruhi mampu alir serbuk(Klar, 1983).

Mampu alir dari serbuk logam tergantung dari gesekan antar

partikel, dimana luas permukaan dan kekasaran partikel akan

mempengaruhi gesekan antarpartikel tersebut. Jika luas permukaan dan

kekasaran partikel meningkat maka intesitas gesekan akan meningkat

sehingga meyebabkan efisiensi mampu alir serbuk akan rendah. Selain itu,

bentuk partikel yang mempunyai bentuk tidak beraturan mempunyai

efisiensi mampu alir yang rendah sedangkan bentuk yang bulat

mempunyai mampu alir yang baik (Klar, 1983).

d. Mampu Tekan

Mampu tekan serbuk merupakan perbandingan volume serbuk mula-mula

dengan volume benda yang ditekan, yang nilainya berbeda-beda dengan

tergantung distribusi ukuran serbuk dan bentuk butirnya. Seperti halnya

mampu alir, besarnya mampu tekan serbuk juga dipengaruhi oleh gesekan

(77)

rendah bila serbuk yang dikompaksi memiliki bentuk yang lebih teratur

dan lebih halus sehingga akan menghasilkan densitas bulk yang lebih

tinggi (Klar, 1983).

2.4.2 Pencampuran

Karakteristik serbuk mempunyai peranan penting dalam tercapainya hasil

campuran yang seragam. Semakin tinggi gesekan partikel akan menyebabkan

sulitnya proses pencampuran serbuk. Volume serbuk akan meningkat oleh

beberapa faktor diantaranya ukuran partikel yang makin kecil, bentuk partikel

tidak beraturan, koefisien gesek partikel yang makin tinggi. Partikel yang besar

akan lebihy mudah untuk mengalami segregasi (pemisahan). Salah satu kendala

dalam proses pencampuran adalah jika serbuk yang akan dicampur memiliki

densitas yang akan berbeda sehingga sulit untuk mendapatkan hasil campuran

yang seragam. Serbuk yang memiliki densitas lebih kecil akan terakumulasi di

atas serbuk yang densitasnya lebih tinggi sehingga terjadi segregasi(German R.M,

1991).

2.4.3 Poses kompaksi

Kompaksi mer

Gambar

Gambar 4.2 Skema drop test (a), pellet hasil cetakan berdiameter 1,6 cm (b), pellet hasil cetakan halus berdiameter 1 cm (c),  pellet hasil cetakan kasar berdiameter 1 cm (d)
Gambar 4.4 Hasil drop test dengan waktu penahan
Gambar 4.5 Hasil drop test dengan variasi jumlah sampel
Gambar 4.6 Hasil drop test dengan variasi permukaan alat cetak
+7

Referensi

Dokumen terkait