Lampiran 1
Dokumentasi Peralatan Yang Digunakan
GAMBAR. CETAKAN (DIE)
GAMBAR. HAND PRESS ENERPAC
GAMBAR. MICRO HARDENESS TESTER MXT50 MATSUZAWA
GAMBAR. PEGAS
GAMBAR. FURNACE
GAMBAR. MESIN BUBUT MERK TONG-IL
GAMBAR. TIMBANGAN DIGITAL MERK ADAM
GAMBAR. MIKROSKOP OPTIK
GAMBAR. OVEN
GAMBAR MESIN PEMOTONG MERK ISOMET
GAMBAR. JANGKA SORONG
GAMBAR. STOPWATCH
GAMBAR. ARCHIMEDES DENSITY
Lampiran 2
Contoh Perhitungan Energi Drop Test,
Kecepatan Drop Test dan
Bulk Density
1. Dik: h = 100 cm = 1 m
m= 4 gram
g = 10 m/s2
Dit: EP =...?
Maka Energi Potensial (EP) = m . g . h
= 4 . 10 . 1
= 40 J
Vt2 = V02 + 2gh
Vt2 = 02 + 2.10.1
Vt = √20 = 4,47 m/s2
1. Dik: d1 = 0,0496 mm
Contoh Perhitungan nilai kekerasan Vickers(VHN)
d2 = 0,0468 mm
drata-rata = 0,0482
P = 0,2 Kgf
Dit: VHN = ...?
VHN = 2P sin (θ / 2) �2 =
(1,854)P �2 = 1,854( 0,2) / (0,0482)2
1. Dik: mk = 1,254 gram
Contoh Perhitungan nilai bulk density
mb = 1,086 gram
ρair = 0,99651 gr/cm3
Dit: ρBulk = ...?
ρ
Bulk=
����−��
�
�
��� = 1,3541,354−1,086 � 0,99651
Lampiran 3
Data Hasil Pengujian Bulk Densitydan
Data Hasil Pengujian Densitas Bulk
Sampel Terbaik( ΔT/min = 50
C/min)
Bagian
Sampel Massa Kering
Massa Basah Bagian Sampel Massa Kering Massa Basah
ATAS 1,354 1,086 BAWAH 1,21 0,957
1,354 1,08 1,208 0,966
1,353 1,082 1,209 0,965
1,355 1,081 1,208 0,966
1,353 1,093 1,209 0,965
Rata-rata 1,3538 1,0844 Rata-rata 1,2088 0,9638
ρ bulk 5,00 gr/cm3 ρ bulk 4,91 gr/cm3
Sampel Terburuk( ΔT/min = 50
C/min)
Bagian
Sampel Massa Kering
Massa Basah Bagian Sampel Massa Kering Massa Basah
ATAS 1,086 0,862 BAWAH 1,536 1,233
1,086 0,863 1,535 1,234
1,087 0,863 1,537 1,228
1,087 0,863 1,537 1,229
1,086 0,863 1,536 1,23
Rata-rata 1,0864 0,8628 Rata-rata 1,5632 1,2308
ρ bulk 4,84 gr/cm3 ρ bulk 5,01 gr/cm3
Sampel Terbaik( ΔT/min = 100
C/min)
Bagian
Sampel Massa Kering
Massa Basah Bagian Sampel Massa Kering Massa Basah
ATAS 1,302 1,037 BAWAH 1,396 1,09
1,303 1,038 1,398 1,114
1,302 1,037 1,396 1,115
1,302 1,04 1,397 1,117
1,303 1,04 1,397 1,114
Rata-rata 1,3024 1,0384 Rata-rata 1,3968 1,11
ρ bulk 4,91 gr/cm3 ρ bulk 4,85 gr/cm3
Sampel Terburuk( ΔT/min = 100C/min)
Bagian
Sampel Massa Kering
ATAS 1,077 0,856 BAWAH 1,718 1,361
1,079 0,859 1,719 1,369
1,078 0,86 1,719 1,372
1,077 0,858 1,718 1,373
1,08 0,86 1,718 1,371
Rata-rata 1,0782 0,8586 Rata-rata 1,7184 1,3692
ρ bulk 4,93 gr/cm3 ρ bulk 4,90 gr/cm3
Sampel Terbaik( ΔT/min = 150
C/min)
Bagian
Sampel Massa Kering
Massa Basah Bagian Sampel Massa Kering Massa Basah
ATAS 1,383 1,102 BAWAH 1,3 1,026
1,383 1,101 1,3 1,039
1,384 1,102 1,301 1,036
1,384 1,103 1,3 1,037
1,384 1,105 1,301 1,04
Rata-rata 1,3836 1,1026 Rata-rata 1,3004 1,0356
ρ bulk 4,90 gr/cm3 ρ bulk 4,89 gr/cm3
Sampel Terburuk( ΔT/min = 150
C/min)
Bagian
Sampel Massa Kering
Massa Basah Bagian Sampel Massa Kering Massa Basah
ATAS 1,4 1,116 BAWAH 1,025 0,801
1,401 1,117 1,024 0,803
1,399 1,119 1,024 0,803
1,4 1,12 1,025 0,807
1,401 1,12 1,025 0,81
Rata-rata 1,4002 1,1184 Rata-rata 1,0246 0,8048
Lampiran 4
STANDARD SPESIFICATIONS
FOR
DAFTAR PUSTAKA
Agus Sukarto Wismogroho. 2013. Pengembangan Dilatometer Untuk Analisa Karakteristik Sintering Magnet Berbasis Ferrite. Pusat Penelitian Fisika (P2F) LIPI.
Amin, James, J. R. 1981. Techniques for The Utilization of Hexagonal Ferrites In Radar Absorber. Part I. Broadband Planar Coating. Radio Electron Engineers, 51, 209–218.
Broek, David. 1986. Elementary Engineering Fracture Mechanics. M. Nijhoff (Dordrecht And Boston Ang Hingham). Mass, U.S.A
Chandra, H. 1993. Analisis Kegagalan Feed Tube Centrifuge. Thesis. ITB. Bandung.
Cullity, B.D. 1972. Introduction to Magnetic Material.Canada: Addison-Wesley Publishing Company Inc.
C.Y. Wu. 2005. Modelling The Mechanical Behaviour Of Pharmaceutical Powders During Compaction. Powder Technology 152 (2005) 107-117, Science Direct.
David, Myrna . 1999. Metalurgi Serbuk , Teori Dan Aplikasi. Jilid 1. Depok.
Dieter. 1987. Pengujian Kekerasan.
E. Paul DeGarmo. Materials and Processes inManufacturing. Ninth Edition, John Wiley &Sons, Inc 2003.
G. Alderborn, C. Nystrom. Pharmaceutical Powder Compaction Technology. Marcel Dekker Inc., New York, 1996.
German, R. M. 1991. Fundamental of Sintering, Engineered Materials Handbook, vol 4, Ceramic-Glasses, L. F Heather, W.D Nikki,ed. The Materials Information Society.
German R.M. 1994.Powder Metallurgy Science, The Penylvania State University, USA.
meter.
Jurnal Fisika HFI Vol.A5 No.0528. Tangerang: Himpunan Fisika Indonesia.
Jasim, K Mohammed. Simulation Of Cold Die Compaction Alumina Powder. Trends In Mechanical Engineering& Technology, Vol 1, Issue 1, February, 2011, Pages 1-21.
J.T. Carstensen, J.M. Geoffroy, C. Dellamonica. Compression Characteristics Of Binary Mixtures, Powder Technology 62 (1990) 119 – 124.
K. Kawakita, K.H. Ludde. Some Considerations On Powder Compres-Sion Equations, Powder Technology 4. (1970/71) 61 – 68.
Klar, Enhard. 1983. Powder Metallurgy Application, Advantages And Limitation. Ohio : american society for metals.
Masanori, K. 2000. Fracture Mechanics. Science University of Technology. Tokyo, Japan.
McEntire B. J. dan Norton, 1991. Powder Compaction Processes Dry Pressing,Engineered Materials Handbook Ceramics and Glassses. ASM International, USA.
Moulson A.J. and J.M. Herbert. 1985. Electroceramics: Materials, Properties andApplications,Chapman and Hall, London-New York.
R.W. Heckel. Density Pressure Relationship in Powder Compaction. Transactions of the Metallurgical Society of AIME 221 (1961) 671 – 675.
Trisna. 2012. Perambatan Retak(Crack Propagation) Tap Bolt Unc-Oil Coated Astm 325. Jurnal Teknik Mesin Vol. 2, No.1, oktober 2012 : 20-25.
Van Vlack, L. H. 1989. Ilmu dan Teknologi Bahan-bahan Logam dan BukanLogam, Edisi kelima, Erlangga, Jakarta.
Widayat, W. 2008. Kajian Sifat Mekanis Briket Tongkol Jagung yang dikompaksi dengan Tekanan Rendah. Jurnal Ilmiah Popular dan Teknologi Terapan. Vol. 6. No. 2. Hal. 905-914. Semarang: FT UNNES.
http://blog.uin-malang.ac.id/nurun/files/2013/03/METALURGI-SERBUK.pdf Diakses tanggal 23 April 2014, Pukul : 10.00
http://electrochem.cwru.edu/edencycl/art-p04-metalpowder.htm Diakses tanggal 23 April 2014, Pukul : 11.00
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
3.1.1 Tempat Penelitian
Penelitian untuk tugas akhir ini dilakukan di Pusat Penelitian Fisika (PPF),
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Kawasan PUSPIPTEK
Serpong,Tangerang Selatan, Indonesia
3.1.2 Waktu Penelitian
Penelitian untuk tugas akhir ini dilakukan pada 03 Maret 2014 sampai
dengan 06 Juni 2014.
3.2 Peralatan dan Bahan
Peralatan dan bahan- bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
3.2.1 Peralatan
1. Timbangan Digital Merk ADAM
Berfungsi untuk mengukur massa sampel.
2. Oven
Berfungsi untuk mengeringkan sampel.
3. Alat cetak terdiri dari 2 bagian
• Cetakan(die compaction) Halus( standart kehalusan = 0,13mm ), φ = 1
• Cetakan (die compaction) Kasar(standart kekasaran = 0,64mm),
φ = 1,6 cm dan φ = 1 cm
Berfungsi sebagai alat untuk mencetak sampel uji.
4. Plastik
Berfungsi sebagai tempat sampel uji.
5. Hand Press
Berfungsi untuk alat untuk menekan serbuk yang telah dimasukkan
kedalam cetakan dengan tekanan tertentu.
6. Penggaris/ Meteran
Berfungsi untuk mengukur panjang alat cetak dan jarak jatuh( drop test)
sampel.
7. Jangka Sorong
Berfungsi untuk mengukur diameter alat cetak.
8. Camera Digital
Berfungsi sebagai alat untuk mengamati struktur makro retakan, alat
cetakan, dan green body.
9. Stopwatch
Berfungsi untuk menghitung waktu kompaksi.
10.Furnace
Berfungsi sebagai alat sintering material magnet berbasis ferrit.
11.Pegas 2 buah (l = 5,5 cm)
Berfungsi sebagai alat penahan pada saat kompaksi dari 2 sisi.
12.Mikroskop Optik
Berfungsi sebagai alat pengamatan struktur mikro crack sampel.
13.Kertas Ampelas
Berfungsi sebagai alat untuk menghaluskan permukaan bagian dalam.
cetakan
14.Mesin Bubut Merk TONG-IL
Berfungsi sebagai alat untuk melobangi besi dan menghaluskan
15.Mesin Pemotong Merk ISOMET
Berfungsi sebagai alat untuk memotong besi dan magnet.
16.Mesin Bor
Berfungsi sebagai alat untuk menghaluskan permukaan bagian dalam
cetakan.
17.Micro Hardeness Tester MXT50 MATSUZAWA
Berfungsi sebagai alat uji kekerasan Vickers.
18.Pipa Paralon
Berfungsi Media untuk uji drop test.
19.ArchimedesDensity
Berfungsi Sebagai alat untuk mengukur Bulk Density.
20.Gergaji
Berfungsi untuk memotong besi.
3.2.2 Bahan
1. Serbuk Ba-Sr Hexaferrite China (ukuran partikel = 21,40μm)
Berfungsi sebagai bahan pembuatan magnet permanen( Sampel uji).
2. Besi (Fe)
3.3 Diagram Alir Penelitian
Adapun alur penelitian secara umum adalah sebagai berikut:
v
Pengujian Bulk Density Pengujian Kekerasan
Vickers Pengujian
Mikrostruktur
Sintering(T=11000C t holding = 1 Jam
Pengujian Mikrostruktur Dipilih 20 Sampel
Terbaik dan Terburuk
Observasi Crack (Foto Makro) Pengujian Drop
test(Ep = 2, 4, 6 dan
Kompaksi dengan 6 variasi : 1.Variasi Tekanan
2. Variasi Massa Sampel 3. Variasi Waktu Penahanan 4. Variasi Diameter Penekan 5. Variasi Permukaan
cetakan
6. Variasi Arah Penekanan
Drying (T=800C, t = 24 Jam)
[Kecepatan Pemanasan
(ΔT/min)= 50C/min,100C/min , 150C/min]
Pembuatan Alat Cetak kasar dan halus
Powder Ba-Sr Hexaferrite China
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Pembuatan Alat cetak
1. Disediakan dua potong besi berbentuk silinder pejal.
2. Masing-masing besi berbentuk silinder pejal tersebut dipotong dengan
mesin pemotong dengan panjang 6 cm.
3. Masing-masing besi berbentuk silinder pejal tersebut dipotong dengan
menggunakan mesin bubut dengan diameter 1cm.
4. Empat buah alat penekan (punch) ditempa untuk 2 buah cetakan
tersebut.
5. Permukaan dalam besi yang telah dibubut tersebut kemudian
dihaluskan dengan menggunakan mesin bor yang sudah dilapisi kertas
ampelas mulai dari ukuran 100, 400, 800, 1000, 1200 dan 1500 sampai
permukaannya benar-benar halus seperti kaca sedangkan permukaan
alat cetak lain tidak diberi perlakuan pengamplasan.
6. Besi yang permukaan dalamnya diberi perlakuan pengamplasan disebut
alat cetak halus dan besi yang permukaan dalamnya tidak diberi
perlakuan pengamplasan disebut alat cetak kasar.
3.4.2 Persiapan Bahan Baku
Untuk membuat magnet keramik BaO.6Fe2O3 disediakan bahan baku yang
dibutuhkan yaitu serbuk BaO.6Fe2O3 . Bahan baku tersebut ditimbang
sesuai dengan massa yang dibutuhkan.. Kemudian dimasukkan ke dalam
plastik (tempat sampel) sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan.
3.4.3 Proses Drying
Serbuk yang sudah ditimbang dalam timbangan digital, kemudian
dikeringkan di dalam oven dengan temperatur 800 C selama 24 jam.
3.4.4 Proses Kompaksi
Serbuk yang sudah dikeringkan kemudian dicetak yang dilakukan dengan
cara dry pressing(cetak kering) beberapa variasi antara lain sebagai
berikut :
3.4.4.1Variasi Tekanan
Sampel dicetak dengan menggunakan hand press. Sebelum serbuk
dimasukkan ke dalan cetakan, dinding cetakan terlebih dahulu dibersihkan
agar mempermudah proses kompaksi (penekanan), serbuk 4 gr masukkan
ke dalam cetakan berdiameter 1,6 cm dan dilakukan kompaksi dengan
tekanan 3000 Psi. Proses kompaksi ditahan selama 5 menit dan hasil
pencetakannya berupa pellet. Dengan prosedur yang sama dilakukan
kompaksi dengan tekanan 4000 Psi dan 5000 Psi dengan massa serbuk dan
waktu penahanan yang sama.
3.4.4.2Variasi Waktu Penahanan
Sampel dicetak dengan menggunakan hand press. Sebelum serbuk
dimasukkan ke dalan cetakan, dinding cetakan terlebih dahulu dibersihkan
agar mempermudah proses kompaksi (penekanan), serbuk 4 gr masukkan
ke dalam cetakan berdiameter 1,6 cm dan dilakukan kompaksi dengan
tekanan 5000 Psi dan waktu penahanan selama 1 menit dan hasil
pencetakannya berupa pellet. Dengan prosedur yang sama dilakukan
kompaksi dengan waktu penahanan 2,5 menit, 5 menit, 7,5 menit dan 10
3.4.4.3Variasi Jumlah Sampel
Sampel dicetak dengan menggunakan hand press. Sebelum serbuk
dimasukkan ke dalan cetakan, dinding cetakan terlebih dahulu dibersihkan
agar mempermudah proses kompaksi (penekanan), serbuk 2 gr masukkan
ke dalam cetakan berdiameter 1,6 cm dan dilakukan kompaksi dengan
tekanan 5000 Psi dan waktu penahanan selama 5 menit dan hasil
pencetakannya berupa pellet. Dengan prosedur yang sama dilakukan
kompaksi dengan massa 4 gr, 6 gr, 8 gr, dan 10 gr dengan waktu
penahanan dan tekanan yang sama.
3.4.4.4Variasi Permukaan Alat Cetak
Sampel dicetak dengan menggunakan hand press. Sebelum serbuk
dimasukkan ke dalan cetakan, dinding cetakan terlebih dahulu dibersihkan
agar mempermudah proses kompaksi (penekanan), serbuk 4 gr masukkan
ke dalam cetakan halus ( standart kehalusan = 50μ) berdiameter 1 cm dan
dilakukan kompaksi dengan tekanan 5000 Psi dan waktu penahanan
selama 5 menit dan hasil pencetakannya berupa pellet. Dengan prosedur
yang sama dilakukan kompaksi dengan cetakan kasar (standar kekasaran =
200μ) berdiameter 1 cm dengan massa serbuk, waktu penahanan dan
tekanan yang sama.
3.4.4.5Variasi Diameter alat Penekan
Sampel dicetak dengan menggunakan hand press. Sebelum serbuk
dimasukkan ke dalan cetakan, dinding cetakan terlebih dahulu dibersihkan
tekanan 5000 Psi, dengan diameter alat penekan 1,6 cm, ditahan 5 menit
dan hasil pencetakannya berupa pellet. Dengan prosedur yang sama
dilakukan kompaksi dengan diameter alat penekan 1 cm dengan massa
serbuk, waktu penahanan dan tekanan yang sama.
3.4.4.6Variasi SingleUniaxial Pressingdan Double Uniaxial Pressing
3.4.4.6.1 Double uniaxial pressing( Penekanan dengan dua arah)
Sampel dicetak dengan menggunakan cetakan halus dan kasar dengan
hand press. Sebelum serbuk dimasukkan ke dalan cetakan, dinding
cetakan terlebih dahulu dibersihkan agar mempermudah proses
kompaksi (penekanan), serbuk 3 gr masukkan ke dalam cetakan halus
berdiameter 1 cm dan dilakukan kompaksi dengan penekanan 2 arah
(double uniaxial pressing)dengan tekanan 3000 Psi dan waktu
penahanan selama 5 menit dan hasil pencetakannya berupa pellet.
Dengan prosedur yang sama dilakukan kompaksi sehingga diperoleh
20 buah sampel.
Dengan prosedur yang sama, juga dilakukan kompaksi dengan
cetakan kasar sehingga diperoleh 20 buah sampel.
3.4.4.6.2 Single Uniaxial Pressing(Penekanan dengan satu arah)
Sampel dicetak dengan menggunakan cetakan halus dan kasar dengan
hand press. Sebelum serbuk dimasukkan ke dalan cetakan, dinding
cetakan terlebih dahulu dibersihkan agar mempermudah proses
kompaksi(penekanan), serbuk 3 gr masukkan ke dalam cetakan halus
berdiameter 1 cm dan dilakukan kompaksi dengan penekanan 1 arah
(single uniaxial)dengan tekanan 3000 Psi dan waktu penahanan selama
5 menit dan hasil pencetakannya berupa pellet. Dengan prosedur yang
Dengan prosedur yang sama, juga dilakukan kompaksi dengan
cetakan kasar sehingga diperoleh 20 buah sampel.
3.4.5 Sintering
Proses sintering dilakukan setelah drop test( tes jatuh), dimana 20 sampel
terbaik dan 20 sampel terburuk akan disinter pada furnace dengan suhu
11000 yang ditahan selama 1 jam. Proses sintering dilakukan dengan
variasi kecepatan pemanasan yaitu 50C/min, 100C/min, dan 150C/min
dengan variasi suhu awal yaitu 250C dan 2500C.
3.5 Karakterisasi Sampel
3.5.1 Pengujian Drop Test dan observasi retakan
Pengujian drop test dilakukan dengan metode ASTM D 440-86. Pengujian
drop test dilakukan untuk mengetahui inisial dan pola-pola retak (crack).
Pellet dijatuhkan pada ketinggian 5 cm, 10 cm, 15 cm dan 100 cm dengan
permukaan landasan rata. Setelah dijatuhkan, diamati bentuk - bentuk
retak dan distribusi retakan yang terjadi. Kemudian diambil foto struktur
pellet sebelum dicetak dan dilakukan drop test.
3.5.2 Pengujian Mikrostruktur
Pengujian ini dilakukan untuk mengamati bentuk struktur makro dan
mikro yang terjadi pada permukaan pelet sebelum dan sesudah
disinter.Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan mikroskop optik.
Permukaan yang akan amati pada penelitian ini adalah
microcrackPengamatan dilakukan dengan lensa objektif dengan
pembesaran yang bisa dilihat struktur butir hingga dapat mengukur butir
tersebut. Jika pembesaran pada objek 100 x, maka pembesaran pada mata
3.5.3 Pengujian Kekerasan Vickers
Kekerasan ini diukur dengan mempergunakan Micro Hardeness Tester
MXT50 MATSUZAWA. Dalam pengujian ini dipakai piramid dengan
sudut bidang-duanya 136o sebagai penekan. Pada penggujian ini dipakai
standar kekerasan Vickers, menggunakan indentor berbentuk
piramiddengan dasar bujur sanggkar dari bahan intan.Sudut puncak
piramid adalah 1360. Angka kekerasan Vickers adalah besar beban (P)
dibagi dengan luas indentasi.
Gambar 3.1Skema pengujian kekerasan Vickers(Dieter, 1987)
Prosedur uji kekerasan Vickers adalah sebagai berikut:
1. Disiapkan permukaan benda kerja:
a. Kedua permukaan benda kerja diratakan dengan menggunakan
kikir dan amplas kasar, sehingga kedua bidang permukaan tersebut
sejajar.
2. Disiapkan perangkat uji kekerasan Vickers pada Universal Hardness
Tester MXT50:
a. Dipasang bandul beban 60 kg (588 N).
b. Dipasang indentor piramida intan bersudut 1360.
c. Dipasang benda kerja pada landasan
d. Handel diatur pada posisi ke atas.
3. Benda kerjadisentuhkan pada indentor dengan memutar piringan
searah jarum jam sampai jarum besar pada skala berputar 21/2 kali dan
jarum kecil menunjuk pada angka 3. Jika terasa berat, jangan
dipaksakan tetapi harus diputar balik dan diulangi.
4. Dilepaskan handel ke depan secara perlahan-lahan. Jangan menekan
handel ke bawah, tetapi biarkanlah handel bergerak sendiri turun ke
bawah. Jarum besarpada skala akan bergerak seiring dengan turunnya
handel ke bawah. Ditunggu hingga jarum besar pada skala berhenti
dengan sendirinya.
5. Ditunggu selama 20 detik dari saat berhentinya jarum, kemudian
digerakkan handel ke atas secara perlahan-lahan sampai maksimal.
6. Dilepaskan benda kerja dengan memutar piringan berlawanan arah
jarum jam.
7. Diukur panjang diagonal indentasi dengan kaca pembesar berskala.
8. Diulangi pengujian sampai lima kali pada limatitik yang berbeda.
9. Dihitung nilai kekerasan di masing-masing titik dengan persamaan
dibawah ini :
VHN
=
2P sin (θ / 2)�2
=
(1,854)P
3.5.4 Pengujian Densitas
Cara kerja pengujian Densitas diamati dengan menggunakan prinsip
Archimedes danmengacu pada standar ASTM D-792, prosedur yang
dilakukan adalah :
1. Sampel uji kering berbentuk pelet terlebih dahulu ditimbang di udara
dan angkanya dicatat disebut dengan massa kering (mk).
2. Sampel uji ditimbang dalam air dan angkanya dicatat disebut dengan
massa basah (mb).
Setelah diketahui nilainya, maka Densitas sampel dapat dihitung dengan
rumus :
�����
=
� ���−��
�
����...(3.2)Dimana : ρ = Bulk density(gr/cm3)
Mb = massa basah (gr)
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Desain Alat cetak
Telah dilakukan pembuatan alat cetak kasar dengan kekasaran permukaan sebesar
0,64 mm dan alat cetak halus dengan kekasaran permukaan 0,13 mm.
A B
Gambar 4.1 A)Foto permukaan alat cetak kasar; B) Foto permukaan alat cetak halus; C) Morfologi permukaan alat cetak kasar dengan perbesaran 50X; D) Morfologi permukaan alat cetak halus dengan perbesaran 50X; E),Foto sistem single uniaxial pressing; F)Foto sistem double uniaxial pressing.
4.2Data dan Analisa hasil Observasi Crackdengan Uji drop test
Energi yang dihasilkan pada saat penjatuhan sampel (5 cm, 10 cm, 15 cm
dan 100 cm) dengan V0 = 0 m/s2
(b) (c) (d)
Gambar 4.2 Skema drop test (a), pellet hasil cetakan berdiameter 1,6 cm (b), pellet hasil cetakan halus berdiameter 1 cm (c), pellet hasil cetakan kasar berdiameter 1 cm (d).
4.2.1 Variasi Tekanan dengan Cetakan Kasar( m = 4gr, t = 5 menit, φ= 1.6 cm)
Hasil cetakan pada variasi tekanan menunjukkan bahwa retakan terbentuk
setelah dicetak, pada penekanan 3000 dan 5000 Psi sehingga pellet mengalami
patah di posisi atas dan melintang. Sedangkan pada penekanan 4000 Psi, pellet
tidak patah. Setelah diuji drop test, patah semakin terlihat pada semua tekanan.
Hal ini menunjukkan bahwa dengan pengaturan kondisi pencetakan, dapat
diketahui bahwa efek variasi tekanan terhadap terbentuknnya retakan tidak
berpengaruh secara signifikan. Dengan kata lain, pengaruh syarat pengujian yang
dilakukan lebih dominan dari pada efek dari variasi tekanan tersebut.
[image:34.595.118.552.334.671.2]4.2.2 Variasi Waktu Penahanan dengan Cetakan Kasar ( P = 5000 PSI, m = 4gr, φ= 1.6 cm)
Gambar 4.4 Hasil drop test dengan waktu penahan
Variasi waktu penahanan terhadap green compact hasil pencetakan yang
bahwa waktu penahanan yang paling singkat dan paling lama menyebabkan
terjadinya retakan, sedangkan interval waktu penahanan diantara kedua waktu
tersebut memperoleh hasil green compact yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa
adanya waktu optimum penahanan. Pada kondisi penelitian yang dilakukan,
waktu penahanan yang optimal berada pada interval 2,5-7,5 menit.
Pada hasil drop test, dapat diketahui bahwa green compact mengalami
retakan dan patah. Hal ini menunjukkan bahwa rapuhnya green compact terjadi
karena dimungkinkan adanya retakan di dalam pellet yang tidak terobservasi.
Retakan ini menjadi salah satu sumber munculnya pecahan ketikan dilakukan uji
drop test.
[image:35.595.121.548.373.700.2]4.2.3 Variasi Massa Sampel dengan Cetakan Kasar( P = 5000 PSI, t = 5 menit , φ= 1.6 cm)
Variasi massa sampel terhadap green compact hasil pencetakan yang
ditunjukkan pada gambar 4.5, green compact yang dihasilkan menunjukkan
bahwa massa sampel sebanyak 6 gram menyebabkan terjadinya retakan,
sedangkan massa sampel lain ( 2, 4, 8, 10) gram memperoleh hasil green compact
yang baik. Retakan yang terjadi pada kompaksi sampel sebanyak 6 gram itu,
dimungkinkan terjadi akibat posisi yang tidak tepat pada saat pengeluaran green
compact dari cetakan.
Pada hasil drop test, dapat diketahui bahwa green compact mengalami
retakan dan patah. Hal ini menunjukkan bahwa rapuhnya green compact terjadi
karena dimungkinkan adanya retakan di dlam pellet yang tidak terobservasi.
Retakan ini menjadi salah satu sumber munculnya pecahan ketikan dilakukan uji
4.2.4 Variasi Permukaan Alat Cetak ( P = 5000 PSI, t = 5 menit, m = 4gr, φ = 1 cm)
Gambar 4.6 Hasil drop test dengan variasi permukaan alat cetak
Gambar 4.6 menujukkan hasil pencetakan dengan alat cetak kasar dengan
kekasaran permukaan sebesar 200μ dan alat cetak halus dengan kekasaran 50μ.
Hasil pencetakan menunjukkan bahwa permukaan green compact hasil cetakan
halus menunjukkan kualitas permukaan yang lebih mengkilat, sedangkan hasil
cetakan kasar lebih tidak mengkilat. Hal ini menunjukkan semakin halus
permukaan alat cetak, maka semakin sedikit timbulnya goresan pada permukaan
green compact.
Hasil pencetakan menunjukkan bahwa green compact yang dihasilkan
melintang terjadi karena deformasi ketika terjadi penekanan. Namun patahan yang
terjadi bukan berbentuk lurus artinya bahwa proses deformasi tersebut (deformasi
tambahan) terjadi setelah deformasi umum yang terjadi pada pencetakan.
Pada umumnya, patah yang terjadi pada kegagalan proses pencetakan
adalah patah sejajar. Patah tersebut terjadi karena deformasi simetris karena
mekanisme pencetakan yang kurang sempurna. Sedangkan patah melintang
menunjukkan bahwa proses pencetakan sudah dilakukan dengan benar, namun
dalam proses pemadatannya terjadi deformasi asimetris.
[image:38.595.115.558.331.678.2]4.2.5 Variasi Diameter Alat Penekan dengan Cetakan Kasar ( P = 5000 PSI, t = 5 menit, m = 4gr)
Variasi diameter penekan terhadap green compact hasil pencetakan yang
ditunjukkan pada gambar 4.7, green compact yang dihasilkan menunjukkan
bahwa pada kedua variasi diameter, belum terjadi retakan atau dengan kata lain
diperoleh hasil green compact yang baik. Hal ini mennjukkan bahwa diameter
penekan tidak lebih berpengaruh dibandingkan dengan syarat pengujian sampel
tersebut.
Pada hasil drop test, dapat diketahui bahwa green compact mengalami
retakan dan patah. Hal ini menunjukkan bahwa pada diamater berapa pun, retak
akan terjadi setelah di drop test. Terlihat bahwa green compact hasil kompaksi
dengan diameter penekan 1 cm mengalami patah melintang. Patah melintang
tersebut terjadi akibat adanya deformasi asimetris serbuk. Dan green compact
hasil kompaksi dengan diameter penekan 1,6 cm mengalami patah atas. Patah
atas tersebut terjasi akibat deformasi simetris pada serbuk saat dikompaksi.
4.2.6 Variasi Arah Penekanan (Single Uniaxial Pressing dan Double Uniaxial
Pressing)
Tabel 4.1 menunjukkan hasil uji pencetakan dan drop test pada 4 variasi
metode pencetakan dengan jumlah sampel masing-masing 20 buah. Uji ini
dilakukan untuk mempelajari proses kompaksi dari segi kuantitas dan efek dari
masing-masing parameter pencetakan yang dilakukan. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa :
a. Pada proses pencetakan dengan alat cetak halus dengan metode single
uniaxial pressing, hanya 40% pellet yang berhasil dicetak dalam kondisi
utuh, sedangkan 60% lagi mengalami kerusakan dengan distribusi terbesar
terjadi pada patah simetris bagian atas yaitu 45%, patah melintang 10%
dan patah tengah 5%. Setelah dilakukan pengujian drop test , pellet utuh
yang tersisa hanya 15% dan pellet yang mengalami kerusakan setelah
pengujian yaitu 5% patah bagian atas, 25% patah melengkung, 10% patah
bagian tengah dan distribusi kerusakan terbesar berada pada patah
melintang sebesar 35%.
b. Pada proses pencetakan dengan alat cetak halus dengan metode single
uniaxial pressing, 75% pellet yang berhasil dicetak dalam kondisi utuh,
sedangkan 30% lagi mengalami kerusakan dengan distribusi terbesar
terjadi pada patah melintang yaitu 15% dan 10% patah bagian atas.
Setelah dilakukan pengujian drop test , pellet utuh yang tersisa hanya 20%
dan pellet yang mengalami kerusakan setelah pengujian ada 80% dengan
deskripsi yaitu 15% patah bagian atas, 20% patah melengkung, 5% patah
bagian tengah, 5% pellet hancur total dan distribusi kerusakan terbesar
berada pada patah melintang sebesar 35%.
c. Pada proses pencetakan dengan alat cetak kasar dengan metode double
uniaxial pressing, 70% pellet yang berhasil dicetak dalam kondisi utuh,
sedangkan 30% lagi mengalami kerusakan dengan distribusi terbesar
terjadi pada patah bagian atas yaitu 20% dan 10% patah pada bagian
tengah. Setelah dilakukan pengujian drop test , pellet utuh yang tersisa
hanya 20% dan pellet yang mengalami kerusakan setelah pengujian ada
80% dengan deskripsi yaitu 15% patah bagian atas, 15% patah bagian
tengah, dan distribusi kerusakan terbesar berada pada patah melintang dan
d. Pada proses pencetakan dengan alat cetak halus dengan metode double
uniaxial pressing, 90% pellet yang berhasil dicetak dalam kondisi utuh,
sedangkan 10% lagi mengalami kerusakan dengan distribusi terbesar
terjadi pada patah bagian atas yaitu 10%. Setelah dilakukan pengujian
drop test , pellet utuh yang tersisa hanya 30% dan pellet yang mengalami
kerusakan setelah pengujian ada 70% dengan deskripsi yaitu patah bagian
atas, patah bagian tengah, dan pellet hancur masing-masing 10% dan
distribusi kerusakan terbesar berada pada patah melintang sebesar 40%.
Dari Hasil tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan cetakan metode
double uniaxial pressing meningkatkan persentase keberhasilan proses
pencetakan dari 40% menjadi 90%. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan pada
single uniaxial pressing terjadi akibat faktor kehalusan permukaan alat cetak.
Permukaan yang kasar akan memberikan hambatan yang besar dan permukaan
yang halus akan memberikan hambatan yang lebih kecil.
Apabila pencetakan dilakukan dengan alat cetak kasar dengan jarak
penggerakan penekan yang jauh, besar gesekan akan semakin tinggi dan
kerusakan sampel akan meningkat. Ketika jarak pergerakan penekan pada saat
kompaksi diperpendek, maka efek gesekan akan semakin kecil dan diperoleh
green compact yang baik. Besarnya gaya gesek yang terjadi akan menyebabkan
peningkatan densitas pada daerah serbuk yang dikompaksi dengan pergerakan
penekanan yang jauh. Sehingga distribusi densitas yang kurang merata akan lebih
mudah untuk memunculkan retak. Perbedaan distribusi densitas powder yang
terbentuk dapat memicu terjadinya retakan.
Disamping itu, faktor permukaan cetakan yang kasar menjadikan
diperolehnya permukaan yang kasar dari pellet yang akan memicu terjadinya
Gambar 4.8 Grafik presentase keberhasilan proses pencetakan
4.2.7 Pola-pola retak yang terbentuk dari hasil observasi crackdengan pengujian drop test.
Pola-pola retak yang terbentuk dari hasil observasi crack adalah sebagai berikut :
1. Patah Atas
2. Patah Tengah
3. Patah Melengkung
4. Patah Melintang
(1) (2)
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 alat cetak kasar (single uniaxial pressing) Alat cetak halus (single uniaxial pressing) Alat cetak halus (double uniaxial pressing)
Persentase Keberhasilan proses cetak(%)
Persentase
(3) (4)
Gambar 4.9 Foto makro pola-pola retak yang terbentuk dari hasil pengujian drop test
4.3Hasil dan AnalisaPengujian Mikrostruktur
Pengujian mikrostruktur bertujuan untuk mengamati permukaan dari pellet
sebelum dan setelah disintering pada suhu 11000Cyang ditahan selama 1 Jam,
suhu awal T0 = 250C dan 2500C dengan perbesaran 50X. Hasil analisa pengujian
mikrostruktur adalah sebagai berikut :
Sampel 1
Sampel 3
Sampel 4
[image:44.595.116.497.99.568.2]Sampel 5
Gambar 4.10 Mikrostruktur pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik sebelum(kiri) dan
setelah sinter 11000C, Tholding= 1 Jam, ΔT = 50C/Min, T0 = 250C(kanan) dengan
perbesaran 50X.
Mikrostruktur pellet terbaik sebelum disinter (gambar 4.10 bagian kiri),
dapat diketahui bahwa pada sampel 1,2,3 dan 5 belum ada terlihat inisial crack
(retak awal) dan green compact masih berwarna kecoklatan, sedangkan pada
sampel 4 terlihat beberapa gumpalan serbuk hasil kompaksi pada permukaan
pellet. Pada sampel 1,2,3,4 dan 5 setelah disinter( gambar 4.10 bagian kanan)
terlihat perubahan warna pellet menjadi keabu-abuan dan belum ada terlihat retak
awal akibat proses sinter. Namun, pada sampel 5 masih terlihat butiran serbuk
pada permukaannya. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat sinter beberapa
gumpalan serbuk green compact berubah menjadi butiran serbuk yang homogen.
Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Retak Gumpalan Serbuk
Gumpalan Serbuk
Sampel 4
[image:46.595.113.508.95.378.2]Sampel 5
Gambar 4.11 Mikrostruktur pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk sebelum(kiri) dan
setelah sinter 11000C, Tholding= 1 Jam, ΔT = 50C/Min, T0 = 250C(kanan) dengan
perbesaran 50X.
Mikrostruktur pellet terburuk sebelum disinter (gambar 4.11 bagian kiri),
dapat diketahui bahwa pada sampel 1dan 3 terdapat gumpalan serbuk pada
permukaan green compact, sedangkan pada sampel 2 dan 5 belum ada terlihat
retak awal dan pada sampel 5 sudah terlihat retak awal. Retak ini disebabkan oleh
kompaksi yang kurang tepat. Pada sampel 1,2,3,4 dan 5 setelah disinter( gambar
4.11 bagian kanan) terlihat perubahan warna pellet menjadi keabu-abuan dan
sudah terlihat retak akibat proses sinter pada sampel 3,4 dan 5. Pada sampel 1
belum terlihat retak awal akibat sinter. Namun, pada sampel 2 masih terlihat
butiran serbuk pada permukaannya. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat sinter
beberapa gumpalan serbuk green compact berubah menjadi butiran serbuk yang
homogen.
Retak
Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Sampel 4
Sampel 5
Gambar 4.12 Mikrostruktur pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik sebelum(kiri) dan
setelah sinter 11000C, Tholding= 1 Jam, ΔT = 100C/Min, T0 = 250C(kanan) dengan
perbesaran 50X.
Mikrostruktur pellet terbaik sebelum disinter (gambar 4.12 bagian kiri),
dapat diketahui bahwa pada sampel 2,3,4 dan 5 belum ada terlihat inisial crack
(retak awal) dan green compact masih berwarna kecoklatan, sedangkan pada
sampel 1 terlihat beberapa gumpalan serbuk hasil kompaksi pada permukaan
pellet. Pada sampel 1,2,3,4 dan 5 setelah disinter( gambar 4.12 bagian kanan)
terlihat perubahan warna pellet menjadi keabu-abuan dan belum ada terlihat retak
awal akibat proses sinter.
Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Sampel 4
[image:49.595.115.511.86.679.2]Sampel 5
Gambar 4.13 Mikrostruktur pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk sebelum(kiri) dan
setelah sinter 11000C, Tholding= 1 Jam, ΔT = 100C/Min, T0 = 250C(kanan) dengan
perbesaran 50X.
Mikrostruktur pellet terburuk sebelum disinter (gambar 4.13 bagian kiri),
dapat diketahui bahwa pada sampel 1,2,3 dan 5 belum ada terlihat inisial crack
(retak awal) dan green compact masih berwarna kecoklatan, sedangkan pada
sampel 4 terlihat beberapa gumpalan serbuk hasil kompaksi pada permukaan
pellet. Pada sampel 2,3,4 dan 5 setelah disinter( gambar 4.13 bagian kanan)
terlihat perubahan warna pellet menjadi keabu-abuan dan belum ada terlihat retak
awal akibat proses sinter. Sedangkan pada sampel 1 sudah terlihat retak awal
akibat sintering.
Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Sampel 4
[image:51.595.113.512.92.377.2]Sampel 5
Gambar 4.14 Mikrostruktur pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik sebelum(kiri) dan
setelah sinter 11000C, Tholding= 1 Jam, ΔT = 150C/Min, T0 = 250C(kanan) dengan
perbesaran 50X.
Mikrostruktur pellet terbaik sebelum disinter (gambar 4.14 bagian kiri),
dapat diketahui bahwa pada sampel 1,2,3,4 dan 5 belum ada terlihat retak awal
dan green compact masih berwarna kecoklatan. Pada sampel 1,3 dan 4 setelah
disinter ( gambar 4.14 bagian kanan) terlihat perubahan warna pellet menjadi
keabu-abuan dan belum terlihat retak akibat proses sinter. Pada sampel 2 terlihat
retak awal akibat kecepatan pemanasan (heating rate) sinter yang semakin tinggi.
Namun, pada sampel 5 masih terlihat butiran serbuk pada permukaannya. Hal ini
menunjukkan bahwa pada saat sinter beberapa gumpalan serbuk green compact
berubah menjadi butiran serbuk yang homogen.
Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Sampel 4
Sampel 5
Retak
Butiran serbuk
Butiran serbuk
Gambar 4.15 Mikrostruktur pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk sebelum(kiri) dan
setelah sinter 11000C, Tholding= 1 Jam, ΔT = 150C/Min, T0 = 250C(kanan) dengan
perbesaran 50X.
Mikrostruktur pellet terburuk sebelum disinter (gambar 4.15 bagian kiri),
dapat diketahui bahwa pada sampel 1,2,3, dan 4 belum ada terlihat retak awal dan
green compact masih berwarna kecoklatan, sedangkan pada sampel 5 terlihat
beberapa gumpalan serbuk hasil kompaksi pada permukaan pellet.Pada sampel
setelah disinter ( gambar 4.15 bagian kanan) terlihat perubahan warna pellet
menjadi keabu-abuan dan belum terlihat retak akibat proses sinter. Pada sampel 4
dan 5 terlihat retak awal akibat kecepatan pemanasan (heating rate) sinter yang
semakin tinggi. Namun, pada sampel 1,2 dan 3 masih terlihat butiran serbuk pada
permukaannya. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat sinter beberapa gumpalan
serbuk green compact berubah menjadi butiran serbuk yang homogen.
Sampel 1
Retak Retak
Permukaan patah
Sampel 2
Sampel 3
Sampel 4
[image:54.595.113.511.95.704.2]Sampel 5
Gambar 4.16 Mikrostruktur pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik sebelum(kiri) dan
setelah sinter 11000C, Tholding= 1 Jam, ΔT = 150C/Min, T0 = 2500C(kanan) dengan
perbesaran 50X.
Retak
Retak
Mikrostruktur pellet terbaik sebelum disinter (gambar 4.16 bagian kiri),
dapat diketahui bahwa pada sampel 3,4, dan 5 belum ada terlihat retak awal dan
green compact masih berwarna kecoklatan, sedangkan pada sampel 2 terlihat
beberapa gumpalan serbuk hasil kompaksi pada permukaan pellet dan pada
sampel 1 terlihat permukaan patah akibat hasil green compact yang kurang
optimal. Pada sampel setelah disinter ( gambar 4.16 bagian kanan) terlihat
perubahan warna pellet menjadi keabu-abuan. Pada sampel 1,3,4 dan 5 terlihat
retak awal akibat kecepatan pemanasan (heating rate) sinter yang semakin tinggi.
Namun, pada sampel 2 belum terlihat retak akibat proses sinter dan permukaannya
terlihat kasar.
Sampel 1
Sampel 2
Retak Retak
Sampel 3
Sampel 4
[image:56.595.113.508.90.550.2]Sampel 5
Gambar 4.17 Gambar 4.16 Mikrostruktur pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk
sebelum(kiri) dan setelah sinter 11000C, Tholding= 1 Jam, ΔT = 150C/Min, T0 =
2500C(kanan) dengan perbesaran 50X.
Mikrostruktur pellet terburuk sebelum disinter (gambar 4.17 bagian kiri),
dapat diketahui bahwa pada sampel 1,2 dan 4 sudah terlihat retak awal dan green
compact masih berwarna kecoklatan, sedangkan pada sampel 5 terlihat beberapa
gumpalan serbuk hasil kompaksi pada permukaan pellet dan pada sampel 2 belum
terlihat retak awal. Pada sampel setelah disinter ( gambar 4.17 bagian kanan)
terlihat perubahan warna pellet menjadi keabu-abuan dan terlihat bahwa semua
sampel mengalami cracking akibat kecepatan pemanasan (heating rate) sinter
Retak Retak
Retak
yang semakin tinggi. Namun, pada sampel 3 belum terlihat retak akibat proses
sinter dan permukaannya terlihat kasar.
[image:57.595.150.457.249.675.2]4.4 Data dan Analisa Hasil Uji Kekerasan Vickers
Tabel 4.2 Data Hasil Uji Kekerasan vickers pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik
sintering 11000C, ΔT = 50C/Min, T0 =250C
Uji ke- d1 (mm)
d2 (mm)
d rata2 (mm)
F (kgf) VHN 1 0,0623 0,0576 0,05995 0,2 103,1719
2 0,0568 0,0597 0,05825 0,2 109,2818
3 0,0552 0,0564 0,0558 0,2 119,0889
4 0,0539 0,0581 0,056 0,2 118,2398
5 0,0528 0,0596 0,0562 0,2 117,3997
1 2 3 4 5
0 20 40 60 80 100 120 140 N il ai K ek er as an V ic k er s (V H N ) Titik Pengujian Terbaik (50C/min) 103,1719 109,2818 119,0889 118,2398 117,3997
Gambar 4.18Grafik Kekerasan vickers pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik
Tabel 4.3 Data Hasil Uji Kekerasan vickers pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk
sintering 11000C, ΔT = 50C/Min, T0 =250C
uji ke- d1 (mm)
d2 (mm)
d rata2 (mm)
F (kgf) VHN 1 0,0984 0,0833 0,09085 0,2 44,92518
2 0,0973 0,0846 0,09095 0,2 44,82645
3 0,0802 0,0917 0,08595 0,2 50,19356
4 0,0974 0,1007 0,09905 0,2 37,79469
5 0,0911 0,0925 0,0918 0,2 44,00017
1 2 3 4 5
[image:58.595.154.462.168.559.2]0 10 20 30 40 50 60 70 50,19356 37,79469 44,00017 44,82645 N il ai K ek er as an ( V H N ) Titik Pengujian Terburuk (50C/min) 44,92518
Gambar 4.19 Grafik Kekerasan vickers pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk
Tabel 4.4 Data Hasil Uji Kekerasan vickers pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik
sintering 11000C, ΔT = 100C/Min, T0 =250C
uji ke- d1 (mm)
d2 (mm)
d rata2 (mm)
F (kgf) VHN 1 0,0496 0,0468 0,0482 0,2 159,6047
2 0,0515 0,0493 0,0504 0,2 145,9751
3 0,0512 0,0501 0,05065 0,2 144,5376
4 0,0515 0,0515 0,0515 0,2 139,8058
5 0,0512 0,0506 0,0509 0,2 143,1213
1 2 3 4 5
[image:59.595.152.457.167.553.2]0 40 80 120 160 200 143,1213 145,9571 144,5376 139,8058 Titik Pengujian Terbaik (100C/min) N il ai K ek er as an ( V H N ) 159,6047
Gambar 4.20 Grafik Kekerasan vickers pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik
Tabel 4.5 Data Hasil Uji Kekerasan vickers pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk
sintering 11000C, ΔT =100C/Min, T0 =250C
uji ke- d1 (mm)
d2 (mm)
d rata2 (mm)
F (kgf) VHN 1 0,0438 0,0483 0,04605 0,2 174,856
2 0,0456 0,0478 0,0467 0,2 170,0223
3 0,0454 0,0432 0,0443 0,2 188,9436
4 0,0461 0,0463 0,0462 0,2 173,7224
5 0,0482 0,0447 0,04645 0,2 171,8574
1 2 3 4 5
[image:60.595.159.446.334.595.2]0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 173,7224 171,8574 188,9436 170,0223 N il ai K ek er as an ( V H N ) Titik Pengujian Terburuk (100C/min) 174,856
Gambar 4.21 Grafik Kekerasan vickers pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk
Tabel 4.6 Data Hasil Uji Kekerasan vickers pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik
sintering 11000C, ΔT =150C/Min, T0 =250C
uji ke- d1 (mm)
d2 (mm)
d rata2 (mm)
F (kgf) VHN 1 0,0405 0,0423 0,0414 0,2 216,3411
2 0,0425 0,0445 0,0435 0,2 195,9572
3 0,0449 0,0448 0,04485 0,2 184,338
4 0,0428 0,0429 0,04285 0,2 201,9473
5 0,0408 0,0432 0,042 0,2 210,2041
1 2 3 4 5
[image:61.595.154.459.213.591.2]0 40 80 120 160 200 240 280 201,9473 195,9572 184,338 210,2041 N il ai K ek er as an ( V H N ) Titik Pengujian Terbaik (150C/min) 216,3411
Gambar 4.22 Grafik Kekerasan vickers pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik
Tabel 4.7 Data Hasil Uji Kekerasan vickers pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk
sintering 11000C, ΔT =150C/Min, T0 =250C
uji ke- d1 (mm) d2 (mm) d rata2 (mm)
F (kgf) VHN 1 0,0479 0,0412 0,04455 0,2 186,829
2 0,0443 0,0468 0,04555 0,2 178,7158
3 0,0427 0,0482 0,04545 0,2 179,5031
4 0,0457 0,0442 0,04495 0,2 183,5187
5 0,0431 0,0455 0,0443 0,2 188,9436
1 2 3 4 5
0 40 80 120 160 200 240 188,9346 183,5187 179,5031 178,7158 N il ai K ek er as an ( V H N ) Titik Pengujian
Terburuk (150C/min)
186,829Gambar 4.23 Grafik Kekerasan vickers pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk
sintering 11000C, ΔT = 150C/Min, T0 =250C
Hasil Uji kekerasan untuk kecepatan pemanasan 50C/min pada sampel
terbaik memiliki nilai kekerasan sekitar 103,1719 – 119,0889 (gambar 4.18) dan
sampel terburuk memiliki nilai kekerasan sekitar 37,79469 – 44,92518 (gambar
kekerasan sekitar 139,8058 – 159,6047 (gambar 4.20) dan sampel terburuk
memiliki nilai kekerasan sekitar 171,8574 – 188,9436 (gambar 4.21) dan pada
kecepatan 150C/min pada sampel terbaik memiliki nilai kekerasan sekitar 184,338
– 216,3411 (gambar 4.22) dan sampel terburuk memiliki nilai kekerasan sekitar
178,7158 - 188,9346 (gambar 4.23). Perbedaan nilai kekerasan pada kelima titik
pengujian itu disebabkan oleh permukaan(surface) sampel uji yang tidak rata,
susunan butiran partikel dalam pellet tersebut (microstructure) tidak merata pada
semua sisi, juga disebabkan oleh ketelitian alat yang masih memiliki ralat yang
[image:63.595.142.463.292.551.2]besar.
Gambar 4.24 Grafik hubungan nilai kekerasan vickers dengan kecepatan
pemanasan pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik
4 6 8 10 12 14 16
0 50 100 150 200 250 300 146,6089 201,75754 N ilai K ek er as an V ic ker s ( V H N )
4 6 8 10 12 14 16 0 40 80 120 160 200 240 183,50204 175,88034
Kecepatan Pemanasan Sintering (0C/min)
N ilai K ek er as an V ic ker s (V H N ) 44,60
Gambar 4.25 Grafik hubungan nilai kekerasan vickers dengan kecepatan
pemanasan pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk
Dari gambar 4.24 dan 4.25 dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi
kecepatan pemanasansintering(heating rate) maka semakin tinggi juga nilai VHN
(Vickers Hardeness Number). Perbedaan nilai kekerasan rata-rata pada setiap
kecepatan pemanasan sintering tersebut juga dipengaruhi oleh faktor penggerusan/
pengampelasan yang tidak merata pada permukaan pellet.
[image:64.595.170.442.104.322.2]4.5 Data dan Analisa Hasil Uji Bulk Density
Tabel 4.8 Hubungan kecepatan pemanasan dengan densitas bulk pada pelet
(Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik
Kecepatan
Pemanasan(0C/min)
ρ bulk (atas)
gr/cm3
ρ bulk (bawah)
gr/cm3
5 5 4,91
10 4,91 4,85
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 5,0 5,5 6,0 4,90 4,89 4,85 4,91 4,91 B ul k D ens it y ( gr /c m 3 )
Kecepatan Pemanasan(0C/min) atas bawah
5,00
Gambar 4.26 Grafik hubungan kecepatan pemanasan terhadap nilai densitas bulk
pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terbaik
Dari gambar 4.26 untuk setiap kecepatan pemanasan sinter terlihat bahwa
nilai ρ bulkbagian atas lebih tinggi dibandingkan nilai ρ bulk bagian bawah, nilai
ρ bulk bagian atas sekitar 4,9- 5 gr/cm3 dan nilai ρ bulk bagian bawah sekitar 4,85- 4,91 gr/cm3. Dapat juga diketahui bahwa semakin tinggi kecepatan
pemanasan sintering maka nilai densitas bulk-nya semakin menurun. Namun,
pada pellet bagian bawah pada kecepatan pemanasan 100C/min terlihat nilai
densitas yang kurang signifikan. Hal ini terjadi akibat perbedaan volume bulk
[image:65.595.147.470.128.367.2]pada saat pemotongan sampel.
Tabel 4.9 Hubungan kecepatan pemanasan dengan densitas bulk pada pelet
(Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk
Kecepatan
Pemanasan(0C/min)
ρ bulk (atas)
gr/cm3
ρ bulk (bawah)
gr/cm3
5 4,84 5,01
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 5,0 5,5 6,0 4,93 4,9 4,95 4,64 4,84 5,01 B ul k D ens ity (gr /c m 3 )
Kecepatan Pemanasan( 0C/min)
[image:66.595.144.470.131.385.2]Atas Bawah
Gambar 4.27 Grafik hubungan kecepatan pemanasan terhadap nilai densitas bulk
pada pelet (Ba-SrO.6Fe2O3 ) terburuk
Dari gambar 4.27 untuk setiap kecepatan pemanasan sinter terlihat bahwa
nilai ρ bulkbagian atas lebih tinggi dibandingkan nilai ρ bulk bagian bawah, nilai
ρ bulk bagian atas sekitar 4,84- 4,95 gr/cm3dan nilai ρ bulk bagian bawah sekitar 4,64- 5,01 gr/cm3. Dapat juga diketahui bahwa semakin tinggi kecepatan
pemanasan sintering maka nilai densitas bulk-nya semakin menurun. Namun,
pada pellet bagian atas pada setiap kecepatan pemanasan terlihat nilai densitasnya
berbanding lurus dengan kcepatan pemanasannya. Hal ini terjadi akibat perbedaan
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan analisis penelitian yang telah dilakukan,maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Tekanan, waktu penahan, jumlah sampel, diameter alat penekan dan
kehalusan permukaan cetakan berpengaruh pada proses terbentuknya
retakan. Semakin halus permukaan alat cetak maka semakin tinggi
kemungkinan untuk tidak terjadinya fenomena retakan.
2. Semakin tinggi laju pemanasan dan suhu awal sintering, maka pellet hasil
sinter lebih mudah retak.
3. Kecepatan pemanasan berpengaruh besar terhadap nilai VHN (Vickers
Hardness Numbers). Pellet Ba-SrO.6Fe2O3 memiliki nilai VHN tertinggi
sebesar 216,3411 pada kecepatan pemanasan tertinggi yaitu 150C/min.
4. Nilai densitas pelet Ba-SrO.6Fe2O3 bagian atas adalah sekitar 4,92 gr/cm3
dan bagian bawah sekitar 4,82 gr/cm3.
5. Green body yang bagus diperoleh dari proses kompaksi dengan mengguna
5.2 Saran
Untuk proses penelitian lebih lanjut mengenai studi pengaruh kompaksi terhadap
retakan pada magnet Ba-SrO.6Fe2O3 disarankan :
1. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilakukan karakterisasi sifat
magnet dengan VSM (Vibrating Sample Magnetometer).
2. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilakukan pembuatan alat
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Magnet keramik
Keramik adalah bahan-bahan yang tersusun dari senyawa anorganik bukan logam
yang pengolahannya melalui perlakuan dengan temperatur tinggi. Kegunaannya
adalah untuk dibuat berbagai keperluan desain teknis khususnya dibidang
kelistrikan, elektronika, mekanik dengan memanfaatkan magnet keramik sebagai
magnet permanen, dimana material ini dapat menghasilkan medan magnet tanpa
harus diberi arus listrik yang mengalir dalam sebuah kumparan atau selenoida
untuk mempertahankan medan magnet yang dimilikinya. Disamping itu, magnet
permanen juga dapat memberikan medan yang konstan tanpa mengeluarkan daya
yang kontinu. Magnet keramik yang merupakan magnet permanen mempunyai
struktur Hexagonal close-pakced. Dalam hal ini bahan yang sering digunakan
adalah Barrium Ferrite (BaO.6Fe2O3). Barium dapat juga digantikan dengan
bahan yang menyerupai(segolongan) dengannya, yaitu seperti Strontium.
Bahan keramik yang bersifat magnetik umumnya merupakan golongan
ferit, yang merupakan oksida yang disusun oleh hematit (α-Fe2O3) sebagai
komponen utama. Bahan ini menunjukkan induksi magnetik spontan meskipun
medan magnet dihilangkan. Material ferit juga dikenal sebagai magnet keramik,
bahan itu tidak lain adalah oksida besi yang disebut ferit besi (ferrous ferrite).
Pada umumnya ferit dibagi menjadi tiga kelas :
1. Ferit Lunak, ferit ini mempunyai formula Mfe2O4, dimana M = Cu, Zn, Ni, Co,
Fe,Mn, Mg dengan struktur kristal seperti mineral spinel. Sifat bahan ini
mempunyaipermeabilitas dan hambatan jenis yang tinggi, koersivitas yang
rendah.
2. Ferit Keras, ferit jenis ini adalah turunan dari struktur magneto plumbit yang
dapat ditulis sebagai Mfe12O19, dimana M = Ba, Sr, Pb. Bahan ini mempunyai
3. Ferit Berstruktur Garnet, magnet ini mempunyai magnetisasi spontan yang
bergantung pada suhu secara khas. Strukturnya sangat rumit, berbentuk
kubik dengan sel satuan disusun tidak kurang dari 160 atom (Idayanti,
2002).
Ferit lunak mempunyai struktur kristal kubik dengan rumus umum
MO.Fe2O3dimana M adalah Fe, Mn, Ni, dan Zn atau gabungannya seperti Mn-Zn
dan Ni-Zn. Bahan ini banyak digunakan untuk inti transformator, memori
komputer,induktor, recording heads, microwave dan lain-lain. Ferit keras banyak
digunakan dalam komponen elektronik, diantaranya motor-motor DC kecil,
pengeras suara (loudspeaker), meteran air, KWH-meter, telephone receiver,
circulator, dan rice cooker(Cullity, 1972).
2.2 Sifat-sifat Magnet Keramik
Sifat-sifat kemagnetan suatu bahan dapat diperlihatkan dalam kurva histerisis
yaitu kurva hubungan intensitas magnet (H) terhadap medan magnet (B). Seperti
ditunjukkan pada gambar 2.1 merupakan kurva histerisis pada saat magnetisasi.
Gambar 2.1 Kurva saat proses magnetisasi (Moulson A.J, et all., 1985).
Pada gambar 2.1 di atas tampak bahwa kurva tidak berbentuk garis lurus
sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan antara B dan H tidak linier. Dengan
kenaikan harga H, mula-mula B turut naik cukup besar, tetapi mulai dari nilai H
tertentu terjadi kenaikan nilai B yang kecil dan makin lama nilai B akan konstan.
magnet saturasi. Saturasi magnetisasi adalah keadaan dimana terjadi kejenuhan,
nilai medan magnet B akan selalu konstan walaupun medan eksternal H dinaikkan
terus.
Bahan yang mencapai saturasi untuk harga H rendah disebut magnet lunak
seperti yang ditunjukkan kurva (a). Sedangkan bahan yang saturasinya terjadi
pada harga H tinggi disebut magnet keras seperti yang ditunjukkan kurva (c).
Sesudah mencapai saturasi ketika intensitas magnet H diperkecil hingga mencapai
H = 0, ternyata kurva B tidak melewati jalur kurva semula. Pada harga H = 0,
medan magnet atau rapat fluks B mempunyai harga Br ≠0 seperti ditunjukkan
pada kurva histerisis pada gambar 2.1. Harga Br ini disebut dengan induksi
remanen atau remanensi bahan. Remanen atau ketertambatan adalah sisa medan
magnet B dalam prosesmagnetisasi pada saat medan magnet H dihilangkan, atau
remanensi terjadi pada saat intensitas medan magnetik H berharga nol dan medan
magnet B menunjukkan harga tertentu.
Pada gambar 2.2 tampak bahwa setelah harga intensitas magnet H = 0 atau
dibuat negatif (dengan membalik arus lilitan), kurva B(H) akan memotong sumbu
pada harga Hc. Intensitas Hc inilah yang diperlukan untuk membuat rapat fluks
B=0 atau menghilangkan fluks dalam bahan. Intensitas magnet Hc ini disebut
koersivitas bahan. Koersivitas digunakan untuk membedakan hard magnet atau
soft magnet. Semakin besar gaya koersivitasnya maka semakin keras sifat
magnetnya. Bahan dengan koersivitas tinggi berarti tidak mudah hilang
kemagnetannya.
Untuk menghilangkan kemagnetannya diperlukan intensitas magnet H
yang besar. Bila selanjutnya harga diperbesar pada harga negatif sampai mencapai
saturasi dan dikembalikan melalui nol, berbalik arah dan terus diperbesar pada
harga H positif hingga saturasi kembali, maka kurva B(H) akan membentuk satu
lintasan tertutup yang disebut kurva histeresis. Bahan yang mempunyai
koersivitas tinggi kemagnetannya tidak mudah hilang. Bahan seperti itu baik
Gambar 2.2 Kurva histerisis material magnetik (Moulson A.J, et all., 1985).
Magnet permanen dapat diberi indeks berdasarkan momen koersif yang
diperlukan untuk menghilangkan induksi (tabel 2.1). Patokan ukuran yang yang
lebih baik adalah hasil kali BH. BaFe12O19 mempunyai nilai –Hc yang sangat
besar, tetapi BHmaksyang tidak terlalu tinggi, karena rapat fluks lebih rendah
dibandingkan bahanmagnet permanen lainnya. Dari tabel 2.1 akan diperoleh
gambaran mengenai peningkatan yang mungkin diperoleh beberapa para ahli
peneliti dan rekayasawan dengan pengembangan alnico (metalik) dan magnet
BaFe12O19 (keramik).
Magnet lunak merupakan pilihan tepat untuk penggunaan pada arus
bolak-balik atau frekuensi tinggi, karena harus mengalami magnetisasi dan
demagnetisasi berulang kali selama selang satu detik. Spesifikasi yang agak kritis
untuk magnet lunak adalah : induksi jenuh (tinggi), medan koersif (rendah), dan
pemeabilitas maksimum (tinggi).
Tabel 2.1. sifat berbagai magnet keras (dari berbagai sumber)
Bahan magnet Remanen,
Medan
koersif, Produk demagnetisasi
Br(V.det/m2) -Hc (A/m) maksimum BHmaks(J/m3)
Baja karbon 1,0 0,4 x 104 0,1 x 104
Alnico 1,2 5,5 x 104 3,4 x 104
Ferroxdur (BaFe12O19) 0,4 15,0 x 104 2,0 x 104
Perbandingan sifat magnetnya dari beberapa material dapat diperlihatkan
Gambar 2.3 Kurva yang menunjukkan perbandingan sifat magnet dari beberapa jenis magnet permanen (Moulson A.J, et all., 1985).
2.3 Barium Hexaferrite (BaO.6Fe2O3)
Barium hexaferrite merupakan keramik oksida komplek dengan rumus kimia
BaO.6Fe2O3 atau BaFe12O19. Bariumhexaferrite mempunyai kestabilan kimia
yang bagus dan relatif murah dan kemudahan dalam produksi. Walaupun
kekuatan magnet heksaferit lebih rendah dibandingkan jenis magnet terbaru
berbasis logam tanah jarang, magnet permanen hexaferrite (Ba-ferit dan Sr-ferit)
masih menempati tempat teratas dalam pasar magnet permanen dunia baik dalam
hal nilai uang maupun berat produksi.
Barium heksaferit (BaFe12O19) dikenal sebagai magnet permanen dengan
struktur heksagonal yang sesuai dengan space group P 63/mmc. Seperti keluarga
oksida lainnya, material ini memiliki sifat mekanik yang sangat kuat dan tidak
mudah terkorosi. Pemakaian senyawa ini sebagai perekam magnetik, divais
gelombang mikro (microwave) dan absorber sangat diminati sehingga banyak
usaha dilakukan untuk memproduksi subtitusi kation yang mungkin ke dalam
BaFe12O19 guna meningkatkan sifat magnetiknya. Divalen logam transisi seperti
Co, Ti dan Mn sering digunakan karena persamaan jari–jari ionik dan konfigurasi
elektron.
Heksaferit memiliki kristal anisotropi yang besar dan lokasi resonansi
permeabilitas yang relatif besar. Oleh karena itu, heksaferit adalah kandidat yang
menjanjikan untuk pengembangan material anti radar (Amin, 1981).Material
Barium M-Heksaferit(BaFe12O19) mempunyai polarisasi magnet saturasi
tinggi(78 emu/g), yang terdiri dari kristal uniaxial anisotropi yang kuat,
temperatur Curie tinggi (4500C) dan medan koersifitas yang besar (6700 Oe),
terkait dengan sangat baikdalam stabilitas kimia dan ketahanannya terhadap
korosi.
Material magnet oksida BaO6Fe2O3 merupakan jenis magnet keramik yang
banyak dijumpai disamping material magnet Sr.6Fe2O3. seperti pada jenis oksida
lainnya, material magnet tersebut memiliki sifat mekanik yang sangat kuat dan
tidak mudah terkorosi. Sebagai magnet permanen, material BaO.6Fe2O3 memiliki
sifat kemagnetan dengan tingkat kestabilan tinggi terhadap pengaruh medan
magnet luar pada suhu diatas 300oC. Sehingga sangat cocok dipergunakan dalam
peralatan teknologi pada jangkauan yang cukup luas.
Barium hexaferrite BaO.6Fe2O3 yang memiliki parameter kisi a = 5,8920
Angstrom, dan c = 23,1830 Angstrom. Gambar struktur kristal barium hexaferrite
[image:74.595.203.353.440.572.2]BaO.6Fe2O3 diperlihatkan pada gambar 2.4
Gambar 2.4 Struktur kristal BaO.6Fe2O3 [Moulson A.J, et all., 1985].
Barium heksaferrit dapat disintesa dengan beberapa metoda seperti
kristalisasi gas, presipitasi hidrotermal, sol-gel, aerosol, copresipitasi dan
pemaduan mekanik. Diantara metoda ini pemaduan/gerus mekanik adalah
ekonomis karena ketersediaan bahan baku secara komersial dan relatif murah.
dan produksi skala besar dapat diimplementasikan dengan mudah.
2.4 Kompaksi
2.4.1 Karakteristik Serbuk
Karakteristik serbuk mempengaruhi perilaku serbuk ketika pemrosesan yang akan
menentukan sifat dari produk yang dihasilkan. Karakteristik partikel serbuk
diantaranya meliputi distribusi ukuran partikel, bentuk partikel, luas permukaan,
berat jenis serbuk, mampu alir, kompressibilitas, gesekan antar partikel dan
komposisi kimia serbuk(German R.M, 1994). Berikut ini akan diuraikan secara singkat mengenai karakteristik dari partikel serbuk dan pengaruhnya terhadap
pemrosesan serbuk dan produk yang dihasilkan.
a. Ukuran dan Distribusi Ukuran Partikel
Ukuran partikel akan mempengaruhi densitas, porositas dan sifat
mekanis material serbuk kompaksi, dimana semakin kecil atau halus
ukuran partikel serbuk maka densitas bakalan (green density) akan
semakin besar. Ada beberapa teknik yang digunakan untuk menentukan
ukuran partikel serbuk diantaranya dengan pengayakan (screening),
mikroskop, teknik sedimentasi, hamburan cahaya (light scattering),
konduktivitas listrik, penghalangan cahaya (light blocking) (David, 1999).
Ukuran partikel juga akan menentukan stabilitas dimensi, pelepasan gas
yang terperangkap dan karakteristik selama pencampuran. Distribusi
ukuran partikel sangat menentukan kemampuan partikel dalam mengisi
ruang kosong antar partikel untuk mencapai volume terpadat dan pada
akhirnya akan menentukan besar densitas, porositas serta kekuatan green
compact dan hasil sinternya (David, Myrna, 1999).
b. Bentuk Partikel
Bentuk partikel serbuk sangat mempengaruhi sifat massa serbuk,
yaitu efisiensi pemadatan (packing efficiency), mampu alir (flowbility) dan
mampu tekan (compressibility). Bentuk partikel serbuk akan
saat proses kompaksi. Peningkatan luas permukaan partikel (semakin kecil
ukuran partikel, semakin tidak beraturan bentuk partikel , semakin besar
permukaan partikel) akan meningkatkan reaktivitas kimia serbuk sehingga
hal ini meningkatkan penyerapan gas dan uap air dari lingkungan (Klar,
1983). Bentuk partikel serbuk ditentukan oleh sifat dari material bahan
baku serbuk tersebut dan juga proses yang digunakan untuk menghasilkan
serbuk dari material bulk-nya. Partikel serbuk bisa berbentuk bulat,
angular, serpihan(flake),fibrous, sponge/porous, dan lainnya.
c. Mampu Alir Serbuk
Mampu alir sebuk merupakan karakteristik yang menggambarkan sifat alir
serbuk dan kemampuan serbuk memenuhi ruang cetakan. Karakteristik
serbuk seperti berat jenis nyata serbuk dan gesekan partikel seringkali
dihubungkan dengan mampu alir serbuk. Pada umumnya, faktor-faktor
yang mengurangi gesekan antarpartikel dan meningkatkan berat jenis
nyata (seperti partikel bulat dan halus) akan meningkatkan mampu alir
serbuk. Disamping itu karakteristik serbuk seperti bentuk serbuk, berat
jenis serbuk, kelembaban serbuk, dan distribusi ukuran partikel dapat
mempengaruhi mampu alir serbuk(Klar, 1983).
Mampu alir dari serbuk logam tergantung dari gesekan antar
partikel, dimana luas permukaan dan kekasaran partikel akan
mempengaruhi gesekan antarpartikel tersebut. Jika luas permukaan dan
kekasaran partikel meningkat maka intesitas gesekan akan meningkat
sehingga meyebabkan efisiensi mampu alir serbuk akan rendah. Selain itu,
bentuk partikel yang mempunyai bentuk tidak beraturan mempunyai
efisiensi mampu alir yang rendah sedangkan bentuk yang bulat
mempunyai mampu alir yang baik (Klar, 1983).
d. Mampu Tekan
Mampu tekan serbuk merupakan perbandingan volume serbuk mula-mula
dengan volume benda yang ditekan, yang nilainya berbeda-beda dengan
tergantung distribusi ukuran serbuk dan bentuk butirnya. Seperti halnya
mampu alir, besarnya mampu tekan serbuk juga dipengaruhi oleh gesekan
rendah bila serbuk yang dikompaksi memiliki bentuk yang lebih teratur
dan lebih halus sehingga akan menghasilkan densitas bulk yang lebih
tinggi (Klar, 1983).
2.4.2 Pencampuran
Karakteristik serbuk mempunyai peranan penting dalam tercapainya hasil
campuran yang seragam. Semakin tinggi gesekan partikel akan menyebabkan
sulitnya proses pencampuran serbuk. Volume serbuk akan meningkat oleh
beberapa faktor diantaranya ukuran partikel yang makin kecil, bentuk partikel
tidak beraturan, koefisien gesek partikel yang makin tinggi. Partikel yang besar
akan lebihy mudah untuk mengalami segregasi (pemisahan). Salah satu kendala
dalam proses pencampuran adalah jika serbuk yang akan dicampur memiliki
densitas yang akan berbeda sehingga sulit untuk mendapatkan hasil campuran
yang seragam. Serbuk yang memiliki densitas lebih kecil akan terakumulasi di
atas serbuk yang densitasnya lebih tinggi sehingga terjadi segregasi(German R.M,
1991).
2.4.3 Poses kompaksi
Kompaksi mer