• Tidak ada hasil yang ditemukan

Remediasi Pasir Terkontaminasi Dengan Metode Pencucian Kolom Dengan Peningkatan Surfaktan Berbahan Baku Sodium Dodecyl Sulphate (SDS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Remediasi Pasir Terkontaminasi Dengan Metode Pencucian Kolom Dengan Peningkatan Surfaktan Berbahan Baku Sodium Dodecyl Sulphate (SDS)"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN A

DATA HASIL PENELITIAN

L. A. 1 PROSES PENCUCIAN ADSORBEN PASIR PUTIH Tabel A.1 Data Proses Pencucian Adsorben Pasir Putih

Pencucian pH

L. A. 2 PROSES PENGERINGAN ADSORBEN PASIR PUTIH Tabel A.2 Data Proses Pengeringan Pasir Putih

Waktu

(2)
(3)

3

16 0,5684 12,0500

20 0,4543 12,0778

(4)

LAMPIRAN B

CONTOH PERHITUNGAN

B.1 Pembuatan Larutan (Stock Solution)

Contoh pembuatan larutan multi-sistem dari (Cd(CH3COO)2.2H2O) dengan kondisi sebagai berikut :

Konsentrasi Cd(II) : 50 ppm

Volume : 5 liter

Mr. Cd(CH3COO)2.2H2O : 266.529 g/mol

Ar. Cd : 112.411 g/mol

Untuk membuat larutan Cd(II) 50 ppm maka diperlukan massa masing-masing senyawa sebesar :

Massa Cd (50 mg/L), m = 50 mg/L x 5 Liter m = 250 mg

Massa Cd(CH3COO)2.2H2O yang diperlukan,

m2 = 592,755 mg m2 = 0,593 g

(5)

B.2 Perhitungan Kapasitas Adsorpsi

Untuk pH 4,5 dan konsentrasi larutan 50 ppm (Konsentrasi Cd aktual, C0 = 49,2983 mg/L), pada waktu t = 24 jam diperoleh konsentrasi Ct = 11,5166 mg/L dengan volume sampel Cd(II) 50 ppm = 1000 mL dan massa adsorben pasir = 1000g. Sehingga dapat dihitung kapasitas adsorpsi Cd dengan persamaan sebagai berikut :

qt = 37,7817 mg/kg

Kapasitas Cd(II) teradsorpsi di pasir = qt = 37,7817 mg/kg

Maka, Kapasitas Cd(II) teradsorpsi di pasir pada setiap 13 gram sampel(q13) =

= 0,4911 mg

Kapasitas adsorpsi residual, dengan vr = 70ml dan massa sampel 13 gram:

qr =

=

= 0,2034mg

Kapasitas adsorpsi total pasir kontaminasi dengan pengeringan menggunakan oven:

+

= 0,4911 mg+0,2034mg = 0,6945

4.1.1 Perhitungan pore volume pada molom remediasi

Kalibrasi volume pori molom

Kolom diisi dengan aquadest 10 ml dan diukur sebagai Vo. Kolom diisi dengan aquadest setinggi batas kawat dan diukur volumenya sebagai, V batas bawah kolom (Vb) = 1 ml.

(6)

Gambar 4.4 Ilustrasi Perhitungan Pore Volume

A. Perhitungan monsentrasi SDS(cmc)

CMC SDS = 8,2 mmol

Berat molekul SDS = 288,372

1 cmc SDS =

Maka 1 cmc SDS adalah sebesar : 2,364 gr/L Jika 0,5 x cmc = 0,5 x 2,364= 1,182 gr/L 2x cmc = 2 x 2,364 = 4,728 gr/ L

B. Perhitungan persen removal efisiensi - remediasi

1. Konsentrasi aktual hasil analisa AAS Cd(II) yang berhasil ter-remove atau terlepas = 1,5666 ppm (1,5666 mg/L)dengan volume sampel yang ditampung = 50 ml maka dapat dihitung kapasitas desorpsi Cd dengan persamaan sebagai berikut :

qr = 0,078330 mg maka, persen removal efisiensi :

vo vi

(7)
(8)

LAMPIRAN C

DOKUMENTASI PERCOBAAN

C.1 Hasil Pencucian Adsorben Pasir Putih

(9)
(10)
(11)

Gambar C.3 Kaliberasi Laju Alir SDS

(12)
(13)

Gambar C.4 Proses Pencucian Adsorben Pasir Putih - Adanya Channeling Effect

(14)
(15)

Gambar C.5 Proses Pencucian Adsorben Pasir Putih - Tanpa Channeling Effect

C.6 Eksperimen

Gambar C.6

Eksperimen

(16)
(17)

DAFTAR PUSTAKA

[1] Y. Hala “Kajian Mekanisme Penjerapan Ion ni2+, cu2+, zn2+, cd2+, dan pb2+ pada Nannochloropsis Salina dalam Medium Conwy.” Disertasi,Sekolah Doktorali Universitas Hassanudin, Makassar, 2013,hal. 6.

[2] Patut Surbakti, 2013. “Analisis Logam Berat cadmium (cd), cuprum (cu), cromium (cr), ferrum (fe), nikel (ni), zinkum (zn) pada Sedimen Muara Sungai Asahan di

Tanjung Balai dengan Metode Spektrofotometri Serapan atom (SSA).”Tesis, Sekolah Magister i Universitas Sumatera Utara, 2011, hal. 6.

[3] C.N.N Muligan, R.N.Yong, dan B.F.Gibbs “Remediation Technologies for Metal-Contaminated Soils and Groundwater : an evaluation.”Jurnal engineering geology (2001) vol.60 . department of building, civil and environmental engineering, concordia university, quebec, canada.

[4] Bode Haryanto and Chien-Hsiang Chang, “Removing Adsorbed Heavy Metal Ions from Sand Surfaces via Appying Interfacial Properties of Rhamnolipid”, Journal of Oleo Science Aaaaaa00(2015) 1-8.

[5] Xuhui Mao et al.,. Use of Surfactants for the Remediation of Contaminated soils.” Journal of Hazardous Materials (2014). School of Resource and Environmental Science, Wuhan University, Wuhan 430072, China, hal. 6

[6] Widaningrum, Miskiyah dan Suismono. “Bahaya Kontaminasi Logam Berat dalam Sayuran dan Alternatif Pencegahan Cemarannya.” Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian Vol. 3 2007 (2013)

[7] Rochyatun, E dan Rozak, A. “Pemantauan Kadar Logam Berat Dalam Sedimen Di Perairan Teluk Jakarta”. Jurnal Makara Sains (2007). Vol. 11 No. 1 April 2007i 28-36.

(18)

[9] Hasrianti, “Adsorpsi Ion Cd2+ dan Cr2+ pada Limbah Cair menggunakan Kulit Singkong”, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin. Makassar, 2012. [10] Palar, H. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta (2008)i Jakarta. [11] Lahuddin. “Aspek Unsur Mikro dalam Kesuburan Tanah.” Pidato Pengukuhan

Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Kesuburan Tanah (2007).Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara

[12] Widowati, W., dkk. “Efek Toksik Logam (2008)”. Yogyakartai Penerbit Andi. Hal. 109- 110, 119-120, 125-126.

[13] Lenny Sri Nopriani. “Teknik Uji Cepat untuk Identifikasi Pencemaran Logam Berat Tanah di Lahan Apel Batu.” Disertasi, Program Doktoral,Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya 2011. hal.12

[14] Julhim S. Tangio. “Adsorpsi Logam Timbal (Pb) Dengan Menggunakan Biomassa Enceng Gondok (Eichhorniacrassipes).” Jurnal Entropi, Volume VIII, Nomor 1, Inovasi Penelitian, Pendidikan dan Pembelajaran Sains, Pendidikan Kimia, FMIPA Universitas Negeri Gorontalo, 2013.

[15] Endang Widjajanti Laksono. “Analisis Daya Adsorpsi Suatu Adsorben.”Makalah PPM (2002)., Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA Univ. Negeri Yogyakarta.

[16] Reynold, T. D, “Unit Operations and Process in Environmental

Engineering”,(Californiai Brooks/ Cole Engineering Division Monterey, 1982). [17] Khasanah, “ Adsorpsi Logam Berat. Oseana”, (Jakartai Pewarta Oseanaa, 2009). [18] Castellan, G. W., 1982. Physical Chemistry, Second Edition. McGraw Hill, New

York.

[19] Oscik, J, “Adsorbtion, Edition Cooper”, (New Yorki John Wiley and Sons, 1991). [20] Adamson, A.W, “Physical Chemistry of Surface”, 5th ed. (New Yorki John Wiley

and Sons,1990).

[21] Elliott, H.A, Liberati, M.R, and Huang, C.P, “Competitive Adsorption oh Heavy Metal by Soils”. Journal of Enviromental Quality. 15, (1986), hal 214-219. [22] Mukesh K. Raikwar,et al., “Toxic Effect of Heavy Metals in Livestock Health.

(19)

[23] Elham Farouk Mohamed. “Removal of Organic Compounds form Water by Adsorption and Photocatalytic Oxidation. Institut National Polytechnique de Toulouse (INP Toulouse) ( 2011).

[24] Reza Ansari*, Ali Mohammad-khah and Mansoureh Nazmi, “Application of chemically modified beach sand as low cost efficient adsorbent for dye removal”, Current Chemistry Letters 2 (2013) 215–223.

[25] Dr. Kamar Shah Ariffin (2004)” What is Silica?” Makalah Mineral Perindustrian -EBS 425 .

[26]Dr. Ed McCoy “Golf Course Soil and Water Science” Ohio State University (2011) . [24] Reza Ansari*, Ali Mohammad-khah and Mansoureh Nazmi, “Application of

chemically modified beach sand as low cost efficient adsorbent for dye removal”, Current Chemistry Letters 2 (2013) 215–223.

[25] Bode Haryanto, Jo-Shu Chang and Chien-Hsiang Chang, “Application of

Biosurfactant Surfactin on Coper Ion Removal from Sand Surfaces with Continuous

Flushing Technique”, Carl Hanser Publisher, Munich (2014) 1-5.

[26] Bode Haryanto and Chien-Hsiang Chang, “Foam-Enhanced Removal of Adsorbed Metal Ions from Packed Sands with Biosurfactant Solution Flushing”, Journal of The Taiwan Institute Of Chemical Engineers (2014) 2170-2175.

[27] Hao Wang, Jiajun Chen, “Enhanced Flushing of Polychlorinated Biphenyls Contaminated Sands Using Surfactant Foam: Effect of Partition Coefficient and

Sweep Efficiency”, Journal of Environmental Sciences 2012, 24(7) 1270–1277.

[28] Anhua Long a,b, Hui Zhang a,, Yang Lei a “Surfactant Flushing Remediation of

Toluene Contaminated soil: Optimization with Response Surface Methodology

(20)

[29] Catherine N. Mulligan , Suiling Wang “Remediation of a Heavy

Metal-Contaminated Soil by a Rhamnolipid Foam” Engineering Geology 85 (2006) 75– 81.

[30] Guangping Fan a,b, Long Cang a, Guodong Fang a, Dongmei Zhou a,⇑ “Surfactant

and Oxidant Enhanced Electrokinetic Remediation of a PCBs Polluted Soil”, Separation and Purification Technology 123 (2014) 106–113.

[31] Venkatesh Chaturvedi, Ashok Kumar” Toxicity of Sodium Dodecyl Sulfate in Fishes and Animals. A Review ” Volumei Ii Issue-2 (2010) School of

Biotechnology, Banaras Hindu University, Varanasi-221 005.

[32] CIR publication (1983). "Final Report on the Safety Assessment of Sodium Lauryl Sulfate and Ammonium Lauryl Sulfate". International Journal of Toxicology.

[33] Marrakchi S, Maibach HI (2006). "Sodium lauryl sulfate-induced irritation in the human face: regional and age-related differences". Skin Pharmacol Physiol.

[34] Dr. Meenu Mangal1*, Dr. Mala Agarwal2 and Davika Bhargava3 ” Effect of Cadmium and Zinc on growth and Biochemical Parameters of Selected Vegetables.” Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry Vol. 2 No. 1 2013

[35] A. Da˛browski “Adsorption _ from theory to practice” Advances in Colloid and Interface Science 93 Ž (2001). 135-224

[36] Mulligan, Catherine N. 2004. Environmental Applications for Biosurfactants. Department Building, Civil and Environmental Engineering, Concordia University, Canada.

(21)

BABBIII

METODOLOMIBPENELITIAN

3.1 LOKASIBDANBWAKTUBPENELITIAN

Penelitian dilakukan di Laboratorium Proses Industri Kimia dan Laboratorium

Operasi Teknik Kimia, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas

Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan selama lebih kurang 3 bulan.

3.2 BAHAN

Pada penelitian ini bahan yang digunakan antara lain:

1. SDS

2. Pasir putih terkontaminasi ion logam Cd

3. Aquades

plastik, shaker, saringan mesh 20, pH meter, gelas ukur, beaker glass 1 Liter, corong,

erlenmeyer, neraca analitik, cawan, termometer, pipet tetes, cutter, statif dan klem.

Atomic Adsorption Spectroscopy (AAS) adalah alat analisa yang berfungsi untuk

mengukur kandungan logam dan Peristaltic pump digunakan sebagai pengatur laju

alir pada kolom pencuci.

B3.4BBBProsedurBPenelitian

3.4.1BProsedurBPreparasiBPasirB(Adsorben)

a. PencucianBAdsorbenBPasirB

(22)

2. Setiap 1000 gr pasir putih dicuci dengan 1,2 L air deionisasi sambil

diaduk dengan propeller 100 rpm selama 1 jam

3. Effluent cucian dibuang dan ditambahkan air pencuci baru. Dilakukan

sebanyak 3-4 kali sampai pH air pencuci sama dengan pH effluent

Gambar 3.1 Flowchart Persiapan Adsorben Pasir Putih

b. PengeringanBAdsorbenBPasirB

1. Oven dinyalakan dan ditunggu hingga mencapai suhu 55oC [15]

2. Pasir putih yang telah dicuci yang masih basah ditimbang dan dicatat

massanya lalu diletakkan dan diratakan diatas tray oven dialasi

aluminium foil.

3. Setiap 20 menit waktu pengeringan, pasir putih yang dialasi aluminium

foil ditimbang sampai massanya konstan.

4. Dibiarkan hingga suhu kamar.

5. Kemudian pasir putih diayak dengan ayakan berukuran 20 mesh. Selesai

Mulai

Setiap 1000 gr pasir putih dicuci dengan 1,2 L air deionisasi sambil diaduk

dengan propeller 100 rpm selama 1 jam

Pasir putih diperoleh dari Pantai Wisata di Kecamatan Pantai Cermin,

Kabupaten Serdang Berdagai, Sumatera Utara, Indonesia.

Effluent cucian dibuang dan ditambahkan air pencuci baru dan diaduk

kembali. Dilakukan sebanyak 3-4 kali sampai pH air pencuci sama dengan

(23)

Gambar 3.2 Flowchart Pengeringan Adsorben Pasir Putih

c. ProsedurBPembuatanBLarutan

Larutan yang perlu disediakan yaitu larutan asam serta larutan basa yaitu

larutan 0,1 M HCl 3 Liter dan 0,1 M NaOH 3 Liter. Kedua larutan tersebut

digunakan sebagai pelarut logam yang pH-nya 4,5 sebanyak 5 L dari larutan logam

Cd2+ dengan konsentrasi 50 ppm dari senyawa Cd(CH

3COO)2.2H2O.

PembuatanBLarutanBPengontrolBpHB:BHClB0,1BMB(1BL)

1. Larutan HCl 37% dipipet sebanyak 8,36 mL

2. Larutan dimasukkan ke dalam beaker glass 1000 mL

3. Larutan diencerkan dengan aquadest sampai batas 1000 mL Selesai

Kemudian pasir putih diayak dengan ayakan berukuran 20 mesh

Setiap 20 menit waktu pengeringan, pasir putih yang dialasi

aluminium foil ditimbang sampai massanya konstan.

Mulai

Oven dinyalakan dan ditunggu hingga mencapai suhu 55°C

Ditimbang dan dicatat massanya lalu diletakkan diatas tray

oven dan dikeringkan.

(24)

Gambar 3.3 Flowchart Pembuatan Larutan HCl 0,1 M

d. PembuatanBLarutanBPengontrolBpH:BNaOHB0,1BMB(1BL)

1. Padatan NaOH ditimbang sebanyak 4gr

2. Padatan NaOH dimasukkan ke dalam beaker glass 1000 mL

3. Padatan NaOH diencerkan dengan aquadest sampai batas 1000 mL

Gambar 3.4 Flowchart Pembuatan Larutan NaOH 0,1 M

e. PembuatanBLarutanBPelarutBdenganBpHB4,5

1. Aquadest sebanyak 5 L dimasukkan ke dalam botol steril

2. Kemudian ke dalam aquadest ditambahkan HCl dan NaOH hingga pH

larutan 4,5

Mulai

Larutan HCl 37% dipipet sebanyak 8,36 mL

Selesai

Larutan dimasukkan ke dalam beaker glass 1000 mL

Larutan diencerkan dengan aquadest sampai batas 1000 mL

Mulai

Padatan NaOH ditimbang sebanyak 4gr

Selesai

Padatan NaOH dimasukkan ke dalam beaker glass 1000 mL

(25)

Gambar 3.5 Flowchart Pembuatan Larutan Pelarut

f. BPembuatanBLarutanBCd2+

B50Bppm

1. Larutan pelarut ber-pH 4,5 diambil sebanyak 2,5 L

2. Kemudian larutan dimasukkan ke dalam botol steril

3. Kemudian larutan ditambahkan padatan Cd(CH3COO)2.2H2Osebanyak

125 mg

4. Campuran diaduk rata hingga padatan melarut

5. Diambi; 50 ml larutan untuk dianalisa dengan AAS untuk

mengkonfirmasi kandungan (ppm) Cd2+BBpada larutan

Mulai

Aquadest sebanyak 5 L dimasukkan ke dalam botol steril

Selesai

Kemudian ke dalam aquadest ditambahkan HCl dan NaOH

(26)

Gambar 3.6 Flowchart Pembuatan Larutan Standar Cd2+ (50 ppm)

g. MengukurBPengaruhBKonsentrasiBIonBLogamBTerhadapBKemampuan

Adsorpsi

1. Larutan Cd2+ 50 ppm sebanyak 100 ml diambil dari botol 2,5 L lalu

dimasukkan kedalam tiap 10 erlenmeyer.

2. Kemudian 100 gram adsorben pasir putih dengan ukuran adsorben

tertentu ditambahkan kedalam masing-masing 10 erlenmeyer larutan.

3. Kemudian campuran diaduk dengan shaker dengan kecepatan

pengadukan 100 rpm pada suhu kamar selama 2 jam.

4. Kemudian didiamkan tanpa pengadukan 24 jam untuk mencapai

kesetimbangan adsorpsi Cd(CH3COO)2.2H2Oterhadap pasir.

5. Seluruh pasir dan larutan diakumulasikan 1000 gram pasir 1000 L

larutan untuk menyeragamkan konsentrasi Cd.

6. Lalu 50 mL sampel diambil untuk dianalisis. Selesai

50 ml larutan dianalisa dengan AAS untuk

mengkonfirmasi kandungan (ppm) Cd2+

Kemudian larutan dimasukkan ke dalam botol steril

(27)

7. Konsentrasi ion Cd2+ pada larutan setelah adsorpsi dianalisis dengan

Atomic Adsorption Spectroscopy (AAS).

8. Kemudian diambil cairan 900ml.

9. Kemudian dikeringkan di dalam oven.

10. Lalu dihitung konsentrasi(ppm) Cd2+ yang terdapat pada pasir :

[2]

qr = jumlah ion logam yang teradsorpsi (mg/g)

C0 = konsentrasi ion logam sebelum teradsorpsi (mg/L)

Ce = konsentrasi ion logam setelah adsorpsi (mg/L)

V = volume larutan ion logam (L)

(28)

Gambar 3.7 Flowchart Mengukur Pengaruh Konsentrasi Ion Logam Terhadap Kemampuan AdsorpsiBBBBBBBBBBBB

BBBB

Mulai

Larutan Cd2+ 50 ppm sebanyak 1000 ml diambil dari botol 2,5 L lalu

dimasukkan kedalam tiap 1erlenmeyer

Kemudian campuran diaduk dengan shaker dengan kecepatan

pengadukan 100 rpm pada suhu kamar selama 2 jam

Kemudian 100 gram adsorben pasir putih dengan ukuran

adsorben tertentu ditambahkan ke dalam masing-masing 10

erlenmeyer larutan

Kemudian didiamkan tanpa pengadukan 24 jam

Konsentrasi ion Cd2+ setelah adsorpsi dianalisa dengan

Atomic Adsorption Spectroscopy (AAS)

Lalu nilai qr dihitung

Selesai

Lalu 50 mL sampel diambil untuk dianalisis Seluruh pasir dan larutan diakumulasikan 1000 gram dan 1000

L untuk menyeragamkan konsentrasi Cd.

Diambil cairan 900 ml

(29)

h. BProsedurBPengukuranBPoreBVolume

1. Kolom diisi dengan aquadest 10 ml dan diukur sebagai Vo. Kolom diisi

dengan aquadest setinggi batas kawat dan diukur volumenya sebagai, V

batas bawah kolom (Vb) = 1 ml.

2. Kolom diisi dengan 13 gr pasir, kemudian ditambahkan aquadest

sebanyak 7ml sampai semua pasir terbasahi, volumenya diukur sebagai

volume isian (Vi). Maka didapat volume pada setiap pori pasir (volume

pore pasir = Vp)

Vp (pore volume) = Vo-Vi – Vb

Gambar 3.8 Flowchart Mengukur Pore Volume

3.4.2 MengukurBRemovalBEfisiensiBterhadapBVariasiBKonsentrasi SDS

1. Sampel Pasir yang terkontaminasi Cd2+ sebanyak 13 gr dimasukkan

kedalam kolom pencuci

2. Kemudian dicuci dengan 0,5 cmc surfaktan dengan pengontrolan laju alir Mulai

Selesai

Kolom diisi dengan aquadest 10 ml dan dukur sebagai V

o.

Kolom diisi dengan aquadest setinggi batas kawat dan diukur

volumenya sebagai, V batas bawah kolom (V

b) = 1 ml.

Diukur vol Maka didapat volume pada setiap pori pasir

= V

p (pore volume) = Vo-Vi – Vb

V

p (pore volume) = Vo-Vi – Vb

Kolom diisi dengan 13 gr pasir, kemudian ditambahkan aquadest

sebanyak 7ml sampai semua pasir terbasahi, volumenya diukur sebagai volume isian (V

(30)

4. Lalu sampel diambil hingga 24 pore volume

5. Konsentrasi ion Cd2+ pada effluent dianalisa dengan Atomic Adsorption

Spectroscopy (AAS).

6. Lalu nilai Removal Efisiensi(RE)dihitung

%RE = Persentasi penghapusan logam (%)

qr = Kapasitas adsorpsi ion Cd (II) pada setiap 13 gr pasir (gr/L)

qt = Kapasitas desorpsi ion Cd (II) pada masing-masing variasi (gr/L)

7. Kemudian percobaan diulang untuk variasi Konsentrasi SDS(0; 1; 2; 5

cmc)

(31)

Gambar 3.9 Flowchart Mengukur Removal Efisiensi terhadap Variasi

Konsentrasi SDS

3.4.3 B Mengukur B Akumulasi B Removal B Efisiensi B terhadap B Variasi LajuBAlirBSDS

1. Sampel Pasir yang terkontaminasi Cd2+ sebanyak 13 gr dimasukkan

kedalam kolom pencuci

2. Kemudian 2 cmc surfaktan dialirkan dengan pengontrolan variasi laju Mulai

Sampel Pasir yang terkontaminasi Cd2+ sebanyak 13 gr dimasukkan

kedalam kolom pencuci

Kemudian effluent surfaktan ditampung pada beaker glass Kemudian dicuci dengan 0,5 cmc surfaktan dengan pengontrolan

laju alir 2ml/menit kedalam larutan.

Lalu sampel diambil hingga 24 PV

Konsentrasi ion Cd2+ pada effluent dianalisa dengan Atomic

(32)

4. Lalu sampel diambil hingga 24 pore volume.

5. Konsentrasi ion Cd2+ pada effluent setelah dianalisa dengan Atomic

Adsorption Spectroscopy (AAS)

6. Lalu nilai Removal Efisiensi(RE) dihitung

[2]

7. Kemudian percobaan diulang untuk variasi Laju Alir SDS.

8. Percobaan dilakukan 2 kali.

Sampel Pasir yang terkontaminasi Cd2+ sebanyak 13 gr dimasukkan

kedalam kolom pencuci

Lalu sampel diambil hingga 24 pore volume. Kemudian 2 cmc surfaktan dialirkan dengan pengontrolan laju

alir 2ml/menit ditambahkan kedalam larutan

Konsentrasi ion Cd2+ pada effluent dianalisa dengan Atomic

Adsorption Spectroscopy (AAS)

(33)

Gambar 3.10 Flowchart Mengukur Removal Efisiensi terhadap Laju Alir

SDS

3.4.4 BMenghitungBEfisiensiBterhadapBKinetikaBPengambianBSampelBSetiapB4 PoreBVolume

1. Sampel Pasir yang terkontaminasi Cd2+ sebanyak 13 gr dimasukkan kedalam

kolom pencuci.

2. Kemudian 2 cmc surfaktan dialirkan dengan pengontrolan laju alir 2ml/menit

ditambahkan ke dalam larutan.

3. Kemudian effluent surfaktan ditampung pada beaker glass.

4. Lalu sampel diambil setiap 4 pore volume hingga 24 pore volume

5. Konsentrasi ion Cd2+ pada effluent setelah dianalisa dengan Atomic

Adsorption Spectroscopy (AAS)

6. Lalu nilai Removal Efisiensi(RE) dihitung

[2]

%RE = Persentasi penghapusan logam (%)

qr = Kapasitas adsorpsi ion Cd (II) pada setiap 13 gr pasir (gr/L)

(34)

Gambar 3.11 Flowchart Menghitung Efisiensi terhadap Kinetika Pengambian Sampel Setiap 4 Pore Volume

3.5 B Rangkaian B Peralatan BRemediasi B Pasir B Terkontaminasi B dengan B Metode

Kolom

Kemudian effluent surfaktan ditampung pada beaker glass Kemudian dicuci dengan 2 cmc surfaktan dengan pengontrolan

laju alir 2ml/menit kedalam larutan.

Lalu sampel diambil setiap 4 pore volume hingga 24 PV

Konsentrasi ion Cd2+ pada effluent dianalisa dengan Atomic

Adsorption Spectroscopy (AAS)

Selesai

(35)

Gambar 3.12 Rangkaian Peralatan Remediasi Pasir Terkontaminasi dengan Metode

Kolom

Keterangan Gambar:

Sejumlah surfaktan X cmc dipompakan dengan pompa peristaltik dengan laju

alir X ml/menit ke kolom pasir yang berisi pasir terkontaminasi. Kemudian effluent

hasil cucian ditampung dan dianalisa dengan AAS untuk meninjau seberapa banyak

logam Cd2+ yang tersisihkan dan kemampuan surfaktan dalam menyisihkan logam

(36)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pretreatment Adsorben Pasir Putih

Penelitian ini menggunakan pasir putih sebagai penjerap (adsorben)

diperoleh dari pantai wisata di Kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Serdang

Bedagai. Pasir putih terlebih dahulu dikeringkan di bawah sinar matahari dan

dipisahkan menurut ukuran (mesh) 40 mesh. Setelah kering, pasir putih dicuci

dengan aquadest dan dibilas sampai bersih.

Tujuan dari proses pencucian adsorben pasir putih adalah untuk

menghilangkan mineral-mineral garam serta kontaminan yang masih melekat

pada pasir putih tersebut. Indikator pencucian adalah apabila telah mendapatkan

pH air cucian sama dengan pH aquadest sebelum digunakan untuk mencuci.

Gambar 4.1 Proses Pencucian Adsorben Pasir Putih

Gambar 4.1 menunjukkan kondisi konstan pH terhadap banyaknya

pencucian. Dari proses pencucian diperoleh bahwa untuk dapat menghilangkan

kandungan mineral-mineral garam dan kotoran-kotaran yang ada pada pasir putih

dibutuhkan 7 kali pencucian sampai pH pencucian menjadi konstan yaitu 6,9. pH

(37)

Gambar 4.2 Pengeringan Adsorben Pasir Putih

Setelah proses pencucian selesai, pasir putih yang telah dipisahkan menurut

ukurannya dikeringkan di dalam oven dengan kondisi operasi pada suhu 60oC. Menurut Revlisia, 2012, pengeringan adalah proses pemindahan panas dan uap air

secara simultan, yang memerlukan energi untuk menguapkan kandungan air yang

dipindahkan dari permukaan bahan. Pengeringan juga disebut dengan

penghidratan atau penghilangan sebagian atau keseluruhan uap air dari suatu

bahan sampai pada tingkat kadar air tertentu. Dari proses pengeringan diperoleh

hasil untuk sampel dengan ukuran 40 mesh yang membutuhkan waktu

pengeringan selama 4 jam.

4.2 Penentuan Kapasitas Adsorpsi.

Ukuran adsorben yang ada pada penelitian ini adalah 40 mesh. Proses

adsorpsi berlangsung selama 2 jam pengadukan dan didiamkan selama 24 jam

pada sistem batch. Tujuan penentuan kapasitas adsorpsi untuk mengetahui

besarnya penjerapan ion logam Cd2+ oleh adsorben pasir putih dengan ukuran 40 mesh.

(38)

+

[25] (4.1)

Keterangan :

qe = massa logam teradsorpsi pada kesetimbangan (mg/g) qt = massa logam teradsorpsi pada waktu t (mg/g)

C0 = konsentrasi awal logam (mg/L)

Ce = konsentrasi logam kesetimbangan (mg/L) V = volume larutan (L)

Vr = volume residu larutan pada pasir (L)

w = massa adsorben (g)

.

Dari hasil analisa di atas dapat dilihat bahwa saat ukuran adsorben 40 mesh

memiliki kapasitas adsorpsi pada waktu 2 jam pengadukan dan 24 jam waktu

adsorpsi yaitu sebesar 0,694602 pada setiap 13 gram sampelnya serta persentase

adsorpsi 23,36%.

Pasir di Indonesia memiliki luas permukaan yang cukup besar. Hal ini dapat

dilihat dari hasil analisa penentuan besarnya luas permukaan pasir putih yang

dilakukan di Laboratorium Analisa Instrumental, PT. Indonesia Asahan

Aluminium (PT. INALUM), diperoleh bahwa luas permukaan spesifik dari

adsorben pasir putih adalah sebesar 0,622 m2/gram. Luas permukaan pasir putih di Indonesia lebih besar daripada luas permukaan pasir putih yang terdapat di negara

lain. Hal ini dapat dilihat dari luas permukaan spesifik pasir di Taiwan yang

diperoleh Haryanto (2015), sebesar 0,17 m2/gram.

Tabel 4.1 Konfirmasi Data Analisa BET Pasir Indonesia

Pasir Analisa AAS (ppm) Analisa BET (m2/gr) Sebelum Terkontaminasi 0 0,6220

Setelah Terkontaminasi 37,718 0,368

Tabel 4.1 menunjukkan adanya Cd (II) yang teradsorpsi dengan didukung

oleh konfirmasi analisa BET (Brunaeur Emmet Teller). Dimana terjadi perubahan

luas permukaan antara pasir sebelum terkontaminasi Cd (II) dan sesudah

(39)

Keberadaan atau adsorpsi Cd (II) pada pasir juga dikonfirmasi dengan data

analisa FTIR (Fourier Transform Infrared) :

`

(40)

Gambar 4.3 (b) konfirmasi analisa FTIR pasir sesudah terkontaminasi

Adanya perubahan gugus fungsi pada permukaan pasir sebelum dan sesudah

terkontaminasi ditunjukkan pada gambar 4.3 (a) dan (b). Hal ini didukung oleh

konfirmasi analisa FTIR pasir dan tabel FTIR oleh Skoog, Hooler dan Nieaman

bahwa ikatan kuat dan kompleks terjadi pada skala gugus 500-1000. Dari hasil

konfirmasi analisa ini menunjukkan adanya perubahan panjang gelombang gugus

pada skala 500-1000. Hal ini membuktikan bahwa terdapat ion Cd(II) pada pasir

(41)

4.3 Penentuan Pore Volume, Loading Time dan Channeling Effect

4.3.1 Perhitungan pore volume pada kolom remediasi

Kalibrasi volume pori kolom

Kolom diisi dengan aquadest 10 ml dan diukur sebagai Vo. Kolom diisi

dengan aquadest setinggi batas kawat dan diukur volumenya sebagai, V batas

bawah kolom (Vb) = 1 ml.

Kolom diisi dengan 13 gr pasir, kemudian ditambahkan aquadest sebanyak

7ml sampai semua pasir terbasahi, volumenya diukur sebagai volume isian (Vi).

Maka didapat volume pada setiap pori pasir (volume pore pasir = Vp) Vp(pore volume) = Vo-Vi– Vb

= 10 ml – 7 ml – 1 ml = 2ml

Gambar 4.4 Ilustrasi Perhitungan Pore Volume vo vi

(42)

4.3.2 Loading time

Loading Time atau T loading adalah waktu yang diperlukan SDS untuk

menembus pori pasir keluar kolom pencuci.

Gambar 4.5 Pengaruh Konsentrasi SDS dan laju alir SDS 4ml/menit terhadap

Loading Time

Dari Gambar 4.5 dapat dilihat pengaruh konsentrasi SDS terhadap laju alir

SDS 4 ml/menit dan diperoleh hasil perbandingan antara pencucian dengan air (0

cmc) dan pencucian menggunakan surfaktan. Pengaruh dari sifat permukaan

surfaktan yang dapat menurunkan tegangan permukaan air sampai 29 nm/m

memiliki loading time yang lebih singkat dibandingkan dengan air yang

mempunyai tegangan permukaan 72 nm/m.

Larutan surfaktan dengan konsentrasi misell 5x cmc cenderung langsung

mengalir keluar tanpa berinteraksi dengan permukaan pasir yang kemudian

menghasilkan channelling effect. Molekul air yang mungkin membasahi

permukaan pasir kemudian berinteraksi dengan komponen kimia pada permukaan

pasir cenderung akan menghambat loading time [26].

Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa semakin besar loading time maka

semakin banyak ion Cd (II) yang ter-remove atau tercuci. Hal ini disebabkan

semakin besar juga waktu kontak antara ion Cd (II) dan SDS berinteraksi. Hal ini

(43)

4.3.3 Channeling Effect

Adanya channeling effect pada aliran larutan pencuci pada medium pasir

yang dimampatkan pada kolom pencuci menyebabkan rendahnya area kontak

antara larutan pencuci dan permukaan pasir. Akibatnya, kelompok misel hanya

dapat berinteraksi dengan beberapa ion Cd (II) yang teradsorpsi dan

menghasilkan persentasi removal atau persentasi pencucian yang kecil [25].

4.4 Penentuan Removal Efisiensi Cd2+ dengan Variasi Konsentrasi Surfaktan (SDS)

Data Removal Efisiensi pada variasi konsentrasi Variasi Konsentrasi

Surfaktan (SDS) dapat dilihat pada Tabel A.4 (Lampiran A) dan pada Gambar 4.6

dan 4.7

Gambar 4.6 Nilai Removal Efisiensi dengan Variasi Konsentrasi Surfaktan

(44)

Gambar 4.7 Nilai Removal Efisiensi dengan Variasi Konsentrasi Surfaktan (SDS)

Gambar 4.6 dan 4.7 merupakan grafik hubungan removal efisiensi terhadap

konsentrasi larutan SDS. Pada konsentrasi larutan Cd2+ 50 ppm pada saat, t0 = 0 menit dan ts= 2 jam hingga tads = 24 jam memiliki kapasitas Cd(II) teradsorpsi di pasir = qt = 37, 7817 mg/kg.

Untuk Kapasitas Cd (II) teradsorpsi di pasir pada setiap 13 gram sampel

(q13)= 0,4911 mg. Kapasitas Cd (II) teradsorpsi residu pada setiap 13 gr sampel = 0,2034 mg. Maka, Kapasitas adsorpsi total pasir kontaminasi pada setiap 13 gram

pasir dengan pengeringan menggunakan oven:

+

= 0,4911 mg + 0,2034mg

= 0,6945

Dengan kapasitas total adsorpsi pada setiap 13 gram pasir yang dicuci

tersebut maka diperoleh hasil pencucian untuk setiap variasi laju alir dan

konsentrasi SDS tertentu. Data removal efisiensi logam Cd (II) pada pasir putih

dengan variasi Konsentrasi SDS dapat dilihat pada Tabel A.5 (Lampiran A).

Dari hasil analisa di atas dapat dilihat pengaruh konsentrasi SDS dan laju

(45)

pencucian dengan air dan pencucian menggunakan surfaktan. Dapat dilihat bahwa

pencucian dengan air (0cmc) dengan peningkatan laju air SDS juga meningkatkan

removal efisiensi.

Pada saat 0,5 cmc diperoleh data yang fluktuatif. Hal ini disebabkan adanya

penambahan jumlah molekul SDS pada permukaan air sehingga mengakibatkan

interaksi terhadap pasir semakin rendah. Karena kelompok yang mengandung

sulfur dalam molekul SDS, SDS dapat mengikat dengan logam berat dan

memfasilitasi dan menginisiasikan desorpsi logam berat dari tanah [28].

Konsentrasi surfaktan merupakan faktor penting yang mempengaruhi efisiensi

desorpsi cadmium. Sistem kolom biasanya lebih kompleks karena transportasi

kimia meliputi proses fisik dan kimia secara bersamaan [30].

Tetapi pada saat 1 cmc atau misel sudah terbentuk, maka cukup untuk

menambah kemampuannya berinteraksi dengan ion logam pada permukaan pasir.

Ketika molekul surfaktan meningkat, ellipsoidal atau bola misel, konsentrasi

ambang batas surfaktan dimana misel mulai terbentuk disebut konsentrasi kritis

misel (CMC). Interaksi misel dengan permukaan hidrofilik dan lapisan inti

lipofilik dapat dengan mudah mendesorpsi kontaminan dan secara bersamaan

meningkatkan kelarutannya dalam fase air, sehingga lebih meningkatkan desorpsi

kontaminan dari pasir [5].

Pada saat 2 cmc, jumlah misel yang berinteraksi dengan ion logam Cd(II)

bertambah. Sehingga dapat lebih meningkatkan desorpsi ion logam Cd(II)

kontaminan dalam pasir. Tetapi didapat hasil yang fluktuatif terhadap peningkatan

laju alir. Hal ini disebabkan oleh adanya channeling effect yang tidak dapat

dikontrol pada laju alir SDS tertentu. Channeling effect pada aliran larutan

pencuci menyebabkan rendahnya area kontak antara larutan pencuci dan

permukaan pasir. Channeling effect merupakan faktor kunci yang membatasi

tercapainya efisiensi removal atau pencucian dalam teknik pencucian tanpa busa

[26].

Pada saat larutan surfaktan dengan konsentrasi misell 5x cmc jumlah misel

(46)

akan terus bertambah tetapi ukuran mereka akan hampir tetap konstan [36]. SDS

cenderung langsung mengalir keluar tanpa berinteraksi dengan permukaan pasir

yang kemudian menghasilkan channelling effect [25]. Menurut Ramamhurti

(2013), pada saat konsentrasi SDS melewati CMC menunjukkan pelepasan ion

logam yang tidak signifikan.

Menurut Xue Li, dkk (2011), peningkatan surfaktan tidak menyebabkan

peningkatan pengikatan yang efisien terhadap ion logam cadmium karena

fenomena yang terjadi hanya perubahan bentuk misel dan penambahan jumlah

agregat misel. Adanya peningkatan konsentrasi SDS, tolakan kuat terjadi antara

permukaan pasir dan molekul surfaktan karena grup/agregat kepala negatif dari

surfaktan SDS. Oleh karena itu sebelum mencapai CMC, terjadi peningkatan

adsorpsi dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan [36]. Sistem kolom biasanya

lebih kompleks karena transportasi kimia meliputi proses fisik dan kimia terjadi

secara bersamaan.

Molekul air yang mungkin membasahi permukaan pasir kemudian

berinteraksi dengan komponen kimia pada permukaan pasir cenderung akan

menghambat loading time [25]. Channeling effect merupakan faktor kunci yang

membatasi tercapainya efisiensi removal atau pencucian dalam teknik pencucian

tanpa busa [26].

Hasil percobaan di atas menunjukkan bahwa removal efisiensi fluktuatif

terhadap konsentrasi SDS. Hal ini disebabkan adanya Channeling effect pada

aliran larutan pencuci menyebabkan rendahnya area kontak antara larutan pencuci

dan permukaan pasir. Akibatnya, kelompok misel hanya dapat berinteraksi dengan

beberapa ion Cd (II) yang teradsorpsi dan menghasilkan persentasi removal atau

persentasi pencucian yang kecil [25].

Fakta-fakta ini menyatakan bahwa pada pH rendah, SDS memiliki

kapasitas adsorpsi pasir yang tinggi karena sifat asam dari larutan yang membuat

permukaan pasir yang lebih positif dan menyebabkan interaksi permukaan pasir

dengan surfaktan anionik (seperti: SDS) tinggi sehingga kapasitas adsorpsi tinggi.

Dengan peningkatan konsentrasi surfaktan, adsorpsi pada permukaan partikel

(47)

Keberhasilan penerapan remediasi pasir terkontaminasi dengan metode

pencucian surfaktan dipengaruhi oleh dua faktor ilmiah, seperti: potensi molekul

surfaktan berinteraksi dan mendesorpsi ion logam pada permukaan pasir dan

kemampuan surfaktan terdispersi ke target kontaminan pada area pori [5].

Interaksi antara ion logam dan permukaan pasir akan mempengaruhi karakteristik

desorpsi ion logam dalam proses remediasi [4].

(48)

4.5 Penentuan Kinetika Desorpsi

Data kinetika desorpsi logam Cd (II) pada pasir putih pada kumulatif pore

volume pada tiap 4 pore volume dapat dilihat pada Tabel A.5 (Lampiran A) dan

Gambar 4.8.

Gambar 4.9 Data kinetika Removal Efisiensi pada setiap 4 pore volume

Gambar 4.9 menunjukkan bahwa kenaikan removal efisiensi yang signifikan

terjadi 4 pore volume awal sampai 12 pore volume kemudian menurun pada 16

pore volume dan kemudian mencapai konstan. Hal ini disebabkan oleh adanya

channeling effect yang lebih dominan terjadi setelah 12 pore volume, sehingga

menurunkan interaksi antara misel dengan ion logam Cd(II) pada pasir dan

menyebabkan tidak ada lagi logam yang terdesorpsi. Channeling effect pada aliran

larutan pencuci menyebabkan rendahnya area kontak antara larutan pencuci dan

permukaan pasir.

Misel surfaktan yang semakin lama semakin kaku membuat misel lebih sulit

terdispersi di pasir dan berinteraksi dengan ion logam. Hal ini akan menghasilkan

aliran channeling effect yang menyebabkan rendahnya area kontak antara larutan

pencuci dengan permukaan pasir [25]. Sistem kolom biasanya lebih kompleks

(49)

BABBV

KESIMPULANBDANBSARAN

5.1 KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh antara lain sebagai berikut :

1. Dari hasil analisa diperoleh hasil removal logam terbesar terdapat pada

saat konsentrasi SDS 2 cmc sebesar 11,27%. Hasil removal logam

terkecil terdapat pada saat konsentrasi SDS 0,5 cmc sebesar 5,64%.

Konsentrasi surfaktan merupakan faktor penting yang mempengaruhi

efisiensi desorpsi ion logam cadmium.

2. Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa persen removal emisiesi terbesar

terdapat pada saat loading time terbesar yaitu 37s dengan nilai 11,27%.

Semakin besar loading time maka waktu kontak antara ion Cd (II) dan

SDS berinteraksi akan semakin lama.

3. Pada konsenterasi SDS 0,5 cmc memiliki persen removal terkecil yaitu

5,6 % dengan loading time 19s. Adanya channeling emmect yang dominan

pada laju alir larutan SDS tertentu akan menghasilkan loading time yang

juga fluktuatif. Channeling emmect pada aliran larutan pencuci pada kolom

pencuci menyebabkan rendahnya area kontak antara larutan pencuci dan

permukaan pasir.

5.2 SARAN

Adapun saran yang perlu dilakukan penelitian lanjutan seperti:

1. Disarankan untuk penelitian lebih lanjut menggunakan busa (moam) untuk

mendapatkan efisiensi removal yang lebih baik pada proses remediasi/

pencucian.

2. Disarankan untuk terlebih dahulu melakukan studi eksperimental tentang

RTD (Residence Time Distribution) agar tidak terjadi channeling emmect

pada aliran.

3. Disarankan untuk menggunakan jenis surfaktan yang lain untuk

(50)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pencemaran Logam Berat

Pencemaran logam berat di lingkungan merupakan masalah serius karena

kelarutan dan mobilitasnya menimbulkan toksisitas dan ancaman bagi kehidupan

makhluk hidup, termasuk manusia [6]. Logam-logam berat tersebut berasal dari aktifitas

manusia seperti buangan rumah tangga, buangan sisa industri yang tidak terkontrol yang

mengalir ke perairan dan pembakaran hidrokarbon dan batu bara diantaranya ada yang

melepaskan senyawa logam berat ke udara kemudian bercampur dengan air hujan dan

mengalir juga ke perairan. Logam berat merupakan istilah yang digunakan untuk

unsur-unsur transisi yang mempunyai massa jenis atom lebih besar dari 6 g/cm3 . Merkuri

(Hg), timbal (Pb), tembaga (Cu), kadmium (Cd) dan stronsium (Sr) adalah contoh logam

berat yang berupa kontaminan yang berasal dari luar tanah dan sangat diperhatikan

karena berhubungan erat dengan kesehatan manusia, pertanian dan ekotoksikologinya

[7].

Penumpukan logam berbahaya pada tumbuhan juga beresiko pada manusia dan

hewan [8]. Biota air yang hidup dalam perairan tercemar logam berat, dapat

mengakumulasi logam berat tersebut dalam jaringan tubuhnya. Biota air yang hidup

dalam perairan tercemar logam berat, dapat mengakumulasi logam berat tersebut dalam

jaringan tubuhnya. Makin tinggi kandungan logam dalam perairan akan menyebabkan

semakin tinggi pula kandungan logam berat yang terakumulasi dalam tubuh hewan

tersebut [9].

Adapun dampak negatif logam Cd dalam tubuh manusia yaitu dapat menghambat

kerja paru-paru, bahkan mengakibatkan kanker paru-paru, mual, muntah, diare, kram,

anemia, kerusakan ginjal dan hati [10]. Oleh karena itu, logam berat berbahaya ini dapat

mengganggu kehidupan organisme di lingkungan jika keberadaannya melampaui

(51)

Penyebab utama logam berat menjadi bahan pencemar berbahaya yaitu logam

berat tidak dapat dihancurkan (non degradable) oleh organisme hidup di lingkungan dan

terakumulasi ke lingkungan, terutama mengendap di dasar perairan membentuk senyawa

komplek bersama bahan organik dan anorganik secara adsorbsi dan kombinasi [11]

Logam berat berdasarkan sifat racunnya dapat dikelompokkan menjadi empat

golongan [12] yaitu :

a. Sangat beracun, dapat mengakibatkan kematian ataupun gangguan kesehatan

yang pulih dalam waktu yang lama. logam-logam tersebut adalah Hg, Pb, Cd,

Cr dan As.

b. Moderat. yaitu mengakibatkan gangguan kesehatan baik dalam waktu yang

relatif lama. logam-logam tersebut adalah Ba, Be, Cu, Au, Li, Mn, Se, Te, Co

dan Rb.

c. Kurang beracun. logam ini dalam jumlah besar menimbulkan gangguan

kesehatan. logam-logam tersebut adalah Al, Bi, Co, Fe, Ca, Mg, Ni, K, Ag, Ti

dan Zn.

d. Tidak beracun. yaitu tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Logam-logam

tersebut adalah Na, Al, Sr dan Ca.

Logam berat dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok berdasarkan

kegunaannya bagi kesehatan [13], yaitu:

Esensial : Cu, Zn, Co, Cr, Mn dan Fe, logam ini juga disebut mikronutrien

(zat yang diperlukan tubuh tetapi dalam jumlah yang sangat

kecil) dan beracun jika diminum melebihi persyaratan.

Non esensial : Ba dan Zr.

Rendah racun : Sn dan Al.

(52)

2.1.1 Logam Berat Pencemar

a. Kadmium (Cd)

Kadmium murni merupakan logam lembut berwarna perak keputih-putihan.

Ciri-ciri fisik dari kadmium adalah nomor atom 48, atom berat 112.411, elektronegatif 1.5

kristal ionik radius (kepala negara valence) 0,97, potensi ionisasi 8.993, pada keadaan

oksidasi +2, elektron konfigurasi Kr 4d1 5S2, densitas 8,64 g/cm3, titik leleh 320.9 °C

dan titik didih 765 °C pada 100 kPa. Biasanya ditemukan dalam bentuk mineral yang

dikombinasikan dengan unsur-unsur lain seperti oksigen (kadmium oksida), klorin

(kadmium klorida) atau belerang (kadmium sulfat, kadmium sulfida) [14]. Logam

kadmium adalah bahan yang bersifat karsinogen. Organ tubuh yang menjadi sasaran

keracunan Cd adalah ginjal dan hati.

Kadmium lebih mudah diakumulasi oleh tanaman dibandingkan dengan ion

logam berat lainnya seperti timbal. Menurut badan dunia FAO/ WHO, konsumsi per

minggu yang ditoleransikan bagi manusia adalah 400-500 g per orang atau 7 mg per kg

berat badan. Kadmium yang terdapat dalam tubuh manusia sebagian besar diperoleh

melalui makanan olahan, makanan yang berasal dari perairan, pipa air, kopi, teh,

pembakaran batubara dan rokok merupakan sumber Cd yang utama., hanya sejumlah

kecil berasal dari air minum dan polusi udara[15]. Menurut penelitian yang dilakukan

oleh Laegreid (1999) dalam Charlene (2004), pemasukan Cd melalui makanan adalah

10-40 mg/ hari, sedikitnya 50% diserap oleh tubuh.

Penambahan kadmium (Cd) pada tanah terjadi melalui penggunaan pupuk fosfat,

pupuk kandang, dari buangan industri yang menggunakan bahan bakar batubara dan

minyak dan buangan inkineratur (tanur) [16]. Toksisitas Cd ini dipengaruhi karena

adanya interaksi antara Cd dan gugus sulfhidril(-SH) dari protein yang menyebabkan

(53)

Tabel 2.1 Ambang Batas Racun Yang Ditoleransi / Asupan Aman Logam Berat

Logam

Berat Batas Beracun Asupan yang Disarankan / Asupan Aman

Arsen 3 mg/hari selama 2-3 minggu 15 - 25 μg/hari (dewasa)

Kadmium 200 μg/kg berat basah 15 -50 μg/hari dewasa, 2 -25 μg/hari anak

Timbal >= 500 μg/L (Darah) 20 - 280 μg/hari dewasa, 10 - 275 μg/hari anak

Seng 150 μg/hari 15 μg/hari

2.2 Adsorpsi

Adsorpsi (penyerapan) merupakan suatu proses pemisahan dimana komponen

dari suatu fase fluida berpindah ke permukaan zat padat yang menyerap (adsorben).

Biasanya partikel-partikel kecil zat penyerap dilepaskan pada adsorpsi kimia yang

merupakan ikatan kuat antara penyerap dan zat yang diserap sehingga tidak mungkin

terjadi proses yang bolak-balik. Interaksi yang terjadi akan menyebabkan sifat- sifat

logam mengalami modifikasi atau perubahan. Menurut kekuatan interaksinya, ada 2 tipe

adsorpsi yaitu adsorpsi fisik (phisisorpsi) dan adsorpsi kimia (khemisorpsi). Dalam

adsorpsi fisik kekuatan ikatan antara molekul yang diadsorpsi dan permukaan sangat

lemah, atau tipe Van der Waals. Energi yang berasosiasi dengan ikatan tersebut relatif

lemah. Sebaliknya dalam adsorpsi kimia ikatan sangat berperan dan merupakan resultan

dari suatu transfer atau suatu penempatan elektron dalam reaksi antara adsorbat dan

adsorben . Kekuatan ikatan dalam khemisorpsi menjadi lebih penting dibandingkan pada

phisisorpsi. Keadaan molekul dari adsorbat akan berbeda dari keadaan awalnya. Atom

permukaan mempunyai suatu karakter elektronik tidak jenuh dengan kehadiran beberapa

kekosongan (valensi bebas). Pembentukan lapisan sempurna dari molekul yang

diadsorpsi secara kimia memungkinkan menjenuhkan secara sempurna pada daerah

kekosongan.

(54)

yang diadsopsi terurai menjadi molekul lain yang lebih kecil. Sebaliknya dikatakan

adsorpsi molekuler bila molekul yang diadsorpsi tidak mengalami disosiasi [17].

Adsorpsi merupakan metode yang paling umum dipakai karena memiliki konsep yang

lebih sederhana dan juga ekonomis. Proses adsorpsi yang paling berperan adalah

adsorben [18].

2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Adsorpsi

Faktor-faktor yang mempengaruhi mekanisme adsorpsi adalah agitasi,

karakteristik adsorbat, ukuran molekul adsorbat, pH larutan, temperatur dan waktu

kontak [19].

1. Agitasi

Jika agitasi yang terjadi antara partikel karbon dengan cairan relatif kecil,

permukaan film dari liquid sekitar partikel akan menjadi tebal dan difusi film akan

terbatas. Kecepatan pengadukan juga merupakan salah satu faktor penting yang dapat

mempengaruhi kemampuan dan kapasitas adsorpsi dari suatu adsorben. Semakin besar

kecepatan pengadukan, maka akan semakin besar juga konstanta adsorpsinya. Hal ini

disebabkan oleh lapisan film pada adsorben mengalami penipisan maka adsorban akan

dapat menembus lapisan filmnya (Drastinawati dan Zultiniar, 2013).

Dalam proses adsorpsi, apabila kecepatan pengadukan kecil, maka adsorban akan

sulit menembus lapisan film yang berada di antara permukaan adsorben dan difusi

filmnya. Apabila kecepatan pengadukan sesuai, maka akan menaikkan film difusinya

sampai ke titik pori difusi (Asip, dkk., 2008).

2. Karakteristik adsorban

Ukuran partikel dan luas permukaan merupakan karakteristik terpenting dari

adsorban. Ukuran partikel adsorban mempengaruhi tingkat adsorpsi yang terjadi.

Tingkat adsorpsi meningkat seiring mengecilnya ukuran partikel. Total kapasitas

adsorpsi tergantung pada total luas permukaan dimana ukuran partikel adsorban tidak

(55)

3. Ukuran molekul adsorbat

Ukuran molekul merupakan bagian yang penting dalam adsorpsi karena

molekul harus memasuki micropore dari partikel adsorban untuk diadsorpsi. Tingkat

adsorpsi biasanya meningkat seiring dengan semakin besarnya ukuran molekul dari

adsorbat. Kebanyakan limbah terdiri dari bahan-bahan campuran sehingga ukuran

molekulnya berbeda-beda. Pada situasi ini akan memperburuk penyaringan molekul

karena molekul yang lebih besar akan menutup pori sehingga mencegah jalan masuknya

molekul yang lebih kecil.

4. Waktu Kontak

Waktu yang diperlukan untuk mencapai keadaan setimbang pada proses

penyerapan ion logam oleh adsorban hanya beberapa menit saja [20]. Jumlah zat yang

diadsorpsi pada permukaan adsorban merupakan proses untuk mencapai kesetimbangan

karena laju adsorpsi juga diikuti dengan proses desorpsi. Pada saat mula-mula reaksi,

proses adsorpsi lebih dominan daripada proses desorpsi sehingga proses adsorpsi

berlangsung cepat.

Pada akhir-akhir mencapai keadaan setimbang, peristiwa adsorpsi juga

cenderung mengalami perlambatan proses penyerapan pada keadaan setimbang namun

hal ini tidak terlihat secara makroskopis. Pada setiap jenis adsorban yang digunakan,

waktu untuk mencapai saat setimbang berbeda-beda. Perbedaan waktu untuk mencapai

keadaan setimbang dikarenakan jenis interaksi yang terjadi antara adsorban dan

adsorbat. Secara umum, waktu untuk mencapai kesetimbangan melalui mekanisme

secara fisika (physisorption) lebih cepat bila dibandingkan dengan mekanisme secara

kimia (chemisorption) [21].

Adsorpsi secara fisika, interaksi antara adsorban dan adsorbat terjadi melalui

pembentukan ikatan yang lebih kuat bila dibandingkan dengan mekanisme secara kimia.

Mekanisme secara kimia diawali dahulu dengan mekanise fisika, yaitu pada

partikel-partikel adsorbat mendekat ke permukaan adsorban melalui gaya Van der waals atau

(56)

5. Keasaman (pH)

Tingkat keasaman atau pH mempunyai pengaruh dalam proses adsorpsi. Untuk

mencapai pH optimum dalam proses adsorpsi ditandai dengan jumlah maksimum yang

dapat diserap adsorban adalah ditetapkan melalui uji laboratorium. Keasaman (pH) akan

mempengaruhi sisi aktif biomassa serta berpengaruh pada mekanisme adsorpsi ion

logam. Pada pH yang rendah, proses adsorpsi ion logam juga semakin rendah atau

lambat. Hal ini dikarenakan pada kondisi asam, gugus fungsi yang terdapat pada

adsorban terprotonasi sehingga terjadi pengikatan ion hidrogen (H+) dan ion hidronium

[20]. Sementara itu ion-ion logam dalam larutan sebelum teradsorpsi oleh adsorban

terlebih dahulu mengalami hidrolisis dan menghasilkan proton [23].

Dalam kondisi pH rendah (<7) permukaan adsorban akan bermuatan positif

sehingga mengalami tolakan antara pemukaan adsorban dengan ion logam akibatnya

proses adsorpsi menjadi lambat dan rendah. Sementara itu pada pH tinggi (>7), maka

proses adsorpsi relatif tinggi, hal ini dikarenakan komplek hidrokso logam (MOH+) yang

akan terbentuk di dalam larutan lebih banyak, demikian juga permukaan adsorban akan

bermuatan negatif sehingga melepaskan proton sehingga melalui gaya elektrostatik akan

terjadi tarik menarik yang menyebabkan peningkatan adsorpsi [24].

2.4 Mekanisme Adsorpsi

Proses adsorpsi molekul adsorbat dari fasa cair ke permukaan adsorben

melibatkan tahapan sebagai berikut:

∑ Transfer massa molekul adsorbat ke seluruh lapisan batas eksternal dari partikel padat.

∑ Transportasi molekul adsorbat dari permukaan partikel ke dalam bagian aktif dengan difusi dalam pori berisi cairan dan berpindah keseluruh permukaan padat

dari pori-pori.

∑ Adsorpsi molekul terlarut pada bagian aktif pada permukaan bagian dalam dari pori-pori.

(57)

2.5 Kinetika Adsorpsi

Jumlah adsorbat yang diserap dalam mg/g pada waktu t dihitung dengan

menggunakan persamaan berikut:

[24]

Dimana Co dan Ct masing-masing adalah konsentrasi adsorbat mula-mula dan

pada waktu t tertentu dalam mg/L. V adalah volume larutan adsorbat dalam ml dan m

adalah massa adsorben dalam mg .

2.6 Pasir

Partikel pasir dibentuk dari pecahan kristal magma beku dan batuan metamorf

atau dari batu pasir yang sudah ada. Berdasarkan kandungan mineralnya, pasir umumnya

terdiri dari kuarsa, Feldspar, Mika dan kapur (kalsit, dolomit dll). Klasifikasi dari

mineral partikel dapat disebut pasir berdasarkan ukurannya. Menurut skema klasifikasi

United States Department of Agriculture (USDA), partikel pasir berada pada rentang

diameter antara 0,05-2.0 mm. Dengan demikian, bahan mineral yang disebut pasir dapat

bervariasi tergantung pada skema klasifikasi yang digunakan [25].

Juga ada, subkategori partikel pasir terutama untuk skema USDA, yaitu pasir

sangat halus berkisar 0,05-0,1 mm, pasir halus berkisar dari 0,1-0.25 mm, pasir sedang

(medium) berkisar 0.25-0.5 mm, pasir kasar berkisar dari 0,5-1,0 mm, dan pasir sangat

kasar berkisar 1.0-2,0 mm. Untuk memahami tentang tren adsorpsi logam dengan

menggunakan pasir, pertimbangan hubungan antara jenis ion logam yang akan diserap

dengan silika dan feldspar (komponen pasir) akan sangat membantu. Silika (SiO2)

memiliki struktur yang terdiri dari tiga rangkaian dimensi tetrahedron yang tidak

terbatas. Setiap atom silikon membentuk empat ikatan tunggal dengan empat atom

oksigen yang terletak di empat penjuru tetrahedron [26].

(58)

fungsional pada permukaan, yang tidak melibatkan fase atau air cair molekul antara ion

dan permukaan . Pasir alam mungkin memiliki pori makro dan mesopori, dan porositas

sebagian besar dipengaruhi oleh ukuran partikel, bentuk biji-bijian, dan bentuk batuan

[5].

Porositas dapat diklasifikasikan menjadi porositas antar-partikel dan porositas

intraparticle. Pori-pori menyebabkan tidak hanya luas permukaan yang besar, tetapi juga

tingginya selektivitas adsorpsi [5]. Interaksi antara ion logam dan permukaan pasir akan

mempengaruhi karakteristik desorpsi ion logam dalam proses remediasi [5]. Pasir

dengan ion logam teradsorpsi disusun oleh proses adsorpsi dan kemudian dikeringkan

untuk memungkinkan ion logam untuk berinteraksi dengan permukaan pasir terutama

melalui interaksi inner-sphere.

Permukaan kelompok fungsional dari silikat memainkan peran penting dalam

proses adsorpsi. Pada bagian ini atom oksigen terikat pada lapisan silika tetrahedral dan

kelompok hidroksil berkaitan pada tepi tiap unit dari struktur silikat. Kelompok

fungsional ini menyediakan bagian permukaan untuk penyerapan logam transisi dan

logam berat secara kimiawi. Permukaan kelompok fungsional ini dapat

direpresentasikan sebagai berikut:

[12].

Dimana S merupakan atom pusat (Si atau Al) pada penyerapan yang dilakukan

oleh permukaan silikat. Permukaan kelompok hidroksil berdisosiasi dalam air dan

berfungsi sebagai basa Lewis terhadap kation logam (Mn+). Seperti bagian

terdeprotonasinya (satu atau mungkin dua) yang membentuk senyawa kompleks dengan

(59)

2.7 Surfaktan

Surfaktan adalah molekul amphiphilic memiliki kedua ekor hidrofobik dan

kepala hidrofilik. Ketika dilarutkan dalam air pada konsentrasi rendah, molekul

surfaktan ada, yang berperan sebagai monomer [27]. Sebagai jenis senyawa amfifilik

memiliki konstanta dielektrik rendah dan viskositas lebih tinggi dari air, surfaktan dapat

meningkatkan kelarutan senyawa organik dengan menurunkan tegangan antarmuka serta

oleh solubilisasi misel [28]. Struktur molekul yang unik dari surfaktan memungkinkan

untuk meningkatkan kelarutan kontaminan dalam tanah, terutama untuk senyawa

organik hidrofobik[5].

Surfaktan dapat meningkatkan desorpsi polutan dari tanah, dan memacu proses

bioremediasi organik dengan meningkatkan bioavailabilitas polutan [5]. Selain

kemampuan yang tinggi untuk desorb kontaminan, surfaktan harus memiliki CMC lebih

rendah dan aktif dengan dosis kecil sebagai larutan pencuci, untuk mengurangi biaya

proses perbaikan dan selanjutnya memastikan ekonomi dari proses keseluruhan [5] .

Struktur molekul surfaktan, yang mengatur sifat-sifat surfaktan, adalah faktor

dominan untuk karakteristik adsorpsi. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, monomer akan

dikelompokkan ke dalam kelompok, yang disebut '' misel ''. Konsentrasi pada saat

pengelompokkan '' misel '' ini dikenal sebagai CMC [5].

Menurut (Mulligan, 2004), Jika surfaktan ditambah melebihi CMC, maka jumlah

misel akan terus bertambah tetapi ukuran mereka akan hampir tetap konstan. Untuk

perubahan konsentrasi dibawah CMC, maka sifat fisik seperti: tegangan permukaan,

tegangan antar muka, adsorpsi, dan daya bersih akan terjadi perubahan.

2.7.1 SDS

Sodium lauril sulfat (SLS), natrium laurilsulfate atau natrium dodesil sulfat (SDS

(60)

rendah dibandingkan dengan kationik dan nonionic [30]. Molekul ini memiliki ekor 12

atom karbon, yang melekat pada kelompok sulfat, memberikan sifat molekul amfifilik

diperlukan dari deterjen. SLS adalah surfaktan yang sangat efektif dan digunakan dalam

setiap tugas yang memerlukan penghilangan noda berminyak dan residu [31].

Misalnya, ditemukan dalam konsentrasi yang lebih tinggi dengan produk industri

termasuk minyak pelumas mesin, pembersih lantai, dan sabun cuci mobil. Hal ini

digunakan dalam konsentrasi yang lebih rendah dengan pasta gigi, shampoo, dan busa

cukur.Natrium dodesil sulfat (SDS, CH3(CH2)11SO4Na), surfaktan anionik dengan

konsentrasi kritis misel (CMC) dari 8 mM, adalah tingkat nutrisi yang baik dan mudah

terurai oleh tanah atau mikroorganisme air.

Seperti semua surfaktan deterjen (termasuk sabun), natrium lauril sulfat

menghilangkan minyak dari kulit, dan dapat menyebabkan kulit dan iritasi mata.

Konsentrasi misel kritis (CMC) dalam air murni pada 25 ° C adalah 0,0082 M, dan

jumlah agregasi pada konsentrasi ini biasanya dianggap menjadi sekitar 62. Fraksi misel

ionisasi (α) adalah sekitar 0,3 ( atau 30%) [32].

2.8 Remediasi Logam Berat pada Pasir terkontaminasi

Remediasi/pencucian pasir dapat digunakan sebagai metode untuk

menghilangkan kontaminan [29]. Dalam praktis remediasi, karena kontaminan melekat

pada permukaan partikel pasir dan biasanya memiliki kelarutan dalam air yang rendah

juga bersifat aditif seperti asam, surfaktan dan agen chelating sering ditambahkan ke

dalam cairan pencuci untuk melarutkan kontaminan dari pasir.

Interaksi antara ion logam dan permukaan pasir akan mempengaruhi karakteristik

desorpsi ion logam dalam proses remediasi [4]. Efisiensi removal diperoleh dengan

menggunakan surfaktan anionik populer, natrium dodesilsulfat (SDS), larutan SDS.

Keberhasilan penerapan remediasi pasir terkontaminasi dengan metode pencucian

surfaktan dipengaruhi oleh beberapa faktor ilmiah, seperti: potensi molekul surfaktan

berinteraksi dan mendesorpsi ion logam pada permukaan pasir dan kemampuan

(61)

Potensi misel surfaktan dalam menghilangkan ion logam pada permukaan media pasir

yang terkontaminasi (Mulligan, 2005).

Gambar 2.1 Interaksi Sodium Dodecyl Sulfatedengan Ion Logam (Mulligan, 2005).

Kontaminan pasir dimobilisasi, oleh larutan pencuci (misalnya pembentukan

misel dengan bantuan larutan pencuci) atau melalui interaksi kimia [5]. Kekhawatiran

tentang toksisitas surfaktan terutama timbul dari surfaktan sisa dalam tanah setelah

mencuci tanah jika mereka tidak mudah terurai. Kehadiran berlebihan surfaktan dalam

sistem air dan tanah dapat mempengaruhi ekosistem merugikan karena aktivitas biologis

surfaktan. Surfaktan anionik dapat mengikat makromolekul bioaktif seperti peptida,

enzim, dan DNA, mengubah fungsi biologis mikroorganisme [32].

Teknik pencucian dapat dicapai dengan sangat baik dengan menggunakan agen

yang bisa meningkatkan batas desorpsi antara pasir- logam. Sebuah teknik remediasi

yang efektif untuk situasi tersebut adalah metode pencucian larutan surfaktan (Martel

dan Gelinas, 1996;. Lee et al, 2002, 2005). Beberapa kelebihan dan keuntungan

(62)

sedikit energi untuk mencapai remediasi. Namun, remediasi dengan surfaktan

membutuhkan konsumsi besar surfaktan dengan efisiensi penyisihan rendah.

2.9 Rangkaian Percobaan Remediasi Logam Berat pada Pasir Terkontaminasi

dengan Kolom

Gambar 2.2 Rangkaian Percobaan Remediasi Logam Berat pada Pasir Terkontaminasi dengan Kolom

Keterangan Gambar:

Sejumlah surfaktan X cmc dipompakan dengan pompa peristaltik dengan laju

alir X ml/menit ke kolom pasir yang berisi pasir terkontaminasi. Kemudian effluent hasil

cucian ditampung dan dianalisa dengan AAS untuk meninjau seberapa banyak logam

(63)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pencemaran logam berat di lingkungan merupakan masalah serius karena kelarutan

dan mobilitasnya menimbulkan toksisitas dan ancaman bagi kehidupan makhluk hidup,

termasuk manusia [1]. Logam-logam berat tersebut berasal dari aktifitas manusia seperti

buangan rumah tangga, buangan sisa industri yang tidak terkontrol yang mengalir ke

perairan dan pembakaran hidrokarbon dan batu bara diantaranya ada yang melepaskan

senyawa logam berat ke udara kemudian bercampur dengan air hujan dan mengalir juga

ke perairan.

Adanya logam berat di perairan, berdampak negatif dan berbahaya, baik secara

langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung

terhadap kesehatan manusia. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat

(PPLH-IPB, 1997) yaitu:

1. Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan

keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan).

2. Dapat terakumulasi dalam organisme, termasuk kerang dan ikan, serta akan

membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi organisme tersebut.

3. Mudah terakumulasi pada sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari

konsentrasi logam dalam air. Selain itu sedimen mudah tersuspensi karena

pergerakan massa air yang akan melarutkan kembali logam yang dikandungnya ke

dalam air, sehingga sedimen berpotensi menjadi sumber pencemar sekunder dalam

rentang waktu tertentu.

Hembusan angin yang kuat juga dapat mengangkat debu, pasir, bahkan material

yang lebih besar ke muara. Makin kuat hembusan angin maka daya angkutnya akan

(64)

Remediasi/pencucian pasir dapat digunakan sebagai metode untuk menghilangkan

kontaminan [3]. Dalam praktis remediasi, karena kontaminan melekat pada permukaan

partikel pasir dan biasanya memiliki kelarutan air rendah juga bersifat aditif seperti

asam, surfaktan dan agen chelating sering ditambahkan ke dalam cairan pencuci untuk

melarutkan kontaminan dari pasir.

Keberhasilan penerapan remediasi pasir terkontaminasi dengan metode pencucian

surfaktan dipengaruhi oleh beberapa faktor ilmiah, seperti: potensi molekul surfaktan

berinteraksi dan mendesorpsi ion logam pada permukaan pasir dan kemampuan

surfaktan terdispersi ke target kontaminan pada area pori [4].

Adanya larutan SDS, memungkinkan tipe interaksi inner-sphere menjadi interaksi

tipe outer-sphere dan logam terdesorpsi ke larutan surfaktan karena adanya pengaruh

mekanik dari aliran. Ion logam yang terdesorpsi kemudian berinteraksi dengan misel

surfaktan pada area interpartikel pori.

Surfaktan adalah kelompok bahan kimia amfifilik yang mengandung kedua hidrofilik

dan bagian hidrofobik dalam struktur molekul secara bersamaan. Struktur molekul yang

unik dari surfaktan memungkinkan untuk meningkatkan kelarutan kontaminan dalam

(65)

Beberapa Penelitian Remediasi Pasir Terkontaminasi Dengan Surfaktan

yang telah dilakukan disajikan pada tabel 1.1 :

Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu Remediasi Pasir Terkontaminasi Dengan Surfaktan

No. Peneliti Judul Hasil

Hasil beberapa penelitian terdahulu yang telah dilakukan menunjukkan logam berat

Gambar

Gambar 4.4 Ilustrasi Perhitungan Pore Volume
Gambar C.1 Pencucian Pasir  Putih yang Akan Digunakan Sebagai Adsorben
Gambar C.7 Botol Sampel Untuk Uji Di Alat AAS
Gambar 3.1 Flowchart Persiapan Adsorben Pasir Putih
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan adsorpsi batang jagung dengan variasi bentuk dalam menyerap ion logam kadmium (Cd 2+ ) 50 ppm pada larutan

Mekanisme secara kimia diawali dahulu dengan mekanise fisika, yaitu pada partikel- partikel adsorbat mendekat ke permukaan adsorban melalui gaya Van der waals atau

[4] Bode Haryanto and Chien-Hsiang Chang, “Removing Adsorbed Heavy Metal Ions from Sand Surfaces via Appying Interfacial Properties of Rhamnolipid”, Journal of Oleo

Hasil beberapa penelitian terdahulu yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa logam berat dari pasir terkontaminasi berhasil terdesorpsi dengan peningkatan surfaktan

Penggunaan surfaktan terbagi atas tiga golongan, yaitu sebagai bahan pembasah (wetting agent), bahan pengemulsi (emulsifying agent) dan bahan pelarut (solubilizing

Department of Building, Civil and Environmental Engineering, Concordia University, Canada.. “Evaluation of soil flushing potential for clean -up of