• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Penyesuaian Diri Pada Remaja yang Memiliki Saudara Autis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Penyesuaian Diri Pada Remaja yang Memiliki Saudara Autis"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Andrews, J. J, Saklofske, D. H., & Janzen, H. L. (2001). Handbook of

Psychoeducational Assesment: Ability, Achievement and Behavior in

Children. New Jersey: Academic Press.

Attfield, E & Morgan, H. (2007). Living with Autistic Spectrum Disorders: Guidance for Parents, Carers and Siblings. London: Paul Chapman

Publishing

Blacher, J. & Begum, G. (2009). The Social and the Socializing Sibling: Positive Impact on Children with Autism. The Exceptional Parent, Vol. 39, No. 5 Brody, G. H. (1998). Sibling Relationship Quality: Its Causes and Consequences.

Annual Review of psychology, Vol. 49: 1-24

Burke, P. (2004). Brother and Sisters of Children With Disabilities. London & New York: Jessicaa Kingsley Publisher

Calhoun, J.F., Acocella, J.R. (1990). Psychology of Adjustment and Human

Relationship 3rd Edition. New York : Mac Graw-Hill. Inc.

Connors, C. & Stalker, K.(2003). The Views and Experiences of Disabled

Children and Their Sibling: A Positive Outlook. London: Jessica Kingsley

Publisher

Degenova, Maty Kay. (2008). Intimate Relationships, Marriages & Families. NewYork: The Mc Graw – Hill Companies.

(2)

113

Ferrari, M. (1984). Chronic Illness: Psychosocial Effects On Siblings—I. Chronically Ill Boys. Journal Of Child Psychology. Psychiatry. Vol. 25.

No, 3. pp, 459-476

Gillberg, C. & Bagenholm, A. (1991). Psychosocial Effects On Siblings Of Children With Autism And Mental Retardation: A Population-Based Study. Journal of Mental Deficiency Research, Vol. 35:291-307

Glasberg, B. A. (2000). The Development of Siblings’ Understanding of Autism Spectrum Disorders. Journal of Autism and Developmental Disorders,

Vol. 30, No. 2.

Gold, N. (1993). Depression and Social Adjustment in Sibling of Boys with Autism. Journal of Autism and Development Disorders, Vol. 23, No. 1 Haber, A. & Runyon, R.P. (1984). Psychology of Adjustment. Homewood : The

Dorsey Press.

Hames, A & McCaffrey, M.(2005). Special Brothers and Sisters: Stories and Tips

for Sibling of Children with a Disability or Serious Illness. London:

Jessica Kingsley Publishers

Hastings, R. P., & Johnson, E. (2001). Stress in UK Families Conducting Intensive Home-Based Behavioral Intervention for Their Young Child with Autism. Journal of Autism and Developmental Disorders, Vol.31: 327–336.

(3)

114

Programs: The Moderating Role of Social Support. Journal of Autism and

Development Disorders, Vol. 33, No. 2

Hastings, R. P. (2006). Longitudinal Relationships Between Sibling Behavioral Adjustment and Behavior Problems of Children with Developmental Disabilities. Journal of Autism Development Disorder, Vol. 37: 1485-1492 Haugaard, J. J. (2008). Child Psychopathology. New York: McGraw Hill

Hurlock, B. E. 1980. Psikologi Perkembangan (Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentan Kehidupan). Jakarta; Erlangga

___________. (1978). Perkembangan Anak. [terjemahan]. Edisi Keenam. Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Kaminsky, L & Dewey, D. (2002). Psychosocial Adjustment In Siblings Of Children With Autism. Journal of Child Psychology and Psychiatry Vol. 43 No. 2.

Kaminsky, L & Dewey, D. (2001). Sibling Relationship of Children with Autism.

Journal of Autism and Developmental Disorder. Vol. 31, No. 4

Klein, A. D. & Schleifer, M. J. (1993). It Isn’t Fair! Sibling Of Children with

Disabilities. London: Greenwood Publishing Group

Macks, R. J. & Reeve, R. E. (2006). The Adjustment of Non-Disabled Siblings of Children with Autism. Journal of Autism Development Disorder, Vol. 37: 1060-1067

(4)

115

Myers, C. I & Vipond, J. (2005). Play and Social Interactions Between Children with Developmental Disabilities and Their Siblings: A Systematic Literature Review. Physical & Occupational Therapy in Pediatrics, Vol.

25

Orsmond, G.I., & Seltzer, M.M. (2009). Adolescent Siblings of Individuals with an Autism Spectrum Disorder: Testing a Diathesis-Stress Model of Sibling Well-Being. Journal Of Autism Development Disorder. Vol. 39:

1053-1065.

Osborne, L. A. & Reed, P. (2009). The Relationship Between Parenting Stress and Behavior Problems of Children with Autistic Spectrum Disorder. Journal

of Exceptional Children, Vol. 76, No.1

Papalia, D.E., Olds, S.W. & Feldman, R.D. (2007). Human Development. Tenth

Edition. New York: McGraw-Hill

Pilowsky, T., dkk. (2004). Social And Emotional Adjustment Of Siblings Of Children With Autism. Journal of Child Psychology and Psychiatry Vol.

45 No. 4

Poerwandari, E. Kristi. 2001. Pendekatan Kualitatif Untuk Peneltian Perilaku Manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran Dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Poerwandari, E. Kristi. 2009. Pendekatan Kualitatif Untuk Peneltian Perilaku Manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran Dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

(5)

116

Autism Spectrum Disorder. Hamilton Institute On Disabilities: Focus on

Autism and Other Development Disabilities, Vol. 25, No. 1

Rivers, J. W. & Stoneman, Z. (2008). Child Temperaments, Differential Parenting, and the Sibling Relationships of Children with Autism Spectrum Disorder. Journal Of Autism Development Disorder. Vol. 38:

1740-1750

Rodrigue, J. R., Geffken, G. R., & Morgan, S. B. (1993). Perceived Competence and Behavioral Adjustment of Siblings of Children with Autism. Joumat

of Autism and Developmental Disorders, Vol. 23, No. 4

Runyon, R.P. & Haber, A. (1984). Psychology of Adjustment. Illinois : The Dorsey Press

Schneiders, A. A. (1964). Personal Adjustment and Mental Health. New York: Holt, Renehart & Winston

Smith, L. O. & Elder, J. H. (2010). Siblings and Family Environments of Persons With Autism Spectrum Disorder: A Review of the Literatur. Journal of

(6)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Kualitatif

Pendekatan fenomenologis kualitatif digunakan dalam penelitian ini dengan tujuan untuk menggali dan mendapatkan gambaran yang luas serta mendalam berkaitan dengan gambaran penyesuaian diri pada remaja yang memiliki saudara autis. Poerwandari (2001) menyatakan bahwa sebagian perilaku manusia, yang penghayatannya melibatkan berbagai pengalaman pribadi dan proses internal individual, sulit dikuantifikasikan sehingga mustahil diukur dan dibakukan, apalagi dituangkan dalam satuan numerik. Metode fenomenologis kualitatif berusaha memahami suatu gejala sebagaimana pemahaman responden yang diteliti dengan penekanan pada aspek respondentif dari perilaku seseorang. Penelitian kualitatif memungkinkan pemahaman tentang kompleksitas perilaku dan penghayatan manusia sabagai mahluk yang memiliki pemahaman tentang hidupnya dan dipandang dapat menyampaikan keadaaan responden secara keseluruhan berdasarkan pandangan dari responden itu sendiri (Banister dalam Poerwandari, 2009)

(7)

38

untuk mendapatkan gambaran secara holistik berdasarkan pandangan respondentif dari responden sendiri.

B. Responden Penelitian

1. Karakteristik Responden

Responden pada penelitian ini didasarkan pada beberapa karakterisik yang telah ditentukan. Berikut ini adalah karakteristik repsonden dalam penelitian ini:

2.a Memiliki saudara kandung yang mengalami autis

Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian untuk melihat gambaran penyesuaian diri pada remaja yang memiliki saudara autis. Karakteristik ini merupakan karakteristik utama yang harus ada untuk responden penelitian.

2.bRemaja awal

Karakterisstik ini digunakan sesuai dengan tujuan penelitian untuk mengetahui gambaran penyesuiaan diri pada remaja yang memiliki saudara dengan gangguan autis. Batasan usia ini ditetapkan berdasarkan pembagian tahapan perkembangan oleh Hurlock (1999) dimana remaja awal berada pada rentang usia 13-16 tahun.

2. Jumlah Responden

(8)

39

dalam metode penelitian fenomenologis kualitatif yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang mendalam sesuai dengan penghayatan dan pemaknaan responden atas pengalamannya sendiri. Pengambilan jumlah responden 2 orang juga disebabkan karena keterbatasan peneliti untuk menemukan dan melakukan penelitian kepada jumlah responden yang lebih banyak.

3. Prosedur Pengambilan Responden

Prosedur pengambilan responden dalam penelitian ini berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Responden dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai studi-studi sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2009). Prosedur pengambilan responden ini dilakukan agar responden benar-benar mewakili fenomena penelitian.

Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Hurlock (1999) untuk kriteria remaja dan teori Burke (2004) untuk remaja yang memiliki saudara autis.

4. Lokasi Penelitian

(9)

40

C. Metode Pengumpulan Data

Metode Pengambilan data dalam penelitian ini adalah wawancara sebagai metode utama dalam pengumpulan data disertai dengan observasi sebagai teknik pendukung yang dilakukan pada saat wawancara. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interview). Banister (1994) menjelaskan bahwa wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan pedoman wawancara, namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur tetapi juga memungkinkan untuk mengembangkan topik baru yang lebih mendalam.

Proses wawancara dengan pedoman umum dilengkapi dengan isu-isu yang harus diliput. Wawancara mendalam memungkinkan peneliti dapat mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan responden secara utuh dan mendalam. Wawancara mendalam memberikan kesempatan yang maksimal untuk menggali “background life” seseorang sehingga peneliti mendapatkan gambaran dan dinamika yang hendak diteliti dalam hal ini penyesuaian pada remaja yang memiliki saudara autis ditinjau dari urutan kelahiran.

(10)

41

hanya sebagai alat tambahan untuk memperoleh gambaran tentang reaksi dan ekspresi partisipan saat pengambilan data dilakukan.

D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Alat pengumpul data utama dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri (Poerwandari, 2009). Peneliti menentukan topik, mengumpul data dan analisis. Dalam proses wawancara sedapat mungkin direkam dan dibuat transkipnya secara verbatim. Hal ini ditujukan untuk mengantisipasi keterbatasan kapasitas memori manusia. Untuk itu diperlukan alat bantu penelitian untuk membantu peneliti dalam pengumpulan data. Alat bantu yang digunakan dalam pengumpulan data adalah alat perekam dan pedoman wawancara.

1. Alat Perekam

Alat perekam digunakan untuk mempermudah peneliti dalam mengulang dan mencatat hasil wawancara. Penggunaan alat perekam diharapkan tidak ada informasi yang terlewatkan ketika dilakukan wawancara oleh peneliti. Alat perekam tentunya dapat digunakan dengan izin dan sepengetahuan responden. Selain itu, peneliti dapat lebih mudah melakukan observasi selama wawancara berlangsung.

(11)

42

2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara berkaitan dengan masalah yang ingin diungkapkan. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2007). Dengan demikian wawancara bisa berjalan efektif dan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara juga digunakan sebagai alat bantu untuk mengkategorikan jawaban responden dan untuk mempermudah dalam menganalisa data yang diperoleh. Pedoman wawancara berisi aspek-aspek tingkah laku, nilai dan perasaan responden terkait dengan penyesuaian diri terhadap saudara autis.

Pertanyaan dalam pedoman wawancara berupa open-ended question yang dibuat berdasarkan teori-teori yang dibahas dalam Bab II. Hal ini dilakukan agar peneliti mempunyai kerangka berpikir tentang hal-hal yang ingin ditanyakan dan tidak menyimpang dari kerangka teoritis yang ada. Pada pelaksanaannya pedoman wawancara ini tidak digunakan secara kaku. Tidak tertutup kemungkinan untuk menanyakan hal lain yang masih berhubungan dengan topik penelitian agar wawancara tidak berjalan dengan kaku namun data yang didapatkan lebih lengkap dan akurat

(12)

43

alat perantara antara apa yang dilihat, didengar dan dirasakan dengan catatan yang diperoleh dari lapangan sebenarnya.

3. Alat Tulis dan Kertas

Alat tulis yang digunakan dalam membantu penelitian ini seperti kertas, pulpen atau pensil untuk mencacat hal-hal penting yang ditemukan selama proses pengambilan data.

E. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk mengganti konsep validitas, dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif (Poerwandari, 2007). Adapun upaya peneliti untuk meningkatkan kredibilitas penelitian ini antara lain:

1. Menggunakan triangulasi data dalam penelitian.

(13)

44

waktu. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan peneliti untuk melakukan triangulasi teknik yang menghabiskan terlalu banyak waktu.

a. Triangulasi Sumber

Triangulasi sumber dilakukan dengan mendapatkan data dari sumber yang berbeda yang saling terkait. Triangulasi sumber dalam penelitian ini dilakukan dengan menggali data dari informan yaitu melakukan wawancara dengan orang tua dari remaja yang memiliki saudara autis. Orang tua dianggap sebagai figur penting yang mengetahui sikap dan perilaku anak yang dapat meyakinkan peneliti dengan data yang ditemukan dari responden. Jika peneliti menemukan perbedaan data diantara keduanya maka peneliti akan mengkonfirmasi pertanyaan tersebut sehingga ditemukan data terpercaya yang dapat diangkat dalam hasil penelitian.

b. Triangulasi Waktu

Triangulasi waktu dilakukan dengan cara mengumpulkan data pada waktu yang berbeda dengan pertanyaan yang sama. Hal ini ditujukan untuk mendapatkan konsistensi jawaban dari responden penelitian.

2. Memilih responden yang sesuai dengan karakteristik responden pada penelitian ini yaitu remaja (rentang usia 12-21 tahun) yang memiliki saudara autis.

(14)

45

4. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk mendapatkan data yang akurat. Pernyataan responden yang ambigu atau kurang jelas akan ditanyakan kembali (probing) saat wawancara atau pertemuan berikutnya. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang akurat.

5. Mencatat secara bebas hal-hal penting dengan serinci dan sedetail mungkin tentang pengamatan objektif terhadap setting, responden atau hal-hal lain yang terkait selama pengambilan data.

6. Mengecek dan mengecek kembali (checking and rechecking) data yang terkumpul. Dalam hal ini peneliti mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis, dengan mengaplikasikannya pada data, serta dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai data. Membaca kembali transkrip wawancara sebelumnya dan merefleksikan hal yang perlu digali lebih dalam dari responden pada wawancara berikutnya.

(15)

46

F. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap ini peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan dalam penelitian, diantaranya adalah:

a. Menggumpulkan data

Mengumpulkan berbagai informasi dan teori-teori yang berkaitan dengan topik yang diteliti yaitu penyesuaian diri dan informasi mengenai kondisi yang dialami remaja yang memiliki saudara autis serta data-data lain seperti jurnal, artikel dan

e-book tentang pengalaman hidup dengan salah satu anggota keluarga autis.

b. Membuat pedoman wawancara.

Pedoman ini disusun berdasarkan kerangka teori penyesuaian diri, faktor-faktor yang mempengaruhi dan kondisi-kondisi yang dialami remaja yang memiliki saudara autis. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang pemilihan pasangan yang nantinya akan berkembang dalam wawancara. Pedoman wawancara mendapat professional judgement dengan dosen pembimbing untuk mendapat masukan mengenai daftar pertanyaan yang telah dibuat.

(16)

47

informed consent peneliti harus menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan

penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya secara ringkas. d. Membangun rapport dan menentukan jadwal penelitian

Peneliti menemui responden untuk membina hubungan yang lebih dekat sebelum wawancara penelitian dilakukan. Peneliti beramah tamah dan berinteraksi denga responden untuk lebih mendekatkan diri dengan responden demi terciptanya suasana wawancara yang tidak tegang. Dalam pertemuan ini peneliti juga membuat kesepakatan jawal wawancara dilakukan.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Sebelum tahap pelaksanaan penelitian dilakukan, peneliti mengkonfirmasikan waktu dan tempat wawancara dilakukan. Pada saat pertemuan dengan responden, peniliti meminta kesediaan responden untuk membaca dan menandatangani “informed consent” yang menyatakan bahwa responden bersedia secara sukarela berpartisipasi dalam penelitian tanpa paksaan dari pihak manapun, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.

(17)

48

telah diperoleh akan digambarkan kedalam indikator penyesuaian diri dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Setelah membuat analisa data, peneliti akan menarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan penelitian sesuai dengan data yang ditemukan. Setelah itu, peneliti memberikan masukan atau saran-saran sesuai dengan kesimpulan, diskusi dan data hasil penelitian.

3. Tahap Pencatatan Data

Setelah proses wawancara selesai dilakukan dan hasil wawancara telah diperoleh, peneliti kemudian memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Selanjutnya, peneliti membuat koding sesuai dengan teori yang digunakan. Hasil koding akan membantu peneliti dalam menganalisa dan menginterpretasi data yang diperoleh dari masing-masing responden. Setelah koding selesai dilakukan, peneliti kemudian menganalisis dan membahas data yang diperoleh.

G. Prosedur Analisis Data

(18)

49

1. Organisasi Data

Organisasi data secara rapi, sistematis, dan selengkap mungkin untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisa yang dilakukan, serta menyimpan data dan analisa yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian. 2. Koding dan Analisis

Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematiskan data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Dengan demikian peneliti akan dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkannya. Peneliti berhak memilih cara melakukan koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang diperolehnya (Poerwandari, 2007).

3. Pengujian Terhadap Dugaan

Dugaan adalah kesimpulan sementara. Pengujian terhadap dugaan, berkaitan erat dengan upaya mencari kejelasan yang berbeda mengenai data yang sama. Peneliti harus mengikutsertakan berbagai perspektif untuk memungkinkan keluasan analitis serta memeriksa bias-bias yang tdak disadari.

4. Strategi Analisis

(19)

50

sendiri maupun konsep yang dikembangkan oleh peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisis. Analisa yang dilakukan adalah dengan cara menganalisa setiap responden terlebih dahulu yang kemudian diikuti dengan analisa keseluruhan responden.

5. Tahapan Interpretasi

(20)

BAB IV

HASIL ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian penyesuaian diri remaja yang memiliki saudara autis mulai dari riwayat masing-masing responden, hasil observasi, analisa data hasil wawancara dan pembahasan data-data yang telah ditemukan.

A. Deskripsi Data Responden I

A.1. Sekilas Responden Penelitian

Winda adalah seorang siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP). Saat ini usianya menginjak 14 tahun. Sekilas terlihat, Winda sama saja dengan remaja lain yang sedang menikmati masa-masa indah remaja. Akan tetapi, tidak banyak yang tahu apa yang ia alami dalam perjalanan hidupnya. Jika remaja lain bisa merasakan bagaimana kebahagiaan saat bisa bermain bersama, bertengkar sebagaimana sesama saudara normal bertengkar dan berbagi pengalaman lainnya bersama saudara yang bisa merespon sebagaimana seharusnya, maka berbeda dengan Winda yang sejak lahir hanya mempunyai saudara sekandung yang mengalami gangguan autis.

(21)

52

diceritakan oleh orang tua, saudaranya tidak mengalami gangguan apapun saat kelahiran. Ia dalam kondisi baik-baik saja, sehat, lucu, dan menggemaskan seperti bayi-bayi saat pertama kali muncul ke dunia. Hingga mencapai usia satu tahun, saudaranya juga sudah bisa mengeluarkan kata-kata sebutan untuk ayah, mama, opung, dan nenek. Awal mula masalah diketahui sejak saudara mendapatkan imunisasi hepatitis B menginjak usia satu tahun seperti yang diungkapkan winda berikut ini:

“Gini, waktu pas diagnosanya autis itu, bukan masalah dari pertama kali lahir, pertama tu normal, dia uda bisa ngomong kata-kata ayah, mama, nenek, opung uda bisa, tapi gini, setelah uda mau dekat satu tahun kan apa, harus di imunisasi, gara-gara imunisasi itu jadinya autis”

(R1.W1/b.48-58/hal.2)

Sejak saat itu, perhatian sang ibu fokus terhadap saudara autis, hampir seluruh waktunya bersama anak yang mengalami autis. Ibu selalu mondar mandir Siantar-Medan untuk memberikan pengobatan pada anak sulung. Sang Ibu, yang dulu bekerja sebagai dokter hewan, melepaskan pekerjaan dan memutuskan untuk memberikan yang terbaik pada anak dengan memberikan waktu sepenuhnya untuk pengobatan anak yang mengalami autis tersebut.

(22)

53

Awalnya Winda tidak menyadari apa yang terjadi pada saudara karena ia belum cukup usia untuk menyadari hal-hal sekompleks itu. Ia terus mengajak saudara, yang hanya beda usia satu tahun dengannya, untuk bermain bersama. Waktu terus berjalan, hingga ia menginjak taman kanak-kanak, ia mulai merasakan kekecewaan karena saudara yang tidak kunjung merespon ajakannya untuk bermain bersama. Ia mengungkapkan kekecewaan itu kepada ibu. Sang ibu hanya bisa berkata bahwa si “Abang” mengalami kelainan. Penjelasan itu tidak lantas membuat Winda mengerti apa “kelainan” itu dan kelainan apa yang dialami pada saudara yang biasa ia sebut dengan bang “Ami”.

Winda mengaku saudara mengalami autis ia ketahui dengan pasti saat Ibu dengan terbuka menjelaskan kondisi saudara pada saat ia duduk di bangku kelas III SD, kurang lebih pada saat usia 8 tahun. Setelah mendapat penjelasan tersebut ia terus menyaksikan beberapa perilaku janggal pada saudara mulai dari ocehan-ocehan yang terus menerus muncul, perilaku menyakiti diri sendiri, steaming, tantrum yang tidak kenal tempat dan berbagai fitur perilaku autis lainnya.

“Heran, karena kan gini, pas waktu nonton dia noko-noko TV, is… ini pun noko-noko TV aja, orang mau nonton kan gitu, “bang awas lah” gitu ya kan, baru disitu “ma ami tadi eh bang ami tadi noko-noko pintu eh eh, apa namanya TV, jadi marahin, “dia itu kelainan, lain dari Winda, jadi pahamin sikit karena dia itu kelainan, coba Winda keg gitu pasti pun ami bilang keg gitu, katanya”

(R1.W1/b.74-90/hal.3)

(23)

54

(R1.W1/b.101-110/hal.3)

Tidak jarang ia mendapatkan masalah akibat perilaku saudara yang mengalami autis. Dituduh merusak barang yang sebenarnya dilakukan oleh saudara.

“Sering sih, dia pun apa namanya, main-main, dia yang ngerusakin sama Winda barangnya, “Winda ya yang ngerusakin?” “Ish… enggak lo, bang ami yang rusak in” “alah bohong aja, ah ami mana pande”, kata mama, “itu lah bang ami ngapain di pegang-pegang, rusakkan?” Bilang gitu”

(S1.W1/b.254-264/h6)

Barang milik Winda juga kerap kali menjadi sasaran saudara autis yang membuat ia merasa kesal terhadap saudara.

“Uda barangnya mahal dirusak in pula itu, uda nabungnya lama ya kan, apa ya itu dulu, oh apa perlengkapan menggambar lah itu, dipatahin sama bang Ami, apa lah pokoknya satu set gitu dimaninya, lho kemana lah barangnya ini, gitu ya kan, “ ma lihat ini?” Tanya mama, “ gak” kata mama, “ lho bang Ami kog rusak, ish aduh, ish… keg mana uda mahal ini, bang Ami pun udah sana lah” keg gitu kena marah dia, baru dia ngadu sama mama lah”

(S1.W2.s1/b383-393/h42)

Jarak usia Winda sangat dekat dengan saudara yang mengalami autis, cuma satu tahun. Hal ini membuat mereka berdua kelihatan seperti teman sebaya, jika dilihat secara fisik. Sang ibu meminta kesediaan Winda untuk berada di sekolah dan kelas yang sama, serta duduk sebangku dengan Winda. Cukup praktis alasan yang dikemukakan ibu, hemat biaya, efektif, dan pengawasan terhadap saudara bisa ia ambil alih dari ibu, selama berada di sekolah tentunya.

“Iya, tujuannya cuma itu aja nya, repot Winda, ayah kan kerja, kalo dulu kan ayah ada, sekalian ayah kerja bisa dianter, kalo disini, ayah gak ada, kereta gak ada, payah nanti, jemput-jemput nya lagi, ongkos lagi, apa mahal gak kayak disiantar, keg gitu jadi di satu in aja,”

(24)

55

Ia bertanggung jawab memastikan saudara mengikuti pelajaran dengan fokus. Menegurnya saat mulai mengoceh pada jam pelajaran, mengarahkan saudara untuk mengerjakan tugas dari guru dan membantu dalam memenuhi kebutuhannya selama di sekolah. Seperti anak autis pada umunya, tidak mudah bagi mereka jika diganggu ditengah kenikmatan dengan dunia yang dibangunnya sendiri. Hal ini menyebabkan niat baik Winda agar saudara autis bisa mengikuti pelajaran kerap kali mendapat balasan kemarahan dari saudara.

“Kadang misalnya kan, dia kan ini, Ami suka ngomong-ngomong, jadi kan asal kalo lagi nulis, “catat ya… halaman ini..ini..”, dibilang sama gurunya, “bang Ami catat, nanti kena marah bapak”, aku bilang keg gitu, “ nanti kalo dimarahin sama bapak nanti gak keluar maen-maen, kita gak jajan”, bilang keg gitu, “cepat tulis”, “ aku gak mau, aku capek” katanya gitu, jadi dia ngomong-ngomong lah, misalnya dia baru nonton spidermen gitu ya kan, apa yang diomongin disitu diomong-omongin lah di bangku ya kan“, jadi dimarahin sama gurunya, disuruh nulis di bangku gurunya”

(S1.W1.s1/b.154-167/h35)

Kondisi saudara yang autis bukan suatu hal yang mudah untuk diterima lingkungan sekolah. Seperti anak pada umumnya, bermain bersama dan bertengkar bukan hal yang aneh ada di sekolah. Saudara autis menjadi bahan bulan-bulanan, diganggu, diejek, bahkan disebut gila oleh teman-teman sekolah. Setiap kali hal itu terjadi ia selalu membela dan melindungi saudara.

“Tapi SD gini kan itu pindah, masuknya sama SD nya, sekelas lagi sebangku, jadi kawan banyak yang tahu, tapi pun kalo pun uda banyak yang tau keg gitu waktu SD itu di gangguin juga, jadi ami ga ngerti jaga diri ya Winda yang jaga dia”

(S1.W1/b.134-142/h4)

(25)

56

yang terjadi. Tidak jarang ia marah terhadap teman yang menggangu saudara. Bahkan rasa lelah yang ia rasakan berujung pada pertengkaran dengan teman yang mengganggu saudara.

“Yah keg gini, Winda bilang, orang-orang kawan yang lain kan sering bilang aneh lah gitu, dari kawan sekelas yang lain bilang “ eh, dasar lah kau memang anak autis, misalnya bodoh, dia kan ga pande belajar kawan Winda, jadi di bilang autis, padahal autis kan gak gitu, bukan gak pande belajar, yah terus Winda bilang autis itu gangguan saraf, jadi dia gak bisa apa-apa, dia gak bisa ngomong, kayak yang pernah ku jelasin sama kalian, keg gitu

(S1.W1/b.536-554/h.9)

“Nanti Winda nya kan misalnya apa, dia kan sering apa namanya, kalo belajar itu ngapain ini, dia kan sering di bawain bontot sama mama, jadi misalnya itu bekalnya roti, dia gak sabaran, nanti belum maen-maen dia uda gila aja sama tasnya, uda belajar bang Ami, nanti kena marah bapak, aku eh Winda bilang keg gitu, itu, sini adek dikte in, Winda kan uda siap duluan jadi, dipindahkan lah sama sebangku sebelah Winda yang lain, sebangku kawannya satu lagi itu dipindahin sama Winda, apalah, yang duduk sama dia itu usil, digangguin lah, tah apa lah, pas keluar maen-maen kan Ami nya mau makan, dia kan suka beli maenan gitu, pas beli maenan itu mainannya di ambil, dioper-operin sama kawannya yang lain ya kan, baru pas bang Ami mau minum, minumnya dioper-operin lah, dilempar-lemparilah kemana-mana, jadi Winda marah lah, “coba kalian digituin, pasti kalian marah kan?”, Winda bilang keg gitu” (S1.W2.s1/b.37-61/h.31)

Setahun lamanya ia jalani berada diatap sekolah yang sama dengan saudara, hingga ia tidak bisa lagi menahan rasa amarah terhadap teman-teman yang terus mengganggu sampai ia meminta untuk pindah sekolah. Lalu sang ibu memberi masukan kepada Winda agar tetap bersabar dan hanya akan memindahkan saudara autis dari sekolah tersebut.

(26)

57

rapot, nanti kau biar aja, sampai tamat aja nanti bang Ami aja di pindahin, ya udah…”

(S1.W2.s1/b.36-47/h.34)

Kini ia memasuki usia remaja. Usia dimana seseorang menikmati sebagian besar waktu bersama teman-teman sebaya. Winda tidak merasakan hal ini. Orang tua memberi harapan yang tinggi kepadanya, “satu-satunya anak yang bisa diharapkan untuk membanggakan orang tua”, begitu kata orang tua. Ia mengurangi waktu

bermain bersama teman-teman untuk belajar agar ia bisa memenuhi permintaan orang tua menjadi anak yang berprestasi.

“Jadi mama bilang keg gini, “ Winda, kalo pigi-pigi ke warnet itu jangan pulang lama-lama, gak pulangnya sehabis maghrib, gak boleh harus sebelum maghrib jam 6 itu harus uda pulang”, ih misalnya kan seringlah ntah pulang les kan macet di jalan, jadi bilang keg gini, “ Winda, kog lama kali”,” iya, macet, aku gak maen-maen” keg gitu, pun tukang becaknya lama jemput, uda jalan macet lagi jadi pulangnya habis maghrib gitu, yaudahlah, Winda sering lah dibilangin sama mama sama ayah, “ Winda kau itu, Cuma Winda anak yang normal, ami keg gitu, dia gak bisa diharapkan, tengoklah dia aja masih kelas enam, Winda uda SMP, Windanya yang diharapkan sama ayah sama mama”, bilangnya keg gitu

(S1.W1/b.1047-1074/h23)

Aktivitas luar rumah bersama teman sebaya menjadi terbatas. Khawatir akan terjadi hal yang tidak diharapkan pada anak normal satu-satunya menjadi alasan kuat dari orang tua.

“Ya kesal juga sih, “ish gak enak kali masa dikit-dikit dilarang gitu kan, tapi ada baiknya juga” Winda bilang keg gitu, ya ngomel-ngomel sendiri jadinya” (S1.W3/b.402-405/h.70)

(27)

58

enak, tapi mau kek mana, mama itu takut lo, uda bang ami keg gitu, nanti kau ntah kenapa-kenapa, ditabrak masuk rumah sakit, Winda bilang keg gitu, Cuma Winda satu-satunya anaknya yang baik, payah lo nanti”, mama bilang keg gitu, “ ayah lagi ma berpikirnya yang egnggak enggak gitu, “ iya sih, ayah terlalu menjaga kali, itulah karna Cuma Winda aja yang bagus, mama bilang keg gitu, gitulah sampe sekarang gak bisa diajakin orang itu”

(S1.W3/b.407-428/h.70)

Waktu yang dihabiskan sang ibu untuk memenuhi kebutuhan saudara autis juga membuatnya harus mengerjakan beberapa pekerjaan rumah. Bahkan ia terkadang tidak menerima karena saudara tidak pernah diminta untuk melakukan pekerjaan rumah.

“Iya, sering keg gitu misalnya kan gini “ bang ami, angkatlah itu jemuran kau kan ga ada kerja pun, aku aku aku aja kan capek…” gitu ya kan “ kau Winda, dia kan ga ngerti”, dulu sekarang tapi gini dia kan uda ngerti “ bang ami angkat itu, sama-sama” gitu”

(S1.W1/b.346-356/h8)

Hari-hari yang ia jalani di rumah juga tidak semudah yang dibayangkan. Saudara autis yang tidak mengerti bagaimana seharusnya seseorang bermain sering kali menimbulkan kemarahan pada Winda. Ia tidak suka cara bermain saudara. Setiap kali ia marah terhadap saudara orang tua selalu menegur dengan mengingatkan gangguan yang dialami saudara, orang tua meminta agar tidak membalas apa yang dilakukan saudara autis.

(28)

59

1. Karakteristik Penyesuaian Diri

Gambar 1. Aspek Persepsi Yang Akurat Terhadap Realitas R1

karakteistik penyesuaian diri persepsi yang akurat terhadap realitas

mampu menetapkan sesuai di masa depan, tidak ada yang membuka lowongan kerja untuk penderita autis

(29)

60

1.aPersepsi yang akurat terhadap realitas

Persepsi yang akurat terhadap realitas merupakan salah satu karakteristik seorang individu dengan penyesuaian diri yang baik. Persepsi yang akurat terhadap realitas ditandai dengan kemampuan dalam menetapkan tujuan, menyadari peluang dan hambatan yang ada, dan secara aktif mengejar tujuan tersebut. Responden berharap saudara autisnya bisa menikah dengan seorang teman perempuan yang baik hati dan peduli dengan keadaan saudara autisnya. Perempuan ini ia jumpai di sekolah dasar dulu.

“Itu apa namanya, dulu waktu SD ami punya teman yang maklum, sayang lah sama ami, perempuan, cuma dia yang ngerti bang ami, pun ada yang lambat sikit pukul, atau jahat gitu ya kan, ami tu sering di gangguin sama kawan laki-lakinya, nama kawan perempuannya itu Masnun, jadi kalo uda di gangguin itu, “ Masnun, aku di pukul sama orang itu…” gitu ya kan, jadi kawan l aki-lakinya pun yang “ ciehh.. Masnun ciehhhhh…punya pacar ye,,,” terus Masnun nya gini “ dia kan ga ngerti, klen bodoh kali “ kata si masnun keg gitu, jadi waktu dulu waktu di sekolah pas di siantar kan masuk siang, nungguin Ami di sekolah baru Winda diantar sama ayah, jadi inilah, di bilang sama ami, “ mi, bang Ami.. kau misalnya kalo uda besar nikah sama siapa?”, gitu, “ aku sama masnun aku”, “ oh, iya, Masnun baek “, kami bilang keg gitu, dia kalo asal dia ditanya “ mi, pacarnya siapa?” misalkan sama uwak, atau sama nenek selalu di bilangnya keg gitu

(S1.W1/b.1110-1152/h25)

“Winda berharap nanti kalo bang ami uda besar nikah sama masnun” (S1.W1/b. 1158-1159/h25)

(30)

61

toko roti sendiri. Responden menunjukkan cara memasak yang benar kepada saudara. Ia juga berniat akan mendirikan sebuah restoran dan usaha apa saja untuk saudara autis.

“Bisa tapi gini, “jangan di gituin, rusak lah nanti” dikasih tau aminya, baru dia buatlah, jadi asal ditanya in cita-citanya apa, “ bang ami, cita-citanya apa?” ditanya sama mama, “ aku jadi koki,” katanya gitu, jadi Winda pengen dia jadi, seperti kata mama misalnya dia nanti uda besar , nanti kalau mama udah tua kan nanti sekolahnya dia lah yang ngurusin, jadi nanti selain itu pun mama bisa buka toko roti sendiri”

(S1.W1/b.1178-1195/h26)

Melihat perkembangan saudara yang cukup baik di sekolah ia juga berharap dimasa depan saudara tidak tantrum dan bisa mendapatkan pekerjaan yang layak agar ia bisa mandiri. Untuk mencapai tujuan ini ia selalu berdoa untuk saudara agar apa yang ia harapkan bisa tewujud.

“Karna kan Ami yang di sekolah itu yang lumayan normal, yang lain pun masih parah-parah kalu misalnya ujian pun ngamuk, menjerit-jerit, yang lain kawannya mama bilang, ya nilainya yang selalu bagus ya itu bang ami”

(S1.W1/b.1204-1210/h27)

“Ya, Winda ya doain aja, mudah-mudahan, dia kan suka masak, asal nengok Winda masak dia suka bantuin, ntah motongin cabe atau ngaduk-ngaduk apalah, gitu…

(31)

63

Gambar 2. Aspek Kemampuan Mengatasi Stress Dan Kecemasan R1

(32)

64

1.bKemampuan mengatasi stres dan kecemasan

Setiap tujuan yang ditetapkan tidak selalu dapat dicapai dengan segera. Proses pencapain tujuan dan keinginan bisa lebih cepat atau mengalami penundaan. Penundaan atau kegagalan dalam mencapai tujuan dan keinginan dapat menimbulkan stres dan kecemasan. Kemampuan mengatasi stres dan kecemasan ini tidak mudah untuk dilakukan akan tetapi sangat penting dalam kelangsungan kehidupan sehari-hari. Toleransi dan pengorbanan merupakan dua hal yang sangat penting dalam mengatasi stres dan kecemasan. Responden berusaha menjelaskan keadaan saudara yang mengalami autis kepada teman-teman sebaya ketika mereka mengganggu dan mengejek saudara.

“Winda, abang kau gitu ya, uda gitu jelasin lah, gini…gini..lah abang aku gini, sakit, maklumin lah kalau dia itu aneh depan klen, maklum keg gitu sama kawan-kawan baru disitu, apa….pun yang belum ga ngerti tapi ami kan suka gayanya apa lah keren-keren keg gitu jadi dia itu suka sama ami”

(S1.W1/b.177-189/h5)

Ia juga menjelaskan kembali kondisi autis seperti apa kepada teman yang menggunakan autis sebagai bahan ejekan untuk sesama mereka. Ia mengganggap teman-teman mengejek saudara autis karena mereka tidak mengetahui dan tidak mengerti tentang autis. Pertanyaan berulang dari teman-teman tentang kondisi saudara ia jawab dengan baik dengan tujuan mereka bisa mengerti kondisi saudara sehingga tidak mengejek dan mengganggunya lagi.

“Ya Winda jawab aja, biar orang itu ngerti, gak ngejek-ngejek lagii” (S1.W3/b. 180-181/h65)

(33)

-65

sering bilang klo kawan-kawan klen yang bodoh dibilang autis, bukan,” aku bilang keg gitu, “ autis itu lain”, Winda bilang keg gitu, orang itu pun sering Nampak SLB, SLB itu kan berarti anak-anak bodoh lah, apa namanya, udah bodoh, cacat, gitu kan, jadi Winda bilang sama orang itu bukan, bukan keg gitu, lain, kan itu autis itu kan gara-gara penyakit, bukan bodoh, Winda bilang keg gitu, jadi klen jangan bilang keg gitu”

(S1/W3/b. 122-131/h63-64)

“Yah keg gini, Winda bilang, orang-orang kawan yang lain kan sering bilang aneh lah gitu, dari kawan sekelas yang lain bilang “eh, dasar lah kau memang anak autis, misalnya bodoh, dia kan ga pande belajar kawan Winda, jadi di bilang autis, padahal autis kan gak gitu, bukan gak pande belajar, yah terus Winda bilang autis itu gangguan saraf, jadi dia gak bisa apa-apa, dia gak bisa ngomong, kayak yang pernah ku jelasin sama kalian, keg gitu”

(S1.W1/b. 536-554/h12)

Hal ini tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Ia berusaha mengatasi tekanan dari teman sebaya yang mengejek tetapi responden terkadang tidak dapat menahannya. Beberapa teman sebaya terus mengejek dan mengganggu saudara meskipun ia sudah menjelaskan berulang kali. Ejekan dan gangguan yang terus menerus dari teman sebaya terkadang ia balas dengan kekerasan fisik (melempar wajah teman dengan tas) dan memarahi mereka atas perbuatan yang dilakukan terhadap saudara autis. Ia mengaku tidak akan memaafkan orang-orang yang terus menggangu saudara.

(34)

66

(S1.W2.s1/b.194-212/h.36)

“Habisnya keg mana, ma, aku uda palak kali sama dia” Winda bilang keg gitu, “terus, dia uda pernah minta maaf?, “pernah hari itu tapi malas maafinnya, enak aja, uda keg gitu minta maaf aja”

(S1.W2.s1/b.228-232/h.37)

Ia juga berusaha mengatasi tekanan dari perbuatan saudara yang sering mengganggu dan menempatkannya dalam kesulitan dengan mencoba membayangkan berada di posisi saudara. Ia meminta maaf terhadap saudara setelah memarahinya. Hal ini ia lakukan untuk mengatasi kecemasan akan dimarahi orang tua karena perbuatannya.

“Tadi kog marah ya sama ami, tadi dia kan nangis kasihan, kemarin pun nangis dia, ish aku pun kena marah lah nanti, uda gitu “bang ami, adek minta maaf ya”, “ iya, dek gitu”

(S1.W1/b.1316-1323/h29)

Responden berusaha melembutkan suara kepada saudara agar hubungan dengan saudara autis bisa lebih baik dan mendapat hadiah yang dijanjikan orang tua. Keterbatasan aktivitas akibat kekhawatiran orang tua karena ia merupakan anak normal satu-satunya juga berusaha ia pahami dan mempertimbangkan situasi yang ada jika ia ingin beraktivitas dan menolak ajakan teman dengan menjelaskan kondisi yang ia alami sebenarnya.

(35)

67

keg gitu, gitulah sampe sekarang gak bisa diajakin orang itu, Winda nengok-nengok situasi dulu”

(S1.W3/b.407-429/h.70)

Liburan yang batal atau ditunda terkadang membuatnya kesal tetapi dengan penjelasan yang diberikan orang tua yang menekankan kebaikan untuk saudara autis berusaha ia terima dan tidak terlalu menuntut janji orang tua.

“Hmm, ga… kadang ya udah lah cuma jalan-jalan ke tempat nenek aja pun bosan gitu”

(S1.W1/b.462-465/h11)

“Gak, kadang-kadang pun malas, jalan-jalan gitu” (S1.W1/b.468-469/h.11)

Menggantikan tugas orang tua mengerjakan pekerjaan rumah terkadang membuat responden merasa kesal karena harus bekerja sendiri. Ia membandingkan diri dengan saudara yang tidak melakukan pekerjaan rumah apapun. Mengatasi hal ini ia berusaha merasa biasa saja tetap dan mengerjakannya.

Kondisi rumah yang merupakan tempat beberapa anak autis dan gangguan lainnya mendapatkan terapi dan pendidikan membuat Winda merasa terganggu. Ia meminta kepada orang tua untuk memisahkan rumah dengan tempat terapi. Permintaan pindah rumah belum terwujud. Responden berusaha untuk bertoleransi atas keadaan tersebut dengan mendengarkan musik dan mengunci diri di kamar.

“Ma, kita cari rumah lain yok. Nanti ada langganan mama nyewa tempat mama tempat yang mau mama sewain juga, udah mau abis, itu aja jadi nanti kita pindah situ”

(S1.W2.s2/b.380-385/h60)

(36)

68

Responden juga memikirkan pengaruh positif dari anak-anak yang menjalani terapi sehingga ia bisa lebih menerima kondisi tersebut. Ia merasa dengan keberadaan anak-anak tersebut memberinya lebih banyak teman dan mengurangi rasa kesepian.

“Tapi gak enak juga ya ma, Rumahnya sepi kalau disini kan rame gak ada kawan nanti kalau disana kek gitu”

(37)

69

Gambar 3. Aspek Kemampuan Mengungkapkan Perasaan R1

(38)

70

1.c Kemampuan mengungkapkan perasaan

Kemampuan mengungkapkan perasaan dalam berbagai emosi mencerminkan kesehatan emosional. Individu dengan penyesuaian diri yang baik mampu merasakan dan mengungkapkan perasaan melalui berbagai spektrum emosi yang tepat, mengatur dan menempatkan emosi dibawah kendali sendiri, mengidentifikasi emosi dengan baik dan mempertimbangkan alternatif dalam mengungkapkan emosi..

Berbagai perasaan responden rasakan silih berganti dengan kehadiran saudara autis dalam perjalanan hidup. Senang saat ia bisa tertawa menyaksikan tingkah lucu saudara, sedih saat membayangkan bagaimana kehidupan dibalik autis, bangga saat ia bisa menceritakan prestasi saudara yang bahkan melebihi apa yang dilakukan oleh individu normal.

“Winda jelaskanlah ada abang Winda, orang itu kan dengar, gurunya kan nanya, ada abang Winda, “berarti abang kau autis lah” kata orang itu, “kenapa memang rupanya? Winda bilang, “ klen ga autis, abang aku dia pande bahasa inggris, pande bahasa arab, pande bahasa jepang, klen bahasa inggris aja gak pande, bahasa Indonesia aja gak lulus, Winda bilang keg gitu, lebih pintar lagi anak autis dari pada anak normal Winda bilang keg gitu”

(S1.W3/b.135-146/h.64)

Malu ketika sang abang tantrum di depan keramaian dan banyak orang yang membicarakan perilaku saudara. Ia marah dan sakit hati saat teman sebaya mengejek saudara autis.

“Itu, kalau orang itu gak pernah ngejekin Winda, tapi ngejekin bang Ami jadi, marah lah Winda sama orang itu”

(S1.W2.s1/b.130-132/h34)

(39)

71

(S1.W3/b.216-220/h.66)

“Masih, nanti kan tiba-tiba lagi serius belajar, Winda, murid mama mu lepas gitu, “alah, klen macam gak ngerti aja, udah capek aku jelasinnya”, Winda bilang keg gitu”

(S1.W3/b.230-234/h.66)

Responden 2 juga terkadang ia melampiaskan kemarahan dalam cara negatif. Ketika ia merasa marah ia membanting barang disekitarnya.

“Ya Winda kadang-kadang ini, kan misalnya kan apa..., marah lah gitu ya kan, pas anak-anak kan kalo kesal barang dibanting, “kog dibanting-banting itu” gitu yak an, “ ga ada jatuh,” gitu ya kan, “ gak mungkin, kalo jatuh kan ini, kog kuat kali suaranya”

(W1.S1/b.901-913/h20)

Seiring berjalannya waktu, ia semakin dewasa. Ia mengidentifikasi apa yang ia rasakan dan mengungkapkan dengan terbuka kepada orang tua.

“Terus certain lah, aku marah gara-gara mama bilang keg gini, ami aja yang ini..ini..ini.. (mengarah ke perilaku saudara autis), “kadang pun silap, langsung ceplos aja ngomong, kan uda pernah mama bilang sama Winda, ami itu lain sama Winda, Winda itu apa.. normal, beda sama ami, ami keg gitu, coba Winda ditukar, Winda jadi ami, ami jadi Winda pasti ami pun keg gitu, ngejek in Winda” gitu. Kadang-kadang pun marah sama Winda keg mana gitu”

(W1.S1/b.913-930/h21)

Pada waktu tertentu ia mengendalikan kemarahan terhadap saudara autis. Hal ini ia lakukan untuk menghindari konflik dengan orang tua karena setiap ia memarahi saudara ia akan berdebat dengan orang tua yang menurutnya pembela saudara autis.

“Tahan aja, kalau gak ditahan nanti repot nanti diapain mama lagi” (S1.W2.s1/b347-349/h.59)

(40)

72

“Sering, misalnya kan, is ma… misalnya soal apa kan bagi rapot, maa.. aku lah, bang Ami suruh ayah aja datang, biar sama ayah dia, dia nanti gak ngerti lho Winda, nanti repot, Winda kan bisa sendiri, baru habis itu, terus habis itu apalah sering minta apa namanya minta dikawanin tidur gitu, “ma, kawanin Winda tidur napa, masa aku sendiri aja bang Ami terus yang di kawani, “ terus Ami kan tidur masih suka peluk-peluk, apa manja ya kan, “ aku peluk napa, ma?” keg gitu ya kan, “ aku gak pernah mama peluk”, gitu”

(S1.W2.s2/b.521-532/h46)

Mengeluh saat orang tua meminta untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan membantu mengurus pekerjaan rumah saudara autis sementara saudara autis sibuk bermain. Ia juga merasa kesal ketika permintaannya tidak dipenuhi dan merasa cemburu karena saudara autis mendapatkan apa yang ia inginkan.

(41)

73

Gambar 4. Aspek Self-Image R1

1.dSelf Image

(42)

74

(43)

75

Gambar 5. Aspek Hubungan Interpersonal R1

(44)

76

1.e Hubungan interpersonal

Individu yang memiliki penyesuaian yang baik mampu membangun hubungan interpersonal yang baik juga. Berdasarkan aspek hubungan interpersonal, penyesuaian diri yang baik memungkinkan seseorang untuk merasa senang dan nyaman dengan keberadaan orang lain begitu juga sebaliknya orang lain senang dengan keberadaannya, menghargai keberadaan orang lain, mampu berbagi perasaan dan emosi dengan orang lain dan mampu membatasi kadar keintiman yang layak dengan orang lain.

Responden adalah orang yang ramah, suka menyapa dan menegur orang lain terlebih dahulu dan berinisiatif dalam memulai percakapan dengan orang lain. Meskipun demikian ia selalu mempertimbangkan karakter orang yang akan ia ajak bicara apakah akan menyambutnya atau tidak sehingga ia mampu mencapai kadar keintiman yang layak dengan orang yang ia ajak bicara.

“Iya, terbuka aja, ih ada kawan baru, kayak kakak-kakak itu, “ kak namanya siapa?” kek gitu”

(S1/W2/s1/b.324-326/h40)

“Tergantung kak, kalau apa orangnya cepat bergabung pun cepat dekatnya, kalo gak, gak cepat”

(S1/W2/s1/b.329-331/h40)

(45)

77

“Enak gitu, kalo misalnya uda diungkapkan soal apa namanya berantam sama kawan sekelas gitu misalnya teman dekat, jadi apa uda Winda bilang sama dia pertama Winda apa namanya, “ish, pengen siapa ya yang bisa diajak cerita, ga enak kalo gak di ceritain, habis itu ya udah, ngomel-ngomel sendiri”

(S1/W3/b.374-375/h69)

Responden merupakan orang yang terbuka dalam menanggapi pertanyaan teman tentang saudara dan membenci teman yang terus mengejek dan mengganggu saudara autis. Meskipun ia merasa terganggu dengan keberadaan beberapa anak yang menjalani terapi dirumahnya, ia menyadai bahwa keberadaan mereka juga bisa menjadi teman baginya disaat-saat tertentu dan ia akan kesepian jika membayangkan mereka tidak tinggal dirumahnya.

“Tapi ma, kalo kita gak tinggal sama orang ini, gak sama sekolah nanti rumah kita gak rame lo, gak enak sepi, Winda bilang ke gitu

(46)

78

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri Responden 1 Gambar 6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri R1

(47)

79

2.a Kondisi fisik

Kondisi fisik yang sehat membantu individu dalam menyesuaikan diri dari permasalahan yang ia hadapi. Individu yang memiliki penyakit lebih memiliki kecenderungan kurang percaya diri, perasaan rendah diri, ketergantungan dan perasaan ingin diperhatikan orang lain. Responden mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki riwayat penyakit jangka panjang yang mempengaruhi kehidupannya. Meskipun saudara mengalami autis, responden tidak mewarisi penyakit tertentu yang menggangu dalam menjalankan kehidupan sehari-sehari. Faktor ini merupakan salah satu faktor yang membuat responden bisa menjalani tuntutan dari kondisi saudara yang mengalami autis baik secara langsung maupun tidak langsung.

2.bPerkembangan dan kematangan

Perkembangan dan kematangan mempunyai hubungan yang erat dengan proses penyesuaian diri, dalam arti bahwa proses penyesuaian diri itu akan banyak tergantung pada tingkat perkembangan dan kematangan yang dicapai. Dalam proses perkembangan, respon anak berkembang dari respon yang bersifat instingtif menjadi respon yang diperoleh melalui belajar dan pengalaman. Dengan bertambahnya usia, anak juga matang untuk melakukan respon. Responden pada awalnya, ketika masih kanak-kanak, tidak mengerti tentang autis dan terus mengajak saudaranya untuk bermain meskipun ia tidak mendapat respon.

(48)

80

Seiring berjalannya waktu, keluhan atas sikap orang tua yang selalu menuntut untuk tidak membalas perilaku saudara dan perasaan diperlakukan secara berbeda dengan saudara autis berubah menjadi penerimaan dan pemahaman atas ketidakmampuan yang dialami saudara autis dari penjelasan orang tua.

“bang Ami kan keg gini, Winda tahu kan bang Ami itu masih itu, tingkah lakunya masih kayak anak-anak, umurnya aja yang besar, tingkah lakunya macam anak-anak, mama bilang keg gitu, barulah Winda ngerti bang Ami itu belum bisa, makanya dia dia dibantu”

(S1/W2/s1/b.537-539/h46)

Pemahaman responden mengenai hal ini juga didukung dengan kematangan kognitif responden dengan prestasinya yang sangat baik di sekolah.

2.c Faktor psikologis

(49)

81

diikuti kepada responden dan menjelaskan kondisi autis yang dialami saudara secara berulang kali.

“Mama kan ikut sem.. apa workshop yang kemaren itu, jadi gini kata ibu itu supaya klen gak berantem, Winda ngomongnya tu jangan kasar2 apa tu ngomong pelan2 soalnya sampe besar nanti ngaruh mama bilang kek gitu, jadi Winda ngomongnya pelan2, ibu2 itu bilang kayak gitu, klu ngomong pelan2 dia ingat sampe besar oh ini dia ingat ini baek sama aku gak kasar ngomongnya jadi dia ngerti bahwa Winda tu sayang sama dia. Padahal kalau keras2 dia nggak ngerti,mesti jahat ini, jadi kek gitulah. jadi misalnya ya, ini betul loh mama itu gak bohong sama Winda”

(S1/W2/s2/b.81-99/h50-51)

“Pernah tapi apa pas seminarnya itu pun kadang ada autis kadang-kadang gak, gitu”

(S1/W2/s1/b.302-304/h39)

“Iya, kak gini, ayah uda pigi, “ma, mama mau kemana?”, Winda Tanya gitu, “ mau seminar”, “ seminar apa”, “ kitu lho yang kemaren,”, “ oh, aku ikut lah”, lagian pun mama pernah juga apa, seminar kan, jadi seminarnya tu buka bazaar, jadi jual makan-makanan autis gitu, kebetulan ada yang kenalin suplemen bang Ami itu, jadi sekalian jelasin tentang autisnya dan promosi sekolah, jadi Winda jaga bazarnya”

(S1/W2/s1/b.306-315/h39)

Disisi lain dari pengalaman positif yang mengarahkan responden pada penyesuaian yang baik, ia juga mendapatkan pengalaman negatif dalam menjalankan kehidupan sehari-hari dengan kehadiran saudara. Menyaksikan fitur perilaku saudara autis, pertanyaan berulang dari teman sebaya menyangkut saudara autis, berada di sekolah yang sama, dan sebangku sehingga menyaksikan saudara autis diganggu dan diejek oleh teman sebaya. Bahkan kadang kala ia mencapai titik frustasi akibat gangguan teman sebaya yang memaksanya untuk membalas perbuatan teman.

(50)

82

mukanya, nangis dia ya kan, “ itu lah kau kan, nangis kau kan, coba Ami keg gitu, dia karna takut ajanya, makanya ini dia itu gak berani dia apain klen” S1/W2/s1/b.201-204/h36

2.d Faktor lingkungan

Responden memiliki hubungan yang dekat dengan ibu. Meskipun responden mengaku sering berdebat dan mengalami sedikit konflik dengan ibu akibat sang ibu kerap kali membela saudara yang menurutnya salah, ibu tetap menjadi tempat ia mencurahkan segala apa yang ia rasakan. Ibu meminta responden untuk terbuka dan tidak berbohong dengan apa yang terjadi pada responden. Begitu sebaliknya, responden terbuka dengan ibu dan menceritakan apa yang dia alami baik yang berhubungan dengan pengalaman negatif dengan saudara autis dan bahkan terbuka soal kedekatannya dengan teman lawan jenis. Pada saat responden mengungkapkan keluhan pada orang tua (Ibu), ia selalu mendapat tanggapan dari setiap keluhan tersebut meskipun terkadang berujung pada nasihat dan penjelasan yang diberikan orang tua kepada responden.

“Kan uda pernah mama bilang sama Winda, ami itu lain sama Winda, Winda itu apa.. normal, beda sama ami, ami keg gitu, coba Winda ditukar, Winda jadi ami, ami jadi Winda pasti ami pun keg gitu, ngejek in Winda” gitu. Kadang-kadang dia pun marah sama Winda keg mana gitu”

(S1/W1/b.917-920/h20)

(51)

83

ibu responden yang mengkomunikasikan apa yang terjadi dengan anaknya kepada keluarga besar. Pondok peduli autis yang didirikan ibu responden membuat lingkungan sekitar mengetahui apa yang terjadi dengan saudara. Masyarakat di lingkungan tempat tinggal tidak banyak bertanya mengenai saudara sehingga ia tidak merasa kesulitan dengan hal tersebut. Ia menemukan kesulitan dengan lingkungan teman sebaya. Diluar teman dekat, ia merasakan tidak ada kepedulian teman sebaya terhadap kondisi saudara. Ia mengaku hal ini mungkin disebabkan teman sebaya tidak memiliki anggota keluarga autis sehingga mereka tidak merasakan apa yang dirasakan responden.

2.e Faktor agama, adat istiadat, dan budaya

Orang tua menekankan ajaran agama yang cukup kuat kepada responden dalam mengatasi masalah yang mereka hadapi. Orang tua menekankan bahwa saudara yang mengalami autis adalah anak surga dan meminta repsonden untuk bersikap baik agar keluarganya bisa berkumpul di surga nanti. Orang tua juga mengajarkan responden untu bersedekah sebagai bagian dari terapi penyembuhan saudara yang mengalami autis.

B. Deskripsi Data Responden 2

B.1. Sekilas Responden Penelitian

(52)

84

sebuah kantor pemerintah sedangkan ibunya bekerja sebagai ibu rumah tangga yang mecoba usaha pakaian. Responden 2 memiliki adik berusia 9 tahun dan 1 tahun. Adik keduanya mendapat diagnosa autis saat berusia 3 tahun. Saudara mengalami kelainan perilaku sejak ia demam. Ia mulai mengantuk-ngantukkan kepala ke dinding dan tidak mengeluarkan suara. Banyak cara telah dilakukan keluarga untuk mengupayakan kesembuhan bagi saudara. Beberapa kali orang tuanya membawa ke “orang pintar”. Muncul banyak persepsi dalam keluarga mereka mengenai ganggguan yang dialami saudara, kerasukan setan, diguna-guna, dan berbagai pendapat sampai mereka membawanya ke dokter dan saudara dinyatakan mengalami gangguan bernama autis.

Responden mengaku tidak mengerti autis itu seperti apa dan tidak mendapat penjelasan mengenai kondisi yang dialami oleh saudara karena orang tua sendiri juga tidak mengerti gangguan apa yang dialami saudara. Orang tua hanya menekankan agar menjaga bersama adiknya karena memiliki kondisi yang berbeda dengan orang normal. Tanpa banyak pertanyaan responden hanya mengikuti apa yang dikatakan orang tua.

(53)

85

dalam kondisi yang berat. Pada masa kanak-kanak, ketika teman sebaya bisa dengan bebas bermain apa yang mereka suka, ia harus tetap berjaga mengawasi saudara yang bermain atau berdiam diri di dalam rumah sambil mengawasi saudara agar tidak keluar rumah. Jika tidak diawasi saudaranya mungkin berada dalam bahaya. Seperti yang ia ungkapkan, saudara pernah hilang. Selain itu, saudaranya juga pernah ditemukan tidak berdaya berada di dalam sumur. Menurutnya, hal ini terjadi karena saudara tidak bisa berbicara dan tidak bisa mengungkapkan kemana ia akan pergi.

Ketidakmampuan saudara berkomunikasi sebagaimana orang normal berkomunikasi membuat kondisi semakin sulit ia rasakan. Ia berusaha untuk berperan dalam menyembuhkan saudara tetapi tidak jarang ia frustasi dengan hal tersebut karena tidak kunjung memberi respon seperti apa yang ia harapkan. Seiring berjalan waktu, ia merasakan ada yang berbeda dengan apa yang ia alami dan apa yang dialami teman-teman sebaya. Responden 2 merasa keterbatasan pada aktivitasnya, terikat dengan kondisi saudara yang selalu membutuhkan pengawasan dimana ia sangat dibutuhkan dalam hal menggantikan orang tua disaat orang tua melakukan pekerjaan lain. Sementara ia menyaksikan teman sebaya bisa bebas melakukan apapun yang mereka inginkan, main bola, bersepeda dan melakukan aktivitas lainnya karena mereka memiliki adik yang bisa bermain sendiri sedangkan responden 2 harus selalu mengawasi saudara autis.

(54)

86

diri untuk mengantar saudara dan masih harus mengerjakan pekerjaan rumah titipan ibu, mencuci piring, menyapu rumah, dll. Ia sering merasa tidak enak hati meminta teman yang mengajaknya untuk bermain menunggu melakukan hal-hal tersebut.

(55)

87

1. Karakteristik Penyesuaian Diri Pada Responden 2

Gambar 7. Aspek Persepsi Yang Akurat Terhadap Realitas R2

1.aPersepsi yang akurat terhadap realitas

Responden 2 tidak mampu menetapkan tujuan masa depan kepada saudara autisnya. Ia tidak bisa melihat apa yang berkembang dari saudaranya tersebut. Bahkan dari beberapa tahun pengobatan dan terapi yang sudah dijalani saudara ia merasa tidak ada perubahan berarti yang terjadi pada saudaranya.

“Kalo dia belum bisa keliatan apa-apa kak, gak tau nantinya gimana, ngomong pun dia tidak tahu… jalan pun, daerah sekitar rumah dia gak tau, gak kebayang nanti dia mau gimana”

(S2.W3/b/h

persepsi yang akurat terhadap realitas

tidak mampu menetepkan tujuan terhadap saudara autis

saudara autis tidak bisa berbicara dan tidak merespon orang lain

berdoa agar sauadra autis kembali normal

(56)

88

Gambar 8. Aspek Kemampuan Mengatasi Stress Dan Kecemasan R2

(57)

89

1.b Kemampuan mengatasi stress dan kecemasan

Responden 2 mengalami berbagai hal yang menempatkannya dalam situasi yang menekan. Ia berusaha untuk menghindari pertanyaan yang berhubungan dengan kondisi saudara yang mengalami autis karena merasa tidak ada manfaat orang lain bertanya tentang saudaranya.

“Oo pernah. Nanya gini, Kek mana gitu adekmu gitu adekmu kek gitu, kek mana pendapatku? Ya pendapatku yes yes aja yes yes no. Kan orang kan gak mau punya adek kek gitu, Rendy gak mau punya adek kek gitu tapi ya kek mana,terpaksa. Kek gitu aja Rendy bilang”

(S2/W2/b.904-905/h)

“Ya, Bagi orang itu gak penting kali gitu” (S2/W2/b.924-925/h)

“Maksudnya kalau Rendy bilang ada Ada bergunanya sama orang atau nggak. ...sebetulnya berguna apa gak sama orang itu”

(S2/W2/b.928-931/h)

Responden juga hanya sekali membawa teman satu sekolah berkunjung ke rumahnya. Ia membawa teman masuk dari pintu belakang dan hanya memberitahukan apa yang terjadi dengan saudara sesuai dengan apa yang ditanyakan teman. Ia tidak menyukai percakapan dan berusaha mengalihkan topik pembicaraan tentang saudara autis. Ia mengungkapkan bahwa tidak ada teman sekolah yang tahu pasti mengenai kondisi saudara autis.

(58)

86

(S2.W1/b.133-150/h4)

“Gak, kasih tau itu gak perlu kali gitu kan. Teman-teman curhat. Teman curhat tu biasanya Dikantin dia ya kan. Lagi apa ni, lagi makan, boleh curhat? Boleh duduk. Katanya ya udah duduk”

(S2/W2/b.959-964/h)

Berbagai hal ia alami akibat keberadaan saudara autis. Penundaan permintaan karena orang tua mendahulukan kepentingan saudara autis. Perlakuan orang tua yang berbeda juga membuatnya cemburu dan merasa sedih. Ia berusaha mengatasi rasa sedih dengan melakukan aktivitas yang membuat perasaaanya tenang dan melupakan pengalaman negatif yang ia lalui.

“Yah, buat jangan sedihlah saya gitulah, maksudnya ntah pegi-pegi, gabung-gabung sama temen , kadang-kadang ngaji bareng anak remaja mesjid sini agak sering gitukan, malamnya kadang di sms sama ketuanya gabung yok, yaudah gabung”

(S2.W1/b.206-212/h6)

“tidur aja biar relax itu kan, minum air putih terus tidur aja udah tenang kali itu kan”

(59)

91

Gambar 9. Kemampuan Mengungkapkan Perasaan R2

(60)

92

1.c Kemampuan mengungkapkan perasaan

Rangkaian emosi selalu menyertai setiap individu dalam setiap permasalahan yang dihadapi. Bagaimana kemampuan seorang individu menyesuaikan diri dengan apa yang ia hadapi dalam kehidupan, kemampuan mengungkapkan perasaan menjadi salah satu indikatornya. Responden 2 merasa haru dan sedih bahkan ketika ia melihat dan memperhatikan saudara autis melakukan hal-hal yang tidak dilakukan oleh orang normal. Angannya melayang apa sebenarnya yang dialami saudara dan kenapa ada gangguan seperti itu.

“Gak tahu, tiba-tiba, tiba-tibakan cuman liatin dia saya rasanya kok tersentuh kali”

(S1.W2/b.201-203/h6)

“Sedih itu seperti apa...sedihnya itu seperti apa ya...kita kan terharu, gitu ya kan, soalnya dia lain dari yang lain, terus banyak orang yang bilang kalau dia anak istimewa....yang wansa herannya istimewanya seperti apa....apanya yang istimewa, gitu”

(S2.W2/b.13-20/h18)

“Ya gara-gara adik kayak gitu, misalnya dia kayak gitu ya kan....anaknya kok gini, kok lain sama yang lain, semacam kok ngak apa, sedangkan yang lain bisa bermain seperti teman-temannya ya kan, teman-temannya sudah bermain, sekolah normal dia masih sekolah seperti ini gitu. Dia selalu diam didalam rumah. Kalau dia dilepas dia kemana-mana aja. Jarang dia tau jalan pulang, itupun tunggu dibilang juga. Dia lari-lari pernah juga sempat dia hilang” (S2.W2/b.23-41/h18)

(61)

93

“Kecewa juga, nanti orang ini pergi kan, aku ditinggal gitu kan, jagain rumah, nanti Fahri dapat mainan baru aku kok gak dibeliin”

(S2.W1.b.407-410/h11)

“Ma.. ma.. asik Fahri-Fahri aja pun, yah sabar lah paling mama bilang gitu, yaudah lah diam aja”

(S2.W1.b.440-442/h11)

Terkadang responden 2 juga merasa lelah dan ingin marah dengan perilaku yang dilakukan saudara. Akan tetapi ia kembali mengingat gangguan yang dialami saudara dan mengendalikan emosi. Ia mengubah emosi tersebut dengan senyuman. Ketika ia sudah tidak bisa menahan emosi, ia hanya bisa mengancam saudara autis tanpa bisa melakukan apa-apa termasuk membalas.

“Itulah dia, kalau misalnya dia kedepan disuruh pulang gak mau. Kalau wansa marah-marah, dia tambah marah. Kalau uda gitu kan, pas waktu itu uda ada undangan kesergei. Kakak tau sergai kan? Kampungnya oom adik ayah, adik ipar ayah. Itulah, dia memang sampai jauh sana, jauh dia, kan daerahnya pasir. Lari aja dia....kalau wansa marahi ngak mungkin! Kampung orang ya kan! Dia udah marahkan! Bahkan dimarahi sedikit nangis. Ngak mau apa-apa. Ya wansa kejar aja, itu yang bikin wansa lelah. Soalnya dia lari duluan. Uda sampe jauh baru wansa kejar. Itulah yang paling lelah. Wansa pun mau dikejar kayak mana, mau marah kek mana, anaknya keg gini kan....senyum ajalah...”

(62)

94

Gambar 10. Aspek Self Image R2

1.dSelf-Image

Responden 2 merupakan orang yang cenderung sulit menggambarkan diri dalam berbagai aspek. Ia mengungkapkan bahwa yang tahu dan bisa menilainya adalah orang lain, bukan dirinya. Ia hanya bisa mengatakan setuju atau tidak setuju dengan apa yang orang ungkapkan tentang dirinya. Responden 2 mengungkapkan bahwa ia adalah orang yang tidak tegaan terhadap orang lain, menganggap dirinya sebagai orang yang baik karena sudah melakukan hal-hal yang berguna untuk saudaranya

self image

mengungkapkan diri sebagai orang baik

bersedia menjaga dan membantu saudara

autis

tidak tega dalam membalas perilaku

orang lain yang menyakiti diri

responden

tidak bisa menggambarkan diri karena menganggap orang lain yang menilai

tentang dirinya

(63)

95

Gambar 11. Aspek Hubungan Interpersonal R2

(64)

96

2.e. Hubungan interpersonal

Kualitas penyesuian yang dilakukan individu terlihat dari bagaimana ia bisa membangun hubungan interpersonal dengan individu atau kelompok yang ada di sekitarnya. Kesediaan dalam berbagi emosi dan perasaan, rasa disukai dan menyukai orang lain, dan menghargai keberadaan orang lain menjadi indikator bahwa seorang individu berhasil dalam membangun hubungan interpersonal yang memuaskan. Responden 2 berusaha menjalin hubungan baik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Ia bisa berbagi emosi dengan teman-teman sebaya. Akan tetapi responden 2 cenderung untuk menceritakan hal-hal positif yang terjadi pada dirinya kepada teman sebaya di sekolah, ia juga mengungkapkan kekesalan yang ia rasakan kepada teman yang berada di lingkungan sekitar rumah dan mengetahui kondisi keluarganya. “Sama temen-temen itu kalo bisanya happy-happy gitu curhat kalo sedih sedih gitu yah sama diri sendiri ajalah, kalo sama mama nanti, bisa juga kadang-kadang, kalo lagi gak mood ya udah diam aja”

(S2.W1/b.480-485/h13)

“Jarang, kadang-kadang, gini misalnya cerita asik aku-aku aja pun yang disuruh-suruh dirumah, yah namanya qo anak pertama dirumah, udah gitu qo laki-laki, ada juga kawan yang ngomong gitu, kawan daerah sini juga. Diam aja. Masa aku-aku aja, kandari mana rupanya?’ kandari drumahnyalah, ya udah diam aja gitu”

(65)

97

1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri

Gambar 12. Faktor Yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri R2

Gambar

Gambar 1. Aspek Persepsi Yang Akurat Terhadap Realitas R1
Gambar 2. Aspek Kemampuan Mengatasi Stress Dan Kecemasan R1
Gambar 3. Aspek Kemampuan Mengungkapkan Perasaan R1
Gambar 4. Aspek Self-Image R1
+7

Referensi

Dokumen terkait

(3) Untuk mengetahui kreativitas guru PAI dalam penggunaan metode demonstrasi untuk meningkatkan pemahaman materi pada peserta didik. Skripsi ini bermanfaat bagi

Pada akhirnya relawan demokrasi ini dapat menggerakan masyarakat tempat mereka berada, agar mau menggunakan hak pilihnya dengan bijaksana serta penuh tanggung

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia yang teregistrasi pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik ( LPSE ) dan memenuhi persyaratan SBU Bidang Arsitektural

Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya untuk dapat digunakan sebagai bukti pemenuhan syarat menjadi Relawan Demokrasi dalam Pemilihan Gubernur dan

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia yang teregistrasi pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik ( LPSE ) dan memenuhi persyaratan SBU Bidang Arsitektural

General Policy Speech by Prime Minister Junichiro Koizumi to the 163'd Session of the