OPTIMASI PEMANFAATAN
SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP
DAN BUDIDAYA KERANG MUTIARA
(
Studi Kasus: Teluk Semangka Kabupaten Tanggamus)
NUR AINI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Optimasi Pemanfaatan Sumerdaya Perikanan Tangkap dan Budidaya Kerang Mutiara (Studi Kasus: Teluk Semangka Kabupaten Tanggamus) adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2010
ABSTRACT
NUR AINI. Optimization of The Utilization Fisheries Resource
and Spat of Pearl Oyster Cultivation (Case Study: Semangka Bay
of Tanggamus District). Under direction of ACHMAD
FAHRUDIN and IRZAL EFFENDI.
The aim of this research are to study the optimum of fishery resource, economic value of spat cultivation and policy optimal allocation the use of resource for fishing and aquaculture. The sampling method used snowball method and purposive sampling for fishermen and for the spat cultivators is a census method. Types of data collected in this study consisted of two sources of data are primary data and secondary data. Semangka Bay resource of Tanggamus District has not been optimally utilized. Actual economic value of fishing in this bay is Rp6.660,200,000.00. The optimal value fishery with a dynamic approach is Rp370,814,200,000.00 in which Sardinella (Sardinella spp.) production could be increased up to 80.01 percent, 12.16 percent Teleosts (Leiognathidae spp.), Anchovies (Stolephorus spp.)12.16 percent and 5.32 percent Cuvier (Rastrelliger
spp.). Actual economic value of spat cultivation based on number of cage units are as follows (1) Rp1,432,379,615,561.00 for 12,340 units (2) Rp1,708,633,661,842.00 for 9,255 units (3) Rp 1,984,887,708,123.00 for 6,170 units and (4) Rp2,208,756,465,239.00 for 3,670 units. Results of policy analysis and optimum utilization of fisheries in the Bay of Semangka cultivation is the cultivation of exploiting the potential of 25 percent or 109.15 ha.
RINGKASAN
NUR AINI. Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Tangkap dan Budidaya Kerang Mutiara (Studi Kasus: Teluk Semangka Kabupaten Tanggamus). Dibimbing oleh
ACHMAD FAHRUDIN dan IRZAL
EFFENDI.
Sumberdaya perikanan di Teluk Semangka memiliki potensi untuk dikembangkan. Pengembangan sumberdaya perikanan yang lestari dapat dilakukan melalui alokasi optimal sumberdaya perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui nilai optimal perikanan tangkap di Teluk Semangka Kabupaten Tanggamus (2) mengetahui nilai pemanfaatan potensi budidaya kerang mutiara di Teluk Semangka Kabupaten Tanggamus dan (3) menganalisis kebijakan dari pemanfaatan optimal perikanan tangkap dan budidaya di Teluk Semangka.
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah Metode Studi Kasus. Metode pengambilan sampel untuk responden nelayan menggunakan metode
snowball dan purposive sampling dan untuk usaha pembudidaya adalah metode sensus. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas dua sumber data yaitu data primer dan data sekunder.
Metode analisis data untuk perikanan tangkap mengunakan analisis Optimasi Bioekonomi. Pendugaan parameter r, q, K menggunakan Algoritme Fox dan Walter Hilbron. Nilai discount rate yang digunakan adalah discount rate
dengan pendekatan Ramsey didekati dengan teknik yang dikembangkan oleh Kula (1984). Kelayakan usaha menggunakan perhitungan NPV, B-C Rasio dan IRR menurut Kadariah et al. (1999). Proses pengambilan keputusan terhadap optimasi pemanfaatan perikanan tangkap dan budidaya di Teluk Semangka dapat dilakukan dengan model pengambilan keputusan berbasis indeks kinerja dengan Teknik Perbandingan Indeks Kinerja (comparative performance index, CPI).
Nilai ekonomi aktual perikanan tangkap di teluk ini adalah Rp6.660.200.000,00. Nilai optimal perikanan tangkap dengan pendekatan dinamik sebesar Rp370.814.200.000,00 dengan produksi ikan tembang dapat ditingkatkan hingga 80,01 persen, petek 12,16 persen, teri 12,16 persen dan kembung 5,32 persen.
Nilai ekonomi aktual budidaya spat adalah Rp679.433.000,00. Nilai pemanfaatan budidaya spat di teluk ini bila 12.340 unit rakit budidaya spat dilakukan adalah Rp1.432.379.615.561,00; bila 9.255 unit rakit adalah Rp1.708.633.661.842,00; bila 6.170 unit rakit adalah Rp1.984.887.708.123,00 dan bila 3.670 unit rakit adalah Rp2.208.756.465.239,00. Hasil analisis kebijakan pemanfaatan optimal perikanan tangkap dan budidaya di Teluk Semangka adalah pemanfaatan potensi budidaya 25 persen atau 109,15 ha.
SUMMARY
NUR AINI. Optimization of The Utilization Fisheries Resource
and Spat of Pearl Oyster Cultivation (Case Study: Semangka Bay
of Tanggamus District). Under direction of ACHMAD
FAHRUDIN and IRZAL EFFENDI.
Fisheries resources in the Bay of Semangka has the potential to be developed. Sustainability development of fishery sector can be achieved by optimal allocation of fisheries and natural resources. This study aims to (1) know the optimal value of capture fisheries in the Bay of Semangka Tanggamus (2) know the value of exploiting the potential cultivation of pearl oysters in the Bay Semangka Tanggamus and (3) analyze the policy of optimum utilization of fishery and aquaculture in the Bay of Semangka Tanggamus.
The method used in this study is Case Study Method. The sampling method for fishermen are snowball method and purposive sampling. Sampling techniques for the spat cultivators is a census. Types of data collected in this study consisted of two sources of data which are primary data and secondary data.
Data Analysis Method for fishery analysis are using bioeconomic optimization and estimation of the parameters r, q, K using the Algorithm Fox and Walter Hilbron. The value of the discount rate used is the discount rate with the Ramsey approach is approached with the technique developed by Kula (1984). Feasibility study analysis are using NPV, B-C ratio and IRR calculations according Kadariah et al. (1999). Decision support to optimize the utilization of fishery and aquaculture in the Bay of Semangka was analyzed by the model-based decision making with engineering performance index Comparative Performance Index (CPI).
The optimal value fishery with a dynamic approach is Rp370,814,200,000.00 in which Sardinella (Sardinella spp.) production could be increased up to 80.01 percent, 12.16 percent Teleosts (Leiognathidae spp.), Anchovies (Stolephorus spp.)12.16 percent and 5.32 percent Cuvier (Rastrelliger
spp.).
Actual economic value of spat cultivation based on number of cage units are as follows (1) Rp 1,432,379,615,561.00 for 12,340 units (2) Rp 1,708,633,661,842.00 for 9,255 units (3) Rp 1,984,887,708,123.00 for 6,170 units and (4) Rp 2,208,756,465,239.00 for 3,670 units. Results of policy analysis and optimum utilization of fisheries in the Bay of Semangka cultivation is the cultivation of exploiting the potential of 25 percent or 109.15 ha.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi
OPTIMASI PEMANFAATAN
SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP
DAN BUDIDAYA KERANG MUTIARA
(
Studi Kasus: Teluk Semangka Kabupaten Tanggamus)
NUR AINI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Penelitian : Optimasi PemanfaatanSumberdaya Perikanan Tangkap dan Budidaya Kerang Mutiara (Studi Kasus: Teluk Semangka Kabupaten Tanggamus)
N a m a : Nur Aini N R P : H352080041
Program Studi : Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
Disetujui Komisi Pembimbing:
Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si. Ir. Irzal Effendi, M.Si
Ketua Anggota
Diketahui: Ketua Program Studi
Ekonomi Sumberdaya Dekan Sekolah Pascasarjana-IPB Kelautan Tropika
Prof. DR.Ir.H.Tridoyo Kusumastanto,M.S. Prof.DR.Ir.Khairil A.Notodipuro,MS.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lampung, pada 10 Juni 1969 merupakan puteri ke empat dari ayahanda (alm.) Said Saleh dan ibunda (alm.) Alidar. Penulis menamatkan pendidikan SMA Negeri tahun 1988 di ranah nan elok Kanagarian Maninjau Kabupaten Agam Sumatera Barat, kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Lampung pada Program Studi Teknologi Hasil Pertanian melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) pada 1988 dan selesai 1992.
Penulis sempat mengabdikan diri sebagai Dosen Honorer di Universitas Muhammadiyah Kupang dan Universitas Kristen Artha Wacana Kupang pada 1994-1995, kemudian vakum 10 tahun untuk mengabdikan diri sebagai seorang isteri dan ibu dari dua puteri tercinta, namun tetap men-share ilmu sebagai guru privat di Jakarta. Penulis back to kampus pada 2004 dan pada 2008 mendapat kesempatan melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika atas bantuan Biaya Pendidikan Pascasarjana (BPPS) DIKTI.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis, antara lain:
1. Bapak DR.Ir.Achmad Fahrudin, M.Si. dan Bapak Ir.Irzal Effendi,M.Si.
2. Bapak Prof.DR.Ir.H.Tridoyo Kusumastanto, M.S.
3. Bapak Ir. Moch.Prihatna Sobari, M.S.
4. Bapak dan ibu dosen yang membagi ilmunya pada penulis.
5. Universitas Muhammadiyah Kupang, BPPS DIKTI, Pemerintah Kabupaten Tanggamus beserta jajarannya
6. Keluargaku, terutama anak-anakku Ratna dan Riska serta suami yang telah memberiku spirit luar biasa, uni-uni dan adik-adikku yang telah memberi
support materiil dan moril.
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas ridho dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis dengan judul “Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Tangkap dan Budidaya Kerang Mutiara (Studi Kasus: Teluk Semangka Kabupaten Tanggamus)”, sebagai salah syarat untuk menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana IPB.
Pemanfaatan perairan di Teluk Semangka khususnya perikanan tangkap dan budidaya kerang mutiara hendaknya dapat dilakukan secara optimal guna memberi kesejahteraan bagi masyarakat sekitar. Akan tetapi pemanfaatan ini juga harus mempertimbangkan kelestarian sumberdaya agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Kajian pemanfaatan yang optimal inilah yang menjadi kajian dalam penelitian dan penulisan tesis ini, seperti pada jenis ikan mana yang telah melampaui pemanfaatan optimal, sebaliknya ikan mana saja yang masih bisa ditingkatkan penangkapannya agar tercapai kondisi pemanfaatan optimal baik secara statik maupun secara dinamik dan pada unit usaha budidaya tertentu dari luas potensial budidaya yang memberi keuntungan dan kelayakan usaha yang dapat dipertimbangkan guna pengembangan kegiatan usaha di teluk ini serta memberikan urutan rekomendasi kebijakan yang dapat diprioritaskan oleh pemerintah setempat bersama masyarakat dan pemangku kepentingan terkait.
Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 3
1.3. Hipotesis ... 4
1.4. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1. Sumberdaya Perikanan ... 6
2.2. Perikanan Tangkap... 10
2.2.1. Pengkajian Stok ... 10
2.2.2. Pendekatan Ekonomi ... 13
2.3. Budidaya Kerang (spat) mutiara ... 15
2.3.1. Aspek Biologi ... 15
2.3.2. Aspek Ekologi ... 17
2.3.3. Aspek Teknis ... 20
2.3.4. Aspek Ekonomi ... 23
2.4. Kebijakan Pemanfaatan ... 26
2.4.1. Hirarki Alternatif Kebijakan ... 26
2.4.2. Pengambilan Keputusan Berbasis Indeks Kinerja ... 31
III. METODE PENELITIAN ... 34
3.1. Kerangka Pemikiran ... 34
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 35
3.3. Metode Penelitian ... 35
3.4. Metode Pengambilan Data ... 35
3.5.2. Analisis Bioekonomi Perikanan Tangkap... 37
3.5.3. Analisis Kelayakan Usaha ... 43
3.5.4. Analisis Alternatif Kebijakan... 46
3.6. Batasan Penelitian ... 48
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 49
4.1. Administrasi dan Geofisik ... 49
4.1.1. Lokasi dan Luas ... 49
4.1.2. Batrimetri dan Volume ... 50
4.1.3. Oceanografi dan Klimatologi ... 51
4.2. Sosial Ekonomi ... 53
4.3. Pemanfaatan Teluk Semangka ... 55
4.3.1. Perikanan Tangkap ... 55
4.3.2. Budidaya Kerang (spat) Mutiara ... 58
4.3.3. Pemanfaatan Lainnya ... 61
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 64
5.1. Perikanan Tangkap... 64
5.1.1. Parameter Biologi ... 64
5.1.2. Parameter Ekonomi ... 65
5.1.3. Biomassa per Jenis Ikan ... 66
5.1.4. Effort Optimal ... 68
5.1.5. Produksi Optimal ... 69
5.1.6. Rente Ekonomi Optimal ... 72
5.1.7. Analisis Kelayakan Usaha Perikanan Tangkap ... 73
5.2. Budidaya Spat ... 74
5.2.1. Kesesuaian Perairan... 74
5.2.2. Daya Dukung Perairan... 75
5.2.3. Analisis Usaha Budidaya Spat ... 76
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 82
6.1. Kesimpulan ... 82
6.2. Saran ... 82
DAFTAR PUSTAKA ... 83
DAFTAR TABEL
H
alaman1 Hirarki kebijakan dalam pengambilan keputusan ... 27
2 Matriks pemilihan usaha yang paling layak menggunakan Teknik Perbandingan Indeks Kinerja/Comparative Performance Index (CPI) .... 33
3 Pengumpulan data penelitian primer dan sekunder di Teluk Semangka ... 37
4 Matriks keputusan menggunakan Teknik Perbandingan Indeks Kinerja/Comparative Performance Index (CPI) ... 47
5 Kedalaman di beberapa titik koordinat di Teluk Semangka ... 50
6 Pengukuran suhu, salinitas dan pH di tiga titik koordinat di Teluk Semangka pada 16 Desember 2009 ... 52
7 Produksi per jenis ikan di Teluk Semangka periode 2004-2008 ... 56
8 Parameter biologi per jenis ikan di Teluk Semangka ... 64
9 Parameter ekonomi per jenis ikan di Teluk Semangka ... 65
10 Biomassa per jenis ikan (ton) di Teluk Semangka ... 67
11 Effort per jenis ikan (trip) di Teluk Semangka periode ... 69
12 Produksi aktual dan optimal per jenis ikan di Teluk Semangka (ton).…… 70
13 Rente ekonomi aktual dan optimal per jenis ikan di Teluk Semangka (Rp juta)) ... 72
14 NPV dan B-C Rasio perikanan tangkap di Teluk Semangka ... 73
15 Perbandingan variable pengamatan actual dan kondisi optimal Budidaya spat di Teluk Semangka ... 74
16 Jumlah spat diawal, diakhir pemeliharaan dan prosentase kematian spat yang dibudidayakan di Teluk Semangka ... 76
17 Analisis usaha budidaya spat di Teluk Semangka ... 77
18 Matrik optimasi perikanan tangkap dan budidaya spat hasil transformasi melalui teknik perbandingan indeks kinerja ... 79
DAFTAR GAMBAR
H
alaman 1 Hubungan pengkajian stok dengan pengelolaan perikanan tangkapmenurut Nurhakim (2006) ... 11
2 Kurva pertumbuhan logistik populasi ikan di alam ... 13
3 Diagram lingkar sebab akibat dalam sebuah keputusan ... 29
4 Diagram input-output dalam sebuah sistem ... 30
5 Kerangka pemikiran optimasi pemanfaatan perikanan tangkap dan budidaya spat di Teluk Semangka ... 34
6 Lokasi pengukuran suhu, salinitas dan pH di tiga titik koordinat di Teluk Semangka ... 53
7 Jumlah penduduk Kabupaten Tanggamus menurut jenis kelamin periode 2002-2007 ... 54
8 Jumlah nelayan di Kabupaten Tanggamus periode 2003-2007 ... 55
9 PDRB sektor perikanan di Kabupaten Tanggamus periode 2003-2008 ... 55
10 Produksi ikan rata-rata (ton) per tahun di Teluk Semangka pada periode 2004-2008 ... 57
11 Jumlah alat tangkap di Teluk Semangka pada periode 2004-2008... 57
12 Ukuran luas dan jarak antar rakit per unit di Teluk Semangka ... 59
13 Ukuran net pemeliharaan spat panjang 60 cm, lebar 40 cm yang digunakan pembudidaya di Teluk Semangka ... 60
14 Pantai Terbaya di pesisir Teluk Semangka ... 61
15 Pelabuhan Perikanan Pantai dan Tempat Pelelangan Ikan di pesisir Teluk Semangka ... 62
16 Spasial lokasi pemanfaatan perairan Teluk Semangka ... 63
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Peta lokasi penelitian……… 86 2 Catch, regresi Effort dan CPUE per jenis ikan
di Teluk Semangka periode 2004-2008 ... 87 3 Perhitungan pendugaan parameter biologi r, q dan K menggunakan
algoritma Fox dan parameter ekonomi p, c per jenis ikan ... 98 4 Perhitungan discount rate dengan pendekatan Ramsey yang
dikembangkan oleh Kula (1984) ... 109 5 Perhitungan NPV, Net B/C dan IRR produksi aktual
per alat tangkap di Teluk Semangka ... 110 6 Perhitungan NPV, Net B/C dan IRR produksi optimal MEY
per alat tangkap di Teluk Semangka ... 114 7 Perhitungan NPV, Net B/C dan IRR produksi
optimal dinamik per alat tangkap di Teluk Semangka ... 118 8 Perhitungan NPV, Net B/C dan IRR produksi aktual
spat di Teluk Semangka ... 122 9 Perhitungan NPV, Net B/C dan IRR produksi optimal
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Teluk Semangka terletak di bagian Selatan Provinsi Lampung, memiliki luas 1.799 km2 atau 179.900 ha, dengan panjang garis pantai 202 km. Secara admistratif Teluk Semangka masuk ke dalam Kabupaten Tanggamus, dengan posisi geografis terletak antara 104018` - 105012` Bujur Timur dan antara 5005` - 50
Umumnya usaha perikanan tangkap di Perairan Teluk Semangka masih merupakan usaha perikanan berskala kecil dengan menggunakan alat tangkap sederhana dan armada penangkapan ikan yang berukuran kurang dari 30 Gross
Ton (GT). Pada 2006 armada tangkap di Lampung sebanyak 1.464 unit. Pada 2007, jumlah armada itu mengalami peningkatan sebesar 35% menjadi 1.980 unit. Peningkatan armada berimplikasi pada jumlah fishing ground dan meningkatnya lalu lalang armada menuju fishing ground. Pengelolaan usaha penangkapan ini juga masih sangat sederhana dan keterbatasan modal yang membuat potensi sumberdaya perikanan yang berlimpah belum mampu dimanfaatkan secara optimal dan memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan masyarakat nelayan pada
56` Lintang Selatan (BPS Kabupaten Tanggamus 2008).
Pemanfaatan Teluk Semangka yang telah berlangsung lama adalah perikanan tangkap. Potensi produksi perikanan tangkap di teluk ini berdasarkan data Dinas Perikanan Kabupaten Tanggamus 2008 sebesar 83.130,4 ton. Pada 2008 produksi perikanan tangkap sebesar 18.953,85 ton atau baru termanfaatkan sebesar 22,79 % dari potensi yang ada. Jenis ikan yang tertangkap berupa ikan layang, tongkol, kembung, layur, kakap, kerapu, samba, tembang, teri, petek, selar dan marlin dengan alat tangkap yang digunakan nelayan bervariasi seperti pancing ulur, pancing rawai, bagan tancap, bagan apung, bagan perahu, jaring insang
pursine, bubu dan sero. Armada penangkapan ikan yang melakukan operasi antara lain perahu tanpa motor, motor temple dan kapal motor. Menurut hasil penelitian Iskandar (2001) hasil tangkapan dominan dengan bagan motor adalah ikan tembang (Sardinella fimbriata), kembung (Rastrelliger sp.) dan layang
khususnya. Hal ini terlihat dari kontribusi sub sektor perikanan product domestic
regional bruto (PDRB) Kabupaten Tanggamus pada 2008 yang hanya 9,91 % dan
mengalami penurunan dalam dua tahun terakhir. Ini artinya pemanfaatan potensi sumberdaya di daerah tersebut belum dilakukan secara optimal, termasuk potensi sumberdaya yang ada di Teluk Semangka.
Usaha penangkapan ikan di Teluk Semangka seperti di daerah lain di Indonesia, masih belum menjadi perhatian yang serius dari pihak pemerintah. Keberpihakan terhadap nelayan masih dirasa kurang sehingga nelayan masih berputar pada masalah kemiskinan dan berbagai masalah sosial lain seperti tingkat pendidikan yang rendah, terbelit hutang pada rentenir karena akses perbankan yang tidak menyentuh usaha mereka. Padahal bila dicermati usaha perikanan tangkap di Teluk Semangka ini memberi kontribusi yang besar dengan memasok ikan ke daerah lain baik dalam maupun luar Kabupaten Tanggamus seperti Gisting, Talang Padang, Pringsewu, Gading Rejo, Gedong Tataan bahkan hingga Tanjung Karang.
Masalah lain yang sering muncul di Teluk Semangka adalah banyaknya
penangkapan ikan dengan cara-cara merusak ekosistem antara lain pengeboman atau menggunakan racun sianida. Perilaku segelintir orang tak bertanggung jawab ini sulit diatasi dan menyebabkan hasil tangkapan nelayan menurun
masalah di atas, maka pemerintah Kabupaten Tanggamus melakukan upaya pengentasan kemiskinan masyarakat, pengembangan kegiatan ekonomi berbasis masyarakat, dan pemanfaatan sumberdaya alam kelautan perikanan di Teluk Semangka antara lain melalui upaya optimasi perikanan tangkap dan budidaya yang tertuang dalam Rencana Strategis Pesisir dan Laut Terpadu Kabupaten Tanggamus 2009.
(2004) bahwa lokasi budidaya kerang mutiara hendaknya berada di perairan atau pantai yang memiliki arus tenang dan terlindung dari pengaruh angin musim, kualitas air di sekitar budidaya tiram mutiara juga harus terbebas dari polusi atau pencemaran serta juah dari perumahan penduduk.
Potensi budidaya di Teluk Semangka seluas 4.500 ha, dan baru 134 ha atau 2,9 % yang dimanfaatkan (Dahuri 2003). Potensi yang besar tersebut disertai nilai ekonomi mutiara di pasar yang cukup tinggi (berdasarkan kualitas tingkat
kecerahan warna mutiara dan ukuran mutiara
dan memiliki prospek usaha untuk dikembangkan maka tidak heran pemerintah setempat menggalakkan usaha budidaya kerang mutiara di Teluk Semangka sebagai salah satu penggerak ekonomi daerah, membuka lapangan kerja dan kesempatan berusaha.
1.2. Perumusan Masalah
Potensi mutiara dari hasil budidaya di Indonesia masih sangat besar untuk dikembangkan, baik dilihat dari ketersediaan areal budidaya (di Indonesia diperkirakan mencapai 24.528.178 ha dan untuk Teluk Semangka 4.500 ha),
tenaga kerja yang dibutuhkan, maupun kebutuhan akan peralatan pendukung budidaya (Krisanti dan Imran 2005). Selama ini ekspor mutiara dari Indonesia baru memenuhi 26% dari kebutuhan di pasar dunia, dan angka ini masih dapat
untuk ditingkatkan sampai 50%
penghasilan bagi nelayan khususnya dan membuka kesempatan berusaha bagi masyarakat yang tidak melaut.
Pengaruh keberadaan lain dari usaha budidaya tersebut adalah “kompetisi ruang” akibat penutupan perairan dari rakit-rakit tempat pembesaran kerang mutiara di perairan, serta rezim pengelolaan perairan yang tadinya bersifat open
acces pada perikanan tangkap menjadi limited entry atau private property. Tidak
tertutup kemungkinan akan terjadinya conflict of interest atau justeru sebaliknya terdapat kesinergian dari kedua kegiatan perekonomian yang dilakukan di teluk tersebut.
Berdasarkan rumusan masalah di atas penting sekali adanya pengaturan pengelolaan perikanan yang bijaksana antara perikanan tangkap dan usaha budidaya sebagaimana tujuan pengelolaan perikanan menurut Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan pasal 3 antara lain bertujuan untuk mendorong perluasan dan kesempatan kerja, mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan, mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal, serta menjamin kelestarian
sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang.
1.3. Hipotesis
Hipotesis dari permasalah diatas adalah “diduga pemanfaatan perairan Teluk Semangka Kabupaten Tanggamus untuk perikanan tangkap dan budidaya kerang
mutiara belum optimal”.
1.4. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:
1) Mengetahui nilai optimal perikanan tangkap di Teluk Semangka Kabupaten Tanggamus.
2) Mengetahui nilai pemanfaatan potensi budidaya kerang mutiara di Teluk Semangka Kabupaten Tanggamus.
Adapun kegunaan penelitian ini adalah:
1) Diharapkan akan memperoleh data dan informasi mengenai kondisi aktual pemanfaatan kegiatan perikanan tangkap dan budidaya kerang mutiara di Teluk Semangka Kabupaten Tanggamus.
2) Diharapkan akan memperoleh data dan informasi mengenai kondisi optimal pemanfaatan kegiatan perikanan tangkap dan budidaya kerang mutiara di Teluk Semangka Kabupaten Tanggamus.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sumberdaya Perikanan
Dalam ensiklopedia Webster, pengertian atau konsep sumberdaya didefiniskan antara lain sebagai: 1) Kemanpuan untuk memenuhi atau menangani sesuatu, 2) Sumber persediaan, penunjang atau bantuan, 3) Sarana yang dihasilkan oleh kemampuan atau pemikiran seseorang. Soemarno (1991) mendefinisikan sumberdaya sebagai segala sumber persediaan yang secara potensial dapat didayagunakan. Dari sudut pandang ekonomi, sumberdaya mengandung arti masukan (input) dalam suatu proses produksi yang dapat menghasilkan produk yang bermanfaat, berupa barang dan jasa. Lebih jauh sumberdaya didefinisikan sebagai sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Selanjutnya dikatakan bahwa sumberdaya alam adalah faktor produksi dari alam yang digunakan untuk menyediakan barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi yang diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok stok dan kelompok flow ( (Fauzi 2006).
Kelompok sumberdaya stok merupakan jenis sumberdaya yang tidak dapat
diperbarui (non renewable) atau terhabiskan (exhaustible). Sumberdaya ini dianggap memiliki sumberdaya terbatas, sehingga eksplotasi terhadap jenis sumberdaya ini akan menghabiskan cadangan sumberdaya. Sumberdaya yang terdapat di laut dan pesisir digolongkan dalam sumberdaya yang dapat diperbarui,
tidak dapat diperbarui, dan jasa lingkungan. Termasuk dalam jenis sumberdaya yang tidak dapat diperbarui antara lain sumberdaya mineral, logam, minyak, dan gas bumi. Sumberdaya flows merupakan sumberdaya yang dapat diperbarui
(renewable). Kuantitas fisik sumberdaya ini berubah sepanjang waktu. Beberapa
Menurut Undang-undang Perikanan No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, mendefinisikan ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
Menurut Dahuri (2003) budidaya perikanan adalah usaha perikanan yang menyandarkan teknik produksinya pada kegiatan budidaya. Jenis komoditi produksinya adalah jenis-jenis ikan budidaya ekonomis penting, seperti udang, bandeng, ikan mas, gurami, ikan hias atau komoditi lainnya, seperti rumput laut, dan kerang mutiara.
Kegiatan budidaya perikanan laut merupakan kegiatan yang relatif masih muda di Indonesia, padahal potensi pemgembangan budidaya ini sangat besar. Potensi pengembangan marikultur masih sangat besar, dan diperkirakan mencapai 24.528.178 ha.
Menurut Nikijulluw (2001) bahwa sumberdaya ikan pada umumnya bersifat
open acces dimana siapa saja bisa berpartisipasi memanfaatkan sumberdaya
tersebut tanpa harus memilikinya. Lebih lanjut sumberdaya ikan memiliki 3 (tiga) sifat khusus yaitu: 1) Ekskludabitas; sifat phisik ikan yang bergerak ditambah lautan yang cukup luas membuat upaya pengendalian dan pengawasan terhadap
sumberdaya ikan bagi stakeholder tertentu menjadi sulit, 2) Substraktabilitas; suatu situasi dimana seseorang mampu dan dapat menarik sebagian atau seluruh manfaat dan keuntungan yang dimiliki oleh orang lain dalam pemanfaatan sumberdaya, akan tetapi berdampak negatif pada kemampuan orang lain dalam memanfaatkan sumberdaya yang sama, 3) Indivisibilitas; sifat ini pada hakekatnya menunjukkan fakta bahwa sumberdaya milik bersama sangat sulit untuk dibagi atau dipisahkan secara administratif pembagian ataupun pemisahan ini dapat dilakukan oleh otoritas manajemen.
kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
Ikan pelagis merupakan ikan yang hidup pada lapisan permukaan perairan sampai tengah (mid layer). Ikan pelagis umumnya hidup secara bergerombol baik dengan kelompoknya mau pun jenis ikan lain. Ikan pelagis bersifat fototaxis
positif dan tertarik pada benda-benda terapung. Bentuk tubuh ikan menyerutu
(stream line) dan merupakan perenang cepat.
Berdasarkan ukurannya, Direktorat Jenderal Perikanan (1998) diacu dalam Bakosurtanal (1998) mengelompokkan ikan pelagis menjadi 2 (dua) kelompok yaitu: 1) Pelagis besar; mempunyai ukuran 100-250cm (ukuran dewasa), umumnya ikan pelagis besar adalah ikan peruaya dan perenang cepat. Contoh dari kelompok ini antara lain ikan tuna (Thunnus spp), cakalang (Katsuwonus
pelamis), tenggiri (Scomberomorus spp), dan tonkol (Euthynnus spp); 2) Pelagis
kecil; mempunyai ukuran 5-50cm (ukuran dewasa), didominasi oleh 6 kelompok
besar, yaitu kembung (Rastrelling sp), layang (Decapterus sp), jenis selar
(Selaroides sp dan Atale sp), lemuru (Sardinella sp) dan teri (Stolephorus sp).
Menurut Hutomo dkk. (1987) ikan teri bersifat pelagik, menghuni perairan pesisir dan estuaria, tetapi beberapa jenis dapat hidup pada salinitas rendah antara
10-15%. Umumnya hidup dalam gelombolan, terutama jenis-jenis yang berukuran kecil. Jenis-jenis yang besar seperti Stolephorus indicus dan
Stolephorus commersoni lebih bersifat soliter, sehingga tertangkap hanya dalam
jumlah kecil.
Menurut Fischer dan Whiteahead (1971) diacu dalam Randika (2008) apabila kondisi lingkungan memburuk, ikan pelagis masih mampu beruaya ke daerah perairan baru yang lebih baik kondisinya, sedangkan jenis ikan demersal tidak mampu untuk menghindar, sehingga dapat mengakibatkan penurunan stok sumberdaya ikan demersal. Ikan demersal pada umumnya dapat hidup dengan baik pada perairan yang bersubstrat lumpur, lumpur berpasir, karang dan karang berpasir.
Menurut Dahuri (2003) bahwa sebagai suatu sektor yang memanfaatkan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), idealnya sektor perikanan Indonesia mampu mencapai hasil secara berkesinambungan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan para pelaku yang bergerak sarta terkait di bidang ini. Terdapat tujuh indikator kinerja (performance indicators) yang dapat digunakan untuk melihat lebih jauh pencapaian hasil pembanguan perikanan Indonesia, yaitu (1) produksi perikanan, (2) volume dan nilai ekspor produk perikanan, (3) pendapatan Negara Bukan Pajak, (4) konsumsi ikan per kapita, (5) tenaga kerja, (6) pendapatan nelayan, dan (7) peraturan dan perundang-undangan.
Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan.
Selanjutnya Charles (2001) diacu dalam Randika (2008) menyebutkan bahwa pembangunan perikanan mengandung 4 (empat) komponen dasar yang harus dipenuhi. Komponen dasar tersebut adalah sebagai berikut: 1) Keberlanjutan ekologi (ecological sustainability); berhubungan dengan stok dari sumberdaya ikan, daya dukung lingkungan dan keseimbangan dari ekosistem, 2) Keberlanjutan sosial-ekonomi (socioeconomic sustainability); berhubungan dengan pemerataan kesejahteraan yang akan dan bisa diperolah oleh generasi berikutnya dengan pemanfaatan sumberdaya ikan, 3) Keberlanjutan masyarakat
(community sustainability); berhubungan dengan peningkatan kualitas
kelembagaan (institutional sustainability); berhubungan dengan dukungan dari lembaga (pemerintah maupun swasta), administrasi yang baik dan keuangan sebagai prasyarat tercapainya 3 (tiga) komponen dasar sebelumnya.
Dengan pendekatan ini, tampak bahwa pembangunan perikanan yang berkelanjutan bukan semata-mata ditujukan untuk kelestarian sumberdaya ikan itu sendiri atau keuntungan ekonomi saja, melainkan juga keberlanjutan masyarakat dan lembaga perikanan yang terkait.
Pembangunan perikanan menurut Dahuri (2002) terbagi atas perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Perikanan tangkap adalah suatu upaya/kegiatan yang menyangkut pengusahaan suatu sumberdaya di laut atau perairan umum melalui cara penangkapan baik secara komersial atau tidak. Dalam perikanan tangkap dikenal beberapa istilah, antara lain stok. Stok diartikan sebagai suatu sub gugus dari satu spesies yang mempunyai parameter pertumbuhan mortalitas yang sama, dan menghuni suatu wilayah geografis tertentu. Parameter pertumbuhan merupakan nilai numeric dalam persamaan di mana kita dapat memprediksi ukuran badan ikan setelah mencapai umur tertentu. Parameter
mortalitas dalam kajian perikanan tangkap sama dengan mortalitas penangkapan yang mencerminkan kematian yang dikarenakan oleh penangkapan dan mortalitas alami yang merupakan kematian karena sebab-sebab lain seperti pemangsaan, penyakit dan lain-lain (Venema, 1998).
2.2. Perikanan Tangkap 2.2.1. Pengkajian Stok
Stok ikan pada suatu perairan dapat juga diduga dengan menggunakan dua metode yaitu metode analitik dan metode holistik. Metode analitik digunakan untuk mengkaji stok ikan berdasarkan data hasil tangkapan dan upaya, dengan melihat frekuensi panjang atau umur ikan. Metode holistik digunakan untuk mengkaji stok ikan berdasarkan data hasil tangkapan dan upaya tanpa ada data komposisi ukuran (Venema 1998).
produksi dan upaya. Dengan metode ini akan diketahui tingkat upaya optimal yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan produksi (hasil tangkapan) yang lestari tanpa mempengaruhi produktifitas stok ikan dalam jangka panjang atau yang dikenal dengan hasil tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable
Yield/MSY).
Pengkajian stok ikan adalah riset yang ditujukan untuk membuat prediksi kuantitatif tentang reaksi dari populasi ikan yang bersifat dinamis terhadap sejumlah alternatif pengelolaan dengan menggunakan sejumlah metode dan penghitungan statistik serta matematik. Hubungan pengkajian stok dengan pengelolaan perikanan menurut Nurhakim (2006) dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Hubungan pengkajian stok dengan pengelolaan perikanan menurut Nurhakim (2006)
Data Riset Survei
Pengkajian stok (Stock Assessment)
Data Perikanan Komersial
Kelimpahan (Abundance)
Dinamika Populasi
Produktifitas
Prediksi kuantitatif sebagai konsenkuensi dari
alternatif pengelolaan yg mungkin dilaksanakan
Lingkungan/ ekosistem
Antropogenik (penangkapan, polusi, perusakan
habitat)
Interaksi multispesies
Pengelolaan perikanan
Kebijakan Pengelolaan
Strategi Pengelolaan
Pengkajian stok tidak sekedar melakukan “interprestasi dari statistik atas hasil tangkapan (catch) untuk mengestimasi potensi dari sumberdaya ikan
(potential yield)”, tapi jauh lebih lengkap dari pengertian tersebut, yaitu:
1) Pengkajian stok meliputi pemahaman tentang dinamika dari perikanan. Dengan demikian pengajian stok harus dilakukan atas dasar pengertian bahwa perikanan merupakan sejumlah stok dinamis yang dari waktu ke waktu akan merespon terhadap sejumlah peraturan dan berbagai faktor ekstrinsik,
2) Pengkajian stok harus mencakup pembuatan sejumlah prediksi tentang berbagai kecenderungan (trends) yang mungkin terjadi sebagai respon terhadap perubahan kebijakan dari waktu ke waktu,
3) Pengkajian stok harus dapat merumuskan kebijakan yang dapat digunakan untuk mengatasi berbagai perubahan yang tidak dapat diprediksi sebelumnya dan yang kejadiannya tidak dapat dihindarkan.
Pengelolaan sumberdaya perikanan pada mulanya banyak didasarkan pada faktor biologis semata, dengan pendekatan yang disebut Maximum Sustainable
Yield (tangkapan maksimum yang lestari ) atau disingkat MSY. Inti pendekatan
ini adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk bereproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable). Kelemahan dari pendekatan ini adalah karena
pendekatan MSY tidak mempertimbangkan sama sekali aspek sosial ekonomi pengelolaan sumber daya alam.
Lebih jauh Clark (1985) menyatakan bahwa kelemahan pendekatan MSY antara lain:
(1) Tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok (stock depletion)
(2) Didasarkan pada konsep steady state (keseimbangan) semata, sehingga tidak berlaku pada kondisi non-steady state
(3) Tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen
(imputed value)
(5) Sulit diterapkan pada kondisi di mana perikanan memiliki ciri ragam jenis (multispesies).
2.2.2. Pendekatan Ekonomi
Menyadari kelemahan pendekatan MSY, pendekatan ekonomi pengelolaan sumber daya ikan mulai dikembangkan pada awal tahun 1950-an. Menurut Gordon (1954) bahwa sumber daya ikan pada umumnya bersifat open access, artinya siapa saja bisa berpartisipasi tanpa harus memiliki sumber daya tersebut. Tangkap lebih secara ekonomi/economic overfishing adalah situasi dimana faktor input perikanan digunakan melebihi kapasitasnya untuk memanen stok ikan, akan terjadi pada perikanan yang tidak terkontrol.
Salah satu bentuk fungsi density dependent yang sederhana dan sering digunakan dalam literatur ekonomi sumber daya ikan adalah model pertumbuhan logistic (logistic growth model). Fungsi logistik tersebut secara matematis ditulis sebagai berikut:
∂x/∂t = r x (1 – x /K)………. (1)
Di mana r adalah laju pertumbuhan intrinsik (intrinsic growth rate), dan K adalah
carrying capacity atau daya dukung lingkungan. Gambar 2 memperlihatkan
fungsi pertumbuhan logistik serta plot stok terhadap waktu beserta perilaku pencapaian ke arah daya dukung maksimum lingkungan (carrying capacity).
F(x)
0 1/2K K x
Keterangan: F(x) = fungsi pertumbuhan populasi ikan, x = stok ikan, K = daya dukung lingkungan.
Menurut Fauzi (2006) kurva pertumbuhan ikan tersebut di atas dengan asumsi perikanan tidak mengalami eksploitasi. Model di atas kemudian dikembangkan dengan memasukkan faktor produksi (tangkap) ke dalam model.
Untuk mengeksplotasi (menangkap) ikan di suatu perairan dibutuhkan berbagai sarana. Sarana tersebut merupakan faktor input, yang disebut sebagai upaya atau effort. Jadi effort adalah indeks dari berbagai input seperti tenaga kerja, kapal, jaring, alat tangkap, dan sebagainya yang dibutuhkan untuk suatu aktifitas penangkapan. Produksi (h) atau aktifitas penangkapan ikan bisa diasumsikan sebagai fungsi dari upaya (E).
Salah satu bentuk fungsi produksi adalah jika upaya dinaikkan, produksi juga akan naik dengan kecepatan yang menurun. Kondisi ini menurut persamaan:
h = q x Eα
Menurut Hoggarth at al. (2006) berdasarkan status pemanfaatan
sumberdaya perikanan (tangkap) dibagai menjadi 6 (enam) kelompok, yaitu: 1)
Unexploited; stok sumberdaya ikan belum tereksploitasi (belum terjamah),
sehingga aktifitas penangkapan ikan sangat dianjurkan guna memperoleh manfaat dari produksi, 2) Lighly exploited; sumberdaya ikan baru tereksploitasi dalam jumlah sedikit atau <25% dari MSY, peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat dianjurkan karena tidak mengganggu kelestarian sumberdaya, dan hasil tangkapan per unit upaya atau CPUE masih bisa meningkat, 3) Moderately
exploited; stok sumberdaya sudah tereksploitasi setengah dari MSY, peningkatan
jumlah upaya peningkatan masih dianjurkan tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya, CPUE mungkin mulai menurun, 4) Fully exploited; stok sumberdaya sudah tereksploitasi mendekati nilai MSY, peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat tidak dianjurkan walaupun jumlah tangkapan masih bisa
………..……… (2) dimana:
h = produksi ikan
q = koefisien alat tangkap
x = stok ikan
E = upaya penangkapan
meningkat karena akan mengganggu kelestarian sumberdaya ikan, CPUE pasti
menurun, 5) Over exploited; stok sumberdaya sudah menurun karena tereksploitasi melebihi MSY, upaya penangkapan harus diturunkan karena kelestarian sumberdaya ikan sudah terganggu, 6) Depleted; stok sumberdaya ikan dari tahun ke tahun mengalami penutunan secara drastis, upaya penangkapan sangat dianjurkan untuk dihentikan karena kelestarian sumberdaya sudah sangat terancam.
2.3. Budidaya Kerang (spat) Mutiara 2.3.1. Aspek Biologi
Kerang mutiara (pearl oyster) merupakan salah satu moluska laut, dengan tubuh dilindungi atau ditutupi oleh sepasang cangkang, masuk dalam kelas Bivalvia dan ordo Pteriida, family Pteriidae. Genus yang dikenal sebagai penghasil mutiara dengan kualitas tinggi adalah genus Pinctada dan Pteria. Beberapa jenis tiram mutiara yang terdapat di perairan Indonesia adalah Pinctada
maxima, P. pucata, P. chemnitzi, Pteria penguin. Klasifikasi kerang mutiara
menurut Newell (1969) adalah sebagai berikut:
Filum : Mollusca Kelas : Bivalvia
Ordo : Pteriida Famili : Pteriidae
Genus : Pinctada
Spesies : Pinctada maxima
Tiram mutiara memiliki sepasang cangkang yang tidak sama bentuknya
(inequivalve). Cangkang sebelah kanan agak pipih dan cangkang kiri lebih
cembung. Kedua cangkang tersebut pada bagian punggung (dorsal) dihubungkan oleh sepasang engsel (ligamen), sehingga cangkang dapat membuka dan menutup.
dihubungkan oleh semacam engsel berwarna biru. Tiram muda warna cangkangnya kuning pucat, kadang-kadang kuning kecoklatan, dan terdapat garis-garis radier yang menonjol (seperti sisik) sebanyak 10-12 buah dengan ukuran lebih besar dibandingkan spesies lain. Warna garis radier coklat kemerahan, merah anggur atau kehijauan.
Tiram dewasa cangkangnya berwarna kuning tua sampai kuning kecoklatan, warna garis radier biasanya sudah memudar. Cangkang bagian dalam (nacre) berkilau dengan warna keperak-perakan, bagian tepi nacre (nacreous-lip) berwarna keemasan sehingga sering disebut ”gold-lip Pearl Oyster” atau berwarna perak (silver-lip Pearl Oyster). Pada bagian luar nacre (non-nacreous
border) berwarna kuning kecoklatan.
Cangkang merupakan bagian di luar tubuh tiram yang melindungi mantel dan organ bagian dalam yang tersusun oleh lapisan induk mutiara (mother of
pearl). Mantel membungkus organ bagian dalam dan menggantung seperti tabir
pada bagian belahan mantel sebelah kanan dan kiri, keduanya berhubungan antara satu dengan yang lain di sepanjang garis punggung bagian tengah. Fungsi mantel
adalah menyeleksi unsur-unsur yang terhisap (menangkap makanan) dan menyemburkan kotoran ke luar, serta menjalankan kegiatan utama pada pernafasan. Secara histologis, mantel merupakan selaput jaringan penghubung yang dilindungi oleh sel-sel epitel. Bagian yang berhubungan dengan cangkang
sebelah dalam disebut epitel dalam yang bertugas mengeluarkan zat kapur untuk membentuk cangkang dan menghasilkan kalsium karbonat (CaCO3) dalam bentuk kristal aragonite atau lebih dikenal sebagai nacre. Sel-sel ini juga mengeluarkan zat organik conchiolin (C32H48N2O11) dengan bahan kristal yang mengandung kapur sebagai perekat dan wujud seperti lendir (Watabe 1983).
Mantel tiram mutiara terdiri dari tiga bagian yaitu tepi mantel (marginal
mantel), otot (distal), dan mantel bagian dalam. Bagian luar mantel bentuknya
Organ dalam letaknya agak tersembunyi setelah mantel dan merupakan pusat aktivitas kehidupan tiram yang terdiri dari insang, mulut, jantung, susunan syaraf, alat perkembangbiakan, otot, lambung, usus, dan anus.
Tiram mutiara bersifat protandrous-hermaphrodite (diawal kehidupan berkelamin jantan, kemudian berubah seiring waktu menjadi betina) dengan kecenderungan perbandingan jantan : betina adalah 1 : 1 dengan adanya peningkatan umur. Pemijahan sering terjadi akibat perubahan suhu yang ekstrim atau terjadi perubahan lingkungan yang tiba-tiba. Pemijahan tiram mutiara di perairan tropis tidak terbatas hanya satu musim, tapi bisa sepanjang tahun. P.
margaritifera mendekati matang gonad pada tahun kedua, sedangkan P. maxima
jantan matang gonad setelah berukuran cangkang 110-120 mm dalam tahun pertama hidupnya
Pertumbuhan merupakan aspek biologi yang paling penting bagi pembudidaya, terkait dengan pendugaan keberhasilan usaha budidaya. Tiram mutiara P. margaritifera mencapai ukuran diameter cangkang 7-8 cm dalam tahun pertama, dan mendekati ukuran sekitar 11 cm pada tahun kedua. Pertumbuhan jenis P. maxima mencapai diameter cangkang 10-16 cm pada tahun kedua. Laju pertumbuhan P.maxima lebih tinggi bila dibandingkan P.margaritifera.
2.3.2. Aspek Ekologi
Kegiatan budidaya kerang mutiara memerlukan ketepatan dalam pemilihan lokasi. Menurut Effendi dan Nikijulluw (2004) bahwa lokasi budidaya kerang mutiara hendaknya berada di perairan atau pantai yang memiliki arus tenang dan terlindung dari pengaruh angin musim. Selain itu, kualitas air di sekitar budidaya tiram mutiara harus terbebas dari polusi atau pencemaran serta jauh dari perumahan penduduk, karena polusi dan pencemaran dapat mengakibatkan kegagalan usaha.
Lebih lanjut Effendi (2004) menjelaskan perairan laut yang terlindung untuk keperluan budidaya di laut yakni berupa:
1) Teluk: Teluk adalah perairan laut yang menjorok masuk ke dalam daratan. Oleh karena itu, perairan teluk relatif terlindung dari ombak besar, badai dan
dalam membentuk ombak laur relatif besar dan sifat keterlindungan menjadi hilang bila teluk tersebut memiliki areal yang sangat luas. Sirkulasi air di teluk banyak dipengaruhi oleh arus akibat pasang surut air laut. Teluk yang memiliki pasang surut air laut dengan kisaran yang kecil umumnya memiliki arus laut yang relatif lambat (0,01-0,10m/detik) sehingga sirkulasi air di perairan ini relatif kecil. Teluk demikian sering kali sangat subur bahkan terlalu subur (eutrofikasi) bila menerima banyak nutrient dari daratan.
2) Selat: Selat adalah perairan laut di antara dua atau beberapa pulau. Adanya pulau-pulau tersebut yang mengapit dan mengelilingi perairan laut ini menyebabkan selat relatif terlindung dari angin dan ombak badai. Keberadaan pulau tersebut memecah dan membelokkan orientasi massa air laut dan angin sehingga menjadi tidak merusak. Namun demikian, perairan selat adakalanya memiliki arus laut yang sangat kuat (>0,5m/detik) bila selat tersebut relatif sempit dan memiliki kisaran pasang surut air laut sangat lebar (3-5m).
3) shallow sea: Shallow sea atau perairan laut dangkal umumnya berlokasi di
dekat pantai. Dari pantai, perairan ini memiliki lebar beberapa meter hingga beberapa kilometer. Di dalam kawasan perairan laut dangkal ini terdapat bagian dangkal (reef flat, mud flat) dan bagian yang relatif dalam (laguna/goba, galer) serta karang yang melindungi (barrier reef) perairan ini
dari ombak laut lepas/terbuka. Ombak dan arus laut lepas yang bersifat turbulen (mengaduk) ketika mencapai dan menghantam karang pelindung berubah menjadi ombak dan arus laut yang bersifat laminer (semilir dan mengendapkan). Kondisi ombak dan arus demikian lebik baik untuk lokasi marikultur dibandingkan dengan ombak dan arus yang bersifat turbulen.
Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi budidaya kerang mutiara berdasarkan panduan Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending Model Usaha Kecil yang diambil pada web
kondisi fisiologis organisme. Batasan faktor ekologi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi lokasi budidaya adalah :
1. Lokasi terlindung: Lokasi usaha untuk budidaya kerang mutiara ini berada di perairan laut yang tenang. Pemilihan lokasi pembenihan maupun budidaya berada dekat pantai dan terlindung dari pengaruh angin musim dan tidak terdapat gelombang besar. Lokasi dengan arus tenang dan gelombang kecil dibutuhkan untuk menghindari kekeruhan air dan stress fisiologis yang akan mengganggu kerang mutiara, terutama induk.
2. Dasar perairan: Dasar perairan sebaiknya dipilih yang berkarang dan berpasir. Lokasi yang terdapat pecahan-pecahan karang juga merupakan alternatif tempat yang sesuai untuk melakukan budidaya kerang mutiara. 3. Arus air: Arus tenang merupakan tempat yang paling baik, hal ini bertujuan
untuk menghindari teraduknya pasir perairan yang masuk ke dalam kerang mutiara dan mengganggu kualitas mutiara yang dihasilkan. Pasang surut air juga perlu diperhatikan karena pasang surut air laut dapat menggantikan air secara total dan terus-menerus sehingga perairan terhindar dari kemungkinan
adanya limbah dan pencemaran lain. Kecepatan arus yang baik bagi organisme filter feeder untuk membantu tersaringnya makanan (nutrient alami) adalah 15-25 cm/detik.
4. Salinitas: Dilihat dari habitatnya, kerang mutiara lebih menyukai hidup pada
salinitas yang tinggi. Kerang mutiara dapat hidup pada salinitas 24 ppt dan 50 ppt untuk jangka waktu yang pendek, yaitu 2 - 3 hari. Pemilihan lokasi sebaiknya di perairan yang memiliki salinitas antara 32 - 35 ppt. Kondisi ini baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup kerang mutiara.
5. Suhu: Perubahan suhu memegang peranan penting dalam aktivitas biofisiologi kerang mutiara di dalam air. Suhu yang baik untuk kelangsungan hidup kerang mutiara adalah berkisar 25 - 300
6. Kecerahan air: Kecerahan air akan berpengaruh pada fungsi dan struktur invertebrata dalam air. Lama penyinaran akan berpengaruh pada proses pembukaan dan penutupan cangkang. Cangkang kerang mutiara akan terbuka sedikit apabila ada cahaya dan terbuka lebar apabila keadaan gelap.
Pemeliharaan sebaiknya kecerahan air antara 4,5 - 6,5 m. Jika kisaran melebihi batas tersebut, maka proses pemeliharaan akan sulit dilakukan. Untuk kenyamanan, induk kerang mutiara harus dipelihara di kedalaman melebihi tingkat kecerahan yang ada.
7. Derajat keasaman: Derajat keasaman air yang layak untuk kehidupan kerang mutiara P. maxima berkisar antara pH 7,8 - pH 8,6 agar kerang mutiara dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Pada prinsipnya, habitat kerang mutiara di perairan adalah dengan pH lebih tinggi dari 6,75. Kerang tidak akan dapat berproduksi lagi apabila pH melebihi 9,00. Aktivitas kerang mutiara akan meningkat pada pH 6,75 - 7,00 dan menurun pada pH 4,0 - 6,5.
8. Oksigen terlarut: Oksigen terlarut dapat menjadi faktor pembatas kehidupan organism akuatik. Kerang mutiara akan dapat hidup baik pada perairan dengan kandungan oksigen terlarut berkisar 5,2 - 6,6 ppm. P. maxima untuk ukuran 40 - 50 mm mengkonsumsi oksigen sebanyak 1,339 l/l, ukuran 50 - 60 mm mengkonsumsi oksigen sebanyak 1,650 l/l, untuk ukuran 60 - 70 mm mengkonsumsi sebanyak 1,810 l/l.
(2) Faktor Risiko
1. Pencemaran: Lokasi budidaya kerang mutiara harus bebas dari pencemaran, misalnya limbah rumah tangga, pertanian, maupun industri. Limbah rumah tangga dapat berupa deterjen, zat padat, berbagai zat beracun, dan patogen
yang menghasilkan berbagai zat beracun. Pencemaran yang berasal dari kegiatan pertanian berupa kotoran hewan, insektisida, dan herbisida akan membahayakan kelangsungan hidup kerang mutiara.
2. Manusia: Pencurian dan sabotase merupakan faktor yang juga perlu dipertimbangkan dalam menentukan lokasi budidaya mutiara. Risiko ini terutama pada saat akan panen atau setelah satu tahun penyuntikan inti bulat (nucleus).
2.3.3. Aspek Teknis
Menurut Sudradjat (2008) untuk menghasilkan sebutir mutiara laut dari spat
hatchery diperlukan waktu sekitar empat tahun. Teknologi budidaya mutiara laut
1. Penyediaan Benih: Awal pengembangan benih yang digunakan berasal dari penangkapan dari alam. Penangkapan dilakukan dengan menggunakan spat
collector yang terbuat dari jarring nilon bermata jala halus. Kolektor tersebut
dibentangkan di daerah penyebaran tiram mutiara. Dalam waktu 2-4 minggu, benih tiram (spat) akan menempel pada kolektor tersebut. Dewasa ini, dengan kemajuan ilmu dan teknologi, spat tiram mutiara sudah dapat dihasilkan melalui proses pembenihan di hatchery. Proses dimulai dengan pemilihan induk yang sudah matang gonad. Sebaiknya induk-induk tersebut berasal dari populasi yang berbeda untuk menghasilkan benih yang berkualitas.
2. Pembesaran: Di nursery, benih dipelihara sampai mencapai dewasa dan berukuran 10-12 cm selama 12-18 bulan. Pada ukuran tersebut proses produksi mutiara sudah dapat dilaksanakan. Adapun tahap produksi mutiara sebagai berikut.
a. Memilah-milah tiram dewasa untuk disuntik. Pemilahan didasarkan atas ukuran, umur, dan kondisi kesehatan tiram.
b. Menyiapkan potongan mantel berukuran sekitar 4-5 mm2
c. Preconditioning (melemahkan) tiram untuk memudahkan pembukaan
cangkang sewaktu penyuntikan inti dan transplantasi potongan mantel atau
shaibo.
dan inti
berukuran 3,03-9,09 mm. potongan mantel (shaibo) tersebut diambil dari tiram yang secara sengaja disiapkan/dikorbankan untuk keperluan itu.
d. Melakukan torehan pada pangkal kaki menuju dekat gonad, ke dalam torehan tersebut disisipkan inti dan shaibo yang diletakkan bersinggungan. e. Mengangkat ganjal baji dan menutup cangkang, lalu meletakkan tiram ke
dalam keranjang yang terbuat dari jaring berbentuk empat persegi panjang. Untuk tiap keranjang diletakkan 10 ekor tiram.
f. Merawat tiram dengan cara membersihkan keranjang dan cangkang luar, membalikkan tiram, dan memeriksa apakah mutiara sudah terbentuk atau belum dengan menggunakan sinar x-ray. Perawatan ini dilakukan setiap empat hari selama dua bulan, kecuali pemeriksaan dengan sinar x-ray. g. Memindahkan tiram ke dalam wadah pemeliharaan berbentuk keranjang
kantong. Setiap kantong diisi seekor tiram. Wadah tersebut digantung pada bentangan tambang atau longline. Tiram dan kantong dibersihkan setiap bulan.
Selama proses pembesaran tiram mutiara, adakalanya spat tiram terserang hama. Hama umumnya menyerang bagian cangkang. Hama tersebut berupa jenis teritip, cacing, dan polichaeta yang mampu mengebor cangkang tiram. Hama yang lain berupa hewan predator seperti gurita dan ikan sidat. Upaya pencegahannya adalah dengan cara membersihkan hama-hama tersebut dengan manual pada periode waktu tertentu.
Penyakit tiram mutiara umumnya disebabkan parasit, bakteri, dan virus. Parasit yang sering ditemukan adalah Haplosporidium nelsoni. Bakteri yang sering menjadi masalah antara lain Pseudomonas enalia, Vibrio anguillarum, dan
Achromobachter sp. Sementara itu, jenis virus yang biasanya menginfeksi tiram
mutiara adalah virus herpes. Upaya untuk mengurangi serangan penyakit pada tiram mutiara antara lain: a) menjaga salinitas dalam kisaran yang dibutuhkan untuk kesehatan tiram, b) menjaga agar fluktuasi suhu air tidak terlalu tinggi,
seperti pemeliharaan tiram tidak terlalu dekat ke permukaan air pada musim dingin, c) lokasi budidaya yang dipilih memiliki kecerahan air yang cukup bagus, dan d) tidak memilih lokasi pada perairan dengan dasar pasir berlumpur.
Sistem budidaya menurut Effendi (2004) dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu sistem akuakultur berbasiskan daratan (land-based aquaculture) dan sistem akuakultur berbasiskan air (water-based aquaculture). Kelompok pertama antara lain terdiri dari kolam air tenang, kolam air deras, tambak, bak, aquarium, dan tangki, sedangkan kelompok kedua terdiri dari jaring apung, jaring tancap, karamba, kombongan, long line, rakit, pen culture dan enclosure.
Sistem akuakultur berbasiskan air dilakukan pada badan air dan bersisfat
open system. Pada sistem ini, interaksi antara ikan kultur dengan lingkungan
Longline adalah sistem teknologi budidaya dengan menggunakan tambang sebagai komponen utama wadah produksi. Tambang berfungsi sebagai tempat untuk menembatkan biota akuakultur, baik secara langsung maupun tidak langsung. organisme budidaya tersebut antara lain rumput laut, kerang mutiara, dan kerang konsumsi lainnya (oyster, abalone).
Sistem rakit untuk kegiatan budidaya sesungguhnya sama dengan sistem
longline, hanya saja bahan yang digunakan berupa bambu yang dirangkai menjadi
seperti rakit. Bambu sepanjang 6-10 m sebanyak 4 unit dirangkai menjadi berbentuk empat persegi panjang dikuatkan dengan cara melintangkan pendek di setiap sudut empat persegi panjang tersebut. Perangkaian bambu dilakukan dengan menggunakan pasak dan tali ijuk. Tempat pelekatan biota akuakultur berupa tambang (tambang ris) yang diikatkan pada rakit bambu. Bambu berfungsi sebagai pelampung sistem dan juga melindungi biota akuakultur dari ombak riak yang merusak. Supaya tidak terbawa arus laut maka rakit ini diikatkan pada jangkar atau patok yang ditancapkan ke dasar laut dengan menggunakan tambang jangkar.
Sistem longline dan rakit ini bisa digunakan untuk budidaya kerang mutiara atau kerang konsumsi lainnya. Tambang dan rakit berfungsi sebagai tempat untuk menggantungkan keranjang (basket) yang berisi biota akuakultur tersebut. keranjang digantungan ke dalam air laut sedalam 2-5 m, dan biota akuakultur di
dalam keranjang secara pasif menyaring plankton yang terdapat dalam badan perairan tersebut.
2.3.4. Aspek Ekonomi
upaya pengembangan budidaya tiram mutiara, baik dari segi regulasi atau aturan maupun teknis budidaya di lapangan.
Analisis usaha dalam bidang perikanan merupakan pemeriksaan keuangan untuk mengetahui keberhasilan yang telah dicapai selama usaha berlangsung. Dengan analisis usaha, pembudidaya dapat membuat perhitungan dan menentukan tindakan untuk memperbaiki dan meningkatkan keuntungan dalam usahanya. Untuk memperoleh keuntungan yang besar, dapat dilakukan dengan cara menekan biaya produksi.
Biaya produksi merupakan modal yang harus dikeluarkan untuk membudidayakan tiram mutiara hingga panen. Biaya pembuatan rakit, biaya untuk perawatan sampai hasil panen termasuk biaya produksi.
Biaya produksi dapat dibedakan antara biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap merupakan biaya yang penggunaannya tidak habis dalam satu masa produksi, antara lain biaya pembuatan rakit, sarana transportasi, generator set, dan biaya peralatan lainnya. Biaya tetap ini sering juga disebut biaya investasi. Sementara itu, biaya tidak tetap merupakan biaya yang habis dalam satu kali
produksi seperti biaya untuk benih, pakan, pemberantasan hama, upah tenaga kerja, sumbangan, pajak usaha, iuran, biaya panen, dan biaya penjualan.
Dalam perhitungan biaya produksi, biaya tetap diperhitungkan dalam bentuk penyusutan per satuan waktu, bulan atau tahun. Ada beberapa cara untuk
menghitung penyusutan, satu diantaranya yang paling mudah dipahami adalah metode garis lurus. Pada metode ini penyusutan dianggap sama besarnya untuk setiap waktu. Penyusutan berdasarkan metode garis lurus, disajikan dalam rumus berikut.
………..…… (3) Dimana:
P = nilai penyusutan (rupiah)
Hb = nilai atau harga pembelian (rupiah)
Hs = nilai atau harga sisa (rupiah)
Nilai penyusutan peralatan juga dihitung sama walaupun harga atau nilai sisa sama dengan nol. Adapun biaya produksi pada dasarnya adalah sebagai berikut.
a. Pembelian benih, bahan kimia untuk pengobatan dan pestisida b. Tenaga kerja
a. Penyusutan rakit c. Penyusutan peralatan
d. Lain-lain (pajak usaha, iuran, sumbangan, bunga bank)
Dalam usaha budidaya laut, hasil yang bisa dijual hanya dalam bentuk sesuai ukuran yang telah ditetapkan. Apabila besar penerimaan dan biaya produksi telah diketahui, dapat dihitung besarnya keuntungan yang diperoleh dalam usaha budidaya. Besarnya keuntungan yang diperoleh dalam usaha budidaya laut selalu berubah dari tahun ke tahun sejalan dengan terjadinya perubahan harga sarana produksi maupun penjualan yang dihasilkan. Besarnya keuntungan, break event
point (BEP), dan return of investment (ROI) menurut Sudradjat (2008) mengikuti
rumus berikut.
……… (4)
Dimana:
Π = keuntungan (rupiah) S1 = jumlah benih (ekor)
S2 = jumlah tiram yang dijual (ekor)
P1 = harga benih per ekor (rupiah)
P2 = harga tiram yang dijual perekor (rupiah) Jtk = jumlah tenaga kerja
U = upah tenaga kerja (rupiah/orang/bulan) Lp = lama pemeliharaan (bulan)
Ss = penyusutan rakit dan peralatan
2.4. Kebijakan Pemanfaatan
Menurut Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan bahwa Pengelolaan Perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan dan implementasi sera penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktifitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
Lebih lanjut definisi pengelolaan sumberdaya perikanan menurut Dahuri (2002) adalah suatu tindakan melalui pembuatan peraturan yang didasari oleh hasil kajian ilmiah yang kemudian dalam pelaksanaannya diikuti oleh kegiatan
monitoring, controlling dan surveillance, dimana tujuan akhirnya adalah suatu
kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungannya dan memberikan keuntungan secara ekonomi maupun biologi. Artinya pengelolaan mencakup pengembangan dan pengendalian, dimana acuan yang dianut dalam pelaksanaannya adalah konsep perikanan yang bertangggung jawab/responsible
fisheries.
Tujuan pengelolaan perikanan adalah untuk menjamin produksi yang berkelanjutan dari waktu ke waktu dari berbagai stok ikan (resource
conservation), terutama melalui berbagai tindakan pengaturan (regulation) dan
pengkayaan (enhancement) yang meningkatkan kehidupan sosial nelayan dan sukses ekonomi bagi industri yang didasarkan pada stok ikan (Nurhakim 2006).
2.4.1. Hirarki Alternatif Kebijakan
direktif, strategis, taktis dan operasional. Ciri khas dari keempat hirarki tersebut dijabarkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Hirarki kebijakan dalam pengambilan keputusan
Sumber: Marimin (2005)
Ditinjau dari komponen input, proses dan output, suatu sistem dapat diklasifikasi ke dalam 3 kategori yaitu: sistem analisis, sistem desain dan sistem kontrol. Apabila input dan proses dari suatu sistem sudah dapat diidentifikasi dengan jelas sedangkan outputnya yang perlu dilihat/dianalisis, maka sistem tersebut disebut sistem analisis. Suatu sistem diklasifikasikan ke dalam sistem desain apabila komponen input dan outputnya sudah jelas karakteristiknya sedangkan prosesnya masih perlu dirumuskan/direkayasa. Suatu sistem disebut sistem kontrol apabila karakteristik proses dan outpunya sudah jelas diidentifikasi sedangkan inputnya perlu diatur secara pas agar target outputnya tercapai.
Keputusan Jangka Lingkungan Sifat
Direktif Panjang Dinamis dan probalistik intuitif
Arahan-arahan strategis yang kadang bersifat intuitif
Strategis Panjang Dinamis dan mempengaruhi faktor-faktor dengan kepastian yang sangat rendah
Tidak bisa diprogram karena preferensi pengambil
keputusan perlu masuk secara utuh
Taktis Menengah -pendek
Dinamis dan mempengaruhi faktor-faktor dengan asumsi kepastian yang tinggi
Bisa dibuat program dengan masukan preferensi
pengambil keputusan
Operasional Pendek Dianggap statik dan tidak mempengaruhi faktor-faktor
Lebih lanjut Eriyatno (1998) yang diacu dalam Marimin (2005) menjelaskan pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka fikir baru yang dikenal sebagai pendekatan sistem (system approach). Pendekatan sistem yang dimaksud merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif.
Analisis kebutuhan merupakan permulaan pengkajian dari suatu sistem. Analisis ini akan dinyatakan dalam kebutuhan-kebutuhan yang ada, baru kemudian dilakukan tahapan pengembangan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang dideskripsi. Analisis kebutuhan selalu menyangkut interaksi antara respon yang timbul dari pengambil keputusan terhadap jalannya sistem. Menurut Maguire (1988) dalam Marimin (2005) bahwa dalam analisis kebutuhan perlu diketahui faktor yang menentukan dari pengembangan sistem pakar, yaitu risiko yang diterima oleh pemakai di dalam bidang pengetahuan, risiko teknik di dalam pertukaran informasi dan jawaban yang diberikan si pemakai, ketersediaan
sumberdaya manusia yang mendukung (staf dan konsultan) dan software yang tersedia.
Untuk menjamin keputusan tersebut berjalan secara kontinu, maka kebutuhan dari stakeholder digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab
Gambar 3 Diagram lingkar sebab akibat dalam sebuah keputusan
Tahap berikut adalah identifikasi sistem. Identifikasi sistem akan menghasilkan spesifikasi yang terperinci tentang peubah yang menyangkut rancangan dan proses pengendalian. Identifikasi sistem ditentukan dan ditandai dengan determinasi kriteria jalannya sistem yang membantu evaluasi alternatif
sistem. Untuk menjamin terlaksananya hal tersebut, maka diperlukan sebuah diagram input-output. Diagram input-output memberikan gambaran tentang informasi-informasi berupa peubah input, peubah output dan parameter-parameter yang membatasi struktur sistem (Marimin 2005).
Pemanfaatan Perairan Teluk
Semangka Budidaya spat di
Teluk Semangka
Penangkapan ikan di Teluk Semangka
Luas perairan input
produksi
Stok ikan
Peningkatan pendapatan
nelayan
Pendapatan pemerintah Penurunan prilaku
destruktif terhadap sumberdaya Renstra Wilayah
Pesisir dan Laut Kab.Tanggamus
Gambar 4 Diagram Input-Output dalam sebuah sistem
Beberapa penerapan metode penilaian yang dapat dilakukan adalah:
a) Terukur Jelas: Model penilaian yang terukur jelas adalah kriteria dan atau alat ukurnya jelas (obyektif). Contohnya adalah: produksi ikan (kg atau ton), jumlah
armada (unit), ukuran spat kerang mutiara (cm), jumlah spat. Model ini juga mencakup hasil perhitungan dengan rumus yang jelas seperti: r (intrinsic growth),
q (catch coeficient), k (carrying capacity), biaya produksi, harga ikan, harga spat.
b) Skala Ordinal: Model penilaian skala ordinal digunakan untuk melakukan penilaian terhadap keberhasilan kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk mengatasinya. Skala ordinal yang digunakan adalah:
1. Sangat gagal 4. Berhasil
2. Gagal 5. Sangat berhasil
3. Cukup berhasil
c) Perbandingan Berpasangan: Model penilaian lainnya yang sering dipakai untuk menilai sebuah kebijakan adalah model perbandingan berpasangan. model alternatif keputusan yang dapat dilakukan perbandingan secara berpasangan seperti berikut ini.
1 : A, B dan C sama penting 3 : A lebih penting dari B
5 : B lebih penting C
7 : C lebih penting dari A 9 : C pasti lebih penting dari B
Input Lingkungan
SISTEM Input Tak
Terkendali
Input Terkendali
Output Dikehendak
Output Tak Dikehendaki MANAJEMEN
Dimana:
A = Alternatif 1 B = Alternatif 2 C = Alternatif 3
d) Preferensi Fuzzy merupakan penduga numerik yang terstruktur dan dinamik. Sistem ini mempunyai kemampuan untuk mengembangkan system intelijen dalam lingkungan yang tidak pasti dan tidak tepat.
2.4.2. Pengambilan Keputusan Berbasis Indeks Kinerja
Proses pengambilan keputusan terhadap optimasi pemanfaatan perikanan tangkap dan budidaya di Teluk Semangka dapat dilakukan dengan model pengambilan keputusan berbasis indeks kinerja dengan Teknik Perbandingan Indeks Kinerja (comparative performance index, CPI).
CPI merupakan indeks gabungan (comparative index) yang dapat digunakan untuk menentukan penilaian atau peringkat dari berbagai alternatif (i) berdasarkan beberapa kriteria (j).
Formula yang digunakan dalam teknik CPI
Aij = Xij (min) x 100 / Xij (min) A(i + 1.j) = (X(I + 1.j) )/ Xij (min) x 100 Iij = Aij x Pj
Ii = Σ (Iij)
j = 1 Keterangan:
Aij = nilai alternatif ke-i pada kriteria ke – j
Xij (min) = nilai alternatif ke-i pada kriteria awal minimum ke-j A(i + 1.j) = nilai alternatif ke-i + 1 pada kriteria ke – j
X(i + 1.j) = nilai alternatif ke-i + 1 pada kriteria awal ke – j Pj = bobot kepentingan kriteria ke – j
Iij = indeks alternatif ke-i
Ii = indeks gabungan kriteria pada alternatif ke –i i = 1, 2, 3,…, n
Prosedur Penyelesaian CPI
• Identifikasi kriteria tren positif (semakin tinggi nilaianya semakin baik) dan tren negatif (semakin rendah nilainya semakin baik)
• Untuk kriteria tren positif, nilai minimum pada setiap kriteria ditransformasi ke seratus, sedangkan nilai lainnya ditransformasi secara proporsional.
• Untuk kriteria tren negatif, nilai minimum pada setiap kriteria ditransformasi ke seratus, sedangkan nilai lainnya ditransformasi secara proporsional.
<