• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas Beberapa Antimikotik terhadap Microsporum gypseum sebagai Penyebab Dermatofitosis pada Kuda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aktivitas Beberapa Antimikotik terhadap Microsporum gypseum sebagai Penyebab Dermatofitosis pada Kuda"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP

Microsporum gypseum

SEBAGAI PENYEBAB

DERMATOFITOSIS PADA KUDA

KARTINI IZREEN KURNIA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum gypseum

SEBAGAI PENYEBAB DERMATOFITOSIS PADA KUDA adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

KARTINI IZREEN KURNIA. Aktivitas Beberapa Antimikotik terhadap Microsporum gypseum sebagai Penyebab Dermatofitosis pada Kuda. Dibimbing oleh AGUSTIN INDRAWATI.

Dermatofitosis merupakan penyakit jamur yang bersifat kutaneous superfisial yang menyerang lapisan keratin dari kulit yang disebabkan oleh jamur golongan dermatofita. Microsporum gypseum merupakan dermatofita geofilik yang diduga sebagai penyebab penyakit dermatofitosis pada kuda. Dalam penelitian ini dilakukan isolasi dan identifikasi sampel dari kuda yang diduga menderita dermatofitosis oleh M.gypseum. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan diagnosa secara tepat penyebab dermatofitosis pada kuda dan agen penyebab dermatofitosis tersebut. Pada penelitian ini dilakukan identifikasi dan isolasi secara cepat, menggunakan KOH 10% serta isolasi dengan membiakkan pada DSA dan identifikasi dengan melakukan slide culture menurut Riddle. Uji aktivitas antimikotik dilakukan menggunakan metode cakram kertas dan antimikotik yang digunakan adalah ketokonazol, amfoterisin, vorikonazol, flukonazol, griseofulvin, dan mikonazol yang menghasilkan zona hambat dengan diameter 0 mm, 0 mm, 8.5 mm, 0 mm, 17.25 mm, dan 12.25 mm secara berurutan pada akhir pengujian. Penelitian menunjukkan bahwa griseofulvin merupakan antimikotik yang mempunyai aktivitas paling baik terhadap M. gypseum dan boleh digunakan sebagai obat pilihan dalam pengobatan dermatofitosis disebabkan oleh jamur tersebut.

Kata kunci: dermatofitosis, uji aktivitas antimikotik, Microsporum gypseum, kuda

ABSTRACT

KARTINI IZREEN KURNIA. Antimycotics Activities against Microsporum gypseum as the cause of Dermatophytosis in Horses. Supervised by AGUSTIN INDRAWATI.

(5)

M.gypseum and can be used as the drug of choice for the treatment of dermatophytosis caused by the fungi.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP

Microsporum gypseum

SEBAGAI PENYEBAB

DERMATOFITOSIS PADA KUDA

KARTINI IZREEN KURNIA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi berjudul Aktivitas beberapa Antimikotik terhadap Microsporum gypseum sebagai penyebab Dermatofitosis pada Kuda ini berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada semua yang membantu penyelesaian skripsi ini :

1. Dr Drh Agustin Indrawati, MBiomed selaku pembimbing skripsi yang telah banyak mencurahkan ilmu dalam mengerjakan penelitian hingga selesainya skripsi ini.

2. Ibu Siti Sa’diah, S.Si, Apt., M.Si selaku pembimbing akademik selama perkuliahan yang telah banyak memberi semangat dan motivasi selama masa perkuliahan

3. Ibu Esih dan Bapak Ismet yang sangat banyak membantu serta memberi saran dan arahan selama pelaksanaan penelitian.

4. Keluarga; Mama Mas Illazreen Ghazali , Papa Azaman Abu Bakar, Nenda Datin Hj. Zaiton Hussein, Maklong Mas Idura Ghazali, Aiman I’zaaz, Abdul Aziz, Toby, Boy, serta seluruh keluarga atas seluruh semangat, doa, dan kasih sayang yang telah diberikan.

5. Nico Ferdian Arisona, Charisha Fraser, Clarisse Francyne, dan Lim Su-Szien serta teman-teman Ganglion 48 lainnya yang telah menjadikan masa-masa perkuliahan menjadi lebih menyenangkan.

6. Pihak-pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan memperkaya ilmu pengetahuan khususnya di bidang Kedokteran Hewan.

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Dermatofitosis pada Kuda 2

Microsporum gypseum 3

Antimikotik 5

METODE 7

Waktu dan Tempat 7

Bahan dan Alat 7

Tahapan Penelitian 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

SIMPULAN DAN SARAN 16

Simpulan 16

Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 16

(13)

DAFTAR TABEL

1 Tabel 1 Diameter zona hambat (mm) di sekitar cakram kertas

antimikotik terhadap M.gypseum pada hari ke-3 13

2 Tabel 2 Diameter zona hambat (mm) di sekitar cakram kertas

antimikotik terhadap M.gypseum pada hari ke-7 13

DAFTAR GAMBAR

1 Gambar 1 Lesio dermatofitosis pada kuda 3

2 Gambar 2 Gambaran makroskopis dan mikroskopis Microsporum

gypseum 4

3 Gambar 3 Posisi peletakan cakram kertas antimikotik pada media

biakan 8

4 Gambar 4 Lesio infeksi yang diduga dermatofitosis pada Kuda 9 5 Gambar 5 Hasil pengamatan mikroskopis pemeriksaan cepat

menggunakan KOH 10% (Pembesaran 400x) 10

6 Gambar 6 Gambaran makroskopis Microsporum gypseum pada media

DSA 10

7 Gambar 7 Gambaran mikroskopis Microsporum gypseum.dan adanya sekat pada bagian ujung distal M.gypseum (Pembesaran 400x) 11 8 Gambar 8 Hasil keseluruhan pengujian antimikotika terhadap

M.gypseum pada hari ke-3 12

9 Gambar 9 Hasil keseluruhan pengujian antimikotika terhadap

M.gypseum pada hari ke-7 13

10 Gambar 10 Zona hambat yang terbentuk di sekitar cakram kertas

antimikotik pada hari ke-3 14

11 Gambar 11 Zona hambat yang terbentuk di sekitar cakram kertas

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dermatofitosis adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur dari golongan dermatofita. Dermatofitosis merupakan suatu penyakit kutaneus superfisial yang menyerang lapisan keratin seperti lapisan kulit, rambut, dan kuku. Penyakit ini disebabkan oleh jamur dari golongan dermatofita. Selama dua abad terakhir, kejadian dermatofitosis telah meningkat dengan kasus yang menunjukkan adanya respon negatif terhadap obat antimikotik (Singh et al. 2007). Dermatofita dapat di kelompokkan berdasarkan habitat hidupnya yaitu dermatofita geofilik, zoofilik, dan antropofilik. Dermatofita geofilik berhabitat dan bereplikasi di dalam tanah dan berasosiasi dengan material keratin yang terdekomposisi seperti rambut dan bulu (Weitzman dan Summerbell 1995). Hewan dapat terinfeksi oleh dermatofita geofilik melalui tanah atau kontak langsung dengan hewan lain yang terinfeksi (Quinn et al. 2006).

Dermatofitosis pada kuda dapat terjadi karena kontak langsung atau melalui peralatan grooming. Gejala klinis yang muncul pada kulit menunjukan ada sumber infeksi pada hewan yang terserang. Lesio terbentuk terbatas pada bagian pelana, saddle atau tersebar luas akibat peralatan grooming yang terkontaminasi. Infeksi disebabkan oleh Microsporum gypseum dapat terjadi karena kebiasaan kuda berguling di atas tanah yang menyebabkan lesio pada bagian dorsal badan kuda (Quinn et al. 2006).

Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki kelembaban tinggi, dimana kelembaban relatif rata-rata 80% dan merupakan tempat yang cocok bagi mikroorganisme seperti jamur untuk berkembangbiak dan salah satunya adalah jamur Microsporum gypseum. Pada manusia, jamur Microsporum gypseum dapat berkembang pada bagian kulit yang sifatnya tidak membahayakan namun cukup mengganggu. Perlu diketahui jamur Microsporum gypseum merupakan jamur penyebab penyakit kulit, pengurai keratin, serta perusak kuku dan rambut. Sifat keratinofilik dimiliki oleh jamur ini sehingga berkemampuan untuk mencerna lapisan kulit mulai dari stratum korneum sampai stratum basalis.

(16)

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aktivitas beberapa antimikotik terhadap jamur dermatofita M.gypseum yang diduga sebagai penyebab dermatofitosis pada kuda.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi tentang aktivitas dan tingkat suseptibilitas obat antimikotik terhadap jamur dermatofita M.gypseum penyebab dermatofitosis, sehingga hasil yang diperoleh dapat digunakan sebagai referensi dalam pemilihan obat antimikotik untuk pengobatan infeksi dermatofita.

.

TINJAUAN PUSTAKA

Dermatofitosis pada Kuda

Ringworm merupakan istilah yang biasa digunakan untuk infeksi jamur superfisial pada bagian kulit. Jamur yang merupakan penyebab dari infeksi kulit ini dikenal sebagai dermatofita. Maka istilah yang tepat bagi “ringworm” adalah dermatofitosis. Istilah “ringworm” mungkin dikembangkan dari gambaran gejala penyakit yang muncul dari jamur yang mengakibatkan infeksi, namun istilah ini sering dikelirukan dengan kecacingan dan infeksi parasit yang tidak berkaitan dengan kondisi tersebut. Terdapat 2 genera dari dermatofita yang dapat menginfeksi kuda yaitu Microsporum dan Trichophyton. Pada setiap genera ada beberapa spesies yang mampu menginfeksi kuda, dan kebanyakan kasus disebabkan oleh beberapa spesies antaranya; Tricophyton equinum adalah penyebab utama dari dermatofitosis diikuti dengan Trichophyton mentagrophytes, Tricophyton verrucosum, Microsporum equinum, dan Microsporum gypseum (Rendle 2015).

(17)

3 Gejala klinis biasanya terlihat dalam jangka waktu 1 hingga 6 minggu dan lesio mulai membesar dalam waktu beberapa bulan sebelum akhirnya menghilang. Hewan akan menderita kerontokan rambut (alopecia) dan kulit terinfeksi biasanya akan menjadi kering dan bersisik (scaling). Kadang muncul gejala bagian tengah dari lesio akan pulih dan meninggalkan cincin mengelilingi area infeksi (Gambar 1). Hewan tidak mengalami kegatalan dan gejala hanya terbatas di bagian kepala dan leher serta jarang ditemukan di bagian kaki (Rendle 2015).

Dibandingkan dengan gejala akibat infeksi Microsporum canis, dermatofitosis pada kuda yang disebabkan oleh M.gypseum menyebabkan lesio yang lebih besar, lebih meradang, dan adanya penebalan kulit (Kral 1963).

Gambar 1 Lesio dermatofitosis pada kuda (www.nadis.org.uk)

Masa inkubasi dermatofitosis pada kuda adalah selama 1 minggu sehingga 1 bulan dan pada keadaan yang mendukung pertumbuhan jamur, masa inkubasi dapat berlangsung 4 hingga 6 hari lebih cepat. Pada kuda yang berkulit tipis, menunjukkan kepekaan lebih tinggi terhadap infeksi. Disamping itu, keberadaan trauma dapat mempermudah spora berpenetrasi ke dalam lapisan tanduk atau folikel rambut. Faktor predisposisi lain diantaranya pemberian antibiotik dan kortison yang berlebihan sehingga menyebabkan resistensi serta efek dari defisiensi dalam diet kuda (Kral 1963).

Microsporum gypseum

Microsporum gypseum adalah jamur geofilik dengan distribusi di seluruh dunia yang dapat menyebabkan infeksi pada hewan dan manusia, terutama anak-anak dan pekerja pedesaan selama cuaca lembab dan hangat. Gejala awal yang muncul adalah inflamasi atau peradangan pada kulit dan lesi pada kulit kepala. Pada rambut yang terinfeksi menunjukkan infeksi ectothrix tetapi apabila diuji dibawah ultra-violet lampu Wood, tidak terjadi perpendaran (Rippon 1988). Microsporum gypseum merupakan jamur imperfecti (jamur tidak sempurna) atau deuteromycotina karena perkembangbiakannya hanya secara aseksual. Aspek fisiologis penting dari M. gypseum adalah dinding selnya yang mengandung kitin bersifat heterotrof, menyerap nutrien melalui dinding selnya, dan mengeksresikan enzim-enzim ekstraseluler ke lingkungannya (Indrawati dan Wellyzar 2006).

(18)

4

permukaan tengah dan kadang ditemukan bercak coklat gelap. Menurut Brooks et al. (2001) koloni dari M. gypseum yang tumbuh cepat dan menyebar dengan permukaan yang mendatar ini ditemukan sedikit berserbuk. Serbuk yang berada di permukaan koloni mengandung makrokonidia (Rippon 1974). Pada bagian permukaan belakang berwarna kemerahan dan ditemukan pada beberapa strain.

Secara mikroskopis, ditemukan makrokonidia berbentuk kesimetrisan, elips, berdinding tipis dengan ketebalan 8-16 X 20 μ, dan multiseluler terdiri dari 4 -6 sel. Mikrokonidia dapat diamati, meskipun jarang dihasilkan dan berukuran 2,5-3,0 X 4-6 μ (Rippon 1974). Makrokonidia berdinding kasar dan tipis, dan pada ujung-ujung hifa terbentuk kumparan (Jawetz et al. 2001). Pada ujung distal dari sebagian makrokonidia berbentuk agak bulat sedangkan ujung proksimal berbentuk agak memotong (Rippon 1988).

Gambar 2 Gambaran makroskopis dan mikroskopis Microsporum gypseum (www.mycology.adelaide.edu.au)

Menurut Wicaksana (2008), Microsporum gypseum memiliki taksonomi sebagai berikut:

Kingdom : Fungi Divisi : Ascomycota

Kelas : Eurotiomycetes Ordo : Onygenales

Family : Arthrodermataceae Genus : Microsporum

Species : Microsporum gypseum

Habitat Microsporum gypseum di dalam tanah karena tanah diperkaya dengan sumber keratin seperti rambut ataupun bulu. Seperti dermatofita yang lain, M. gypseum memiliki kemampuan untuk menginfeksi jaringan manusia dan hewan yang berkeratin. Konidia tumbuh secara berangsur-angsur, berkembang membentuk suatu lingkaran (Moschella dan Hurley 1994). Ia memproduksi keratofilik proteinase yang efektif pada pH asam dan enzim ini berperan dalam faktor virulensinya (Warnock 2004).

(19)

5 M.gypseum banyak ditemukan pada hewan domestik. Microsporum gypseum merupakan patogen insidental pada anjing, kuda, dan kadang manusia. Penularan infeksi mempunyai kemungkinan yang besar untuk terjadi dari hewan ke hewan atau dari hewan ke manusia. Rantai penularan dari jamur ini relatif pendek dibanding dengan penularan yang luas dari spesies jamur zoofilik yang lainnya. Jamur M. gypseum dapat ditularkan secara langsung melalui epitel kulit, rambut, tanah ataupun dari hewan ke manusia.

Antimikotik

Antimikotik adalah zat berkhasiat yang digunakan untuk penanganan penyakit yang disebabkan oleh jamur (Mutschler 1991). Antimikotik juga dikenali dengan istilah obat antifungal. Secara umum infeksi jamur dibedakan oleh infeksi jamur topikal (dermatofit dan mukokutan) dan sistemik, dimana melibatkan darah, paru-paru, dan sistem saraf pusat. Infeksi jamur topikal dapat didiagnosa secara langsung dengan pemeriksaan mikroskopik untuk melihat keberadaan hifa pada sel kulit atau keberadaan spora pada permukaan dari rambut terinfeksi. Identifikasi ini dapat dilakukan di laboratorium in-hospital yang mempunyai media Dermatophyte test. Infeksi sistemik dapat di diagnosa di laboratorium dengan uji serologis. Pasien dengan infeksi jamur dapat diobati secara oral, topikal atau perenteral sesuai dengan infeksi yang dialami.

Pada dekade terakhir ini, penggunaan antimikotik sangat berkembang pesat dan banyak produk antimikotik yang beredar di pasaran. Pada hakikatnya, semua antimikotik berkhasiat fungistatis pada dosis yang digunakan (Tjay dan Rahardja 2007). Obat antifungal atau antimikotik dibagi menjadi 4 kelas, yaitu: polyene, imidazole, anti-metabolik, dan agen superfisial (Wanamaker dan Massey 2009). Beberapa contoh obat antimikotik yang beredar saat ini adalah amfoterisin, ketokonazol, flukonazol, mikonazol, griseofulvin dan vorikonazol.

Amfoterisin merupakan obat antimikotik yang dikelompokkan dalam antifungal agen polyene dengan kegunaan klinis untuk mengobati infeksi mikotik sistemik (Wanamaker dan Massey 2009). Amfoterisin merupakan hasil fermentasi Streptomyces nodosus. Sebanyak 98% dari campuran amfoterisin B mempunyai aktivitas antijamur. Aktivitas antijamur nyata pada pH 5,0-7,5; berkurang pada pH lebih rendah. Antimikotik ini bersifat fungistatik atau fungisidal tergantung dosis dan aktivitas jamur yang dipengaruhi. Amfoterisin B mempunyai aktivitas antijamur dimana ia menyerang sel yang sedang tumbuh dan sel matang dengan berikatan kuat dengan sterol yang terdapat pada membran sel jamur. Ikatan ini menyebabkan membran sel bocor, sehingga terjadi kehilangan beberapa bahan intrasel dan mengakibatkan kerusakan yang tetap pada sel. Resistensi terhadap amfoterisin B mungkin disebabkan oleh perubahan reseptor sterol pada membran sel (Bahry dan Setiabudi 2005).

Ketokonazol merupakan obat antimikotik turunan imidazol yang

(20)

6

terhadap jamur yang sama dengan amfoterisin B (Mycek et al. 2011). Ketokonazol merupakan fungistatikum imidazol pertama yang digunakan per oral dengan spektrum kerjanya mirip mikonazol dan meliputi banyak fungi patogen. Zat ini juga digunakan pada infeksi sistemis parah dan kronis secara lokal pada gangguan ketombe hebat (Tjay dan Rahardja 2007).

Flukonazol merupakan antimikotik untuk infeksi sistemik dan diberikan untuk profilaktik. Flukonazol merupakan inhibitor enzim P-450 sitokrom dan C-14 alfa-demetilase (biosintesis ergosterol) jamur yang sangat selektif. Pengurangan ergosterol, yang merupakan sterol utama yang terdapat di dalam membran sel-sel jamur, dan akumulasi sterol-sterol yang mengalami metilase menyebabkan terjadinya perubahan sejumlah fungsi sel yang berhubungan dengan membran. Mekanisme kerja dari flukonazol mirip ketokonazol yaitu menghambat sintesis ergosterol membran jamur. Flukonazol berkemampuan mengobati Criptococcus neoformans,untuk kandidemia dan koksidiomikosis (Mycek et al 2011). Flukonazol memiliki spectrum yang luas meliputi Blastomyces dermatidis, Cocciodioides immitis, Cryptococcus neoformus, Histoplasma capsulatum, dan Paracoccidioides brasiliensis.

Mikonazol digolongkan sebagai antimikotik untuk infeksi dermatofit dan mukokutan. Mikonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang relatif stabil, mempunyai spektrum antimikotik yang lebih lebar baik terhadap sistemik maupun dermatofit. Aktivitas dari Mikonazol adalah menghambat aktivitas jamur Trichophyton, Epidermophyton, Microsporum, Candida, dan Malassezia furfur. Mekanisme kerja antimikotik ini adalah menghambat sintesis ergosterol yang menyebabkan permeabilitas membran sel jamur meningkat. Mungkin pula terjadi gangguan sintesis asam nukleat atau penimbunan peroksida dalam sel jamur yang akan menimbulkan kerusakan. Resistensi terhadap imidazol sangat jarang terjadi dari jamur penyebab dermatofitosis. Untuk dermatofitosis diindikasikan mikonazol topikal (Bahry dan Setiabudi 2005).

Griseofulvin adalah antimikotik yang merupakan bahan yang diisolasi dari Penicillium janczweski. Griseofulvin bersifat fungisidal terhadap sel muda yang berkembang. Menurut Mutschler (1991), griseofulvin bersifat fungistatik setelah pemakaian jangka panjang karena kemampuan untuk tersimpan secara selektif dalam lapisan epidermis, rambut, dan kuku. Grisofulvin bekerja menghambat mitosis jamur dengan mengikat protein mikrotubuler dalam sel. Obat ini berakumulasi di daerah infeksi, disintesis kembali dalam jaringan keratin, dan sehingga menyebabkan pertumbuhan jamur terganggu (Mycek et al. 2011). Griseofulvin efektif untuk infeksi jamur di kulit, rambut, dan kuku yang disebabkan oleh jamur Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton (Bahry dan Setiabudi 2005). Menurut Mycek et al. (2011) adapun resistensi yang terjadi adalah disebabkan oleh sistem asupan tergantung energi dari antimikotik ini.

(21)

7 Histoplasma capsulatum, dan Scedosporium apiospermum. Juga efektif terhadap dematiaceous moulds, tetapi tidak efektif terhadap Zygomycetes (Lubis 2008).

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2014 hingga bulan Januari 2015 di Laboratorium Mikologi Bagian Mikrobiologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat dan Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah skin scrapings yang diduga mengalami infeksi dermatofitosis akibat M.gypseum, isolat M.gypseum hasil isolasi dan identifikasi, media dermatophyte selective agar (DSA), alkohol 70%, akuades, KOH 10%, Lactophenol cotton blue (LPCB), sediaan kertas cakram antimikotik ketokonazol (KCA) 15µg, amfoterisin (AMB) 20 µg, vorikonazol (VO) 1 µg, flukonazol (FLU) 10 µg, griseofulvin (AGF) 10 µg, dan mikonazol (MCL) 10 µg.

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah tabung reaksi, wadah plastik, cawan Petri, batang gelas bentuk “U”, ose, pembakar Bunsen, pipet ukur, inkubator, mesin vortex, gelas objek dan penutup, batang pengaduk kaca, mikropipet, pinset steril, kertas saring, mikroskop, dan kamera.

Metodologi

Tahapan Penelitian

Koleksi Spesimen

Pada penelitian ini digunakan sampel dari satu ekor kuda yang diduga menderita infeksi dermatofitosis di Unit Rehabilitasi dan Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB. Bagian kulit yang diduga terinfeksi dibersihkan dengan alkohol 70% dan dilakukan pengambilan sampel kerokan kulit.

Isolasi dan identifikasi jamur

a.Pemeriksaan cepat dengan KOH

(22)

8

keratin terurai. Pengamatan dilakukan dengan bantuan mikroskop. Identifikasi mikroskopis dilakukan menggunakan acuan dari Carter dan Cole (1990).

b.Isolasi jamur dengan media DSA

Sampel kerokan kulit diidentifikasi dengan menggunakan media biakan DSA dengan mengisolasikan pada beberapa media DSA dan diinkubasikan pada temperatur kamar (25-27 °C) selama 7-14 hari sehingga terlihat adanya pertumbuhan koloni.

c.Identifikasi jamur

Identifikasi jamur dalam penelitian ini dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Secara makroskopis dengan melihat gambaran koloni jamur meliputi pigmen, tekstur, sifat serta lama pertumbuhan. Secara mikroskopis untuk melihat morfologi secara jelas dilakukan pembiakan dengan menggunakan metode slide culture menurut Riddle dan kemudian diinkubasi selama 48 jam dan dilanjutkan dengan pewarnaan LPCB dan kemudian diamati menggunakan mikroskop (Dorry 1980). Identifikasi secara mikroskopis sebelumnya dilakukan secara natif langsung dari koloni dan metode selotipe.

Persiapan Uji Aktivitas Antimikotik

Suspensi inokulum yang berisi makrokonidia dan mikrokonidia kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dibiarkan mengendap selama 15 hingga 20 menit pada suhu kamar. Suspensi kemudiannya di vortex sehingga fragmen besar jamur memecah dan homogen. Selanjutnya disediakan 3 media DSA dan suspensi diambil dari berbagai konsentrasi yang berbeda ditumbuhkan dan diinkubasi. Media kemudian diinkubasi selama 7-14 hari temperatur kamar (25-27 °C) dan dilakukan pengamatan.

Pengujian Antimikotik dengan Metode Cakram Kertas

Suspensi endapan diambil sebanyak 0.2 ml lalu dibiakkan pada 2 plat media DSA dengan cara digoreskan. Setelah dibiarkan kering selama 10-15 menit, dengan menggunakan pinset steril, kertas cakram antimikotik ketokonazol (KCA) 15µg, amfoterisin (AMB) 20 µg, dan vorikonazol (VO) 1 µg diletakkan pada Plat 1. Pada Plat 2 diletakkan cakram kertas anitimikotik flukonazol (FLU) 10 µg, griseofulvin (AGF) 10 µg, dan mikonazol (MCL) 10 µg. Ketiga cakram kertas antimikotik pada setiap plat agar DSA diletakkan dengan jarak segitiga sama sisi (Gambar 3). Pengujian dilakukan dengan Metode Duplo. Plat pengujian diinkubasikan pada temperatur kamar (25-27 °C) selama 7 hari.

(23)

9 Pengamatan Hasil

Pengamatan hasil dilakukan dengan cara observasi pertumbuhan koloni dan zona hambat berwarna bening di sekitar cakram. Pengamatan dilakukan selama tujuh hari dan pengukuran diameter zona hambat dalam ukuran milimeter (mm) dilakukan pada hari ke-3 dan hari ke-7 (Singh et al. 2007).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh jamur dari golongan dermatofita. Dalam penelitian ini, gejala klinis kuda yang diduga menderita dermatofitosis menunjukkan gejala peradangan pada permukaan kulit dengan gejala kerontokan rambut, alopesia dan kulit menjadi bersisik (Gambar 4). Pada kuda, terlihat mengalami kerontokan rambut pada tempat tumbuhnya bulu suri dan terlihat pada bagian leher kuda adanya lesio berbentuk sirkuler yang berukuran kurang lebih 10 mm sampai 25 mm Pada penelitian kuda yang diduga menderita dermatofitosis disebabkan oleh M.gypseum mengalami lesio yang lebih besar, lebih meradang, dan adanya penebalan pada kulit dibanding dengan M.canis, sesuai yang penyataan Kral (1963).

Gambar 4 Lesio infeksi yang diduga dermatofitosis pada Kuda

(24)

10

Gambar 5 Hasil pengamatan mikroskopis pemeriksaan cepat menggunakan KOH 10% (Pembesaran 400x)

Isolasi dan identifikasi jamur dilakukan menggunakan media DSA. Media DSA merupakan media berbentuk padat berfungsi sebagai media selektif untuk pertumbuhan jamur dan menghambat pertumbuhan bakteri dengan adanya antibiotik cycloheximide, chloramphenicol, dan gentamicin. Secara makroskopis, koloni terlihat datar, menyebar dengan tekstur seperti butiran kecil. Warna koloni terlihat pada kultur adalah putih kecoklatan dengan adanya permukaan halus putih di pusat (dome) (Gambar 6). Aspek kultur M.gypseum menunjukkan adanya koloni bersifat “cotton-like” yang berwarna putih dengan bagian tengah berwarna coklat kekuningan dan puncak radial, serta kebalikkan koloni berwarna kuning sesuai dengan literatur oleh Mihali (2012), Rippon (1988), dan Brooks et al. (2001).

Microsporum gypseum di media DSA memiliki fase pertumbuhan koloni antara 6-10 hari, sifat menyebar dengan tekstur seperti butiran kecil. Penampakan makroskopis berupa koloni datar yang menyebar dan berwarna krem sampai cokelat-buff pucat dengan kebalikkan kuning hingga kemerahan pada beberapa strain (Gambar 6). Pada biakan yang matang, koloni terlihat berserbuk halus putih pada bagian permukaan tengah dan kadang ditemukan bercak coklat gelap. Serbuk yang berada di permukaan koloni mengandung makrokonidia (Rippon 1974).

Gambar 6 Gambaran makroskopis Microsporum gypseum pada media DSA

(25)

11 gypseum lebih banyak apabila dibandingkan dengan M. canis serta jumlah makrokonidia yang dihasilkan adalah jauh lebih banyak daripada mikrokonidia. Sesuai dengan penyataan tersebut, pengamatan mikroskopis menemukan makrokonidia dalam jumlah yang besar dimana hal ini juga sesuai dengan penyataan Mihali (2012) yang menyatakan pada preparat natif M. gypseum dapat ditemukan sejumlah besar makrokonidia serta mikrokonidia pada talus yang panjang.

Setelah dilakukan pengamatan, diperoleh gambaran morfologi konidia ataupun hifa secara mikroskopis yaitu makrokonidia berbentuk elips simetris, berdinding kasar dan tipis, dan multiseluler terdiri dari 4-6 sel (Gambar 7). Hasil pengamatan dimana makrokonidia mempunyai dinding tipis yang kasar sesuai dengan literatur oleh Rippon (1974) dan Jawetz et al. (2001). Pewarnaan dengan LPCB membantu dalam peneguhan identifikasi dengan memberi gambaran morfologi yang jelas dimana ditemukan ada sekat pada bagian ujung makrokonidia, seperti yang dinyatakan oleh Mihali (2012) bahwa pada ujung distal dari makrokonidia M.gypseum berbentuk tajam dan mempunyai sekat pada bagian ujung. Gambaran ini menjadi perbedaan jelas dalam perbandingan dengan morfologi M.canis dimana sekat menjadi ciri khas dari M.gypseum.

Gambar 7 Gambaran mikroskopis Microsporum gypseum.dan adanya sekat pada bagian ujung distal M.gypseum (Pembesaran 400x)

Pengujian aktivitas antimikotik dilakukan dengan cara difusi agar. Metode difusi agar ini meliputi 3 cara yaitu metode silinder, metode sumur dan metode cakram kertas. Metode cakram kertas merupakan metode yang sangat sederhana, mudah pengujiannya dan tidak memerlukan berbagai macam alat. Menurut Sevtap (2007), metode ini sangat dinamis dan banyak digunakan dalam bidang mikologi medis.

(26)

12

dan Gambar 11) serta hasil pengukuran diameter zona hambat (Tabel 1 dan Tabel 2).

Cawan 1 Cawan 2

KCA: Ketokonazol, AMB: Amfoterisin, VO: Vorikonazol, FLU: Flukonazol, AGF: Griseofulvin, MCL: Mikonazol

Gambar 8 Hasil keseluruhan pengujian antimikotika terhadap M.gypseum pada hari ke-3

Cawan 1 Cawan 2

KCA KCA

AMB AMB

VO

VO

MCL

MCL

FLU

FLU AGF

AGF

AMB

AMB VO

VO

KCA

KCA

FLU

FLU AGF

AGF

(27)

13 KCA: Ketokonazol, AMB: Amfoterisin, VO: Vorikonazol, FLU: Flukonazol,

AGF: Griseofulvin, MCL: Mikonazol

Gambar 9. Hasil keseluruhan pengujian antimikotika terhadap M.gypseum pada hari ke-7

Tabel 1 Diameter zona hambat (mm) di sekitar cakram kertas antimikotik terhadap M.gypseum pada hari ke-3

Antimikotik Diameter zona hambat (mm) Rata-rata

1 2

Ketokonazol(KCA) 26 22 24

Amfoterisin(AMB) 0 0 0

Vorikonazol (VO) 35 32 33.7

Flukonazol(FLU) 0 0 0

Griseofulvin (AGF) 16 15 15.5

Mikonazol(MCL) 16 13 14.5

Tabel 2 Diameter zona hambat (mm) di sekitar cakram kertas antimikotik terhadap M.gypseum pada hari ke-7

Antimikotik Diameter zona hambat (mm) Rata-rata 1 2

Ketokonazol (KCA) 0 0 0 Amfoterisin (AMB) 0 0 0 Vorikonazol (VO) 12 5 8.5 Flukonazol(FLU) 0 0 0 Griseofulvin (AGF) 18.5 16 17.25 Mikonazol(MCL) 15.5 9 12.25

(28)

14

Ketokonazol (KCA) Amfoterisin (AMB) Vorikonazol (VO)

Flukonazol (FLU) Griseofulvin (AGF) Mikonazol (MCL)

Gambar 10 Zona hambat yang terbentuk di sekitar cakram kertas antimikotik pada hari ke-3

Ketokonazol (KCA) Amfoterisin (AMB) Vorikonazol (VO)

Flukonazol ( FLU) Griseofulvin (AGF) Mikonazol (MCL)

Gambar 11 Zona hambat yang terbentuk di sekitar cakram kertas antimikotik pada hari ke-7

(29)

15 pertama, ketokonazol bekerja dalam mengganggu fungsi membran dan meningkatkan permeabilitas yang menghasilkan zona hambatan bening, sebelum hilangnya aktivitas dari antimikotik tersebut. Maka pada hari ke-7, ketokonazol sudah tidak mampu beraktivitas terhadap M.gypseum sehingga tidak terbentuk lagi zona hambat terhadap perkembangan jamur tersebut.

Pengujian dengan amfoterisin dan flukonazol menunjukkan aktivitas paling buruk dimana tidak ada zona hambat yang terbentuk disekitar cakram kertas. Hasil ini menunjukkan ketidakmampuan amfoterisin dan flukonazol beraktivitas terhadap jamur M.gypseum. Menurut Mutschler (1991), amfoterisin beraktivitas lebih tinggi terhadap sejumlah mikosis yang disebabkan oleh jamur Sacharomyces dibanding dengan jamur Microsporum. Untuk ketidakmampuan flukonazol, sesuai dengan beberapa hasil penelitian, dijelaskan bahwa senyawa ini mempunyai aktivitas paling rendah terhadap dermatofita dibanding antimikotik lainnya (Singh et al. 2007; Favre et al. 2003).

Pengujian menggunakan vorikonazol menunjukkan pola naik turun pada pengamatan hari ke-3 dan hari ke-7, dimana pada awalnya mendapatkan zona hambat sebesar 33.7 mm menjadi 8.5 mm pada penghujung pengujian. Aktivitas vorikonazol yang diukur pada hari ke-3 mendapatkan hasil yang sesuai dengan penelitian Perea et al (2001) dimana vorikonazol menunjukkan aktivitas paling tinggi dibanding dengan antimikotik lainnya yaitu ketokonazol, griseofulvin, dan flukonazol. Penurunan diameter zona ini pada hari ke-7 dapat dijelaskan dengan kenyataan oleh Lubis (2008) yang menyatakan bahwa senyawa ini lebih efektif terhadap jamur dengan hifa gelap (dematiaceous mold). Vorikonazol juga bersifat lebih susceptible terhadap dermatofita khususnya Epidermophyton sp. (Perea et al. 2001).

Pola yang sama ditunjukkan oleh hasil pengujian dengan mikonazol, dimana pada hari ke-3 dengan diameter sebesar 14.5 mm dan kemudian menurun pada hari ke-7 menjadi 12.5 mm. Dapat dikatakan senyawa ini mempunyai aktivitas yang tinggi karena penurunan diameter zona hambat lebih kecil dibanding yang lain. Menurut Tjay dan Rahardja (2007) bahwa senyawa mikonazol bersifat fungisida kuat hingga lebih aktif dan efektif terhadap dermatofit. Hasil akhir pengujian ini juga sejalan dengan Pakshir et al. (2009), bahwa mikonazol menunjukkan aktivitas yang baik terhadap strain dermatofita dibanding dengan antimikotik yang lain.

(30)

16

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Jamur Microsporum gypseum merupakan penyebab dermatofitosis pada kuda yang ada di Unit Rehabilitasi dan Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB. Griseofulvin merupakan antimikotik yang mempunyai aktivitas paling baik terhadap M.gypseum sehingga dapat digunakan sebagai obat pilihan dalam pengobatan dermatofitosis yang disebabkan oleh M.gypseum.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan metode Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dari obat-obat tersebut sehingga dapat diketahui nilai MIC dari masing-masing obat terhadap daya hambat kapang M.gypseum.

DAFTAR PUSTAKA

Bahry B, Setyabudi R. 2005. Obat Jamur dalam Farmakologi dan Terapi.Ed ke-4 Jakarta (ID): FK UI

Brooks GF, Butel JS, Morse SA. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Ed ke-1. Jakarta (ID): Salemba Medika.

Carter GR, Cole JR. 1990. Diagnostic prosedures in veterinary bacteriology and mycology. 5th Ed. San Diego (US): Academic Pr Inc.

Dorry YA. 1980. Laboratory Medical Mycology. Washington (US): Washington Univ.

Ellis D. 2013. Microsporum gypseum. Mycology Online [Internet]. Adelaide (AU):Mycology Online. hlm 1; [diunduh 2015 May 22]. Tersedia pada http://www.mycology.adelaide.edu.au.

http://.mycology.adelaide.edu.au/dermatophytes/Microsporum gypseum.html Emmons WC, Buford HC, Putz J, Kwon CKJ. 1977. Medical Mycology. 3rd

Edition. Philadephia (US): Lea & Febiger.

Favre B, Hofbauer B, Hildering KS, Ryder NS. 2003. Comparison of in vitro activities of 17 antifungal drugs against a panel of 20 dermatophytes by using a microdilution assay. J Clin Microbiol. 41: 4817-4819.

Indrawati G, Wellyzar S, editor. 2006. Mikologi : Dasar dan Terapan. Ed ke-1. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia.

Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Buku I. Widorini N, penerjemah. Jakarta (ID): Salemba Medika.

(31)

17 Lubis RD. 2008. Pengobatan Dermatomikosis [Internet]. [diunduh tanggal 20 Jan

2015]. Tersedia pada:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3399/3/08E00891.pdf.txt Mica. 2007. Microsporum canis. Clinical microbiology proficiency testing

(CMPT Program plus) [Internet]. [diunduh 2015 Juni 20]; 0709-2. Tersedia pada: http//www.cmpt.ca/mycology

Mihali CV, Buruiana A, Turcus V, Covaci A, Ardelean A. 2012. Comparative studies of morphology and ultrastructure in two common species of dermatophytes: Microsporum canis and Microsporum gypseum. J Annals of RSCB. 17(1):1-5.

Moschella SL, Hurley HJ. 1994. Dermatology. 3rd Ed. Volume One. Philadelphia (US):W.B. Saunders

Mutschler E. 1991. Dinamika Obat. Widianto MB dan Ranti AS, penerjemah. Bandung (ID): Penerbit ITB.

Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. 2011. Pharmacology (Lippincott's Illustrated Reviews Series). Philadelphia (US): Lippincott Williams & Wilkins. Pakshir K, Bahaedinie L, Rezaei Z, Sodaifi M, Zomorodian K. 2009. In vitro

activity of six antifungal drugs against clinically important dermatophytes. J Jound Microbiol. 2(4): 158-163.

Perea S, Fothergill AW, Sutton DA, Rinaldi MG. 2001. Comparison of in vitro activities of voriconazole and five established antifungal agents against different species of dermatophytes using a broth macrodilution method. J Clin Microbiol. 39: 385-388.

Quinn PJ, Markey BK, Leonard FC, Fitzpatrick ES, Fanning S, Hartigan PJ. 2006. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Oxford (GB): Blackwell Publ. Rendle D. 2015. Dermatophytosis - “Ringworm”. [Internet]. [diunduh 2015 Mei

20];

Tersedia pada: http://www.nadis.org.uk/bulletins/dermatophytosisringworm.aspx Rippon JW. 1974. Medical Mycology The Pathogenic Fungi and The Pathogenic

Actinomycetes. Phildelphia (US): W.B. Saunders Co.

Rippon JW.1988. Medical Mycology. 3rd Ed. Philadelphia (US): W.B. Saunders Co.

Schaer M. 2010. Clinical Medicine of The Dog and and Cat. 2nd Ed. London (GB): Manson Publ.

Sevtap A. 2007. Current status of antifungal susceptibility testing methods. Med Mycol. 45: 569-87

Singh J, Zaman M, Gupta AK. 2007. Evaluation of microdilution and disk diffusion methods for antifungal susceptibility testing of dermatophytes. Med Mycol. 45:595-602

Tjay TH, Rahardja K. 2007. Obat-obat Penting. Jakarta (ID): Penerbit PT Elex Media Komputindo.

Wanamaker BP, Massey KL .2009. Applied Pharmacology for Veterinary Technicians. 4th Edition. Missouri (US):Saunders Elsevier.

Warnock DW. 2004. Superficial Fungal Infection: Infectious Disease. 2nd Ed. Philadephia (US): Mosby Elsevier Ltd.

(32)

18

(33)

19

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Johor, Malaysia pada tanggal 4 Agustus 1991 dari ibu Mas Illazreen Ghazali dan ayah Azaman Abu Bakar. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal dimulai dari TK Satria Jaya, SD St. Mary’s Primary School, SMP SM Agama Tun Ahmad Zaidi, SMA Section 9 Secondary School Shah Alam, dan melanjutkan studi Foundation in Science di President College Kuala Lumpur. Penulis diterima sebagai mahasiswa baru Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2011 sebagai Mahasiswa Asing.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif berpartisipasi di organisasi dalam dan luar kampus. Organisasi kampus yang penulis ikuti diantaranya Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik sebagai Ketua Divisi Kuda pada masa kepengurusan 2013/2014 dan sebagai Timbalan Pengerusi Tetap di organisasi Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia-Indonesia Cabang Bogor pada masa kepengurusan 2012/2013.

Penulis juga pernah mengikuti acara pengabdian masyarakat Mahasiswa Abdi Nusantara di Riau pada tahun 2014 serta acara dari organisasi International Veterinary Student Association Vet Youth Summit Japan 2015 sebagai anggota delegasi Indonesia.

Gambar

Gambar 1 Lesio dermatofitosis pada kuda
Gambar 4 Lesio infeksi yang diduga dermatofitosis pada Kuda
Gambar 8 Hasil keseluruhan pengujian antimikotika terhadap
Gambar 10 Zona hambat yang terbentuk di sekitar cakram kertas

Referensi

Dokumen terkait

a. Mencegah dan mengurangi kecelakaan. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran. Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan. Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri

Dermatitis merupakan peradangan pada kulit, baik pada bagian dermis ataupun epidermis yang disebabkan oleh beberapa zat alergen ataupun zat iritan. Zat tersebut

Autis adalah suatu gangguan dalam tumbuh kembang anak yang meliputi aspek sosialisasi, komunikasi dan prilaku yang repetitif atau berulang-ulang seperti anak

Selain itu, peningkatan kapasitas individu yang terlibat dalam proses kolaborasi dapat mengarahkan kolaborasi antar stakeholders dalam pengelolaan TN Babul menjadi

isolat unggas air klaster Asia) dan didukung rendahnya antigenesitas virus isolat unggas air dengan virus bibit vaksin AI subtipe H5N1 ( strain ayam Legok 2003), menuntut

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberi kekuatan dan petunjuk serta melimpahkan rahmat, dan hidayah-Nya, sehingga penulis

C. Untuk mendeskripsikan hubungan advokat dengan klien dalam perkara sengketa waris Islam di Kantor advokat Muhammad Rusdi, SH., MH dan Rekan. Untuk mendeskripsikan bentuk

Pendidikan Seni Budaya dan Keterampilan diberikan di sekolah karena keunikan, kebermaknaan, dan kebermanfaatan terhadap kebutuhan perkembangan peserta didik, yang