• Tidak ada hasil yang ditemukan

Corn Seed Drying Optimization Using Predrying and Air Drying Temperature Treatment

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Corn Seed Drying Optimization Using Predrying and Air Drying Temperature Treatment"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMASI PENGERINGAN BENIH JAGUNG DENGAN

PERLAKUAN PRAPENGERINGAN DAN SUHU UDARA

PENGERINGAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Optimasi Pengeringan Benih Jagung dengan Perlakuan Prapengeringan dan Suhu Udara Pengeringan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

MUHAMMAD ROFIQ. Optimasi Pengeringan Benih Jagung dengan Perlakuan Prapengeringan dan Suhu Udara Pengeringan. Dibimbing oleh MOHAMAD RAHMAD SUHARTANTO, TATIEK KARTIKA SUHARSI, dan ABDUL QADIR.

Pengeringan merupakan bagian terpenting dalam proses pengolahan benih jagung. Proses pengeringan yang terlalu lama dapat menurunkan viabilitas benih. Kadar air benih yang tinggi menyebabkan inisiasi perkecambahan dan meningkatkan serangan fungi, akibatnya benih dapat kehilangan viabilitasnya. Laju pengeringan yang rendah juga menyebabkan turunnya kapasitas produksi, akibatnya biaya produksi menjadi meningkat.

Salah satu upaya yang ditempuh untuk meningkatkan laju pengeringan adalah meningkatkan suhu udara pengeringan. Penggunaan suhu tinggi dalam proses pengeringan bukan berarti tidak mempunyai resiko. Suhu udara pengeringan yang tinggi menyebabkan rusaknya senyawa kimia dalam benih, sehingga menurunkan viabilitas benih. Perlakuan prapengeringan perlu ditambahkan untuk mempertahankan viabilitas benih. Prapengeringan dapat dilakukan dengan cara menghembuskan udara suhu kamar menggunakan mesin blower sebelum benih jagung diberikan perlakuan udara panas.

Kombinasi perlakuan prapengeringan dan suhu udara pengeringan diduga cukup efektif untuk meningkatkan laju pengeringan serta mempertahankan viabilitas benih jagung. Penelitian bertujuan meningkatkan efisiensi pengeringan benih jagung melalui pengembangan rancangan sistem pengeringan dan melakukan kombinasi perlakuan prapengeringan dengan suhu udara pengeringan untuk mendapatkan mutu benih yang maksimum.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Oktober 2012 di PT BISI International Tbk., Kediri, Jawa Timur.Penelitian terdiri atas 3 tahap, yaitu: (1) Perancangan sistem pengeringan, (2) Optimasi pengeringan benih jagung, dan (3) Analisis ekonomi.Kegiatan pertama terdiri atas 2 tahap, yaitu: pembuatan dan pengujian minibox dryer.

Optimasi pengeringan benih jagung terdiri atas 2 faktor perlakuan, yaitu: prapengeringan (0,12, 24, dan 36 jam), dan suhu udara pengeringan (40, 45, 50, dan 55 °C), menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 3 ulangan. Analisis mutu fisik dan fisiologis dilakukan untuk mendapatkan perlakuan yang mampu menghasilkan benih dengan kualitas yang baik. Analisis ekonomi dilakukan untuk mengetahui perlakuan yang memiliki nilai B/C Ratio paling tinggi.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan prapengeringan 36 jam dan suhu udara pengeringan 50 °C merupakan perlakuan optimum pada pengeringan benih jagung, karena mampu menghasilkan benih dengan kualitas baik dan memiliki nilai B/C Ratio paling tinggi.

(5)

SUMMARY

MUHAMMAD ROFIQ. Corn Seed Drying Optimization Using Predrying and Air Drying Temperature Treatment. Dibimbing oleh MOHAMAD RAHMAD SUHARTANTO, TATIEK KARTIKA SUHARSI, dan ABDUL QADIR.

Drying is an important operation in corn seed processing. Long duration of seed drying can reduce seed viability. The high moisture content causes the initiation of seed germination and increase fungal attacks, thus it will loss seed viability. Long duration of seed drying also decreases production capacity and will increase production cost.

One of the efforts to increase drying rate is increase air drying temperature. But, the high temperature in seed drying will give risk. It will give effect on chemical composition destruction so it could be decline seed viability. Maintaining seed viability could be done by using predrying treatment. Predrying was done by blowing air using blower machine and it applied before ear corn dried with heated air.

Combination between predrying and air drying temperature were the effective treatment to increase drying rate and maintain corn seed viability. The objectives of the research were to increase corn seed drying efficency by develop design of drying system and combine between predrying treatment with air drying temperature to get maximum seed quality.

This research was conducted at PT BISI International, Tbk. on June till October 2012. This research consisted of three phases, 1. Drying system design, 2. Corn seed drying optimization, and 3. Economic analysis. The first research consisted of two phases, 1. Mini box dryer assembling, and 2. Mini box dryer testing.

Corn seed drying optimization consisted of periods of predrying (0, 12, 24, and 36 hours) and temperature level factor (40, 45, 50, and 55 °C), used randomized complete block design with three replications. Physical and physiological quality were analyzed to find treatment which produced good seeds. Economic analysis were used to find treatment which give highest of B/C Ratio.

The result showed that predrying during 36 hours on temperature setting 50 °C was the optimum treatment for corn seed drying, because it had good germination and had highest B/C Ratio.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)
(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih

OPTIMASI PENGERINGAN BENIH JAGUNG DENGAN

PERLAKUAN PRAPENGERINGAN DAN SUHU UDARA

PENGERINGAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(10)
(11)

Judul Tesis : Optimasi Pengeringan Benih Jagung dengan Perlakuan Prapengeringan dan Suhu Udara Pengeringan

Nama : Muhammad Rofiq

NIM : A251100144

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. M. Rahmad Suhartanto, M.S. Ketua

Dr. Dra. Tatiek Kartika Suharsi, M.S. Anggota

Dr. Ir. Abdul Qadir, M.Si. Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih

Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian: 14 Juni 2013

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala nikmat karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis yang berjudul Optimasi Pengeringan Benih Jagung dengan Perlakuan Prapengeringan dan Suhu Udara Pengeringan tidak dapat terwujud tanpa adanya bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Mohamad Rahmad Suhartanto, M.S., Dr. Dra. Tatiek Kartika Suharsi, M.S., dan Dr. Ir. Abdul Qadir, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan ilmu, masukan, dan arahan dalam penyusunan tesis.

2. Dr. Willy Bayuardi Suwarno, S.P., M.Si. selaku dosen penguji luar komisi pada ujian akhir tesis atas masukan dan arahannya untuk perbaikan tesis. 3. Dr. Ir. Maya Melati, M.S., M.Sc. selaku dosen penguji perwakilan dari Program

Studi Ilmu dan Teknologi Benih pada ujian akhir tesis atas masukan dan arahannya untuk perbaikan tesis.

4. Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S. selaku ketua mayor Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama penulis melaksanakan studi di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.

5. Seluruh staf pengajar Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih atas ilmu dan pengetahuan yang diberikan selama penulis menempuh studi di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.

6. Segenap manajemen PT. BISI International, Tbk atas dukungan beasiswa, fasilitas dan dukungan sumber daya lainnya selama penulis menempuh studi di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.

7. Keluarga tercinta, Bapak Soekarman, Ibu Radiyem, istri tercinta Anis Mu’arifah S.Ei. dan anak-anak tercinta M. Nadzif Afnan Fannani, M. Faqih Al Farizqi yang telah memberikan dukungan moril maupun materil kepada penulis untuk menempuh studi dan penelitian.

8. Teman-teman seperjuangan: Taufik, Nizar, Yasin, Purna, Pak Entit, Pak Aziz, Yustiana, Nancy, Bu Ratih, serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan, terima kasih atas doa dan dukungannya selama ini.

Penulis menyadari tesis ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan masukan dari seluruh pihak. Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1  PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1 

Perumusan Masalah 1 

Tujuan Penelitian 2 

Manfaat Penelitian 2 

Ruang Lingkup Penelitian 2 

2  TINJAUAN PUSTAKA 3

Benih Jagung 3

Vigor Benih 3

Pengusangan Cepat 5

Pengeringan 7

Laju Pengeringan 8

Mesin Pengering Tipe Tumpukan 8

Karakteristik Kipas pada Mesin Blower 9

Suhu dan Kelembaban Udara 9

Kerusakan Mekanis 10

3  METODE 12 

Bahan dan Alat 12 

Prosedur Analisis Data 13 

4  HASIL DAN PEMBAHASAN 20 

Perancangan Sistem Pengeringan 20 

Optimasi Pengeringan Benih Jagung 22 

Analisis Ekonomi 30 

5  SIMPULAN DAN SARAN 31 

Simpulan 31  Saran 31 

DAFTAR PUSTAKA 32 

LAMPIRAN 36

(14)

DAFTAR TABEL

1 Pengaruh kadar air dan kecepatan putaran mesin terhadap kerusakan

fisik biji kacang-kacangan 11 

2 Persentase biji retak setelah biji kacang-kacangan dikeringkan pada beberapa taraf kelembaban udara dan suhu udara pengeringan 12  3 Hasil uji chi-kuadrat (χ2)peubah suhu pada mini box dryer 22 4 Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh perlakuan prapengeringan,

suhu udara pengeringan, serta interaksinya terhadap peubah pengamatan 23  5 Peubah mutu fisiologis benih pengaruh perlakuan prapengeringan 24  6 Peubah mutu fisiologis benih pengaruh perlakuan suhu udara pengeringan 25  7 Spesifikasi persyaratan mutu benih di laboratorium 26  8 Daya berkecambah benih pengaruh perlakuan pengusangan cepat pada

beberapa taraf waktu pengusangan 26

9 Vigor daya simpan benih pengaruh perlakuan suhu udara pengeringan 27 10 Persentase benih retak pengaruh interaksi perlakuan prapengeringan dan

suhu udara pengeringan 28

11 Persentase benih pecah pengaruh perlakuan suhu udara pengeringan 29  12 Manfaat, biaya, dan B/C Ratio masing-masing perlakuan 30 

 

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur benih jagung 3 

2 Laju pengeringan biji kacang hijau pada berbagai taraf suhu udara pengeringan dengan kecepatan udara pengeringan 1 m/s (Doymaz 2004a) 8 

3 Alat pengusangan benih 13 

4 Gambar kerja komponen-komponen mini box dryer 14 

5 Gambar kerja 1 set mini box dryer 14

6 Diagram alir perancangan sistem pengeringan 15  7 Diagram alir percobaan optimasi pengeringan benih jagung 18

8 Mesin dan komponen-komponen mini box dryer 21

9 Rangkaian mini box dryer 21

10 Pengeringan benih jagung menggunakan mini box dryer 23 11 Kecambah normal dan kecambah abnormal pada pengujian mutu fisiologis

benih jagung 24

12 Benih retak di bawah lampu magnifier 29

 

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data pengamatan suhu dan kelembaban udara ruang pemanas mini box dryer 36 

2 Perhitungan chi-kuadrat (χ2) 84 

3 Kebutuhan bahan dan biaya pembuatan (investasi) 1 set mini box dryer 86 4 Perhitungan biaya pemeliharaan 1 set mini box dryer (umur ekonomis 20 tahun) 87 5 Perhitungan biaya produksi pengeringan benih jagung menggunakan

mini box dryer pada beberapa kombinasi perlakuan prapengeringan dan

(15)
(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tahun 2011 konsumsi beras tercatat sebesar 139 kg/kapita/tahun dan jumlah penduduk Indonesia mencapai 237 juta jiwa, berarti konsumsi beras nasional pada tahun 2011 mencapai 33 juta ton (BPS 2012). Apabila kebiasaan mengkonsumsi nasi tidak dapat diubah maka akan berdampak besar pada ketahanan pangan nasional.

Jagung merupakan salah satu makanan alternatif pengganti nasi. Jagung memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi. Suarni dan Widowati (2007) melaporkan bahwa kandungan karbohidrat jagung berkisar antara 72-73%, sedangkan proteinnya berkisar antara 8-11%. Tingginya nutrisi yang terkandung dalam jagung menjadikan komoditas tersebut layak dijadikan alternatif bahan makanan pokok pengganti nasi.

Jagung sebagai alternatif bahan makanan pokok pengganti nasi mempunyai beberapa kendala, salah satunya adalah semakin berkurangnya lahan pertanaman jagung. Tahun 2009 luasan areal pertanaman jagung mencapai 4 160 659 ha, selanjutnya tahun 2011 luasan areal pertanaman jagung berkurang menjadi 3 861 433 ha (BPS 2012), maka untuk memenuhi permintaan jagung nasional penurunan luasan lahan pertanaman jagung harus diimbangi dengan produktivitas hasil yang tinggi. Produktivitas hasil yang tinggi dapat dicapai dengan penggunaan benih bermutu.

Proses pengeringan yang lambat merupakan salah satu kendala yang dihadapi produsen benih dalam rangka penyediaan benih jagung yang bermutu. Menurut Babiker et al. (2010) pengeringan yang lambat dapat mengakibatkan rendahnya viabilitas benih yang dihasilkan. Kadar air benih yang tinggi menyebabkan inisiasi perkecambahan serta meningkatkan serangan fungi, sehingga menyebabkan benih kehilangan viabilitasnya.

Pengeringan yang lambat juga mengakibatkan menurunnya kapasitas produksi benih, akibatnya pemenuhan kebutuhan benih kepada konsumen menjadi terhambat. Upaya yang ditempuh untuk meningkatkan laju pengeringan adalah meningkatkan suhu udara pengeringan. Chakraverty dan Singh (2001) melaporkan bahwa suhu udara pengeringan di atas 50 °C menyebabkan protein terdenaturasi. Justice dan Bass (2002) juga menyatakan bahwa suhu udara pengeringan di atas 50 °C dapat meningkatkan laju evaporasi benih, namun dapat mengakibatkan tekanan kelembaban menjadi berlebihan sehingga merusak embrio dan menyebabkan benih kehilangan viabilitasnya.

Perlakuan prapengeringan perlu ditambahkan untuk mempertahankan viabilitas benih. Prapengeringan dapat dilakukan dengan cara menghembuskan udara suhu kamar menggunakan mesin blower dan dilakukan sebelum benih jagung diberikan perlakuan udara panas, sehingga proses evaporasi berlangsung secara bertahap.

Perumusan Masalah

(18)

2

juga menyebabkan turunnya kapasitas produksi, akibatnya pemenuhan kebutuhan benih kepada konsumen menjadi terhambat dan menyebabkan meningkatnya biaya produksi.

Salah satu upaya yang ditempuh untuk meningkatkan laju pengeringan adalah meningkatkan suhu udara pengeringan. Suhu tinggi pada proses pengeringan dapat meningkatkan laju pengeringan, sehingga proses pengeringan dapat berlangsung lebih cepat. Suhu tinggi pada proses pengeringan juga mempunyai resiko. Benih dengan kadar air tinggi apabila langsung dikeringkan dengan suhu tinggi menyebabkan senyawa-senyawa kimia di dalam benih menjadi rusak, akibatnya viabilitas benih menjadi rendah.

Perlakuan prapengeringan perlu ditambahkan, sehingga proses evaporasi berlangsung secara bertahap. Manfaat lain perlakuan prapengeringan adalah dapat menghemat biaya produksi. Proses evaporasi selama perlakuan prapengeringan menyebabkan turunnya kadar air benih, sehingga penggunaan mesin pemanas lebih singkat dan konsumsi bahan bakar dapat lebih dihemat.

Kombinasi perlakuan prapengeringan dan suhu udara pengeringan diduga cukup efektif untuk meningkatkan laju pengeringan serta mempertahankan viabilitas benih jagung. Perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui kombinasi yang optimum antara perlakuan prapengeringan dan suhu udara pengeringan, sehingga proses pengeringan berjalan efektif dan efisien.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah meningkatkan efisiensi pengeringan benih jagung melalui pengembangan rancangan sistem pengeringan dan melakukan kombinasi perlakuan prapengeringan dengan suhu udara pengeringan untuk mendapatkan mutu benih yang maksimum.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan alternatif metode pengeringan benih jagung, sehingga proses pengeringan berjalan efektif dan efisien.

Ruang Lingkup Penelitian

Benih jagung yang digunakan dalam percobaan pengeringan adalah benih jagung yang masih terdapat pada tongkol jagung, sehingga percobaan pengeringan yang dilakukan masih berupa pengeringan tongkol jagung. Percobaan dilakukan menggunakan 4 set mini box dryer.

Benih jagung yang digunakan dalam percobaan adalah benih jagung varietas BISI 222, dengan kadar air awal berkisar 30-33% dan dikeringkan sampai kadar air 11-12%. Benih jagung yang digunakan dalam percobaan merupakan benih jagung yang dipanen pada bulan Juni 2012 dan diperoleh dari lahan pertanian di desa Sawentar, Blitar, Jawa Timur.

(19)

3

2

TINJAUAN PUSTAKA

Benih Jagung

Secara struktural biji jagung yang telah matang terdiri atas 4 bagian utama, yaitu: perikarp, embrio, endosperma (cadangan makanan), dan tip cap.Perikarp merupakan lapisan pembungkus biji yang berubah cepat selama proses pembentukan biji, berfungsi menjaga embrio dari organisme pengganggu dan mencegah kehilangan air.

Inglett (1987) menyatakan bahwa Embrio merupakan miniatur tanaman yang terdiri atas: plumula, radikula, scutellum, dan koleoptil. Bewley dan Black (1985) juga menyatakan bahwa embrio terbentuk dari penggabungan gamet jantan dan gamet betina. Endosperma terbentuk dari perpaduan antara satu sel generatif jantan dan dua inti polar. Endosperma berperan sebagai cadangan makanan. Tip cap adalah bagian yang menghubungkan biji dengan janggel. Struktur benih jagung disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur benih jagung

Benih jagung memiliki lapisan aleuron yang terbentuk pada saat benih mencapai periode pemasakan biji. Lapisan aleuron terletak diantara kulit biji dengan endosperma (Bewley dan Black 1985).

Justice dan Bass (2002) menyatakan bahwa embrio benih jagung lebih terlindung dibandingkan dengan embrio benih kacang-kacangan. Cadangan makanan pada jagung disimpan pada endosperma, sedangkan pada kacang-kacangan disimpan pada kedua kotiledon atau keping biji.

Jagung tergolong tanaman serealia yang mengandung karbohidrat. Karbohidrat bersifat higroskopis, sehingga mudah menyerap dan menahan air dari lingkungannya (Justice dan Bass 2002). Kandungan asam lemak yang dimiliki benih jagung (oleat dan linoleat) mudah teroksidasi baik secara spontan maupun enzimatis, sehingga dapat menurunkan viabilitas benih (Copeland dan Mc Donald 2001).

Vigor Benih

(20)

4

kemampuan benih untuk tumbuh normal pada kondisi suboptimum, dan viabilitasnya tetap tinggi setelah disimpan (ISTA 2010).

Vigor benih merupakan karakter kuantitatif yang dikendalikan oleh gen-gen (Qun et al. 2007). Soltani et al. (2001), diacu dalam Qun et al. (2007) melaporkan bahwa genotipe benih berpengaruh nyata terhadap daya berkecambah, berat kering kecambah normal, dan keserempakan tumbuh.

Menurut Copeland dan Mc Donald (2001) dan Qun et al. (2007) vigor benih ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu: komposisi genetik benih, lingkungan selama perkembangan benih, dan lingkungan penyimpanan benih. TeKrony dan Hunter (1995) juga menyatakan bahwa genotipe benih jagung berpengaruh nyata terhadap vigor benih.

Keadaan suboptimum (misalnya: kekeringan, rendahnya kandungan unsur hara dalam tanah, dan suhu ekstrim di lingkungan) yang tidak menguntungkan di lapangan dapat menambah segi kelemahan benih dan mengakibatkan turunnya persentase perkecambahan serta lemahnya pertumbuhan selanjutnya (Sadjad 1993). Vigor benih dicerminkan oleh dua informasi tentang viabilitas, masing-masing kekuatan tumbuh dan daya simpan benih (Mugnisjah 1990).

Vigor daya simpan adalah suatu parameter vigor benih yang ditunjukkan dengan kemampuan benih untuk disimpan dalam keadaan suboptimum (misalnya: fluktuasi suhu dan kelembaban udara ruang simpan yang tinggi). Benih yang memiliki vigor daya simpan tinggi mampu disimpan untuk periode simpan yang normal dalam keadaan suboptimum dan akan lebih panjang daya simpannya jika disimpan dalam ruang simpan dengan kondisi yang optimum (Sadjad et al. 1999). Lestari dan Mariska (2006) menyatakan bahwa mekanisme vigor benih di penyimpanan berkaitan dengan kemampuan benih mengatur cadangan makanan agar tetap tinggi dan enzim-enzim tidak mengalami kerusakan.

Vigor kekuatan tumbuh merupakan vigor benih pada periode III (periode kritikal) dimana benih mampu tumbuh di lapang untuk menjadi tanaman normal dan berproduksi normal pada kondisi suboptimum atau mampu berproduksi di atas normal pada kondisi optimum (Sadjad et al. 1999). Lestari dan Mariska (2006) menambahkan bahwa mekanisme terbentuknya kekuatan tumbuh benih dalam menghadapi kondisi kekeringan adalah mengatur proses metabolisme di dalam benih dengan membentuk senyawa prolin dan akar lebih panjang.

Menurut Sadjad et al. (1999) vigor kekuatan tumbuh dapat dinyatakan dalam tiga tolok ukur yaitu kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh, dan vigor spesifik. Kecepatan tumbuh diperhitungkan sebagai akumulasi kecepatan tumbuh setiap hari dalam unit tolok ukur persentase per hari. Benih vigor menunjukkan nilai kecepatan tumbuh yang tinggi, karena mampu berkecambah cepat pada waktu yang relatif lebih singkat. Benih yang kurang vigor akan berkecambah normal untuk jangka waktu yang lebih lama.

Kecepatan tumbuh diukur dengan jumlah tambahan perkecambahan setiap hari atau etmal dalam kurun waktu perkecambahan pada kondisi optimum. Unit peubah kecepatan tumbuh adalah % per hari atau % per etmal. Secara teoritis, kecepatan tumbuh maksimal adalah 50% per etmal apabila benih tumbuh normal 100% sesudah dua etmal (Sadjad 1993).

(21)

5 Sadjad et al. (1999) juga menyatakan kecepatan tumbuh benihlebih berpengaruh terhadap vigor kekuatan tumbuh, karena pertumbuhan vegetatif berikutnya menunjukkan lebih berdampak oleh kecepatan tumbuh benih daripada tolok ukur lain.

Hasil penelitian Saenong (1986) pada benih jagung dan kedelai menunjukkan bahwa benih jagung dan kedelai yang dipanen dalam variasi umur dari 76 hari sampai 111 hari untuk jagung dan 101 hari untuk kedelai menunjukkan pola kenaikan nilai kecepatan tumbuh benih, sehingga kecepatan tumbuh benih juga dapat diaplikasikan untuk perkiraan tercapainya masak fisiologis.

Benih bervigor tinggi akan menunjukkan keragaan yang baik di lapangan (Qun et al. 2007). Benih yang memiliki vigor rendah akan berakibat terjadinya kemunduran yang cepat selama penyimpanan benih. Semakin sempitnya keadaan lingkungan dimana benih dapat tumbuh, maka akan mengakibatkan kecepatan berkecambah benih menurun, kepekaan akan serangan hama dan penyakit meningkat, serta meningkatnya jumlah kecambah abnormal dan rendahnya produksi tanaman (Sadjad 1993).

Qun et al. (2007) menambahkan bahwa sintesis protein embrio cenderung lebih rendah pada benih yang vigornya rendah. Sattler et al. (2004) juga menyatakan bahwa apabila vitamin E di dalam benih terdegradasi, maka menyebabkan daya simpan benih menjadi rendah.

Pengujian vigor benih lebih mencerminkan keragaan benih di lapang daripada uji daya berkecambah, dikarenakan uji daya berkecambah meniadakan kondisi suboptimum yang terjadi di lapang (Qun et al. 2007). Metode uji vigor benih dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu: uji pada kondisi cekaman, uji biokimia, dan uji pertumbuhan serta evaluasi kecambah. Uji vigor yang termasuk biokimia adalah uji konduktivitas listrik. Metode pengusangan cepat (AAT) termasuk dalam uji kondisi cekaman (Venter 2000).

Metode uji vigor benih dapat diterapkan setelah memenuhi beberapa syarat diantaranya metode tersebut harus murah, mudah dilakukan, tepat guna, bersifat obyektif, dapat dikembangkan dan berkorelasi dengan pertumbuhan benih di lapang (Copeland dan Mc Donald 2001).

Pengusangan Cepat pada Benih

Pengusangan cepat merupakan salah satu metode yang digunakan untuk pengujian vigor benih. Pengusangan cepat adalah percepatan laju kerusakan benih dengan perlakuan suhu dan kelembaban udara tinggi (95%), sehingga kadar air meningkat dan menyebabkan kemunduran benih lebih cepat (ISTA 2010).

Sadjad et al. (1999) menyatakan bahwa simulasi daya simpan dilakukan dengan cara merekayasa faktor fisik kondisi simpan secara nyata (ekonik) maupun tidak nyata (simbolik). Daya simpan benih ortodoks menurun akibat suhu dan kelembaban nisbi udara yang tinggi, sehingga untuk mengetahui daya simpannya dilakukan rekayasa pengusangan cepat, yaitu dengan meninggikan kedua faktor tersebut secara ekstrim, sehingga terjadi devigorasi secara cepat.

(22)

6

respirasi berlangsung, maka semakin banyak pula cadangan makanan benih yang digunakan.

Perombakan cadangan makanan benih menyebabkan terjadinya serangkaian proses metabolisme, sehingga dapat menurunkan viabilitas benih. Belo dan Suwarno (2012) juga menyatakan bahwa kondisi udara yang lembab dan panas mengakibatkan proses metabolisme benih berjalan cepat, sehingga menyebabkan berkurangnya energi, akibatnya deteriorasi benih menjadi lebih cepat.

Demir dan Mavi (2010) menyatakan bahwa benih mengalami kerusakan akibat perlakuan kelembaban udara yang tinggi karena benih adalah makhluk hidup yang apabila disimpan pada kondisi suboptimum (suhu dan kelembaban udara tinggi) terjadi proses katabolisme yaitu peroksidasi lipid yang mengakibatkan kerusakan membran serta menghasilkan produk sampingan yang beracun sehingga menyebabkan benih mengalami penurunan vigor. Degradasi membran menyebabkan (1) hilangnya kontrol permeabilitas membran, ditunjukkan meningkatnya nilai DHL (Daya Hantar Listrik), (2) hilangnya energi yang dibutuhkan pada proses biosintesis dan kecepatan respirasi bertambah, (3) cadangan makanan di embrio habis, (4) viabilitas dan vigor benih menurun, (5) kehilangan resistensi pada kondisi stres lingkungan, dan (6) mempercepat proses deteriorasi benih (Addai dan Katanka 2006). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perlakuan suhu dan kelembaban udara yang tinggi dapat menurunkan viabilitas benih dengan cepat, sehingga dapat digunakan untuk menduga vigor daya simpan benih. Peng et al. (2011) melaporkan bahwa kondisi pengusangan cepat untuk benih gandum yang optimal adalah suhu 55 °C dan kelembaban udara 90%. Ashraf dan Habib (2011) menyatakan bahwa suhu 41 °C dan kelembaban udara 100% merupakan kondisi yang optimum pada pengusangan benih Fraxinus excelsior.

Pengusangan cepat juga dapat dilakukan secara kimiawi dengan cara merendam benih dalam cairan etanol atau metanol.Hasil penelitianBelo dan Suwarno (2012) menunjukkan bahwa benih padi yang direndam dalam larutan etanol 96% selama 4.0 menit daya berkecambahnya turun menjadi 60%, sedangkan apabila direndam selama 4.4 menit daya berkecambahnya turun menjadi 50%. Farooq et al. (2006) juga melaporkan bahwa benih padi varietas Super-Basmati yang direndam dalam larutan etanol selama 48 jam akan mengalami kematian, meskipun kadar etanolnya sangat rendah, yaitu: 1% hingga 15%.

Pengusangan cepat secara kimiawi juga dapat dilakukan menggunakan uap etanol. Belo dan Suwarno (2012) melaporkan bahwa padi gogo (varietas Wairarem, Batutegi, dan Limboto) dapat mempertahankan daya berkecambah dan indeks vigornya relatif paling lama, dengan waktu pengusangan 2.4 jam sampai 4.8 jam dan 0.8 jam sampai 4.8 jam dalam deraan uap etanol, dibandingkan padi sawah (varietas Membramo dan Inpari-1) 3.2 jam dan padi rawa (varietas Seilalan, Inpara-1 dan Batanghari) Inpara-1.6 jam sampai 3.2 jam.

Pian (1981) menyatakan bahwa perlakuan benih dengan uap etanol dapat meningkatkan kandungan etanol dalam benih yang mengakibatkan perubahan sifat molekul makro yang berpengaruh terhadap enzim, membran sel, mitokondria dan organel lainnya yang berperan dalam perkecambahan benih.

(23)

7 secara kimia adalah waktu yang digunakan lebih cepat dan cendawan tidak mampu berkembang (Pian 1981).

Pengeringan

Pengeringan adalah proses pengeluaran air dari suatu bahan pertanian menuju kadar air kesetimbangan dengan udara sekeliling atau pada tingkat kadar air dimana mutu bahan pertanian dapat dijaga dari serangan jamur, aktivitas serangga dan enzim (Henderson dan Perry 1976). Surki et al. (2010) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas pengeringan, yaitu: suhu udara, kelembaban udara, dan kecepatan udara pengeringan.

Justice dan Bass (2002) menambahkan bahwa syarat pengeringan benih adalah evaporasi uap air dari permukaan benih harus diikuti oleh perpindahan uap air dari bagian dalam ke permukaan benihnya. Surki et al. (2010) mengemukakan bahwa kurangnya kecepatan aliran udara pada proses pengeringan akan mengakibatkan lingkungan menjadi jenuh, sehingga air yang berada di dalam benih tidak dapat keluar.

Summer dan Williams (2009) juga menyatakan bahwa dalam pengeringan, udara memiliki dua fungsi, yaitu sebagai medium pemanas dan sebagai medium pembawa air. Henderson dan Pabis (1961) menjelaskan bahwa mekanisme pengeringan sering diterangkan melalui teori tekanan uap. Air yang diuapkan terdiri atas air bebas dan air terikat. Air bebas berada di permukaan bahan dan yang pertama kali mengalami penguapan.

Menurut Henderson dan Perry (1976) proses pengeringan terdiri atas dua periode yaitu periode pengeringan dengan laju tetap/konstan dan periode dengan laju menurun. Periode pengeringan dengan laju tetap merupakan periode perpindahan massa air yang berasal dari permukaan bahan.

Perpindahan massa air terjadi karena perbedaan tekanan uap air antara permukaan bahan dengan udara pengering. Perpindahan massa air akan terus berlangsung sampai air bebas pada permukaan telah hilang. Pengeringan dengan laju menurun akan berlangsung setelah pengeringan laju konstan selesai (Henderson dan Perry 1976).

Proses hilangnya uap air juga dapat dijelaskan bahwa dengan tingginya suhu udara di sekitar bahan akan mengakibatkan gaya dorong antara permukaan bahan dengan udara ruang pengering semakin meningkat. Semakin besar perbedaan suhu antara udara ruang pengering dengan permukaan bahan, maka semakin tinggi gaya dorong yang terjadi, sehingga mengakibatkan penguapan kadar air dari bahan (Irawati 2008). Migrasi air dan uap terjadi karena perbedaan konsentrasi atau tekanan uap pada bagian dalam dengan bagian luar biji (Thahir 1986).

Pengeringan dengan laju menurun akan berhenti hingga tercapai kadar air kesetimbangan. Kadar air kesetimbangan merupakan kadar air terendah yang dapat dicapai pada suhu dan kelembaban tertentu (Henderson dan Perry 1976).

(24)

8

sehingga panas harus berdifusi ke dalam padatan dengan cara konduksi. Cairan harus bergerak ke atas bahan sebelum diangkut keluar oleh udara pembawa.

Laju Pengeringan

Laju pengeringan adalah banyaknya massa air yang dapat dikeluarkan dari bahan per satuan waktu. Laju penurunan kadar air sangat cepat pada awal proses karena kandungan air bahan masih tinggi, akibatnya perbedaan antara kadar air bahan dengan kadar air pada saat kadar air setimbang sangat besar, sehingga perbedaan tekanan uap pada permukaan bahan dengan tekanan uap air pada ruang semakin besar, akibatnya laju transfer massa akan semakin cepat (Falade et al. 2006; Irawati et al. 2008; Ndukwu 2009).

Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya laju pengeringan adalah kadar air awal bahan, suhu udara pengeringan, kecepatan udara pengeringan, kelembaban udara, dan lama waktu pengeringan (Chakraverty dan Singh 2001; Madamba dan Yabes 2004). Hasil penelitian Seifi dan Alimardani (2010) pada biji jagung menunjukkan bahwa besar kecilnya air yang diuapkan dari dalam biji sangat dipengaruhi oleh porositas biji. Jumlah air yang diuapkan pada biji dengan porositas rendah lebih sedikit daripada jumlah air yang diuapkan pada biji dengan porositas tinggi.

Doymaz (2004a) juga melaporkan bahwa peningkatan suhu udara pengeringan menyebabkan meningkatnya laju pengeringan biji kacang hijau. Suhu udara tinggi mengakibatkan massa air yang diuapkan semakin banyak, sehingga pengeringan lebih cepat. Laju pengeringan biji kacang hijau pada berbagai taraf suhu udara pengeringan disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Laju pengeringan biji kacang hijau pada berbagai taraf suhu udara pengeringan dengan kecepatan udara pengeringan 1 m/s (Doymaz 2004a)

Mesin Pengering Tipe Tumpukan

(25)

9 dipindahkan terkadang disertai alat pemanas. Mesin pengering tumpukan dapat berupa gerbong yang dirancang khusus, sehingga memungkinkan udara yang telah dipanaskan dapat naik ke atas melalui tumpukan benih. Mesin pengering tipe tumpukan yang tidak dapat dipindahkan biasanya berupa bin, drum lajur, atau drum berputar (Justice dan Bass 2002).

Reay dan Baker (1985) menyatakan bahwa pengering tipe tumpukan memiliki beberapa keuntungan, yaitu: konstruksinya sederhana, biaya perawatan dan pembuatannya relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan tipe-tipe pengering yang lain. Beberapa contoh mesin pengering tipe tumpukan yaitu: BatchFluidized Bed Dryers, Well-Mixed Fluidized Bed Dryers, Internally Heated Fluidized Bed Dryers, Vibrated Fluidized Bed Dryers, dan Fluidized Bed Dryers Granulator.

Karakteristik Kipas pada Mesin Blower

Berdasarkan karakteristik alur dan pola aliran udara yang melewati kipas, secara garis besar kipas pada mesin blower dapat dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu: sentrifugal dan aksial. Kipas sentrifugal menggunakan perputaran impeller untuk meningkatkan kecepatan aliran udara. Pergerakan udara dari pusat impeller ke ujung baling-baling menghasilkan energi kinetik. Energi kinetik akan menaikkan tekanan statik berupa aliran udara yang pelan sebelum dilepaskan (Henderson et al. 1997).

Kipas sentrifugal paling umum digunakan oleh industri, karena selain dapat menghasilkan tekanan tinggi, efisiensinya juga tinggi dan dapat dioperasikan lebih jauh untuk berbagai kondisi dengan tujuan tertentu (Niam 2011). Loewer et. al. (1994) menyatakan bahwa kinerja kipas sentrifugal tergantung pada diameter kipas, kecepatan dan jenis bilah kipas (melengkung ke depan atau ke belakang). Pengoperasian kipas sentrifugal lebih aman, namun biaya investasinya lebih mahal daripada kipas aksial.

Kipas aksial sesuai dengan namanya menggerakkan aliran udara melalui sumbu kipas. Loewer et. al. (1994) menambahkan bahwa kipas aksial terdiri atas beberapa bilah lebar yang melekat pada pusat kipas. Udara akan tertekan karena adanya gaya angkat aerodinamik yang dihasilkan dari baling-baling kipas seperti pada propeller dan sayap pesawat terbang. Keuntungan dari kipas aksial adalah aliran yang dihasilkan lebih seragam, biaya rendah, dan ringan (Henderson et al. 1997).

Suhu dan Kelembaban Udara

Suhu udara pengeringan mempengaruhi laju penguapan air bahan dan mutu pengeringan. Jumlah massa air pada biji yang dapat diuapkan sangat dipengaruhi oleh kadar air biji, kelembaban udara, dan suhu udara pengeringan (Summer dan Williams 2009). Semakin tinggi suhu udara pengeringan, maka jumlah uap air yang diuapkan akan semakin besar, sehingga waktu pengeringan menjadi lebih singkat (Madamba dan Yabes 2004; Falade et al. 2006).

(26)

10

dari bahan ke lingkungan menjadi lebih besar, akibatnya laju pengeringan menjadi lebih cepat.

Tujuan utama proses pengeringan adalah mempertahankan viabilitas benih. Copeland dan Mc. Donald (2001) melaporkan bahwa perlakuan suhu udara pengeringan di atas 60 °C saat kadar air benih jagung masih di atas 24% mengakibatkan benih kehilangan viabilitasnya.

Chakraverty dan Singh (2001) menambahkan bahwa perlakuan suhu tinggi selama proses pengeringan akan mengakibatkan kerusakan senyawa-senyawa kimia yang terdapat dalam benih, yaitu: (1) Protein mengalami denaturasi dan koagulasi pada suhu di atas 50 °C, (2) Pengeringan dengan suhu di atas 60 °C mengakibatkan kualitas pati menjadi rusak, (3) Perlakuan panas dengan suhu di atas 70 °C akan mengakibatkan lemak mengalami dekomposisi. Aktivitas enzimatik di dalam lemak akan aktif pada kisaran suhu 40-45 °C dan akan berhenti pada kisaran suhu 80-100 °C. Kelembaban udara mempengaruhi kemampuan udara untuk memindahkan uap air. Secara umum, kelembaban udara adalah ukuran kandungan air di udara. Kelembaban udara dapat dinyatakan dalam dua pengertian yaitu kelembaban relatif dan kelembaban mutlak. Kelembaban mutlak adalah massa uap air dalam tiap satuan massa udara kering. Kelembaban udara relatif adalah perbandingan kelembaban udara tertentu dengan kelembaban udara jenuh pada kondisi dan tekanan yang sama (Taib dan Wiraatmadja 1988, diacu dalam Hutasoit 2010).

Kelembaban relatif menentukan kemampuan udara pengering untuk menampung uap air bahan. Semakin rendah kelembaban relatif, maka makin banyak uap air yang diserap udara pengering, demikian juga sebaliknya (Taib dan Wiraatmadja 1988, diacu dalam Hutasoit 2010).

Hasil penelitian Summer dan Williams (2009) pada pengeringan biji jagung dengan suhu 38 °C menunjukkan bahwa udara pengering dengan kelembaban udara 50% lebih banyak menyerap uap air biji jagung daripada udara pengering dengan kelembaban udara 75%. Brooker et al. (1974) menyatakan bahwa kelembaban udara dan suhu pengeringan akan menentukan tekanan uap jenuh. Perbedaan tekanan uap air pada udara pengering dan permukaan bahan akan mempengaruhi laju pengeringan. Proses pengeringan yang baik memerlukan kelembaban udara yang rendah sesuai dengan kondisi bahan yang akan dikeringkan.

Kerusakan Mekanis

Kerusakan mekanis pada benih dapat terjadi pada saat prapanen, selama panen, dan setelah panen. Kerusakan mekanis benih dapat berupa retaknya kulit benih, pecah, serta patahnya kotiledon dan poros embrio. Akibat yang ditimbulkan dari kerusakan mekanisk yaitu: (1) akibat langsung, hasil benturan atau luka sehingga benih tidak mampu berkecambah, (2) akibat tersembunyi, berupa kemunduran benih, (3) akibat tidak langsung, pecahnya kulit benih menyebabkan pengaruh kimia dan fumigasi menjadi kurang baik (Copeland dan Mc. Donald 2001; Shahbazi et al. 2011).

(27)

11 m/s (pada kecepatan 5 m/s menjadi 7.5 m/s), maka persentase kerusakan biji naik 8%. Pengaruh kecepatan mesin perontok dan kadar air terhadap kerusakan fisik biji disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh kadar air dan kecepatan putaran mesin terhadap kerusakan fisik biji kacang-kacangan

Peubah pengamatan Kerusakan fisik (%) Kadar air (%)

5 27.50a

10 24.75ab

15 18.92c

20 21.67bc

Kecepatan putaran mesin (m/s)

5 3.25d

7.5 19.08c

10 32.83b

12 37.50a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata (P = 0,01). Sumber: Khazaei (2008)

Sosnowski (2006), diacu dalam Khazaei (2008) melaporkan bahwa kerusakan biji kacang-kacangan meningkat 35% apabila kecepatan putaran mesin meningkat dari 7 m/s menjadi 27 m/s. Penelitian Shahbazi (2012) pada benih gandum menunjukkan bahwa peningkatan kecepatan putaran mesin dari 10 m/s menjadi 40 m/s mengakibatkan kerusakan fisik benih meningkat dari 0.48% menjadi 47.59%. Pengaruh kadar air terhadap kerusakan fisik biji yaitu semakin rendah kadar air biji, maka kerusakan fisik yang ditimbulkan semakin besar. Hasil penelitian Khazaei (2008) pada biji kacang-kacangan juga menunjukkan bahwa kerusakan fisik biji terbesar dihasilkan pada biji yang dikeringkan sampai kadar air 5%, sedangkan kerusakan minimum dihasilkan pada biji yang dikeringkan sampai kadar air 20%. Peningkatan kadar air dari 5% menjadi 15% menyebabkan persentase kerusakan fisik biji turun 1.4 kali (Tabel 1).

Hasil penelitian Shreekant et al. (2001) pada benih kedelai menunjukkan bahwa benih dengan kadar air 12% mempunyai persentase kerusakan fisik lebih kecil daripada benih dengan kadar air 11% dan 10 %. Sosnowski (2006), diacu dalam Khazaei (2008) juga menambahkan bahwa biji dengan kadar air 15% mempunyai persentase kerusakan fisik lebih besar daripada biji dengan kadar air 20%.

(28)

12

Tabel 2. Persentase biji retak setelah biji kacang-kacangan dikeringkan pada beberapa taraf kelembaban udara dan suhu udara pengeringan

Kelembaban udara (%) Suhu udara pengeringan (°C)

40 50 60

10 17.2 19.3 14.2

20 8.4 9.5 7.0

30 3.6 3.8 3.6

Sumber: Otten et al. (1984)

Faktor-faktor internal benih yang mempengaruhi tingkat kerusakan fisik benih adalah: densitas benih, bentuk benih, ukuran benih, dan ketebalan perikarp (Simic et al. 2004; Shahbazi 2012). Bewley dan Black (1985) menyatakan bahwa benih berukuran kecil cenderung bebas dari kerusakan mekanis dan benih yang berbentuk bulat mengalami kerusakan mekanis yang lebih kecil dibandingkan benih yang berbentuk lonjong.

Justice dan Bass (2002) mengemukakan bahwa kerusakan karena benturan dan pengeringan atau penyimpanan yang tidak tepat bisa nampak pada pengamatan sekilas, namun bisa juga tidak. Benih dapat menjadi retak-retak di dalamnya karena mengalami benturan, terlampau kering, atau terkena panas yang tinggi.

Surki et al. (2010) menjelaskan bahwa peningkatan persentase benih retak sangat dipengaruhi oleh lamanya waktu pengeringan dan suhu udara pengeringan. Madamba dan Yabes (2004) juga menyatakan bahwa persentase biji retak sangat dipengaruhi oleh laju pengeringan. Pengeringan yang berlangsung cepat dapat meningkatkan persentase biji retak.

3

METODE

Penelitian terdiri atas 3 tahap, yaitu: (1) Perancangan sistem pengeringan, (2) Optimasi pengeringan benih jagung, dan (3) Analisis ekonomi. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Oktober 2012 di PT BISI International Tbk., Kediri, Jawa Timur.

Bahan dan Alat

Perancangan Sistem Pengeringan

Bahan dan peralatan yang digunakan pada perancangan sistem pengeringan terlampir pada Lampiran 3. Perancangan sistem pengeringan dilaksanakan di Departemen Electrical & Engineering, PT BISI International, Tbk., Kediri, Jawa Timur.

Optimasi Pengeringan Benih Jagung

(29)
(30)
(31)

15 Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan uji chi-kuadrat (χ2) dengan taraf nyata 5%. Fauzy (2008) menyatakan bahwa uji χ2dilakukan untuk menguji apakah frekuensi yang diobservasi konsisten dengan frekuensi teoritisnya. Apabila konsisten, maka tidak terdapat perbedaan nyata antara frekuensi yang diobservasi dengan frekuensi teoritisnya, atau dengan kata lain hipotesis nolnya dapat diterima. Sebaliknya apabila tidak ada konsistensi, maka hipotesis nolnya ditolak. Diagram alir kegiatan perancangan sistem pengeringan disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Diagram alir perancangan sistem pengeringan

Optimasi pengeringan benih jagung

Percobaan disusun dengan Rancangan Acak Kelompok dua faktor. Faktor pertama adalah prapengeringan, terdiri atas 4 taraf yaitu: 0, 12, 24, dan 36 jam. Faktor kedua adalah suhu udara pengeringan, terdiri atas 4 taraf yaitu: 40, 45, 50, dan 55 °C. Masing-masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak 3 kali, sehingga didapatkan 48 unit satuan percobaan.

Percobaan diawali dengan proses sortasi benih jagung. Proses sortasi dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan benih jagung (calon benih) dari kotoran, benih muda, busuk, jamur, varietas lain, serta abnormal. Proses sortasi dilakukan secara manual menggunakan meja sortasi yang dilengkapi dengan conveyor berjalan. Kadar air awal benih jagung yang digunakan dalam percobaan berkisar antara 30-33%.

(32)

16

diberikan perlakuan prapengeringan. Perlakuan prapengeringan dilakukan dengan cara menghembuskan udara menggunakan mesin blower. Rata-rata suhu udara perlakuan prapengeringan 28 °C dan rata-rata kelembaban udara 66%. Benih jagung yang telah diberikan perlakuan prapengeringan selanjutnya langsung dikeringkan dengan perlakuan suhu udara pengeringan. Model linier untuk pengamatan tersebut adalah (Mattjik 2006):

Y

ijk = µ +

α

i + ßj + (

α

ß)

ij +

ρ

k+

ε

ijk

Keterangan :

Yijk : nilai pengamatan faktor

α

taraf ke-i, faktor ß taraf ke-j, dan

kelompok ke-k

µ : rataan umum

α

i : pengaruh aditif dari prapengeringan taraf ke-i.

ß

j : pengaruh aditif dari suhu udara pengeringan taraf ke-j.

α

ß

ij : pengaruh interaksi prapengeringan taraf ke-i dan suhu udara

pengeringan taraf ke-j.

ρ

k : pengaruh aditif dari kelompok.

ε

ijk : pengaruh acak yang memperoleh taraf ke-i prapengeringan, taraf

ke-j suhu udara pengeringan, dan kelompok ke-k.

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji F dan uji nilai tengah menggunakan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf α 5%.

Pencatatan suhu udara dan pengukuran kadar air dilakukan secara periodik. Pencatatan suhu udara dilakukan setiap 3 jam. Pengukuran kadar air dilakukan setiap 6 jam saat kadar air >18%. Pengukuran kadar air dilakukan setiap 2 jam saat kadar air 18-14%, dan dilakukan setiap 1 jam saat kadar air <14%. Proses pengeringan dihentikan saat kadar air mencapai 11-12%, selanjutnya dilakukan proses pemipilan, pemilahan benih serta pengamatan mutu fisik dan mutu fisiologis benih.

Mutu fisik diamati dengan 2 peubah, yaitu: persentase benih retak dan persentase benih pecah. Pengamatan mutu fisik dilakukan dengan cara mengambil sampel sebanyak 900 g dari lot benih jagung hasil percobaan sebelumnya, kemudian dibagi menjadi 4 ulangan sehingga berat masing-masing ulangan 225 g. Peralatan yang digunakan dalam pengamatan mutu fisik adalah lampu magnifier.

Mutu fisiologis diamati dengan 4 peubah, yaitu: indeks vigor, daya berkecambah, kecepatan tumbuh, dan vigor daya simpan. Pengujian mutu fisiologis dilakukan dengan cara mengecambahkan sebanyak 100 butir benih jagung, sebanyak 4 ulangan pada media kertas CD yang telah dilembabkan dengan metode UKDdp (Uji Kertas Digulung didirikan dalam plastik) dan dimasukkan pada alat pengecambah benih.

(33)

17 Pengujian vigor daya simpan bertujuan untuk mengetahui lot-lot benih hasil perlakuan pengeringan yang memiliki daya simpan baik. Benih memiliki daya simpan yang baik apabila setelah perlakuan pengusangan masih memiliki viabilitas tinggi. Pengujian vigor daya simpan terdiri atas 2 tahap, yaitu: penentuan waktu optimum perlakuan pengusangan cepat dan percobaan pengusangan cepat.

Penentuan waktu optimum perlakuan pengusangan cepat bertujuan untuk menentukan waktu optimum pada percobaan pengusangan cepat, sehingga percobaan pengusangan cepat dapat berlangsung secara efektif. Penentuan waktu optimum dilakukan dengan cara mengusangkan secara fisik benih jagung dengan memberikan perlakuan suhu 45 °C dan kelembaban udara tinggi (>90%) pada beberapa taraf waktu pengusangan.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap, dengan faktor perlakuan lama waktu pengusangan cepat yang terdiri atas 6 taraf, yaitu: 0, 24, 30, 36, 42, dan 48 jam. Percobaan diulang sebanyak 3 kali, sehingga didapatkan 18 unit satuan percobaan. Model linier percobaan tersebut adalah (Mattjik 2006):

Y

ij = µ + i +

ε

ij

Keterangan :

Yij : Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ : rataan umum

i : pengaruh aditif dari waktu pengusangan taraf ke-i

ε

ij : pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji F dan uji nilai tengah menggunakan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf α 5%. Taraf waktu pengusangan cepat yang mampu menurunkan viabilitas benih jagung secara signifikan merupakan waktu optimum percobaan pengusangan cepat.

(34)

18

Gambar 7. Diagram alir percobaan optimasi pengeringan benih jagung

Pengamatan:

a. Persentase benih retak dan benih pecah: % benih retak = Σ berat benih retak

Σ total berat sampel

(35)

19 b. Indeks vigor dan daya berkecambah:

Rumus yang digunakan untuk menghitung indeks vigor dan daya berkecambah adalah (ISTA 2010):

IV (%) = {Σ KN І/Jumlah benih yang diuji} x 100%

DB (%) = {(Σ KN І + Σ KN ІІ)/jumlah benih yang diuji} x 100 % Keterangan:

IV : indeks vigor DB : daya berkecambah

KN І : kecambah normal pada hari ke-4 KN ІI : kecambah normal hari ke-7 c. Kecepatan tumbuh:

Kecepatan tumbuh dihitung dengan menggunakan rumus (Sadjad 1993):

Kecepatan tumbuh = ∑ / Keterangan :

N : persentase kecambah normal

t : etmal (jumlah jam dari saat tanam dibagi 24 jam) tn : waktu akhir pengamatan

Analisis Ekonomi

Tujuan suatu usaha adalah untuk mendapatkan keuntungan. Keuntungan diperoleh dari selisih antara biaya yang dikeluarkan dengan pendapatan yang diterima. Nilai biaya produksi dapat diperoleh dengan cara melakukan analisis biaya dari proses produksi, sehingga akan didapat biaya produksi per satuan output produk. Prestasi suatu mesin dapat dilihat dari biaya produksinya. Semakin rendah biaya produksinya, maka semakin tinggi keuntungan yang akan diperoleh (Pramudya dan Dewi 1992).

Analisis kelayakan dilakukan untuk membantu pengambil keputusan dalam menentukan pemilihan penanaman investasi di dalam suatu proyek yang tepat, dari berbagai alternatif yang dapat dilaksanakan (Pramudya dan Dewi 1992). Menurut Pujawan (2012), salah satu metode analisis yang digunakan untuk menilai kelayakan suatu usaha adalah B/C Ratio. B/C Ratio merupakan suatu ratio antara manfaat (B) terhadap biaya (C). Apabila B/C Ratio lebih besar dari satu maka proyek tersebut bisa diterima, bila B/C Ratio kurang dari satu maka proyek tersebut tidak bisa diterima, sedangkan bila B/C Ratio sama dengan satu maka proyek tersebut impas.

(36)

20

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perancangan Sistem Pengeringan

Secara umum tujuan perancangan sistem pengeringan adalah menghasilkan sistem pengeringan (mini box dryer) yang mampu menghasilkan suhu 40, 45, 50, dan 55 °C serta mempunyai fleksibilitas tinggi pada proses pengeringan benih. Konsep fleksibilitas sistem pengeringan benih dijabarkan dalam rancangan mini box dryer yang berbentuk huruf “V”.

Keuntungan rancangan mini box dryer berbentuk huruf “V” adalah suhu dan kecepatan udara yang mengalir pada kedua bak pengering menjadi seragam, sehingga proses pengeringan lebih efisien. Dua unit bak pengering pada setiap set mini box dryer memungkinkan sistem pengeringan dapat digunakan untuk pengeringan 2 komoditi benih yang berbeda dalam waktu bersamaan. Katup atau sekat pada saluran udara juga memungkinkan mini box dryer dapat digunakan pada waktu yang tidak bersamaan.

Bak pengering dengan dimensi 1 m x 1 m x 1.2 m memungkinkan setiap bak pengering pada mini box dryer dapat digunakan untuk mengeringkan benih sebanyak 300 kg (tongkol jagung), sehingga dalam 1 set mini box dryer kapasitas pengeringan benih (tongkol jagung) mencapai 600 kg. Lantai bak pengering menggunakan plat lubang dengan diameter lubang 2 mm, sehingga mini box dryer dapat juga digunakan untuk pengeringan benih yang berupacurah (misal: kedelai, padi, jagung ose, dll.).

Pipa aerasi berfungsi untuk memperlancar dan meratakan aliran udara pengering pada tumpukan benih di dalam bak pengering, sehingga proses evaporasi menjadi lebih cepat dan merata. Katup atau sekat pada pipa aerasi dapat diatur ketinggiannya, sehingga proses pengeringan tetap efektif meskipun volume benih yang dikeringkan relatif kecil (± 100 kg).

Mesin blower yang digunakan pada mini box dryer menggunakan merk Kongskilde, tipe: HVL 55. Mesin blower tersebut mampu menghasilkan aliran udara dengan kecepatan cukup tinggi, yaitu berkisar 13-15 m/s pada setiap unit bak pengering, sehingga air yang berada di dalam benih dapat cepat keluar. Surki et al. (2010) mengemukakan bahwa kurangnya kecepatan aliran udara pada proses pengeringan akan mengakibatkan lingkungan menjadi jenuh, sehingga air yang berada di dalam benih tidak dapat keluar.

Tipe kipas mesin blower yang digunakan pada percobaan adalah kipas sentrifugal. Niam (2011) menyatakan bahwa kipas sentrifugal paling umum digunakan oleh industri, karena selain dapat menghasilkan tekanan tinggi, efisiensinya juga tinggi dan dapat dioperasikan lebih jauh untuk berbagai kondisi dengan tujuan tertentu.

Mesin pemanas yang digunakan pada mini box dryer menggunakan merk Kongskilde, tipe: SOL 100. Mesin pemanas tersebut mampu menghasilkan suhu udara mencapai 60 °C, sehingga mini box dryer dapat pula digunakan pada metode pengeringan yang menggunakan suhu tinggi. Gambar mesin dan komponen-komponen mini box dryer tersaji pada Gambar 8.

(37)
(38)

22

Stabilitas suhu udara pengeringan sangat berpengaruh terhadap kualitas pengeringan. Suhu udara pengeringan yang tinggi menyebabkan kelembaban udara pengeringan menjadi rendah, akibatnya benih dapat mengalami kerusakan fisik (benih retak) selama proses pengeringan berlangsung. Otten et al. (1984) melaporkan bahwa timbulnya biji retak selama proses pengeringan disebabkan karena kelembaban udara yang rendah selama proses pengeringan.

Instalasi 1 set mini box dryer memerlukan ruangan dengan luas ±15 m2. Alokasi kebutuhan ruang yang cukup besar diduga menjadi kelemahan dari mini box dryer, namun demikian adanya roda-roda pada bakpengering, mesin pemanas, mesin blower serta instalasi yang bersifat mudah dibongkar pasang memungkinkan mini box dryer dapat dengan mudah dibongkar pasang sesuai keperluan, sehingga komponen-komponennya dapat dipindah-pindahkan.

Data pengamatan suhu udara pengeringan mini box dryer serta perhitungan chi-kuadrat (χ2) selengkapnya tersaji pada Lampiran 2. Hasil uji χ2disajikanpada Tabel 3. Hasil uji χ2pada Tabel 3 menunjukkan bahwa hipotesis nol seluruh taraf suhu diterima, artinya bahwa suhu udara pengeringan mini box dryer tidak bebeda nyata dengan suhu harapan, sehingga dapat disimpulkan bahwa mini box dryer mampu menghasilkan suhu 40, 45, 50, dan 55 °C serta dapat digunakan pada proses pengeringan benih jagung.

Tabel 3. Hasil uji chi-kuadrat (χ2)peubah suhu pada mini box dryer No Suhu harapan

(°C) Hipotesis χ

2

tabel χ2hitung Kesimpulan

1 40 H0:μ = 40 H1:μ≠ 40 14.07 0.30 H0 diterima

2 45 H0:μ = 45 H1:μ≠ 45 14.07 0.22 H0 diterima

3 50 H0:μ = 50 H1:μ≠ 50 14.07 0.23 H0 diterima

4 55 H0:μ = 55 H1:μ≠ 55 14.07 0.26 H0 diterima

Keterangan: H0 diterima apabila χ2hitung < χ2tabel, H0 ditolak apabila χ2hitung≥χ2tabel, taraf α 5%

Optimasi Pengeringan Benih Jagung

Percobaan optimasi pengeringan benih jagung bertujuan untuk mengetahui perlakuan pengeringan yang mampu menghasilkan viabilitas benih yang baik. Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh perlakuan prapengeringan dan suhu udara pengeringan tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 menunjukkan bahwa perlakuan prapengeringan berpengaruh nyata terhadap mutu fisiologis benih, yaitu indeks vigor, tapi tidak berpengaruh nyata terhadap daya berkecambah, kecepatan tumbuh, dan vigor daya simpan. Perlakuan prapengeringan berpengaruh sangat nyata terhadap mutu fisik benih, yaitu benih retak, tapi tidak berpengaruh nyata terhadap benih pecah.

(39)
(40)
(41)

25 Prapengeringan diduga mampu menekan terjadinya kerusakan benih akibat perlakuan suhu tinggi selama proses pengeringan, sehingga kerusakan yang ditimbulkan merupakan kerusakan kecil. Menurut Arief (2009) kerusakan kecil tidak berpengaruh langsung terhadap daya berkecambah, tetapi dapat menurunkan vigor benih dan dapat menyebabkan semakin banyaknya kecambah abnormal.

Peubah mutu fisiologis pengaruh perlakuan suhu udara pengeringan disajikan pada Tabel 6. Proses pengeringan dengan suhu udara tinggi dapat menyebabkan turunnya viabilitas benih. Tabel 6 juga menunjukkan bahwa pengeringan dengan suhu udara 50 °C tidak menurunkan daya berkecambah dan kecepatan tumbuh secara signifikan. Herter dan Burris (1989b) menyatakan bahwa benih jagung dengan kadar air awal berkisar 32-35% apabila dikeringkan dengan suhu udara 50 °C tidak mengakibatkan penurunan daya berkecambah secara signifikan.

Tabel 6. Peubah mutu fisiologis benih pengaruh perlakuan suhu udara pengeringan Peubah mutu fisiologis Suhu Udara Pengeringan (°C)

40 45 50 55

Indeks vigor (%) 76.13 74.52 71.27 62.60

Daya berkecambah (%) 97.96a 97.94a 95.42ab 89.38b Kecepatan tumbuh (%/etmal) 25.01a 23.99a 21.98ab 20.90b Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda

nyata pada DMRT 5%

Oyoh dan Menkiti (2008) mengemukakan bahwa suhu 50 °C masih termasuk kisaran suhu yang aman pada proses pengeringan benih jagung. Malumba et al. (2008) juga melaporkan bahwa biji jagung yang dikeringkan dengan metode pengeringan beku dan suhu udara 50 °C mempunyai komposisi senyawa-senyawa protein (albumin, globulin, zein, dan glutelin) yang tidak berbeda nyata.

Pengeringan dengan suhu 55 °C dapat menurunkan mutu fisiologis benih secara signifikan (Tabel 6). Surki et al. (2010) melaporkan bahwa benih kedelai yang dikeringkan dengan suhu 55 °C daya berkecambahnya kurang dari 90%. Chakraverty dan Singh (2001) menambahkan bahwa penggunaan suhu udara pengeringan di atas 50 °C dapat mengakibatkan protein mengalami denaturasi, sehingga mengakibatkan turunnya viabilitas benih.

Mengacu pada persyaratan minimal daya berkecambah benih jagung yang dikeluarkan oleh BSN tahun 2003, secara keseluruhan percobaan pengeringan dengan kombinasi perlakuan prapengeringan dan suhu udara pengeringan masih memiliki mutu fisiologis yang optimum. Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai rata-rata daya berkecambah benih pada setiap taraf percobaan di atas 90%, kecuali taraf suhu 55 °C, yaitu 89.38%. Nilai rata-rata indeks vigor pada setiap taraf percobaan di atas 60% dan nilai rata-rata kecepatan tumbuh di atas 20%/etmal.

(42)

26

Tabel 7. Spesifikasi persyaratan mutu benih di laboratorium

Jenis analisa Persyaratan

Kadar air (%) maksimum 12.00

Benih murni (%) minimum 98.00

Daya berkecambah (%) minimum 85.00

Kotoran benih (%) maksimum 2.00

Sumber: BSN (2003)

Kombinasi-kombinasi perlakuan pengeringan diduga berpengaruh nyata terhadap daya simpan benih. Lin et al. (2005) menyatakan bahwa proses pengeringan sangat berpengaruh terhadap daya simpan benih. Pengujian vigor daya simpan perlu dilakukan untuk membandingkan secara kualitatif daya simpan masing-masing lot benih hasil perlakuan pengeringan sebelumnya, sehingga dapat diketahui kombinasi perlakuan yang mampu menghasilkan benih dengan daya simpan lebih baik.

Daya simpan benih ortodoks menurun akibat suhu dan kelembaban nisbi yang tidak menunjang, maka untuk mensimulasi daya simpan dilakukan dengan cara merekayasa pengusangan cepat dengan meninggikan kedua faktor tersebut secara ekstrim, sehingga terjadi devigorasi secara cepat (Sadjad et al. 1999). Krishnan et al. (2004) juga menyatakan bahwa suhu dan kelembaban udara merupakan faktor utama yang dapat mempercepat laju deteriorasi benih.

Ekowahyuni (2012) menambahkan bahwa menurunnya vigor benih karena benih mengalami degradasi membran. Peng et al. (2011) menjelaskan bahwa tingkat kebocoran elektrolit-elektrolit mencerminkan permeabilitas membran. Semakin besar tingkat kebocoran elektrolit-elektrolit, permeabilitas membran semakin tinggi.

Suhu yang digunakan pada pengusangan cepat untuk benih jagung adalah 45 °C, dengan kelembaban udara jenuh (DHCSOSU 2011). Percobaan penentuan waktu optimum pengusangan cepat perlu dilakukan untuk mendapatkan waktu optimum perlakuan suhu dan kelembaban udara tersebut.

Hasil analisis ragam percobaan penentuan waktu optimum pengusangan cepat menunjukkan bahwa lama waktu pengusangan cepat berpengaruh sangat nyata terhadap daya berkecambah benih. Semakin lama perlakuan pengusangan, maka daya berkecambah benih semakin turun. Uji nilai tengah pengaruh lama waktu pengusangan cepat terhadap daya berkecambah benih disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Daya berkecambah benih pengaruh perlakuan pengusangan cepat pada beberapa taraf waktu pengusangan

Lama waktu pengusangan (jam) Daya berkecambah (%)

0 97.33a

24 87.00b

30 68.00c

36 61.67c

42 53.00d

48 26.67e

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%

(43)

27 benih setelah diusangkan selama 30 jam dan 36 jam masih di atas 60%, sehingga kedua taraf waktu tersebut tidak direkomendasikan pada percobaan pengusangan cepat.

Daya berkecambah benih setelah diusangkan selama 42 jam dan 48 jam terlihat jelas perbedaannya. Daya berkecambah benih yang diusangkan selama 48 jam sangat rendah, sehingga taraf waktu 42 jam dipilih sebagai taraf waktu percobaan pengusangan cepat terhadap lot-lot benih hasil percobaan pengeringan sebelumnya.

Kadar air awal benih sebelum perlakuan pengusangan berkisar antara 11-12%, namun setelah perlakuan pengusangan kadar air benih meningkat menjadi 28-30%. Peningkatan kadar air benih yang cukup signifikan setelah perlakuan pengusangan diduga karena benih memiliki sifat higroskopis, sehingga apabila benih berada pada lingkungan dengan kelembaban udara yang rendah, maka benih akan mengeluarkan uap air, sehingga antara benih dengan kelembaban udara di sekitarnya tercapai keseimbangan. Sebaliknya, apabila benih berada pada lingkungan dengan kelembaban udara yang tinggi, maka benih akan menyerap uap air sampai kadar air benih seimbang dengan kelembaban udara lingkungan, akibatnya kadar air benih meningkat.

Peningkatan kadar air benih ditambah dengan perlakuan suhu 45 °C selama perlakuan pengusangan cepat mengakibatkan meningkatnya aktifitas enzim-enzim yang berperan dalam metabolisme benih. Menurut Copeland dan Mc. Donald (2001) enzim-enzim yang berperan dalam metabolisme diantaranya adalah α amilase dan ß amilase. Enzim-enzim tersebut memecah pati menjadi disakarida maltosa, dan kemudian memecah lagi menjadi 2 molekul monosakarida glukosa, sehingga cadangan makanan yang terdapat di dalam benih semakin berkurang, akibatnya benih kehilangan viabilitasnya.

Tatipata et al. (2004) menyatakan bahwa meningkatnya kadar air benih menyebabkan fosfolipid rusak, yang dicerminkan oleh penurunan kadarnya. Protein membran bersama fosfolipid berfungsi menjalankan fungsi membran, sehingga menurunnya kadar fosfolipid membran akan berpengaruh pada penurunan kadar protein membran, sehingga integritas membran turun. Peng et al. (2011) menambahkan bahwa apabila membran benih mengalami kerusakan, maka mengakibatkan keluarnya larutan-larutan elektrolit benih, sehingga menyebabkan turunnya viabilitas benih.

Hasil uji nilai tengah pengaruh perlakuan suhu udara pengeringan terhadap vigor daya simpan benih disajikan pada Tabel 9. Semakin tinggi suhu udara pengeringan, vigor daya simpan benih semakin turun. Vigor daya simpan benih tertinggi dicapai oleh benih yang dikeringkan dengan suhu 40 °C. Vigor daya simpan benih pada benih yang dikeringkan dengan suhu 45 °C dan 50 °C tidak terlihat jelas perbedaannya.

Tabel 9. Vigor daya simpan benih pengaruh perlakuan suhu udara pengeringan Suhu udara pengeringan (°C) Vigor daya simpan benih (%)

40 87.77a

45 72.75ab

50 69.10bc

55 53.71c

(44)

28

Benih yang dikeringkan dengan suhu 55 °C memiliki vigor daya simpan paling rendah (Tabel 9), sehingga apabila benih disimpan diduga daya simpannya lebih rendah daripada benih hasil perlakuan taraf suhu yang lain. Shintarika et al. (2013) menyatakan bahwa benih mempunyai vigor daya simpan tinggi apabila setelah perlakuan pengusangan cepat persentase kecambah normalnya masih tinggi.

Pengeringan dengan suhu 55 °C diduga menyebabkan kebocoran membran benih, sehingga mengakibatkan proses deteriorasi benih semakin cepat. Menurut Lugo dan Leopold (1998) faktor-faktor yang menyebabkan turunnya integritas membran adalah meningkatnya kadar air benih, meningkatnya suhu lingkungan, dan pembongkaran karbohidrat dalam benih.

Woltz dan TeKrony (2001) menyatakan bahwa benih jagung memiliki kualitas yang baik apabila memiliki vigor daya simpan berkisar 70-80%. Tabel 9 menunjukkan bahwa benih hasil perlakuan suhu 45 °C dan 50 °C memiliki vigor daya simpan 70%, sedangkan benih hasil perlakuan suhu 40 °C memiliki vigor daya simpan 87.77%, sehingga ketiga taraf suhu tersebut dapat direkomendasikan pada proses pengeringan benih jagung.

Pengaruh Perlakuan Prapengeringan dan Suhu Udara Pengeringan terhadap Mutu Fisik Benih

Tabel 10 menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu udara pengeringan persentase benih retak yang dihasilkan semakin tinggi. Hasil penelitian Surki et al. (2010) juga menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu udara pengeringan, persentase benih retak yang dihasilkan semakin tinggi. Jittanit (2007) menambahkan bahwa lokasi benih retak sangat mempengaruhi daya berkecambah dan vigor benih. Keretakan sampai pada embrio benih dapat mengakibatkan turunnya viabilitas benih. Prapengeringan pada proses pengeringan dengan suhu 40 °C dan 45 °C tidak mampu menurunkan persentase benih retak secara signifikan (Tabel 10). Berdasarkan pertimbangan efisiensi biaya, maka pengeringan dengan suhu 40 °C dan 45 °C lebih diprioritaskan menggunakan prapengeringan selama 36 jam, sehingga penggunaan mesin pemanas selama proses pengeringan lebih singkat dan biaya pemakaian bahan bakar menjadi lebih hemat.

Tabel 10. Persentase benih retak pengaruh interaksi perlakuan prapengeringan dan suhu udara pengeringan

Prapengeringan (jam) Suhu udara pengeringan (°C)

40 45 50 55

0 10.10i 25.58feg 29.26de 53.32b 12 11.93i 21.50fhg 28.12e 49.02b 24 25.94fe 33.66cd 34.91c 62.89a 36 13.46i 20.29hg 19.42h 49.37b Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%

(45)
(46)

30

Analisis Ekonomi

Tujuan suatu usaha adalah untuk mendapatkan keuntungan. Keuntungan diperoleh dari selisih antara pendapatan yang diterima dengan biaya yang dikeluarkan. Nilai biaya produksi dapat diperoleh dengan cara melakukan analisis biaya dari proses produksi, sehingga akan didapat biaya produksi per satuan output produk. Prestasi suatu mesin dapat dilihat dari biaya produksinya. Semakin rendah biaya produksi, semakin tinggi keuntungan yang akan diperoleh (Pramudya dan Dewi 1992).

Analisis kelayakan dilakukan untuk membantu pengambil keputusan dalam menentukan pemilihan penanaman investasi yang tepat di dalam suatu proyek (Pramudya dan Dewi 1992). Menurut Pujawan (2012) salah satu metode analisis yang digunakan untuk menilai kelayakan suatu usaha adalah B/C Ratio. B/C Ratio merupakan suatu ratio antara manfaat (B) terhadap biaya (C). Apabila B/C Ratio lebih besar dari satu maka proyek tersebut bisa diterima, bila B/C Ratio kurang dari satu maka proyek tersebut tidak bisa diterima, sedangkan bila B/C Ratio sama dengan satu maka proyek tersebut impas.

Hasil analisis mutu fisiologis dan mutu fisik benih didapatkan beberapa kombinasi perlakuan prapengeringan dan suhu udara pengeringan yang mampu menghasilkan viabilitas benih yang baik. Kombinasi-kombinasi perlakuan tersebut, yaitu: (24;40), (24;45), (24;50), (36;40), (36;45), dan (36;50). Perlu dilakukan suatu analisis ekonomi untuk mengetahui perlakuan optimum dari kombinasi-kombinasi perlakuan tersebut, sehingga selain menghasilkan mutu fisiologis dan mutu fisik benih yang baik, secara ekonomi perlakuan tersebut juga menguntungkan.

Hasil perhitungan manfaat, biaya, dan B/C Ratio disajikan pada Tabel 12. Berdasarkan data pada Tabel 12 dapat diketahui bahwa secara ekonomi seluruh perlakuan pengeringan benih jagung layak untuk diusahakan, karena memiliki nilai B/C Ratio lebih dari satu.

Tabel 12 menunjukkan bahwa pada taraf suhu udara pengeringan yang sama, semakin lama prapengeringan biaya yang dikeluarkan semakin rendah. Semakin lama prapengeringan, penggunaan mesin pemanas semakin singkat, akibatnya konsumsi bahan bakar mesin pemanas menjadi berkurang, sehingga dapat mengurangi biaya pengeringan.

Tabel 12. Manfaat, biaya, dan B/C Ratio masing-masing perlakuan Perlakuan

Manfaat (Rp)

Biaya (Rp)

B/C Ratio prapengeringan (jam) Suhu udara

pengeringan (°C)

24 40 4 622 779 3 320 145 1.39

24 45 5 306 420 3 316 529 1.60

24 50 5 657 341 3 314 923 1.71

36 40 4 162 855 2 798 748 1.49

36 45 4 575 273 2 745 767 1.67

36 50 4 879 279 2 706 029 1.80

Keterangan: nilai pada tabel dalam ribuan

(47)

31 Semakin tinggi suhu udara pengeringan, proses pengeringan berlangsung semakin cepat, sehingga biaya pengeringan lebih hemat.

Fenomena menarik terjadi pada prapengeringan 36 jam dan suhu udara pengeringan 40 °C, meskipun taraf prapengeringan dan suhu udara pengeringannya merupakan taraf terendah, namun nilai B/C Ratio yang dihasilkan justru lebih tinggi daripada prapengeringan selama 24 jam dan suhu udara pengeringan 40 °C (Tabel 12). Artinya, pengeringan dengan suhu udara 40 °C lebih disarankan menggunakan prapengeringan selama 36 jam, karena terbukti lebih efisien daripada prapengeringan selama 24 jam.

Tabel 12 menunjukkan bahwa secara ekonomi prapengeringan 36 jam dan suhu udara pengeringan 50 °C lebih menguntungkan daripada perlakuan-perlakuan lainnya, karena memiliki nilai B/C Ratio paling tinggi.

5

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Simpulan dari penelitian adalah:

1. Sistem pengeringan benih jagung (mini box dryer) mampu menghasilkan suhu 40, 45, 50, dan 55 °C, sehingga dapat digunakan pada proses pengeringan benih jagung.

2. Hasil analisis mutu fisiologis, mutu fisik, dan ekonomi menunjukkan bahwa kombinasi prapengeringan 36 jam dan suhu udara pengeringan 50 °C merupakan perlakuan optimum pada proses pengeringan benih jagung.

Saran

Gambar

Gambar 5. Gambar
Gambar 6.
Gambar 7. Diagram alir percobaan optimasi pengeringan benih jagung
Gambar 8.  Mesin dann komponen
+2

Referensi

Dokumen terkait

Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang menggelapkan harta rampasan, yang bunuh diri, dan orang-orang durhaka lainnya hendaklah di shalatkan. Berkata Ibnu

Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 210,

Sedangkan untuk variabel kepemimpinan yang diperoleh dari analisis yang dilakukan didapati angka yang paling kecil, itu dikarenakan kepemimpinan didalam CV Surya Raya tidak

Terima kasih juga buat teman- teman seperjuangan TI’08 yang sangat menginspirasi, teristimewa buat teman saya Tulus dan Sakti terima kasih atas kebersamaan kita

Kecemasan adalah manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin / konflik

Perpaduan antara orang, fasilitas, teknologi media, prosedur dan pengendalian yang bertujuan untuk mengolah data menjadi informasi yang berguna

menyelesaikan suatu tugas atau soal dengan diaktifkan dan dibimbing oleh dosenlguru yang bersangkutan. Latihan terbimbing bertujuan supaya mahalsiswa dapat melatih diri

Biaya dan keuntungan yang diterima oleh pedagang pengecer I dan pedagang pengecer II yang terlibat dalam pemasaran keripik ubi jalar sumber rezeki pada saluran dua