• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Stabilitas Hasil Cabai Hibrida (Capsicum annuum L.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Stabilitas Hasil Cabai Hibrida (Capsicum annuum L.)"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS STABILITAS HASIL CABAI HIBRIDA

(

Capsicum annuum

L.)

DARMAWAN ASTA KUSUMAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Analisis Stabilitas

Hasil Cabai Hibrida (Capsicum annuum L.) adalah karya saya dengan arahan dari

komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di`bagian akhir tesis ini.

Bogor, Pebruari 2010

(3)

ABSTRACT

DARMAWAN ASTA KUSUMAH. The Yield Stability Analysis of Hybrid

Pepper (Capsicum annuum L.). Supervised by SRIANI SUJIPRIHATI,

MUHAMAD SYUKUR.

Multi location trials play important roles in plant breeding and agronomic research. Data from multi location trials will help farmers to estimate or predict yield potential of their varieties, provide reliable guidance for selecting the best genotypes and to determine yield stability. A number of statistical procedures have been developed over the years to analyze genotype x environment interaction and especially yield stability over environment. Joint regression analysis as the first statistical procedures to stability analysis was proposed by Yates and Cochran. The objective of this study is to identify the stability of seven hybrid peper genotypes as the breeding result of Genetic and Plant Breeding IPB, using yield stability analysis and Additive Main Effect Multiplicative Interaction (AMMI) method. The genotypes used were IPB CH1, IPB CH2, IPB CH3, IPB CH5, IPB CH25, IPB CH28, IPB CH50 and five commercial varieties i.e. Adipati, Biola, Gada, Hot Beauty and Imperial. The genotypes were planted in six different locations which included Ciherang, Leuwikopo, Tajur, Subang, Rembang and Boyolali. The design in each location was Randomized Complete Block Design (RCBD) with three replications as blocks. Based on yield stability analysis, IPB CH28 is the most stable genotypes and adaptive to the environment at 400 m above sea level. IPB CH3 has the highest fruit weight per plant (555.51 g); earlier days to flowering and days to harvesting; and bigger weight and diameter fruit compare to other genotypes. IPB CH3 also results in the highest yield and has a dynamic stability according to Eberhart and Russell’s analysis. IPB CH3 will give higher yield potential if planted in optimal environment. Based on AMMI bi-plot analysis, IPB CH3 is more suitable for Subang location. Perkins and Jinks’ stability analysis method is correlated to Finlay and Wilkinsons’ method, Francis and Kannenberg’s method, and Tai’s alpha parameter (α). Shukla’s method is

correlated to Wricke’s method, while Eberhart and Russell’s parameter S2di is

correlated to Tai’s lamdha parameter (λ), Skhula’s method and Wricke’s method.

It is possible to choose one method among others, since the correlated methods measure the same aspects. The Eberhart and Russell’s method is the most suitable method to analyze the stability of hybrid pepper.

(4)

RINGKASAN

DARMAWAN ASTA KUSUMAH. Analisis Stabilitas Hasil Cabai Hibrida (Capsicum annuum L.). Dibimbing oleh SRIANI SUJIPRIHATI dan MUHAMAD SYUKUR.

Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu jenis sayuran buah

yang memiliki nilai ekonomi tinggi, rata-rata produktivitas cabai secara nasional pada tahun 2008 yaitu 6.37 ton per hektar. Produktivitas ini masih jauh dari potensi hasil cabai yang bisa mencapai 20 – 30 ton per hektar. Rendahnya produktivitas ini salah satunya disebabkan oleh penggunaan varietas yang tidak tepat dalam hal kesesuaian lahan. Analisis stabilitas dapat memberikan gambaran pola respon suatu genotipe terhadap perubahan lingkungan sehingga dapat digunakan petani dalam memilih varietas yang sesuai bagi lingkungan sehingga dapat memberikan produksi yang optimal.

Pemuliaan tanaman bertujuan untuk memperbaiki karakter tanaman sesuai dengan kebutuhan manusia dengan memanfaatkan potensi genetik dan interaksi genotipe dengan lingkungan. Pemulia dapat mengunakan interaksi genotipe dengan lingkungan untuk mengembangkan varietas unggul baru yang spesifik lingkungan atau varietas yang beradaptasi luas. Jika interaksi genotipe x lingkungan tinggi, maka diperlukan pengembangan suatu varietas yang spesifik lokasi, dan sebaliknya bila interaksi genotipe x lingkungannya kecil, maka dapat dikembangkan varietas beradaptasi luas. Interaksi genotipe x lingkungan adalah variasi yang disebabkan oleh pengaruh bersama dari genetik dan lingkungan. Interaksi genotipe x lingkungan merupakan hal yang menarik ketika pemulia tanaman mengevaluasi stabilitas hasil pada berbagai lingkungan. Kemampuan tanaman bertahan pada berbagai kondisi lingkungan merupakan pertimbangan penting dalam pemuliaan tanaman, dan perhatian utama dari seorang pemulian adalah menghasilkan varietas tanaman yang berdaya hasil tinggi dan stabil mengingat waktu dan biaya yang dikeluarkan.

Analisis stabilitas parametrik pertama kali diajukan oleh Yates dan Cochran, yang menyatakan bahwa derajat hubungan antara perbedaan varietas dan nilai tengah semua varietas dapat dijelaskan dengan menghitung regresi dari hasil satu varietas dengan nilai tengah hasil dari semua varietas. Yates dan Cochran menunjukkan regresi tersebut pada percobaan barley, tetapi ide mereka tidak teramati sampai Finlay dan Wilkinson menemukan ulang metode yang sama dan digunakan pada analisis adaptasi pada percobaan 277 varietas barley di tujuh lingkungan. Metode Finlay – Wilkinson mengukur stabilitas dan adaptasi tanaman berdasarkan regresi linear untuk setiap lokasi dan musim. Perhitungan regresi ini dijadikan sebagai dasar untuk menentukan tingkat derajat kelinearan yang timbul. Finlay dan Wilkinson menggunakan koefisien regresi sebagai ukuran stabilitas.

Koefisien regresi (bi) = 1.0 menyatakan rata-rata stabilitas. Penambahan nilai

koefisien terhadap 1.0 berarti meningkatkan kepekaan adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Penurunan koefisien berarti peningkatan adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Suatu genotipe dikatakan sangat stabil apabila nilai

(5)

hibrida harapan cabai yang memiliki daya adaptasi yang baik dan potensi hasil yang stabil, mempelajari korelasi antar metode stabilitas dan mempelajari metode analisis stabilitas yang efektif.

Percobaan dilakukan dengan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak dengan tiga ulangan pada 6 unit lokasi percobaan yaitu: Ciherang, Leuwikopo, Tajur, Boyolali, Rembang dan Subang. Genotipe yang diujikan adalah 12 genotipe cabai hibrida yaitu 7 hibrida harapan cabai dan 5 varietas hibrida pembanding. Setiap satuan percobaan terdiri dari 20 tanaman, dan sebelum melakukan uji gabungan dilakukan uji kehomogenan ragam untuk melakukan pendugaan komponen ragam. Untuk mengetahui pengaruh lokasi percobaan, maka dilakukan analisis. Analisis kehomogenan ragam dilakukan berdasarkan uji Barlett. Untuk mengetahui bahwa genotipe dan interaksi genotipe x lingkungan berbeda nyata, maka dilakukan uji F. Delapan metode stabilitas parametrik digunakan pada penelitian ini, yaitu metode Perkin-Jink, Finlay-Wilkinson, Eberhart-Russel, Shukla, Wricke, Francis-Kannenberg, Tai, dan Lin dan Binns serta stabilitas AMMI. Pengolahan data dan pengujian mengunakan program SAS 9.0.

Berdasarkan frekuensi kestabilan, cabai hibrida IPB CH28 memiliki frekuensi kestabilan sebanyak 10 kali sehingga dikategorikan sebagai hibrida yang paling stabil dan memiliki daya adaptasi yang lebih luas pada berbagai lingkungan di bawah 400 m di bawah permukaan laut. IPB CH28 mempunyai bobot per tanaman 418.07 g. IPB CH3 merupakan hibrida dengan produktivitas tertinggi yaitu 555.51 g/tan. IPB CH3 mempunyai umur panen dan umur berbunga lebih genjah daripada genotipe lainnya. IPB CH3 juga mempunyai bobot buah dan diameter buah yang lebih besar daripada genotipe lainnya.Berdasarkan analisis stabilitas Eberhart dan Russell, IPB CH3 merupakan hibrida yang memiliki kestabilitasan dinamis. IPB CH3 akan memberikan potensi produksi yang lebih tinggi apabila ditanam pada lingkungan yang optimal. Berdasarkan analisis biplot AMMI, IPB CH3 lebih sesuai untuk lingkungan Subang. Terdapat korelasi antara metode analisis stabilitas Perkins dan Jinks dengan stabilitas Finlay dan

Wilkinsons, Francis dan Kannenberg serta parameter alpha (α) Tai. Metode

Shukla berkorelasi dengan Wricke. Parameter S2di Eberhart dan Russell berkorelasi

dengan parameter lamdha (λ) stabilitas Tai, Shukla dan Wricke. Metode-metode

yang berkorelasi tersebut dapat dipilih salah satunya karena dalam menganalisis stabilitas mengukur aspek yang sama. Metode stabilitas Eberhart dan Russell’s merupakan metode stabilitas yang paling sesuai untuk menganalisis stabilitas cabai hibrida.

(6)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau peninjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

Judul Tesis : Analisis Stabilitas Hasil Cabai Hibrida (Capsicum annuum L.)

Nama : Darmawan Asta Kusumah

NIM : A151060021

Disetujui Komisi pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, M.S. Dr. Muhamad Syukur, SP. M.Si.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis Stabilitas

Hasil Cabai Hibrida (Capsicum annuum L.)”. Tesis ini disusun sebagai salah satu

syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan pendidikan S2 dan memperoleh gelas Magister Sains dari Program Studi Agronomi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, M.S. selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Muhamad Syukur, SP. M.Si. Selaku anggota komisi pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan dan masukan kepada penulis selama melakukan kegiatan penelitian dan penyusunan tesis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Yudiwanti W.E. Kusumo, M.S. dan Ibu Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc. Selaku dosen penguji luar komisi dan perwakilan program studi atas masukan, kritik dan saran untuk kesempurnaan penyusunan tesis ini.

Terima kasih yang setulus-tulusnya penulis haturkan kepada orang tua tercinta Bapak Iking Soekara dan Emih Ratna Laelani yang telah membesarkan penulis dengan cinta yang tulus. Penulis menyampaikan rasa sayang dan terima kasih kepada istri tercinta Ismantiri Heningtyas serta anak-anakku Padmarani Syandina dan Ramadhan Adiputra yang selalu memberikan semangat untuk menyelesaikan penyusunan tesis. Kepada rekan-rekan mahasiswa satu proyek penelitian 2007-2008, Teddy, Madhumita, Habib, Shinta, Wahyu dan Dimas yang selalu memberikan dukungan selama melakukan penelitian.

Akhirnya penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis ini agar dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Pebruari 2010

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 7 Nopember 1974 sebagai anak ke enam dari tujuh bersaudara pasangan Bapak Iking Soekara dan Ibu Ratna Laelani. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian IPB, lulus pada Tahun 1998. Pada tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa pasca sarjana pada Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian IPB dengan pembiayaan sendiri.

Penulis berkarir dibidang perbenihan sejak tahun 1998, pada PT. Pioneer

Hibrida Indonesia (Dupont) sebagai District Agronomist untuk wilayah Jawa

Barat dengan kantor cabang di Bandung. Tahun 2000 penulis mendapatkan

tawaran bekerja di PT. Monsanto Indonesia sebagai Seed Agronomist untuk

wilayah regional Indonesia Timur dengan kantor cabang di Surabaya. Tahun 2002 penulis pindah ke wilayah regional Sumatera dengan kantor cabang di Padang. Pada tahun 2003, penulis berkarir di PT. Syngenta Seeds Indonesia sebagai

Regional Sales Manager untuk wilayah Jawa Barat dengan tugas utama pengembangan benih hortikultura untuk wilayah Jawa Barat dan Lampung. Sejak

Mei 2009 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai Product Development

(11)

ANALISIS STABILITAS HASIL CABAI HIBRIDA

(

Capsicum annuum

L.)

DARMAWAN ASTA KUSUMAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Hipotesis ... 3

Kerangka Pemikiran ... 4

TINJAUAN PUSTAKA... 6

Klasifikasi, Botani, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai ... 6

Interaksi Genotipe x Lingkungan dan Stabilitas ... 8

Analisis Stabilitas Parametrik ... 12

Analisis Peubah Ganda ... 17

BAHAN DAN METODE ... 19

Waktu dan Tempat ... 19

Bahan dan Alat ... 19

Metode Percobaan ... 19

Pelaksanaan... 20

Pengamatan ... 21

Analisis Stabilitas ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

Kondisi Umum ... 24

Keragaan Cabai Hibrida ... 27

Analisis Stabilitas ... 39

KESIMPULAN DAN SARAN ... 51

Kesimpulan ... 51

Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Pembagian grup stabilitas ... 12

2 Analisis ragam gabungan di beberapa lokasi pengujian menggunakan model tetap... 22

3 Formula statistik stabilitas ... 23

4 Rekapitulasi Fhitung, lokasi, genotipe, interaksi GXE dan koefisien keragaman ... 27

5 Umur berbunga 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 28

6 Umur panen 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 29

7 Bobot buah 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 30

8 Diameter buah 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan... 31

9 Tebal kulit buah 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 31

10 Panjang buah 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 32

11 Tinggi tanaman 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 33

12 Tinggi dikotomus 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 34

13 Lebar kanopi 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 35

14 Lebar daun 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 36

15 Bobot buah per tanaman 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan.. 37

16 Analisis ragam bobot per tanaman 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 39

17 Analisis stabilitas12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 41

18 Korelasi Spreaman antara 10 parameter stabilitas dan bobot per tanaman 12 genotipe cabai hibrida... 46

19 Ranking analisis stabilitas 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 47

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram alur penelitian ... 5

2 Interpretasi umum dari pola populasi genotipe yang didapat ketika koefisien regresi genotipe diplot terhadap nilai tengah (hasil rata-rata) genotipe ... 13

3 Interpretasi parameter bi dan S2di dari pendekatan regresi ... 15

4 Gejala serangan hama tanaman ... 25

5 Gejala serangan penyakit tanaman ... 26

6 Gejala serangan hama dan penyakit sekunder ... 26

7 Bobot buah rata-rata per tanaman 12 genotipe cabai hibrida pada setiap Lingkungan ... 38

8 Pola rangking bobot buah per tanaman12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 40

9 Ilustrasi stabilitas Perkin dan Jinks ... 41

10 Ilustrasi stabilitas Finlay dan Wilkinsons ... 42

11 Ilustrasi stabilitas Eberhart dan Russell... 43

12 Ilustrasi stabilitas Francis dan Kannenberg ... 44

13 Ilustrasi stabilitas Tai ... 45

14 Ilustrasi stabilitas Shukla, Wricke, Lin dan Binns ... 46

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Listing SAS analisis stabilitas 12 genotipe cabai hibrida pada 6

lingkungan ... 58

2 Rata-rata bobot per tanaman pada 12 genotipe cabai hibrida pada 6

lingkungan ... 74

3 Rekapitulasi data karakter kuantitatif 12 genotipe cabai hibrida pada

6 lingkungan ... 75

4 Analisis ragam gabungan karakter 12 genotipe cabai hibrida yang

diuji pada enam lingkungan ... 76

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu jenis sayuran buah

yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Tanaman cabai banyak dibudidayakan oleh

petani Indonesia karena dapat ditanam di dataran rendah maupun tinggi.

Berdasarkan data luasan dari Dirjen Bina Produksi Hortikultura 2008, tanaman

cabai memiliki luasan 19.12% dari luasan sayuran di Indonesia. Cabai banyak

digunakan untuk bumbu masak sehari-hari, industri makanan dan bahan baku

obat-obatan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2009 rata-rata produktivitas

cabai secara nasional pada tahun 2008 yaitu 6.37 ton per hektar, meningkat dari

6.22 ton per hektar (tahun 2007). Menurut Pitojo (2003) produktivitas rata-rata

ini masih jauh dari potensi hasil cabai yang bisa mencapai 20 – 30 ton per hektar.

Rendahnya produktivitas ini salah satunya disebabkan oleh penggunaan varietas

yang tidak tepat dalam hal kesesuaian lahan.

Pemuliaan tanaman bertujuan untuk memperbaiki karakter tanaman sesuai

dengan kebutuhan manusia dengan memanfaatkan potensi genetik dan interaksi

genotipe dengan lingkungan. Pemulia dapat mengunakan interaksi genotipe

dengan lingkungan untuk mengembangkan varietas unggul baru yang spesifik

lingkungan atau varietas yang beradaptasi luas. Jika interaksi genotipe x

lingkungan tinggi, maka diperlukan pengembangan suatu varietas yang spesifik

lokasi, dan sebaliknya bila interaksi genotipe x lingkungannya kecil, maka dapat

dikembangkan varietas beradaptasi luas. Interaksi genotipe x lingkungan adalah

variasi yang disebabkan oleh pengaruh bersama dari genetik dan lingkungan.

Interaksi genotipe x lingkungan merupakan hal yang menarik ketika pemulia

tanaman mengevaluasi stabilitas hasil pada berbagai lingkungan. Kemampuan

tanaman bertahan pada berbagai kondisi lingkungan merupakan pertimbangan

penting dalam pemuliaan tanaman, dan perhatian utama dari seorang pemulian

adalah menghasilkan varietas tanaman yang berdaya hasil tinggi dan stabil

mengingat waktu dan biaya yang dikeluarkan. Akcura et al. (2006) menyatakan

bahwa varietas baru akan berkembang dengan baik apabila selain memiliki daya

(17)

2

secara luas pada berbagai lingkungan. Prosedur statistik analisis stabilitas telah

banyak dikembangkan oleh para ahli untuk membantu pemulia menganalisis

interaksi genotipe x lingkungan, stabilitas genotipe, dan keterkaitan antara

stabilitas genotipe dengan interaksi genotipe. Analisis stabilitas pertama kali

dibahas oleh Yates dan Cochran (1938) dengan menggunakan regresi untuk nilai

fenotipe atau interaksi dengan lingkungan. Analisis ini dimodifikasi dan

digunakan oleh Finlay dan Wilkinson (1963) serta Eberhart dan Russell (1966).

Crossa (1990) dan Flores et al. (1998) menyatakan bahwa kestabilan

genotipe tergambar oleh tiga parameter, yaitu : nilai daya hasil rata-rata, derajat

kemiringan garis regresi (bi) dan jumlah kuadrat (SS) dari regresi deviasi (S2di). Lin et al. (1986) menyampaikan dua parameter stabilitas yang diajukan oleh Eberhart dan Russell (1966) hampir sama dengan yang diajukan oleh Tai (1971).

Pada metode ini pengaruh lingkungan (i) dan perbedaan dari respon linear (i)

dapat dibuat menjadi bentuk spesial dari parameter regresi (bi) dan (S2di), dengan

indeks lingkungan diasumsikan acak. Perhitungan stabilitas dengan mengunakan

interaksi genotipe x lingkungan untuk setiap genotipe disarankan oleh Wricke

(1962) yang disebutnya sebagai ecovalance (W2i). Shukla (1972) mengembangkan

estimasi tidak bias dengan menggunakan ragam stabilitas (2i) dari genotipe, dan

menguji nyata tidaknya dari ragam stabilitas, untuk menentukan stabilitas suatu

genotipe. Francis dan Kannenberg (1978) menggunakan ragam lingkungan (S2i)

dan koefisien ragam (CVi), dan Pinthus (1973), menggunakan koefisien

determinasi (R2i) dari setiap genotipe sebagai parameter stabilitas.

Metode lain yang dapat mengurai lebih lanjut interaksi antara genotipe

dengan lingkungan salah satunya adalah AMMI (Aditif Main effect and

Multiplicative Interaction). AMMI adalah salah satu analisis dengan menggabungkan pengaruh aditif pada analisis ragam dan pengaruh multiplikasi

pada analisis komponen utama (Mattjik 2005). Analisis Biplot AMMI dapat

menjelaskan interaksi genotipe dengan lingkungan secara lebih sederhana. Biplot

AMMI meringkas pola hubungan antar genotipe, antar lingkungan, dan antara

genotipe dan lingkungan (Sumertajaya 1998). Dengan demikian analisis AMMI

dapat meningkatkan keakuratan dugaan respon interaksi genotipe dengan

(18)

3

genotipe terhadap perubahan lingkungan sehingga dapat digunakan petani dalam

memilih varietas yang sesuai bagi lingkungan sehingga dapat memberikan

produksi yang optimal.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengidentifikasikan hibrida harapan

cabai yang memiliki daya adaptasi yang baik dan potensi hasil yang stabil, (2)

mempelajari korelasi antar metode stabilitas, (3) mempelajari metode analisis

stabilitas yang efektif.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : (1) terdapat hibrida

cabai yang memiliki daya adaptasi dan potensi hasil yang stabil di 6 unit lokasi

dataran rendah, (2) terdapat hibrida cabai yang memiliki potensi hasil yang lebih

tinggi dibandingkan dengan hibrida pembanding, (3) terdapat analisis stabilitas

(19)

4

Kerangka Pemikiran

Penelitian ini merupakan rangkaian dari penelitian pengembangan cabai

hibrida di Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman IPB yang dimulai pada tahun

2006. Penelitian dimulai dengan melakukan karakterisasi daya hasil, seleksi

ketahanan terhadap penyakit antraknosa dan penyakit phytophthora. Pada tahun

2007 dilakukan persilangan, analisis silang dialel, evaluasi pendahuluan dan

evaluasi lanjutan. Dalam analisis silang dialel diperoleh tetua yang mempunyai

daya gabung umum terbaik yaitu IPB C2. Tetua ini digunakan untuk merakit

hibrida harapan. Pada tahun 2007 dilakukan uji multilokasi pada tiga Kabupaten

Bogor yang meliputi Ciherang, Leuwikopo dan Tajur. Uji multilokasi ini

merupakan awal dari rangkaian penelitian analisis stabilitas hasil cabai hibrida

yang kemudian dilanjutkan pada tahun 2008 di tiga Kabupaten yang meliputi

Kabupaten Subang (Jawa Barat), Kabupaten Boyolali (Jawa Tengah) dan

Kabupaten Rembang (Jawa Tengah).

Data yang diperoleh dari 6 lokasi percobaan diuji kehomogenan dengan uji

Barlet’s, kemudian dilakukan pengujian interaksi genotipe x lingkungan. Analisis

stabilitas hasil dilakukan apabila terjadi interaksi antara genotipe x lingkungan.

Analisis stabilitas hasil yang digunakan adalah 10 parameter. Hasil analisis

stabilitas ini digunakan untuk membandingkan antar parameter stabilitas dalam

rangka memilih parameter yang lebih efektif. Genotipe yang memiliki kategori

stabil lebih dari 50% maka dinyatakan terpilih sebagai hibrida yang paling stabil.

Diagram alur penelitian analisis stabilitas hasil 12 genotipe cabai hibrida disajikan

pada Gambar 1.

(20)

5

Gambar 1 Diagram alur penelitian. Seleksi dan karakteristik ketahanan

penyakit dan daya hasil

Hibridisasi pembentukan F1

Evaluasi Pendahuluan

Evaluasi Lanjutan

Analisis Stabilitas

Uji multilokasi di Rembang Uji multilokasi di

Subang Uji Multilokasi 3

Lokasi Kab. Bogor

Uji multilokasi di Boyolali

Pemilihan metode analisis stabilitas yang efektif

Pemilihan cabai hibrida stabil dan beradaptasi luas

2007/2008 Penelitian terdahulu

yang dilakukan

oleh team peneliti lain pada

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi, Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

Tanaman cabai tergolong divisi Magnoliophyta, kelas Magnolipsida, ordo

Solanales, famili Solanaceae, genus Capsicum dan spesies Capsicum annuum L.

(Kusandriani 1996). Tanaman cabai merupakan tanaman tropika yang memiliki

sifat menyerbuk sendiri dengan variasi penyerbukan silang yang tinggi tergantung

genotipe dan lingkungan (Daskalov 1998). Persentase penyerbukan silang pada

tanaman cabai sekitar 6 – 37 %, persentase penyerbukan silang dipengaruhi oleh

posisi dan ukuran stigma. Stigma yang lebih tinggi dibandingkan dengan kotak

sari akan menyebabkan penyerbukan silang dan sebaliknya, bunga tanaman cabai

bersifat protogeny atau kepala putik telah siap diserbuki sebelum tepung sari

masak (Permadi dan Kusandriani 1996). Tanaman cabai mempunyai jumlah

kromosom somatik diploid dengan kromosom dasar x = 12. Jumlah kromosom

normal cabai adalah 2n=2x=24 (Berke 2000). Menurut Rubatzky dan Yamaguchi

(1997), tanaman cabai merupakan tanaman herba yang berkayu pada pangkal

batangnya tetapi pada beberapa jenis menjadi semak. Batang utama tegak

ber-kayu dan bercabang banyak dengan berkisar 0.5 – 1.5 m dan memiliki perakaran

yang dangkal diawali dengan akar tunggang (akar primer) kemudian tumbuh akar

rambut ke samping (akar lateral). Panjang akar primer berkisar 35 – 50 cm dan

akar lateral berkisar 35 – 45 cm, perkembangan akar lateral yang cepat di dalam

tanah dan menyebar pada kedalaman 10 – 15 cm.

Berke (2000) menyatakan bahwa bunga tanaman cabai termasuk lengkap

berbentuk terompet terdiri dari kelopak bunga, mahkota bunga, benang sari dan

putik. Kelopak bunga berjumlah 6 helai berwarna kehijauan atau ungu, mahkota

bunga terdiri atas 5 – 7 petal berwarna putih atau ungu. Dalam satu bunga terdapat

1 putik dan 5 -7 benang sari. Menurut Greenleaf (1986), tanaman cabai mulai

berbunga pada umur 23 – 31 hari setelah tanam (HST). Buah cabai mulai masak

setelah 45 hari terjadi penyerbukan. Bunga cabai terletak pada setiap ruas, bentuk

buah cabai bervariasi dari linear, kerucut atau bulat, warna buahnya bervariasi

hijau, kuning atau ungu ketika muda, kemudian berubah menjadi merah, orange,

kuning atau ungu pada matangnya. Biji tanaman cabai terletak dalam buah dan

(22)

7

terdapat 220 biji cabai. Rubatzky dan Yamaguchi (1996) menyatakan bahwa biji

kultivar Capsicum annuum berbentuk pipih berwarna kuning pucat dan berbentuk

bulat telur dengan panjang 3 – 5 mm.

Sumarni (1996) menyatakan bahwa tanaman cabai dapat tumbuh pada

berbagai jenis tanah asalkan memiliki drainase dan aerasi yang baik. Tanaman

cabai dapat dibudidayakan pada daerah dengan ketinggian tempat hingga 2000 m

dpl. Keadaan pH tanah yang ideal untuk tanaman cabai adalah 6.0 – 6.5 dan

mengandung bahan organik sekurang-kurangnya 1.5%. Keadaan pH tanah sangat

penting karena erat kaitannya dengan ketersediaan unsur hara. Apabila ditanam

pada tanah yang mempunyai pH lebih dari tujuh maka tanaman cabai akan

menyebabkan tanaman menjadi kerdil dan gejala klorosis atau daun menguning

yang disebabkan kekurangan unsur hara besi (Fe). Pada tanah yang mempunyai

pH kurang dari lima tanaman cabai juga akan menjadi kerdil karena kekurangan

unsur hara kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) atau keracunan aluminium (Al) dan

mangan (Mn).

Suhu udara yang baik bagi pertumbuhan tanaman cabai adalah 24 – 270 C

dengan suhu udara yang paling cocok untuk pertumbuhan cabai adalah 160C pada

malam hari dan 230C pada siang hari. Perbedaan suhu udara yang terlalu besar

akan menyebabkan kegagalan proses pembungaan dan pembuahan tanaman cabai.

Curah hujan yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman berkisar 600 mm – 1250 mm.

Curah hujan yang terlalu rendah dapat menghambat pertumbuhan tanaman.

Me-nurut Pitojo (2003), curah hujan terlalu tinggi dapat menyebabkan kelembaban

udara meningkat dan mendorong pertumbuhan penyakit tanaman. Agar cabai

berproduksi optimal disarankan lokasi penanaman pada tempat ruang terbuka dan

tidak ternaungi. Tanaman cabai sangat cocok dibudidayakan di sawah atau tegal.

Tanaman cabai juga dapat hidup di perkarangan dan mendapat sedikit naungan

dari tanaman lain. Tanaman cabai bukan merupakan tanaman hari panjang

(23)

8

Interaksi Genotipe x Lingkungan dan Stabilitas

Pemuliaan tanaman bertujuan untuk memperbaiki karakter tanaman sesuai

dengan kebutuhan manusia. Perbaikan karakter dilakukan dengan pemanfaatan

potensi genetik dan interaksi genotipe x lingkungan. Interaksi genotipe x

ling-kungan dapat dipergunakan oleh pemulia tanaman untuk mengembangkan

va-rietas unggul baru yang spesifik lingkungan atau vava-rietas yang beradaptasi secara

luas. Pemulia tanaman memiliki tugas yang relatif mudah apabila semua

ke-ragaman fenotipe hanya dihasilkan oleh genetik saja, proses pemulian tanaman

hanya akan dibatasi pada mengidentifikasi nilai tambah genetik dari efek dominan

serta akumulasi alel-alel yang menguntungkan ke dalam populasi tanaman.

Alberts (2004) menyatakan bahwa karakter tanaman adalah hasil akhir dari

genetik yang hampir semuanya bersifat kualitatif serta kebanyakan karakter

agronomi yang penting seperti daya hasil bersifat kuantitatif dan dipengaruhi oleh

lingkungan. Sangat tidak realistis apabila suatu genotipe unggul di satu lokasi

satu musim akan menjadi unggul di semua lokasi yang lain serta unggul di semua

musim.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak perbedaan

kondisi iklim dan jenis tanah, hal ini akan lebih banyak menimbulkan kesulitan

dalam interaksi genotipe x lingkungan. Untuk mengatasi permasalahan ini,

pe-mulia tanaman harus membuat percobaan pada beberapa lingkungan (lokasi) dan

beberapa musim agar menyakinkan telah memilih genotipe yang memiliki daya

hasil yang tinggi dan penampilan yang stabil. Gauch (1992) dan De Lacy et al.

(1996) menyatakan bahwa pengaruh lingkungan terhadap genotipe dan

inte-raksinya lebih banyak berperan pada uji multi lokasi. Menurut Falconer (1952)

dan Fernandez (1991) kedua faktor tersebut tidak selalu berinteraksi positif

bahkan seringkali negatif. Untuk mendapatkan hasil interaksi genetik dan

kungan yang signifikan diperlukan pengujian multi lokasi yang beragam

ling-kungannya. Peto (1982) membagi dua bentuk dari interaksi genotipe x

lingkung-an sebagai kualitatif (perubahlingkung-an rlingkung-anking) dlingkung-an kulingkung-antitatif (perbedalingkung-an absolut lingkung-antar

genotipe). Hill (1975) dan Yau (1995) menyatakan bahwa interaksi genotipe x

lingkungan membuat tidak mudah untuk menyeleksi penampilan terbaik.

(24)

9

dalam program pemuliaan tanaman karena mengurangi kemajuan dari seleksi

pada satu lingkungan.

Lin dan Binns (1988a) menyatakan bahwa pengamatan penampilan

geno-tipe dalam percobaan genogeno-tipe x lokasi x tahun seringkali bermasalah karena

ke-hadiran interaksi lokasi x tahun atau yang disebut pengaruh lingkungan. Crossa

(1990) menyatakan bahwa data yang dikoleksi dari percobaan multilokasi akan

memiliki tiga aspek fundamental yaitu: (1) pola data yang terstruktur, dimana

jumlah genotipe yang berespon terhadap lingkungan tertentu sudah tersistematik,

signifikan dan bisa terukur; (2) data yang tidak terstruktur, dimana respon bisa

tidak terprediksi dan terukur. Fungsi dari disain percobaan dan analisis statistik

dari multilokasi adalah menghilangkan dan kemungkinan membuang data yang

tidak bisa dijelaskan; (3) hubungan antar genotipe, antar lingkungan dan interaksi

genotipe dan lingkungan.

Tanaman sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat tumbuhnya baik

se-cara fisik, kimia maupun biologis. Comstock dan Moll (1963) membagi

ling-kungan menjadi dua kategori, yaitu: (1) Lingling-kungan mikro, suatu lingling-kungan

di-mana satu tanaman bersaing dengan tanaman lain yang tumbuh bersamaan

wak-tunya dan tempat. Hal ini termasuk sifat fisik dan kimia seperti jenis tanah,

perbedaan cuaca, radiasi matahari, hama dan penyakit yang ada pada lingkungan

tanaman tersebut tumbuh. Menurut Roy (2000), lingkungan mikro memberikan

dampak variasi galat pada analisis statistik. Kategori (2) Lingkungan makro,

lingkungan yang berhubungan skala lokasi atau area pada satuan periode.

Lingkungan makro merupakan kumpulan dari lingkungan mikro, dimana setiap

lingkungan mikro memberikan dampak yang berbeda pada lingkungan makronya.

Dengan kata lain lingkungan makro merujuk pada kondisi iklim, tanah, serta

manajemen penanamannya (pemupukan, pengairan, kerapatan tanaman, tanggal

tanam, curah hujan dan lain-lain).

Roy (2000) membagi empat klasifikasi genotipe berkaitan dengan

kemampuan genotipe beradaptasi dengan lingkungannya, yaitu: (1) Genotipe tidak

responsif, dimana tidak menunjukkan dalam perbedaan penampilan dibandingkan

dengan genotipe lain walaupun lingkungan sudah diperbaiki seperti penambahan

(25)

10

atau tidak ada perubahan dibandingkan dengan genotipe lain apabila lingkungan

dibuat menjadi lebih jelek, seperti kekurangan nutrisi, air dan lain-lain; (3)

Genotipe stabil, dimana menunjukkan sedikit atau tidak ada perubahan

diban-dingkan dengan genotipe lain walaupun lingkungan berubah dratis dan tidak bisa

dikontrol seperti perbedaan antar musim pada wilayah agroklimat yang sama.

Secara singkat stabilitas dikategorikan sebagai mengurangi variasi antar musim;

(4) Genotipe adaptasi luas atau fleksibel, genotipe yang tidak atau sedikit

menun-jukkan perbedaan dibandingkan dengan genotipe lain ketika ditanam pada wilayah

agroklimat yang berbeda. Kemampuan adaptasi dapat didefinisikan berkurangnya

variasi dalam semua lingkungan.

Berdasarkan respon terhadap perubahan Roy (2000) juga membagi dua

kategori genotipe, yaitu: (1) Homeostatis: kemampuan genotipe apabila ditanam

pada lingkungan berbeda, tanaman secara menyeluruh (ukuran, bentuk waktu

berbunga atau waktu panen) seragam dan stabil seperti yang dideskripsikan; (2)

Stabilitas berkembang (developmental stability): kemampuan genotipe

memper-cepat tahap pertumbuhan baik secara fisiologi maupun morfologi dalam

meng-hadapi perubahan lingkungan dibandingkan dengan genotipe lain.

Menurut Alberts (2004), pemulia tanaman setuju akan pentingnya

sta-bilitas hasil, tetapi sedikit sekali yang menjelaskan definisi stasta-bilitas serta sedikit

metode untuk mengukur dan meningkatkan stabilitas hasil. Stabilitas suatu

ge-notipe adalah kemampuan gege-notipe untuk hidup pada berbagai lingkungan yang

beragam, sehingga fenotipenya tidak banyak mengalami perubahan pada

ling-kungan lain. Penyebab stabilitas adalah adanya mekanisme penyangga individu

dan penyangga populasi, genotipe dengan hasil tinggi dan stabil akan

berpe-nampilan baik pada semua lingkungan. Stabilitas fenotipe disebabkan oleh

ke-mampuan tanaman untuk dapat menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan yang

beragam sehingga tanaman tidak banyak mengalami perubahan sifat fenotipenya.

Lin et al. (1986) mengajukan tiga tipe konsep stabilitas, yaitu : Konsep stabilitas tipe 1, suatu genotipe cenderung stabil apabila ragam antar

lingkung-annya kecil. Becker dan Leon (1988) menyebutnya stabilitas statik atau konsep

stabilitas biologis. Genotipe ini sangat stabil walaupun berada pada berbagai

(26)

11

dan penyakit atau stres lingkungan. Parameter stabilitas yang bisa mengambarkan

ini adalah koefisien ragam (CVi) (Francis dan Kannenburg 1978) pada setiap

genotipe dan ragam genotipe pada seluruh lingkungan (S2i).

Konsep stabilitas Tipe 2, suatu genotipe cenderung stabil apabila respon

terhadap lingkungannya adalah sejajar dengan respon daya hasil untuk semua

genotipe. Becker dan Leon (1988) menyatakan sebagai stabilitas dinamis atau

stabilitas agronomis. Suatu genotipe stabil apabila tidak memiliki perbedaan

secara umum respon terhadap lingkungannya dan bisa diprediksikan responnya

terhadap lingkungan yang lain. Koefisien regresi (bi) (Finlay dan Wilkinson

1963), komponen ragam nilai tengah terhadap interaksi genotipe x lingkungan (i)

(Plasteid dan Peterson 1959), komponen ragam dari interaksi genotipe x

lingkungan ( (i)) (Plaisteid (960), ecovalen (W 2

i) (Wricke 1962) dan ragam

stabilitas (2i) (Shukla 1972) dapat digunakan untuk mengukur stabilitas tipe ini.

Konsep stabilitas Tipe 3, suatu genotipe cenderung stabil apabila residu

kuadrat tengah (MS) dari model regresi terhadap indeks lingkungannya kecil.

Indeks lingkungan digambarkan dari nilai tengah semua genotipe dari setiap

lokasi dikurangi total nilai tengah semua genotipe pada semua lokasi. Tipe 3 ini

juga bagian dari stabilitas dinamis atau agronomis menurut Becker dan Leon

(1988). Metode yang menjelaskan stabilitas tipe 3 adalah metode Eberthart dan

Russell (1966), Perkins dan Jinks (1968) dan Tai (1971). Becker dan Leon (1988)

menyatakan bahwa semua prosedur stabilitas yang berdasarkan kuantitatif

pengaruh interaksi genotipe x lingkungan termasuk kedalam konsep stabilitas

dinamis. Lin et al. (1986) mendefinisikan empat grup stabilitas hasil yang

didasarkan dari deviasi dari pengaruh rata-rata genotipe (DG) dan pola interaksi

genotipe x lingkungan (GE).

Lin dan Binns (1988a) mengajukan konsep stabilitas tipe 4 yang

berdasarkan variasi bukan genetik yang bisa diprediksi dan tidak diprediksi.

Komponen yang bisa diprediksi berkaitan dengan lokasi sedangkan komponen

yang tidak bisa diprediksi berkaitan dengan tahun. Lin dan Binns (1988a)

menyarankan untuk menggunakan pendekatan regresi pada bagian yang bisa

diprediksi dan kuadrat tengah (MS) dari tahun x lokasi untuk setiap genotipe

(27)

12

(2002) konsep stabilitas tipe 4 memiliki pengertian yang sama dengan konsep

stabilitas statis. Simmonds (1991) menyatakan bahwa stabilitas statis akan lebih

banyak berguna dibandingkan dengan stabilitas dinamis pada semua kondisi,

terutama untuk negara berkembang.

Tabel 1 Pembagian grup stabilitas (Lin et al. 1986)

Grup Dasar Perhitungan Sumber Ragam

Grup A DG (pengaruh rata-rata genotipe) jumlah kuadrat (SS)

Grup B GE (pola interaksi Genetipe X Lingkungan) jumlah kuadrat (SS)

Grup C DG atau GE koefisien regresi

Grup D DG atau GE deviasi regresi

Analisis Stabilitas Parametrik

Beragam metode telah banyak diajukan untuk menganalisis interaksi

genotipe x lingkungan dari pengujian multi lokasi. Apabila terdapat interaksi dan

terbukti nyata maka dilanjutkan dengan menganalisis stabilitas dari genotipe

untuk mendapatkan genotipe yang berdaya hasil tinggi dan stabil. Alberts (2004)

menyatakan bahwa secara umum metode yang tersedia untuk menganalisis

interaksi genotipe x lingkungan dapat dibagi menjadi empat grup, yaitu; (1)

analisis komponen ragam atau anova; (2) analisis stabilitas parametrik; (3) metode

peubah ganda (multivariate); (4) metode kualitatif atau stabilitas non parametrik.

Analisis stabilitas parametrik pertama kali diajukan oleh Yates dan

Cochran (1938), yang menyatakan bahwa derajat hubungan antara perbedaan

varietas dan nilai tengah semua varietas dapat dijelaskan dengan menghitung

regresi dari hasil satu varietas dengan nilai tengah hasil dari semua varietas. Yates

dan Cochran (1938) menunjukkan regersi tersebut pada percobaan barley, tetapi

ide mereka tidak teramati sampai Finlay dan Wilkinson (1963) menemukan ulang

metode yang sama dan digunakan pada analisis adaptasi pada percobaan 277

varietas barley di tujuh lingkungan. Metode Finlay – Wilkinson mengukur

stabilitas dan adaptasi tanaman berdasarkan regresi linear untuk setiap lokasi dan

musim. Perhitungan regresi ini dijadikan sebagai dasar untuk menentukan tingkat

derajat kelinearan yang timbul. Finlay dan Wilkinson (1963) menggunakan

(28)

13

rata-rata stabilitas. Penambahan nilai koefisien terhadap 1.0 berarti meningkatkan

kepekaan adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Penurunan koefisien berarti

peningkatan adaptasi terhadap perubahan lingkungan (Gambar 2). Suatu genotipe

dikatakan sangat stabil apabila nilai koefisien regresinya (bi) = 0.

Gambar 2 Interpretasi umum dari pola populasi genotipe yang didapat ketika koefisien regresi genotipe diplot terhadap nilai tengah (rata-rata hasil) genotipe (Finlay dan Wilkinson 1963).

Eberhart dan Russell (1966) mengajukan pengabungan jumlah kuadrat dari

lingkungan (E) dan interaksi genotipe x lingkungan (GE) serta membaginya ke

dalam pengaruh linear antar lingkungan (derajat bebas = 1) dan pengaruh linear

dari genotipe x lingkungan (derajat bebas E = 2). Pengaruh dari residual kuadrat

tengah dari model regresi antar lingkungan digunakan sebagai indeks stabilitas.

Suatu genotipe dikatakan stabil apabila memiliki nilai deviasi regresi kuadrat

tengah (S2di) = 0 dan memiliki nilai koefisien regresi (bi) = 1.

Perkins dan Jinks (1968) mengajukan model koefisien regresi yang mirip

dengan Finlay dan Wilkinson (1963) tetapi data yang diamati disesuaikan terlebih

dahulu dengan pengaruh lingkungan sebelum dibuat regresi. Menurut Roy (2000),

model Perkins dan Jinks menjelaskan bahwa genotipe yang sangat stabil apabila

memiliki nilai βi = 0 dan genotipe ini tidak memiliki interaksi genotipe x

lingkungan. Genotipe dengan nilai βi > 0.0 tidak terlalu sensitif dengan

lingkungan, tetapi genotipe ini direkomendasikan khusus untuk lingkungan yang

(29)

14

optimal. Genotipe dengan nilai βi < 0.0 atau negatif akan lebih sedikit

perbedaannya antar lingkungan dan sangat cocok untuk ditanam pada semua

lingkungan.

Pendekatan regresi telah menjadi alat yang berguna untuk pemulia

ta-naman, tetapi ada beberapa penulis yang menunjukkan keterbatasan regresi baik

secara statistik maupun biologis. Keterbatasan pertama seperti dikemukakan oleh

Freeman dan Perkins (1971) serta Freeman (1973) adalah secara statistik nilai

tengah genotipe tidaklah bebas dari nilai marginal lingkungan. Membuat regresi

satu set peubah terhadap peubah yang lain tidak akan bebas dari saling

mem-pengaruhi satu dengan yang lain. Masalah ini akan menjadi lebih besar apabila

menggunakan jumlah genotipe yang banyak. Keterbatasan secara statistik yang

kedua seperti yang dikemukan oleh Crossa (1990) adalah galat berhubungan

dengan slope dari genotipe dan tidak secara statistik bebas, karena deviasi jumlah

kuadrat dengan derajat bebas (G-1)(E-2) dapat tidak terbagi secara orthogonal

antara G genotipe. Permasalahan yang ketiga seperti yang dikemukakan oleh

Mungomery et al. (1974) dan Wescott (1986) adalah hubungan linear antara

in-teraksi dan nilai lingkungan. Ketika asumsi ini tidak dipenuhi maka keefektifan

dari analisis akan berkurang dan menyebabkan salah pengertian dari hasil analisis.

Permasalahan secara biologi seperti dikemukan oleh Westcott (1986) dan

Crossa (1990) adalah jika lingkungan yang diikutkan hanya memiliki sedikit

lokasi yang optimal atau marjinal. Genotipe terpilih akan dijelaskan secara umum

hanya cocok pada lingkungan ekstrem. Hal ini dapat menyebabkan salah

pe-ngertian oleh karena itu analisis regresi dipergunakan dengan hati-hati apabila set

data mengikutsertakan hasil dari sedikit lokasi yang rendah atau tinggi. Becker

dan Leon (1988) mencatat ketika mempelajari metode biometrical utama, bahwa

pendekatan regresi jarang digunakan jika koefisien regresi (bi) dimasukkan ke

dalam definisi stabilitas. Dengan alasan ini, koefisien regresi (bi) oleh keba-nyakan penulis dipandang bukan sebagai ukuran kestabilan tetapi hanya sebagai

tambahan informasi dari respon rata-rata genotipe terhadap perubahan kondisi

(30)

15

Gambar 3 Interpretasi parameter bi dan S2di dari pendekatan regresi.

Wricke (1962) menggunakan interaksi genotipe x lingkungan pada setiap

genotipe sebagai ukuran kestabilan. Ukuran kestabilan Wricke (1962) disebut

ecovalance (W2i), yang merupakan jumlah kuadrat yang disumbangkan oleh satu genotipe kepada interaksi genotipe x lingkungannya. Ukuran perbedaan kestabilan

merupakan nilai konsistensi dari suatu genotipe pada semua lingkungan.

Geno-tipe yang memiliki nilai ecovalance (W2i) terkecil merupakan genotipe yang

pa-ling stabil.

Tai mengajukan dua parameter stabilitas, yaitu alpha () dan lamdha (),

yang menyerupai koefisien regresi dan ragam regresi, tapi didapat dengan cara

melanjutkan analisis ragam dan mengunakan prinsip hubungan struktural

(principle of structural relationships) (Kendall dan Stuart 1979). Mempartisikan interaksi genotipe x lingkungan kedalam regresi jumlah kuadrat dan deviasi

jumlah kuadrat dari regresi bisa dilakukan apabila pengaruh lingkungan dapat

diukur tanpa melakukan kesalahan. Tai (1971) menggunakan metode alternatif ini

dikarenakan pengaruh lingkungan tidak dapat diukur tanpa melakukan kesalahan.

Berdasarkan asumsi bahwa pengaruh lingkungan dan pengaruh interaksi genotipe

x lingkungan berdistribusi normal, Tai (1971) melakukan hubungan struktural

menurut metode Kendall dan Stuart (1979) untuk menemukan estimasi

mak-simum dari  dan  dari komponen yang didapat langsung dari anova. Genotipe

yang paling stabil akan tidak berubah penampilannya dari lingkungan satu ke

bi < 1 bi > 1

Stabilitas hasil tinggi

Stabilitas hasil rendah Dapat beradaptasi pada lingkungan

berdaya hasil rendah

Dapat beradaptasi pada lingkungan berdaya hasil tinggi

S2di=besar

(31)

16

lingkungan lainnya. Parameter  = -1 dan  = 1 merupakan parameter yang

me-nunjukkan genotipe yang paling stabil sedangkan parameter  = 0 dan  = 1

me-nunjukkan genotipe yang memiliki stabilitas rata-rata.

Shukla (1972) mendefinisikan ragam stabilitas genotipe sebagai ragam

seluruh lingkungan setelah pengaruh utama dari nilai lingkungan dihilangkan.

Karena pengaruh utama genotipe telah stabil, ragam stabilitas didasarkan pada

residual matrik interaksi genotipe x lingkungan dan galat sebagai klasifikasi dua

arah. Stabilitas Shukla dinamakan sebagai ragam stabilitas (σ2i). Suatu genotipe

dikatakan stabil apabila ragam stabilitas (σ2i) adalah sama dengan ragam

ling-kungan (σ2e) dimana nilai (σ2i) = 0. Nilai (σ2i) relatif besar menunjukkan

keti-dakstabilan dari genotipe. Karena ragam stabilitas adalah perbedaan antara dua

jumlah kuadrat, maka bisa bernilai negatif. Tetapi estimasi (σ2i) negatif tidak

akan menjadi masalah pada komponen ragam karena estimasi negatif dari ragam

stabilitas (σ2i) dapat dianggap sebagai nol. Pinthus (1973) mengajukan pengunaan

koefisien determinasi (ri2) dari setiap genotipe sebagai parameter stabilitas. Suatu

genotipe dikatakan stabil apabila memiliki nilai koefisien determinasi (ri2) = 1.

Francis dan Kannenberg (1978) menggunakan ragam lingkungan (S2i) dan

koefisien ragam (CVi) untuk menentukan kestabilan suatu genotipe. Suatu

geno-tipe dikatakan stabil apabila memiliki nilai ragam lingkungan (S2i) dan koefisien

ragam (CV i) kecil serta memiliki hasil yang optimal.

Lin dan Binns (1988b) mengajukan stabilitas berdasarkan ukuran

su-perioritas genotipe (Pi) atau yang disebut sebagai stabilitas tipe 4. Superioritas

genotipe (Pi), merupakan parameter stabilitas yang sangat spesifik. Suatu

geno-tipe dikatakan stabil apabila memiliki nilai (Pi) terkecil. Menurut Lin dan Binns

(1988), stabilitas tipe 4 lebih konsisten dibandingkan dengan stabilitas tipe 3

ka-rena mengunakan ekspresi nyata dari prilaku genetik suatu genotipe. Oleh kaka-rena

itu suatu genotipe yang memiliki nilai (Pi) terkecil akan memiliki sedikit

(32)

17

Analisis Peubah Ganda

Menurut Crossa (1990), analisis peubah ganda memiliki tiga tujuan utama

yaitu: (1) menghilangkan gangguan pola data, seperti membedakan ragam

sis-tematik dengan non sissis-tematik; (2) menyimpulkan data; (3) mengungkap struktur

data. Berbeda dengan metode statistik biasa, fungsi dari analisis peubah ganda

adalah mengurai struktur internal data dari hipotesis yang dapat dijabarkan dan

kemudian diujikan dengan metode statistik. Alberts (2004) menyimpulkan bahwa

analisis peubah ganda mengutamakan analisis matrik dua arah dari genotipe dan

lingkungan. Respon dari setiap genotipe pada lingkungan tertentu dapat dianggap

sebagai pola ruang dimensi lingkungan, dengan koordinat masing-masing hasil

dari genotipe dalam satu lingkungan. Menurut Gauch (1982) dan Crossa (1990),

terdapat dua grup teknik peubah ganda yang bisa digunakan untuk mengurai

struktur internal interaksi genotipe x lingkungan, yaitu :

1. Teknik ordinat, seperti principal component analysis (PCA), principal

coordinate’s analysis dan analisis faktor. Asumsi yang diperlukan adalah data merupakan satu kesatuan. Tehnik ini menempatkan genotipe yang

terpilih dan kaitannya dengan lingkungan adalah sangat mungkin berada

pada ruang dimensi yang dekat.

2. Teknik klasifikasi, seperti analisis gerombol dan analisis diskriminasi.

Metode ini melibatkan kelompok yang mirip pada satu gerombol dan

efektif untuk menyimpulkan kelebihan pada data.

Menurut Crossa (1990), principal component analysis sering digunakan

pada metode peubah ganda (multivariate). Tujuannya adalah untuk

mentrans-formasikan satu set koordinat axis ke yang lain dengan segala kemungkinannya.

Konfigurasi asli dari set utama dari struktur data ditempatkan pada komponen axis

utama. Principal coordinates analysis adalah generalisasi dari analisis PCA yang

mana setiap ukuran kemiripan antara individu dapat digunakan. Analisis faktor

masih terkait dengan PCA, faktor yang terbentuk menjadi mirip seperti principal

component. Jumlah besar peubah yang berkolerasi akan berkurang menjadi jum-lah kecil faktor utama. Keragaman dijelaskan sebagai pola faktor umum untuk

(33)

18

Menurut De Lacy et al. (1996), analisis gerombol adalah teknik klasifikasi

numerik yang mendefinisikan grup dari gerombol individu-individu. Tujuan

utama dari analisis gerombol adalah untuk mengklasifikasikan obyek baik

geno-tipe maupun lingkungan ke dalam grup-grup dimana telah dibuat minimal

kera-gaman dalam grup, sementara kerakera-gaman antar grup dimaksimalkan. Banyak cara

untuk membuat skala dan standarisasi data melalui pemusatan pada lingkungan,

standarisasi lingkungan, pembobotan heritabilitas lingkungan, atau membuat

ranking pada lingkungan. Beragam metode gerombol kadang kala membuat

per-bedaan hasil, walaupun data yang digunakan sama. Dasar dari semua metode

ge-rombol adalah mengunakan ukuran kemiripan (proximity) atau ketidakmiripan

(distance) untuk mengklasifikasikan obyek ke dalam grup.

Analisis biplot AMMI dapat menjelaskan interaksi genotipe x lingkungan,

menampilkan pola sebaran posisi relatif genotipe pada lingkungan. Hasil

pengu-raian nilai singular diplotkan antara satu komponen genotipe dengan komponen

lingkungan secara simultan. Biplot AMMI dapat meringkas pola hubungan antar

genotipe, antar lingkungan, dan interaksi genotipe x lingkungan. Biplot

menam-pilkan nilai komponen utama pertama dan nilai tengah. Interpretasi biplot nilai

komponen pertama dan nilai tengah respon, dibuat jarak titik amatan yang

ber-dasarkan sumbu datar dimana titik amatan menunjukkan perbedaan pengaruh

utama amatan-amatan tersebut (Mattjik 2005).

Sumertajaya (1998) menyatakan bahwa jarak titik-titik amatan

berdasar-kan sumbu tegak menunjukberdasar-kan perbedaan pengaruh interaksinya atau perbedaan

tingkat sensitifitas terhadap lokasi. Sedangkan interpretasi untuk titik sejenis

yang diperoleh dari biplot nilai komponen utama kedua dan nilai komponen utama

pertama merupakan jarak titik-titik amatan yang menunjukkan perbedaan

in-teraksi. Interpretasi titik-titik amatan yang berlainan jenis biplot nilai komponen

utama kedua dan nilai komponen utama pertama menunjukkan jenis interaksi

antar titik-titik amatan. Titik-titik amatan yang mempunyai arah yang sama

me-nunjukkan berinteraksi positif (saling menguatkan) dan titik-titik yang berbeda

(34)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada dua periode percobaan dengan pemilihan lokasi

percobaan di bawah ketinggian 400 m di atas permukaan laut. Periode pertama

percobaan dilakukan di tiga unit lokasi percobaan di Kabupaten Bogor (Jawa

Barat), yaitu Ciherang, Leuwikopo dan Tajur yang dilaksanakan pada bulan

September 2006 – Mei 2007. Periode kedua dilakukan pada tiga kabupaten yaitu

Boyolali (Jawa Tengah), Rembang (Jawa Tengah) dan Subang (Jawa Barat) yang

dilaksanakan pada bulan Desember 2007 – Agustus 2008. Bogor terletak pada

ketinggian 190 m di atas permukaan laut (m dpl), suhu rata-rata 22.6-31.80C dan

curah hujan 382 mm/bulan. Subang terletak pada ketinggian 47 m dpl, rata-rata

curah hujan 104 mm/bulan. Temperatur minimum 22.60C dan maksimum 31.70C

dengan suhu rata-rata 270C. Boyolali mempunyai ketinggian tempat 104 m dpl

dengan suhu rata-rata 260C dan curah hujan 233.5 mm/bulan.

Bahan dan Alat

Bahan penelitian yang digunakan adalah tujuh hibrida cabai harapan hasil

perakitan Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman IPB, yaitu : IPB CH1, IPB

CH2 IPB CH3, IPB CH5, IPB CH25, IPB CH28 dan IPB CH 50 dengan lima

hibrida komersial cabai sebagai pembanding yaitu Adipati, Gada, Biola, Hot

Beauty dan Imperial. Hibrida pembanding ini digunakan karena sudah menjadi

hibrida rekomendasi dari PT Heinz ABC dalam kemitraan dengan petani. Bahan

lain yang digunakan adalah media tanam, pupuk NPK, pupuk kandang, pupuk

urea, KCl dan SP-36, pestisida sebagai bahan perawatan tanaman. Alat yang

digunakan adalah tray, gembor, ajir, cangkul, kored, meteran, timbangan analitik,

timbangan kasar, spayer, tali rafia, mulsa plastik, label dan jangka sorong.

Metode Percobaan

Percobaan dilakukan dengan menggunakan Rancangan Kelompok

Lengkap Teracak dengan tiga ulangan pada 6 unit lokasi percobaan yaitu

Ciherang, Leuwikopo, Tajur, Boyolali, Rembang dan Subang. Setiap satuan

(35)

20

hibrida yaitu: 7 hibrida harapan cabai dan 5 varietas hibrida pembanding. Sebelum

melakukan uji gabungan dilakukan uji kehomogenan ragam untuk melakukan

pendugaan komponen ragam. Untuk mengetahui pengaruh lokasi percobaan,

maka dilakukan analisis gabungan dari tiap lokasi percobaan. Model linear

Rancangan Acak Kelompok dengan pola gabungan adalah sebagai berikut

(Gomez dan Gomez 1985):

Yijk= µ + Lk + βi/k + Gj + (LG)kj + εijk

Keterangan :

Yijk = nilai pengamatan dari ulangan ke-i, genotipe ke-j dan lokasi ke-k

µ = nilai rataan umum Lk = pengaruh lokasi ke-k

Βi/k = pengaruh ulangan ke-i dalam lokasi ke-k

Gj = pengaruh genotipe ke-j

(LG)kj = pengaruh interaksi lokasi ke-k dengan genotipe ke-j

εijk = pengaruh galat percobaan

i = 1, 2, 3 j = 1, 2, 3,.... 16 k = 1, 2, 3,...6

Pelaksanaan

Pelaksanaan percobaan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :

1. Persemaian. Persemaian dilakukan dengan mengunakan tray semai.

Media yang digunakan yaitu tanah dan pupuk kandang yang telah

diayak dengan perbandingan 1:1.

2. Pengolahan lahan. Pengolahan lahan dilakukan satu bulan sebelum

penanaman. yaitu dengan membajak tanah dan mengaplikasikan pupuk

kandang dengan dosis 20 ton/ha. Lahan dibuat bedengan-bedengan

dengan ukuran bedengan 1 X 5 m. Jarak antar petak percobaan 0.5 m.

Setelah itu diberi pupuk urea, SP-36, dan KCl, kemudian ditutup

dengan mulsa plastik hitam perak.

3. Transplanting. Pemindahan bibit ke lapang dilakukan setelah bibit

berumur 4 minggu setelah semai dengan jumlah daun mencapai 4-5

(36)

21

tanaman. Penyulaman dilakukan satu minggu setelah tanam pada bibit

yang tidak sehat pertumbuhannya dengan bibit baru yang umurnya

sama.

4. Pemeliharaan. Pemeliharaan meliputi pengajiran yang dilakukan pada

2 MST. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan apabila terlihat

adanya gejala serangan hama dan penyakit pada tanaman.

5. Panen. Panen dilakukan setelah populasi mencapai 75% buah matang.

Pemanenan dilakukan bertahap sampai delapan minggu dan setiap

minggu dilakukan satu kali panen.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan pada 10 tanaman contoh setiap satu satuan

percobaan. Karakter kuantitatif yang diamati mengacu pada IPGRI Descriptor

(1995), yaitu:

1. Umur berbunga (HST). Umur berbunga adalah jumlah hari setelah pindah

tanam sampai 50% populasi tanaman dalam petakan telah mempunyai

bunga mekar pada percabangan tanaman.

2. Umur panen (HST). Umur panen adalah jumlah hari setelah transplanting

sampai 50% tanaman dalam petakan mempunyai buah masak pada

percabangan pertama.

3. Tinggi tanaman (cm). Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah

sampai pucuk, pengukuran dilakukan setelah panen pertama.

4. Tinggi dikotomus (cm). Tinggi dikotomus diukur dari permukan tanah

sampai percabangan utama, pengukuran dilakukan setelah panen pertama.

5. Lebar kanopi (cm). Lebar kanopi diukur pada kanopi tanaman terlebar

pada fase generatif (20 MST).

6. Lebar daun (cm). Lebar daun diukur dari 20 daun dewasa setelah 50%

populasi tanaman berbuah masak.

7. Bobot per buah (g). Bobot per buah dihitung berdasarkan rata-rata bobot

buah dari 10 buah segar dari panen kedua.

8. Panjang buah (cm). Panjang buah diukur dari 10 buah segar dari panen

(37)

22

9. Diameter buah (cm). Diameter pangkal-tengah-ujung diukur dari 10 buah

segar dari panen kedua.

10. Tebal kulit buah (cm). Tebal kulit buah dihitung berdasarkan rata-rata

tebal kulit buah dari 10 buah segar dari panen kedua.

11. Bobot per tanaman (g/tan). Bobot per tanaman adalah jumlah keseluruhan

bobot buah yang dipanen dari 10 tanaman contoh pada panen ke-1 sampai

panen ke-8.

Analisis Stabilitas

Analisis ragam gabungan untuk beberapa lokasi menurut Annicchiarico

(2002) disajikan pada Tabel 2. Untuk mengetahui bahwa genotipe dan interaksi

genotipe x lingkungan berbeda nyata, maka dapat dilihat nilai F hitungnya. Jika

nilai F hitung > nilai F tabel pada taraf α0.05 maka perlakuan tersebut dinyatakan

berbeda nyata. Untuk mengetahui stabilitas hasil pada populasi cabai hibrida

dilakukan analisis stabilitas. Analisis stabilitas dilakukan dengan menggunakan

delapan metode analisis yaitu 1) Perkins dan Jinks, 2) Finlay dan Wilkinsons, 3)

Eberhart dan Russell, 4) Francis dan Kannenberg, 5) Tai, 6) Shukla, 7) Wricke

dan 8) Lin dan Binns. Formula statistik stabilitas disajikan pada Tabel 3 dan

listing SAS untuk menganalisis stabilitas hasil dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 2 Analisis ragam gabungan di beberapa lokasi pengujian menggunakan model tetap (Annicchiarico 2002)

Sumber Derajat Kuadrat Tengah Fhit

Keragaman Bebas (db) (KT)

Lokasi (l-1) M5 M5/M4

Ulangan(Lokasi) l(r-1) M4

Genotipe g-1 M3 M3/M1

G X L (g-1)(l-1) M2 M2/M1

Galat l(g-1)(r-1) M1

(38)

Tabel 3 Formula statistik stabilitas (Lin et al. 1986 dan Hussein et al. 2000)

Grup Tipe Parameter Formula Sumber

(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Penelitian ini dilakukan pada enam lokasi dengan ketinggian di bawah 400

meter di atas permukaan laut. Dua lokasi dilakukan pada kebun percobaan IPB,

yaitu kebun percobaan IPB Tajur II dan Leuwikopo, Kabupaten Bogor, Jawa

Barat (± 190 m dpl). Empat lokasi percobaan lainnya dipilih lahan petani agar

terjadi penyebaran lokasi dan mendekati kondisi lingkungan yang sebenarnya,

yaitu satu lokasi di Ciherang Kabupaten Bogor, Jawa Barat (± 190 m dpl),

Kabupaten Subang, Jawa Barat (± 47 m dpl), Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah

(± 104 m dpl), dan Kabupaten Rembang, Jawa Tengah (± 47 m dpl). Penelitian

ini dilakukan dua periode, yaitu periode pertama dilakukan pada tiga lokasi

percobaan di Kabupaten Bogor. Penanaman dimulai pada bulan September 2006

dan panen terakhir pada bulan Mei 2007, periode kedua dilakukan di dua Propinsi

dengan periode tanam mulai Desember 2007 dan panen terakhir pada bulan

Agustus 2008.

Selama masa pembibitan, penyakit layu bakteri dan etiolasi menghambat

pertumbuhan bibit tanaman. Bibit tanaman yang normal dan sehat mulai dipindah

ke lokasi percobaan setelah berumur 4 minggu atau bibit tanaman sudah memiliki

4-5 daun. Penanaman dilakukan pada sore hari untuk menghindari panas matahari

dan menghindari stres yang berlebihan pada bibit tanaman. Setelah bibit tanaman

dipindah ke lapangan kadangkala mengalami gangguan oleh hembusan angin

yang kencang sehingga menyebabkan rebah. Penyulaman dilakukan pada bibit

tanaman yang mati dan rusak agar jumlah tanaman tiap petak tetap.

Pada awal penanaman, tanaman diserang hama siput dan belalang. Hama

tersebut menyerang tanaman yang masih muda dan memakan pangkal batang

sampai pucuk tanaman. Pengendalian dilakukan dengan menyemprotkan pestisida

curacon dan segera dilakukan penyulaman. Hama kutu, tungau dan thrips mulai

menyerang pada satu bulan pertama tanaman (Gambar 4A dan 4B). Hama-hama

tersebut menyerang daun tanaman sehingga menyebabkan daun menjadi kering

dan keriting. Hibrida IPB CH3 terlihat lebih toleran terhadap serangan hama

thrips dan tungau. Pengendalian hama kutu, thrips dan tungau dilakukan dengan

(40)

25

sampai tanaman siap dipanen. Hama lalat buah menyerang pada fase generatif

yang menyebabkan buah cabai menjadi busuk dan rontok (Gambar 4C) untuk

mengendalikan lalat buah digunakan pestisida petrogenol sebagai perangkap hama

lalat bibit. Hibrida yang lebih banyak terserang oleh lalat buah adalah IPB CH2

dan IPB CH3.

Gambar 4 Gejala serangan hama tanaman. Kutu (A), thrips (B) dan lalat buah (C).

Serangan penyakit rebah pangkal batang banyak terjadi pada percobaan

ini (Gambar 5A). Penyakit yang banyak merusak tanaman percobaan dan sangat

besar pengaruhnya terhadap penurunan produksi adalah layu fusarium dan

antraknosa. Layu fusarium dapat menyebabkan tanaman layu dan mengering

(Gambar 5B), penyebaran penyakit layu fusarium sangat cepat dan dapat

menghabiskan populasi tanaman. Pengendalian penyakit ini dilakukan dengan

segera mencabut tanaman yang terserang dan membuangnya agar tanaman lain

tidak ikut terserang. Hibrida yang paling rentan terserang penyakit layu fusarium

adalah Biola, Gada dan IPB CH5.

Penyakit antraknosa merupakan penyakit yang sangat sulit dikendalikan,

apabila buah cabai sudah terkena penyakit ini dapat menyebabkan buah menjadi

busuk dengan warna coklat kehitaman, pengendalian dilakukan dengan

meng-gunakan pestisida antracol mulai berbunga sampai panen minggu kesepuluh.

Hibrida yang lebih rentan terserang penyakit ini adalah IPB CH28. Penyakit

antraknosa sangat mudah menular apabila satu hibrida sudah terkena maka lambat

laun semua hibrida akan terkena pula (Gambar 5C).

A

Gambar

Gambar 1 Diagram alur penelitian.
Tabel 1  Pembagian grup stabilitas (Lin et al. 1986)
Gambar 2 Interpretasi umum dari pola populasi genotipe yang didapat ketika koefisien regresi genotipe diplot terhadap nilai tengah (rata-rata hasil) genotipe (Finlay dan Wilkinson 1963)
Gambar 3  Interpretasi parameter  bi dan S2di dari pendekatan regresi.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Jurusan Budi Daya Pertanian. Fakultas Pertanian, lnstitut

Gen-gen dominan lebih banyak terdapat di dalam tetua pada karakter bobot buah per tanaman (IPBC120), tebal daging buah (IPBC2), diameter buah (IPBC159) dan panjang buah (IPBC2)..

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan, karakter kuantitatif galur-galur harapan banyak yang memiliki nilai KKG danKKF kriteria rendah sampai agak rendah (tabel

Berdasarkan penelitian Afifah (2012) menyebutkan penanda molekuler diketahui memiliki bentuk yang beragam, dapat berupa penampilan fenotipe/morfologi tertentu,

Hibrida IPB CH3 memiliki bobot buah layak pasar yang lebih besar dibandingkan dengan Gada dan Hot Beauty namun tidak berbeda nyata dibandingkan Adipati dan

Thennarasu (1995) mengemukakan pengukuran stabilitas nonparametrik yaitu NPi (1) , NPi (2) , NPi (3) , dan NPi (4) berdasarkan pada ranking dari genotipe pada

Gen-gen dominan lebih banyak terdapat di dalam tetua pada karakter bobot buah per tanaman (IPBC120), tebal daging buah (IPBC2), diameter buah (IPBC159) dan panjang buah (IPBC2)..

Gen-gen dominan lebih banyak terdapat di dalam genotipe IPBC120 pada karakter bobot buah per tanaman, IPBC2 pada karakter tebal daging buah, IPBC159 pada karakter diameter