• Tidak ada hasil yang ditemukan

Study of Biosecurity Implementation in Animal Quarantine Premises for Imported Cattle Across Java Island

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Study of Biosecurity Implementation in Animal Quarantine Premises for Imported Cattle Across Java Island"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

GATOT SANTOSO

DI PULAU JAWA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

xvii

Klasifikasi Instalasi Karantina Hewan ... 6

Biosekuriti ... 6

Pengetahuan ... 10

Sikap ... 11

Praktik ... 11

Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap, dan Praktik ... 11

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 13

Kerangka Konsep Penelitian ... 13

Disain Penelitian ... 15

Sampel Penelitian ... 16

Pembobotan dan Penilaian Kuesioner ... 17

Definisi Operasional ... 20

Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Dokter Hewan ... 42

Hubungan Antara Karakteristik, Pengetahuan, dan Sikap Dokter Hewan terhadap Praktik Biosekuriti ... 47

Karakteristik Paramedik ... 48

Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Paramedik ... 49

(3)

xviii

Simpulan ... 55

Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Biosekuriti Instalasi Karantina Hewan Sapi Impor di Pulau Jawa adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2012

(5)

Premises for Imported Cattle Across Java Island. Under direction of TRIOSO PURNAWARMAN and ETIH SUDARNIKA.

Indonesia imports large number of live cattle as breeding cattle or beef cattle to fulfill its demands for protein of animal origin. In order to prevent animal disease entering and spreading in the country the Government of Indonesia provides animal quarantine premises inside or outside every entry/exit point. Requirements and procedures to establish animal quarantine premises is stated in the Agriculture Minister’s Decree No 34/2006 regarding Requirements and Procedures to Establish Animal Quarantine Premises, and in the Head of Agriculture Quarantine Agency’s Decree regarding Technical Guidelines for Large Ruminant Animal Quarantine Premises. Biosecurity in animal quarantine facilities is one of important factors in preventing spreading of diseases among animals, transmission from animals to human or vice versa and also preventing disease to enter premises. Biosecurity implementation in animal quarantine premises depends on the knowledge, attitude and practices conducted by the officers of the premise, both veterinarian officers and paraveterinarian officers. The aim of this study is to determine the level of biosecurity and the relation among characteristic, knowledge and attitude of veterinarian and paraveterinarian officers on the biosecurity implementation (sanitation, isolation and movement control) in a temporary animal quarantine premises. Data were collected from temporary animal quarantine premises for imported cattle across Java Island. In this study we found that in general the biosecurity implementation in the premises was adequate (62.6%) and good (31.2%). We also noticed that the characteristic of veterinarian officers showed no relation to the biosecurity implementation, while the knowledge and attitude of veterinarian officers showed a strong relation to the biosecurity implementation (p<0.05) with medium correlation level (r = 0.463 and r = 0.524). On the other hand, characteristic of paraveterinarian officers showed no relation to the biosecurity implementation, while the knowledge and attitude of paraveterinarian officers shows a strong relation to the biosecurity implementation (p<0.05) with medium correlation level (r = 0.410 and r = 0.427).

(6)

Pulau Jawa. Dibimbing oleh TRIOSO PURNAWARMAN dan ETIH SUDARNIKA.

Indonesia merupakan negara pengimpor sapi dalam jumlah yang cukup besar baik sapi bibit maupun sapi potong untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewani penduduknya. Importasi sapi yang ada saat ini sebagian besar adalah berasal dari negara Australia. Hal ini akan memiliki peluang risiko yang semakin besar terhadap masuk dan tersebarnya penyakit hewan di negara Indonesia. Berdasarkan World Animal Health Information Database (WAHID) yang diterbitkan oleh organisasi kesehatan dunia (OIE), Australia merupakan negara yang bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) dan sapi gila (bovine spongioform encephalophaty/BSE). Namun demikian prinsip kehati-hatian terhadap adanya penyakit hewan menular lainnya di negara tersebut perlu dicermati. Pada saat ini Australia masih belum bebas dari penyakit infectious bovine rhinotracheitis (IBR), bovine viral diarrhea (BVD), paratuberculosis/Johne’s disease, enzootic bovine leucosis (EBL), anthrax, bluetongue, Q-fever, tetanus, malignant oedema, blackleg, pulpy kidney, black disease, botulism, actinomicosis, salmonellosis, leptospirosis, brucellosis dan penyakit parasitik seperti cysticercosis dan penyakit cacing lainnya, sehingga diperlukan persyaratan tertentu agar sapi yang diimpor merupakan sapi yang sehat.

Untuk mencegah masuk, keluar, dan tersebarnya hama penyakit hewan karantina, pemerintah dan pihak lain (swasta) wajib menyediakan instalasi karantina hewan (IKH) di dalam maupun di luar tempat pemasukan atau pengeluaran. Persyaratan dan tata cara penetapan IKH tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 34 Tahun 2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara Penetapan IKH dan Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 348 Tahun 2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis IKH Untuk Ruminansia Besar.

Instalasi Karantina Hewan (IKH) merupakan suatu bangunan berikut peralatan dan bahan serta sarana pendukung yang diperlukan sebagai tempat untuk melakukan tindakan karantina. IKH harus memenuhi persyaratan teknis baik lokasi, konstruksi, sistem drainase, kelengkapan sarana dan prasarana. Penetapan lokasi berkaitan dengan analisis risiko penyebaran hama penyakit, peta situasi hama penyakit hewan, kesejahteraan hewan, sosial budaya dan lingkungan serta jauh dari lokasi budidaya hewan lokal. Biosekuriti mempunyai peran yang sangat penting pada IKH antara lain mencegah penyebaran penyakit diantara hewan, hewan ke petugas, dan dari petugas ke hewan, serta mencegah masuknya agen penyakit yang berasal dari lingkungan sekitar. Penerapan biosekuriti di IKH tidak terlepas dari tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik dari petugas yang ada di IKH, baik dokter hewan maupun paramedik.

(7)

paramedik pemerintah dan swasta yang pernah melakukan tindakan karantina di IKH sapi impor yang ada di Pulau Jawa dengan menggunakan kuesioner.

Wawancara bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai karakteristik dan untuk mengukur tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik responden terhadap biosekuriti. Penilaian tingkat biosekuriti terhadap IKH juga dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan checklist. Sebelum dilakukan penelitian terlebih dahulu dilakukan uji coba (pretest) kuesioner untuk mengetahui perkiraan waktu pengerjaan pengisian kuesioner dan kesulitan-kesulitan dalam menjawab pertanyaan yang dihadapi oleh responden. Setelah itu dilakukan uji validitas dan reliabilitas kuesioner untuk menilai kelayakan kuesioner sebagai perangkat penelitian.

Hasil penelitian menggambarkan bahwa kategori IKH sapi impor di Pulau Jawa mempunyai tingkat biosekuriti yang baik (31.2%) dan cukup (62.6%).. Pada karakterististik responden dokter hewan tidak mempunyai hubungan yang nyata terhadap praktik biosekuriti, sedangkan pengetahuan dan sikap mempunyai hubungan yang nyata (p<0.05) terhadap praktik biosekuriti dokter hewan dan mempunyai korelasi dengan tingkat sedang yaitu r = 0.463 dan r = 0.524. Karakterististik responden paramedik tidak mempunyai hubungan yang nyata terhadap praktik biosekuriti, sedangkan pengetahuan dan sikap mempunyai hubungan yang nyata (p<0.05) terhadap praktik biosekuriti paramedik dan mempunyai korelasi dengan tingkat sedang yaitu r = 0.410 dan r = 0.427.

(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(9)

DI PULAU JAWA

GATOT SANTOSO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

NIM : B251100144

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si. Dr. Ir. Etih Sudarnika, M.Si.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(12)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya sehingga karya ilmiah yang berjudul Kajian Biosekuriti Instalasi Karantina Hewan Sapi Impor di Pulau Jawa ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si, dan Ibu Dr. Ir. Etih Sudarnika, M.Si selaku pembimbing atas arahan yang diberikan sehingga karya ini dapat diselesaikan dengan baik. Ungkapan terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si, selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner atas semangat dan motivasi yang diberikan selama perkuliahan berlangsung dan penulisan karya ilmiah ini. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Kepala Badan Karantina Pertanian, Bapak Sekretaris Badan Karantina Pertanian, Kepala Pusat Karantina Hewan, dan Kepala Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Ambon yang telah memberi kesempatan penulis mengikuti program pascasarjana ini, Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok, Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta, Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya, dan Kepala Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Cilacap beserta staf dan semua pihak yang telah sangat membantu kelancaran proses penelitian penulis. Ungkapan terima kasih tak henti-hentinya penulis sampaikan kepada istri tercinta, Dian Pertiwi Wulandari, SE, M.Si, ananda Anindya Raghda Aqila serta ayah dan ibu atas dukungan dan doa yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan program ini dengan lancar. Tak lupa buat teman-teman kelas khusus KMV Karantina Hewan Angkatan ke-2, terima kasih atas kebersamaannya sehingga program ini bisa kita selesaikan bersama-sama.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Bogor, Juni 2012

(13)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 22 Juli 1979 dari ayah Wachyudi dan ibu Ipah Turipah. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB), lulus pada tahun 2002 kemudian dilanjutkan mengikuti Program Pendidikan Dokter Hewan (PPDH) IPB lulus pada tahun 2004.

Penulis bekerja di Badan Karantina Pertanian pada unit pelaksana teknis Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Ambon sejak tahun 2005 sebagai medik veteriner. Untuk meningkatkan kemampuan teknis dan wawasan tentang perkarantinaan hewan, penulis diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan antara lain Training of Management Veterinary Services di Malaysia pada tahun 2006. Pada tahun 2010 penulis mendapat kesempatan untuk tugas belajar dari Badan Karantina Pertanian pada program Magister Sains (S2) Kesehatan Masyarakat Veteriner di Sekolah Pascasarjana IPB.

(14)

xix Halaman

1 Data importasi sapi tahun 2010 ... 1

2 Jumlah besaran sampel dokter hewan pemerintah ... 17

3 Jumlah besaran sampel paramedik pemerintah ... 17

4 Definisi operasional peubah penelitian ... 20

5 Instalasi karantina hewan sapi impor di Pulau Jawa yang masih digunakan untuk melakukan tindakan karantina tahun 2010 - 2011 ... 26

6 Kondisi jarak IKH dari pelabuhan pemasukan, lalu lintas umum, peternakan sejenis, dan pemukiman penduduk ... 27

7 Penerapan biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa ... 33

8 Aspek lain-lain yang menggambarkan keadaan IKH sapi impor di Pulau Jawa……….. 37

9 Kategori tingkat biosekuriti IKH sapi impor di Pulau Jawa ... 39

10 Karakteristik dokter hewan menurut umur, jenis kelamin, lama bekerja, pernah menjadi tim studi kelayakan IKH, dan pelatihan yang pernah diikuti ... 42

11 Hubungan antara karakteristik, pengetahuan, dan sikap dokter hewan terhadap praktik mengenai biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa ... 47

12 Karakteristik paramedik menurut umur, jenis kelamin, pendidikan formal, lama bekerja, pernah menjadi tim studi kelayakan IKH dan pelatihan yang pernah diikuti ... 49

(15)

xx Halaman 1 Kerangka konsep penelitian ... 14

2 Rataan persentase skor pengetahuan dokter hewan mengenai

biosekuriti ... 43

3 Rataan persentase skor total pengetahuan, sikap, dan praktik

dokter hewan mengenai biosekuriti ... 44

4 Kategori tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik dokter hewan

terhadap biosekuriti ... 46

5 Rataan persentase skor pengetahuan paramedik mengenai

biosekuriti ... 50

6 Rataan persentase skor total pengetahuan, sikap, dan praktik

paramedik mengenai biosekuriti ... 51

7 Kategori tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik paramedik

(16)

xxi Halaman

1 Kuesioner untuk penilaian IKH ... 61

2 Checklist penilaian IKH ... 70

3 Kuesioner untuk dokter hewan ... 73

(17)

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara pengimpor khususnya sapi dalam jumlah yang cukup besar baik sapi bibit maupun sapi potong untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewani penduduknya. Importasi sapi yang ada saat ini sebagian besar adalah berasal dari negara Australia. Hal ini akan memiliki peluang risiko yang semakin besar terhadap masuk dan tersebarnya penyakit hewan di negara Indonesia. Data importasi sapi tahun 2010 yang diambil dari unit pelaksana teknis (UPT) karantina pertanian dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Data importasi sapi tahun 2010

No. Unit Pelaksana Teknis Jumlah (ekor)

1. Balai Besar Karantina Pertanian Belawan 34 870 2. Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta 1 005 3. Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya 12 660 4. Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok 273 587 5. Balai Karantina Pertanian Kelas I Jaya Pura 1 415 6. Balai Karantina Pertanian Kelas I Lampung 200 807 7. Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Cilacap 30 366 8. Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Pare-pare 2 169

Jumlah Total 556 879

Sumber: Barantan (2011).

(18)

cacing lainnya, sehingga diperlukan persyaratan tertentu agar sapi yang diimpor merupakan sapi yang sehat.

Untuk mencegah masuk, keluar, dan tersebarnya hama penyakit hewan karantina, pemerintah dan pihak lain dapat menyediakan instalasi karantina hewan (IKH) di dalam maupun di luar tempat pemasukan atau pengeluaran. Persyaratan dan tata cara penetapan IKH tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 34 Tahun 2006 dan Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 348 Tahun 2006.

Pengamatan dan pengawasan hewan selama masa karantina di IKH sangat penting untuk mendeteksi adanya penyakit hewan menular khususnya penyakit eksotik. Selain itu penerapan biosekuriti di IKH merupakan suatu tindakan yang perlu dilakukan untuk meminimalkan penyebaran penyakit baik pada hewan, manusia, dan lingkungan sekitar.

Biosekuriti adalah tindakan perlindungan dari efek yang merugikan dari organisme seperti agen penyakit dan hama yang membahayakan bagi manusia, hewan, tanaman dan lingkungan. Penerapan biosekuriti pada IKH sangat penting dan perlu dilakukan secara ketat karena hal ini untuk melindungi manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan termasuk industri (peternakan) dari ancaman masuknya organisme yang tidak diinginkan dan dapat merugikan. Biosekuriti mempunyai peranan antara lain mencegah penyebaran penyakit antar hewan, hewan ke petugas, dan petugas ke hewan, serta mencegah masuknya agen penyakit yang berasal dari lingkungan sekitar (Bowman & Shulaw 2001).

Biosekuriti yang baik dapat mengurangi jumlah kasus penyakit yang terjadi pada peternakan sapi antara lain paratuberculosis, mycoplasmosis, salmonellosis dan bovine viral diarrhea (Troxel 2002). Praktik biosekuriti mencakup sanitasi lingkungan, mengurangi kepadatan ternak di kandang, meminimalkan kontaminasi kotoran pada pakan dan minum, dan memisahkan ternak muda dengan dewasa, praktik biosekuriti ini dipengaruhi oleh sikap petugas terhadap program biosekuriti yang sudah ada (Benjamin et al. 2010).

(19)

mempengaruhi perilaku atau praktik biosekuriti petugas di IKH dan merupakan ancaman masuk dan tersebarnya agen penyakit yang dapat merugikan petugas, hewan dan dapat menimbulkan keluarnya agen penyakit dari instalasi ke lingkungan sekitarnya.

Rumusan Masalah

Karantina pertanian merupakan suatu institusi yang bertujuan untuk mencegah masuk dan tersebarnya hama dan penyakit hewan karantina (HPHK) melalui pengawasan yang ketat di pintu-pintu pemasukan dan pengeluaran yang telah ditetapkan. Pencegahan masuk dan tersebarnya HPHK ini dilakukan dengan pelaksanaan tindakan karantina yang terdiri dari pemeriksaaan, pengawasan, pengamatan, perlakuan, penolakan, penahanan, pemusnahan dan pembebasan. Salah satunya yaitu melakukan tindakan karantina di IKH yang sudah ditetapkan baik milik pemerintah ataupun milik swasta.

Unit pelaksana teknis Badan Karantina Pertanian saat ini memiliki beberapa IKH untuk sapi impor, begitu juga pihak swasta. UPT karantina pertanian yang memiliki kegiatan importasi sapi, antara lain Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Tanjung Priok, BBKP Soekarno-Hatta, BBKP Belawan, BBKP Surabaya, BKP Kelas I Lampung, Stasiun Karantina Pertanian (SKP) Kelas I Cilacap dan SKP Kelas I Pare-pare.

(20)

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui tingkat biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa.

2. Menganalisis hubungan karakteristik, pengetahuan, dan sikap terhadap praktik biosekuriti dokter hewan dan paramedik yang bertugas di IKH sapi impor di Pulau Jawa.

Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai manfaat antara lain:

1. Penelitian ini dapat dijadikan informasi mengenai penerapan biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa.

2. Memberikan informasi mengenai karakteristik, tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik biosekuriti dokter hewan dan paramedik pada IKH sapi impor di Pulau Jawa.

3. Sebagai masukan dalam rangka peningkatan sumber daya manusia karantina pertanian khususnya dokter hewan dan paramedik.

Hipotesis Penelitian Hipotesa dalam penelitian ini adalah:

1. Instalasi karantina hewan sapi impor di Pulau Jawa mempunyai tingkat biosekuriti dengan baik.

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Instalasi Karantina Hewan

Instalasi karantina hewan (IKH) adalah bangunan berikut peralatan, lahan dan sarana pendukung lainnya yang diperlukan sebagai tempat pelaksanaan tindakan karantina (Barantan 2006). Beberapa istilah dalam IKH antara lain: 1. Kandang adalah tempat atau bangunan berikut sarana penunjang yang ada

didalamnya yang berfungsi sebagai tempat pemeliharaan dan tempat melakukan tindakan pengamatan selama masa karantina yang mampu menampung ternak sesuai dengan kapasitasnya dan dilengkapi dengan tempat pakan dan minum serta ketinggian kandang yang memadai.

2. Kandang isolasi adalah kandang yang digunakan untuk melakukan tindakan pengamatan intensif dan tindakan perlakuan khusus terhadap sebagian hewan selama masa karantina. Kandang ini juga digunakan untuk menempatkan dan menangani ternak yang mengalami gangguan kesehatan.

3. Kandang jepit adalah sarana yang dipergunakan untuk melakukan penjepitan hewan guna mengurangi risiko cidera terhadap hewan maupun petugas serta memudahkan tindakan pemeriksaan dan perlakuan.

4. Gudang pakan adalah tempat penyimpanan pakan sebelum diberikan kepada ternak.

5. Ternak ruminansia besar adalah ternak piara (sapi dan kerbau) yang kehidupannya, perkembangbiakannya, serta manfaatnya diatur dan diawasi oleh manusia.

6. Pakan ternak adalah makanan ternak ruminansia besar yang berupa hijauan, bahan baku, maupun pakan jadi.

7. Paddock atau pen adalah bagian kandang yang dibatasi dengan pagar pembatas dan luas paddock/pen tergantung pada jumlah ternak yang akan ditempatkan di area tersebut.

(22)

9. Kandang paksa (forcing yard) adalah suatu fasilitas yang digunakan untuk menggiring dan memasukkan ternak ke dalam gang way.

10. Tempat bongkar dan muat ternak adalah fasilitas untuk menurunkan dan menaikkan ternak dari dan ke alat angkut

11. Alat angkut adalah angkutan darat dan sarana yang dipergunakan untuk mengangkut yang langsung berhubungan dengan ternak ruminansia besar. 12. Limbah adalah hasil buangan kandang yang berupa kotoran ternak, sisa

pakan, serta kotoran lainnya.

Klasifikasi Instalasi Karantina Hewan (IKH)

Instalasi karantina hewan berdasarkan kepemilikannya (Barantan 2006), yaitu:

1. IKH milik pemerintah yaitu bangunan berikut peralatan, lahan, dan sarana prasarana yang diperlukan sebagai tempat melaksanakan tindak karantina milik pemerintah.

2. Instalasi karantina hewan milik swasta yaitu bangunan berikut peralatan, lahan dan sarana prasarana yang diperlukan sebagai tempat melaksanakan tindak karantina milik pihak lain/swasta yang ditetapkan oleh Kepala Badan Karantina Pertanian yang telah memenuhi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis sesuai ketentuan

IKH berdasarkan waktu penggunaannya yaitu:

1. Intalasi karantina hewan permanen adalah instalasi yang dibangun oleh pemerintah atau pihak lain yang penggunaannya bersifat permanen.

2. Instalasi karantina hewan sementara adalah instalasi yang dibangun oleh pemerintah atau pihak lain yang penggunaannya bersifat sementara.

Biosekuriti

(23)

konsep yang menyeluruh dan secara langsung mendukung bidang pertanian, keamanan pangan dan perlindungan terhadap lingkungan, juga meliputi perlindungan terhadap bahaya pada gangguan yang menyebabkan kerusakan tumbuhan, gangguan, dan penyakit hewan serta zoonosis (Ditjenak 2010).

Menurut NASDA (2001), biosekuriti adalah tindakan yang sangat penting berupa strategi, usaha, rencana untuk melindungi kesehatan manusia, hewan dan lingkungan dari bahaya biologi. Selanjutnya menurut SEERAD (2006), biosekuriti adalah praktik manajemen yang potensial untuk mengurangi masuk dan menyebarnya penyakit hewan yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen masuk ke peternakan dan mencegah masuk dan tersebarnya penyakit hewan di antara peternakan.

Larson (2008) menyatakan bahwa biosekuriti adalah suatu tindakan untuk menjaga agar agen infeksius tidak masuk ke dalam suatu peternakan, negara atau wilayah. Tindakan ini juga bertujuan untuk mengendalikan penyebaran agen infeksius didalam suatu peternakan. Menurut Wagner et al. (2011) tujuan biosekuriti adalah untuk mengurangi risiko exposure (pendedahan) penyakit dan meningkatkan kekebalan terhadap penyakit ketika hewan terdedah (exposed) oleh agen penyakit.

(24)

infeksi pada hewan dapat menyebar dalam suatu peternakan melalui berbagai cara, antara lain melalui:

1. Hewan yang terinfeksi atau hewan sehat dalam masa inkubasi suatu penyakit sehingga tidak memperlihatkan gejala klinis.

2. Hewan yang sudah sehat setelah sembuh dari penyakit akan tetapi menjadi carriers.

3. Alat angkut, peralatan, pakaian, dan sepatu pengunjung atau pekerja yang menangani hewan di dalam peternakan.

4. Kontak dengan benda-benda yang terkontaminasi oleh agen penyakit. 5. Hewan mati yang tidak ditangani secara benar.

6. Tempat pakan, khususnya tempat pakan yang berisiko tinggi dapat terkontaminasi oleh feses.

7. Sumber air yang tidak baik.

8. Penanganan limbah kotoran ternak dan debu dari kotoran.

9. Adanya hewan lain (kuda, anjing, kucing, hewan liar, rodensia, burung dan serangga).

Buhman et al. (2007) menerangkan bahwa komponen utama biosekuriti adalah isolasi, kontrol lalu lintas dan sanitasi.

1. Isolasi merupakan suatu tindakan untuk mencegah kontak diantara hewan pada suatu area atau lingkungan. Tindakan yang paling penting dalam pengendalian penyakit adalah meminimalkan pergerakan hewan dan kontak dengan hewan yang baru datang. Tindakan lain yaitu memisahkan ternak berdasarkan kelompok umur atau kelompok produksi. Fasilitas yang digunakan untuk tindakan isolasi harus dalam keadaan bersih dan didisinfeksi.

(25)

kontaminasi pada hewan, pakan, dan peralatan yang digunakan. Alat angkut dan petugas tidak boleh keluar dari area penanganan hewan yang mati tanpa melakukan pembersihan (cleaning) dan disinfeksi terlebih dahulu.

3. Sanitasi merupakan tindakan pencegahan terhadap kontaminasi yang disebabkan oleh feses. Kontaminasi feses dapat masuk melalui oral pada hewan (fecal-oral cross contamination). Kontaminasi ini dapat terjadi pada peralatan yang digunakan seperti tempat pakan dan minum. Langkah pertama tindakan sanitasi adalah untuk menghilangkan bahan organik terutama feses. Bahan organik lain yaitu darah, saliva, sekresi dari saluran pernafasan, dan urin dari hewan yang sakit atau hewan yang mati. Semua peralatan yang digunakan khususnya tempat pakan dan minum harus di bersihkan dan didesinfeksi untuk mencegah kontaminasi.

Menurut Barrington et al. (2006), tindakan umum yang dilakukan dalam program biosekuriti adalah:

1. Mengawasi keluar masuknya hewan.

2. Mencegah kontak dengan hewan atau hewan liar.

3. Secara rutin membersihkan dan mendisinfeksi sepatu, pakaian, dan peralatan yang dipakai ketika menangani hewan.

4. Mencatat pengunjung, hewan, dan peralatan yang masuk dan keluar.

Pada suatu peternakan penyebaran penyakit dapat terjadi sangat komplek hal ini dapat disebabkan akibat kepadatan populasi dalam suatu kandang, spesies atau bangsa hewan, dan sistem sanitasi pada peternakan tersebut, sehingga pengembangan biosekuriti sangat penting guna mencegah masuk dan tersebarnya penyakit yang merugikan (Steenwinkel et al. 2011). Biosekuriti pada peternakan dapat meliputi sanitasi peternakan, pagar pelindung, pengawasan yang ketat lalu lintas pengunjung dan kendaraan, menghindari kontak dengan hewan liar, mempunyai fasilitas bangunan yang memadai, penerapan karantina dan menerapkan sistem tata cara penggantian stok hewan (Casal et al. 2007).

(26)

yang buruk, sanitasi dan higiene yang buruk, kondisi pakan yang tidak baik, serta kondisi kelembaban di dalam peternakan yang buruk.

Pengetahuan

Pengetahuan mempunyai enam tingkatan yaitu mengetahui, memahami, menggunakan, menguraikan, menyimpulkan, dan mengevaluasi. Ciri pokok pengetahuan adalah ingatan tentang sesuatu yang diketahui baik melalui pengalaman, belajar, maupun berupa informasi yang didapat dari orang lain (Manggarsari 2011). Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan terdiri dari berbagai jenis yaitu: 1) pengetahuan umum atau biasa, 2) pengetahuan ilmu, 3) pengetahuan agama, 4) pengetahuan filsafat, dan 5) pengetahuan seni.

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba. Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo 2007).

(27)

Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan/praktik atau perilaku. Suatu sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan. Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata/praktik diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas (Ali 2003). Sikap dan praktik dari seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki orang tersebut. Dalam hal ini adanya informasi dapat mengubah sikap dan pada akhirnya akan menyebabkan perubahan dalam perilaku.

Praktik

Praktik atau tindakan atau disebut juga perilaku, merupakan reaksi nyata seseorang terhadap objek, misalnya mencuci tangan sebelum dan sesudah menangani hewan yang sakit. Zahid (1997) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara sikap dan perilaku, namun keberadaan hubungan ini ditentukan oleh kespesifikan sikap, kekuatan sikap, kesadaran pribadi, dan norma-norma subyektif yang mendukung.

Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap, dan Praktik

(28)

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan dari bulan Desember 2011 sampai dengan Maret 2012. Penelitian dilakukan pada IKH sapi impor milik pemerintah dan swasta yang berada di Pulau Jawa yaitu BBKP Tanjung Priok, BBKP Soekarno-Hatta, BBKP Surabaya, dan SKP Kelas I Cilacap. Perancangan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Epidemiologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Kerangka Konsep Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa peubah penelitian antara lain karakteristik, pengetahuan, dan sikap petugas IKH (dokter hewan dan paramedik) terhadap sanitasi, isolasi, dan lalu lintas di IKH yang dapat mempengaruhi praktik biosekuriti petugas IKH selama melakukan tindakan karantina. Selain itu kondisi IKH yang meliputi lokasi dan fasilitas dapat juga mempengaruhi tingkat biosekuriti di IKH. Kerangka konsep penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat pada Gambar 1.

(29)

Gambar 1 Kerangka konsep penelitian.

Untuk praktik biosekuriti baik responden dokter hewan dan paramedik terdiri dari tiga komponen yaitu sanitasi, isolasi, dan lalu lintas. Komponen tersebut meliputi:

1. Sanitasi

a) Melakukan cuci tangan sebelum dan setelah menangani hewan yang sakit menggunakan disinfektan.

b) Memakai sepatu khusus/bot pada saat masuk kandang dan melakukan dipping sepatu pada disinfektan.

c) Penggunaan disinfektan.

d) Memakai pakaian khusus (cattle pack) pada saat masuk ke kandang. e) Menggunakan peralatan yang steril selama melakukan tindakan

karantina.

f) Kandang senantiasa dibersihkan dengan disinfektan. g) Tempat pakan senantiasa dibersihkan dengan disinfektan. h) Tempat minum senantiasa dibersihkan dengan disinfektan.

KONDISI IKH (LOKASI, FASILITAS)

BIOSEKURITI IKH KARAKTERISTIK

PETUGAS IKH:  UMUR

 JENIS KELAMIN  PENDIDIKAN

FORMAL

 LAMA BEKERJA  PELATIHAN

PENGETAHUAN PETUGAS IKH

SIKAP PETUGAS IKH

(30)

i) Peralatan kandang senantiasa dibersihkan dengan disinfektan.

j) Tempat penyimpanan pakan yang senantiasa dibersihkan secara rutin.

2. Isolasi

a) Perlakuan terhadap hewan yang sakit. b) Tindakan terhadap hewan yang baru masuk. c) Tindakan terhadap hewan yang sehat. d) Perlakuan terhadap hewan yang mati. e) Penanganan terhadap kotoran hewan. 3. Lalu lintas

a) Tindakan terhadap lalu lintas kendaraan dan pengunjung. b) Perlakuan terhadap lalu lintas peralatan.

c) Perlakuan terhadap lalu lintas pakan.

d) Tindakan terhadap rodensia, serangga, burung liar, dan hewan lain.

Disain Penelitian

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara terhadap petugas IKH (dokter hewan dan paramedik) yang pernah melakukan tindakan karantina terhadap sapi impor di IKH dan observasi pada IKH pemerintah dan swasta. Wawancara dilakukan menggunakan kuesioner dan observasi dilakukan menggunakan checklist. Kuesioner digunakan untuk mengukur tingkat pengetahuan, sikap dan praktik dari responden. Pada penelitian ini dilakukan dua penilaian yaitu:

1. Penilaian IKH.

Penilaian ini dilakukan dengan cara mengukur tingkat biosekuriti IKH yang dilihat dari lokasi, sarana dan prasarana yang terdapat di IKH sapi impor di Pulau Jawa sebagai penunjang penerapan biosekuriti. Penilaian ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan checklist.

2. Penilaian tentang Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Petugas IKH.

(31)

Sebelum digunakan dalam penelitian, kuesioner terlebih dahulu di uji melalui pre-test kuesioner yang bertujuan untuk menghitung estimasi waktu wawancara dan melihat tingkat kesulitan dari pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner. Setelah itu dilakukan validasi kuesioner untuk melihat kelayakan kuesioner sebagai alat untuk penelitian.

Sampel Penelitian

Kriteria sampel IKH pada penelitian ini adalah IKH sapi impor yang berada di Pulau Jawa dan masih digunakan baik milik pemerintah maupun milik swasta. Sedangkan untuk kriteria sampel responden adalah dokter hewan dan paramedik yang pernah melakukan tindakan karantina di IKH sapi impor baik milik pemerintah dan juga milik swasta. Tindakan karantina adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencegah hama penyakit hewan karantina masuk, tersebar dan atau keluar dari IKH. Pada penelitian ini sampel yang digunakan yaitu:

1. Untuk menilai IKH diambil dari IKH sapi impor yang ada di pulau Jawa baik milik pemerintah maupun milik swasta. Jumlah IKH yang diambil pada penelitian ini yaitu 2 IKH milik pemerintah dan 14 IKH milik swasta yang terdapat di Pulau Jawa.

2. Untuk menilai tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik petugas IKH, jumlah responden yang diambil yaitu dokter hewan pemerintah berjumlah 40 dan paramedik pemerintah berjumlah 58 yang berasal dari empat Unit Pelaksana Teknis (UPT) Karantina Pertanian yang memiliki IKH sapi impor di Pulau Jawa. Sedangkan jumlah responden dokter hewan dan paramedik swasta masing-masing berjumlah 14. Untuk dokter hewan dan paramedik pemerintah diambil dari data distribusi pegawai dokter hewan dan paramedik yang sudah fungsional pada unit kerja Badan Karantina Pertanian Tahun 2011. Jumlah responden dipilih secara acak di setiap UPT dan besaran sampel yang diambil pada setiap UPT adalah proporsional terhadap jumlah petugas yang ada di setiap masing-masing UPT.

(32)

Leslie 2007). Prevalensi pada penelitian ini merupakan prevalensi dugaan responden yang mempunyai tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik terhadap biosekuriti yang baik. Besaran sampel dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.

Tabel 2 Jumlah besaran sampel dokter hewan pemerintah

No Unit Pelaksana Teknis Besaran Sampel

1 BBKP Tanjung Priok 14

2 BBKP Soekarno-Hatta 10

3 BBKP Surabaya 12

4 SKP Kelas I Cilacap 4

Jumlah 40

Tabel 3 Jumlah besaran sampel paramedik pemerintah

No Unit Pelaksana Teknis Besaran Sampel

1 BBKP Tanjung Priok 13

2 BBKP Soekarno-Hatta 13

3 BBKP Surabaya 25

4 SKP Kelas I Cilacap 7

Jumlah 58

Pembobotan dan Penilaian Kuesioner

Pembobotan dan penilaian kuesioner pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penilaian Tingkat Pengetahuan

Penilaian tingkat pengetahuan petugas IKH dilakukan dengan membuat 20 pertanyaan mengenai biosekuriti di IKH. Responden diberikan pilihan “benar”, “salah”, dan “tidak tahu” (Hart et al. 2007). Setiap jawaban yang benar diberikan nilai “1” dan jawaban yang salah serta tidak tahu diberikan nilai “0” (Palaian et al. 2006). Skor nilai dari pengetahuan ini mempunyai kisaran nilai 0-20. Pembagian kategori tingkat pengetahuan yaitu dilakukan dengan membagi tiga selisih antara skor total maksimal dengan skor minimal. Hasil pembagian tersebut kemudian dijadikan selang untuk kategori tingkat pengetahuan.

(33)

Penilaian skor pengetahuan = Nilai maksimum - Nilai minimum 3

= 20 - 0 = 6,67 3

Tingkat pengetahuan “baik” bila skor jawaban responden mencapai lebih besar dari 14, tingkat pengetahuan “cukup” bila skor jawaban responden antara 7-14 dan tingkat pengetahuan “kurang” bila skor jawaban lebih kecil dari 7 (Siahaan 2007). Penilaian pengetahuan biosekuriti responden juga dilakukan dengan menggunakan rataan persentase skor pengetahuan yang diperoleh. Pengetahuan “baik” jika rataan persentase skor pengetahuan responden lebih besar sama dengan 50% dan pengetahuan “kurang” jika rataan persentase skor pengetahuan responden lebih kecil dari 50% (Bas et al. 2006).

2. Penilaian Tingkat Sikap

Penilaian tingkat sikap responden dilakukan dengan membuat sebanyak 20 pertanyaan mengenai biosekuriti di IKH. Responden diberikan pilihan “Tidak Setuju”, “Ragu-ragu” dan “Setuju” (Bas et al. 2006). Nilai untuk jawaban tidak setuju=1, ragu-ragu=2, dan setuju=3. Skor nilai dari sikap ini mempunyai kisaran nilai 20-60. Pembagian kategori tingkat sikap yaitu dilakukan dengan membagi 3 selisih antara skor total maksimal dengan skor minimal. Hasil pembagian tersebut kemudian dijadikan selang untuk menentukan kategori tingkat sikap.

Penilaian skor pengetahuan = Nilai maksimum - Nilai minimum 3

= 60 - 20 = 13,33 3

Tingkat sikap “baik” bila skor jawaban responden mencapai lebih besar dari 46, tingkat sikap “cukup” bila skor jawaban responden antara 33-46 dan tingkat sikap “kurang” bila skor jawaban lebih kecil dari 33.

(34)

3. Penilaian Tingkat Praktik

Penilaian tingkat praktik responden terhadap biosekuriti di IKH dilakukan dengan membuat 14 pertanyaan mengenai praktik biosekuriti untuk dokter hewan dan 22 pertanyaan untuk paramedik. Pembobotan diberikan pada jawaban yang sesuai diberi nilai “1” dan yang kurang sesuai diberi nilai “0”. Sehingga kisaran nilai untuk praktik biosekuriti dokter hewan ini antara 0-14 dan kisaran nilai untuk paramedik antara 0-22. Pembagian kategori tingkat praktik dokter hewan dilakukan dengan membagi 3 selisih antara skor total maksimal dengan skor minimal. Tingkat praktik “baik” bila skor jawaban responden mencapai lebih besar dari 10, tingkat praktik “cukup” bila skor jawaban responden antara 5-10 dan tingkat praktik “kurang” bila skor jawaban lebih kecil dari 5. Pembagian kategori tingkat praktik paramedik juga dilakukan dengan membagi 3 selisih antara skor total maksimal dengan skor minimal. Tingkat praktik “baik” bila skor jawaban responden mencapai lebih besar dari 14, tingkat praktik “cukup” bila skor jawaban responden antara 7-14 dan tingkat praktik “kurang” bila skor jawaban lebih kecil 7. 4. Penilaian Biosekuriti IKH

(35)

dijadikan selang untuk membagi kategori tingkat biosekuriti. Hasil pembagian kategori tersebut yaitu: (1) biosekuriti baik jika skor lebih besar dari 56, (2) biosekuriti cukup jika skor antara 28–56, dan (3) biosekuriti kurang jika skor lebih kecil dari 28.

Definisi Operasional

Penelitian ini memiliki beberapa peubah yang didefinisikan dalan definisi operasinal yang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Definisi operasioanal peubah penelitian

Peubah Penelitian

Definisi Operasional Alat Ukur Cara Pengukuran

Skala Pengukuran Umur Usia responden yaitu

dokter hewan dan paramedik yang pernah melakukan tindakan karantina sapi impor di IKH.

Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = < 30

Kuesioner Wawancara Nominal 1 =

Laki-Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = < 1`

Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = SMU, 2 = STPP, 3 = SPP, 4 = Lain-lain (D3, S1, S2) Pelatihan Pelatihan yang pernah

diikuti mengenai IKH dan biosekuriti.

(36)

Peubah Penelitian

Definisi Operasional Alat Ukur Cara Pengukuran

Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Ya akibat importasi sapi.

Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Benar

Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Benar

Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Tidak

(37)

Peubah Penelitian

Definisi Operasional Alat Ukur Cara Pengukuran

(38)

Peubah Penelitian

Definisi Operasional Alat Ukur Cara Pengukuran

(39)

Peubah Penelitian

Definisi Operasional Alat Ukur Cara Pengukuran

Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Ya

Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak

Analisis Data

(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Instalasi Karantina Hewan Sapi Impor

Instalasi karantina hewan (IKH) merupakan suatu bangunan berikut peralatan dan bahan serta sarana pendukung yang diperlukan sebagai tempat untuk melakukan tindakan karantina. Instalasi karantina hewan harus memenuhi persyaratan teknis baik lokasi, konstruksi, sistem drainase, kelengkapan sarana dan prasarana. Penetapan lokasi berkaitan dengan analisis risiko penyebaran hama penyakit, peta situasi hama penyakit hewan, kesejahteraan hewan, sosial budaya dan lingkungan serta jauh dari lokasi budidaya hewan lokal.

Kontruksi bangunan instalasi harus kuat dan memenuhi persyaratan sehingga dapat menjamin keamanan media pembawa, petugas ataupun pekerja. IKH harus dilengkapi dengan sarana penunjang yang mudah dibersihkan dan disucihamakan serta memiliki sistem drainase dan sarana pembuangan limbah yang baik. Hal ini untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan oleh limbah dan menghindari kemungkinan penyebaran hama penyakit hewan karantina. Persyaratan dan tata cara penetapan IKH tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 34 Tahun 2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara Penetapan IKH dan Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 348 Tahun 2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis IKH Untuk Ruminansia Besar.

Pada Tabel 5 dapat dilihat IKH milik pemerintah dan swasta yang terdapat di Pulau Jawa. IKH di Pulau Jawa yang masih digunakan terdapat di wilayah kerja BBKP Tanjung Priok, BBKP Soekarno-Hatta, BBKP Surabaya dan SKP Kelas I Cilacap. Instalasi Karantina Hewan milik swasta mempunyai jumlah lebih banyak dibandingkan dengan IKH milik pemerintah (Tabel 5).

(41)

Tabel 5 Instalasi karantina hewan sapi impor di Pulau Jawa yang masih digunakan untuk melakukan tindakan karantina tahun 2010-2011

No. Unit Pelaksana Teknis IKH Pemerintah IKH Swasta

1. BBKP Tanjung Priok Tidak ada 8

2. BBKP Soekarno-Hatta Tidak ada 4

3. BBKP Surabaya 1 1

6. SKP Kelas I Cilacap 1 1

Jumlah 2 14

Penilaian Kondisi IKH

Penilaian IKH pada penelitian ini antara lain mencakup lokasi dan tindakan biosekuriti yang dilakukan di IKH. Penilaian lokasi meliputi: (1) jarak IKH dari pelabuhan pemasukan, (2) jarak lalu lintas umum dengan IKH, (3) jarak IKH dengan peternakan sejenis, (4) jarak IKH dengan pemukiman penduduk, dan (5) tinggi pagar keliling IKH. Untuk penilaian biosekuriti aspek yang dilihat adalah: (1) tempat pembuangan akhir limbah, (2) fasilitas kandang isolasi khusus, (3) jarak kandang isolasi dengan kandang pemeliharaan/pengamatan, (4) sumber air untuk keperluan IKH, (5) desinfeksi kendaraan yang keluar masuk IKH, (6) desinfeksi pengunjung yang keluar masuk IKH, (7) sarana alat angkut dan peralatan, (8) pengendalian rodensia, (9) pengendalian serangga, (10) pengendalian burung liar, dan (11) pengendalian hewan lain. Penilaian lainnya yang dilakukan yaitu: (1) fasilitas tempat khusus pembuangan sisa peralatan medis, (2) penyakit yang pernah terdeteksi di IKH, dan (3) keluhan masyarakat tentang keberadaan IKH. Pada penelitian ini telah dilakukan penilaian terhadap 16 IKH yang terdiri dari 2 IKH milik pemerintah dan 14 IKH milik swasta. IKH yang digunakan untuk penilaian adalah IKH yang masih layak sebagai tempat untuk melakukan tindakan karantina terhadap sapi impor. Hasil penilaian kondisi IKH dapat dilihat dibawah ini:

Lokasi

(42)

akan mempengaruhi aspek kesejahteraan hewan. Menurut Fisher et al. (2009), transportasi dapat mempengaruhi kesejahteraan hewan diantaranya adalah:

1. Penanganan (handling), bongkar muat (loading), kenyamanan alat angkut, dan pengalaman petugas dapat mempengaruhi respon psikologi stres hewan. 2. Ketersediaan pakan dan minum selama transportasi (dengan

memperhitungkan jarak tempuh), ruang gerak (berdiri, berbaring, menjaga keseimbangan tubuh) dapat mempengaruhi psikologi dan kondisi hewan (kelelahan).

3. Suhu dan kondisi alat angkut selama perjalanan serta kondisi jalan.

Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa sebanyak 56,2% IKH mempunyai jarak kurang dari 100 km, namun masih terdapat IKH yang berjarak lebih dari 100 km (43,8%). Menurut pedoman yang ada bahwa jarak IKH maksimal adalah 100 km atau menempuh jarak kurang lebih 3 jam perjalanan dari pelabuhan pemasukan (Barantan 2006). Aspek jarak ini sangat penting, karena jika dalam importasi sapi tidak terdeteksi penyakit atau hewan sehat namun dalam keadaan subklinis terhadap suatu penyakit atau hewan bersifat carrier penyakit tertentu, risiko masuk dan penyebaran penyakit akan semakin besar. Penyebaran penyakit ini dapat terjadi sepanjang perjalanan dari pelabuhan pemasukan sampai ke IKH.

Tabel 6 Kondisi jarak IKH dari pelabuhan pemasukan, lalu lintas umum, peternakan sejenis, dan pemukiman penduduk

Lokasi IKH Jumlah %

Jarak IKH dari pelabuhan pemasukan <100 km 9 56,2 Jarak IKH dari lalu lintas umum >100 m 14 87,5 Jarak IKH dari peternakan sejenis >500 m 7 43,8 Jarak IKH dari pemukiman penduduk >500 m 8 50,0

(43)

Pergerakan hewan dari suatu tempat akan menimbulkan risiko penyebaran penyakit, beberapa penyakit seperti bovine tuberculosis dan penyakit mulut dan kuku (PMK) merupakan penyakit yang penyebarannya dapat disebabkan oleh pergerakan hewan dari satu tempat ke tempat lain. Wabah penyakit PMK pernah terjadi pada awal tahun 2001 di United Kingdom akibat pergerakan hewan dari suatu tempat ke tempat lain (Brennan et al. 2008).

Kondisi selama perjalanan akan mempengaruhi respon psikologi hewan. Jika kondisi selama perjalanan dapat dijaga dengan baik dan optimal, seperti: cara mengemudi, kondisi jalan, kelayakan alat transportasi, jarak antar hewan, kondisi suhu dan ventilasi, kondisi hewan (tidak ada gejala klinis penyakit, luka, atau kondisi psikologi hewan yang dapat mempengaruhi hewan selama perjalanan), dan penanganan hewan sebelum dan sesudah ditransportasikan, dapat memungkinkan hewan ditransportasikan dalam jarak jauh. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi transportasi hewan antara lain: jarak antar hewan didalam alat angkut, cara mengemudi (frekuensi mengerem, banyaknya belokan yang dilalui selama perjalanan), dan kondisi jalan yang dilalui. Kondisi tersebut akan mempengaruhi kemampuan hewan untuk menjaga keseimbangan dan posisi berbaring (Cockram 2007).

Jarak lalu lintas umum dengan lokasi IKH sesuai pedoman yang ada yaitu minimal 100 meter. Pada Tabel 6 dapat dilihat sebanyak 87,5% jarak IKH dengan lalu lintas umum sudah sesuai pedoman yang ada, namun masih terdapat 2 IKH (12,5%) yang mempunyai jarak dengan lalu lintas umum kurang dari 100 meter. Jarak merupakan faktor risiko penyebaran penyakit yang perlu diperhatikan. Lokasi IKH yang berdekatan dengan lalu lintas umum akan meningkatkan kemungkinan penyebaran penyakit akibat adanya lalu lintas hewan yang akan melewati IKH tersebut. Hal ini meningkatkan risiko adanya penyebaran penyakit ke area IKH jika hewan yang melewati IKH tersebut ada yang terinfeksi penyakit menular. Penyebaran penyakit juga dapat disebabkan oleh alat angkut yang terkontaminasi oleh agen penyakit.

(44)

ada IKH yang berjarak kurang dari 500 meter yaitu sebanyak 56,2%. Dari hasil observasi terdapat IKH yang didirikan berdekatan dengan peternakan sejenis yaitu peternakan untuk penggemukan dan pembibitan. Selain itu ada juga IKH yang disatukan dengan kandang penggemukan dan pembibitan. Hal ini dikarenakan terbatasnya lahan dan anggaran untuk mendirikan IKH sedangkan importir sudah memiliki fasilitas kandang permanen untuk penggemukan maupun pembibitan.

Jarak IKH yang berdekatan dengan peternakan sejenis memungkinkan terjadinya penularan penyakit akibat pergerakan hewan yang terdapat di area IKH. Pergerakan hewan dan kontak dengan agen penyakit ini tergantung dari jenis peternakan, luas peternakan, dan populasi hewan di dalam peternakan (Brennan et al. 2008).

Jarak yang berdekatan dengan lokasi peternakan lain akan berpeluang terjadinya penyebaran penyakit. Menurut Le et al. (2008), satu peternakan dengan peternakan sejenis dan peternakan lain jenis perlu dipisahkan dan dibuat jarak untuk mengendalikan penyebaran penyakit, seperti malignant cattarhal fever (MCV).

Jarak IKH dengan pemukiman penduduk harus lebih dari 500 meter. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa IKH yang ada sebanyak 50% sudah berjarak lebih dari 500 meter dari pemukiman penduduk, namun demikian masih terdapat IKH yang lokasinya berdekatan dengan pemukiman penduduk yaitu kurang dari 500 meter sebanyak 50%. Instalasi karantina hewan merupakan tempat pengasingan dan pengamatan hewan terhadap kondisi kesehatan hewan dan mencegah penyakit menyebar diantara hewan dan ke lingkungan sekitar. Biosekuriti yang tidak maksimal pada IKH akan berisiko menyebarkan penyakit ke lingkungan sekitar. Jarak IKH yang berdekatan dengan pemukiman penduduk akan menimbulkan dampak negatif seperti pencemaran air, bau, lalat dan gangguan kesehatan masyarakat khususnya penyakit zoonotik.

(45)

Penyebaran penyakit infeksi hewan dapat terjadi dengan berbagai cara antara lain melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi, feses, insekta, atau vektor pembawa penyakit, partikel aerosol, dan melalui cara venereal route (saat kawin). Penyebaran lain yaitu melalui kontak tidak langsung diantaranya terdedah oleh peralatan yang terkontaminasi, kendaraan, alat angkut hewan, pakaian, sepatu bot atau tangan (Wagner et al. 2011).

Permasalahan akan timbul akibat adanya lokasi IKH yang berdekatan dengan lokasi penduduk, diantaranya adalah bau, lalat dan pencemaran air. Permasalahan ini timbul akibat limbah kotoran hewan yang tidak ditangani secara baik. Kotoran hewan (feses) merupakan media yang dapat menularkan penyakit. Paratuberkulosis merupakan penyakit zoonotik yang dapat ditularkan melalui feses. Di dalam feses terutama yang cair, bakteri ini dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang relatif lama tergantung dengan kondisi lingkungan. Pakan dan air yang tercemar oleh feses merupakan sumber infeksi bagi ternak yang lain, terutama ternak–ternak yang masih muda.

Susu dari induk yang terinfeksi oleh M. paratuberculosis akan semakin banyak mensekresikan bakteri ini seiring dengan tingkat keparahan penyakit atau dapat juga melalui puting yang tercemar feses yang mengandung bakteri ini, sehingga ternak yang menyusu akan terinfeksi. Padang pengembalaan atau padang rumput juga bisa tercemar dan dapat sebagai sumber infeksi, hal ini bisa terjadi jika dialiri dengan air yang telah tercampur dan terkontaminasi oleh feses hewan terinfeksi. Praktik manajemen yang perlu dilakukan untuk mengendalikan Paratuberkulosis diantaranya sanitasi area peternakan, mengurangi kepadatan ternak, meminimalkan kontaminasi kotoran (feses) pada pakan dan sumber air minum, dan memisahkan hewan yang muda dengan hewan yang tua (Benjamin et al. 2010).

(46)

dapat dipindahkan oleh lalat Tabanidae. Penularan penyakit ini melalui darah dan sering juga akibat praktik manajemen di peternakan (injection, dehorning, tattooing, tagging dan pregnancy checking) (Kidwell 2008).

Observasi yang dilakukan selama penelitian didapatkan bahwa pada umumnya 75% pagar IKH sapi impor yang terdapat di Pulau Jawa mempunyai tinggi lebih dari 2 meter. Pagar merupakan pelindung terhadap lingkungan luar. Pagar IKH didirikan sebagai tindakan isolasi agar penyebaran penyakit tidak dapat masuk ke dalam IKH dan sebaliknya agen penyakit tidak dapat keluar IKH. Pagar juga berfungsi sebagai sarana kontrol lalu lintas hewan dan pengunjung supaya tidak bebas keluar masuk ke dalam area IKH.

Lokasi IKH yang akan didirikan harus dikoordinasikan dengan pemerintah daerah setempat untuk mendapatkan ijin rekomendasi pendirian IKH. Sebelum IKH didirikan terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain: status penyakit daerah setempat, letak geografis, iklim, air, tanah dan lingkungan sekitar. Instalasi karantina hewan yang akan didirikan harus memperhatikan jarak dari pelabuhan pemasukan, hal ini berhubungan dengan kesejahteraan hewan pada saat hewan ditransportasikan dari pelabuhan tempat pemasukan ke IKH. Lokasi IKH yang jauh akan menyebabkan perjalanan memakan waktu tempuh yang panjang sehingga akan mempengaruhi kondisi hewan. Penyakit akan muncul akibat adanya transportasi hewan. Munculnya penyakit ini ditunjang oleh kesejahteraan hewan yang kurang mendapat perhatian selama perjalanan. Kesejahteraan hewan yang kurang mendapat perhatian selama perjalanan akan menurunkan sistem kekebalan tubuh hewan yang akan berakibat terpaparnya hewan oleh agen infeksius. Kondisi stres pada hewan selama dalam perjalanan akan meningkatkan pengeluaran agen patogen oleh hewan yang terinfeksi melalui sekresi hidung, aerosol (sistem pernafasan) dan feses. Pengeluaran agen patogen ini (shedding) dapat mengkontaminasi alat angkut, peralatan, dan daerah yang dilewati sepanjang perjalanan (EFSA 2004).

(47)

daerah asal, (2) hanya hewan yang sehat yang diijinkan melakukan perjalanan, (3) melakukan pengujian klinis terhadap hewan yang akan ditransportasikan dan (4) melakukan tindakan biosekuriti yaitu cleaning dan disinfeksi alat angkut dan peralatan yang digunakan.

Tindakan Biosekuriti di IKH

Biosekuriti adalah semua tindakan yang merupakan pertahanan pertama untuk pengendalian wabah dan dilakukan untuk mencegah semua kemungkinan kontak/penularan dengan peternakan tertular dan penyebaran penyakit (Ditjenak 2007). Tujuan utama penerapan biosekuriti adalah untuk menghentikan masuknya penyakit dan penyebaran penyakit dengan cara mencegah, mengurangi atau mengendalikan kontaminasi silang dari media pembawa yang dapat menularkan agen penyakit (feses, urine, saliva, sekresi dari alat pernapasan dan lain-lain).

Praktik manajemen biosekuriti dibuat untuk mencegah penyebaran penyakit dengan meminimalkan perjalanan atau perluasan agen penyakit dan vektor (rodensia, lalat, nyamuk, kutu, caplak dan lain-lain) di dalam suatu area peternakan. Biosekuriti merupakan cara yang murah, paling efektif untuk pengendalian penyakit dan tidak akan ada program pencegahan penyakit yang berjalan dengan baik tanpa adanya penerapan biosekuriti.

Tabel 7 memperlihatkan bahwa sebanyak 43,8% IKH sudah memiliki fasilitas kandang isolasi, namun masih ada IKH yang tidak menyediakan fasilitas kandang isolasi khusus yaitu sebanyak 56,2%. Hal ini dikarenakan keterbatasan anggaran yang tersedia. Hasil observasi diperoleh bahwa IKH yang tidak memiliki kandang isolasi khusus menggunakan kandang pemeliharaan sebagai kandang isolasi sehingga menghemat anggaran yang ada.

(48)

Tabel 7 Penerapan biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa

Penerapan biosekuriti Jumlah %

Tersedianya fasilitas kandang isolasi 7 43,8 Jarak kandang isolasi dengan kandang pemeliharaan >25 m 13 81,2 Tersedianya tempat/penampungan pembuangan akhir limbah 15 93,8 Sumber air IKH berasal dari air sumur 12 75,0 Perlakuan desinfeksi kendaraan yang keluar masuk IKH 6 37,5 Perlakuan desinfeksi pengunjung yang keluar masuk IKH 14 87,5 Tersedianya fasilitas sarana alat angkut pakan 15 93,8 Terdapat pengendalian rodensia di IKH 10 62,5 Terdapat pengendalian serangga di IKH 12 75,0 Terdapat pengendalian burung liar di IKH 0 0,00 Terdapat pengendalian hewan lain di IKH 13 81,2

Tindakan isolasi terhadap hewan sakit merupakan tindakan biosekuriti yang dapat mengurangi risiko penyebaran penyakit diantara hewan. Kandang isolasi harus dibuat terpisah dari kandang pemeliharaan. Pakaian (cattle pack/coveralls) dan sepatu bot yang dipakai untuk menangani hewan di kandang isolasi tidak boleh dipakai pada saat menangani hewan sehat. Jika fasilitas kandang isolasi tidak memungkinkan dibuat, dapat digunakan pen (kandang pemeliharaan) terpisah dari kandang hewan sehat. Selain itu pakan yang digunakan tidak boleh kontak dengan hidung (nose-to-nose contact) dan pakan serta air minum yang digunakan harus terpisah dengan hewan yang sehat ( Bowman & Shulaw 2001). Penempatan hewan pada kandang isolasi khusus juga bertujuan untuk meminimalkan pergerakan hewan sakit sehingga meminimalkan penyebaran penyakit (Buhman et al. 2007).

(49)

Sumber air merupakan kebutuhan yang harus tersedia dengan cukup. Sumber air yang digunakan untuk keperluan IKH harus bersih dan bebas dari kontaminasi agen penyakit dan bahan-bahan yang berbahaya khususnya untuk hewan. Media yang mungkin dapat menyebarkan penyakit melalui air adalah feses, oleh sebab itu, tindakan sanitasi harus terus ditingkatkan guna memaksimalkan tindakan biosekuriti. Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa IKH pada umumnya menggunakan air sumur sebagai sumber air untuk kebutuhan kegiatan IKH (75%), air ledeng/PAM sekitar 6,2%, namun demikian masih ada IKH yang menjadikan sungai sebagai sumber air (18,8%). Hal ini tidak menutup kemungkinan air sungai tersebut terkontaminasi oleh agen penyakit dan bahan-bahan yang berbahaya.

Sumber air mempunyai pengaruh terhadap kualitas air yang digunakan pada suatu peternakan. Masalah kualitas air diantaranya yaitu konsentrasi mineral dan garam yang tinggi, kandungan nitrogen yang tinggi, kontaminasi bahan kimia, kontaminasi bakteri dan perkembangan alga. Bakteri, virus, dan parasit pada unumnya dapat ditemukan pada kolam dan air permukaan yang memungkinkan terkontaminasi feses dan mudah dijangkau oleh hewan. Agen patogen sangat berbahaya jika mengkontaminasi persediaan air pada suatu peternakan. Agen patogen ini akan menimbulkan masalah kesehatan dan menurunkan produktivitas hewan. Sumber air yang terkontaminasi akan dapat menyebarkan agen patogen di area peternakan dengan cepat (disease-causing agent). Leptospirosis merupakan salah satu penyakit yang dapat menginfeksi hewan dan menyebar dengan cepat akibat sumber air yang terkontaminasi. Selain itu kandungan coliform akan banyak ditemukan pada air kolam yang dapat di jangkau oleh hewan. coliform merupakan bakteri normal yang ada didalam saluran pencernaan hewan dan manusia yang dapat mencemari sumber air (Parish & Rhinehart 2008).

(50)

Disinfeksi merupakan salah satu tindakan sanitasi untuk meminimalkan dan mencegah kontaminasi terutama feses terhadap alat angkut, peralatan, pakaian pengunjung agar penyebaran penyakit dapat dicegah. Lalu lintas keluar masuk kendaraan dan pengunjung merupakan salah satu risiko penyebaran penyakit di area peternakan. Risiko penyebaran penyakit akan lebih tinggi terhadap pengunjung yang berasal dari peternakan lain yang terinfeksi suatu penyakit. Lalu lintas yang mempunyai risiko tinggi yang dapat menyebarkan penyakit pada peternakan yaitu: inseminator, pekerja di peternakan atau pengolahan produk hewan, dokter hewan, kendaraan yang digunakan untuk mengangkut ternak dan pengunjung yang berasal dari area peternakan lain (Bowman & Shulaw 2001).

Tindakan cleaning dan disinfeksi sebagai tindakan sanitasi untuk lalu lintas kendaraan dan pengunjung yang keluar masuk area IKH sangat perlu diterapkan sebagai tindakan untuk memaksimalkan penerapan biosekuriti. Daya kerja disinfektan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain spektrum disinfektan, kadar kontaminasi, kandungan protein, bahan organik dan adanya kandungan sabun (dapat menetralkan beberapa disinfektan), konsentrasi disinfektan, waktu kontak, temperatur, memiliki stabilitas dalam jangka waktu lama (residual yang lama), dan efektif pada berbagai temperatur. Disinfektan yang digunakan harus mempunyai sifat antara lain aman (tidak berbahaya dan mengiritasi jaringan hewan dan manusia), tidak toksik bagi lingkungan, tidak merusak peralatan, dan efektif pada berbagai temperatur (CDC 2003).

Penyebaran kotoran (feses) sebagai salah satu media penularan penyakit dapat terjadi akibat adanya petugas/pengunjung dalam satu hari melakukan pengawasan lebih dari setengah area peternakan dan tidak melakukan disinfeksi terhadap peralatan dan kendaraan yang digunakan. Risiko juga dapat terjadi pada pengunjung dengan frekuensi kunjungan ke peternakan lebih dari satu dalam sehari, selain itu penyebaran agen patogen pada area peternakan dapat terjadi melalui fomite (Brennan et al. 2008).

(51)

sendiri (93,8%), sehingga dapat disimpulkan bahwa penularan penyakit melalui alat angkut pakan dapat diminimalkan risikonya. Selain alat angkut, peralatan juga dapat menjadi media penularan penyakit secara tidak langsung. Penularan ini terjadi akibat adanya kontaminasi agen penyakit pada peralatan dan penggunaan peralatan yang tidak steril.

Hasil observasi yang diperoleh, pada umumnya peralatan medis yang digunakan untuk perlakuan tindakan karantina menggunakan peralatan yang steril dan sekali pakai. Peralatan penunjang lainnya tidak pernah meminjam dari IKH lain ataupun peternakan lain yang terdekat. Peminjaman peralatan berpeluang menularkan dan menyebarkan penyakit jika tidak diawasi secara ketat dan dilakukan sterilisasi peralatan sebelum digunakan.

Pengendalian terhadap rodensia, serangga, dan hewan lain pada IKH telah dilakukan (Tabel 7), namun demikian, pengendalian terhadap burung liar belum dilakukan pada IKH sapi impor yang terdapat di Pulau Jawa. Pengendalian burung liar pada IKH sapi impor belum dilakukan karena konstruksi dan bangunan IKH pada umumnya dapat dimasuki oleh burung liar. Pengendalian terhadap burung liar di IKH dapat dilakukan dengan pengendalian habitat dari burung liar tersebut. Rodensia dan serangga merupakan vektor yang dapat membawa penyakit menular, selain itu rodensia juga dapat menyebabkan kontaminasi terhadap sumber air dan pakan pada IKH.

(52)

lain adalah dengan senantiasa melakukan pemeriksaan terhadap tempat penyimpanan pakan dan tempat kemungkinan hewan seperti kucing, anjing dan hewan lain yang menggunakan pakan sebagai tempat untuk membuat sarang atau tempat untuk defekasi (Bowman & Shulaw 2001).

Aspek Lain-lain

Ketersediaan fasilitas tempat pembuangan khusus untuk sisa peralatan medis sangat penting. Sisa peralatan medis (jarum suntik, tabung penyimpanan serum/darah, sarung tangan, dan lain-lain) dapat menjadi sumber penularan penyakit jika tidak dikelola secara baik dan benar. Instalasi karantina hewan yang ada belum semuanya menangani limbah sisa peralatan medis, hal ini dapat menjadi risiko adanya penularan penyakit di IKH akibat pengelolaan limbah sisa peralatan medis yang tidak ditangani dengan baik.

Ketersediaan sarana tempat pembuangan khusus untuk sisa peralatan medis perlu disediakan di IKH. Sarana ini merupakan salah satu pencegahan kontaminasi agen penyakit, sebagai contoh penyakit BLV dapat ditularkan melalui darah yang terdapat pada jarum suntik yang sudah tidak terpakai setelah digunakan untuk pengambilan darah dan pada saat perlakuan pengobatan (Kidwell 2008).

Tabel 8 memperlihatkan adanya keluhan masyarakat (37,5%) mengenai keberadaan IKH yang berlokasi didekat pemukiman penduduk. Dari hasil observasi, keluhan masyarakat terhadap IKH yang lokasinya berdekatan dengan pemukiman penduduk yaitu terhadap bau, adanya lalat, dan pencemaran air.

Tabel 8 Aspek lain-lain yang menggambarkan keadaan IKH sapi impor di Pulau Jawa

Aspek lain-lain Jumlah %

Tersedianya fasilitas pembuangan sisa peralatan medis 6 37,5 Adanya keluhan masyarakat sekitar dengan adanya IKH 6 37,5

(53)

pemusnahan telah dilakukan terhadap hewan-hewan yang positif penyakit ini yang dilakukan didalam area IKH. Pengendalian paratuberkulosis dapat dilakukan dengan test and slaughter, vaksinasi dan eliminasi atau meminimalkan faktor risiko penyakit ini. Vaksinasi merupakan salah satu pilihan untuk mengendalikan penyakit paratuberkulosis, akan tetapi vaksinasi hanya mengurangi prevalensi shedders dari bakteri dan mengurangi kasus klinis pada peternakan (Benjamin et al. 2010).

Dari hasil observasi di lapangan tindakan pemeriksaan terhadap penyakit hewan masih terkendala dengan anggaran yang ada. Kondisi ini menyebabkan pemeriksaan hanya terbatas dari keterangan kesehatan yang terdapat pada dokumen (surat keterangan kesehatan hewan dari negara asal), tanpa adanya keterangan vaksinasi dan hasil pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dilakukan selama masa karantina adalah brucellosis dan paratuberkulosis (hasil observasi IKH). Hal ini merupakan risiko yang cukup tinggi terhadap masuk dan menyebarnya penyakit eksotik di Indonesia, karena Australia merupakan negara yang belum bebas penyakit BLV, Q-fever, IBR, BVD, paratuberkulosis, dan penyakit-penyakit lainnya.

Menurut Negrón et al. (2011), risiko utama penularan virus BVD pada peternakan sapi yaitu memasukkan ternak sapi baru dengan status BVD yang tidak diketahui. Penularan penyakit ini terjadi akibat sifat penyakit (persistently infected/PI) dan juga hewan yang baru masuk peternakan dalam keadaan infeksi akut sehingga dapat mengeluarkan virus. Oleh sebab itu, pemeriksaaan laboratorium untuk mendiagnosa penyakit eksotik sangat penting dilakukan. Pemeriksaan laboratorium untuk deteksi dini penyakit merupakan tindakan untuk memaksimalkan biosekuriti.

(54)

melakukan pencegahan penyakit, oleh sebab itu peningkatan sumber daya manusia (SDM) karantina pertanian perlu terus dilakukan secara berkelanjutan.

Evaluasi terhadap IKH harus terus dilakukan oleh Badan Karantina Pertanian dan memberikan peringatan serta sanksi yang tegas terhadap IKH yang tidak mengikuti persyaratan yang telah ditetapkan. Evaluasi ini dilakukan terhadap persyaratan lokasi, kelengkapan fasilitas, sarana dan prasarana yang dapat menunjang penerapan praktik biosekuriti.

Pada penelitian ini dilakukan penilaian terhadap kategori tingkat biosekuriti IKH berdasarkan hasil skoring penilaian IKH dan checklist yang telah dilakukan. Hasil kategori tersebut dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Kategori tingkat biosekuriti IKH sapi impor di Pulau Jawa

Kategori tingkat biosekuriti IKH Jumlah %

Baik 5 31,2

Cukup 10 62,6

Kurang 1 6,2

Penilaian kategori IKH didapatkan 31,2% IKH yang ada di Pulau Jawa masuk kategori “baik” dan 62,6% masuk kedalam kategori “cukup” serta 6,2% masuk kategori ”kurang”. Dapat diambil kesimpulan bahwa IKH yang sudah ada masuk kedalam kategori “baik” dan “cukup”.

Dari hasil observasi dan wawancara permasalahan IKH sapi impor di Pulau Jawa diantaranya adalah: (1) anggaran pemeliharaan yang kurang memadai, (2) tanah yang digunakan untuk pembangunan IKH bukan tanah milik sendiri, sehingga untuk pengembangan dan pemeliharaan mengalami hambatan karena sewaktu-waktu tanah tersebut dapat dipakai untuk kepentingan pemilik lahan, (3) terbatasnya petugas untuk pemeliharaan dan menjaga kebersihan IKH, dan (4) penurunan frekuensi tindakan karantina yang dilakukan di IKH menyebabkan fasilitas sarana dan prasarana jarang digunakan sehingga menjadi rusak dan tidak terpelihara.

Gambar

Gambar 1 Kerangka konsep penelitian.
Tabel 4 Definisi operasioanal peubah penelitian
Gambar 3 menunjukkan rataan persentase skor total pengetahuan, sikap dan
Tabel 12   Karakteristik paramedik menurut umur, jenis kelamin, pendidikan
+2

Referensi

Dokumen terkait