• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bioaksesibilitas Nanoemulsi Vitamin A Dari Minyak Jagung Dan Minyak Kelapa Murni Serta Aplikasinya Sebagai Fortifikan Pada Flake Singkong

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bioaksesibilitas Nanoemulsi Vitamin A Dari Minyak Jagung Dan Minyak Kelapa Murni Serta Aplikasinya Sebagai Fortifikan Pada Flake Singkong"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

i

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Bioaksesibilitas Nanoemulsi Vitamin A dari Minyak Jagung dan Minyak Kelapa Murni Serta Aplikasinya Sebagai Fortifikan Pada Flake Singkong adalah benar karya saya

dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Astya Rizki Nilamsari

(3)

ii

RINGKASAN

ASTYA RIZKI NILAMSARI. Bioaksesibilitas Nanoemulsi Vitamin A dari Minyak Jagung dan Minyak Kelapa Murni serta Aplikasinya sebagai Fortifikan pada Flake Singkong.Dibimbing oleh NUGRAHA EDHI SUYATMA,

NURHENI SRI PALUPI, dan HOERUDIN.

Kekurangan vitamin A (KVA) merupakan salah satu masalah malnutrisi di Indonesia. Penanganan KVA dapat dilakukan dengan fortifikasi pada produk pangan. Singkong merupakan salah satu komoditi terbesar yang dihasilkan oleh petani Indonesia. Pembuatan flake dengan bahan utama singkong dapat menjadi

media fortifikasi vitamin A. Sifat vitamin A yang larut lemak bertentangan dengan sifat bahan baku flake yang larut air. Emulsifikasi melarutkan vitamin A

dalam air dapat membantu mencampurkan vitamin A dalam produk berbasis air. Nanoemulsi vitamin A, dapat meningkatkan bioaksesibilitas vitamin A. Nilai bioaksesibilitas akan mempengaruhi nilai bioavailabilitas, karena berbanding lurus. Salah satu faktor yang mempengaruhi nilai bioaksesibilitas adalah jenis minyak pembawa dan jenis emulsifier.

Penelitian ini menggunakan minyak kelapa murni (VCO) dan minyak jagung sebagai minyak pembawa. Tween 20 dengan konsentrasi 3% dan 6% digunakan sebagai emulsifier. Nanoemulsi vitamin A digunakan sebagai fortifikan dalam flake singkong untuk menjadi salah satu solusi KVA di Indonesia yang

berbasis pangan sumber daya lokal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bioaksesibilitas nanoemulsi vitamin A terbaik yang dipengaruhi oleh jenis minyak pembawa dan konsentrasi emulsifier serta pengaplikasiannya pada

flake singkong.

Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, tahap pertama adalah untuk pembuatan nanoemulsi vitamin A beserta pengujiannya meliputi uji stabilitas baik fisik dan kimia, serta profil nanoemulsi vitamin A. Tahap kedua adalah pengujian bioaksesibilitas nanoemulsi vitamin A menggunakan metode in vitro. Tahap

ketiga adalah aplikasi nanoemulsi vitamin A sebagai fortifikan pada flake

singkong.

Hasil penelitian menunjukkan ukuran terkecil nanoemulsi vitamin A adalah 115.60 nm dengan VCO sebagai minyak pembawa dan ukuran terbesar nanoemulsi vitamin A adalah 144.36 nm dengan minyak jagung sebagai minyak pembawa. Uji stabilitas secara fisik dan kimia menunjukkan bahwa selama penyimpanan lima hari dengan metode freeze thaw nanoemulsi vitamin A tetap

stabil. Pengujian bioaksesibilitas nanoemulsi vitamin A dengan metode in vitro

menunjukkan bahwa menggunakan jenis minyak yang berbeda memiliki hasil ragam yang berbeda nyata berbeda nyata (p<0.05) dengan nilai p 0.018. Tahapan fortifikasi nanoemulsi vitamin A dalam flake singkong dapat memenuhi standar

fortifikasi vitamin A dalam produk jenis cereal. Berdasarkan uji tekstur untuk

semua formula flake singkong memiliki hasil ragam yang tidak berbeda nyata

(p>0.05), sedangkan flake singkong dengan penambahan nanoemulsi vitamin A secara keseluruhan dapat diterima oleh panelis melalui uji organoleptik.

Kata kunci: nanoemulsi vitamin A, bioaksesibilitas, emulsifier, fortifikasi, flake

(4)

iii

SUMMARY

ASTYA RIZKI NILAMSARI. Bioaccessibility of Nanoemulsi vitamin Aon using Corn Oil and Virgin Coconut Oil and The Fortification as Fortification on Cassava Flake. Supervised by NUGRAHA EDHI SUYATMA, NURHENI SRI PALUPI, and HOERUDIN.

Deficiency of vitamin A is one of malnutrition problems in Indonesia that currently happened. Fortification could solve the problem or prevent vitamin A deficiency. Cassava flake is one of breakfast cereal type which made from cassava

and it could be a good carrier for vitamin A fortification. But vitamin A is fat soluble and cassava flake is water soluble bases. Emulsion could improve the mixing between oil phase and water phase, but conventional emulsion has poor stabilitation.Nanoemulsion would improve the emulsion stabilitation and increased the bioaccessibility. Good bioaccessibility is important thing for delivery sytem research, because of bioaccessibility linearity with bioavailability. Some factors which influence bioaccessibility are carrier oil type and emulsifier type.

Virgin Coconut Oil (VCO) and corn oil was used in this research as carrier oil, and also Tween 20 as emulsifier. This research used different concentration of Tween 20 as a treatment, 3% and 6% tween 20. Nanoemulsion of vitamin A act as fortification to cassava flake to solve vitamin A deficiency problem. Aim of this study is to determine bioaccessibility of nanoemulsi vitamin A on influence by carrier oil and surfactant concentration and the application in cassava flake as fortificant.

This study consist of three stage, the first is nanoemulsi vitamin Aon production and determination of their stabilitation and properties. The next stage is determination the bioaccessibility of nanoemulsi vitamin A by in vitro method. The last stage is application of nanoemulsi vitamin A to the cassava flake as fortificant.

The result showed NV6 has the smallest particle droplets and NC3 has the largers particle droplet. The smallest particle size is 115.60nm that used VCO as carrier oil and the largest particle size is 144.36 nm was used corn oil as carrier oil. Stabilization of nanoemulsi vitamin Aon with freeze and thaw treatment showed good stabilization for 5 days storage. From bioaccessibility determination, NV3 has the highest bioaccessibility. Bioaccessibility of nanoemulsi vitamin A using different types of carrier oil has significantly different (p<0.05), and there is no correlation between emulsifier concentration and carrier oil types. Nanoemulsi vitamin Aon as fortificant in cassava flake could complete the fortification standar in breakfast cereal. From the cassava flake texture resultthere is no significant different (p>0.05) between cassava flake with formulas and control, but overall, all the panellis could accept the products.

(5)

iv

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

i

BIOAKSESIBILITAS NANOEMULSI VITAMIN A DARI MINYAK JAGUNG DAN MINYAK KELAPA MURNI SERTA APLIKASINYA

SEBAGAI FORTIFIKAN PADA FLAKE SINGKONG

ASTYA RIZKI NILAMSARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

ii

(8)

i

Judul Tesis : Bioaksesibilitas Nanoemulsi Vitamin A dari Minyak Jagung dan Minyak Kelapa Murni serta Aplikasinya sebagai Fortifikan pada FlakeSingkong

Nama : Astya Rizki Nilamsari NIM : F251130301

Disetujui Oleh

Komisi Pembimbing

Dr. Nugraha Edhi Suyatma, S.TP, DEA Ketua

Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, Msi Hoerudin, SP, M.Food.st, PhD

Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pangan

Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(9)
(10)

i

PRAKATA

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas nikmat dan karunia yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis tak lupa mengucapkan terimakasih kepada para pembimbing dan penguji. Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP. DEA selaku ketua komisi pembimbing yang di sela kesibukannya masih memberikan perhatiannya sehingga penulis sampai ketahap ini. Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi selaku pembimbing kedua penulis dengan kasih sayang seorang ibu yang diberikan pada penulis, penulis mampu mengahadapi semua masalah dari nasihatnya. Dan tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada pembimbing ketiga bapak Hoerudi, SP, MFoodSt, PhD yang telah menerima penulis dan mempercayakan penulis dalam bergabung dalam proyek penelitiannya. Dr. Ir. Sukarno, MSc. Selaku penguji yang luar biasa membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akir ini. Tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada Balai Besar Pasca Panen Pertanian Bogor yang telah mefasilitasi sebagian besar penelitian penulis dan mendanai sebagian besar penelitian penulis, serta keluarga besar Balai Pertanian Pasca Panen Bogor yang telah mengisi kehidupan penelitian dan banyak membantu penulis. Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada orangtua, Drs. Rodhi As’ad, MM dan Dra. Lys Setyawati yang selalu tak henti-hentinya memberikan kasih sayang, dan doa hingga penulis menuju tahap ini. Tak lupa penulis juga sampaikan terimakasih kepada suami, Rangga Chrisna Megantara, ST yang selalu memberikan kasih sayang dan kesabarannya dalam menemani penulis dalam menyusun tesis dan selalu mendoakan kesuksesan penulis. Kepada para saudara, sahabat dan kerabat yang telah memberikan dukungan dan bantuannya kepada penulis.

Akhir kata, penulis ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membatu dalam penyusunan tesis ini.

Bogor, Agustus 2016

(11)

ii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL 3

DAFTAR GAMBAR 3

DAFTAR LAMPIRAN Error! Bookmark not defined.

1 PENDAHULUAN Error! Bookmark not defined.

Latar Belakang Error! Bookmark not defined. Perumusan Masalah Error! Bookmark not defined. Tujuan Penelitian Error! Bookmark not defined.

Hipotesis Error! Bookmark not defined.

Manfaat Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA Error! Bookmark not defined.

Vitamin A Error! Bookmark not defined.

Nanoemulsi Error! Bookmark not defined.

Bioaksesibilitas Error! Bookmark not defined. Teknologi Fortifikasi Vitamin A Error! Bookmark not defined. Proses Produksi Flake Singkong Error! Bookmark not defined.

3 METODE Error! Bookmark not defined.

Waktu dan Tempat Penelitian Error! Bookmark not defined.

Bahan Error! Bookmark not defined.

Alat Error! Bookmark not defined.

Tahapan Penelitian Error! Bookmark not defined. Karakterisasi Nanoemulsi vitamin A Error! Bookmark not defined. Uji Bioaksesibilitas Nanoemulsi vitamin A Error! Bookmark not defined.

Fortifikasi Nanoemulsi dalam Flake Singkong Error! Bookmark not defined. Pengujian profil nanoemulsi vitamin A Error! Bookmark not defined.

Pengujian morfologi vitamin A nanoemusliError! Bookmark not defined.

Uji Tekstur flake singkong Error! Bookmark not defined. Uji Warna flake singkong Error! Bookmark not defined. Uji Organoleptik Error! Bookmark not defined.

Analisis Data Error! Bookmark not defined.

(12)

iii

Fortifikasi Nanoemulsi vitamin A dalam Flake Singkong Error! Bookmark not defined.

5 SIMPULAN DAN SARAN Error! Bookmark not defined.

Simpulan Error! Bookmark not defined.

Saran Error! Bookmark not defined.

DAFTAR PUSTAKA Error! Bookmark not defined.

LAMPIRAN Error! Bookmark not defined.

RIWAYAT HIDUP Error! Bookmark not defined.

DAFTAR TABEL

1 Sifat Kimia Fisika dari Jenis-Jenis Vitamin A Error! Bookmark not defined. 2 RDI vitamin A dalam satuan RE Error! Bookmark not defined. 3 Pembuatan Nanoemulsi: jenis emulsifier dan minyak Error! Bookmark not defined.

4 Produksi dan konsumsi sereal disuluruh dunia Error! Bookmark not defined. 5 Komponen kimia singkong Error! Bookmark not defined. 6 Karakteristik nanoemulsi vitamin A Error! Bookmark not defined. 7 Komposisi Asam Lemak minyak pembawa Error! Bookmark not defined. 8 Karakterisasi profil nanoemulsi vitamin A setelah masa penyimpanan Error! Bookmark not defined.

9 Kandungan HCN pada sampel Error! Bookmark not defined. 10 Kandungan vitamin A pada flake singkong Error! Bookmark not defined. 11 Nilai organoleptik flake singkong Error! Bookmark not defined. 12 Nilai warna flake singkong Error! Bookmark not defined. 13 Nilai kekerasan flake singkong Error! Bookmark not defined.

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur kimia vitamin A dan beta-karoten. Error! Bookmark not defined. 2 Struktur retinil palmitat Error! Bookmark not defined. 3 Peta penyebaran KVA didunia pada tahun 1995Error! Bookmark not defined. 4 Macam pembentukan emulsi Error! Bookmark not defined. 5 Struktur tween 20 Error! Bookmark not defined. 6 Mekanisme pemilihan jenis emulsifier berdasarkan nilai HLB Error! Bookmark not defined.

7 Mekanisme in vitro bioaksesibilitas Error! Bookmark not defined. 8 Proses pembuatan nanoemulsi vitamin A Error! Bookmark not defined. 9 Proses in vitro bioaksesibilitas Error! Bookmark not defined. 10 Proses pembuatan flake singkong terfortifikasi nanoemulsi vitamin A Error! Bookmark not defined.

(13)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Vitamin A merupakan salah satu mikro mineral yang tidak dapat diproduksi didalam tubuh, tetapi sangat dibutuhkan oleh tubuh.Vitamin A mempengaruhi fungsi penglihatan dan sistem imun tubuh. WHO/UNICEF pada tahun 1996 melaporkan bahwa FAO/WHO menyatakan masih terdapat sekitar 250 juta anak-anak yang menderita kekurangan vitamin A (KVA), dengan total 50% tinggal disekitar Asia Selatan (Viveka 2001). KVA dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada penglihatan, menghambat tumbuh kembang anak-anak, gangguan sistem imun, perkembangan janin dan reproduksi serta dapat mengakibatkan penyakit serius yang dapat berujung pada kematian jika tidak mendapatkan penanganan serius.

Prevalensi xeropthalmia di Indonesia pada tahun 1992 sebesar 0.33%, dan data pada tahun 2006 pada 10 kota di 10 provinsi menunjukkan prevalensi xerophthalmia sebesar 0.13% (Kemenkes 2014). KVA dapat terjadi melalui beberapa faktor antara lain adalah banyaknya asupan vitamin A yang dikonsumsi, seberapa banyak vitamin A yang dapat diserap oleh tubuh dan efektivitas konversi provitamin A menjadi vitamin A (Lorch 2005).

Pencegahan KVA dapat dilakukan dengan melakukan pengarahan hidup sehat seperti perubahan pola konsumsi pangan harian yang harus seimbang untuk memenuhi zat-zat gizi dalam tubuh, suplementasi vitamin A dalam kapsul yang diberikan pada bayi dengan dosis yang berbeda-beda dengan jangka waktu tertentu dan fortifikasi vitamin A kedalam produk pangan yang sering dikonsumsi (Mc. Laren 2001). Indonesia telah melakukan fortifikasi vitamin A kedalam beberapa produk pangan antara lain minyak goreng, mentega dan MSG. Berbagai variasi produk pangan dapat berpotensi menjadi media yang baik untuk fortifikasi vitamin A yaitu tepung, margarin, sereal, gula dan MSG.

Sereal secara alami tidak mengandung vitamin A, tetapi dapat berpotensi menjadi media yang baik untuk fortifikasi vitamin A pada negara berkembang (Wesley 2004). Salah satu produk pengembangan Balai Besar Pertanian Pasca Panen Bogor adalah flake singkong yang dapat menjadi media fortifikasi vitamin

A dengan bahan utama adalah singkong. Bentuk vitamin A yang sering digunakan dalam fortifikasi produk antara lain retinil asetat, retinil palmitat, dan β-karoten. Retinil palmitat merupakan bentuk vitamin A yang sering digunakan dalam fortifikasi produk karena memiliki stabilitas yang bagus (Wesley 2004).

(14)

2

dengan mengecilkan ukuran droplet hingga nano meter dengan menggunakan

homogenizer tekanan tinggi akan menghasilkan ukuran droplet emulsi dalam

ukuran nano.

Penggunaan teknologi nano dalam sistem emulsi ini memiliki banyak keunggulan terutama dibidang pangan. Nanoemulsi dapat memperbaiki atau meningkatkan sifat-sifat komponen bioaktif, contohnya kestabilan kinetika dan memperbaiki penyerapan komponen bioaktif tersebut. Chen dan Wagner (2004) menyatakan bahwa dengan memproduksi nanoemulsi vitamin E ukuran partikel sekitar 100 nm dengan High Pressure Homoginezer (HPH), vitamin E nanoemulsi

memiliki kestabilan yang bagus pada minuman. Stabilitas nanoemulsi yang baik adalah pembentukan nanoemulsi tanpa terjadi sedimentasi, pemisahan fase, penggumpalan dan pengendapan (Gupta et al 2016). Pembuatan nanoemulsi juga

dapat mempengaruhi penyerapan dalam tubuh, dengan ukuran droplet yang relatif kecil akan meningkatkan kontak antara komponen bioaktif dengan membran intestinal. Selain itu, pembuatan nanoemulsi dapat memperbaiki sifat fisik vitamin A yang sensitif terhadap oksigen dan sinar UV.

Beberapa penelitian telah menjelaskan bahwa pembuatan emulsi dengan menggunakan nanoteknologi dapat meningkatkan bioaksesibilitas suatu senyawa bioaktif dan jika dilakukan nanoenkapsulasi setelah proses nanoemulsi akan memperbaiki bioavailabilitiasnya. Date dan Nagarsenker (2007), membuat nanoemulsi untuk nanoenkapsulasi cefpodoxime proxetil (CFP) yang merupakan antibiotik dengan bioavailabilitas rendah. Nanoemulsi CFP dapat meningkatkan kelarutan CFP dan melindungi dari degradasi CFP. Yang (2012) dalam disertasinya menyatakan bahwa dengan menanoemulsikan β-karoten dapat memperbaiki bioaksesibilitas β-karoten dan setelah dilakukan nanoenkapsulasi dapat meningkatkan bioavailabilitasnya.

Dalam pembuatan nanoemulsi vitamin A, dibutuhkan minyak pembawa yang dapat melarutkan vitamin A. Jenis minyak pembawa akan mempengaruhi pelepasan vitamin A dalam matrik pangan (bioaksesibilitas) dalam tubuh. Cheng

et al (2012) menyatakan bioaksesibilitas β-karoten akan lebih tinggi jika

menggunakan minyak jagung dibandingkan dengan miglyol dan minyak jeruk. Minyak jagung merupakan minyak pembawa yang sering digunakan dalam pembuatan nanoemulsi vitamin larut lemak. Bioaksesibilitas nanoemusi β-karoten dengan minyak jagung sebagai minyak pembawa dapat meningkat sebesar 76% dibandingkan dengan minyak lemon murni (Rao, 2013). Minyak pembawa lain yang sering digunakan adalah VCO, menurut Sanjeewni 2013 menyatakan bahwa VCO merupakan minyak yang sangat terkenal didalam dunia penelitian dan juga di masyarakat, VCO memiliki efek kesehatan dan juga karakteristik spesial. Selain jenis minyak pembawa, jenis emulsifier juga sangat diperhatikan dalam pembuatan nanoemulsi. Polisorbat 20 atau yang dikenal sebagai tween 20 merupakan salah satu jenis emulsifier yang sering digunakan bersama minyak sayur dan untuk senyawa bioaktif jenis karotenoid. Jumlah antara emulsifier dan jenis minyak pembawa dapat mempengaruhi kestabilan dan bioaksesibilitas nanoemulsi.

(15)

dapat menggunakan metode in vitro yang mereplikasi kondisi dalam tubuh dengan

bantuan ezim-enzim percernaan.

Perumusan Masalah

Vitamin A memiliki sifat larut dalam lemak sehingga sulit untuk mengaplikasikan pada produk pangan yang berbasis larut air. Dalam mengurangi masalah KVA yang terjadi di Indonesia, fortifikasi vitamin A dalam produk sereal sarapan pagi berbasis singkong adalah salah satu solusi yang tepat. Flake

singkong dapat menjadi media fortifikasi dan mendukung program ketahanan pangan berbasis sumber daya lokal. Pembuatan nanoemulsi vitamin A dapat mempermudah pencampuran vitamin A dengan adonan flake singkong.

Pembuatan nanoemulsi vitamin A, akan meningkatkan nilai bioaksesibilitas dari vitamin A tersebut. Bioaksesibilitas merupakan salah satu keunggulan pembuatan nanoemulsi vitamin A, dengan memperbesar luas permukaan vitamin A dan lebih bersifat hidrofobik karena pembentukan emulsi, diharapkan akan memperbesar kemungkinan vitamin A yang dapat keluar dari matriks pangan. Peningkatan nilai bioaksesibilitas dapat berpengaruh pada peningkatan nilai bioavailabilitas vitamin A, sehingga dapat memecahkan permasalahan kekurangan vitamin A yang terjadi di Indonesia. Bioaksesibilitas dapat dipengaruhi oleh bahan-bahan yang menyusun nanoemulsi vitamin A seperti jenis minyak pembawa dan juga jenis emulsifier yang digunakan.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menentukan formula nanoemulsi vitamin A yang stabil baik secara fisik dan kimia serta profil nanoemulsinya.

2. Menguji bioaksesibilitas nanoemulsi vitamin A berdasarkan jenis minyak dan konsentrasi emulsifier.

3. Mendapatkan formula fortifikan nanoemulsi vitamin A yang tepat untuk fortifikasi flake singkong berdasarkan uji organoleptik.

Hipotesis

Nanoemulsi vitamin A menggunakan VCO sebagai minyak pembawa memiliki stabilitas yang lebih baik dan bioaksesibilitas yang lebih tinggi. Fortifikasi nanoemulsi vitamin A dalam flake singkong dapat memenuhi jumlah

(16)

4

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan fortifikasi nanoemulsi vitamin A pada produk pengembangan flake singkong dan dapat memberikan

(17)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Vitamin A

Vitamin A adalah suatu kristal alkohol berwarna kuning dan larut dalam lemak atau pelarut lemak. Secara luas vitamin A merupakan nama generik yang menyataka suatu retinoid dan prekursor/ provitamin A/ karotenoid yang mempunyai aktivitas biologis sebagai retinol. Didalam tubuh, vitamin A berfungsi dalam beberapa bentuk ikatan kimia aktif, yaitu: retinol (bentuk alkohol), retinal (aldehida) dan asam retinoat (bentuk asam)(Almatsier 2003). Struktur ketiga bentuk vitamin A dan provitaminnya betakaroten dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur kimia vitamin A dan beta-karoten.

Gambar 2 Struktur retinil palmitat (Anonim, 2014a)

Bentuk kimiawi vitamin A berupa retinol, retinal, ester retinil dan asam retinoat. Jika dibandingkan dengan retinol murni, vitamin A asetat dan palmitat memiliki kestabilan yang lebih baik. Vitamin A palmitat lebih stabil terhadap pemanasan jika dibandingkan dengan vitamin A asetat (Bagriansky dan Ranum 1998). Sifat-sifat kimia dan fisika dari retinol dan retinil palmitat dapat dilihat pada Tabel 1 dan gambar struktur retinil palmitat pada Gambar 2.

Vitamin A pada umumnya stabil terhadap panas, asam dan alkali namun sangat mudah teroksidasi oleh udara dan akan rusak bila dipanaskan pada suhu tinggi bersama udara, sinar dan lemak yang sudah tengik. Stabilitas vitamin A dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: bentuk vitamin A itu sendiri,keberadaan katalis/kontaminan/logam-logam, keberadaan inhibitor (BHA, BHT dan sebagainya), keberadaan air, tingkat keasaman (pH), keberadaan oksigen, paparan suhu, paparan cahaya (terutama ultraviolet), dan waktu (Hariyadi 2002).

(18)

6

meningkatkan resiko terserang penyakit bahkan sampai kematian.WHO/UNICEF pada tahun 1996 melaporkan bahwa FAO/WHO menyatakan masih terdapat sekitar 250 juta anak-anak yang menderita kekurangan vitamin A, dengan 50% nya tinggal disekitar Asia Selatan (Viveka 2001). Gambar penyebaran KVA di seluruh dunia pada tahun 1995 dapat dilihat pada Gambar 3.

Tabel 1 Sifat Kimia Fisika dari Jenis-Jenis Vitamin A Sifat Kimia Fisika Retinol Retinil Palmitat Bentuk Kristal kuning Kristal, amorf atau

cairan kental berwarna kuning Rumus Kimia C20H30O C36H60O2

Bobot Molekul 286,46 524,88 Absorbsi UV :

maks. (etanol) 325 nm 325 nm Flourosensi:

eksitasi

emisi 325 nm 470 nm 325 nm 470 nm Sumber :Eitenmiller et al. 2008

Gambar 3 Peta penyebaran KVA didunia pada tahun 1995 (WHO 1995)

Studi yang dilakukan oleh Nutrition and Health Surveillance System (NSS), Departemen Kesehatan, tahun 2001 menunjukkan sekitar 50% anak Indonesia usia 12-23 bulan tidak mengkonsumsi vitamin A dengan cukup dari makanan sehari-hari. Di Indonesia prevalensi xeropthalmia pada tahun 1992 sebesar 0.33%, dan data pada tahun 2006 pada 10 kota di 10 provinsi menunjukkan prevalensi xerophthalmia sebesar 0.13% (Kemenkes 2014).

Kebutuhan dasar vitamin A berbeda-beda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin.Tabel 2 memperlihatkan konsumsi harian rata-rata vitamin A pada setiap jenis kelompok umur. Batas aman konsumsi vitamin A adalah jumlah

Resiko tinggi Resiko sedang

Resiko rendah

(19)

vitamin A yang dibutuhkan untuk mencegah terjadinya defisiensi vitamin A yang akan mempengaruhi pertumbuhan dan reproduksi, sedangkan batas aman adalah jumlah konsumsi vitamin A setiap harinya yang akan memelihara kesehatan tubuh mulai dari pertumbuhan, reproduksi dan kesehatan lainnya.

Tabel 2 RDI vitamin A dalam satuan RE

Kelompok

Nanoemulsi adalah suatu sistem dispersi koloid berisikan dua cairan yang tidak dapat dicampurkan, salah satu cairan akan terdispersi dalam cairan lainya dengan ukuran droplet sekitar 50-1000 nm (Sanguansri and Augustin 2006).

Terdapat dua basis pembentukan emulsi, yang pertama adalah emulsi minyak dalam air, yaitu droplet minyak akan terdispersi dan dienkapsulasi dalam gumpalan air dan yang kedua adalah emulsi air dalam minyak, droplet air akan terdispesi dan dienkapsulasi dalam minyak (Popescu 2010). Basis pembentukan emulsi dapat dilihat pada Gambar 4.

Penggunaan teknologi nano dalam sistem emulsi memiliki banyak kelebihan terutama dibidang pangan. Nanoemulsi dapat memperbaiki atau meningkatkan sifat-sifat komponen bioaktif, misalnya kestabilan kinetika dan memperbaiki penyerapan. Chen and Wagner (2004) menyatakan bahwa memproduksi nanoemulsi vitamin E dengan ukuran partikel sekitar 100nm menggunakanHigh Pressure Homoginezer (HPH), vitamin E memiliki kestabilan

yang bagus pada minuman. Selain stabilitas yang bagus, pembuatan nanoemulsi dapat mempengaruhi penyerapan dalam tubuh, karena ukuran droplet yang relatif kecil akan meningkatkan kontak antara komponen bioaktif dengan membran intestinal.

(20)

8

memproduksi ukuran droplet paling kecil dengan menggunakan energi yang tersedia dalam waktu yang lebih singkat dan akan menghasilkan aliran yang sangat homogen (Silva et al.2011).

Gambar 4 Macam pembentukan emulsi, emulsi minyak dalam air (a), emulsi air dalam minyak (b) (Anonim 2014b)

HPH merupakan salah satu alat yang dapat menggabungkan antara tekanan tinggi dan shear stress tinggi yang akan menghasilkan ukuran partikel

dalam bentuk nano. Penggunaan HPH dalam pembuatan nanoemulsi selain berfungsi untuk mendapatkan ukuran droplet yang kecil, juga dapat memperbaiki sifat dan meningkatkan kestabilan dari sistem emulsi itu sendiri. Yuan et al.

(2008) menyatakan dengan menggunakan HPH dalam pembuatan nanoemulsi β -karoten menghasilkan uuran droplet sekitar 120-177nm dan selama penyimpanan pada suhu 25oC, β-karoten akan mulai terdegradasi pada minggu keempat.

Pembuatan nanoemulsi tidak pernah lepas dari penggunaan emulsifier. Berbagai jenis emulsifier digunakan dalam pembuatan nanoemulsi, baik emulsifier alami seperti whey protein, maupun emulsifier sintetis dari golongan polisorbat. Polisorbat adalah suatu subtansi yang dihasilkan dengan mereaksikan ester asam lemak sorbitan dengan etilen oksida. Polisorbat secara luas telah banyak digunakan sebagai emulsifier, dispersen dan pelarut dalam makanan

seperti kue di negara-negara Eropa dan Amerika. Terdapat beberapa jenis polisorbat yang sering digunakan salah satunya adalah polisorbat 20 atau yang sering disebut tween 20.

Tween 20 tersusun atas beberapa gugus hidroksil dari sorbitol dan sorbitol anhidrat yang teresterifikasi. Penyusun utama tween 20 adalah asam laurat yang akan dikondensasikan dengan 20 molekul etilen oksida. Yuan et al. (2008)

melaporkan bahwa pada pembuatan nanoemulsi β-karoten dengan emulsifier tween 20, 40, 60 dan 80, nanoemulsi yang memiliki ukuran droplet terkecil menggunakan tween 20 sebagai emulsifiernya. Struktur tween 20 ditunjukkan pada Gambar 5.

Pemilihan bahan emulsifier berdasarkan nilai Hidrophilic Lipophilic Balance (HLB). Emulsifier jenis tween memiliki nilai HLB lebih tinggi jika

(21)

bersifat hidrofilik. Nilai HLB emulsifier maksimal adalah 20 menurut sistem ICI. Pemilihan jenis emulsifier untuk sistem emulsi berdasarkan nilai HLB dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 5 Struktur tween 20(Anonim 2014c)

Tujuan pembuatan nanoemulsi adalah untuk mempermudah penyerapan komponen bioaktif, mineral ataupun vitamin di dalam tubuh. Salah satu faktor utama dalam keberhasilan penyerapan nanoemulsi adalah jenis minyak media yang digunakan. Cheng et al.(2012) mengemukakan bahwa jenis minyak dapat

mempengaruhi bioaksesibilitas nanoemulsi β-karoten. Nanoemulsi β-karoten memiliki bioaksesibilitas tertinggi dengan menggunakan minyak jagung sebagai minyak medianya dibandingkan dengan miogliol 812 dan minyak jeruk.Minyak jeruk tidak memiliki nilai bioaksesibilitas, sedangkan miogliol memiliki niali bioaksesibilitas sebesar 2% dan minyak jagung memiliki nilai bioaksesibilitas sebesar 66%. Tingginya nilai bioaksesiblitas sangat berpengaruh dengan daya serap vitamin A dalam tubuh, karena bioaksesibilitas memiliki korelasi positif dengan bioavabilitas.

Gambar 6 Mekanisme pemilihan jenis emulsifier berdasarkan nilai HLB (ICI 1997)

(22)

10

pembuatan nanoemulsi adalah jenis minyak sayur seperti minyak biji bunga matahari, minyak kedelai, minyak jagung, minyak kelapa, minyak kelapa sawit dan juga VCO.Minyak sayur dalam pembuatan nanoemulsi sering dibandingkan dengan minyak yang tidak dapat dicerna seperti miogliol dan minyak jeruk.

Minyak jagung merupakan minyak sayur yang sering digunakan sebagai media pembawa untuk pebuatan nanoemulsi komponen bioaktif yang larut dengan lemak. Minyak jagung memiliki koponen utama berupa asam linoleat sebesar 31.52%, asam elaidat 31.30%, asam palmitat 26.86% dan asam stearate sebesar 4.68% (Erawati 2014). Minyak jagung juga digunakan dalam pembuatan sistem emulsi obat yang bersifat hidrofobik.

(23)

kandungan antioksidannya jika dibandingkan dengan minyak kelapa yang dimurnikan (Marina 2009). Kandungan asam lemak rantai sedang yang dominan pada VCO dapat membantu mengurangi total kolestrol, trigliserida, fosfolipid, LDL, dan tingkat kolesterol VLDL serta dapat meningkatkan kandungan HDL dalam serum (Sanjeewani 2013). Kadungan VCO didominasi asam lemak rantai pendek yaitu asam laurat sebanyak 32.41% dan asam miristat 24.15%, kandungan asam lemak lain yang terdapat dalam VCO adalah asam palmitat sebanyak 15.68%, asam linoleat 2.29%, asam elaidat 11.06% dan asam stearat sebanyak 5.22% (Erawati 2014).

Perbedaan jenis minyak yang digunakan antara VCO dan minyak jagung selain berpengaruh dalam sistem pencernaan, dapat juga mempengaruhi sifat fisik dari nanoemulsi. Minyak jagung akan memberikan warna yang lebih keruh pada sistem emulsi sedangkan VCO akan memberikan warna yang lebih jernih. Minyak jagung memiliki ranta ataom C yang lebih panjang daripada VCO, sehingga akan menghasilkan droplet yang lebih besar dan transparasinya akan menurun (Erawati 2014).

Bioaksesibilitas

Bioaksesibilitas merupakan jumlah nutrisi yang berpotensi tersedia untuk penyerapan, tergantung pada jumlah yang terkandung dan pelepasan dari matriks makanan. Model In vitro telah dikembangkan selama bertahun-tahun dan telah disempurnakan untuk menentukan bioaksesibilitas dan bioavailabilitas suatu nutrisi yang terkandung dalam suatu makanan (Etcheverry et al. 2005). Model In

vitro meniru kondisi saluran pencernaan dapat dibedakan menjadi dua metode berupastatis atau dinamis.

Menurut Reboul (2006) model statis memiliki langkah-langkah yang umumnya sama dengan model lainnya. Fase perut bagian atas usus kecil disimulasikan dengan penambahan jumlah garam fisiologis dan enzim serta dilakukan penyesuaian pH dan inkubasi pada 37°C. Selama fase lambung, sampel diinkubasi pada pH lambung dengan menambahkan enzim lambung seperti pepsin.

Bagian atas dari usus kecil, duodenum, akan disimulasikan dengan meningkatkan pH dan menambahkan enzim pancreas dan garam empedu. Beberapa model mencakup fase pencernaan oral dengan mensimulasikan pengunyahan dan menambahkan amilase (Bengtsson et al. 2010).

Sedangkan untuk model dinamis, seperti model gastro-intestinal (TIM) prinsip-prinsip dasar yang digunakan sama, tetapi tingkat kompleksitas lebih tinggi dengan menggunakan kondisi yang menyerupai kondisi didalam saluran pencernaan (Minekus et al. 1999). Model TIM terdiri dari empat bagian, lambung,

duodenum, jejunum dan ileum, dan beberapa penelitian juga menkombinasikan dengan bagian kolon. Perbedaan utama model dinamis dibandingkan dengan model statis adalah simulasi gerak peristaltik lebih terkontrol, perubahan pH bertahap, kadarenzim,dll.

Beberapa model invitro mensimulasikan keadaan berpuasa pada saluran pencernaan manusia, tetapi kondisi ini sering berbeda dari kondisi sebenarnya (Reboul et al. 2006). Untuk mereplika kondisi tersebut pada model in vitro,

(24)

12

in vitro statis dengan 2-3 fase yang digunakan. Fase pertama yang digunakan adala fase oral. Tujuan dari fase oral adalah untuk mensimulasikan pengunyahan dan pencampuran makanan dengan air liur dengan ditambahkan amilase. Amilase akan mengkatalisis pati menjadi gula. Fase kedua adalah fase lambung yang akanditambahkan larutan pepsin dengan mengkondisikan pH lambung dengan penambahan HCl, dan fase terakir adalah fase usus dengan menambahkan larutan pankreatin dan garam empedu. Mekanisme perlakuan proses in vitro dapat dilihat pada Gambar 7. Untuk tindakan pencegahan oksidasi, pada model in vitro statis umumnya ditambahkan antioksidan dan nitrogen (Svelander 2011).

Pengukuran bioaksesibilitas secara in vitro memiliki kelemahan dan

kelebihan menurut Failla (2008) yaitu, tidak memerlukan biaya besar dan teknikya sangat sederhana dan peralatan standar di laboratorium sudah dapat melakukan in vitro. Kelemahan menggunakan metode In vitro yaitu terdapat

beberapa aktivitas enzim dalam eksokrin pankreas tidak terdapat dalam pankreatin, fase oral sebagian besar tidak dilakukan meskipun telah disiapkan untuk ditambahkan, dan fase pencernaan besar umumnya tidak dilakukan.

Gambar 7 Mekanisme in vitro bioaksesibilitas (Failla 2008)

Teknologi Fortifikasi Vitamin A

Fortifikasi pangan dengan zat gizi mikro merupakan teknologi yang valid untuk mengurangi permasalahan kekurangan zat gizi mikro. Dalam beberapa kasus, fortifikasi pangan dapat memperkuat dan mendukung program pengembangan nutrisi. Salah satunya adalah fortifikasi vitamin A pada beberapa

Homogenisasi sampel

α-amilase Saliva sintetik

Pencernaan lambung pH 2.5, 60 min, 37oC

Pencernaan usus haluspH 6.5, 120 min, 37oC Pencernaan oralpH6.8, 10 min, 37oC

pepsin 1N Hcl

Bile ekstrak, Pankreatin, Lipase 1M NaHCO3

Penyaring 0.22 m

Fraksi michelle

(25)

produk pangan seperti yang dilakukan oleh pemerintah Filipina. Filipina memfortifikasi monosodium glutamat (MSG) dengan vitamin A, terbukti memberikan efek positif dapat menurunkan kematian pada anak-anak, memperbaiki pertumbuhan dan tingkat hemoglobin pada anak-anak. Selain MSG, pemerintah Filipina juga memfortifikasi tepung terigu dengan vitamin A dan dikonsumsikan sebagai kue pada anak-anak sekolah selama 30 minggu dan terbukti dapat menaikkan tingkat penyimpanan vitamin A dalam tubuh (WHO 2006).

Vitamin A merupakan vitamin yang bersifat larut lemak sehingga lebih mudah bercampur dengan pangan berbasis lemak dan minyak. Ketika bahan pangan pembawa berbasis kering atau air, pembuatan enkapsulasi vitamin sangat dibutuhkan. Berdasarkan kondisi ini, fortifikasi vitamin A dibedakan menjadi dua yaitu, bentuk minyak yang dapat secara langsung ditambahkan dalam pangan berbasis lemak, atau dibentuk menjadi emulsifier pada produk pangan yang berbasis air dan bentuk kering yang dapat dicampurkan kedalam pangan atau didespersikan dalam air.

Fortifikasi vitamin A dalam produk dapat menggunakan vitamin A berbentuk retinil palmitat, β-karoten dan retinil asetat.Dalam bentuk β-karoten hanya ditambahkan pada produk tertentu, karena dapat mempengaruhi warna produk, penggunaan β-karoten biasa pada produk margarin dan mentega untuk membantu memberikan warna. Penggunaan retinil palmitat lebih disukai dalam produk sereal dan tepung karena memiliki kestabilan yang bagus pada pengaplikasiannya. Sedangkan vitamin A dalam bentuk retinil asetat lebih disukai untuk bahan berbasis larut lemak. Penambahan vitamin A kedalam pangan berbasis sereal sebanyak 12 ppm untuk memenuhi kebutuhan 100% vitamin A. Sedangkan estimasi rata-rata kebutuhan vitamin A menurut FAO sebesar 1390 IU (Wesley dan Ranum 2004).

Fortifikasi produk dapat memeberikan pengaruh pada kualitas produk dan juga penerimaan produk meliputi penampakan dan warna, flavor dan aroma, daya simpan, rasa dan mouthfeel, dan faktor sensori yang dipertimbangkan dalam

melakukan fortfikasi mikronutrisi adalah, harga fortifikan, beberapa mikronutrisi yang dibutuhkan dalam diet lebih mahal jika dibandingkan dengan lainnya, seperti contohnya adalah vitamin A, penambahan vitamin A dalam suatu produk pangan dapat seharga penambahan 10 mikronutrisi yang mempunyai harga paling murah. Selain itu pengeluaran biaya yang mahal dapat ditemukan pada fortifikasi vitamin C, kalsium, magnesium, biotin, vitamin E dan asam pantotenat.

(26)

14

Proses Produksi Flake Singkong

Semakin meningkatnya populasi dunia menjadikan sereal sebagai salah satu makanan yang sering dikonsumsi. Sereal menggantikan pangan hewani yang kaya sumber vitamin A dan besi. Sereal hampir menjadi makanan wajib seiring pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Konsumsi sereal tidak memberikan nutrisi yang cukup pada tubuh karena sereal memiliki mikronutrisi yang rendah jika dibandingkan dengan pangan hewani yang kaya sumber nutrisi seperti besi dan vitamin B12.

Sereal telah menjadi makanan pokok karena sereal merupakan pangan serbaguna, rasanya enak, tersedia dengan mudah dipasaran, harganya terjangkau dan mudah diterima oleh semua lapisan masyarakat. Masyarakat mengkonsumsi sereal setiap hari dan dikonsumsi semua umur bahkan balita. Tidak terdapat larangan baik dari segi agama maupun dari segi budaya masyarakat untuk menkonsumsi sereal, hal ini menjadi alasan kuat sereal terus dikonsumsi dan produksinya terus meningkat setiap tahunnya. Data peningkatan konsumsi sereal di dunia dapat dilihat pada Tabel 4. Bahan dasar pembuatan sereal merupakan tepung terigu dan tepung jagung yang mudah ditemukan dan harganya terjangkau walupun bahan dasarnya diperoleh dengan diimpor dari negara lain.

Tabel 4 Produksi dan konsumsi sereal disuluruh dunia

Jenis sereal

Produksi panen dunia

Konsumsi dunia/kapita

Sebagai pangan Sebagai energi Sebagai proteim Juta metric

ton Kg/orang/tahun Kkal/orang/hari Gram/orang/hari

Jagung 593 19.1 157 3.8

Pengeringan pati yang telah mengalami gelatinisasi merupakan prinsip dasar sereal sarapan instan berbentuk flake ini. Pati kering tersebut masih memiliki

kemampuan untuk menyerap sejumlah air dalam jumlah yang besar. Setelah air terserap ke dalam pati, maka pati/ serealia tersebut dapat langsung dikonsumsi (Felicia 2006).

Dalam pembuatan Flake bahan baku yang paling umum digunakan adalah

(27)

pada industri obat-obatan. Adapun komposisi kimia ubi kayu atau singkong dapat dilihat pada Tabel 5.

Flake singkong merupakan salah satu produk pengembangan Balai

Besar Pertanian Bogor yang dibuat dalam rangka diversifikasi pangan lokal dengan berbahan utama singkong, berwarna coklat dan berbentuk pipih. Flake

singkong sengaja dipilih dalam menyediakan media fortifikasi untuk vitamin A untuk mengatasi KVA di Indonesia. Pembuatan flake singkong dilakukan secara

manual menggunakan oven dan fortifikasi dilakukan pada tahap pencampuran adonan flakesebelum proses pengovenan.

Tabel 5 Komponen kimia singkong

Komponen Kadar

Kalori 146.00 kal

Air 62.50 g

Fosfor 40.00 mg

Karbohidrat 34.00 g

Kalsium 33.00 mg

Vitamin C 30.00 mg

Protein 1.20 g

Besi 0.70 mg

Lemak 0.30 g

Vitamin B1 0.06 mg

(28)

16

3 METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai Mei 2015 di Laboratorium Kimia, Mikrobiologi, Nanoteknologi, dan Pengolahan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor.

Bahan

Bahan-bahan utama yang dibutuhkan dalam proses pembuatan nanoemulsi dan uji bioaksesibilitas meliputi, retinil palmitat diperoleh dari SIGMA-ALDRICH (Steinheim, Jerman), Tween20 diperoleh dari Merck (Darmstadt, Jerman), minyak jagung diperoleh dari minimarket (Bogor, Indonesia) dan VCO diperoleh dari apotek Naga (Bogor, Indonesia). Semua bahan disediakan oleh Balai Besar Pasca Panen Pertanian Bogor Indonesia. Pankreatin terdiri dari tripsin, amilase dan lipase, ribonuklease, dan protease. Empedu ekstrak babi, α-amilase pankreas babi (aktivitas ≥10 unit/mg, tipe VI-B), lipase dari pankreas babi (TipeVI-S, aktivitas ≥20,000 unit/mg), bubuk pepsin dari mukosa lambung babi (aktivitas ≥250 unit/mg). Semua enzim pencernaan diperoleh dari SIGMA-ALDRICH (Steinheim, Jerman).

Proses pembuatan flake singkong dibutuhkan bahan-bahan meliputi tepung singkong ukuran 100 mesh yang berasal dari cip singkong ADIRA 1 yang diperoleh dari pulau Madura provinsi Jawa Timur, garam, gula, mentega, baking powder, kuning telur, coklat bubuk, coklat blok, susu bubuk, maltodekstrin, air dan nanoemulsi vitamin A.

Alat

(29)

Tahapan Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, penelitian utama I, penelitian utama II, dan penelitian utama III.

Karakterisasi Nanoemulsi vitamin A (Fisik, Kimia dan Stabilitas)

Pada tahap ini pembuatan nanoemulsi vitamin A dengan 4 formulasi. Pembuatan nanoemulsi vitamin A diawali dengan pembuatan premiks emulsi yang terdiri dari fase minyak yang terbuat dari retinil palmitat dan minyak pembawa (VCO dan minyak jagung) dan fase air yang terbuat dari surfaktan dan air dengan konsentrasi surfaktan 3% dan 6%. Formulasi nanoemulsi vitamin A modifikasi metode Vladisavljevic (2010). Fase minyak dan fase air dicampur menggunakan ultraturax yang menghasilkan premiks emulsi. Untuk menghasilkan nanoemulsi vitamin A, premix emulsi diproses dengan menggunakan HPH untuk mendapatkan ukuran nano. Tahap pembuatan nanoemulsi dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Proses pembuatan nanoemulsi vitamin A Tween 20 (3%) + air (94%)

Homogenasi dengan ultraturax (11000 rpm; ± 3 menit)

Homogenasi dengan ultraturax (11000 rpm; ± 7 menit) Minyak Pembawa (VCO/ minyak

jagung 3% + retinil palmitat 0.1%

Premiks emulsi

Homogenasi dengan HPH (500 bar; 10 siklus)

(30)

18

Nanoemulsi vitamin A diuji ukuran diameter droplet, ζ-potensial, distribusi ukuran partikel (PDI) menggunakan PSA dengan pengenceran 1:20 untuk mengurangi pembacaan yang bertumpuk. Morfologi partikel nanoemulsi dapat diuji menggunakan TEM dengan teknik pewarnaan. Stabilitas nanoemulsi secara fisik dilakukan dengan menggunakan metode freeze and thawmodifikasi

dengan menggunakan suhu -4oC selama 20 jam dan 20oC selama 2 jam yang dilakukan secara kontinyu selama 5 hari. Pengujian stabilitas secara fisik dilakukan dengan menggunakan PSA dan pengujian secara kimia menggunakan UPLC dengan mengukur vitamin A sebelum dan sesudah proses stabilitas.

Uji Bioaksesibilitas Nanoemulsi vitamin A

Penelitian utama II dilakukan uji bioaksesibilitas tiap formula nanoemulsi vitamin A. Uji bioaksesibilitas menggunakan spektofotometri dan metode in vitro.

Metode in vitro memodifikasi metode in vitro Failla (2008). Penggunaan saliva

sintetik dihilangkan karena sampel berupa cairan murni dan penggunaan NaHCO3 dihilangkan. Pengaturan pH larutan sampel menggunakan NaOH 1 M dan HCl 1 M. Hasil in vitro merupakan fraksi michelle yang dipercaya mengandung vitamin

A yang telah melalui tahapan pemecahan matrik. Biokasesibilitas diukur menggunakan modifikasi metode Cheng et al. (2012) yaitu dengan menggunakan

spektrofotometri.

Gambar 9 Proses in vitro bioaksesibilitas Pencernaan oral pH 6.8,

10 min, 37oC

Sampel

α-amilase

Pencernaan lambung pH 2.5, 60 min, 37oC

Pencernaan usus halus pH 6.5, 120 min, 37oC

Pepsin 1M HCl

Bile ekstrak, Pankreatin, Lipase 1M NaHO

Fraksi michelle

(31)

Fortifikasi Nanoemulsi dalam Flake Singkong

Penelitian utama III merupakan tahapan fortifikasi naoemulsi vitamin A dalam adonan flake singkong. Penambahan nanoemulsi vitamin A dilakukan

dengan perhitungan overage vitamin A. Hasil perhitungan overagevitamin A

terdapat pada Lampiran 1, hasil perhitungan overage vitamin A adalah 6 ppm.

Gambar 10 Proses pembuatan flake singkong terfortifikasi dengan nanoemulsi vitamin A

Pencampuran adonan dengan menggunakan pengaduk hingga adonan kalis

Vitamin A nanoemulsi 18 ppm

Pemipihan adonan hingga 1 mm dengan mesin pemipih adonan mie

Pencentakan adonan

Pengovenan (10 menit; 160oC)

Flake singkong terfortifikasi vitamin A nanoemulsi

Tepung singkong (36%) + maltodekstrin (12%) + mentega (3%) + kuning telur (2%) + coklat blok (10%) + coklat bubuk (3%) +

(32)

20

Prosedur Analisis

Uji Kimia

Uji kimia yang dilakukan meliputi analisa sianida (Marlina 1999), ujii kadar vitamin A (AOAC 2005).

HCN

Analisa kandungan HCN pada sampel menggunakan spektrofoometri dengan detector UV Vis yang memodifikasi metode Marlina (1999). Pengukuran HCN dimulai dengan pembuatan kurva standar HCN. Standar KCN dilarutkan dalam HCl 3N dalam tabung reaksi dan ditutup menggunakan kertas pikrat. Larutan didiamkan selaama 3 jam pada suhu ruang. Perhitungan kurva standar adalah dengan mengelusikan kertas pikrat masing-masing konsetrasi dalam aquades dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 450nm.

Sampel yang akan diuji dihaluskan dan dimasukkan dalam tabung reaksi yang berisi 1 ml kloroform. Tabung reaksi yang berisi sampel ditutup menggunakan kertas pikrat, didiamkan selama 3 jam pada suhu ruang. Kertas pikrat yang telah menjerat HCN sampel dielusikan dengan aquades dan dibaca absorbansinya dengan panjang gelombang 450nm. Perhitungan sianida sampel dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

Sianida (ppm) = 396 x absorbansi

Vitamin A

Analisis vitamin A menggunakan (UPLC) Ultra Performance Liquid Chromatography dengan detektor UV-Vis. Fase gerak yang digunakan adalah

methanol:air (90:10) dengan flow rate 0.1 ml/menit pada panjang gelombang

325nm dan menggunakan kolom Aquity Waters UPLC BEH C18 1.7 m 2.0 x 50mm dengan suhu kolom 30oC dan volum injek 1 l (AOAC 2005). Analisa vitamin A didahului dengan pembuatan kurva standar retinil palmitat dengan konsentrasi 25mg/kg, 50 mg/kg, 200 mg/kg dan 500mg/kg dilarutkan dalam heksan. Sampel yang akan diuji vitamin A ditimbang sebanyak 1.5 g ditambahakan 10ml etanol dan 2.5ml KOH. Sampel dipanaskan dalam waterbath suhu 80oC selama 90 menit. Setelah dipanaskan sampel didinginkan pada suhu ruang dan kemudian ditambahakn asam asetat glasial 2.5ml. Sampel dipindahkan dalam labu ukur 25ml dan ditambahkan etanol:THF (Tetra Hydro Furan) (1:1) sampai 25ml. Sampel kemudian dihomogenkan dan didiamkan semalam dalam ruang yang gelap pada suhu ruang sebelum dianalisa dengan UPLC. Sampel disaring sebelum diinjekan pada kolom. Peak vitamin A dilihat waktu retensinya

(33)

22

Pengujian profil nanoemulsi vitamin A

Pengujian profil nanoemulsi vitamin A meliputi ukuran droplet nanoemulsi vitamin A, nilai PDI dan ζ-potensial dianalisa menggunakan PSA (Particle Size Analyzer) dengan mengencerkan sampel dengan etanol (1:20)

(Malvern 2013). Pengenceran sampel bertujuan untuk menghindari pembacaan yang bertumpuk pada PSA.

Pengujian morfologi nanoemulsi vitamin A

Pengujian morfologi nanoemulsi vitamin A menggunakan Transmission Electron Misroscope (TEM) modifikasi metode Ackermann et al (2010).

Pengoperasian TEM menggunakan tegangangan 120kV. Sampel dimasukan kedalam karbon Grid (400 mesh). Sampel sebelum dimasukan kedalam Grid dilakukan metode pewarnaan negative menggunakan EDTA (Etilen Diamin Tetraasetat Acid).

Uji Tekstur flake singkong

Pengujian tekstur flake singkong menggunakan instrument texture analyzer dengan metode Altan et al. (2008). Hasil yang diperoleh dari pengujian

tekstuer adalah kerenyahan produk yang diperoleh dari jarak (mm) ketika produk retak dan kemiringan (N/mm). Pengujian dilakukan dengan probe TA 39 dan jarak probe 22 mm dari tiga titik uji yang berbeda dalam satu luasan flake

singkong dengan kecepatan 2 mm/s.

Uji Warna flake singkong

Pengujian warna menggunakan metode Altan et al. (2008) dengan

menggunakan instrument chromameter. Pengukuran dilakukan diatas permukaan flake dengan menggunakan parameter Hunter Lab. Konversi nilai Hunter Lab

untuk mengetahui warna sampel menggunakan website www.easyrgb.com. Nilai yang dilaporkan adalah rata-rata dari tiga pengukuran per sampel dan ΔE dengan persamaan sebagai berikut :

Uji Organoleptik

Uji organoleptik flake singkong menggunakan panelis tidak terlatih

(34)

Uji organoleptik ini melakukan pengujian penampakan secara keseluruhan (Adawiyah 2014).

Analisis Data

Data profil nanoemulsi dan bioaksesibilitas nanoemulsi vitamin A yang diperoleh diolah menggunakan analisa ragam (TWO WAY ANOVA) (Walpole 1995). Pengujian data organoleptik dan tekstur flake singkong menggunakan

(35)

24

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakterisasi Nanoemulsi vitamin A

Nanoemulsi dapat memperbaiki atau meningkatkan sifat-sifat komponen bioaktif, antara lain kestabilan kinetika dan memperbaiki penyerapan komponen bioaktif. Nanoemulsi dapat mempengaruhi penyerapan komponen bioaktif dalam tubuh, karena ukuran droplet yang relatif kecil akan meningkatkan kontak antara komponen bioaktif dengan membran intestinal. Selain itu, pembuatan nanoemulsi dapat memperbaiki sifat fisik vitamin A yang sensitif terhadap oksigen dan sinar UV. Penelitian ini menggunakan senyawa aktif retinil palmitat sebagai sumber vitamin A yang digunakan dalam pembuatan nanoemulsi vitamin A. Pemilihan retinil palmitat dalam penelitian ini karena memiliki sifat yang stabil terhadap panas. Retinil palmitat juga dianjurkan untuk menjadi sumber vitamin A pada sereal yang telah teruji selama 9 bulan penyimpanan masih tersisa 95% (Wesley

and Ranum 2004).

Berdasarkan hasil pengukuran diameter droplet nanoemulsi vitamin A terkecil adalah sebesar 115.60±0.67 nm dan diameter droplet nanoemulsi vitamin A terbesar adalah sebesar 144.36±0.25 nm. Pada Tabel 6 dapat diamati bahwa hasil analisa ragam dengan menggunakan two way annova menunjukkan diameter ukuran partikel setiap formula berbeda secara nyata (p<0.05). Penggunaan Tween 20 sebanyak 6% menghasilkan ukuran droplet lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan Tween 20 sebanyak 3%.

Ukuran droplet nanoemulsi juga dipengaruhi oleh jenis minyak pembawa. VCO adalah salah satu jenis minyak yang dikategorikan minyak rantai medium karena asam lemak utama penyusun VCO adalah asam laurat yang tersusun dari atom C12, sedangkan minyak jagung termasuk dalam minyak rantai panjang karena sebagian besar asam lemak penyusunnya terdiri dari atom C16-C18. Komposisi jenis asam lemak penyusun minyak pembawa dapat dilihat pada Tabel 7. Perbedaan utama minyak MCT dan minyak sayur lainnya, seperti bunga matahari atau minyak rapseed berdasarkan berat molekul dan ukurannya, MCT memiliki berat molekul dan ukuran yang lebih kecil dari minyak sayur lainnya (Winarno 2008). Sedangkan minyak jagung memiliki rantai atom C yang lebih panjang daripada VCO, sehingga akan menghasilkan droplet yang lebih besar dan transparasinya akan menurun (Erawati 2014).

Tabel 6 juga menunjukkan bahwa perbedaan jumlah konsentrasi emulsifier dan jenis minyak pembawa tidak berpengaruh secara nyata (p>0.05) terhadap nilai PDI yang diperoleh, hasil ragam analisa menggunakan Two Way Anova juga menunjukkan tidak terdapat interaksi antara jenis minyak pembawa dan jumlah konsetrasi emulsifier terhadap nilai PDI. Nilai PDI akan memberikan informasi mengenai indikasi kualitas keseragaman suatu dispersi. Semakin rendah nilai PDI yaitu mendekati 0, menunjukkan distribusi droplet nanoemulsi semakin sempit, yang artinya ukuran droplet nanoemulsi semakin homogen (Zhao et al. 2015).

(36)

Tingginya jumlah emulsifier dapat mengurangi tegangan permukaan antara fase minyak dan fase air sehingga droplet yang terbentuk lebih seragam (Diba et al.

2014). Berdasarkan Tabel 6 nilai PDI berturut turut dari yang terbesar 0.163±0.003 (NV3), 0.162±0.002(NC6), 0.147±0.003 (NC3), 0.149±0.002 (NV6).

Tabel 6 Karakteristik nanoemulsi vitamin A Nama

sampel Jenis minyak pembawa emulsifier (%) Konsentrasi Diameter (nm) PDI ζ-potensial (MVa) NC3 Minyak jagung 3 144.36±0.25a 0.147±0.003a -17.0±1.96b NC6 Minyak jagung 6 135.47±0.05b 0.162±0.002a -14.3±0.68c NV3 VCO 3 132.53±0.66c 0.163±0.003a -18.4±3.29a NV6 VCO 6 115.60±0.67d 0.149±0.002a -17.4±0.67b

Keterangan: 1. Angka-angka pada pengamatan dan kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.

2.NC3 = nanoemulsi vitamin A (minyak jagung, 3% surfaktan), NC6 = nanoemulsi vitamin A (minyak jagung, 6% surfaktan), NV3 = nanoemulsi vitamin A (VCO, 3% surfaktan), dan NV6 = nanoemulsi vitamin A (VCO, 6% surfaktan).

Nilai ζ-potensial berturut-turut adalah -14.3±0.68 (NC6), -17.0±1.96 (NC3), -17.4±0.67 (NV6), dan -18.4±3.29 (NV3). Nilai negatif pada ζ-potensial diperoleh karena nanoemulsi vitamin A dilapisi oleh Tween 20. Penggunaan Tween 20 tanpa penambahan emulsifier lainnya menyebabkan muatan negatifnya akan meningkat dari -12mV, dan akan meningkat sampai dengan -105mV jika ditambahkan SDS secara berkelanjutan (Vladisavljevic and MC. Clement 2010).

ζ-potensial diperlukan untuk molekul atau partikel yang memiliki ukuran sangat kecil, tingginya nilai ζ-potensial akan menunjukkan stabilitas larutan tersebut dalam mencegah agregasi begitu sebaliknya jika nilai ζ-potensial rendah, menunjukkan bahwa larutan pendispersi dan terdispersi akan mengalami flokulasi dan terjadi pemisahan antar fase (Silva et al. 2012). Nanoemulsi NV3 memiliki

nilai ζ-potensial tertinggi dibandingkan ketiga formulasi naoemulsi lainnya, hal ini menunjukkan bahwa nanoemulsi NV3 lebih stabil diantara NC3, NC6 dan NV6. Secara umum, partikel dengan nilai ζ-potensial melebihi +30 mV atau kurang dari 30 mV menunjukkan kestabilan, karena muatan listrik dari droplet cukup kuat untuk menolak antara droplet yang dominan dalam sistem nanoemulsi (Diba et al. 2014). Nilai ζ-potensial terbaik dari masing-masing minyak pembawa

diperoleh dengan konsentrasi Tween 20 sebanyak 3%. Menurut Diba et al. 2014

Nilai terbaik ζ-potensial nanoemulsi jintan hitam diperoleh dengan konsentrasi emulsifier Tween 80 sebanyak 3%.

(37)

26

Tabel 7 Komposisi Asam Lemak minyak pembawa Asam Lemak VCO (%) Minyak Jagung (%)

Asam kaprilat (C8:0) 10.83 -

Asam kaprat (C10:0) 6.94 -

Asam Laurat (C12:0) 45.64 -

Asam miristat (C14:0) 16.50 0.05 Asam palmitat (C16:0) 8.88 11.84

Asam oleat (C18:1) 8.89 27.06

Asam linoleat (C18:2) 1.97 58.78 Asam linolenat (C18:3) 0.35 2.27 Sumber : Yuliani et al. (2013)

Gambar 11 Morfologi nanoemulsi vitamin A, NC3 (a), NC6 (b), NV3 (c), dan NV6 (d)

Stabilitas Nanoemulsi vitamin A

Secara fisik nanoemulsi diamati secara visual, Gambar 12 menunjukkan bahwa nanoemulsi vitamin A tetap stabil selama masa penyimpanan lima hari dengan tidak terjadi agregasi dan flokulasi pada nanoemulsi vitamin A. Pengujian profil nanoemulsi vitamin A setelah masa penyimpanan menggunakan PSA menunjukkan adanya perubahan diameter partikel, PDI dan ζ-potensial.

Ukuran diameter partikel selama penyimpanan mengalami perubahan menjadi lebih kecil, Tabel 8 menunjukkan hasil ragam diameter partikel nanoemulsi vitamin A setiap formula selama 5 hari. Diameter nanoemulsi vitamin A setelah disimpan berturut-turut adalah 138.30±1.37 (NC3), 126.0±0.63 (NC6), 109.57±1.27 (NV3), 81.37±0.32 (NV6). Nanoemulsi NV6 memiliki ukuran

a b

c d

13500x 23000x

(38)

partikel paling kecil diantara nanoemulsi lainnya. Nanoemulsi vitamin A yang terbentuk memiliki ukuran partikel yang sangat kecil, ukuran partikel dapat mempengaruhi stabilitas fisik nanoemulsi, semakin kecil ukuran partikel, stabilitas yang terjadi semakin baik, karena dapat menghambat pembentukan agregasi. Hal ini didukung penelitian Noor et al. (2015) yang menyatakan bahwa

penurunan ukuran diameter menyebabkan nanoemulsi menjadi lebih stabil secara kinetika, karena ukuran droplet yang semakin kecil dapat mereduksi gaya gravitasi, sehingga dapat mencegah sedimentasi atau agregasi selama penyimpanan.

Tabel 8 Karakterisasi profil nanoemulsi vitamin A setelah masa penyimpanan

Keterangan: 1. Angka-angka pada pengamatan dan kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.

2. NC3 = nanoemulsi vitamin A (minyak jagung, 3% surfaktan), NC6 = nanoemulsi vitamin A (minyak jagung, 6% surfaktan), NV3 = nanoemulsi vitamin A (VCO, 3% surfaktan), dan NV6 = nanoemulsi vitamin A (VCO, 6% surfaktan).

Nilai PDI mengalami kenaikan pada nanoemulsi NC3, NV3 dan NV6 sedangkan pada nananoemulsi NC6 mengalami penurunan yang tidak terlalu signifikan. Nilai PDI beturut-turut dari yang terbesar adalah 0.26±0.13 (NV3), 0.16±0.05 (NV6), 0.16±0.15 (NC3), dan 0.16±0.05 (NC6). Nanoemulsi NV3 memiliki nilai kenaikan PDI paling tinggi dibandingkan dengan formula lainnya, semakin besar nilai PDI menunjukkan semakin tidak seragamnya ukuran nanoemulsi.

Nilai ζ-potensial mengalami peningkatan pada semua formula, nilai ζ -potensial dari yang terendah adalah -20.3±0.62 Mv (NV6), -21.7±0.35 Mv (NC6), -22.1±1.81Mv (NC3), dan -26.5±1.37 Mv (NV3). Perbedaan nilai ζ-potensial disebabkan oleh adanya perbedaan jenis minyak pembawa. VCO memiliki rantai karbon lebih pendek dibandingkan dengan minyak jagung. Panjang karbon penyusun asam lemak dapat mempengaruhi daya tolak-menolak dan tarik menarik antar partikel. Hal ini didukung oleh Zhao et al. (2015) menyatakan bahwa

perbedaan kimia fase minyak secara signifikan dapat mempengaruhi hambatan energi yang dibutuhkan oleh emulsi untuk menstabilkan larutan, hidrokarbon rantai pendek membutuhkan energi yang lebih rendah jika dibandingkan degan hidrokarbon rantai panjang, kurangnya stress fisikokimia emulsifier pada

hidrokarbon rantai panjang dapat mempengaruhi stabilitas yang dihasilkan.

(39)
(40)

dapat mempengaruhi stabilitas emulsi, hal ini dapat dilihat dari perubahan droplet nanoemulsi yang menjadi lebih kecil dan nilai PDI yang bergerak naik. Naiknya nilai PDI mengindikasikan mulainya terbentuk ketidakseragaman ukuran partikel. Penurunan diameter partikel nanoemulsi memberikan pengaruh pada nilai vitamin A, dengan semakin kecil ukuran droplet, maka luas permukaan nanoemulsi vitamin A semakin besar untuk dapat diekstrak oleh solven, sehingga kandungan vitamin A yang dapat terukur dengan alat lebih tinggi dibandingkan dengan hari pertama.

BioaksesibilitasNanoemulsi vitamin A

Berdasarkan Gambar 15 nilai bioaksesibilitas nanoemulsi vitamin A dengan menggunakan VCO sebagai minyak pembawa dan 3% Tween 20 memiliki nilai bioaksesibilitas tertinggi. Berdasarkan analisa data secara statistik dengan menggunakan varian Two Way Annova diperoleh bahwa jenis minyak pembawa memiliki nilai ragam yang berbeda secara signifikan (p<0.05) dengan nilai p 0.018.

Keterangan :

1. NC3 : Nanoemulsi Vitamin A dari minyak jagung dan 3% Tween 20 2. NC6 : Nanoemulsi Vitamin A dari minyak jagung dan 6% Tween 20 3. NV3 : Nanoemulsi Vitamin A dari minyak kelapa murni dan 3% Tween 20

4. NV6 : Nanoemulsi Vitamin A dari minyak kelapa murni dan 6% Tween 20

Gambar 14 Bioaksesibilitas nanoemulsi vitamin A

Tingginya nilai bioaksesibilitas nanoemulsi vitamin A NV dapat dipengaruhi oleh jenis minyak pembawa. Zhao et al. (2015) menyatakan faktor

penentu bioaksesibilitas adalah ukuran partikel, jenis minyak pembawa, dan jenis emulsifier yang digunakan. Sampel yang memiliki bioaksesibilitas tertinggi adalah nanoemulsi vitamin A yang mengandung VCO.

(41)

30

berbeda. VCO tersusun atas 10.83% asam kaprilat, 6.94% asam kaprat, 45.64% asam laurat, 16.50% asam miristat, 8.88% asam palmitat, 8.89% asam oleat, 1.97% asam linoleat dan 0.35% asam linoleat. Sedangkan minyak jagung tersusun atas 0.05% asam miristat, 11.84% asam palmitat, 27.06% asam oleat, 58.78% asam linoleat dan 2.27% asam linoleat (Yuliani et al. 2013). VCO merupakan

jenis minyak MCT dengan penyusun asam lemak dominan asam laurat, sedangkan minyak jagung merupakan LCT dengan asam lemak mayoritas penyusunnya asam linoleat.

Ukuran MCT yang lebih kecil memungkinkan terjadinya penyerapan langsung kedalam pembuluh darah, didalam tubuh akan segera dimetabolisir. Metabolisme VCO dan minyak jagung yang menyebabkan adanya perbedaan bioaksesibilitas vitamin A. MCT secara cepat akan dihidrolisa atau dipecahkan dalam usus kecil dan segera diserap oleh mukosa dalam usus kecil, sedangkan LCT memerlukan hidrolisa sempurna menjadi asam lemak bebas dan mogliserida baru kemudian mengalami metabolism secara perlahan melalui sitem pencernaan

lymphe (Winarno 2008).

Keterangan :

1. NC : Nanoemulsi Vitamin A dari minyak jagung 2. NV : Nanoemulsi Vitamin A dari minyak kelapa murni

Gambar 15 Total bioaksesibilitas nanoemulsi vitamin A

Bioaksesibilitas sendiri adalah kemampuan senyawa aktif untuk keluar dari matrix pangan, tingginya bioaksesibilitas naoemulsi vitamin A menggunakan VCO dimungkinkan bahwa proses metabolisme minyak jagung yang lama dapat mempengaruhi jumlah vitamin A yang dapat dikelurakan dalam tubuh, sedangkan VCO memiliki waktu metabolisme yang singkat dan memiliki ukuran lebih kecil jika dibandingkan minyak jagung, hal ini akan mempermudah pengeluaran vitamin A dari matriks emulsi. Minyak jenis MCT lebih mudah ditransportasikan, dicerna, diserap dalam sistem pencernaan dalam tubuh jika dibandingkan dengan minyak jenis LCT.

(42)

dapat masuk dalam aliran darah lebih cepat. Berbeda dengan LCT yang membutuhkan asam empedu dalam jumlah besar dan memerlukan banyak langkah pencernaan yang akan dipecah menjadi unit yang lebih kecil sebelum dapat diserap (Gemert 2005).

Beberapa penelitian menunjukkan nilai bioaksesibilitas tertinggi diperoleh nanoemulsi dengan LCT sebagai minyak pembawa. Majeed et al. (2015)

menyatakan bioaksesibilitas nanoemulsi eugenol menggunakan LCT minyak canola memiliki bioaksesibilitas terbaik dibandingkan dengan MCT Noebe-1053. Pelepasan eugenol tergantung oleh pelepasan asam lemak bebas, semakin panjang asam lemak maka akan semakin banyak asam lemak bebas yang diperoleh, sehingga pelepasan eugenol juga akan mengalami peningkatan. Hal ini didukung oleh penelitian Cheng et al (2012) yang menyiapkan nanoemulsi β-karoten

dengan minyak jagung (LCT) dan myoglyol (MCT) dan minyak jeruk (minyak yang tidak dapat dicerna. Bioaksesibilitas terbaik β-karoten menggunakan LCT sebesar 66%, MCT 2% dan minyak jeruk 0%. Minyak jeruk tidak memiliki komponen triasil gliserol yang tidak dapat dicerna menjadi asam lemak bebas, sedangkan asam lemak bebas yang diperoleh dari minyak jagung lebih banyak jika dibandingkan dengan miogliol.

Rendahnya bioaksesibilitas MCT yang diperoleh dari beberapa penelitian dapat dijelaskan oleh Mc. Clement (2013) komponen partikel nanoemulsi yang dilapisi oleh komponen yang tidak dapat dicerna, seperti minyak flavor, minyak esensial, minyak mineral atau pengganti lemak, partikel nanoemulsi akan langsung diserap didalam tubuh bersama lapisan yang menyelubunginya, sedangkan jika nanopartikel bioaktif dilapisi oleh komponen yang dapat dicerna maka akan didegradasi oleh larutan intestin, dan senyawa bioaktif akan keluar dari lapisannya yang dapat diserap oleh tubuh tanpa lapisannya.

Fortifikasi Nanoemulsi vitamin A dalam Flake Singkong

Fortifikasi nanoemulsi vitamin A dalam flake singkong dilakukan pada

tahap pencampuran adonan sebelum proses pencetakan adonan. Flake singkong

terbuat dari 100% tepung singkong tanpa adanya tambahan tepung terigu dalam proses pembuatannya. Flake singkong dapat dinyatakan flake bebas gluten yang

dapat dikonsumsi untuk penderita alergi gluten. Bahan utama flake singkong

(43)

32

Tabel 9 Kandungan HCN pada sampel Nama sampel Kadar HCN

(ppm) Chip singkong 89.75 Tepung singkong TTD

Flake TTD

Penambahan nanoemulsi vitamin A dalam produk flake singkong

dilakukan dengan perhitungan overage vitamin A. Perhitungan overage vitamin A

dilampirkan pada Lampiran 1. Berdasarkan hasil pengujian vitamin A setelah menjadi flake singkong, didapatkan semua formula flake singkong memenuhi

standar fortifikasi vitamin A dalam sereal yaitu > 12ppm. Konsentrasi vitamin A dalam flake singkong dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Kandungan vitamin A pada flake singkong Nama sampel Konsentrasi vitamin A (ppm)

NC3 17.99

NC6 16.98

NV3 17.88

NV6 23.53

Kontrol 0

Pengujian hedonik flake singkong menggunakan 70 panelis tidak terlatih

dengan skala 1-4 pada masing-masing parameter menunjukkan tidak ada perbedaan secara nyata (p>0.05) antar masing-masing perlakuan. Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa rata-rata parameter mendapatkan nilai ±2 yang menunjukkan bahwa flake singkong data diterima oleh panelis. Tidak terdapat perbedaan yang

signifikan untuk semua formula dan kontrol. Rasa flake singkong yang telah

difortifikasi terdapat sedikit rasa pahit yang berasal dari emulsifier, tetapi berdasarkan hasil organoleptik tidak terdapat perbedaan secara signifikan terhadap rasa flake singkong yang telah difortifkasi dengan kontrol.

Pengujian warna merupakan salah satu parameter yang digunakan dalam penelitian ini, menurut Holinesti (2005) menyatakan bahwa salah satu faktor sensori yang mempengaruhi penerimaan produk pangan adalah warna. Berdasarkan data hasil pengujian warna flake singkong menggunakan chromameter menunjukkan tidak terdapat perbedaan secara nyata (p>0.05) antar masing-masing perlakuan. Berdasarkan nilai ΔE pada Tabel 12 diperoleh flake

singkong NC3 memiliki perbedaan warna paling jauh dengan kontrol dibandingkan dengan flake singkong lainnya sedangkan NV6 memiliki nilai ΔE

terendah diantara semua formula yang menunjukkan formula NV6 memiliki kemiripan warna dengan kontrol.

Warna coklat flake singkong diperoleh dari coklat blok dan coklat bubuk

Gambar

Tabel 1 Sifat Kimia Fisika dari Jenis-Jenis Vitamin A
Gambar 5 Struktur tween 20(Anonim 2014 c)
Tabel 3 Pembuatan Nanoemulsi: jenis emulsifier dan minyak
Gambar 8.
+4

Referensi

Dokumen terkait

Diksi yang digunakan dalam bait ini sangat sederhana namun bermakna. Ketika seseorang muslim hidup tenteram dan merasa aman, itulah pertanda karena keimanan,

yaitu (1) pada umumnya belum ada sarana transportasi umum dan hanya dapat ditempuh melalui jalur transportasi tertentu saja, (2) masih kuatnya pengaruh

P302 + P352 JIKA TERKENA KULIT: Basuh dengan sabun dan air yang banyak. Tanggalkan kanta lekap, jika ada dan dapat dilakukan dengan mudah.. *) Nombor pendaftaran tidak tersedia

27 Untuk membuat lubang pin, maka pilih permukaan yang ditunjukkan tanda panah, kemudian klik Sketch. 28 Buat sketch

Hal lain yang berkaitan dengan pentingnya mempelajari perkembangan fisik anak, adalah bahwa baik secara langsung ataupun tidak, optimalisasi perkembangan fisik termasuk di

2.2.2 Persepsi antara mahasiswa akuntansi, mahasiswa ekonomi non akuntansi, dan mahasiswa non ekonomi Universitas Katolik Soegijapranata mengenai misstatement (salah saji)

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perlakuan (perangkap + tagetes + imidacloprid), (tagetes + imidacloprid), dan (perangkap + imidacloprid) berpengaruh

Identifikasi Tomato infectious chlorosis virus penyebab penyakit klorosis pada tanaman tomat di Cipanas Jawa Barat melalui perunutan nukleotida gen protein selubung utama..