• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Impor Beras Di Indonesia Periode 1980-201

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Impor Beras Di Indonesia Periode 1980-201"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

1.1LATAR BELAKANG

Perekonomian negara-negara di dunia saat ini terkait satu sama lain melalui perdagangan barang dan jasa, transfer keuangan dan investasi antar negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan hubungan perdagangan dengan negara lain karena adanya perbedaan antarnegarabaik dalam hal sumber daya alam, sumber daya manusia maupun penguasaan teknologi. Perdagangan internasional juga dapat mendatangkan keuntungan bagi negara yang menjalaninya terutama jika nilai impornya lebih kecil dari nilai ekspor, meskipun demikian impor masih diperlukan untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri atau memenuhi kelebihan permintaan yang tidak dapat dipenuhi dengan produksi dalam negeri.

(2)

seluruh masyarakat dan swasembada pangan menjadi kunci bagi pencapaian ketahanan pangan.

Di antara berbagai komoditi pangan, beras merupakan komoditas pangan yang sangat penting bagi Indonesia baik secara politik maupun ekonomi. Secara politik, stabilitas harga beras menjadi indikator keberhasilan kebijakan ekonomi suatu pemerintahan. Secara ekonomi, beras yang merupakan makanan pokok hampir seluruh masyarakat menjadikan harga beras determinan penting dalam ketahanan pangan dan kemiskinan. Rata-rata konsumsi beras per kapita masyarakat Indonesia pada tahun 2009 adalah sebesar 1,8 kg per minggu dan sekitar sembilan persen pengeluaran rumah tangga dialokasikan untuk konsumsi padi-padian termasuk beras. Harga beras yang rendah dan stabil diperlukan untuk menjamin akses masyarakat, terutama kelompok berpendapatan rendah, atas pangan pokok mereka.

(3)

Dalam hal penyerapan tenagakerja, sektor pertanian masih menjadi sektor yang paling banyak menampung tenagakerja. Sepanjang tahun 2006-2010, meskipun menunjukkan kecenderungan menurun, sektor pertanian mampu menyerap sekitar 38-42 persen tenagakerja.

Tabel 1.1 : Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Sektor Pertanian Tahun 2006-2010 (Miliar Rupiah)

LAPANGAN USAHA 2006 2007 2008 2009* 2010**

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. Pertanian, peternakan,

kehutanan dan perikanan 433.223,4 541.931,5 716.656,2 857.241,4 985.143,6 a. Tanaman Bahan Makanan 214.346,3 265.090,9 349.795,0 419.194,8 483.521,1 b. Tanaman Perkebunan 63.401,4 81.664,0 105.960,5 111.423,1 135.258,1 c. Peternakan dan

Hasil-hasilnya 51.074,7 61.325,2 83.276,1 104.883,9 119.094,9 d. Kehutanan 30.065,7 36.154,1 40.375,1 45.119,6 48.050,5 e. Perikanan 74.335,3 97.697,3 137.249,5 176.620,0 199.219,0 Produk Domestik Bruto 1.847.126,7 1.964.327,3 2.082.456,1 2.177.741,7 2.310.689,8

Sumber : BPS (2010)

catatan: * Angka sementara

** Angka sangat sementara

Gambar 1.1 menunjukkan persentase PDB dan penyerapan tenagakerja di sektor pertanian, tampak bahwa sekitar 40 persen tenagakerja hanya menghasilkan tidak lebih dari 15 persen PDB. Hal ini mengindikasikan rendahnya pendapatan tenagakerja di sektor pertanian sehingga rumah tangga yang pendapatan utamanya berasal dari sektor pertanian rawan terhadap kemiskinan.

(4)

0 memiliki hak monopoli impor beras sehingga pemerintah dapat mengontrol jumlah beras yang diimpor.

Sumber : BPS (2010), diolah

Gambar 1.1 : Persentase PDB dan TenagaKerja Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Tahun 2006-2010

Pada tahun 1998 Indonesia mengalami krisis ekonomi dan menerima bantuan IMF untuk mengatasinya. Salah satu poin dalam Letter of Intent (LoI) dengan IMF adalah menerapkan liberalisasi perdagangan beras sejak September 1998 dengan mengurangi hambatan impor beras dan menghapus hak monopoli BULOG dalam impor beras melalui Inpres No.19 Tahun 1998.

(5)

perdagangan beras dapat menjadi ancaman bagi kemandirian pangan dan kesejahteraan petani di dalam negeri.

Dalam lima tahun terakhir konsumsi beras terus meningkat sementara produksi dan impor beras sangat berfluktuasi. Impor beras dilakukan saat produksi tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi. Gambar 1.2 menunjukkan fluktuasi impor beras periode 2006-2010 tidak mengikuti perkembangan produksi dan konsumsi beras. Pada tahun 2007 ketika terjadi surplus beras, volume impor justru meningkat. Demikian pula pada tahun 2010 volume impor beras meningkat meskipun terjadi peningkatan produksi. Kondisi ini menunjukkan adanya kebijakan yang kurang tepat dalam impor beras.

Sumber : BPS dan FAO, 2010. (Diolah).

Gambar 1.2 : Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Tahun 2006-2010

0.00

(6)

1.2 Perumusan Masalah

Indonesia merupakan negara dengan kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang potensial untuk mengembangkan pertanian, termasuk komoditi beras. Pasar beras dalam negeri sangat besar karena beras merupakan makanan pokok bagi sekitar 240 juta penduduk Indonesia. Kedua hal tersebut menggambarkan potensi pertanian padi yang sangat menjanjikan, maka menjadi sebuah ironi ketika dari tahun ke tahun Indonesia masih menjadi net importir beras.

Ketika pemerintah menerapkan liberalisasi perdagangan beras maka pasar beras Indonesia terintegrasi dengan pasar beras internasional dan harga beras dalam negeri akan terpengaruh oleh harga beras dunia sementara diketahui bahwa pasar beras dunia sangat tipis dan fluktuatif karena persediaan beras di pasar dunia hanya merupakan residu dari negara-negara eksportir beras. Ketergantungan terhadap impor beras membuat harga di tingkat konsumen menjadi lebih fluktuatif (Jamhari, 2004) serta kontraproduktif dengan program pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan mencapai swasembada beras pada tahun 2014 sehingga impor beras seharusnya dikurangi. Perlu dilakukan analisis mengenai ketergantungan terhadap impor beras dan faktor-faktor yang memengaruhi impor beras yang akan bermanfaat dalam menyusun strategi untuk mengurangi impor beras.

(7)

1. Bagaimana perkembangan produksi, konsumsi, impor dan harga beras di Indonesia?

2. Seberapa besar rasio ketergantungan impor beras di Indonesia?

3. Faktor-faktor apa yang memengaruhi impor beras di Indonesia dalam jangka panjang?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan identifikasi permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah:

1. Menganalisis perkembangan produksi, konsumsi serta impor dan harga beras di Indonesia periode 1980-2010.

2. Mengukur rasio ketergantungan impor beras di Indonesia periode 1980-2010. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor beras di Indonesia

dalam jangka panjang.

1.4 Manfaat Penelitian

(8)

2.1 Tinjauan Teori-teori

2.1.1 Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional merupakan kegiatan pertukaran barang dan jasa yang dilakukan penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Perdagangan internasional didorong oleh adanya perbedaan harga antar negara (Nopirin, 1997). Menurut Krugman dan Obstfeld (2002) faktor utama yang menjadi alasan negara-negara melakukan perdagangan internasional adalah adanya perbedaan antarnegara dan setiap negara bertujuan mencapai skala ekonomis dalam produksinya. Perbedaan antar negara yang mendorong terjadinya perdagangan internasional adalah perbedaan sumberdaya alam, sumberdaya modal, tenaga kerja dan teknologi yang mengakibatkan perbedaan efisiensi produksi antar negara (Halwani, 2005).

(9)

Menurut Sukirno (2004) keuntungan dari melakukan perdagangan internasional adalah :

a. Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi dalam negeri. Beberapa barang tidak dapat diproduksi sendiri di dalam negeri karena faktor alam maupun pengetahuan dan teknologi.

b. Memperoleh keuntungan dari spesialisasi karena faktor-faktor produksi yang dimiliki setiap negara dapat digunakan dengan lebih efisien dan setiap negara dapat menikmati lebih banyak barang dari yang dapat diproduksi di dalam negeri.

c. Memperluas pasar industri-industri dalam negeri. Dengan perluasan pasar, kapasitas produksi dapat terus ditingkatkan dengan pasar yang luas sehingga efisiensi dari skala ekonomi dapat tercapai.

d. Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara mempelajari teknik produksi dan manajemen yang lebih baik dari negara lain dan mengimpor alat-alat dengan teknologi yang lebih canggih dari negara lain untuk meningkatkan efisiensi.

(10)

melalui permintaan di pasar internasional. Proses terjadinya kesetimbangan ini dapat dipahami dari analisis kesetimbangan parsial menggunakan kurva permintaan dan penawaran.

Gambar 2.1 menunjukkan terciptanya keseimbangan harga relatif dengan adanya perdagangan, ditinjau dari analisis kesetimbangan parsial. Sumbu vertikal menunjukkan harga relatif komoditi X (Px/Py) dan sumbu horisontal menunjukkan

kuantitas komoditi X yang diminta maupun ditawarkan. Kurva Dx dan Sx

menggambarkan permintaan dan penawaran atas komoditi X di pasar negara 1 dan negara 2, sementara kurva D dan S menggambarkan permintaan dan penawaran di pasar internasional. Kondisi kesetimbangan pada saat QDx = QSx di

pasar negara 1, negara 2 dan pasar internasional berturut-turut ditunjukkan oleh E1, E2 dan Ew.

Gambar 2.1: Analisis Kesetimbangan Parsial Atas Harga Kesetimbangan Relatif Suatu Komoditi

Px/Py Pasar Negara 1 Pasar Internasional Pasar Negara 2

(11)

Pada saat harga relatif di negara 1 (P1) lebih rendah daripada harga di pasar

internasional (Pw), negara 1 mengalami kelebihan penawaran komoditi X dan

kurva penawaran ekspornya (S) mengalami peningkatan. Sementara di negara 2, harga relatif komoditi X (P2) lebih tinggi dari pada harga di pasar internasional

sehingga terjadi kelebihan permintaan atas komoditi X dan kurva permintaan impornya (D) mengalami peningkatan.

Kurva permintaan dan penawaran di pasar internasional menunjukkan pada tingkat harga Pw kuantitas impor komoditi X yang diminta oleh negara 2 persis

sama dengan kuantitas ekspor komoditi X yang ditawarkan negara 1. Dengan demikian Pw adalah harga relatif kesetimbangan atas komoditi X setelah terjadi

perdagangan internasional antara negara 1 dan negara 2.

2.1.2 Teori Perdagangan Internasional

Beberapa teori mengenai perdagangan internasional dijelaskan sebagai berikut.

2.1.2.1Teori Keunggulan Absolut

(12)

Asumsi yang berlaku pada teori ini adalah hanya ada dua negara dan dua barang yang diproduksi. Teori keunggulan absolut memiliki kelemahan, yaitu tidak mampu menjelaskan bagaimana proses perdagangan internasional dapat terjadi jika suatu negara memiliki keunggulan absolut atas semua barang.

2.1.2.2 Teori Keunggulan Komparatif

Teori ini dikemukakan oleh David Ricardo sebagai jawaban atas kelemahan teori keunggulan absolut Adam Smith. Menurut David Ricardo, perdagangan internasional akan timbul sebagai akibat perbedaan efisiensi relatif antara dua negara dalam memproduksi dua (atau lebih) jenis barang.

Suatu negara akan melakukan ekspor barang jika mampu memproduksi dengan kerugian absolut terkecil atau memiliki keunggulan komparatif atas barang tersebut. Sebaliknya suatu negara akan mengimpor suatu barang ketika tidak memiliki keunggulan komparatif atas barang tersebut.

2.1.2.3Teori Heckscher-Ohlin (Teori H-O)

Menurut teori ini dasar terjadinya perdagangan internasional adalah perbedaan opportunity cost masing-masing negara karena adanya perbedaan dalam jumlah faktor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal) yang dimiliki oleh masing-masing negara. Teori H-O menekankan bahwa struktur perdagangan internasional suatu negara tergantung pada ketersediaan dan intensitas penggunaan faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh negara tersebut.

(13)

mengimpor ketika faktor produksi utama yang diperlukan untuk memproduksi barang hanya sedikit atau tidak dimiliki oleh negara tersebut.

2.1.3 Hambatan Perdagangan Internasional

Berdasarkan teori perdagangan internasional dinyatakan bahwa perdagangan bebas mamberikan keuntungan maksimal bagi kesejahteraan negara yang terlibat didalamnya. Perdagaangan bebas memberikan peningkatan surplus konsumen dan keuntungan yang diterima produsen lebih besar dibandingkan tanpa perdagangan bebas. Namun demikian hampir setiap negara masih menerapkan berbagai hambatan dalam perdagangan bebas. Argumen yang dikemukakan terkait penerapan hambatan atas perdagangan bebas diantaranya adalah kepentingan untuk melindungi industri dan tenaga kerja dalam negeri, contohnya proteksi atas produk pertanian untuk melindungi petani dari penurunan harga produk pertanian akibat masuknya produk impor yang lebih murah. Bentuk hambatan perdagangan dapat berupa tarif maupun non tarif (Salvatore, 1996).

2.1.3.1Hambatan Tarif

(14)

a. Tarif impor, yaitu tarif yang dikenakan terhadap komoditi-komoditi yang diimpor dari negara lain. Tujuan utama penerapan tarif impor adalah melindungi produk dalam negeri.

b. Tarif ekspor, yaitu pajak untuk komoditi yang diekspor ke luar negeri. Tujuan utama pengenaan tarif ekspor adalah untuk melindungi industri dalam negeri. Berdasarkan mekanisme penghitungannya tarif dibedakan menjadi :

a. Tarif ad valorem, yaitu pajak yang dikenakan berdasarkan persentase tertentu atas nilai barang yang diperdagangkan secara internasional.

b. Tarif spesifik, yaitu pajak berupa beban tetap unit barang yang diimpor tanpa memperhatikan nilainya.

c. Tarif campuran, yaitu gabungan antara tarif ad valorem dan tarif spesifik. 2.1.3.2Hambatan Non Tarif

Ketika hambatan tarif di seluruh dunia diturunkan melalui berbagai kesepakatan perdagangan bebas, hambatan non tarif justru mengalami peningkatan yang signifikan. Beberapa jenis hambatan non tarif yang sering diterapkan adalah :

a. Kuota

Kuota adalah pembatasan secara langsung terhadap jumlah komoditi, unit maupun nilai, yang diimpor atau diekspor. Mekanisme penerapan kuota umumnya melalui pemberian lisensi kepada importer/eksportir tertentu.

b. Persyaratan teknis dan kandungan lokal

(15)

proteksi juga dapat berupa persyaratan bahwa bagian-bagian tertentu dari produk yang diimpor harus dibuat di dalam negeri atau menggunakan bahan baku setempat.

c. Subsidi ekspor

Subsidi ekspor adalah pembayaran langsung atau pemberian keringanan pajak dan bantuan subsidi kepada para eksportir atau calon eksportir nasional, atau pemberian pinjaman lunak kepada importir asing. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan ekspor suatu negara.

2.1.4 Perdagangan Bebas dan Pembangunan Di Negara Berkembang Di era globalisasi di mana perekonomian dunia semakin menyatu, negara-negara didorong untuk semakin terbuka dan menghapuskan berbagai hambatan dalam hubungan internasional. Menurut Todaro (2006), arti ekonomi dari globalisasi adalah meningkatnya keterbukaan perekonomian suatu negara terhdap perdagangan internasional, aliran dana internasional dan investasi langsung. Keterbukaan perdagangan internasional atau perdagangan bebas membawa peluang dan resiko bagi negara berkembang sehingga menimbulkan kelompok yang mendukung dan menentang perdagangan bebas.

(16)

a. Perdagangan bebas meningkatkan persaingan, memperbaiki alokasi sumberdaya dan menciptakan skala ekonomi pada sektor-sektor yang memiliki keunggulan komparatif maupun kompetitif.

b. Tekanan-tekanan yang timbul akibat persaingan dalam perdagangan bebas akan meningkatkan efisiensi, perbaikan kualitas produk dan menyempurnakan teknologi produksi.

c. Perdagangan bebas memacu pertumbuhan ekonomi, meningkatkan nilai laba dan merangsang tabungan serta investasi yang semakin memacu pertumbuhan di masa mendatang.

d. Perdagangan bebas membuka kesempatan masuknya aliran modal, keahlian dan teknologi dari negara maju yang sangat diperlukan oleh negara berkembang.

e. Perdagangan bebas mendatangkan devisa melalui kegiatan ekspor yang kemudian dapat digunakan untuk membiayai impor.

f. Perdagangan bebas cenderung menghapuskan distorsi harga yang mahal akibat ketidaktepatan kebijakan dan intervensi pemerintah.

g. Perdagangan bebas meningkatkan pemerataan untuk mendapatkan akses ke setiap sumberdaya yang langka, serta memperbaiki kualitas alokasi sumberdaya secara keseluruhan.

(17)

sementara produk primer merupakan komoditas unggulan ekspor bagi negara berkembang.

Penyebab dari lambatnya pertumbuhan permintaan ekspor produk-produk primer dari negara berkembang adalah :

a. Adanya pergeseran pola produksi di negara maju dari teknologi rendah ke teknologi tinggi, padat keterampilan dan hemat bahan baku sehingga menurunkan permintaan bahan mentah dari negara berkembang.

b. Peningkatan efisiensi pemakaian bahan baku dalam berbagai sektor industri. c. Pesatnya penemuan dan pengembangan produk dan bahan sintetis pengganti

yang lebih murah dari bahan mentah alamiahnya.

d. Rendahnya elastisitas permintaan untuk produk primer dan olahan sederhana. e. Meningkatnya produktivitas pertanian secara pesat di negara maju.

f. Meningkatnya gejalan proteksionisme baru di negara-negara maju terutama untuk produk pertanian serta industri padat karya.

Menurunnya nilai tukar perdagangan negara berkembang disebabkan oleh :

a. Kontrol oligopolistik dalam pasar produk maupun faktor produksi di negara-negara maju dan munculnya sumber-sumber pemasok baru yang menjadi pesaing bagi negara berkembang.

(18)

Kelompok penentang perdagangan bebas menyimpulkan bahwa perdagangan bebas merugikan negara berkembang berdasarkan alasan sebagai berikut :

a. Pertumbuhan permintaan terhadap produk ekspor tradisional negara berkembang relatif rendah sehingga peningkatan kuantitas ekspor hanya akan mengakibatkan penurunan harga dan meningkatnya transfer pendapatan dari negara berkembang ke negara maju.

b. Elastisitas permintaan terhadap produk impor di negara berkembang lebih tinggi dibandingkan elastisitas permintaan atas produk ekspornya. Dengan demikian, tanpa proteksi impor negara berkembang akan terus kesulitan menyeimbangkan neraca pembayarannya.

c. Keunggulan komparatif negara berkembang dalam komoditi primer relatif statis sehingga kebijakan promosi ekspor hanya akan menghambat proses industrialisasi di negara berkembang.

d. Negara berkembang memiliki keterbatasan dalam melakukan lobi untuk membuka pasar di negara-negara maju.

2.1.5 Teori Permintaan

(19)

permintaan adalah jumlah barang yang ingin dan mampu dibeli oleh individu atau rumah tangga. Faktor-faktor yang mempengaruhi kuantitas permintaan adalah harga barang itu sendiri, pendapatan, harga barang lain yang berkaitan, selera dan ekspektasi atas kondisi di masa mendatang.

Hukum permintaan menyatakan bahwa kuantitas yang diminta akan meningkat apabila harga menurun dengan asumsi kondisi selain harga tetap (ceteris paribus). Perubahan harga menyebabkan pergerakan jumlah yang diminta di sepanjang kurva yang sama sementara perubahan pada variabel selain harga akan menyebabkan pergeseran kurva permintaan (Lipsey, 1987). Peningkatan pendapatan rata-rata rumah tangga akan meningkatkan permintaan meskipun harga tidak berubah, perubahan ini digambarkan dengan pergeseran kurva permintaan ke kanan. Perubahan harga barang yang berkaitan akan mempengaruhi jumlah barang yang diminta tergantung pada sifat barang tersebut, apakah subtitutif atau komplementer. Kenaikan harga barang subtitusi akan meningkatkan permintaan, sebaliknya kenaikan harga barang komplemen akan menurunkan permintaan. Pertumbuhan penduduk tidak secara langsung menciptakan permintaan baru, hanya tambahan penduduk yang memiliki daya beli yang akan merubah permintaan. Peningkatan jumlah penduduk usia produktif yang bekerja akan meningkatkan pendapatan agregat sehingga permintaan meningkat. Dengan demikian pertumbuhan penduduk akan meningkatkan permintaan pada berbagai tingkat harga (Lipsey,1987).

(20)

maka permintaan pasar juga dipengaruhi faktor-faktor yang sama dengan permintaan individu dan tergantung pula pada jumlah penduduk, karena permintaan agregat merupakan jumlah dari seluruh permintaan individu (Mankiw, 2001). Faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan internasional, termasuk permintaan impor agregat, pada prinsipnya sama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan individu maupun permintaan pasar. Dengan anggapan bahwa harga dan tingkat bunga tetap, maka impor akan tergantung (secara positif) pada pendapatan, makin tinggi pendapatan makin tinggi pula impor (Nopirin, 1997).

2.2 Penelitian Terdahulu

(21)

Azziz (2006) dalam penelitian mengenai Analisis Impor Beras serta Pengaruhnya terhadap Harga Beras Dalam Negeri dengan metode regresi linier berganda menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang signifikan dalam mempengaruhi impor beras adalah kebijakan perdagangan, harga beras impor dan dalam negeri, nilai tukar rupiah dan produksi beras dalam negeri.

Nastiti (2007) menganalisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor Beras di Indonesia Pada Kurun Waktu 1984-2004 dengan metode Error Correction Model (ECM). Dari penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa

produksi beras domestik, GDP dan impor tahun sebelumnya berpengaruh secara signifikan terhadap volume impor beras. Selama kurun waktu pencapaian swasembada beras, volume impor beras mengalami penurunan.

Ruatiningrum (2011) melakukan penelitian mengenai Dampak Kebijakan Pemerintah dan Perubahan Faktor Lain Terhadap Permintaan dan Penawaran Beras dengan menggunakan metode regresi persamaan simultan. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa impor beras dipengaruhi secara signifikan oleh produksi beras, jumlah penduduk, impor tahun sebelumnya dan stok beras tahun sebelumnya.

Dutta dan Ahmed (2006) dalam penelitiannya tentang Analisis Kointegrasi Fungsi Permintaan Impor Agregat untuk India dengan Error Correction Model (ECM). Hasil penelitian menyatakan bahwa permintaan impor agregat dipengaruhi oleh harga relatif dan pendapatan riil.

(22)

Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa liberalisasi pasar beras di Indonesia meningkatkan stabilitas harga di tingkat petani dan pedagang besar tetapi membuat harga di tingkat konsumen menjadi tidak stabil.

Penelitian Rachman, et.al (2007) tentang Prospek Ketahanan Pangan Nasional dengan metode statistik sederhana melalui pengamatan terhadap trend dan pengukuran variabilitas antar waktu menyimpulkan bahwa pertumbuhan ketersediaan beras relatif rendah karena stagnasi pertumbuhan produksi padi akibat makin menyusutnya lahan pertanian padi. Meskipun kondisi ketahanan pangan nasional relatif terjamin keberlanjutannya namun aksesibilitas rumah tangga terhadap bahan pangan masih menjadi masalah serius terkait dengan masalah stabilitas harga pangan dan kemiskinan.

Penelitian oleh Warr (2005) mengenai Kebijakan Pangan dan Kemiskinan di Indonesia menggunakan analisis keseimbangan umum (general equilibrium analysis) menunjukkan bahwa larangan atau pembatasan impor menaikkan harga beras di dalam negeri dan meningkatkan kemiskinan baik di perkotaan maupun pedesaan. Diantara para petani hanya petani kaya yang menikmati keuntungan dari proteksi ini.

(23)

penelitian ini akan memasukkan variabel konsumsi beras, pertumbuhan penduduk dan rasio ketergantungan impor sebagai faktor-faktor yang diduga mampu menjelaskan variabilitas impor beras dalam jangka panjang. Pengaruh kebijakan liberalisasi perdagangan akan ditunjukkan melalui variabel dummy sebelum liberalisasi dan setelah liberalisasi yang mulai berlaku efektif pada tahun 1999.

2.3 Kerangka Pikir

Dalam rangka memenuhi kebutuhan beras dalam negeri dan menjaga stabilitas harga, pemerintah menerapkan kebijakan impor beras dan liberalisasi perdagangan beras. Akan tetapi kebijakan ini berlawanan dengan usaha pemerintah untuk mencapai kemandirian pangan dan kesejahteraan petani. Untuk mengetahui sejauh mana ketergantungan persediaan beras terhadap impor, penelitian ini menggunakan ukuran rasio ketergantungan impor. Ketergantungan yang semakin besar terhadap impor beras menunjukkan dayasaing beras domestik yang semakin rendah dan akan membahayakan ketersediaan dan stabilitas harga dalam negeri karena pasar beras internasional sangat fluktuatif.

Untuk menganalisis hubungan jangka panjang antara impor beras dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya digunakan analisis time series dengan Vector Error Correction Model (VECM), Impulse Response Function (IRF) dan

Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). Hasil analisis tersebut dapat

(24)

Gambar 2.2 : Kerangka Pikir

Indonesia memiliki potensi dalam menghasilkan beras dari sisi SDA maupun SDM dan produksi beras terus meningkat tetapi menjadi net importir beras

Ketergantungan terhadap impor mengancam kemandirian pangan, upaya pencapaian swasembada beras tahun 2014 dan stabilitas harga beras dalam

negeri

Seberapa besar rasio ketergantungan impor beras Indonesia?

Bagaimana pengaruh produksi dan konsumsi beras, harga beras di pasar domestik dan internasional, rasio ketergantungan impor, kebijakan liberalisasi perdagangan beras, PDB, pertumbuhan penduduk serta nilai tukar riil terhadap

volume impor beras dalam jangka panjang?

Analisis deskriptif dan analisis time series dengan VECM

(25)

3.1 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai sumber yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), Food and Agriculture Agency (FAO), Bank Dunia, United Nation Statistics Division, dan

International Rice Research Institution (IRRI).

Data yang digunakan adalah data time series (tahunan) periode tahun 1960-2010 yang meliputi data volume impor beras, produksi beras dalam negeri, harga beras di pasar domestik dan pasar internasional, Produk Domestik Bruto (PDB), jumlah populasi penduduk, nilai tukar rupiah riil, konsumsi beras dalam negeri dan indeks harga konsumen. Secara umum variabel yang digunakan dalam penelitian ini dirangkum dalam Tabel 3.1.

Tabel 3.1 : Variabel dalam Penelitian

Variabel Sumber

(1) (2)

Volume Impor Beras FAO

Produksi Beras Dalam Negeri FAO, BPS

Konsumsi Beras Dalam Negeri BPS

Harga Rata-rata Eceran Beras Dalam Negeri IRRI, BPS

Harga Rata-rata Eceran Beras Dunia World Bank

Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan (2005=100) UN

Jumlah Penduduk UN

Nilai Tukar Rupiah Riil UN

(26)

3.2 Metode Analisis Data

Vector Autoregressive (VAR) adalah suatu sistem persamaan yang terdiri

atas n-variabel yang merupakan fungsi linier dari konstanta dan nilai lag variabel itu sendiri serta lag dari variabel lainnya yang ada dalam sistem. Peubah penjelas dalam VAR meliputi nilai lag seluruh peubah tak bebas dalam sistem. Pada metode VAR, variabel eksogen dan endogen tidak dapat dibedakan secara apriori. Menurut Sims (1972) dalam Enders (2004) hanya variabel endogen yang masuk analisis.

Model VAR dikembangkan sebagai solusi atas kritikan terhadap model persamaan simultan yaitu bahwa persamaan simultan terlalu berdasarkan pada agregasi dari model keseimbangan parsial, tanpa memperhatikan pada hasil hubungan yang hilang dan struktur dinamis dalam model seringkali dispesifikasikan untuk memberikan restriksi yang dibutuhkan dalam mendapatkan identifikasi dari bentuk struktural. Menurut Firdaus (2011) keunggulan metode VAR dibandingkan metode ekonometrika konvensional adalah:

1. Mengembangkan model secara bersamaan di dalam suatu sistem multivariate sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan variabel di dalam persamaan.

2. Uji VAR yang multivariate bias menghindarkan parameter yang bias akibat tidak dimasukkannya variabel yang relevan.

(27)

4. Karena bekerja berdasarkan data, metode VAR terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering muncul, termasuk gejala perbedaan palsu (spurious variable) di dalam model ekonometrika konvensional terutama pada persamaan simultan, sehingga menghindari penafsiran yang salah.

Model VAR juga memiliki beberapa kelemahan, menurut Gujarati (1987) kelemahan metode VAR diantaranya:

1. Model VAR lebih bersifat teori karena tidak memanfaatkan informasi dari teori-teori terdahulu.

2. Karena lebih menitikberatkan pada peramalan, maka model VAR dianggap tidak sesuai untuk implikasi kebijakan.

3. Tantangan terberat VAR adalah pemilihan panjang lag yang tepat. 4. Semua variabel yang digunakan dalam model VAR harus stasioner. 5. Koefisien estimasi VAR sulit diintreprestasikan.

Vector Correction Model (VECM) adalah VAR yang terbatas dan

dirancang untuk digunakan pada data yang tidak stasioner dan memiliki hubungan kointegrasi. Enders (2004) menyatakan bahwa variabel dalam VECM merupakan variabel turunan pertama dalam model VAR atau dengan kata lain bahwa variabel dalam VECM terkointegrasi pada orde pertama. Analisis VECM juga dapat memecahkan persoalan pada data time series yang tidak stasioner yang mengakibatkan terjadinya regresi lancung (spurious regression).

Model VECM dapat ditulis sebagai berikut :

(28)

dimana :

Dalam hal ini koefisien adalah koefisien jangka pendek sedangkan adalah koefisien jangka panjang. Koefisien koreksi ketidakseimbangan dalam bentuk nilai absolut menjelaskan seberapa cepat waktu diperlukan untuk mendapatkan nilai keseimbangan. Nilai yang negatif menunjukkan perbedaan antara keadaan yang diinginkan dalam jangka panjang dan keadaan yang sebenarnya dalam jangka pendek akan disesuaikan dalam beberapa periode.

3.3 Pengujian Asumsi 3.3.1 Uji Stasioneritas Data

Asumsi pada analisis data time series adalah data bersifat konstan dan independen dari waktu ke waktu sehingga data yang digunakan dapat memberikan hasil yang terhindar dari kemungkinan adanya bias terhadap estimasi. Sebagian besar metode yang digunakan dalam analisis data time series mengasumsikan stasioneritas dari data yang digunakan. Data yang tidak stasioner akan memberikan hasil regresi yang semu atau meragukan (spurious regression). Pada data yang non stasioner hasil estimasi mungkin memberikan nilai koefisien determinasi (R2) yang tinggi dan meyakinkan seolah-olah hubungan antar variabel dependen dan independen dalam model sangat kuat tetapi nilai statistik Durbin Watson yang rendah mengindikasikan adanya autokorelasi. Data dikatakan

(29)

kovarians antara dua periode waktu hanya tergantung pada jarak atau kelambanan antara kedua periode tersebut bukan pada waktu aktual perhitungan kovarians.

Jika Yt adalah data time series yang stokhastik maka data tersebut

stasioner ketika memenuhi kondisi-kondisi berikut : Rata-rata Y pada periode t : Varianns Y pada periode t :

Kovarians Y antar dua periode waktu : [ ] dimana :

Yt = nilai observasi Y pada periode t

Yt+k = nilai observasi Y pada periode (t+k)

µ = rata-rata dari data Y

2 = varians dari data Y

k = kovarians Y pada saat lag k

Pengujian atas stasioneritas suatu data time series dapat dilakukan secara informal maupun formal. Pengujian informal dilakukan melalui pengamatan pola grafik dan correlogram-nya, suatu data dikatakan stasioner ketika ada kecenderungan fluktuasinya berada di sekitar rata-rata dengan gerakan yang relatif tetap atau tidak tampak adanya trend naik atau turun. Pengujian melalui grafik ini sangat subjektif dan tergantung pada pengalaman peneliti. Pengujian formal yang digunakan yang sering digunakan adalah uji akar-akar unit (unit roots test) dengan metode Augmented Dickey Fuller (ADF) Test dan Phillips Perron

(30)

a. Augmented Dickey Fuller (ADF) Test

ADF Test merupakan koreksi terhadap Dickey Fuller (DF) Test dengan menambahkan lag pada variabel dependen untuk menghilangkan korelasi antar residual. Misalkan terdapat persamaan

……… (2)

Dimana  adalah koefisien autoregresif, µt adalah white noise error term yang

memiliki rata-rata sama dengan nol dan varians konstan serta tidak mengandung autokorelasi. Jika  = 1, maka dapat dinyatakan bahwa variabel Yt mempunyai

akar unit atau dengan kata lain series data tersebut merupakan random walk. Hipotesis untuk pengujian ini dinyatakan dengan :

Ho :  = 1, atau series mengandung akar unit (tidak stasioner)

H1 : ≠ 1, atau data tidak mengandung akar unit (stasioner)

Persamaan (2) dapat dinyatakan dalam bentuk turunan pertama (first difference) yaitu :

………..………… (3)

……….. (4)

Dimana dan yang menunjukkan turunan pertama dari persamaan (2). Hipotesis untuk pengujian ini dinyatakan dengan :

Ho : = 0, atau series mengandung akar unit (tidak stasioner) H1 : ≠ 0, atau data tidak mengandung akar unit (stasioner)

(31)

ramdom. Langkah berikutnya adalah menentukan nilai statistik ADF yang merupakan nilai koefisien autoregresifnya. Dengan membandingkan nilai statistik ADF dengan nilai kritis tabel MacKinnon maka akan diketahui apakah series mengandung akar unit atau tidak. Jika nilai absolut statistik ADF lebih besar dari nilai kritis MacKinnon maka Ho ditolak dan kesimpulannya series tersebut telah stasioner, jika sebaliknya maka dapat disimpulkan series tersebut tidak stasioner

Jika data asli dari sebuah series telah stasioner maka dikatakan data tersebut stasioner pada order 0 atau pada level dan dilambangkan dengan I(0). Selanjutnya, jika data stasioner pada turunan pertama maka dikatakan bahwa data tersebut stasioner pada order 1 atau I(1). Demikian seterusnya sampai didapatkan data yang stasioner pada order d atau I(d).

b. Phillips-Perron (PP) Test

Kelemahan dari ADF test adalah memberikan hasil yang bias pada saat terjadi perubahan struktural selama periode yang diteliti. Perubahan struktural akan membuat data berubah secara permanen yaitu adanya perubahan dalam konstanta, trend maupun trend dan konstanta sekaligus. Model yang digunakan dalam PP test adalah :

……….………. (5)

……….…. (6)

……….. (7)

(32)

Misalkan terdapat persamaan

………...…………. (8)

Dimana  adalah koefisien autoregresif, µt adalah white noise error term yang

memiliki rata-rata sama dengan nol dan varians konstan serta tidak mengandung

autokorelasi. Jika  = 1, maka dapat dinyatakan bahwa variabel Yt mempunyai

akar unit atau dengan kata lain series data tersebut merupakan random walk. Hipotesis untuk pengujian ini dinyatakan dengan :

Ho :  = 1, atau series mengandung akar unit (tidak stasioner)

H1 :  < 1, atau data tidak mengandung akar unit (stasioner)

Persamaan (8) dapat dinyatakan dalam bentuk turunan pertama (first difference) yaitu :

………..… (9)

……… (10)

Dimana dan yang menunjukkan turunan pertama dari persamaan (8). Hipotesis untuk pengujian ini dinyatakan dengan :

Ho : = 0, atau series mengandung akar unit (tidak stasioner) H1 : < 0, atau data tidak mengandung akar unit (stasioner)

Untuk menentukan apakah suatu data stasioner atau tidak, nilai statistik Phillips-Perron test harus dibandingkan dengan nilai kritis tabel MacKinnon. Jika

(33)

3.3.2 Uji Lag Optimum

Uji lag merupakan prosedur penting dalam analisis data time series karena uji kointegrasi dan uji lanjutan lainnya sangat sensitif terhadap panjang lag. Penentuan panjang lag seringkali dilakukan secara arbitrer atau melalui trial and error untuk mendapatkan hasil yang optimal. Dalam pemilihan panjang lag, selain

mempertimbangkan optimalitas juga perlu mempertimbangkan adanya kemungkinan korelasi antar residual dan penurunan degree of freedom. Pemilihan lag yang terlalu pendek biasanya menghasilkan korelasi serial sedangkan pada

pemilihan lag yang terlalu panjang mengakibatkan penurunan degree of freedom dari persamaan yang dihasilkan dan jumlah parameter yang diestimasi menjadi semakin banyak sehingga menjadi tidak efisien (Enders, 2004).

Secara umum parameter yang dapat digunakan untuk menentukan panjang lag optimal antara lain Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SIC), Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE) dan Hannan

Quin Information Criterion. Dalam penelitian ini digunakan semua kriteria

informasi untuk menentukan lag optimal. Model VAR diestimasi dengan lag yang berbeda-beda kemudian dibandingkan nilai kriterianya. Nilai lag yang optimum adalah nilai kriteria yang terkecil.

3.3.3 Uji Kointegrasi

(34)

stasioner, maka dapat dikatakan bahwa kedua variabel tersebut saling terkointegrasi.

Engel Granger (1987) dalam Enders (2004) mendifinisikan kointegrasi

sebagai berikut: komponen dari vektor peubah memiliki hubungan kointegrasi pada orde atau derajat d, b dimana d ≥ b ≥ 0 dinyatakan dengan jika :

1. Semua komponen xt berintegrasi pada derajat yang sama dengan I(d)

2. Terdapat sebuah vektor yang merupakan salah satu

kombinasi linier berintegrasi pada derajat (d - b) dimana b ≥ 0. Vektor β disebut vektor kointegrasi.

Setelah persyaratan diatas terpenuhi, selanjutnya dilakukan estimasi persamaan regresi linier sederhana dengan metode OLS. Persamaannya adalah sebagai berikut :

...(11) ...(12)

Dari residual ini kemudian diuji stasioneritasnya menggunakan ADF

dengan persamaan uji sebagai berikut

Dari hasil estimasi nilai statistik ADF kemudian dibandingkan dengan nilai kritisnya. Jika nilai statistik ADF lebih besar dari nilai kritisnya maka variabel-variabel yang diamatai saling terkointegrasi atau memiliki hubungan jangka panjang.

(35)

∑ ………..…………... (13)

Dimana k = 0,1,….,m-1 dan adalah nilai eigen value ke i. Lambang T

menyatakan banyak angka dalam periode waktu tersedia dalam data.

………. (14)

Hipotesis null yang digunakan untuk Trace Test dan Maximum Eigen Value Test adalah Ho : k = 0, tidak terdapat hubungan kointegrasi atau Ho : k=1,

terdapat satu hubungan kointegrasi sampai Ho : k = (n-1), terdapat (n-1) persamaan kointegrasi antar variabel. Banyaknya persamaan kointegrasi menunjukkan banyaknya kombinasi linier antar variabel yang stasioner.

Nilai Trace Test atau Maximum Eigen Value Test yang diperoleh dibandingkan dengan nilai kritis tabel Osterwald-Lenum (1992). Jika nilainya lebih besar dari nilai kritis tabel maka Ho ditolak

3.3.4 Uji Stabilitas VAR

(36)

3.3.5 Impuls Response Function (IRF)

IRF menunjukkan bagaimana respon dari setiap variabel endogen sepanjang waktu terhadap kejutan dari variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya. IRF digunakan untuk melihat pengaruh kontemporer dari sebuah variabel dependen jika mendapatkan guncangan atau inovasi dari variabel independen sebesar satu standar deviasi. Vector autoregression dapat pula direpresentasikan sebagai suatu vector moving average (VMA)

...(15)

Di mana : [

]

Keempat koefisien Ø11 (i), Ø12 (i), Ø21 (i), dan Ø22 (i) merupakan impuls

response function. Hasil IRF tersebut sangat sensitif terhadap pengurutan

(ordering) variabel yang digunakan dalam perhitungan. Pengurutan variabel yang didasarkan pada faktorisasi cholesky. Variabel yang memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain diletakkan di depan berdampingan satu sama lainnya. variabel yang tidak memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain diletakkan paling belakang

3.3.5 Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)

(37)

menunjukkan kekuatan dan kelemahan dari masing-masing variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya pada kurun waktu yang panjang (how long/how persistent). Dekomposisi varians merinci varians dari error peramalan (forecast)

menjadi komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen dalam model. Melalui perhitungan persentase squared prediction error k-tahap ke depan dari sebuah variabel akibat inovasi dalam variabel-variabel lain, dapat dilihat seberapa besar error peramalan variabel tersebut disebabkan oleh variabel itu sendiri dan variabel-variabel lainnya.

3.4 Spesifikasi Model

Dalam penelitian ini, variabel yang diduga memiliki pengaruh jangka panjang terhadap volume impor beras (Qm) di Indonesia adalah:

1. Rasio harga beras dalam negeri terhadap harga beras dunia (RPrice) yang menunjukkan kesenjangan antara harga dalam negeri dan harga dunia.

2. Rasio produksi terhadap konsumsi beras (RProd) yang menunjukkan kemampuan produksi beras dalam memenuhi kebutuhan konsumsi.

3. Rasio ketergantungan impor beras (Im) yang menunjukkan besarnya ketergantungan penyediaan beras dalam negeri terhadap impor

4. Variabel dummy yang menunjukkan perbedaan periode sebelum dan setelah diberlakukannya kebijakan liberalisasi perdagangan beras di Indonesia pada tahun 1998.

(38)

6. Pertumbuhan penduduk (Pop) dalam persen.

7. Nilai tukar riil (RER) yaitu nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat dengan menggunakan tahun dasar 2005.

Model VAR untuk persamaan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Dimana : Yt : vektor variabel endogen (Qm, RProd, RPrice, Im, Dummy, PDB, Pop dan RER)

α : konstanta

β : koefisien matriks untuk lag-i

ε : residual

Selanjutnya dilakukan transformasi data yaitu untuk variabel nominal diubah dalam nilai riil dan semua variabel diubah dalam bentuk logaritma kecuali untuk variabel dummy, rasio ketergantungan impor beras dan pertumbuhan penduduk yang sudah dalam bentuk persentase. Sesuai dengan pendapat Sims dalam Enders (2004) bahwa semua data estimasi yang dipergunakan dalam VAR dan VECM adalah dalam bentuk logaritma kecuali data yang sudah dalam bentuk persen atau data tersebut memiliki koefisien yang negatif (sangat kecil) yang tidak mungkin diubah dalam bentuk logaritma natural. Salah satu alasannya adalah untuk mempermudah analisis, karena baik dalam impulse response maupun variance decomposition, pengaruh shock dilihat dalam standar deviasi yang dapat

(39)

4.1 Analisis Deskriptif

4.1.1 Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi

Produksi padi Indonesia meskipun mengalami fluktuasi namun masih menunjukkan pertumbuhan yang meyakinkan yaitu rata-rata 2,52 persen per tahun selama kurun waktu tahun 1981-2010 sementara luas panen pada periode yang sama pertumbuhannya lebih lambat yaitu rata-rata 1,27 persen per tahun (Gambar 4.1). Pertumbuhan produksi padi yang signifikan terjadi pada periode 1981-1985 dan pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras untuk pertama kalinya. Mulai tahun 1970-an pemerintah Indonesia mengadopsi sistem revolusi hijau melalui program Intensifikasi Khusus (INSUS) dan berhasil meningkatkan produksi padi.

Sumber: BPS dan Kementan, 1981-2010. (Diolah).

(40)

Produksi padi merupakan hasil perkalian antara luas panen dan produktivitas tanaman padi. Pertumbuhan produktivitas memegang peranan yang lebih penting dibandingkan pertambahan luas panen. Gambar 4.2 menunjukkan perkembangan produktivitas padi dari 3,5 ton per hektar pada tahun 1981 meningkat hingga 5 ton per hektar pada tahun 2010, peningkatan produktivitas ini mampu mendorong peningkatan produksi padi pada saat luas panen relatif stagnan. . Secara rata-rata produktivitas padi di Indonesia tumbuh 1,27 persen per tahun selama periode 1981-2010. Penurunan produktivitas yang signifikan terjadi pada tahun 1998 saat Indonesia dilanda kekeringan akibat El-Nino dan La-Nina, yang mengakibatkan gagal panen di beberapa wilayah. Produktivitas padi Indonesia saat ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata dunia yaitu 4,3ton/Ha, akan tetapi jika dibandingkan produktivitas sawah irigasi sebesar 12,5ton/Ha maka Indonesia masih dapat meningkatkan produktivitas padi terutama pada lahan sawah irigasi (FAO, 2011).

(41)

4.1.2 Perkembangan Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Indonesia

Rata-rata produksi beras di Indonesia tahun 1980-2010 adalah 31,1 juta ton/tahun dan menunjukkan trend meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 2,51 persen per tahun. Dari Gambar 4.3 tampak bahwa peningkatan yang cukup tinggi terjadi pada tahun 1992 dan 2009. Penurunan produksi yang signifikan terjadi pada tahun 1997 dimana pada periode tersebut Indonesia menghadapi banyak bencana alam dan krisis ekonomi yang mengakibatkan pemerintah mencabut subsidi untuk komoditi input pertanian seperti pupuk dan bibit.

Konsumsi beras dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan. Rata-rata konsumsi beras pada periode 1980-2010 adalah 32 juta ton/tahun dengan rata-rata pertumbuhan 0,59 persen per tahun. Secara rata-rata produksi beras lebih rendah dibandingkan konsumsinya. Dari Gambar 4.3 tampak bahwa produksi beras lebih tinggi dari konsumsi atau surplus produksi hanya terjadi pada periode 1980-1986. Pada

15000.0

Sumber: BPS dan Kementan, 1980-2010. (Diolah).

(42)

periode selanjutnya Indonesia hampir selalu mengalami defisit produksi beras kecuali pada tahun 1989, 1992, 2007 dan 2008. Kesenjangan antara produksi dan konsumsi ini menjadi dasar bagi Menteri Perdagangan untuk melakukan impor beras.

Gambar 4.4 menunjukkan impor beras serta selisih antara produksi dan konsumsi beras tahun 1980-2010. Impor beras seharusnya sama dengan defisit produksi, semakin tinggi defisit maka semakin tinggi pula volume beras yang diimpor akan tetapi realisasi impor beras tidak selalu sejalan dengan surplus atau defisit produksi beras yang terjadi pada tahun tersebut. Ketika impor tidak dapat memenuhi defisit produksi yang terjadi dapat memicu kenaikan harga beras di

Sumber: BPS, Kementan dan FAO, 1980-2010. (Diolah).

(43)

Volume beras yang diimpor oleh Indonesia sepanjang periode 1980-2010 berfluktuasi dari tahun ke tahun, namun secara rata-rata mengalami kenaikan 160 persen per tahun. Impor beras tertinggi terjadi tahun 1999 yaitu sebesar 4,7 juta ton, pada akhir tahun 1998 kebijakan liberalisasi pasar beras mulai berlaku efektif di Indonesia. Periode tahun 1985-1988 merupakan periode impor beras terendah yaitu rata-rata 37,3 ribu ton per tahun dimana pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Impor beras Indonesia terutama berasal dari Thailand, Vietnam dan Amerika Serikat (AS). Volume impor beras menurut negara asal ditunjukkan dalam Tabel 4.1.

Tabel 4.1: Impor Beras Indonesia Menurut Negara Asal Tahun 2005-2009 (Ton)

Negara Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Thailand 126,408.90 157,983.30 363,640.10 157,007.30 221,372.60 Vietnam 44,772.50 272,832.70 1,022,834.60 125,070.50 0,970.50 AS 2,184.20 801.00 821.70 1,411.20 1,323.40 India 327.00 720.60 3,571.80 289.50 473.10 Pakistan - 904.30 4,603.60 751.30 501.50 Cina 1.30 100.00 901.40 3,341.70 5,167.60 Lainnya 15,922.70 4,766.60 10,473.80 1,817.90 664.50

Jumlah 189,616.60 438,108.50 1,406,847.00 289,689.40 250,473.20

Sumber: BPS, 2010

4.1.3 Perkembangan Harga dan Impor Beras di Indonesia

(44)

Kenaikan yang cukup signifikan juga terjadi pada tahun 2006-2007 yang dipicu oleh kenaikan harga beras dunia, pada periode ini harga beras naik sebesar 30,72 persen.

Kebijakan impor beras merupakan salah satu cara untuk menjaga stabilitas harga beras. Kenaikan harga beras dalam negeri menjadi sinyal adanya excess demand sehingga perlu dilakukan impor untuk menambah supply dan mencegah

kenaikan harga. Gambar 4.5 menunjukkan perkembangan impor beras dan harga beras di pasar domestik. Pada tahun 1999 dan 2002 kenaikan impor beras diikuti oleh penurunan harga eceran beras di pasar domestik pada tahun berikutnya. Pada tahun 2007 terjadi peningkatan impor beras sebesar 208 persen yang dimaksudkan untuk mengatasi kenaikan harga di pasar domestik, akan tetapi kenaikan harga pangan dunia pada tahun yang sama membuat kebijakan menambah supply beras melalui impor tidak efektif untuk menurunkan harga.

0.00

Impor Beras (000 Ton) Harga Rata-rata Eceran Beras (Rp/Kg)

Sumber: FAO, 1980-2010. (Diolah).

(45)

Gambar 4.6 menunjukkan perkembangan harga gabah kering giling (GKG) di tingkat petani dan harga beras di tingkat konsumen tahun 1989-2010. Sebelum pemerintah menerapkan kebijakan liberalisasi pasar beras rata-rata selisih harga gabah dan harga beras adalah Rp 535,-. Setelah liberalisasi pasar beras mulai diberlakukan efektif pada tahun 1998 kesenjangan antara harga gabah di tingkat petani dan harga beras di tingkat konsumen terus meningkat. Data terakhir pada tahun 2010 menunjukkan harga beras di tingkat konsumen lebih mahal 2,3 kali dibandingkan rata-rata harga gabah pada tahun yang sama. Kondisi ini menunjukkan ketidakberpihakan kebijakan pemerintah kepada petani. Petani menerima harga yang murah atas produksi padi mereka sementara petani di Indonesia sebagian besar merupakan net-buyer beras sehingga harga beras yang mahal akan menurunkan daya beli dan meningkatkan kemiskinan.

0

Sumber: BPS dan FAO, 1989-2010. (Diolah).

(46)

Hasil penghitungan Indeks Spesialisasi Produksi (ISP) menunjukkan bahwa untuk komoditi beras Indonesia sejak tahun 1994 merupakan net-importir beras yang berarti lebih banyak mengimpor daripada mengekspor beras. Sebagai net-importir harga beras dalam negeri dipengaruhi oleh harga beras di pasar internasional. Gambar 4.7 menunjukkan harga beras di pasar domestik cenderung mengikuti harga beras di pasar internasional, namun pergerakan harga beras domestik tampak lebih fluktuatif. Setelah kenaikan harga pangan dunia pada tahun 2007-2008 harga beras dunia kembali menurun pada tahun 2009 namun harga beras di pasar domestik justru terus meningkat. Kesenjangan antara harga beras di pasar domestik dan pasar internasional dapat menjadi pendorong terus meningkatnya impor beras.

Sumber: World Bank dan BPS, 1999-2010. (Diolah).

(47)

Gambar 4.8 menunjukkan perbandingan harga beras di pasar domestik dan harga ekspor beras negara-negara eksportir beras utama di Indonesia tahun 2000-2009. Pada tahun 2000-2005 harga beras Vietnam merupakan yang tertinggi dibandingkan harga beras di Indonesia, Thailand, Cina, Amerika Serikat dan Vietnam. Pada tahun 2006 harga eceran beras di pasar dalam negeri mengalami kenaikan dan hingga tahun 2010 harga beras di pasar dalam negeri lebih tinggi dibandingkan harga ekspor negara-negara tersebut, hal ini menunjukkan lemahnya daya saing Indonesia dibandingkan produsen-produsen beras dunia.

4.1.4 Rasio Ketergantungan Impor Beras

Rasio ketergantungan impor beras mengukur proporsi impor beras terhadap persediaan beras dalam negeri yaitu produksi dikurangi ekspor ditambah

0

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

US

Sumber: BPS dan UN, 2010. (Diolah).

(48)

impor. Hasil penghitungan rasio ketergantungan impor beras menunjukkan fluktuasi sepanjang tahun 1980-2010 dengan rata-rata 2,69 persen per tahun. Hal ini berarti rata-rata setiap tahun 2,69 persen persediaan beras dalam negeri dipenuhi dari impor. Meskipun produksi beras terus meningkat namun ketergantungan terhadap impor tidak menunjukkan penurunan, hal ini mengindikasikan bahwa produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi.

4.1.5 Jumlah Penduduk dan Persediaan Beras Nasional

Jumlah penduduk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan agregat termasuk permintaan beras. Peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan beras sebagai bahan pangan pokok. Idealnya, pertumbuhan persediaan beras harus mampu mengimbangi laju pertumbuhan penduduk. Dari Gambar 4.9 tampak bahwa jumlah penduduk terus meningkat

Sumber: FAO dan BPS, 1980-2010. (Diolah).

(49)

sepanjang tahun sementara pertumbuhan persediaan beras relatif stagnan. Jumlah penduduk pada tahun 2010 meningkat 59,04 persen dibandingkan tahun 1980 sementara pada periode yang sama persediaan beras nasional hanya tumbuh sebesar 55,44 persen.

Sepanjang periode 1980-2010 produksi beras meningkat sebesar 66,3 persen lebih besar dibandingkan peningkatan jumlah penduduk. Kebijakan ekspor-impor yang kurang tepat mengakibatkan persediaan beras nasional justru tidak dapat mengimbangi pertumbuhan jumlah penduduk pada periode tersebut.

4.2Hasil Uji Asumsi

Sebelum melakukan analisis lebih lanjut dengan VECM perlu dilakukan pengujian asumsi-asumsi yang meliputi uji stasioneritas data dengan uji akar unit, uji lag optimum, uji stabilitas VAR dan uji kointegrasi. Pengujian-pengujian ini

20000.00

Jumlah Penduduk (000 Jiwa) Persediaan Beras (000 Ton)

Sumber: FAO, 1980-2010. (Diolah).

(50)

penting karena dalam model multivariate time series kebanyakan data yang digunakan mengandung akar unit sehingga akan membuat hasil estimasi menjadi semu dan tidak valid (Gujarati 2006).

4.2.1 Hasil Uji Stasioneritas Data

a. Hasil uji stasioneritas data dengan ADF Test pada tingkat level

Metode yang digunakan untuk menguji stasioneritas data adalah ADF Test. Jika nilai t-statistik hasil ADF Test lebih kecil dari nilai kritis tabel MacKinnon pada taraf nyata α=10 persen maka dapat diambil kesimpulan data tersebut stasioner. Pada tabel 4.3 ditampilkan nilai t-statistik ADF Test dan nilai kritis tabel MacKinnon yang menunjukkan bahwa tidak semua data stasioner pada level. Oleh karena itu pengujian akar unit perlu dilanjutkan pada tingkat first

difference.

Tabel 4.2: Hasil ADF Test untuk Data pada Tingkat Level

Variabel

(51)

b. Hasil uji stasioneritas data dengan ADF Test pada tingkat first difference Hasil pengujian stasioneritas data dengan menggunakan ADF Test pada first difference menunjukkan bahwa semua data stasioner pada taraf nyata α=10

persen . Ditunjukkan pada Tabel 4.4 nilai t-statistik ADF test untuk semua data

lebih besar dari nilai kritis tabel MacKinnon pada taraf nyata α=10 persen.

Karena data tidak stasioner pada tingkat level tetapi stasioner pada first difference maka selanjutnya perlu dilakukan uji kointegrasi untuk menentukan analaisis yang akan digunakan lebih lanjut. Jika hasil pengujian menunjukkan tidak terdapat kointegrasi maka analisis lanjutan yang dilakukan adalah analisis VAR sementara bila terdapat kointegrasi maka analisis lanjutan yang dilakukan adalah VECM.

Tabel 4.3: Hasil ADF Test untuk Data pada Tingkat First Difference

Variabel

(52)

4.2.2 Hasil Uji Lag Optimum

Penentuan lag optimum sangat penting dalam analisis VAR maupun VECM karena panjang lag dari variabel endogen dalam sistem persamaan akan digunakan sebagai variabel eksogen. Pengujian lag optimum juga berguna untuk mengatasi masalah autokorelasi yang biasanya muncul dalam analisis data time series.

Penetapan lag optimum menggunakan nilai dari Likelihood Ratio, Final Prediction Error, Akaike Information Criterion (AIC), Schwartz Information Criterion (SIC) dan Hannan Quin Criterion (HQ). Panjang lag optimum yang digunakan adalah lag yang terpendek. Hasil dari pengujian menunjukkan panjang lag optimum yang digunakan adalah lag ketiga.

Tabel 4.4: Hasil Uji Lag Optimum

Lag LogL LR FPE AIC SC HQ

* menunjukkan lag terpilih berdasarkan kriteria

LR : sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE : Final prediction error

AIC : Akaike information criterion SC : Schwarz information criterion HQ : Hannan-Quinn information criterion

Sumber : Output hasil pengolahan dengan EViews 6.0

4.2.3 Hasil Uji Stabilitas VAR

(53)

dari satu (Lukepohl dalam Eviews 6 Users Guide 2007). Pada lampiran 1 ditunjukkan bahwa persamaan VAR memiliki nilai modulus kurang dari satu sehingga dapat disimpulkan bahwa model VAR yang dibentuk sudah stabil.

4.2.4 Hasil Uji Kointegrasi

Konsep kointegrasi dikemukakan oleh Engel dan Granger (1987) dalam Enders (2004) sebagai fenomena kombinasi linier dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner akan menjadi stasioner. Kombinasi linier ini disebut dengan persamaan kointegrasi dan dapat diinterprestasikan sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang diantara variabel. Pengujian kointegrasi dilakukan dengan pengujian Johansen Cointegration.

Terdapat lima asumsi deterministik trend dalam uji kointegrasi, untuk menentukan pilihan trend yang digunakan bias dilihat dari hasil summary pada pilihan lag optimal. Pemilihan asumsi didasarkan pada hasil criteria Akaike Information dan Schwartz dan dipilih salah satu. Hasil uji kointegrasi pada summary model menunjukkan adanya kointegrasi pada model keempat yaitu

model linier dengan intersep dan trend (Lampiran 2). Hal ini berarti secara multivariate terjadi hubungan keseimbangan jangka panjang antar variabel dalam

model.

(54)

4.3 Hasil Estimasi Persamaan Jangka Panjang

Hasil output estimasi VECM menunjukkan seluruh variabel memiliki pengaruh signifikan terhadap volume impor beras dalam jangka panjang. Hubungan jangka panjang antar variabel yang diteliti dapat dituliskan dalam bentuk persamaan linier sebagai berikut:

LnQm = 1198,65+6,964623 LnRPrice – 6,068460 LnRProd + 1,065394Im +

39,53399Dummy + 98,54116 LnPDB + 19,70047 Pop - 2,081291 LnRER

Dalam jangka panjang kenaikan rasio harga beras dalam negeri terhadap harga beras dunia sebesar satu persen akan meningkatkan volume impor beras sebesar 6,96 persen. Rasio harga beras dalam negeri terhadap harga beras dunia menggambarkan kesenjangan antara harga beras di pasar dalam negeri dan pasar internasional. Sesuai dengan teori perdagangan internasional semakin besar kesenjangan harga antara pasar domestik dan internasional akan meningkatkan volume impor. Importir beras memperoleh keuntungan dari margin harga beras di pasar dunia dengan pasar dalam negeri, semakin besar margin harga berarti semakin besar pula keuntungan yang akan diperoleh importir sehingga volume beras yang diimpor akan meningkat. Hasil penelitian Azzis (2006) menyimpulkan bahwa harga beras impor berpengaruh negatif terhadap volume impor beras sementara harga beras dalam negeri berpengaruh positif.

(55)

rasio produksi terhadap konsumsi beras menunjukkan semakin besar surplus produksi atas konsumsi beras. Impor dilakukan ketika produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi permintaan untuk konsumsi, volume impor tergantung pada besarnya kelebihan permintaan (excess demand). Penelitian Nastiti (2007) dan Ruatiningrum (2011) juga memberikan hasil bahwa produksi dalam negeri berpengaruh negatif terhadap volume impor beras.

Kenaikan rasio ketergantungan impor terhadap volume impor beras sebesar satu persen akan meningkatkan volume impor beras sebesar 1,06 persen dalam jangka panjang. Rasio ketergantungan impor beras menunjukkan besarnya ketergantungan penyediaan beras dalam negeri terhadap impor, semakin besar ketergantungan terhadap impor maka semakin besar pula volume beras yang diimpor.

(56)

Dalam jangka panjang kenaikan PDB sebesar satu persen akan meningkatkan volume impor beras sebesar 98,54 persen. Variabel PDB mewakili pendapatan yang diterima oleh seluruh penduduk. Pendapatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan, peningkatan pendapatan akan meningkatkan jumlah permintaan. Penelitian Dutta dan Ahmed (2006) menyimpulkan bahwa PDB berpengaruh positif terhadap permintaan impor agregat.

Pertumbuhan penduduk sebesar satu persen dalam jangka panjang akan meningkatkan volume impor beras sebesar 19,70 persen. Permintaan agregat merupakan jumlah dari seluruh permintaan individu sehingga semakin banyak jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan. Penelitian Ruatiningrum (2011) menyimpulkan bahwa jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap impor beras.

Dalam jangka panjang peningkatan nilai tukar riil sebesar satu persen akan meningkatkan volume impor beras sebesar 2,08 persen. Nilai tukar mempengaruhi harga impor beras, nilai tukar yang melemah menyebabkan harga impor menjadi relatif lebih mahal sehingga volume yang diimpor menjadi berkurang.

4.4 Analisis Impulse Response Function (IRF)

(57)

dependen jika mendapatkan guncangan atau inovasi dari variabel independen sebesar satu standar deviasi.

4.4.1 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Volume Impor Beras

Guncangan volume impor beras sebesar satu standar deviasi pada periode pertama akan meningkatkan volume impor beras sebesar 1,21 persen. Pada periode-periode berikutnya, respon volume impor beras masih positif namun nilainya semakin menurun. Respon volume impor beras terhadap guncangan ini mulai mencapai keseimbangan pada jangka panjangnya, yaitu pada periode kesepuluh dimana respon volume impor beras adalah sebesar 0,6 persen.

4.4.2 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Rasio Harga Beras Dalam Negeri terhadap Harga Beras Dunia

Guncangan rasio harga beras dalam negeri terhadap harga beras dunia sebesar satu standar deviasi juga tidak langsung direspon oleh volume impor beras pada periode pertama. Respon positif mulai muncul pada periode kedua sebesar 0,17 persen . Respon positif terus berlangsung hingga akhir periode dan mencapai kesetimbangan pada periode ketigabelas dimana volume impor beras berfluktuasi sekitar 0,2 persen dari rata-ratanya. Hal ini sesuai dengan hasil persamaan jangka panjang dan teori keseimbangan parsial dalam perdagangan internasional bahwa semakin besar kesenjangan antara harga domestik dengan internasional maka volume impor juga semakin besar.

4.4.3 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Rasio Produksi terhadap Konsumsi Beras Dalam Negeri

(58)

Pada tahun kedua dan ketiga guncangan rasio produksi terhadap konsumsi beras mulai direspon negatif oleh volume impor beras sebesar 0,22 persen dan 0,36 persen. Guncangan rasio produksi terhadap konsumsi beras terus menimbulkan fluktuasi terhadap volume impor beras dalam jangka panjang, hingga pada periode kesebelas volume impor beras baru menunjukkan keseimbangan dengan respon negatif sebesar 0,4 persen. Sesuai teori perdagangan internasional, semakin kecil excess demand yang terjadi maka volume impor juga semakin kecil. Hasil ini juga sesuai dengan hasil persamaan jangka panjang yang menunjukkan bahwa rasio produksi terhadap konsumsi beras berpengaruh negatif terhadap volume impor beras.

4.4.4 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Rasio Ketergantungan Impor

Guncangan rasio ketergantungan impor beras sebesar satu standar deviasi belum direspon oleh volume impor beras pada periode pertama. Respon positif baru muncul pada periode ke dua kemudian pada periode ketiga respon berbalik arah menjadi negatif. Fluktuasi terus terjadi hingga periode keenambelas dan keseimbangan baru tercapai pada periode keduapuluh dengan respon sekitar 0,05 persen. Hal ini sejalan dengan hasil persamaan jangka panjang yang menunjukkan bahwa volume impor beras dan rasio ketergantungan impor memiliki hubungan positif.

4.4.5 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Kebijakan Liberalisasi Perdagangan Beras

(59)

impor beras dalam jangka panjang memperikan respon positif terhadap guncangan liberalisasi perdagangan beras. Dengan kebijakan liberalisasi perdagangan beras berarti hambatan dalam perdagangan internasional komoditi beras dikurangi. Sesuai dengan teori perdagangan internasional, dengan semakin berkurangnya hambatan perdagangan maka volume beras yang diimpor semakin besar. Hasil persamaan jangka panjang juga menunjukkan bahwa variabel liberalisasi perdagangan beras mempengaruhi volume impor beras dan memiliki hubungan positif.

4.4.6 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan PDB

Respon volume impor beras terhadap guncangan PDB sebesar satu standar deviasi belum tampak pada periode pertama. Mulai periode kedua muncul respon positif sebesar 0,17 persen. Respon positif pada jangka panjang semakin besar dan hingga akhir periode volume impor beras memberikan respon positif terhadap guncangan PDB. Hasil ini sesuai dengan hasil persamaan jangka panjang yang menunjukkan hubungan positif antara volume impor beras dan PDB.

4.4.7 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Pertumbuhan Penduduk

(60)

persamaan jangka panjang juga menunjukkan hubungan positif antara pertumbuhan penduduk dan volume impor beras.

4.4.8 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Nilai Tukar Riil Guncangan nilai tukar riil sebesar satu standar deviasi belum direspon oleh volume impor beras pada periode pertama. Pada periode kedua dan ketiga volume impor beras memberikan respon positif sebesar 0,01 persen. Pada periode keempat respon berbalik arah menjadi negatif sebesar 0,16 persen. Hingga akhir periode guncangan nilai tukar riil direspon negatif oleh volume impor beras. Sesuai dengan hasil persamaan jangka panjang nilai tukar rupiah riil dan volume impor beras berhubungan negatif, depresiasi nilai tukar membuat harga beras impor menjadi relatif lebih mahal dan mengurangi volume beras yang diimpor.

4.5 Analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD)

Struktur dinamis antar variabel dalam VAR dapat dilihat melalui analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD), pola dari FEVD ini

mengindikasikan sifat dari kausalitas multivariat diantara variabel-variabel dalam model VAR. Pengurutan variabel dalam analisis FEVD ini didasarkan pada faktorisasi Cholesky.

Gambar

Gambar 1.1 : Persentase PDB dan TenagaKerja Sektor Pertanian, Peternakan,
Gambar 1.2 : Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Tahun 2006-2010
Gambar 2.1 menunjukkan terciptanya keseimbangan harga relatif dengan
Tabel 3.1 : Variabel dalam Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Setyaningsih, Titik dan Antin Okfitasari, Desember 2016, “Mengapa Wajib Pajak Mengikuti Tax Amnesty (Studi Kasus di Solo)” Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan, Vol..

Pejabat Lelang yang melelang obyek hak tanggungan tanpa dilengkapi persyaratan yang wajib, dalam hal ini Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) maka pejabat

Kompetensi sosial sangat perlu dan harus dimiliki seorang guru. Karena bagaimanapun proses pendidikan itu berlangsung dampaknya akan dirasakan bukan hanya oleh

Data Penelitian Prasangka Mahasiswa Jawa terhadap Etnis

Although this study is still in the form an opinion paper; I then dream to conduct a related research specially investigating the probability of using ARALISH

Hal yang harus juga diperhatikan adalah setelah mengukur tahanan isolasi baik pada motor, generator maupun jaringan maka kita harus grounding kembali kabel yang di ukur karena kabel

Brown Gibson adalah metode yang digunakan untuk menganalisis alternatif-alternatif lokasi yang dikembangkan berdasarkan konsep “Preferences Of Measurement”,

Selain itu, pembelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) juga diajarkan hanya sebatas teori saja tidak dibarengi dengan kegiatan observasi, eksperimen yang