ANALISIS DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN
TERHADAP KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN
BEKASI JAWA BARAT
(Studi Kasus Desa Sriamur Kecamatan Tambun Utara)
MUHAMAD DIKA YUDHISTIRA
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya manyatakan bahwa skripsi Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat: Studi Kasus Desa Sriamur Kecamatan Tambun Utara adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2013
RINGKASAN
M. DIKA YUDHISTIRA. Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat (Studi Kasus Desa Sriamur Kecamatan Tambun Utara). Dibimbing oleh RIZAL BAHTIAR.
Kabupaten Bekasi pada saat ini mempunyai tata guna lahan dengan mayoritas lahan pertanian. Seiring dengan meningkatnya aktifitas pembangunan dan pertambahan penduduk, kebutuhan akan lahan juga meningkat pesat. Sementara itu ketersediaan atau luas lahan pada dasarnya tidak berubah, sehingga peningkatan kebutuhan lahan untuk suatu kegiatan akan mengurangi ketersediaan lahan untuk kegiatan lainnya. Hal ini menyebabkan sering terjadi benturan kepentingan dan pada akhirnya terjadi alih fungsi lahan petanian.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak yang terjadi akibat alih fungsi lahan terhadap ketahanan pangan di Kabupaten Bekasi. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah: (1) menganalisis pola dan karakteristik alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bekasi, (2) menganalisis laju alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bekasi, (3) menganalisis kelembagaan lahan di Kabupaten Bekasi, (4) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bekasi, (5) menganalisis dampak akibat alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bekasi.
Penelitian ini dilakukan dengan studi kasus di Desa Sriamur, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Pengambilan data dilakukan selama bulan Februari - Maret 2013. Data primer diperoleh dari hasil wawancara melalui kuesioner. Data sekunder diperoleh melalui dinas-dinas terkait dan penulusuran melalui internet. Pola dan karakteristik dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Laju alih fungsi lahan dianalisis dengan persamaan laju alih fungsi lahan parsial. Kelembagaan lahan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif,. Penduga faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan dianalisis secara makro dan mikro menggunakan model regresi linier berganda dan model regresi logistik. Dampak yang terjadi dianalisis dengan menggunakan estimasi dampak produksi dan rata-rata selisih perbedaan pendapatan. Dampak terhadap produksi juga di simulasikan dan dibandingkan dengan kebutuhan pangan masyarakat Kabupaten Bekasi sebagai peramalan terhadap ketahanan pangan di wilayah tersebut.
pengolahan di wilayah tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian secara makro yaitu PDRB dan laju pertumbuhan penduduk, sedangkan faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian secara mikro adalah jumlah tanggungan petani dan proporsi pendapatan usaha tani dari pendapatan total. Dampak yang terjadi terhadap produksi adalah hilangnya produksi gabah pada sepuluh tahun terakhir sebesar 28.091,25 ton atau bernilai sekitar Rp 73.733.652.728. Rata-rata pendapatan petani berkurang setelah alih fungsi lahan sebesar Rp 3.331.548. Berdasarkan perkiraan luas lahan dan dampaknya terhadap ketahanan pangan diketahui bahwa pada tahun 2015 produksi beras di Kabupaten Bekasi tidak dapat memenuhi kebutuhan beras penduduk dengan kekurangan sebesar 12.052 ton. Jika terdapat penurunan konsumsi beras perkapita sebesar 1,5 persen setiap tahunnya maka Kabupaten Bekasi tidak dapat memenuhi kebutuhan beras pada tahun 2018 dengan kekurangan sebesar 1.440 ton.
ANALISIS DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN
TERHADAP KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN
BEKASI JAWA BARAT
(Studi Kasus Desa Sriamur Kecamatan Tambun Utara)
MUHAMAD DIKA YUDHISTIRA
H44080073
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Penelitian : Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat (Studi Kasus Desa Sriamur Kecamatan Tambun Utara).
Nama : Muhamad Dika Yudhistira
NIM : H44080073
Disetujui, Pembimbing
Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si NIP 19800603 200912 1 006
Diketahui,
Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T NIP 19660717 199203 1 003
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat (Studi Kasus Desa Sriamur Kecamatan Tambun Utara)”. Penulis mengucapkan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Dedi Umar Farouq dan Ibu Ika Atika Pujiati, orang tua yang selalu memberikan kekuatan, dukungan, baik moril dan materi serta limpahan doa yang tidak pernah terputus kepada penulis.
2. Bapak Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, solusi dan saran kepada penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
3. Ir. Nindyantoro, M.SP dan Nuva, S.P, M.Sc selaku dosen penguji utama dan dosen penguji perwakilan departemen.
4. Bapak Sarmili dan Asep yang telah meluangkan waktunya menemani dan mengantar penulis dalam pengumpulan data.
5. Teman-teman satu bimbingan skripsi: Andini, Erna, Anis, Nanda, Nia, dan Budi atas segala dukungan, saran, dan motivasi kepada penulis.
6. Teman-teman seperjuangan ESL 45 yang telah banyak mengajari dan memberikan tutor kepada penulis selama masa kuliah.
7. Semua pihak yang membantu dalam proses persiapan hingga penyusunan skripsi ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, September 2013
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat (Studi Kasus Desa Sriamur Kecamatan Tambun Utara)”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat penyelesaian tugas akhir studi Program Sarjana (S1) Departemen Ekonomi Sumberdaya Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Tujuan penulisan skripsi ini adalah mengkaji pola dan laju alih fungsi lahan pertanian, menidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya, juga menganalisis dampak akibat alih fungsi lahan pertanian tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan untuk kebijakan pengendalian alih fungsi lahan di Kabupaten Bekasi. Penulis mengucapakan terima kasih kepada Bapak Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi sehingga skripsi ini bisa selesai. Semoga skripsi ini dapat berberguna bagi ilmu pengetahuan. Amin.
Bogor, September 2013
DAFTAR ISI
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10
2.1. Lahan Pertanian ... 10
2.2. Alih Fungsi Lahan Pertanian ... 11
2.3. Pola dan Karakteristik Alih Fungsi Lahan ... 13
2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian ... 14
2.5. Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian ... 16
2.6. Kelembagaan Lahan ... 18
2.7. Landasan Hukum Kebijakan Alih Fungsi Lahan ... 20
2.8. Ketahanan Pangan ... 23
2.9. Penelitian Terdahulu ... 24
III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 27
3.1. Kerangka Teoritis ... 27
3.2. Kerangka Operasional ... 28
IV. METODE PENELITIAN ... 31
4.1. Lokasi dan Waktu ... 31
4.2. Jenis dan Sumber Data ... 31
4.3. Metode Pengambilan Contoh ... 32
4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 33
4.4.1.Analisis Deskriptif ... 33
4.4.2.Analisis Laju Alih Fungsi Lahan ... 34
4.4.3.Analisis Regresi Linier Berganda ... 35
4.4.4.Analisis Regresi Logistik ... 41
4.4.5.Analisis Estimasi Dampak Produksi ... 45
4.4.6.Analisis Terhadap Dampak Pendapatan Petani... 47
V. GAMBARAN UMUM ... 48
5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 48
5.1.1. Kabupaten Bekasi ... 48
5.1.2. Kecamatan Tambun Utara ... 49
vi
5.2. Karakteristik Responden ... 51
5.2.1. Tingkat Usia ... 51
5.2.2. Tingkat Pendidikan ... 52
5.2.3. Jumlah Tanggungan ... 52
5.2.4. Tingkat Pendapatan ... 53
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 54
6.1.Pola dan Karakteristik Alih Fungsi Lahan Kabupaten Bekasi ... 54
6.2.Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kabupaten Bekasi ... 56
6.3.Analisis Kelembagaan Lahan Kabupaten Bekasi ... 57
6.4.Faktor Makro yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Kabupaten Bekasi ... 63
6.5.Faktor Mikro yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Kecamatan Tambun Utara ... 67
6.6.Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Produksi Padi Kabupaten Bekasi ... 71
6.7.Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Pendapatan Petani Kecamatan Tambun Utara ... 73
6.8.Perkiraan Perubahan Luas Sawah dan Dampak Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi ... 76
VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 79
7.1.Simpulan ... 79
7.2.Saran ... 80
DAFTAR PUSTAKA ... 81
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Nilai PDB Indonesia pada Tahun 2010-2011 Menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga Berlaku ... 2 2. Jumlah Industri dan Jumlah Penduduk Kabupaten Bekasi tahun
2000-2011 dengan Laju Pertumbuhannya ... 5 3. Luas dan Laju Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Bekasi Tahun
2002-2011 ... 56 4. Hasil Estimasi Faktor-Faktor Makro yang Mempengaruhi Perubahan
Luas Lahan Sawah Kabupaten Bekasi ... 64 5. Hasil Estimasi Faktor-Faktor Mikro yang Mempengaruhi Petani untuk
Menjual Lahan Pertanian ... 68 6. Dampak Terhadap Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi Akibat Alih
Fungsi Lahan Sawah ... 72 7. Dampak Terhadap Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi Akibat
Pembukaan Lahan Sawah Baru ... 73 8. Rata-Rata Perubahan Pendapatan per Bulan Petani Akibat Alih Fungsi
Lahan Pertanian ke Non Pertanian ... 75 9. Perkiraan Perubahan Luas Lahan dan Dampak Terhadap Ketahanan
Pangan di Kabupaten Bekasi dengan Konsumsi Beras Perkapita Tetap . 77 10. Perkiraan Perubahan Luas Lahan dan Dampak Terhadap Ketahanan
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Perbandingan Jumlah Penduduk di Indonesia dan Pulau Jawa ... 4
2. Ilustrasi Land Rent Sebagai Sisa Surplus Ekonomi Setelah Biaya Produksi Dikeluarkan ... 27
3. Diagram Kerangka Pemikiran Operasional ... 30
4. Perbandingan Tingkat Usia Responden ... 50
5. Perbandingan Tingkat Pendidikan Responden... 51
6. Perbandingan Jumlah Tanggungan Responden ... 53
7. Perbandingan Tingkat Pendapatan Responden ... 53
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Kuesioner Penelitian ... 84
2. Tata Guna Lahan Eksisting Kabupaten Bekasi tahun 2011 ... 87
3. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi tahun 2011-2013 ... 88
4. Hasil Regresi Linear Berganda ... 89
5. Hasil Regresi Logistik ... 92
6. Harga Gabah Kering Giling Kabupaten Bekasi Tahun 2002-2011 ... 94
I.PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Hampir
semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan, dan transportasi. Dari sisi ekonomi, lahan merupakan input tetap yang utama dari kegiatan produksi suatu
komoditas. Banyaknya lahan yang digunakan untuk kegiatan produksi tersebut secara umum merupakan permintaan turunan dari permintaan komoditas yang
dihasilkan. Oleh karena itu, perkembangan kebutuhan lahan untuk setiap kegiatan produksi akan dipengaruhi oleh perkembangan permintaan dari setiap
komoditasnya.
Sejalan dengan meningkatnya aktifitas pembangunan dan pertambahan penduduk, kebutuhan akan lahan juga meningkat pesat. Sementara itu
ketersediaan dan luas lahan pada dasarnya tidak berubah. Meskipun kualitas sumberdaya lahan dapat ditingkatkan, kuantitasnya di setiap daerah relatif tetap. Pada kondisi tersebut maka peningkatan kebutuhan lahan untuk suatu kegiatan
produksi akan mengurangi ketersediaan lahan untuk kegiatan produksi lainnya. Hal ini menyebabkan sering terjadi benturan kepentingan dan alih fungsi lahan.
Pembangunan di Indonesia lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi sehingga sektor yang memegang pengaruh paling besar akan maju dengan pesat. Sektor industri pengolahan merupakan sektor yang paling besar pengaruhnya bagi
Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga sektor tersebut berkembang pesat. PDB merupakan salah satu indikator yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi.
2 untuk sektor tersebut. Kondisi tersebut berdampak negatif bagi sektor lain yang
sangat membutuhkan lahan sebagai input utamanya, seperti sektor pertanian. Sektor pertanian secara luas merupakan sektor kedua setelah industri pengolahan
yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan PDB Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 dimana pertanian secara luas, yaitu pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan pada tahun 2010 dan 2011 menyumbang
masing-masing sebesar Rp 985,4 triliyun dan Rp 1.039,5 triliyun. Sumbangan sektor pertanian ini naik sebesar Rp 54,1 triliyun. Namun sektor industri pengolahan
menyumbang nilai yang lebih besar, yaitu Rp 1.595,8 triliyun dan 1.803,5 triliyun. Subangan sektor industri pengolahan ini naik sebesar Rp 207,7 triliyun.
Tabel 1. Nilai PDB Indonesia pada Tahun 2010-2011 Menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga Berlaku
Lapangan Usaha 2010 2011
Pertanian, peternakan, kehutanan, dan
perikanan 985,4 1.093,5
Pertambangan dan penggalian 718,1 886,3
Industri pengolahan 1.595,8 1.803,5
Listrik, gas, dan air bersih 49,1 55,7
Bangunan 660,9 756,5
Perdagangan, hotel, dan restoran 882,5 1.022,1
Pengangkutan dan komunikasi 423,2 491,2
Keuangan, persewaan, dan jasa
perusahaan 466,6 535,0
Jasa-jasa 654,7 783,3
Produk Domestik Bruto (PDB) 6.436,3 7.427,1
PDB Tanpa Migas 5.936,2 6.794,4
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012
Pesatnya pembangunan sektor industri pengolahan ini tentunya akan
menarik perhatian bagi para investor yang akan menanamkan modal, terutama di Pulau Jawa karena infrastruktur yang sudah mencukupi. Mereka akan cenderung
3 mereka banyak memiliki industri pengolahan maka pemasukan untuk daerah pun
akan meningkat. Walaupun kriteria lahan yang diperlukan untuk industri pengolahan dan pertanian tersebut berbeda, pada kenyataannya masih terjadi
benturan kepentingan dan terjadilah konversi lahan dari pertanian untuk dijadikan industri pengolahan.
Kependudukan di Indonesia juga tidak merata dan terus bertambah
bertambah seiring dengan berjalannya waktu. Dapat dilihat pada Gambar 1. Indonesia mengalami pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Pertambahan
penduduk ini menyebabkan keperluan bangunan juga ikut bertambah. Tidak hanya bangunan rumah untuk tempat tinggal, tetapi juga infrastruktur lain yang
mendukung masyarakat, seperti sekolah, perkantoran, rumah sakit, jalan raya, dsb. Selain itu penduduk di Indonesia juga tidak tersebar merata. Mayoritas penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa. Dapat dilihat pada Gambar 1. bahwa lebih dari
setengah penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa. Hal ini menjadi dilema dimana Pulau Jawa merupakan pulau yang subur dan cocok untuk pertanian pangan berhadapan dengan penduduknya yang terus bertambah dan membutuhkan
4
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah)
Gambar 1. Perbandingan Jumlah Penduduk di Indonesia dan Pulau Jawa
Alih fungsi lahan pertanian sebenarnya bukan hal baru. Sejalan dengan
adanya peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi di sektor industri menyebabkan kebutuhan akan lahan meningkat. Pertumbuhan tersebut
membutuhkan lahan yang lebih luas untuk pembangunan, sementara ketersediaan lahan yang relatif tetap menyebabkan persaingan dalam pemanfaatan lahan. Kebanyakan lahan yang dialihfungsikan adalah lahan-lahan pertanian karena land
rent (sewa lahan) pertanian umumnya relatif lebih kecil dibandingkan dengan non pertanian. menurut Barlowe (1978) land rent merupakan nilai ekonomi yang
diperoleh oleh suatu bidang lahan bila lahan tersebut digunakan untuk kegiatan proses produksi. Salah satu faktor yang mempengaruhi nilai sewa lahan tersebut adalah lokasi lahan, karena mempengaruhi jarak dari lahan dengan pusat pasar.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan fenomena alih fungsi lahan pertanian ini merupakan dampak dari transformasi struktur ekonomi dari pertanian
ke industri atau demografi dari pedesaan ke perkotaan, yang pada akhirnya mendorong transformasi sumberdaya lahan dari pertanian ke non pertanian.
5 Kabupaten Bekasi merupakan salah satu daerah yang memiliki wilayah
pertanian yang cukup luas. Kabupaten Bekasi sendiri ikut menyokong pangan dalam skala nasional. Namun perkembangan ekonomi di Kabupaten Bekasi telah
mengakibatkan terjadinya persaingan dalam penggunaan lahan. Lokasi Kabupaten Bekasi yang dekat dengan Ibu Kota Jakarta menyebabkan wilayah ini mempunyai nilai sewa lahan atau land rent untuk sektor non pertanian yang besar. Kepadatan
penduduk di Jakarta juga telah meluas dan menyebabkan struktur demografi Kabupaten Bekasi bertransformasi dari pedesaan menjadi perkotaan. Hal ini
menyebakan permintaan akan lahan industri dan pemukiman meningkat karena lokasi tersebut dekat dengan pusat kota.
Tabel 2. Jumlah Industri dan Jumlah Penduduk Kabupaten Bekasi Tahun 2000-2011 dengan Laju Pertumbuhannya
Tahun Jumlah
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bekasi, Berbagai Terbitan
Dapat dilihat pada Tabel 2 jumlah penduduk dan jumlah industri relatif meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 jumlah penduduk bahkan sepat
6 tahun 2007 yang menandakan ketertarikan investor di daerah ini cukup besar.
Pada tahun 2005, 2006, dan 2008 jumlah industri sempat mengalami penurunan (deindustrialisasi), namun hal tersebut disebabkan oleh faktor alam yaitu banjir
besar yang melanda wilayah Jakarta, Depok, dan Bekasi. Faktor tersebut namun tidak terlalu mejadi kendala dalam pengembangan industri, karena pada tahun-tahun berikutnya jumlah industri relatif meningkat kembali. Peningkatan jumlah
penduduk dan jumlah industri tersebut tentunya menyebabkan permintaan lahan untuk pemukiman dan industri meningkat. Hal ini berbenturan dengan persediaan
lahan yang ada, sehingga pengalihfungsian lahan pertanian tidak dapat dihindari.
Persoalan ini harus segera dipecahkan mengingat dampak yang
ditimbulkan dapat merugikan masyarakat. Adanya alih fungsi lahan pertanian, khususnya pada lahan sawah, akan mempengaruhi produksi beras yang merupakan bahan makanan pokok masyarakat Indonesia. Jika hal ini dibiarkan
terus-menerus akan berpengaruh pada ketahanan pangan, dimana masyarakat nantinya harus mengimport beras karena produksi dari sawah yang ada tidak dapat mencukupi kebutuhan sebagai akibat dari alih fungsi lahan pertanian menjadi non
pertanian.
1.2. Perumusan Masalah
Menurut Maulana (2004), lahan sebagai faktor produksi mempunyai karakteristik yang khas, yaitu : (1) penyediaaannya bersifat permanen, tetap, dan terbatas, (2) lokasi yang pasti dan tidak dapat dipindahkan, (3) bersifat unik, yaitu
7 bertambah berbenturan dengan karakteristik tersebut. Sehingga secara alamiah
akan terjadi persaingan dalam penggunaan lahan untuk berbagai aktifitas.
Alih fungsi lahan pada dasarnya tidak dapat dihindari dalam pelaksanaan
pembangunan, namun perlu dikendalikan. Peningkatan kebutuhan lahan akibat semakin tingginya aktifitas perekonomian secara langsung maupun tidak langsung telah menyebabkan terjadinya pengurangan luas lahan pertanian untuk dijadikan
industri pengolahan dan pemukiman. Secara umum, masalah alih fungsi dalam penggunaan lahan terjadi karena kriteria kawasan yang belum jelas, koordinasi
pemanfaatan ruang yang belum ada, dan penegakan hukum yang masih lemah. Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian yang terjadi selama ini di Indonesia
sebenarnya tidak menguntungkan bagi sektor pertanian. Adanya alih fungsi lahan tersebut dapat menurunkan hasil produksi pertanian. Namun, potensi dampak yang terjadi kurang diperhatikan oleh petani dan pemerintah daerah. Upaya untuk
pengendalian terhadap alih fungsi lahan tersebut pun sepertinya terabaikan.
Berdasarkan berbagai informasi di atas, maka permasalahan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pola atau karakteristik alih fungsi lahan di Kabupaten Bekasi? 2. Berapakah laju alih fungsi lahan di Kabupaten Bekasi?
3. Bagaimana kelembagaan mengenai penggunaan lahan di Kabupaten Bekasi?
4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi alih fungsi lahan tersebut?
8
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis pola atau karakteristik alih fungsi lahan di Kabupaten Bekasi.
2. Menganalisis laju alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bekasi.
3. Menganalisis kelembagaan lahan yang ada di Kabupaten Bekasi.
4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian
secara makro dan mikro.
5. Menganalisis dampak akibat alih fungsi lahan pertanian terhadap
ketahanan pangan dan perekonomian petani.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan beberapa manfaat yang dapat diambil
oleh berbagai pihak, yaitu:
1. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menjadi sarana dalam mengaplikasikan ilmu bidang ekonomi sumberdaya dan lingkungan yang telah dipelajari
selama menjalani perkuliahan di Institut Pertanian Bogor.
2. Bagi civitas akademika, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan
informasi yang digunakan untuk penelitian selanjutnya.
3. Bagi petani pada umumnya, informasi ini dapat menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk mengalih fungsikan lahan pertanian
9 4. Bagi pemerintah, informasi ini dapat menjadi acuan dalam pembuatan
kebijakan pembangunan sektoral dan kebijakan tata ruang yang sejalan dengan infrastruktur pembangunan pertanian.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini diperlukan batasan-batasan yang jelas agar penelitian lebih terarah dan peneliti dapat lebih fokus dalam melakukan penelitian. Adapun
ruang lingkup sebagai batasan-batasan dari penelitian ini adalah:
1. Alih fungsi yang dianalisis berupa perubahan lahan pertanian menjadi
fungsi lain yang tidak bisa diubah menjadi lahan pertanian kembali.
2. Lahan pertanian yang dianalisis terbatas pada lahan sawah dan hasil
produksinya berupa padi atau gabah.
3. Faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan dilihat dari faktor makro di tingkat wilayah dan faktor mikro yang mempengaruhi keputusan petani.
4. Studi kasus yang dilakukan untuk mengetahui pola, faktor, dan dampak alih fungsi lahan terhadap petani dilakukan di Desa Sriamur, Kecamatan Tambun Utara.
5. Dampak terhadap ketahanan pangan dilihat dari perbandingan produksi padi sebelum dan sesudah kegiatan alih fungsi lahan, juga simulasi
perbandingan kebutuhan beras dan produksi beras pada tahun mendatang. 6. Dampak terhadap pendapatan petani dihitung dari rata-rata selisih
pendapatan sebelum dan sesudah konversi dilakukan.
II.TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lahan Pertanian
Sebagai sumberdaya alam, lahan merupakan wadah dan faktor produksi
strategis bagi kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Sumberdaya lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki banyak manfaat dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia, seperti sebagai tempat
tinggal, tempat mencari nafkah, tempat berwisata, dan tempat bercocok tanam. Lahan mempunyai arti penting bagi masing-masing orang yang
memanfaatkannya. Fungsi lahan bagi masyarakat sebagai tempat tinggal dan sumber mata pencaharian. Bagi petani, lahan merupakan sumber memproduksi
makanan dan keberlangsungan hidup. Bagi investor swasta, lahan merupakan aset untuk mengakumulasikan modal. Bagi pemerintah, lahan merupakan kedaulatan suatu negara untuk kesejahteraan rakyatnya. Adanya banyak kepentingan yang
saling terkait dalam penggunaan lahan ini mengakibatkan terjadinya tumpang tindih kepentingan antar masyarakat, petani, investor swasta, dan pemerintah dalam memanfaatkan lahan.
Lahan pertanian merupakan lahan yang diperuntukan untuk kegiatan pertanian, seperti sawah, kebun sayuran, dll. Lahan sawah adalah suatu tipe
penggunaan lahan pertanian yang untuk pengelolaannya menggunakan genangan air. Oleh karena itu sawah selalu merupakan permukaan datar atau yang didatarkan dan dibatasi oleh pematang untuk menahan genangan air. Berdasarkan
jenis irigasinya sawah dibagi dalam tiga jenis, yaitu : (1) sawah irigasi teknis, yaitu bentuk sawah yang pengairannya berasal dari waduk dan dialirkan melalui
11 melalui bangunan pintu pembagi. (2) sawah irigasi semi teknis, yaitu bentuk
sawah yang pengairannya berasal dari waduk, akan tetapi pemerintah hanya menguasai bangunan penyadap untuk mengatur pemasukan air. (3) sawah irigasi
sederhana, yaitu pengairan sawan dari mata air dan pembuatan salurannya dibuat tanpa bangunan permanen oleh masyarakat setempat (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2003). Adapun pada kenyataannya di
Indonesia masih terdapat sawah tadah hujan, yaitu sawah yang pengairannya tidak menggunakan irigasi. Pengairan pada sawah ini hanya berbasis pada air hujan.
Menurut Sumaryo dan Tahlim (2005), manfaat lahan pertanian dapat dibagi menjadi dua kategori, use value dan non use value. Use value atau manfaat
penggunaan didapat dari hasil eksploitasi atau kegiatan usaha tani yang dilakukan pada lahan pertanian. Sedangkan non use value atau manfaat bawaan merupakan manfaat yang tercipta sendirinya walaupun bukan merupakan tujuan dari kegiatan
eksploitasi dari pemilik lahan pertanian. Yoshida dan Kenkyu (1996) dalam Sumaryanto (2005) mengutarakan pendapat lain tentang manfaat dari lahan pertanian. Menurut mereka lahan pertanian dapat berperan dari aspek lingkungan,
seperti pencegah banjir, pengendali keseimbangan air, pencegah erosi, pengurangan pencemaran lingkungan yang berasal dari limbah rumah tangga, dan
mencegah pencemaran udara yang berasal dari gas buangan.
2.2. Alih Fungsi Lahan Pertanian
Alih fungsi lahan atau konversi lahan adalah berubahnya satu penggunaan
lahan ke penggunaan lainnya, sehingga permasalahan yang timbul banyak terkait dengan kebijakan tata guna lahan (Ruswandi, 2005). Alih fungsi lahan ini secara
12 penggunaan ke penggunaan lainnya. Hal ini umumnya terjadi di wilayah sekitar
perkotaan dan dimaksudkan untuk mendukung perkembangan sektor industri dan jasa. Alih fungsi lahan pertanian sebenarnya bukan merupakan hal baru di
Indonesia. Isu yang berkaitan dengan alih fungsi lahan pertanian marak diperdebatkan sejak diterbitkannya hasil sensus pertanian yang mengungkapkan bahwa antara tahun 1983 hingga 1993 telah terjadi penyusutan lahan sawah
sebesar 1,28 juta hektar. Kondisi seperti ini sulit dihindari karena pemanfaatan lahan untuk kegiatan non pertanian lebih memberikan keuntungan finansial
dibandingkan pemanfaatan lahan untuk kegiatan pertanian. Hal ini tercermin pada nilai land rent untuk kegiatan pertanian yang cenderung lebih kecil dibandingkan
untuk kegiatan non pertanian.
Alih fungsi lahan pertanian merupakan isu yang perlu diperhatikan karena ketergantungan masyarakat terhadap sektor pertanian, terutama pangan. Dalam
kegiatan alih fungsi lahan sangat erat kaitannya dengan permintaan dan penawaran lahan, dimana penawaran atau persediaan lahan sangat terbatas sedangkan permintaan lahan yang tidak terbatas. Menurut Barlowe (1978),
faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran lahan adalah karakteristik fisik alamiah, faktor ekonomi, faktor teknologi, dan faktor kelembagaan. Selain itu, faktor-faktor
yang mempengaruhi permintaan lahan adalah populasi penduduk, perkembangan teknologi, kebiasaan dan tradisi, pendidikan dan kebudayaan, selera dan tujuan, serta perubahan sikap dan nilai yang disebabkan oleh perkembangan usia. Pada
umumnya permintaan komoditas pertanian terutama komoditas pangan terhadap pendapatan bersifat kurang elastis, sedangkan permintaan komoditas non
13 untuk meningkatkan pendapatan cenderung menyebabkan naiknya permintaan
lahan untuk kegiatan non pertanian dibandingkan permintaan lahan untuk kegiatan pertanian.
2.3. Pola dan Karakteristik Alih Fungsi Lahan
Sumaryo dan Tahlim (2005) mengungkapkan bahwan pola konversi lahan dapat di tinjau dalam beberapa aspek. Pertama, alih fungsi lahan yang dilakukan
secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Motif dari pemilik lahan pertanian untuk merubah penggunaan lahannya antara lain, karena pemenuhan
kebutuhan akan tempat tinggal dan peningkatan pendapatan melalui alih usaha. Sebagaimana diketahui para petani umumnya berpendapatan sedikit karena
kebijakan pemerintah dalam pengaturan harga komoditas pertanian yang kurang bijak dibandingkan dengan harga input pertanian yang tinggi. Sehingga mereka cenderung membuat tempat tinggal untuk keturunannya atau membuat usaha lain
dengan mengalihfungsikan lahan pertanian milik mereka sendiri. Dampak dari alih fungsi ini akan baru terasa dalam jangka waktu yang lama. Kedua, alih fungsi lahan yang diawali dengan alih penguasaan lahan. Pemilik lahan menjual kepada
pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non pertanian. Para petani yang cenderung berpendapatan kecil akan menjual lahannya karena tergiur akan
harga lahan yang ditawarkan oleh para investor. Secara empiris, alih fungsi lahan melalui cara ini umumnya berkorelasi positif dengan proses urbanisasi (pengkotaan). Dampak alih fungsi lahan terhadap eksistensi lahan pertanian
dengan pola ini berlangsung cepat dan nyata.
Menurut Utomo (1992) alih fungsi lahan pertanian dapat bersifat
14 maka alih fungsi lahan tersebut bersifat sementara, karena pada tahun-tahun
berikutnya dapat dijadikan sawah kembali. Sedangkan jika lahan sawah berubah menjadi pemukiman atau industri maka alih fungsi lahan tersebut bersifa
permanen. Alih fungsi lahan yang bersifat permanen memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan alih fungsi lahan yang bersifat sementara.
2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian
Laju penggunaan lahan akan semakin meningkat seiring dengan pembangunan pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya permintaan akan lahan
mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Menurut Pakpahan et al (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan
pertanian dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor langsung dan tak langsung. Faktor langsung atau mikro yaitu faktor konversi di tingkat petani dimana faktor tersebut mempengaruhi langsung keputusan petani. Faktor tersebut antara lain
kondisi sosial ekonomi petani, seperti pendidikan, pendapatan, kemampuan secara ekonomi, pajak tanah, harga tanah, dan lokasi tanah. Sedangkan faktor tak langsung atau makro yaitu faktor konversi di tingkat wilayah dimana faktor
tersebut tidak secara langsung mempengaruhi keputusan petani. Faktor ini mempengaruhi faktor-faktor lain yang nantinya berpengaruh terhadap keputusan
petani. Faktor tersebut antara lain seperti pertumbuhan penduduk yang mempengaruhi pertumbuhan pembangunan pemukiman dan perubahan struktur ekonomi ke arah industri dan jasa yang akan meningkatkan kebutuhan akan sarana
transportasi dan lahan untuk industri.
Witjaksono (1996) turut mendukung pendapat tersebut, dimana beliau
15 perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan,
pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Dua faktor terakhir berhubungan dengan sistem pemerintahan. Hal ini berkaitan
dengan asumsi bahwa pemerintah sebagai pengayom dan abdi masyarakat seharusnya dapat bertindak sebagai pengendali terjadinya alih fungsi lahan.
Menurut Nasoetion dan Winoto (1996), proses alih fungsi lahan secara
langsung dan tidak langsung ditentukan oleh dua faktor, yaitu sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah dan sistem non kelembagaan
yang berkembang secara alamiah dalam masyarakat. Menurut penelitiannya, alih fungsi lahan sawah 59,08 persen ditentukan oleh faktor-faktor yang berkaitan
dengan sistem pertanian yang ada. Sedangkan faktor industrialisasi dan perkotaan mempengaruhi 32,17 persen dan faktor demografis hanya mempengaruhi 8,75 persen. Sedangkan Utomo (1992) memaparkan bahwa secara umum masalah alih
fungsi dalam penggunaan lahan terjadi antara lain karena pola pemanfaatan lahan yang masih sektoral, delineasi antar kawasan yang belum jelas, kriteria kawasan yang belum jelas, koordinasi pemanfaatan ruang yang masih lemah, dan
penegakan hukum seperti UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) yang masih lemah.
Menurut Winoto (2005) faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian antara lain :
1. Faktor kependudukan, yaitu peningkatan dan penyebaran penduduk di
suatu wilayah. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan permintaan tanah. Selain itu, peningkatan taraf hidup masyarakat juga
16 2. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktifitas sektor
non pertanian dibandingkan dengan sektor pertanian. Rendahnya insentif untuk bertani disebabkan tingginya biaya produksi, sementara harga hasil
pertanian relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu karena faktor kebutuhan keluarga petani yang semakin mendesak menyebabkan terjadinya konversi lahan.
3. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak
memenuhi batas minimun skala ekonomi usaha yang menguntungkan. 4. Perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan jangka pendek namun kurang
memperhatikan jangka panjang dan kepentingan nasional secara keseluruhan. Hal ini tercermin dari rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang cenderung mendorong konversi tanah pertanian untuk penggunaan
tanah non pertanian.
5. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari
peraturan yang ada.
2.5. Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian
Penyebaran penduduk yang tidak merata menyebabkan terkonsentrasinya
pembangunan perumahan dan industri di Pulau Jawa. Di satu sisi alih fungsi lahan ini menambah terbukanya lapangan kerja di sektor non-pertanian seperti jasa konstruksi dan industri, akan tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang
17 1. Berkurangnya luas lahan sawah yang mengakibatkan turunnya produksi
padi, yang menggangu tercapainya swasembada pangan.
2. Berkurangnnya luas sawah yang mengakibatkan bergesernya lapangan
kerja dari sektor pertanian ke non pertanian dimana tenaga kerja lokal nantinya akan bersaing dengan pendatang. Dampak sosial ini akan berkembang dengan meningkatnya kecemburuan sosial masyarakat
setempat terhadap pendatang yang nantinya akan berpotensi meningkatkan konflik sosial.
3. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan menjadi tidak optimal. Hal ini dikarenakan irigasi yang telah dibangun
menjadi sia-sia karena sawah yang ada dialihfungsikan.
4. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan
ataupun industri karena kesalahan perhitungan mengakibatkan lahan yang
telah dialihfungsikan menjadi tidak termanfaatkan, karena tidak mungkin dikembalikan menjadi sawah kembali. Sehingga luas lahan tidur akan meningkat dan nantinya akan menimbulkan konflik sosial seperti
penjarahan tanah.
5. Berkurangnya ekosistem sawah di Pulau Jawa dimana telah terbentuk
selama berpuluh-puluh tahun, sedangkan pencetakan sawah baru di luar Pulau Jawa tidak memuaskan hasilnya.
Dampak alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian yang sebenarnya
akan langsung dirasakan oleh masyarakat umum adalah terancamnya ketahanan pangan. Hal ini dikarenakan produk pertanian yang tadinya dapat dihasilkan
18 pertanian. Pertumbuhan penduduk yang terus bertambah tentu saja akan
meningkatkan kebutuhan masyarakat akan pangan. Hal ini bertolak belakang dengan produksi pangan yang akan menurun jika alih fungsi terhadap lahan
pertanian terus dilakukan. Jika hal ini tidak segera dikendalikan maka pemerintah harus mengimport pangan dari luar sehingga masyarakat akan semakin bergantung pada produk import.
Konversi lahan sawah dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, dari fungsinya lahan sawah yang diperuntukan memproduksi padi. Dengan demikian
adanya konversi lahan sawah ke fungsi lain akan menurunkan produksi padi nasional. Kedua, dari bentuknya perubahan lahan sawah ke bangunan permanen
akan berimplikasi pada kerugian akibat sudah diinfestasikannya dana untuk mencetak sawah, membangun waduk, dan sistem irigasi.
Kegiatan alih fungsi lahan pertanian juga berpengaruh terhadap
lingkungan. Perubahan lahan pertanian menjadi non pertanian akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Secara faktual alih fungsi lahan ini menyebabkan berkurangnya lahan terbuka hijau, mengganggu tata air tanah, serta
ekosistem budidaya pertanian semakin sempit.
2.6. Kelembagaan Lahan
New Institutional Economics (NIE) dalam Fauzi (2010) mengartikan kelembagan sebagai rules of the game dalam masyarakat atau secara formal diartikan sebagai kendali yang dirancang manusia yang membentuk interaksi
manusia. Dalam konteks yang lebih konkrit, kelembagaan terdiri dari hukum formal, baik dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis, dan informal, atau
19 pengorganisasiannya. Dengan demikian norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat dalam hal pemilikan dan pengelolaan lahan menjadi sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Namun faktor kelembagaan merupakan pedang
bermata dua dalam konteks pengelolaan sumber daya lahan. faktor kelembagaan yang lemah merupakan salah satu faktor yang menjadi driving force dari degradasi lahan. Buruknya institusi yang dalam bentuk kebijakan formal yang
tidak kondusif, iklim kebijakan yang tidak baik (korupsi dan manajemen yang buruk) serta masalah property right yang kompleks yang tidak ditangani dengan
baik adalah beberapa faktor yang sangat krusial dalam memicu degradasi lahan dan buruknya pengelolaan yang berkelanjutan. Di sisi lain, kelembagaan yang
baik akan membantu menjadi leverage dalam pengelolaan yang berkelanjutan.
Menurut Fauzi (2010), salah satu kunci dalam aspek ekonomi kelembagaan adalah menyangkut property right atau hak pemilikan. Property right
ini melekat dalam bentuk aturan formal dan juga norma sosial atau adat. Relefansi hak pemilikan ini tergantung dari seberapa besar ia bisa dijalankan dan diakui dalam masyarakat. ketidakjelasan hak pemilikan dan enforced property rights
terbukti menjadi handicap dalam mentransformasi pembangunan ekonomi yang berkaitan dengan lahan. Bagian lain yang juga penting dalam konteks ekonomi
kelembagaan adalah menyangkut biaya transaksi. Biaya transaksi adalah pertimbangan manfaat dalam melakukan transaksi di dalam organisasi antara aktor yang berbeda dengan menggunakan mekanisme pasar. Dalam konteks inilah
sering terjadi pemahaman yang keliru mengenai apa yang dimaksud dengan biaya transaksi. Biaya transaksi bukanlah biaya pertukaran (cost of exchange) atau salah
20 transaksi lebih diartikan sebagai the cost of establishing and maintaining right.
Biaya transaksi dalam hal ini mempertimbangkan beberapa aspek penting dalam ekonomi yakni bounded rationality (rasionalitas terbatas), masalah informasi,
biaya negosisasi kontrak, dan opportunism. Kedua aspek di atas yakni property rights dan transaction cost adalah bagian penting yang memerlukan pemahaaman yang serius dalam kelembagaan pengelolaan lahan.
2.7. Landasan Hukum Kebijakan Alih Fungsi Lahan
Dasar kebijakan pertanahan pertanahan adalah Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 (UUD 45) pasal 33 ayat (3), yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dari dasar kebijakan tersebut dibentuk suatu landasan hukum berupa Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dalam penjelasan umumnya, dinyatakan bahwa tujuan diberlakukannya
UUPA adalah:
1. Meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan
bagi negara dan raktat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
2. Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
3. Meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
21 Landasan hukum dari kebijakan konversi lahan pertanian selain UUPA
antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan
pertanian pangan berkelanjutan pada pasal 50, yang menyebutkan bahwa segala bentuk perizinan yang mengakibatbatkan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan batal demi hukum, kecuali untuk
kepentingan umum.
2. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang terutama
pada pasal 37, yang menyebutkan bahwa izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dibatalkan oleh
pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang penatagunaan tanah
terutama pasal 13, yang menjelaskan penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung atau kawasan budidaya harus sesuai dengan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW).
4. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tanun 1998 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, dimana pada pasal 11 dijelaskan tanah
yang diperoleh dasar penggunaannya oleh orang perseorangan yang tidak menggunakan tanah tersebut sesuai dengan keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya, atau tidak memeliharanya dengan baik, atau
tidak mengambil langkah-langkah pengelolaan bukan karena tidak mampu dari segi ekonomi, maka kepala kantor pertanahan mengusulkan kepada
22 waktu tertentu sudah menggunakan tanahnya sesuai keadaan atau menurut
sifat dan tujuan pemberian haknya.
5. Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 2 tahun 1999 tentang izin lokasi
penguasaan dan teknis tata guna tanah dimana pada pasal 6 disebutkan izin lokasi diberikan berdasarkan pertimbangan mengenai aspek penguasaan tanah dan teknis tata guna tanah yang meliputi keadaan hak serta
penguasaan tanah yang bersangkutan, penilaian fisik wilayah, penggunaan tanah, serta kemampuan tanah.
Menurut Widjanarko et al (2006) ada tiga kebijakan nasional yang berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian
adalah:
1. Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan
kepada pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar. 2. Kebijakan pembangunan pemukiman skala besar dan kota baru. Kebijakan
pemerintah ini sangat berpengaruh terhadap alih fungsi lahan, karena memunculkan spekulan yang mendorong minat petani menjual lahannya.
3. Kebijakan deregulasi dalam hal penanaman modal dan perizinan sesuai Paket Kebijaksanaan Oktober Nomor 23 Tahun 1993 memberikan kemudahan dan penyederhanaan dalam pemrosesan perizinan lokasi.
23
2.8. Ketahanan Pangan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tanggar yang tercermin dari: (1)
tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3) merata; dan (4) terjangkau. Dari definisi pada undang-undang tersebut, ketahanan pangan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, yaitu pangan dalam jumlah yang cukup dan dengan kualitas atau gizi yang
memadai dalam setiap rumah tangga di Indonesia. Ketersediaan pangan ini harus mencukupi jumlah satuan kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan
yang aktif dan sehat
2. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan sebagai bebas dari cemaran biologis, kimia, atau benda lain yang dapat mengganggu atau
merusak kesehatan manusia. Hal tersebut juga termasuk aman dari kaidah agama atau kepercayaan masing-masing.
3. Terpenuhinya pangan secara merata, diartikan dengan pangan yang aman
dan berkualitas tadi harus tersebar merata untuk mencukupi kebutuhan jumlah kalori setiap rumah tangga di Indonesia.
24
2.9. Penelitian Terdahulu
Utama (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa telah terjadi penurunan luasan lahan sawah sebesar 5.872 hektar di Kabupaten Cirebon selama
rentang waktu antara tahu 1990-2004. Produktifitas padi pun menurun setiap tahunnya sekitar 2.813,94 ton per tahun. Pada tahun tersebut diasumsikan harga satu ton Gabah Kering Giling (GKG) adalah Rp 1.850.000, maka rata-rata nilai
produksi yang hilang pertahunnya Rp 5.205.786.533 atau sekitar Rp 5,2 milyar. Berdasarkan penelitian ini juga petani kehilangan peluang memperoleh
pendapatan usaha tani padi sawah sebesar Rp 7.153.000 per tahun. Kesempatan kerja pun turut menurun, menurut pengamatan dari penelitian ini kesempatan
kerja hilang sebesar 182.032 Hari Orang Kerja (HOK) dan terjadi kehilangan pendapatan tenaga kerja sebesar Rp 4.550.800.000. Beliau juga mengestimasi model regresi linear berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS) untuk
menganalisis alih fungsi lahan yang terjadi di Kabupaten Cirebon. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan di Kabupaten Cirebon menurut penelitian ini adalah kepadatan penduduk, produktifitas lahan sawah, kontribusi
PDRB sektor non pertanian, dan pertumbuhan panjang jalan aspal. Variabel-variabel tersebut secara keseluruhan berpengaruh positif terhadap laju anih fungsi
lahan di Kabupaten Cirebon.
Sandi (2009) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan di Kabupaten Karawang dari tahun 1999-2008 menggunakan metode
estimasi OLS. Faktor-faktor yang diestimasi oleh beliau adalah luas lahan perumahan, laju pertambahan penduduk, dan PDRB sektor industri. Hasil dari
25 penduduk berkorelasi positif dengan laju konversi lahan di Kabupaten Karawang,
sedangkan PDRB sektor industri tidak berpengaruh secara nyata. Dampak dari konversi lahan tersebut dinilai dari produksi padi yang hilang, yaitu sebesar
6.028,22 ton atau setara dengan Rp 8.524.375.050. Atas hasil penelitian yang telah dilakukan, beliau merekomendasikan kebijakan berupa pemberlakuan kuota lahan sawah yang bisa dikorbankan untuk sektor non pertanian. Sehingga,
pembangunan ekonomi yang berimplikasi terhadap konversi lahan sawah telah sesuai dengan rencana. Kebijakan lainnya yang disarankan adalah pemberian
insentif atau kompensasi bagi para petani sebagai langkah antisipasif untuk menekan laju konversi lahan sawah. Adapun instrumen kebijakan yang disarankan
adalah penetapan harga komoditas yang lebih melindungi petani serta pengurangan bahkan pembebasan pajak lahan pertanian.
Sitorus (2011) dalam penelitiannya mengestimasi model regresi linear
berganda untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di Kabupaten Bogor. Beliau menganalisis model tersebut dengan menggunakan OLS dengan variabel yang digunakan adalah PDRB sektor bangunan, jumlah
penduduk, harga Gabah Kering Giling (GKG), dan produktifitas padi sawah. Hasil dari estimasi menunjukan jumlah penduduk berpengaruh secara positif terhadap
alih fungsi lahan dan produksi padi sawah berpengaruh negatif. Sedangkan PDRB sektor bangunan dan GKG tidak berpengaruh nyata terhadap alih fungsi lahan. Dampak dari alih fungsi lahan di Kabupaten Bogor ini telah menghilangkan nilai
produksi padi sebesar 27.395,42 ton dimana setara dengan Rp 47.939,33 juta. Pada penelitian tersebut juga didapat nilai elastisitas dari jumlah penduduk dan
26 Karena nilai elastisitas jumlah penduduk lebih besar maka beliau menyarankan
pemerintah dapat menanggulangi masalah konversi lahan sawah dengan cara menggalakan program keluarga berencana dan transmigrasi penduduk untuk
menanggulangi jumlah penduduk yang terus meningkat.
Puspasari (2012) menganalisis laju alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di Kecamatan Karawang Timur pada tahun 2006-2011. Tren laju alih fungsi lahan
pertanian pada tahun tersebut mengalami fluktiasi dengan rata-rata sebesar 0,47 persen. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian tersebut
dilihat dari tingkat wilayah dan tingkat petani. Pada tingkat wilayah, beliau menggunakan model regresi linear berganda dan didapatkan hasil yaitu jumlah
industri dan proporsi luas lahan sawah terhadap wilayah merupakan faktor yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan pertanian. Pada tingkat petani, beliau menggunakan model regresi logistik dan didapatkan hasil yaitu tingkat usia, luas
lahan, lama pendidikan, dan pengalaman bertani. Rata-rata pendapatan petani sebelum dan sesudah alih fungsi lahan terjadi perubahan dari Rp 1.421.514,03 menjadi Rp 1.299.796,30. Beliau juga melihat dampak yang terjadi akibat alih
III.KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Teoritis
Persaingan akan kebutuhan untuk berbagai jenis penggunaan lahan
ditentukan oleh besarnya nilai sewa ekonomi lahan (land rent). Land rent yang dihasilkan oleh lahan pada suatu wilayah akan berbeda-beda tergantung pada penggunaan lahan tersebut. Barlowe (1978) mengemukanan bahwa land rent
mengandung pengertian nilai ekonomi yang diperoleh suatu bidang lahan bila lahan tersebut digunakan untuk kegiatan produksi. Nilai land rent didapat dari
selisih antara total produksi dengan biaya produksi di suatu petakan lahan.
Sumber : Barlowe, 1978
Gambar 2. Ilustrasi Land Rent Sebagai Sisa Surplus Ekonomi Setelah Biaya Produksi Dikeluarkan
Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2. bahwa nilai land rent didapat
dari � ABEC - � ABFD = � CEFD, dimana � ABEC adalah total produksi,
� ABFD adalah biaya produksi. Dalam pelaksanaannya, ada dua gejala yang
muncul jika hal tersebut diterapkan pada mekanisme pasar, yaitu (1) semakin F
E C
D
A B Jumlah
Output Biaya Produksi
28 besar land rent maka daya saing penggunaan lahan untuk menduduki lokasi yang
strategis semakin besar, (2) Penggunaan lahan yang mempunyai land rent yang lebih besar akan menggeser penggunaan lahan dengan land rent yang lebih kecil.
Pada dasarnya land rent sangat dipengaruhi oleh lokasi dari lahan tersebut. Semakin dekat dengan pusat kota maka nilai land rent dari pemukiman akan semakin besar. Begitu pula semakin dekat dengan tempat pemasaran
eksport-import maka nilai land rent dari sektor industri akan semakin besar.
3.2. Kerangka Operasional
Lahan merupakan modal penting yang diperlukan dalam proses produksi pertanian. Namun, perkembangan sektor ekonomi di suatu kawasan mendorong
perubahan penggunaan lahan di kawasan tersebut. Hal ini mendorong perubahan sumberdaya lahan ke penggunaan yang memberikan nilai ekonomi lebih tinggi. Lahan yang awalnya berupa lahan pertanian diubah menjadi bentuk lain berupa
industri yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Selain itu, pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat menyebabkan kebutuhan akan tempat tinggal serta sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup juga ikut meningkat. Keberadaan
lahan yang relatif tetap memaksa lahan pertanian untuk dialihfungsikan menjadi bentuk lain berupa pemukiman dan infrastruktur kependudukan.
Alih fungsi lahan pertanian merupakan tuntutan terhadap pembangunan di sektor non pertanian seperti industri, perumahan, dan jasa. Adanya alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik
faktor yang mempengaruhi di tingkat wilayah maupun di tingkat petani. Faktor di tingkat petani merupakan faktor mikro yang secara langsung mempengaruhi
29 di tingkat wilayah merupakan faktor makro berupa data yang secara tidak
langsung mempengaruhi kepetusan pemerintah setempat untuk mengambil kebijakan pengalihfungsian lahan. Selain itu kelembagaan yang ada juga ikut
mempengaruhi, karena kelembagaan tersebut dapat mendukung atau mencegah alih fungsi lahan yang terjadi. Fenomena ini mengakibatkan terjadinya penyempitan lahan pertanian. Penyempitan pada lahan pertanian ini akan
berdampak langsung pada volume produksi padi yang mempengaruhi ketahanan pangan, dan pada kondisi ekonomi petani karena skala produksinya tidak
mencukupi untuk sampai menguntungkan. Analisis dari faktor-faktor yang mempengaruhi dan dampak yang ditimbulkan oleh alih fungsi lahan dapat
30 Keterangan :
Ruang Lingkup Penelitian
Sumber: Peneliti, 2013
Gambar 3. Diagram Kerangka Pemikiran Operasional
Pertumbuhan Penduduk
Peningkatan Kebutuhan Lahan Pemukiman
Alih Fungsi Lahan Pertanian
Pola dan Laju Alih Fungsi Lahan
Faktor yang Mempengaruhi Dampak yang Terjadi
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu
Lokasi pengambilan data untuk keperluan penelitian yang dipilih adalah
Kabupaten Bekasi. Lokasi ini dipilih karena di daerah tersebut banyak dibangunan pemukiman dan industri, padahal tata guna lahan di daerah tersebut pada saat ini mayoritas merupakan lahan sawah. Hal ini mengindikasikan terjadinya alih fungsi
lahan pertanian ke pemukiman ataupun industri. Selain itu wilayah ini juga merupakan salah satu daerah di Jawa Barat dengan perkembangan ekonomi yang
paling cepat, sehingga memberikan implikasi adanya perubahan tata guna lahan. Studi kasus pada penelitian ini dilakukan di Desa Sriamur, Kecamatan Tambun
Utara. Desa tersebut dipilih karena pada daerah tersebut banyak terjadi alih fungsi lahan pertanian. Proses pengumpulan data primer dan sekunder di wilayah tersebut dilakukan pada bulan Februari 2013 hingga Maret 2013.
4.2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer digunakan untuk mengetahui faktor-faktor mikro yang
mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat petani dan dampak terhadap pendapatan petani. Data tersebut didapat dari hasil penyebaran kuesioner dan
wawancara langsung dengan petani penggarap sekaligus pemilik lahan. Petani tersebut dipilih karena dianggap tahu seluk-beluk produksi sawahnya dan mempunyai kekuasaan untuk mengalihfungsikan lahan miliknya Data sekunder
32 terhadap produksi padi yang dapat mempengaruhi ketahanan pangan. Data
tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Badan Pertanahan Nasional, Dinas Pertanian, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, Kantor Kecamatan, dan
Kantor Desa.
4.3. Metode Pengambilan Contoh
Pengambilan contoh atau sample yang dilakukan kepada petani dilakukan
secara snowball sampling. Teknik snowball sampling merupakan bentuk dari non probability sampling method. Metode ini dipilih karena jumlah populasi yang
akan diteliti tidak diketahui secara pasti. Cara ini dilakukan dengan mencari sample pertama dan mewawancarainya. Setelah itu peneliti meminta sample
pertama tadi untuk menunjukan orang lain yang sekiranya dapat diwawancarai sesuai dengan kriteria yang diinginkan, dan begitu pula seterusnya. Dalam hal ini populasi yang akan diteliti tidak memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih
sebagai sample.
Pengambilan data primer dilakukan melalui teknik wawancara dengan bantuan kuesioner kepada responden. Responden merupakan pihak yang dapat
memberikan informasi dan dapat mewakili dalam menjawab permasalahan penelitian. Responden dalam penelitian ini terbagi dalam dua kategori, yaitu
petani dengan lahan usaha taninya pernah dialihfungsikan dan petani yang tidak pernah mengalihfungsikan lahannya. Penelitian yang dilaksanakan mengambil responden mengambil responden sebanyak 30 orang. Penetapan sample ini
33 menggunakan analisis data statistik adalah 30 responden dimana populasi
dianggap menyebar normal.
4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian ini menggunakan dua metode analisis data, yaitu metode analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Metode analisis deskriptif digunakan dengan tujuan untuk memberikan penjelasan dan interpretasi data dan informasi
pada tabulasi data. Metode analisis kuantitatif bertujuan untuk mengetahui laju alih fungsi lahan, faktor yang mempengaruhinya, dan dampak dari alih fungsi
lahan tersebut. Metode analisis kuantitatif yang digunakan adalah persamaan laju alih fungsi lahan, analisis regresi berganda, dan analisis uji beda rata-rata.
Pengolahan data dan informasi yang didapat dilakukan secara manual dan menggunakan komputerisasi dengan program microsoft office excel 2007, EViews 7, dan Statistical Program Service Solution20.0.
4.4.1. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan metode pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat mengenai masalah-masalah yang ada dalam masyarakat, tata cara yang
berlaku, serta situasi-situasi tertentu termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap, pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena. Data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian diolah dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Penulisan data dan informasi yang diperoleh selama penelitian dengan
34 2. Merumuskan data yang diperoleh ke dalam bentuk tabel untuk
menghindari kesimpangsiuran interpretasi serta sekaligus untuk mempermudah interpretasi data.
3. Menghubungkan hasil penelitian yang diperoleh dengan kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian, dengan tujuan mencari arti atau memberi interpretasi yang lebih luas dari data yang diperoleh.
Analisis deskriptif akan memperoleh gambaran mengenai pola atau karakteristik dan faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian,
serta dampaknya terhadap petani. Analisis secara deskripif juga dilakukan untuk menganalisis kelembagaan-kelembagaan yang ada dalam mengatur kebijakan
pengelolaan lahan di Kabupaten Bekasi.
4.4.2. Analisis Laju Alih Fungsi Lahan
Menurut Sutani (2009) dalam Astuti (2011), dalam perhitungan laju alih
fungsi lahan pertanian digunakan persamaan penyusutan lahan. Laju alih fungsi lahan dapat ditentukan dengan cara menghitung laju penyusutan lahan secara parsial. Laju penyusutan lahan secara parsial dapat dijelaskan secara berikut:
� = � − �−1
�−1
× 100%
dimana:
V = Laju penyusutan lahan (%)
Lt = Luas lahan tahun ke-t (ha) Lt-1 = Luas lahan tahun sebelum t (ha)
35 tahun sebelum t tersebut dan dikalikan dengan 100 persen. Hal ini dilakukan juga
pada tahun-tahun berikutnya sehingga diperoleh laju alih fungsi lahan setiap tahun. Nilai V < 0 berarti bahwa luas lahan tersebut mengalami penyusutan.
4.4.3. Analisis Regresi Linear Berganda
Analisis regresi linier berganda adalah sebuah alat analisis statistik yang memberikan penjelasan tentang pola hubungan antara dua variabel atau lebih.
Tujuan dari analisis regresi ini adalah menggambarkan hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebas atau variabel yang mempengaruhinya. Variabel
terikat atau dependen (Y) adalah variabel yang dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel bebas. Sedangkan variabel bebas atau independen (X) adalah variabel
yang menjelaskan atau mempengaruhi variabel terikat. Metode ini dipilih peneliti untuk menduga faktor-faktor yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan pertanian secara makro, dimana luas lahan sawah tersebut merupakan variabel
terikat (Y).
Faktor-faktor makro yang diduga berpengaruh terhadap kegiatan alih fungsi lahan di tingkat wilayah adalah:
1. PDRB (X1)
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator
yang dapat menggambarkan pertumbuhan ekonomi. Semakin besar pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dapat mempercepat terjadinya perubahan struktur ekonomi ke arah sektor manufaktur, jasa, dan sektor
non pertanian lainnya. Hal ini akan menggeser peruntukan lahan dari pertanian menjadi non pertanian. Hipotesis pada penelitian ini bahwa
36 2. Laju Pertumbuhan penduduk (X2)
Laju pertumbuhan penduduk adalah kecepatan bertambahnya penduduk. Jumlah penduduk yang semakin meningkat akan menambah permintaan
akan tempat tinggal atau pemukiman. Hal ini mendorong peningkatan pembangunan pemukiman, sehingga menurunkan luasan lahan pertanian. Hipotesis pada penelitian ini adalah semakin besar laju pertumbuhan
penduduk maka semakin besar alih fungsi lahan yang terjadi. 3. Jumlah Industri (X3)
Industri merupakan salah satu hal yang menyebabkan alih lahan pertanian. Permintaan terhadap lahan dari masing-masing sektor saling bersaingan.
Jika jumlah industri bertambah maka lahan yang dibutuhkan oleh industri tersebut juga bertambah. Ada indikasi luas pertanian akan dialihfungsikan menjadi industri jika jumlah industri tersebut semakin bertambah.
Hipotesis pada penelitian ini adalah semakin banyak jumlah industri yang ada maka semakin besar pula alih fungsi lahan yang terjadi.
Persamaan model regresi linear berganda untuk mengetahui faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan adalah sebagai berikut :
� = + �( 1 1) + �( 2 2) + �( 3 3) +�
dimana:
Y = Penurunan lahan pertanian
α = Intersep
βi = koefisien regresi
37 Model analisis regresi linear berganda merupakan metode analisis yang
didasarkan pada metode Ordinary Least Square (OLS). Konsep dari metode OLS adalah menduga koefisien regresi (βi) dengan meminimumkan residual. OLS
dapat menduga koefisien regresi dengan baik, karena: (1) memiliki sifat tidak bias dengan varian yang minimum, (2) variabelnya konsisten dimana dengan meningkatnya ukuran sample maka koefisien regresi mengarah pada nilai populasi
yang sebenarnya, dan (3) koefisien regresinya terdistribusi secara normal (Gujarati 2002).
Untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh faktor-faktor yang telah ditentukan dalam persamaan akan mempengaruhi alih fungsi lahan, dilakukan
pengujian ketelitian dan pengujian kemampuan model regresi. Pengujian model regresi ini terdiri dari uji koefisien determinasi, Uji koefisien regresi menyeluruh, dan Uji koefisien regresi parsial.
1. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Nilai R2 mencerminkan seberapa besar keragaman dari variabel terikat yang dapat diterangkan oleh variabel bebasnya. Nilai R2 memiliki besaran yang positif dan kurang dari satu (0 ≤ R2 ≤ 1). Jika nilai R2
bernilai nol maka keragaman dari variabel terikat tidak dapat dijelaskan oleh variabel bebasnya. Sebaliknya,
jika nilai R2 bernilai satu maka keragaman dari variabel terikat secara keseluruhan dapat dijelaskan oleh variabel bebas secara sempurna. R2 dapat dirumuskan sebagai berikut :
2 =
38 ESS = Explained of Sum Square
TSS = Total of Sum Square
2. Uji Koefisien Determinasi yang Disesuaikan (Adj-R2)
Penambahan variabel bebas akan menyebabkan bertambahnya nilai R2. Permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan menghitung Adj-R2. Adj-R2 adalah koefisien determinasi yang telah disesuaikan, sehingga penambahan
nilainya menjadi terbebas dari pengaruh penambahan jumlah variabel bebas. Arti dari nilai Adj-R2 secara harfiah sama dengan nilai R2, hanya saja Adj-R2 lebih
tepat karena telah menghilangkan pengaruh dari jumlah variabel. Adj-R2 dapat dirumuskan sebagai berikut:
� - 2 = 1− (� − −1) (� −1)
Dimana:
RSS = Residual of Sum Square TSS = Total of Sum Square
n = jumlah observasi
K = jumlah koefisien
3. Uji Koefisien Regresi Menyeluruh (F)
Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Adapun prosedur yang digunakan :
H0 : β1= β2= β3= ... = βi = 0
H1 : minimal ada satu βi ≠ 0
ℎ � = ((� −−1))