• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Ekonomi Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Karawang Jawa Barat (Studi Kasus Desa Tanjungpura Kecamatan Karawang Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Ekonomi Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Karawang Jawa Barat (Studi Kasus Desa Tanjungpura Kecamatan Karawang Barat)"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EKONOMI DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN KARAWANG

JAWA BARAT

(Studi Kasus Desa Tanjungpura Kecamatan Karawang Barat)

PUTRI EMILYA ADAWIAH

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Ekonomi Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Karawang Jawa Barat (Studi Kasus Desa Tanjungpura Kecamatan Karawang Barat) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2014

(3)

ABSTRAK

PUTRI EMILYA ADAWIAH.Analisis Ekonomi Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Karawang Jawa Barat (Studi Kasus Desa Tanjungpura Kecamatan Karawang Barat). Dibimbing oleh RIZALBAHTIAR.

Luas lahan sawah yang mengalami alih fungsi di Kabupaten Karawang dari tahun 2002-2012 sebesar 10 027 hektar. Penelitian menunjukkan bahwa pola alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di Kabupaten Karawang dipicu oleh tingginya pertumbuhan penduduk di wilayah tersebut. Laju alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di Kabupaten Karawang tahun 2002-2012 berfluktuasi dengan rata-rata sebesar -0.71 persen. Kelembagaan lahan yang dianalisis dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) bedasarkan Peraturan Daerah Undang-Undang No 2 Tahun 2013. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian secara eksternal yaitu jumlah industri dan proporsi lahan sawah terhadap luas wilayah, sedangkan faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian secara internal adalah biaya usaha tani dan proporsi pendapatan usaha tani dari pendapatan total. Rata-rata pendapatan petani berkurang setelah alih fungsi lahan sebesar Rp 2 599 900. Dampak yang terjadi terhadap produksi adalah hilangnya produksi padi pada sepuluh tahun terakhir sebesar 130 547.02 ton atau bernilai sekitar Rp 344 054 232 300. Berdasarkan perkiraan luas lahan dan dampaknya terhadap ketahanan pangan diketahui bahwa pada tahun 2026 produksi beras di Kabupaten Karawang tidak dapat memenuhi kebutuhan beras penduduk dengan kekurangan sebesar 6 796 ton. Jika terdapat penurunan konsumsi beras perkapita sebesar 1.5 persen setiap tahunnya maka Kabupaten Karawang tidak dapat memenuhi kebutuhan beras pada tahun 2031 dengan kekurangan sebesar 6 438 ton. Implikasi kebijakan untuk mengatasi alih fungsi lahan sawah dapat dilakukan dari berbagai aspek, baik sosial, ekonomi, maupun lingkungan, contohnya dengan pemberlakuan kuota lahan, pemberian kompensasi bagi petani, dan intensifikasi pertanian.

Kata Kunci : Alih Fungsi Lahan Pertanian, Produksi Padi, Ketahanan Pangan, Pendapatan Petani, Kabupaten Karawang.

ABSTRACT

PUTRI EMILYA ADAWIAH. Economic Analysis of Agricultural Land Conversion Impact on Food Security in Karawang West Java (Case Study in Tanjungpura Village, West Karawang). Supervised by RIZAL BAHTIAR.

During 2002-2012, the number of converted land in Karawang has reached 10 027 ha. The result of this study showed that the pattern of land conversion in Karawang was triggered by the high number of population’s growth. The rate of land conversion in Karawang during 2002-2012 are fluctuated, with average point of -0.71%. The land institutional that was analyzed from Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) stated that Karawang will be converted into urban and industrial area based on Peraturan Daerah Undang-Undang No. 2 Year 2013. The factors that affect land conversion externally are the number on industries and the proportion between agricultural land to total area. The factors that affect land conversion internally are farm costs and the proportion between farm income to total income. The average number of farmer’s income after the land conversion was reduced by Rp.2 599 900. The impact to production was the loss of rice production in the past ten years, which is 130 547.02 tons, or Rp 344 054 232 300 worth. Based on prediction, the land area and the conversion impact to food security will cause 6 796 tons of rice shortage on 2026. If rice consumption per capita was reduced by 1.5% every year, then Karawang won’t be able to provide the needs of rice in 2031 with 6 438 tons shortage. The implication’s policy to overcome rice field conversion could be done from several aspects such as social aspect, economy aspects, and environment aspect. It could be done by implementing the land quota, compensate farmers, and agricultural intensification.

(4)

ANALISIS EKONOMI DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN KARAWANG

JAWA BARAT

(Studi Kasus Desa Tanjungpura Kecamatan Karawang Barat)

PUTRI EMILYA ADAWIAH H44100059

Skripsi

sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Analisis Ekonomi Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Karawang Jawa Barat (Studi Kasus Desa Tanjungpura Kecamatan Karawang Barat)

Nama : Putri Emilya Adawiah

NIM : H44100059

Disetujui oleh

Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari hingga Februari 2014 ini adalah alih fungsi lahan, dengan judul Analisis Ekonomi Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Karawang Jawa Barat.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi, serta Bapak Ir. Nindiyantoro, M.Sp dan Ibu Asti Istiqomah, S.P, M.Si selaku dosen penguji yang telah banyak memberi saran. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Yus selaku Kabid Kemasyarakatan Kesbangpol Karawang serta Ibu Inne selaku staf Bapedda Karawang, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Bapak C. Ade Lesmana S.Hi, Ibu Nurwendah Rachmawati, Eka Nurhasannudin, Vivie Fitriastuti, Danang Dwiananto serta seluruh keluarga dan teman-teman atas doa, dukungan dan kasih sayangnya.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, sehingga segala saran dan kritik penulis terima. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi seluruh pihak terkait dan para pembaca.

Bogor, Mei 2014

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

PRAKATA ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Lahan Pertanian ... 7

2.2. Alih Fungsi Lahan Pertanian ... 8

2.3. Pola dan Karakteristik Alih Fungsi Lahan ... 9

2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian ... 10

2.5. Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian ... 11

2.6. Kelembagaan Lahan ... 12

2.7. Ketahanan Pangan ... 13

2.8. Konsepsi Ketahanan Pangan ... 14

2.9. Penelitian Terdahulu ... 16

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 17

IV. METODE PENELITIAN ... 19

4.1. Lokasi dan Waktu ... 19

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 19

4.3. Metode Pengambilan Contoh ... 20

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 20

4.4.1 Analisis Deskriptif ... 20

4.4.2 Analisis Laju Alih Fungsi Lahan ... 21

4.4.3 Analisis Regresi Linier Berganda ... 21

4.4.4 Analisis Regresi Logistik ... 25

4.4.5 Analisis Estimasi Dampak Produksi ... 29

(8)

V. GAMBARAN UMUM ... 31

5.1.Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Karawang……… 31

5.2.Gambaran Wilayah Kecamatan Karawang Barat ... 33

5.2.1 Desa Tanjungpura ... 35

5.3.Karakteristik Responden ... 35

5.3.1 Tingkat Usia ... 36

5.3.2 Tingkat Pendidikan ... 36

5.3.3 Lama Berani ... 37

5.3.4 Luas Lahan Sawah ... 38

5.3.5 Jumlah Tanggungan ... 38

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

6.1.Pola dan Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kabupaten Karawang ... 40

6.2.Analisis Kelembagaan Lahan Kabupaten Karawang ... 43

6.3.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Kabupaten Karawang ... 47

6.3.1 Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Kabupaten Karawang ... 48

6.3.2 Faktor Internal yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Kecamatan Karawang Barat……… ... 52

6.4.Dampak Akibat Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non-Pertanian………... ... 55

6.4.1 Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Pendapatan Petani di Desa Tanjungpura ... 55

6.4.2 Dampak Alih Fungsi Lahan terhadap Produksi Padi Kabupaten Karawang ... 57

6.4.3 Perkiraan Perubahan Luas Sawah dan Dampak terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Karawang ... 59

6.5.Implikasi Kebijakan ... 62

VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 64

7.1.Simpulan ... 64

7.2.Saran... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66

LAMPIRAN ... 69

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Luas Lahan Pertanian, Data Produksi Beras, dan Impor Beras

Indonesia Tahun 2012-2013 ... 2

2. Luas Lahan Pertanian, Data Produksi Beras Karawang Tahun 2012-2013 ... 2

3. Mata Pencaharian Penduduk Kabupaten Karawang ... 32

4. Penggunaan Lahan di Kabupaten Karawang Tahun 2012 ... 32

5. Luas Desa di Kecamatan Karawang Barat ... 33

6. Jumlah Penduduk Masing-Masing Desa di Kecamatan Karawang Barat ... 34

7. Luas dan Penggunaan Lahan di Kecamatan Karawang Barat Tahun 2012 ... 34

8. Keadaan Penduduk di Kecamatan Karawang Barat Bedasarkan Mata Pencaharian Tahun 2012 ... 34

9. Mata Pencaharian Penduduk Desa Tanjungpura... 35

10. Luas dan Laju Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Karawang Tahun 2002-2012 ... 42

11. Hasil Estimasi Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Karawang ... 49

12. Hasil Estimasi Terhadap Faktor Internal yang Mempengaruhi Petani dalam Mengalihfungsikan Lahan Pertanian ... 55

13. Rata-rata Perubahan Pendapatan Petani Sebelum dan Setelah Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian ... 56

14. Penggunaan hasil Pengalihfungsian Lahan oleh Petani ... 57

15. Dampak Terhadap Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi Akibat Alih Fungsi Lahan Sawah ... 58

16. Dampak Terhadap Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi Akibat Pembukaan Lahan Sawah Baru ... 59

17. Perkiraan Perubahan Luas Lahan dan Dampak Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Karawang dengan Konsumsi Beras Perkapita Tetap ... 60

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kerangka Pemikiran Operasional ... 18

2. Perbandingan Tingkat Usia Responden ... 36

3. Perbandingan Tingkat Pendidikan Responden ... 36

4. Perbandingan Tingkat Lama Bertani Responden ... 37

5. Perbandingan Tingkat Luas Lahan Responden ... 38

6. Perbandingan Jumlah Tanggungan Responden ... 39

7. Luas Lahan Sawah di Kabupaten Karawang Tahun 2002-2012 ... 40

8. Tren Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Karawang Tahun 2002-2012 . 41 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Kuesioner Penelitian ... 70

2. Peta Kabupaten Karawang... 73

3. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Karawang Tahun 2011-2031 74 4. Penurunan Luas Lahan Sawah di Kabupaten Karawang ... 75

5. Data Jumlah Penduduk Kabupaten Karawang Tahun 2002-2013 ... 75

6. Data Tingkat Wilayah yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan ... 75

7. Harga Gabah Kering Giling Kabupaten Karawang Tahun 2002-2012 .. 76

8. Hasil Regresi Linear Berganda ... 76

9. Hasil Regresi Logistik ... 78

(11)

1 I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehidupan manusia tidak terlepas dari kebutuhan akan pangan, maka urusan pangan menjadi suatu kebutuhan yang penting bagi manusia. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan pembuatan makanan atau minuman (BKP-Departemen Pertanian, 2008).

Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 telah menetapkan Program Peningkatan Ketahanan Pangan salah satunya mencakup penyediaan gizi yang cukup bagi masyarakat. Untuk mencapai kondisi ketahanan pangan, Indonesia harus dapat mengurangi ketergantungannya terhadap impor dari negara lain, salah satunya melalui pencapaian swasembada pangan, khususnya beras yang merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, swasembada pangan dalam hal ini adalah swasembada beras harus terwujud seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia. Menurut data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2008 Indonesia mencapai swasembada beras, produksi meningkat 3.12 juta ton gabah kering giling (GKG) atau meningkat 5.46 persen dari tahun 2007.

(12)

2

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa data produksi beras nasional satu tahun

terakhir menunjukkan perkembangan yang signifikan. Pada tahun 2012

produksinya mencapai 69 056 126 ton dan harus impor beras sebanyak 1 810 372

ton, sedangkan pada tahun 2013 produksi meningkat menjadi 70 866 571 ton dan

impor beras mengalami penurunan menjadi 353 485 ton. Artinya, impor beras

Indonesia menurun sebanyak 1 456 887 ton pada tahun 2013.

Sebagai salah satu daerah lumbung padi nasional, Karawang menjadi daerah

yang produksi berasnya perlu diperhatikan guna memenuhi pasokan pangan

masyarakat Indonesia. Secara signifikan data produksi beras Karawang tahun

2012-2013 dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Tabel 2. Luas Lahan Pertanian, dan Data Produksi Beras Karawang Tahun 2012-2013

Sumber : www.karawangkab.go.id, 2013

Kebutuhan bahan pangan masyarakat Indonesia masih sangat tergantung pada beras. Produksi beras nasional sebagian besar disumbangkan oleh produksi padi sawah, sementara itu ketersediaan lahan sawah cenderung mengalami penurunan akibat adanya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian.

(13)

3 sawah karena alih fungsi lahan dan pelandaian tingkat produktivitas di daerah-daerah itensifikasi.

Karawang adalah salah satu Kabupaten di wilayah Jawa Barat yang menjadi lumbung padi nasional. Bedasarkan keterangan dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, Karawang menjadi penghasil padi terbesar ketiga setelah Indramayu dan Subang. Dari luas wilayah Kabupaten Karawang yaitu 1 753.27 kilometer persegi atau 175 327 hektar hampir separuhnya yaitu 98 346 hektar adalah lahan pertanian. Dinas Pertanian Kabupaten Karawang menyebutkan luas baku sawah sebesar 98 346 Ha dengan luas tanam 79 194 Ha. Rata-rata produksi padi per hektar mencapai antara 6 bahkan hingga 9 ton per hektarnya. Akibat dari pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang pesat dewasa ini, mendorong peningkatan alih fungsi lahan untuk pertumbuhan industri dan infrastruktur di Kabupaten Karawang yang mengancam penyempitan luas lahan pertanian khususnya lahan sawah.

Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Karawang Pipih Dahpi mengatakan, sesuai dengan Perda Nomor 2 tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Karawang, ribuan hektar areal pertanian di sejumlah wilayah Kabupaten Karawang, Jawa Barat dalam beberapa tahun kedepan akan beralih fungsi. Peralihan fungsi lahan pertanian tersebut berlokasi di bagian selatan Jalan Lingkar Luar Karawang mulai dari Kelurahan Tanjungpura, Kecamatan Karawang Barat sampai Desa Warungbambu Kecamatan Karawang Timur yang mencapai 1 200 hektar. Areal pertanian itu kemungkinan akan beralih fungsi sebagai area bisnis dan pemukiman serta perkantoran.

Apabila ribuan hektar lahan pertanian, khususnya lahan sawah di Kabupaten

Karawang dikonversi menjadi area bisnis dan pemukiman serta perkantoran, dapat

dipastikan produksi pada sektor pertanian padi akan semakin berkurang. Disisi

lain sebagai daerah lumbung padi nasional, lahan sawah di Kabupaten Karawang patut dipertahankan guna terpenuhinya kebutuhan pangan nasional dan terciptanya ketahanan pangan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh alih fungsi lahan pertanian terhadap produksi padi yang akan

mempengaruhi ketahanan pangan provinsi Jawa Barat serta memberikan saran dan

(14)

4

1.2 Perumusan Masalah

Perkembangan Kabupaten Karawang telah mengakibatkan terjadinya persaingan dalam penggunaan lahan yang menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan lahan untuk area bisnis, pemukiman, dan sarana infrastruktur dimana luas lahan tetap, yaitu seluas 175 327 hektar. Konsekuensi dari hal ini maka terjadilah alih fungsi lahan pertanian. Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang (2012) menunjukkan bahwa secara umum luas lahan sawah yang mengalami alih fungsi dari tahun 2002-2012 mencapai 10 027 hektar atau 1 002.7 hektar per tahun.

Perubahan penggunaan lahan dilakukan pada lahan pertanian yang bertempat pada zonasi kawasan yang dialokasikan sebagai area bisnis, perkantoran maupun pemukiman. Penetapan zonasi wilayah diatur pada Peraturan Daerah Kabupaten Karawang mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). sesuai dengan Perda Nomor 2 tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Karawang, lahan sawah di Kecamatan Karawang Barat akan beralih fungsi sebagai area bisnis dan pemukiman serta perkantoran.

Perubahan fungsi lahan dari lahan pertanian ke lahan non-pertanian di Kabupaten Karawang tidak saja menghilangkan kesempatan dalam memproduksi padi dan komoditas pertanian lainnya, namun juga menghilangkan kesempatan usaha yang akan mengancam kelangsungan hidup petani. Akibat adanya alih fungsi lahan ini, banyak petani yang kehilangan mata pencahariaannya. Sebagian besar dari mereka beralih dari petani pemilik menjadi petani penggarap ataupun beralih profesi menjadi buruh pabrik atau tukang ojek. Hal ini akan berpengaruh terhadap pendapatan petani yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.

(15)

5 harus mengganti lahan pertanian sesuai dengan luas lahan yang dijadikan area bisnis dan pemukiman serta perkantoran ke lokasi lain. Hal itu yang saat ini menjadi konsentrasi pemerintah di wilayah Kabupaten Karawang.

Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor beras di dunia, apabila lahan pertanian padi di Indonesia masih dialih fungsikan atau dikonversi menjadi lahan bangunan, maka produksi pertanian khususnya beras akan semakin menurun dan semakin meningkatkan impor pangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam negeri. Jumlah impor yang semakin meningkat akan semakin merugikan petani dalam negeri dan menurunkan pendapatan negara begitupun dampak terhadap ketahanan pangan daerah yang akhirnya semakin menurun. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan beberapa permasalahan diantaranya :

1. Bagaimana pola dan laju alih fungsi lahan di Kabupaten Karawang? 2. Bagaimana kelembagaan lahan di Kabupaten Karawang?

3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi alih fungsi lahan tersebut?

4. Bagaimana dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani dan produksi padi serta pengaruhnya terhadap ketahanan pangan di Kabupaten Karawang?

5. Bagaimana implikasi kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut?

1.3 Tujuan

Bedasarkan perumusan masalah di atas, maka dapat di tetapkan tujuan penelitian yang dapat menjawab pertanyaan permasalahan. Adapun tujuan tersebut adalah:

1. Mengetahui pola dan laju alih fungsi lahan di Kabupaten Karawang. 2. Mengetahui kelembagaan lahan di Kabupaten Karawang.

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian secara internal dan eksternal.

4. Menganalisis dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani dan memperkirakan nilai kerugian produksi padi akibat alih fungsi lahan tersebut serta pengaruhnya terhadap ketahanan pangan.

(16)

6

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat kepada:

1. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menjadi sarana dalam mengaplikasikan ilmu bidang ekonomi sumberdaya dan lingkungan yang telah dipelajari selama menjalani perkuliahan di Institut Pertanian Bogor.

2. Pemda Kabupaten Karawang dan stakeholder terkait yang berperan dalam pengelolaan dan pemeliharaan sektor pertanian di Indonesia.

3. Petani padi dan masyarakat setempat di Kabupaten Karawang, Jawa Barat yang berkontribusi dalam kemajuan pertanian di Indonesia serta jumlah peningkatan impor pangan Indonesia.

4. Akademisi sebagai bahan tambahan dan rujukan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian yang berjudul Analisis Ekonomi Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Karawang Jawa Barat (Studi Kasus Desa Tanjungpura, Kecamatan Karawang Barat, Kabupaten Karawang) diperlukan batasan penelitian agar lebih fokus dalam penelitian. Adapun batasan penelitian dari penelitian ini adalah:

1. Lahan pertanian yang dianalisis terbatas pada lahan sawah dan hasil produksinya berupa padi atau gabah.

2. Faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan dilihat dari faktor internal yang mempengaruhi keputusan petani dan faktor eksternal di tingkat wilayah. 3. Kelembagaan yang di analisis berupa Rencana Tata Ruang Wilayah yang

dianalisis secara vertikal.

4. Pendapatan yang diperhitungkan dilihat dari perubahan pendapatan rumah tangga dari petani sebelum dan sesudah kegiatan alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah.

(17)

7 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lahan Pertanian

Sumberdaya lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki banyak manfaat bagi manusia, seperti sebagai tempat hidup, tempat mencari nafkah. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan seperti sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan, dan transportasi.

Lahan mempunyai arti penting bagi para stakeholder yang memanfaatkannya. Fungsi lahan bagi masyarakat sebagai tempat tinggal dan sumber mata pencaharian. Bagi petani, lahan merupakan sumber memproduksi makanan dan keberlangsungan hidup. Bagi pihak swasta, lahan adalah aset untuk mengakumulasikan modal. Bagi pemerintah, lahan merupakan kedaulatan suatu negara dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Adanya banyak kepentingan yang saling terkait dalam penggunaan lahan, hal ini mengakibatkan terjadinya tumpang tindih kepentingan antar aktor yaitu petani, pihak swasta, dan pemerintah dalam memanfaatkan lahan.

Lahan pertanian merupakan lahan yang diperuntukan untuk kegiatan pertanian. Sumberdaya lahan pertanian memiliki banyak manfaat bagi manusia. Menurut Sumaryanto dan Tahlim (2005) menyebutkan bahwa lahan pertanian dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, use values atau nilai penggunaan dapat pula disebut sebagai personal use values. Manfaat ini dihasilkan dari eksplorasi atau kegiatan usahatani yang dilakukan pada sumberdaya lahan pertanian. Kedua, non use values dapat pula disebut sebagai intrinsic values atau manfaat bawaan. Berbagai manfaat yang tercipta dengan sendirinya walaupun bukan merupakan tujuan dari kegiatan eksploitasi dari pemilik lahan pertanian termasuk dalam kategori ini.

(18)

8

menahan air genangan (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat 2003).

2.2 Alih Fungsi Lahan Pertanian

Alih fungsi lahan pertanian bukan merupakan hal yang baru. Dengan semakin meningkatnya taraf hidup dan terbukanya kesempatan untuk menciptakan peluang kerja, yang ditandai oleh semakin banyaknya investor ataupun masyarakat dan pemerintah dalam melakukan pembangunan, maka semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan. Dipihak lain jumlah lahan yang terbatas sehingga menimbulkan penggunaan lahan yang seharusnya beralih kepenggunaan non-pertanian.

Alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian merupakan hal yang perlu diperhatikan karena ketergantungan masyarakat terhadap sektor pertanian. Konversi lahan atau alih fungsi lahan adalah berubahnya satu penggunaan lahan ke penggunaan lainnya, sehingga permasalahan yang timbul akibat konversi lahan, banyak terkait dengan kebijakan tata guna tanah (Ruswandi 2005). Alih fungsi lahan pertanian merupakan ancaman terhadap pencapaian ketahanan dan kedaulatan pangan. Alih fungsi lahan mempunyai implikasi yang serius terhadap produksi pangan, lingkungan fisik, serta kesejahteraan masyarakat pertanian dan perdesaan yang kehidupannya bergantung pada lahannya. Alih fungsi lahan-lahan pertanian subur selama ini kurang diimbangi oleh upaya-upaya terpadu mengembangkan lahan pertanian melalui pencetakan lahan pertanian baru yang potensial. Disisi lain, alih fungsi lahan pertanian pangan menyebabkan makin sempitnya luas lahan yang diusahakan dan sering berdampak pada menurunnya tingkat kesejahteraan petani. Oleh karena itu, pengendalian alih fungsi lahan pertanian pangan melalui perlindungan lahan pertanian pangan merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan dalam rangka meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan petani dan masyarakat pada umumnya.

(19)

9 jika sawah tersebut berubah menjadi perkebunan tebu, maka alih fungsi lahan tersebut bersifat sementara, karena pada tahun-tahun berikutnya dapat dijadikan sawah kembali. Alih fungsi lahan permanen biasanya lebih besar dampaknya dari pada alih fungsi lahan sementara.

2.3 Pola dan Karakteristik Alih Fungsi Lahan

Sumaryo dan Tahlim (2005) mengungkapkan bahwan pola konversi lahan dapat di tinjau dalam beberapa aspek. Pertama, alih fungsi lahan yang dilakukan secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Motif dari pemilik lahan pertanian untuk merubah penggunaan lahannya antara lain, karena pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal dan peningkatan pendapatan melalui alih usaha. Sebagaimana diketahui para petani umumnya berpendapatan rendah karena kebijakan pemerintah dalam pengaturan harga komoditas pertanian yang kurang bijak dibandingkan dengan harga input pertanian yang tinggi. Sehingga mereka cenderung membuat tempat tinggal untuk keturunannya atau membuat usaha lain dengan mengalihfungsikan lahan pertanian milik mereka sendiri. Dampak dari alih fungsi ini akan baru terasa dalam jangka waktu yang lama. Kedua, alih fungsi lahan yang diawali dengan alih penguasaan lahan. Pemilik lahan menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non pertanian. Para petani yang cenderung berpendapatan kecil akan menjual lahannya karena tergiur akan harga lahan yang ditawarkan oleh para investor. Secara empiris, alih fungsi lahan melalui cara ini umumnya berkorelasi positif dengan proses urbanisasi (pengkotaan). Dampak alih fungsi lahan terhadap eksistensi lahan pertanian dengan pola ini berlangsung cepat dan nyata.

(20)

10

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian

Menurut Pakpahan (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi atau konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat wilayah yaitu faktor yang tidak langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan konversi dan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani yaitu faktor yang langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan alih fungsi.

Di tingkat wilayah, alih fungsi lahan sawah secara tidak langsung dipengaruhi oleh perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk, arus urbanisasi, dan konsistensi implementasi rencana tata ruang sedangkan secara tidak langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman, dan sebaran lahan sawah. Pengaruh langsung dipengaruhi oleh pengaruh tidak langsung, seperti pertumbuhan penduduk akan menyebabkan pertumbuhan pemukiman, perubahan struktur ekonomi ke arah industri dan jasa akan meningkatkan kebutuhan pembangunan sarana transportasi dan lahan untuk industri, serta peningkatan arus urbanisasi akan meningkatkan tekanan penduduk atas lahan dipinggiran kota. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani adalah kondisi sosial ekonomi petani seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan kemampuan ekonomi secara keseluruhan serta pajak tanah, harga tanah dan lokasi tanah.

Menurut Winoto (2005) faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian antara lain:

1. Faktor Kependudukan. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan permintaan tanah. Selain itu, peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut berperan menciptakan tambahan permintaan lahan. 2. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktivitas sektor non

(21)

11 petani yang terdesak oleh kebutuhan modal usaha atau keperluan keluarga lainnya.

3. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi usaha yang menguntungkan.

4. Perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan jangka pendek namun kurang memperhatikan jangka panjang dan kepentingan nasional secara keseluruhan. Hal ini antara lain tercermin dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang cenderung mendorong konversi tanah pertanian untuk penggunaan tanah non pertanian

5. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum (Law Enforcement) dari peraturan-peraturan yang ada.

Menurut Kustiawan (1997) dalam hasil kajiannya menyatakan bahwa ada faktor yang berpengaruh terhadap proses alih fungsi lahan pertanian sawah, yaitu (1) Faktor Eksternal adalah faktor-faktor dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi yang mendorong alih fungsi lahan sawah kepenggunaan non-pertanian, (2) Faktor-faktor Internal adalah kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan yang mendorong lepasnya kepemilikan lahan, dan (3) Faktor Kebijaksanaan Pemerintah.

2.5 Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian

Masalah yang timbul akibat konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah adalah terancamnya swasembada beras yang telah dicapai dengan susah payah. Di samping itu konversi lahan sawah ini mempunyai opportunity cost yang sangat besar, diantaranya adalah penurunan produksi pangan lokal atau nasional yang secara tidak langsung akan mengurangi kontribusi sektor pertanian dalam PDRB, penurunan laju daya serap tenaga kerja sektor pertanian, mubazirnya investasi irigasi dan dampak konversi terhadap lingkungan dan sosial budaya masyarakat.

(22)

12

seperti jasa konstruksi, akan tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang kurang menguntungkan.

Permasalahan yang ditimbulkan oleh akibat pergeseran atau mutasi lahan pertanian ke non pertanian perlu dilihat bukan saja berdasarkan dampaknya kepada produksi padi saja, tetapi perlu dilihat dalam perspektif yang lebih luas. Dampak yang lebih luas tersebut termasuk pengaruhnya terhadap kestabilan politik yang diakibatkan oleh kerawanan pangan, perubahan sosial yang merugikan, menurunnya kualitas lingkungan hidup terutama yang menyangkut sumbangan fungsi lahan sawah kepada konservasi tanah dan air untuk menjamin kehidupan masyarakat dimasa depan. Dampak dari kehilangan lahan pertanian produktif adalah kehilangan hasil pertanian secara permanen, sehingga apabila kondisi ini tidak terkendali maka dipastikan kelangsungan dan peningkatan produksi akan terus berkurang dan pada akhirnya akan mengancam kepada tidak stabilnya ketahanan pangan.

2.6 Kelembagaan Lahan

(23)

13 dan buruknya pengelolaan yang berkelanjutan. Disisi lain, kelembagaan yang baik akan membantu menjadi leverage dalam pengelolaan yang berkelanjutan.

Menurut Fauzi (2010), salah satu kunci dalam aspek ekonomi kelembagaan adalah menyangkut property right atau hak pemilikan. Property right ini melekat dalam bentuk aturan formal dan juga norma sosial atau adat. Relevansi hak pemilikan ini tergantung dari seberapa besar ia bisa dijalankan dan diakui dalam masyarakat. Ketidakjelasan hak pemilikan dan enforced property rights terbukti menjadi handicap dalam mentransformasi pembangunan ekonomi yang berkaitan dengan lahan. Bagian lain yang juga penting dalam konteks ekonomi kelembagaan adalah menyangkut biaya transaksi. Biaya transaksi adalah pertimbangan manfaat dalam melakukan transaksi di dalam organisasi antara aktor yang berbeda dengan menggunakan mekanisme pasar. Dalam konteks inilah sering terjadi pemahaman yang keliru mengenai apa yang dimaksud dengan biaya transaksi. Biaya transaksi bukanlah biaya pertukaran (cost of exchange) atau salah satu biaya dalam jual beli barang dan jasa (termasuk lahan), namun biaya transaksi lebih diartikan sebagai the cost of establishing and maintaining right. Biaya transaksi dalam hal ini mempertimbangkan beberapa aspek penting dalam ekonomi yakni bounded rationality (rasionalitas terbatas), masalah informasi, biaya negosisasi kontrak, dan opportunism. Kedua aspek di atas yakni property rights dan transaction cost adalah bagian penting yang memerlukan pemahaman yang serius dalam kelembagaan pengelolaan lahan.

2.7 Ketahanan Pangan

(24)

14

Ketahanan pangan tidak dapat diukur melalui kondisi swasembada pangan, sebab kondisi swasembada pangan tidak selalu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang diindikasikan dari mengalirnya impor pangan, seringkali masih terjadi gangguan produksi akibat ancaman pemanasan global (global warming) yang menyebabkan perubahan iklim secara ekstrim, selain itu masalah konversi lahan pertanian, peningkatan hama dan penyakit serta berbagai bencana alam.

Di Indonesia perkembangan pemikiran tentang ketahanan pangan tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi di tingkat dunia. Masalah ketahanan pangan masih diukur dari aspek kuantitas ketersediaan pangan secara nasional yang diukur dari kondisi swasembada pangan. Konsepsi ketahanan pangan yang lebih luas baru dicetuskan pada Pelita VII melalui Undang-Undang Pangan Nomor 7 tahun 1996 dimana ketahanan pangan didefinisikan sebagai : “kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik, baik jumlahnya maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”.

2.8 Konsepsi Ketahanan Pangan

Ruang lingkup ketahanan pangan dapat dilihat dari tiga dimensi yaitu : (1) dimensi ruang lingkup ketahanan pangan yaitu lingkup nasional, darah dan rumah tangga yang terkait dengan aspek kuantitas ketersediaan pangan, (2) dimensi waktu dan musim yang terkait dengan aspek stabilitas ketersediaan pangan sepanjang waktu, dan (3) dimensi sosial ekonomi rumah tangga yang terkait dengan aspek aksesibilitas rumah tangga terhadap bahan pangan, aspek kualitas konsumsi pangan, dan aspek keamanan pangan.

(25)

15 sektor dan subsektor perekonomian untuk menjaga neraca keseimbangan perdagangan luar negeri.

Sedangkan komponen kedua dalam ketahanan pangan atau aksesabilitas setiap individu terhadap bahan pangan dapat dijaga dan ditingkatkan melalui pemberdayaan sistem pasar serta mekanisme pemasaran yang efektif dan efisien, yang juga dapat disempurnakan melalui kebijakan tata niaga, atau distribusi bahan pangan dari sentra produksi sampai ke tangan konsumen. Ketahanan pangan yang lemah atau food insecurity disebabkan oleh berbagai faktor sebagai berikut: 1. Produksi hasil pertanian pangan yang rendah menyebabkan pasokan pangan

rendah. Faktor ini dapat merupakan akibat dari alam atau iklim yang tidak mendukung dan kesalahan pengelolaan produksi pertanian pangan.

2. Kekurangan pangan (famine) yang bisa disebabkan oleh bencana alam atau bencana akibat ulah manusia.

(26)

16

2.9 Penelitian Terdahulu

No Peneliti Judul Tujuan Metode Hasil Penelitian

1 Fanny

(27)

17 III. KERANGKA PEMIKIRAN

Lahan merupakan modal penting yang diperlukan dalam proses produksi pertanian. Namun, perkembangan sektor ekonomi di suatu kawasan mendorong perubahan penggunaan lahan di kawasan tersebut. Hal ini mendorong perubahan sumberdaya lahan ke penggunaan yang memberikan nilai ekonomi yang tinggi. Lahan yang awalnya berupa lahan pertanian diubah menjadi bentuk lain berupa industri atau sarana dan prasarana yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Selain itu, pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat menyebabkan kebutuhan akan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup juga meningkat.

Keberadaan lahan yang relatif tetap memaksa lahan pertanian untuk dialihfungsikan menjadi sarana infrastruktur kependudukan. Alih fungsi lahan bisa terjadi alami atau alih fungsi lahan buatan yang telah direncanakan wilayah berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat wilayah, yaitu faktor yang secara tidak secara langsung mempengaruhi keputusan petani melakukan alih fungsi lahan. Faktor yang mempengaruhi alih fungsi di tingkat petani, yaitu faktor yang secara langsung mempengaruhi keputusan petani dalam melakukan alih fungsi lahan.

(28)

18

Keterangan : - - - Ruang Lingkup Penelitian

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional

(29)

19 IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilakukan di Kecamatan Karawang Barat, Kabupaten Karawang. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan atas wilayah Kecamatan Karawang Barat sebagai pusat pemerintahan yang akan segera dijadikan sebagai area bisnis dan pemukiman serta perkantoran sesuai Perda No 2 tahun 2013 berdasarkan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Karawang, padahal tata guna lahan di daerah tersebut pada saat ini mayoritas merupakan lahan sawah. Hal ini mengindikasikan terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke pemukiman ataupun bisnis. Sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Karawang, daerah ini memberikan implikasi pada terjadinya perubahan tata guna lahan.

Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel Desa Tanjungpura Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) atau disebut juga judgemental sampling karena wilayah tersebut merupakan wilayah yang akan mengalami alih fungsi lahan di Kabupaten Karawang. Proses pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan pada bulan Januari hingga Februari 2014.

4.2 Jenis dan Sumber Data

(30)

20

4.3 Metode Pengambilan Contoh

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey terhadap petani yang memiliki lahan pertanian di daerah yang bersangkutan. Metode penarikan contoh dalam penelitian ini adalah dengan metode acak sederhana (simple random sampling) dimana hanya petani yang memiliki lahan pertanian di daerah yang akan dialihfungsikan dan dijadikan sebagai sampel dalam penelitian ini dan setiap populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Sampel yang diambil sebanyak 40 petani dari populasi yang ada, dimana populasi dianggap menyebar normal.

4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan dua metode analisis data, yaitu metode analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Metode analisis deskriptif digunakan dengan tujuan untuk memberikan penjelasan dan interprestasi data serta informasi pada tabulasi data. Metode analisis kuantitatif bertujuan untuk mengetahui laju alih fungsi lahan, dan dampak dari alih fungsi lahan tersebut. Metode analisis kuantitatif yang digunakan adalah persamaan laju alih fungsi lahan, analisis regresi linear berganda, dan analisis regresi logistik. Pengolahan data dan informasi yang di dapat dilakukan secara manual dan menggunakan komputerisasi dengan program Microsoft office excel 2007, EViews 5.1, dan Statistical Program Service Solution 17.0.

4.4.1 Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan metode pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat mengenai masalah-masalah yang ada dalam masyarakat, tata cara yang berlaku, serta situasi-situasi tertentu termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap, pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena. Data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut:

(31)

21 2. Merumuskan data yang diperoleh ke dalam bentuk tabel untuk menghindari kesimpangsiuran interpretasi serta sekaligus untuk mempermudah interpretasi data.

3. Menghubungkan hasil penelitian yang diperoleh dengan kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian, dengan tujuan mencari arti atau memberi interpretasi yang lebih luas dari data yang diperoleh.

Analisis deskriptif akan memperoleh gambaran mengenai karakteristik alih fungsi lahan pertanian, kerugian akibat alih fungsi lahan serta dampaknya terhadap ketahanan pangan.

4.4.2 Analisis Laju Alih Fungsi Lahan

Laju alih fungsi lahan dapat ditentukan dengan cara menghitung laju alih fungsi lahan secara parsial. Laju alih fungsi lahan secara parsial dapat dijelaskan sebagai berikut:

�= �− �−1

�−1 × 100………

.…..….…..(4.1) dimana:

V = laju alih fungsi lahan (%) Lt = luas lahan tahun ke-t (ha) Lt-1 = luas lahan sebelumnya (ha)

Laju alih fungsi lahan (%) dapat ditentukan melalui selisih antara luas lahan tahun ke-t dengan luas lahan tahun sebelumnya (t-1). Kemudian dibagi dengan luas lahan tahun sebelumnya dan dikalikan dengan 100 persen. Hal ini dilakukan juga pada tahun-tahun berikutnya sehingga diperoleh laju alih fungsi lahan setiap tahun. Nilai V<0 berarti bahwa luas lahan tersebut mengalami penyusutan.

4.4.3 Analisis Regresi Linear Berganda

(32)

22

peubah tak bebas atau dependent (X) dan sering disebut dengan peubah penjelas. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap kegiatan alih fungsi lahan di tingkat wilayah adalah:

1. PDRB

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator yang dapat menggambarkan pertumbuhan ekonomi. Semakin besar pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dapat mempercepat terjadinya perubahan struktur ekonomi kearah sektor manufaktur, jasa, dan sektor non pertanian lainnya. Hal ini akan menggeser peruntukkan lahan dari pertanian ke non pertanian.

2. Laju Pertumbuhan Penduduk (persen)

Jumlah penduduk mempengaruhi permintaan lahan. Semakin meningkat jumlah penduduk maka permintaan lahan terutama untuk pembangunan infrastruktur, sarana dan prasarana akan semakin tinggi sehingga mendorong penurunan luas lahan sawah akibat alih fungsi lahan sawah yang semakin tinggi.

3. Jumlah Industri

Industri merupakan salah satu hal yang menyebabkan alih lahan pertanian. Permintaan terhadap lahan dari masing-masing sektor saling bersaingan. Jika jumlah industri bertambah maka lahan yang dibutuhkan oleh industri tersebut juga bertambah. Ada indikasi luas pertanian akan dialihfungsikan menjadi industri jika jumlah industri tersebut semakin bertambah. Hipotesis pada penelitian ini adalah semakin banyak jumlah industri yang ada maka semakin besar pula alih fungsi lahan yang terjadi.

4. Proporsi Luas Lahan Sawah Terhadap Luas Wilayah (persen)

Peningkatan luas lahan sawah karena adanya pencetakan sawah baru menyebabkan terjadinya pembangunan yang dilakukan di atas lahan sawah akan semakin besar. Semakin luas proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah maka akan semakin tinggi penurunan luas lahan sawah akibat alih fungsi lahan yang terjadi.

Persamaan model regresi linear berganda untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan adalah sebagai berikut:

(33)

23 Tanda yang diharapkan:

β1> 0 β2> 0 β3< 0 β4> 0 Dimana:

Y = penurunan lahan pertanian akibat alih fungsi lahan (m2 ) α = intersep

X1 = faktor-faktor yang diduga mempengaruhi alih fungsi lahan β1 = koefisien Regresi

ε = Eror Term

Model analisis regresi linear berganda merupakan metode analisis yang didasarkan pada metode Ordinary Least Square (OLS). Konsep dari metode least square adalah menduga koefisien regresi (β) dengan meminimumkan kesalahan (error). Ordinary least square (OLS) dapat menduga koefisien regresi dengan baik karena: (1) memiliki sifat tidak bias dengan varians yang minimum (efisien) baik linear maupun bukan, (2) konsisten, dengan meningkatnya ukuran sampel maka koefisien regresi mengarah pada nilai populasi yang sebenarnya, serta (3) β0 dan β1 terdistribusi secara normal (Gujarati 2002).

Model ini mencangkup hubungan banyak variabel terdiri dari satu variabel dependent dan berbagai variabel independent. Sebagai langkah awal pengujian dilakukan pengujian ketelitian dan kemampuan model regresi. Pengujian model regresi diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari tiga pengujian, yaitu uji koefisien determinasi (R-squared), Uji F, dan Uji t. Untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh peubah-peubah dalam persamaan akan mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian akan uji statistik sebagai berikut:

1. Uji Koefisien Determinasi (R-squared)

(34)

24

satu maka keragaman dari variabel dependen secara keseluruhan dapat diterangkan oleh variabel independennya secara sempurna. R-squared dapat dirumuskan sebagai berikut:

R3 =ESS

TSS...(4.3)

Dimana:

ESS = Explained of Sum Squared TSS = Total Sum of Squared 2. Uji t

Uji t dilakukan untuk menghitung koefisien regresi masing-masing variabel independen sehingga dapat diketahui pengaruh variabel independen tersebut terhadap variabel dependennya. Adapun prosedur pengujiannya yang diungkap Gujarati (2002):

H0 : β1 = 0 H0 : β1 ≠ 0

�= �− �

� ... (4.4) Dimana:

b = parameter dugaan βt = parameter Hipotesis Seβ = standar error parameter β

Jika t hitung (n-k) < t tabel α/2, maka H0 diterima, artinya variabel berarti variable (Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap (Y). Namun, jika t hitung (n-k) > t tabel α/2, maka H0 ditolak, artinya variabel (Xi) berpengaruh nyata terhadap (Y). 3. Uji F

Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel independent atau bebas (Xi) secara bersama-sama terhadap variabel dependent atau tidak bebas (Y). Adapun prosedur yang digunakan dalam uji F:

H0 = β1 = β2 = β3 = .... = βi = 0 H1 = minimal ada satu βi ≠ 0

(35)

25 Dimana:

JKR = jumlah Kuadrat Regresi JKG = jumlah Kuadrat Galat

K = jumlah variabel terhadap intersep n = jumlah pengamatan/sampel

Apabila F hitung < F tabel maka H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti bahwa variabel bebas (X1) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas (Y). Sedangkan apabila F hitung > F tabel maka H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti bahwa variabel (X1) berpengaruh nyata terhadap variabel (Y).

Model yang dihasilkan dari regresi linear berganda haruslah baik. Jika tidak baik maka akan mempengaruhi interpretasinya. Agar diperoleh model regresi linear berganda yang baik, maka model harus memenuhi kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). BLUE dapat dicapai bila memenuhi asumsi klasik.

Uji asumsi klasik merupakan pengujian pada model yang telah berbentuk linear untuk mendapatkan model yang baik. Setelah model diregresikan kemudian dilakukan uji penyimpangan asumsi.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah model tersebut baik atau tidak. Model dikatakan baik jika mempunyai distribusi normal atau hampir normal. Uji yang dapat dilakukan dengan membuat histogram normalitas. Nilai probability yang lebih besar dari taraf nyata α menandakan residual terdistribusi secara normal.

b. Uji Autokorelasi

(36)

26

c. Uji Multikolinearitas

Jika suatu model regresi berganda terdapat hubungan linear sempurna antar peubah bebas dalam model tersebut, maka dapat dikatakan model tersebut mengalami multikolinearitas. Terjadinya multikolinearitas menyebabkan R-squared tinggi namun tidak banyak variabel yang signifikan dari uji t. Ada berbagai cara untuk menentukan apakah suatu model memiliki gejala multikolinearitas. Salah satu cara yang digunakan adalah uji Varian Infiaction Factor (VIF). Cara ini sangat mudah, hanya melihat apakah nilai VIF untuk masing-masing variabel lebih besar dari 10 atau tidak. Bila nilai VIF lebih besar dari 10 maka diindikasikan model tersebut mengalami multikolinearitas. Sebaliknya, jika VIF lebih kecil dari 10 maka diindikasikan bahwa model tersebut tidak mengalami multikolinearitas yang serius.

d. Uji Heteroskedastisitas

Masalah heteroskedastisitas biasanya sering terjadi dalam data cross section. Salah satu cara dalam mendeteksi heteroskedastisitas adalah dengan transformasi terhadap peubah respon dilakukan dengan tujuan untuk menjadikan ragam menjadi homogen pada peubah respon hasil transformasi tersebut. Untuk mendeteksi masalah heterokedastisitas dapat dilakukan uji White, dengan meregresikan variabel-variabel bebas terhadap nilai absolute residualnya. Jika nilai signifikan dari hasil uji White lebih besar dari α maka tidak terdapat heteroskedastisitas dan sebaliknya.

4.4.4 Analisis Regresi Logistik

Model logit adalah model non linear, baik dalam paramater maupun dalam variabel. Model logit diturunkan berdasarkan fungsi peluang logistik yang dapat di spesifikasikan sebagai berikut (Juanda 2009):

�� = � = + � =1+1− � =

1

1+�−( + �)... (4.6)

Dimana e mempresentasikan bilangan dasar logaritma natural (e=2.718...). Kemudian dengan menggunakan aljabar biasa, persamaan dapat ditunjukkan menjadi:

nz = ��

(37)

27 Peubah Pi / 1 – Pi dalam persamaan diatas disebut sebagai odds, yang sering diistilahkan dengan resiko atau kemungkinan, yaitu rasio peluang terjadinya pilihan 1 terhadap peluang terjadinya pilihan 0 alternatif. Parameter model estimasi logit harus diestimasi dengan metode maximum likelihood (ML). Jika persamaan ditransformasikan dengan logaritma natural, maka:

� = �1−� → �1−��� = � = + �...(4.8) Persamaan model regresi logistik untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan adalah sebagai berikut:

�� = ��

1−�� = Z = α + β1 X1+ β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 + β5 X5 + D + ε………..…(4.9)

Dimana:

Z = peluang alih fungsi lahan (1) dan tidak alih fungsi lahan (0)

α = intersep

X1 = faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keputusan alih fungsi lahan β1 = koefisien Regresi

D = dummy

ε = error term

Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keputusan petani dalam mengalihfungsikan lahan, antara lain:

1. Luas Lahan (Hektar)

Petani yang memiliki ukuran lahan yang luas cenderung untuk mempertahankan lahannya karena semakin luas lahan maka usaha tani akan semakin efisien dan relatif lebih besar keuntungannya. Semakin luas lahan yang dimiliki oleh petani maka semakin kecil alih fungsi lahan yang terjadi. 2. Proporsi Pendapatan Hasil Usaha Tani (Persen)

(38)

28

3. Jumlah Tanggungan Petani (Jiwa)

Jumlah tanggungan yang harus ditanggung petani mempengaruhi alih fungsi lahan dimana semakin banyak jumlah tanggungan yang harus ditanggung, maka alih fungsi lahan akan semakin tinggi. Semakin banyak tanggungan yang dimiliki maka biaya yang dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari semakin banyak sehingga petani akan cenderung untuk mengalihfungsikan lahannya.

4. Produktivitas (Ton/Ha)

Semakin tinggi tingkat produktivitas lahan maka keputusan petani untuk melakukan alih fungsi lahan akan semakin rendah. Hal tersebut disebabkan karena semakin tinggi produktivitas, pendapatan yang diperoleh dari sektor pertanian akan semakin tinggi sehingga petani akan cenderung mempertahankan lahannya.

5. Biaya Usaha Tani

Biaya usaha tani adalah biaya pengeluaran petani untuk memproduksi padi hingga panen tiba, seperti pupuk, bibit, air, dan lain-lain. Variabel ini dapat mempengaruhi keputusan petani, karena jika biaya semakin tinggi maka petani akan cenderung menjual lahan pertaniannnya.

Agar diperoleh hasil analisis regresi logit yang baik perlu dilakukan pengujian. Pengujian dilakukan untuk melihat apakah model logit yang dihasilkan secara keseluruhan dapat menjelaskan keputusan pilihan secara kualitatif. Dalam hal ini pilihan yang digunakan untuk melakukan alih fungsi lahan atau tidak melakukan. Pengujian parameter dilakukan dengan menguji semua parameter secara keseluruhan dan menguji masing-masing parameter secara terpisah. Statistik uji yang digunakan adalah sebagai berikut:

a. Odds Ratio

(39)

29 diperoleh dari perhitungan eksponensial dari koefisien estimasi (βi) atau exp (βj).

Odds Ratio dapat didefinisikan sebagai berikut : P( �)

1−P( )

dimana P menyatakan peluang terjadinya peristiwa (Z=1) dan 1-P menyatakan peluang tidak terjadinya peristiwa.

b. Likelihood Ratio

Likelihood Ratio merupakan suatu rasio kemungkinan maksimum yang digunakan untuk menguji peranan variabel penjelas secara serentak. Statistik uji yang dapat menunjukkan nilai likelihood ratio adalah Uji G. Rumus umum Uji G adalah:

=−2 � 0

� ... (4.10) Dimana lo merupakan nilai likelihood tanpa variabel penjelas dan li merupakan nilai likelihood model penuh. Statistik uji G akan mengikuti sebaranchi-square dengan derajat bebas α. Kriteria keputusan yang diambil adalah jika G > chi-square maka H0 ditolak. Jika H0 ditolak maka dapat disimpulkan bahwa minimal ada βj ≠ 0, dengan pengertian lain, model regresi logistik dapat menjelaskan atau memprediksi pilihan individu pengamatan.

4.4.5 Analisis Estimasi Dampak Produksi

Kerugian yang timbul dari alih fungsi lahan pertanian diantaranya berupa hilangnya peluang memproduksi dan pendapatan usaha tani yang seharusnya dapat tercipta dari lahan sawah yang hilang. Menurut Utama (2006), nilai produksi sawah yang hilang dapat dirumuskan sebagai berikut :

NQ = ∑(Pt.Qt) dimana :

NQ = nilai produksi padi sawah yang hilang Pt = harga komoditi padi sawah yang ditanam Qt = produksi padi sawah yang hilang per tahun t = tahun data

(40)

30 dimana :

Qt = produksi padi sawah yang hilang per tahun dengan irigasi I yang terkonversi

I = 1,2,3,4, dimana masing-masing menunjukkan jenis sawah irigasi teknis, semiteknis, sederhana, dan tadah hujan.

Qi = ∑(Si.Hm) dimana :

Si = luas lahan sawah dengan jenis irigasi i yang terkonversi

Hm = produktifitas usaha tani pada musim m dari sawah dengan jenis irigasi tersebut

m = 1,2,3, masing-masing menunjukkan musim tanam pertama, kedua, dan terakhir.

Pada penelitian ini, dampak konversi lahan terhadap produksi padi tersebut tidak dihitung secara terpisah bedasarkan jenis irigasi, karena adanya keterbatasan data yang tersedia. Nilai dari produktifitas lahan pertaniannya juga dikalikan dengan pola tanam dalam satu tahun, sehingga didapat nilai luas panen dari lahan yang hilang dalam satu tahun.

4.4.6. Analisis Terhadap Dampak Pendapatan Petani

Analisis dampak pendapatan ini dilakukan dengan deskriptif kuantitatif, yaitu dengan merata-ratakan perbedaan pendapatan. Perbedaan pendapatan dihitung dengan mencari selisih antara pendapatan petani sebelum terjadi alih fungsi lahan dan perkiraan pendapatan setelah terjadi alih fungsi lahan. Nilai dari selisih tersebut nantinya dirata-ratakan sehingga didapatkan rata-rata perubahan pendapatan petani akibat alih fungsi lahan.

Χ =Π − Π′

n dimana :

Х = Rata-rata perubahan pendapatan П = Pendapatan sebelum alih fungsi lahan П'

(41)

31 V. GAMBARAN UMUM

5.1 Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Karawang

Kabupaten Karawang merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Secara geografis, wilayah Kabupaten Karawang terletak antara 107º02’ -1070º40’ Bujur Timur dan 5º56 - 6º34’ Lintang Selatan. Wilayah ini termasuk daerah dataran yang relatif rendah dimana mempunyai variasi ketinggian wilayah antara 0 – 1 279 m di atas permukaan laut dengan kemiringan wilayah 0 – 20, 2 - 15º, 15 – 40º, dan diatas 40º. Secara topografi, Kabupaten Karawang termasuk daratan rendah yang relatif datar. Sekitar 94 persen memiliki tingkat kemiringan lereng maksimum 8 persen dan 83.4 persen berada pada kisaran lereng 0 - 3 persen. Suhu rata-rata wilayah mencapai 27º C.

Luas wilayah Kabupaten Karawang 1 753.27 km² atau 175 327 hektar. Luas wilayah tersebut merupakan 3.73 persen dari luas provinsi Jawa Barat dan memiliki laut seluas 4 mil x 84.23 km. Sebagian besar lahan di Kabupaten Karawang merupakan lahan sawah yaitu sebesar 91 237 hektar yang terdiri dari lahan sawah irigasi teknis (88 persen), setengah teknis (4 persen), irigasi sederhana (3 persen), irigasi desa (1 persen), dan tadah hujan (3 persen). Sedangkan luas lahan kering di Kabupaten Karawang sebesar 84 090 hektar. Secara umum, jenis tanah di Kabupaten Karawang terdiri dari alluvial terutama pada lahan sawah dataran rendah, sedangkan untuk daerah pegunungan atau berbukit-bukit terdiri dari podsolik dan latosol.

Pada tahun 2013 Kabupaten Karawang terdiri dari 30 kecamatan dengan jumlah desa seluruhnya 297 desa dan 12 kelurahan (BPS 2013). Batas-batas wilayah Kabupaten Karawang secara geografis sebagai berikut:

• Sebelah Utara : Berbatasan dengan Laut Jawa

• Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Subang • Sebelah Tenggara : Berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta

• Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Cianjur • Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kabupaten Bekasi

(42)

32

Mata pencaharian penduduk Kabupaten Karawang dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini:

Tabel 3. Mata Pencaharian Penduduk Kabupaten Karawang

Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) Presentase (%)

Petani 587 878 29.19

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang (2013)

Potensi suatu daerah dapat dilihat dari pola penggunaan lahan yang ada di daerah yang bersangkutan. Pola penggunaan lahan itu pun juga dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi dari masyarakatnya.

Penggunaan lahan di Kabupaten Karawang dapat dibedakan menjadi lahan untuk sawah irihasi teknis, sawah irigasi setengah teknis, sawah irigasi sederhana, sawah non PU, sawah tadah hujan, lahan kering (tegalan), lahan untuk perumahan dan pekarangan sekitarnya, tambak, kolam, lahan sementara tidak diusahakan, lahan hutan, rawa-rawa dan perkebunan. Penggunaan lahan ini dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Penggunaan Lahan di Kabupaten Karawang Tahun 2012

Penggunaan Lahan Luas (Hektar)

Lahan Sawah

Irigasi teknis 82 021

Irigasi setengah teknis 2 853

Irigasi sederhana 1 986

Irigasi desa 1 179

Ditanami pohon/hutan rakyat 1 566

Tambak 13 264

Kolam/Tebet/Empang 587

Sementara tidak diusahakan 33

Lainnya 10 704

Lahan bukan pertanian

Rumah, bangunan dan halaman 26 782

Hutan Negara 14 601

Rawa-rawa 197

Lainnya 7 367

Total 175 327

(43)

33 5.2 Gambaran Wilayah Kecamatan Karawang Barat

Kecamatan Karawang Barat adalah salah satu kecamatan dari 30 kecamatan yang ada wilayah Kabupaten Karawang yang diresmikan berdiri pada tanggal 09 maret 2005 oleh Bupati Karawang. Secara geografis Kecamatan Karawang Barat berada di wilayah pusat pemerintahan Kabupaten Karawang, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

• Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Rengasdengklok dan Kecamatan Rawamerta

• Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Teluk Jambe Timur • Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Bekasi

• Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Karawang Timur

Secara topografi, kecamatan ini mempunyai luas wilayah sebesar 3 473 797 Ha yang terdiri dari darat sebesar 1 732 815 Ha dan sawah sebesar 1 740 682 Ha. Letak Ketinggian, ± 20 meter dari permukaan laut sehingga suhu di Karawang Barat rata-rata maksimum 33ºC dan minimum 27ºC.

Secara administratif Kecamatan Karawang Barat membawahi 8 Desa meliputi 157 Rukun Warga (RW) dan 577 Rukun Tetangga (RT). Desa di Kecamatan Karawang Barat terdiri dari: Desa Adiarsa Barat, Desa Nagasari, Desa Karawang Kulon, Desa Tanjungpura, Desa Tanjungmekar, Desa Karangpawitan, Desa Mekarjati, dan Desa Tunggakjati. Luas wilayah masing-masing desa dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Luas Desa di Kecamatan Karawang Barat

Desa Luas (Km²)

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang, 2013

(44)

34

Tabel 6. Jumlah Penduduk Masing-Masing Desa di Kecamatan Karawang Barat

Desa Jumlah Penduduk

Adiarsa Barat 13 342

Nagasari 18 061

Karawang Kulon 20 234

Tanjungpura 18 686

Tanjungmekar 14 443

Karangpawitan 22 127

Mekarjati 11 881

Tunggakjati 15 912

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang, 2013

Kecamatan Karawang Barat merupakan daerah yang sebagian wilayahnya digunakan untuk sawah, pemukiman dan industri. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 7 dibawah ini.

Tabel 7. Luas dan Penggunaan Lahan di Kecamatan Karawang Barat pada Tahun 2012

No Penggunaan Lahan Luas (Km²)

1 Sawah 1 675

2 Tegal/Kebun 97

3 Tambak, Kolam, Empang, Hutan Negara 21

4 Jalan, Pemukiman, Kantor, Sungai 1 601

Total 3 394

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang, 2013

Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Karawang Barat sebagian besar bergerak di sektor pertanian. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 8 dibawah ini.

Tabel 8. Keadaan Penduduk di Kecamatan Karawang Barat Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2012

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah KK (orang) Presentase (%)

1 Pertanian 10 422 7.98

2 PNS 6 156 4.69

3 Pegawai Swasta 9 072 6.91

4 Industri/Perdagangan 7 877 6.00

5 Wiraswasta 4 079 3.11

6 Jasa 3 934 2.99

7 Lainnya 89 612 68.32

Jumlah 131 152 100.00

(45)

35 5.2.1 Gambaran Umum Wilayah Desa Tanjungpura

Desa Tanjungpura adalah salah satu Desa di Kecamatan Karawang Barat, Kabupaten Karawang. Luas wilayahnya sebesar 5.56 km² dengan batas wilayah sebagai berikut :

 Sebelah Utara : Desa Tunggakjati  Sebelah Selatan : Desa Karangpawitan  Sebelah Barat : Kabupaten Bekasi  Sebelah Timur : Desa Tanjungmekar

Desa ini terdiri dari 16 Rukun Warga (RW) dan 68 Rukun Tetangga (RT). Jumlah penduduk di Desa Tanjungpura mencapai 18 686 orang terdiri dari 9 483 orang laki laki dan 9 203 orang perempuan.

Mata pencaharian penduduk Desa Tanjungpura cukup bervariasi. Sebelumnya sebagian besar penduduk bekerja dibidang pertanian namun saat ini akibat jumlah lahan pertanian terus berkurang sehingga banyak penduduk yang beralih profesi. Mata Pencaharian penduduk Desa Tanjungpura dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 9. Mata Pencaharian Penduduk Desa Tanjungpura

No Jenis Pekerjaan Jumlah (orang)

1 Petani 1 321

2 PNS 299

3 Pegawai Swasta 1 123

4 Wiraswasta 359

5 Peternak 81

6 Pedagang 1 751

Sumber : Data Monografi Desa 2013

5.3 Karakteristik Umum Responden

(46)

36

5.3.1 Tingkat Usia

Sebaran usia responden tergolong bervariasi, yaitu berada pada kisaran 25- >65 tahun. Keadaan usia responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2, dibawah ini :

Sumber : Data Primer (diolah)

Gambar 2. Perbandingan Tingkat Usia Responden

Berdasarkan Gambar 2 diatas diperoleh bahwa persentase usia responden terbesar ada pada rentang 46-55 tahun. Persentase usia terkecil ada pada rentang >65 tahun.

5.3.2 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan menentukan cara berpikir seseorang dalam pengambilan keputusan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan menentukan sikap dan mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang.

Sumber : Data Primer (diolah)

Gambar 3. Perbandingan Tingkat Pendidikan Responden 25 - 35

10%

36 - 45 22%

46 - 55 35% 56 - 65

25%

> 65 8%

Tidak Tamat SD 22%

Tamat SD 45% Tamat SMP

25%

Tamat SMA

(47)

37 Berdasarkan Gambar 3 diatas dapat dilihat bahwa responden di Desa Tanjungpura memiliki tingkat pendidikan yang cukup rendah. Sebesar 45 persen responden hanya tamat SD (Sekolah Dasar) dan 22 persen responden tidak tamat SD. Sedangkan responden yang mencapai tingkat pendidikan SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas) masing-masing sebesar 25 persen dan 8 persen. Tingkat pendidikan yang rendah disebabkan karena tingkat pendapatan yang rendah sehingga sulit bagi mereka untuk bersekolah.

5.3.3 Lama Bertani

Sebagian besar penduduk di lokasi penelitian berprofesi sebagai petani. Kebanyakan dari mereka sudah menjadi petani sejak kecil. Kegiatan pertanian sudah merupakan kegiatan turun temurun yang telah dilaksanakan. Lama bertani menunjukkan seberapa lama petani telah melakukan kegiatan pertanian.

Sumber : Data Primer (diolah)

Gambar 4. Perbandingan Lama Bertani Responden

Lama bertani bagi responden sangat bervariasi. Gambar 4 menunjukkan bahwa sebesar 35 persen responden telah melakukan kegiatan bertani selama 31- 45 tahun dan 33 persen responden telah bertani selama 16-30 tahun. Kegiatan bertani telah mereka lakukan sejak mereka SD ataupun lulus SD untuk membantu orang tua mereka.

5

17%

16 - 30 33% 31 - 45

35%

(48)

38

5.3.4 Luas Lahan Sawah

Luas lahan yang dimiliki responden yang melakukan alih fungsi lahan bervariasi. Kisaran luas lahan yang mereka miliki mulai dari 0.3 hektar sampai dengan lebih dari 1.00 hektar dengan rata-rata kepemilikan 0.97875 hektar.

Sumber : Data Primer (diolah)

Gambar 5. Luas Lahan Sawah Responden

Berdasarkan Gambar 5 luas lahan yang dimiliki responden tergolong tinggi sebesar 50 persen responden memiliki lahan dengan luas 0.6 - 1.0 hektar. Kemudian sebanyak 28 persen responden memiliki luas lahan ≥ 1.0 hektar dan sisanya 22 persen memiliki lahan seluas 0.1 - 0.5 hektar. Kepemilikan lahan yang tinggi disebabkan karena memang dari dahulu penduduk di Desa Tanjungpura ini bekerja dibidang pertanian sehingga lahan yang mereka miliki merupakan lahan turun-temurun dari orangtua mereka.

5.3.5 Jumlah Tanggungan

Tingkat kelahiran masyarakat di Desa Tanjungpura tinggi. Hal ini disebabkan karena program keluarga berencana belum dilaksanakan diantara masyarakat yang menjadi responden. Presentase jumlah tanggungan responden dapat dilihat pada Gambar 6.

0.1-0.5 22%

0.6-1.00 50%

.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional
Tabel 3. Mata Pencaharian Penduduk Kabupaten Karawang
Tabel 6. Jumlah Penduduk Masing-Masing Desa di Kecamatan Karawang Barat
Gambar 2, dibawah ini :
+7

Referensi

Dokumen terkait

16 Scatterplot uji heteroskedasitas kerusakan lingkungan yang berpengaruh terhadap produksi padi 78 17 Fitted line plot pengaruh kepadatan penduduk terhadap produksi padi 81

Jika rata rata produktivitas perhektar 4,61 ton gabah kering giling, dan dalam satu tahun produksi GKG nasional berkurang 507.100 ton, atau setara 329.615 ton beras, akibat

Dalam penelitian yang berjudul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Petani (Studi Kasus Desa Kondangjaya, Kecamatan

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kebijakan subsidi pupuk pada Kabupaten Karawang masih sangat dibutuhkan oleh petani guna meningkatkan produksi hasil pertanian guna

Pola konversi lahan yang terjadi di lokasi penelitian terbagi menjadi dua, yaitu alih fungsi secara langsung yang dilakukan oleh pemilik lahan yang bertujuan

pertanian. Hasil wawancara dengan Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Siak, bahwa pelakasanaan kebijakan alih fungsi lahan pertanian bertujuan untuk meningkatkan produksi

Hubungan antara variabel jumlah penduduk dengan luas lahan sawah pada tahun 1998 untuk Kabupaten Bekasi tidak ada hubungan, Kabupaten Karawang, Subang, Indramayu dan Cirebon

Beberapa hal yang menjadi catatan Pekaseh Subak Kerdung berkaitan dengan alih fungsi lahan yang berada di luar kawasan jalur hijau, antara lain: (a) belum terbentuk dasar