• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Kepastian Hukum Pelaksanaan Pengadaan Tanah : Studi Kasus Pelaksanaan Pembebasan Tanah Jalan Arteri Bandara Kualanamu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Kepastian Hukum Pelaksanaan Pengadaan Tanah : Studi Kasus Pelaksanaan Pembebasan Tanah Jalan Arteri Bandara Kualanamu"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEPASTIAN HUKUM

PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH : STUDI KASUS

PELAKSANAAN PEMBEBASAN TANAH JALAN ARTERI BANDARA

KUALANAMU

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara.

OLEH:

IMELDA ROSARI SINURAT

NIM : 110200051

DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM AGRARIA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat TuhanYang Maha Esa atas berkat dan kasih Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Kepastian Hukum Pelaksanaan Pengadaan Tanah : Studi Kasus Pelaksanaan Pembebasan Tanah Jalan Arteri Bandara Kualanamu.” Penulisan skripsi ini membahas tentang bagaimana kepastian hukum yang diberikan atas pelaksanaan pengadaan tanah di Jalan Arteri Bandara Kualanamu ditinjau dari peraturan perundang-undangan tentang pengadaan tanah.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum bagi mahasiswa program S1 untuk Departemen Hukum Administrasi Negara, Program Kekhususan Hukum Agraria di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan para pihak, sehingga dalam kesempatan ini, dengan rendah hati dan tanpa mengurangi rasa hormat penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada para pihak yang telah memberikan bantuan secara moril dan materil, secara langsung dan tidak langsung terhadap penulisan skripsi ini, terutama kepada yang saya hormati :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(3)

5. Ibu Suryaningsih, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Dr. M. Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program Kekhususan Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing I dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak Affan Mukti, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II Skripsi dan Dosen Penasihat Akademik di Fakultash Hukum USU.

8. Bapak dan Ibu dosen Program Kekhususan Hukum Agraria dan seluruh Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Seluruh Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10.Bapak Edirabudin, selaku Pegawai Badan Pertanahan Nasional, khususnya bidang Pengadaan Tanah yang telah memberikan saya kesempatan untuk melakukan riset skripsi.

11.Keluarga Terkasih, mama tersayang Ny. Sinurat/Br.Manik, kakak dan abang saya (Erisda Sinurat, S.Pd ; Drg. Herita Juliana Sinurat ; Evarida Sinurat, S.Pd. ; Udurma Rotua Sinurat, SE, Ak ; Heliston Sinurat, ST.), para abang ipar saya (Hetler Siregar, A.Md ; Dartha Limbong, SE., Pratu. Jofri Pranata Hasibuan), keponakan yang lucu-lucu (Yoel, Raymond, Rafael, Zanetha, Aurel), dan untuk Ayah tercinta Alm. Halomoan Sinurat, serta seluruh keluarga besar.

(4)

13.Teman-teman seperjuangan dari semester 1 “PomPom” (Kartika, Intan, Emma, Citra, Rurin, Putri, Novia, Octaviana, Gabeta, Kristy, Dyah, Ari, John Willy) terimakasih atas pengalaman persahabatan tak terlupakan selama di dunia kampus.

14.Teman-teman terkasih yang suka buat lucu tengah malam “Seksi Acara Panitia Natal FH USU 2014” (Tulus, Rika, Kartika, Novi, Tung Asido Rohana, Christin, Via, Stephanie, Alex, Holly).

15.Dukungan dari rekan-rekan dalam salah satu organisasi terbaik yang kutekuni di kampus “DPC PERMAHI Medan” .

16.Teman-teman R/N HKBP Dolok Jetun atas doa dan dukungannya.

17.Rekan-rekan kepanitiaan yang pernah kutekuni di kampus “PMB Reguler FH USU 2014” dan seluruh teman-teman stambuk 2011 serta adik-adik ospek 2014. Terimakasih atas pengalaman tak terlupakan selama di FH USU.

18.Teman-teman Grup A FH USU 2011 dan Program Kekhususan Hukum Agraria atas kebersamaan tak terlupakan selama kuliah di FH USU.

19.Dan segenap pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu dan ikut membantu dalam penulisan skripsi ini.

Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam kinerja skripsi ini. Dan semoga skripsi ini berguna bagi kita semua dan bagi kemajuan ilmu pengetahuan di dunia pendidikan.

Medan, 21 Februari 2015 Penulis,

(5)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEPASTIAN HUKUM PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH : STUDI KASUS PELAKSANAAN PEMBEBASAN TANAH JALAN ARTERI

BANDARA KUALANAMU SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara.

Oleh:

IMELDA ROSARI SINURAT NIM : 110200051

DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM AGRARIA

Disetujui Oleh :

KETUA DEPARTEMEN HAN KETUA PK. HUKUM AGRARIA

Suria Ningsih, SH, M.Hum Prof. Dr. M. Yamin, SH, MS, CN. NIP. 19600214987032002 NIP. 196112311987031023

.

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Prof. Dr. M. Yamin, SH, MS, CN. Affan Mukti, SH, M.Hum NIP. 196112311987031023 NIP.195711201980011002

FAKULTAS HUKUM

(6)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEPASTIAN HUKUM PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH : STUDI KASUS PELAKSANAAN PEMBEBASAN TANAH JALAN ARTERI

BANDARA KUALANAMU Prof. Dr. M. Yamin, S.H., M.S., C.N.

Affan Mukti, S.H., M.Hum Imelda Rosari Sinurat

ABSTRAK

Pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak rakyat Indonesia untuk terus-menerus menigkatkan kesejahteraan dan kemakmuran secara adil dan merata. Setiap kegiatan pembangunan, baik fisik, selalu memerlukan tanah sebagai wadah dari kegiatan pembangunan tersebut, sedangkan kebutuhan akan tanah dalam masa pembangunan sangat meningkat karena pada umumnya hampir semua sektor mengadakan pembangunan. Oleh karena itu, pemerintah mengadakan atau menyediakan tanah berdasarkan UUPA, dengan kebijakan melalui pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diarahkan dalam mencapai kemajuan dan kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme pelaksanaan pengadaan tanah untuk pemerintah ditinjau dari peraturan perundang-undangan pengadaan tanah (studi pengadaan tanah jalan arteri bandara Kualanamu, Kabupaten Deli Serdang), kendala-kendala dalam pelaksanaan pengadaan tanah tersebut, dan bentuk kepastian hukum dalam pelaksanaan pengadaan tanah tersebut.

Penelitian ini menitikberatkan pada penelitian yuridis empiris, yang merupakan metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat penerapan hukum di lapangan dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat. Analisis data dalam skripsi ini adalah dengan menggunakan data kualitatif, yaitu suatu analisis data yang secara jelas serta diuraikan ke dalam bentuk kalimat yang menggambarkan secara rinci dan sistematis menggunakan data primer, sekunder, dan tertier serta wawancara terstruktur sehingga dapat diperoleh gambaran jelas yang berhubungan dengan skripsi ini.

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pengadaan tanah jalan arteri bandara Kualanamu telah berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang digunakan, yaitu Peraturan Presiden Republik Indoensia Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005. Namun demikian pelaksanaan kewenangan tersebut baik kewenangan BPN maupun kewenangan pemerintah daerah masih belum dilaksanakan secara efektif serta kewenangan pengawasan juga belum berjalan efektif karena banyak warga sekitar belum mengerti undang-undang tersebut.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

DAFTAR ISI... v

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penulisan ... 5

1.4. Manfaat Penulisan ... 6

1.5. Metode Penelitian ... 7

1.6. Tinjauan Kepustakaan ... 11

1.7. Keaslian Penulisan ... 16

1.8. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II PENGATURAN HUKUM DALAM PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH . 18 2.1Pengertian Pengadaan Tanah ... 18

2.2Asas dan Tujuan Pengadaan Tanah ... 21

2.3Dasar Hukum dan Perkembangan Kebijakan Peraturan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum ... 27

2.4Gambaran Umum Pengadaan Tanah Jalan Arteri Bandara Kualanamu ... 39

BAB III KENDALA-KENDALA DALAM PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH JALAN ARTERI BANDARA KUALANAMU ... 45

3.1Dasar Hukum Pelaksanaan Pengadaan Tanah Jalan Arteri Bandara Kualanamu... 45

3.2Proses Pelaksanaan Pengadaan Tanah Jalan Arteri Bandara Kualanamu .... 46

(8)

3.4Data Yuridis Lahan, Bangunan, dan Tanaman yang Belum dibayarkan

dalam Pengadaan Tanah Jalan Arteri Bandara Kualanamu ... 73

BAB IV KEPASTIAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH JALAN ARTERI BANDARA KUALANAMU ... 80

4.1Sejarah Tanah Perkebunan PTPN II ... 80

4.2Kepastian Hukum dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah Jalan Arteri Bandara Kualanamu ... 85

4.3Data Yuridis Proses Pelaksanaan Pengadaan Tanah Jalan Arteri Bandara Kualanamu... 90

4.4Upaya Pemerintah dan Masyarakat dalam Penyelesaian Sengketa Pelaksanaan Pengadaan Tanah Jalan Arteri Bandara Kualanamu ... 98

BAB V PENUTUP ... 108

5.1Kesimpulan ... 108

5.2Saran ... 110

(9)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak rakyat Indonesia untuk terus-menerus menigkatkan kesejahteraan dan kemakmuran secara adil dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat ke arah penyelenggaraan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila. Untuk itu, pembangunan diarahkan untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat. 1

Kemakmuran yang adil dan merata tersebut hanya akan dapat dicapai melaui pembangunan.2 Setiap kegiatan pembangunan, baik fisik, selalu memerlukan tanah sebagai wadah dari kegiatan pembangunan tersebut. Kebutuhan akan tanah dalam masa pembangunan sangat meningkat bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, karena pada umumnya hampir semua sektor pembangunan tersebut, pemerintah mengadakan atau menyediakan tanah berdasarkan UUPA, dengan kebijakan melalui pencabutan, pembebasan, dan pelepasan hak-hak atas tanah. Sebagai perwujudan dari konsep pembangunan diatas, pemerintah telah melakukan pembangunan di berbagai bidang antara lain fasilitas untuk kepentingan umum misalnya pembangunan di bidang pendidian, sosial, hankam, pemukiman, industri dan proyek-proyek yang bersifat mencari keuntungan atau yang tidak mencari keuntungan. 3

Satu persoalan hukum pertanahan yang kelihatannya tidak pernah diperbincangan dan dikaji orang adalah persoalan mengambil tanah kepunyaan masyarakat untuk

1

Lihat, “Rencana Pembangunan Lima Tahun Kelima 1989/1990-19931994” Republik Indonesia, hlm. 17.

2

Kalo, Syaffruddin, Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Jakarta, 2004, hlm. 1.

3

(10)

kepentingan umum proyek pembangunan yang dikenal dengan “Pembebasan Tanah” atau “Pencabutan Hak Atas Tanah” dan “Pengadaan Tanah”. Hal ini memang menyangkut persoalan paling kontroversi mengenai masalah pertanahan. Pada satu pihak tuntut pembangunan sedemikan mendesak sedangkan pada pihak lain persediaan tanah sudah mulai terasa sulit. Berjalanannya proses pembangunan di Indonesia memaksa harga tanah pada berbagai tempat untuk melambung akan tetapi juga telah menciptakan suasana dimana tanah sudah mempunyai nilai yang tinggi, sehingga besar kemungkinan pembangunan selanjutnya akan mengalami kesulitan dalam mengejar laju pertumbuhan harga tanah dimaksud.

Persoalan pembebasan tanah, pencabutan hak atau pengadaan tanah selalu menyangkut dua dimensi yang harus ditempatkan secara seimbang yaitu “kepentingan pemerintah” dan “kepentingan masyarakat”. Dua pihak yang terlibat yaitu “Penguasa” dan “Rakyat” harus sama-sama saling memperhatikan dan menaaati ketentuan yang berlaku. Bilamana hal tersebut tidak diindahkan akan timbul persoalan-persoalan seperti yang sering kita baca dalam publikasi berbagai media masa, dimana pihak penguasa dengan “keterpaksaannya” melakukan tindakan yang dinilai bertentangan dengan hak asasi dan sebagainya, sedangkan rakyat mau tidak mau melakukan apa saja untuk menempatkan apa yang diyakininya sebagai hak yang harus dipertahankannya.

(11)

tersebut. Akan tetapi bagi rakyat, perlakuan yang dikenakan pada tanahnya hanya akan dinilai merugikan atau tidak. Yang jelas mereka punya ukuran didalamnua terkait berbagai kepentingan dan mengenai “nilai” tanah tersebut, sehingga padanya ada nilai yang bersifat fakta dan ada pula yang bersifat ideal. Apa yang dipersoalkan dalam pembebasan tanah tidak mungkin berkisar lebih dari nilai fakta, dan makah dalam mereka masih dituntut untuk “berkorban” atau memberikan pengorbanan berupa kerelaan menurunkan permintaannya dari nilai fakta yang ada.

Pemerintah melaksanakan pembebasan sebagian besar dipergunakan untuk pembangunan proyek pemerintah atau fasilitas umum, seperti kantor pemerintah, jalan raya, pelabuhan, lapangan udara, dsb. Pola sengketa berkisar ; antara rakyat dan pemerintah, antara rakyat dan swasta (yang didukung oleh orang-orang pemerintah) mengenai besarnya ganti rugi antara rakyat dengan pihak perkebunan serta kehutanan mengenai tanah garapan antara rakyat dengan rakyat itu sendiri mengenai masalah kepemilikan,penggarapan, warisan, sewa menyewa. Bahwa sengketa tersebut diantaranya karena manipulasi pejabat atau panitia pengadaan tanah dan kecilnya ganti rugi atas tanah yang diambil.4

Rakyat pada umumnya tidak mengetahui ketentuan hukum mengenai hal pengadaan tanah, sehingga menjadi bingung dengan sikap pemerintah yang ingin mengambil tanahnya secara tidak layak. Berpangkal dari ketidaktahuannya itu apapun yang bisa mereka lakukan asal menyangkut tanahnya mau ia lakukan. Persoalannya tidak bisa dinilai apakah perbuatan itu melanggar hukum atau tidak. Keadaan itu bukannya tidak diketahui oleh orang yang memerlukan tanah akan tetapi dengan berbagai alasan untuk melaksanakan proyek yang telah direncanakan tetap dilakukan pembebasan dengan

4

(12)

ganti rugi. Sehingga sulit bagi yang membutuhkan tanah untuk menentukan kepada siapa ganti rugi tersebut diberikan. Oleh karena itu banyak dijumpai pembayaran ganti rugi dilakukan pada orang yang sebenarnya tidak berhak yang akan menimbulkan sengketa.

Bilamana persoalannya sudah menjadi demikian maka berkembanglah suatu keresahan yang dapat mengganggu stabilitas sosial. Penanggulangannya lalu bukan lagi berupa penanggulangan maslah tanah, tetapi bergeser menjadi penanggulangan masalah sosial bahkan politik.5 Permasalahannya akan semakin rumit bilmana para pihak penguasa memanfaatkan kelemahan yang ada pada rakyat seperti bahwa tanah itu tidak sah, tanah tersebut adalah tanah Negara bukan milik rakyat dan sebagainya sehingga semula ketentuan yang menyangkut pembebasan tanah dan pencabutan tidak perlu dilakukan. Dalam hal ini penggusuran yang mengandung unsur kekerasan banyak dijalankan, pertimbangannya memang praktis tanah tersebut bukan milik rakyat karenannya tidak ada pembebasan tanah, apalagi pencabutan hak. Konflik tersebut juga sering terjadi antara pemerintah dengan rakyat atau antara rakyat dengan pihak swasta yang membutuhkan tanah, ini disebabkan oleh kurangnya koordinasi antar instansi yang terkait di bidang pertanahan.6

Peraturan hukum mengenai pencabutan, pembebasan, dan pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan Negara maupun swasta dalam praktik, pelaksanaan peraturan tersebut belum berjalan sesuai dengan isi dari ketentuan tersebut. Sehingga, pada satu pihak timbul kesan seakan-akan hak dan kepentingan rakyat pemilik tanah, tidak

Misalnya tidak adanya sinkronisasi antara suatu sektor dengan sektor lainnya. Banyak sekali peraturan yang tidak berjalan, namun saling bertabrakan dengan peraturan lainnya.

5

Abdurrhahman, H, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia, Jakarta, 1991, hlm. 4.

6

(13)

mendapat perlindungan hukum. Sedangkan dari pemerintah atau pihak yang memerlukan tanah juga mengalami kesulitan dalam memperoleh tanah untuk membangun proyeknya, secara fakta pelaksanaan pencabutan, pembebasan, dan pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum bernuansa konflik, baik dari peraturan dan paradigma hukum,dan pelaksanaaan praktik peraturan tersebut di lapangan oleh para penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat.7

1.2. Rumusan Masalah

Dengan latar belakang demikian, sehingga penulis mengangkat beberapa permasalahan dalam karya ilmiah ini. Antara lain akan dijelaskan pada sub bab berikutnya.

1. Bagaimana pengaturan hukum dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum?

2. Apa yang menjadi kendala-kendala dalam pelaksanaan pengadaan tanah jalan arteri bandara kualanamu?

3. Bagaimana kepastian hukum terhadap pelaksanaan pengadaan tanah yang dilakukan di jalan arteri bandara kualanamu?

1.3. Tujuan Penulisan

a. Mendapatkan pengetahuan tentang gejala hukum tertentu

b. Memperdalam pengetahuan tentang suatu gejala hukum, terutama tentang pengadaan tanah.

c. Mendapatkan keterangan tentang frekuensi peristiwa hukum tertentu.

d. Memperoleh dan menganalisis data tentang hubungan gejala hukum dalam penelitian dengan gejala lainnya.8

e. Menggunakan teori yang relevan dengan permasalahan dan

7

Syaffruddin, Opcit, hlm. 5

8

(14)

mengoperasionalisasikan konsep.

f. Menganalisis kesesuaian peraturan dalam pengadaan tanah Jalan Arteri Bandara Kualanamu.

g. Menganalisis perlinduangan hukum terhadap masyarakat yang terkena pengadaan tanah.

h. Menuliskan hasil penelitian secara sistematis dan logis, sesuai dengan format dan etika ilmu pengetahuan.

1.4. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Secara Teoritis a. Bagi Penulis

Penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta dapat mengaplikasikan dan mensosialisasikan teori yang telah diperoleh selama perkuliahan. Memberikan pengalaman kepada penulis untuk menerapkan dan memperluas wawasan teori hukum dan penerapannya di masyarakat. Analisa yang dilakukan dapat membantu untuk mengetahui bagaimana sistem aplikasi ini bekerja.

b. Bagi Peneliti Selanjutnya

Dengan penelitian ini diharapkan dapat menjadi wahana pengetahuan mengenai pengadaan tanah bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti tentang Proses Pengadaan tanah dan analisa kasus pengadaan tanah yang ada di Indonesia.

(15)

a. Bagi Mahasiswa

Menambah wawasan mahasiswa dalam Hukum Pengadaan Tanah dan menambah perkembangan di bidang ilmu pengetahuan. Skripsi ini juga diharapkan dapat memudahkan mahasiswa untuk belajar menulis karya tulis ilmiah sebagai landasan untuk lebih mahir dalam menulis skripsi secara sistematis dan dikaitkan dengan teori-teori hukum yang ada.

b. Bagi Praktisi

Dengan adanya skripsi ini, diharapkan dapat membantu memudahkan para praktisi hukum dalam menganalisis dan menyelesaikan masalah pengadaan tanah di Indonesia yang berkaitan dengan skripsi ini.

c. Bagi Masyarakat

Memudahkan masyarakat dalam memahami bagaimana perlindungan hukum yang diberikan Undang-Undang terhadap masyarakat yang terkena proses pengadaan tanah, khususnya masyarakat yang terkena pengadaan tanah di jalan arteri Bandara Kualanamu untuk lebih mudah memahami kronologi kasus dan penyelesaian atas sengketa tanah mereka secara hukum.

1.5. Metode Penelitian

(16)

ilmiah yang kuat. Oleh karena itu, metode dapat diartikan pula sebagai prosedur atau rangkaian cara yang secara sistematis dalam menggali kebenaran ilmiah.9

a. Jenis Metode Penelitian

Sedangkan penelitian dapat diartikan sebagai pekerjaan ilmiah yang harus dilakukan secara sistematis, teratur dan tertib, baik mengenai prosedurnya maupun dalam proses berfikir tentang materinya .

Dalam skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan Metode Penelitian Hukum Empiris. Metode penelitian hukum empiris adalah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat penerapan hukum di lapangan dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat. Dikarenakan dalam penelitian ini meneliti penerapan hukum dalam pengadaan tanah di lapangan, khususnya pengadaan tanah jalan arteri bandara kualanamu, maka metode penelitian skripsi ini adalah metode penelitian hukum empiris atau dapat dikatakan sebagai penelitian hukum sosiologis. Penelitian ini diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum atau badan pemerintah. Dalam hal ini, penulis mengadakan penelitian dan menguji data empiris di lapangan (Jalan Arteri Bandara Kualanamu) dan Badan Pertanahan Kabupaten Deli Serdang.

b. Teknik Pengumpulan Data

1. Library Research (Studi Kepustakaan) yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematika buku-buku, peraturan perundang-undangan dan sumber lainnya yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

9

(17)

2. Field Research (Studi Lapangan) yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung ke lapangan. Perolehan data ini dilakukan melalui wawancara langsung dengan pihak masyarakat yang terkena pengadaan tanah jalan arteri bandara kualanamu dan pihak Badan Pertanahan Nasional Deli Serdang selaku instansi pemerintah terkait.

c. Sumber Data

1. Data Primer 10

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari informan dengan cara melalui wawancara langsung dengan pegawai bidang pengadaan tanah Badan Pertanahan Kabupaten Deli Serdang dan wawancara dengan masyarakat jalan arteri bandara kualanamu yang terkena pengadaan tanah. 2. Data Sekunder

Data Sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis terhadap segi-segi hukum pengadaan tanah. Selain itu tidak menutup kemungkinan diperoleh melalui bahan hukum lain, dimana pengumpulan bahan hukumnya dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, serta menelaah data yang terdapat dalam buku, literature, tulisan-tulisan ilmiah, dokumen-dokumen hukum dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan objek penelitian. Bahan-bahan hukum tersebut berupa:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, seperti: i. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960

10

(18)

ii. UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

iii. UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas tanah dan benda yang ada diatasnya.

iv. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM

v. Keputusan Presiden RI Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan.

vi. Peraturan Presiden RI Nomor 36 Tahun 2005 tentag Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

vii. Peraturan Presiden RI Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden RI Nomor 36 Tahun 2005 tentag Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

viii. Peraturan Presiden RI Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

ix. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang tidak mengikat dan memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti : hasil-hasil Penelitian, karya dari kalangan hukum, pendapat-pendapat ahli yang ada di dalam buku, jurnal, dan internet.

c. Bahan Hukum Tertier

(19)

i. Bahan-bahan yang member petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder.

ii. Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier diluar bidang hukum seperti kamus, ensiklopedia, majalah, Koran, makalah, dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.

d. Analisis Data

Analisis data dalam skripsi ini adalah dengan menggunakan data kualitatif, yaitu suatu analisis data yang secara jelas serta diuraikan ke dalam bentuk kalimat sehingga dapat diperoleh gambaran jelas yang berhubungan dengan skripsi ini. Data dalam skripsi ini merupakan hasil wawancara kepada pihak pegawai bagian pengadaan tanah BadanPertanahan Nasional Kabupaten Deli Serdang dan masyarakat jalan arteri bandara kualanamu.

1.6. Tinjauan Kepustakaan

a. Konsepsi Mengenai Tanah

Tanah merupakan salah satu komponen hak asasi manusia, maka setiap orang harus diberi hak dan akses untuk memperoleh, memanfaatkan, dan mempertahankan bidang tanah yang sudah atau yang akan dipunyainya. Sebagai hak dasar, hak atas tanah sangat berarti bagi eksietensi seseorang, kebebasan dan harkat dirinya sebagai manusia, sehingga pemenuhannya harus selalu diupayakan, Setiap kebijakan dan tindakan pemerintah yang bermaksud untuk mengurangi dan meniadakan hak atas tanah dan hak-hak lain yang ada di atasnyamilik warga masyarakat, akan mempengaruhi terhadap keberadaan dan keutuhan HAM. 11

Diatas sebidang tanah, manusia juga dapat membangun jalan, jembatan, dan kepentingan umum lainnya. Mengingat sangat terbatasnya kemampuan lahan menyediakan

11

(20)

tata ruang, kebutuhan akan lahan ini dapat menimbulkan pembenturan kepentingan berbagai pihak, baik dalam hal kepemilikan maupun peruntukkannya. Masalah pencabutan, pembebasan, dan pelepasan hak atas tanah sering menimbulkan persoalan yang kontroversial, dimana kebutuhan tanah, baik untuk pembangunan yang dilakukan pemerintah maupun swasta terus meningkat, sedangkan persediaan tanah menjadi komoditas ekonomi yang tinggi sehingga nilai tukar tanah cenderung naik sesuai dengan permintaan pasar.

Di Indonesia, pengertian tanah dipakai dalam arti juridis sebagai suatu pengertian yang dibatasi dalam UUPA, yakni tanah hanya merupakan permukaan bumi saja. Dengan demikian, jelas tanah dalam pengertian juridis adalah permukaan bumi (Pasal 4 ayat 1). Sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu dari permukaan bumi yang memiliki batas dan dimensi. Jadi, tanah yang diberikan dengan hak-haknya tersebut penggunaannya hanya terbatas pada permukaan bumi saja.

Oleh karena itu,dalam pasal 4 ayat 2 UUPA dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk menggunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan yang disebut tanah, tetapi juga tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang angkasa. 12

Dalam hal penyediaan tanah untuk kepentingan umum atau pembangunan, akan dialami kesulitan dalam mengejar lajunya pertumbuhan harga tanah tersebut.

Maka yang mempunyai hak-hak atas tanah tersebut adalah tanahnya sendiri.

13

12

Republik Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Bab 1, Pasal 4.

13

Syaffruddin Kalo, Loc cit.

(21)

melakukan penguasaan tanah secara tanpa hak, baik untuk mendirikan pemukiman maupun untuk menggarap tanah tersebut sebagai tanah pertanian. Mereka ini melakukan tindakan melawan hukum, akan tetapi dalam kenyataannya masih banyak yang dibiarkan melakukannya secara bebas. Misalnya, di Sumatera Utara adalah penggarap-penggarap di atas tanah perkebunan. Persoalannya baru timbul bilamana pihak penguasa ingin memerlukab tanah untuk suatu keperluan pembangunan ekonomi, di areal yang ditempati secara liar oleh masyarakat. Maka para penghuni liar tersebut bisa juga menuntut hak sebagaimana selayaknya seorang pemegang hak atas tanah, walaupun sebenarnya ia tidak berhak karena persoalan tanah bukan hanya sekedar persoalan hukum, akan tetapi merupakan suatu persoalan multidimensi, dan satu dianataranya “dimensi kemanusiaan” maka untuk menyelesaikan persoalan ini, aspek manusia perlu untuk diperhatikan dan diperhitungkan.

b. Pengertian Pengadaan Hak Atas Tanah

Dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 dan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 juncto Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006, pengadaan hak atas Tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.14

Di dalam mengenai besarnya ganti rugi, Panitia Pembebasan Tanah harus mengadakan musyawarah dengan para pemilik/pemegang hak atas tanah dan/atau benda/ tanaman yang ada di atasnya berdasarkan harga umum. Panitia Pembebasan Tanah berusaha agar dalam menentukan besamya ganti rugi terdapat kata sepakat di antara para anggota

14

(22)

Panitia dengan memperhatikan kehendak dari para pemegang hak atas tanah. Jika terdapat perbedaan taksiran ganti rugi di antara para anggota Panitia itu, maka yang dipergunakan adalah harga rata-rata dari taksiran masing- masing anggota. Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan setelah mempertimbangkan dari segala segi, dapat mengambil keputusan yang bersifat mengukuhkan putusan Panitia Pembebasan Tanah atau menentukan lain yang ujudnya mencari jalan tengah yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.

c. Konsepsi Kepentingan Umum

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ini diatur bahwa kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Lebih lanjut, dalam Pasal 10 diatur mengenai jenis pembangunan yang dapat dikategorikan sebagai Kepentingan Umum, yaitu:15

1. pertahanan dan keamanan nasional;

2. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;

3. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;

4. pelabuhan, bandar udara, dan terminal; 5. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;

6. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; 7. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;

8. tempat pembuangan dan pengolahan sampah; 9. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;

15

(23)

10.fasilitas keselamatan umum;

11.tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah; 12.fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik; 13.cagar alam dan cagar budaya;

14.Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;

15.penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa; 16.prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah; 17.prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan

18.pasar umum dan lapangan parkir umum.

Menurut UU Nomor 2 Tahun 2012 menjelaskan Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. 16 Karena kegiatan tersebut mempunyai sifat kepentingan umum, maka juga menyangkut kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara untuk pembangunan.17

Kepentingan bangsa dan negara, setidaknya memberikan penjelasan dari UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, tercantum dalam Penjelasan Umum butir 2 menyebutkan bahwa Negara/pemerintah bukanlah subjek yang dapat mempunyai hak milik, demikian pula tidak dapat sebagai subjek jual-beli dengan pihak lain untuk kepentingannya sendiri. Dalam arti bahwa Negara tidak dapat berkedudukan sebagaimana individu. Menurut Prof. Dr. M. Yamin, bahwa Negara sebagai organisasi kekuasaan dalam tingkatan-tingkatan tertinggu diberi kekuasaan sebagai badan penguasa

16

Ibid, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

17

(24)

untuk menguasai bumi, air, dan ruang angkasa dalam arti bukan memiliki. Dengan demikian,Negara hanya diberi hak untuk mengiasai danmengatur dalam rangka kepentingan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.18

1.7. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini berdasarkan hasil penelitian, pemikiran dan pemaparan asli dari penulis sendiri. Penulis juga telah mencantumkan sumber yang jelas yang merupakan kutipan-kutipan yang diambil dari buku-buku karangan orang lain.

Judul skripsi ini juga telah melewati pemeriksaan dari Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara / Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum USU dan berdasarkan hasilnya, judul yang penulis buat tidak memiliki kesamaan dengan judul skripsi yang telah ada sebelumnya.

Dengan demikian penulisan skripsi ini tidaklah sama dengan penulisan skripsi yang pernah ada, karena skripsi ini masih asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

1.8. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi atas beberapa Bab, dimana dalam Bab terdiri dari unit-unit Bab demi Bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian :

Bab I. Pendahuluan

18

(25)

Dalam Bab ini memuat latar belakang penelitian, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Keaslian Penulisan, Sistematika Penulisan.

Bab II. Pengadaan Tanah Menurut UU Nomor 2 Tahun 2012

Dalam Bab ini akan diuraikan membahas dan menguraikan defenisi pengadaan tanah, memuat hal mengenai landasan hukum tata cara pelaksanaan pengadaan tanah dalam pembangunan kepentingan umum berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2012.

Bab III. Tinjauan Hukum Terhadap Kepastian Hukum Pengadaan Tanah

Dalam Bab ini akan diuraikan membahas dan menguraikan konflik pengadaan tanah untuk kepentingan umum, tata cara pencabutan hak atas tanah dan pembebasan tanah, prosedur pencabutan hak dan pembebasan tanah.

Bab IV. Prosedur Pelaksanaan Pengadaan Tanah Eks HGU PTPN II Jalan Arteri Bandara Kualanamu.

Dalam Bab ini akan diuraikan membahas dan menguraikan kronologis pelaksanaan pengadaan tanah jalan arteri bandara kualanamu, data-data yuridis status hak dan pemberian ganti rugi terhadap masyarakat, dan penyelesaian sengketa pelaksanaan pengadaan tanah jalan arteri bandara Kualanamu.

(26)
(27)

BAB II

PENGATURAN HUKUM DALAM PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH

2.1. Pengertian Pengadaan Tanah

a. Pengertian Pengadaan Tanah dalam UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960

Indonesia, yang memiliki daratan (tanah) yang sangat luas, telah menjadikan persoalan tanah sebagai salah satu persoalan yang paling urgen diantara persoalan lainya. Maka tak heran, pasca Indonesia merdeka, hal pertama yang dilakukan oleh pemuka bangsa dikala itu adalah proyek “landreform” ditandai dengan diundangkannya UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, selanjutnya disingkat UUPA.

Dalam konstitusi RI (UUD RI 1945) tepatnya Pasal 33 Ayat (3) disebutkan bahwa :

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. 19

Yang perlu digarisbawahi dari bunyi pasal di atas adalah kata dikuasai. Sekilas kata dikuasai menunjukkan negara adalah pemiliknya. Padahal tidak demikian adanya. Pada penjelasan umum UUPA disebutkan bahwa negara (pemerintah) dinyatakan menguasai “hanya” menguasai tanah. Pengertian tanah “dikuasai” bukanlah berarti “dimiliki” akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang tertentu kepada negara sebagai organisasi kekuasaan. Hal ini dirumuskan secara tegas di dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA yang menegaskan, kewenangan negara adalah :20

19

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Bab XIV, Pasal 33 ayat 3.

20

(28)

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan atau pemeliharaannya.

b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa, segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam masyarakat adil dan makmur.

Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau sering disebut dengan UUPA pada Pasal 6, menyatakan bahwa “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Rumusan Pasal tersebut mendapat penjelasan dalam Penjelasan Umum, Angka Romawi II Angka 4 UUPA, yaitu hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya, hingga bermanfaat bagi baik kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara.

(29)

”Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan

bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang

layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.” 21

b. Pengertian Pengadaan Tanah menurut UU Nomor 2 Tahun 2012

Pembangunan ini dilaksanakan untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah dalam memecahkan berbagai masalah yang berkenaan dengan tanah, bukan saja harus mengindahkan prinsip – prinsip hukum akan tetapi juga harus memperhatikan kesejahteraan sosial, azas ketertiban dan azas kemanusiaan agar masalah pertanahan tersebut tidak berkembang menjadi keresahan yang mengganggu stabilitas masyarakat.

Tahun 2012 telah hadir Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam bagian menimbang dari undang-undang tersebut disebutkan bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Tahun 1945, pemerintah perlu melaksanakan pembangunan. Selanjutnya disebutkan bahwa untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum,diperlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis, dan adil.

Dalam UU No. 2 Tahun 2012 khususnya Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa:

“Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.”22

21

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Bab II, Pasal 18.

22

(30)

c. Pengertian Pengadaan Tanah Menurut Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun

2005

Persoalan pengadaan tanah maka dapat dilihat pengertian pengadaan tanah berdasarkan Pasal 1 angka 3 Peraturan Presiden No 36 Tahun 2005 adalah:

“Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan,

tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas

tanah”.23

1. Asas-Asas Pengadaan Tanah menurut Sumardjono

2.2. Asas-Asas Hukum dan Tujuan dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan

Umum

a. Asas-Asas Pengadaan Tanah menurut Para Ahli

Setiap rumusan undang-undang agar tercapai tujuan hukumnya(filsufis, sosiologis, dan yuridis), mestinya memiliki prinsip dasar sehingga undang-undang tersebut

dirancang tidak terkesan sarat pada kepentingan individu semata. Oleh karena itu pengadaan tanah harus dilaksanakan sesuai dengan asas-asas sebagai berikut:24

a. Asas kesepakatan yakni seluruh kegiatan pengadaan tanah dan Pemegang Hak Atas Tanah dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pihak yang memerlukan tanah dengan Pemegang Hak Atas Tanah. Kegiatan fisik pembangunan baru dapat dilaksanakan bila telah terjadi kesepakatan antara para pihak dan ganti kerugian telah diserahkan.

23

Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Bab I, Pasal 1 angka 3.

24

(31)

b. Asas kemanfaatan, pengadaan tanah diharapkan mendatangkan dampak positif bagi pihak yang memerlukan tanah, masyarakat yang terkena dampak dan masyarakat luas. Manfaat dari hasil kegiatan pembangunan itu harus dapat dirasakan oleh masyarakat sebagai keseluruhan.

c. Asas keadilan, kepada masyarakat yang terkena dampak diberi ganti kerugian yang dapat memulihkan kondisi sosial ekonomisnya, minimal setara dengan keadaan semula, dengan memperhitungkan kerugian terhadap faktor fisik maupun nonfisik. d. Asas kepastian, pengadaan tanah dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan sehingga para pihak mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing.

e. Asas keterbukaan, dalam proses pengadaan tanah, masyarakat yang terkena dampak berhak memperoleh informasi tentang proyek dan dampaknya, kebijakan ganti kerugian, jadwal pembangunan, rencana pemukiman kembali dan lokasi pengganti bila ada, dan hak masyarakat untuk mencapai keberatan.

f. Asas keikutsertaan/ partisipasi, peran serta seluruh pemangku kepentingan dalam setiap tahap pengadaan tanah (perencanaan, pelaksanaan, evaluasi) diperlukan agar menimbulkan rasa ikut memiliki dan dapat meminimalkan penolakan masyarakat terhadap kegiatan yang bersangkutan.

g. Asas kesetaraan, asas yang dimaksudkan untuk menempatkan posisi pihak yang memerlukan tanah dan pihak-pihak yang terkena dampak secara sejajar dalam pengadaan tanah.

(32)

2. Asas-Asas Pengadaan Tanah menurut Mertokusumo

Asas hukum menurut Nieuwenhuis sebagaimana dikutip oleh Mertokusumo dimaknai sebagai: “ sebagian dari hidup kejiwaan kita. Dalam setiap asas hukum manusia melihat cita-cita yang hendak diraihnya, suatu cita-cita-cita-cita atau harapan, suatu ideal, memberikan dimensi etis kepada hukum pada umumnya merupakan suatu persangkaan ”. Dalam kebijakan pengambilalihan tanah harus bertumpu pada prinsip demokrasi dan menjunjung tinggi HAM (Human Rights) dengan memperhatikan hal-hal berikut:25

a. Pengambilalihan tanah merupakan perbuatan hukum yang berakibat terhadap hilangnya hak-hak seseorang yang bersifat fisik maupun non fisik dan hilangnya harta benda untuk sementara waktu atau selama-lamanya;

b. Ganti kerugian yang diberikan harus memperhitungkan: hilangnya hak atas tanah, bangunan, tanaman, hilangnya pendapatan dan sumber kehidupan lainnya, bantuan untuk pindah ke lokasi lain dengan memberikan alternative lokasi baru yang dilengkapi dengan fasilitas yang layak, bantuan pemulihan pendapatan agar dicapai keadaan setara dengan keadaan sebelum terjadinya pengambilalihan;

c. Mereka yang tergusur karena pengambilalihan tanah harus diperhitungkan dalam pemberian ganti kerugian harus diperluas.

d. Untuk memeperoleh data yang akurat tentang mereka yang terkena penggusuran dan besarnya ganti kerugian mutlak dilaksanakan survai dasar & sosial ekonomi;

e. Perlu diterapkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan pengambilalihan dan pemukiman kembali;

f. Cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan harus ditumbuhkembangkan

25

(33)

g. Perlu adanya sarana menampung keluhan dan dan menyelesaikan perselisihan yang timbul dalam proses pengambilalihan tanah.

3. Asas-Asas Pengadaan Tanah Menurut Boedi Harsono

Berkenaan dengan kegiatan pengadaan tanah, maka menurut Boedi Harsono terdapat enam azas hukum pengadaan tanah yakni:

a. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun harus ada landasan haknya;

b. Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa;

c. Cara memperoleh tanah yang sudah dihaki seseorang harus melalui kata sepakat antara para pihak yang bersangkutan;

d. Dalam keadaan yang memaksa, jika jalan musyawarah tidak dapat menghasilkan kata sepakat, untuk kepentingan umum, penguasa dalam hal ini Presiden diberi kewenangan oleh hukum untuk mengambil tanah yang diperlukan secara paksa;

e. Baik dalam acara perolehan atas dasar kata sepakat, maupun dalam acara pencabutan hak, kepada pihak yang telah menyerahkan tanahnya wajib diberikan imbalan yang layak;

f. Rakyat yang diminta menyerahkan tanahnya untuk proyek pembangunan berhak untuk memperoleh pengayoman dari pejabat birokrasi. 26

4. Asas-Asas Pengadaan Tanah

Mulai dari Kepres Nomor 55 Tahun 1993, hingga Perpres Nomor 65 Tahun 2006 atas perubahan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Tidak ada satupun pencantuman pasal-pasal yang mengatur masalah prinsip-prinsip atau asas yang melandasi sehingga dapat (baca; layak)

26

(34)

untuk dilakukan pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Artinya semua regulasi yang berkaitan dengan masalah pengadaan tanah minim asas. Untuk melindungi hak dan kepentingan dari pemilik tanah yang menjadi korban atas pengadaan tanah walaupun kelak akan digunakan untuk kepentingan umum.

Kemudian pada tahun 2012 dikeluarkan salah satu produk hukum yang hendak diundangkan pada era Kabinet Indonesia Bersatu Ke II adalah Undang-undang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Nomor 2 Tahun 2012 yang selanjutnya disingkat dengan UU PTUP. UU ini menimbulkan pendapat pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sudah barang tentu, berbagai pendapat pro dan kontra yang dikeluarkan oleh berbagai elemen masyarakat, masing-masing memiliki dasar alasan, argumentasi.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 satu-satunya UU yang memuat tentang asas-asas pengadaan Tanah: 27

a. Kemanusiaan

Yang dimaksud dengan "asas kemanusiaan" adalah Pengadaan Tanah harus memberikan pelindungan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia, harkat, dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.

b. Keadilan

Yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah memberikan jaminan penggantian yang layak kepada Pihak yang Berhak dalam proses Pengadaan Tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan kehidupan yang lebih baik.

c. Kemanfaatan

Yang dimaksud dengan "asas kemanfaatan" adalah hasil Pengadaan Tanah mampu memberikan manfaat secara luas bagi kepentingan masyarakat, bangsa, dan

27

(35)

negara. d. Kepastian

Yang dimaksud dengan "asas kepastian" adalah memberikan kepastian hukum tersedianya tanah dalam proses Pengadaan Tanah untuk pembangunan dan memberikan jaminan kepada Pihak yang Berhak untuk mendapatkan Ganti Kerugian yang layak. e. Keterbukaan

Yang dimaksud dengan "asas keterbukaan" adalah bahwa Pengadaan Tanah untuk pembangunan dilaksanakan dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan Pengadaan Tanah.

f. Kesepakatan

Yang dimaksud dengan "asas kesepakatan" adalah bahwa proses Pengadaan Tanah dilakukan dengan musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan kesepakatan bersama.

g. Keikutsertaan

Yang dimaksud dengan "asas keikutsertaan" adalah dukungan dalam penyelenggaraan Pengadaan Tanah melalui partisipasi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, sejak perencanaan sampai dengan kegiatan pembangunan. h. Kesejahteraan

Yang dimaksud dengan "asas kesejahteraan" adalah bahwa Pengadaan Tanah untuk pembangunan dapat memberikan nilai tambah bagi kelangsungan kehidupan Pihak yang Berhak dan masyarakat secara luas

i. Keberlanjutan;

(36)

j. Keselarasan.

Yang dimaksud dengan "asas keselarasan" adalah bahwa Pengadaan Tanah untuk pembangunan dapat seimbang dan sejalan dengan kepentingan masyarakat.

2.3. Dasar Hukum dan Perkembangan Kebijakan Peraturan Pengadaan Tanah untuk

Kepentingan Umum

a. Dasar Hukum Pengadaaan Tanah

1. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Oleh Negara

Sebagai suatu organisasi kekuasaan, negara harus memiliki suatu otoritas yang besar untuk lebih memudahkannya dalam fungsi pengaturannya. Negara juga harus bertindak sejauh mana otoritas terebut dapat digunakan sehingga tidak menyimpang dari keadaan yang seharusnya. Kekuasaan yang paling dominan berada di tangan negara, akan tetapi awal dari proses beradanya kekuasaan pada negara umumnya dimulai dari warga negara. Di Indonesia, kedaulatan rakyat dijamin oleh UUD 1945. Untuk pembangunan yang diselenggarakan untuk kepentingan umum, pemerintah diberi kewenangan untuk mengambil hak masyarakat dalam bentuk pengadaan tanah.

(37)

2. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Menurut Hukum Adat

Bagi masyarakat hukum adat, tanah itu mempunyai kedudukan yang sangat penting, karena merupakan satu-satunya benda kekayaan yang bersifat tetap dalam keadaan yang lebih menguntungkan. Selain itu, tanah merupakan tempat tinggal, tempat pencaharian, tempat penguburan, bahkan menurut kepercayaan mereka adalah tempat tinggal dayang-dayang pelindung persekutuan dan para leluhur persekutuan.

Dalam kebiasaan pada umumnya yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat, ada dua jenis hak atas tanah, yaitu hak perseorangan dan hak persekutuan hukum atas tanah. 28

28

Resika,Penyelesaian Masalah Hak Ulayat dalam Hukum Adat,

Para anggota persekutuan hukum berhak untuk mengambil hasil tumbuh-tumbuhan dan binatang liar dari tanah persekutuan hukum tersebut. Selain itu, mereka juga berhak mengadakan hubungan hukum tertentu dengan tanah serta semua isi yang ada di atas hak persekutuan hukum sebagai objek.

Oleh Wignjodipoero diberikan contoh tentang fungsi sosial hak milik sebagai berikut :

1) Warga masyarakat desa yang memiliki rumah dengan pekarangan luas wajib membolehkan tetangganya berjalan melalui pekarangannya;

2) Tiap warga masyarakat desa yang mempunyai sawah atau ladang, harus membolehkan sesama warga lainnya mengembalakan ternaknya di sawah atau ladangnya selama sawah atau ladangnya tersebut masih belum ditanami;

(38)

3) Pamong desa berwenang mengambil tanah milik seseorang warganya guna kepentingan desa selama waktu tertentu.

Dalam hal desa memerlukan tanah untuk kepentingan umum, ia dapat meminta kembali tanah pertanian, tanah perkarangan, kolam ikan dan sebagainya dari pemiliknya.Tanah yang dalam keadaan demikian disebut dipundut. Ada tiga elemen penting dari perbuatan dipundut tersebut, yaitu :

1) Hak milik atas tanah ada pada orang, dari siapa tanah itu diminta;

2) Yang meminta tanah itu adalah penguasa yang berkedudukan di atasnya;

3) Tanah itu dipakai untuk kepentingan umum dan bukan untuk kepentingan perseorangan. Penyimpangan atas syarat ketiga ini adalah penyimpangan dari ketentuan dan pelanggaran hukum.

3. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Menurut Hukum Barat

Dalam sistem hukum Eropa Kontinental, lembaga pencabutan hak atas tanah juga diberlakukan, yang mana untuk melaksanakan sistem hukum ini harus melalui tiga instansi yaitu legislatif, eksekutif dan legislatif.

(39)

kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas berdasarkan ketentuan-ketentuan perundangan.

Jika dicermati ketentuan yang tertuang dalam Pasal 570 KUH Perdata tersebut, walaupun dikatakan bahwa rumusan ketentuannya sangat individualistis namun tetap ada pembatasan penggunaan dan penguasaan hak milik, yaitu:29

4. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Menurut UUPA 1) Batas-batas yang diadakan oleh peraturan perundang-undangan;

2) Batas kesopanan dalam masyarakat yang tidak boleh mengganggu orang lain;

Dalam Pasal 33 UUD 1945 ditetapkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk mencapai tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat harus ada penguasaan negara. Isi pasal ini tidak dimaksudkan pemerintah sebagai pemilik, karena sebagi pemilik subjeknya adalah orang dan hak itulah yang merupakan hak yang terkuat dan terpenuh atas tanah. Walaupun sifatnya terkuat dan terpenuh, sama sekali tidak memberikan wewenang yang berlebihan. Hal ini sejalan dengan alam pikiran hukum adat sebagai dasar pembentukan UUPA. Itulah sebabnya, maka berdasarkan pasal 18 UUPA jika untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut.

5. Peraturan Hukum Mengenai Pengadaan Tanah

Hak eigendom adalah hak perseorangan yang terkuat menurut hukum Belanda yang sifatnya mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Untuk mencabut hak eigendom ini harus

29

Setiawatiiriani, Hak Perseorangan Atas Tanah,

(40)

melalui lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. 30

Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 bukanlah pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961, tetapi adalah pengganti dari ketentuan yang dimuat dalam Bijblad Nomor 11372 Yo.12746 yang mengatur tentang aparat yang pembebasan dan pemberian ganti kerugian atas tanah yang diperlukan yang sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan pembangunan. Dalam Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 tidak diatur prosedur pengadaan tanah untuk swasta, sehingga hal ini dianggap merupakan salah satu kekurangan dari Permendagri Nomor 15 Tahun 1975. Padahal pembangunan bukan hanya merupakan tanggung jawab pemerintah, melainkan diharapkan peran aktif dari pihak swasta. Untuk itu, oleh pemerintah dianggap perlu adanya bantuan fasilitas dari pemerintah yang berbentuk Itulah sebabnya jika hak tanah dengan hak eigendom ini akan dipergunakan oleh pemerintah, walaupun dalam keadaaan yang sangat mendesak, memerlukan waktu yang lama dan jalan yang panjang. Setelah kemerdekaan, dengan berlakunya UUPA maka onteigeningsordonnantie itu dicabut. Alasannya adalah tidak sesuai dengan jiwa proklamasi kemerdekaan dan jiwa UUPA, yang memandang hak milik atas tanah mempunyai fungsi sosial. Sebagai penggantinya pada tanggal 26 September 1961 ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak Atas Tanah.

Dalam kenyataannya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 dapat dikatakan tidak pernah diberlakukan karena adanya kemungkinan proses untuk mendapatkan tanah menjadi sangat lama dan usaha menghindarkan tindakan-tindakan yang bersifat memaksa. Hal ini dapat terjadi karena untuk dilakukannya pencabutan hak atas tanah disyaratkan beberapa unsur yang amat sulit dilaksanakan. Berhubung dengan keadaan ini ditetapkanlah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975.

30

Zendrato, Mariati, Undang-Undang Pokok Agraria Sebagai Dasar Hukum Pertanahan di indonesia,

(41)

jasa-jasa dalam pembebasan tanah rakyat dalam rangka penyediaan tanah untuk pembangunan proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau termasuk dalam bidang pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial. Pada tanggal 5 April 1976, ditetapkanlah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah oleh Pihak Swasta.31

Untuk memperbaiki keadaan ini, pada tanggal 17 Juni 1993 ditetapkanlah Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Ditetapkannya Keppres Nomor 55 Tahun 1993 sekaligus dengan dicabutnya peraturan-peraturan sebelumnya bertujuan ideal untuk keseimbangan peran tanah dalam kehidupan manusia dan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Tanggal 3 Mei 2005 diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005 Tentang

Pada tanggal 1 Agustus 1985 ditetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985 tentang Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Proyek Pembangunan di Wilayah Kecamatan. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa untuk pengadaan tanah yang luasnya tidak lebih dari 5 hektar tidak perlu melalui panitia pembebasan tanah sesuai dengan Permendagri Nomor 15 Tahun 1975, tetapi cukup dilakukan oleh pimpinan proyek dengan camat yang bersangkutan saja. Dengan berlakunya peraturan-peraturan yang terakhir ini, berlakulah dualisme peraturan dan sesungguhnya telah terjadi suatu penyimpangan. Di samping itu karena pelaksanaan pembebasan tanah yang sering melanggar prosedur yang telah ditentukan.

31

(42)

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menggantikan Keppres 55 Tahun 1993.

Kepentingan umum yang dimaksud dalam Keppres ini intinya adalah pemerintah dalam melaksanakan pengadaan tanah tidaklah mencari keuntungan. Untuk melakukan penyempurnaan terhadap Perpres 36 Tahun 2005, diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 Tentang pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam Perpres 65 tahun 2006. Ditetapkannya Perpres 65 Tahun 2006 karena Perpres 36 Tahun 2005 dianggap akan menimbulkan banyak kerugian bagi pemegang hak atas tanah yang terkena proyek pengadaan tanah, misalnya dengan adanya unsur pemaksaan bagi pemegang hak atas tanah dengan adanya pencabutan hak atas tanah di dalam upaya perolehan hak dalam pengadaan tanah.

b. Perkembangan Dasar Hukum Peraturan-Peraturan Tentang Pencabutan Hak

atas Tanah dan Pembebasan Tanah

Ada banyak peraturan-peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah berkaitan dengan pengadaan tanah. Berikut berbagai peraturan-peraturan tentang Pengadaan Tanah yang dibuat Pemerintah Pusat atau yang bersifat Nasional :

(43)

2. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 (L.N. 1973 No. 39) tanggal 17 November 1973 tentang acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada diatasnya. Peraturan ini adalah pelaksanaan dari pasal 8 ayat (2) UU No. 20 Tahun 1961.

3. Instruksi Presiden RI tanggal 17 November No. 9 Tahun 1973 tentang Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang ada diatasnya. Instruksi ini ditujukan kepada Menteri dan Kepada Daerah untuk melaksanakan UU No. 20 Tahun 1961. Karena dlam instruksi ini idcantumkan pedoman tentang pengertian “kepentingan umum” maka ia juga serig dipakai sebagai acuan dalam berbagai kegiatan pengambilan tanah walaupun tidak termasuk pencabutan hak senagaimana dimaksud dalam UU No. 20 Taun 1961.

4. Surat Menteri Pertama RI tanggal 30 Desember 1961 No. 32391/61 tentang Peraturan mengenai Panitia Tetap Penaksiran Setempat adalah tindak lanjut dari ketentuan yang dimaksud dalam Bijblad 11372 yang sekarang sudah diganti dengan PMDN 15/1975.

5. Keputusan Menteri Agraria No. SK. XI/1/Ka/1962 tanggal 16 Januari 1962 (T.L.N. No. 2431) tentang Panitia Penaksiran, Ganti Rugi untuk Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya. Adalah merupakan pelaksanaan dari pasal 4 UU No. 20/1961 tentang masalah Panitia Penaksir.

(44)

7. Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria tanggal 28 Mei 1969, No.Ba 5/282/5 tentang acara membebaskan/melepaskan hak atas tanah yang akan diminta dengan hal lain. Adalah Penjelasan Dan Penegasan Direktorat Jenderal Agraria Tentang Pengertian Pembebasan Tanah Dan Pelepasan Hak.

8. Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria tanggal 28 Mei 1969 No. Ba 5/282/5 tentang Panitia Pembebasan Tanah Pemerintah. Adalah Penjelasan Dan Penegasan Direktorat Jenderal Agraria Tentang Pengertian Pembebasan Tanah Dan Pelepasan Hak.

9. UU No. 23 Prp/1959 (L.N. 1959 No. 139) tanggal 16 Desember 1959 tentang pengambilan tanah untuk keperluan penguasa perang berdasarkan UU Keadaan Bahaya, adalah Peraturan Khusus mengenai pengambilan tanah sehubungan dengan keadaan bahaya. Peraturan ini bersifat khusus, akan tetapi kedudukannya memang masih perlu dipersoalkan mengingat dalam UU No. 20 Tahun 1961 juga perlu diatur tentang pencabutan hak atas tanah dalam keadaan darurat.

10.Surat Edaran Kepala Staf Penguasa Perang Tertinggi tanggal 4 Februari 1961 No. 025/ Peperti/ 1961 tentang pengambilan tanah untuk mendirikan asrama, perluaan ahalam perumahan, jalan, dll.

(45)

12.Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria tanggal 3 Februari 1975 No. 12/108/12/75 tentang pelaksanaan pembebasan tanah. Ketentuan ini sebagai penjelasan dari berbagai PMDN No. 15/1961.

13.Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria Tanggal 28 Februari 1976 No.BTU 2/568/2-76 tentang PMDN No. 15/1975 tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembabsan hak atas tanah.

14.Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahu 1976 tanggal 5 April 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah untuk kepentingan Pemerintah bagi Pembebasan Tnaah untuk kepentingan swasta. Melalui ketentuan ini telah diberlakukan PMDN No. 15/ 1975 yang hanya dierlakuakn untuk kepentingan pemerintah juga diberlakukan bagi pembebasan tana untuk kepentingan swasta. 15.Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tanggal 19 Oktoer 1976 No. SJ 16/10/41

tentang PMDN No. 15/1975 tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah dan PMDN No.2/ 1976 untuk kepentingan pemerintah bagi pemebasan tanah oleh swasta.

16.Keputusan Presiden RI tanggal 6 Januari 1970 No. 2 Tahun 1970 tentang pencabutan hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya yang terletak dibagian kecamatan Taman Sari Jakarta. Keputusan Presiden ini adalah merupakan satu-satunya Keputusan Presiden yang pernah dikeluarkan dalam rangka Pelaksanaan UU No.20 Tahun 1961.

17.Surat Edaran Direktur Jenderal Agraria tanggal 19 Desember 1969 No. BA/12/91/69 tentang Pemberian hak atas tanah yang haknya semula telah dibebaskan oleh pemohon.

(46)

prosedur/Tata cara dalam kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan Hankam/ABRI.

19.Surat Edaran Direktur Jenderal Agraria tanggal 26 Juli 1978 No. BTU. 7/720/7-8 tentang pelaksanaan Instruksi Menhankam No. INS/10/VI/1978.

20.Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria tanggal 31 Januari 1978 Nomor Btu. 1/581/1/78 tentang biaya administrasi atau biaya operasional Panitia Pembebasan Tanah berdasarkan Permendagri No. 15 Tahun 1975.

21.Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria tanggal 9 Oktober 1978 nomor Btu. 10/178/10-78 tentang Pembelian Tanah untuk kepentingan pemerintah.

22.Surat Edaran Bersama Menteri Keuangan dari Menteri Dalam Neger tanggal 1 Mei 1980 No. SE-1.35/DJA/VII./5/80 dan Btu 5/169/5-1980 tentang peningkatan aktivitas Panitia Pembebasan Tanah untuk kepentinga pemerintah.

23.Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tanggal 7 September 1981 No.11.1/7944/AGR tentang larangan penggunaan personal ABRI untuk pelaksanaan pembebasan tanh/ pengosongan tanah milik rakyat.

24.Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tanggal 22 Desember 1982 No. 593. 82/5030/ Agr tentang Pengolahan/penyiapan pemberian izin prinsip dalam rangka pencadangan dan pembesan tanah untuk keprluan proyek-proyek pembangunan. 25.Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria Departemen Keuangan tanggal 13 Juni

1984 No. S-347/PJ.241/1984 tentang PPh atas biaya ganti rugi Pembebasan Tanah dan cara pemotongan PPh pasal 22.

(47)

27.Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria tanggal 2 Agustus 1985 No. 590/4236/Agr tentang tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan proyek pembangunan di wilayah kecamatan.

28.Surat Edaran Direktorat Jenderal Anggaran tanggal 3 Agustus 1985 No. SE-51/A/1985 tentang Pengadaan Tanah sampa dengan 5 Ha untuk proyek Pembangunan.

29.Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pekerjaan Umum tanggal 5 November 1984 No.77 Tahun 1984 dan 431/Kpt/1984 tentang tata cara pelaksanaan inventarisasi dan pengukuran dalam rangka pembebasan Tanah Proyek Departemen Pekerjaan Umum.

30.Keptusan Menteri Pekerjaan Umum No. 467/Kpts/1985 tentang petunjuk pelaksanaan tata cara pengadaan tanah untuk keperluan proyek pembangunan di wilayah Kecamatan dan lingkungan Departemen Pekerjaan Umum.

31.Surat Edaran Kepala BPN tanggal 15 Desember 1990 No. 580-2-574-DIII tentang biaya administrasi dan biaya operasional Panitia Pembebasan Tanah berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975. Ketentuan ini adalah merupakan satu peraturan baru yang dikeluarkan mengenai pembeasan tanah setelah terbentuknya BPN tahun 1988.

32.Surat Edaran Kepala BPN tanggal 6 desember 1990 No. 580. 2-5568-DIII tentang pembentukan Tim pengawasan dan pengendalian pembebasan tanah untuk keperluan swasta.

33.Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 disebutkan tentang pencabutan Hak Atas Tanah.

(48)

Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaiman telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

35.Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentigan Umum.

36.Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengadaan

Tanah untuk Kepentingan Umum dari Tahapan Perencanaan, Tahapan Persiapan,

Tahapan Pelaksanaan, sampai Penyerahan Hasil.

Peraturan-peraturan ini perlu diteliti dan dikaji lebih bijaksana dan saksama lagi, baik yang menyangkut tingkat sinkronisasinya secara vertikal dan horizontal, tingkat efektivitas fungsi dan peranannya dalam menunjang pelaksanaan pembangunan dan sebagainya.

2.4. Gambaran Umum Dalam Pengadaan Tanah Jalan Arteri Bandara Kualanamu.

a. Perencanaan Pembangunan Bandara Kualanamu.

Bandar Udara Internasional Kualanamu adalah Bandar Udara yang terletak di Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Bandara ini terletak 39 km dari kota Medan. Bandara ini adalah Bandara terbesar kedua di Indonesia setelah Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. Lokasi Bandara ini dulunya bekas areal perkebunan PT Perkebunan Nusantara II Tanjung Morawa yang terletak di Kecamatan Beringin, Deli Serdang, Sumatera Utara. 32

Pembangunan Bandara ini dilakukan untuk menggantikan Bandar Udara Internasional Polonia yang sudah berusia 85 tahun. Bandara Kualanamu diharapkan dapat menjadi

32

(49)

pangkalan transit internasional untuk kawasan Sumatera dan sekitarnya. Selain itu, adanya kebijakan untuk melakukan pembangunan Bandara Internasional Kualanamu adalah karena keberadaan Bandar Udara Internasional Polonia di tengah kota Medan yang mengalami keterbatasan Operasional dan sulit untuk dapat dikembangkan serta kondisi fasilitas yang tersedia di Bandar Udara Polonia sudah tidak mampu lagi menampung kebutuhan pelayanan angkutan udara yang cenderung terus meningkat.

Pemindahan bandara ke Kualanamu telah direncanakan sejak tahun kunjungan kerja ke Medan oleh demi keselamatan penerbangan, bandara akan dipindah ke luar kota. Pada tahun 1992 dilakukan studi pemilihan lokasi Bandar Udara Baru sebagai pengganti Bandar Udara Polonia oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, dimana terhadap 6 (enam) alternative lokasi di Propinsi Sumatera Utara yang berada di kawasan Kualanamu, Pantai Cermin & Hamparan Perak (masing-masing dua lokasi). Dengan memperhatikan 6 (enam) aspek sebagai berikut: 33

33

a. Rencana Tata Ruang Wilayah; b. Pertumbuhan Ekonomi;

c. Kelayakan ekonomis, teknis, operasional, lingkungan dan usaha angkutan udara; d. Keamanan dan keselamatan penerbangan;

e. Keterpaduan intra dan antar moda; dan f. Pertahanan keamanan Negara;

(50)

Dari hasil studi pemilihan lokasi tersebut, maka terpilih 2 (dua)alternatif lokasi Bandar Udara Baru sebagai pengganti Bandar Udara Polonia yaitu di kawasan Kualanamudan Pantai Cermin (masing-masing satu lokasi). Tahun 1994 dilakukan studi pembuatan Master Plan & Basic Design Bandar Udara Baru sebagai pengganti Bandar Udara Polonia oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara terhadap 2 alternatif lokasi terpilih yaitu di kawasan Kualanamu & Pantai Cermin (masing-masing satu lokasi). Kemudian tahun 1995 telah ditetapan lokasi Bandar Udara Baru di Kualanamu sebagai pengganti Bandar Udara Polonia melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 41Tahun 1995 (21 September 1995) yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 66 Tahun 1996 (6 Nopember 1996). Sejak keluarnya putusan menteri tersebut maka dimulai proses pembebasan lahan lokasi Bandar Udara Baru Kualanamu seluas 1.365 Ha oleh PT. Angkasa Pura II (Persero) selaku BUMN penyelengara bandar umum.

Persiapan pembangunan diawali pada Plan & Basic DesignFasilitas Sisi Darat Bandar Udara Baru Kualanamu oleh PT. Angkasa Pura II (Persero). Pencanangan membangun Bandara Baru Kualanamu dengan sistem “Ruislag” (tukar guling dengan Bandar Udara Polonia), pada saat itu sudah ada investor yang berminat yaitu konsorsium PT. Citra Lamtoro Gung Persada. 34

Namun

rencana pembangunan ditunda. Terkait terjadinya krisis ekonomi pada era pemerintahan Orde Baru, maka status pembangunan Bandar Udara Baru Kualanamu “Ditangguhkan Pelaksanaannya” melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1997 pada tanggal 20 September 1997.

Kemudian terjadi perubahan status pembangunan Bandar Udara Baru Kualanamu “Untuk Diteruskan Pelaksanaannya”melalui Keppres Nomor 47 Tahun 1997 pada tanggal 1

Referensi

Dokumen terkait