PRODUKTIVITAS SERASAH DAN LAJU DEKOMPOSISI DI
KEBUN CAMPUR SENJOYO SEMARANG JAWA TENGAH
SERTA UJI LABORATORIUM ANAKAN MAHONI
(
Swietenia macrophylla
King ) PADA BERAGAM DOSIS
KOMPOS YANG DICAMPUR EM4
Sita Kurniasari
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan behwa tesis Produktivitas Serasah Di Kebun
Campur Senjoyo Semarang Jawa Tengah, Laju Dekomposisi Dan Pengaruh
Komposnya Dicampur EM4 Terhadap Uji Laboratorium Anakan Mahoni
(Swietenia macrophylla King) adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicamtumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini
Bogor, Juli 2009
Sita Kurniasari
SITA KURNIASARI. Productivity of Litter and the Rate of Decomposition in Mixed Garden of Senjoyo, Semarang, Central Java which is Followed by Laboratory Test on Media of Compost and EM4 to the Growth of Mahagony (Swietenia macrophylla King) Seedling. Under direction Dede Setiadi and Muhadiono
Productivity of plant litter is some materials such as leaves, branches, flowers and fruits which are fall on the surface ground at certain period per unit area. These litter are decomposed and the result is needed to maintain soil quality and may increase nutrient stock and others chemical compounds of soil to sustain the plant growth. The composition of plant species in mixed garden Senjoyo based on quadrate method analysis, is dominated by mahagony (Swietenia macrophylla) for tree stage with Important Value Index ( IVI) is61.87%. While for pole stage is dominated by coffee (Coffea arabica) with IVI 64.61%, and the sapling stage is dominated by the same species of tree stage with IVI 33.72 % . Furthermore the seedling stage is dominated by coffee (Coffea arabica) with IVI 27.99%. The highest coverage of underground species is ceplikan ( Synedrella nodiflora ) with IVI 37.02 %. The productivity of litter is 405.33 g/m2/week or 211.2 ton/ha/year. The average lost of litter weight is 0.63 gram/week which is mean 2.78 % weight lost / week. However, the highest lossing weight was in the first week, which is equal to 2.37 gram. The media combination between compost and EM4 as planting media has high significant effects to height and number of leaves of mahagony seedling. It has significant effects to leaf area index, fresh weight and dry weight seedling biomass, but it does not have significant effects to diameter . The best media is 20 % combination of compost and EM4 as planting media which has average value similar to 50% combination of compost and EM4.
SITA KURNIASARI. Produktivitas Serasah Dan Laju Dekomposisi Di Kebun Campur Senjoyo Semarang Jawa Tengah Serta Uji Laboratorium Anakan Mahoni (Swietenia macrophylla King) Pada Beragam Dosis Kompos Yang Dicampur EM4 . Dibimbing oleh Dede Setiadi dan Muhadiono
Ketersediaan unsur hara penting bagi pertumbuhan vegetasi tanaman secara normal. Ketersediaan unsur hara yang cukup dan seimbang diindikasikan oleh perbedaan produksi serasah, dekomposisi serasah dan kehilangan air tanah melalui infiltrasi air ke dalam tanah. Pengembalian unsur hara oleh tanaman ke tanah pada dasarnya berhubungan dengan produktivitas serasah dan dekomposisi sehingga tercipta siklus unsur hara yang stabil. Penelitian ini bertujuan mengkaji produktivitas dan laju dekomposisi serasah kebun campur Senjoyo Semarang Jawa Tengah dan membuktikan pengaruh kompos serasah yang dicampur EM4 dari kebun campur Senjoyo Semarang Jawa Tengah sebagai media tanam terhadap pertumbuhan anakan Swietenia macrophylla King (mahoni) di rumah kaca.
Metode penelitian anasilis vegetasi menggunakan metode kuadrat digunakan untuk analisis tumbuhan fase pohon, fase tiang, fase sapihan, dan fase anakan. Metode garis menyinggung digunakan untuk analisis tumbuhan penutup tanah dengan panjang transek 30m. Metode pengumpul produktivitas serasah menggunakan litter trap pengambilan serasah dilakukan setiap satu minggu sekali selama 16 minggu. Metode pengumpulan data laju dekomposisi menggunakan 16 kantung serasah diletakkan ditanah kebun campur Senjoyo setiap satu minggu sekali. Metode Pengomposan serasah menggunakan EM4 proses dekomposisi serasah dilaksanakan selama 30 hari.
Hasil penelitian menunjukkan komposisi vegetasi dominan kebun campur Senjoyo berdasarkan metode kuadrat fase pohon didominasi mahoni (Swietenia macrophylla King) INP sebesar 61.87 %, fase tiang didominasi kopi (Coffea arabica L) INP sebesar 64.61 %, fase sapihan didominasi mahoni (Swietenia macrophylla King) INP sebesar 33.72 %, dan fase anakan didominasi kopi (Coffea arabica L) INP sebesar 27.99 %. Tumbuhan penutup tanah didominasi ceplikan (Synedrella nodiflora L(Gaertn)) INP sebesar 37.07 %.
Total produktivitas serasah selama 16 minggu 405.33 gr/m2/minggu (211.2 ton/ha/th). Laju Dekomposisi Serasah menunjukkan rata-rata penurunan bobot sebesar 0.63 gram dengan rata-rata laju dekomposisi serasah 2.78 % / 1 minggu. Laju penurunan bobot serasah serasah tertinggi terjadi pada minggu ke 1 sebesar 2.37 gram .
Pemberian dosis kompos yang dicampur EM4 pada media tanam berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan jumlah daun mahoni, serta berpengaruh nyata terhadap indeks luas daun, bobot basah tajuk, dan bobot kering tajuk mahoni, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap diameter pada tingkat kepercayaan 95% dan 99%. Dosis terbaik kompos yang dicampur EM4 pada media tanam adalah dosis 20% yang memiliki nilai rataan satu kisaran dengan dosis 50% pada hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya tulis ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik,
atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
PRODUKTIVITAS SERASAH DAN LAJU DEKOMPOSISI DI
KEBUN CAMPUR SENJOYO SEMARANG JAWA TENGAH
SERTA UJI LABORATORIUM ANAKAN MAHONI
(
Swietenia macrophylla
King) PADA BERAGAM DOSIS
KOMPOS YANG DICAMPUR EM4
Sita Kurniasari
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Mayor Biologi Tumbuhan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Campur Senjoyo Semarang Jawa Tengah Serta Uji Laboratorium Anakan Mahoni (Swietenia macrophylla King)
Pada Beragam Dosis Kompos Yang Dicampur EM4 Nama Mahasiswa : Sita Kurniasari
NRP : G353070171
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. H. Dede Setiadi, M.S Dr. Ir. Muhadiono, M.Sc ( Ketua ) ( Anggota )
Diketahui
Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Biologi Tumbuhan
Dr. Ir. Miftahudin. M.Si Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:
24 Juli 2009
PRAKATA
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT karena berkat
karunia dan bimbinganNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
tesis. Tesis dengan judul Produktivitas Serasah Dan Laju Dekomposisi Di Kebun
Campur Senjoyo Semarang Jawa Tengah Serta Uji Laboratorium Anakan Mahoni
(Swietenia macrophylla King) Pada Beragam Dosis Kompos Yang Dicampur
EM4 , dimulai bulan Agustus 2008 samapai dengan Februari 2009.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
Prof. Dr. Ir. H. Dede Setiadi, MS dan Dr. Ir I. Muhadiono, M.Sc, sebagai komisi
pembimbing, penulis menyampaikan banyak terimakasih atas bimbingan, arahan,
dan saran dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan
kepada suamiku, ayah, ibu, dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Bogor, Juli 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Surakarta pada tanggal 16 April 1973 sebagai anak
kedua pasangan Syuhada dan Niek Purwanti. Pendidikan sarjana ditempuh di
Pendidikan MIPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Biologi
Universitas Muhammadiyah Surakarta dan lulus pada tahun 1997.
Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar di Madrasah Aliyah Negeri 2
Surakarta sejak tahun 1997 sampai sekarang. Pada tahun 2007 penulis
mendapatkan beasiswa pendidikan dari Departemen Agama untuk melanjutkan
pendidikan ke Pascasarjana Program Studi Biologi Tumbuhan Institut Pertanian
Bogor.
Pada tahun 1998 menikah dengan Eko Supriyadi, M.Pd dan dikaruniai
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL... vi
DAFTAR GAMBAR... vii
DAFTAR LAMPIRAN... viii
PENDAHULUAN... 1
Latar Belakang... 1
Perumusan Masalah ... 2
Tujuan Penelitian... 2
Manfaat Penelitian... 3
Hipotesis ... 3
TINJAUAN PUSTAKA ... 4
Kebun Campur ... 4
Pengertian Serasah ... 4
Produktivitas Serasah ... 5
Faktor Yang Mempenga\ruhi Produktivitas Serasah... 6
Dekomposisi Serasah ... 7
Faktor yang Mempengaruhi Dekomposisi Serasah... 8
Laju Dekomposisi Serasah ... 9
Effective Mikroorganisme( EM4 ) ... 11
Biologi Swietenia macrophylla King ( mahoni )... 13
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN... 15
METODE PENELITIAN ... 16
Waktu dan Tempat Penelitian ... 16
Bahan dan Alat ... 16
Metode Penelitian ... 16
Metode Pengumpulan Data Laju Dekomposisi... 18
Metode Pengomposan Serasah dengan EM4... 19
Percobaan Kompos Terhadap Fase Anakan Swietenia macrophylla ( mahoni)... 20
Parameter Yang Diukur... 20
Analisis Kimia Media Tanam... 21
Analisis Data ... 21
Analisis Data Vegetasi Dengan Metode Kuadrat ... 21
Analisis Data Tumbuhan Bawah Dengan Metode Garis menyinggung... ... 22
Analisis Data Produktivitas Serasah... 23
Analisis Data Laju Dekomposisi ... 23
Analisis Data Pengaruh Kompos... 24
HASIL DAN PEMBAHASAN... 25
Struktur Dan Komposisi Vegetasi... 25
Produktivitas Serasah... 27
Laju Dekomposisi Serasah... 31
Analisis Kompos Dengan Campuran EM4 dan Media Tanam 33 Pengaruh Kompos Serasah dengan EM4 Terhadap Fase Anakan Mahoni... 35
KESIMPULAN DAN SARAN………... 46
Kesimpulan ………... 46
Saran... 46
DAFTAR PUSTAKA... 47
Halaman
1. Tiga spesies paling dominan berdasarkan analisis vegetasi
metode kuadrat di kebun campur Senjoyo... 25
2. Lima spesies paling dominan berdasarkan analisis tumbuhan
penutup tanah metode garis menyinggung di kebun campur
Senjoyo... 26
3. Total produktivitas serasah setiap komponen selama 16
Minggu... 28
4. Hasil analisis kompos dengan campuran EM4 di kebun
campur Senjoyo... 33
5. Hasil analisis media tanam mahoni ( Swietenia
macrophylla King )... 34
6 Uji BNT tingkat kepercayaan 99% pengaruh dosis terhadap
tinggi mahoni……….……… 36
7. Uji BNT tingkat kepercayaan 99% pengaruh dosis terhadap
jumlah daunmahoni……….. 39
8. Uji BNT tingkat kepercayaan 99% pengaruh dosis terhadap
Indeks Luas Daun mahoni………..………. 41
9. Uji BNT tingkat kepercayaan 99% pengaruh dosis terhadap
bobot basah ... 43
Halaman
1. Peta Kabupaten Semarang, untuk O Lokasi Penelitian... 15
2. Metode kuadrat dengan ukuran A ( 20mx20m ) untuk fase pohon, B ( 10mx10m ) untik fase tiang, C ( 5mx5m ) untuk fase sapihan, dan D ( 2mx2m ) untuk fase anakan... 17
3. Metode garis menyinggung dengan panjang transek 30 m dan panjang interval 1m... 17
4. Penampungan serasah dengan litter trap... 18
5. Kantung serasah untuk mengukur laju dekomposisi... 19
6. Perubahan serasah selama 16 Minggu... 19
7. Tegakan mahoni (Swietenia macrophylla King)... 26
8. Tanaman Kopi (Coffeaarabica L )... 27
9. Ceplikan ( Synedrella nodiflora L(Gaertn) )... 27
10 . Produktivitas Serasah kebun campur Senjoyo Selama 16 Minggu (g/m 2/mg)... .... 28
11. Laju Dekomposisi serasah di kebun campur Senjoyo selama 16 minggu... ... 31
12. Rata – rata tinggi tanaman mahoni 12 MST... 35
13. Rata – rata diameter tanaman mahoni 12 MST... 38
14. Rata – rata jumlah daun tanaman mahoni 12 MST... ... 39
15. Rata – rata indeks luas daun tanaman mahoni 12 MST …… …… .. 40
16. Rata – rata bobot basah tajuk tanaman mahoni 12 MST... 43
Halaman
1.
Hasil Analisis Vegetasi Fase Pohon... 522.
Hasil Analisis Vegetasi Fase Tiang... 523. Hasil Analisis Vegetasi Fase Sapihan... 53
4. Hasil Analisis Vegetasi Fase Sapihan... 53
5. Hasil Analisis Tumbuhan Penutup Tanah... 54
6. Data Produktivitas Serasah Daun Selama 16 Minggu ( gr/m2/minggu)... 55
7. Data Produktivitas Serasah Cabang/Ranting Selama 16 Minggu ( gr/m2/minggu)………... 56
8. Data Produktivitas Serasah Bunga/Buah Selama 16 Minggu ( gr/m2/minggu) ………... 57
9. Data Produktivitas Serasah Kulit Selama 16 Minggu ( gr/m2/minggu)... 58
10. Laju dekomposisi serasah di kebun campur Senjoyo selama 16 Minggu... 59
11. Data Tinggi Mahoni ( Swietenia macrophylla King ) ( gram )... 60
12 Data Diameter Batang Mahoni... 61
13. Data Jumlah Daun Mahoni... 62
14 Data Indeks Luas Daun Mahoni... 63
15. Data Bobot Basah Tajuk Mahoni... 63
16. Data Bobot Kering Tajuk Mahoni... 63
17. Hasil Analisis Ragam Tinggi Mahoni pada Tingkat Kepercayaan 95%... 64
18. Hasil Analisis Ragam Tinggi Mahoni pada Tingkat Kepercayaan 99%... 64
19. Hasil Analisis Ragam Diameter Mahoni pada Tingkat Kepercayaan 95%... 65
Kepercayaan 99%... 66
22. Hasil Analisis Ragam ILD Mahoni pada Tingkat Kepercayaan 95%.. 66
23. Hasil Analisis Ragam ILD Mahoni pada Tingkat Kepercayaan 99%.... 67
24. Hasil Analisis Ragam Bobot Basah Tajuk Mahoni pada Tingkat
Kepercayaan 95%... 67
25. Hasil Analisis Ragam Bobot Basah Tajuk Mahoni pada Tingkat
Kepercayaan 99%... 68
26. Hasil Analisis Ragam Bobot Kering Tajuk Mahoni pada Tingkat
Kepercayaan 95%... 68
27. Hasil Analisis Ragam Bobot Kering Tajuk Mahoni pada Tingkat
Kepercayaan 99%... 69
28. Data Curah Hujan Kebun Campur Senjoyo Pada Bulan
Latar Belakang
Kebun campur merupakan perpaduan dari berbagai jenis tanaman, atau
perpaduan tanaman bermanfaat asal hutan dengan tanaman khas pertanian dalam
sistem ini terdapat berbagai pohon, semak dalam satu areal tanah tertentu.
Kebun campur Senjoyo terletak di Desa Senjoyo Kecamatan Tengaran Kabupaten
Semarang Propinsi Jawa Tengah, merupakan salah satu ekosistem yang
mempunyai kemampuan untuk mengakumulasi unsur hara dalam biomassa,
kemudian menjadi serasah yang selanjutnya menjadi humus melalui proses
humifikasi. Lapisan serasah mempunyai peranan penting dalam pemeliharaan
produktivitas ekosistem, diantaranya dapat mencegah erosi dan menjaga struktur
tanah dengan demikian memberikan kesempatan air meresap kedalam permukaan
tanah. Serasah terurai menjadi unsur hara yang tersedia di dalam tanah untuk
menjamin kelangsungan pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan tanaman sangat
dipengaruhi oleh kesuburan tanah. Kesuburan tanah banyak dipengaruhi oleh flora
dan fauna sebagai komponen biotik, iklim mikro, bahan induk dan sebagainya.
Ketersediaan unsur hara penting bagi pertumbuhan tanaman secara
normal. Hilangnya beberapa unsur hara dari daerah perakaran akan menyebabkan
kesuburan tanah merosot sehingga tanah tidak mampu mendukung pertumbuhan
tanaman secara normal. Ketersediaan unsur hara yang cukup dan seimbang
diindikasikan oleh perbedaan produksi serasah, dekomposisi serasah dan
kehilangan air tanah melalui infiltrasi air ke dalam tanah. Pengembalian unsur
hara oleh tanaman ke tanah berhubungan dengan produktivitas serasah dan proses
dekomposisi sehingga tercipta siklus unsur hara yang stabil.
Dekomposisi serasah merupakan proses perubahan bahan organik yang
berasal dari hewan atau tumbuhan, baik secara fisik maupun kimia menjadi
senyawa anorganik (mineral) oleh mikroorganisme tanah. Kecepatan proses
dekomposisi tergantung kondisi lingkungan, jenis tanaman, komposisi bahan
kimia tanaman dan umur tanaman. Manfaat yang dihasilkan berupa nutrisi untuk
Proses dekomposisi pada penelitian ini menggunakan tambahan aktivator
berupa EM4. EM4 mempercepat waktu pengomposan sampai 50% lebih cepat.
Pengaruh hasil pengomposan serasah dengan EM4 dapat digunakan sebagai
campuran media tanam terhadap pertumbuhan fase anakan mahoni (Swietenia
macrophylla King), salah satu tanaman yang banyak tumbuh di kebun campur
Senjoyo.
Perumusan Masalah
Serasah merupakan bagian organ tumbuhan yang mati dan terdapat di
lapisan atas pada permukaan tanah. Serasah merupakan biomassa tumbuhan
ditemukan di atas permukaan tanah sebagai bahan organik yang mengandung
unsur hara dan mempengaruhi kesuburan tanah. Jumlah serasah yang jatuh
dipermukaan tanah pada periode waktu tertentu per satuan luas areal disebut
produktivitas serasah. Seberapa besar produktivitas serasah dapat dipengaruhi
oleh jenis pohon dominannya, sehingga untuk mengetahui jenis dominan pada
suatu ekosistem diperlukan analisis vegetasi hingga diperoleh indeks nilai penting.
Serasah mengalami dekomposisi yang dilakukan oleh mikroba tanah sehingga
mempercepat tersedia kandungan unsur hara tanah bagi tumbuhan.
Dalam penelitian ini diteliti seberapa besar produktivitas serasah
dan laju dekomposisi di kebun campur Senjoyo Semarang Jawa Tengah, serta
mengetahui dosis terbaik kompos serasah yang dicampur EM4 terhadap
pertumbuhan anakan mahoni (Swietenia macrophylla King) yang diuji pada
kondisi laboratorium .
Tujuan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :
1. Mengkaji produktivitas dan laju dekomposisi serasah kebun campur
Senjoyo Semarang Jawa Tengah.
2. Membuktikan pengaruh kompos serasah yang dicampur EM4 dari kebun
campur Senjoyo Semarang Jawa Tengah sebagai media tanam terhadap
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Memberi informasi tentang produktivitas dan laju dekomposisi serasah
kebun campur Senjoyo Semarang Jawa Tengah.
2. Memberi informasi pengaruh kompos serasah yang dicampur EM4 dari
kebun campur Senjoyo Semarang Jawa Tengah sebagai media tanam
terhadap pertumbuhan anakan mahoni (Swietenia macrophylla King )
di rumah kaca.
3. Memberi masukkan kepada instansi terkait dalam rangka pengelolaan yang
tepat dalam memanfaatkan kebun campur Senjoyo Semarang Jawa
Tengah.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Produktivitas dan laju dekomposisi serasah mempengaruhi ketersediaan
unsur hara di kebun campur Senjoyo Semarang Jawa Tengah.
2. Pertumbuhan anakan mahoni (Swietenia macrophylla King) dipengaruhi
oleh dosis kompos serasah yang dicampur EM4 dari kebun campur
Kebun Campur
Taufik (2002) menyatakan bahwa kebun campur yang ditanam dengan
pola agroforestry pada umumnya terdiri dari berbagai macam tanaman setahun
(sayuran dan pangan) yang dikelilingi oleh bambu atau pohon dan lokasinya
biasanya agak jauh dari rumah. Singkong, jagung, kacang tanah dan jenis
polong-polongan merupakan jenis yang banyak ditanam. Selain tanaman kehutanan yang
dapat dimanfaatkan kayunya, jenis pepohonan yang banyak ditanam adalah
buah-buahan.
Sistem kebun Campur yang kompleks (Complex Agroforestry System)
merupakan persekutuan dari banyak komponen misalnya ; ada pohon, liana,
semak yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Sistem kebun campur merupakan
perpaduan dari berbagai jenis tanaman, dalam sistem ini terdapat berbagai
pohon, semak dalam satu areal tanah tertentu (Michon 1991).
Pengertian Serasah
Serasah adalah lapisan tanah bagian atas yang terdiri dari bagian tumbuhan
yang telah mati seperti guguran daun , ranting dan cabang, bunga dan buah, kulit
kayu serta bagian lainnya, yang menyebar di permukaan tanah di bawah hutan
sebelum bahan tersebut mengalami dekomposisi (Dephut 1997).
Menurut Nasoetion (1990), serasah adalah lapisan teratas dari permukaan
tanah yang mungkin terdiri atas lapisan tipis sisa tumbuhan. Spurr dan Burton
(1980) mengemukakan bahwa serasah merupakan bahan organik yang berasal dari
tumbuhan atau hewan yang terdapat diatas permukaan tanah dan tersusun oleh
bahan-bahan yang sudah mati. Selanjutnya Kornas dan Medweka (1970)
mengemukakan bahwa serasah adalah segala satuan material mati berada pada
lapisan permukaan tanah, terutama sumber dari jatuhan organ tumbuhan, dimana
material mati yang masih berdiri seperti pohon, cabang yang belum jatuh, tidak
termasuk kedalam istilah ini.
Soerianegara (1964), mengemukakan bahwa serasah yang jatuh
dipermukaan tanah merupakan bagian dari tumbuhan yang telah mati dan belum
serasah dijadikan sebagai salah satu faktor yang dapat dipakai untuk mengetahui
nilai produktivitas primer netto. Serasah berfungsi sebagai penyimpanan air
sementara secara berangsur akan melepaskan ke tanah bersama dengan bahan
organik berbentuk zarah yang larut, memperbaiki struktur tanah, dan menaikkan
kapasitas penyerapan (Arief 1994).
Produktivitas Serasah
Produktivitas serasah adalah jumlah serasah yang jatuh ke lantai hutan
pada periode tertentu per satuan luas arel tertentu (Dephut 1997). Hilwan (1993),
menambahkan bahwa produktivitas serasah adalah jumlah serasah yang jatuh
diatas permukaan tanah dalam periode tertentu dinyatakan dalam ton/ha/th atau
g/m2 /th atau kg/ha/th.
Menurut Soerianegara (1964), pengukuran produktivitas serasah dapat
dinyatakan dalam berbagai satuan. Dalam kehutanan , produksi hutan dinyatakan
dalam m3 atau m3 / ha, sedangkan dalam ekologi, produksi diukur pada suatu saat dan disebut biomassa dinyatakan dalam satuan bobot per satuan luas, misalnya
g/m2 atau kg/ha. Sedangkan produktivitas serasah hutan biasanya diukur per tahun dengan satuan kg/ha/th atau g/m2/hari.
Daun merupakan kategori serasah terbesar, diikuti ranting, buah, dan
bunga (Strojan, Turner dan Castetter 1979). Sekitar 70 % dari total serasah di
permukaan tanah berupa serasah daun. Komposisi dan besarnya produksi serasah
sangat bervariasi dari tahun ke tahun. Oleh karena itu dibutuhkan waktu studi
yang cukup lama agar diperoleh data yang baik (Waring dan Schlesinger 1985 ).
Sedangkan Deshmukh (1992), mengatakan bahwa dari waktu ke waktu
produktivitas serasah tidak seragam, komponen membentuk lapisan serasah
tumbuhan tidak homogen, tersusun atas campuran organ tumbuhan seperti 72 %
daun, 16 % kayu dan 7 % bunga dan buah. Produksi rata-rata serasah per tahun
tertinggi dalam hutan tropis dan berangsur menurun menurut garis lintangnya,
hingga hutan boreal di daerah kutub, produksi serasah tahunannya paling rendah
Produktivitas serasah pada suatu ekosistem hutan untuk menduga
sumbangan bahan organik yang berguna bagi kesuburan tanah lingkungan
sekitarnya (Odum 1971). Studi mengenai produktivitas digunakan untuk
membandingkan suatu ekosistem hutan yang berbeda melalui ukuran produksi
serasah. Tujuan utamanya untuk menyediakan informasi dasar dalam memahami
serasah, karbon dan siklus nutrisi dalam ekosistem hutan sesuai dengan fungsinya.
Melalui pendugaan produktivitas pada berbagai tingkat, perilaku perpindahan
biomassa dapat dijelaskan dan pengaruh faktor luar, seperti musim kemarau,
penghujan, banjir atau pemupukan dalam perpindahan biomassa pada sistem yang
bervariasi dapat dievaluasi. Produktivitas tidak hanya menyediakan informasi
tentang bagaimana ekosistem hutan bereaksi terhadap berbagai perlakuan, tetapi
juga memahami perilaku adaptasi dan integrasi komunitas terhadap
lingkunganya (Spurr dan Burton 1980).
Faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas Serasah
Faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi serasah suatu ekosistem
adalah iklim, topografi, sifat tanah, letak geografi, air, dan ketinggian dari
permukaan laut (Odum 1971). Selain itu produktivitas serasah juga dipengaruhi
umur pohon, kualitas tempat tumbuh serta kerapatan tegakan dan tumbuhan
bawah (Spurr dan Burton 1980).
Jenis penyusunan, tingkat kerapatan pohon, dan luas bidang dasar
suatu tegakan diketahui akan berpengaruh terhadap produktivitas serasah suatu
tegakan Dephut (1997). Adanya perubahan produktivitas serasah dari tahun ke
tahun menurut Sallata et. al (1990 ), disebabkan oleh adanya perbedaan struktur
dan komposisi pepohonan dalam masing-masing petak. Produktivitas serasah
akan meningkat dan mencapai maksimum pada musim kemarau dan menurun
pada musim hujan. Hal ini terjadi karena pada musim kemarau persaingan
diantara tanaman dan antar organ dalam satu tanaman untuk mendapatkan cahaya
matahari sehingga akan menyebabkan terjadinya efisiensi dalam proses
Faktor lain yang mempengaruhi produktivitas serasah menurut Bray dan
Gorham (1964 ), adalah:
1. Tipe hutan, dimana hutan gymnospermae lebih banyak menggugurkan
serasah dibanding hutan angiospermae walaupun hutan angiospermae
cenderung menduduki lahan yang lebih subur.
2. Kondisi lingkungan seperti iklim, derajat lintang, ketinggian, kesuburan
tanah dan kelembaban tanah.
3. Sistem pengelolaan hutan seperti hutan alam, hutan tanaman, pengaruh
kerapatan pohon dan luas bidang dasar serta penjarangan.
4. Faktor waktu seperti variasi musim dan umur tegakan.
Dekomposisi Serasah
Waring dan Schlesinger (1985), mengemukakan istilah dekomposisi
digunakan untuk menerangkan proses yang dialami oleh bahan organik, yaitu
proses sejak dari perombakan dan penghancuran bahan organik menjadi partikel
yang lebih kecil dan menjadi unsur hara terlarut, hingga tersedia dan dapat diserap
tanaman kembali. Dekomposisi adalah istilah untuk menjelaskan perubahan yang
terjadi dalam biokimia, wujud fisik, dan bobot bahan organik. Para ahli ekologi
sangat menaruh perhatian yang besar terhadap proses dekomposisi serasah dalam
hubungannya dengan daur hara dan kesuburan tanah. Hal ini disebabkan
perombakan serasah sangat berpengaruh terhadap ketersediaan unsur hara, dan
ketersediaan unsur hara lain sangat menentukan pertumbuhan pohon dan produksi
kayu (Thaiutsa dan Granger 1979).
Menurut Satchell (1974), dekomposisi diartikan sebagai pemisahan secara
mekanik struktur tumbuhan mati mulai dari tahap masih terikat pada tumbuhan
hidup sampai menjadi humus yang struktur selnya tidak berbentuk, karena terjadi
pemecahan molekul organik kompleks menjadi karbondioksida, air dan komponen
mineral. Dekomposisi terbentuk melalui proses fisika dan kimia yang mereduksi
secara kimia bahan organik mati pada vegetasi dan binatang. Dekomposisi bahan
organik hutan mempunyai dua tahap proses. Pertama, ukuran partikel dari bagian
bunga ke batang dari pohon yang besar dipecah menjadi bagian yang lebih kecil
organik direduksi dan dimineralisasi untuk melepaskan unsur dasar dari protein,
karbohidrat, lipid, dan mineral yang dapat dikonsumsi, diserap oleh organisme
atau dihanyutkan oleh sistem (Golley 1983).
Mason (1977), membagi proses dekomposisi menjadi tiga, yaitu pelindian
(leaching), pelapukan (weathering) dan aktivitas biologi. Ketiga proses tersebut
berlangsung secara stimulan. Leaching adalah mekanisme hilangnya bahan yang
dapat larut dari serasah atau detritus organik oleh hujan atau aliran air. Weathering
adalah mekanisme pelapukan oleh faktor fisik, seperti pengikisan oleh angin, es
atau pergerakan gelombang. Aktivitas biologi adalah proses yang
menghasilkan pecahan bahan organik (detritus) secara bertahap oleh mahluk
hidup. Mahluk hidup yang melakukan dekomposisi dikenal sebagai dekomposer,
pengurai atau saproba. Proses dekomposisi sebagian besar adalah proses biologi
yang dilakukan oleh organisme dan mikroorganisme, sehingga kecepatan
dekomposisi sangat dipengauhi oleh aktivitas organisme dan mikroorganisme
tersebut (Fisher dan Binkley 2000).
Menurut Mason (1977), memberikan batasan berbeda antara dekomposisi
dan penghancuran serasah. Penghancuran serasah diartikan sebagai tahapan dalam
proses dekomposisi, berupa kehilangan berat dari materi (organik) yang sering
kali terukur dalam percobaan (misalnya kehilangan berat daun) dan umumnya
berupa penghancuran jaringan berukuran besar menjadi pertikel-pertikel kecil.
Faktor Yang Mempengaruhi Dekomposisi Serasah
Faktor yang mempengaruhi dekomposisi menurut Manan (1978) adalah
keadaan lingkungan selalu basah dan lembab serta suhu yang selalu tinggi
sepanjang tahun. Keadan tersebut menyebabkan proses dekomposisi serasah hutan
berlangsung sangat cepat, sehingga proses humifikasi (pembentukan humus)
segera dilanjutkan dengan mineralisasi.
Menurut Anderson dan Swift (1983), proses dekomposisi (D) sangat
ditentukan oleh tiga variabel yaitu (1) organisme pengurai (O, terdiri dari hewan
dan mikroorganisme), (2) kualitas serasah (Q, karakter bahan organik yang
menentukan kemampuan untuk dilapukkan), dan (3) lingkungan fisik-kimia (P,
dari organisme pengurai, kualitas serasah, dan lingkungan fisik kimia. D = f (O,
Q, P)
Whitmore (1984) mengemukakan peran makrofauna sebagai organisme
penghancur sangat penting. Berbagai jenis hewan tersebut memecah serasah
menjadi partikel kecil sehingga luas permukaan menjadi lebih besar dan akibatnya
penguraian serasah oleh bakteri dan fungi menjadi lebih mudah.
Faktor dominan yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam
perombakan dan penguraian serasah adalah jenis tanaman dan iklim. Efek
terhadap jenis tanaman terhadap mikroflora ditentukan oleh sifat fisik dan
kimia daun, yang keduanya tercermin dalam C/N rasio (Thaiutsa 1979).
Menurut Sutedjo et.al (1991), proses dekomposisi bahan tumbuhan
dipengaruhi oleh kandungan lignin dan lilin dalam tumbuhan, suplai nitrogen,
kondisi lingkungan, aerasi tanah, kemelimpahan mikroorganisme, dan suhu udara.
Pengomposan merupakan proses dekomposisi terkendali secara biologis terhadap
limbah padat organik dalam kondisi aerobik (terdapat oksigen) atau anaerobik
(tanpa oksigen). Bahan organik akan diubah hingga menyerupai tanah. Kondisi
terkendali tersebut mencakup rasio karbon dan nitrogen (C/N), kelembaban, pH,
dan kebutuhan oksigen. Prinsib pengomposan merupakan nilai rasio C/N bahan
organik menjadi sama dengan rasio C/N tanah. Rasio C/N adalah hasil
perbandingan antara karbohidrat dan nitrogen yang terkandung di dalam suatu
bahan. Nilai rasio C/N tanah adalah 10-12. Bahan organik yang memiliki rasio
C/N sama dengan tanah memungkinkan bahan tersebut dapat diserap oleh
tanaman (Nan Djuarnani et.al 2008).
Laju Dekomposisi Serasah
Kecepatan dekomposisi bahan organik secara umum bergantung kualitas
dan umur organik itu sendiri (Godshalk dan Wetzel 1978; Westrich dan Berner
1984). Kecepatan dekomposisi serasah daun dan proses menyatu ke dalam tanah
mineral bergantung pada kondisi fisik dan jenis tumbuhan. Pada komunitas
tumbuhan tertentu produksi serasah tinggi dan kecepatan pelapukan lambat.
Dalam hal ini serasah terakumulasi pada permukaan tanah sampai kedalaman
membutuhkan waktu beberapa minggu bahkan ada yang sampai bertahun-tahun
(Spurr dan Burton 1980).
Menurut Thaiutsa (1979), pada suhu tanah sedang (30 0C) dan kelembaban tanah antara 60–80 %, laju dekomposisi bahan organik mencapai
tingkat tertinggi. Peningkatan atau penurunan suhu dan kelembaban secara
serentak, memperlambat laju dekomposisi bahan organik. Kecepatan / laju
dekomposisi sisa tanaman tergantung pada susunan kimia. Sebagai hasil serangan
berbagai mikroorganisme, jaringan sisa tanaman kehilangan hubungan, dan sisa
tanamam menjadi tidak stabil sehingga terjadi penurunan bobot dan
volume (Konova 1961).
Selama 10 sampai 14 hari, hampir semua kehilangan bobot serasah daun
terjadi oleh proses fisik yang menyebabkan karbon organik terlarut (Dissolved
Organic Carbon) tercuci. Diketahui bahwa sekitar 30% samapai 50% bahan
organik serasah daun hilang dengan cara seperti ini dan sisanya yaitu karbohidrat
seperti selulosa tidak larut. Bahan ini selanjutnya diuraikan dengan bantuan enzim
ekstraseluler yang dihasilkan bakteri atau fungi. Satu diantara berbagai macam
substrat yang banyak terurai di awal proses dekomposisi adalah tanin. Keberadaan
tanin pada serasah daun menghambat pertumbuhan bakteri, serasah daun yang
mengalami dekomposisi dan menyebabkan kandungan tanin berkurang (Gonzales
Farias dan Mee 1988).
Dix dan Webster (1995), mengatakan lama dekomposisi serasah daun
berhubungan dengan kandungan fenol besar dan nisbah C : N besar sehingga
membuat serasah tidak disukai dan tidak dimanfaatkan sebagai makanan oleh
hewan tanah. Pada percobaan bahan makanan, cacing tanah (earthworm)
ternyata lebih menyukai daun dengan tingkat polifenol kecil dan nisbah C : N
kecil, pada daun ini tekstur lebih halus dan lebih kuat .
Dekomposisi maksimum terjadi selama pasokan nitrogen, karbon dan
unsur hara penting lainnya (terutama fosfor) yang terdapat pada substrat atau
tanah berlimpah (Moore Landecker 1990). Produk akhir dihasilkan oleh
mikroorganisme pelapuk (microbial devac) daun adalah ” humus ” secara
fermentasi. Humus adalah campuran kompleks sisa polimer fenol yang berasal
dari tumbuhan berkombinasi dengan karbohidrat dan bahan nitrogen tumbuhan,
hewan dan mikroba (microbial origin). Kandungan nitrogen adalah sekitar 5 %
dan sekitar 30 % kandungan karbohidrat dapat diuraikan menjadi gula C6 dan C5.
Humus yang stabil mempunyai kandungan fenol besar dapat menghambat
pertumbuhan mikroba (Dix dan Webster 1995).
Dekomposisi menjadi sempurna ketika campuran bahan organik
dikembalikan ke lingkungan dalam bentuk anorganik atau bentuk mineral, yaitu
karbon dalam bentuk karbondioksida, nitrogen dalam bentuk amonia dan fosfor
dalam bentuk fosfat (Moore Landecker 1990).
Effective Mikroorganisme (EM4)
Teknologi penggunaan EM4 pertama kali dikembang oleh profesor Terou
Higa guru besar Universitas Ryukyus Jepang sejak 1980. Anggraeni dan Suharti
(2000) menyatakan penerapan teknologi EM4 di Indonesia di mulai tahun 1990,
percobaan pada skala kecil membuktikan bahwa EM4 dapat meningkatkan
produksi tanaman jeruk nipis, padi, sayur-sayuran, anggur, dan beberapa jenis
bunga.
Higa dan Wididana (1994), menyatakan EM4 merupakan kultur campuran
dari mikroorganisme menguntungkan bagi pertumbuhan dan produksi tanaman,
dapat dimanfaatkan dalam bidang peternakan. EM4 mampu mempercepat
dekomposisi bahan organik dan meningkatkan ketersediaan hara tanaman serta
telah diterapkan pada berbagai jenis tanaman dan kondisi tanah. EM4 mampu
meningkatkan dan memperbaiki kualitas produksi tanaman, melindungi tanaman
dari serangan hama dan penyakit, meningkatkan klorofil dan fotosintesis serta
meningkatkan efisiensi fiksasi N2. Higa (1993) menyatakan EM4 merupakan
kultur yang mengandung lima jenis mikroorganisme utama yaitu : bakteri
fotosintetik, bakteri asam laktat, Actinomycetes, ragi dan jamur fermentasi yang
bekerja secara sinergis.
Mikroorganisme alami yang terdapat dalam EM4 bersifat fermentasi
(Rhodopseudomonas sp.), jamur fermentasi (Saccharomyces sp.), bakteri asam
laktat (Lactobacillus sp.), dan Actinomycetes. EM4 merupakan biofertilizer yang
diaplikasi sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman dan populasi
mikroorganisme di dalam tanah. EM4 mampu mempercepat dekomposisi limbah
dan sampah organik, meningkatkan ketersediaan nutrisi tanaman, dan menekan
aktivitas mikroorganisme patogen. Selain itu EM4 juga dapat digunakan untuk
membersihkan air limbah, serta meningkatkan kualitas air pada tambak udang dan
ikan (Indriani 1999).
Bakteri fotosintetik merupakan bakteri yang dapat mensintesis senyawa
nitrogen, dan gula. Jamur fermentasi berfungsi untuk memfermentasi bahan
organik menjadi senyawa-senyawa organik (dalam bentuk alkohol, gula, dan asam
amino) yang siap diserap oleh perakaran tanaman. Bakteri asam laktat terutama
golongan Lactobacillus sp berfungsi untuk memfermentasi bahan organik menjadi
senyawa asam laktat yang dapat diserap oleh tanaman. Actinomycetes merupakan
bakteri yang tumbuh dalam bentuk miselium (filamen berbentuk jalinan benang).
Actinomycetes berfungsi mengambil asam amino dan zat yang dihasilkan oleh
jamur fermentasitif dan mengubahnya menjadi antibiotik yang bersifat toksik
terhadap patogen atau penyakit serta dapat melarutkan ion-ion fosfat dan ion-ion
mikro lainnya. Streptomyces sp menghasilkan enzim streptomisin yang berguna
bagi tanaman. Mikroorganisme yang terdapat dalam EM4 dapat bekerja efektif
menambah unsur hara apabila bahan organik dalam keadaan cukup. Bahan
organik tersebut merupakan bahan makanan dan sumber energi. Dalam
penggunaan EM4 memerlukan dedak sekitar 10% dari jumlah bahan. Sebagai
sumber makanan bakteri maka pada tahap awal diperlukan molase atau gula
sebanyak 0,1% dari jumlah bahan (Indriani 1999).
Menurut Lopez (2000), bakteri asam laktat merupakan golongan
mikroorganisme yang bermanfaat karena sifatnya tidak toksik bagi inang dan
mampu menghasilkan senyawa yang dapat membunuh mikroorganisme patogen.
Sesuai dengan namanya bakteri asam laktat menghasikan asam laktat sebagai
hasil metabolismenya yang sangat bermanfaat dalam menghambat pertumbuhan
memproduksi metabolik sekunder seperti asam hidroksi peroksida, diasetil,
ammonia, asam lemak, dan bakteriosin yang dapat menjadi penghambat bagi
bakteri patogen. Produksi bakteriosin dapat menghambat perkembangan bakteri
patogen (Wiryawan dan Anita 2001). Bakteriosin merupakan senyawa protein
bersifat bakteridal terhadap mikroorganisme (bakteri) ditinjau dari segi genetiknya
berdekatan dengan mikroorganisme penghasil bekteriosin, sehingga bakteriosin
akan terdegradasi dalam pencernaan manusia maupun hewan (Wiryawan dan
Anita 2001).
Mekanisme kerja bakteri asam laktat yang dikemukakan oleh Lopez
(2000), yaitu menekan kemampuan hidup mikroorganisme patogen karena mampu
memproduksi komponen antibakteria seperti hidroksi peroksida dan asam organik
seperti asam laktat. Asam laktat yang dihasilkan berguna untuk menurunkan pH.
Beberapa mekanisme kerja yang dilakukan oleh asam laktat sebagai probiotik,
yaitu : 1) berkompetisi dengan mikroorganisme patogen untuk mendapatkan
nutrisi dan tempat tinggal, 2) menjaga keseimbangan ekosistem melalui penjagaan
pH lingkungan agar tetap berada dalam kondisi asam, sehingga perkembangan
bakteri patogen terhambat, 3) menyediakan kebutuhan enzim yang mampu
mencerna serat kasar, protein, lemak dan karbohidrat, 4) mendektosifikasi zat
baracun dalam tubuh, 5) mampu menstimulasi kekebalan tubuh dengan cara
meningkatkan konsentrasi dari antibodi imunoglobulin (Lopez 2000).
BiologiSwietenia macrophylla King (Mahoni).
Mahoni ( Swietenia macrophylla King ) merupakan salah satu jenis pohon
yang dijadikan prioritas utama dalam rangka pembangunan hutan buatan (Manan
1978). Selain itu pohon mahoni merupakan tanaman hutan kota biasa dijadikan
sebagai tanaman peneduh jalan. Jenis mahoni yang tumbuh pada zona lembab
menyebar luas secara alami atau dibudidayakan. Jenis asli berasal dari Meksiko
(Yucatan), bagian tengah dan utara Amerika Selatan (wilayah Amazon).
Penanaman mahoni jenis ini secara luas terutama di Asia bagian selatan dan
Pasifik, juga dikenal di Afrika Barat dan di Indonesia jenis ini tersebar di Jawa
Swietenia macrophylla King ( mahoni ) diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Kelas : Dikotiledonae
Ordo : Rutales
Famili : Meliaceae
Sub Famili : Swietenidae
Genus : Swietenia
Spesies : Swietenia macrophylla King
Mahoni tergolong tanaman tahan naungan (tolerance species) mampu
bersaing dengan alang-alang ataupun semak belukar dalam memperoleh sinar
matahari, sehingga cocok untuk tanaman reboisasi di areal alang-alang rapat.
Daun mahoni umumnya berselang-seling majemuk menyirip, majemuk berganda
atau terkadang tunggal, tidak memiliki titik terang kalau dihadapkan terhadap
sinar matahari (pelload duts) dan tidak memiliki daun penumpu
(stipullate), karena sifat daunnya sukar terbakar maka cocok digunakan sebagai
jenis tanaman reboisasi di areal alang-alang yang peka terhadap bahaya
kebakaran. Pohon mahoni mencapai tinggi 35 m, tajuknya rapat dan lebar serta
daun berwarna hijau tua. Kulit kelabu gelap, beralur, mengelupas, cabang atau
ranting coklat kelabu, kuncup besar, tertutup oleh sisik tebal berwarna coklat
muda dengan ujung berlipat, sering kali berresin, daun tua gugur dengan warna
buram tidak berbulu (Samingan 1982).
Selanjutnya Martawijaya (1981), kulit batang pohon mahoni mengandung
tannin dapat berfungsi sebagai antipyretic, tonic, dan astringent. Mahoni banyak
digunakan sebagai bahan baku kayu lapis (veneer) yang mewah. Serat kayu
cukup indah memberikan lukisan garis khas pada sayatan kayu, memiliki berat
jenis rata-rata 0,61 tergolong kelas awet III dan kelas kuat II-III, dengan kayu
keras berwarna coklat kemerahan. Selain digunakan sebagai veneer, mahoni
digunakan untuk bahan bangunan, meubel, lantai, papan dinding, rangka pintu,
dan kerajinan lainya. Buah mahoni dapat digunakan sebagai bahan
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Lokasi penelitian merupakan kebun campur yang terletak di desa Senjoyo
kecamatan Tengaran, kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Daerah ini terletak pada
ketinggian 725 m dari permukaan laut. Luas wilayah kebun campur sekitar 346
280 ha yang terdiri dari tanah sawah dengan luas sekitar 73 140, irigasi teknis
luasnya 63 000 ha, irigasi setengah teknis dengan luas 6 000 ha dan tanah kering
dengan luas sekitar 268 850 ha, pekarangan/perumahan 221 640 ha, tegalan 51
350 ha. Temperatur udara rata-rata 30 oC. Curah hujan 800 mm/th.
Pada wilayah tersebut terdapat berbagai jenis vegetasi yang tumbuh antara
lain, pohon mahoni (Swietenia macrophylla King), beringin (Ficus benjamina L),
kenari (Canarium commune L), lansep (Lansium domesticum Var), Kokosan
(Lansium domesticum Corr), kopi (Coffeaarabica L), waru (Hibiscus tiliacius L) ,
tanjung (Mimusop elingi L), sengon (Albizia falcata Back), aren (Arenga pinnata
Merr), kelapa (Cocos nucifera L). Tumbuhan penutup tanah didominasi oleh
ceplikan (Synedrella nodiflora L(Gaertn)), luluhan kebo( Panicum palmifolium
Willd), Nampu (Homalomena occulta Lour), paku (Dryopteris fillimaxs L), dan
tembelekan (Lantana camara Linn).
sita
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2008 sampai dengan
Februari 2009. Penelitian dilakukan di rumah kaca Departemen Silvikultur
Fakultas Kehutaan Institut Pertanian Bogor.
Analisis vegetasi dilakukan pada lahan kebun campur Senjoyo Kabupaten
Semarang Jawa Tengah. Analisis tanah, media tanam, dan kompos di lakukan
di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah Dan Sumber Daya Lahan Fakultas
Pertanian IPB.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah serasah dari kebun campur Senjoyo
Semarang Jawa Tengah. Tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah
bibit mahoni (Swietenia macrophylla King) yang berumur satu bulan dan EM4.
Alat yang digunakan pada penelitian ini pita meter, kompas, tali, golok,
kamera, perlengkapan herbarium (sasak, kertas koran, kantong plastik, dan
alkohol), litter – trap (alat penampung serasah) yang terbuat dari kain kasa/nylon
berukuran 1m x 1m, litter bag (kantong serasah) dari kasa plastik berukuran
30cm x 30 cm, timbangan digital, oven, polibag, penggaris, termometer, jangka
sorong dan alat tulis.
Metode Pengambilan Data
Metode Pengumpulan Data Vegetasi :
Penentuan plot dilakukan secara purposive random sampling (bertujuan)
dan sistematik, jumlah plot yang digunakan 10. Menurut Mueller et.al (1974),
metode kuadrat digunakan untuk analisis tumbuhan fase pohon, fase tiang, fase
sapihan, dan fase anakan dengan luasan kuadrat yang telah ditentukan
sebelumnya berdasarkan Kurva Spesies Area. Luasan petak 20x20 m untuk fase
pohon, ukuran 10x10m untuk fase tiang, ukuran 5x5m untuk fase sapihan, dan
ukuran 2x2m untuk fase anakan (Oosting 1956).Tiap petak ditulis nama spesies,
jumlah spesies, diameter pohon. Analisis vegetasi dilakukan untuk menentukan
Gambar 2 Metode kuadrat dengan ukuran A (20mx20m) untuk fase pohon, B (10mx10m) untik fase tiang, C (5mx5m) untuk fase sapihan, dan D (2mx2m) untuk fase anakan.
Metode garis menyinggung (Line intercept) digunakan untuk analisis
tumbuhan penutup tanah dengan panjang transek 30m (Mueller et.al 1974). Jalur
transek dibagi ke dalam interval-inteval, tiap interval berukuran 1 meter. Spesies
yang tersinggung garis transek baik yang terletak di atas maupun di bawah garis
tersebut merupakan jenis yang diamati dan dicatat datanya. Data yang tercatat dari
masing-masing jenis individu adalah berupa pengukuran panjang transek yang
terpotong (Intercept, I) dan lebar maksimum tajuk tumbuhan yang diproyeksikan
ke dalam transek (Maksimum Width, M) (Setiadi 1989).
Gambar 3 Metode garis menyinggung dengan panjang transek 30 m dan panjang interval 1m.
Metode Pengumpulan Data Produktivitas Serasah
Prosedur pengukuran produktivitas serasah adalah sebagai berikut :
a. Kegiatan pengambilan serasah dilakukan setiap satu minggu sekali selama
16 minggu.
A B
C D
b. Serasah yang tertampung dalam litter-trap berbentuk bujur sangkar
berukuran 1m x 1m, direkatkan dengan menggunakan paku. Litter-trap
dipasang pada ketinggian 50 cm dari tanah. Jumlah litter-trap yang
dipasang pada tiap plot 4 buah. Serasah yang tertampung dalam litter-trap
dipisah berdasarkan komponen serasah yang meliputi komponen (a) daun,
(b) ranting/cabang, (c) bunga dan buah (alat reproduksi), (d) kulit pohon.
c. Setiap komponen serasah ini dibungkus kertas untuk dikeringkan dalam
oven pada suhu 750 C hingga konstan, kemudian ditimbang. Jumlah produksi serasah dinyatakan dalam satuan g/m2 /minggu. (Soerianegara 1964).
Gambar 4 Penampungan serasah dengan litter trap
Metode Pengumpulan Data Laju Dekomposisi
a. Kantung serasah dengan pori ukuran diameter 1.5 mm, diisi dengan
serasah kering sebanyak 40 gram.
b. 16 Kantung serasah yang telah diisi serasah diletakkan di lantai tanah,
sehingga kantung serasah dapat langsung menyentuh tanah. Untuk
menjaga agar kantung serasah tidak berpindah maka diikat pada patok
bambu.
c. Setiap satu minggu sekali diambil satu kantung.
Gambar 5 Kantung serasah untuk menmgukur laju dekomposisi
Gambar 6 Perubahan serasah selama 16 Minggu
Metode Pengomposan serasah
Prosedur pengomposan serasah adalah sebagai berikut:
a. Pengambilan serasah pada lapisan bawah (serasah berwarna hitam)
sebanyak 50 kg. .
b. Proses pengomposan dilakukan di kebun campur Senjoyo dengan
menggunakan petak tanah ukuran 1,5 m x 1,5 m.
c. Effective Microorganisms (EM 4) 50cc, 5 lt molase, yang dilarutkan
dengan 25 l air secara rata, didiamkan selama 24 jam, disemprot secara
rata pada campuran 50 kg serasah yang telah dicampur dengan 5 kg dedak
kelembaban setiap satu minggu sekali dilakukan pembalikan lapisan
serasah.
e. Proses dekomposisi serasah dilaksanakan selama 30 hari (Ruskandi
2006).
Percobaan Pengaruh Kompos Terhadap Semai mahoni (Swietenia
macrophylla) King.
Penanaman menggunakan bibit mahoni (Swietenia macrophylla King)
hasil persemaian selama satu bulan, selanjutnya dipindahkan ke dalam polibag
yang sudah diisi media tanam yang dicampur dengan hasil kompos serasah EM4,
dengan perlakuan perbandingan komposisi sebagai berikut 0%(kontrol) ,10%,
20%, 30%, 40%, dan 50%
Parameter Yang Diukur
Pengamatan tanaman dilakukan selama 12 minggu setelah tanam .
Parameter yang diamati adalah tinggi batang tanaman (TT), diameter batang
(DB), dan jumlah daun (JD). Pada akhir pengamatan parameter yang diamati
adalah Indeks Luas Daun (ILD) dan biomassa tanaman: bobot basah tajuk (BBT)
dan bobot kering tajuk (BKT).
Metode pengukuran parameter adalah :
1. Tinggi Tanaman (TT).
Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang sampai dengan ujung batang
dengan satuan cm menggunakan penggaris dilakukan setiap 1 minggu
sekali.
2. Diameter Batang (DB)
Diameter batang diukur tepat 5 cm dari pangkal batang menggunakan
jangka sorong dengan satuan mm dilakukan 1 minggu sekali
3. Jumlah Daun (JD)
Jumlah daun dihitung setiap 1 minggu sekali.
4. Indeks Luas Daun (ILD)
Indeks Luas Daun diukur dengan menggunakan rumus :
LD
Kering Tajuk (BKT). Pengeringan tajuk untuk perhitungan bobot kering
dilakukan pada oven dengan suhu 750 C sampai konstan (Salisbury dan Roos 1995).
Analisis Kimia Media Tanam
Analisis kimia tanah, media tanam, dan kompos dilakukan di
Laboratorium Departemen Ilmu Tanah Dan Sumber Daya Lahan Fakultas
Pertanian IPB, meliputi analisis sifat fisik tanah, unsur hara, dan tekstur tanah.
Dominansi Mutlak (DM) jenis i
Dominansi Mutlak (DM) jenis i
DM(i) = Total panjang intersepsi oleh jenis i
Dominansi Relatif (DR) jenis i
Nilai tengah ( rata-rata ) produktivitas serasah per plot setiap pengamatan dengan
rumus :
Analisis Data Laju Dekomposisi a. Penurunan bobot didapat dengan rumus :
Wo - Wt
Pengukuran pengaruh kompos ini rancangan percobaan yang digunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) perlakuan yang diberikan adalah komposisi
media tanam (tanah dengan kompos serasah dengan menggunakan EM4) dengan
enam level perlakuan 0% (kontrol), 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50%.
Masing-masing perlakuan tiga kali ulangan. Model yang digunakan untuk
Yij = Pertumbuhan semai mahoni pada perlakuan ke i dan ulangan ke j
µ = Rerata umum
i = Pengaruh perlakuan ke i
εij = Pengaruh galat perlakuan ke i dan ulangan ke j
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis menggunakan
analisis ragam (Uji F) pada tingkat kepercayaan 95% dan 99%. Setelah data
di analisis, data interaksinya di uji lanjut dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT)
Struktur Dan Komposisi Vegetasi
Komposisi vegetasi yang mendominasi kebun campur Senjoyo
berdasarkan metode kuadrat adalah mahoni (Gambar 6) untuk fase pohon dengan
INP 61.87% dan fase sapihan dengan INP 33.72%. Kopi (Gambar 7)
mendominasi fase tiang dengan INP 64.61% dan fase anakan dengan INP 27.99%.
Jenis lainnya yang kodominan pada fase pohon, tiang, sapihan dan anakan secara
berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 1 sampai Tabel 4.
Tabel 1 Tiga spesies dominan berdasarkan analisis vegetasi metode kuadrat di kebun campur Senjoyo.
No Fase Nama Jenis Nama Daerah INP(%) 1 Pohon Swietenia macrophylla King Mahoni 61.87
Ficus benjamina L Beringin 41.64 Canarium commune L Kenari 27.18
Jenis lainnya 169.31
Total 300
2 Tiang Coffea arabica L Kopi 64.61
Lansium domesticum Var Lansep 40.19 Swietenia macrophylla King Mahoni 39.67
Jenis lainnya 155.53
Total 300 3 Sapihan Swietenia macrophylla King Mahoni 33.72
Ficus benjamina L Beringin 31.25
Coffea arabica L Kopi 21.28
Jenis lainnya 113.75
Total 200 4 Anakan Coffea arabica L Kopi 27.99
Hibiscus tiliacius L Waru 24.44 Swietenia macrophylla King Mahoni 20.73
Jenis lainnya 126.84
Tabel 2 Lima spesies dominan berdasarkan analisis tumbuhan penutup tanah metode garis menyinggung di kebun campur Senjoyo
No Nama Spesies Nama Daerah INP(%)
1 Synedrella nodiflora L Ceplikan 37.02
2 Panicum palmifolium Willd Luluhan Kebo 31.19
3 Homalomena occulta Lour Nampu 31.16
4 Dryopteris fillimaxs L Paku 23.11
5 Lantana camara Linn Tembelekan 19.19
Jenis lainnya 158.33
Total 300
Tabel 2 terlihat tumbuhan penutup tanah yang mendominasi pada kebun
campur Senjoyo berdasarkan metode garis menyinggung adalah ceplikan (Gambar
8) dengan INP 37.02 %. Jenis lainnya yang kodominan pada tumbuhan penutup
tahan berturut turut adalah luluhan kebo dengan INP 31.19 % dan nampu
dengan INP
31.16 % . Hasil analisis tumbuhan penutup tanah menunjukkan jumlah jenis yang
ada 22 jenis.
Gambar 8 Tanaman Kopi (Coffeaarabica L)
Gambar 9 Ceplikan (Synedrella nodiflora L(Gaertn))
Produktivitas Serasah
Produktivitas serasah setiap komponen pada kebun campur Senjoyo
Tabel 3 Total produktivitas serasah tiap komponen selama 16 Minggu . presentase tertinggi dibanding komponen lain. Produktivitas serasah komponen
daun 311.04 g/m2/mg (162.1 ton/ha/th) dengan presentase 76.74%, produktivitas serasah komponen cabang/ranting sebesar 39.31 g/m2/mg (20.5 ton/ha/th) dengan presentase 9.70%, produktivitas serasah komponen bunga/buah sebesar 38.91
g/m2/mg (20.2 ton/ha/th) dengan presentase 9.60%, dan produktivitas serasah terendah adalah komponen kulit sebesar 16.07 g/m2/mg (8.4 ton/ha/th) dengan presentase 3.96 %.
Gambar 9, terlihat produktivitas serasah tertinggi pada minggu ke 6
(periode 16 - 22 September 2008) sebesar 54.15 g/m2/mg, sedang terendah terjadi pada minggu ke 12 (periode 28-3 November 2008) sebesar 11.24 g/m2/mg.
Produktivitas Serasah Kebun Campur Senjoyo
Produktivitas serasah pada kebun campur Senjoyo disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain:
1. Jenis Tegakan
Adanya perbedaan jenis tegakan menyebabkan hasil produktivitas serasah
berbeda baik dalam jumlah, jenis komponen serasah maupun kualitas serasah
dalam satuan luas dan satuan waktu yang sama. Hasil penelitian menunjukkan
komponen serasah terbesar berasal dari tegakan mahoni terutama pada komponen
daun, hal ini disebabkan karena mahoni akan menggugurkan daun, pada akhir
musim kemarau biasanya terjadi pada bulan September – Oktober (Joker 2001)
masa penelitian berlangsung. Daun mahoni mempunyai sifat morfologi seperti
ukuran dan bentuk daun yang lebar dan tipis sehingga lebih mudah digugurkan
oleh kuatnya hembusan angin dan pukulan air hujan. Selain itu juga disebabkan
oleh sifat fisiologi dari daun itu sendiri. Mengingat daun memegang peranan
penting dalam proses fotosintesis yang menghasilkan karbohidrat, dimana daun
yang telah habis masa tugasnya dalam memproduksi makanan akan segera gugur
dan digantikan oleh daun muda.
Perlu diperhatikan, walaupun jenis tegakan sama belum tentu akan
menghasilkan produktivitas serasah yang sama. Serasah daun merupakan salah
satu komponen penyumbang serasah terbesar di banding dengan komponen
serasah lain seperti ranting, bunga, buah, dan kulit. Sekitar 70 % dari total serasah
di atas permukaan tanah berupa serasah daun. Komposisi dan besarnya produksi
serasah sangat bervariasi dari tahun ke tahun. Oleh karena itu dibutuhkan waktu
studi yang cukup lama agar diperoleh data yang baik (Waring dan Schlesinger
1985). Hasil penelitian menunjukkan total produktivitas serasah daun sebesar
76.74 %.
2. Umur Tegakan
Menurut Bray dan Gorham (1964) rata-rata produksi serasah bervariasi
bergantung perbedaan struktur vegetasi, usia, situasi geografi, dan perbedaan
iklim musiman. Umur tegakan mahoni pada kebun campur Senjoyo berkisar 10
sampai 15 tahun tergolong vegetasi muda. Umur tegakan muda menyebabkan
jatuhan serasah terutama serasah cabang/ranting tidak sesering jatuhan serasah
cabang/ranting jatuh dalam jumlah dan ukuran yang relatif besar pada waktu
tertentu tapi kadang jarang bahkan tidak ada sama sekali tertampung di dalam
trap. Kenyataan ini disebabkan oleh kondisi vegetasi masih muda dilihat dari
diameter yang relatif kecil, sehingga jarang dijumpai cabang/ranting jatuh. Selain
ada kecenderungan dari sifat fisiologi cabang/ranting yang kuat menempel pada
batang utama sehingga sulit untuk jatuh, hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian
dimana total produktivitas serasah cabang/ranting 39.31 g/m2/mg dengan presentase 9.70%.
Komponen serasah bunga dan buah dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa total produktivitas serasah komponen bunga dan buah 38.91 g/m2/mg dengan presentase 9.60%. Hasil produktivitas kecil disebabkan karena umur
tegakan masih muda dan perbedaan musim berbunga tiap tegakan.
Jatuhan komponen sarasah kulit pohon dipengaruhi oleh kondisi pohon
masih muda sehingga jarang dijumpai kulit pohon mengelupas atau dapat
disebabkan oleh keadaan cuaca panas sehingga kulit pohon agak sukar
mengelupas (lapuk). Hasil
penelitian menunjukkan total produktivitas serasah komponen kulit 16.07
g/m2/mg dengan presentase 3.96%. 3. Curah Hujan .
Menurut Sallata et. al (1990), produktivitas serasah akan meningkat dan
mencapai maksimum pada musim kemarau serta menurun pada musim hujan. Hal
ini disebabkan karena faktor lingkungan, salah satunya adalah curah hujan. Tetapi
curah hujan bukan merupakan faktor dominan yang mempengaruhi produktivitas
serasah. Hasil penelitian ini menunjukkan periode minggu ke 9 sampai dengan
minggu ke 16 di lokasi penelitian terjadi hujan dan produktivitas serasah kecil,
periode minggu ke 1 sampai dengan minggu ke 8 di lokasi penelitian tidak terjadi
hujan, produktivitas serasah tertinggi terdapat pada periode minggu ke 6. Hal ini
disebabkan karena pada musim kemarau terjadi persaingan antar tananam dan
antar organ dalam suatu tanaman untuk mendapatkan cahaya matahari, sehingga
menyebabkan terjadinya efisiensi dalam proses fotosintesis dan tanaman akan
31 Laju Dekomposisi Serasah
Berdasar hasil penelitian, setelah serasah didekomposisikan selama 16
minggu menunjukkan rata-rata penurunan bobot sebesar 0.63 g dengan rata-rata
laju dekomposisi serasah 2.78 % / 1 minggu. Laju penurunan bobot serasah
serasah tertinggi terjadi pada minggu ke 1 sebesar 2.37 g .
Laju dekomposisi serasah memiliki respon terhadap waktu dekomposisi.
Semakin lama waktu dekomposisi, semakin rendah laju dekomposisi serasah
perperiodenya. Berdasar Gambar 10 menunjukkan grafik laju penurunan bobot
serasah di kebun campur Senjoyo selama 16 minggu.
Penurunan Bobot Serasah (gram)
Hasil penelitian terlihat bahwa rata-rata penurunan bobot serasah sebesar
0.63 gram dengan rata-rata laju dekomposisi serasah 2.79 % / 1 minggu. Laju
penurunan bobot serasah dipengaruhi oleh :
1. Jenis Tanah.
Kebun campur Senjoyo mempunyai jenis tanah andosol kelabu tua dan
bertekstur debu. Pada minggu ke 1 sampai dengan minggu ke 8 pada lokasi
penelitian tidak terjadi hujan, dan kondisi cuaca panas, tanah andosol pada kondisi
cuaca panas akan mengeras sehingga kelembaban tanah turun akibatnya laju
dekomposisi lambat hal ini menyebabkan mikroorganisme tidak dapat
kondisi tersebut, dekomposisi terganggu karena mikroorganisme perombak
sangat membutuhkan air sebagai tempat hidup.
Pada minggu ke 9 sampai dengan minggu ke 12 pada lokasi penelitian
terjadi hujan, tanah andosol adalah tanah yang bertekstur debu (halus) pada saat
basah mempunyai kelekatan dan keliatan yang tinggi, drainase lambat, daya
menahan air kuat. Sehingga bila terjadi kenaikan curah hujan menyebabkan
kelembaban tanah meningkat akibatnya laju dekomposisi lambat, bila terjadi
kelebihan kandungan air akan menutupi rongga udara dalam tumpukan serasah
sehingga kadar oksigen akan berkurang.
2. Curah Hujan
Peran curah hujan dalam proses dekomposisi serasah tidak dominan. Hal
ini memberi gambaran bahwa terdapat faktor lingkungan lain yang sangat berjasa
dalam
kelangsungan dekomposisi. Di dalam ekosistem alam, seluruh faktor lingkungan
bekerja secara simultan dan berinteraksi secara rumit baik antar sesama faktor
lingkungan maupun dengan mahluk hidup.
Faktor waktu dalam pengukuran dekomposisi serasah berpengaruh
terhadap laju penghancuran serasah (Hilwan 1993). Karena faktor waktu disini
berkaitan sangat erat dengan faktor lingkungan, maka dapatlah dinyatakan bahwa
faktor lingkungan berpengaruh terhadap laju dekomposisi serasah. Faktor
lingkungan sangat beragam komponennya. Bila disederhanakan, menjadi 2
komponen besar, yaitu lingkungan di atas permukan tanah atau disebut juga iklim
(curah hujan), serta lingkungan di bawah permukaan tanah atau dikenal dengan
ekosistem tanah (sifat fisik kimia tanah dan mikroorganisme).
Dekomposisi terjadi akibat dari kegiatan jasad renik memperoleh energi
untuk keperluan hidupnya. Proses ini disebut oksidasi enzimatik, karena jasad
renik menghasilkan berbagai enzim yang diperlukan untuk kelangsungan proses
kimia yang spesifik. Berdasar keterangan tersebut jelas bahwa yang berperanan
sangat besar dalam dekomposisi serasah adalah mikroorganisme tanah atau jasad
renik, seperti bakteri, cendawan, ganggang, aktinomicetes, ganggang, nematoda,