• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produktivitas Serasah Dan Laju Dekomposisi Di Kebun Campur Senjoyo Semarang Jawa Tengah Serta Uji Laboratorium Anakan Mahoni (Swietenia macrophylla King) Pada Beragam Dosis Kompos Yang Dicampur E

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Produktivitas Serasah Dan Laju Dekomposisi Di Kebun Campur Senjoyo Semarang Jawa Tengah Serta Uji Laboratorium Anakan Mahoni (Swietenia macrophylla King) Pada Beragam Dosis Kompos Yang Dicampur E"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKTIVITAS SERASAH DAN LAJU DEKOMPOSISI DI

KEBUN CAMPUR SENJOYO SEMARANG JAWA TENGAH

SERTA UJI LABORATORIUM ANAKAN MAHONI

(

Swietenia macrophylla

King ) PADA BERAGAM DOSIS

KOMPOS YANG DICAMPUR EM4

Sita Kurniasari

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan behwa tesis Produktivitas Serasah Di Kebun

Campur Senjoyo Semarang Jawa Tengah, Laju Dekomposisi Dan Pengaruh

Komposnya Dicampur EM4 Terhadap Uji Laboratorium Anakan Mahoni

(Swietenia macrophylla King) adalah karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi

mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicamtumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

Bogor, Juli 2009

Sita Kurniasari

(3)

SITA KURNIASARI. Productivity of Litter and the Rate of Decomposition in Mixed Garden of Senjoyo, Semarang, Central Java which is Followed by Laboratory Test on Media of Compost and EM4 to the Growth of Mahagony (Swietenia macrophylla King) Seedling. Under direction Dede Setiadi and Muhadiono

Productivity of plant litter is some materials such as leaves, branches, flowers and fruits which are fall on the surface ground at certain period per unit area. These litter are decomposed and the result is needed to maintain soil quality and may increase nutrient stock and others chemical compounds of soil to sustain the plant growth. The composition of plant species in mixed garden Senjoyo based on quadrate method analysis, is dominated by mahagony (Swietenia macrophylla) for tree stage with Important Value Index ( IVI) is61.87%. While for pole stage is dominated by coffee (Coffea arabica) with IVI 64.61%, and the sapling stage is dominated by the same species of tree stage with IVI 33.72 % . Furthermore the seedling stage is dominated by coffee (Coffea arabica) with IVI 27.99%. The highest coverage of underground species is ceplikan ( Synedrella nodiflora ) with IVI 37.02 %. The productivity of litter is 405.33 g/m2/week or 211.2 ton/ha/year. The average lost of litter weight is 0.63 gram/week which is mean 2.78 % weight lost / week. However, the highest lossing weight was in the first week, which is equal to 2.37 gram. The media combination between compost and EM4 as planting media has high significant effects to height and number of leaves of mahagony seedling. It has significant effects to leaf area index, fresh weight and dry weight seedling biomass, but it does not have significant effects to diameter . The best media is 20 % combination of compost and EM4 as planting media which has average value similar to 50% combination of compost and EM4.

(4)

SITA KURNIASARI. Produktivitas Serasah Dan Laju Dekomposisi Di Kebun Campur Senjoyo Semarang Jawa Tengah Serta Uji Laboratorium Anakan Mahoni (Swietenia macrophylla King) Pada Beragam Dosis Kompos Yang Dicampur EM4 . Dibimbing oleh Dede Setiadi dan Muhadiono

Ketersediaan unsur hara penting bagi pertumbuhan vegetasi tanaman secara normal. Ketersediaan unsur hara yang cukup dan seimbang diindikasikan oleh perbedaan produksi serasah, dekomposisi serasah dan kehilangan air tanah melalui infiltrasi air ke dalam tanah. Pengembalian unsur hara oleh tanaman ke tanah pada dasarnya berhubungan dengan produktivitas serasah dan dekomposisi sehingga tercipta siklus unsur hara yang stabil. Penelitian ini bertujuan mengkaji produktivitas dan laju dekomposisi serasah kebun campur Senjoyo Semarang Jawa Tengah dan membuktikan pengaruh kompos serasah yang dicampur EM4 dari kebun campur Senjoyo Semarang Jawa Tengah sebagai media tanam terhadap pertumbuhan anakan Swietenia macrophylla King (mahoni) di rumah kaca.

Metode penelitian anasilis vegetasi menggunakan metode kuadrat digunakan untuk analisis tumbuhan fase pohon, fase tiang, fase sapihan, dan fase anakan. Metode garis menyinggung digunakan untuk analisis tumbuhan penutup tanah dengan panjang transek 30m. Metode pengumpul produktivitas serasah menggunakan litter trap pengambilan serasah dilakukan setiap satu minggu sekali selama 16 minggu. Metode pengumpulan data laju dekomposisi menggunakan 16 kantung serasah diletakkan ditanah kebun campur Senjoyo setiap satu minggu sekali. Metode Pengomposan serasah menggunakan EM4 proses dekomposisi serasah dilaksanakan selama 30 hari.

Hasil penelitian menunjukkan komposisi vegetasi dominan kebun campur Senjoyo berdasarkan metode kuadrat fase pohon didominasi mahoni (Swietenia macrophylla King) INP sebesar 61.87 %, fase tiang didominasi kopi (Coffea arabica L) INP sebesar 64.61 %, fase sapihan didominasi mahoni (Swietenia macrophylla King) INP sebesar 33.72 %, dan fase anakan didominasi kopi (Coffea arabica L) INP sebesar 27.99 %. Tumbuhan penutup tanah didominasi ceplikan (Synedrella nodiflora L(Gaertn)) INP sebesar 37.07 %.

Total produktivitas serasah selama 16 minggu 405.33 gr/m2/minggu (211.2 ton/ha/th). Laju Dekomposisi Serasah menunjukkan rata-rata penurunan bobot sebesar 0.63 gram dengan rata-rata laju dekomposisi serasah 2.78 % / 1 minggu. Laju penurunan bobot serasah serasah tertinggi terjadi pada minggu ke 1 sebesar 2.37 gram .

Pemberian dosis kompos yang dicampur EM4 pada media tanam berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan jumlah daun mahoni, serta berpengaruh nyata terhadap indeks luas daun, bobot basah tajuk, dan bobot kering tajuk mahoni, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap diameter pada tingkat kepercayaan 95% dan 99%. Dosis terbaik kompos yang dicampur EM4 pada media tanam adalah dosis 20% yang memiliki nilai rataan satu kisaran dengan dosis 50% pada hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT).

(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya tulis ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik,

atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan

kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

(6)

PRODUKTIVITAS SERASAH DAN LAJU DEKOMPOSISI DI

KEBUN CAMPUR SENJOYO SEMARANG JAWA TENGAH

SERTA UJI LABORATORIUM ANAKAN MAHONI

(

Swietenia macrophylla

King) PADA BERAGAM DOSIS

KOMPOS YANG DICAMPUR EM4

Sita Kurniasari

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Campur Senjoyo Semarang Jawa Tengah Serta Uji Laboratorium Anakan Mahoni (Swietenia macrophylla King)

Pada Beragam Dosis Kompos Yang Dicampur EM4 Nama Mahasiswa : Sita Kurniasari

NRP : G353070171

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. Dede Setiadi, M.S Dr. Ir. Muhadiono, M.Sc ( Ketua ) ( Anggota )

Diketahui

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Biologi Tumbuhan

Dr. Ir. Miftahudin. M.Si Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

24 Juli 2009

(8)
(9)

PRAKATA

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT karena berkat

karunia dan bimbinganNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan

tesis. Tesis dengan judul Produktivitas Serasah Dan Laju Dekomposisi Di Kebun

Campur Senjoyo Semarang Jawa Tengah Serta Uji Laboratorium Anakan Mahoni

(Swietenia macrophylla King) Pada Beragam Dosis Kompos Yang Dicampur

EM4 , dimulai bulan Agustus 2008 samapai dengan Februari 2009.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada

Prof. Dr. Ir. H. Dede Setiadi, MS dan Dr. Ir I. Muhadiono, M.Sc, sebagai komisi

pembimbing, penulis menyampaikan banyak terimakasih atas bimbingan, arahan,

dan saran dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan

kepada suamiku, ayah, ibu, dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih

sayangnya.

Bogor, Juli 2009

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surakarta pada tanggal 16 April 1973 sebagai anak

kedua pasangan Syuhada dan Niek Purwanti. Pendidikan sarjana ditempuh di

Pendidikan MIPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Biologi

Universitas Muhammadiyah Surakarta dan lulus pada tahun 1997.

Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar di Madrasah Aliyah Negeri 2

Surakarta sejak tahun 1997 sampai sekarang. Pada tahun 2007 penulis

mendapatkan beasiswa pendidikan dari Departemen Agama untuk melanjutkan

pendidikan ke Pascasarjana Program Studi Biologi Tumbuhan Institut Pertanian

Bogor.

Pada tahun 1998 menikah dengan Eko Supriyadi, M.Pd dan dikaruniai

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian... 2

Manfaat Penelitian... 3

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Kebun Campur ... 4

Pengertian Serasah ... 4

Produktivitas Serasah ... 5

Faktor Yang Mempenga\ruhi Produktivitas Serasah... 6

Dekomposisi Serasah ... 7

Faktor yang Mempengaruhi Dekomposisi Serasah... 8

Laju Dekomposisi Serasah ... 9

Effective Mikroorganisme( EM4 ) ... 11

Biologi Swietenia macrophylla King ( mahoni )... 13

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN... 15

METODE PENELITIAN ... 16

Waktu dan Tempat Penelitian ... 16

Bahan dan Alat ... 16

Metode Penelitian ... 16

(12)

Metode Pengumpulan Data Laju Dekomposisi... 18

Metode Pengomposan Serasah dengan EM4... 19

Percobaan Kompos Terhadap Fase Anakan Swietenia macrophylla ( mahoni)... 20

Parameter Yang Diukur... 20

Analisis Kimia Media Tanam... 21

Analisis Data ... 21

Analisis Data Vegetasi Dengan Metode Kuadrat ... 21

Analisis Data Tumbuhan Bawah Dengan Metode Garis menyinggung... ... 22

Analisis Data Produktivitas Serasah... 23

Analisis Data Laju Dekomposisi ... 23

Analisis Data Pengaruh Kompos... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN... 25

Struktur Dan Komposisi Vegetasi... 25

Produktivitas Serasah... 27

Laju Dekomposisi Serasah... 31

Analisis Kompos Dengan Campuran EM4 dan Media Tanam 33 Pengaruh Kompos Serasah dengan EM4 Terhadap Fase Anakan Mahoni... 35

KESIMPULAN DAN SARAN………... 46

Kesimpulan ………... 46

Saran... 46

DAFTAR PUSTAKA... 47

(13)

Halaman

1. Tiga spesies paling dominan berdasarkan analisis vegetasi

metode kuadrat di kebun campur Senjoyo... 25

2. Lima spesies paling dominan berdasarkan analisis tumbuhan

penutup tanah metode garis menyinggung di kebun campur

Senjoyo... 26

3. Total produktivitas serasah setiap komponen selama 16

Minggu... 28

4. Hasil analisis kompos dengan campuran EM4 di kebun

campur Senjoyo... 33

5. Hasil analisis media tanam mahoni ( Swietenia

macrophylla King )... 34

6 Uji BNT tingkat kepercayaan 99% pengaruh dosis terhadap

tinggi mahoni……….……… 36

7. Uji BNT tingkat kepercayaan 99% pengaruh dosis terhadap

jumlah daunmahoni……….. 39

8. Uji BNT tingkat kepercayaan 99% pengaruh dosis terhadap

Indeks Luas Daun mahoni………..………. 41

9. Uji BNT tingkat kepercayaan 99% pengaruh dosis terhadap

bobot basah ... 43

(14)

Halaman

1. Peta Kabupaten Semarang, untuk O Lokasi Penelitian... 15

2. Metode kuadrat dengan ukuran A ( 20mx20m ) untuk fase pohon, B ( 10mx10m ) untik fase tiang, C ( 5mx5m ) untuk fase sapihan, dan D ( 2mx2m ) untuk fase anakan... 17

3. Metode garis menyinggung dengan panjang transek 30 m dan panjang interval 1m... 17

4. Penampungan serasah dengan litter trap... 18

5. Kantung serasah untuk mengukur laju dekomposisi... 19

6. Perubahan serasah selama 16 Minggu... 19

7. Tegakan mahoni (Swietenia macrophylla King)... 26

8. Tanaman Kopi (Coffeaarabica L )... 27

9. Ceplikan ( Synedrella nodiflora L(Gaertn) )... 27

10 . Produktivitas Serasah kebun campur Senjoyo Selama 16 Minggu (g/m 2/mg)... .... 28

11. Laju Dekomposisi serasah di kebun campur Senjoyo selama 16 minggu... ... 31

12. Rata – rata tinggi tanaman mahoni 12 MST... 35

13. Rata – rata diameter tanaman mahoni 12 MST... 38

14. Rata – rata jumlah daun tanaman mahoni 12 MST... ... 39

15. Rata – rata indeks luas daun tanaman mahoni 12 MST …… …… .. 40

16. Rata – rata bobot basah tajuk tanaman mahoni 12 MST... 43

(15)

Halaman

1.

Hasil Analisis Vegetasi Fase Pohon... 52

2.

Hasil Analisis Vegetasi Fase Tiang... 52

3. Hasil Analisis Vegetasi Fase Sapihan... 53

4. Hasil Analisis Vegetasi Fase Sapihan... 53

5. Hasil Analisis Tumbuhan Penutup Tanah... 54

6. Data Produktivitas Serasah Daun Selama 16 Minggu ( gr/m2/minggu)... 55

7. Data Produktivitas Serasah Cabang/Ranting Selama 16 Minggu ( gr/m2/minggu)………... 56

8. Data Produktivitas Serasah Bunga/Buah Selama 16 Minggu ( gr/m2/minggu) ………... 57

9. Data Produktivitas Serasah Kulit Selama 16 Minggu ( gr/m2/minggu)... 58

10. Laju dekomposisi serasah di kebun campur Senjoyo selama 16 Minggu... 59

11. Data Tinggi Mahoni ( Swietenia macrophylla King ) ( gram )... 60

12 Data Diameter Batang Mahoni... 61

13. Data Jumlah Daun Mahoni... 62

14 Data Indeks Luas Daun Mahoni... 63

15. Data Bobot Basah Tajuk Mahoni... 63

16. Data Bobot Kering Tajuk Mahoni... 63

17. Hasil Analisis Ragam Tinggi Mahoni pada Tingkat Kepercayaan 95%... 64

18. Hasil Analisis Ragam Tinggi Mahoni pada Tingkat Kepercayaan 99%... 64

19. Hasil Analisis Ragam Diameter Mahoni pada Tingkat Kepercayaan 95%... 65

(16)

Kepercayaan 99%... 66

22. Hasil Analisis Ragam ILD Mahoni pada Tingkat Kepercayaan 95%.. 66

23. Hasil Analisis Ragam ILD Mahoni pada Tingkat Kepercayaan 99%.... 67

24. Hasil Analisis Ragam Bobot Basah Tajuk Mahoni pada Tingkat

Kepercayaan 95%... 67

25. Hasil Analisis Ragam Bobot Basah Tajuk Mahoni pada Tingkat

Kepercayaan 99%... 68

26. Hasil Analisis Ragam Bobot Kering Tajuk Mahoni pada Tingkat

Kepercayaan 95%... 68

27. Hasil Analisis Ragam Bobot Kering Tajuk Mahoni pada Tingkat

Kepercayaan 99%... 69

28. Data Curah Hujan Kebun Campur Senjoyo Pada Bulan

(17)

Latar Belakang

Kebun campur merupakan perpaduan dari berbagai jenis tanaman, atau

perpaduan tanaman bermanfaat asal hutan dengan tanaman khas pertanian dalam

sistem ini terdapat berbagai pohon, semak dalam satu areal tanah tertentu.

Kebun campur Senjoyo terletak di Desa Senjoyo Kecamatan Tengaran Kabupaten

Semarang Propinsi Jawa Tengah, merupakan salah satu ekosistem yang

mempunyai kemampuan untuk mengakumulasi unsur hara dalam biomassa,

kemudian menjadi serasah yang selanjutnya menjadi humus melalui proses

humifikasi. Lapisan serasah mempunyai peranan penting dalam pemeliharaan

produktivitas ekosistem, diantaranya dapat mencegah erosi dan menjaga struktur

tanah dengan demikian memberikan kesempatan air meresap kedalam permukaan

tanah. Serasah terurai menjadi unsur hara yang tersedia di dalam tanah untuk

menjamin kelangsungan pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan tanaman sangat

dipengaruhi oleh kesuburan tanah. Kesuburan tanah banyak dipengaruhi oleh flora

dan fauna sebagai komponen biotik, iklim mikro, bahan induk dan sebagainya.

Ketersediaan unsur hara penting bagi pertumbuhan tanaman secara

normal. Hilangnya beberapa unsur hara dari daerah perakaran akan menyebabkan

kesuburan tanah merosot sehingga tanah tidak mampu mendukung pertumbuhan

tanaman secara normal. Ketersediaan unsur hara yang cukup dan seimbang

diindikasikan oleh perbedaan produksi serasah, dekomposisi serasah dan

kehilangan air tanah melalui infiltrasi air ke dalam tanah. Pengembalian unsur

hara oleh tanaman ke tanah berhubungan dengan produktivitas serasah dan proses

dekomposisi sehingga tercipta siklus unsur hara yang stabil.

Dekomposisi serasah merupakan proses perubahan bahan organik yang

berasal dari hewan atau tumbuhan, baik secara fisik maupun kimia menjadi

senyawa anorganik (mineral) oleh mikroorganisme tanah. Kecepatan proses

dekomposisi tergantung kondisi lingkungan, jenis tanaman, komposisi bahan

kimia tanaman dan umur tanaman. Manfaat yang dihasilkan berupa nutrisi untuk

(18)

Proses dekomposisi pada penelitian ini menggunakan tambahan aktivator

berupa EM4. EM4 mempercepat waktu pengomposan sampai 50% lebih cepat.

Pengaruh hasil pengomposan serasah dengan EM4 dapat digunakan sebagai

campuran media tanam terhadap pertumbuhan fase anakan mahoni (Swietenia

macrophylla King), salah satu tanaman yang banyak tumbuh di kebun campur

Senjoyo.

Perumusan Masalah

Serasah merupakan bagian organ tumbuhan yang mati dan terdapat di

lapisan atas pada permukaan tanah. Serasah merupakan biomassa tumbuhan

ditemukan di atas permukaan tanah sebagai bahan organik yang mengandung

unsur hara dan mempengaruhi kesuburan tanah. Jumlah serasah yang jatuh

dipermukaan tanah pada periode waktu tertentu per satuan luas areal disebut

produktivitas serasah. Seberapa besar produktivitas serasah dapat dipengaruhi

oleh jenis pohon dominannya, sehingga untuk mengetahui jenis dominan pada

suatu ekosistem diperlukan analisis vegetasi hingga diperoleh indeks nilai penting.

Serasah mengalami dekomposisi yang dilakukan oleh mikroba tanah sehingga

mempercepat tersedia kandungan unsur hara tanah bagi tumbuhan.

Dalam penelitian ini diteliti seberapa besar produktivitas serasah

dan laju dekomposisi di kebun campur Senjoyo Semarang Jawa Tengah, serta

mengetahui dosis terbaik kompos serasah yang dicampur EM4 terhadap

pertumbuhan anakan mahoni (Swietenia macrophylla King) yang diuji pada

kondisi laboratorium .

Tujuan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :

1. Mengkaji produktivitas dan laju dekomposisi serasah kebun campur

Senjoyo Semarang Jawa Tengah.

2. Membuktikan pengaruh kompos serasah yang dicampur EM4 dari kebun

campur Senjoyo Semarang Jawa Tengah sebagai media tanam terhadap

(19)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Memberi informasi tentang produktivitas dan laju dekomposisi serasah

kebun campur Senjoyo Semarang Jawa Tengah.

2. Memberi informasi pengaruh kompos serasah yang dicampur EM4 dari

kebun campur Senjoyo Semarang Jawa Tengah sebagai media tanam

terhadap pertumbuhan anakan mahoni (Swietenia macrophylla King )

di rumah kaca.

3. Memberi masukkan kepada instansi terkait dalam rangka pengelolaan yang

tepat dalam memanfaatkan kebun campur Senjoyo Semarang Jawa

Tengah.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Produktivitas dan laju dekomposisi serasah mempengaruhi ketersediaan

unsur hara di kebun campur Senjoyo Semarang Jawa Tengah.

2. Pertumbuhan anakan mahoni (Swietenia macrophylla King) dipengaruhi

oleh dosis kompos serasah yang dicampur EM4 dari kebun campur

(20)

Kebun Campur

Taufik (2002) menyatakan bahwa kebun campur yang ditanam dengan

pola agroforestry pada umumnya terdiri dari berbagai macam tanaman setahun

(sayuran dan pangan) yang dikelilingi oleh bambu atau pohon dan lokasinya

biasanya agak jauh dari rumah. Singkong, jagung, kacang tanah dan jenis

polong-polongan merupakan jenis yang banyak ditanam. Selain tanaman kehutanan yang

dapat dimanfaatkan kayunya, jenis pepohonan yang banyak ditanam adalah

buah-buahan.

Sistem kebun Campur yang kompleks (Complex Agroforestry System)

merupakan persekutuan dari banyak komponen misalnya ; ada pohon, liana,

semak yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Sistem kebun campur merupakan

perpaduan dari berbagai jenis tanaman, dalam sistem ini terdapat berbagai

pohon, semak dalam satu areal tanah tertentu (Michon 1991).

Pengertian Serasah

Serasah adalah lapisan tanah bagian atas yang terdiri dari bagian tumbuhan

yang telah mati seperti guguran daun , ranting dan cabang, bunga dan buah, kulit

kayu serta bagian lainnya, yang menyebar di permukaan tanah di bawah hutan

sebelum bahan tersebut mengalami dekomposisi (Dephut 1997).

Menurut Nasoetion (1990), serasah adalah lapisan teratas dari permukaan

tanah yang mungkin terdiri atas lapisan tipis sisa tumbuhan. Spurr dan Burton

(1980) mengemukakan bahwa serasah merupakan bahan organik yang berasal dari

tumbuhan atau hewan yang terdapat diatas permukaan tanah dan tersusun oleh

bahan-bahan yang sudah mati. Selanjutnya Kornas dan Medweka (1970)

mengemukakan bahwa serasah adalah segala satuan material mati berada pada

lapisan permukaan tanah, terutama sumber dari jatuhan organ tumbuhan, dimana

material mati yang masih berdiri seperti pohon, cabang yang belum jatuh, tidak

termasuk kedalam istilah ini.

Soerianegara (1964), mengemukakan bahwa serasah yang jatuh

dipermukaan tanah merupakan bagian dari tumbuhan yang telah mati dan belum

(21)

serasah dijadikan sebagai salah satu faktor yang dapat dipakai untuk mengetahui

nilai produktivitas primer netto. Serasah berfungsi sebagai penyimpanan air

sementara secara berangsur akan melepaskan ke tanah bersama dengan bahan

organik berbentuk zarah yang larut, memperbaiki struktur tanah, dan menaikkan

kapasitas penyerapan (Arief 1994).

Produktivitas Serasah

Produktivitas serasah adalah jumlah serasah yang jatuh ke lantai hutan

pada periode tertentu per satuan luas arel tertentu (Dephut 1997). Hilwan (1993),

menambahkan bahwa produktivitas serasah adalah jumlah serasah yang jatuh

diatas permukaan tanah dalam periode tertentu dinyatakan dalam ton/ha/th atau

g/m2 /th atau kg/ha/th.

Menurut Soerianegara (1964), pengukuran produktivitas serasah dapat

dinyatakan dalam berbagai satuan. Dalam kehutanan , produksi hutan dinyatakan

dalam m3 atau m3 / ha, sedangkan dalam ekologi, produksi diukur pada suatu saat dan disebut biomassa dinyatakan dalam satuan bobot per satuan luas, misalnya

g/m2 atau kg/ha. Sedangkan produktivitas serasah hutan biasanya diukur per tahun dengan satuan kg/ha/th atau g/m2/hari.

Daun merupakan kategori serasah terbesar, diikuti ranting, buah, dan

bunga (Strojan, Turner dan Castetter 1979). Sekitar 70 % dari total serasah di

permukaan tanah berupa serasah daun. Komposisi dan besarnya produksi serasah

sangat bervariasi dari tahun ke tahun. Oleh karena itu dibutuhkan waktu studi

yang cukup lama agar diperoleh data yang baik (Waring dan Schlesinger 1985 ).

Sedangkan Deshmukh (1992), mengatakan bahwa dari waktu ke waktu

produktivitas serasah tidak seragam, komponen membentuk lapisan serasah

tumbuhan tidak homogen, tersusun atas campuran organ tumbuhan seperti 72 %

daun, 16 % kayu dan 7 % bunga dan buah. Produksi rata-rata serasah per tahun

tertinggi dalam hutan tropis dan berangsur menurun menurut garis lintangnya,

hingga hutan boreal di daerah kutub, produksi serasah tahunannya paling rendah

(22)

Produktivitas serasah pada suatu ekosistem hutan untuk menduga

sumbangan bahan organik yang berguna bagi kesuburan tanah lingkungan

sekitarnya (Odum 1971). Studi mengenai produktivitas digunakan untuk

membandingkan suatu ekosistem hutan yang berbeda melalui ukuran produksi

serasah. Tujuan utamanya untuk menyediakan informasi dasar dalam memahami

serasah, karbon dan siklus nutrisi dalam ekosistem hutan sesuai dengan fungsinya.

Melalui pendugaan produktivitas pada berbagai tingkat, perilaku perpindahan

biomassa dapat dijelaskan dan pengaruh faktor luar, seperti musim kemarau,

penghujan, banjir atau pemupukan dalam perpindahan biomassa pada sistem yang

bervariasi dapat dievaluasi. Produktivitas tidak hanya menyediakan informasi

tentang bagaimana ekosistem hutan bereaksi terhadap berbagai perlakuan, tetapi

juga memahami perilaku adaptasi dan integrasi komunitas terhadap

lingkunganya (Spurr dan Burton 1980).

Faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas Serasah

Faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi serasah suatu ekosistem

adalah iklim, topografi, sifat tanah, letak geografi, air, dan ketinggian dari

permukaan laut (Odum 1971). Selain itu produktivitas serasah juga dipengaruhi

umur pohon, kualitas tempat tumbuh serta kerapatan tegakan dan tumbuhan

bawah (Spurr dan Burton 1980).

Jenis penyusunan, tingkat kerapatan pohon, dan luas bidang dasar

suatu tegakan diketahui akan berpengaruh terhadap produktivitas serasah suatu

tegakan Dephut (1997). Adanya perubahan produktivitas serasah dari tahun ke

tahun menurut Sallata et. al (1990 ), disebabkan oleh adanya perbedaan struktur

dan komposisi pepohonan dalam masing-masing petak. Produktivitas serasah

akan meningkat dan mencapai maksimum pada musim kemarau dan menurun

pada musim hujan. Hal ini terjadi karena pada musim kemarau persaingan

diantara tanaman dan antar organ dalam satu tanaman untuk mendapatkan cahaya

matahari sehingga akan menyebabkan terjadinya efisiensi dalam proses

(23)

Faktor lain yang mempengaruhi produktivitas serasah menurut Bray dan

Gorham (1964 ), adalah:

1. Tipe hutan, dimana hutan gymnospermae lebih banyak menggugurkan

serasah dibanding hutan angiospermae walaupun hutan angiospermae

cenderung menduduki lahan yang lebih subur.

2. Kondisi lingkungan seperti iklim, derajat lintang, ketinggian, kesuburan

tanah dan kelembaban tanah.

3. Sistem pengelolaan hutan seperti hutan alam, hutan tanaman, pengaruh

kerapatan pohon dan luas bidang dasar serta penjarangan.

4. Faktor waktu seperti variasi musim dan umur tegakan.

Dekomposisi Serasah

Waring dan Schlesinger (1985), mengemukakan istilah dekomposisi

digunakan untuk menerangkan proses yang dialami oleh bahan organik, yaitu

proses sejak dari perombakan dan penghancuran bahan organik menjadi partikel

yang lebih kecil dan menjadi unsur hara terlarut, hingga tersedia dan dapat diserap

tanaman kembali. Dekomposisi adalah istilah untuk menjelaskan perubahan yang

terjadi dalam biokimia, wujud fisik, dan bobot bahan organik. Para ahli ekologi

sangat menaruh perhatian yang besar terhadap proses dekomposisi serasah dalam

hubungannya dengan daur hara dan kesuburan tanah. Hal ini disebabkan

perombakan serasah sangat berpengaruh terhadap ketersediaan unsur hara, dan

ketersediaan unsur hara lain sangat menentukan pertumbuhan pohon dan produksi

kayu (Thaiutsa dan Granger 1979).

Menurut Satchell (1974), dekomposisi diartikan sebagai pemisahan secara

mekanik struktur tumbuhan mati mulai dari tahap masih terikat pada tumbuhan

hidup sampai menjadi humus yang struktur selnya tidak berbentuk, karena terjadi

pemecahan molekul organik kompleks menjadi karbondioksida, air dan komponen

mineral. Dekomposisi terbentuk melalui proses fisika dan kimia yang mereduksi

secara kimia bahan organik mati pada vegetasi dan binatang. Dekomposisi bahan

organik hutan mempunyai dua tahap proses. Pertama, ukuran partikel dari bagian

bunga ke batang dari pohon yang besar dipecah menjadi bagian yang lebih kecil

(24)

organik direduksi dan dimineralisasi untuk melepaskan unsur dasar dari protein,

karbohidrat, lipid, dan mineral yang dapat dikonsumsi, diserap oleh organisme

atau dihanyutkan oleh sistem (Golley 1983).

Mason (1977), membagi proses dekomposisi menjadi tiga, yaitu pelindian

(leaching), pelapukan (weathering) dan aktivitas biologi. Ketiga proses tersebut

berlangsung secara stimulan. Leaching adalah mekanisme hilangnya bahan yang

dapat larut dari serasah atau detritus organik oleh hujan atau aliran air. Weathering

adalah mekanisme pelapukan oleh faktor fisik, seperti pengikisan oleh angin, es

atau pergerakan gelombang. Aktivitas biologi adalah proses yang

menghasilkan pecahan bahan organik (detritus) secara bertahap oleh mahluk

hidup. Mahluk hidup yang melakukan dekomposisi dikenal sebagai dekomposer,

pengurai atau saproba. Proses dekomposisi sebagian besar adalah proses biologi

yang dilakukan oleh organisme dan mikroorganisme, sehingga kecepatan

dekomposisi sangat dipengauhi oleh aktivitas organisme dan mikroorganisme

tersebut (Fisher dan Binkley 2000).

Menurut Mason (1977), memberikan batasan berbeda antara dekomposisi

dan penghancuran serasah. Penghancuran serasah diartikan sebagai tahapan dalam

proses dekomposisi, berupa kehilangan berat dari materi (organik) yang sering

kali terukur dalam percobaan (misalnya kehilangan berat daun) dan umumnya

berupa penghancuran jaringan berukuran besar menjadi pertikel-pertikel kecil.

Faktor Yang Mempengaruhi Dekomposisi Serasah

Faktor yang mempengaruhi dekomposisi menurut Manan (1978) adalah

keadaan lingkungan selalu basah dan lembab serta suhu yang selalu tinggi

sepanjang tahun. Keadan tersebut menyebabkan proses dekomposisi serasah hutan

berlangsung sangat cepat, sehingga proses humifikasi (pembentukan humus)

segera dilanjutkan dengan mineralisasi.

Menurut Anderson dan Swift (1983), proses dekomposisi (D) sangat

ditentukan oleh tiga variabel yaitu (1) organisme pengurai (O, terdiri dari hewan

dan mikroorganisme), (2) kualitas serasah (Q, karakter bahan organik yang

menentukan kemampuan untuk dilapukkan), dan (3) lingkungan fisik-kimia (P,

(25)

dari organisme pengurai, kualitas serasah, dan lingkungan fisik kimia. D = f (O,

Q, P)

Whitmore (1984) mengemukakan peran makrofauna sebagai organisme

penghancur sangat penting. Berbagai jenis hewan tersebut memecah serasah

menjadi partikel kecil sehingga luas permukaan menjadi lebih besar dan akibatnya

penguraian serasah oleh bakteri dan fungi menjadi lebih mudah.

Faktor dominan yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam

perombakan dan penguraian serasah adalah jenis tanaman dan iklim. Efek

terhadap jenis tanaman terhadap mikroflora ditentukan oleh sifat fisik dan

kimia daun, yang keduanya tercermin dalam C/N rasio (Thaiutsa 1979).

Menurut Sutedjo et.al (1991), proses dekomposisi bahan tumbuhan

dipengaruhi oleh kandungan lignin dan lilin dalam tumbuhan, suplai nitrogen,

kondisi lingkungan, aerasi tanah, kemelimpahan mikroorganisme, dan suhu udara.

Pengomposan merupakan proses dekomposisi terkendali secara biologis terhadap

limbah padat organik dalam kondisi aerobik (terdapat oksigen) atau anaerobik

(tanpa oksigen). Bahan organik akan diubah hingga menyerupai tanah. Kondisi

terkendali tersebut mencakup rasio karbon dan nitrogen (C/N), kelembaban, pH,

dan kebutuhan oksigen. Prinsib pengomposan merupakan nilai rasio C/N bahan

organik menjadi sama dengan rasio C/N tanah. Rasio C/N adalah hasil

perbandingan antara karbohidrat dan nitrogen yang terkandung di dalam suatu

bahan. Nilai rasio C/N tanah adalah 10-12. Bahan organik yang memiliki rasio

C/N sama dengan tanah memungkinkan bahan tersebut dapat diserap oleh

tanaman (Nan Djuarnani et.al 2008).

Laju Dekomposisi Serasah

Kecepatan dekomposisi bahan organik secara umum bergantung kualitas

dan umur organik itu sendiri (Godshalk dan Wetzel 1978; Westrich dan Berner

1984). Kecepatan dekomposisi serasah daun dan proses menyatu ke dalam tanah

mineral bergantung pada kondisi fisik dan jenis tumbuhan. Pada komunitas

tumbuhan tertentu produksi serasah tinggi dan kecepatan pelapukan lambat.

Dalam hal ini serasah terakumulasi pada permukaan tanah sampai kedalaman

(26)

membutuhkan waktu beberapa minggu bahkan ada yang sampai bertahun-tahun

(Spurr dan Burton 1980).

Menurut Thaiutsa (1979), pada suhu tanah sedang (30 0C) dan kelembaban tanah antara 60–80 %, laju dekomposisi bahan organik mencapai

tingkat tertinggi. Peningkatan atau penurunan suhu dan kelembaban secara

serentak, memperlambat laju dekomposisi bahan organik. Kecepatan / laju

dekomposisi sisa tanaman tergantung pada susunan kimia. Sebagai hasil serangan

berbagai mikroorganisme, jaringan sisa tanaman kehilangan hubungan, dan sisa

tanamam menjadi tidak stabil sehingga terjadi penurunan bobot dan

volume (Konova 1961).

Selama 10 sampai 14 hari, hampir semua kehilangan bobot serasah daun

terjadi oleh proses fisik yang menyebabkan karbon organik terlarut (Dissolved

Organic Carbon) tercuci. Diketahui bahwa sekitar 30% samapai 50% bahan

organik serasah daun hilang dengan cara seperti ini dan sisanya yaitu karbohidrat

seperti selulosa tidak larut. Bahan ini selanjutnya diuraikan dengan bantuan enzim

ekstraseluler yang dihasilkan bakteri atau fungi. Satu diantara berbagai macam

substrat yang banyak terurai di awal proses dekomposisi adalah tanin. Keberadaan

tanin pada serasah daun menghambat pertumbuhan bakteri, serasah daun yang

mengalami dekomposisi dan menyebabkan kandungan tanin berkurang (Gonzales

Farias dan Mee 1988).

Dix dan Webster (1995), mengatakan lama dekomposisi serasah daun

berhubungan dengan kandungan fenol besar dan nisbah C : N besar sehingga

membuat serasah tidak disukai dan tidak dimanfaatkan sebagai makanan oleh

hewan tanah. Pada percobaan bahan makanan, cacing tanah (earthworm)

ternyata lebih menyukai daun dengan tingkat polifenol kecil dan nisbah C : N

kecil, pada daun ini tekstur lebih halus dan lebih kuat .

Dekomposisi maksimum terjadi selama pasokan nitrogen, karbon dan

unsur hara penting lainnya (terutama fosfor) yang terdapat pada substrat atau

tanah berlimpah (Moore Landecker 1990). Produk akhir dihasilkan oleh

mikroorganisme pelapuk (microbial devac) daun adalah ” humus ” secara

(27)

fermentasi. Humus adalah campuran kompleks sisa polimer fenol yang berasal

dari tumbuhan berkombinasi dengan karbohidrat dan bahan nitrogen tumbuhan,

hewan dan mikroba (microbial origin). Kandungan nitrogen adalah sekitar 5 %

dan sekitar 30 % kandungan karbohidrat dapat diuraikan menjadi gula C6 dan C5.

Humus yang stabil mempunyai kandungan fenol besar dapat menghambat

pertumbuhan mikroba (Dix dan Webster 1995).

Dekomposisi menjadi sempurna ketika campuran bahan organik

dikembalikan ke lingkungan dalam bentuk anorganik atau bentuk mineral, yaitu

karbon dalam bentuk karbondioksida, nitrogen dalam bentuk amonia dan fosfor

dalam bentuk fosfat (Moore Landecker 1990).

Effective Mikroorganisme (EM4)

Teknologi penggunaan EM4 pertama kali dikembang oleh profesor Terou

Higa guru besar Universitas Ryukyus Jepang sejak 1980. Anggraeni dan Suharti

(2000) menyatakan penerapan teknologi EM4 di Indonesia di mulai tahun 1990,

percobaan pada skala kecil membuktikan bahwa EM4 dapat meningkatkan

produksi tanaman jeruk nipis, padi, sayur-sayuran, anggur, dan beberapa jenis

bunga.

Higa dan Wididana (1994), menyatakan EM4 merupakan kultur campuran

dari mikroorganisme menguntungkan bagi pertumbuhan dan produksi tanaman,

dapat dimanfaatkan dalam bidang peternakan. EM4 mampu mempercepat

dekomposisi bahan organik dan meningkatkan ketersediaan hara tanaman serta

telah diterapkan pada berbagai jenis tanaman dan kondisi tanah. EM4 mampu

meningkatkan dan memperbaiki kualitas produksi tanaman, melindungi tanaman

dari serangan hama dan penyakit, meningkatkan klorofil dan fotosintesis serta

meningkatkan efisiensi fiksasi N2. Higa (1993) menyatakan EM4 merupakan

kultur yang mengandung lima jenis mikroorganisme utama yaitu : bakteri

fotosintetik, bakteri asam laktat, Actinomycetes, ragi dan jamur fermentasi yang

bekerja secara sinergis.

Mikroorganisme alami yang terdapat dalam EM4 bersifat fermentasi

(28)

(Rhodopseudomonas sp.), jamur fermentasi (Saccharomyces sp.), bakteri asam

laktat (Lactobacillus sp.), dan Actinomycetes. EM4 merupakan biofertilizer yang

diaplikasi sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman dan populasi

mikroorganisme di dalam tanah. EM4 mampu mempercepat dekomposisi limbah

dan sampah organik, meningkatkan ketersediaan nutrisi tanaman, dan menekan

aktivitas mikroorganisme patogen. Selain itu EM4 juga dapat digunakan untuk

membersihkan air limbah, serta meningkatkan kualitas air pada tambak udang dan

ikan (Indriani 1999).

Bakteri fotosintetik merupakan bakteri yang dapat mensintesis senyawa

nitrogen, dan gula. Jamur fermentasi berfungsi untuk memfermentasi bahan

organik menjadi senyawa-senyawa organik (dalam bentuk alkohol, gula, dan asam

amino) yang siap diserap oleh perakaran tanaman. Bakteri asam laktat terutama

golongan Lactobacillus sp berfungsi untuk memfermentasi bahan organik menjadi

senyawa asam laktat yang dapat diserap oleh tanaman. Actinomycetes merupakan

bakteri yang tumbuh dalam bentuk miselium (filamen berbentuk jalinan benang).

Actinomycetes berfungsi mengambil asam amino dan zat yang dihasilkan oleh

jamur fermentasitif dan mengubahnya menjadi antibiotik yang bersifat toksik

terhadap patogen atau penyakit serta dapat melarutkan ion-ion fosfat dan ion-ion

mikro lainnya. Streptomyces sp menghasilkan enzim streptomisin yang berguna

bagi tanaman. Mikroorganisme yang terdapat dalam EM4 dapat bekerja efektif

menambah unsur hara apabila bahan organik dalam keadaan cukup. Bahan

organik tersebut merupakan bahan makanan dan sumber energi. Dalam

penggunaan EM4 memerlukan dedak sekitar 10% dari jumlah bahan. Sebagai

sumber makanan bakteri maka pada tahap awal diperlukan molase atau gula

sebanyak 0,1% dari jumlah bahan (Indriani 1999).

Menurut Lopez (2000), bakteri asam laktat merupakan golongan

mikroorganisme yang bermanfaat karena sifatnya tidak toksik bagi inang dan

mampu menghasilkan senyawa yang dapat membunuh mikroorganisme patogen.

Sesuai dengan namanya bakteri asam laktat menghasikan asam laktat sebagai

hasil metabolismenya yang sangat bermanfaat dalam menghambat pertumbuhan

(29)

memproduksi metabolik sekunder seperti asam hidroksi peroksida, diasetil,

ammonia, asam lemak, dan bakteriosin yang dapat menjadi penghambat bagi

bakteri patogen. Produksi bakteriosin dapat menghambat perkembangan bakteri

patogen (Wiryawan dan Anita 2001). Bakteriosin merupakan senyawa protein

bersifat bakteridal terhadap mikroorganisme (bakteri) ditinjau dari segi genetiknya

berdekatan dengan mikroorganisme penghasil bekteriosin, sehingga bakteriosin

akan terdegradasi dalam pencernaan manusia maupun hewan (Wiryawan dan

Anita 2001).

Mekanisme kerja bakteri asam laktat yang dikemukakan oleh Lopez

(2000), yaitu menekan kemampuan hidup mikroorganisme patogen karena mampu

memproduksi komponen antibakteria seperti hidroksi peroksida dan asam organik

seperti asam laktat. Asam laktat yang dihasilkan berguna untuk menurunkan pH.

Beberapa mekanisme kerja yang dilakukan oleh asam laktat sebagai probiotik,

yaitu : 1) berkompetisi dengan mikroorganisme patogen untuk mendapatkan

nutrisi dan tempat tinggal, 2) menjaga keseimbangan ekosistem melalui penjagaan

pH lingkungan agar tetap berada dalam kondisi asam, sehingga perkembangan

bakteri patogen terhambat, 3) menyediakan kebutuhan enzim yang mampu

mencerna serat kasar, protein, lemak dan karbohidrat, 4) mendektosifikasi zat

baracun dalam tubuh, 5) mampu menstimulasi kekebalan tubuh dengan cara

meningkatkan konsentrasi dari antibodi imunoglobulin (Lopez 2000).

BiologiSwietenia macrophylla King (Mahoni).

Mahoni ( Swietenia macrophylla King ) merupakan salah satu jenis pohon

yang dijadikan prioritas utama dalam rangka pembangunan hutan buatan (Manan

1978). Selain itu pohon mahoni merupakan tanaman hutan kota biasa dijadikan

sebagai tanaman peneduh jalan. Jenis mahoni yang tumbuh pada zona lembab

menyebar luas secara alami atau dibudidayakan. Jenis asli berasal dari Meksiko

(Yucatan), bagian tengah dan utara Amerika Selatan (wilayah Amazon).

Penanaman mahoni jenis ini secara luas terutama di Asia bagian selatan dan

Pasifik, juga dikenal di Afrika Barat dan di Indonesia jenis ini tersebar di Jawa

(30)

Swietenia macrophylla King ( mahoni ) diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisio : Spermatophyta

Sub Divisio : Angiospermae

Kelas : Dikotiledonae

Ordo : Rutales

Famili : Meliaceae

Sub Famili : Swietenidae

Genus : Swietenia

Spesies : Swietenia macrophylla King

Mahoni tergolong tanaman tahan naungan (tolerance species) mampu

bersaing dengan alang-alang ataupun semak belukar dalam memperoleh sinar

matahari, sehingga cocok untuk tanaman reboisasi di areal alang-alang rapat.

Daun mahoni umumnya berselang-seling majemuk menyirip, majemuk berganda

atau terkadang tunggal, tidak memiliki titik terang kalau dihadapkan terhadap

sinar matahari (pelload duts) dan tidak memiliki daun penumpu

(stipullate), karena sifat daunnya sukar terbakar maka cocok digunakan sebagai

jenis tanaman reboisasi di areal alang-alang yang peka terhadap bahaya

kebakaran. Pohon mahoni mencapai tinggi 35 m, tajuknya rapat dan lebar serta

daun berwarna hijau tua. Kulit kelabu gelap, beralur, mengelupas, cabang atau

ranting coklat kelabu, kuncup besar, tertutup oleh sisik tebal berwarna coklat

muda dengan ujung berlipat, sering kali berresin, daun tua gugur dengan warna

buram tidak berbulu (Samingan 1982).

Selanjutnya Martawijaya (1981), kulit batang pohon mahoni mengandung

tannin dapat berfungsi sebagai antipyretic, tonic, dan astringent. Mahoni banyak

digunakan sebagai bahan baku kayu lapis (veneer) yang mewah. Serat kayu

cukup indah memberikan lukisan garis khas pada sayatan kayu, memiliki berat

jenis rata-rata 0,61 tergolong kelas awet III dan kelas kuat II-III, dengan kayu

keras berwarna coklat kemerahan. Selain digunakan sebagai veneer, mahoni

digunakan untuk bahan bangunan, meubel, lantai, papan dinding, rangka pintu,

dan kerajinan lainya. Buah mahoni dapat digunakan sebagai bahan

(31)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Lokasi penelitian merupakan kebun campur yang terletak di desa Senjoyo

kecamatan Tengaran, kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Daerah ini terletak pada

ketinggian 725 m dari permukaan laut. Luas wilayah kebun campur sekitar 346

280 ha yang terdiri dari tanah sawah dengan luas sekitar 73 140, irigasi teknis

luasnya 63 000 ha, irigasi setengah teknis dengan luas 6 000 ha dan tanah kering

dengan luas sekitar 268 850 ha, pekarangan/perumahan 221 640 ha, tegalan 51

350 ha. Temperatur udara rata-rata 30 oC. Curah hujan 800 mm/th.

Pada wilayah tersebut terdapat berbagai jenis vegetasi yang tumbuh antara

lain, pohon mahoni (Swietenia macrophylla King), beringin (Ficus benjamina L),

kenari (Canarium commune L), lansep (Lansium domesticum Var), Kokosan

(Lansium domesticum Corr), kopi (Coffeaarabica L), waru (Hibiscus tiliacius L) ,

tanjung (Mimusop elingi L), sengon (Albizia falcata Back), aren (Arenga pinnata

Merr), kelapa (Cocos nucifera L). Tumbuhan penutup tanah didominasi oleh

ceplikan (Synedrella nodiflora L(Gaertn)), luluhan kebo( Panicum palmifolium

Willd), Nampu (Homalomena occulta Lour), paku (Dryopteris fillimaxs L), dan

tembelekan (Lantana camara Linn).

sita

(32)

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2008 sampai dengan

Februari 2009. Penelitian dilakukan di rumah kaca Departemen Silvikultur

Fakultas Kehutaan Institut Pertanian Bogor.

Analisis vegetasi dilakukan pada lahan kebun campur Senjoyo Kabupaten

Semarang Jawa Tengah. Analisis tanah, media tanam, dan kompos di lakukan

di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah Dan Sumber Daya Lahan Fakultas

Pertanian IPB.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah serasah dari kebun campur Senjoyo

Semarang Jawa Tengah. Tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah

bibit mahoni (Swietenia macrophylla King) yang berumur satu bulan dan EM4.

Alat yang digunakan pada penelitian ini pita meter, kompas, tali, golok,

kamera, perlengkapan herbarium (sasak, kertas koran, kantong plastik, dan

alkohol), litter – trap (alat penampung serasah) yang terbuat dari kain kasa/nylon

berukuran 1m x 1m, litter bag (kantong serasah) dari kasa plastik berukuran

30cm x 30 cm, timbangan digital, oven, polibag, penggaris, termometer, jangka

sorong dan alat tulis.

Metode Pengambilan Data

Metode Pengumpulan Data Vegetasi :

Penentuan plot dilakukan secara purposive random sampling (bertujuan)

dan sistematik, jumlah plot yang digunakan 10. Menurut Mueller et.al (1974),

metode kuadrat digunakan untuk analisis tumbuhan fase pohon, fase tiang, fase

sapihan, dan fase anakan dengan luasan kuadrat yang telah ditentukan

sebelumnya berdasarkan Kurva Spesies Area. Luasan petak 20x20 m untuk fase

pohon, ukuran 10x10m untuk fase tiang, ukuran 5x5m untuk fase sapihan, dan

ukuran 2x2m untuk fase anakan (Oosting 1956).Tiap petak ditulis nama spesies,

jumlah spesies, diameter pohon. Analisis vegetasi dilakukan untuk menentukan

(33)

Gambar 2 Metode kuadrat dengan ukuran A (20mx20m) untuk fase pohon, B (10mx10m) untik fase tiang, C (5mx5m) untuk fase sapihan, dan D (2mx2m) untuk fase anakan.

Metode garis menyinggung (Line intercept) digunakan untuk analisis

tumbuhan penutup tanah dengan panjang transek 30m (Mueller et.al 1974). Jalur

transek dibagi ke dalam interval-inteval, tiap interval berukuran 1 meter. Spesies

yang tersinggung garis transek baik yang terletak di atas maupun di bawah garis

tersebut merupakan jenis yang diamati dan dicatat datanya. Data yang tercatat dari

masing-masing jenis individu adalah berupa pengukuran panjang transek yang

terpotong (Intercept, I) dan lebar maksimum tajuk tumbuhan yang diproyeksikan

ke dalam transek (Maksimum Width, M) (Setiadi 1989).

Gambar 3 Metode garis menyinggung dengan panjang transek 30 m dan panjang interval 1m.

Metode Pengumpulan Data Produktivitas Serasah

Prosedur pengukuran produktivitas serasah adalah sebagai berikut :

a. Kegiatan pengambilan serasah dilakukan setiap satu minggu sekali selama

16 minggu.

A B

C D

(34)

b. Serasah yang tertampung dalam litter-trap berbentuk bujur sangkar

berukuran 1m x 1m, direkatkan dengan menggunakan paku. Litter-trap

dipasang pada ketinggian 50 cm dari tanah. Jumlah litter-trap yang

dipasang pada tiap plot 4 buah. Serasah yang tertampung dalam litter-trap

dipisah berdasarkan komponen serasah yang meliputi komponen (a) daun,

(b) ranting/cabang, (c) bunga dan buah (alat reproduksi), (d) kulit pohon.

c. Setiap komponen serasah ini dibungkus kertas untuk dikeringkan dalam

oven pada suhu 750 C hingga konstan, kemudian ditimbang. Jumlah produksi serasah dinyatakan dalam satuan g/m2 /minggu. (Soerianegara 1964).

Gambar 4 Penampungan serasah dengan litter trap

Metode Pengumpulan Data Laju Dekomposisi

a. Kantung serasah dengan pori ukuran diameter 1.5 mm, diisi dengan

serasah kering sebanyak 40 gram.

b. 16 Kantung serasah yang telah diisi serasah diletakkan di lantai tanah,

sehingga kantung serasah dapat langsung menyentuh tanah. Untuk

menjaga agar kantung serasah tidak berpindah maka diikat pada patok

bambu.

c. Setiap satu minggu sekali diambil satu kantung.

(35)

Gambar 5 Kantung serasah untuk menmgukur laju dekomposisi

Gambar 6 Perubahan serasah selama 16 Minggu

Metode Pengomposan serasah

Prosedur pengomposan serasah adalah sebagai berikut:

a. Pengambilan serasah pada lapisan bawah (serasah berwarna hitam)

sebanyak 50 kg. .

b. Proses pengomposan dilakukan di kebun campur Senjoyo dengan

menggunakan petak tanah ukuran 1,5 m x 1,5 m.

c. Effective Microorganisms (EM 4) 50cc, 5 lt molase, yang dilarutkan

dengan 25 l air secara rata, didiamkan selama 24 jam, disemprot secara

rata pada campuran 50 kg serasah yang telah dicampur dengan 5 kg dedak

(36)

kelembaban setiap satu minggu sekali dilakukan pembalikan lapisan

serasah.

e. Proses dekomposisi serasah dilaksanakan selama 30 hari (Ruskandi

2006).

Percobaan Pengaruh Kompos Terhadap Semai mahoni (Swietenia

macrophylla) King.

Penanaman menggunakan bibit mahoni (Swietenia macrophylla King)

hasil persemaian selama satu bulan, selanjutnya dipindahkan ke dalam polibag

yang sudah diisi media tanam yang dicampur dengan hasil kompos serasah EM4,

dengan perlakuan perbandingan komposisi sebagai berikut 0%(kontrol) ,10%,

20%, 30%, 40%, dan 50%

Parameter Yang Diukur

Pengamatan tanaman dilakukan selama 12 minggu setelah tanam .

Parameter yang diamati adalah tinggi batang tanaman (TT), diameter batang

(DB), dan jumlah daun (JD). Pada akhir pengamatan parameter yang diamati

adalah Indeks Luas Daun (ILD) dan biomassa tanaman: bobot basah tajuk (BBT)

dan bobot kering tajuk (BKT).

Metode pengukuran parameter adalah :

1. Tinggi Tanaman (TT).

Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang sampai dengan ujung batang

dengan satuan cm menggunakan penggaris dilakukan setiap 1 minggu

sekali.

2. Diameter Batang (DB)

Diameter batang diukur tepat 5 cm dari pangkal batang menggunakan

jangka sorong dengan satuan mm dilakukan 1 minggu sekali

3. Jumlah Daun (JD)

Jumlah daun dihitung setiap 1 minggu sekali.

4. Indeks Luas Daun (ILD)

Indeks Luas Daun diukur dengan menggunakan rumus :

(37)

LD

Kering Tajuk (BKT). Pengeringan tajuk untuk perhitungan bobot kering

dilakukan pada oven dengan suhu 750 C sampai konstan (Salisbury dan Roos 1995).

Analisis Kimia Media Tanam

Analisis kimia tanah, media tanam, dan kompos dilakukan di

Laboratorium Departemen Ilmu Tanah Dan Sumber Daya Lahan Fakultas

Pertanian IPB, meliputi analisis sifat fisik tanah, unsur hara, dan tekstur tanah.

(38)

Dominansi Mutlak (DM) jenis i

(39)

Dominansi Mutlak (DM) jenis i

DM(i) = Total panjang intersepsi oleh jenis i

Dominansi Relatif (DR) jenis i

Nilai tengah ( rata-rata ) produktivitas serasah per plot setiap pengamatan dengan

rumus :

Analisis Data Laju Dekomposisi a. Penurunan bobot didapat dengan rumus :

(40)

Wo - Wt

Pengukuran pengaruh kompos ini rancangan percobaan yang digunakan

Rancangan Acak Lengkap (RAL) perlakuan yang diberikan adalah komposisi

media tanam (tanah dengan kompos serasah dengan menggunakan EM4) dengan

enam level perlakuan 0% (kontrol), 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50%.

Masing-masing perlakuan tiga kali ulangan. Model yang digunakan untuk

Yij = Pertumbuhan semai mahoni pada perlakuan ke i dan ulangan ke j

µ = Rerata umum

i = Pengaruh perlakuan ke i

εij = Pengaruh galat perlakuan ke i dan ulangan ke j

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis menggunakan

analisis ragam (Uji F) pada tingkat kepercayaan 95% dan 99%. Setelah data

di analisis, data interaksinya di uji lanjut dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT)

(41)

Struktur Dan Komposisi Vegetasi

Komposisi vegetasi yang mendominasi kebun campur Senjoyo

berdasarkan metode kuadrat adalah mahoni (Gambar 6) untuk fase pohon dengan

INP 61.87% dan fase sapihan dengan INP 33.72%. Kopi (Gambar 7)

mendominasi fase tiang dengan INP 64.61% dan fase anakan dengan INP 27.99%.

Jenis lainnya yang kodominan pada fase pohon, tiang, sapihan dan anakan secara

berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 1 sampai Tabel 4.

Tabel 1 Tiga spesies dominan berdasarkan analisis vegetasi metode kuadrat di kebun campur Senjoyo.

No Fase Nama Jenis Nama Daerah INP(%) 1 Pohon Swietenia macrophylla King Mahoni 61.87

Ficus benjamina L Beringin 41.64 Canarium commune L Kenari 27.18

Jenis lainnya 169.31

Total 300

2 Tiang Coffea arabica L Kopi 64.61

Lansium domesticum Var Lansep 40.19 Swietenia macrophylla King Mahoni 39.67

Jenis lainnya 155.53

Total 300 3 Sapihan Swietenia macrophylla King Mahoni 33.72

Ficus benjamina L Beringin 31.25

Coffea arabica L Kopi 21.28

Jenis lainnya 113.75

Total 200 4 Anakan Coffea arabica L Kopi 27.99

Hibiscus tiliacius L Waru 24.44 Swietenia macrophylla King Mahoni 20.73

Jenis lainnya 126.84

(42)

Tabel 2 Lima spesies dominan berdasarkan analisis tumbuhan penutup tanah metode garis menyinggung di kebun campur Senjoyo

No Nama Spesies Nama Daerah INP(%)

1 Synedrella nodiflora L Ceplikan 37.02

2 Panicum palmifolium Willd Luluhan Kebo 31.19

3 Homalomena occulta Lour Nampu 31.16

4 Dryopteris fillimaxs L Paku 23.11

5 Lantana camara Linn Tembelekan 19.19

Jenis lainnya 158.33

Total 300

Tabel 2 terlihat tumbuhan penutup tanah yang mendominasi pada kebun

campur Senjoyo berdasarkan metode garis menyinggung adalah ceplikan (Gambar

8) dengan INP 37.02 %. Jenis lainnya yang kodominan pada tumbuhan penutup

tahan berturut turut adalah luluhan kebo dengan INP 31.19 % dan nampu

dengan INP

31.16 % . Hasil analisis tumbuhan penutup tanah menunjukkan jumlah jenis yang

ada 22 jenis.

(43)

Gambar 8 Tanaman Kopi (Coffeaarabica L)

Gambar 9 Ceplikan (Synedrella nodiflora L(Gaertn))

Produktivitas Serasah

Produktivitas serasah setiap komponen pada kebun campur Senjoyo

(44)

Tabel 3 Total produktivitas serasah tiap komponen selama 16 Minggu . presentase tertinggi dibanding komponen lain. Produktivitas serasah komponen

daun 311.04 g/m2/mg (162.1 ton/ha/th) dengan presentase 76.74%, produktivitas serasah komponen cabang/ranting sebesar 39.31 g/m2/mg (20.5 ton/ha/th) dengan presentase 9.70%, produktivitas serasah komponen bunga/buah sebesar 38.91

g/m2/mg (20.2 ton/ha/th) dengan presentase 9.60%, dan produktivitas serasah terendah adalah komponen kulit sebesar 16.07 g/m2/mg (8.4 ton/ha/th) dengan presentase 3.96 %.

Gambar 9, terlihat produktivitas serasah tertinggi pada minggu ke 6

(periode 16 - 22 September 2008) sebesar 54.15 g/m2/mg, sedang terendah terjadi pada minggu ke 12 (periode 28-3 November 2008) sebesar 11.24 g/m2/mg.

Produktivitas Serasah Kebun Campur Senjoyo

(45)

Produktivitas serasah pada kebun campur Senjoyo disebabkan oleh

beberapa faktor, antara lain:

1. Jenis Tegakan

Adanya perbedaan jenis tegakan menyebabkan hasil produktivitas serasah

berbeda baik dalam jumlah, jenis komponen serasah maupun kualitas serasah

dalam satuan luas dan satuan waktu yang sama. Hasil penelitian menunjukkan

komponen serasah terbesar berasal dari tegakan mahoni terutama pada komponen

daun, hal ini disebabkan karena mahoni akan menggugurkan daun, pada akhir

musim kemarau biasanya terjadi pada bulan September – Oktober (Joker 2001)

masa penelitian berlangsung. Daun mahoni mempunyai sifat morfologi seperti

ukuran dan bentuk daun yang lebar dan tipis sehingga lebih mudah digugurkan

oleh kuatnya hembusan angin dan pukulan air hujan. Selain itu juga disebabkan

oleh sifat fisiologi dari daun itu sendiri. Mengingat daun memegang peranan

penting dalam proses fotosintesis yang menghasilkan karbohidrat, dimana daun

yang telah habis masa tugasnya dalam memproduksi makanan akan segera gugur

dan digantikan oleh daun muda.

Perlu diperhatikan, walaupun jenis tegakan sama belum tentu akan

menghasilkan produktivitas serasah yang sama. Serasah daun merupakan salah

satu komponen penyumbang serasah terbesar di banding dengan komponen

serasah lain seperti ranting, bunga, buah, dan kulit. Sekitar 70 % dari total serasah

di atas permukaan tanah berupa serasah daun. Komposisi dan besarnya produksi

serasah sangat bervariasi dari tahun ke tahun. Oleh karena itu dibutuhkan waktu

studi yang cukup lama agar diperoleh data yang baik (Waring dan Schlesinger

1985). Hasil penelitian menunjukkan total produktivitas serasah daun sebesar

76.74 %.

2. Umur Tegakan

Menurut Bray dan Gorham (1964) rata-rata produksi serasah bervariasi

bergantung perbedaan struktur vegetasi, usia, situasi geografi, dan perbedaan

iklim musiman. Umur tegakan mahoni pada kebun campur Senjoyo berkisar 10

sampai 15 tahun tergolong vegetasi muda. Umur tegakan muda menyebabkan

jatuhan serasah terutama serasah cabang/ranting tidak sesering jatuhan serasah

(46)

cabang/ranting jatuh dalam jumlah dan ukuran yang relatif besar pada waktu

tertentu tapi kadang jarang bahkan tidak ada sama sekali tertampung di dalam

trap. Kenyataan ini disebabkan oleh kondisi vegetasi masih muda dilihat dari

diameter yang relatif kecil, sehingga jarang dijumpai cabang/ranting jatuh. Selain

ada kecenderungan dari sifat fisiologi cabang/ranting yang kuat menempel pada

batang utama sehingga sulit untuk jatuh, hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian

dimana total produktivitas serasah cabang/ranting 39.31 g/m2/mg dengan presentase 9.70%.

Komponen serasah bunga dan buah dari hasil penelitian menunjukkan

bahwa total produktivitas serasah komponen bunga dan buah 38.91 g/m2/mg dengan presentase 9.60%. Hasil produktivitas kecil disebabkan karena umur

tegakan masih muda dan perbedaan musim berbunga tiap tegakan.

Jatuhan komponen sarasah kulit pohon dipengaruhi oleh kondisi pohon

masih muda sehingga jarang dijumpai kulit pohon mengelupas atau dapat

disebabkan oleh keadaan cuaca panas sehingga kulit pohon agak sukar

mengelupas (lapuk). Hasil

penelitian menunjukkan total produktivitas serasah komponen kulit 16.07

g/m2/mg dengan presentase 3.96%. 3. Curah Hujan .

Menurut Sallata et. al (1990), produktivitas serasah akan meningkat dan

mencapai maksimum pada musim kemarau serta menurun pada musim hujan. Hal

ini disebabkan karena faktor lingkungan, salah satunya adalah curah hujan. Tetapi

curah hujan bukan merupakan faktor dominan yang mempengaruhi produktivitas

serasah. Hasil penelitian ini menunjukkan periode minggu ke 9 sampai dengan

minggu ke 16 di lokasi penelitian terjadi hujan dan produktivitas serasah kecil,

periode minggu ke 1 sampai dengan minggu ke 8 di lokasi penelitian tidak terjadi

hujan, produktivitas serasah tertinggi terdapat pada periode minggu ke 6. Hal ini

disebabkan karena pada musim kemarau terjadi persaingan antar tananam dan

antar organ dalam suatu tanaman untuk mendapatkan cahaya matahari, sehingga

menyebabkan terjadinya efisiensi dalam proses fotosintesis dan tanaman akan

(47)

31 Laju Dekomposisi Serasah

Berdasar hasil penelitian, setelah serasah didekomposisikan selama 16

minggu menunjukkan rata-rata penurunan bobot sebesar 0.63 g dengan rata-rata

laju dekomposisi serasah 2.78 % / 1 minggu. Laju penurunan bobot serasah

serasah tertinggi terjadi pada minggu ke 1 sebesar 2.37 g .

Laju dekomposisi serasah memiliki respon terhadap waktu dekomposisi.

Semakin lama waktu dekomposisi, semakin rendah laju dekomposisi serasah

perperiodenya. Berdasar Gambar 10 menunjukkan grafik laju penurunan bobot

serasah di kebun campur Senjoyo selama 16 minggu.

Penurunan Bobot Serasah (gram)

Hasil penelitian terlihat bahwa rata-rata penurunan bobot serasah sebesar

0.63 gram dengan rata-rata laju dekomposisi serasah 2.79 % / 1 minggu. Laju

penurunan bobot serasah dipengaruhi oleh :

1. Jenis Tanah.

Kebun campur Senjoyo mempunyai jenis tanah andosol kelabu tua dan

bertekstur debu. Pada minggu ke 1 sampai dengan minggu ke 8 pada lokasi

penelitian tidak terjadi hujan, dan kondisi cuaca panas, tanah andosol pada kondisi

cuaca panas akan mengeras sehingga kelembaban tanah turun akibatnya laju

dekomposisi lambat hal ini menyebabkan mikroorganisme tidak dapat

(48)

kondisi tersebut, dekomposisi terganggu karena mikroorganisme perombak

sangat membutuhkan air sebagai tempat hidup.

Pada minggu ke 9 sampai dengan minggu ke 12 pada lokasi penelitian

terjadi hujan, tanah andosol adalah tanah yang bertekstur debu (halus) pada saat

basah mempunyai kelekatan dan keliatan yang tinggi, drainase lambat, daya

menahan air kuat. Sehingga bila terjadi kenaikan curah hujan menyebabkan

kelembaban tanah meningkat akibatnya laju dekomposisi lambat, bila terjadi

kelebihan kandungan air akan menutupi rongga udara dalam tumpukan serasah

sehingga kadar oksigen akan berkurang.

2. Curah Hujan

Peran curah hujan dalam proses dekomposisi serasah tidak dominan. Hal

ini memberi gambaran bahwa terdapat faktor lingkungan lain yang sangat berjasa

dalam

kelangsungan dekomposisi. Di dalam ekosistem alam, seluruh faktor lingkungan

bekerja secara simultan dan berinteraksi secara rumit baik antar sesama faktor

lingkungan maupun dengan mahluk hidup.

Faktor waktu dalam pengukuran dekomposisi serasah berpengaruh

terhadap laju penghancuran serasah (Hilwan 1993). Karena faktor waktu disini

berkaitan sangat erat dengan faktor lingkungan, maka dapatlah dinyatakan bahwa

faktor lingkungan berpengaruh terhadap laju dekomposisi serasah. Faktor

lingkungan sangat beragam komponennya. Bila disederhanakan, menjadi 2

komponen besar, yaitu lingkungan di atas permukan tanah atau disebut juga iklim

(curah hujan), serta lingkungan di bawah permukaan tanah atau dikenal dengan

ekosistem tanah (sifat fisik kimia tanah dan mikroorganisme).

Dekomposisi terjadi akibat dari kegiatan jasad renik memperoleh energi

untuk keperluan hidupnya. Proses ini disebut oksidasi enzimatik, karena jasad

renik menghasilkan berbagai enzim yang diperlukan untuk kelangsungan proses

kimia yang spesifik. Berdasar keterangan tersebut jelas bahwa yang berperanan

sangat besar dalam dekomposisi serasah adalah mikroorganisme tanah atau jasad

renik, seperti bakteri, cendawan, ganggang, aktinomicetes, ganggang, nematoda,

Gambar

Gambar 1 Peta Kabupaten Semarang, untuk O Lokasi Penelitian
Gambar  3  Metode garis menyinggung dengan panjang transek 30 m dan
Gambar 4  Penampungan serasah dengan litter trap
Gambar 6  Perubahan serasah selama 16 Minggu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mikroorganisme Efektif 4 (EM4) dan dosis Azolla terhadap tinggi bibit pada umur 21 dan 28 hst, berat basah dan berat kering serta luas daun pada akhir pengamatan, sedangkan

Interval penyiraman berpengaruh nyata terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, panjang akar, bobot basah dan bobot kering tanaman, sedangkan pemberian pupuk

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi yang nyata antara jenis biochar dan konsentrasi pupuk agrodyke terhadap rata-rata tinggi tanaman, jumlah

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji efek dari media dan dosis pupuk NPK terhadap pertumbuhan bibit mahoni ( ) di persemaian. Penelitian dilakukan di persemaian

Analisis Kadar Klorofil, Indeks Stomata Dan Luas Daun Tumbuhan Mahoni (Swietenia macrophylla, King.) Pada Beberapa Jalan Di Kota Gorontalo.. Gorontalo: Universitas

Evaluasi pertumbuhan tanaman mahoni daun besar (Swietenia macrophylla King.) pada beberapa jenis tanah studi kasus di KPH Banten.. Fakultas Kehutanan Institut

Dinamika pola alley cropping dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu perkembangan tegakan mahoni yang berpengaruh terhadap sistem berbagi sumberdaya (resource sharing

Pengaruh Interaksi Pupuk Kandang dan Urea Berdasarkan hasil sidik ragam pada taraf 5% terlihat bahwa perlakuan pupuk kandang dan urea berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan mahoni