• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fenomena Bintang Tampak Berkelip Dan Kaitannya Dengan Posisinya Di Jagat Raya Menurut Teori Relativitas Einstein

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Fenomena Bintang Tampak Berkelip Dan Kaitannya Dengan Posisinya Di Jagat Raya Menurut Teori Relativitas Einstein"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

FENOMENA BINTANG TAMPAK BERKELIP DAN KAITANNYA

DENGAN POSISINYA DI JAGAT RAYA MENURUT TEORI

RELATIVITAS EINSTEIN

SKRIPSI

IZKAR HADIYA

050801017

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

FENOMENA BINTANG TAMPAK BERKELIP DAN KAITANNYA DENGAN POSISINYA DI JAGAT RAYA MENURUT TEORI

RELATIVITAS EINSTEIN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

IZKAR HADIYA 050801017

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PERSETUJUAN

Judul : FENOMENA BINTANG TAMPAK BERKELIP

DAN KAITANNYA DENGAN POSISINYA DI JAGAT RAYA MENURUT TEORI RELATIVITAS EINSTEIN

Kategori : SKRIPSI

Nama : IZKAR HADIYA

Nomor Induk Mahasiswa : 050801017

Program Studi : SARJANA (S1) FISIKA Departemen : FISIKA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (MIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diluluskan di

Medan, Maret 2010

Diketahui/ Disetujui

Departemen Fisika FMIPA USU Pembimbing Ketua,

(4)

PERNYATAAN

FENOMENA BINTANG TAMPAK BERKELIP DAN KAITANNYA DENGAN POSISINYA DI JAGAT RAYA MENURUT TEORI

RELATIVITAS EINSTEIN

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbenya.

Medan, Maret 2010

(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, karena berkat limpah rahmat dan karunia-Nya, tugas akhir yang berjudul : “Fenomena Bintang Tampak Berkelip Dan Kaitannya Dengan Posisinya Di Jagat Raya Menurut Teori Relativitas Einstein” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu serta mendukung saya dalam menyelesaikan skripsi ini yang antara lain :

1. Drs. Milangi Ginting, MS selaku pembimbing yang telah memberikan panduan dengan penuh kepercayaan kepada saya untuk menyempurnakan kajian ini dan meluangkan waktunya yang berharga untuk membimbing saya sampai skripsi ini selesai dengan baik sesuai dengan harapan.

2. Ketua dan Sekretaris Departemen Fisika, Dr. Marhaposan Sitomorang dan Dra. Justinon, M.Si yang telah banyak membantu dalam bidang administrasi baik selama masa perkuliahan sampai pelaksanaan tugas akhir yang meliputi, pengajuan pembimbing, seminar proposal dan hasil serta ujian skripsi.

3. Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) USU serta staf pegawai dekanat yang mengurus administrasi selama perkuliahan dan pelaksanaan tugas akhir.

4. Dosen penguji/pembanding dalam pelaksanaan tugas akhir yaitu Drs. Tenang Ginting, MS, Dra. Agustina Siregar, M.Si, Drs. Mimpin Sitepu, MS, Drs. H.Sudjono, MS dan Drs. Nerrus Tarigan, M.Si (Alm) yang banyak memberikan saran dan perbaikan demi kesempurnaan skripsi ini.

5. Seluruh dosen pada Departemen Fisika FMIPA USU yang telah memberikan bimbingan selama perkuliahan.

6. Pegawai Departemen Fisika USU yang membantu penulis mengurus administrasi selama perkuliahan.

7. Rekan-rekan kuliah saya yaitu antara lain Nurwahyu hidayati, Wulan Sari, Shinta Novianti, Dian Triana Sari, Fitriyani, Zulfikar dan seluruh stambuk fisika FMIPA USU yang telah memberikan dukungan berupa semangat, menemani saya dalam proses perkuliahan dan menolong saya dalam berbagai kesulitan.

8. Teman-teman kos yaitu Yustanti Marpaung, A.Md, Nurwahyu Hidayati, Ayu Nurul Huda, Risna Nur Rahayu dan Fitri Amelia yang terus memberikan semangat dan dukungan selama perkuliahan dan pengerjaan tugas akhir.

9. Istimewa dan tidak terlupakan kepada Ayahanda saya Sanusi Mustafa, S.Pd, Ibunda saya Dra. Khairul Kamariah, Kakanda saya Ighfar Ilaina, dan adinda saya Iqbal Ridha dan Ikmal Maulana serta semua ahli keluarga yang telah yang telah memberikan saya dukungan moril dan meteril yang tak ternilai besarnya. 10. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tak bisa saya urutkan satu

persatu semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa membalas segala amal baik mereka.

(6)

ABSTRAK

Dalam tulisan ini, fenomena bintang tampak berkelip dijelaskan dengan mengacu kepada teori relativitas Einstein tentang gerak relatif suatu kerangka acuan terhadap kerangka acuan lainnya yakni bintang terhadap pengamat di bumi. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan hubungan antara posisi bintang dan fenomena bintang tampak berkelip sehingga didapatkan penyebab bintang tampak berkelip. Dari pengumpulan literatur yang dilakukan didapatkan bahwa fenomena bintang tampak berkelip terjadi karena radiasi bintang tidak dapat diterima pengamat secara kontinu setiap saat. Perubahan posisi bintang terhadap pengamat memberikan pengaruh terhadap pengamat berupa perbedaan intensitas penerimaan cahaya akibat perubahan arah penerimaan cahaya oleh pengamat. Ketiadaan kerangka acuan universal menyebabkan fenomena ini bersifat relativistik bagi setiap peninjauan. Efek Doppler yang ditimbulkan dari gerak relatif bintang terhadap pengamat yang berada di bumi tidak menimbulkan perubahan warna spektrum bintang tetapi cukup untuk menunjukkan terjadinya pelemahan atau penguatan frekuensi cahaya yang diterima pengamat.

(7)

THE STARS SEEM TO FLICKER PHENOMENON AND RELATIONSHIP WITH POSITION IN UNIVERSE BY REFERENCE TO

EINSTEIN’S RELATIVITY THEORY

ABSTRACT

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan iv

Abstrak v

Abstract vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel viii

Daftar Gambar ix

BAB 1. PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Batasan Masalah 2

1.3 Tujuan Penelitian 2

1.4 Manfaat Penelitian 3

1.5 Metodologi Penelitian 3

1.6 Sistematika Penulisan 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Atmosfer Bumi 5

2.1.1 Pembagian Lapisan Atmosfer Bumi 6

2.1.2 Komposisi Atmosfer Bumi 9

2.1.3 Perambatan Cahaya Melalui Atmosfer Bumi 10

2.2 Sifat Fisis Cahaya 13

2.2.1 Pembagian Spektrum Gelombang Elektromagnetik. 13 2.2.2 Pemantulan dan Pembiasan Cahaya oleh Medium. 15 2.2.3 Sifat-Sifat Khusus Lainnya Yang Dimiliki Cahaya 16

2.2 Bintang 16

2.2.1 Jarak bintang 17

2.2.2 Perubahan posisi bintang 18

2.2.3 Karakteristik bintang 20

2.2.4 Evolusi bintang 24

2.2.5 Hubungan jarak bintang dengan kecerahannya 27

2.2.6 Diagram Hertzprung-Russell 30

2.2.7 Materi antar bintang 31

2.2.8 Perambatan cahaya melalui ruang antar bintang 32

2.3 Efek Dopler 34

2.4 Gerak bumi dan matahari 35

2.5 Teori Relativitas Einstein 36

2.5.1 Teori Relativitas Khusus 37

2.5.2 Teori Relativitas Umum 38

(9)

2.5.4 Transformasi Lorentz 40

BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 42

3.1 Fenomena Bintang Tampak Berkelip dan Kaitannya dengan 42 Posisinya di Jagat Raya Menurut Teori Relativitas Einstein.

3.2 Efek Doppler Dan Pengaruhnya Terhadap Fenomena Bintang 51 Tampak Berkelip.

BAB 4. KESIMPULAN DAN SARAN 55

4.1 Kesimpulan 55

4.2 Saran 56

DAFTAR PUSTAKA

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Komposisi gas atmosfer pada ketinggian 0 km di atas permukaan

Laut. 9

Tabel 2.2 Klasifikasi Bintang Berdasarkan Temperaturnya 20

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Pembagian lapisan atmosfer berdasarkan suhu 6

Gambar 2.2 Lapisan termosfer 8

Gambar 2.3 Perambatan cahaya bintang melalui atmosfer bumi 10 Gambar 2.4 Pemantulan dan pembiasan cahaya melalui dua medium dengan

Indeks bias (n1 > n2) 15

Gambar 2.5 Paralaks bintang 18

Gambar 2.6 Pergeseran Besar Susunan Bintang Sekarang dan yang Diperkirakan

Terlihat 100.000 Tahun yang Lalu 19

Gambar 2.7 Diagram Hertzprung-Russel 30

(12)

ABSTRAK

Dalam tulisan ini, fenomena bintang tampak berkelip dijelaskan dengan mengacu kepada teori relativitas Einstein tentang gerak relatif suatu kerangka acuan terhadap kerangka acuan lainnya yakni bintang terhadap pengamat di bumi. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan hubungan antara posisi bintang dan fenomena bintang tampak berkelip sehingga didapatkan penyebab bintang tampak berkelip. Dari pengumpulan literatur yang dilakukan didapatkan bahwa fenomena bintang tampak berkelip terjadi karena radiasi bintang tidak dapat diterima pengamat secara kontinu setiap saat. Perubahan posisi bintang terhadap pengamat memberikan pengaruh terhadap pengamat berupa perbedaan intensitas penerimaan cahaya akibat perubahan arah penerimaan cahaya oleh pengamat. Ketiadaan kerangka acuan universal menyebabkan fenomena ini bersifat relativistik bagi setiap peninjauan. Efek Doppler yang ditimbulkan dari gerak relatif bintang terhadap pengamat yang berada di bumi tidak menimbulkan perubahan warna spektrum bintang tetapi cukup untuk menunjukkan terjadinya pelemahan atau penguatan frekuensi cahaya yang diterima pengamat.

(13)

THE STARS SEEM TO FLICKER PHENOMENON AND RELATIONSHIP WITH POSITION IN UNIVERSE BY REFERENCE TO

EINSTEIN’S RELATIVITY THEORY

ABSTRACT

(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Fenomena bintang tampak berkelip yang sering kita perhatikan saat memandang langit malam tentunya menimbulkan pertanyaan dalam benak kita tentang penyebab terjadinya. Bintang kita ketahui memancarkan cahaya sendiri dari reaksi fusi berantai yang terjadi pada bagian inti dari bintang. Jarak bintang yang sangat jauh menyebabkan bintang tampak hanya berupa titik cahaya padahal banyak sekali bintang di jagat raya yang ukurannya jauh lebih besar dari matahari dengan tingkat kecerahan yang lebih tinggi dari matahari. Hal ini menyadarkan kita bahwa posisi (jarak) bintang terhadap bumi merupakan suatu faktor yang menyebabkan bintang tampak berkelip.

Pergerakan bintang mengelilingi pusat galaksi mempunyai gerak harian dari timur ke barat, sedangkan matahari bergerak ke arah timur relatif terhadap bintang dengan kelajuan sekitar 10 setiap harinya. Pengamat di bumi akan bergerak mengikuti gerak rotasi bumi yang terjadi dari timur ke barat dan gerak revolusinya mengelilingi matahari dari timur ke barat, sehingga untuk dapat menjelaskan gerak relatif bintang terhadap pengamat harus digunakan teori relativitas Einstein yang bersifat lebih umum dibandingkan hukum gerak Newton yang hanya berlaku untuk keadaan v<<c.

(15)

relatif kerangka inersia bintang terhadap kerangka inersia pengamat (v) jauh lebih kecil dari kelajuan cahaya (c).

Fenomena bintang tampak berkelip dalam kajian ini akan ditinjau hubungannya dengan posisi bintang di Jagat raya yakni bagaimana pengaruh perubahan posisi bintang terhadap fenomena bintang tampak berkelip sehingga dapat disimpulkan penyebab bintang tampak berkelip.

1.2Batasan Masalah

Dalam penelitian ini kita akan membatasi pembahasan kita hanya pada :

1. Apakah penyebab bintang tampak berkelip berdasarkan pengamatan yang dilakukan pengamat di bumi.

2. Bagaimana teori relativitas Einstein menjelaskan fenomena ini.

3. Seberapa besar pengaruh dari posisi bintang di jagat raya terhadap timbulnya fenomena ini.

1.3Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan hubungan antara posisi bintang dengan fenomena bintang tampak berkedip.

2. Mengidentifikasi fenomena bintang tampak berkelip menurut teori relativitas Einstein.

(16)

1.4Manfaat Penelitian

1. Menjawab pertanyaan kita selama ini tentang fenomena bintang tampak berkedip secara ilmiah.

2. Menjadikan kita lebih peka terhadap fenomena yang terjadi di alam semesta. 3. Dapat memanfaatkan berbagai teori yang ada untuk menjelaskan fenomena

tersebut.

1.5Metodologi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan kajian literatur berupa buku bacaan yang berhubungan dan informasi terbaru dari internet. Setelah pengumpulan informasi, dilakukan pengkajian terhadap informasi yang ada dengan membandingkan setiap informasi yang ada berdasarkan keseragaman dan kesesuaian dengan kegiatan penelitian ini.

Langkah-langkahnya dirincikan sebagai berikut :

1. Pengumpulan literatur yang dilaksanakan dengan mencari data informasi dari buku bacaan yang didapatkan dari perpustakaan atau membeli buku tersebut dari toko buku dan melalui media internet. Literatur yang dikumpulkan mengenai teori relativitas Einstein, optik sifat-sifat dari cahaya, bintang dan benda langit lainnya, fisika modern, efek Doppler, fisika kuantum dan mekanika kuantum dan lain–lain. 2. Pengkajian literatur dan penyesuaian dengan permasalahan yang dibahas dalam

penelitian ini sehingga didapatkan informasi atau data yang diinginkan.

3. Pengolahan informasi/data dengan menganalis informasi/data sehingga didapatkan informasi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan dari penelitian ini.

4. Merangkum suatu kesimpulan yang merupakan jawaban dari setiap permasalahan yang akhirnya menghadirkan suatu fakta ilmiah mengenai fenomena ini.

(17)

1.6Sistematika Penulisan

Tugas akhir ini terdiri dari beberapa bab dan masing-masing bab dipecah beberapa sub-bab dengan memerinci pokok-pokok permasalahan sehingga penyajian tugas akhir ini dapat dilakukan secara sistematis.

Bab I : Pendahuluan;

Berisi uraian mengenai hal-hal yang melatarbelakangi penulisan, permasalahan, batasan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Tinjauan Pustaka

Berisi teori dasar yang berhubungan dengan kajian yang meliputi bumi dan atmosfernya, sifat-sifat fisis cahaya, bintang dan karakteristiknya, efek Dopler, dan teori relativitas Einstein.

Bab III : Hasil dan Pembahasan.

Berisi hubungan bintang tampak berkelip dan posisi bintang di jagat raya menurut teori relativitas Einstein, efek Doppler dan pengaruhya terhadap fenomena bintang tampak berkelip.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Atmosfer Bumi

Atmosfer berasal dari bahasa Yunani yaitu atmos (uap) dan sphaira (bola/bumi). Jadi atmosfer menurut bahasanya dapat diartikan selubung berwujud gas yang mengelilingi bumi. Atmosfer terdiri atas sejumlah lapisan. Penamaanya didasarkan pada perbedaan karakteristik masing-masing lapisan. Atmosfer memiliki banyak manfaat yaitu diantaranya;

1. Oksigen dan nitrogennya yang sangat penting untuk kelangsungan kehidupan di bumi.

2. Melindungi manusia dan makhluk hidup lainnya dari bahaya sinar ultraviolet dan sinar gamma yang dipancarkan matahari dan bintang.

3. Menjaga kesinambungan siklus air di permukaan bumi 4. Untuk proses pelapukan bebatuan.

5. Memberikan kontribusi terhadap perubahan bentuk permukaan bumi, dan 6. Memungkinkan untuk terjadinya komunikasi radio jarak jauh.

(Konrad, Beiser , 1960).

(19)

Atmosfer bumi menimbulkan efek langit biru yang menyebabkan bintang tidak tampak pada siang hari. Cahaya matahari yang dipancarkan ke segala arah, hanya sebagian kecil yang sampai ke bumi. Sebagian besarnya diserap, dipantulkan dan dihamburkan oleh gas dan debu yang berukuran sangat kecil (mikroskopik). Partikel debu memiliki kemampuan yang lebih baik daripada molekul gas dalam memantulkan dan menghamburkan cahaya. (Stuard J. Inglish, 1963)

2.1.1 Pembagian Lapisan Atmosfer Bumi.

Dengan memakai suhu sebagai dasar pembagian atmosfer, maka atmosfer terdiri dari

lapisan troposfer, stratosfer, mesosfer dan thermosfer. Gambar 2.1 menunjukkan

pembagian wilayah lapisan atmosfer bumi.

Gambar 2.1 Pembagian lapisan atmosfer berdasarkan suhu.

1. Lapisan Troposfer

(20)

pada lapisan troposfer semakin turun dengan pertambahan ketinggian yaitu sekitar 0,5oC sampai 1o C untuk setiap kenaikan ketinggian 100 meter.

Tropopause adalah lapisan udara yang berada diantara troposfer dan stratosfer. Ketinggian tropopause berbeda antara di kutub dengan di khatulistiwa. Di kutub, lapisan tropopause berada pada ketinggian 6 km dengan suhu -40oC, sedangkan di khatulistiwa lapisan tropopause berada pada ketinggian 18 km dengan suhu -80oC. Hal ini menunjukkan bahwa lapisan atmosfer di khatulistiwa lebih tebal daripada di kutub.

2. Lapisan Stratosfer

Lapisan atmosfer diatas tropopause merupakan lapisan inversi yaitu lapisan yang suhunya semakin tinggi seiring pertambahan ketinggiannya (kebalikan dari lapisan traposfer). Lapisan Stratosfer disebut juga lapisan isotermis. Kenaikan suhu yang terjadi pada lapisan stratosfer disebabkan keberadaan ozon pada lapisan ini yang memiliki kemampuan menyerap radiasi ultraviolet dari matahari. Bagian atas stratosfer dibatasi oleh lapisan stratopause yang berada pada ketinggian 60 km dengan suhu 0oC.

3. Lapisan Mesosfer

Lapisan mesosfer ditandai dengan penurunan suhu 0,4oC setiap kenaikan ketinggian sebesar 100 meter, lapisan ini mempunyai keseimbangan radiasi yang negatif. Lapisan ini terletak pada ketinggian antara 60-85 km dari permukaan bumi. Lapisan ini melindungi bumi dari meteor atau benda langit lainnya yang menuju bumi. Temperatur terendahnya berada pada lapisan mesopause yaitu sekitar -100oC.

4. Lapisan Termosfer (Ionosfer)

(21)

ribuan derajat. Lapisan yang paling tinggi dalam termosfer adalah termopause. Termperatur pada lapisan termopause konstan terhadap ketinggian, tetapi berubah terhadap waktu seperti tampak pada gambar 2.2 berikut.

Gambar 2.2 Lapisan Termosfer.

Pada lapisan ini terjadi ionisasi partikel udara akibat penyerapan radiasi sinar gamma dan sinar ultra violet, sehingga memungkinkan terjadinya pemantulan/ perambatan gelombang radio yang sangat bermanfaat dalam komunikasi jarak jauh.

5. Lapisan Eksosfer.

Lapisan ini merupakan lapisan terluar dari atmosfer bumi dan merupakan lapisan paling panas sehingga terjadi gerakan partikel udara secara tidak beraturan. Lapisan ini tersusun dari gas hidrogen dan tekanan udaranya mendekati 0 cmHg (daerah vakum).

Mempelajari pembagian dari lapisan atmosfer dan karakteristik dari setiap lapisan diperlukan untuk mengetahui pengaruh keberadaan atmosfer terhadap perambatan cahaya yang bersumber dari matahari dan bintang.(Muhammadiyah,M., 2010)

(22)

2.1.2 Komposisi Atmosfer

Komposisi udara bersih sangat bervariasi untuk setiap daerah di permukaan bumi Rata-rata persentase (per volume) gas dalam udara bersih dan kering yaitu nitrogen sebanyak 78%, oksigen sebanyak 20,8%, argon sebanyak 0,9% dan gas lainnya sebanyak 0,3%.

Komposisi gas lainnya yang sebanyak 0,3% ini terdiri dari gas permanen dan gas yang tidak permanen. Gas permanen adalah gas yang selalu ditemukan pada setiap kondisi dan ketinggian sedangkan gas yang tidak permanen keberadaannya sangat dipengaruhi oleh kondisi dan ketinggian. Adapun gas yang keberadaannya tetap (gas permanen) yaitu helium, neon, krypton, xenon, hydrogen, dan metana. Gas yang tidak permanen misalnya karbondioksida, ozon, amoniak, uap air, karbonmonoksida, sulfurdioksida. Daerah gurun (udara kering) mengandung kadar uap air yang lebih kecil dari daerah tropis. Daerah hutan tropis (udara basah ) kandungan uap airnya adalah sebesar 0,018 %. (Muhammadiyah, M, 2010)

Tabel 2.1 menunjukkan komposisi gas di atmosfer pada ketinggian permukaan laut (ketinggian 0 km).

Gas Persentase

Nitrogen Oksigen Argon

Karbon dioksida Neon

Helium Metana Krypton

Hidrogen, karbon monoksida, xenon, ozon, radon

78.08 20,95 0,93 0,03 0,0018 0,00052 0,00015 0,00011 <0,0001

(23)

Gaya gravitasi bumi menahan agar molekul udara di lapisan atmosfer tidak terlepas ke angkasa luar. Untuk dapat melepaskan diri dari pengaruh atmosfer bumi, molekul udara tersebut harus bergerak berlawanan dengan arah gaya gravitasi bumi dengan kecepatan yang cukup besar. Kecepatan molekul udara untuk dapat lolos dari pengaruh gravitasi bumi adalah sebesar 1,169 x 104 meter/detik sedangkan bulan hanya sebesar 0,25 x 104 meter /detik. (Konrad, Beiser, 1960)

2.1.3 Perambatan Cahaya Melalui Atmosfer Bumi

Sebelum sampai ke permukaan bumi, cahaya yang berasal dari matahari atau bintang akan melewati atmosfer bumi. Molekul udara yang terdapat di lapisan atmosfer bumi akan menyerap sebagian cahaya tersebut, memantulkannya kembali ke luar angkasa dan selebihnya akan diteruskan. Penyerapan dan pemantulan cahaya yang terjadi di lapisan atmosfer menyebabkan intensitas cahaya yang diterima pengamat di permukaan bumi berkurang sehingga bintang tampak lebih redup. Gambar 2.3 berikut ini memperlihatkan perambatan cahaya bintang melalui lapisan atmosfer bumi.

Zenit

Atmosfer atas A B

S

ζ

Permukaan bumi

P P

X

ζ

dx ds

Gambar 2.3 Perambatan cahaya bintang melalui atmosfer bumi

(24)

koefisien absorbsi σλ yang nilainya bergantung pada panjang gelombang cahaya yang

diserap . Maka pengurangan intensitas cahaya bintang yang terjadi akibat penyerapan adalah sebesar,

dE adalah besar pengurangan fluks pancaran akibat penyerapan yang terjadi di lapisan atmosfer bumi yang bergantung pada panjang gelombang cahaya yang diserap dinyatakan dalam Watt /m2

λ

E adalah Fluks pancaran yang diterima pengamat setelah terjadinya penyerapan dinyatakan dalam Watt /m2.

ds jarak yang ditempuh cahaya untuk sampai ke pengamat dinyatakan dalam meter atau centimeter.

Tanda negatif berarti fluks berkurang dengan pertambahan jarak. Apabila diintegrasikan persamaan (2.1) akan didapatkan:

λ

=

λ

E adalah fluks yang di amati di atas lapisan atmosfer. Bila didefinisikan tebal optis

(τλ) untuk jarak yang ditempuh cahaya sejauh s adalah :

(25)

)

exp(

0λ λ

λ

=

E

τ

E

atau

E

λ

=

E

e

−τλ (2.7)

Jika m adalah magnitudo bintang yang diamati di atas atmosfer dan mλ adalah magnitudo yang diamati di bumi, maka dari rumus Pogson yaitu,

λ

Dan dengan mensubstitusikan persamaan (2.7) ke persamaan (2.8) diperoleh,

Persamaan (2.9) di atas menunjukkan bahwa cahaya bintang pada waktu melewati atmosfer bumi dilemahkan sebesar 1,0856τλ.

Selain itu karena rotasi bumi maka ζ yaitu besar sudut yang dibentuk bintang terhadap zenit pengamat berubah terhadap waktu pengamatan, maka harga ekstingsi atmosfer (pengurangan intensitas cahaya bintang karena diserap dan disebarkan oleh atmosfer bumi) juga berubah terhadap waktu pengamatan. Sehingga harga ekstingsi atmosfer dinyatakan sebagai fungsi waktu sebagai berikut,

Dari gambar 2.3 diperoleh,

dx

ds=secζ (2.10)

Oleh karena ζ berubah terhadap waktu bukan terhadap jarak maka bila persamaan (2.10) disubstitusikan ke dalam persamaan (2.6) yaitu

=

=

Maka pada saat sudut zenit ζ=0 , sec = 1 persamaan (2.11) dapat dituliskan menjadi, ζ

=

τ0 adalah tebal optis atmosfer bumi saat bintang berada di zenit pengamat. Sehingga

(26)

ζ

Untuk menentukan harga τ0λ bintang harus dilakukan pengamatan paling sedikit dalam dua posisi. Sebagai contoh, pada waktu pengamatan pertama (t1), magnitudo sebuah bintang yang diamati adalah mλ1dengan besar sudut zenit ζ1. Pada

waktu pengamatan kedua (t2), magnitudo yang diamati adalah mλ2 dan besar sudut zenitnya ζ2. Jadi dari persamaan (2.14) diperoleh,

mλ1 = m0λ + 1,086 τ0λ sec ζ1

melalui persamaan (2.15) kita dapat mengetahui besar pengurangan intensitas cahaya yang diterima pengamat dan dapat ditentukan magnitudo bintang sebelum mengalami penyerapan oleh atmosfer bumi.

2.2 Sifat Fisis Cahaya.

2.2.1 Pembagian Spektrum Gelombang Elektromagnetik.

Bintang yang mendapatkan energi melalui reaksi fusi nuklir berantai akan meradiasi energinya tersebut dalam bentuk radiasi gelombang eletromagnetik dan radiasi partikel. Radiasi partikel yang dipancarkan bintang disebut sebagai yang berwujud pancaran tetap partikel-partikel bermuatan bintang.. Gelombang elektromagnetik yang dipancarkan benda langit tersebut terjadi dalam berbagai variasi panjang gelombang. Cahaya yang kita amati hanya merupakan bagian dari gelombang elektromagnet.

Pancaran gelombang elektromagnetik dapat dibagi dalam beberapa jenis bergantung pada panjang gelombangnya (λ). Pembagiannya adalah sebagai berikut :

(27)

1.Pancaran gelombang radio dengan λ antara beberapa milimeter sampai 20 meter.

2. Pancaran gelombang inframerah, dengan λ ≈ 7500 o

Asampai sekitar 1 mm.

3. Pancaran gelombang optik (cahaya tampak) dengan λ sekitar 3800 o

A sampai

7500 o

A. Panjang gelombang optik terbagi atas;

- warna merah λ : 6300-7500 Ao -warna hijau λ : 5100-5500 o

A

- warna merah-jingga λ : 6000-6300Ao -warna hijau biru λ: 4800- 5100Ao - warna jingga λ : 5900-6000Ao -warna biru λ: 4500-4800Ao - warna kuning λ : 5700-5900Ao -warna biru ungu λ: 4200-4500

o

A

- warna kuning hijau λ : 5500-5700Ao -warna ungu λ: 3800-4200 o

A

4. Pancaran gelombang ultraviolet, sinar x dan sinar γ mempunyai λ< 3500 Ao

Bintang memancarkan semua jenis gelombang elektromagnetik, tetapi tidak semua pancaran gelombang elektromagnetik tersebut sampai ke bumi. Atmosfer bumi hanya meneruskan sebagian panjang gelombang itu, sedangkan sebagian lainnya diserap oleh molekul gas yang terdapat di atmosfer. Gelombang elektromagnetik yang tidak diteruskan (atau mengalami penyerapan di lapisan atmosfer bumi yaitu gelombang mikro dan gelombang inframerah yang mengalami penyerapan oleh gas CO2 dan H2O, gelombang ultraviolet yang diserap oleh gas O3 dan sinar x dan γ yang diserap oleh molekul lainnya yang terdapat di atmosfer. Sementara itu gelombang elektromagnetik yang diteruskan (bisa menembus atmosfer bumi) yaitu gelombang cahaya kasat mata (optik) dan gelombang radio.

Dengan mengamati pancaran gelombang elektromagnetik kita dapat mempelajari beberapa hal yaitu :

1. Arah pancaran akan menunjukkan letak dan gerak benda yang memancarkannya.

(28)

2.2.2 Pemantulan dan Pembiasan Cahaya oleh Medium.

Gambar 2.4 berikut akan menunjukkan bagaimana pemantulan dan pembiasan cahaya oleh dua medium yang berbeda kerapatannya (indeks biasnya).

Gambar 2.4 Pemantulan dan Pembiasan Cahaya Melalui dua medium dengan Indeks Bias (n1 > n2)

Keadaan seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.4 dapat dijelaskan oleh hukum-hukum mengenai pemantulan dan pembiasan sebagai berikut :

1. Sinar yang dipantulkan, sinar yang dibiaskan dan garis normal terletak pada satu bidang datar.

2. Untuk pemantulan, θ11'.

θ adalah sudut yang dibentuk sinar datang dan garis normal.

' 1

θ adalah sudut yang dibentuk sinar pantul dan garis normal

1

n adalah indeks bias medium 1

2

n adalah indeks bias medium 2

21

(29)

Teori tentang prinsip pembiasan dan pemantulan cahaya untuk dua medium yang memiliki indeks bias yang berbeda perlu dijabarkan untuk menjelaskan pembiasan yang dialami cahaya ketika melalui lapisan atmosfer yang memiliki kerapatan yang berbeda.

2.2.3 Sifat-Sifat Khusus Lainnya Yang Dimiliki Cahaya

Selain cahaya mengalami pembiasan dan pemantulan cahaya juga mempunyai sifat khas lainnya yaitu :

1. Cahaya merambat membentuk garis lurus. Sinar merupakan kata lain untuk cahaya tunggal yang merambat, sedangkan berkas sinar terdiri dari beberapa sinar yang merambat dalam arah tertentu. Berkas sinar dapat berupa kumpulan sinar sejajar, divergen (menyebar), atau konvergen (mengumpul).

2. Cahaya dapat berinterferensi atau mengalami penguatan/pelemahan intensitas karena penggabungan dua gelombang cahaya. Penguatan atau pelemahan ditentukan oleh beda fase masing-masing gelombang cahaya.

3. cahaya juga mengalami difraksi yakni dibelokkan ke arah tertentu oleh celah kecil serta polarisasi yakni pengkutupan arah getaran gelombang cahaya.

Dengan mengetahui sifat-sifat cahaya, kita dapat lebih memahami tentang bagaimana cahaya merambat dari sumbernya sampai ke mata kita. Bintang yang tampak berupa titik cahaya dapat kita pastikan sebagai cahaya tunggal, bukan sebagai berkas cahaya.

2.3 Bintang

(30)

Reaksi fusi nuklir (reaksi termonuklir) adalah sebuah proses saat dua inti atom bergabung, membentuk inti atom yang lebih besar dan melepaskan energi. F adalah sumber energi yang menyebabkan bintang bersinar. Proses ini membutuhkan energi yang besar untuk menggabungkan inti nuklir. Energi yang dihasilkan dari reaksi fusi nuklir ini lebih besar dari energi yang dibutuhkan untuk menggabungkan dua inti atom menjadi inti atom yang lebih besar. Ada dua jenis reaksi fusi hidrogen, yaitu rantai proton-proton dan siklus CNO yang keberlangsungannya bergantung pada ukuran bintang. Untuk bintang-bintang seukuran matahari atau lebih kecil, reaksi rantai proton-proton mendominasi, sementara untuk bintang berukuran lebih besar dari matahari siklus CNO yang mendominasi. Reaksi inti lainnya seperti reaksi fusi helium dan karbon juga terjadi bergantung terutama pada tahapan evolusi bintang. Reaksi fusi antara dua inti atom yang lebih ringan daripada besi dan nikel, melepaskan energi. Sedangkan, reaksi fusi antara dua inti atom yang lebih berat daripada besi dan nikel, menyerap energi. (A.W, Wisnu,2000)

Planet merupakan benda langit yang tidak mengalami fusi nuklir pada intinya. Planet tampak bercahaya karena memantulkan cahaya matahari atau bintang yang berada di dekatnya. Cahaya yang dipantulkan planet sangat lemah dan planet terlihat sebagai piringan cahaya dan tidak berkelip seperti halnya bintang. (Chatief Kunjaya, 2006)

2.3.1 Jarak Bintang

Jarak bintang terhadap matahari merupakan karakteristik yang sulit untuk ditentukan tetapi sangat penting. Semua proses kehidupan bintang ditentukan oleh rata-rata jumlah dan jenis energi yang diradiasikan. Jumlah energi bintang yang diradiasikan ke jagat raya tidak dapat diketahui sampai jaraknya dapat ditentukan.

(31)

2.4) menunjukkan besar perubahan posisi bintang. Sudut ini dapat ditinjau secara trigonometri yaitu dengan mengambil radius orbit bumi dan jarak OS.

S2

S1

Star S O

900

E2

E1

matahari bumi

p

Gambar 2.5 Paralaks bintang

Dari gambar, jarak bintang terhadap matahari dapat ditentukan dari,

OS OE p=

tan (2.16)

OE merupakan radius orbit bumi dan OS merupakan jarak bintang terhadap matahari. Apabila jarak matahari terhadap bintang diketahui maka jarak bintang terhadap bumi juga dapat ditentukan. Satuan yang sering digunakan dalam astronomi untuk menyatakan jarak suatu bintang adalah parsek dan tahun cahaya. Satu parsek (pc) didefinisikan sebgai jarak bintang yang paralaksnya satu detik busur sedangkan satu tahun cahaya (ly) didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh cahaya selama satu tahun.

Pergeseran posisi tahunan yang terlihat terhadap bintang terdekat inilah yang disebut heliosentrik paralaks. Ketika posisi bumi di E1 maka bintang seolah-olah tampak berada di S1 dan enam bulan kemudian ketika posisi bumi di E2 maka bintang seolah-olah berada di S2. (Stuard J. Ingglis, 1963). Paralaks bintang tampak sebagai pergeseran posisi yang cukup besar untuk ribuan bintang terdekat. Bintang terdekat adalah Proxima Centauri yang berjarak 4 x 1016 meter dari matahari.

2.3.2 Perubahan Posisi Bintang

(32)

yang terjadi menunjukkan bahwa perpindahannya terlalu lambat, sangat lambat sehingga bintang dianggap seperti tidak berpindah.

A B

Gambar 2.6 Pergeseran besar susunan bintang sekarang dan yang diperkirakan terlihat 100.000 tahun yang lalu

Susunan bintang A merupakan susunan bintang sekarang dan susunan bintang B merupakan susunan bintang yang terlihat 100.000 tahun yang lalu. Banyak bintang berpindah tidak sepanjang atau bersebrangan dengan arah pengamatan melainkan membentuk sudut miring terhadapnya. Spektrum bintang menunjukkan bahwa bintang bergerak dengan kecepatan tertentu mendekati atau menjauhi pengamat, dan arah pengamatan menunjukkan perpindahan posisi terjadi dalam arah tertentu yaitu bersebrangan dari arah garis pengamatan. Bila jarak bintang diketahui, maka kecepatan perubahan posisi dapat dihitung. Perubahan posisi bintang dapat ditentukan melalui penjumlahan vektor kecepatan yang diamati. Dari perhitungan yang dilakukan sedemikian didapatkan banyak bintang bergerak dengan kecepatan ribuan meter per detik.

(33)

2.3.3 Karakteristik Bintang

Karakteristik bintang dalam pembahasan ini dibahas antara lain temperatur, diameter, massa jenis, kecepatan dan kecerahan bintang. Pembahasan ini dianggap penting karena dengan mengetahui karakteristik bintang maka dapat dibedakan bintang dengan benda langit lainnya yang nampak seperti bintang.

1. Temperatur.

Temperatur bintang ditentukan dari spektrumnya. Berikut ini merupakan deretan spektrum bintang dari bintang terpanas sampai bintang yang paling dingin yang disusun berdasarkan alfabet untuk mempermudah mengingat yaitu bintang tipe O B A F G K M R N S. Bintang tipe R, N dan S memiliki komposisi kimia yang sedikit berbeda dari bintang lainnya relatif dingin.

No Tipe Bintang Temperatur (K) Keterangan

1 M 2500-3000

Pita TiO mendominasi, garis logam netral tampak jelas dan berwarna merah. Contoh bintang Betelgeues dan Antares.

2 K 3500-5000

Garis logam mendominasi, gas hidogen lemah sekali dan berwarna jingga kemerahan. Contoh: Arcturus dan Aldebaran

3 G 5000-6000

Garis hidrogen lebih lemah dari kelas F. Garis logam netrala tampak dan berwarna putih kekuningan. Contoh : Matahari dan Capella

4 F 6000-7500

Garis hdrogen lebih lemah dari bintang kelas A, garis logam lainnya mulai terlihat dan berwarna biru keputihan. Contoh : Canopus dan Proycon

(34)

6 B 11000-30000

Garis hidrogen tampak lebih jelas dari bintang tipe O dan berwarna biru. Contoh : Bintang Rigel dan Spica

7 Garis absorbsi yang nampak sangat sedikit

dan berwarna biru. Contoh bintang : 10 Lacerta.

Tabel 2.2 Klasifikasi bintang berdasarkan temperaturnya.

Bintang dengan garis-garis serapan sangat kuat dari atom hidrogen digolongkan sebagai tipe I berwarna putih, bintang dengan garis-garis serapan sangat kuat dari bintang dengan pita-pita serapan lebar digolongkan sebagai tipe III berwarna merah berdasarkan hasil pengamatan

Temperatur permukaan bintang sangat dekat hubungan dengan warnanya. Umumnya dapat dikatakan bintang terpanas tampak berwarna biru-putih, bintang dengan temperatur sedang berwarna putih kekuningan dan yang paling dingin berwarna merah. (Chatief Kunjaya, 2006)

Bintang yang dapat diamati oleh pengamat di bumi dengan mata telanjang adalah bintang yang kecerahan semunya (magnitudo) lebih kecil dari 6, dan bintang yang kecerahan semunya lebih besar dari 6 tidak dapat diamati karena sangat redup. Bintang bermagnitudo semu 1 lebih cerah 100 kali lebih cerah dibandingkan bintang bermagnitudo semu 6.

2. Diameter bintang

(35)

radiasi per centimeter persegi untuk dapat menentukan luas permukaan bintang. Dari luas permukaan bintang dapat ditentukan diameter dan volume bintang dengan mudah.

Suatu bintang yang mempunyai kecepatan 1,67 x 105 meter per detik terlihat perpindahannya dari bumi sangat kecil dibandingkan perpindahan sebenarnya. Demikian juga beberapa bintang yang memiliki diameter lebih besar dari matahari akan terlihat hanya berupa titik cahaya. Hal ini terjadi karena posisi bintang sangat jauh dari bumi.

3. Massa jenis

Bila massa dan volume bintang diketahui maka massa jenis rata-rata bintang dengan perhitungan sederhana dapat ditentukan. Seperti halnya parameter lainnya yang menjadi karakteristik bintang, massa jenis bintang juga sangat bervariasi. Bintang berukuran raksasa seperti Antares memiliki rapat massa 1000 kali lebih kecil dari massa jenis udara vakum di bumi. Hal ekstrim lainnya adalah massa jenis beberapa bintang yang berukuran kecil seperti bintang Sirius memiliki rapat massanya sangat besar yaitu 6,1 x10-2 ton/cm3 atau 6,1 x 107 kg/m3 (Konrad, Beiser, 1960)

4. Kecepatan

(36)

tangensialnya. Kecepatan relatif inilah yang disebut dengan kecepatan bintang terhadap matahari.

Bila perubahan posisi matahari terhadap kelompok bintang lokal dikurangi kecepatan relatifnya akan didapatkan kecepatan istimewa bintang. Kecepatan kebanyakan bintang yang bertetangga dengan matahari hampir sama dengan matahari yaitu 2 x 104 meter per detik tetapi terdapat bintang tertentu yang berkecepatan tinggi mencapai 1,67 x 105 meter per detik.

Kecepatan bintang mengelilingi kelompok bintang lokal di sekitar pusat galaksi disebut kecepatan rotasi karena gerak bintang merupakan bagian dari rotasi galaksi. (Stuart J. Inglis, 1963)

5. Kecerahan bintang

Berdasarkan hukum Stefan-Boltzmann, temperatur bintang menentukan berapa energi yang dipancarkan per satuan luas permukaan bintang. Bila ada dua bintang yang memiliki ukuran yang sama maka bintang paling panas di antara keduanya akan memancarkan energi yang lebih besar. Pada dasarnya kecerahan bintang ditentukan oleh dua faktor yaitu temperatur dan ukurannya.

Kecerahan bintang seperti yang terlihat di langit tidak hanya bergantung pada luminositasnya ( jumlah energi yang dipancarkan per satuan waktu) tetapi juga bergantung pada jaraknya terhadap matahari. Bila kita memiliki 3 bintang dengan luminositas yang sama pada jarak 1, 2 dan 3 parsek, kecerahannya semakin berkurang dengan pertambahan jarak sesuai dengan hukum kuadrat invers.

(37)

menurut kecerahannya dalam enam kelompok. Bintang yang paling terang bermagnitudo 1 danyang lebih lemah bermagnitudo 2 dan seterusnya. Luminositas bintang dapat ditentukan apabila jarak bintang diketahui. Skala yang digunakan untuk mengukur luminositas mendekati skala magnitudo kecerahan yang terlihat yang biasanya. Skala luminositas bintang merupakan magnitudo mutlaknya yang merupakan suatu indikasi jumlah total cahaya yang diradiasikan bintang.

2.3.4 Evolusi Bintang

Bintang seperti halnya dengan makhluk hidup di bumi mengalami tahapan kehidupan yaitu bintang dilahirkan, berkembang dan akhirnya cahayanya padam (mati). Bintang terbentuk di dalam awan molekul. Gaya gravitasi antar molekul gas yang terdapat dalam awan molekul memegang peranan penting dalam proses pembentukan bintang. Peristiwa ini dimulai dengan ledakan bintang yang menyebabkan materi antar bintang disekitarnya menjadi lebih mampat. Bagian terluar dari kumpulan materi antar bintang akan tertarik oleh gravitasi materi ke bagian dalamnya, sehingga awan molekul akan mengalami kondensasi. Akibat dari kondensasi ini, tekanan di dalam awan molekul meningkat dan melawan pengerutan. Bila gaya gravitasi materi di dalamnya tidak dapat mengimbangi tekanan yang timbul akibat proses kondensasi maka awan molekul akan tercerai kembali dan tidak membentuk awan molekul yang lebih besar.

Di dalam awan molekul yang besar ini terdapat juga ratusan bahkan ribuan awan molekul yang terus mengalami pengerutan gravitasi. Pengerutan gravitasi meningkatkan suhu dari awan molekul sehingga awan molekul tersebut memijar dan menjadi embrio bintang (protostar). Bintang tidak terbentuk sendiri tetapi melainkan terbentuk dalam suatu kesatuan berupa gugusan bintang.

(38)

yaitu mencapai 10 juta Kelvin sehingga terjadi reaksi fusi nuklir di inti bintang. Ketika tekanan di dalam bintang cukup tinggi, pengerutannya pun berhenti. Bintang selanjutnya menjadi bintang deret penting. Bila massa bintang terlalu kecil, suhu di pusat bintang tidak akan cukup tinggi untuk terjadinya reaksi fusi nuklir sehingga bintang akhirnya mendingin menjadi bintang katai gelap tanpa ada reaksi inti yang berarti.

Reaksi fusi nuklir yang terjadi di matahari dan kebanyakan bintang adalah reaksi fusi hidrogen menjadi helium. Di jagat raya, hidrogen merupakan unsur yang paling besar jumlahnya (kelimpahannya) yaitu sekitar 90 % dan kurang dari 10 % merupakan unsur helium. Reaksi fusi nuklir yang terjadi dalam inti bintang mempunyai dua tahapan yaitu reaksi rantai proton dan siklus CNO. Reaksi rantai proton yaitu sebagai berikut :

1

H1 + 1H1 2H1 + e+ + v (Q = 1,44 MeV) 2

H1 + 1H1 3He2 + γ (Q = 5,49 MeV) 3

He2 + 3He2 4He2 + 2 1H1 + v (Q = 12,86 MeV)

Sehingga reaksi perubahan 4 atom hidrogen menjadi 1 atom helium seperti ditunjukkan berikut ini akan menghasilkan energi sebesar 26,7 MeV.

41H1 4He2 + 2 e+ + 2v

Bintang yang mencapai deret utama memiliki komposisi materi yang masih homogen yang mencerminkan komposisi awan antar bintang yg membentuknya. Perlahan-lahan, akibat reaksi fusi pada inti bintang yaitu helium dari penggabungan atom hidrogen merubah komposisi di pusat bintang yakni hidrogen berkurang dan helium bertambah sehingga struktur bintang berubah menjadi lebih terang, jari-jarinya bertambah besar dan temperatur efektifnya berkurang.

(39)

12

C6 + 1H1 13N7 + γ 13

N7 13C6 + e++ v

13

C6 + 1H1 14N7 + C 14

N7 15O8 + γ 15

O8 15N7 + e+ + v 15

N7 +1H1 12C6 + 4He2

Dalam kasus ini 12C6 bertindak sebagai katalis untuk membantu proses fusi. Siklus karbon berjalan lebih cepat dari pada siklus proton-proton. Siklus karbon dominan terjadi pada temperatur yang lebih tinggi daripada temperaur terjadinya proton-proton. Bintang yang telah mengubah seluruh hidrogen yang dimilikinya akan mengalami reaksi fusi helium yaitu 34He2 12C6 pada temperatur yang lebih tinggi yang dibutuhkan untuk menetrasi gaya coulomb.( Kenneth S., Krane, 1987)

Terdapat perbedaan pada proses evolusi bintang. Proses evolusi bintang bergantung pada ukuran bintang tersebut. Bintang berukuran besar akan lebih cepat menghabiskan persediaan hidrogennya dan pada akhirnya mengalami reaksi siklus CON yang terkonsentrasi di inti bintang. Bintang tipe ini, pada bagian selubungnya tidak terjadi reaksi inti sehingga komposisi materinya tidak mengalami perubahan yang disebut pusat konveksi. Lain halnya dengan bintang berukuran kecil, pembangkitan energi tidak terkonsentrasi di pusatnya. Reaksi fusi hidrogen menjadi helium berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama, dan setelah persedian hidrogen habis terjadi siklus CNO.

(40)

Evolusi tahap akhir suatu bintang tidak dapat dipastikan. Dari perhitungan yang dilakukan didapatkan unsur kimia yg lebih berat dari karbon terbentuk di pusat bintang. Inti helium berubah menjadi karbon yang selanjutnya membentuk oksigen. Hal ini menyebabkan temperatur pusat meningkat. Pada saat mencapai suhu 600oK, inti karbon akan berinteraksi membentuk magnesium, neon dan natrium. Demikian seterusnya akan terjadi pembakaran unsur kimia dalam bintang sampai akhirnya terbentuk inti besi. Besi merupakan inti yg paling mantap dan tidak akan bereaksi membentuk inti yang lebih berat. Selanjutnya, terjadi keruntuhan gravitasi menuju pusat bintang yang terdiri dari unsur besi, dan akhirnya meledak menjadi supernova.

Tetapi tidak semua bintang mengakhiri hidupnya dengan meledak menjadi supernova yaitu hanya terjadi pada bintang yang massanya 8 kali massa matahari atau lebih massif dari matahari. Supernova akan terjadi ketika bintang tersebut tidak lagi memiliki cukup bahan bakar untuk proses fusi di inti bintang sehingga menciptakan tekanan keluar yang dipicu terjadinya dorongan gravitasi ke arah inti bintang.

Saat ledakan terjadi, bintang akan melepaskan sejumlah besar energi dan memuntahkan unsur berat seperti kalisum dan besi ke ruang antar bintang. Materi yang dilepaskan ini kemudian menjadi unsur pengisi awan debu dan gas dimana bintang dan planet baru akan dilahirkan.

Bintang yang bermassa sedang yaitu sebesar matahari atau lebih kecil akan berubah menjadi bintang katai putih. Bintang bermassa 1,4 – 3 kali massa matahari setelah membentuk bintang super raksasa merah akan berubah menjadi bintang neutron. Sedangkan yang massanya lebih besar dari 3 kali massa matahari akan berubah menjadi lubang hitam. (Diayri, 2006)

2.3.5 Hubungan Jarak Bintang dan Kecerahannya.

(41)

dari matahari. Kecerahan yang dimaksud disini adalah magnitudo semu (magnitdo yang terlihat) oleh pengamat.

Fenomena bintang tampak berkelip sangat dipengaruhi oleh magnitudo semunya. Semakin cerah suatu bintang maka semakin mudah kita dapat mengamatinya. Persamaan hubungan kecerahan dengan jarak bintang adalah :

2

D L

B = (2.17)

dengan B merupakan kecerahan bintang, L luminositasnya dan D adalah jarak bintang terhadap matahari.

Luminositas bintang sendiri adalah jumlah total energi yang dipancarkan setiap detik. Luminositas bintang sangat bergantung pada temperatur dan diameter bintang.

Menurut Planck, suatu benda hitam yang memiliki temperatur permukaan (T) akan memancarkan energi dengan panjang gelombang antara λ d an λ + d λ d eng an intensitas spesifik sebesar Bλ(T)dλ dengan :

1

k adalah konstanta Stefan Boltzman yaitu 1,38 x 10-23 J/K

Tadalah temperatur permukaan bintang.

Energi total yang dipancarkan benda hitam untuk setiap panjang gelombang atau frekuensi dapat ditentukan dengan mengintegrasikan Bλ(T) yaitu :

Dari integrasi ini diperoleh,

(42)

atau B(T) T4

Persamaan (2.21 ) disebut Hukum Stefan-boltzmann dengan σ disebut tetapan Stefan Boltzmann.

Dari intensitas spesifik B(T) dapat ditentukan jumlah energi yang dipancarkan per cm2 oleh permukaan benda hitam per detik ke segala arah, yaitu:

FB(T) (2.23) atau 4

T

F =σ (2.24)

Besaran F disebut fluks energi benda hitam (J m-2 s-1)

Jika suatu benda berbentuk bola dengan jari-jari R dan temperatur T memancarkan radiasi seperti benda hitam, energi yang dipancarkan benda tersebut ke semua arah per detik adalah :

L=4πR2F (2.25)

atau 2 4

4 R T

L= π σ (2.26)

L adalah luminositas benda dan temperatur bintang yang ditentukan dari hukum Stefan Boltzmann disebut temperatur efektif yaitu temperatur paling luar dari suatu bintang.

Jumlah energi yang diterima pengamat yang berjarak d dari benda hitam, bintang dianggap sebagai benda hitam karena bintang dengan temperatur 54.000 K distribusi energinya hampir sama dengan benda hitam adalah :

2

(43)

2.3.6Diagram Hertzsprung-Russel.

Gambar 2.7 Diagram Herztsprung-Russel

(44)

2.3.7Materi Antar Bintang

Materi antar bintang dapat dibedakan ke dalam tiga golongan yaitu : nebula terang (bright nebulae), nebula gelap (dark nebulae), gas dan debu antar bintang.

1. Nebula terang (bright nebulae)

Nebula terang yang dikenal dengan nebula difusi berkaitan erat dengan luminositas bintang. Bintang merupakan penyebab nebula menjadi terang. Gas murni tidak dapat memantulkan cahaya karena komposisi atom masing-masing gas terlalu kecil, sehingga para astronom mengansumsikan bahwa cahaya dipantulkan oleh partikel kecil dari debu angkasa. Selain itu nebula menjadi terang karena gas dalam nebula yang memiliki tekanan rendah yang memancarkan cahaya. Hal ini ditunjukkan oleh spektogram nebula orion.

Pemantulan bintang terjadi jika nebula memiliki bintang yang jenis spektrumnya di atas kelompok bintang B2. Nebula yang di dalamnya terdapat kelompok bintang di atas B2 akan memantulkan lebih banyak cahaya sehingga spektrum nebulanya tidak sama seperti spektrum absorbsi bintang yang paling terang tetapi merupakan spektrum kontinu yang redup dengan garis emisi yang lebih terang berada di atasnya.

2. Nebula gelap (dark nebulae)

Gas nebula yang tidak memantulkan cahaya dari bintang di sekelilingnya dan tidak juga memancarkan cahayanya sendiri disebut nebula gelap. Keberadaannya dapat ditemukan dengan keberadaan benda cerah yang tersembunyi di belakangnya.

(45)

wilayah yang tertutupi gas gelap masih dapat dihitung. Nebula gelap memiliki komposisi yang terlihat hampir sama seperti material penyusun nebula terang.

3. Gas antar bintang

Kita dapat mengetahui suatu daerah tertutupi dengan efek yang ditimbulkan ketika cahaya melewatinya. Terdapat dua kemungkinan yaitu bila material terdiri dari partikel debu, cahaya mengalami sedikit pemerahan oleh hamburan dan bila material terdiri dari gas menyebabkan garis absorpsi spektrum bintang yang cahayanya menembus material tersebut meningkat.

Banyak kajian yang menunjukkan keberadaan gas dan debu antar bintang dapat ditentukan dengan menganalisa adakah terjadi penurunan intensitas spektrum bintang B. Massa jenis gas antar bintang sangat kecil dibandingkan dengan nebula emisi. Hal ini menunjukkan bahwa dalam awan gas antar bintang rata-rata terdapat 200 atom per inc3 atau 1,05 x 107 atom per m3 tetapi ada juga awan yang di dalamnya hanya terdapat 1,05 x 106 atom per m3 atau hanya sepersepuluhnya yang merupakan daerah vakum tinggi. Komposisi gas antar bintang yang mengandung nebula difusi tidak tampak berbeda jauh dari komposisi gas yang ditemukan di matahari

2.2.8 Perambatan Cahaya Melalui Ruang Antar Bintang.

Telah dibahas sebelumnya bahwa ruang antar bintang tidak hampa melainkan terdapat materi antar bintang yang berupa debu dan gas antar bintang, nebula terang dan nebula gelap. Seperti halnya pada lapisan atmosfer bumi, pelemahan cahaya bintang juga terjadi ketika cahaya bintang melalui ruang antar bintang. Materi antar bintang akan menyerap cahaya bintang yang melewatinya dan membelokkannya.

(46)

Akibat penyerapan oleh materi antar bintang ini, maka fluks yang diamati di bumi (di luar atmosfer) adalah :

E0λ =Eλe−τλ (2.29)

dengan E adalah fluks pancaran sebelum diserap materi antar bintang yang melemahkan magnitudonya sebesar,

mλ =mλm0λ =1,086τλ (2.30) dengan mλ adalah magnitudo yang diamati di bumi dan m adalah magnitudo bintang sebenarnya atau magnitudo intrinsik (magnitudo sebelum diserap oleh materi antar bintang). Untuk menyatakan besarnya penyerapan atau absorbsi ini digunakan simbol Aλ yaitu,

Untuk magnitudo intrinsik harus ditambah koreksi penyerapan oleh materi antar bintang yaitu,

λ λ

λ M d A

m = −5+5log + (2.32) Dengan melakukan pengamatan dalam dua panjang gelombang misalkan λ1 dan λ2 persamaan (2.31) dapat dituliskan menjadi,

1 yang diberi simbol Eλ12. Sehingga dapat didefinisikan perbandingan absorbsi sebagai :

12

(47)

2.3 Efek Doppler

Efek Doppler untuk kasus bunyi, berubah bergantung dari apakah sumber atau pengamatnya atau keduanya bergerak. Keadaan ini seakan-akan bertentangan dengan prinsip relativitas. Tetapi gelombang bunyi itu sendiri sangat bergantung pada keberadaan medium yang merupakan kerangka acuan dimana terhadap kerangka inilah gerak sumber dan pengamat dapat diamati dan diukur. Keberadaan medium inilah yang membedakan efek Doppler untuk bunyi dengan efek Doppler untuk cahaya.

Efek Doppler untuk kasus cahaya berkaitan dengan perubahan warna dari cahaya yang ditentukan oleh panjang gelombangnya. Perubahan warna bergantung pada kecepatan relatif antara sumber dan pengamat. Kecepatan ini sangat kecil dibandingkan dengan kecepatan cahaya yang tetap tidak bergantung terhadap jarak tempuhnya.

Bintang yang mendekati pengamat panjang gelombang cahayanya terlihat sedikit lebih pendek dan warnanya sedikit lebih biru. Keseluruhan spektrum cahaya bintang akan bergeser. Bila bintang menjauhi pengamat, panjang gelombangnya sedikit lebih panjang dan cahayanya sedikit lebih merah.

Jika v adalah kecepatan gerak relatif kerangka inersia bintang terhadap kerangka inersia pengamat, v dan v0masing-masing adalah frekuensi cahaya bintang yang diterima pengamat dan frekuensi cahaya bintang yang dipancarkan bintang (sumber cahaya) serta c adalah cepat rambat cahaya, maka untuk tiga macam keadaan gerak bintang terhadap pengamat akan diperoleh persamaan efek Dopplernya sebagai berikut :

1. Pengamat bergerak tegak lurus terhadap sumber cahaya (tranversal) Dalam kerangka acuan pengamat 2 2

0/ 1 v /c

(48)

2. Pengamat menjauhi sumber cahaya.

Pengamat yang menempuh jarak vt menjauhi sumber cahaya maka cahaya mengambil waktu vt/c lebih panjang untuk sampai kepadanya sehingga,

dan didapatkan frekuensi yang teramati oleh pengamat adalah,

c

3. Pengamat mendekati sumber cahaya

Pengamatnya dalam hal ini menempuh jarak vt/c mendekati sumber cahaya, sehingga gelombang cahaya mengambil vt/c lebih pendek untuk sampai padanya. Dalam kasus ini T =t−vt c dan hasilnya

Frekuensi yang teramati lebih tinggi daripada frekuensi sumber. (Arthur Beiser, 1983)

2.4. Gerak Bumi dan Matahari

(49)

Gerak Sumbu Pusat Kerangka Acuan Periode Kecepatan

Sekitar sumbu bumi

Sekitar matahari

Tabel 2.3 Gerak Bumi dan Matahari

2.5 Teori Relativitas Einstein

Dari tabel 2.3 dapat diketahui bahwa bumi melakukan gerak rotasi pada sumbunya, presesi dan berevolusi terhadap matahari. Setiap gerak ini dapat dikaitkan terhadap matahari atau bintang lainnya. Bumi bersama dengan matahari bergerak relatif terhadap bintang lokal dan bintang lokal (termasuk di dalamnya matahari) bergerak mengelilingi pusat galaksi bima sakti. Gerak galaksi ini menjadi acuan terhadap gerak galakasi lainnya. Gerak galaksi kita terhadap galaksi lainnya merupakan bentuk dari gerak grup galaksi lokal. Tidak terdapat gerak spesifik yang menunjukkan adanya kerangka acuan universal yang absolut. Konsep gerak relatif ini dinamakan teori relativitas.

(50)

yaitu relativitas Khusus (Special Relativity) dan relativitas Umum (General Relativity).

Dalam Teori Relativitas Khusus subjek yang menjadi fokus adalah kerangka acuan yang inersial. Kerangka acuan yang inersial yaitu kerangka acuan yang padanya hukum gerak Newton berlaku. Sedangkan Teori relativitas umum berkaitan dengan situasi yang lebih rumit dimana kerangka acuan mengalami percepatan gravitasi. Teori Relativitas Khusus didasari pada postulat Einstein, yang mengubah pemahaman klasik tentang relativitas.

Postulat Einstein meskipun nampak aneh dan sulit dipahami, namun kenyataan eskperimen modern sesuai dengan postulat tersebut dan perkembangan teknologi modern saat ini semua didasari postulat tersebut. Ada tiga asas yang melandasi teori relatvitas khusus, yaitu :

1. Untuk setiap gerakan berkelajuan rendah (momentum rendah), konsep-konsep dan hukum relativistik yang muncul harus sesuai dengan konsep-konsep yang telah ada dalam teori Newton.

2. Semua hukum alam bersifat tetap bentuknya (kovarian) terhadap perpindahan peninjauan kerangka inersia satu menunju kerangka inersia yang lain.

3. Laju maksimal yang dapat dimiliki oleh isyarat tidak bergantung (invarian) dari kerangka inersia yang digunakan.

2.5.1 Teori Relativitas Khusus

(51)

Terdapat dua pendekatan yang digunakan untuk menelusuri kaedah transformasi antara besar-besaran fisis (transformasi lorentz) dari kerangka inersia yang satu (K) menuju kerangka inersia lainnya (K’) yang bergerak dengan kecepatan konstan v terhadap K.

Pendekatan pertama yang digunakan bersifat konvensional yaitu dengan memilih ruang dan waktu sebagai variabel awal yang digunakan dalam merumuskan kaedah transformasi Lorentz. Dengan pendekatan ini, kaedah transformasi untuk besaran momentum dan energi ditelusuri. Pendekatan kedua bersifat pendekatan energetika, yaitu dengan memilih momentum energi sebagai variabel awal. (Rinto Anugraha NQZ, 2004)

2.5.2 Teori Relativitas Umum

Relativitas umum (general relativity) adalah sebuah yang diperkenalkan ole gravitasi bukan sebagai yang dapat diilustrasikan yaitu dengan air yang tenang yang dimasukkan ke dalamnya suatu benda massif. Benda massif ini akan menghasilkan pusaran air disekelilingnya. Benda yang kurang massif yang ditempatkan dalam pusaran air tersebut akan mengikuti pergerakan pusaran air ini.

(52)

gravitasi, teori relativitas umum merupakan teori paling sederhana yang konsisten dengan data-data eksperimen.

Teori Einstein memiliki implikasi astrofisika yang penting. Teori ini memprediksikan adanya keberadaan daerah terdistorsi sedemikiannya tiada satu pun, bahkan cahaya pun, yang dapat lolos darinya. Terdapat bukti bahwa lubang hitam bertanggungjawab terhada yang dipancarkan oleh objek-objek astronomi tertentu, seperti usaha yang dilakukan untuk mengukurnya secara langsung. Selain itu, relativitas umum adalah dasar dari model kosmologis untuk alam semesta yang terus berkembang.

2.5.3 Transformasi Galilean.

Transformasi Galilean adalah tranformasi yang bersifat invarian terhadap hukum mekanika Newton. Hukum mekanika Newton membahas tentang gerak relatif suatu kerangka inersia terhadap kerangka inersia lainnya. Pada awalnya ada penelitian tentang fenomena elektrodinamika, cahaya dianggap memiliki kecepatan tak berhingga, dan kejadian yang sama akan diamati dari kerangka inersia yang berbeda. Sistem inersia ini didefinisikan sebagai suatu kerangka acuan dimana hukum inersia Newton (hukum pertama Newton Berlaku).

Untuk suatu kejadian di titik p seperti ditunjukkan pada gambar 2.8 maka transformasi Galilean akan menunjukkan hubungan untuk dimensi ruang dan waktu dari kejadian p berdasarkan pengamatan yang dilakukan pengamat pada kerangka inersianya masing-masing sebagai berikut.

t x x'= −v

(53)

z z'=

t

t'= (2.38)

2.5.4 Transformasi Lorentz

Hukum mekanika Newton invarian terhadap transformasi Galilean sehingga persamaan Newton menggambarkan hubungan kesamaan bentuk yang tidak bergantung terhadap kecepatan kerangka acuan. Ketika cahaya dan fenomena elektrodinamika diselediki timbullah suatu masalah baru yang disebabkan cahaya memiliki kecepatan berhingga, c sehingga peninjauan terhadap transformasi galilean bahwa kecepatan relatif terhadap seorang pengamat seharusnya bergantung terhadap kerangka acuannya maka lahirlah teori relativitas Einstein.

Seperti halnya hukum gerak Newton yang kesamaan hubungannya dihubungkan transformasi Lorentz maka teori relativitas Einstein dijelaskan dengan tentang kelajuan cahaya diamati invarian dalam setiap kerangka acuan yang bergerak uniform terhadap kerangka acuan yang lain dihubungkan dengan suatu pendekatan yaitu transformasi Lorentz yang persamaan transformasinya dinyatakan dalam persamaan (2.38)

Bila dikaji lebih lanjut, koordinat ruang dan koordinat waktu mempunyai kaitan erat. Waktu pengamatan untuk setiap pengamat tidaklah sama; t’ bergantung pada x dan juga pada t. Jika dibiarkan c→∝ maka persamaan Lorentz akan tereduksi menjadi persamaan Galilean.(Halliday, Resnick, 1992)

(54)

z

Gambar 2.8 Sistem Koordinat ruang K dan K’

Dari sistem koordinat yang ditunjukkan dalam gambar 2.8 didapatkan penyelesaian yaitu persamaan :

2

(55)

BAB 3

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Fenomena Bintang Tampak Berkelip dan Kaitannya dengan Posisinya di Jagat Raya Menurut Teori Relativitas Einstein.

Teori relativitas Einstein adalah sebutan untuk kumpulan dua teori fisika yaitu teori relativitas umum dan teori relativitas khusus. Kedua teori ini diciptakan untuk menjelaskan bahwa gelombang elektromagnetik tidak sesuai dengan mekanika Newton. Hukum mekanika Newton hanya dapat digunakan dalam kasus gerak dengan kelajuan v << c dan tidak dapat digunakan pada laju yang mendekati laju cahaya.

Teori Relativitas khusus menjelaskan bahwa jika ada dua orang pengamat yang masing-masing berada dalam kerangka acuan lembam (inersia) dan kerangka acuan yang bergerak dengan kecepatan sama relatif terhadap pengamat lain, maka kedua pengamat tersebut tidak dapat menentukan kerangka acuan lainnya bergerak relatif terhadapnya atau diam. Teori relativitas khusus disandarkan pada postulat bahwa kelajuan cahaya akan sama terhadap semua pengamat yang berada dalam kerangka acuan inersia dan hukum fisika memiliki bentuk matematis yang sama dalam kerangka acuan lembam manapun.

(56)

Teori relativitas umum menggantikan hukum gravitasi Newton. Teori ini menggunakan matematika geometri diferensial dan tensor untuk menjelaskan gravitasi. Teori ini memiliki bentuk yang sama bagi seluruh pengamat, baik bagi pengamat yang bergerak dalam kerangka acuan lembam ataupun bagi pengamat yang bergerak dalam kerangka acuan yang dipercepat. Dalam relativitas umum, gravitasi bukan lagi sebuah gaya (seperti dalam Hukum gravitasi Newton) tetapi merupakan konsekuensi dari kelengkungan (curvature) ruang-waktu. Relativitas umum menunjukkan bahwa kelengkungan ruang-waktu ini terjadi akibat kehadiran massa.

Matahari memiliki massa dan energi yang besar sehingga menyebabkan pusaran lengkung Ruang-Waktu itu. Lengkungan yang berbentuk pusaran itulah yang menyebabkan Bumi terus berputar-putar mengelilingi matahari, seakan-akan bumi terjebak dalam pusarannya dan Bumi juga membentuk pusaran yang menjebak bulan untuk terus mengelilinginya.

Keadaan ini dapat diilustrasikan pada air yang diaduk dalam sebuah gelas, maka akan tercipta pusaran. Pusaran tengahnya anggap sebagai matahari. Bila dalam pusaran diletakkan sebutir kacang dalam putaran itu, maka kacang itu akan terus berputar-putar dalam pusaran itu. Seperti itulah dasarnya Bumi terus mengitari Matahari.

Fenomena bintang tampak berkelip terjadi karena pengamat tidak dapat menerima cahaya yang dipancarkan bintang dengan intensitas konstan setiap saat. Hal ini disebabkan oleh gerak relatif bintang terhadap pengamat dan keberadaan atmosfer bumi.

(57)

Atmosfer bumi

Gambar 3.1 Gerak relatif bintang terhadap pengamat.

Hubungan posisi bintang yang terlihat menurut pengamat di bumi ( kerangka acuan K) dan pengamat yang berada dalam kerangka acuan yang sama dengan bintang ( kerangka acuan K’) melalui persamaan transformasi Lorentz adalah sebagai berikut.

2

Oleh karena kelajuan relatif kerangka acuan K’ terhadap kerangka acuan K yaitu v sangat kecil dibandingkan cepat rambat cahaya c maka persamaan transformasi Lorentz akan tereduksi menjadi persamaan transformasi galilean yaitu :

t

(58)

Bila u' adalah kelajuan relatif bintang terhadap kerangka acuan K’(pusat galaksi) dan

uadalah kelajuan relatif bintang terhadap pengamat di bumi, u'dan udiambil dalam

arah sumbu x, jika

dengan mensubstitusikan persamaan (3.1) ke dalam persamaan (3.3) diperoleh,

'

(3.4) bila diselesaikan akan didapatkan,

)

(59)

Persamaan (3.7) juga dapat diperoleh bila nilai v/c→0 disubstitusikan ke dalam persamaan (3.5) didapatkan,

Untuk v/c→0

Sehingga sekali lagi dapat dibuktikan bahwa persamaan transformasi Lorentz akan tereduksi menjadi persamaan transformasi Galilean untuk v<<c atau v/c→0.

Disamping itu, bila u'=c maka selalu diikuti dengan u =c tanpa mempersoalkan berapa nilai v. Keadaan u'=c terjadi bila yang diamati pengamat adalah pulsa cahaya. Dengan mensubstitusikan u'=c ke dalam persamaan (3.5) didapatkan,

Hal ini membuktikan postulat Einstein bahwa kelajuan cahaya akan sama terhadap semua pengamat yang berada dalam kerangka acuan inersia.

Gambar 3.2 menunjukkan perambatan cahaya yang disebabkan gerak relatif bintang terhadap pengamat yang melalui lapisan atmosfer. Gerak relatif bintang terhadap pengamat menyebabkan pengamat menerima pancaran cahaya yang berasal dari bintang dalam arah yang berbeda. Tetapi karena perubahan posisi bintang terjadi dalam satu arah maka pengamat akan menerima pancaran cahaya yang semakin melemah atau semakin menguat tergantung arah gerak relatif bintang menjauhi atau mendekati pengamat.

(60)

Gerak relatif bintang terhadap pengamat bintang terhadap pengamat akan sangat menentukan perubahan arah penerimaan cahaya oleh pengamat. Pembiasan cahaya oleh lapisan atmosfer bumi tanpa diikuti oleh perubahan posisi bintang akibat gerak relatif bintang terhadap pengamat tidak akan menyebabkan pengamat menerima pancaran cahaya bintang dalam arah yang berbeda setiap saat sehingga fenomena bintang tampak berkelip tidak akan terjadi. Keadaan ini akan terpenuhi apabila molekul udara di lapisan atmosfer bumi tidak bergerak. Demikian juga apabila tidak terdapat lapisan atmosfer bumi, walaupun perubahan posisi bintang sangat jelas maka yang teramati oleh pengamat adalah efek Doppler.

Gambar. 3.2 Gerak relatif Bintang Menurut Pengamat di Bumi.

(61)

kerangka inersia atmosfer bumi (K’) maka bintang akan terlihat bergerak dengan kelajuan uo, dengan,

t u u = o −v

Laju sebesar uo, misalkan diambil kecepatan rata-rata bintang yang bertetangga dengan matahari yaitu 2 x 104 meter per detik dan diandaikan kecepatan ini adalah kecepatan bintang yang terlihat oleh pengamat di bumi. Maka perubahan posisi bintang menurut pengamat di bumi (x0 ) dalam selang waktu t = 0,5 detik adalah :

Perubahan posisi bintang sebesar itu bila dibandingkan dengan jarak bintang terhadap matahari misalkan sebagai contoh Proxima Centauri yang berjarak 4,27 tahun cahaya dari matahari atau sekitar 4,04 x 1015 meter dan jarak matahari ke bumi adalah 1 satuan astronomi (SA) yaitu 1,496 x 1011 meter maka dengan perhitungan matematis didapatkan :

Jarak bintang dari bumi = (4,04x1015)2 +(1,496x1011)2

= 1,63x1031 +2,24x1022

= 1,63x1031

= 4,037 x 1015 meter dan perbandinganya adalah sebagai berikut :

12

derajat. Nilai θsebesar itu

tidak menunjukkan perubahan posisi bintang menurut pengamat sehingga dapat dikatakan bintang tidak bergeser dari posisi awalnya.

θ menunjukkan besar perubahan posisi bintang berdasarkan sudut pengamatan

(62)

dengan bumi yang bergerak dengan kelajuan yang tidak terlalu besar contohnya matahari, perubahan posisinya akan terlihat lebih jelas.

Matahari yang termasuk golongan bintang kelas G yang berwarna putih kekuningan karena faktor jaraknya terhadap bumi, perubahan posisinya lebih jelas terlihat tetapi ukurannya yang tampak menurut pengamat di bumi juga lebih besar sehingga matahari tidak tampak berkelip. Bintang yang jaraknya sangat jauh dari bumi tampak sebagai titik cahaya sehingga cahayanya tampak hanya sebagai cahaya tunggal (sinar) bukan sebagai berkas cahaya akan mudah dibiaskan (dirubah arah rambatannya) oleh atmosfer bumi yang memiliki indeks bias yang beragam pada setiap lapisannya karena pengaruh kerapatan partikel udara. Kerapatan partikel udara di lapisan atmosfer disebabkan perbedaan tekanan udara pada setiap lapisannya.

Teori relativitas Einstein yang merupakan konsep yang menjelaskan gerak relatif suatu kerangka inersia terhadap kerangka inersia lainnya dengan kelajuan konstan, untuk fenomena bintang tampak berkelip menunjukkan bagaimana gerak relatif bintang terhadap pengamat di bumi dan pengaruhnya terhadap perubahan posisi bintang yang terlihat oleh pengamat di bumi.

Dari perhitungan matematis yang dilakukan dan pengamatan terhadap bintang tertentu akan diperoleh bahwa posisi bintang tidak mengalami perubahan berarti sepanjang tahun relatif terhadap pengamat di bumi yang diam terhadap kerangka inersianya di bumi. Sehingga, arah penerimaan pancaran cahaya bintang hanya mengalami sedikit perubahan. Perubahan arah penerimaan cahaya setiap waktunya menyebabkan pengamat menerima frekuensi cahaya yang berbeda setiap saat. Penerimaan frekuensi cahaya yang berbeda ini didukung dengan keberadaan atmosfer bumi yang membiaskan cahaya yang melaluinya.

(63)

Bintang Posisi bintang yang

sebenarnya

Posisi bintang yang

tampak oleh pengamat Garis normal

Gambar 3.3 Posisi bintang dan arah pengamatan dari pengamat akibat terjadinya pembiasan di lapisan atmosfer.

Gambar 3.3 menunjukkan perubahan posisi bintang akibat pembiasan di lapisan atmosfer bumi. Pembiasan menyebabkan pengamat melihat bintang berada pada posisi yang berbeda dari posisinya yang sebenarnya. Gerak relatif bintang seperti yang telah di bahas sebelumnya hanya memberikan perubahan posisi bintang yang sangat kecil disebabkan posisinya yang sangat jauh dari bumi, sehingga ketika bintang berada di zenit dimana efek pembiasan cahaya oleh atmosfer bumi hampir tidak ada maka bintang tidak tampak berkelip. Jadi, posisi bintang terhadap pengamat sangat menentukan bintang akan tampak berkelip atau tidak.

Perubahan arah pancaran cahaya bintang disebabkan pembiasan cahaya, menyebabkan bintang terlihat berada pada posisi yang bukan merupakan posisi sebenarnya. Pembiasan cahaya melalui medium atmosfer yang memiliki indeks bias yang sedikit lebih besar dari indeks bias vakum menyebabkan posisi bintang tampak lebih tinggi dari posisi sebenarnya seperti tampak pada gambar 3.3.

Gambar

Gambar 2.1 Pembagian lapisan atmosfer berdasarkan suhu.
Gambar 2.2 Lapisan Termosfer.
Tabel 2.1 Komposisi gas atmosfer pada ketinggian 0 km di atas permukaan laut.
Gambar 2.3  Perambatan cahaya bintang melalui atmosfer bumi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Metode FMEA adalah metode yang bertujuan untuk mengidentifikasi, memprioritaskan, dan mengurangi permasalahan dari suatu proses, sedangkan KPI adalah metode

Penelitian ini bertujuan: untuk melakukan evaluasi peruntukan ruang di Kawasan Teluk Bungus menurut Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Peta Zonasi Pesisir serta

Kesimpulan yang diambil dari perancangan ini adalah motif Kaligrafi Arab yang diterapkan dalam perancangan tirai dapat memberikan alternatif motif bagi ruang tamu,

Pada penelitian ini, peubah jumlah daun tidak menunjukkan beda nyata antar perlakuan bahkan mulai umur 0-3 BST hal ini diduga terjadi karena naungan lebih berpengaruh terhadap

Jika kamu tidak membentuk dirimu dengan baik, yakni hidup benar dan jujur serta melakukan kehendak Allah sejak dini, maka dapat saja di masa yang akan datang kamu menjadi orang

Sehingga menjadi suatu hal yang sangat penting untuk melakukan penelitian mengenai pengelolaan obat terutama penyimpanan obat di puskesmas untuk mengetahui seberapa

Pilihan dengan besaran tidak berurut: pada soal di atas dapat terlihat bahwa pilihan  jawaban yang mengandung suatu ukuran tidak diurutkan dari yang kecil (paling

DESAIN DIDAKTIS BERBASIS REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME) PADA MATERI PECAHAN KELAS IV SEKOLAH DASAR.. Universitas Pendidikan Indonesia| repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu