SKRIPSI
OLEH :
LISDA OKTARI NIM. 101000006
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
OLEH :
LISDA OKTARI NIM. 101000006
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan disebabkan kurangnya asupan makanan dan penyakit infeksi, serta meningkatnya kebutuhan metabolik, sehingga memperparah kekurangan gizi pada anak. Keadaan ini semakin mempersulit untuk mengatasi gangguan pertumbuhan yang akhirnya berpeluang terjadinya stunted. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pola konsumsi anak stunting di SDN 064994 Medan Marelan.
Jenis penelitian ini bersifat observasional dengan desain penelitian cross sectional. Penelitian ini dilakukan dengan menghitung kecukupan energi, protein, kalsium, fosfor, magnesium, seng vitamin A dan vitamin C dengan menggunakan metode food recall 24 jam. Sampel pada penelitian ini yaitu seluruh siswa/i stunting
sebanyak 67 orang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola konsumsi anak stunting di SDN 064994 menurut jumlah makanan berdasarkan kecukupan zat gizi makro yaitu kecukupan energi sebesar 68,7% tergolong defisit, kecukupan protein sebesar 47,8% tergolong baik, dan untuk kecukupan zat gizi mikro yaitu kalsium sebesar 80,6%, fosfor sebesar 53,7%, seng sebesar 98,5% dan vitamin C sebesar 80,6% tergolong kurang, sementara kecukupan magnesium sebesar 62,7% dan vitamin A sebesar 50,7% kategori cukup. Menurut jenis makanan rata-rata yang dikonsumsinya 3 jenis per hari dan sebagian besar anak stunting mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok, ikan dan telur sebagai lauk pauk, bayam, kangkung dan sawi hijau sebagai sayur.
Dari hasil penelitian disarankan pihak sekolah bekerjasama dengan puskesmas agar memberikan penyuluhan gizi anak sekolah serta kepada pihak kantin agar menyediakan jajanan sehat dan kepada siswa/i stunting agar mengonsumsi sayuran dan buah-buahan setiap hari untuk dapat mengejar ketertinggalan pertumbuhan.
The children who experience obstacles into growth caused lack of the adequate food intake and infectious diseases, so that exacerbate malnutrition of children. This condition more difficult to cope growth disorders that finally likely occurrence of stunted. This research aims to know description the consumption pattern of child stunting in SDN 064994 Medan Marelan.
Types of study is an observational of cross sectional study design. This study doing by calculating energy sufficiency, protein, calcium, phosphorus, magnesium, zinc, vitamin A and vitamin C by using 24 hours food recall method. This sample of research is all students stunting as many as 67 people.
The results of this study to show that the consumption pattern of child stunting in SDN 064994 according to the amount of food based on the adequacy of macro nutrients such as energy sufficiency is 68,7% deficient category, protein sufficiency is 47,8% good category, and to the adequacy of micro nutrients such as calcium sufficiency is 80,6%, phosphorus is 53,7%, zinc is 98,5% and vitamin C is 80,6% medium category, while magnesium is 62,7% and vitamin A is 50,7% sufficient category. By the type of food consumed an average of 3 types per day and most of the child stunting consume rice as staple food, fish and eggs as a side dish, spinach, kale and mustard greens as a vegetable.
From the results of the study suggested the school in cooperate with the primary health care that gives nutritional education school children and to cafeteria that provide healthy snacks and to students stunting to consume vegetables and fruits every day to be able to catch up growth.
Nama : Lisda Oktari
Tempat/Tanggal Lahir : Tanjungbalai/ 16 Oktober 1992
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Menikah
Jumlah Bersaudara : 11 (Sebelas)
Alamat Rumah : Jl. Jamin Ginting Gg. Dipanegara No. 25 Padang
Bulan Medan.
Alamat Orangtua : Jl. Bakti LK IV Kel. K. Kubah Kec. S.T.Raso
Tanjungbalai.
Riwayat Pendidikan
Tahun 1998 – 2004 : SD Negeri 132414 Tanjungbalai
Tahun 2004 – 2007 : MTsS YMPI Tanjungbalai
Tahun 2007 – 2010 : SMA Negeri 1 Tanjungbalai
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi dengan
judul “Gambaran Pola Konsumsi Anak Stunting di SDN 064994 Kelurahan Tanah Enam Ratus Kecamatan Medan Marelan”. Skripsi ini adalah salah satu
syarat yang ditetapkan untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orangtua tercinta, Ayahanda
Ridwan K. dan Ibunda Asmah Dalimunthe yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh kasih sayang serta dukungan dan doa yang tiada pernah henti
diberikan kepada penulis dalm menyelesaikan pendidikan.
Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, M.S. selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si selaku Ketua Departemen Gizi
Kesehatan Masyarakat FKM USU.
3. Ibu Ernawati Nasution, SKM, M.Kes selaku dosen pembimbing I dan Ibu Fitri
Ardiani, SKM, MPH selaku dosen pembimbing II yang telah meluangkan
waktu dan pemikirannya dalam memberikan bimbingan, kritikan dan saran
kepada penulis untuk penyempurnaan skripsi ini.
4. Ibu Dra. Jumirah, Apt, M.Kes selaku dosen penguji I dan bapak dr. Mhd.
5. Seluruh Dosen dan pegawai administrasi di lingkungan FKM USU khususnya
dosen Departemen Gizi Kesehatan Masyarakan FKM USU dan Bapak
Marihot Samosir S.T yang telah sabar membantu penulis dalam segala urusan
administrasi.
6. Kepala sekolah SDN 064994 Kelurahan Tanah Enam Ratus Kecamatan
Medan Marelan yang telah memberikan izin melakukan penelitian dan
memberikan informasi terkait dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Guru-guru, Staff dan siswa/i SDN 064994 Kelurahan Tanah Enam Ratus
Kecamatan Medan Marelan yang telah meluangkan waktunya dan ikut
berpartisipasi untuk membantu penulis dalam penelitian.
Selanjutnya secara khusus penulis juga mengucapkan terima kasih yang tulus
kepada :
1. Saudara tercinta Maryani S.E yang telah mendukung baik secara moril dan
materil serta doa yang tulus kepada penulis dan juga abanganda Aswan; Putra;
Aswin; dan kakanda Zuraida; Asmiati; Rismah; Putri; Rosmini dan Mahyuni.
2. Saudara tercinta Abanganda Fadhli Nurzal S. Ag yang telah turut membantu
saya dalam kendala yang dihadapi pada masa awal perkuliahan sampai akhir.
3. Sahabat tercinta Enita Rizka Wahtuni Nasution SKM, yang telah membantu,
bekerjasama, dan saling memotivasi dan berjuang dalam penyelesaian skripsi
5. Sahabat seatap sepenanggungan penulis Tri Suci, Helena, Rafida, Kak Debby,
dan Kak Novi yang tersayang.
6. Sahabat seperjuangan di FKM USU, Bertha Nababan SKM dan Vella Regalia
SKM yang turut membantu dalam penelitian.
7. Untuk semua pihak yang banyak membantu yang tidak dapat penulis sebutkan
satu-persatu, terima kasih banyak untuk semangat, dukungan dan doa yang
diberikan.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan
sehingga diperlukan kritik dan saran yang membangun. Semoga Allah senantiasa
melimpahkan karunia-Nya dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak.
Medan, Januari 2015
Peneliti
LEMBAR PENGESAHAN ... i
2.6 Faktor yang Berhubungan dengan Stunting ... 25
2.6.1 Asupan Makanan ... 25
2.6.8 Status Ekonomi Keluarga ... 31
2.7Penilaian Status Gizi ... 32
2.7.1Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) ... 32
2.7.2Klasifikasi Status Gizi ... 33
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 41
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 41
4.2 Karakteristik anak Stunting di SDN 064994 Medan Marelan 41 4.3 Anak Stunting ... 42
4.4 Pola Konsumsi ... 44
4.4.1 Jumlah Asupan Makanan ... 44
4.4.2 Jenis Makanan ... 46
4.4.3 Frekuensi Makan ... 46
4.5 Pola Konsumsi Anak SDN 064994 Berdasarkan Kategori Stunting ... 48
4.5.1 Jumlah Asupan Makanan Berdasarkan Kategori Stunting ... 48
4.5.2 Jenis Makanan Berdasarkan Kategori Stunting ... 52
BAB V PEMBAHASAN ... 53
5.1 Kecukupan Energi Anak Stunting ... 53
5.2 Kecukupan Protein Anak Stunting ... 54
5.3 Kecukupan Kalsium Anak Stunting ... 55
5.4 Kecukupan Fosfor Anak Stunting ... 56
5.5 Kecukupan Magnesium Anak Stunting ... 57
5.6 Kecukupan Seng Anak Stunting ... 58
5.7 Kecukupan Vitamin A dan Vitamin C Anak Stunting ... 59
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 62
6.1 Kesimpulan ... 62
6.2 Saran ... 62
Tabel 2.1 Kebutuhan Zat Gizi Anak Menurut Kelompok Umur
(AKG, 2004) ... 11
Tabel 2.2 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks TB/U ... 34
Tabel 4.1 Karakteristik Anak Stunting di SDN 064994 ... 42
Tabel 4.2 Distribusi Anak Stunting di SDN 064994... 43
Tabel 4.3 Distribusi Stunting Berdasarkan Umur di SDN 064994 ... 43
Tabel 4.4 Distribusi Stunting Berdasarkan Jenis Kelamin Anak Stunting di SDN 064994 ... 43
Tabel 4.5 Distribusi Kecukupan Energi, Protein, Kalsium, Fosfor, Magnesium, Seng, Vitamin A dan Vitamin C Anak Stunting di SDN 064994 ... 45
Tabel 4.6 Distribusi Jenis Makanan Anak Stunting di SDN 064994 ... 46
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Makan Anak Stunting SDN 064994 Berdasarkan Makanan Pokok, Lauk Hewani, Lauk Nabati, dan Sayuran ... 47
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Makan Anak Stunting SDN 064994 Berdasarkan Makanan Jenis Buah-buahan dan Jajanan ... 48
Tabel 4.9 Tabulasi Silang Kecukupan Energi Berdasarkan Kategori Stunting ... 49
Tabel 4.10 Tabulasi Silang Kecukupan Protein Berdasarkan Kategori Stunting ... 49
Tabel 4.11 Tabulasi Silang Kecukupan Kalsium Berdasarkan Kategori Stunting ... 50
Tabel 4.12 Tabulasi Silang Kecukupan Fosfor Berdasarkan Kategori Stunting ... 50
Stunting ... 51
Tabel 4.15 Tabulasi Silang KecukupanVitamin A Berdasarkan Kategori
Stunting ... 51
Tabel 4.16 Tabulasi Silang Kecukupan Vitamin C Berdasarkan Kategori
Stunting ... 52
Gambar 1 Kerangka Teori ... 34
Anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan disebabkan kurangnya asupan makanan dan penyakit infeksi, serta meningkatnya kebutuhan metabolik, sehingga memperparah kekurangan gizi pada anak. Keadaan ini semakin mempersulit untuk mengatasi gangguan pertumbuhan yang akhirnya berpeluang terjadinya stunted. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pola konsumsi anak stunting di SDN 064994 Medan Marelan.
Jenis penelitian ini bersifat observasional dengan desain penelitian cross sectional. Penelitian ini dilakukan dengan menghitung kecukupan energi, protein, kalsium, fosfor, magnesium, seng vitamin A dan vitamin C dengan menggunakan metode food recall 24 jam. Sampel pada penelitian ini yaitu seluruh siswa/i stunting
sebanyak 67 orang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola konsumsi anak stunting di SDN 064994 menurut jumlah makanan berdasarkan kecukupan zat gizi makro yaitu kecukupan energi sebesar 68,7% tergolong defisit, kecukupan protein sebesar 47,8% tergolong baik, dan untuk kecukupan zat gizi mikro yaitu kalsium sebesar 80,6%, fosfor sebesar 53,7%, seng sebesar 98,5% dan vitamin C sebesar 80,6% tergolong kurang, sementara kecukupan magnesium sebesar 62,7% dan vitamin A sebesar 50,7% kategori cukup. Menurut jenis makanan rata-rata yang dikonsumsinya 3 jenis per hari dan sebagian besar anak stunting mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok, ikan dan telur sebagai lauk pauk, bayam, kangkung dan sawi hijau sebagai sayur.
Dari hasil penelitian disarankan pihak sekolah bekerjasama dengan puskesmas agar memberikan penyuluhan gizi anak sekolah serta kepada pihak kantin agar menyediakan jajanan sehat dan kepada siswa/i stunting agar mengonsumsi sayuran dan buah-buahan setiap hari untuk dapat mengejar ketertinggalan pertumbuhan.
The children who experience obstacles into growth caused lack of the adequate food intake and infectious diseases, so that exacerbate malnutrition of children. This condition more difficult to cope growth disorders that finally likely occurrence of stunted. This research aims to know description the consumption pattern of child stunting in SDN 064994 Medan Marelan.
Types of study is an observational of cross sectional study design. This study doing by calculating energy sufficiency, protein, calcium, phosphorus, magnesium, zinc, vitamin A and vitamin C by using 24 hours food recall method. This sample of research is all students stunting as many as 67 people.
The results of this study to show that the consumption pattern of child stunting in SDN 064994 according to the amount of food based on the adequacy of macro nutrients such as energy sufficiency is 68,7% deficient category, protein sufficiency is 47,8% good category, and to the adequacy of micro nutrients such as calcium sufficiency is 80,6%, phosphorus is 53,7%, zinc is 98,5% and vitamin C is 80,6% medium category, while magnesium is 62,7% and vitamin A is 50,7% sufficient category. By the type of food consumed an average of 3 types per day and most of the child stunting consume rice as staple food, fish and eggs as a side dish, spinach, kale and mustard greens as a vegetable.
From the results of the study suggested the school in cooperate with the primary health care that gives nutritional education school children and to cafeteria that provide healthy snacks and to students stunting to consume vegetables and fruits every day to be able to catch up growth.
1.1. Latar Belakang
Keadaan gizi kurang dapat ditemukan pada setiap kelompok masyarakat. Pada
hakikatnya keadaan gizi kurang dapat dilihat sebagai suatu proses kurang asupan
makanan ketika kebutuhan normal terhadap satu atau beberapa zat gizi tidak
terpenuhi. Anak sekolah yang kekurangan gizi disebabkan oleh kekurangan gizi pada
masa balita dan kurangnya konsumsi gizi yang seimbang dalam makanannya
sehari-hari sehingga tidak adanya pencapaian pertumbuhan yang sempurna pada masa
berikutnya. Anak yang menderita kekurangan gizi akan mengakibatkan daya
tangkapnya berkurang, penurunan konsentrasi belajar, anak tidak aktif bergerak,
lemah daya tahan tubuhnya, dan pertumbuhan fisik tidak optimal sehingga postur
tubuh anak cendrung pendek.
Anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan disebabkan
kurangnya asupan makanan yang memadai dan penyakit infeksi yang berulang, dan
meningkatnya kebutuhan metabolik serta mengurangi nafsu makan, sehingga
meningkatnya kekurangan gizi pada anak. Keadaan ini semakin mempersulit untuk
mengatasi gangguan pertumbuhan yang akhirnya berpeluang terjadinya stunted.
Stunting merupakan kegagalan untuk mencapai pertumbuhan optimal yang disebabkan oleh keadaan gizi kurang yang berlangsung dalam waktu yang lama.
Status stunting dihitung dengan menggunakan baku antropometri WHO 2007 untuk anak umur 5-19 tahun yaitu dengan menghitung nilai Z-score TB/U masing-masing
Prevalensi stunting dibeberapa Negara di Afrika, Asia, Amerika Selatan dan
Amerika Tengah dan Kaniba berkisar antara 30-50%. Prevalensi stunting pada
anak-anak berusia dibawah lima tahun di Guatemala mengalami peningkatan di tahun 1998
prevalensi stunting 53,1% dan pada tahun 2002 menjadi 54,3%. Begitu juga dengan
Haiti mengalami peningkatan dari tahun 2000 prevalensi stunting 28,3% menjadi
29,7% pada tahun 2006, dan Peru terjadi penurunan di tahun 1996 yaitu 31,6%,
prevalensi stunting di Peru masih berada dikisaran 30% pada tahun 2005, sedangkan
prevalensi stunting di Asia tahun 2007 adalah 30,6% (UNSCN, 2008).
Prevalensi stunting di Indonesia secara nasional tahun 2007 sebesar 36,8%, kemudian terjadi penurunan di tahun 2010 menjadi 35,6% dan meningkat kembali
pada tahun 2013 sebesar 37,2%. Berdasarkan cut off point untuk stunting secara nasional pada kategori sangat pendek di tahun 2010 sampai tahun 2013 terjadi
penurunan sebesar 18,5% menjadi 18,0%, dan untuk kategori pendek terjadi kenaikan
dari 17,1% menjadi 19,2%. Angka tersebut masih dikategorikan tinggi karena masih
berada diatas target MDG’s yaitu 32% (Depkes RI, 2013). Berdasarkan Riskesdas
tahun 2010 prevalensi stunting di Sumatera Utara sebesar 43,2% dengan kategori
sangat pendek sebesar 20,6% dan pendek sebesar 22,6% (Depkes, 2010). Masalah
kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi sangat pendek sebesar 30-39%
dan serius bila prevalensi pendek >40% (WHO, 2010). Terdapat 20 provinsi diatas
prevalensi nasional termasuk Sumatera Utara yang berada pada urutan kedelapan dan
termasuk kategori serius (Depkes RI, 2013).
Anak sekolah dasar baik laki-laki dan perempuan sedang mengalami masa
bangsa di masa depan. Lebih dari sepertiga (36,1%) anak usia sekolah di Indonesia
tergolong pendek ketika memasuki usia sekolah. Hal ini merupakan indikator kurang
gizi kronis. Prevalensi anak pendek ini semakin meningkat dengan bertambahnya
umur, dan gambaran ini ditemukan baik pada laki-laki maupun perempuan (Devi,
2012).
Gizi dibutuhkan anak sekolah untuk pertumbuhan dan perkembangan, energi,
berpikir, beraktivitas fisik, dan daya tahan tubuh. Zat gizi yang dibutuhkan anak
sekolah adalah seluruh zat gizi yang terdiri dari zat gizi makro seperti karbohidrat,
protein, lemak, serta zat gizi mikro seperti vitamin, dan mineral. Kebutuhan energi
golongan umur 10-12 tahun relatif lebih besar daripada golongan umur 7-9 tahun,
karena pertumbuhan relatif cepat terutama penambahan tinggi badan (Cakrawati dan
Mustika, 2011).
Pada rentang usia 10-12 tahun kebutuhan kalsium, seng, dan fosfor mulai
mulai meningkat dan merupakan angka tertinggi sepanjang kehidupan. Hal ini
disebabkan pada usia 10-18 tahun adalah masa pertumbuhan tinggi badan yang begitu
pesat dan pembentuk masa tulang atau kepadatan tulang, untuk itu dibutuhkan nutrisi
yang cukup pada rentang usia tersebut ( Almatsier, 2001).
Berdasarkan penelitian Setijowati (2005), bahwa rendahnya TB/U
dikarenakan rendahnya asupan kalori dan protein yang tentunya ditunjang dengan
rendahnya konsumsi yodium dan seng, akibatnya berpengaruh terhadap tinggi badan
selain perlu suplementasi double micronutrien (yodium dan seng) juga perlu
diperhatikan status gizi awalnya (cukup atau tidaknya konsumsi kalori dan protein).
AKG (angka kecukupan gizi) yang dianjurkan memiliki 3,46 kali lebih besar akan
menjadi stunting dibandingkan dengan anak yang asupannya cukup.
Kecamatan Medan Marelan merupakan salah satu kawasan yang berdekatan
dengan daerah pesisir Kota Medan yaitu belawan dan salah satu kecamatan di Kota
Medan dengan jumlah KK (Kepala Keluarga) miskin yang cukup tinggi yaitu
sebanyak 7309 KK (BPS Sumut, 2010). Kemiskinan dapat secara langsung
berpengaruh dengan tingkat konsumsi pangan keluarga. Dengan lokasi wilayah yang
dekat dengan daerah pesisir seperti Belawan yang seharusnya dapat mempermudah
dalam akses pangan laut yang kaya akan protein dan mineral namun terhalang oleh
keadaan ekonomi yang kurang untuk mendapatkan asupan makanan yang baik.
Sehingga hal ini berpengaruh terhadap pertumbuhan anak sekolah karena asupan
makanan yang kurang menyebabkan asupan gizi tidak tercukupi dengan baik.
Berdasarkan survei awal yang dilakukan dengan pengukuran TB/U, dari 162
siswa terdapat 67 (41,4%) siswa yang stunting. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut maka penulis tertarik untuk melihat gambaran pola konsumsi anak stunting
di SDN 064994 Kelurahan Tanah Enam Ratus Kecamatan Medan Marelan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka rumusan masalah dalam
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran pola konsumsi anak stunting di SDN 064994
Kelurahan Tanah Enam Ratus Kecamatan Medan Marelan.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mendeskripsikan pola konsumsi anak stunting berdasarkan jumlah makanan,
frekuensi makanan dan jenis makanan di SDN 064994 Kelurahan Tanah
Enam Ratus Kecamatan Medan Marelan.
2. Mendeskripsikan kecukupan gizi makro (energi dan protein) anak stunting di SD 064994 Kelurahan Tanah Enam Ratus Kecamatan Medan Marelan.
3. Mendeskripsikan kecukupan gizi mikro (kalsium, fosfor, magnesium, seng,
vitamin A dan vitamin C) anak stunting di SD 064994 Kelurahan Tanah Enam Ratus Kecamatan Medan Marelan.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi anak
stunting di SDN Kelurahan Tanah Enam Ratus Kecamatan Medan Marelan
tentang pola konsumsi yang baik untuk pemenuhan gizi yang dibutuhkan pada
usia sekolah.
2. Memberikan masukan kepada pihak sekolah untuk memberikan pendidikan
dasar tentang pemenuhan gizi anak sekolah pada anak, khususnya anak
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pola Konsumsi Anak Sekolah
Pola konsumsi pangan atau kebiasaan makan adalah berbagai informasi yang
dapat memberikan gambaran mengenai jumlah, jenis dan frekuensi bahan makanan
yang dimakan setiap hari oleh seseorang dan merupakan ciri khas untuk satu
kelompok masyarakat tertentu. Sebenarnya pola konsumsi tidak dapat menentukan
status gizi seseorang atau masyarakat secara langsung, namun hanya dapat digunakan
sebagai bukti awal akan kemungkinan terjadinya kekurangan gizi seseorang atau
masyarakat (Supariasa, 2001). Pola makan adalah berbagai informasi yang
memberikan gambaran mengenai macam dan model bahan makanan yang dikonsumsi
setiap hari (Persagi, 2003).
Pola makan terdiri dari :
a. Frekuensi makan
Frekuensi makan adalah jumlah makan dalam sehari-hari baik kualitatif
dan kuantitatif (Persagi, 2003).
b. Jenis makanan
Jenis makanan adalah variasi bahan makanan yang kalau dimakan,
dicerna, dan diserap akan menghasilkan paling sedikit susunan menu sehat dan
seimbang (Persagi, 2003). Seseorang akan merasa bosan apabila dihidangkan
menu yang itu-itu saja, sehingga mengurangi selera makan. Menyediakan
variasi makanan merupakan salah satu cara untuk menghilangkan rasa bosan.
pengetahuan gizi dengan berorientasi pada pedoman umum gizi seimbang.
Variasi menu yang tersusun oleh kombinasi bahan makanan yang
diperhitungkan dengan tepat akan memberikan hidangan sehat baik secara
kualitas maupun kuantitas.
Konsumsi makanan oleh masyarakat atau oleh keluarga bergantung pada
jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga, dan
kebiasaan makan secara perorangan. Hal ini bergantung pula pada pendapatan,
agama, dan adat kebiasaan di masyarakat. Konsumsi pangan yang keliru akan
mengakibatkan timbulnya gizi salah (malagizi), baik gizi kurang maupun gizi lebih.
Asupan makanan yang tidak memadai dan penyakit merupakan penyebab
langsung masalah gizi ibu dan anak yang disebabkan praktek pemberian makan bayi
dan anak yang tidak tepat, penyakit infeksi yang berulang terjadi,perilaku kebersihan
dan pengasuhan yang buruk. Pada akhirnya, semua ini disebabkan oleh faktor-faktor
seperti kurangnya pendidikan dan pengetahuan pengasuh anak, penggunaan air yang
tidak bersih, lingkungan yang tidak sehat, keterbatasan akses ke pangan dan
pendapatan (UNICEF Indonesia, 2012).
Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas hidangan. Kualitas hidangan
menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh didalam suatu susunan
hidangan dan perbandingan yang satu terhadap yang lain. Kualitas menunjukkan
jumlah masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh. Kalau susunan hidangan
memenuhi kebutuhan tubuh, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, maka tubuh
akan mendapatkan kondisi kesehatan gizi baik, disebut konsumsi adekuat. Kalau
konsumsi berlebih, maka akan terjadi suatu keadaan gizi lebih. Sebaliknya konsumsi
yang kurang baik kualitas dan kuantitasnya akan memberikan kondisi kesehatan gizi
kurang atau kondisi defisit (Sediaoetama, 2000).
Tingkat konsumsi zat gizi yang terdapat pada makanan sehari-hari sangat
berpengaruh terhadap keadaan kesehatan gizi. Zat gizi yang dibutuhkan disesuaikan
dengan usia, berat badan, dan tinggi badan anak. Tingkat pertumbuhan berbeda untuk
setiap anak, begitu juga dengan kebutuhan gizinya.
Pertumbuhan anak dipengaruhi oleh faktor makanan (gizi) dan genetik.
Pertumbuhan anak-anak dinegara berkembang termasuk Indonesia ternyata selalu
tertinggal dibanding anak-anak di Negara maju. Pada awalnya kita menduga faktor
genetik adalah penyebab utamanya. Namun, tumbuh kembang anak Indonesia sampai
dengan usia enam bulan ternyata sama baiknya dengan anak-anak di Negara maju
(Devi, 2012).
2.2. Anak Sekolah
Anak sekolah adalah anak usia 6-12 tahun, dimana saat ini mereka sedang
duduk di bangku SD dan SMP. Anak usia ini sedang menjalani pendidikan dasar
yang merupakan titik awal anak mengenal sekolah yang sesungguhnya dengan
kurikulum dan mata pelajaran yang serius.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa status gizi anak sekolah yang baik akan
menghasilkan derajat kesehatan yang baik dan tingkat kecerdasan yang baik pula.
Sebaliknya, status gizi yang buruk menghasilkan derajat kesehatan yang buruk,
mudah terserang penyakit, dan tingkat kecerdasan yang kurang sehingga prestasi anak
pengetahuan gizi bagi setiap keluarga agar dapat menyediakan menu pilihan makanan
gizi seimbang.
Perilaku gizi yang salah pada anak sekolah perlu mendapat perhatian.
Misalnya tidak sarapan pagi, jajanan yang tidak sehat di sekolah, kurang
mengonsumsi sayuran dan buah, terlalu banyak mengonsumsi jenis makanan fast food dan junk food, terlalu banyak mengonsumsi zat makanan tambahan seperti bahan
pengawet, pewarna, dan penambah cita rasa. Gizi seimbang untuk anak sekolah harus
memenuhi zat gizi makro dengan karbohidrat 45-65 persen total energi, protein 10-25
persen total energi, dengan perbandingan protein hewani dan nabati = 2:1, lemak
25-40 persen total energi. Selain itu harus memenuhi zat gizi mikro seperti halnya
vitamin dan mineral (Almatsier, 2011)
2.2.1. Kebutuhan Gizi Anak Sekolah
Gizi dibutuhkan anak sekolah untuk pertumbuhan dan perkembangan, energi
berpikir, beraktivitas fisik dan daya tahan tubuh. Zat gizi yang dibutuhkan anak
adalah seluruh zat gizi yang terdiri dari zat gizi makro seperti karbohidrat, protein,
lemak, serta zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral. Zat gizi yang dibutuhkan
disesuaikan dengan usia, berat badan, dan tinggi badan anak.
Menginjak usia 6 tahun anak sudah mulai menentukan pilihan makanannya
sendiri, tidak seperti saat balita lagi yang sepenuhnya tergantung pada orangtua.
Periode ini merupakan periode yang cukup kritis dalam pemilihan makanan, karena
anak baru saja belajar memilih makanan dan belum mengerti makanan yang bergizi
yang dapat memenuhi kebutuhan gizinya sehingga anak memerlukan bimbingan
badan anak berlangsung cepat, anak banyak melakukan aktivitas fisik, aktivitas sosial
sejalan dengan perkembangan kognitif anak.
Tabel 2.1. Kebutuhan Zat Gizi Anak Menurut Kelompok Umur (AKG 2004)
Kelompok Umur 4-6 tahun 7-9 tahun 10-12 tahun 13-15 tahun
2.2.2. Gizi dan Pertumbuhan Tinggi Badan
Tulang merupakan parameter penentu tinggi badan karena tinggi badan
ditentukan oleh ukuran panjang tulang seseorang. Masa kanak-kanak dan remaja
merupakan masa penting pembangun tulang. Sebesar 45 persen pertumbuhan massa
remaja, sekitar 45 persen massa tulang dewasa terbentuk sampai dengan sebelum usia
18 tahun. Anak disebut pendek apabila tinggi per umur dibawah normal.
Zat gizi yang berperan penting dalam pertambahan tinggi badan tersebut,
yaitu :
1. Protein
Protein adalah senyawa organik yang terdiri dari asam amino bergabung
dengan ikatan peptide. Tubuh tidak dapat memproduksi beberapa asam amino
(disebut asam amino essensial) sehingga harus dipasok dari asupan makanan.
Protein sangat bermanfaat bagi tubuh, karena memiliki berbagai macam fungsi
seperti pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan, membentuk senyawa-senyawa
essensial tubuh, mengatur keseimbangan air, mempertahankan kenetralan
(asam-basa) tubuh, membentuk antibodi, dan mentranspor zat gizi (Almatsier, 2011).
Pada tulang protein berfungsi dalam pembentukan jaringan tulang yang
baru dan pergantian jaringan tulang yang rusak. Selain itu protein juga berfungsi
memperkuat otot sekitar tulang sehingga tulang terpelihara. Angka kecukupan
protein tahun 2004 untuk anak laki-laki dan perempuan usia 7-9 tahun adalah 45
gram per hari, 10-12 tahun adalah 50 gram per hari, usia 13-15 tahun untuk anak
laki-laki sebanyak 60 gram per hari dan untuk anak perempuan 57 gram per hari.
Sumber protein dalam makanan banyak terdapat pada lauk hewani seperti
daging sapi, ayam, telur bebek, dan ikan segar, pada lauk nabati seperti tahu dan
tempe kacang kedelai, dan pada kacang-kacangan seperti kedelai, kacang merah,
kacang tanah, kacang hijau, pada sayuran seperti daun singkong, bayam
Berdasarkan penelitian Solia (2014), tentang hubungan pola konsumsi
makanan dan konsumsi susu dengan tinggi badan anak usia 6-12 tahun bahwa
kecukupan protein dari konsumsi makanan dengan tinggi badan anak SD terdapat
hubungan yang bermakna antara kecukupan asupan protein dengan tinggi badan
anak.
2. Kalsium
Kalsium adalah mineral yang penting bagi manusia. Fungsi kalsium bagi
tubuh yaitu pembentukan tulang dan gigi, mengatur pembekuan darah, katalisator
reaksi-reaksi biologik, kontraksi otot. Beberapa fungsi lainnya adalah
meningkatkan transfor membrane sel, kemungkinan dengan bertindak sebagai
stabilisator membrane, transmisi ion melalui membrane organel sel (Almatsier,
2008).
Kalsium merupakan mineral terbanyak dalam tubuh dan sebanyak 99
persen terdapat dalam tulang dan gigi. Angka kecukupan gizi tahun 2004 bagi
anak usia 7-9 tahun untuk kalsium adalah 600 mg per hari dan anak usia 10-12
tahun adalah 1000 mg per hari. Angka ini merupakan angka kecukupan tertinggi
di sepanjang hidup seorang manusia.. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan tinggi
badan anak pada rentang usia tersebut. Sumber kalsium pada makanan banyak
terdapat pada udang kering, teri kering, tahu dan sayuran seperti bayam, sawi,
daun melinjo, daun katuk, dan daun singkong serta susu bubuk dan susu kental
Susu merupakan sumber kalsium terbaik yang dapat meningkatkan
kekuatan tulang. Satu cangkir susu mengandung lebih dari 300 mg kalsium,
hampir sepertiga dari kebutuhan kalsium harian. Hal itulah yang mendasari susu
dianggap sebagai strategi terbaik pencegah osteoporosis (Wirakusumah, 2007).
Berdasarkan penelitian Solia (2014), tentang hubungan pola konsumsi makanan
dan konsumsi susu dengan tinggi badan anak usia 6-12 tahun bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara kecukupan kalsium dari konsumsi susu dengan
tinggi badan anak sekolah.
3. Fosfor
Fosfor berfungsi dalam mineralisasi tulang dan gigi dan sebanyak 80
persen fosfor tersimpan dalam tulang. Kristal mineral dibentuk selama klasifikasi
(pengerasan) tulang yang terdiri dari kalsium fosfat, komponen utama mineral
kompleks yang membentuk struktur dan kekuatan kepada tulang. Angka
kecukupan gizi tahun 2004 bagi anak usia 7-9 tahun dengan jenis kelamin
laki-laki dan perempuan adalah sebanyak 400 mg per hari dan bagi anak usia 10-18
tahun dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah sebanyak 1000 mg
per hari. Angka ini merupakan angka kecukupan tertinggi di sepanjang rentang
hidup manusia. Fosfor banyak terdapat pada makanan seperti teri kering, tahu,
kacang-kacangan, sayuran seperti kentang, bayam, daun singkong, dan wotel,
pada buah-buahan seperti pisang ambon (Almatsier, 2010).
4. Vitamin
Vitamin adalah zat-zat organik kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah
karena itu harus didatangkan dari makanan. Vitamin termasuk kelompok zat
pengatur pertumbuhan dan pemeliharaan kehidupan. Setiap vitamin mempunyai
tugas spesifik di dalam tubuh (Almatsier, 2009). Vitamin A berpengaruh
terhadap sitesis protein dalam pertumbuhan sel. Vitamin A dibutuhkan untuk
perkembangan tulang dan sel epitel yang membentuk email dalam pertumbuhan
gigi. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan pertumbuhan tulang terhambat
dan bentuknya tidak normal. Begitu juga dengan vitamin C yang berfungsi
membantu absorbsi kalsium yang berpengaruh terhadap pertumbuhan (Cakrawati
dan Mustika, 2011).
Vitamin A banyak terdapat pada lauk hewani seperti hati sapi, ayam, dan
ikan sardine (kaleng), namun pada sayuran dan buah-buahan juga banyak seperti
wortel, daun papaya, daun katuk, daun singkong, sawi, kangkung, bayam, ubi
jalar, mangga, pisang, tomat dan juga semangka. Vitamin C pada umumnya
hanya terdapat dalam pengan nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang asam,
seperti jeruk, nenas, rambutan, jambu biji, papaya, dan tomat, vitamin C juga
banyak terdapat dalam sayuran seperti daun singkong, daun katuk, sawi, kol,
kembang kol, bayam, dan kangkung (Almatsier, 2010).
5. Magnesium
Magnesium berfungsi sebagai mineralisasi dalam tulang dan 50 persen
magnesium dalam tubuh terdapat dalam tulang. Magnesium, fosfor dan seng,
ketiga mineral ini berfungsi sebagai mineralisasi dalam tulang, yaitu pelekatan
kalsium dan mineral lain diantara serat protein. Mineralisasi ini memberikan
pada sayuran hijau, biji-bijian dan kacang-kacangan. Daging, susu dan hasilnya
serta coklat juga merupakan sumber magnesium yang baik (Almatsier, 2010).
6. Seng
Seng berperan untuk pertumbuhan sel dan berkolerasi positif dengan
pertumbuhan tinggi badan. Di saat anak-anak kekurangan seng dalam proses
pertumbuhan yang lamban, maka dengan jelas menunjukkan penurunan kadar
seng dalam pembentukan susunan organ dan kapasitas pertumbuhan tubuh akan
melambat pada saat yang bersamaan. Sumber seng paling baik adalah dari
protein hewani, terutama daging, ayam, ikan, hati, kerang, dan telur. Serealia
tumbuk dan kacang-kacangan juga merupakan sumber yang baik, namun
mempunyai ketersediaan biologik yang rendah (Almatsier, 2010).
Dari 12 juta anak balita di Indonesia, 38,6 persen atau sekitar 5 juta balita
memiliki tinggi badan dibawah rata-rata tinggi badan balita dunia. Guru Besar
Ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Soekirman Ph.D mengatakan, dari
laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tersebut menunjukkan adanya
kondisi kekurangan gizi kronis pada anak-anak Indonesia. Kekurangan gizi,
terutama zat seng yang banyak terdapat pada protein hewani itu dimulai sejak
janin di kandungan ibu, atau sejak kelahiran sampai bayi berusia dua tahun.
Soekirman membantah jika tidak sesuainya tinggi badan anak dengan standar
Berdasarkan penelitian Setijowati (2005) hubungan kadar seng serum
dengan tinggi badan anak sekolah dasar penderita GAKY bahwa rendahnya
TB/U lebih banyak dikarenakan rendahnya masukan kalori dan mungkin juga
protein, yang tentunya ditunjang dengan rendahnya konsumsi yodium dan seng.
2.3. Perilaku Gizi Yang Salah Pada Anak Sekolah 1. Tidak Mengonsumsi Menu Gizi Seimbang
Di Indonesia prinsip gizi seimbang divisualisasikan dalam bentuk tumpeng
dengan bentuk nampannya yang disebut tumpeng gizi seimbang (TGS). TGS
dirancang untuk membantu setiap orang memilih makanan dengan jenis dan jumlah
yang sesuai dengan kebutuhan menurut usia, dan sesuai dengan keadaan kesehatan.
TGS menggambarkan empat prinsip gizi seimbang, yaitu makanan yang beraneka
ragam sesuai kebutuhan, kebersihan, aktifitas fisik, dan pemantauan berat badan
ideal. Piramida tumpeng menggambarkan enam golongan pangan dan paling bawah
dan paling dasar diisi dengan air, yang merupakan zat gizi essensial yang harus
dikonsumsi minimal dua liter dalam sehari. Golongan sumber karbohidrat menempati
urutan kedua dari bawah, dan merupakan potongan tumpeng paling besar dan
dianjurkan dikonsumsi 3-8 porsi/hari. Urutan ketiga ditempati golongan sayuran,
yang dianjurkan 3-5 porsi/hari dan buah dianjurkan 2-3 porsi/hari sebagai sumber
vitamin dan serat. Urutan keempat ditempati golongan makanan sumber protein yang
dianjurkan 2-3 porsi/hari dan puncaknya ditempati minyak dan gula yang disarankan
2. Tidak Sarapan Pagi
Makan pagi mempunyai peranan penting bagi anak sekolah usia 6-12 tahun,
yaitu untuk pemenuhan gizi dipagi hari dimana anak-anak berangkat ke sekolah dan
mempunyai aktivitas yang sangat padat di sekolah. Apabila anak-anak terbiasa makan
pagi, maka akan berpengaruh terhadap kecerdasan otak, terutama daya ingat anak
sehingga dapat mendukung prestasi belajar anak kearah yang lebih baik (Devi, 2012).
Dengan sarapan pagi diharapkan karbohidrat berguna sekali untuk menjaga
kadar gula darah normal tubuh. Dengan kadar gula yang normal ini berguna sebagai
energi bagi sel-sel tubuh dapat terpenuhi sehingga dapat berfungsi dengan baik.
Kebiasaan tidak sarapan pagi juga mengakibatkan pemasukan gizi menjadi berkurang
dan tidak seimbang sehingga pertumbuhan anak menjadi terganggu, intelektualnya
rendah, prestasi disekolahnya akan turun dan penampilan sosialnya pun terganggu.
Dia tidak mau bermain dengan teman-temannya, tidak mau turut dalam kegiatan
berorganisasi baik di sekolah maupun di lingkungan keluarga (Arisman, 2008).
Jenis hidangan untuk makan pagi dapat dipilih dan disusun sesuai dengan
keadaan, misalnya : nasi goreng, nasi uduk, roti isi telur dadar, pisang/ubi goreng,
bubur kacang hijau, mie goreng/rebus. Akan lebih baik bila terdiri dari makanan
sumber zat tenaga, sumber zat pembangun dan zat pengatur.
3. Jajan Tidak Sehat di Sekolah
Makanan jajanan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Konsumsi makanan jajanan di
masyarakat di perkirakan terus meningkat mengingat makin terbatasnya waktu
adalah murah dan mudah didapat, serta cita rasanya yang enak dan cocok dengan
selera kebanyakan masyarakat (Mudjajanto, 2005).
Budaya jajan menjadi bagian dari keseharian hampir semua kelompok usia
dan kelas sosial, termasuk anak usia sekolah dan golongan remaja. Kandungan zat
gizi pada makanan jajanan bervariasi, tergantung dari jenisnya yaitu makanan utama,
makanan kecil, maupun minuman. Besar kecilnya konsumsi makanan jajanan akan
memberikan kontribusi (sumbangan) zat gizi bagi status gizi seseorang (Sari, 2004).
Makanan jajanan dalam membantu pasokan kalori tentunya baik, namun
keamanan jajanan tersebut dari segi mikrobiologis maupun kimiawi masih
dipertanyakan. Apalagi dalam waktu terakhir ini Badan POM telah mengungkapkan
temuannya tentang berbagai bahan kimia berbahaya seperti formalin dan bahan
pewarna tekstil pada bahan makanan yang ada di pasaran. Sehingga perilaku makan
pada anak usia di sekolah harus diperhatikan secara cermat dan serius (Devi, 2012).
4. Kurang Mengonsumsi Buah dan Sayur
Buah dan sayur merupakan sumber zat gizi vitamin dan mineral. Vitamin
yang terdapat dalam buah dan sayuran adalah provitamin A, vitamin C, K, E, dan
berbagai kelompok vitamin B kompleks. Disamping itu, buah dan sayuran juga kaya
akan berbagai jenis mineral, diantaranya kalium (K), kalsium (Ca), natrium (Na), zat
besi (Fe), magnesium (Mg), mangan (Mn), seng (Zn) dan selenium (Se) (Winarno, F,
2004).
Anak sekolah di Indonesia umumnya kurang mengonsumsi sayuran. Ini
disebabkan kurangnya kesadaran anak dan orang tua akan pentingnya zat gizi dari
memenuhi menu gizi seimbang dan dapat berakibat pada kesehatan anak sekolah.
Anak sekolah bisa saja mengalami kekurangan vitamin A, vitamin C, besi, kalsium,
dan seng yang berakibat pada pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak. Data hasil
Riskesdas, 2007 bahwa sebanyak 93,5 persen anak usia 10 tahun ke atas tidak
mengonsumsi buah dan sayur (Depkes RI, 2007).
5. Mengonsumsi Fast Food dan Junk Food
Menurut Wikipedia.org, fast food adalah istilah yang diberikan untuk makanan yang dapat disusun dan disajikan dengan sangat cepat. Istilah ini mengacu
pada makanan yang dijual di restoran atau toko dengan bahan yang dipanaskan atau
dimasak, dan diberikan kepada pelanggan dalam bentuk paket untuk dibawa.
Sedangkan junk food mendeskripsikan makanan yang tidak sehat atau memiliki sedikit kandungan nutrisi. Junk food mengandung jumlah lemak yang besar.
Makanan cepat saji seperti hamburger, kentang goreng, pizza sering dianggap
sebagai junk food. Junk food juga diartikan sebagai makanan yang nutrisinya terbatas. Makanan yang tergolong dalam kategori ini adalah makanan yang mengandung
banyak gula, garam, lemak, dan kalorinya tinggi, sementara protein, vitamin, mineral,
dan seratnya rendah (Devi, 2012).
Data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa anak usia 10 tahun ke atas
sebanyak 65,2 persen mengonsumsi makanan manis, sebanyak 24,5 persen
mengonsumsi makanan asin dan 12,8 persen mengonsumsi makanan berlemak
6. Konsumsi Gula Berlebih
Gula ditemukan secara alami dalam buah-buahan (fruktosa) dan susu cairan
dan produk susu (laktosa). Namun, ada pula gula yang ditambahkan kedalam
makanan selama pemprosesan, persiapan, atau saat di meja makan. Gula tambahan
tersebut termasuk sirup jagung tinggi fruktosa, gula putih, gula merah, sirup jagung,
padatan sirup jagung, gula mentah, sirup malt, sirup maple, sirup pancake, pemanis
fruktosa, fruktosa cair, madu, molasses, dekstrosa anhidrat, dan dekstrosa Kristal
(Devi, 2012).
Rekomendasi WHO adalah tidak lebih dari 10 persen dari energi total berasal
dari gula tambahan. Jadi bila dibandingkan dengan AKG (Angka Kecukupan Gizi),
maka anak usia 1-3 tahun dengan AKG 1.000 kalori, maka 10 persen dari AKG
adalah 100 kalori setara dengan 25 gram gula dan setara dengan 5 sendok the gula.
Sedangkan untuk anak usia 4-6 tahun dengan AKG 1.550 kalori, maka 10 persen
AKG adalah 155 kalori setara dengan 38,75 gram gula dan setara dengan 7,7 sendok
teh gula. Seterusnya untuk anak usia 7-9 tahun dengan AKG 1.800 kalori setara
dengan 45 gram gula dan setara dengan 9 sendok teh gula. Untuk anak usia 10-12
tahun dengan AKG 2050 kalori, maka setara dengan 51,25 gram gula dan setara
dengan 10,25 sendok teh gula (Devi, 2012).
Kelebihan konsumsi gula dapat mengakibatkan terjadinya karies gigi,
diabetes, obesitas, dan jantung koroner. Diperkirakan bahwa 90 persen dari anak-anak
usia sekolah di seluruh dunia dan sebagian besar orang dewasa pernah menderita
karies. Hasil Riskesdas 2007 prevalensi anak usia diatas 10 tahun mengonsumsi
7. Konsumsi Natrium Berlebihan
Natrium paling banyak terdapat dalam garam karena 40 persen dari berat
garam adalah natrium. Terdapat juga pada produk susu, air, makanan laut, daging,
telur, unggas, dan ikan. Terdapat sedikit pada serealia, buah-buahan dan sayuran.
Pada saat membeli jajanan anak sekolah cenderung membeli makanan yang
mengandung tinggi garam, seperti makanan ringan yang rasanya asin. Berdasarkan
RISKESDAS 2007 prevalensi anak usia diatas 10 tahun mengonsumsi makanan asin
sebanyak 24,5 persen (Depkes, 2007).
8. Konsumsi Lemak Berlebihan
Lemak makanan terdapat pada tumbuhan dan hewan. Lemak sebagai sumber
energi dan asam lemak essensial, dan membantu dalam penyerapan vitamin yang
larut dalam lemak A, D, E, dan K. Anak sekolah menyukai makanan berlemak seperti
bakso, soto, fast food, dan menurut Riskesdas 2007 prevalensi anak diatas usia 10
tahun yang mengonsumsi makanan berlemak dan jeroan adalah sebanyak 14,8 persen.
Beberapa dari lemak yang harus diwaspadai adalah asam lemak jenuh, asam lemak
trans, dan kolesterol (Depkes, 2007).
9. Mengonsumsi Makanan Berisiko
Anak sekolah disadari atau tidak telah mengonsumsi makanan yang
menimbulkan risiko terhadap kesehatan mereka, makanan berisiko tersebut adalah
penyedap makanan (MSG), makanan berkafein, makanan yang diberi pengawet, dan
bahan pewarna yang dilarang. Data Riskesdas 2007 menunjukkan anak usia 10 tahun
mengonsumsi makanan berkafein, dan 6,3 persen mengonsumsi makanan yang
diawetkan (Depkes, 2007).
2.4. Masalah Gizi Anak Sekolah
Masalah gizi adalah gangguan kesehatan dan kesejahteraan seseorang,
kelompok orang, atau masyarakat sebagai akibat adanya ketidakseimbangan antara
asupan (intake) dengan kebutuhan tubuh akan makanan dan pengaruh interaksi
penyakit (infeksi).
Ketidakseimbangan ini akan mengakibatkan:
1. Menurunnya pertahanan tubuh terhadap penyakit (imunitas)
2. Gangguan pertumbuhan fisik
3. Gangguan perkembangan dan kecerdasan otak
4. Rendahnya produktivitas
5. Gangguan gizi dan kesehatan lainnya
Gizi kurang pada anak dapat dilihat dari berat badan dan tinggi badan anak.
Bila berat badan anak dibawah normal maka dikatakan kurus. Bila tinggi badan anak
dibawah normal maka dikatakan pendek.
Masalah gizi kurang pada anak sekolah diantaranya :
1. Kurang Energi, yang mengakibatkan anak kurang aktif dalam pergaulan,
badan kurus karena asupan energi dari makanan tidak mencukupi, serta tidak
optimal saat menerima pelajaran dan berpikir.
2. Kurang Protein, yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan fisik karena
pesat dan untuk itu diperlukan protein; terhambatnya perkembangan otak;
menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap penyakit.
3. Kurang Lemak, yang mengakibatkan tubuh menjadi kurus, otak tidak akan
berkembang atau berfungsi secara optimal.
4. Kurang Vitamin A, yang mengakibatkan terganggunya perkembangan otak;
terhambatnya pertumbuhan, serta meningkatnya kemungkinan menderita
penyakit infeksi.
5. Kurang Besi, yang mengakibatkan kurang darah, berkurangnya kemampuan
belajar dan kecerdasan, terhambatnya pembentukan zat kimia penunjang kerja
otak, menurunnya daya ingat dan prestasi sekolah
6. Kurang Yodium, yang mengakibatkan gondok, gangguan pertumbuhan
berupa tubuh pendek, bisu, tuli, lumpuh, gangguan fungsi mental, lesu, dan
apatis dalam kehidupan.
7. Kurang Seng, yang mengakibatkan pertumbuhan tinggi badan terhambat
(pendek), gangguan perkembangan kecerdasan anak, terhambatnya
pematangan seksual, mudah terkena infeksi, kehilangan nafsu makan.
2.5. Stunting
Stunting adalah gambaran status gizi kurang yang berkepanjangan selama
periode paling genting dari pertumbuhan dan perkembangan di awal kehidupan. Hal
ini dapat diartikan sebagai balita yang berumur 0 sampai 59 bulan yang mempunyai
tinggi badan menurut umur dibawah minus dua standar deviasi dan minus tiga standar
deviasi dari median standar pertumbuhan balita yang telah ditetapkan oleh WHO
Stunting merupakan salah satu bentuk gizi kurang pada anak yang dihitung
berdasarkan pengukuran tinggi badan menurut umur (TB/U) atau panjang badan
menurut umur (PB/U), dimana nilai Z-score <-2 SD (standar deviasi). Menurut
WHO, stunting merupakan kegagalan untuk mencapai pertumbuhan yang optimal. Status stunting dihitung dengan menggunakan baku antropometri anak umur 5-19 tahun WHO 2007 yaitu dengan menghitung nilai Z-score TB/U masing-masing anak.
Selanjutnya berdsarkan nilai Z-score status gizi anak dikategorikan sebagai stunting
(pendek) dan tidak stunting. Stunting juga menggambarkan kejadian gizi kurang yang
berlangsung dalam waktu yang lama dan merupakan masalah kesehatan masyarakat
karena berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya kesakitan dan kematian
hingga terhambatnya pertumbuhan mental.
Menurut The Lancet (2008), stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di negara berpendapatan rendah dan menengah karena
hubungannya dengan peningkatan risiko kematian pada masa kanak-kanak, stunting
juga mempengaruhi fisik dan fungsional dari tubuh.
Anak dengan keadaan stunting tidak mengalami potensi tumbuh secara
maksimal dan dapat menjadi remaja dan dewasa yang stunting. Dampaknya pada masa dewasa diantaranya adalah terbatasnya kapasitas kerja karena terjadinya
pengurangan aktivitas tubuh dan pada wanita dapat menyebabkan terjadinya risiko
komplikasi kandungan karena memiliki ukuran panggul yang kecil serta berisiko
Berdasarkan penelitian Nurmiati (2006), yang melakukan penelitian tentang
pertumbuhan dan perkembangan pada anak balita yang mengalami stunting
menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan kelompok anak normal lebih
baik daripada kelompok anak stunting. Pada keadaan stunting, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan normal menurut umurnya. Anak yang pendek berkaitan
erat dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku
hidup bersih dan sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola
asuh yang kurang baik, dan rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu masalah
kependekan merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat, karena
masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama, maka ciri
masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita pendek adalah masalah gizi yang sifatnya
kronis.
2.6. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Stunting 2.6.1. Asupan Makanan
Gizi merupakan batu bata penopang pertambahan tinggi badan dan tinggi
badan merupakan salah satu indikator status gizi anak. Bagi anak-anak yang terbiasa
memilih-milih makanan kesukaan tanpa mempertimbangkan zat gizi yang terkandung
didalamnya akan menyebabkan terhambatnya pertambahan tinggi badan. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa protein, kalsium, fosfor, vitamin A, yodium, seng
mempunyai efek langsung terhadap pertumbuhan tinggi badan anak.
Menurut wahlqvist dan Tienboon dalam penelitian Fitri (2012), bahwa
terhambatnya pertumbuhan pada bayi dan anak-anak tercermin dalam ketinggian
dalam waktu yang lama. Stunting mencerminkan kekurangan gizi kronis dan
terdeteksi sebagai gangguan pertumbuhan linier. Seorang bayi yang stunting dan anak
usia dini telah secara konsisten ditemukan mempengaruhi kesehatan individu baik
jangka pendek dan jangka panjang.
Protein merupakan zat gizi yang sangat penting karena yang paling erat
hubungannya dengan pertumbuhan. Protein nabati dapat diperoleh dari
tumbuh-tumbuhan, sedangkan protein hewani didapat dari hewan. Protein merupakan faktor
utama dalam jaringan tubuh. Protein membangun, memelihara, dan memulihkan
jaringan di tubuh, seperti otot dan organ. Saat anak tumbuh dan berkembang, protein
adalah gizi yang sangat diperlukan untuk memberikan pertumbuhan yang optimal.
Asupan protein harus terdiri sekitar 10% sampai 20% dari asupan energi harian.
Menurut Lawson dalam penelitian Fitri (2012), bahwa peningkatan asupan
energi protein diperlukan untuk bayi dan anak-anak yang stunting dan yang tumbuh
dalam rangka untuk mengejar ketinggalan. Kekurangan gizi selama tahun pertama
kehidupan, meskipun potensial untuk mengejar pertumbuhan sampai akhir pubertas,
kekurangan gizi selama kehidupan awal dapat menyebabkan gangguan permanen
fungsi kognitif. Peningkatan kebutuhan protein untuk mngejar petumbuhan secara
proporsional lebih besar daripada peningkatan energi yang tergantung pada usia dan
2.6.2. Berat Lahir
Berat lahir memiliki dampak yang besar terhadap pertumbuhan anak,
perkembangan anak dan tinggi badan pada saat dewasa. Standar pertumbuhan anak
yang dipublikasikan pada tahun 2006 oleh WHO telah menegaskan bahwa anak-anak
berpotensi tumbuh adalah sama diseluruh dunia (WHO 2006).
Berdasarkan penelitian Fitri (2012), menunjukkan bahwa sebagian besar balita
mempunyai berat badan lahir normal (95,2%) sedangkan balita lainnya mempunyai
berat lahir rendah yaitu sebesar 4,8%. Berdasarkan hasil penelitian bahwa proporsi
kejadian stunting pada balita (12-59 bulan) lebih banyak ditemukan pada balita
dengan berat lahir rendah (49,3%) dibandingkan balita dengan berat lahir normal
(36,9%).
Berdasarkan penelitian Leni dan Mira (2011) , bayi yang lahir dengan berat
badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko untuk mengalami stunting pada usia
6-12 bulan sebesar 3,6 kali dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan berat badan
normal, yang akan berlanjut sampai usia anak selanjutnya jika tidak ditanggulangi
dengan baik.
2.6.3. Umur
Seorang anak hingga dewasa memiliki fase yang berbeda. Fase growth spurt
(tumbuh cepat) yang pertama sejak anak dalam kandungan sampai usia dua tahun.
Tidak heran pada fase awal ini, anak yang baru lahir dan saat dia menginjak usia
tahun kedua, biasanya terlihat berbeda. Fase pertumbuhan berikutnya adalah fase
pertumbuhan biasa pada rentang usia 2-5 tahun. Di atas lima tahun, fase pertumbuhan
terjadi pada usia 9-12 tahun, dan masa puber atau remaja pada usia 13-18 tahun. Di
masa remaja inilah menjadi tahap tumbuh cepat yang kedua.
Usia anak sekolah adalah antara 6-12 tahun. Pada usia ini tumbuh secara
perlahan dan menunjukkan pematangan keterampilan motorik kasar dan halus.
Kepribadiannya berkembang dan tingkat kemandiriannya meningkat. Hal-hal ini
berpengaruh terhadap jumlah dan jenis makanan yang dimakan dan cara
memakannya. Pada saat ini terbentuk rasa suka dan tidak suka terhadap makanan
tertentu, yang sering merupakan dasar bagi kebiasaan makan selanjutnya. Lingkungan
dan tingkah laku keluarga banyak berpengaruh terhadap kebiasaan makan ini. Orang
tua pada masa ini hendaknya memberikan bimbingan dan contoh yang baik tentang
makanan di sekolah merupakan sarana yang baik untuk penyuluhan gizi (Almatsier,
dkk, 2011).
Kekurangan gizi pada anak merupakan akibat dari berbagai faktor, yang
sering terkait dengan kualitas makanan yang buruk, asupan makanan yang tidak
cukup, dan penyakit infeksi yang parah dan berulang, atau sering beberapa kombinasi
ketiganya. Kondisi ini, pada gilirannya, sangat erat terkait dengan standar
keseluruhan hidup dan apakah suatu populasi dapat memenuhi kebutuhan dasarnya,
seperti akses terhadap pangan, perumahan dan perawatan kesehatan (WHO, 2007).
Keadaan gizi kurang pada anak-anak mempunyai dampak pada keterlambatan
pertumbuhan dan perkembangannya yang sulit disembuhkan. Oleh karena itu anak
yang gizi kurang tersebut kemampuannya untuk belajar dan bekerja serta bersikap
2.6.4. Jenis Kelamin
Jenis kelamin menentukan pula besar kecilnya kebutuhan gizi bagi seseorang.
Pria lebih banyak membutuhkan zat tenaga dan protein dibandingkan wanita. Pria
lebih sanggup mengerjakan pekerjaan berat yang biasanya tidak biasa dilakukan oleh
wanita. Tetapi dalam kebutuhan zat besi, wanita jelas lebih membutuhkan lebih
banyak daripada pria.
Hasil penelitian Bosch, dalam penelitian Fitri (2012), adalah kemungkinan
stunting pada masa remaja untuk anak perempuan adalah sekitar 0,4 kali
kemungkinan untuk anak laki-laki, yang berarti bahwa anak perempuan di masa
remaja sedikit lebih menjadi stunting daripada anak laki-laki. Perbedaan antara anak
laki-laki dan perempuan mungkin berkaitan dengan efek gabungan dari perbedaan
dalam pertumbuhan dan perbedaan potensi dalam konteks kekurangan gizi. Anak
perempuan memasuki masa puber dua tahun lebih awal daripada anak laki-laki, dan
dua tahun juga merupakan selisih di puncak kecepatan tinggi antara kedua jenis
kelamin.
2.6.5. Tingkat Pendidikan Ibu
Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi rendahnya
tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan terhadap perawatan
kesehatan, kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran terhadap kesehatan dan
gizi anak-anak dan keluarganya. Disamping itu pendidikan berpengaruh pula pada
faktor sosial ekonomi lainnya seperti pendapatan, pekerjaan, kebiasaan hidup,
makanan, perumahan dan tempat tinggal. Tingkat pendidikan turut pula menentukan
peroleh. Hal ini bisa dijadikan landasan untuk membedakan metode penyuluhan yang
tepat. Dari kepentingan gizi keluarga, pendidikan diperlukan agar seseorang lebih
tanggap terhadap adanya masalah gizi didalam keluarga dan bisa mengambil tindakan
secepatnya (Suhardjo, 2003).
Berdasarkan penelitian Anindita (2012) bahwa tidak ada hubungan antara
tingkat pendidikan ibu dengan stunting pada balita. Hal ini bisa disebabkan karena
indikator TB/U merefleksikan riwayat gizi masa lalu dan bersifat kurang sensitive
terhadap perubahan masukan zat gizi, dimana dalam hal ini ibu mempunyai peranan
dalam alokasi masukan zat gizi.
2.6.6. Besarnya Keluarga
Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata pada
masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang sangat
miskin, akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya jika yang harus diberi
makanan jumlahnya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar
mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut, tetapi
tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi dan memenuhi asupan gizi yang cukup
untuk keluarga yang besar tersebut.
Berdasarkan penelitian Astari dalam penelitian Fitri (2012) yang dilakukan di
kabupaten Bogor, rata-rata besar keluarga pada kelompok anak stunting dan normal dapat dikatakan tidak berbeda. Sebagian besar, besar keluarga pada kedua kelompok
2.6.7. Wilayah Tempat Tinggal
Stunting biasanya paling menonjol di daerah pedesaan dan ini merupakan indikasi yang berkaitan dengan kondisi lingkungan (WHO, 2003). Menurut Ehiri
dalam penelitian Fitri (2012), bahwa stunting adalah umum terjadi bahkan di Negara dengan prevalensi lebih sering terjadi di pedesaan daripada daerah perkotaan.
Prevalensi rumah tangga dengan anak stunting dan ibu kelebihan berat badan
melebihi 10 persen di Bolivia. Prevalensi tinggi terjadi ketika ada kelebihan ketika
ada kelebihan berat badanyang tinggi dan tingkat stunting yang tinggi. Prevalensi ini
umumnya terbesar di wilayah pedesaan. Hasil Riskesdas tahun 2010 menunjukkan
bahwa balita yang tinggal diperkotaan memiliki prevalensi stunting lebih rendah
daripada balita yang tinggal di pedesaan (Depkes RI, 2010).
2.6.8. Status Ekonomi Keluarga
Kekurangan gizi sering kali bagian dari lingkaran yang meliputi kemiskinan
dan penyakit. Ketiga faktor ini saling terkait sehingga masing-masing memberikan
kontribusi terhadap yang lain. Perubahan sosial-ekonomi dan politik yang
meningkatkan kesehatan dan gizi dapat mematahkan siklus, karena dapat gizi tertentu
dan intervensi kesehatan. Kekurangan gizi mengacu pada sejumlah penyakit,
masing-masing berhubungan dengan satu atau lebih zat gizi, misalnya protein, yodium,
vitamin A atau zat besi. Ketidakseimbangan ini meliputi asupan yang tidak memadai
dan berlebihan asupan energi, yang pertama menuju kekurangan berat badan, stunting
dan kurus, dan yang terakhir mengakibat kelebihan berat badan dan obesitas (WHO,
Stunting mencerminkan proses kegagalan untuk mencapai potensi
pertumbuhan linier sebagai hasil dari kesehatan dan atau kondisi gizi. Pada dasarnya,
tingkat stunting yang tinggi berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah
dan peningkatan risiko bertambah dengan adanya penyakit dan atau praktik
pemberian makan yang tidak tepat. Prevalensi stunting mulai naik pada usia sekitar 3 bulan, proses dari terhambatnya pertumbuhan melambat sekitar usia 3 tahun (Semba
dan Bloem, 2001).
Berdasarkan penelitian Anindita (2012), bahwa tidak ada hubungan antara
tingkat pendapatan yang diterima tidak sepenuhnya dibelanjakan untuk kebutuhan
makanan pokok, tetapi untuk kebutuhan lainnya. Tingkat pendapatan yang tinggi
belum tentu menjamin status gizi baik pada balita karena tingkat pendapatan belum
tentu teralokasikan cukup untuk keperluan makan.
2.7. Penilaian Status Gizi Anak
Status gizi diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB).
Penilaian status gizi dibagi menjadi dua, yaitu penilaian status gizi secara langsung
dan penilaian status gizi secara tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung
dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik
(Supariasa, 2002). Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau
dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai
tingkat umur dan tingkat gizi.
2.7.1. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif
kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh
defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama
(Supariasa, 2002).
Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis
sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku
hidup sehat, dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak
dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek (Depkes RI, 2010).
2.7.2. Klasifikasi Status Gizi
Baku antropometri yang sekarang digunakan di Sumatera adalah baku rujukan
WHO dan metode Z-score. Untuk menilai status gizi anak maka angka berat badan
dan tinggi badan setiap anak dikonversikan kedalam bentuk nilai standar (Z-score)
dengan menggunakan baku antropometri anak WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan
nilai Z-score masing-masing indikator tersebut ditentukan status gizi anak dengan
batasan sebagai berikut :
Tabel 2.2. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Indeks Kategori Status
Gizi Ambang Batas (Z-score)
Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Sangat Pendek < -3 SD
Pendek -3 SD sampai dengan < -2SD Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Tinggi ˃ 2 SD
2.8. Kerangka Teori
Sumber : Kanjilal et al (2010) & Bhutta, Z. A. et al (2008)
Gambar 1. Kerangka Teori Status Sosial Ekonomi
Wilayah Tempat
Tinggal
Karakteristik Rumah
Tangga
Paparan Infeksi
Keamanan Makanan
Pelayanan Kesehatan
Pertumbuhan Intrauterin
Kekurangan Zat Gizi Mikro
Asupan Energi Kurang
Pola Menyusui
Infeksi STUNTING
2.9. Kerangka Konsep
Gambar 2. Kerangka Konsep
Anak usia 9-12 tahun merupakan usia dimana pertumbuhan tinggi badan anak
mulai cepat kembali setelah pertumbuhan pada tahun pertama kelahiran. Pada rentang
usia 9-12 tahun anak sudah menjadi konsumen aktif yang telah membentuk kebiasaan
makannya diluar makanan yang diperolehnya di rumah. Dalam keadaan ini kebutuhan
zat gizi harus tercukupi, baik dalam jumlah, frekuensi dan jenis makanan yang
dikonsumsi sehari-hari. Pada anak stunting keadaan gizi yang kurang pada awal
kelahirannya diharapkan pada fase pertumbuhan cepat kedua ini dapat memenuhi
kebutuhan zat gizinya, agar dapat mengejar ketertinggalan pertumbuhan tinggi
badannya dibanding anak normal lainnya. Pada fase pertumbuhan ini anak yang
stunting berpotensi dalam mengejar ketertinggalannya, dengan memperhatikan
asupan makanan yang baik dan menunjang pertumbuhan tinggi badan.
Pola Konsumsi Stunting
Kecukupan Zat Gizi :
- Zat Gizi Makro (energi,
protein)
- Zat Gizi Mikro (Kalsium,
Fosfor, Magnesium,