OPTIMASI PENGGUNAAN ADSORBEN PADA PROSES PEMISAHAN KAROTENOID DARI METIL ESTER KASAR MINYAK SAWIT DENGAN METODE KROMATOGRAFI KOLOM ADSORPSI
Oleh: ZULKIPLI
F24102011
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DENGAN METODE KROMATOGRAFI KOLOM ADSORPSI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: ZULKIPLI
F24102011
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RINGKASAN
Kelapa sawit (Elaeis guineensis, Jacq.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang dapat dikembangkan menjadi berbagai jenis produk. Salah satu produk turunan kelapa sawit adalah metil ester kasar (crude methyl ester/CME). CME merupakan senyawa yang terdapat pada biodiesel minyak sawit. CME yang terbentuk dari reaksi transesterifikasi dengan bahan dasar minyak sawit kasar (CPO) masih mengandung karotenoid dalam jumlah tinggi. Karotenoid dalam CME dapat dipisahkan dengan metode kromatografi kolom adsorpsi.
Adsorben yang digunakan dalam kromatografi kolom adsorpsi selama ini adalah silika gel. Tetapi, ada sumber adsorben alami yang belum banyak dimanfaatkan, yakni abu sekam padi. Untuk itu, perlu diketahui kondisi optimum penggunaan adsorben campuran silika gel dan abu sekam padi pada kromatografi kolom adsorpsi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi optimal penggunaan adsorben pada pemisahan karotenoid dari metil ester kasar/CME minyak sawit dengan metode kromatografi kolom adsorpsi dengan fokus pada pengaruh tingkat pengabuan pada adsorben abu sekam padi. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kapasitas kolom yang optimum melalui penggunaan kolom secara berulang sehingga diperoleh profil adsorpsi dari kolom kromatografi tersebut.
Penelitian ini dibagi atas tiga tahap utama, yakni karakterisasi adsorben silika gel dan abu sekam padi yang mengalami pengulangan pengabuan, penentuan kondisi optimum dalam kromatografi kolom adsorpsi (dimensi kolom: panjang 40 cm, diameter 2.5 cm, dan volume 150 ml), dan pengujian penggunaan kolom secara berulang. Setiap konsentrat karotenoid yang didapat kemudian dianalisis untuk mendapatkan nilai konsentrasi karotenoid dari konsentrat, recovery, dan pemekatan karotenoid.
Recovery karotenoid dari proses transesterifikasi CPO menjadi CME yang digunakan sebagai bahan baku penelitian ini adalah 85.74%. Kondisi optimum produksi CME (bahan baku dalam penelitian ini) adalah menggunakan pelarut metanol dan katalis NaOH, kecepatan pengadukan 250 rpm, konsentrasi NaOH 1%, suhu reaksi 50oC, dan waktu reaksi 60 menit (Widayanto, 2007).
OPTIMASI PENGGUNAAN ADSORBEN PADA PROSES PEMISAHAN KAROTENOID DARI METIL ESTER KASAR MINYAK SAWIT DENGAN METODE KROMATOGRAFI KOLOM ADSORPSI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: ZULKIPLI
F24102011
Dilahirkan pada tanggal 1 September 1983 Di Jakarta
Tanggal Lulus: 22 Mei 2007
Menyetujui,
Nur Wulandari, S.TP, M.Si Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Zulkipli dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 September 1983 sebagai anak ke-4 dari 4 bersaudara dari pasangan H. M. Nour Kasim dan Hj. Aminah.
Pendidikan dasar ditempuh di SD Negeri 16 Petang Jakarta dan SMP Negeri 45 Jakarta. Pendidikan selanjutnya ditempuh di SMU Negeri 33 Jakarta. Pada tahun 2002, penulis masuk IPB melalui jalur USMI pada Jurusan Teknologi
Pangan dan Gizi.
Tahun 2004 penulis mendapatkan Beasiswa Kerja Mahasiswa sebagai Senior Resident Asrama Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB. Tahun 2005 mendapat beasiswa dari PT Unilever Indonesia. Penulis pernah melaksanakan praktek lapang di PT Aerowisata Catering Service Jakarta tahun 2005. Selain itu,
penulis juga pernah mengajar di lembaga bimbingan belajar Bintang Pelajar, Bogor, tahun 2006.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di DKM Al-Hurriyyah IPB dan Forum Bina Islami (FBI) Fakultas Teknologi Pertanian IPB tahun 2002-2004. Pada tahun 2004-2007, penulis aktif di Badan Pengelola Asrama TPB sebagai
Senior Resident Asrama Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB. Secara keprofesian, penulis pernah aktif membantu kegiatan di Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (Himitepa) IPB tahun 2003-2004.
Penulis melaksanakan tugas akhir di Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan dengan menyusun skripsi berjudul ”Optimasi Penggunaan Adsorben pada Proses Pemisahan Karotenoid dari Metil Ester Kasar Minyak Sawit dengan Metode Kromatografi Kolom Adsorpsi”. Penelitian ini dibiayai oleh proyek Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS) Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Penyusunan skripsi ini di bawah bimbingan Ibu Nur
Wulandari, S.TP, M.Si.
semesta alam, atas rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis ingin menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada semua pihak yang membantu baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga tugas akhir ini
dapat selesai.
1. Allah ’Azza wa Jalla, atas segala kasih sayang, pelajaran, dan rahmat yang dicurahkan. Atas nikmat hidayah lewat diutusnya Rosul shollallahu ’alaihi wa sallam.
2. Bapak dan Ibu (H. M. Nour Kasim dan Hj. Aminah) serta abang dan mpok (Ibnu Solihin, S.Hut, Nurhayati, A.Md.Kp, dan Muhammad Arief S.P.) atas dorongan moral selama ini.
3. Ibu Nur Wulandari, S.TP, M.Si, atas kesabarannya membimbing selama penulis menjadi mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.
4. Ibu Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, M.Si selaku dosen penguji.
5. Bapak Dr. Nugraha Edhi Suyatma, S.TP, DEA selaku dosen penguji. 6. Bapak DR. Ir. Bonny P. W. Soekarno, M.Sc. sebagai kepala Badan
Pengelola Asrama TPB beserta para Manager Unit Asrama TPB (Bapak Arif Hartoyo, S.TP, M.Si, Bapak Ir. Irmansyah, M.Si, Bapak Ir. Sugeng
Heri Suseno, M.Si, Ibu Dr. Lailan Syaufina, M.Sc, Ibu Dr. Endar H. Nugrahaini, dan Ibu Irma Isnafia, S.Pt, M.Si).
7. SEAFAST Center IPB, para peneliti sawit (Zaelani, Arif, Rahmat, Eko, Dhani, dan Her Her), dan para pegawai SEAFAST atau PAU (Abah, Pak
Taufik, Mba Sri, Mba Ari dan lainnya).
8. Bapak dan Ibu dosen beserta pegawai di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB.
9. Bapak Ir. Tjahja Muhandri, M.T. dan para peneliti Feeding Program for Needy Student atas pelajaran berharga selama Feeding Program berjalan di asrama TPB tahun 2005-2006.
Dedi SR atas pinjaman komputernya. Juga Mas Agus Santoso atas pengorbanannya selama ini.
11.DKM Al-Hurriyyah IPB Bogor
12.Forum Bina Islami (FBI) Fakultas Teknologi Pertanian IPB
13.Keluarga Besar Partai Keadilan Sejahtera, terutama Dewan Pengurus
Cabang (DPC) Partai Keadilan Sejahtera Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
14.Teman-teman di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan angkatan 39 terutama kelompok A3 (Tina, Heru, Rahmat, Rohana). Terima kasih atas segala persahabatan selama kuliah di Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan.
15.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
RIWAYAT HIDUP ... v
KATA PENGANTAR... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN... xiii
I. PENDAHULUAN ... A. LATAR BELAKANG... B. TUJUAN...
1 1 3
II. TINJAUAN PUSTAKA...
A. MINYAK KELAPA SAWIT DAN PRODUK TURUNANNYA...
B. METIL ESTER………..
C. REAKSI TRANSESTERIFIKASI………
D. KAROTENOID……….
E. PEMISAHAN KAROTENOID DENGAN KROMATOGRAFI KOLOM ADSORPSI... F. ADSORBEN DALAM KROMATOGRAFI KOLOM
ADSORPSI………... 1. Silika Gel………...
2. Abu Sekam Padi………...
4
4 6 9 11
13
14 14
15
III. METODE PENELITIAN... A. BAHAN DAN ALAT...
1. Bahan... 2. Alat... B. TAHAPAN PENELITIAN... C. METODE ANALISIS...
18 18
B. OPTIMASI KROMATOGRAFI KOLOM ADSORPSI... 1. Penentuan Nisbah Abu Sekam Padi dan Silika Gel... 2. Penentuan Jumlah CME yang Dilewatkan pada Kolom... C. OPTIMASI PENGGUNAAN KOLOM SECARA BERULANG...
36 37 43 45
KESIMPULAN DAN SARAN... A. KESIMPULAN... B. SARAN...
49 49 49
DAFTAR PUSTAKA... 50
Tabel 1. Hasil-hasil penelitian metil ester... 7 Tabel 2. Komposisi kimia abu sekam padi………... 17 Tabel 3. Penerapan perlakuan pada tahap pengulangan pengabuan
pada masing-masing adsorben (abu sekam padi 1200oC
dan silika gel)... 22
Tabel 4. Penerapan perlakuan pada tahap penentuan nisbah abu sekam padi dan silika gel yang optimal... 24 Tabel 5. Penerapan perlakuan pada tahap penentuan jumlah CME
yang dilewatkan ke kolom... 27 Tabel 6. Penerapan perlakuan pada tahap penggunaan kolom secara
berulang... 28 Tabel 7. Kandungan silikat abu sekam padi 800oC, 1000oC, dan
1200oC…... 32 Tabel 8. Recovery karotenoid setelah melalui kromatografi kolom
Gambar 1. Produk-produk hilir minyak sawit………... 6
Gambar 2. Persamaan reaksi metanolisis………. 10
Gambar 3. Struktur β-karoten……….. 12
Gambar 4. Bagian-bagian bulir padi……… 16
Gambar 5. Kromatografi kolom adsorpsi………. 18
Gambar 6. Diagram alir penelitian optimasi penggunaan adsorben.... 19
Gambar 7. Diagram alir karakterisasi abu sekam padi dan silika gel dengan perlakuan pengabuan berulang... 21
Gambar 8. Diagram alir optimasi nisbah abu sekam padi dan silika gel pada kromatografi kolom adsorpsi... 25
Gambar 9. Diagram alir optimasi jumlah CME pada kromatografi kolom adsorpsi... 26
Gambar 10. Diagram alir kajian penggunaan kolom secara berulang... 29
Gambar 11. Profil fraksi karotenoid dari adsorben abu sekam padi 1200oC dan Silika gel... 34
Gambar 12. Recovery karotenoid dengan perlakuan adsorben yang mengalami pengabuan berulang……... 35
Gambar 13. Konsentrasi karotenoid dari konsentrat yang diperoleh dari pemisahan dengan perlakuan berbagai jenis campuran abu sekam padi 800oC, 1000oC, dan 1200oC dengan silika gel………... 38
Gambar 14. Recovery karotenoid pada campuran abu sekam padi 800oC, 1000oC, dan 1200oC dengan silika gel…………... 40
Gambar 15. Pemekatan karotenoid pada campuran abu sekam padi 800oC, 1000oC, dan 1200oC dengan silika gel………….. 40
Lampiran 1. Rekapitulasi data konsentrasi karotenoid dari konsentrat, recovery, dan pemekatan pada abu sekam
padi 800oC... 55 Lampiran 2. Rekapitulasi data konsentrasi karotenoid dari
konsentrat, recovery, dan pemekatan pada abu sekam
padi 1000oC... 56 Lampiran 3. Rekapitulasi data konsentrasi karotenoid dari
konsentrat, recovery, dan pemekatan pada abu sekam
padi 1200oC... 57 Lampiran 4. Hasil analisis ragam pengaruh tingkat pengabuan dan
nisbah abu sekam padi dan silika gel, terhadap konsentrasi karotenoid dari konsentrat beserta analisis beda Duncan untuk faktor tingkat pengabuan dan nisbah abu sekam padi dan silika gel……….. 58 Lampiran 5. Hasil analisis ragam pengaruh tingkat pengabuan dan
nisbah abu sekam padi dan silika gel, terhadap recovery karotenoid beserta analisis beda Duncan untuk faktor tingkat pengabuan dan nisbah abu sekam padi dan
silika gel……….. 59
Lampiran 6. Hasil analisis ragam pengaruh tingkat pengabuan dan nisbah abu sekam padi dan silika gel, terhadap pemekatan karotenoid beserta analisis beda Duncan untuk faktor tingkat pengabuan dan nisbah abu sekam
padi dan silika gel……… 60
Lampiran 7. Rekapitulasi data konsentrasi karotenoid dari konsentrat, recovery, dan pemekatan karotenoid pada
4 gram………... 62 Lampiran 9. Rekapitulasi data konsentrasi karotenoid dari
konsentrat, recovery, dan pemekatan karotenoid pada
perlakuan penggunaan kolom secara berulang... 64 Lampiran 10. Hasil analisis ragam pada perlakuan penggunaan
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kelapa sawit (Elaeis guineensis, Jacq.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang dapat dikembangkan menjadi berbagai jenis produk. Bagian kelapa sawit yang dimanfaatkan adalah daging buah, biji sawit, tandan kosong, dan batang pohon. Daging buah menghasilkan produk minyak sawit (CPO) yang dapat diolah lebih lanjut menjadi bahan pangan (minyak goreng,
olein, margarin, cocoa butter subtitutes) ataupun untuk bahan sabun dan oleokimia (deterjen, pelumas, kosmetika, sabun asam lemak). Biji sawit dapat diolah lebih lanjut menjadi minyak inti sawit (PKO) dan bungkil bijinya dijadikan makanan ternak atau pupuk. Sedangkan tandan kosong kelapa sawit dapat dimanfaatkan untuk pulp kertas, kompos, dan particle board. Batang pohon kelapa sawit dapat dimanfaatkan untuk bahan konstruksi, pulp, bahan kimia, dan particle board (Hariyadi dan Andarwulan, 2003).
Minyak sawit dan minyak inti sawit memiliki beberapa keunggulan sifat nutrisional. Minyak sawit mentah (Crude Palm Oil atau CPO) memiliki kandungan karoten (provitamin A) yang cukup tinggi yaitu berkisar 400-700
ppm. Beberapa varietas kelapa sawit bahkan dapat menghasilkan minyak sawit dengan kandungan karoten hingga 2000 ppm. Karoten memiliki banyak kegunaan bagi kesehatan manusia selain sebagai komponen vitamin, di antaranya merupakan senyawa antikanker, mencegah penuaan dini, mencegah
penyakit kardiovaskuler, dan kegunaan lainnya. Selain karoten, pada minyak sawit terdapat beberapa mikronutrien lain yang berguna bagi kesehatan seperti tokoferol, tokotrienol, dan sitosterol (β-sitosterol) (Ong et al., 1990).
Kandungan karoten pada minyak sawit dapat dieksploitasi untuk produk minyak kaya karoten atau konsentrat karoten. Produk karoten banyak
Pengembangan industri minyak sawit masih didominasi oleh produk minyak sawit kasar (CPO). CPO dapat diolah lebih lanjut menjadi berbagai produk turunannya dengan, salah satunya, mengambil dan memanfaatkan
komponen minor karotenoid menjadi produk konsentrat karotenoid. Konsentrat karotenoid dapat dimanfaatkan dalam industri pangan, farmasi, dan kosmetik.
Di samping memiliki kelebihan produksi minyak sawit, Indonesia di sisi lain memiliki masalah pada pasokan energi minyak bumi akibat tingginya
konsumsi energi. Sementara itu, persediaan minyak mentah Indonesia semakin berkurang, ditambah lagi adanya kenaikan harga minyak mentah dunia. Oleh karena itu, minyak sawit pada saat ini mulai didorong untuk dimanfaatkan menjadi bahan baku produksi biodiesel. Untuk menunjang industri biodiesel yang kuat dengan berbasis iptek, perlu diupayakan untuk mendayagunakan
sekaligus meningkatkan nilai tambah aneka produk ikutan, produk samping, dan limbah proses pembuatan biodiesel.
Salah satu peluang untuk meningkatkan daya saing biodiesel berbahan baku minyak sawit adalah adanya kandungan mikronutrien karoten. Dengan melakukan penjumputan (recovery) terhadap karoten minyak sawit selama proses produksi biodiesel, selain dihasilkan nilai tambah dari biodiesel, juga akan diperoleh nilai tambah yang tinggi dari penjumputan karoten.
Proses produksi biodiesel selama ini hanya memfokuskan pada pembentukan metil ester kasar (crude methyl ester/CME) minyak sawit, tanpa memperhatikan keberadaan karoten di dalamnya. Untuk memperoleh karotenoid dari metil ester, perlu dilakukan upaya mempertahankan komponen karotenoid di dalam metil ester minyak sawit tersebut dengan teknik tertentu. Penjumputan karotenoid dari metil ester kasar minyak sawit yang selanjutnya dapat digunakan untuk produksi biodiesel, diharapkan dapat meningkatkan
B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi optimal penggunaan adsorben pada pemisahan karotenoid dari metil ester kasar/CME minyak sawit
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. MINYAK KELAPA SAWIT DAN PRODUK TURUNANNYA
Tanaman kelapa sawit (Elais guineensis Jacq.) adalah tanaman berkeping satu yang masuk dalam genus Elais, famili Palmae, kelas divisi Monocotyledonae, subdivisi Angiospermae dengan divisi Spermatophyta. Elais berasal dari bahasa Yunani “Elaion” atau minyak, sedangkan nama spesies guineensis berasal dari kata “Guines”, yaitu tempat dimana seorang ahli bernama Jacquin menemukan tanaman kelapa sawit pertama kali di pantai Guinea (Hartley, 1970).
Minyak kelapa sawit berasal dari buah tanaman kelapa sawit yang didapat dengan cara mengekstraksi buah tersebut. Kelapa sawit menghasilkan dua jenis minyak yang berlainan sifatnya, yaitu minyak yang berasal dari
sabut (mesokarp) yang disebut dengan Crude Palm Oil atau CPO, dan minyak yang berasal dari inti (kernel) yang disebut Palm Kernel Oil atau PKO (Somaatmaja, 1981).
Perbedaan minyak sawit dengan minyak inti sawit adalah adanya pigmen karotenoid yang berwarna kuning merah pada minyak sawit.
Perbedaan lainnya yaitu dalam kandungan asam lemaknya. Pada minyak inti sawit terdapat asam kaproat dan asam kaprilat yang tidak terdapat pada minyak sawit (Muchtadi, 1992).
CPO mengandung lebih kurang 1% komponen minor yang terdiri dari
karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol-sterol, fosfolipid dan glikolipid, terpen dan gugus alifatik, serta elemen sisa (trace element) lainnya. Komponen terbesar dari karotenoid adalah β-karoten dan α-karoten yang mencapai 90% dari total karotenoid yang terdiri dari 13 jenis (Ong et al., 1990).
sawit lebih tahan terhadap oksidasi (ketengikan) dibandingkan jenis minyak lain. Asam oleat merupakan asam lemak tidak jenuh rantai panjang dengan panjang rantai C18 dan memiliki satu ikatan rangkap. Titik cair asam oleat
lebih rendah dibandingkan asam palmitat, yaitu 14oC (Ketaren, 1986).
Ketaren (1986) menggambarkan pengolahan minyak sawit secara umum dengan beberapa tahap, yaitu ekstraksi, pemurnian, dan winterisasi (fraksinasi). Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak. Adapun cara
ekstraksi yaitu rendering, mechanical expression, dan solvent extraction.
Tujuan utama dari proses pemurnian minyak sawit adalah menghilangkan rasa serta bau tidak enak, warna yang tidak menarik, dan memperpanjang masa simpan minyak sebelum dikonsumsi atau digunakan sebagai bahan mentah dalam industri. Pada umumnya, minyak untuk tujuan
bahan pangan dimurnikan melalui tahap proses sebagai berikut: (1) pemisahan bahan berupa suspensi dan dispersi koloid dengan cara penguapan, degumming, dan pencucian dengan asam; (2) pemisahan asam lemak bebas dengan netralisasi; (3) dekolorisasi dengan pemucatan; (4) deodorisasi; dan (5) pemisahan gliserida jenuh (stearin) dengan cara pendinginan. Winterisasi
adalah bagian dari pemurnian minyak hasil ekstraksi. Winterisasi yaitu proses pemisahan bagian gliserida jenuh atau bertitik cair tinggi dari trigliserida bertitik cair rendah. Pada suhu rendah, trigliserida padat tidak dapat larut dalam trigliserida cair (Ketaren, 1986).
Gambar 1. Produk-produk hilir minyak sawit (Hariyadi dan Andarwulan, 2003)
B. METIL ESTER
Metil ester merupakan salah satu bahan oleokimia dasar selain asam lemak, alkohol, amina asam lemak, dan gliserin yang banyak diproduksi
sebagai bahan baku industri. Pemanfaatan metil ester sebagai bahan baku industri mulai dikembangkan secara besar-besaran sejak awal 1970 selama dua dekade dan masih terus berkembang seiring dengan meningkatnya kebutuhan bahan baku dalam industri oleokimia dan turunannya (Kaufman dan Reubusch, 1990).
Metil ester terutama dimanfaatkan dalam industri kosmetika, dan berguna sebagai agen pencuci dan pembersih. Selain itu, metil ester juga dimanfaatkan sebagai plasticizer (untuk mengubah sifat rigid suatu bahan menjadi plastis), sabun, keperluan rumah tangga, produk perawatan diri, bahan
pembantu dalam pengolahan karet, farmasi, dan bahan baku untuk produksi oleokimia dasar lainnya serta biofuel (biodiesel) (Ong et el., 1990; Kaufman
Minyak sawit
Digunakan langsung oleh industri
Diolah lebih lanjut sebagai bahan baku industri
- cooking oil/fat, shortening, dan margarine - table margarine - cocoa butter replacer - non dairy creamer - emulsion
- microencapsulate
Oleokimia Sabun
- Fatty acids - Fatty alcohols - Fatty acids methyl
ester - Fatty amine - Glycerine - dsb
- Detergen powder
dan Reubusch, 1990). Hasil-hasil penelitian metil ester dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil-hasil penelitian metil ester
Peneliti Katalis Optimasi Keterangan
Widayanto (2007)
NaOH
1% Kecepatan pengadukan 250 rpm, T= 50oC, t= 1 jam, mol
CPO:metanol=1:10
Rendemen
ME=80.67%, kadar ester 97.06%,
recovery karotenoid= 85.74%
Gunadi (1999) H3PO4
4%
CPO:metanol=1:6 T= 110oC
t= 1 jam
Bilangan ester 149.5981 Sulaswatty (1998) NaOH 1% (b/b) mol CPO:metanol=1:10 T= 60oC
t= 1 jam
Rendemen Metil Ester (ME) = 91.80%
Total karotenoid=413 ppm
Perolehan karotenoid = 96.33%
Taufiqurrahman (1998)
NaOCH3 CPO:metanol=1:6
T= 60oC t= 12 jam
Rendemen ME 95%
Noureddini dan Zhu (1997)
NaOH CPO:metanol=1:6 T= 60oC
t= 2 jam
Rendemen ME 80%
Ooi et al. (1994) NaOH 0.5% (b/b)
CPO:metanol= 2:1 Setelah FFA dinetralkan, dilanjutkan dengan destilasi molekuler 2 tahap
karotenoid = 75% Bryant et al.
(1992)
asam sulfat 0.8%
CPO:metanol=1:6 Rendemen ME 80%
Freedman et al. (1984)
alkali CPO:metanol=1:6 T= 60oC
t= 1 jam
Rendemen ME 99%
Sonntag (1982) asam 2-4%
CPO:metanol=1:6 T= 110oC
t= 1 jam
Rendemen ME 90%
Eckey (1949) NaOH 1%
CPO:metanol=1:3 T= 70oC
t= 1 jam
Di bawah refluks
Biodiesel dalam pengertian ilmiah yang setepat-tepatnya, berarti bahan bakar mesin diesel yang dibuat dari sembarang sumber daya hayati. Akan tetapi, dalam pengertian populer dewasa ini, yang dimaksud dengan
biodiesel adalah bahan bakar mesin diesel yang terdiri dari ester-ester metil (atau etil) asam-asam lemak (Budiman, 2004). Secara kimiawi, biodiesel merupakan turunan trigliserida dari golongan ester. Biodiesel didefinisikan sebagai ester dari asam lemak yang diolah dari sumber trigliserida alami terbarukan dan digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel (Agustian,
2005). Sesuai dengan definisi tersebut, biodiesel masih memiliki sifat-sifat turunan asam lemak pada umumnya, baik dari segi fisik, kimia, maupun biologi. Meskipun demikian, biodiesel memiliki kompatibilitas yang lebih baik untuk mesin diesel dibandingkan trigliserida atau turunan trigliserida lainnya.
Minyak nabati sebagai sumber utama biodiesel dapat dipenuhi oleh berbagai macam jenis tumbuhan. Contohnya, minyak jagung, kanola, kelapa, dan kelapa sawit yang kemudian menghasilkan produk dengan nama SME (Soybean Methyl Ester), RME (Rapeseed Methyl Ester), CME (Coconut Methyl Ester), dan POME (Palm Oil Methyl Ester) (Budiman, 2004).
Biodiesel dapat dibuat dari berbagai bahan alam yang mengandung trigliserida, baik minyak pangan (edible oil) maupun minyak bukan pangan (non-edible oil). Indonesia juga memiliki beragam tumbuhan yang potensial digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Menurut Budiman (2004), proses pembuatan biodiesel adalah proses transesterifikasi antara minyak nabati dengan metanol dan katalis dengan suhu 70oC. Biodiesel memiliki kelebihan antara lain tidak diperlukan modifikasi mesin, memiliki cetane number tinggi, ramah lingkungan, memiliki daya pelumas yang tinggi, aman, dan
C. REAKSI TRANSESTERIFIKASI
Metil ester dapat diproduksi melalui reaksi transesterifikasi antara trigliserida (minyak sawit) dengan metanol menjadi metil ester dan gliserol
dengan bantuan katalis basa. Proses transesterifikasi dapat dilakukan secara curah (batch) atau sinambung (continues) pada suhu 50-70oC (Darnoko et al., 2001). Proses transesterifikasi minyak atau lemak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu, lama hidrolisis, kecepatan pengadukan, jenis dan konsentrasi katalis, dan perbandingan metanol-asam lemak (Noureddini dan
Zhu, 1997; Hui, 1996).
Noureddini dan Zhu (1997) menjelaskan bahwa semakin besar suhu yang digunakan untuk transesterifikasi, semakin singkat waktu yang dibutuhkan untuk reaksi. Proses transesterifikasi akan berlangsung lebih cepat bila suhu dinaikkan mendekati titik didih metanol. Hankins dan Hankins
(1974) menerangkan bahwa dengan semakin meningkatnya suhu reaksi maka energi molekul-molekul yang bereaksi akan meningkat dan pada akhirnya meningkatkan pergerakan molekul. Pergerakan molekul yang tinggi memungkinkan terjadinya tumbukan antar molekul dan memungkinkan molekul-molekul mencapai energi yang cukup untuk mencapai komplek
aktivasi.
Kecepatan pengadukan berpengaruh terhadap kecepatan reaksi esterifikasi. Semakin tinggi kecepatan pengadukan akan meningkatkan pergerakan molekul dan menyebabkan terjadinya tumbukan. Pada awal reaksi,
pengadukan akan menyebabkan terjadinya difusi antara minyak atau lemak sampai dengan terbentuknya metil ester. Semakin banyaknya metil ester yang terbentuk menyebabkan pengaruh pengadukan semakin rendah (tidak signifikan) sampai dengan terbentuknya kesetimbangan (Noureddini dan Zhu, 1997; Hankins dan Hankins, 1974).
transesterifikasi, reaksi terjadi secara efektif hanya pada komponen-komponen trigliserida dan asam lemak bebas (Hankins dan Hankins, 1974).
Pada proses transesterifikasi, konsentrasi metanol yang digunakan tidak
boleh lebih rendah dari 98% karena makin rendah konsentrasi metanol yang digunakan maka makin rendah rendemen metil ester yang dihasilkan dan makin lama waktu reaksinya (Bernardini, 1983). Kondisi proses transesterifikasi secara kontinyu yang dilakukan Darnoko dan Cheryan (2000) yaitu suhu proses 60oC, waktu proses 1-2 jam yang diikuti dengan
pengadukan, menggunakan katalis KOH 1% (w/w) terlarut dalam metanol. Penambahan metanol dilakukan dengan perbandingan sebesar 6:1.
Proses transesterifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan katalis ataupun tanpa katalis. Biasanya dalam pembuatan metil ester digunakan katalis asam (HCl, H2SO4) atau katalis basa atau alkali (NaOCH3, KOH,
NaOH) (Sonntag, 1982). Pemakaian katalis asam menyebabkan reaksi berjalan bolak-balik (reversible) sedangkan pemakaian katalis basa akan menyebabkan reaksi berjalan searah (Ketaren, 1986; Faris, 1979). Pemakaian katalis ini bertujuan untuk mempercepat jalannya reaksi. Suatu reaksi akan terjadi apabila energi minimum untuk berlangsung tercapai. Energi minimum
yang dibutuhkan tersebut disebut energi aktivasi (Hankins dan Hankins, 1974).
Pemakaian katalis akan menyebabkan reaksi berlangsung lebih cepat dibandingkan tanpa menggunakan katalis karena energi aktivasi yang
dibutuhkan menjadi lebih rendah (Hankins dan Hankins, 1974). Menurut Faris (1979), katalis yang paling efektif dalam reaksi esterifikasi adalah natrium metoksida. Reaksi metanolisis antara lemak atau minyak dengan metanol dapat dilihat pada Gambar 2.
Rasio metanol-minyak sebesar 6:1 optimal untuk menghasilkan rendemen metil ester sekitar 95%, dimana katalis yang digunakan NaOH 1%. Minyak sawit yang digunakan telah mengalami perlakuan pendahuluan berupa
proses pemurnian meliputi degumming, netralisasi, bleaching, dan deodorisasi (Boocock et al., 1998).
D. KAROTENOID
Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning,
jingga, merah jingga, dan bersifat larut dalam minyak. Karotenoid terdapat dalam kloroplast (0.5%) bersama-sama dengan klorofil (9.3%) terutama pada bagian permukaan atas daun, dekat dengan dinding sel palisade (Winarno, 1991).
Menurut Meyer (1966), karotenoid dibagi atas empat golongan, yaitu:
(1) karotenoid hidrokarbon, C40H56 seperti α, β, dan karoten dan likopen;
(2) xantofil dan derivat karoten yang mengandung oksigen dan hidroksil antara lain kriptosantin, C40H55OH dan lutein, C40H54(OH)2; (3) asam
karotenoid yang mengandung gugus karboksil; dan (4) ester xantofil asam lemak.
Karotenoid termasuk senyawa lipida yang tidak tersabunkan, larut dengan baik dalam pelarut organik tetapi tidak larut dalam air (Ranganna, 1969). Menurut Meyer (1966), sifat fisika dan kimia karotenoid adalah larut dalam minyak dan tidak larut dalam air, larut dalam kloroform, benzena,
karbon disulfida, dan petroleum eter, tidak larut dalam etanol dan metanol dingin, tahan terhadap panas apabila dalam keadaan vakum, peka terhadap oksidasi, autooksidasi dan cahaya, dan mempunyai ciri khas absorpsi cahaya. Sifat-sifat tersebut penting untuk pemisahan karotenoid dari bahan lain.
kekuatannya menyamai tokoferol dan askorbat. Reaksi oksidasi dapat menyebabkan hilangnya warna karotenoid dalam makanan dan merupakan mekanisme degradasi utama yang banyak menjadi perhatian (Fennema,
1996).
Karotenoid lebih tahan disimpan dalam lingkungan asam lemak tidak jenuh jika dibandingkan dengan penyimpanan dalam asam lemak jenuh karena asam lemak tidak jenuh lebih mudah menerima radikal bebas bila dibandingkan dengan karotenoid. Dengan demikian, oksidasi pertama kali
akan terjadi pada asam lemak tidak jenuh dan karotenoid terlindungi dari oksidasi. Pada suasana asam, karotenoid mengalami isomerisasi dan akan membentuk poli cis-isomer (Chichester et al., 1970). Karena warnanya mempunyai kisaran kuning sampai merah, maka deteksi panjang gelombangnya diperkirakan antara 430-480 nm (Fennema, 1996).
Menurut Worker (1957) dalam Naibaho (1983), karotenoid belum mengalami kerusakan oleh pemanasan pada suhu 60oC. Reaksi oksidasi karotenoid berjalan lebih cepat pada suhu yang relatif tinggi terutama jika terdapat prooksidan. Karoten merupakan sumber vitamin A yang berasal dari tanaman dalam bentuk β-karoten, α-karoten dan -karoten, sedangkan
yang berasal dari hewan berbentuk vitamin A. Senyawa ini sering disebut anti xerophtalmia, karena kekurangan senyawa tersebut dapat menimbulkan gejala rabun mata. Senyawa β-karoten dalam minyak sawit sebagai provitamin A dapat bermanfaat untuk penanggulangan kebutaan karena
xerophtalmia, mengurangi peluang terjadinya kanker, mencegah proses menua yang terlalu dini, meningkatkan imunitas tubuh, dan mengurangi terjadinya penyakit degeneratif. Struktur β-karoten dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur β-karoten
1 2
4 3 5
6 7 8
9 10
11 12
13 14
15 14’ 12’ 10’ 8’ 15’ 13’ 11’ 9’ 7’
4’ 5’
1’ 6’ 2’
Mengkonsumsi β-karoten jauh lebih aman daripada mengkonsumsi vitamin A yang dibuat secara sintetis. Pendekatan yang terbaik untuk mencegah defisiensi vitamin A adalah dengan menghimbau agar
suplementasi β-karoten dosis tinggi dilakukan pada diet intake. Tubuh manusia memiliki kemampuan mengubah sejumlah besar karoten menjadi vitamin A (retinol), sehingga β-karoten disebut provitamin A (Winarno, 1991). Sekitar 25% dari β-karoten +yang diabsorbsi pada mukosa usus tetap dalam bentuk utuh, sedangkan 75% sisanya diubah menjadi retinol (vitamin
A) dengan bantuan enzim 15, 15’ β-karotenoid oksigenase (Fennema, 1996).
E. PEMISAHAN KAROTENOID DENGAN KROMATOGRAFI KOLOM ADSORPSI
Pada dasarnya kromatografi kolom adalah pemisahan
komponen-komponen dalam sampel dengan cara mengalirkan sampel melewati suatu kolom. Sampel dalam hal ini dibawa oleh carrier atau fase gerak (mobile phase). Sedangkan kolom berisi suatu bahan yang disebut fase diam (stationary phase) yang berfungsi memisahkan komponen-komponen sampel. Ada komponen yang ditahan kuat, dan ada komponen yang ditahan lemah.
Yang ditahan lemah akan keluar dari kolom lebih dulu dan yang ditahan lebih kuat akan keluar lebih akhir (Gritter, 1991).
Prinsip pemisahan kromatografi adsorpsi adalah kompetisi antara zat terlarut (sampel) dan fase gerak dengan permukaan fase diam. Kekuatan
adsorpsi terutama tergantung sifat gugus fungsionalnya, dimana gugus-gugus fungsional ini menentukan tingkat kepolaran. Proses adsorpsi dipengaruhi oleh kekuatan ikatan antara solut dan adsorben dan kekuatan untuk memisahkan solut dari adsorben.
dari minyak sawit kasar dengan menggunakan penjerap resin sintesis (Diaion HP-20).
Recovery karotenoid 79% didapatkan oleh Desai dan Dubash (1994) yang menggunakan penjerap campuran bentonit dan alumina (4:1) dalam bentuk gel untuk menjerap karoten dari CPO. Lessin et al. (1997) mendapatkan recovery β-karoten dari CPO sebesar 82.14% dengan menggunakan campuran magnesium oksida dan aluminium oksida (1:1) untuk memurnikan β-karoten dari CPO. Masni (2004) menggunakan adsorben abu
sekam padi pada kromatografi kolom adsorpsi dan berhasil memproduksi konsentrat karotenoid dengan konsentrasi sebesar 11580 µg/g konsentrat kering, atau terjadi pemekatan sebesar 6 kali lipat dengan recovery sebesar 86%.
Hasanah (2006) mendapatkan kondisi optimum pemisahan karotenoid
dari fraksi cair menggunakan adsorben campuran abu sekam padi dan silika gel dengan nisbah 30:10 (b/b), jumlah fraksi cair yang dilewatkan 2 gram, dan volume fraksi eluat yang ditampung adalah 3 ml. Konsentrat yang didapat Hasanah (2006) memiliki konsentrasi 7541 µg/g, tingkat pemekatan 10 kali dari fraksi cairnya dan recovery sebesar 49%.
F. ADSORBEN DALAM KROMATOGRAFI KOLOM ADSORPSI
Adsorben yang paling umum digunakan dalam kromatografi kolom adsorpsi adalah silika gel dan alumina. Oleh karena itu, senyawa yang bersifat
asam harus dipisahkan dengan silika gel, sedangkan yang bersifat basa harus dipisahkan dengan alumina sebagai adsorben. Apabila sebaliknya, senyawa akan sulit dilepaskan dari adsorben (Adnan, 1997). Adsorben yang digunakan dalam kromatografi kolom adsorpsi untuk pemisahan karotenoid dari metil ester adalah silika gel dan abu sekam padi.
1. Silika Gel
Struktur internal silika gel sangat unik dan berbeda dengan bahan dasar SiO2. Silika gel tersusun atas jaringan yang banyak sekali terdiri dari
dengan luas diameter antara 5 Å hingga 3000 Å (http:// www. malchem. com).
Silika gel secara komersial dibuat dengan mencampurkan larutan
natrium silikat dengan asam mineral. Reaksi ini menyebabkan terbentuknya hidrosol. Hidrosol diubah menjadi silika gel melalui polimerisasi molekul silika. Berbagai jenis silika dapat dibuat dengan mengubah kondisi reaksi seperti temperatur, konsentrasi, dan pH (Rao dan Pfost, 1974).
Silika gel adalah fase diam polar yang digunakan untuk memisahkan komponen yang dapat dipolarkan seperti hidrokarbon aromatik dan campuran solut yang kurang polar seperti fenol, ester, dan ester alifatik (Adnan, 1997). Silika gel berfungsi sebagai bahan dasar adsorpsi secara fisik.
Pada sistem kromatografi, pelarut dan solut berinteraksi dengan fase diam. Ketika permukaan silika kontak dengan pelarut, maka permukaan akan ditutupi dengan suatu lapisan molekul pelarut. Jika fase gerak terdiri dari suatu campuran pelarut, maka sebagian permukaan akan ditutupi oleh satu jenis pelarut dan bagian permukaan lain akan ditutupi oleh jenis
pelarut yang lain (Katz et al. 1989). Interaksi solut dengan fase diam ditimbulkan oleh dua atau lebih interaksi, tergantung dari jenis molekul permukaan.
2. Abu Sekam Padi
Sekam padi adalah bagian terluar dari butir padi yang merupakan hasil samping proses penggilingan padi. Saat ini, sekam padi hanya dimanfaatkan sebagai abu gosok untuk keperluan rumah tangga sehingga nilai ekonomis dari abu sekam padi sangat rendah. Sekam padi dapat diperoleh di Indonesia sepanjang tahun. Dengan demikian, sekam padi
dapat menjadi bahan baku yang baik untuk industri.
(Hara et al. 1986). Sekam padi tersusun dari palea dan lemma. Palea dan lemma terikat dengan suatu struktur pengikat yang menyerupai kait. Sel-sel sekam yang telah masak mengandung lignin dalam jumlah tinggi dan
[image:30.612.244.411.223.370.2]menjadi rapuh. Sel-sel sekam ini juga mengandung silika dengan konsentrasi tinggi. Kandungan silika ini diperkirakan berada di bagian luar sel epidermis (De Datta, 1981 dalam Sacra, 1994). Bagian-bagian bulir padi dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Bagian-bagian bulir padi
Pembakaran sekam menggunakan serealia processor akan menghasilkan abu yang mengandung silika 55% dan residu karbon. Pembakaran lebih lanjut di laboratorium pada suhu 500oC akan menghasilkan abu dengan kandungan silika 97% dan kalium oksida 2%.
Silika yang terdapat pada sekam padi ada dalam bentuk amorf terhidrat (Houston, 1972). Menurut Proctor dan Palaniappan (1989), silika dalam sekam padi terdapat dalam bentuk tridymite dan cristobalite yang mempunyai potensi sebagai bahan pemucat minyak nabati. Komposisi kimia abu sekam padi dapat dilihat pada Tabel 2.
Abu sekam padi merupakan sumber biologis dari silika yang dapat digunakan dalam proses pemurnian minyak (Proctor dan Palaniappan, 1989). Abu sekam padi mampu menangkap komponen-komponen penyebab warna karena lapisan silika tetrahedral yang terkandung di
Tabel 2. Komposisi kimia abu sekam padi Unsur pokok Berat rata-rata (%)
SiO2 82.00-87.6
CaO2 0.84-2.0
MgO 0.81-2.0
K2O 0.91-22.8
Na2O 2.06-22.8
Fe2O3 traces
P2O3 0.20-3.0
SO3 0.10-1.5
Sulfur traces
Sumber: Laurico E. F. M. (1987) dalam Mauraga (1988)
Efektivitas penangkapan komponen warna tergantung pada struktur
III. METODE PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan
Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metil ester kasar (Crude Methyl Ester atau CME) yang terbuat dari minyak sawit kasar (Crude Palm Oil atau CPO). CME tersebut diperoleh melalui hasil optimasi yang telah dilakukan oleh Widayanto (2007) dengan pelarut metanol dan katalis NaOH, kecepatan pengadukan 250 rpm, konsentrasi NaOH 1%, suhu reaksi 50oC, dan waktu reaksi 60 menit. Bahan lain yang digunakan adalah silika gel, abu sekam padi yang diabukan pada suhu
800oC, 1000oC, dan 1200oC, heksana (p.a. dan teknis), dan gas nitrogen. Bahan-bahan untuk analisis adalah KOH, HCl, indikator pp, akuades, etanol 95%, isopropanol, aluminium foil, dietil eter, asam periodat, natrium tiosulfat, kalium iodida, asam asetat glasial, larutan pati, natrium hipoklorit, kloroform, dan kalium dikromat.
2. Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah spektrofotometer UV-Vis, oven, tanur, neraca analitik, blender, peralatan kolom kromatografi
(panjang 40 cm, diameter 2.5 cm, dan volume 150 ml), rotavapor, pipet, tabung reaksi, gelas ukur, dan peralatan gelas lainnya. Peralatan untuk analisis adalah labu erlenmeyer, kondensor, water bath, labu distilasi, labu takar, dan peralatan gelas lainnya. Gambar kromatografi kolom adsorpsi yang
[image:32.612.268.372.549.689.2]dipakai dalam penelitian ini terlihat pada Gambar 5.
B. TAHAPAN PENELITIAN
Penelitian ini dapat dibagi atas tiga tahap utama, yakni karakterisasi adsorben abu sekam padi dan silika gel yang mengalami pengabuan berulang,
penentuan kondisi optimum dalam kromatografi kolom adsorpsi, dan pengujian kapasitas kolom pada proses elusi berulang. Gambar diagram alir penelitian dapat terlihat pada Gambar 6.
[image:33.612.202.476.202.551.2]
Gambar 6. Diagram alir penelitian optimasi penggunaan adsorben
1. Karakterisasi Adsorben Abu Sekam Padi dan Silika Gel yang Mengalami Pengabuan Berulang
Pada tahap ini, karakterisasi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana efektivitas pemisahan karotenoid dengan kromatografi kolom adsorpsi dengan menggunakan adsorben yang diabukan secara berulang.
Karakterisasi adsorben abu sekam padi dan silika gel yang mengalami pengabuan
berulang
Optimasi kromatografi kolom adsorpsi (nisbah abu sekam padi terhadap silika gel dan jumlah CME)
Pengujian penggunaan kolom berulang
Konsentrat karotenoid Metil ester kasar
Adsorben abu sekam padi dibuat dengan mengabukan sekam padi hingga suhu 1200oC. Terdapat kemungkinan abu sekam padi yang telah digunakan dalam elusi dapat digunakan kembali dengan pengabuan ulang.
Pengabuan ulang suhu tinggi diduga dapat menghilangkan komponen pengotor yang terikat di abu sekam padi setelah proses elusi kolom kromatografi adsorpsi. Jika pengabuan ulang ini cukup dapat mengaktifkan kembali abu sekam padi, maka penggunaan abu sekam padi dapat lebih efisien dan ekonomis karena tidak perlu membuat abu sekam
padi baru dengan mengikuti proses dari awal (dari sekam hingga menjadi abu sekam padi).
Efektivitas penjerapan terlihat dari recovery dan profil fraksi karotenoid dari masing-masing perlakuan. Adsorben yang digunakan adalah abu sekam padi 1200oC 100% dan silika gel 100%. Masing-masing
adsorben digunakan dengan perlakuan pengabuan berulang. Diagram alir proses karakterisasi abu sekam padi dan silika gel dengan perlakuan pengabuan berulang dapat dilihat pada Gambar 7.
Pada tahap ini, elusi pertama kali pada kromatografi kolom adsorpsi menggunakan masing-masing adsorben abu sekam padi 1200oC 100% dan
silika gel 100% yang telah diaktifkan. Selanjutnya, masing-masing adsorben diabukan ulang menggunakan tanur suhu 450oC. Setelah diabukan ulang, adsorben diaktifkan kembali (dioven suhu 100oC selama satu jam) dan digunakan kembali pada kromatografi kolom adsorpsi yang
Gambar 7. Diagram alir karakterisasi abu sekam padi dan silika gel dengan perlakuan pengabuan berulang
Perlakuan pertama (pengulangan pengabuan ke-0) berarti adsorben
tersebut hanya diaktifkan pada suhu 100oC tanpa pengabuan kembali di tanur. Pengulangan pengabuan ke-1 berarti bahwa adsorben yang dipakai adalah adsorben yang telah digunakan sebelumnya lalu ditanur pada suhu 450oC. Pengulangan pengabuan ke-2 berarti bahwa adsorben yang dipakai adalah adsorben pada pengabuan ke-1 lalu diabukan kembali di tanur pada
suhu 450oC.
Pada tahap ini, rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor. Pengulangan pengabuan pada abu sekam padi 1200oC tidak memiliki hubungan dengan
Crude Methyl Ester (CME)
2 gram)
Heksana
Adsorben
(Abu sekam padi 1200oC 100% atau silika gel 100%)
Pengepakan kolom
Elusi dengan heksana Kolom yang sudah dikepak
Pemekatan dengan Rotavapor dan gas N2 hingga beratnya tetap
Konsentrat karotenoid
Adsorben diabukan ulang suhu 450oC Analisis konsentrasi,
pemekatan dan recovery
2 X
pengulangan pengabuan pada silika gel. Masing-masing faktor (abu sekam padi 1200oC dan silika gel) memiliki 3 perlakuan (pengulangan pengabuan ke-0, 1, dan 2). Setiap perlakuan diulang sebanyak 2 kali. Penerapan
[image:36.612.165.489.213.466.2]perlakuan pada tahap pendahuluan ini dapat dilihat pada Tabel 3. Analisis data dengan membandingkan nilai recovery-nya.
Tabel 3. Penerapan perlakuan pada tahap pengulangan pengabuan pada masing-masing adsorben (abu sekam padi 1200oC dan silika gel)
Ulangan Perlakuan
P1 P2 P3
1 Y11 Y12 Y13
2 Y21 Y22 Y23
Model linier:
Yij = µ + τi + εij i = 1, 2, dan 3 j = 1 dan 2
Keterangan:
P1, P2, P3 = Perlakuan pengulangan pengabuan ke-0, 1, dan 2 Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
µ = Rataan umum
τi = Pengaruh perlakuan ke-i
εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
2. Optimasi Kromatografi Kolom Adsorpsi
Optimasi pemisahan karotenoid menggunakan campuran abu sekam padi 800oC, 1000oC, dan 1200oC dengan silika gel dilakukan untuk mendapatkan konsentrat karotenoid dengan konsentrasi dan recovery tinggi. Campuran abu sekam padi 800oC, 1000oC, dan 1200oC dengan silika gel digunakan sebagai fase diam sedangkan heksana digunakan sebagai fase gerak. Dalam tahap ini, ada dua sub-tahap, yaitu nisbah abu sekam padi terhadap silika gel dan jumlah metil ester kasar yang dikolom. Setiap jenis
20:20 (jumlah total adsorben adalah 40 gram). Jumlah metil ester kasar yang dimasukkan ke kolom adalah 1, 2, 3, dan 4 gram.
a. Penentuan nisbah abu sekam padi dan silika gel yang optimum
Tujuan tahap perlakuan ini adalah menentukan nisbah abu sekam padi 800oC, 1000oC, dan 1200oC terhadap silika gel yang optimum dengan mengelusi CME. Masing-masing campuran abu sekam padi dan silika gel disiapkan dengan nisbah yang berbeda-beda, yakni 35:5, 30:10, 25:15, dan 20:20 dengan perbandingan jumlah abu sekam padi dan silika gel dalam
gram/gram dan jumlah total adsorben 40 gram sesuai dengan kapasitas kolom yang digunakan. Selanjutnya, 1 gram sampel (CME) dimasukkan ke dalam kolom, dibiarkan terjerap, dan dielusi dengan heksana.
Cairan yang keluar dari kolom ditampung per fraksi sampai eluat yang keluar tidak berwarna lagi. Volume setiap fraksi yang ditampung
sejumlah 3 ml. Selanjutnya, konsentrasi karotenoid dari setiap fraksi dihitung menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 446 nm. Fraksi-fraksi yang berwarna dikumpulkan dalam satu wadah lalu dipekatkan dengan menguapkan pelarutnya sehingga diperoleh konsentrat karotenoid. Setelah mengetahui recovery dan konsentrasi konsentrat karotenoid, tingkat pemekatan proses tersebut juga dihitung. Diagram alir dalam menentukan nisbah abu sekam padi terhadap silika gel yang optimum dapat dilihat pada Gambar 8.
Pada tahap ini, rancangan percobaan yang digunakan adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial. Ada dua faktor, yakni tingkat pengabuan abu sekam padi dan nisbah abu sekam padi dan silika gel. Faktor tingkat pengabuan abu sekam padi terdiri dari 3 taraf, yakni 800oC, 1000oC, dan 1200oC sedangkan faktor nisbah abu sekam padi dan silika gel terdiri dari 4 taraf, yakni 35:5, 30:10, 25:15, dan 20:20. Pada tiap
Tabel 4. Penerapan perlakuan pada tahap penentuan nisbah abu sekam padi dan silika gel yang optimum
Faktor tingkat pengabuan
abu sekam padi Ulangan
Faktor nisbah abu sekam padi dan silika gel
35:5 (B1)
30:10 (B2)
25:15 (B3)
20:20 (B4)
Abu sekam padi 800oC (A1)
1 Y111 Y121 Y131 Y141
2 Y112 Y122 Y132 Y142
Abu sekam padi 1000oC (A2)
1 Y211 Y221 Y231 Y241
2 Y212 Y222 Y232 Y242
Abu sekam padi 1200oC (A3)
1 Y311 Y321 Y331 Y341
2 Y312 Y322 Y332 Y342
Model linier:
Yijk = µ + αi + αiβj(αβ)k + εijk
Keterangan:
Yijk = Pengamatan pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, dan
ulangan ke-k
µ = Rataan umum
αi = Pengaruh utama faktor A
βj = Pengaruh utama faktor B
(αβ)k = Komponen interaksi dari faktor A dan faktor B
Gambar 8. Diagram alir optimasi nisbah abu sekam padi dan silika gel pada kromatografi kolom adsorpsi
b. Penentukan jumlah sampel (CME) yang dilewatkan dalam kolom Nisbah abu sekam padi dan silika gel optimum yang diperoleh dari tahap sebelumnya, selanjutnya digunakan dalam tahap ini. Jumlah CME yang dilewatkan adalah 1, 2, 3, dan 4 gram. Sampel dimasukkan ke dalam
kolom, dibiarkan terjerap, dan dielusi dengan heksana. Diagram alir dalam menentukan jumlah CME yang optimum dapat dilihat pada Gambar 9.
Crude Methyl Ester (CME)
1 gram
Heksana Abu sekam padi Silika gel
Pencampuran abu sekam padi/silika gel dengan nisbah 35:5, 30:10, 25:15, dan 20:20
Pengepakan kolom
Elusi dengan heksana Kolom yang sudah dikepak
Eluat yang ditampung (3 ml)
Pemekatan dengan Rotavapor dan gas N2 hingga beratnya tetap
Konsentrat karotenoid Analisis konsentrasi,
pemekatan dan recovery
Gambar 9. Diagram alir optimasi jumlah CME pada kromatografi kolom adsorpsi
Cairan yang keluar dari kolom ditampung per fraksi sampai eluat yang keluar tidak berwarna lagi. Volume setiap fraksi yang ditampung sejumlah 3 ml. Selanjutnya, konsentrasi karotenoid dari setiap fraksi dihitung menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 446 nm. Fraksi-fraksi yang berwarna dikumpulkan dalam satu wadah lalu
dipekatkan dengan menguapkan pelarutnya sehingga diperoleh konsentrat karotenoid. Setelah mengetahui recovery dan konsentrasi karotenoid dari konsentrat, tingkat pemekatannya juga dihitung.
Pada tahap ini, rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor. Faktor jumlah CME Crude Methyl
Ester (CME) (1, 2, 3, 4 gram)
Heksana Abu sekam padi Silika gel
Pencampuran abu sekam padi/silika gel dengan nisbah terseleksi 25:15
Pengepakan kolom
Elusi dengan heksana Kolom yang sudah dikepak
Eluat yang ditampung (3 ml)
Pemekatan dengan Rotavapor dan gas N2 hingga beratnya tetap
Konsentrat karotenoid Analisis konsentrasi,
pemekatan dan recovery
memiliki 4 perlakuan (1, 2, 3, dan 4 gram). Setiap perlakuan diulang sebanyak 2 kali. Penerapan perlakuan pada tahap ini dapat dilihat pada Tabel 5. Pengolahan datanya menggunakan ANOVA satu arah dari
program statistik SPSS 12.
Tabel 5. Penerapan perlakuan pada tahap penentuan jumlah CME yang dilewatkan ke kolom
Ulangan Perlakuan
J1 J2 J3 J4
1 Y11 Y12 Y13 Y14
2 Y21 Y22 Y23 Y24
Model linier:
Yij = µ + τi + εij i = 1, 2, 3, dan 4 j = 1 dan 2
Keterangan:
J1, J2, J3, J4 = Perlakuan jumlah CME 1, 2, 3, dan 4 gram Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
µ = Rataan umum
τi = Pengaruh perlakuan ke-i
εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
3. Kajian Penggunaan Kolom Secara Berulang
Pada bagian ketiga dari penelitian ini dilakukan kajian terhadap
kapasitas kolom pada proses elusi berulang. Melalui kajian ini dapat diketahui sejauh mana adsorben terpilih (hasil optimasi tahap 2) dapat digunakan secara berulang tanpa membongkar kolom dan tanpa perlakuan tambahan terhadap adsorben. Pada tahap ini dilakukan tiga kali pengulangan penggunaan kolom dengan masing-masing dua ulangan.
Kemampuan kolom untuk digunakan secara berulang dilihat dari recovery karotenoid yang diperoleh pada elusi-elusi ulangan tersebut.
Nisbah abu sekam padi terhadap silika gel dan jumlah sampel terseleksi dari tahap penelitian sebelumnya digunakan sebagai kajian
keluar dari kolom ditampung per fraksi sampai eluat yang keluar tidak berwarna lagi. Volume setiap fraksi yang ditampung sejumlah 3 ml. Selanjutnya, sampel untuk elusi ulangan kedua dengan jumlah yang sama
dengan sampel pertama, dimasukkan ke dalam kolom, dibiarkan terjerap, dan dielusi dengan heksana. Cairan yang keluar dari kolom ditampung per fraksi sampai eluat yang keluar tidak berwarna lagi. Volume setiap fraksi yang ditampung sejumlah 3 ml. Perlakuan yang sama juga dilakukan terhadap sampel untuk elusi ulangan ketiga sehingga akan diperoleh profil
recovery karotenoid dari ketiga ulangan elusi tersebut. Bagan alir kapasitas kolom pada proses elusi berulang dapat dilihat pada Gambar 10.
Pada tahap ini, rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor. Faktor banyaknya elusi pada kolom memiliki 3 perlakuan (elusi ke-1, ke-2, dan ke-3). Setiap perlakuan
diulang sebanyak 2 kali. Penerapan perlakuan pada tahap pendahuluan ini dapat dilihat pada Tabel 6. Pengolahan datanya menggunakan ANOVA satu arah dari program statistik SPSS 12.
Tabel 6. Penerapan perlakuan pada tahap penggunaan kolom secara berulang
Ulangan Perlakuan
E1 E2 E3
1 Y11 Y12 Y13
2 Y21 Y22 Y23
Model linier:
Yij = µ + τi + εij i = 1, 2, dan 3 j = 1 dan 2
Keterangan:
E1, E2, E3 = Perlakuan elusi ke-1, ke-2, ke-3
Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
µ = Rataan umum
τi = Pengaruh perlakuan ke-i
Gambar 10. Diagram alir kajian penggunaan kolom secara berulang
C. METODE ANALISIS
1. Analisis Kadar Silikat (Slamet et al. 1990)
Abu sekam padi dengan bobot tertentu di dalam cawan porselen dibasahi dengan 1 ml air suling, ditambahkan 1 ml asam nitrat pekat, dikocok sampai bercampur sempurna. Cawan dimasukkan ke dalam tanur (suhu di bawah 250oC) dan kemudian suhu dinaikkan sampai 450-500oC Crude Methyl Ester (CME)
(jumlah terseleksi)
Heksana Abu sekam padi Silika gel
Pencampuran abu sekam padi/silika gel dengan nisbah terseleksi
Pengepakan kolom
Elusi dengan heksana Kolom yang sudah dikepak
Eluat yang ditampung (3 ml per fraksi)
Pemekatan dengan Rotavapor dan gas N2 hingga beratnya tetap
Konsentrat karotenoid
Proses elusi berulang 2 X
Analisis konsentrasi, pemekatan dan
selama satu jam. Cawan dikeluarkan dari tanur dan didinginkan, abu lalu dibasahi dengan 1 ml air suling kemudian ditambahkan 1 ml HNO3 pekat,
cawan dipanaskan di atas penangas air hingga abu hampir kering. Abu
selanjutnya dilarutkan dengan 10 ml HCl 3 N, diaduk dengan pengaduk gelas, dipanaskan lagi hingga hampir mendidih. Campuran tersebut didinginkan, lalu dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu takar 50 ml. Cawan dibilas paling sedikit tiga kali, bila perlu dipanaskan di atas penangas air, dan air bilasan digabung ke dalam labu takar. Bila ada
endapan putih dari silikat, dilakukan dekantasi kemudian airnya dituangkan perlahan-lahan agar endapan sebanyak mungkin tertahan dan tertinggal di dalam cawan. Ditambahkan air suling ke dalam labu sampai tanda tera. Endapan yang tertahan pada kertas saring dipanaskan dalam oven sampai diperoleh bobot tetap untuk menentukan kandungan silikat.
2. Analisis kandungan karotenoid (Modifikasi Parker, 1992)
Konsentrasi karotenoid dalam sampel dihitung menggunakan nilai E1% (1 cm) untuk β-karoten = 2600, yaitu absorbansi dari 1% larutan β -karoten (10 mg/ml atau μg/μl) pada panjang gelombang 460 nm
menggunakan kuvet 1 cm sebagai berikut :
Konsentrasi karotenoid = 2600
10
x A x fp x B V
Keterangan : A = nilai serapan sampel
fp = faktor pengenceran
V = volume sampel yang diukur B = bobot sampel yang dianalisis
Tingkat pemekatan =
CME i konsentras
konsentrat dari
karotenoid i
konsentras
Recovery = x100%
CME karotenoid total
fraksi semua karotenoid total
jumlah
Recovery karotenoid merupakan gambaran berapa banyak karotenoid yang berhasil keluar dari kolom setelah dielusi dalam kromatografi kolom adsorpsi. Nilai ini didapat dari perbandingan total
karotenoid fraksi-fraksi yang turun dari kolom terhadap total karotenoid CME (sebelum dielusi ke kolom).
Tingkat pemekatan merupakan angka yang menunjukkan seberapa besar karotenoid berhasil dipekatkan dari kumpulan fraksi kromatografi kolom adsorpsi yang mengandung karotenoid, pelarut heksana, dan metil
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN PENDAHULUAN
Pada tahap awal penelitian dilakukan karakterisasi kandungan silikat abu
sekam padi 800oC, 1000oC, dan 1200oC. Selain itu, pada tahap ini juga dilakukan elusi kromatografi kolom adsorpsi untuk melihat pengaruh pengabuan berulang pada kemampuan adsorben abu sekam padi 1200oC dan silika gel. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk melihat efektivitas pemisahan karotenoid oleh abu
sekam padi 1200oC dan silika gel serta melihat pengaruh pengabuan berulang terhadap kemampuan perolehan kembali karotenoid dari masing-masing adsorben. Abu sekam padi 1200oC adalah abu sekam yang dipanaskan kembali dengan tanur pada suhu 1200oC
Abu sekam padi 1200oC dipilih sebagai adsorben dengan pertimbangan bahwa di dalamnya terkandung kadar silika yang cukup tinggi dan memiliki
kemampuan menjerap karotenoid. Kemampuan menjerap ini ada kaitannya dengan kandungan mineral dari abu sekam padi, terutama mineral yang terikat pada struktur silika. Karakteristik kandungan silikat abu sekam padi dapat dilihat pada Tabel 7. Karena dalam penelitian tahap selanjutnya juga digunakan abu
sekam padi 800oC dan 1000oC, maka karakteristik abu sekam padi keduanya juga disajikan pada tabel yang sama sebagai pembanding dengan karakteristik abu sekam padi 1200oC. Dalam penelitian pendahuluan ini hanya digunakan abu sekam padi suhu 1200oC yang mengandung kadar silikat tinggi.
Tabel 7. Kandungan silikat abu sekam padi 800oC, 1000oC, dan 1200oC
Karakteristik
Kandungan (%-b/b)
Abu sekam padi 800oC
Abu sekam padi 1000oC
Abu sekam padi 1200oC
Silikat 95.4 96.5 96.0
Kandungan silikat pada abu sekam padi 1200oC sangat tinggi (96.0%).
campuran adsorben karena masih terdapat silikat dalam kadar yang tinggi. Selain itu, pemanasan pada suhu yang lebih rendah berarti juga penghematan energi yang berdampak pada nilai ekonomi.
Adsorben lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah silika gel. Pada
tahap penelitian selanjutnya, silika gel dicampur dengan abu sekam padi pada berbagai perbandingan. Silika gel digunakan karena merupakan adsorben yang umum digunakan untuk proses pemisahan dalam kromatografi kolom adsorpsi. Pemisahan karotenoid yang pernah dilakukan Baharin et al. (1998), menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi silika gel lebih rendah 50% dibandingkan dengan
kapasitas adsorpsi HP-20 resin dalam memisahkan karotenoid dari minyak sawit kasar.
[image:47.612.125.516.386.593.2]Hasil penelitian pendahuluan pemisahan karotenoid dari metil ester kasar menggunakan adsorben abu sekam padi 1200oC dan silika gel dapat dilihat pada Tabel 8, Gambar 11, dan Gambar 12.
Tabel 8. Recovery karotenoid setelah melalui kromatografi kolom adsorpsi pada beberapa adsorben
Perlakuan
Abu Sekam Padi 1200oC Silika Gel
Total karotenoid (μg)
Recovery (%)
Total karotenoid (μg)
Recovery (%)
Pra-kolom
Post-kolom
Pra-kolom
Post-kolom
Pengabuan ke-0
1052.62 651.68 61.91 1097.46 811.51 73.94
Pengabuan ke-1
1128.67 938.31 83.13 1182.48 215.46 18.22
Pengabuan ke-2
Gambar 11. Profil fraksi kromatografi dari adsorben (a) Abu sekam padi 1200oCdan (b) Silika gel dengan jumlah masing-masing 100%.
Tabel 8 menunjukkan bahwa recovery karotenoid tidak menunjukkan tren kenaikan atau penurunan. Hal ini diduga karena pembersihan kolom belum sempurna. Kolom yang dicuci dengan heksana dalam jumlah yang tidak cukup dapat mengakibatkan komponen-komponen yang lebih polar dari karotenoid (seperti metil ester) tertahan lebih lama pada pori-pori diantara gugus silanol silika atau pada gugus silanol itu sendiri.
(a) (b) 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Fraksi ke-T o ta l k a ro te n o id (u g )
pengulangan pengabuan ke-0
pengulangan pengabuan ke-1
pengulangan pengabuan ke-2
0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Fraksi ke-T o ta l k a ro te no id ( ug)
pengulangan pengabuan ke-0
pengulangan pengabuan ke-1
61.91 83.13 85.09 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
0 1 2
Pengulangan pengabuan
ke-R eco v e ry (% ) 73.94 18.22 68.34 0 10 20 30 40 50 60 70 80
0 1 2
Pengulangan pengabuan
[image:49.612.139.433.80.436.2]ke-R e co ver y ( % ) (a) (b)
Gambar 12. Recovery karotenoid dengan perlakuan adsorben yang mengalami pengabuan berulang (a) Abu sekam padi 1200oC dan (b) Silika gel dengan jumlah masing-masing 100%.
Dari Gambar 12. dapat terlihat bahwa semakin sering diabukan, abu sekam
padi 1200oC akan semakin mudah melepaskan kembali karotenoid. Pengabuan kembali diduga menyebabkan sisi aktif pada adsorben abu sekam padi 1200oC rusak. Akibatnya, karotenoid dan metil ester tidak sempat berpisah secara optimal sehingga turun bersama-sama.
juga kemungkinan menyebabkan kerusakan sisi aktif silika gel sehingga kecenderungan nilai recovery semakin naik karena pemisahan karotenoid dan komponen lainnya tidak optimal.
Dengan demikian, kedua jenis adsorben tersebut tidak dapat dipakai ulang
dengan cara pengabuan kembali karena diduga telah terjadi kerusakan silika akibat pengabuan kembali. Selain itu, proses pembersihan kolom tidak baik karena jumlah heksana yang digunakan untuk membersihkan kolom sedikit. Kolom seharusnya dibersihkan dahulu dari komponen-komponen non karotenoid yang masih mungkin tertinggal di kolom saat elusi sebelumnya. Karena itu,
recovery karotenoid dari perlakuan pengabuan berulang memiliki pola naik turun seperti yang terlihat pada Gambar 12.
Berdasarkan hasil elusi tahap satu (tanpa pengabuan berulang) diperoleh gambaran tentang kemampuan adsorpsi karotenoid menggunakan adsorben silika gel lebih besar dibandingkan dengan menggunakan adsorben abu sekam padi,
tetapi kemampuan desorpsi (melepas kembali karotenoid) silika gel lebih rendah dari pada abu sekam padi. Hasil pengujian tersebut sesuai dengan kesimpulan penelitian Masni (2004), dan inilah yang menjadi dasar dilakukannya kombinasi perlakuan abu sekam padi dan silika gel.
B. OPTIMASI KROMATOGRAFI KOLOM ADSORPSI
Adsorben yang digunakan dalam kromatografi ini adalah campuran abu sekam padi dan silika gel. Abu sekam padi yang digunakan ada tiga jenis, yakni abu sekam padi yang diabukan pada suhu 800oC, 1000oC, dan 1200oC.
Penggunaan jenis abu sekam padi yang berbeda bertujuan untuk mencari kemungkinan adsorben yang optimal baik dari segi proses kromatografi, maupun dari segi ekonomis. Masing-masing abu sekam padi dicampur dengan silika gel pada berbagai nisbah. Selanjutnya, hasil nisbah yang optimum akan dijadikan kondisi untuk menentukan jumlah sampel yang dapat menghasilkan kondisi yang
optimum juga. Proses pemisahan diperlukan untuk meningkatkan konsentrasi karotenoid dari metil ester kasar minyak kelapa sawit.
pemanasan tersebut dianggap cukup untuk menyingkirkan air yang terdapat di adsorben yang ditunjukkan dengan bobot adsorben yang stabil setelah pemanasan. Selanjutnya, campuran adsorben dicampur hingga merata dan ditambahkan heksana agar terbentuk slurry. Proses packing kolom dilakukan dengan memasukkan slurry secara perlahan-lahan ke dalam kolom dan slurry dibiarkan mengendap. Kecepatan aliran fraksi perlu diatur untuk menyeragamkan kepadatan adsorben di dalam kolom. Kecepatan elusi tergantung dari ukuran partikel adsorben, dimensi kolom, viskositas cairan dan tekanan yang dipakai untuk mengalirkan zat pelarut (Adnan, 1997). Kecepatan elusi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah 1 ml/2 menit.
1. Penentuan Nisbah Abu Sekam Padi dan Silika Gel (b/b)
Nisbah abu sekam padi (800oC, 1000oC, dan 1200oC) dan silika gel, untuk tiap abu sekam padi masing-masing adalah 35:5, 30:10, 25:15, dan 20:20 (b/b) dengan basis bobot total adalah 40 gram. Tahap ini diawali dengan mengisi kolom dengan metode slurry, dimana adsorben dimasukkan ke dalam kolom dalam bentuk larutan dan dibiarkan mengendap. Tujuan tahap ini
adalah untuk mendapatkan konsentrat karotenoid dengan konsentrasi dan recovery tinggi dengan perlakuan nisbah abu sekam padi dan silika gel.
Hasil analisis penentuan nisbah terseleksi yang menghasilkan konsentrat dengan konsentrasi karotenoid, recovery, dan pemekatan tinggi disajikan pada Gambar 13, 14, dan 15. Rekapitulasi data konsentrasi karotenoid, recovery, dan pemekatan tinggi dari perlakuan nisbah dapat dilihat pada Lampiran 1, 2, dan 3. Selain itu, analisis statistik perlakuan ini dapat dilihat pada Lampiran 4, 5, dan 6. Perlakuan nisbah abu sekam padi 1200oC dan silika gel 20:20 tidak dilakukan karena pita karotenoid pada kromatografi kolom adsorpsi tidak turun saat di tengah kolom. Hal ini diduga karena silika gel terlalu banyak dan
Gambar 13. Konsentrasi karotenoid dari konsentrat yang diperoleh dari pemisahan dengan perlakuan berbagai jenis campuran abu sekam padi 800oC, 1000oC, dan 1200oC dengan silika gel.
Pada Gambar 13 terlihat kecenderungan pada tiap jenis abu sekam padi
bahwa semakin banyak silika gel semakin tinggi nilai konsentrasi karotenoid dari konsentrat, lalu nilai tersebut menurun drastis pada perbandingan 20:20. Gambar 13 juga menunjukkan bahwa konsentrasi karotenoid tertinggi dari konsentrat karotenoid adalah 4482.37 µg/g pada nisbah abu sekam padi 800oC dan silika gel 25:15 (b/b). Hal ini diduga karena komponen karotenoid
merupakan komponen yang paling tidak tertahan oleh sisi akif adsorben. Sedangkan komponen non karotenoid merupakan komponen yang teradsorpsi dengan baik oleh adsorben.
Abu sekam padi 800oC diduga mengandung karbon dalam jumlah yang lebih tinggi daripada jumlah karbon pada abu sekam padi 1000oC dan 1200oC.
Hal ini terlihat dari warna abu sekam padi 800oC yang lebih hitam dibandingkan warna abu sekam padi lainnya. Warna hitam ini menunjukkan adanya kandungan karbon yang cenderung bersifat nonpolar.
Secara fisik, warna ketiga jenis abu sekam padi berbeda. Abu sekam
padi 800oC berwarna abu-abu. Abu sekam padi 1000oC juga berwarna abu-abu
o 35;5 30;10
25;15 20;20 0
500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500
Nisbah AS:SG
AS 1200 AS 1000 AS 800
AS 1200 700.25 1,704.33 1,035.52 0.00
AS 1000 794.86 1673.2 2357.62 500.72
AS 800 929.56 1873.46 4482.37 945.37
Abu sekam padi 1200oC berwarna putih. Saat proses pengabuan, semua karbon harus sudah terbakar membentuk CO2. Hal ini ditandai dengan
terbentuknya warna putih pada materi yang diabukan. Jika materi yang diabukan masih hitam, berarti masih terdapat karbon yang belum terbakar
sempurna. Saat pengabuan sempurna, senyawa yang tertinggal adalah oksida logam, seperti FeO2 atau SiO2.
Abu sekam padi 800oC memberikan hasil yang terbaik karena proses pemisahan karotenoid dari metil ester dibantu oleh adanya karbon pada
adsorben. Karotenoid cenderung terikat pada molekul nonpolar seperti karbon. Metil ester yang lebih polar dari karotenoid cenderung terikat pada gugus silanol dari silikat.
Hubungan antara nisbah abu sekam padi dan silika gel terhadap recovery karotenoid dan tingkat pemekatan karotenoid dapat dilihat pada Gambar 14 dan 15. Dari Gambar 14, tampak bahwa kecenderungan recovery karotenoid semakin turun dengan penambahan silika gel pada tiap jenis abu sekam padi. Recovery tertinggi adalah 90.49% pada nisbah abu sekam padi 1000oC dan silika gel 35:5. Dari Gambar 15, terlihat kecenderungan pemekatan semakin tinggi dengan penambahan silika gel pada tiap jenis abu
Gambar 14. Recovery karotenoid pada campuran abu sekam padi 800oC, 1000oC, dan 1200oC dengan silika gel.
Gambar 15. Pemekatan karotenoid pada campuran abu sekam padi 800oC, 1000oC, dan 1200oC dengan silika gel.
35;5 30;10 25;15 20;20 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 R e cover y ( % ) Nisbah AS:SG AS 1200 AS 1000 AS 800
AS 1200 63.55 54.05 44.78 0
AS 1000 90.49 78.17 41.93 21.59
AS 800 86.72 88.75 58.25 15.58
35;5 30;10 25;15 20;20
35;5 30;10 25;15 20;20 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ti ngka t Pem e k a ta n Nisbah AS:SG AS 1200 AS 1000 AS 800
AS 1200 1.35 3.4 1.95 0
AS 1000 1.58 3.31 4.79 0.98
AS 800 1.81 3.69 8.96 1.87
[image:54.612.182.485.393.629.2]Silika pada abu sekam padi dan silika gel memiliki sifat polar dengan gugus silanol sebagai gugus aktif (-Si-OH). Menurut Robards et al (1994), pemisahan dalam kromatografi kolom adsorpsi diakibatkan oleh interaksi antara gugus polar dari zat terlarut dengan sisi aktif pada permukaan adsorben.
Gugus silanol inilah yang diduga berinteraksi dengan awan elektron yang terdapat pada ikatan ganda terkonjugasi dari molekul karotenoid dengan ikatan dipol-dipol dan berinteraksi dengan gugus ester (-COOC) dari metil ester kasar yang terdapat dalam sampel melalui ikatan hidrogen.
Penambahan silika gel dalam adsorben juga menyebabkan secara
keseluruhan adsorben menjadi lebih polar sehingga karotenoid yang lebih polar daripada heksana akan teradsorpsi lebih kuat pada adsorben. Semakin tinggi kandungan silika gel dalam campuran adsorben menyebabkan semakin rendah perolehan karotenoid. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Masni (2004) dan Hasanah (2006) bahwa kapasitas adsorpsi dari silika gel terhadap
komponen karotenoid maupun non karotenoid lebih besar dari abu sekam padi namun kemampuan desorpsinya lebih rendah.
Dari strukturnya, karotenoid bersifat relatif lebih non polar daripada metil ester. Gugus ester dari metil ester juga berikatan ionik dengan mineral
pada adsorben sehingga menyebabkan metil ester teradsorpsi sementara. Ikatan dipol-dipol dan ikatan hidrogen merupakan ikatan yang lemah sehingga mudah terlepas saat elusi. Inilah yang menyebabkan fraksi pertama elusi memiliki konsentrasi yang tinggi. Ini juga yang menyebabkan abu sekam padi 800oC yang memiliki jumlah silikat lebih kecil dibanding jumlah silikat abu
sekam padi suhu lainnya menghasilkan konsentrat dengan konsentrasi paling tinggi.
Houghton (1998) menyebutkan bahwa polaritas suatu senyawa ditentukan oleh adanya cincin aromatik, ikatan ganda, dan atom-atom yang memiliki elektron tidak berpasangan (atom-at