• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status dan Regulasi Kontaminan Mikotoksin Penting dalam Produk Pangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Status dan Regulasi Kontaminan Mikotoksin Penting dalam Produk Pangan"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Proriding Seminar Norionof Tcknalogl hovall(Parcaponcn uotuk Pengembongon lndurtrl Bcrborlr PertonIan

STATUS DAN REGULASI KONTAMINAN MIKOTOI<SIN PENTING

DALAM PRODUK PANGAN

S.

J o n i M u n a s s o

A I i S T R A K

Mikotoksin sering diartika~i sebagai senyawa beracun (toksin) yang dihasilkan oleh sekelompok kapang terlentu. Dalam banyak kasus sering dite~nukan adanya mikotoksin ysng nlengkontaminasi bahan atau produk pangan dan menimbulkan sejumlah kerugian, tesutama menyangkut kesehatan konsumen dan perdagangan produk yang bersangkutan. Aflatoksin yang dihasilkan kapang AspergiN~csj?avtrs ~nerupakan salah satu jenis mikotoksin yang paling dikenal masyarakat. Hal ini terkait dengan kejadian kontarninasi aflatoksin pada beberapa hasil pertanian maupun produk pangan di lndonesia. Sidang Codex Con~~nilree on Food Addilives a n d Conlarninonls(CCFAC) ke 3 7 (2004) membahas perlunya regulasi kontaminan mikotoksin dalam produk pangan. Mikotoksin penting yang dibahas tersebut ineliputi Polrrlin, Oklirntokvin A dan Deoxynivuloiol (DON), yang ketiganya belum banyak diperhatikan di Indonesia. Makalah ini mengkaji karakteristik ketiga jenis mikotoksin beserta dampak negatif yang ditimbulkannya, serta menguraikan status tingkat kontaminasinya di Indonesia dan perkembangan regulasinya dalatn produk pangan.

I<ata Kunci: mikotoksin, kcragaan, reg~~lasi, pangan

A B S T R A C T

Mycotoxin is a toxic compound produced by a specific group of mold. It is ovenly found that mycotoxin c o ~ l t a ~ n i ~ l a l e b o d s and bring amount of disadvantages, ~ n a i ~ i l y related to consumer's health and trade barrier. Atlatoxin is the most popular toxin in Indonesia, since some evidences of food intoxication are related to it. However, it could be stated that the most important mycotoxin in the international trade at present are Patolili. Ochratoxi~i A and Deoxynivalenol (DON). Tlie 37"' session o f Codes Com~nittee on Food Addilives and Conta~ninanrs (CCFAC) (2004) noted tlie irnportallce of regulation development regarding those three contaminants. Meanwhile, less attention to S L I C ~ I c o i i l a ~ i ~ i ~ ~ a n t s lhas been given by Indonesia. This article reviewed tlie cl~aracterislics o f t l ~ o s e ~~lycotosins, including ils negative effect. as well as ils contanlinatio~l level and progress of its regulation in food products.

Keywords: nlycotoxi~l, status. regulation, food

PENDAHULUAN

Mikotoksin adalah produk metabolit s e k u ~ l d e r y a n g dihasilkan ole11 suatu k a p a n g tertentu y a n g bersifat racun bagi m a n u s i a m a u p u n hewan. Sejauh ini diperkirakan terdapat sekitar

300

j e n i s mikotoksin, d a n seiring d e n g a n peningkatan k e m a ~ n p u a n analisis d a n lnctodc deteiisi. ~ n n k a ragaln inikotoksin k e d c p a ~ l diduga a k a n s e m a k i n bzlny~tk. K : I ~ X I I I ~ c ~ l ~ ~ s i l ~ilikoloksin ini

I ~ I S I I I ~ I

l u ~ l l b u l i I I k o ~ l l o c l i l ; ~ ~ hasil e r t i Icrlc~ltu. hoik schcluln l ~ o s i l pcrlo11i:ln tersebut dipancn rn;lupun kctika k o ~ n o d i t i ~ s y i l ~ l g b e r s a ~ l g k u t a ~ l d a l a ~ l i proses penangallall pascapalien. K a p a n g ini tidak Iln~lya n ~ c ~ ~ g l l : ~ s i l k a ~ ~ t ~ i i k o t o k s i l ~ . Ict;~pi j u g a I ~ ~ ~ I ~ U I ~ L I I I ~ ~ I I ~ I I ~ I I I U dill1 bill~kali i ~ i e r u s a k k o ~ i i o d i t a s tersebut.

Penurunan m u t u tersebut

secara

langsung d a p a t berakibat p a d a penurunan nilai jual k o ~ n o d i t a s hasil p e r t a n i a ~ i dan bahkan penolakannya

dari

pasar. D e n g a n demikian, kontaminasi ~ l l i k o l o k s i ~ i dalarn Ilasil pertanian tidak hanya berdanipak pada penurunan
(2)
(3)

Prarldln~ Seminar Norlonol Teknologi lnowtif Parcopanen untuk Pengembangan lndurtrl Berbolir PertanIan

dibuktikan pada penelitian dengan mencit dan tikus yang diberikan patuliti dalam

ransumnya dengan dosis hingga

1,s

mg/kg berat badanlhari. Namun toksisitas patulin

muncul pada embrio ketika dosis mencapai tingkat yang lebih tinggi.

Percobaan secara it1 vitro maupun in vivo ~nengindikasikan bahwa patulin bersifat

irr~munosuppresive

atau melemalikan siste~n

kekebalan tubuli. Dalam dosis tinggi, patulin

.jugit bcrsifitl kiirsi~togeliik

i 1 1 i ~ 1

~iic~ldoro~ig

tcrbc~iti~k~lya

SCI ka~iker

(European

Mycotoxin

Awareness Network, 2005).

Okliratoksin

A

(OTA)

Okhratoksin pertania kali ditemukan oleli para peneliti di Afrika Selatan

(Galvano et a/, 1998). Se~nentara

itu laporan pertalna yang menyebut adanya Okhratoksin

A (OTA) dalam jagulig dilakukan di A~iierika Serikat (Willie dan Moreliouse, 1977

du1a111 Sy;tricf el trl., 2003). Scln~~ji~tnya

dilaporka~i bahwa okliratoksi~l pertama kali

diisolasi dari kapang A,sj)ergillus ochraceus K-804 pada biji sorgum (Scott dalarn Betina,

1989). Konscntriisi OTA yang scring dilaporkan umttmnya ~ile~idekati

50 kiglkg (ppb).

Selain pada jagung, OTA jluga sering ditemt~kan

pada kopi, bir, buali kering, kakao dan

kacang-kacangan, serta pada proses pengolahan komoditas tersebut.

OTA adalali seoyawa kristalin yang tidak berwarlia dengan rumus kimia

CZ~H18C1N08.

OTA niempunyai titik leleli 169'C dan bersifat larut dalam kliloroform,

rnetanol, asetonitril

,

d a ~ i

llatrium bikarbonat cair. OTA juga bersifat stabil pada proses

pemanasall alau pengoliilian patigall lai~iriya.

OTA diserap oleh saluran pencernaan dengall lambat, dan didistribusika~i ~nelalui

darali terutalna ke gilijal. Dala~ii

organ liati, otot dall lemak tubuli juga dapat ditemukan

OTA dalam konsentrasi yang lebih rendali. Beberapa penelitian menunjukkan adanya

transfer OTA dari pangan yang dikonsumsi ke dalam air susu, baik pada tikus, kelinci,

maupun manusia (Badan POM, 2005).

Pemberian ransum pakan yang niengandung OTA 100 pg pada anak itik yang

berumur 30 llari liicngilkibatkan peruballal~ patla karakteristik orgall liati, seperti

pci1e11gkk111

I

k c r s ~ k t

s t r l t r i i t k o ~ i l r i t

( K c r

I I

I ) .

I'c~nbcria~i

dosis yang sama pada atiak tikus menimbulkan terjadinya ~iekrosis

sel hati. Pe~iiberiai

secara oral pada tnencit dan tikus menunjukkan efek karsinogen. Tumor hepatoselular

muncul pada mencit, dan adenoma sel gi~ijal

terjadi pada inencit mailpun tikus.

Studi toksisitas mellutljukkaii bahwa nilai LDSo OTA beragam untuk spesies yalig

berbeda. Kisaran nilai tersebut pada mencit adalali 46-58 mglkg, tikus 20-30 mglkg, babi

I mglkg, dan aya~n

3,3 mglkg berat badan.

Deoksinivnlenol (DON)

DON alau disebut juga sebagai Voniitoksili adalali iiiikotoksi~i

'dari jenis

Tricliotesen tipe

R.

Toksin ini dillasilkan oleli kapang /;zi.sari~ini grrr~r~ineuriu~rr

d a ~ i

F u s u r i u r ~ ~

culnior~itr~,

yaitt~ kapang yang bersifat patogen terliadap tanaman. DON

mempunyai berat molekul sebesar 296,32 dalton, dan bersifat stabil pada pemanasan

dengnn suhu 120-18O0C, tetapi tertlrai pada pe~iianasan 210°C selama 30-40 inenit. Sifat

lainnya, DON terlarut dala~n

air, nietanol dan asetonitril. Mengingat sifalnya yang stabil

add:^

suhu li~iggi,

111itki1

sit~igat sulil 111~1lglliI:l11gka11

DON tlari produk pangall yi111g

[ c r k o ~ ~ t ; ~ ~ t t i ~ t i ~ s i .

Bahan pangan yang utiiutiinya terkontaminasi DON antara lain terigu, barley, oat,

jagung, sorgum do11 beras. DON juga seritig ditemukan pada produk olalian dari

komoditas terkait, seperti produk sereal sarapan, roti, mi instan, tepung makanan bayi, bir

dan sebagainya.

Keracunall akut DON pada babi diperlihatka~i melalui gejala keracunan seperti

mulltali, penurucla~l nafsu makan, diare d a ~ i

penurutian berat badan. Intoksikasi akut

menyebabkan nekrosis pada beberapa jaringan seperti saluran pencernaan, limfoid, dan

(4)

Pmrlding Seminar Norlono! Teknolo91 InawtilParcopnnen untd Pengembongan lndurtri Berbarir Pertonion

sunsum tulang. Lebih lanjut disampaikan bahwa

DON

tidak bersifat karsinogenik maupun metagenik (Badan POM, 2005).

Efek keracunan

DON

pada nlanusia dilaporkan dicirikan dengan gejala sakit perut, pusing, sakit kepala, iritasi tenggorokan, muntah, diare dan gangguan pencernaan lainnya. Namun gejala seperti ini bisa juga dipengarulii ole11 adanya toksin lain yang biasanya menyertai keberadaan

DON

dala~n produk pangan. scpcrti zcaralcnon. nivalenol dan trichotesen lain.

I < E R A G A A N D A N R E G U L A S I MII<O'I'OI<SIN

Kont:~nlinnsi paluli~i da1;11ii i i l i ~ k i ~ ~ i i ~ ~ ~ d:~n ~ i i i ~ i u ~ i ~ i i ~ i tli 11i~I011esi:1 helu~il 111~11diipi1t perhatian yang cukup. Kegiatan pcticlusura~i liasil pc~ielitiali tcrliatlap p:~tulin tli lndoetlsia sejauh ini b e l \ ~ m memperolch satu pi111 di~la perihal tingket kolitaliii~iasi putulin ini. Olch sebab itu, penetapan posisi Indonesia dalam forum standardisasi patulin secara internasional berpeluang terkendala oleh ketiadaan data dukung ilmiah ini.

Sementara itu

F A 0

(2004) tnenunjukkan bahwa 5 1 dari 104 negara yang tercatat oleh

F A 0

telali melakukan regulasi terliadap patuli~i dala~n pangan maupun pakan. Secara utnum dapat dilillat bahwa kebanyakan negara (tern~asuk Indonesia) menghendaki batas tnnksiniuli1 patulin dolam sari buali, nektar d a ~ i l~iinurnan lain tlari apcl scbcsar 50 pglliter. Jika sari buali dan puree ape1 dipakai untuk campuran hrmulasi makanan bayi. maka bntas i ~ i a k s i ~ n l ~ ~ n patttlitl y:u~g dikchcndrtki adal11l1 I 0 kiglkg. Natilun jika puree ape1 diperunlukkan konsumctl dewasa, ~ l i a k a batas innksimt1tlil1ya t l i e t k ~ sebesar 25 ~ l g l k g .

Codex Ali~nerilnr.ius Cotlir~lission pada sidangnya ke 26 (2002) telah mengadopsi draf batns maksimum patulin dalam jus ape1 dali ~ n i n ~ ~ n l a l l lain ynng nienga11du11gjus ape1 sebesar 50 pglkg pada step 8. I-lnl ini !warti bnhwa btitas tersebut lelal~ iiit~lai dapit diterapkan dalam standar produk yang bersangkutat1 secara internasional. N a ~ n u n demikian Codex Juga ~ilencatat baliwa batas yang sel:~yaknya tlilct;1lik:111 atl:ll;~l~ scbcsar 25 pglkg, selli~igga adopsi yalig dilakt~kan snat ini bcrsilit tctnporer s;~~nbil ~netiunggu (1:11iipz1k i~lilik:~si ('ode, of' l'r~r17;1~t*

,fi~r

//I(* /'IY~IVIII;~III 1111i/ /?~Y/IICI~~II Plr11iIi11 Con/tor~inrr/ion ill A/>/~le .J~ricc rrrrtl A/~/,lc ./!rice 111grerlie1i1.~ ;II 01/1o. Uc~~o.crgcs sclama 4

tahun ke depan.

OTA

telah mendapat perllalian yang lu~nayati baik dari para i l l l i i ~ w a ~ l i~idonesia. Beberapa data hasil penelitian menunjukkan keberadaan

OTA

dalam hasil pertanian maupun produk pangan olahan. Data tersebut sekaligus dapat menjadi galnbaran tetitang keragaan kontaminasi

OTA

dalam pangan d i Indonesia.

Dharmaputra el a/. (1999) melaporkan bahwa 70% kopi di tingkat petani di Lampung ternyata terkontaminasi

OTA

berkisar 0,3-39,8 ppb dengao rataan 18,7 ppb. Tingkat kontaminasi ini merupakan nilai tertinggi, mengingat pada tingkat pedagang pengumpitl, kandunga~i

OTA

tersebut terdeteksi sebesar 12,4 ppb, dan pada tingkat importir sebanyak 45% sampel terkontalninasi

OTA

dengan nilai rata-rata sebesar 10,s ppb (0,3-27,5 ppb).

K a j i a ~ i p;~da jngung dan pakiln ayaln ~ncrlu~i.jukka~i bnliwii 60,b'' sa111pel jayung yang diuji ternyata terkontaminasi

OTA

sebesar rata-rata 68,41 ppb. Sementara itu 42,9% sampel pakan ayam teridentitikasi mengandung

OTA

sebesar 33,44 ppb (Bahri dan Maryam, 2003).
(5)

Dengan data seperti d i atas, ta~iipak baliwa kontaminasi O T A dala~n ko~noditas pertanian Indonesia tergolo~ig cukup besar dan bahkatl mengkhawatirkan mengingat regulasi yitng ad:^ di Rcherapn tiegnra mcnghendnki kcheradaan O T A dalam kandungan yi111g rc~tdillt. Scj:t1111 ini ~tic~natig b i ~ r ~ ~ 44 1tcgar:I tlari 104 nega1.a anggola F A 0 yang melakukan peng;ltitt.;tn O T A dalam pangan (FAO. 2004). Batas ~ ~ i a k s i m u m yang ditetnpkan pun initsih singat bcrvariasi.

Sebagian besar negara menetapkan baliwa kandungan O T A dalam bahan pangan (serealia) sebesar 5 ppb, sedangkan untuk produk olahan siap konsumsi sebesar 3 ppb. Beberapa negara menetapkan batas n i a k s i ~ n u ~ n yang bervariasi untuk kopi dari 2,5 ppb hingga 50,O ppb. Se~nentara untuk j a g i ~ ~ i g 50 ppb dan buali kering 10 ppb.

Codex setldiri sejauli ini masih inembatasi pe~~gaturan O T A pada terigu, barley dan rye (keduanya ter~nasuk kelo~npok terigu), serta produk turunannya. Proses standardisasi O T A tersebut kini telali inelewati step 5 pada pembaliasan CCFAC dan akan di~nintakan kepada C A C untitk adopsi pada step 8 atau penetapan final. Batas maksimu~n yang diusulkan CCFAC adslah 5 ppb u ~ i t u k produk terkait di atas. Namun demikian C A C belum menyetujui usulan tersebut rnengingat belum tercapainya konsensus yang dikeliendaki untuk batas maksimu~n tersebut. Oleh sebab itu statusnya saat ini ditahan pada step 7 sambil menunggu kajian yang lebih rinci dari Joint Expert

Corii117itlee or1 Foorl Addilives and Con/ati~inunls (JECFA)

Dalam sidatig CCFAC (2004) delegasi U n i Eropa (EU) menyebtttkan baliwa batas maksimum O T A 5 ppb secara teknis dapat dicapai. Delegasi ini juga ~nengingatkan bahwa JIZCI:A tcI:~Ii riicrcko~iic~~tl;tsik:iti pcrlunyit pcnckittlitn k o ~ ~ t i ~ t ~ i i ~ ~ i l ~ ~ OTA serc~iditl~ mungkin melalui penerapen cara budidaya, pcnyimpanan dan pengolahan yang tepat. Pendapat EU i11i didi~knng oleli bebernpa delegasi lain. Namun keloliipok delegasi lain

menyebutkan baliwa JECFA melakukan kajian O T A pada 2 konsentrasi yang diusulkan yaitu 5 dan 20 ppb. Hasil kajian tersebut menunjukkan perbedaan yang tidak nyata dari 2

konsentrasi O T A tersebut. Ole11 sebab itu kelotnpok ini beranggapan bahwa penerapan

batas i i ~ : ~ k s i ~ n u ~ n 20 1)1)1' juga n):rsill boili dalnnl k : ~ i t i ~ n ~ l y a dellgall t ~ s i l l t a p c r l i ~ i d u ~ i g ; ~ ~ ~ kesehatan masyarakat.

D O N jitg:t iclall mcntlapat pcrli:~tian d:iri pilm i l ~ i i i t w a ~ ~ mcski tcttlp titlak lebih baik dari aflatoksin. Data hasil pe~ielitian tentang D O N yang ada d i Indonesia umumnya dillasilkan pada tnhi~n 1990-an. I'enelitia~l A l i e/ rrl (1998) ~nenunjukkan baliwa 12% sa~npel j a g i ~ t l g komersial yang diamati ternyata mengandung D O N berkisar 27-32 ppb (rata-rata 29.5 ppb). Scbelum~lya, Maryam d a ~ i Zaliiiri (1994) mendeteksi adanya D O N dala~n jagung yang bervariasi tergantung lokasi pengambilannya. Sebanyak 53,8% sa~npel jagung yang diambil dari dataran tinggi Jawa Barat terkontaminasi D O N sebesar 3,87 ppm. Sementara 84,6% sampel jagung dari dataran rendah mengandung D O N sebesar 5,66 ppm.

Meskipun b e l u ~ n banyak data D O N yang tersedia d i d a l a ~ n negeri, keberadaan data d i atas kiranya cukup baik untuk kontribusi awal Indonesia dalam pembaliasan D O N di tingk:~t intcr~i:tsio~t:tI.

I

l:11 ini terki~it deng:tri :~tl:t~iyit p c ~ ~ g l i c ~ ~ t i i t ~ ~ k e g i i ~ t i ~ n pe~iet:tp:t~i

batas ~ n ; l k s i ~ n u ~ ~ i I N N d:llii111 Sort1111 C A C ine~igi~igat belum adanya data ilmiali p e ~ ~ d u k u n g yi111g cttk~tl) LIIIIU~ IIICIIC~~I~~~III bi~tits ii i i ~ k s i ~ i ~ i t t ~ ~ ~CI.SC~III. CCFAC saat ini ~ ~ i e ~ i t ~ ~ ~ g g i t kontribttsi seti;ip negara anggota Codex termasuk lndo~lesia u ~ l t i ~ k metnasukkan infor~nasi tentang D O N pada seralia d a ~ i produk turunannya serta pengaruli

I

pengolahan terliadap konsentrasi D O N dan sebagainya. CCFAC juga me~ninta untuk mengkaji ulang peranan D O N dalam keamanan pangan berdasarkan data dari JECFA
(6)

Pmrldlnq Semlnor Nostonal Teknologl Imwttf Porcopanen untuk Pengembangan Indatrt Berbmtr Pcrlanlon

KESIMPULAN

I. Bcrbagai jcnis inikotoksin icl;rl~ tlikcnal sccara i l t l ~ i i l l ~ . N:III~IIII ~ c r k i t i l tIc1ig:11~ kepentingan perdaga~igan hanya bcberapa ienis mikotoksin saja yatig telah diperllatikan. C'oclcx A l i ~ ~ t c r t l ~ r r i t ~ . ~ C'o~rrnri.srioti S;I;II i11i tctig;lll inlcnyusttll r c g ~ ~ l ; ~ s i kontaminan mikotoksin dalam produk pangan, kllususny;~ untuk Jellis Patulin, Okhratoksin A, dan Deoksinivalenol.

2. Karakteristik dan dampak negatif dari masing-masing jellis mikotoksin n1enu1ijukkan kekhususannya sendiri, baik dari kapang penghasil, sifat fisik maupun kimianya. 3. Infonnasi iltniah tentang status kontatninasi patulin, O T A mailpun D O N d i Indonesia

~nasili belum cukup mengga~nbarkan kondisi yang sesunggl~l~nya. Data untttk patulin bal~kan bclun1 tcrscdia salnn scknli. scdnngknn itnluk U I ' A mnsih tcrhal:~s pnda kopi tl;~n u ~ l t u k I I O N terbalns piltla j:~gut~g.

4. Cotlcx telali metictapkan hatns innksitnum pntuliti tlaln~ii jus :~pcl d n ~ i produk turunan ape1 scbcsar 50 pglkg bi~llat~. Scmcntilm batas maksitnun~ u t l r ~ ~ k O ' f A m;~sih tlalani perdebatan antara 5 ppb dan 20 ppb, sedangkan untuk D O N ~ i l a s i l ~ belum ada penetapan dan balikan diharapkan adanya input infor~nasi dari anggota Codex (tertnasuk lndonesia) perihal status ko~itarni~lasi D O N darl batas maksi~num yang selayaknya ditetapkan.

5. Berkaitan dengan situasi penyediaa~l data ilmiah yang belum lengkap d i atas. make disarankan agar kegiatan eksplorasi data dan kajian keragaan kontan~inasi mikotoksin dalam komoditas hasil pertanian penting dan produk pangan olahannya dapat segera dilaksanakan di lndonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, N., Sarjono, Y. Yamashila, dan 7'. Yosllizawa. 1998. Natural occurrence o f atlatoxins and Fusarium ~nycotoxin (futnonisins, deoxynivale11ol, nivalenol, and

zearalenone) in corn from lndonesia. Food Additive and Contaminant. 15:377- 389.

Anonim. 1982. Mycotoxin Surveileillance: a Guideline. Food and Agriculttlre Organization. Ro~iic.

Badan Pengawas Obat da11 Makanan. 2005. K n j i a ~ l Kenmanan Mikotoksin. Badan POM. Jakarta.

Bahri, S dan R.Maryam. 2003. Mikotoksi~i bcrbahaya dan pengarohnya terliadap kesehatan hewan dan tnanusia. Wartazoa 13 (4). Balai Penelitian Veteriner. Bogor.

Betina, V. 1989. Mycotoxins: Chemical, Biological and Etlvironme~ltal Aspects. Elsevier. N e w York.

Cortyl, M. 2005. A n Overview o f Mycotoxins and Mycotoxicoses; with Special Focus On Indonesian Situation. Makalah pada Simposium Permasalahan dan Upaya Penanggulangan Mikotoksin dan Mikotoksikosis d i Indonesia. Perhimpunan Mikologi Kedokteran Manusia dan Hewan Indonesia. Jakarta.

CCFAC. 2004. Report o f the 36'" Session of the Codex Conllnittee on Food Additives and Contaminants. CCFAC. Rotterda~n, Tlie Netherlands.

(7)

Pr~siding Seminar Narlonol Teknoloqi inovati/ Po5cnpanen unruk Peogembonqon lndurlrl Berbosis Perlonian

Dharmaputm. O.S.. I. Retnowati, S. A~nbanvati dan C. Is~nayadi. 1999. The occurrence o f fungi and ocliratoxin in stored coffee beans in La~npung. Laporan Penelitian. SEAMEO-BIOTROP. Bogor.

European Mycotoxin Awareness Network. 2005. Ochratoxi~l A.

http:// 193.132.193.2 15/eman2/fsheet3.ase.

FAO. 2004. Worldwide regulations for mycotoxi~is in food and feed in 2003. F A 0 Food and Nutrition Paper 8 1. FAO. Rome.

Gnlvn~~o. I'.. i i T. Bertuzzi, A. Piv:~. I.. Cllics. M . C;alv;lno. 1908. Activated C : ~ r h o ~ ~ s : 111 Vitro A f l i ~ l i l y k)r O c l l r : ~ t o s i ~ ~ A :111tl l)coxy~~ivalcnol and llclillion ol

Adsorl>tion Ability l o I'l~ysicochcniic:iI I';~ra~iictcrs. J.I:ood I'rotcc.61(4): 460- 475.

Huebner, H., J.K. Kayura. L.Palaroni, C.L.Ake, S.L. Lernke, P. Herrera, and T.D. Pliillips. 2000. Devclop~lie~lt and Chatncterizntio~i o f Carbon-Based Composite Material lilr Retlucil~g Patulin Levels in Apple Juice. J. Food Protec. 63: 106-1 10. Kcrkadi, A.. C . B;~rriult. K.R. Marqunrdt, A.A. Frohlich, A.M.Yousef, X. Zhu, and I3.l'~1cliwcl~er. 1999. Cliolcstryl;~~iii~ie Protectioll Against Ocli~.atosin A Toxicity: l l o l c <>I' O c l ~ l ' ; ~ l o x i ~ ~ A Sorl>tion by tllc l t c s i ~ ~ illld Dilc Acid E~itcrol~cp;~tic Circulation. J.I:ood Protec. 62(12): 146 1-1465.

Maggi, A,, S . Goli~, I?. Spotli, 1'. Ilovere and P. M ~ ~ t t i . 1995. I-ligh Pressure Treatnie~its

of

Ascospores o f Heat resistant Molds and Patulin in Apricot Nectar and Water. J. Industri-coliserve. ( I ) : 26-29.

Maryam, R. dn11 P. Zallari. 1994. Toksin Fzisariuni pada jagung yang berasal dari dataran tinggi dan datara~i rendah. Makalah pada Kongres Perhimpunan Mikologi Kedokteran Manusia dan Hewan Indonesia I dan Temu Ilmiah. Bogor, 21-24 Juli

1994: 289-293.

Syarief, R dan H. Halid. 1992. Teknologi Penympana~i Bahan Pangan. Penerbit Arcan. Jakarta.

Syarief, R., L. Ega, dan C.C. Nurwitri. 2003. Mikotoksin Ballan Pangan. IPB Press. Bogor.

Referensi

Dokumen terkait

Kepada Jemaat yang baru pertama kali mengikuti ibadah dalam Persekutuan GPIB Jemaat “Immanuel” Depok dan memerlukan pelayanan khusus, dapat menghubungi Presbiter

Berdasarkan hasil pemeriksaan spirometer yang dilakukan oleh Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru (BP4) Semarang pada bulan Juli 2006 terhadap 10 (sepuluh)

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ Pengaruh Penggunaan Media Pembelajaran Animasi Terhadap Minat dan

Untuk peningkatan kuantitatif organisasi pemerintahan ( Desa dan Kelurahan ), dapat berarti berkurangnya jumlah masyarakat yang berada dalam kondisi tidak sehat

S : Ibu mengatakan bayinya dalam keadaan baik dan tidak ada kelainan serta menyusi sangat kuat.. Bayi sudah dibungkus dan sudah dikenakkan topi sarung tangan dan kaki. 3)

untuk dapat menjadi pengajar di Pondok Pesantren Sunan Drajat, pada. dasarnya tidak ada syarat khusus yang terpenting adalah mampu

Ileus obstruktif atau disebut juga ileus mekanik adalah keadaan dimana isi lumen saluran cerna tidak bisa disalurkan ke distal atau anus karena

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui faktor- faktor yang menyebabkan pembiayaan bermasalah di KJKS BMT Syariah Sejahtera Boyolali; (2) Untuk