DIKEMBALIKAAN KEPADA KEDUA ORANG TUA TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN
YANG DILAKUKAN ANAK
OLEH
CICI METHA SARI
Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut meminta. Anak sebagai salah satu subjek hukum di negara ini juga harus tunduk dan patuh terhadap aturan hukum yang berlaku, tetapi tentu saja ada perbedaan perlakuan antara orang dewasa dan anak dalam hal sedang berhadapan dengan hukum. Permasalahan yang diangkat adalah: (1). Bagaimanakah pelaksanaan/penerapan pidana anak yang melakukan pencurian yang menyebabkan timbulnya putusan dikembalikan kepada orang tua ditinjau dari putusan No: 389/Pid.A/2012/PN.GS, (2). Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam putusan pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana pencurian.
yaitu berupa, Pelaksanaan/penerapan pidana atas pencurian yang dilakukan oleh anak didasarkan atas terpenuhinya unsur-unsur dari Pasal 363 Ayat (1) ke-3, ke-4, ke-5 KUHP jo Pasal 56 Ayat (1) KUHP. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana atas pencurian yang dilakukan oleh anak didasarkan pada kemampuan anak bertanggungjawab, kesesuaian unsur ancaman pidana yang didakwakan jaksa penuntut umum, pengaruh tindak pidana yang dilakukan terhadap korban dan masyarakat.
Saran yang diberikan peneliti adalah sebaiknya aparat penegak hukum lebih memperhatikan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan oleh anak, sehingga pelaksanaan/penerapan sesuai dengan kesalahan yang diperbuat oleh anak yang bersangkutan. Selain itu, sebaiknya hakim dalam memberikan putusan pidana terhadap anak, lebih memprhatikan dampak positif dan negatif dari putusan pidana tersebut bagi masa depan anak yang bersangkutan, sehingga tujuan pemidanaan terhadap anak dapat tercapai sesuai dengan harapan.
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar YANG DILAKUKAN ANAK
Oleh
Cici Metha Sari
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG
2014
YANG DILAKUKAN ANAK ( Skripsi )
OLEH:
CICI METHA SARI
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitan... 7
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 8
E. Sistematika Penulisan ... 16
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Mengenai Pemidanaan ... 18
B. Pengertian dan Jenis Tindak Pidana Pencurian ... 22
C. Pengertian Anak dan Undang-undang yang Mengatur ... 24
D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhi Pidana………. 26
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah... 31
B. Sumber dan Jenis Data ... 32
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden ... 37 B. Gambaran umum putusan nomor:389/Pid.A/2012/PN.GS ... 39 C. Pelaksanaan/penerapan Pidana Anak yang Melakukan Pencurian
Menyebabkan Timbulnya Putusan Dikembalikan Kepada Orang Tua ... 41 D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Pidana Anak yang Melakukan Pencurian
Menyebabkan Timbulnya Putusan Dikembalikan Kepada Orang Tua ... 52
V. Penutup
A. Latar Belakang Masalah
Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan
setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut
meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the
Rights of the Child ) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga di tuangkan dalam
Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kesemuanya
mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi,
kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan
menghargai partisipasi anak.1
Pemerintah Indonesia dalam hal ini lembaga ekskutif dan legislatif secara
bersama-sama sampai dengan saat ini telah membuat begitu banyak
undang-undang, baik yang bersifat khusus maupun yang bersifat umum. Undang-undang
yang telah dibuat tersebut mengatur dan mengikat seluruh perilaku dari subjek
hukum yang ada di Indonesia.
1
Anak sebagai salah satu subjek hukum di negara ini juga harus tunduk dan patuh
terhadap aturan hukum yang berlaku, tetapi tentu saja ada perbedaan perlakuan
antara orang dewasa dan anak dalam hal sedang berhadapan dengan hukum. Hak
asasi anak dilindungi di dalam Pasal 28 (B) ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
yang berbunyi setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Menurut Undang-UndangKesejahteraan, Perlindungan, Pengadilan, dan Sistem
Peradilan Pidana Anak pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Hal ini di maksudkan sebagai upaya perlindungan terhadap anak sebagai bagian
dari generasi muda. Hukum pidana yang merupakan tombak hukum dalam
melindungi perjalanan masyarakat menuju ke sejahteraan, dari sudut pandang ini
akan menjadi logis untuk dilaksanakan. Perlindungan ini pada pokoknya ditujukan
terhadap berbagai macam perbuatan yang membahayakan keseimbangan,
kesejahteraan, keamanan dan ketertiban sosial.
Prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip non diskriminasi yang
mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dan hak untuk hidup, kelangsungan
hidup, dan tumbuh kembang anak.2 Seorang anak yang melakukan tindak pidana
wajib disidangkan di pengadilan khusus anak yang berada di lingkungan peradilan
umum, dengan proses khusus serta pejabat khusus yang memahami masalah anak,
mulai dari penangkapan, penahanan, proses mengadili dan pembinaan.
2
Sementara itu dari perspektif ilmu pemidanaan, meyakini bahwa penjatuhan
pidana terhadap anak nakal (delinkuen) cenderung merugikan perkembangan jiwa
anak di masa mendatang. Kecenderungan merugikan ini akibat dari efek
penjatuhan pidana terutama pidana penjara, yang berupa stigma (cap jahat).3
Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ini mengatur
mengenai keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan
hukum mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah
menjalani pidana. Mendidik anak merupakan hal yang penting untuk
mempersiapkan generasi muda Indonesia yang akan datang. Mengenalkan hukum
dan mengajarkan anak untuk taat hukum sejak dini juga perlu dilakukan oleh
orang tua dan pendidik di sekolah. Hukum juga harus memberikan ruang bagi
anak untuk terus berkembang dan terlindungi sesuai kapasitas pertumbuhannya.
Untuk itu diharapkan generasi muda di masa datang lebih bisa mentaati hukum
yang berlaku.
Tindak pidana yang terjadi saat ini banyak dilakukan oleh anak, tindak pidana
yang sering dilakukan oleh anak adalah pencurian. Pencurian yang dilakukan oleh
anak di bawah umur merupakan suatu pencurian dengan cara-cara tertentu
sehingga bersifat lebih ringan, namun dalam ketentuan hukum pidana dapat saja
diancam dengan hukuman yang maksimumnya lebih berat, yaitu lebih dari
hukuman penjara lima tahun atau lebih dari pidana yang diancamkan dalam Pasal
362 KUHP. Hal ini diatur dalam Pasal 363 KUHP yang disebut dengan pencurian
3
dalam keadaan memberatkan dengan ancaman pidana paling lama 7 (tujuh) tahun.
Sedangkan tindak pidana penyertaan sebagai pembantu (medeplichtige) menurut
Pasal 56 KUHP terdiri dari pembantu pada saat kejahatan dilakukan dan
pembantu sebelum kejahatan dilakukan.
Salah satu contoh tindak pidana pencurian yang pelakunya masih dalam kategori
anak adalah Chandra bin Umar 17 (tujuh belas) tahun pada hari sabtu tanggal 7
juli 2012 sekiranya pukul 23:30 WIB . Terdakwa dituntut oleh jaksa telah
melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 363 Ayat (1) ke-3, 4
dan ke-5 KUHP jo Pasal 56 Ayat (1) KUHP.
Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 389/Pid.A/Anak/2012/PN.GS,
terdakwa oleh hakim dinyatakan bersalah dan terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “memberikan bantuan melakukan pencurian
dalam keadaan memberatkan”. Jaksa penuntut umum menuntut mengembalikan
terdakwa kepada orang tua dan berdasarkan tuntutan jaksa serta fakta-fakta yang
terungkap di persidangan hakim menjatuhkan tindakan terhadap terdakwa tersebut
oleh karena itu dengan mengembalikan terdakwa kedalam lingkungan kedua
orang tuanya.
Kronologis singkat dalam perkara tersebut yaitu bahwa ia terdakwa bersama-sama
Soni Sandi (berkas perkara terpisah) melakukan tindak pidana pencurian sepeda
motor milik korban bernama Budi Cahyono bin Kusmar Tono bertempat di jln. 45
Transat Seng Kampung Bandar Agung Kec.Terusan Nunyai. Awalnya korban
memarkirkan sepeda motornya di sebuah parkiran hajatan. Kemudian terdakwa
menggunakan sepeda motor Yamaha vega milik terdakwa. Dengan menggunakan
kunci leter T yang Soni Sandi A.P Bin Nurili yang dibawanya dari rumah
langsung menghidupkan motor Honda Supra X warna merah hitam Nopol BE
7170 HX. Akibat perbutan terdakwa saksi korban mengalami kerugian ditaksir
sebesar Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah).
Hakim berdasarkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman memiliki kebebasan dalam menjatuhkan pidana, namun apabila tindak
pidana tersebut dilakukan oleh seseorang yang pelakunya tergolong dalam usia
anak dan hanya sebagai pembantu kejahatan seharusnya hakim dapat lebih
mempertimbangkan putusan yang dijatuhkan.
Mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi perlindungan terhadap
anak, perkara anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan di
pengadilan pidana anak yang berada dilingkungan peradilan umum. Proses
peradilan perkara anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib
dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah anak. Namun, terkait
dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak sebagai pembaharuan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, maka sebelum masuk proses peradilan, para penegak
hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di
luar jalur pengadilan, yakni melalui Diversi berdasarkan pendekatan Keadilan
Berdaskan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk meneliti penelitian
skripsi yang berjudul “Analisis Putusan No. 389/Pid.A/2012/PN.GS Berupa
Dikembalikan Kepada Orang Tua Tentang Tindak Pidana Pencurian Yang
Dilakukan Anak” penelitian ini adalah salah satu contoh tindak pidana yang
dilakukan oleh anak dalam melakukan tindak pidana “pencurian dalam keadaan
memberatkan”. Mengadili terdakwa tindak pidana yang dilakukan oleh anak ini
dengan menjatuhkan tindakan terhadap terdakwa yaitu mengembalikan terdakwa
dalam lingkungan orang tuanya.4
B. Rumusan Masalah dan Ruang lingkup
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka penulis menarik
rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah pelaksanaan/penerapan pidana anak yang melakukan pencurian
yang menyebabkan timbulnya putusan dikembalikan kepada orang tua
ditinjau dari putusan No: 389/Pid.A/2012/PN.GS ?
b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam putusan No:
389/Pid.A/2012/PN.GS ?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini ialah substansi penelitian agar pembahasan tentang
penelitian ini tidak terlalu luas maka peneliti membatasi penelitian hanya
mengenai analisis putusan berupa dikembalikan kepada orang tua tentang tindak
pidana pencurian yang dilakukan anak. Objek penelitian, yaitu Putusan
4
Pengadilan Negeri nomor 389/Pid.A/2012/PN.GS. Lokasi penelitian dilakukan di
Pengadilan Negeri Gunung Sugih, Kejaksaan Negeri Gunung Sugih dan Fakultas
Hukum Universitas Lampung penelitian dilakukan pada tahun 2013.
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :
a. Untuk mengetahui mengenai pelaksanaan/penerapan pidana anak yang
melakukan pencurian yang menyebabkan timbulnya putusan dikembalikan
kepada orang tua No. 389/Pid.A/2012/PN.GS;
b. Untuk mengetahui dasar hukum pertimbangan yang dijadikan dasar untuk
menjatuhkan putusan dalam putusan No. 389/Pid.A/2012/PN.GS
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Teoritis
Kegunaan penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan dalam pengkajian
ilmu hukum mengenai Putusan Pengadilan serta mengembangkan kemampuan
berkarya ilmiah, daya nalar dan acuan yang sesuai dengan disiplin ilmu yang
dimiliki oleh penulis.
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk sumbangan pikiran pada
ilmu hukum pidana dan penegakan hukum khususnya serta dapat bermanfaat
sebagai sumber informasi bagi para pihak yang ingin mengetahui dan memahami
tentang tindak pidana tersebut yang berkaitan dengan tindak pidana pencurian
D. Kerangka Teoritis dan Konsepsual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi
dari hasil kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan
identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh penulis.5
1. Teori Tujuan Pemidanaan
Pidana pada hakikatnya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka
konsep pertama-tama merumuskan tentang tujuan pemidanaan. Dalam
mengidentifikasikan tujuan pemidanaan, konsep bertolak dari keseimbangan 2
(dua) sasaran pokok, yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan /pembinaan
individu pelaku tindak pidana.
Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana, yaitu:6
1. Teori Retributive(teori absolut atau teori pembalasan)
Menurut pandangan teori ini, pidana haruslah disesuaikan dengan tindak pidana
yang dilakukan, karena tujuan pemidanaan menurut mereka adalah memberikan
penderitaan yang setimpal dengan tindak pidana yang telah dilakukan.
2. Teori Utilitarian(teori relatif atau teori tujuan)
Menurut pandangan dari teori ini, pemidanaan ini harus dilihat dari segi
manfaatnya, artinya pemidanaan jangan semata-mata dilihat hanya sebagai
pembalasan belaka seperti pada teori retributive, melainkan harus dilihat pula
manfaatnya bagi terpidana dimasa yang akan datang. Teori ini melihat dasar
5
Soejono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 125 6
pembenaran pemidanaan itu kedepan, yakni pada perbaikan para pelanggar
hukum (terpidana) dimasa yang akan datang.
3. Teori Gabungan
Teori ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban
masyarakat. Sehubungan dengan masalah pidana sebagai sarana untuk mencapai
tujuan, maka harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang akan
diharapkan akan menunjang tercapainya tujuan tersebut, atas dasar itu kemudian
baru dapat ditetapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan digunakan.
Ketiga teori diatas merupakan teori tujuan pemidanaan. Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 26 Ayat (1) telah mengatur bahwa
dalam penjatuhan pidana terhadap anak telah ditentukan paling lama 1/2
(setengah) dari ancaman maksimum terhadap orang dewasa, sedangkan
penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan
terhadap anak-anak. Sanksi yang dijatuhkan terhadap anak dalam undang-undang
juga ditentukan berdasarkan umur, yaitu bagi anak yang berumur 8 sampai 12
tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan anak yang telah berusia 12 sampai 18
tahun baru dapat dijatuhi pidana.
Konsep Keadilan Restoratif (restorative justice) sebagai penerapan asas diversi
yang telah diatur di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak perlu untuk diterapkan bagi penyelesaian kasus anak.
Diversi merupakan tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau
Konsep dari diversi itu sendiri pada pokoknya merupakan pengalihan penanganan
kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dengan tujuan
untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak agar penyelesaian perkara
tersebut berada di luar proses peradilan. Syarat penerapan diversi ini diatur dalam
Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak yaitu diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan
diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan
pengulangan tindak pidana.
Untuk menjawab rumusan permasalahan kedua, dengan menggunakan teori dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan sanksi terhadap anak yang
melakukan tindak pidana.
Hakim mempunyai peran yang penting dalam penjatuhan pidana, meskipun hakim
memeriksa perkara pidana di persidangan dengan berpedoman dengan hasil
pemeriksaan yang dilakukan pihak kepolisian dan dakwaan yang diajukan oleh
Jaksa Penuntut Umum. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa
hakim bebas dalam menjatuhkan putusan, namun Pasal 50 Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman menentukan hakim dalam memberikan putusan harus
memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula
pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak
tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Hakim sebelum menjatuhkan putusan, terlebih dahulu harus mempertimbangkan
kemudian memberikan atau menentukan hukumannya. Menurut Sudarto7, hakim memberikan keputusannya, mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. Keputusan mengenai peristiwa, ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang ditujukan padanya;
b. Keputusan mengenai hukumannya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana;
c. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana.
Masalah penjatuhan pidana sepenuhnya merupakan kekuasaan dari hakim. Hakim
dalam menjatuhkan pidana wajib berpegangan pada alat bukti yang mendukung
pembuktian dan keyakinannya, sebagaimana diatur dalam pasal 183 KUHAP,
yaitu:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Menurut Pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli; c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terkdawa.
Adapun yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan
suatu perkara pidana adalah dengan memperhatikan faktor-faktor seperti:
1. Faktor Yuridis
Faktor yuridis didasarkan atas fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan.
Fakta-fakta hukum diperoleh selama proses persidangan yang didasarkan pada
7
kesesuaian dari keterangan saksi, keterangan terdakwa, maupun barang bukti yang
merupakan satu rangkaian.
Fakta hukum ini oleh hakim menjadi dasar pertimbangan yang berhubungan
dengan apakah perbuatan seorang anak telah memenuhi seluruh unsur tindak
pidana yang didakwakan kepadanya. Unsur-unsur ini akan menunjukan jenis
pidana yang telah dilakukan anak nakal. Faktor yuridis berkaitan pula dengan
pertanggungjawaban pidana dari anak pelaku tindak pidana. Di sini, hakim akan
mempertimbangkan apakah perbuatan yang telah dilakukan dapat
dipertanggungjawabkan atau tidak serta dengan melihat adakah unsur kesalahan
anak atas perbuatan yang didakwakan kepadanya. Selain itu, faktor yuridis juga
berkaitan dengan berat ringannya pidana yang dijatuhkan, lamanya ancaman
pidana dan bentuk dari jenis pidana yang telah dilakukan.
2. Faktor Non Yuridis
Kajian non yuridis sebagai dasar pertimbangan hakim berkaitan dengan
penjatuhan sanksi kepada anak yang terdiri dari beberapa faktor yaitu:
a. Filosofis
Faktor filosofis dijadikan dasar pertimbangan yang penting dari hakim dalam
menjatuhkan sanski terhadap anak. Dengan faktor ini hakim tidak akan kehilangan
orientasi yang didasarkan atas tujuan yang telah digariskan undang-undang yang
bersangkutan. Dalam rangka penjatuhan sanksi terhadap anak maka dasar filosofi
penjatuhannya tidak lain adalah demi kepentingan terbaik anak sebagaimana telah
b. Sosiologis
Faktor sosiologis berguna untuk mengkaji latar belakang sosial mengapa seorang
anak melakukan suatu tindak pidana. Dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan sanksi terhadap anak diperoleh dari laporan kemasyarakatan.
Laporan kemasyarakatan ini berisikan mengenai data individu anak, keluarga,
pendidikan dan kehidupan sosial serta kesimpulan dari pembimbing
kemasyarakatan. Dalam Undang-Undang Peradilan Anak, pembacaan laporan
kemasyarakatan ini telah diatur dalam Pasal 56 sehingga laporan kemasyarakatan
ini menjadi pertimbangan hakim dalam penjatuhan sanksi. Faktor sosiologis juga
menjadi dasar pertimbangan hakim akan pengaruh bentuk sanksi yang dijatukan
di masa yang akan datang terhadap anak, sehingga bentuk sanksi yang diambil
akan benar-benar dipertimbangkan.
c. Psikologis
Faktor psikologis berguna untuk mengkaji kondisi psikologis anak pada saat anak
melakukan suatu tindak pidana dan setelah menjalani pidana. Pertimbangan
psikologis dijadikan pertimbangan hakim dalam hal penjatuhan sanksi pidana
karena pemahaman terhadap aspek psikologis ini memungkinkan adanya
penggambaran terhadap persepsi hakim terhadap anak yang bersangkutan dalam
rangka penjatuhan sanksi pidana. Hakim memperoleh laporan kemasyarakatan
dari BAPAS maupun pendapat dari BAPAS di persidangan serta diketahui dari
perilaku anak selama menjalani persidangan anak.
d. Kriminologis
Faktor krominologis diperlukan untuk mengkaji sebab-sebab seorang anak
melakukan tindak pidana. Berdasarkan pada faktor kriminologis ini, hakim dalam
rangka penjatuhan sanksi mempertimbangkan motif dari anak dalam melakukan
tindak pidana yang akan berpengaruh terhadap bentuk penjatuhan sanksi kepada
anak.
2. Konseptual
Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang mempunya arti-arti yang berkaitan dengan istilah
yang diteliti atau diketahui.8
Dibawah ini ada beberapa istilah yang akan sering digunakan dalam skripsi ini:
a. Analisis
Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan
bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang
tepat dan pemahaman arti keseluruhan.9
b. Putusan
Putusan adalah suatu pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari
Tim Penyusun Kamus, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997, hal. 32.
10
melahirkan. Orang tua juga bisa terdefinisikan terhadap orang tua yang telah
memberikan arti kehidupan bagi kita.11
d. Tindak pidana
Tindak pidana adalah suatu pidana yang dilarang atau diwajibkan
Undang-Undang yang apabila dilakukan atau diabaikan maka orang yang melakukan atau
mengabaikan itu diancam dengan pidana.12
e. Pencurian
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, arti dari kata “curi” adalah mengambil
milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dengan
sembunyi-sembunyi. Sedangkan arti “pencurian” proses, cara, perbuatan. Pengertian
pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya dirumuskan dalam Pasal 362
KUHP, adalah berupa rumusan pencurian dalam bentuk pokoknya yang berbunyi:
barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang
lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena
pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 Tahun atau denda paling banyak
Rp.900,00-.
f. Anak
Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8
(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum
pernah kawin (Pasal 1 angka 1 UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak).
11
Id.m.wikipedia.org (diakses pada tanggal 7 agustus 2013)
12
E. Sistematika Penulisan
Guna memudahkan pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka
disajikan sistematika penulisan sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang, permasalahan,
ruang lingkup, tujuan, kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta
sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka berisi beberapa pengertian serta pemahaman terhadap objek
penelitian dan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian di dalam skripsi ini.
III. METODE PENELITIAN
Bab ini memuat metode penelitian yang merupakan cara-cara untuk penulis
menjabarkan hasil penelitian, meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis
data, penentuan populasi dan sample yang diperlukan, prosedur pengumpulan dan
pengelolaan data hasil penelitian, serta metode analisis terhadap data yang telah
diperoleh.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Merupakan penjelasan dan pembahasan tentang permasalahan yang ada, yaitu
pembahasan tentang. Analisis putusan Nomor: 389/Pid.A/2012/PN.GS Berupa di
Kembalikan Kepada Orang Tua Tentang Tindak Pidana Pencurian Yang di
Lakukan Oleh Anak. Karena bab ini akan dibahas permasalahan-permasalahan
menimbulkan putusan dikembalikan kepada orang tua dalam putusan No:
389/Pid.A/2012/PN.GS dan Bagaimanakah pertimbangan hukum oleh hakim.
V. PENUTUP
Pada bab ini kesimpulan dan saran. Kesimpulan diambil berdasarkan hasil
pembahasan dan saran diberikan berdasarkan hasil penelitian yang merupakan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Mengenai Pemidanaan
L.H.C. Hullsman pernah mengemukakan bahwa sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
sanksi dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanction and punishment).12 Menurut Barda Nawawi Arief, apabila pengertian pemidanaan
diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum
pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundang-undangan
mengenai Hukum Pidana Subtantif, Hukum Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.13
Barda Nawawi Arief bertolak dari pengertian di atas menyatakan bahwa apabila aturan-aturan perundang-undangan (the statutory rules) dibatasi pada hukum
pidana subtantif yang terdapat dalam KUHP, dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP, baik berupa aturan umum maupun aturan.
12
Barda Nawawi Arief. Op. Cit., hal. 23. 13
khusus tentang perumusan tindak pidana, pada hakekatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan.
Keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) di bidang hukum
pidana subtantif tersebut terdiri dari aturan umum (general rules) dan aturan khusus (special rules). Aturan umum terdapat di dalam KUHP (Buku I), dan aturan khusus terdapat dalam KUHP Buku II dan Buku III, maupun dalam
Undang-Undang Khusus di luar KUHP.Aturan khusus tersebut pada umumnya memuat perumusan tindak pidana tertentu, namun dapat pula memuat aturan khusus yang menyimpang dari aturan umum.14
Pada dasarnya penjatuhan pidana atau pemidanaan dibagi atas tiga teori, yaitu: 1. Teori Retributionatau Teori Pembalasan
Teori retribution atau teori pembalasan ini menyatakan bahwa pemidanaan
bertujuan untuk:
a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;
b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain m isalnya untuk kesejahteraan masyarakat; c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;
d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;
e. Pidana melihat kebelakang, merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya
tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.15
14
Ibid., hlm. 135. 15
2. Teori Utilitarian atau Teori Tujuan
Teori utilitarianmenyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk:
a. Pencegahan (prevention);
b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan manusia;
c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada pelaku saja (misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
d. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan;
e. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif) pidana dapat mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk
kepentingan kesejahteraan masyarakat.16
3. Teori Gabungan
Ide dasar dari teori gabungan ini,pada jalan pikiran bahwa pidana itu hendaknya
merupakan gabungan dari tujuan untuk pembalasan dan perlindungan masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan dan keadaan si pembuatnya.
Aliran gabungan ini berusaha untuk memuaskan semua penganut teori pembalasan maupun tujuan.Untuk perbuatan yang jahat, keinginan masyarakat untuk membalas dendam direspon, yaitu dengan dijatuhi pidana penjara terhadap
16
penjahat/narapidana, namun teori tujuanpun pendapatnya diikuti, yaitu terhadap penjahat/narapidana diadakan pembinaan, agar sekeluarnya dari penjara tidak
melakukan tindak pidana lagi.17
Ilmu pengetahuan tentang hukum pidana (positif) dapat dikenal beberapa asas yang sangat penting untuk diketahui, karena dengan asas-asas yang ada itu dapat membuat suatu hubungan dan susunan agar hukum pidana yang berlaku dapat
dipergunakan secara sistematis, kritis, dan harmonis.Hakekatnya dengan mengenal, menghubungkan, dan menyusun asas di dalam hukum pidana positif itu, berarti menjalankan hukum secara sistematis, kritis, dan harmonis sesuai
dengan dinamika garis-garis yang ditetapkan dalam politik hukum pidana.Asas-asas dasar dalam hukum pidana adalah pidana.Asas-asas legalitas dan pidana.Asas-asas kesalahan.
a. Asas Legalitas
Asas legalitas tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Asas legalitas yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dirumuskan di dalam bahasa latin,
yaitu: “nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali”. Artinya secara harafiah adalah: “tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali telah ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang”.18Asas legalitas dalam KUHP dirumuskan
dalam Pasal 1 ayat (1), yaitu tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada,
Asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia membawa konsekuensi dalam penerapan hukum pidana, baik dalam praktek peradilan maupun masyarakat.
Sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) konsekuensi utama dianutnya asas legalitas ini19, yaitu:
1. Suatu tindak pidana harus dirumuskan terlebih dahulu dalam undang-undang
pidana.
2. Tidak boleh menggunakan analogi di dalam menerapkan undang-undang pidana.
3. Undang-Undang Pidana tidak boleh berlaku surut (retro aktif)
b. Asas Kesalahan
Dalam hukum pidana dikenal asas kesalahan yaitu tiada pidana tanpa kesalahan
(geenstraf zonder schuld). Walaupun asas initidak tercantum secara tegas dalam KUHP maupun peraturan lainnya, berlakunya asas ini tidak diragukan lagi. Hal ini sejalan dengan perkembangan ilmu hukum pidana itu sendiri, yang semula
menitikberatkan pada perbuatan yang kemudian berkembang ke arah hukum pidana yang menitikberatkan pada orang yang melakukan perbuatan pidana, tanpa
meninggalkan sama sekali sifat dari perbuatan.20
B. Pengertian dan Jenis Tindak Pidana Pencurian
Pencurian adalah suatu perbuatan mengambil barang kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memiliki barang tersebut dengan cara melawan hukum. Di
19
Ibid., hlm. 39. 20
dalam KUHP, tindak pidana pencurian diatur pada Buku II Titel XXII (Pasal 362-367).
Jenis-jenis Tindak Pidana Pencurian
1. Pencurian Ringan (biasa)
Pencurian ringan ini bisa dikatakan pencurian ringan apabila dilakukan dengan
tidak merusak kunci atau pintu, tidak memanjat pagar, tidak dilakukan pada malam hari, dan harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah. Dan diancam dengan hukuman penjara paling lama tiga bulan atau pidana
denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Terdapat dalam UU KUHP Pasal 362.
2. Pencurian Pemberatan Pasal 363 KUHP
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: 1. Pencurian ternak;
2. Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang;
3. Pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;
4. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih:
5. Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal
dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
3. Pencurian dengan kekerasan
terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atsu mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri
sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri. (UU KUHP Pasal 365). Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:
1. Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di berjalan;
2. Jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
3. Jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat
atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
4. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
C. Pengertian Anak dan Undang-Undangyang Mengatur
Anak merupakan bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya
manusia yang berpotensi untuk meneruskan cita-cita perjuangan bangsa, berperan secara strategis dan bersifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan
dalam rangka menjamin pertumbuhan, perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh.
Pengertian anak saat ini belum terdapat persamaan pendapat sampai umur berapa
seorang anak masih dapat disebut sebagai seorang anak-anak, remaja dan dewasa. Masa kanak-kanak dibagi menjadi tiga tahap, yaitu masa bayi berumur 0-2 tahun,
lemahsehingga sangat tergantung kepada pemeliharaan orang tua terutama dari seorang ibu.21
Selain itu terdapat pengertian mengenai kriteria anak, ini sebagai akibat tiap-tiap
peraturan perundang-undangan mengatur secara tersendiri kriteria tentang anak. Pengaturan batas usia anak ini berbeda-beda dalam peraturan
perundangan-undangan, misalnya:
1. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Pasal 1 Ayat (1): “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah
mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”
2. Anak Nakal adalah:
a. Anak yang melakukan tindak pidana
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik
menurut peraturan perundang-undangan maupun peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997).
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)
Pasal 330 Ayat (1) BW membuat batas antara belum dewasa
(minderjarigheid) dengan telah dewasa (meerjarigheid), yaitu 21 tahun, kecuali anak itu sudah kawin sebelum berumur 21 tahun dan pendewasaan (Pasal 419).
21
4. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Pasal 1 angka (2): “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.
5. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 1 angka (5): “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18
(delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”.
6. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 1: “Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
7. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 angka (3): “Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas)
tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun”.
D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhi Pidana
Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya.
Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini
dilakukan oleh hakim melalui putusannya.22
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan:
22
Ketentuan Pasal 4 menyebutkan bahwa:
1. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang.
2. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dari rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang
sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Ketentuan Pasal 6 menjelaskan bahwa:
1. Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depanpengadilan, kecuali undang-undang menentukan lain.
2. Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat
keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalahatas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
Ketentuan Pasal 7 menjelaskan bahwa:
“Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.”
Ketentuan Pasal 8 menjelaskan bahwa:
1. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan
2. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
Menurut Al. Wisnubroto, ada beberapa faktor internal yang mempengaruhi hakim
dalam mengambil keputusan, adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam mempertimbangkan suatu keputusan adalah:23
1. Faktor Subyektif, yaitu:
a. Sikap perilaku apriori
Hakim sering kali dalam mengadili suatu perkara sejak awal dihinggapi suatu prasangka atau dugaan bahwa terdakwa atau tergugat bersalah, sehingga harus
dihukum atau dinyatakan sebagai pihak yang kalah.Sikap ini jelas bertentangan dengan asas yang dijunjung tinggi dalam peradilan modern, yakni asas praduga
tak bersalah (presumtion of innocence), terutama dalam perkara pidana. Sikap yang bersifat memihak salah satu pihak (biasanya adalah penuntut umum atau penggugat) dan tidak adil ini bisa saja terjadi karena hakim terjebak oleh
rutinitas penanganan perkara yang menumpuk dan target penyelesaian yang tidak seimbang.
b. Sikap perilaku emosional
Perilaku hakim yang mudah tersinggung, pendendam dan pemarah akan berbeda dengan perilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam
menangani suatu perkara. Hal ini jelas sangat berpengaruh pada hasil putusannya.
23
c. Sikap arogan (arrogance power)
Hakim yang memiliki sikap arogan, merasa dirinya berkuasa dan pintar
melebihi orang lain seperti jaksa, penasihat hukum apalagi terdakwa atau pihak-pihak yang bersengketa lainnya, sering kali dapat mempengaruhi keputusannya.
d. Moral
Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak keadilan, terutama hakim.Faktor ini berfungsi membentengi tindakan hakim terhadap
cobaan-cobaan yang mengarah pada penyimpangan, penyelewengan dan sikap tidak adil lainnya.
2. Faktor Obyektif, yaitu:
a. Latar belakang sosial budaya
Latar belakang sosial hakim mempengaruhi sikap perilaku hakim. Hakim dalam beberapa kajian sosiologis menunjukkan bahwa hakim yang berasal dari
status sosial tinggi berbeda cara memandang suatu permasalahan yang ada dalam masyarakat dengan hakim yang berasal dari lingkungan status sosial
menengah atau rendah. b. Profesionalisme
Profesionalisme yang meliputi knowledge (pengetahuan, wawasan) dan skills
(keahlian, keterampilan) yang ditunjang dengan ketekunan dan ketelitian merupakan faktor yang mempengaruhi cara hakim mengambil keputusan
dengan berpegang teguh pada etika profesi tentu akan menghasilkan putusan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Keputusan hakim sebagai dasar hukum umum pelaksanaan eksekusi dapat
dikategorikan sebagai dasar hukum kebijakan pidana.Untuk menelaah keputusan hakim lebih banyak berpangkal pada nilai-nilai serta norma-norma hukum yang mendasari pendirian dan pengetahuan dalam menetapkan
keputusannya.Keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan telah dilaksanakan, dijadikan sebagai dokumen yang dinamakanyurisprudensi.Dokumen ini banyak mengandung nilai-nilai hukum
yang telah diperlukan dan bahkan tidak sedikit yang berlandaskan pada pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan, agama, adat dan filsafat hukum.
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa hakim wajib memutuskan tiap-tiap perkara, menafsirkan atau menjelaskan undang-undang jika tidak jelas dan melengkapinya jika tidak
lengkap. Tetapi penafsiran hakim mengenai undang-undang dan ketentuan yang dibuatnya itu, tidak mempunyai kekuatan mengikat umum, tapi hanya berlaku
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan masalah
yuridis normative dan yuridisempiris.
1. Pendekatan yuridis normatif
Pendekatan yuridis normative adalah pendekatan yang penulis lakukan dalam bentuk
usaha mencari kebenaran dengan melihat asas-asas yang terdapat dalam berbagai
peraturan undang–undang terutama yang berhubungan dengan putusan Pengadilan
Negeri Nomor:389/Pid.A/2012/PN.GS tentang Analisis Putusan No.
389/Pid.A/2012/PN.GS Berupa Dikembalikan Kepada Orang Tua Tentang Tindak
Pidana Pencurian Yang Dilakukan Anak.
2. Pendekatan yuridis empiris
Pendekatan yuridis empiris yaitu menelaah hokum sebagai pola perilaku yang
ditujukan pada penerapan peraturan hukum. Pendekatan yuridis empiris dilakukan
dengan cara mengumpulkan informasi-informasi di lapangan yang ditujukan kepada
B. SumberdanJenis Data
Sumber data penelitian ini berasal dari data lapangan dan data kepustakaan.
Sedangkan jenis data terdiri atas data primer dan data sekunder:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh penulis dari hasil studi dan penelitian di
lapangan.Data primer ini di dapat dari pengamatan putusan
Nomor:389/Pid.A/2012/PN.GS. Data primer ini akan diambil dari hasil wawancara
yang dilakukan kepada Hakim Anak Gunung Sugih, Jaksa pada Kejaksaan Negeri
Gunung Sugih , dan Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Lampung untuk
mencari masukan-masukan, saran-saran, dan tanggapan atas putusan tersebut.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka.20
Terdiri dari:
a. Bahan hukum primer antara lain:
(1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, jo.
Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana.
(2) Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
20
(3) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, jo Undang-undang
No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
(4) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, jo Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 14 Tahun 1997 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, jo Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
(5) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer seperti Undang-undang, KUHAP dan lain-lain
yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.21
c. Bahan hukum tersier, seperti kamus-kamus, literatur-literatur, makalah-makalah
dan lain-lain yang memberikan penejelasan mengenai bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder.
21
C. PenentuanPopulasidanSampel
1. Penentuan Populasi
Populasi adalah seluruh objek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh
kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti.22
Populasi adalah jumlah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia,
benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai test atau
peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik di dalam suatu
penelitian.Untuk penulisan skripsi ini penulis mengambil populasi penelitian yang
ada kaitanya dengan masalah-masalah yang dibahas.Ada pun populasi dalam
penelitian ini adalah Hakim Anak pada Pengadilan Negeri Gunung Sugih, Jaksa pada
Kejaksaan Negeri Gunung Sugih dan Dosen Pidana pada Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
2. Penentuan Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi dengan menggunakan cara-cara
tertentu.23Penentuan sampel dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode
pengambilan sampel berupa Purvosive Sampling, yaitu dalam menentukan sampel
sesuai dengan wewenang atau kedudukan sampel yang dianggap telah mewakili
dengan masalah yang hendak diteliti.
22Ibid.,hlm.90. 23
Ada pun responden dalam penelitian ini adalah:
a. Hakim pada Pengadilan Negeri Gunung Sugih : 1 orang
b. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Gunung Sugih : 1 orang
c. Dosen Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang +
Jumlah : 3 orang
D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini dapat di
jelaskan sebagai berikut:
A. Studi Kepustakaan
Untuk memperoleh sumber data sekunder, penulis lakukan dengan cara membaca,
mencatat atau mengutip dari perundang-undangan yang berlaku sesrta
literatur-literatur dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan putusan tersebut.
B. Studi Lapangan
Untuk memperoleh data primer, studi lapangan ditempuh dengan cara melakukan
wawancara untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang permasalahan yang
penulis kaji. Wawancara ditujukan kepada Hakim Anak pada Pengadilan Negeri
Gunung Sugih, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Gungung Sugih dan Dosen Pidana pada
2. Metode Pengolahan Data
Setelah data yang dikehendaki terkumpul baik dari studi kepustaka an maupun dari
lapangan, maka data diproses pengelolahan data dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
a. Editing
Seleksi data di lakukan untuk mengetahui apakah data yang diperlukan sudah
mencakup atau belum dan data tersebut berhubungan atau tidak berhubungan dengan
pokok permasalahan yang dibahas.
b. Sistematisasi data
Penyusunan data dimaksudkan untuk mendapatkan data dalam susunan yang
sistemastis dan logis serta berdasarkan kerangka pikir. Dalam tiap tahap ini data
dapat dimaksudkan kedalam table apabila diperlukan.
E. Analisis Data
Untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang ada maka data tersebut
perlu dianalisis.Pada penelitian ini data dianalisis secara dekriftif kualitatif. Cara
analisis ini adalah dengan memberikan uraian atau menjabarkannya dengan
kalimat-kalimat, kemudian di susun suatu simpulan secara induktif terhadap gejala dan
kenyataan yang ditemukan. Atas dasar kesimpulan tersebut lalu di susun saran-saran
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Pelaksanaan/penerapan pidana anak yang melakukan tindakan pencurian
menyebabkan timbulnya putusan dikembalikan kepada orang didasarkan atas
terpenuhinya unsur-unsur dari Pasal 363 Ayat (1) ke-3, ke-4, ke-5 KUHP jo
Pasal 56 Ayat (1) KUHP yang didakwakan dan ada atau tidaknya alasan
yang menghapus kesalahan, serta hal yang memberatkan atau yang
meringankan terdakwa. Chandara bin Umar telah benar adanya dimana dalam
pelaksanaan/penerapan pidana Chandra bin umar mengikuti proses dengan
baik, mengakui kesalahannya, menyesali perbuatanya dan berjanji tidak akan
mengulangi kesalahannya maka pengembalian kepada orang tua telah sesuai
dengan terpenuhiya unsur-unsur tersebut.
2. Dasar pertimbangan hakim dalam pidana anak yang melakukan tindakan
pencurian menyebabkan timbulnya putusan dikembalikan kepada orang tua
menjatuhkan putusan terhadap perkara anak sebagai pembantu pencurian
dakwaan jaksa, tujuan pemidanaan, hal-hal yang meringankan dan
memberatkan. Majelis hakim cenderung tidak menjatuhkan pidana maksimum
dengan harapan pelaku tidak mengulangi lagi.
perbuatannya. Pertimbangan hakim juga dengan melihat motif tindak pidana,
akibat yang ditimbulkan dan sikap pelaku setelah melakukan tindak pidana
sebagai pembantu pencurian dengan pemberatan.
B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan penulis berkaitan dengan analisis pemidanaan
terhadap anak sebagai pembantu tindak pidana pencurian dengan pemberatan
(Studi Putusan Nomor: 366/PID.B/Anak/2012/PN.KB.)sebagai berikut:
1. Hakim dalam memberikan pertimbangan putusan pemidanaan, harus lebih
mempertimbangkan keadaan pelaku yang masih tergolong anak, sebaiknya
hakim dalam menjatuhkan pemidanaan terhadap anak menerapkan sistem
pemidanaan yang bersifat edukatif dalam bentuk rehabilitasi dan pembinaan
khusus. Sejalan dengan hal ini, sebaiknya konsep keadilan restoratif dan upaya
diversi sebagaimana yang telah diatur didalam Undang-undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak perlu untuk diterapkan bagi
penyelesaian kasus anak untuk kedepannya.
2. Hakim harus lebih bijak dan adil dalam memberikan vonis terhadap pelaku
yang masih tergolong anak, sebaiknya putusan hakim dalam menjatuhkan
pidana penjara menjadi pilihan terakhir (ultimum remidium) dan hakim
hendaknya lebih mempertimbangkan hal-hal yang bersifat non-penal daripada
Abdulkadir, Muhammad, 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Andrisman, Tri, 2009, Delik Khusus Dalam KUHP , Universitas Lampung,
Bandar Lampung,
_____________2011, Asas-Asas Dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia.
Fakultas Hukum UNILA Bandar Lampung.
A.Syukur, .Dewi, Fatahilla 2011. Penerapan Restorative Justice di Pengadilan
Anak Indonesia, IndiePre Publishing, Depok.
Gultom,Maidin. 2010. Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung.
Nawawi, Barda, 1994 Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan
dengan Pidana Penjara, CV Ananta, Semarang.
______________, 1987. Metode Penelitian Bidang Sosial, Universitas Gajah
Mada Pers, Yogyakarta.
______________. 1998.Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia.
Sudarto, 1986. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap
Pembaharuan Hukum Pidana, Bandung: Sinar Baru.
Suparmono, Gatot. 1998. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana.
Aksara Baru, Jakarta.
Tim Penyusun Kamus, 1997. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Jakarta.
Wisnubroto, Al. 1997. Hakim dan Peradilan di Indonesia, Djambatan. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Sistem Peradilan Anak.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
http://eprints.upnjatim.ac.id
http://Id.m.wikipedia.org