1. Judul Skripsi : Studi WaktuMoltingPada Pembesaran Kepiting Bakau (Scylla serrata) Bercangkang Lunak Yang DiPelihara secara Soliter ... ... ... 2. Nama Mahasiswa / NPM : Mikasanah ... 3. Komisi Pembimbing Skripsi
Pembimbing I : Tugiyono Ph.D... Pembimbing II : Dr. G.Nugrogo Susanto M.Sc... Pembahas : Dra. Nuning Nurcahyani M.Sc. ... 4. Jurusan / Prog. Studi : Biologi / S1 Biologi
5. Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
6. Bidang Keilmuan(a) : Karsinologi ...
7. Abstrak Skripsi(b)
ABSTRAK
Studi WaktuMoltingPada Pembesaran Kepiting Bakau (Scylla serrata) Bercangkang Lunak Yang DiPelihara Secara Soliter
Oleh Mikasanah
Kepiting bakau (Scylla serrata) banyak ditemukan di perairan Indonesia, terutama pada perairan payau yang banyak tanaman bakau. Jenis kepiting ini disukai masyarakat mengingat rasa daging yang lezat dan mengandung protein cukup tinggi. Usaha yang banyak dikembangkan masyarakat adalah pembesaran kepiting soka. Kepiting soka adalah jenis kepiting yang bercangkang lunak karena dipanen dalam keadaan sedang berganti kulit. Kepiting ini banyak digemari karena seluruh bagian tubuh kepiting bisa dikonsumsi, sehingga harganya mencapai 2-3 kali lebih tinggi dibandingkan kepiting bisa.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui waktumoltingpada pembesaran kepiting bakau (Scylla serrata) bercangkang lunak yang dipelihara secara soliter serta mengetahui korelasi antara berat tubuh, panjang dan lebar kapasnya.
Penelitian ini dilaksanakan bulan Oktober 2010 sampai Maret 2011 yang berlokasi di lahan bekas tambak di Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran dan Laboratorium Kualitas Air Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung. Parameter fisik yang diukur pada
penelitian ini adalah berat tubuh, panjang dan lebar karapas kepiting bakau.
Keberhasilan pembesaran kepiting bercangkang lunak perlu diperhatikan parameter kualitas air dan kualitas pakan yang baik. Pada penelitian ini menggunakan pakan rucah berupa cumi untuk semua perlakuan jantan dan betina. Ditinjau dari nilai gizinya, cumi-cumi memiliki kandungan protein cukup tinggi sehingga dijadikan pakan kepiting. Pembesaran kepiting dilakukan secara soliter yang
merupakan salah satu upaya untuk mengurangi sifat kanibalisme dan saling menyerang satu sama lain di alam.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)
ABSTRAK SKRIPSI MAHASISWA
dengan 6 kali ulangan dan sub sampel sebagai pengulangan. Hasil pengamatan yang diperoleh berupa pertambahan berat tubuh, pertambahan panjang dan lebar karapas serta waktu molting antara kepiting jantan dan betina
Hasil penelitian menunjukkan kepiting bakau jenis betina lebih cepat waktumoltingnya dan
memperlihatkan berbeda nyata dibandingkan dengan jenis kepiting jantan selama pemeliharaan 91 hari. Pertumbuhan kepiting betina dilihat dari pertambahan berat tubuh, panjang dan lebar karapas tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kepiting jantan. Nilai korelasi memperlihatkan tidak berbeda nyata antara pertambahan berat tubuh dengan panjang dan lebar karapas pada perlakuan jantan dan betina. Hasil pengukuran kualitas air di tambak tempat pembesaran kepiting bakau masih memenuhi baku mutu untuk kelangsungan hidupnya.
Kata Kunci :Scylla serrata(kepiting bakau),molting, korelasi,cumi, protein.
Kata Kunci(c):
(a)bidang keilmuan diisi sesuai dengan konsentrasi bidang ilmu skripsi (b)abstrak diisi sesuai dengan yang tercantum diskripsi. Minimal 500 kata.
V. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Waktumolting kepiting bercangkang lunak jenis betina lebih cepat dibandingkan dengan
jenis kepiting jantan.
2. Nilai korelasi memperlihatkan tidak berbeda nyata antara pertambahan berat tubuh dengan
panjang dan lebar karapas pada perlakuan jantan dan betina.
3. Pertumbuhan kepiting betina dilihat dari pertambahan berat tubuh, panjang dan lebar
karapas tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kepiting jantan.
4. Kualitas air di tambak tempat pembesaran kepiting bakau masih memenuhi baku mutu untuk
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting
hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut yang banyak ditumbuhi vegetasi
mangrove dengan substrat berlumpur atau berpasir (Kanna, 2002).
Jenis kepiting bakau merupakan salah satu biota laut yang sangat disenangi masyarakat
karena rasa dagingnya yang lezat serta kandungan proteinnya banyak, selain itu memiliki
potensi untuk dimanfaatkan karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi (Kasry, 1996).
Indonesia merupakan pengekspor kepiting bakau yang cukup besar dibandingkan negara lain
karena memiliki kawasan hutan bakau di seluruh wilayah Nusantara. Sebagai komoditas
ekspor, kepiting memiliki harga jual cukup tinggi namun tergantung pada kualitas kepiting.
Potensi pasar luar negeri memberi peluang bagi pengembangan komoditas ini secara serius
dan komersial (Kanna, 2002).
Permintaan kepiting meningkat terutama untuk pasaran ekspor sehingga menyebabkan
produksi kepiting hasil tangkapan di alam semakin terbatas dan jauh dari jumlah kebutuhan
menggantungkan penangkapan dari alam. Cara pemenuhan permintaan demikian untuk
jangka panjang dapat mengakibatkan turunnya populasi kepiting di alam (Kasry, 1996).
Mengantisipasi permintaan pasar yang tinggi dan menjaga kelestarian sumber daya alam
maka diperlukan usaha budidaya yang terkendali. Di Indonesia beberapa daerah usaha
budidaya kepiting sudah mulai dirintis, diantaranya usaha pembesaran kepiting,
penggemukan dan produksi kepiting cangkang lunak (kepiting soka) (Nurdin dan Armando,
2010).
Usaha yang mempunyai nilai ekonomis tinggi adalah usaha pembesaran kepiting soka.
Kepiting soka adalah kepiting yang sedang ganti kulit (molting) sehingga mempunyai tubuh
lunak, mulai dari daging hingga karapasnya sehingga harganya bisa mencapai 3-4 kali
dibanding kepiting biasa (tidakmolting). Keberhasilan usaha budidaya pembesaran kepiting
sangat ditentukan ketersediaan bibit, kualitas air dan keterampilan petani (Kanna, 2002;
Nurdin dan Armando, 2010).
Pembesaran kepiting bakau lunak atau kepiting dalam kondisi sedangmolting, sangat
potensial untuk dikembangkan di kawasan hutan bakau karena fungsi ekologis ekosistem
hutan mangrove sebagai tempat pemijahan dan pembesaran biota laut, termasuk kepiting
bakau (Bergen, 2002; Nontji, 2005; Romimohtarto dan Juwana, 2005).
Dengan latar belakang tersebut penulis tertarik terhadap studi waktumoltingpada
pembesaran kepiting bakau bercangkang lunak dengan pemberian pakan cumi. Ditinjau
dari nilai gizi, cumi-cumi memiliki kandungan gizi cukup tinggi, yaitu 17,9 g/100 g cumi
segar.
Penelitian ini bertujuan :
1. Mengetahui waktumoltingpada pembesaran kepiting bakau bercangkang lunak (Scylla
serrata) yang dipelihara secara soliter.
2. Mengetahui korelasi antara berat tubuh, panjang dan lebar karapas kepiting pada
pembesaran kepiting bakau (Scylla serrata) bercangkang lunak yang dipelihara soliter.
C. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah bagi ilmu
pengetahuan dan masyarakat tentang perbedaan waktumoltingantara kepiting bakau (S.
serrata) jantan dan betina pada pembesaran kepiting bercangkang lunak yang dipelihara
secara soliter.
D. Kerangka Pemikiran
Kepiting bakau (S. serrata) memiliki penyebaran sangat luas di Asia Tenggara dan banyak
dijumpai di perairan Indonesia. Keberadaan kepiting bisa dijumpai di pada kawasan bakau
dan sepanjang garis pantai. Kepiting bakau ini mempunyai kebiasaan menggali lubang di
sekitar mangrove untuk tempat tinggal.
Kepiting bakau merupakan salah satu komuditas perikanan yang potensi untuk
dikembangkan. Hampir semua rumah makansea foodmenyediakan masakan kepiting.
Meskipun mahal, masyarakat banyak yang menggemari masakan kepiting karena memiliki
rasa yang lezat serta mempunyai kandungan protein yang tinggi dan kadar lemak yang
Kepiting banyak diminati baik di pasaran dalam negeri maupun luar negeri. Sebagai
komoditas ekspor, kepiting memiliki harga jual cukup tinggi di pasaran luar negeri. Potensi
pasar luar negeri yang cukup besar memberi peluang bagi pengembangan komoditas ini
secara lebih serius dan komersial.
Permintaan kepiting semakin meningkat, sedangkan Indonesia sebagai negara pengekspor
kepiting, masih mengandalkan tangkapan dari alam yang stabilitas produksinya tidak dapat
dipastikan. Padahal pengambilan yang terus menerus dari alam akan mengakibatkan
populasi kepiting menurun. Masyarakat mulai tertarik untuk melakukan usaha budidaya
terkendali. Budidaya merupakan salah satu upaya untuk mengurangi sifat kanibalisme dan
saling menyerang satu sama lain.
Sebagian masyarakat tertarik melakukan pembesaran kepiting soka. Kepiting soka adalah
jenis kepiting yang bercangkang lunak karena dipanen dalam keadaan sedang berganti kulit.
Kepiting ini banyak digemari karena seluruh bagian tubuh kepiting bisa dikonsumsi
sehingga harganya bisa mencapai 2-3 kali lebbih tinggi dibandingkan kepiting bisa.
Kepiting bersifat kanibalisme sehingga untuk pembesaran dilakukan secara individual (sel)
yaitu menggunakan keranjang soliter yang terbuat dari plastik. Untuk mendukung
kesuksesan budidaya kepiting soka perlu diperhatikan parameter kualitas air yang meliputi
suhu, salinitas, dan derajat keasaman (pH). Selain itu keberhasilan percepatan pembesaran
kepiting soka didukung oleh kualitas pakan yang baik. Ditinjau dari nilai gizinya,
cumi-cumi memiliki kandungan protein cukup tinggi sehingga bisa dijadikan pakan kepiting.
Pemilihan jenis kelamin kepiting dijadikan salah satu faktor yang dapat mempercepat
pemanenan kepiting soka. Pembesaran kepiting bakau diharapkan dapat memperlihatkan
kepiting selama pemeliharaan dan korelasi antara berat tubuh, panjang dan lebar karapas
kepiting bakau.
E. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Kepiting betina akan lebih cepat berganti kulit (molting) dibandingkan dengan kepiting
jantan.
2. Terdapat korelasi antara berat tubuh, panjang dan lebar karapas kepiting bakau (Scylla