• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS LONGSOR DI KOTA BANDAR LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS LONGSOR DI KOTA BANDAR LAMPUNG"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

LANDSLIDES ANALYSIS IN BANDAR LAMPUNG CITY

By ANDHI

Since 2010, landslide of the region of Bandar Lampung is tend to increased. Natural factors (i.e. rainfall, steep slopes, geological conditions, regolith, the fault/escarpment) and management factors (i.e. population, land cover, and road infrastructure) are triggering landslides. This research aims: (1) to analyze the factors that cause landslides and determine the formula of landslide vulnerability (TKL); (2) determine the area of landslides vulnerability (TKL); and (3) determining the efforts/actvities and role of stakeholders in the landslide mitigation in order to reduce the impact and protect the people who live in areas prone to landslides. This study was conducted in April-May 2015 in the region of Bandar Lampung city. Methods were using descriptive analysis, map analysis based on Geographical Information Systems (GIS), and semi-quantitative analysis involved method of Analitical Hierarchy Process (AHP). The results showed that the landslide in the city of Bandar Lampung caused by natural factors (weight 0.67) and management factors (weight 0.33). The most influential parameters on natural factors were 3-day cumulative rainfall (weight 0.26), slope (weight 0.17), geology (weight 0.10), fault/escarpment (weight 0.09), regolit (weight 0.05). Parameters having an effect on the management of landslide factors, namely land cover (weight 0.18), road infrastructure (weight 0.10), and population density (0.05). The landslides vulnerability (TKL) in region of Bandar Lampung that TKL = 0.26 + 0.17 HHK LH + 0.10 G + 0.09 KTR PS + 0.05 + 0.18 0.10 PL + I + 0.05 KP. The landslides

vulnerability in the region of Bandar Lampung as follows: not prone to landslides (75.65%); little prone to landslides (9.8%); rather prone to landslides (14.46%); and prone to landslides (0.09%). The total areas is prone to landslides (7.4 hectares) in Panjang District, the rest one (less than1 hectare) in Langkapura District.

Efforts/activities priority disaster mitigation of landslides in sequence: (1) dissemination of mitigation, (2) enforcement of law, (3) rehabilitation/reboisation, (4) relocation of residents of areas prone to landslides, (5) preparation of building control landslide or structuring region. The important role of stakeholders in landslide mitigation in sequence as follows: (1) government agencies; (2) community of areas prone to landslides; (3) the expert/practitioners (4) private institutions; and (5) NGOs.

(2)

ABSTRAK

ANALISIS LONGSOR DI KOTA BANDAR LAMPUNG

Oleh

ANDHI

Sejak tahun 2010, kejadian longsor di Wilayah Kota Bandar Lampung cenderung meningkat. Faktor alamiah (yaitu curah hujan, curamnya lereng, kondisi geologi, regolit [tanah], adanya sesar/patahan/gawir) dan faktor manajemen (penduduk, penutupan lahan, dan infrastruktur jalan) merupakan pemicu terjadinya longsor. Penelitian ini bertujuan: (1) menganalisis faktor-faktor yang penyebab terjadinya longsor dan menentukan formula Tingkat Kerawanan Longsor (TKL); (2) menentukan tingkat kerawanan longsor (TKL); dan (3) menentukan upaya dan peran pemangku kepentingan (stakeholder) dalam mitigasi longsor untuk mengurangi dampak dan melindungi masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana longsor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April – Mei 2015 di Wilayah Kota Bandar Lampung. Metode Penelitian menggunakan analisis deskriptif, analisis peta berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG), dan analisis semi kuantitatif menggunakan metode Analisis Hirarki Proses (AHP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa longsor di wilayah Kota Bandar Lampung disebabkan oleh faktor alami (bobot 0,67) dan faktor manajemen (bobot 0,33). Parameter yang paling berpengaruh pada faktor alami adalah curah hujan kumulatif 3 hari (bobot 0,26), kemiringan lahan (bobot 0,17), geologi (bobot 0,10), patahan/sesar/gawir (bobot 0,09), ketebalan tanah/regolit (bobot 0,05). Parameter yang berpegaruh pada faktor manajemen terhadap longsor yaitu penutupan lahan (bobot 0,18), infrastruktur jalan (bobot 0,10), dan kepadatan penduduk (0,05). Tingkat Kerawanan Longsor (TKL) Wilayah Kota Bandar Lampung yaitu TKL=0,26 HHK + 0,17 LH+ 0,10 G+ 0,09 PS + 0,05 KTR+ 0,18 PL + 0,10 I+ 0,05 KP. Tingkat kerawanan longsor di Kota Bandar Lampung adalah sebagai berikut: tidak rawan longsor (75,65%); sedikit rawan longsor (9,8%); agak rawan longsor (14,46%); dan rawan longsor (0,09%). Luas wilayah yang rawan longsor (7,4 hektar) di Kecamatan Panjang, sisanya (<1 hektar) di Kecamatan Langkapura. Kegiatan/upaya prioritas mitigasi bencana longsor secara berurutan yaitu: (1) Sosialisasi Mitigasi , (2)

Penegakan Hukum, (3) Rehabilitasi Lahan/Penghijauan , (4) Relokasi Penduduk, (5) Pembuatan Bangunan Pengendali Longsor atau Penataan Wilayah. Peran penting para pemangku kepentingan dalam mitigasi longsor secara berurutan sebagai berikut: (1) peran Lembaga Pemerintah; (2) masyarakat; (3) peran para pakar/praktisi (4) peran Lembaga Swasta; dan (5) peran LSM.

(3)
(4)
(5)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Sistematika analisis dan mitigasi longsor di Bandar Lampung... 9

2. Tipe-tipe gerakan tanah... 15

3. Jenis-jenis Sesar... 22

4. Diagram alir identifikasi kerawanan tanah longsor... 28

5. Peta administratif wilayah Kota Bandar Lampung... 29

6. Peta geologi wilayah Kota Bandar Lampung... 36

7. Contoh struktur hierarki dalam AHP ………... 44

8. Hirarki penentuan faktor penyebab longsor (alami dan manajemen), parameter longsor, pelaku mitigasi longsor, dan solusi mitigasi longsor.. 56

9. Peta curah hujan kumulatif tiga hari berturut-turut... 60

10. Peta kelas lereng di wilayah Kota Bandar Lampung... 63

11. Peta geologi wilayah Kota Bandar Lampung... 64

12. Peta patahan/sesar/gawir di wilayah Kota Bandar Lampung... 70

13. Foto kedalaman yang diamati berdasarkan tebing atau lereng bekas galian... 72

14. Peta kedalaman tanah wilayah Kota Bandar Lampung... 73

15. Peta penggunaan lahan wilayah Kota Bandar Lampung... 74

16. Peta infrastruktur jalan memotong lereng... 77

17. Peta kepadatan penduduk di wilayah Kota Bandar Lampung... 80

18. Bobot hasil AHP faktor alami vs. faktor manajemen, dan bobot masing-masing terhadap parameter longsor di Kota Bandar Lampung 81 19. Peta kerawanan tanah longsor di wilayah Kota Bandar Lampung... 85

21. Hasil AHP upaya mitigasi longsor di Bandar Lampung... 87

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK……… ii

DAFTAR ISI……… iv

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR... ... viii

I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang dan Masalah... 1

B. Tujuan Penelitian... 6

C. Kerangka Pemikiran... 6

D. Manfaat Penelitian... 10

E. Hipotesis... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA... 11

A. Bencana Geologi, Pergerakan Tanah, dan Longsor... 11

B. Tipe Tipe Gerakan Tanah/Longsor... 12

C. Faktor-Faktor Penyebab Gerakan Tanah... 14

D. Faktor-Faktor Alami Penyebab Longsor... 17

` E. Faktor-Faktor Manajemen Penyebab Longsor... 25

F. Indentifikasi Kerawanan Tanah Longsor... 27

G. Wilayah Kota Bandar Lampung... 27

H. Mitigasi Bencana Longsor... 37

I. Pengambilan Keputusan dalam Upaya Mitigasi Bencana Longsor 43 III. BAHAN DAN METODE... 46

A. Waktu dan Tempat... 46

B. Bahan dan Alat... 46

C. Metode Penelitian 47 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 57

A. Hasil Penelitian... 57

(7)

(3)Geologi ... 62

(4)Patahan/Sesar/Gawir... 67

(5) Kedalaman Regolit... 69

(6)Penggunaan Lahan... 72

(7)Infrastruktur Jalan... 75

(8)Kepadatan Penduduk... 78

(9)Penentuan Formula TKL dengan Analisis Hirarki Proses... 81

(10)Tingkat Kerawanan Longsor... 83

(11)Upaya Mitigasi Longsor dan Peran Stakeholder... 86

B.Pembahasan……… 88

(1)Formula dan Tingkat Kerawanan Longsor di Wilayah Bandar Lampung... 88

(2)Upaya mitigasi longsor dan Peran Stakeholder... 93

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 99

A. Kesimpulan... ... 99

B. Saran... 100

DAFTAR PUSTAKA... 101

LAMPIRAN... 106

Lampiran 1. Daftar Pertanyaan untuk Analisis Longsor dengan AHP… 107 Lampiran 2. Hasil Perhitungan Tingkat Kerawan Longsor dengan formula Paimin dkk. (2009)……… 122

Lampiran 3. Jawaban Kuisioner dari Responden……… 123

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Peristiwa longsor di Kota Bandar Lampung 2010 - 2015... 4

2. Faktor-faktor utama penyebab gerakan tanah... 20

3. Kecamatan, ibukota kecamatan, ketinggian, luas wilayah, jumlah penduduk, dan kepadatan penduduk di wilayah Kota Bandar Lampung... 29

4. Data suhu, dan presipitasi (curah huijan) di Kota Bandar Lampung... 31

5. Uraian kode geologi wilayah Kota Bandar Lampung……… 33

6. Kondisi resapan air di wilayah Kota Bandar Lampung……… 37

7. Skala perbandingan Saaty... 45

8. Parameter bobot, klasifikasi, kategori, dan skor penyebab tanah longsor... 51

9. Nilai skor dan kategori tanah longsor... 54

10. Data curah hujan pada masing-masing stasiun pengamatan... 58

11. Hasil analisis data curah hujan dengan metode Poligon Thiessen di Kota Bandar Lampung... 59

12. Klasifikasi lereng dan luasan wilayah pada masing-masing kecamatan di Kota Bandar Lampung... 61

13. Distribusi formasi geologi dan jenis batuan induk pada masing- masing Kecamatan di wilayah Kota Bandar Lampung

...

65

14. Distribusi jenis batuan geologi, skor, dan kategori... 66

15. Keberadaan sesar di Kota Bandar Lampung... 68

16. Distribusi kecamatan di wilayah Kota Bandar Lampung yang dilalui sesar... 68

17. Kedalaman regolit di wilayah Kota Bandar Lampung... 71

18. Distribusi penggunaan lahan pada masing-masing kecamatan di Kota Bandar Lampung

...

76

19. Panjang jalan pada setiap kelas lereng di setiap Kecamatan... 78

20. Kepadatan penduduk pada setiap Kecamatan di Kota Bandar Lampung... 79

21. Rekapitulasi bobot faktor dan parameter longsor di Bandar Lampung... 82

22. Tingkat kerawanan longsor di wilayah Kota Bandar Lampung... 83

(9)
(10)
(11)

Aku persembahkan karya kecil ini kepada istriku tercinta Tuti

Nuryanti dan anak-anak tercinta Agung Rizki, Anisa Ryasti, dan

Tri Rahma Nur Assyifa.

Semoga karya kecil ini bisa menjadi inspirasi buat kita semua

untuk selalu peduli dengan lingkungan tempat kita hidup dan

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjungkarang pada tanggal 25 Maret

1963; anak keempat dari dua belas bersaudara, anak dari

Bapak Udie Salim dan Ibu Hernie.

Penulis memasuki Sekolah Dasar Budi Bakti Persit Kartika

Chandra Kirana Tanjungkarang tahun 1971, dan lulus pada tahun 1976. Tahun

1977 melanjutkan ke SMP Negeri 5 Tanjungkarang dan lulus pada tahun 1980.

Tahun 1980 melanjutkan ke SMA Negeri 3 Tanjungkarang dan lulus pada Tahun

1983. Penulis diterima di Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada tahun

1983 pada Program Studi Ilmu Tanah, Jurusan Budidaya Pertanian Universitas

Lampung dan lulus pada tahun 1988. Penulis mulai bekerja pada Oktober 1988 di

Fakultas Pertanian Univeritas Lampung sebagai teknisi Laboratorium Analisis

Tanah dan Tanaman. Sejak tahun 2009 penulis menduduki jabatan struktural

eselon IV di Universitas Lampung.

Pada tahun 2013 penulis melanjutkan jenjang pendidikan strata-2 (S-2) pada

Magister Ilmu Lingkungan, Bidang Konsentrasi Pengelolaan Sumberdaya Alam

(13)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkah dan karuniaNYA sehingga penulis

dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Analisis Longsor di Kota Bandar

Lampung”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Lampung.

Terselesaikannya penulisan tesis ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan

dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si. selaku pembimbing utama

atas segala ketersediaan waktu, bimbingan, bantuan, dan saran dalam

menyelesaikan tesis ini.

2. Bapak Dr. Ir. Slamet Budi Yuwono, M.S. selaku pembimbing pembantu atas

segala bantuan, bimbingan, motivasi, saran, dan kepercayaan yang diberikan

dalam penulisan tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. K.E.S. Manik, M.S. selaku dosen penguji atas segala

bantuan, bimbingan dan saran.

4. Bapak Dr. Ir. Henrie Buchari, M.Si. dan Bapak Dr. Ir. Samsul Bakri, M.Si.

(14)

kepercayaan yang diberikan.

5. Para bapak/ibu dosen pengajar di Program Studi Magister Ilmu Lingkungan

antara lain: Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc., Dr. Ir. Fembriarti Erry

Prasmatiwi, M.P., Prof. Warsito, D.E.A., Ph.D., Drs. Tugiyono, M.Si, Ph.D.,

Dr. Mulyono, S.Si, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Ali Kabul Mahi, M.S., Prof. Dr. Ir.

K.E.S. Manik, M.S., Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., Dr. Ir. Henrie

Buchari, M.Si., Prof. Dr. M. Akib, M.Hum., Dr. Heryandi, S.H., M.H., Drs.

Warsono, M.Sc., Ph.D., Prof. Dr. Ir. Abdul K. Salam, M.Sc., Dyah Indriana

Kusumastuti, S.T.,M.Sc.Ph.D., , Dr. Erdi Suroso, S.T.P., M.Si., Dr. Sri

Hidayati, S.T.P., M.P., Dr. Gatot Eko Susilo, S.T., M.Sc., Prof. Dr. Ir. Nanik

Sriyani, M.Sc., , Dr. Ir. Agus Setiawan, M.S., Dr. Ir. Samsul Bakri, M.Si., dan

Dr. Ir. Udin Hasanuddin, M.T.

6. Rektor Universitas Lampung yang telah memberikan izin untuk meneruskan

kuliah.

7. Bapak Dr. Ir. Dwi Haryono, M.S., selaku Wakil Rektor II Universitas

Lampung yang telah memberikan izin kuliah dan memberikan dukungan

moral dan material kepada penulis.

8. Dekan Fakultas MIPA yang telah memberikan izin kuliah dan memberikan

dukungan moral kepada penulis.

9. Wakil Dekan II Fakultas MIPA Unila yang telah memberikan izin kuliah

kepada penulis.

10.Kepala Biro Administrasi Umum dan Keuangan Unila yang telah

(15)

material kepada penulis.

12.Istri tercinta, Tuti Nuryanti yang telah memberikan dukungan lahir, batin,

doa, dukungan material dan sebagainya, serta dengan sabar menemani selama

menyusun tesis ini.

13.Bapak Romi Fadly, S.T., M.Si atas bimbingan teknsinya dalam menggunakan

aplikasi ArcGis.

14.Ketua Bappeda Kota Bandar Lampung atas bantuan peta digital dan data

lapangan.

15.Ketua Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) Provinsi Lampung atas

bantuan data lapangan.

16.Ketua BPBD Kota Bandar Lampung atas bantuan data lapangan.

17.Dr. Sarkowi, S.T., M.Si., yang telah bersedia diwawancarai dan memberikan

masukan.

18.Dr. Ir. Abdullah Aman Damai, M.Si. yang telah bersedia diwawancarai dan

memberikan masukan.

19.Ir. Edison selaku pengurus WATALA yang telah bersedia diwawancarai dan

memberikan masukan.

20.Teman-teman dosen di Unila (termasuk para anggota Beasiswa Unila-Dikti):

Dr. Amrizal, S.T., M.T., Dr. Ika Kustiani, S.T., M.T., Dr. Yul Martin, S.T.,

M.T., Dr. Dewi Agustina Iryani, S.T., M.T., Dr. Radix Suharjo, S.P., M.Sc.,

Dr. Yuyun Fitriana, S.P., M.P., M. Komaruddin, S.T., M.Sc., dan Dr.

(16)

S.E., M.Si. atas dukungan, saran, dan masukan selama penulis menyusun

tesis.

22.Bapak Udie Salim dan Ibu Hernie yang selalu memberikan dukungan dan doa

kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

23.Bapak Hi. Letkol (Purn) Dadang Suhendang dan ibu Hj. Lilis Solihat yang

selalu memberikan dukungan dan doa kepada penulis untuk menyelesaikan

tesis ini.

24.Ananda Agung Rizki, S.E., Anisa Ryasti, dan Tri Rahma Nur Assyifa yang

selama ini memberi dukungan dalam doa kepada penulis untuk

menyelesaikan tesis ini.

25.Kanda dan ayundaku, Ir. Yan Haryadi, Evita Sulianti, Dra. Ike Rosanti,

Suhardi, Zulkarnain, Irine Isnaini, Siti Nurcahya, S.T.P., Siti Nurul

Khotimah, M.Sc.

26.Teman teman KAPULAGA (keluarga alumni pertanian Unila delapan tiga)

yang selalu memberikan dukungan moral kepada penulis, antara lain: Dr. Ir.

Kurnia Muludi, M.Sc., Ir. Zulkifli, S.E.,M.M., Ir. Laksono Ramdan, M.M.,

Ir. Edwar Gumanti, Ir. Syamsudin, Ir. Kamaluddin, Ir. Sayuti, Ir. Nurhasanah,

M.M., Dr. Ir. Kuswanta F. Hidayat, M.P., Prof. Dr. Ir. Soni Isnaini, M.P., Ir.

Devita Aini, Dr. Ir. Suprayoga Hadi, M.Sc., Ir. Herry Hasan, Ir., dan lain-lain.

27.Teman-teman Magister Ilmu Lingkungan: Ahmad Supartono, S.T., Herry

Yusrizal, S.T., M.Si., Fahma Abdurrahman, S.T., Febriana Susiwi, S.Kep.,

(17)

moral kepada penulis.

29.Teman-teman di FMIPA Unila: Suhartiningsih, S.H., Gunawan Karyono,

S.Sos., Eka Waryanto, Kuswati, Hambali, M. Yusuf, Paryanto Eko Susanto,

Badriyadi, Rusnah, Indar Novalia, Liza Apriliyanti, S.Si., Fakhruddin, S.T.

30.Serta pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis selama penyusunan

tesis ini, namun tidak dapat disebutkan satu per satu.

Bandar Lampung, 20 Desember 2015

Penulis,

(18)
(19)

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Ekosistem atau sistem ekologi merupakan satu kesatuan tatanan yang terbentuk

oleh interaksi timbal balik antara mahluk hidup (biotik) dan unsur-unsur non

hayati (abiotik). Hubungan timbal balik unsur biotik dan abiotik tersebut terjadi

secara dinamis dan seimbang sehingga tercipta keadaan lingkungan yang

mendukung kehidupan mahluk hidup di wilayah bersangkutan (Manik, 2009).

Selanjutnya Manik (2009), menyebutkan bahwa manusia sebagai pengelola

lingkungan terus berupaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti:

sandang, pangan, papan (perumahan) melalui upaya eksploitasi sumberdaya alam.

Ekploitasi sumberdaya alam yang tidak terkendali merupakan penyebab utama

degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Salah satu ciri degradasi

sumberdaya alam adalah menurunnya daya dukung lahan. Paimin, dkk. (2009)

menyatakan bahwa daya dukung lahan merupakan tingkat kemampuan lahan

untuk mendukung segala aktivitas manusia yang ada di wilayahnya. Penurunan

daya dukung lahan ditunjukkan oleh sering terjadinya bencana alam seperti erosi,

banjir di musim hujan, kekeringan di musim kemarau, dan tanah longsor. Bencana

(20)

Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional

Penanggulang-an BencPenanggulang-ana (BNPB), Nugroho (2014, dalam Merdeka.com, 2014), pada tahun

2014, sebanyak 248 orang tewas akibat bencana longsor. Jumlah ini hampir dua

per tiga dari korban tewas akibat berbagai bencana di Indonesia selama 2014.

Sekitar 40,9 juta jiwa penduduk Indonesia yang terpapar bahaya longsor dengan

tingkat ancaman sedang hingga tinggi. Ancaman bencana yang berpotensi

menimbulkan kerugian juga terhadap perumahan, sistem atau elemen lain.

Bertambahnya penduduk, meningkatnya degradasi lingkungan, dan cuaca yang

makin ekstrem menyebabkan risiko longsor makin tinggi.

Tanggal 13 Oktober 2013 terjadi peristiwa longsor di Kelurahan Bumi Raya,

Kecamatan Bumi Waras, Kota Bandar Lampung, meski tidak ada korban jiwa,

sebanyak 16 rumah mengalami kerusakan (6 rumah rusak berat tertimbun

longsoran, 10 rumah rusak ringan). Peristiwa longsor ini juga dipicu oleh hujan

deras (Merdeka.com, 2013). Selanjutnya, tanggal 12 Desember 2014 peristiwa

tanah longsor terjadi di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karang

Kobar, Kabupaten Banjar Negara, Provinsi Jawa Tengah, selain korban meninggal

dunia, sebanyak 105 rumah dan ratusan korban tidak ditemukan akibat tertimbun

tanah longsor. Hujan deras yang terjadi sebelumnya merupakan salah satu pemicu

longsor tersebut (Kompas.com, 2014).

Menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Lampung

(2010), wilayah Kota Bandar Lampung merupakan wilayah yang rawan longsor

dengan tingkat resiko yang tinggi, sedangkan menurut Badan Perencanaan dan

(21)

tanah longsor di Kota Bandar Lampung yaitu di daerah yang kondisi tanahnya sangat

miring sampai curam, yaitu bagian barat yaitu kawasan Gunung Betung, Gunung Balau

serta perbukitan Serampok di bagian Timur. Selanjutnya berdasarkan laporan dari Pusat

Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya

Mineral Republik Indonesia (2010, dalam Bappeda Kota Bandar Lampung, 2013),

beberapa wilayah di Bandar Lampung juga memiliki potensi gerakan tanah kategori

menengah, antara lain di Kecamatan Sukarame, Tanjung Karang Timur, Panjang,

Teluk Betung Utara, Teluk Betung Barat, Tanjung Karang Pusat, dan Tanjung Karang

Barat.

Menurut BPBD Kota Bandar Lampung (2015, tidak dipublikasikan), sejak tahun 2010

sampai 2015 terjadi 27 kali peristiwa tanah longsor di Wilayah Kota Bandar Lampung,

kecenderungannya semakin lama semakin sering terjadi tanah longsor (Tabel 1).

Menurut Abidin, dkk. (2004), longsor merupakan salah satu bencana alam yang

menonjol di Indonesia, terutama di musim hujan. Sebagian wilayah Indonesia dengan

kondisi alam berupa pegunungan dengan lereng curam, sehingga peristiwa longsor

sering terjadi. Beberapa faktor yang mempengaruhi tanah longsor, adalah: (1)

topografi, (2) tanah dan batuan penyusun, (3) tingkat curah hujan, 4) vegetasi/-hutan,

dan (5) gempa bumi (Harjadi, dkk, 2007). Tanah longsor akan terjadi jika terpenuhi tiga

keadaan, yaitu: 1) lereng cukup curam, 2) terdapat bidang peluncur (batuan) di bawah

permukaan tanah yang kedap air, dan 3) terdapat cukup air (hujan) yang masuk ke

dalam pori-pori tanah di atas lapisan kedap air (bidang luncur) sehingga tekanan tanah

(22)

Tabel 1. Peristiwa longsor di Kota Bandar Lampung 2010 – 2015

2. Panjang Srengsem

3. Kemiling Kemiling

Jumlah 27

Sumber: BPBD Kota Bandar Lampung, 2015 (Tidak Dipublikasikan).

Paimin, dkk., 2009). Air (hujan) yang memasuki pori-pori tanah yang terletak diatas

lapisan batuan kedap air akan membentuk lapisan bidang luncur dan didorong oleh

lereng yang cukup curam serta beban yang ada diatas tanah seperti bangunan dan

vegetasi (Donie, 2014). Menurut Banuwa (2013), longsor adalah suatu bentuk erosi

(23)

besar, di atas suatu lapisan agak kedap air yang jenuh air. Lapisan tersebut

mengandung kadar liat tinggi yang setelah jenuh air berperan sebagai bidang luncur.

Selanjutnya menurut Harjadi, dkk. (2007), longsor akan terjadi pada daerah yang

memiliki sesar yang masih aktif, dan dapat dipantau dengan seismograf. Longsor

sering terjadi pada daerah dengan lansekap pegunungan yang terjal dan banyak

tanaman hutan yang ditebang (Paimin, dkk., 2009). Pemanenan tanaman hutan

yang sudah tua, jika dilakukan dengan tidak hati-hati dapat meningkatkan potensi

terjadinya longsor (Sitorus, 2006).

Menurut Bappeda Kota Bandar Lampung (2013), wilayah-wilayah yang memiliki

kemiringan lereng>40% (perbukitan terjal) yaitu: (1) Kecamatan Bumi Waras 25 ha;

Kecamatan Kemiling 757,50 ha; (3) Kecamatan Panjang 98,44 ha; (4) Kecamatan

Sukabumi 168,57 ha; (5) Kecamatan Tanjungkarang Barat 107,07 ha; (6) Kecamatan

Teluk Betung Barat 220,40 ha; dan (7) Kecamatan TelukBetung Timur 317,79 ha.

Di wilayah berbukit sampai terjal tersebut, banyak warga masyarakat yang bermukim

di wilayah yang rawan longsor tersebut. Keadaan ini memang memprihatinkan,

masyarakat tersebut terpaksa menempati wilayah yang rawan longsor, salah satunya

disebabkan faktor kemiskinan, meskipun mereka sadari ancaman tanah longsor setiap

saat menanti (Donie, 2013).

Penelitian dan publikasi upaya pencegahan untuk mengurangi risiko (mitigasi)

terhadap bencana longsor serta faktor-faktor penyebabnya di Wilayah Kota

Bandar Lampung masih sangat sedikit. Untuk itu penelitian tentang analisis

(24)

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

(1)Menganalisis faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya longsor

di Wilayah Kota Bandar Lampung;

(2)Menentukan tingkat kerawanan longsor (TKL) di Wilayah Kota Bandar

Lampung;

(3)Menentukan upaya mitigasi dan peran pemangku kepentingan (stakeholder)

dalam upaya mengurangi dampak bencana longsor dan melindungi

masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana longsor.

C. Kerangka Pemikiran

Sebagian wilayah Kota Bandar Lampung merupakan perbukitan terjal (dengan

kemiringan>40%) yang merupakan wilayah yang rawan longsor. Menurut

Bappeda Kota Bandar Lampung (2013), luas wilayah Bandar Lampung yang datar

sampai landai mencapai 60% (11.833,2 ha), wilayah landai sampai miring

mencapai 35% (6.902,7 ha), sedangkan sangat miring sampai curam hanya 4%

(788.88 ha). Sejak tahun 2010 sampai 2015, kejadian longsor di Wilayah Kota

Bandar Lampung cenderung meningkat (Tabel 1). Beberapa faktor alami (yaitu

curah hujan, curamnya lereng, kondisi geologi, regolit [tanah], adanya

sesar/patahan) dan faktor manajemen (penduduk, penutupan lahan, dan

infrastruktur jalan) merupakan pemicu terjadinya longsor (Paimin, dkk, 2009).

Peristiwa tanah longsor di suatu wilayah dengan kelerengan terjal (kemiringan

(25)

tinggi (Muntohar, 2009). Faktor yang penting selain intensitas hujan adalah

lamanya hujan yang berpengaruh nyata terhadap longsor.

Sedangkan hasil penelitian Sarya dkk. (2014), bahwa curah hujan di atas 50 mm

per jam menyebabkan tanah longsor dangkal di Desa Wonodadi Kulon,

Kabupaten Pacitan. Kejadian tanah longsor dangkal ini telah menyebabkan

gangguan dan kerusakan di sepanjang jaringan transportasi. Selanjutnya Sarya

dkk. (2014), menetapkan kurva ambang batas intensitas (I)-durasi (D) curah hujan

untuk tanah longsor dangkal di Desa Wonodadi Kulon tersebut dengan persamaan

yaitu I = 52D-0,79.

Curah hujan antara 101 sampai 298 mm terjadi hanya dalam 2 hari dengan

intensitas curah hujan maksimum berkisar antara 41 mm/jam hingga 79 mm/jam

menyebabkan longsor. Hasnawir (2012) menyatakan bahwa curah hujan di atas 50

mm per jam menyebabkan tanah longsor dangkal di Sulawesi Selatan.

Menurut Harjadi (2013), kondisi bentuk lahan perbukitan dan pegunungan dengan

kemiringan lereng > 45% dengan tekstur tanah liat ringan sampai berat dan

dilewati sesar geologi, kedalaman regolit >2 m, kepadatan penduduk > 5.000

jiwa/km2, dan curah hujan >300 mm berturut-turut selama 3 hari, berpotensi

terjadinya longsor.

Hasil penelitian Harjadi (2013) di Kabupaten Banjarnegara, Karanganyar, dan

Purworejo, antara lain: dengan bentuk lahan dari Hilly (H) hingga Mountain

(Pegunungan, M), kemiringan lereng 38% hingga >85%; relief perbukitan hingga

pegunungan, batuan induk batuan beku lunak (Iw) pelapukan lanjut warna coklat;

(26)

regolit dalam (100-200 cm), jenis tanah masing-masing Inceptisols, Ultisols;

permeabilitas sedang sampai cepat (20 – 125 mm/jam), drainase agak baik; pori

mikro banyak; konsistensi basah plastis, kondisi lembab gembur dan kering agak

keras; tekstur lempung liat berpasir (SCL), liat berdebu (SiCl); struktur granular

kasar lemah, blocky sedang lemah; warna tanah coklat kemerahan hingga cokat

kehitaman; kandungan bahan organik rendah (<1%); nilai toleransi erosi (T)

tinggi (>25 ton/ha/th) dan nilai erodibilitas tanah (K) sangat peka (>0,56); dari

kondisi biofisik di tiga lokasi tersebut juga ditunjang oleh adanya curah hujan,

yaitu dengan semakin tinggi intensitas curah hujan maka semakin berpotensi

terjadinya longsor. Ketiga wilayah tersbut memiliki tingkat kerawanan longsor

yang tertinggi di Banjarnegara (skor 3,8), Purworejo (skor 3,6) dan Karanganyar

(skor 3,1). Ketiga lokasi termasuk daerah dengan formasi geologi sama dan

sama-sama dilewati garis sesar, sehingga faktor yang berpengaruh terhadap tingkat

longsor antara lain: curah hujan dan kemiringan lereng serta penggunaan lahan.

Penggunaan lahan sebagian besar tegalan dan hanya satu lokasi di pemukiman.

Hasil penelitian Nugroho dkk. (2014), menunjukkan bahwa faktor yang paling tinggi

dalam mempengaruhi ancaman longsor di Kecamatan Pejawaran Kabupaten

Banjarnegara adalah kemiringan lereng dan litologi atau jenis batuan penyusun lapisan

tanah.

Hasil penelitian Ahmad, dkk. (2014) di DAS Budong-Budong, Kabupaten

Mamuju Tengah, Provinsi Sulawesi Barat menunjukkan bahwa terjadinya longsor

banyak dipengaruhi oleh proses geologi dan sebagian oleh proses denudasi akibat

(27)

tanah/batuan pada lereng >40%. Tipe pergerakan longsor yang dominan adalah

tipe longsoran (sliding), dengan tipe material adalah rock slide dan debris slide

pada percampuran material tanah dan tufa. Pergerakan massa dapat dihambat

dengan penerapan metode vegetatif.

Secara sistematis faktor-faktor yang menentukan terjadinya longsor, analisis, dan

upaya mitigasinya tertera pada pada Gambar 1.

Mitigasi longsor dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor penyebab

longsor dan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder) antara lain: lembaga

pemerintah, lembaga swadaya masyarkat (LSM), pakar/praktisi, lembaga swasta,

dan masyarakat.

- Kondisi geologi, litologi, sesar/patahan/gawir

- Daya ikat/Kohesimelemah

- Daya dorong menguat

(28)

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka memberikan

informasi dalam upaya pencegahan bahaya longsor kepada:

(1)masyarakat, khususnya yang bermukim di kawasan yang berpotensi rawan

longsor;

(2)para pemangku kepentingan (stakeholder) seperti pemerintah daerah,

pemerintah pusat, lembaga swadaya masyarakat, praktisi, dan lain-lain yang

berkecimpung di bidang mitigasi dan penangangan longsor.

E. Hipotesis

(1)Longsor dipengaruhi oleh curah hujan kumulatif tiga harian, lereng terjal,

kondisi geologi dan adanya sesar/patahan/gawir, kedalaman regolit,

kepadatan penduduk, kondisi penutupan lahan, dan adanya infrastruktur

jalan yang memotong lereng merupakan pemicu longsor di Wilayah Kota

Bandar Lampung.

(2)Faktor yang paling berpengaruh terhadap longsor di Wilayah Kota Bandar

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Bencana Geologi, Pergerakan Tanah, dan Longsor

Proses-proses geologi baik yang berasal dari dalam bumi (endogen) maupun dari luar bumi (eksogen) dapat berdampak negatif bagi mahluk hidup yang berada di sekitarnya. Dampak negatif ini akibat timbulnya bahaya dan bahkan bencana geologi (geological hazards), seperti tanah longsor, letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, erosi, salinasi, dan banjir. Bencana geologi berdampak buruk bagi aktivitas manusia yaitu dapat menyebabkan korban jiwa dan kerugian material (harta benda) (Noor, 2006).

Selanjutnya menurut Noor (2006), pergerakan tanah berupa longsoran dari massa batuan/tanah adalah proses perpindahan suatu massa batuan/tanah akibat gaya gravitasi. Adanya gerakan tanah pada wilayah pemukiman yang dibangun di daerah perbukitan yang kurang memperhatikan kestabilan lereng, struktur batuan, dan proses geologi yang mungkin terjadi sering menimbulkan kerusakan

bangunan, rumah, dan fasilitas umum.

Menurut Harjadi (2013), proses terjadinya longsor apabila suatu wilayah dengan kelerengan yang curam (>45%),pada bagian bawah permukaan tanah tersebut bersifat kedap air yang dapat berperan sebagai bidang luncur. Sebelum

(30)

selama tiga hari berturut-turut, air hujan yang jatuh masuk ke dalam pori-pori tanah di atas lapisan batuan kedap sehingga tekanan tanah terhadap lereng meningkat (Paimin, dkk., 2009). Selanjutnya longsor terjadi jika tahanan geser massa tanah atau batuan lebih kecil dari tekanan geser pada sepanjang bidang longsoran yang disebabkan oleh adanya peningkatan kejenuhan air tanah (Pakasi, dkk., 2015).

Menurut Harjadi, dkk. (2007), longsoran merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut. Ada 6 jenis tanah longsor, yakni: (1) longsoran translasi, (2) longsoran rotasi, (3) pergerakan blok, (4) runtuhan batu, (5) rayapan tanah, dan (6) aliran bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban jiwa manusia adalah aliran bahan rombakan.

B. Tipe-tipe Gerakan Tanah/Longsor

Menurut Noor (2006), gerakan tanah dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu:

1. Gerakan tanah tipe aliran lambat (slow flowage), yang terdiri dari: a. Rayapan (creep), yaitu perpindahan material batuan dan tanah ke arah

lereng dengan pergerakan yang sangat lambat.

b. Rayapan tanah (soil creep), merupakan perpindahan material tanah ke arah kaki lereng.

(31)

d. Rayapan batuan (Rock creep), merupakan perpindahan ke arah kaki lereng dari blok-blok batuan.

e. Rayapan batuan glacier (Rock-glacier creep), merupakan perpindahan ke arah kaki lereng dari limbah batuan.

f. Solifluction/Liquefaction, merupakan aliran yang sangat perlahan ke arah kaki lereng dari material debris batuan yang jenuh air.

2. Gerakan tanah tipe aliran cepat (rapid flowage), terdiri dari: a. Aliran lumpur (mudflow), merupakan perpindahan dari material

lempung dan lanau yang jenuh air pada teras yang berlereng landai. b. Aliran tanah dan batuan (earthflow), merupakan perpindahan secara

cepat material debris batuan yang jenuh air.

c. Aliran cepat massa tanah dan batuan (Debris avalance), merupakan suatu aliran yang meluncur dari debris batuan pada celah yang sempit dan berlereng terjal.

3. Gerakan tanah tipe longsor (landslides), terdiri dari:

a. Nendatan (slump), merupakan longsoran ke bawah dari satu atau

beberapa bagian debris batuan, umumnya membentuk gerakan rotasional. b. Longsoran dari campuran massa tanah dan batuan (debris slide),

merupakan longsoran yang sangat cepat ke arah kaki lereng dari material tanah yang tidak terkonsolidasi (debris) dan hasil luncuran ini ditandai oleh suatu bidang rotasi pada bagian belakang bidang luncurnya.

(32)

d. Longsoran masa batuan (rock slide), merupakan luncuran dari massa batuan melalui bidang perlapisan, joint (kekar), atau permukaan patahan/sesar.

e. Gerakan jatuh bebas massa batuan (rock fall), merupakan luncuran jatuh bebas dari blok batuan pada lereng-lereng yang terjal.

f. Amblesan (subsidence), merupakan penurunan tanah yang disebabkan oleh pemadatan dan isostasi/gravitasi.

Menurut Arsyad (2010) dan Asdak (2002, dalam Banuwa, 2013), longsor merupakan suatu bentuk erosi dengan proses pengangkutan atau pemindahan tanah terjadi pada suatu saat dalam volume yang besar. Longsor terjadi sebagai akibat meluncurnya suatu volume tanah yang jenuh air di atas lapisan kedap air. Lapisan tersebut mengandung liat yang tinggi yang setelah jenuh air berperan sebagai bidang luncur.

Selanjutnya menurut Banuwa (2013), penyebab longsor adalah: (1) lereng yang cukup curam, (2) terdapat lapisan di bawah permukaan tanah yang agak kedap air dan lunak yang akan berperan sebagai bidang luncur; dan (3) terdapat cukup air dalam tanah sehingga lapisan tanah tepat di atas lapisan kedap air menjadi jenuh. Bentuk kejadian yang mirip longsor adalah tanah merayap (soil creep),

perbedaannya adalah massa tanah pindah ke bagian bawah pada bidang yang sama.

C. Faktor-faktor Penyebab Gerakan Tanah

(33)

1. Faktor yang bersifat pasif pada gerakan tanah adalah:

a. Litologi, yaitu material yang tidak terkonsolidasi atau rentan dan mudah meluncur karena basah akibat masuknya air ke dalam tanah.

b. Stratigrafi, merupakan lapisan batuan dan perselingan batuan antara batuan lunak dan batuan keras atau perselingan antara batuan yang permeabel dan batuan yang impermeabel.

(34)

c. Stratigrafi, merupakan lapisan batuan dan perselingan batuan antara batuan lunak dan batuan keras atau perselingan antara batuan yang permeabel dan batuan yang impermeabel.

d. Struktur Geologi, yaitu jarak antara rekahan/joint pada batuan patahan, zona hancuran, bidang foliasi, dan kemiringan lapisan batu yang besar. e. Topografi, terjadi pada lereng yang terjal atau vertikal.

f. Iklim yaitu perubahan temperatur tahunan yang ekstrim dengan frekuensi hujan yang intensif.

g. Material organik, yaitu kondisi lebat atau jarangnya vegetasi penutup lahan.

h. Faktor yang bersifat aktif pada gerakan tanah, antara lain: a. Gangguan yang tejadi secara alamiah ataupun buatan.

b. Lereng yang terjal akan semakin terjal karena terjadinya erosi air. c. Proses infilitrasi air hujan yang meresap ke dalam tanah, yang melebihi

kapasitasnya sehingga tanah menjadi jenuh air.

d. Getaran-getaran tanah yang diakibatkan oleh seismisitas atau kendaraan berat.

Selanjutnya Noor (2006) menyebutkan adanya faktor internal yang dapat menyebabkan terjadinya gerakan tanah adalah daya ikat (kohesi) tanah/batuan yang lemah sehingga butiran-butiran tanah/batuan mudah terlepas dari ikatannya dan meluncur ke bawah dengan menyeret butiran lainnya yang ada di sekitarnya serta membentuk massa yang lebih besar. Lemahnya daya ikat tanah ini

(35)

eksternal yang dapat mempercepat dan memicu terjadinya gerakan tanah antara lain: (1) sudut kemiringan lereng, (2) perubahan kelembaban tanah/batuan karena masuknya air hujan, (3) tutupan dan pola pengolahan lahan, (4) pengikisan oleh air tanah, (5) aktivitas manusia seperti penggalian dan sebagainya (Noor, 2006)

D. Faktor-faktor Alami Penyebab Longsor

Menurut Paimin, dkk. (2009), faktor utama penyebab longsor adalah, yaitu faktor alami dan faktor manajemen. Faktor alami merupakan faktor-faktor yang berasal dari kondisi alam, yaitu: (1) curah hujan, (2) kondisi geologi, (3) keberadaan patahan/sesar/gawir, (4) kedalaman tanah (regolit). Faktor manajemen terdiri dari: (1) penggunaan lahan, (2) infrastruktur jalan, dan (3) kepadatan pemukiman.

1. Curah Hujan

Terdapat dua tipe hujan pemicu terjadinya longsoran, yaitu hujan deras yang mencapai 70 – 100 mm per hari (Heath dan Sarosa,1988, dalam Subhan, 2008) dan hujan kurang deras namun berlangsung terus-menerus selama beberapa jam hingga beberapa hari yang kemudian disusul dengan hujan deras sesaat. Menurut Karnawati, dkk. (2011), seluruh kejadian bencana alam gerakan tanah di tahun 2001 umumnya terjadi setelah hujan turun selama beberapa jam hingga beberapa hari yang kemudian disusul hujan deras sesaat (1 – 2 jam). Selanjutnya

(36)

jenuh air. Selain itu, curah hujan yang tinggi menyebabkan rembesan air masuk dalam retakan tanah serta menyebabkan terjadinya genangan air. Wilayah Indonesia mengalami curah hujan maksimum pada bulan Oktober – Januari, sehingga apabila dihubungkan dengan kejadian gerakan tanah yang selalu terjadi pada musim hujan, maka sebagai pemicu penyebab terjadinya gerakan tanah adalah adanya curah hujan yang tinggi. Hujan deras yang terjadi merupakan salah satu pemicu terjadinya tanah longsor yang terjadi di Banjarnegara, Jawa Tengah (Kompas.com, 2014). Peristiwa longsor di Kelurahan Bumi Raya, Kecamatan Bumi Waras, Kota Bandar Lampung juga dipicu oleh hujan deras (Merdeka.com, 2013).

Peristiwa tanah longsor di suatu wilayah dengan kelerengan terjal (kemiringan >45%), pada umumnya didahului oleh kejadian hujan dengan intensitas hujan tinggi (Muntohar, 2009). Berbagai hasil penelitian menentukan batas curah hujan dalam hal intensitas curah hujan, durasi dengan rasio intensitas curah hujan, curah hujan kumulatif pada waktu tertentu, rasio curah hujan dengan curah hujan harian, curah hujan sebelumnya dengan curah hujan rata-rata tahunan, dan curah hujan harian dengan maksimum rasio curah hujan sebelumnya. Hasil penelitian

Wieczorek (1987) di La Honda California Amerika Serikat, longsor belum terjadi bila curah hujan kurang dari 28 cm (280 mm), karena kondisi ini belum cukup menyebabkan kejenuhan air tanah yang memicu longsor. Faktor yang penting selain intensitas hujan adalah lamanya hujan yang berpengaruh nyata terhadap longsor.

(37)

Kabupaten Pacitan. Curah hujan rata- rata pada Bulan Mei menunjukkan curah hujan sebesar 314 mm dan total curah hujan mencapai 184 mm atau mencapai 61% dari curah hujan rata-rata. Selanjutnya Sarya dkk. (2014), menetapkan kurva ambang batas intensitas (I)-durasi (D) curah hujan untuk tanah longsor di Desa Wonodadi Kulon tersebut dengan persamaan yaitu I = 52D-0,79. Penelitian Hasnawir (2012), curah hujan antara 101 sampai 298 mm terjadi hanya dalam 2 hari dengan intensitas curah hujan maksimum berkisar antara 41 mm/jam hingga 79 mm/jam, menunjukkan bahwa curah hujan di atas 50 mm per jam

menyebabkan tanah longsor di Sulawesi Selatan.

2. Kondisi Geologi

(38)

Gerakan tanah disebabkan oleh faktor penahan lateral yang hilang, kelebihan beban, getaran, tahanan bagian bawah hilang. Menurut Direktorat Geologi Tata Lingkungan (2000, dalam Subhan, 2008), faktor-faktor utama penyebab gerakan tanah terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2. Faktor-faktor utama penyebab gerakan tanah No. Faktor Penyebab Mekanisme Utama 1 Hilangnya penahan lateral a. Aktivitas erosi

b. Pelapukan

c. Kemiringan bertambah akibat gerakan d. Pemotongan bagian bawah

2 Kelebihan beban tanah a. Air hujan yang meresap pada tanah b. Penimbunan bangunan

c. Adanya genangan air di lereng bagian atas

3. Getaran a. Gempa bumi

b. Getaran karena ulah manusia 4 Hilangnya tahanan bagian

bawah

a. Pengikisan oleh air bawah

b. Pemotongan lereng bagian bawah c. Erosi

d. Penambangan/pembuatan terowongan. 5 Tekanan lateral a. Pengisian air di pori-pori antar butir

tanah

b. Pengembangan tanah

Sumber: Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung, 2000 (dalam Subhan, 2008).

Hasil Penelitian Ahmad, dkk. (2014) yang dilaksanakan di Sub DAS Salo Lebbo, DAS Budong-budong, Kabupaten Mamuju Tengah, menunjukkan proses aktif geomorfologi banyak dipengaruhi oleh proses struktur geologi dan sebagian oleh proses denudasi yang dihasilkan dari aktivitas iklim yang banyak memberikan pengaruh terhadap hasil akhir bentuk morfologi.

(39)

serpih, batuan malihan (metamorfik) akibat alterasi hidrotermal (kaolinisasi, argi-litisasi, dan sebagainya) merupakan batuan yang tidak stabil dan mudah bergerak jika bercampur air, yang sangat berperan sebagai massa/bidang luncur. Secara umum batuan-batuan tersebut mengeras dan retak-retak pada kondisi kering, sedangkan pada kondisi basah akan mengembang karena menyerap air sangat tinggi. Endapan koluvial merupakan campuran material berukuran lempung, bongkah yang bersifat lepas (loose), sebagai hasil transportasi secara gravitasi dan diendapan pada lereng purba (dahulu). Endapan koluvial dapat menyimpan air dan jika menumpang di atas lapisan tanah dan/atau batuan yang plastis sebagai bidang gelincir, maka massa tersebut akan bergerak (Sukresno, 2006).

i. Keberadaan Patahan/Sesar/Gawir

Sesar adalah kekar (joint) yang dinding sebelah menyebelahnya sudah saling bergeser satu sama lain disebabkan oleh gaya kompresi. Kekar (joint) adalah bagian permukaan atau bidang yang memisahkan batuan, dan sepanjang bidang tersebut belum terjadi pergeseran. Di samping merupakan bidang datar, kekar dapat pula merupakan bidang lengkung. Berdasarkan atas arah gerakan relatif bagian-bagian yang bergerak, sesar dapat diklasifikasikan menjadi sesar normal atau sesar turun (normal fault), sesar naik (reverse fault), sesar geser mendatar (strike-slip fault), sesar diagonal (diagonal fault, obligue-slip fault), Splintery fault (hinge fault) (Billings, 1953 dalam Sutoto, 2013) (Gambar 3).

(40)

tektonik tersebut bergerak dan saling bertumbukan sehingga lempeng Indo Australia menujam ke bawah lempeng EuroAsia dan menimbulkan gempa bumi, jalur gunung api, dan sesar atau patahan. Penujaman (subduction) lempeng IndoAustralia yang bergerak relatif ke utara dengan lempeng EuroAsia yang bergerak ke selatan menimbulkan jalur gempa bumi dan rangkaian gunung api aktif sepanjang Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara sejajar

a. Sebelum Terjadinya Sesar

b. Setelah terjadinya sesar 1. Sesar Normal: α = dip = kemiringan bidang sesar; β = 90˚; t=throw = AB;

h=heave=BC

2. Reverse Fault = sesar terbalik 3. Sesar Strike-slip dengan gerakan horisontal

4. Sesar Oblique-slip, sesar dengan gerakan vertikal dan horisontal

5.Sesar Hinge: Sebuah sesar dengan perpindahan menerobos keluar sepanjang bidang patahan dan berakhir pada titik tertentu Gambar 3. Jenis-jenis sesar

(41)

dengan jalur penujaman kedua lempeng. Di samping itu jalur gempa bumi juga terjadi sejajar dengan jalur penujaman, maupun pada jalur sesar regional seperti Sesar Sumatera/Semangko (Harjadi, dkk, 2007).

Pegunungan yang terbentuk akibat proses penujaman lempeng ini merupakan morfologi muda dengan batuan penyusun berupa material gunung api muda yang mengalami pelapukan kuat akibat kondisi iklim tropis. Keadaan ini sangat rawan terjadinya bencana tanah longsor serta banjir khususnya banjir bandang. Perubahan lingkungan yang drastis terutama perubahan dalam pemanfaatan lahan khususnya dari areal hutan alam menjadi daerah budidaya (perkebunan, pertanian, ladang) dan pemukiman yang berpengaruh besar terhadap terjadinya bencana pada waktu belakangan ini.

Hasil penelitian Ahmad, dkk. (2014) tentang pola longsoran Di Sub DAS Salo Lebbo, DAS Budong-Budong, Kabupaten Mamuju Tengah, Provinsi Sulawesi Barat, yang menunjukkan adanya struktur geologi di daerah penelitian adalah sesar mendatar (strike slip fault) yang berpasangan berarah NE-SW (Timur Laut-Barat Daya) dan NW-SE (Laut-Barat Laut-Tenggara) dengan arah tegasan utama adalah N-S (Utara-Selatan). Sebagian besar litologi telah mengalami pengkekaran dan satuan tufa adalah litologi yang paling kuat mengalami penurunan shear strength; Longsor yang terjadi di lapangan umumnya dipicu oleh pergerakan satuan tufa pada lereng >40%; Litologi yang paling besar mengalami penurunan

shear strength di lokasi penelitian adalah satuan tufa dan menjadi pemicu

(42)

pada litologi yang berbeda jenis dengan tingkat kestabilan litologi lebih massif pada bagian bawah. Pergerakan massa tanah akibat kerentanan batuan dapat dihambat dengan penerapan metode vegetatif.

j. Kedalaman Tanah (Regolit)

Menurut Hardjowigeno (2007), tanah (soil) adalah kumpulan dari benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air, dan udara, dan merupakan media tumbuhnya tanaman.

Proses pembentukan tanah berasal pelapukan batuan induk, dari batuan keras (batuan beku, batuan sedimen tua, batuan metamorf) yang melapuk, atau dari bahan-bahan yang lebih lunak dan lepas seperti abu vulkan, bahan endapan baru dan lain-lain, menjadi bahan induk. Proses pelapukan terhadap permukaan batuan yang keras menjadi hancur dan berubah menjadi bahan yang lunak yang disebut regolit. Dalam definisi regolit adalah bahan-bahan lepas (termasuk tanah) di atas batuan yang keras.

(43)

Semakin dalam regolit yang mengandung liat (clay) maka semakin berpeluang sebagai penyebab terjadinya longsor tanah (Noor, 2006).

Menurut Sukresno (2006) tanah sebagai material yang bergerak dalam kejadian gerakan massa, memiliki sifat yang beragam. Secara umum, sifat tanah utama yang berperan pada gerakan tanah adalah ketebalan solum, batas cair, dan kekuatan geser. Tanah yang solumnya tebal, batas cair dan kekuatan geser yang kecil berpotensi untuk mengalami gerakan tanah. Kejadian gerakan massa tanah memerlukan adanya pemicu dari faktor lain yaitu curah hujan, kemiringan lereng, dan penggunaan lahan. Lereng dengan tumpukan tanah yang lebih tebal relatif lebih rentan terhadap gerakan tanah. Air hujan/air permukaan yang meresap ke dalam tanah dapat meningkatkan penjenuhan sehingga terjadi tekanan air yang merenggangkan ikatan butir-butir tanah. Apabila didukung oleh interaksi dengan kemiringan lereng dan parameter lainnya mengakibatkan massa tanah terangkut oleh aliran air dalam lereng.

E. Faktor-Faktor Manajemen Penyebab Longsor

(44)

latosol (kedalaman tanah sekitar 3 m) dengan kemiringan lereng relatif besar. Dua kondisi rentan longsor ini diperparah dengan kenyataan bahwa pada lahan pertanian ini tidak disertai tanaman keras (pohon) sehingga tidak ada mekanisme pengikatan agregat tanah oleh sistem perakaran pohon (Asdak, 2003 dalam Subhan, 2008).

Menurut Sukresno (2006), sawah dan kolam-kolam berpotensi untuk meresapkan air ke dalam lereng, sehingga tingkat kejenuhan dan tekanan hidrostatis dalam lereng meningkat. Pohon yang berakar serabut dan tanaman pertanian yang dibudidayakan dapat menggemburkan tanah, sehingga air dapat mudah meresap ke dalam dan meningkatkan tekanan hidrostatis air dalam tanah. Pohon berakar tunggang dapat sebagai penambah beban pada lereng miring yang memicu terjadinya gerakan massa lereng, apabila lapisan tanahnya tebal, akar tidak mengikat batuan dasar atau minimal pada horison C (regolit) tanah.

Vegetasi merupakan faktor yang penting dalam menjaga kemantapan lahan. Hilangnya tumbuhan atau pohon-pohon di daerah pegunungan akan

mempengaruhi proses longsor. Akar tumbuhan berfungsi mengikat butir-butir tanah sekaligus menjaga pori-pori tanah, sehingga infiltrasi air hujan berjalan lancar (Naryanto, 2001 dalam Subhan, 2008). Menurut Hirnawan (1997 dalam Subhan, 2008), vegetasi berpengaruh positif terhadap ketahanan massa tanah melalui penstabilan agregat tanah, sehingga pada musim hujan penurunan kohesi maupun sudut geser dalam diperkecil (penurunannya berkurang).

(45)

mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kanopi mengurangi kekuatan merusak butir hujan, (3) akar meningkatkan stabilitas struktur tanah dan

pergerakan tanah, (4) transpirasi mengakibatkan kandungan air tanah berkurang. Keseluruhan hal ini dapat mencegah dan mengurangi terjadinya erosi dan longsor.

Menurut Paimin, dkk. (2009), adanya infrastruktur seperti jalan yang memotong lereng atau lereng yang terpotong jalan dapat menyebabkan longsor tanah. Sedangkan suatu wilayah berlereng yang dihuni penduduk, semakin padat

penduduk wilayah tersebut maka akan semakin tinggi kerawanan wilayah tersebut terhadap longsor.

F. Identifikasi Kerawanan Tanah Longsor

Paimin, dkk. (2009) menerangkan proses identifikasi daerah rawan tanah longsor melalui peta dan data yang tersedia, secara skematis seperti Diagram yang tertera pada Gambar 4. Selanjutnya Paimin, dkk., (2009) menyatakan bahwa untuk mengidentifikasi daerah yang rentan tanah longsor dapat menggunakan Formula Kerentanan Tanah Longsor (KTL), sebagai berikut:

KTL =0,25(HHK)+0,15(LH)+0,1(G)+0,05(PS)+0,05(KTR)+0,20PL+0,15(I)+0,05(KP)

Keterangan: HHK = 3 hari hujan kumulatif; LH = lereng lahan; G = Geologi (batuan); PS = keberadaan patahan/sesar/gawir; KTR = Kedalaman tanah regolit PL = penggunaan lahan; I = Infrastruktur Jalan; KP = kepadatan penduduk

G. Wilayah Kota Bandar Lampung

1. Batas Administratif dan Jumlah Penduduk

(46)

Gambar 4. Diagram alir identifikasi kerawanan tanah longsor Sumber: Paimin, dkk. (2009)

pada koordinat 5º20’– 5º30’ Lintang Selatan dan 105º28’– 105º37’ Bujur Timur (Gambar 5), dengan batas wilayah sebagai berikut:

(1) di sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan;

(2) di sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Lampung;

(3) di sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran;

(4) di sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tanjungbintang, Kabupaten Lampung Selatan.

Kota Bandar Lampung memiliki luas wilayah 197,22 km2 yang terdiri dari 20 kecamatan. Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk tiap km2 secara rinci disajikan pada Tabel 3.

Infrastruktur (Peta rupa bumi)

Daerah Rawan Longsor

Kelas Lereng

Kepadatan Pemukiman, Data Penduduk

Regolit (Peta Tanah)

Hujan 3-Harian(maksimum)

Geologi dan Sesar (Peta Geologi)

(47)

Wilayah Kota Bandar Lampung secara administrasi terbagi dalam 20 kecamatan, dengan jumlah kelurahan sebanyak 126 kelurahan, total luas wilayah 197,2 km2, jumlah penduduk 942.039 jiwa, serta kepadatan penduduk sebesar 4.777 jiwa per km2. Letak Ibukota Kecamatan di Kota Bandar Lampung ketinggian antara 50 – 250 meter di atas pemukaan laut (dpl).

Gambar 5. Peta administratif wilayah kota Bandar Lampung Sumber: Bappeda Kota Bandar Lampung (2013).

Tabel 3. Kecamatan, ibukota kecamatan, ketinggian dan luas wilayah, jumlah penduduk, dan kepadatan penduduk di wilayah Kota Bandar Lampung.

No. Kecamatan Ibukota

(48)

Ketinggi-Tabel 3 (Lanjutan).

No. Kecamatan Ibukota

Ketinggi-an 15. Rajabasa Rajabasa

Nunyai

100 7 13,53 46.210 3.415 16. Tanjung Senang Tanjung

Senang Sumber: BPS Kota Bandar Lampung (2014).

2. Iklim

(49)

dominan dari Barat (Nopember-Januari), Utara (Maret-Mei), Timur

(Juni-Agustus), dan Selatan (September-Oktober) (BPS Kota Bandar Lampung, 2014).

Parameter iklim yang sangat relevan untuk perencanaan wilayah perkotaan adalah curah hujan maksimum, karena terkait langsung dengan kejadian banjir dan desain sistem drainase. Berdasarkan data selama 14 tahun yang tercatat di stasiun klimatologi Pahoman dan Sumur Putri (Kecamatan Teluk Betung Utara), dan Sukamaju Kubang (Kecamatan Panjang), curah hujan maksimum terjadi antara bulan Desember sampai dengan April, dan dapat mencapai 185 mm/hari (Tabel 4) (id.wikipedia.org, 2015).

Tabel 4. Data suhu dan presipitasi (curah hujan) di Kota Bandar Lampung

Bulan

Menurut Wikipedia.org (2015), topografi Kota Bandar Lampung sangat beragam, mulai dari dataran pantai sampai kawasan perbukitan hingga bergunung, dengan ketinggian permukaan antara 0 sampai 500 m daerah dengan topografi perbukitan hinggga bergunung membentang dari arah Barat ke Timur dengan puncak

(50)

• Wilayah pantai terdapat disekitar Teluk Betung dan Panjang dan pulau di bagian Selatan.

• Wilayah landai/dataran terdapat disekitar Kedaton dan Sukarame di bagian Utara.

• Wilayah perbukitan terdapat di sekitar Teluk Betung bagian Utara.

• Wilayah dataran tinggi dan sedikit bergunung terdapat disekitar Tanjung Karang bagian Barat yaitu wilayah Gunung Betung, Sukadana Ham, dan Gunung Dibalau serta perbukitan Batu Serampok di bagian Timur.

Berdasarkan data ketinggian tempat yang ada, Kecamatan Kedaton dan Rajabasa merupakan wilayah yang tertinggi yaitu 700 m dpl dibandingkan dengan

kecamatan-kecamatan lainnya. Kecamatan Teluk Betung Selatan dan Kecamatan Panjang terletak pada ketinggian 50 mdpl atau kecamatan dengan ketinggian paling rendah/minimum (http://id.wikipedia.org, 2015).

Berdasarkan Peta Kemiringan Lahan yang diterbitkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bandar Lampung (2013), luasan wilayah daratan dengan kondisi kemiringan lereng, yaitu: (1) wilayah dengan kondisi datar (kemiringan 0 – 5%) 7.137,00 ha (36,19%); (2) wilayah perbukitan (5 – 15%) 6.301,39 ha (31,95%), (3) perbukitan sedang (kemiringan 15 – 40%) 4.558,74 ha (23,27%); dan (4) perbukitan terjal (kemiringan>40%) 1,694,77 ha (8,59%).

(51)

Tanjung Karang Barat 107,07 ha; (6) Kecamatan Teluk Betung Barat 220,40 ha; dan (7) Kecamatan Teluk Betung Timur 317,79 ha.

4. Geologi Wilayah Kota Bandar Lampung

Menurut Mangga dkk. (1994), peta geologi wilayah Kotamadya Bandar Lampung masuk dalam Lembar Tanjungkarang. Secara fisiografi, Wilayah Kota Bandar Lampung dengan satuan morfologi dataran rendah dan perbukitan bergelombang, wilayah ini termasuk wilayah yang terletak dalam jalur iklim Indo-Australia, bercirikan suhu yang umumnya tinggi, kelembaban dan curah hujan yang berubah-ubah. Musim hujan berlangsung dari Oktober /November sampai Maret/April dan musim kemarau dari Juni sampai September. Berdasarkan Peta Geologi (Mangga,dkk., 1994), uraian geologi wilayah Kota Bandar Lampung tertera pada Tabel 5.

Tabel 5. Uraian kode geologi wilayah Kota Bandar Lampung

No. Kode Umur Satuan Litologi

1. Pzgk Paleozoikum Kompleks Gunung Kasih

Runtunan sedimen malih dan batuan beku-malih terdiri dari batuan kuarsit, pualam, dan gneis sedikit migmatit. Jenis batuan kuarsit berwarna putih kecoklatan sampai kemerahan, berbutir sedang sampai kasar, tektur granoblastik jelas, sedimen malih tak murni, kuarsa, feldspr, mika serisit, mineral gelap umumnya terubah oksida besi.

2. Pzgs Paleozoikum Kompleks Gunung Kasih

(52)

Tabel 5. (Lanjutan).

Tufa riolit-dasit dan vulkanoklastika tufan. Tufa berbatu apung, kelabu kekuningan sampai putih kelabu, berbutir sedang sampai kasar, terpilah buruk (poorly sorted), terutama terdiri dari batu apung dan keratan batu apung. Tufa putih sampai putih kecoklatan, riolitan, setempat gunung api, relatif keras terkekarkan (relatively hard and well joined). Batupasir tufan, putih kusam kekuningan, berbutir halus- sedang, terpilah buruk, membundar tanggung, sebagian berbatu apung, agak lunak, sering memperlihatkan struktur silang siur, umumnya bersusun dasit.

Lava andesit-basal, breksi dan tufa. Lava, kelabu kehitaman, afantik dan porfirtik dengan fenokris plagioklas dan augit dalam massa dasar kaca gunungapi dan/atau felspar mikrolit. Terdapat sedikit olivin di dalam basal.

Breksi, kelabu kehitaman, terpilah buruk, kepingan menyudut batuan gunung api berukuran kerakal (volcanic pebble) sampai bongkah.

Tufa, tufa batuan dan tufa kacuk. Tufa batuan, kelabu kekuningan-kecoklatan, terutama terdiri dari lava, kaca gunung api dan bahan karbonan dalam massa dasar tufan. Tufa kacuk: putih kusam sampai kelabu, terpilah buruk, kepingan lava menyudut membundar tanggung, oksida besi dan bahan karbonan dalam massa dasar tufa pasiran.

5. Qa Holosen Aluvium Bongkahan, kerikil, pasir, lempung (lanau), lumpur, dan liat.

Granit, merah dengan bintik hijau, abu-abu

kehijauan, porfirtik, retak-retak, terdiri dari kuarsa, ortoklas, biotit dan hornblende. 7. Tpoc

Paleosen-Oligosen awal

Formasi Campang

Perselingan batuan liat, serpih, kalkarenit, tufa dan breksi. Batuan liat, kelabu kehitaman, padat, dan berlapis baik, tebal 5 – 10 cm, perlapisan sejajar dan menggelombang.

Serpih, hitam-kelabu kecoklatan, padat dan

berlapis baik 5 – 10 cm, perlapisan internal.

Kalkarenit, kelabu kecoklatan, berlapis baik dan

terkekarkan, memperlihatkan struktur perlapisan menggelombang internal dan perlapisan sejajar.

Kalsilutit, kelabu kehitaman berlapis baik tebal 2 – 15 cm, perlapisan sejajar.

(53)

Tabel 5. (Lanjutan).

No. Kode Umur Satuan Litologi

padat dan stempat terkersikan.

Batuan lempung, kelabu kehijauan, padat. 8. Tpot Paleosen –

Oligosen Awal

Formasi Tarahan

Tufa dan breksi dikuasai oleh sisipan tufit.

Tufa, ungu dan hijau muda, relatif pejal tetapi terkekarkan, dan khas terabak mengandung struktur mata ikan.

Breksi, kelabu kekuningan kecoklatan, keras

terpilah buruk, terdiri dari kepingan lava andesit menyudut, batuliat dan batu lempung (lanau). Setempat terkersikkan.

Tufit, putih, berbutir sangat halus, padat dan berlapis baik tebal 5 – 10 cm.

Sumber: Mangga, dkk. (1994).

Peta Geologi Wilayah Kota Bandar Lampung tertera pada Gambar 6. Peta tersebut berasal dari Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Bandung (Mangga, dkk.,1994).

5. Hidrologi

Menurut http://id.Wikipedia.org (2015), dilihat secara hidrologi maka Kota Bandar Lampung mempunyai 2 sungai besar yaitu Way Kuripan dan Way Kuala, dan 23 sungai-sungai kecil. Semua sungai tersebut berada dalam wilayah Kota Bandar Lampung dan bermuara di Teluk Lampung.

Dilihat dari akuifer yang dimilikinya, air tanah di Kota Bandar Lampung dapat dibagi dalam beberapa bagian berdasarkan pourusitas dan permaebilitas yaitu:

• Akuifer dengan produktivitas sedang, berada di kawasan pesisir Kota Bandar

Lampung, yaitu di Kecamatan Panjang, Teluk Betung Selatan, dan Teluk Betung Barat.

• Air tanah dengan akuifer produktif, berada di Kecamatan Kedaton dan

(54)
(55)

• Akuifer dengan produktivitas sedang dan penyebaran luas, berada di bagian utara Kecamatan Kemiling, bagian utara Tanjung Karang Barat, Tanjung Karang Pusat, Teluk Betung Utara, dan sebagian kecil Kecamatan Tanjung Karang Timur.

• Akuifer dengan produktivitas tinggi dan penyebaran luas, berada di sebagian besar Kecamatan Rajabasa dan Tanjung Karang Timur.

• Akuifer dengan produktivitas rendah, berada di bagian utara Kecamatan Panjang, Tanjung Karang Timur, dan bagian barat Kecamatan Teluk Betung Selatan.

• Air tanah langka, berada di Kecamatan Panjang.

Kondisi resapan air di Wilayah Kota Bandar Lampung tertera pada Tabel 6.

Tabel 6. Kondisi resapan air di wilayah Kota Bandar Lampung

Zona Kategori Serapan Wilayah

I Recharge Area Kemiling dan Teluk Betung Barat

II Area Penyangga Kecamatan Tanjung Karang Barat, Tanjung Karang Timur, Panjang, Tanjung Karang Pusat, Teluk Betung Utara, dan Teluk Betung Selatan.

III Resapan Rendah Kedaton, Sukarame, Tanjung Karang Barat IV Resapan Sedang Tanjung Karang Pusat, Sukabumi, Tanjung

Karang Timur

V Resapan Tinggi Sukabumi dan Sukarame VI Kawasan Dipengaruhi

Air Laut

Pesisir Teluk Lampung, Teluk Betung Selatan, Panjang, Teluk Betung Barat Sumber: Bappeda Kota Bandar Lampung (2013)

H. Mitigasi Longsor

(56)

fasilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat (Ristanto, 2006, dalam Sukresno, 2006).

Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007

menyatakan, bencana alam antara lain berupa gempa bumi karena alam, letusan gunung berapi, angin topan, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan/lahan karena faktor alam, hama penyakit tanaman, epidemi, wabah, kejadian luar biasa, dan kejadian antariksa/benda-benda angkasa (Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia, 2007.)

Mitigasi bencana adalah tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mereduksi, mengurangi, dan meredakan dampak bencana; yang dilakukan sebelum, saat dan pascabencana; bersifat sangat komplek; dan dapat berupa kegiatan non fisik dan kegiatan fisik (Ashari, 2006). Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 (Menteri Hukum dan HAM, 2007) tentang

Penanggulangan Bencana, pada Pasal 47, Ayat (1) menyebutkan: mitigasi dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Pada Ayat (2), Kegiatan mitigasi dilakukan melalui:

a. pelaksanaan penataan ruang;

b. pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan; dan c. penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara

konvensional maupun moderen.

Menurut Harjadi, dkk., (2007), mitigasi adalah serangkaian upaya untuk

(57)

Selanjutnya menurut Somantri (2008), mitigasi bencana longsor adalah suatu usaha memperkecil jatuhnya korban manusia dan atau kerugian harta benda akibat peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, manusia, dan oleh keduanya yang mengakibatkan korban, penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana dan fasilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat.

Menurut Somantri (2008), beberapa tindakan manusia yang dapat menyebabkan longsor antara lain:

(1) Menebang pohon di lereng pegunungan;

(2) Mencetak sawah dan membuat kolam pada lereng bagian atas di dekat pemukiman;

(3) Mendirikan pemukiman di tebing yang terjal; (4) Melakukan penggalian di bawah tebing yang terjal.

Menurut Somantri (2008), mitigasi bencana longsor bertujuan untuk meminimumkan dampak bencana tersebut, salah satunya dengan kegiatan peringatan dini (early warning). Mitigasi bencana meliputi sebelum, saat terjadi, dan setelah bencana, sebagai berikut:

1. Sebelum bencana antara lain dengan peringatan dini (early warning system) secara optimal dan terus menerus pada masyarakat secara:

a. Mendata daerah rawan longsor berdasarkan tingkat kerentanannya; b. Memberi tanda khusus pada daerah rawan longsor;

c. Memanfaatkan peta-peta kajian tanah longsor; d. Pemukiman sebaiknya menjauhi tebing;

e. Melakukan reboisasi pada hutan yang pada saat ini dalam keadaan

(58)

f. Membuat terasering atau sengkedan pada lahan yang memiliki kemiringan yang relatif curam;

g. Membatasi lahan untuk pertanian;

h. Membuat saluran pembuangan air menurut kontur tanah; i. Menggunakan teknik penanaman dengan sistem kontur tanah;

j. Waspada gejala tanah longsor (retakan, penurunan tanah) terutama di musim hujan.

2. Saat bencana, berupaya menyelamatkan diri dan ke arah mana jalur evakuasi yang harus diketahui oleh masyarakat.

3. Sesudah bencana antara lain, kegiatan pemulihan (recovery) dan masyarakat harus dilibatkan, yaitu:

a. Penyelamatan korban secepatnya ke daerah yang lebih aman. b. Penyelamatan harta benda yang mungkin masih bisa diselamatkan. c. Menyiapkan tempat-tempat penampungan sementara atau tenda-tenda

darurat bagi para pengungsi. d. Menyediakan dapur-dapur umum.

e. Menyediakan air bersih dan sarana kesehatan.

f. Memberikan dorongan semangat bagi para korban bencana agar korban tersebut tidak frustrasi dan lain-lain.

g. Koordinasi secepatnya dengan aparat pengendali bencana.

(59)

a. Adanya retakan-retakan tanah pada lahan (pertanian, hutan, kebun, pemukiman) dan atau jalan yang cenderung semakin besar, dengan mudah bisa dilihat secara visual.

b. Adanya penggelembungan/amblesan pada jalan aspal - terlihat secara visual. c. Pemasangan penakar hujan di sekitar daerah rawan tanah longsor. Apabila curah

hujan kumulatif secara berurutan selama 2 hari melebihi 200 mm sedangkan hari ke-3 masih nampak terlihat akan terjadi hujan maka masyarakat harus waspada. d. Adanya rembesan air pada kaki lereng, tebing jalan, tebing halaman rumah

(sebelumnya belum pernah terjadi rembesan) atau aliran rembesannya (debit) lebih besar dari sebelumnya.

e. Adanya pohon yang posisinya condong kearah bawah bukit.

f. Adanya perubahan penutupan lahan (dari hutan ke non-hutan) pada lahan berlereng curam dan kedalaman lapisan tanah sedang.

g. Adanya pemotongan tebing untuk jalan dan atau perumahan pada lahan berlereng curam dan lapisan tanah dalam.

Menurut Harjadi, dkk. (2007), upaya mitigasi dan pengurangan bencana dengan cara:

1. Hindarkan daerah rawan bencana untuk pembangunan permukiman dan fasilitas utama lainnya.

2. Mengurangi tingkat keterjalan lereng.

(60)

luar lereng. Jadi drainase harus dijaga agar jangan sampai tersumbat atau meresapkan air ke dalam tanah).

4. Pembuatan bangunan penahan, jangkar (anchor) dan pilling.

5. Terasering dengan sistem drainase yang tepat (drainase pada terasteras dijaga jangan sampai menjadi jalan meresapnya air ke dalam tanah), karena air yang meresap ke dalam tanah dapat menjenuhi regolit dan dapat memicu longsor. 6. Penghijauan dengan tanaman yang sistem perakarannya dalam dan jarak

tanam yang tepat (khusus untuk lereng curam, dengan kemiringan lebih dari 40 derajat atau sekitar 80 % sebaiknya tanaman tidak terlalu rapat serta diselingi dengan tanaman-tanaman yang lebih pendek dan ringan, di bagian dasar ditanam rumput).

7. Sebaiknya dipilih tanaman lokal yang digemari masyarakat, dan tanaman tersebut harus secara teratur dipangkas rantingrantingnya/ cabang-cabangnya atau dipanen.

8. Khusus untuk aliran butir dapat diarahkan dengan pembuatan saluran. 9. Khusus untuk runtuhan batu dapat dibuatkan tanggul penahan baik berupa

bangunan konstruksi, tanaman maupun parit. 10. Pengenalan daerah yang rawan longsor.

11. Identifikasi daerah yang aktif bergerak, dapat dikenali dengan adanya rekahan- rekahan berbentuk ladam (tapal kuda).

12. Hindarkan pembangunan di daerah yang rawan longsor. 13. Mendirikan bangunan dengan fondasi yang kuat. 14. Melakukan pemadatan tanah disekitar perumahan.

(61)

16. Pembuatan tanggul penahan untuk runtuhan batuan (rock fall).

17. Penutupan rekahan-rekahan diatas lereng untuk mencegah air masuk secara cepat kedalam tanah.

18. Pondasi tiang pancang sangat disarankan untuk menghindari bahaya

liquifaction.

19. Pondasi yang menyatu, untuk menghindari penurunan yang tidak seragam (differential settlement).

20. Utilitas yang ada didalam tanah harus bersifat fleksibel. 21. Dalam beberapa kasus relokasi penduduk sangat disarankan.

I. Pengambilan Keputusan dalam Upaya Mitigasi Bahaya Longsor

Berdasarkan informasi faktor-faktor penyebab tanah longsor, maka diperlukan upaya-upaya mitigasi sebagaimana diuraikan di atas (Paimin, dkk., 2009; Harjadi, dkk., 2007). Kegiatan mitigasi ini merupakan upaya pengendalian faktor-faktor penyebab dan penanganan bahaya longsor yang mungkin terjadi di wilayah rawan longsor di Kota Bandar Lampung. Prosedur yang dapat dilakukan adalah dengan merumuskan strategi dalam pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan dengan menggunakan metode analisis hierarki proses (AHP) dengan bantuan perangkat lunak Expert Choice. Analisis ini digunakan untuk menentukan prioritas strategi pengendalian tanah longsor di Wilayah Kota Bandar Lampung. Analisis AHP dilakukan dengan cara memberikan nilai kemenarikan relatif (Attractive Score) pada masing-masing faktor.

Gambar

Tabel 1.  Peristiwa longsor di  Kota Bandar Lampung 2010 – 2015
Gambar 1.  Sistematika analisis dan mitigasi longsor di Bandar Lampung
Gambar 2.  Tipe-tipe gerakan tanah Sumber: Noor (2006)
Tabel 2. Faktor-faktor utama penyebab gerakan tanah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan fokus pekerjaan pada galangan harus melihat kondisi pasar dan fasilitas yang ada di galangan, untuk menjadi galangan khusus reparasi PT DPS mengambil pasar reparasi

Segenap dosen Prodi DIII Kebidanan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo yang telah memberikan saran kepada peneliti dalam menyelesaikan Karya Tulis

Penerapan Prinsip Syariah Dalam Proses Underwriting BUMIDA Syariah Prinsip shari&gt;‘ah underwriting perusahaan asuransi syariah khususnya BUMIDA, diterapkan dalam proses

gambaran pola asuh orangtua pada anak usia dini dari sisi

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih karunia-Nya, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas Perencanaan Unit Pengolahan Pangan (PUPP) dengan

Dalam mewujudkan visi dedikasi kepada anak-anak di wilayah pedesaan Tegalweru, Sanggar Baca PANDA membangun kemitraan jaringan dengan sejumlah organisasi yang

Judul Skripsi : Pengaruh E-Service Quality, E-Recovery Service Quality Dan Perceived Information Quality Terhadap Loyalty Intentions Dengan Mediasi Perceived Value

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar menganggap trend gaya busana di era modern yang ada saat ini memang