• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENDUDUKAN KAWASAN HUTAN SECARA TIDAK SAH (Studi Perkara Nomor 807/Pid.B/2013/PN.TK.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENDUDUKAN KAWASAN HUTAN SECARA TIDAK SAH (Studi Perkara Nomor 807/Pid.B/2013/PN.TK.)"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

Forest conservation and integrated a conscious effort to develop strategies to deal with, avoid, and resolve environmental degradation and to organize programs of environmental conservation and environmentally sound development. The problem of this research are: (1) How is criminal liability toward illegal forest occupation crime? (2) What is the basic consideration of judges in imposing criminal law against illegal forest occupation crime?

This research uses normative and empirical juridical approach. Data collected by literature studies and field studies. Qualitative data were analyzed to obtain the conclusion of the research.

The results of this research indicate that: (1) The criminal liability toward illegal forest occupation crime based with any element of error, the defendant's ability to be responsible, there is no justification and forgiving for a defendant in a criminal offense occupation illegal forest. (2) Basic considerations judges in imposing criminal law against the criminal occupation of forest land illegally in the form of things that incriminate defendant's devastating investment, has been convicted and is a public figure, but the driving force people to commit acts contrary to the provisions of the applicable legislation. The things that relieve the defendant be polite in the trial and the defendant does not complicate the proceedings. Suggestions of research are: (1) Law enforcement officials and the Government of Lampung Province, in particular the Department of Forestry Office of Lampung Province advised to optimally maintain and carry out the mandate of the Forestry Law in anticipation of forest crime. (2) Law enforcement officials should optimize punishment, namely the police speed up the investigation process and submission of the case file to the Public Prosecutor, Attorney Parties by filing claims and charges with a maximum penalty, and the Court by way of a heavy verdict against perpetrators of forest crime, as a form of criminal liability.

(2)

TINDAK PIDANA PENDUDUKAN KAWASAN HUTAN SECARA TIDAK SAH

(Studi Perkara Nomor 807/Pid.B/2013/PN.TK.) Oleh

FERY WIRAWANSYAH

Pelestarian hutan merupakan upaya sadar dan terpadu untuk mengembangkan strategi untuk menghadapi, menghindari, dan menyelesaikan penurunan kualitas lingkungan dan untuk mengorganisasikan program-program pelestarian lingkungan dan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Permasalahan penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pendudukan kawasan hutan secara tidak sah? (2) Apakah dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pendudukan kawasan hutan secara tidak sah?

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris. Data dikumpulkan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif untuk mendapatkan kesimpulan penelitian.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pendudukan kawasan hutan secara tidak sah didasarkan dengan adanya unsur kesalahan, kemampuan terdakwa untuk bertanggungjawab, tidak ada alasan pembenar dan pemaaf bagi terdakwa dalam melakukan tindak pidana pendudukan kawasan hutan secara tidak sah. (2) Dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pendudukan kawasan hutan secara tidak sah berupa hal-hal yang memberatkan yaitu perbuatan terdakwa sangat meresahkan dunia investasi, sudah pernah dipidana dan merupakan tokoh masyarakat, tetapi menjadi penggerak masyarakat untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hal-hal yang meringankan yaitu terdakwa bersikap sopan dalam persidangan dan terdakwa tidak mempersulit jalannya persidangan.

Saran penelitian adalah: (1) Aparat penegak hukum dan Pemerintah Provinsi Lampung, khususnya Dinas Dinas Kehutanan Provinsi Lampung disarankan untuk secara optimal mempertahankan dan melaksanakan amanat Undang-Undang Kehutanan dalam rangka mengantisipasi tindak pidana kehutanan. (2) Aparat penegak hukum hendaknya mengoptimalkan pemidanaan, yaitu pihak Kepolisian mempercepat proses penyidikan dan penyerahan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum, Pihak Kejaksaaan dengan cara mengajukan tuntutan dan dakwaan dengan ancaman hukuman yang maksimal, dan Pengadilan dengan cara menjatuhkan vonis yang berat terhadap pelaku tindak pidana kehutanan, sebagai wujud pertanggungjawaban pidananya.

(3)

TINDAK PIDANA PENDUDUKAN KAWASAN HUTAN SECARA TIDAK SAH

(Studi Perkara Nomor 807/Pid.B/2013/PN.TK.)

Oleh

FERY WIRAWANSYAH

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM

Pada

Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENDUDUKAN KAWASAN HUTAN

SECARA TIDAK SAH

(Studi Perkara Nomor 807/Pid.B/2013/PN.TK.)

(Tesis)

Oleh

FERY WIRAWANSYAH NPM 1322011015

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Pemikiran ... 9

E. Metode Penelitian ... 16

F. Sistematika Penulisan ... 20

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 21

A. Pertanggungjawaban Pidana ... 21

B. Penegakan Hukum Pidana... 29

C. Tindak Pidana Kehutanan ... 38

D. Penanggulangan Tindak Pidana ... 44

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 55

A. Karakteristik Narasumber ... 55

B. Gambaran Umum Perkara Nomor Perkara Nomor 807/Pid.B/ 2013/PN.TK ... 56

C. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pendudukan Kawasan Hutan Secara Tidak Sah dalam Perkara Nomor Perkara Nomor 807/Pid.B/2013/PN.TK ... 59

(6)

A. Simpulan ... 103 B. Saran ... 104

(7)
(8)
(9)
(10)

PERSEMBAHAN

Teriring do’a dan rasa syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya serta junjungan tinggi Rasulullah Muhammad SAW

Penulis mempersembahkan Tesis ini kepada : Ayah dan Mak

sebagai orang tua penulis tercinta yang telah mendidik, membesarkan dan membimbing penulis menjadi sedemikian rupa yang selalu memberikan kasih sayang

yang tulus dan memberikan do’a

yang tak pernah putus untuk setiap langkah yang penulis lewati kakakku Fardanawansyah dan Firdiansyah beserta adikku Amelia,

yang selalu menjadi motivasi penulis untuk selalu berpikir maju memikirkan masa depan yang jauh lebih baik dari sekarang.

Keluarga besarku

atas motivasi dan dukungannya untuk keberhasilanku Yang spesial Mak Tercinta

selalu memberikan motivasi serta semangat kepada penulis demi terselesaikannya Tesis ini

(11)

MOTO

"Bila seorang hakim mengupayakan hukum (dengan jujur) dan keputusannya benar, maka dia akan memperoleh dua pahala,

tetapi apabila keputusannya salah, maka ia akan memperoleh satu pahala”

(H.R. Bukhari)

"Niat adalah ukuran dalam menilai benarnya suatu perbuatan, oleh karenanya jika niatnya benar, maka perbuatan itu benar,

dan jika niatnya buruk, maka perbuatan itu benar”

(Imam An Nawawi)

"Takutlah kamu akan perbuatan dosa di saat sendirian,

di saat inilah saksimu adalah juga hakimmu”

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bandar Lampung pada tanggal 9 Oktober 1991, merupakan putra tiga dari empat bersaudara. Penulis merupakan buah hati pasangan Bapak Fahrurrozi, S.P., M.M. dan Ibu Linda Birsye, S.H., M.H.

(13)
(14)
(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menjaga kelestarian hutan merupakan hal yang sangat penting dengan dasar pemikiran bahwa perubahan pada lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan manusia, baik secara langsung atau tidak langsung. Perubahan lingkungan terjadi karena tidak seimbangnya lagi susunan organik atau kehidupan yang ada, akibatnyapun belum dapat dirasakan secara langsung bagi kehidupan manusia atau kehidupan lainnya namun baru terasa setelah regenerasi. Lingkungan hidup Indonesia yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia merupakan karunia dan rahmat-Nya yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya, agar dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi rakyat dan bangsa Indonesia, serta mahluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri.1

Upaya menjaga kelestarian alam tidak hanya terbatas pada menjaga supaya air, tanah dan udara tidak kotor. Menjaga kelestarian alam lebih luas dari itu, karena terdapat prinsip keadilan untuk alam dan masyarakat, tidak hanya untuk waktu sekarang tetapi juga antar waktu. Dalam pengertian, seyogianya kita tidak mewariskan keadaan yang lebih buruk bagi generasi mendatang. Manusia perlu mewariskan lingkungan yang bersih, damai, sumberdaya alam yang berkelanjutan

1

(16)

serta mempersiapkan generasi mendatang yang lebih baik. Lingkungan yang damai (sosial) adalah apabila setiap usaha yang dilakukan tidak merugikan orang lain atau kerugian orang tersebut dikompensasi. Setiap kegiatan dalam penanganannya harus sudah memasukkan biaya lingkungan baik secara fisik maupun sosial yang diupayakan oleh manusia. 2

Pelestarian hutan merupakan upaya sadar dan terpadu untuk mengembangkan strategi untuk menghadapi, menghindari, dan menyelesaikan penurunan kualitas lingkungan dan untuk mengorganisasikan program-program pelestarian lingkungan dan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Masyarakat sebagai suatu kesatuan sosial mempunyai pemikiran dan tujuan yang sama tentang bagaimana memelihara atau melestarikan hutan. Tujuan pelestarian hutan adalah terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan, yang memenuhi kepentingan tidak saja generasi masa kini akan tetapi juga generasi masa depan. Oleh karena itu segala bentuk tindak pidana kehutanan harus ditanggulangi secara komprehensif.

Menurut Leden Marpaung, tindak pidana merupakan kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.3

2

Ibid. hlm.15. 3

(17)

Pemberian sanksi terhadap pelaku tindak pidana kehutanan menurut Andi Hamzah, merupakan proses penegakan hukum. Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah merupakan keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistem peradilan pidana.4

Sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.

4

(18)

Menurut Mardjono Reksodiputro5 demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.

Sistem peradilan pidana sebagai pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya.

Setiap instansi tersebut menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya. Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memarahi orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang di muka pengadilan. Ini semua adalah bagian-bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut crime control suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan melalui penegakan hukum pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan

5

(19)

dan daya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.

Tindak pidana dalam penelitian ini adalah tindak pidana pendudukan hutan, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 50 Ayat (3) huruf (a) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah.

Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan menyatakan bahwa untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian khusus. Ayat (2) menyatakan bahwa pejabat yang diberi wewenang kepolisian khusus sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berwenang untuk:

1) Mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;

2) Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;

3) Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

4) Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

(20)

6) Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

Salah satu tindak pidana kehutanan di Provinsi Lampung yang diputus melalui Pengadilan Negeri Tanjung Karang sebagaimana dimaksud Pasal 3 huruf (a) dan (b) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan adalah mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana terdapat dalam Perkara Nomor 807/Pid.B/2013/PN.TK.

Pendudukan hutan secara tidak sah juga diatur dalam Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang menyatakan bahwa penggunaan kawasan hutan secara tidak sah adalah kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin Menteri.

Setiap pelaku tindak pidana kehutanan wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Orang yang melakukan tindak pidana menurut M. Yahya Harahap6, akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukkan pandangan negatif tentang dilakukannya tindak pidana.

Sistem pertanggungjawaban pidana yang diterapkan di Indonesia pada saat ini didasarkan pada kemampuan seseorang untuk mempertanggungjawabkan

6

(21)

perbuatannya secara hukum. Dengan kata lain hanya orang yang memiliki kemampuan bertanggungjawab yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Hal ini berarti konsep pertanggungjawaban pidana pada dasarnya menekankan bahwa hanya orang yang melakukan kesalahan atau tindak pidana saja yang harus mempertanggungjawabkan tindak pidana tersebut di hadapan hukum.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti akan melakukan penelitian dengan judul: “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pendudukan Kawasan Hutan Secara Tidak Sah (Studi Perkara Nomor 807/Pid.B/2013/PN.TK.)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pendudukan kawasan hutan secara tidak sah dalam Perkara Nomor 807/Pid.B/2013/PN.TK.?

(22)

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini adalah hukum pidana, dengan kajian mengenai pertanggungjawaban pidana dan dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pendudukan kawasan hutan secara tidak sah dalam Perkara Nomor 807/Pid.B/2013/PN.TK. Ruang lingkup lokasi penelitian adalah pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan waktu penelitian dilaksanakan tahun 2014.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

a. Menganalisis pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pendudukan kawasan hutan secara tidak sah dalam Perkara Nomor 807/Pid.B/2013/PN.TK.

b. Menganalisis dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pendudukan kawasan hutan secara tidak sah dalam Perkara Nomor 807/Pid.B/2013/PN.TK.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini terdiri dari kegunaan secara teoritis dan kegunaan secara praktis yaitu sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoritis

(23)

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai kontribusi positif bagi aparat penegak hukum dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana kehutanan. Selain itu diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang membutuhkan informasi mengenai pertanggung jawaban pidana.

(24)

2. Kerangka Teori

Pengertian kerangka teori menurut Soerjono Soekanto7 adalah serangkaian abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan suatu penelitian ilmiah, khususnya penelitian hukum. Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

a. Pertanggungjawaban Pidana

Konsep pertanggungjawaban pidana menggariskan bahwa seseorang dapat dinyatakan bersalah dan harus mempertanggungjawabkan kesalahannya secara pidana harus mengandung kesalahan. Kesalahan menurut Moeljatno terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa).

1) Kesengajaan (dolus)

Menurut teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:

a) Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana.

b) Kesengajaan yang bersifat keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

7

(25)

c) Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya

2) Kelalaian (culpa)

Kelalaian (culpa) terletak antar sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa

dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa,

culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat. tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana. 8

b. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusanputusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju

8

(26)

kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur negara hukum. 9

Pelaksana kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya. Fungsi hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, di samping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi denganintegritas moral yang baik.10

Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:

1) Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;

2) Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;

3) Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya. 11

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim

9

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika,.2010, hlm.103.

10

Ibid, hlm.104. 11

(27)

dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat.

Menurut Mackenzie sebagaimana dikutip Ahmad Rifai12 ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

a. Teori Keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan disini keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat dan kepentingan terdakwa. b. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim

c. Teori Pendekatan Keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam

12

(28)

kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink sesemata-mata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

d. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

e. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

f. Teori Kebijaksanaan

(29)

anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bagi bangsanya.

3. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian.13 Berdasarkan definisi tersebut, maka konseptualisasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu konsep bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya14

b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan itu. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku15

c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum16

13

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 1983, hlm.63 14

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 44

15

Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan Pidana. Binacipta. Bandung. 1996. hlm. 23

16

(30)

d. Tindak pidana pendudukan hutan menurut Pasal 50 Ayat (3) huruf (a) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Seorjono Soekanto17, yaitu yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. a. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan melalui studi kepustakaan

(library research) dengan cara membaca, mengutip dan menganalisis teori-teori hukum dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian.

b. Pendekatan empiris adalah upaya untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus

2. Sumber dan Jenis Data a. Sumber Data

Menurut Seorjono Soekanto18, data bersumber dari data lapangan dan dari data kepustakaan. Data lapangan adalah yang diperoleh dari lokasi penelitian, sementara itu data kepustakaan adalah data yang diperoleh dari berbagai sumber kepustakaan.

17

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Rineka Cipta Jakarta,1983, hlm.76. 18

(31)

b. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) dengan cara membaca, menelaah dan mengutip terhadap berbagai teori, asas dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:

a) Bahan Hukum Primer, terdiri dari:

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan

(4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

(5) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

b) Bahan Hukum sekunder, terdiri dari:

(32)

(2) Bahan-bahan hukum seperti teori atau pendapat para ahli di bidang ilmu hukum yang terkait dengan permasalahan penelitian.

c) Bahan hukum tersier, bersumber dari berbagai referensi atau literatur buku-buku hukum, dokumen, arsip dan kamus hukum yang berhubungan dengan masalah penelitian.

2) Data Primer

Data primer adalah data yang didapat dengan cara penelitian langsung terhadap objek penelitian.

3. Penentuan Narasumber

Narasumber penelitian ini sebagai berikut:

a. Penyidik PNS Kehutanan Dinas Kehutanan Provinsi Lampung : 1 orang b. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang c. Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang : 1 orang +

Jumlah : 3 orang

4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

a. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: 1) Studi kepustakaan (library research)

(33)

2) Studi lapangan (field research)

Studi lapangan (field research), dilakukan sebagai usaha mengumpulkan data secara langsung di lokasi penelitian guna memperoleh data.

b. Prosedur Pengolahan Data

Prosedur pengolahan data yang dimaksud meliputi tahapan sebagai berikut: 1) Seleksi data

Merupakan kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

2) Klasifikasi data

Merupakan kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

3) Penyusunan data

Merupakan kegiatan penempatan dan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

4. Analisis Data

(34)

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam memahami isi Tesis ini maka akan dibagi menjadi 4 (empat) bab, dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan. Bab ini terdiri dari Latar Belakang Masalah, Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka. Bab ini terdiri dari berbagai pengertian mengenai pertanggungjawaban pidana, penegakan hukum, tindak pidana kehutanan dan penanggulangan tindak pidana.

Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan. Bab ini berisi penyajian dan pembahasan data yang telah didapat dari hasil penelitian, yang terdiri dari análisis pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pendudukan kawasan hutan secara tidak sah dan dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pendudukan kawasan hutan secara tidak sah dalam Perkara Nomor 807/Pid.B/2013/PN.TK.

Bab IV Penutup. Bab ini berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian yang merupakan jawaban permasalahan berdasarkan hasil penelitian serta berbagai saran sesuai dengan temuan penelitian.

(35)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban pidana

Setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum yang berlaku. Menurut Barda Nawawi Arief1 pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang memerlukan unsur kesalahan (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan.

Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana memulihkan keseimbangan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat

1

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.

(36)

memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Selanjutnya menurut Barda Nawawi Arief2, pertanggungjawaban pidana harus memperhatikan adanya unsur kesalahan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materiil dan spirituil. Hukum pidana tersebut digunakan untuk mencegah atau menanggulangi perbuatan yang tidak dikehendaki. Selain itu penggunaan sarana hukum pidana dengan sanksi yang negatif harus memperhatikan biaya dan kemampuan daya kerja dari insitusi terkait, sehingga jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting) dalam melaksanakannya

Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:

1. Kemampuan bertanggungjawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat.

2. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu disengaja dan sikap kurang hati-hati atau lalai

3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat3

Kemampuan bertanggungjawab didasarkan pada unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggungjawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggungjawab, kecuali

2

Ibid. hlm. 23 3

(37)

kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggungjawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

Masalah kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 Ayat (1) KUHP yang menyatakan: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau

terganggu karena cacat, tidak dipidana”. Menurut Moeljatno4, bila tidak

dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat yaitu:

1. Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.

2. Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman

4

(38)

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelectual factor) yaitu dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

(39)

Hakim yang bebas dan tidak memihak menurut Romli Atmasasmita5 telah menjadi ketentuan universal. Ia menjadi ciri Negara hukum. Sistem yang dianut di Indonesia, pemeriksaan di siding pengadilan yang dipimpin oleh Hakim, hakim itu harus aktif bertanya dan member kesempatan kepada pihak terdakwa yang diawali oleh penasihat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Semua itu dengan maksud menemukan kebenaran materiil. Hakimlah yang bertanggungjawab atas segala yang diputuskannya.

Perihal putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian dapat dikonklusikan lebih jauh bahwasannya putusan hakim di sati pihak berguna bagi terdakwa guna memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapakan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti dapat berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding, atau kasasi, melakukan grasi dan sebagainya.

Selanjutnya menurut Lilik Mulyadi 6, apabila ditelaah melalui visi hakim yag mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, HAM, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan. Teori dasar pertimbangan hakim masih menurut menurut Lilik Mulyadi, yaitu putusan hakim yang baik, mumpuni, dan sempurna hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan empat kriteria dasar pertanyaan (the 4 way test), yakni:

5

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung, 1996, hlm. 2. 6

(40)

1) Benarkah putusanku ini?

2) Jujurkah aku dalam mengambil putusan? 3) Adilkah bagi pihak-pihak putusan? 4) Bermanfaatkah putusanku ini?

Putusan bebas adalah jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan terdakwa yang didakwakan epadanya jika terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas (Pasal 191 Ayat (1) KUHAP).

Bertitiktolak dari sifat atau sikap seseorang Hakim yang baik, kerangka landasan berfikir/bertindak dan melalui empat buah titik pertanyaan tersebut di atas, maka hakim ternyata seorang manusia biasa yang tidak luput dari kelalaian, kekeliruan/kekhilafan (rechterlijk dwaling), rasa rutinitas, kekuranghati-hatian, dan kesalahan. Dalam praktik peradilan, ada saja aspek-aspek tertentu yang luput dan kerap tidak diperhatikan hakim dalam membuat atau mengambil suatu keputusan.

(41)

dahulu akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi kumulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa di persidangan.

Hakim menurut Barda Nawawi Arief7, dalam mengambil keputusan pada sidang pengadilan, mempertimbangkan beberapa aspek sebagai pedoman pemidanaan: a. Kesalahan pelaku tindak pidana

Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang. Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah hakim.

b. Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana

Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum

b. Cara melakukan tindak pidana

Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terapat unsur niat di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.

c. Sikap batin pelaku tindak pidana

Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku

7

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan PenanggulanganKejahatan,

(42)

juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan melakukan perdamaian secara kekeluargaan.

d. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi

Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat mempengaruhi putusan hakim yaitu dan memperingan hukuman bagi pelaku, misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).

e. Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana

Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan tidak berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya.Maka hal yang di atas juga menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memberikan keringanan pidana bagi pelaku. Karena hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau bertanggung jawab, juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata jujur. Karena akan mempermudah jalannya persidangan. f. Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku

Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.

(43)

agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran dan keadilan juga kepastian hukum.

B. Penegakan hukum Pidana

Menurut Barda Nawawi Arief dalam Heni Siswanto8, pada hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy), baik dalam penegakan inabstractio dan in concreto, merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan sistem (penegakan) hukum nasional dan merupakan bagian dari upaya menunjang kebijkaan pembangunan nasional (national development). Ini berarti bahwa penegakan hukum pidana inabstraction

(pembuatan/perubahan UU; law making/law reform) dalam penegakan hukum pidana in concreto (law enforcement) seharusnya bertujuan menunjang tercapainya tujuan, visi dan misi pembangunan nasional (bangnas) dan menunjang terwujudnya sistem (penegakan) hukum nasional.

Hukum pidana positif di Indonesia saat ini bersumber/berinduk pada KUHP buatan Belanda (WvS), tetapi dalam penegakan hukum harusnya berbeda dengan penegakan hukum pidana seperti zaman Belanda. Hal ini wajar karena kondisi lingkungan atau kerangka hukum nasional (national legal framework) sebagai tempat dioperasionalisasikannya WvS (tempat dijalankannya mobil) sudah berubah. Menjalankan mobil (WvS) di Belanda atau di jaman Penjajahan Belanda tentunya berbeda dengan di zaman Republik Indonesia. Ini berarti penegakan hukum pidana positif saat ini (terlebih KUHP warisan Belanda) tentunya harus

8

(44)

memperhatikan juga rambu-rambu umum proses peradilan (penegakan hukum dan keadilan) dalam sistem hukum nasional. Dengan kata lain, penegakan hukum pidana positif harus berada dalam konteks ke-Indonesia-an (dalam konteks sistem hukum nasional/national legal framework) dan bahkan dalam konteks bangnas dan bangkumnas. Inilah baru dapat dikatakan penegakan hukum pidana di Indonesia. 9

Penegakan hukum menurut Mardjono Reksodiputro10 dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana.

Penegakan hukum didasarkan pada adalah pemahaman bahwa setiap manusia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa dengan akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Selain untuk mengimbangi kebebasan tersebut, manusia memiliki kemampuan untuk

9

Ibid, hlm.86 10

(45)

bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya di hadapan hukum yang diakui bersama.

Negara Indonesia adalah negara hukum (recht staats), maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggung jawabkan perbuatannya melalui penegakan hukum. Hukum dalam hal ini merupakan sarana bagi penegakan hukum. Penegakan hukum mengandung makna bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, di mana larangan tersebut disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu sebagai pertanggung jawabannya11

Menurut Barda Nawawi Arief12, sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Menurut Romli Atmasasmita13, sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya

11

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.

PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23 12

Mardjono Reksodiputro,Op cit. hlm. 12-13 13

(46)

untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice,

maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.

Sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sistematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya. Instansi-instansi tersebut masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya.

Menurut Sudarto14, pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memarahi orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang di muka pengadilan. Ini semua adalah bagian-bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut

crime control suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Sistem peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam

14

(47)

bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar subsistem dalam sistem peradilan pidana yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.

Menurut Muladi, satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu due process of law yang dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil.15

Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin penghormatan terhadap hak-hak warga masyarakat meski ia menjadi pelaku kejahatan, namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan hak untuk disidang di muka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak memihak.

Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan layak tersebut ialah sistem peradilan pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin penegak hukum

15

(48)

yang menghormati hak-hak warga masyarakat. Kebangkitan hukum nasional mengutamakan perlindungan hak asasi manusia dalam sebuah mekanisme sistem peradilan pidana. Perlindungan hak-hak tersebut, diharapkan sejak awal sudah dapat diberikan dan ditegakkan. Selain itu diharapkan pula penegakan hukum berdasarkan undang-undang tersebut memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggung jawab. Namun semua itu hanya terwujud apabila orientasi penegakan hukum dilandaskan pada pendekatan sistem, yaitu mempergunakan segenap unsur di dalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling interrelasi dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Penegakan hukum menurut Joseph Goldstein sebagaimana dikutip oleh Mardjono Reksodiputro16 harus diartikan dalam kerangka tiga konsep, yaitu:

1. Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa terkecuali

2. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual

3. Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas SDM, kualitas perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat.

16

(49)

Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab.

Faktor penegak hukum dalam hal ini menempati titik sentral, karena undang-undang disusun oleh penegak hukum, penerapannya dilakukan oleh penegak hukum, dan penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh masyarakat. Penegakan hukum yang baik ialah apabila sistem peradilan pidana bekerja secara obyektif dan tidak bersifat memihak serta memperhatikan dan mempertimbangkan secara seksama nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut tampak dalam wujud reaksi masyarakat terhadap setiap kebijakan kriminal yang telah dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum. Dalam konteks penegakan hukum yang mempergunakan pendekatan sistem, terdapat hubungan pengaruh timbal balik yang signifikan antara perkembangan kejahatan yang bersifat multidimensi dan kebijakan kriminal yang telah dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum.

Penegakan hukum menurut Soerjono Seokanto17, bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu:

1. Faktor perundang-undangan (substansi hukum) 2. Faktor penegak hukum

17

(50)

3. Faktor sarana dan fasilitas 4. Faktor masyarakat

5. Faktor kebudayaan

Faktor-faktor di atas lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut: ad.1 Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.

ad.2 Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kezaliman. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.

ad.3 Faktor sarana dan fasilitas

(51)

memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya.

ad.4 Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.

ad.5 Faktor Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat dalam penegakan hukum, maka akan semakin mudah dalam menegakannya. Apabila peraturan-peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum.

(52)

harus diikutsertakan, yaitu masyarakat dan aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum merupakan jalur yang bisa digunakan oleh masyarakat dalam rangka mengaktualisasikan peran sertanya dalam proses penegakan hukum.

Jalur hukum pidana adalah salah satu jalur yang bisa dilakukan atau digunakan oleh masyarakat dalam rangka mewujudkan peran serta tersebut. Salah satu yang membedakan pemanfaatan jalur hukum pidana dengan jalur hukum lainnya adalah bahwa jalur ini baru dapat digunakan jika adanya bentuk pelanggaran atau kejahatan nyata yang sifatnya pidana, yaitu suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum. Larangan tersebut disertai dengan sanksi pidana terhadap pelakunya.

Untuk itu hukum tidak lebih hanya ide-ide atau konsep-konsep yang mencerminkan di dalamnya apa yang disebut keadilan, ketertiban dan kepastian hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencapai tujuan tertentu. Namun demikian tidak berarti pula peraturan-peraturan hukum yang berlaku diartikan telah lengkap dan sempurna melainkan suatu kerangka yang masih memerlukan penyempurnaan.

C. Tindak Pidana Kehutanan

Menurut P.A.F Lamintang18, tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana pada pelaku adalah demi tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

18

(53)

Menurut Andi Hamzah19 tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.

Tingkah laku yang jahat immoral dan anti sosial akan menimbulkan reaksi berupa kejengkelan dan kemarahan di kalangan masyarakat dan jelas akan merugikan masyarakat umum. Mengingat kondisi tersebut maka setiap warga masyarakat keseluruhan secara keseluruhan, bersama-sama dengan lembaga-lembaga resmi yang berwenang seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan dan lain-lain wajib menanggulangi setiap tindak kejahatan atau kriminal. Setiap kejahatan yang dilakukan seseorang akan menimbulkan suatu akibat yakni pelanggaran terhadap ketetapan hukum dan peraturan pemerintah.

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam

19

(54)

undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. 20

Menurut Andi Hamzah21, tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat diketahui bahwa tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

Pelaku tindak pidana itu adalah seseorang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu yang tidak disengajakan seperti yang disyaratkan oleh undang-undang telah menimbulkan akibat yang tidak dilarang atau tindakan yang diwajibkaln oleh undang-undang. Dengan kata lain pelaku tindak pidana adalah orang yang memenuhi semua unsur-unsur suatu delik seperti yang telah ditentukan dalam undang-undang baik itu merupakan unsur-unsur subjektif ataupun unsur-unsur

20

Ibid. hlm. 20. 21

(55)

objektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindakan pidana tersebut timbul dari dirinya atau timbul karena digerakkan oleh pihak ketiga.

Pelaku tindak pidana dilihat dari deliknya menurut P.A.F Lamintang22, dibagi menjadi sebagai berikut:

1. Pelaku (Plegen)

Pertanggungjawaban pidana bagi pelaku merupakan pertanggungjawaban yang mutlak dalam artian sebagaimana yang dirumuskan bahwa orang yang perbuatannya telah memenuhi unsur delik yang terdapat dalam pasal hukum pidana yang dilanggar. Oleh karena itu pada prinsipnya ia merupakan orang yang baik secara sendiri ataupun berkait dengan orang lain, telah dapat dijatuhi sanksi pidana. Hal tersebut sesuai dengan syarat dapat dipidana perbuatan yaitu suatu perbuatan, yang memenuhi rumusan delik, yang bersifat melawan hukum dan dilakukan karena kesalahan. Apabila hal tersebut di atas dapat terpenuhi maka dapat dikenakan pidana yang merupakan konsekuensi atas perbuatan yang telah dilakukan.

2. Turut serta (Medeplegenr)

Turut serta adalah bentuk pernyataan di mana antara para peserta delik telah terjadi kerjasama yang erat baik secara fisik maupun non fisik, sebagaimana yang diuraikan pada pembahasan mengenai turut serta. Dalam hal ini baik delik yang dilakukan secara individual telah memenuhi rumusan atau dalam hal perbuatannya digabungkan dan akhirnya menjadi delik yang sempurna dan salah satu peserta telah memenuhi seluruh delik dalam hal niat berbeda-beda,

22

(56)

maka kesemua peserta tetap dapat dipidana tetapi kualifikasinya bagi

medeplegen berbeda-beda. Dalam hal terbukti adanya keikutsertaan pihak-pihak yang terkait akan saling bertanggungjawab atas tindakan masing-masing serta atas akibat yang ditimbulkannya. Sepanjang hal itu termasuk kedalam lingkup pertanggungjawaban bersama atau sepenuhnya terobyektivasi (dilepaskan dari hubungan kesalahan). Apabila terjadi kerjasama secara penuh maka dalam pengenaan pertanggungjawaban pidananya tidak ada perbedaan sanksi dan apabila ada ketidakseimbangan dalam melakukan perbuatan pidana di mana yang satu lebih besar perannya sedang yang lain tidak terlalu besar/kecil perannya maka seperti disebut di atas akan dikualifikasikan sesuai dengan perbuatan. Poin penting lain berkaitan dengan batas/perbedaannya dengan pembantuan, dalam hal ini terutama berbicara masalah perbuatan dalam hal ini terutama berbicara masalah perbuatan pelaksana/dilihat berdasarkan sifat perbuatan lahirnya.

3. Menyuruh Lakukan (Doen Pleger)

(57)

4. Menganjurkan (Uitlokker)

Dalam bentuk penyertaan ini sama seperti menyuruh yang melibatkan minimal dua orang yang satu sebagai aktor intelektual (pengajar) dan aktor materialis (orang yang melakukan tindak pidana atas anjuran aktor intelektual). Aktor intelektual dan aktor materialis kedua-duanya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan sesuai dengan perannya masing-masing dan apabila terbukti kesalahannya mereka dapat dikenai ancaman pidana. Bentuk pertanggungjawaban pidana aktor intelektual dan aktor materialis mempunyai batasan yaitu penganjur hanya bertanggungjawab sebatas pada perbuatan yang benar-benar dianjurkan. Penganjur dapat pula dipertanggungjawabkan sampai melebihi batasan dari perbuatan yang dianjurkan jika hal itu memang timbul secara berkait sebagai akibat langsung dari perbuatan aktor materialis pada saat melaksanakan anjuran.

5. Pembantuan (Medeplichtigheid)

Referensi

Dokumen terkait

Sub-sub judul dalam buku ini antara lain, Kota Raya di Tepian Brantas (membahas tentang sejarah Kerajaan Majapahit dan lahirnya Kota Mojokerto), Batik

Dalam pernikahan pasti dan selalu melibatkan keluarga baik keluarga mempelai wanita maupun mempelai pria, terkadang yang kita harapkan tak sesuai dengan realita

[r]

Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor: 8.B Tahun 2010 tanggal 24 Mei 2010 tentang Persetujuan Pelepasan Wilayah Kecamatan Yang Masuk

The ability of a tree legume to fix N2 alone could not be the base for choosing a legume tree to be used as a nitrogen source for other crops, other parameters should be taken

Hal ini dapat dilihat pada perlakuan pemberian cuka kayu 2% (B4) pada biomas sengon, diperoleh total kandungan karbon pada akar, batang dan daun paling tinggi yaitu 11.029,92 g,

Dengan adanya sistem pencatatan poin pelanggaran siswa ini diharapkan akan membantu sekolah untuk mengurangi pelanggaran – pelanggaran yang sering dilakukan para

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini