• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN METODE SOCRATES PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DITINJAU DARI PROSES BELAJAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS (Penelitian Deskriptif Kualitatif pada Siswa Kelas X SMA Negeri 15 Bandarlampung Semester Genap Tahun Pelajaran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERAPAN METODE SOCRATES PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DITINJAU DARI PROSES BELAJAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS (Penelitian Deskriptif Kualitatif pada Siswa Kelas X SMA Negeri 15 Bandarlampung Semester Genap Tahun Pelajaran"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

PEN ERAPAN METODE SOCRATES PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN KON TEKSTUAL DITINJAU D ARI

PROSES BELAJAR DAN KEMAMPUAN BER PIKIR KRITIS (Penelitian Deskriptif Kualitatif pada Siswa Kelas X

SMA Negeri 15 Bandarlampung Semester Genap Tahun Pelajaran 2012/2013)

Oleh

Arifan Al Qhomairi

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Pendidikan Matematika

Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

PEN ERAPAN METODE SOCRATES PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN KON TEKSTUAL DITINJAU D ARI

PROSES BELAJAR DAN KEMAMPUAN BER PIKIR KRITIS (Penelitian Deskriptif Kualitatif pada Siswa Kelas X

SMA Negeri 15 Bandarlampung Semester Genap Tahun Pelajaran 2012/2013)

Oleh

ARIFAN AL QHOMAIRI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa pada pembelajaran matematika menggunakan metode socrates dengan pendekatan kontekstual. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan s ubjek penelitian yaitu siswa kelas X6 SMA Negeri 15 Bandarlampung sebanyak 39 siswa. Pembelajaran menggunakan metode socrates dengan pendekatan kontekstual memuat dialog atau diskusi yang dipimpin oleh guru dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dari suatu masalah untuk menguji validitas keyakinan siswa atas jawaban dari suatu permasalahan yang diberikan agar dapat memberikan kesimpulan yang benar secara konstruktif yang dikaitkan dengan permasalahan aktual. Hasil analisis data menunjukkan bahwa pem-belajaran menggunakan metode socrates dengan pendekatan kontekstual berlangsung dengan baik, hal tersebut ditunjukkan dari kelengkapan ke-terlaksanaan pembelajaran hasil observasi aktifitas guru mulai dari pendahuluan, kegiatan inti, dan penutup serta lebih dari 75% siswa aktif pada setiap pertemuan. Hasil tes kemampuan berpikir kritis siswa menunjukkan bahwa kriteria kemampuan berpikir kritis yang mendominasi terdapat pada kriteria baik yaitu sebanyak 30,77% siswa dan kriteria cukup sebanyak 69,23% siswa. Sedangkan nilai rata-rata seluruh siswa adalah 66,28 yang dapat dikategorikan dalam kriteria cukup. Secara umum penerapan metode socrates pada pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual berjalan cukup baik jika ditinjau dari proses dan kemampuan berpikir kritis siswa kelas X6 SMA Negeri

15 Bandarlampung Tahun Ajaran 2012/2013.

(3)
(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Ruang Lingkup ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Socrates... 9

B. Pendekatan Kontekstual ... 14

C. Kemampuan Berpikir Kritis ... 18

D. Proses Belajar ... 23

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 24

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 24

C. Subjek dan Objek Penelitian ... 25

D. Teknik Pengumpulan Data... 25

E. Instrumen Penelitian... 26

F. Tahap-Tahap Penelitian ... 28

G. Keabsahan dan Keajegan Penelitian ... 30

H. Teknik Analisis Data ... 32

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 36

(7)

2. Analisis Hasil Data Lembar Observasi ... 100

3. Analisis Hasil Data Wawancara Siswa ... 104

4. Analisis Hasil Data Uji Blok ... 109

B. Pembahasan ... 117

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 120

B. Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA

(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi

modern sehingga mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan

mengembangkan daya pikir manusia. Oleh karena itu, dalam Permendiknas tahun

2006 dijelaskan bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua

peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan

kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta

kemampuan bekerja sama.

Sesuai dengan Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) matematika, tujuan

umum diberikannya matematika pada jenjang pendidikan dasar dan menengah

yaitu:

1. Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam

kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak

atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif, dan

efisien.

2. Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir

matematika dalam kehidupan sehari- hari, dan dalam mempelajari berbagai

(9)

2

Berdasarkan tujuan umumnya, adanya pelajaran matematika di sekolah

dimaksud-kan sebagai sarana untuk melatih para siswa agar dapat memiliki kemampuan

berpikir kritis. Ini menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan

kompetensi yang sangat penting untuk dikembangkan. Berpikir kritis merupakan

bentuk berpikir yang perlu dikembangkan dalam rangka memecahkan masalah,

merumuskan kesimpulan, mengumpulkan berbagai kemungkinan dan membuat

keputusan ketika menggunakan semua keterampilan tersebut secara efektif.

Kemampuan berpikir kritis tidak hanya bermanfaat pada saat siswa belajar, tetapi

dapat menjadi bekal bagi siswa di masa yang akan datang. Berdasarkan penjelasan

di atas, jelaslah bahwa kemampuan berpikir kritis sangatlah penting. Namun

faktanya, menurut Marpaung (Gunowibowo, 2008) bahwa pendidikan matematika

kita selama ini tidak berhasil meningkatkan pemahaman matematika yang baik

pada siswa. Hal ini disebabkan upaya pengembangan kema mpuan berpikir kritis

di sekolah-sekolah jarang dilakukan.

Selain itu, ketika peneliti melakukan pengamatan dan wawancara terhadap siswa

dan guru dalam rangka penelitian pendahuluan, kebanyakan siswa menganggap

bahwa matematika hanya mata pelajaran menghitung dan menggunakan rumus

sehingga sulit untuk dipelajari. Kebanyakan siswa tidak tahu dan bingung manfaat

dari mempelajari matematika. Hal ini menyebabkan respon siswa terhadap mata

pelajaran matematika tergolong rendah. Salah satu penyebab rendahnya respon

siswa yaitu pembelajaran matematika yang tidak menarik dan membosankan.

Rendahnya respon siswa terhadap mata pelajaran matematika ini akan

(10)

untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya dalam memecahkan

permasalahan dan mengaplikasikan konsep-konsep yang telah dipelajari dalam

kehidupan nyata, sehingga kemampuan berpikir kritis siswa kurang dapat

berkembang dengan baik.

Agar kemampuan berpikir kritis siswa berkembang dengan optimal dan

matema-tika mendapat respon yang baik dari siswa, maka diperlukan strategi pembelajaran

matematika yang tepat. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Syukur

(2004) bahwa untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis, diperlukan

pembelajaran yang memberikan keleluasaan berpikir kritis siswa. Namun yang

sering menjadi masalah adalah bila siswa tidak termotivasi atau bahkan tidak ada

ide untuk memperoleh jalan menuju pemecahan masalah yang dihadapi. Guru

diharapkan memberikan umpan untuk memancing siswa mengembangkan pola

berpikir kritis, salah satunya adalah dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan

atau masalah, dimulai dari pertanyaan yang sederhana sampai pertanyaan yang

kompleks.

Pentingnya memberi pertanyaan atau masalah dalam pembelajaran didasari oleh

kenyataan bahwa seseorang akan berpikir dan menentukan sikap jika dihadapkan

oleh suatu pertanyaan seperti yang dikatakan oleh para pemikir dari The Critical

Thinking Community (Yunarti, 2011: 12) bahwa ”Thinking is not driven by

answers but by questions.” Agar dapat berpikir, seseorang harus berhadapan

dengan pertanyaan-pertanyaan yang merangsang pemikirannya. Dalam

pem-belajaran, pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa dimunculkan baik oleh guru

(11)

4

Salah satu metode pembelajaran yang memuat pertanyaan-pertanyaan kritis

adalah metode socrates yang dijelaskan dalam Yunarti (2011), dijelaskan juga

bahwa metode ini berisi pengajaran-pengajaran ala Socrates (469-399 SM) yang

merupakan filsuf dari Athena, Yunani dan menjadi salah satu figur filsuf Barat

yang paling penting. Dengan kata lain metode socrates memuat dialog yang

menggunakan pertanyaan-pertanyaan kritis untuk memandu siswa dalam berpikir

dan mengambil kesimpulan. Pertanyaan yang diajukan harus berdasarkan

pengalaman siswa sehingga siswa dapat menjawab pertanyaan dan

meng-konstruksi pengetahuan berdasarkan dialog yang terjadi. Urutan pertanyaan harus

terstruktur sehingga penanaman konsep kepada siswa pun lebih terarah. Metode

ini pun dapat dikombinasikan dengan berbagai metode atau model pembelajaran

lain sebagai variasi bentuk pembelajaran. Dengan mengaplikasikan metode ini,

secara tidak langsung guru melatih dirinya sendiri untuk menjadi pemikir yang

kritis. Selain itu, guru pun dapat membagi perhatian kepada siswa-siswanya serta

mendorong siswa-siswa yang lemah untuk lebih aktif berpikir.

Pertanyaan-pertanyaan socrates yang diajukan oleh guru dapat memperbaiki sikap

siswa dalam belajar dan berpikir. Sebagai contoh, perhatikan pertanyaan ini.

“Bagaimana anda bisa yakin bahwa yang dikatakan teman anda tadi benar?”

Ketika siswa berusaha menjelaskan apa yang diketahuinya tersebut, sesungguhnya

saat itu ia sedang berusaha pula untuk mencari kebenaran, bersikap analitis dan

sistematis, dan mencoba terbuka untuk menerima pendapat lain jika ia merasa

(12)

Pendekatan pembelajaran dalam penelitian ini menggunakan pendekatan

kontekstual. Dengan pendekatan ini pembelajaran akan dikaitkan dengan dunia

nyata yaitu diawali dengan bercerita atau tanya-jawab lisan tentang kondisi aktual

dalam kehidupan siswa, sehingga matematika yang bersifat abstrak akan lebih

mudah dipahami dan dimengerti oleh siswa. Hal ini sejalan dengan anjuran

pemerintah Indonesia untuk melakukan pengenalan masalah yang sesuai dengan

situasi (contextual problem) dalam pembelajaran matematika. Anjuran pemerintah

ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006.

Selain itu, menurut Johnson (2002) dalam pembelajaran kontekstual para siswa

dilatih untuk bersosialisasi dengan kelompok-kelompok kerja mereka. Sehingga

akan membuat pembelajaran menggunakan metode socrates lebih efektif, dinamis,

demokratis, mendidik, memotivasi, mendorong kreativitas, dan dialogis.

Terkait dengan hal-hal di atas, peneliti mencoba untuk memperkenalkan

pem-belajaran matematika dengan metode socrates dengan pendekatan kontekstual pada

seluruh SMA di Bandarlampung. Oleh karena berbagai keterbatasan, dipilih SMA

negeri untuk dijadikan subjek penelitian, yang dalam hal ini adalah SMAN 15

Bandarlampung. Dengan demikian, diharapkan mereka siap secara fisik, mental,

dan akademik untuk menerima berbagai perlakuan dalam penelitian ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka penulis

me-rumuskan masalah yang dijadikan pokok pembahasan agar menjadi lebih terarah,

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimana proses pembelajaran

(13)

pem-6

belajaran matematika pada siswa kelas X6 SMA Negeri 15 Bandarlampung Tahun

Ajaran 2012/2013 dan bagaimana kemampuan berpikir kritis siswa kelas X6 SMA

Negeri 15 Bandarlampung Tahun Ajaran 2012/2013 pada pembelajaran

matematika menggunakan metode socrates dengan pendekatan kontekstual

dengan materi pokok statistika matematika dan trigonometri?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi deskriptif tentang

penerapan metode Socrates dengan pendekatan Kontekstual ditinjau dari proses

belajar dan kemampuan berpikir kritis matematis dalam pembelajaran matematika

pada siswa kelas X6 SMA Negeri 15 Bandarlampung.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang berarti bagi siswa,

guru, sekolah, dan peneliti sendiri sebagai suatu cara untuk mendukung

peningkatan proses belajar siswa.

1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber informasi atau

masukan kepada guru untuk menyelesaikan persoalan dalam pembelajaran

matematika yang dinilai sulit dipahami oleh siswa. Metode pembelajaran

socrates dengan pendekatan kontekstual memberikan cara belajar yang

membawa siswa kedalam suasana yang lebih nyama dan membuat

pembelajaran lebih bermakna, sehingga siswa akan lebih banyak menemukan

(14)

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian untuk membantu mengevaluasi penerapan metode pemebelajaran

socrates dengan pendekatan kontekstual terhadap proses belajar dan kemampuan

berpikir siswa serta dapat mengantisipasi masalah pada objek yang diteliti.

E. Ruang Lingkup

Untuk menghindari kekeliruan pemahaman dari tujuan penelitian ini,

istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini memiliki definisi sebagai berikut:

1. Metode Socrates (Socrates Method )

Metode Socrates (Socrates Method ) yaitu suatu cara menyajikan bahan/materi

pelajaran, dimana siswa dihadapkan dengan suatu deretan pertanyaan yang

bersifat menggali kemampuan berpikir kritis siswa dan diharapkan siswa

dapat menemukan jawabannya atas dasar kecerdasan dan ke- mampuannya

sendiri

2. Pendekatan Kontekstual

Pendekatan kontekstual merupakan suatu pendekatan dalam proses

pembelajaran dengan cara guru memulai pembelajaran dikaitkan dengan dunia

nyata yaitu diawali dengan bercerita atau tanya jawab lisan tentang kondisi

actual dalam kehidupan siswa, questioning agar siswa berpikir, constructivism

agar siswa membangun pengertian, inquiry agar siswa bisa menemukan

konsep dengan bimbingan guru, learning community agar siswa bisa berbagi

pengetahuan dan pengalaman serta terbiasa berkolaborasi, reflection agar

siswa bisa mereview kembali pengalaman belajarnya, serta authentic

(15)

8

3. Kemampuan Berpikir Kritis

Berpikir kritis adalah suatu proses berpikir berjenjang dengan tujuan untuk

mempertimbangkan dan mengevaluasi informasi yang pada akhirnya

me-mungkinkan siswa dapat membuat sebuah keputusan. Indikator berpikir kritis

matematis yang dikembangkan dalam penelitian ini yaitu (1) Focus,

mem-fokuskan pertanyaan, mengidentifikasi, merumuskan, dan mempertimbangkan

jawaban yang mungkin (2) Reason, mampu memberikan alasan pada jawaban

yang diberikan (3) Inference, membuat kesimpulan (4) Situation, mampu

menjawab soal sesuai konteks, menerjemahkan situasi kedalam bahasa

matematika (5) Clarify, mampu membuat klarifikasi atau membedakan konsep

dengan jelas tanpa menimbulkan ambiguitas (6) Overview, melakukan

tinjauan kembali atas jawaban, keputusan atau kesimpulan yang telah

ditetapkan sebelumnya.

4. Proses Belajar

Proses belajar dapat diartikan sebagai tahapan perubahan usaha yang

dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang

baru, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksinya dengan

lingkungan. Perubahan tersebut bersifat positif dalam arti berorientasi ke arah

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Metode Socrates

Menurut Maxwell (Yunarti, 2011: 46), metode socrates dinamakan demikian

untuk mengabadikan nama penciptanya. Socrates (469-399 BC) merupakan filsuf

Yunani yang tinggal di Athena selama masa kejayaan Yunani. Socrates dikenal di

Athena pada saat dia berusia empat puluhan tahun karena kebiasaannya terlibat

dalam percakapan filosofi di lingkungan publik maupun swasta. Subjek

per-cakapan yang sering diperbincangkan bergulir sekitar mendefinisikan hal- hal

seperti, keadilan, keindahan, keberanian, kesederhanaan, persahabatan, dan

ke-baikan. Pelacakan definisi difokuskan pada kebenaran alami dari sifat subjek

melalui pertanyaan dan tidak hanya pada bagaimana kata tersebut digunakan

dengan benar dalam kalimat. Gaya percakapan Socrates sendiri melibatkan

penolakan/penyangkalan pengetahuan. Dalam percakapan-percakapan tersebut,

Socrates bersikap sebagai siswa dan lawan bicaranya dianggap sebagai guru. All I

know is that I know nothing. Itulah salah satu filosofi Socrates.

Dalam pembelajaran, Jones (1994) mendefinisikan metode socrates sebagai “…a

process of discussion led by the instructor to induce the learner to question the

(17)

10

diskusi yang dipimpin guru untuk membuat siswa mempertanyakan validitas

penalarannya atau untuk mencapai sebuah kesimpulan. Sementara Maxwell

(Yunarti, 2011: 47) mendefinisikan metode socrates sebagai “…a process of

inductive questioning used to successfully lead a person to knowledge through

small steps.

Sedangkan menurut Sutrisno (2011) metode socrates adalah metode yang dibuat

atau dirancang oleh seorang tokoh filsafat ulung Yunani yang hidup antara tahun

469-399 Sebelum Masehi, yaitu Socrates. Metode socrates (Socrates Method),

yaitu suatu cara menyajikan bahan/materi pelajaran, dimana anak didik/siswa

dihadapkan dengan suatu deretan pertanyaan, yang dari serangkaian pertanyaan

itu diharapkan siswa mampu menemukan jawabannya, atas dasar kecerdasannya

dan kemampuannya sendiri. Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat

digambarkan bahwa dalam metode socrates memuat dialog atau diskusi yang

dipimpin oleh guru melalui pertanyaan-pertanyaan induktif untuk menguji

validitas keyakinan siswa akan suatu objek dan membuat kesimpulan yang benar

secara konstruktif.

Ada dua hal pokok yang membedakan metode socrates dengan metode

tanya-jawab lainnya. Pertama, metode socrates dibangun dengan anggapan bahwa

pengetahuan sudah berada dalam diri siswa dan pertanyaan-pertanyaan atau

komentar-komentar yang tepat dapat menyebabkan pengetahuan tersebut muncul

ke permukaan (Jones, Bagford, dan Walen, 1997; Yunarti, 2011). Hal ini

men-jelaskan, bahwa sebenarnya dalam diri siswa sudah memiliki pengetahuan yang

(18)

untuk memancing keluar pengetahuan tersebut agar dapat dirasakan

keberadaan-nya oleh siswa.

Kedua, pertanyaan-pertanyaan dalam metode socrates digunakan untuk menguji

validitas keyakinan siswa mengenai suatu objek secara mendalam (Jones,

Bagford, dan Walen, 1997; Yunarti, 2011). Hal ini menunjukkan jawaban yang

diberikan siswa harus dipertanyakan lagi sehingga siswa yakin bahwa jawabannya

benar atau salah.

Menurut Permalink (Yunarti, 2011: 48):

Richard Paul telah menyusun enam jenis pertanyaan socrates dan memberi contohnya. Keenam jenis pertanyaan tersebut adalah pertanyaan klarifikasi, asumsi-asumsi penyelidikan, alasan-alasan dan bukti penyelidikan, titik pandang dan persepsi, implikasi dan konsekuensi penyelidikan, dan pertanyaan tentang pertanyaan.

Jenis-jenis pertanyaan socrates, contoh-contoh pertanyaan, serta kaitannya dengan

kemampuan berpikir kritis dapat dilihat pada tab le 2.1.

Tabel 2.1

Jenis-Jenis Pertanyan Socrates dan Kaitannya dengan Ke mampuan Berpikir Kritis

No Tipe

Pertanyaan Contoh Pe rtanyaan

Kemampuan Berpikir Kritis yang mungkin

muncul

1. Klarifikasi Apa yang anda maksud

dengan…?

Dapatkah dengan cara lain? Dapatkah anda memberikan saya sebuah contoh?

(19)

12

No Tipe

Pertanyaan Contoh Pe rtanyaan

Kemampuan Berpikir

Apa yang anda asumsikan? Bagaimana anda bisa memilih asumsi-asumsi itu?

Bagaimana anda bisa tahu?

Mengapa anda berpikir bahwa itu benar?

Apa yang dapat mengubah pemikiran anda?

Evaluasi, analisis

4. Titik

pandang dan persepsi

Apa yang anda bayangkan dengan hal tersebut?

Efek apa yang dapat diperoleh? Apa alternatifnya?

Generalisasi apa yang dapat kita buat?

Apa yang menjadi poin dari pertanyaan ini?

Mengapa anda berpikir saya bisa menjawab pertanyaan ini?

Interpretasi, analisis, pengambilan keputusan

Permalink (Yunarti, 2011: 48)

Menurut Maxwell (Yunarti, 2011: 59), agar berhasil melaksanakan pembelajaran

dengan metode socrates, ada beberapa sikap yang harus dimiliki guru. Sikap-sikap

tersebut adalah (1) sikap terbuka guru dalam menerima kesalahan dan

ke-kurangan diri sendiri (2) sikap tidak menerima begitu saja jawaban siswa (3) sikap

(20)

Disamping itu, dalam Yunarti (2011: 60) guru harus menyusun strategi agar

pembelajaran dengan metode socrates dapat berjalan dengan baik. Strategi-strategi

yang dimaksud adalah:

a. Menyusun pertanyaan sebelum pembelajaran dimulai

b. Menyatakan pertanyaan dengan jelas dan tepat

c. Memberi waktu tunggu

d. Menjaga diskusi agar tetap fokus pada permasalahan utama

e. Menindaklanjuti respon-respon siswa

f. Melakukan scaffolding

g. Menulis kesimpulan-kesimpulan siswa di papan tulis

h. Melibatkan semua siswa dalam diskusi

i. Tidak memberi jawaban “Ya” atau “Tidak” melainkan menggantinya dengan

pertanyaan-pertanyaan yang menggali pemahaman siswa.

j. Memberi pertanyaan yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metode socrates adalah

metode yang di dalamnya terjadi dialog antara guru dengan siswa yang memuat

pertanyaan-pertanyaan kritis dengan tujuan membangun pola berpikir kritis siswa,

menuntun pada suatu penemuan baru, membuat siswa ingin tahu lebih jauh dan

memahami lebih dalam, menguji validitas keyakinan siswa dan membuat

(21)

14

B. Pendekatan Kontekstual

Salah satu pendekatan pembelajaran yang dikembangkan dengan tujuan agar

pembelajaran berjalan dengan produktif dan bermakna bagi siswa adalah

pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) yang selanjutnya

disebut CTL. Dalam Depdiknas (2002: 15) bahwa pendekatan CTL fokus pada

siswa sebagai pelajar yang aktif dan memberikan rentang yang luas tentang

peluang belajar bagi mereka yang menggunakan kemampuan-kemampuan

akademik mereka untuk memecahkan masalah- masalah kehidupan nyata yang

kompleks.

Menurut Krismanto (2003) dalam proses pendekatan kontekstual siswa dipacu

untuk berpikir bagaimana caranya mengkonstruksi informasi yang diterimanya

dengan informasi yang telah dimilikinya. Selanjutnya Siswono (2004: 94)

merumuskan bahwa didalam pendekatan kontekstual memiliki ciri bahwa di

dalam pembelajarannya siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis dan

kreatif dalam pengumpulan data, pemahaman terhadap isu-isu atau pemecahan

masalah.

Terdapat tujuh komponen utama pada pembelajaran kontekstual yaitu

konstruk-tivisme (contructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat

belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan

asesmen otentik (authentic assesment). Berikut uraian ketujuh komponen tersebut

(22)

1. Konstruktivisme (contructivism)

Pembelajaran yang berciri konstruktivisme menekankan terbangunnya

pemahaman sendiri secara aktif, kreatif, dan produktif berdasarkan

pe-ngetahuan dan pepe-ngetahuan terdahulu dan dari pengalaman belajar yang

bermakna. Pengetahuan bukanlah serangkaian fakta, konsep, dan kaidah yang

siap dipraktekkannya. Manusia harus mengkonstruksinya terlebih dahulu

pengetahuan tersebut dan memberikan makna melalui pengalaman nyata. Oleh

karena itu siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan

sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan mengembangkan ide- ide yang ada

pada dirinya.

2. Bertanya (questioning)

Komponen ini merupakan strategi pembelajaran CTL. Belajar dalam

pem-belajaran CTL dipandang sebagai upaya guru yang bisa mendorong siswa

untuk mengetahui sesuatu, mengarahkan siswa untuk memperoleh informasi,

sekaligus mengetahui perkembangan kemampuan berpikir siswa. Pada sisi

lain, kenyataan menunjukkan bahwa pemerolehan pengetahuan seseorang

selalu bermula dari bertanya.

3. Menemukan (inquiry)

Komponen menemukan merupakan kegiatan inti CTL. Kegiatan ini diawali

dari pengamatan terhadap fenomena, dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan

bermakna untuk menghasilkan temuan yang diperoleh sendiri oleh siswa.

Dengan demikian, pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa tidak

(23)

16

4. Masyarakat Belajar (learning community)

Konsep ini menyarankan bahwa hasil belajar sebaiknya diperoleh dari kerja

sama dengan orang lain. Hal ini berarti bahwa hasil belajar bisa diperoleh

dengan sharing antarteman, antarkelompok, dan antara yang tahu kepada yang

tidak tahu, baik di dalam maupun di luar kelas.

5. Pemodelan (modelling)

Komponen ini menyarankan bahwa pembelajaran keteramp ilan dan

penge-tahuan tertentu diikuti dengan model yang bisa ditiru siswa. Model yang

dimaksud bisa berupa pemberian contoh tentang misalnya cara

meng-operasikan sesuatu, menunjukkan hasil karya, mempertontonkan suatu

pe-nampilan. Cara pembelajaran semacam ini akan lebih cepat dipahami siswa

daripada hanya bercerita atau memberikan penjelasan kepada siswa tanpa

ditunjukkan modelnya atau contohnya.

6. Refleksi (reflection)

Komponen yang merupakan bagian terpenting dari CTL adalah perenungan

kembali atas pengetahuan yang baru dipelajari, menelaah dan merespons

semua kejadian, aktivitas, atau pengalaman yang terjadi dalam pembelajaran,

bahkan memberikan masukan atau saran jika diperlukan, siswa akan

menyadari bahwa pengetahuan yang baru diperolehnya merupakan pengayaan

bahkan revisi dari pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Kesadaran

semacam ini penting ditanamkan kepada siswa agar ia bersikap terbuka

(24)

7. Asesmen Otentik (authentic assesment)

Komponen ini merupakan proses pengumpulan berbagai data yang bisa

memberikan gambaran atau informasi terhadap perkembangan pengalaman

belajar siswa. Dengan demikian penilaian autentik diarahkan pada proses

mengamati, menganalisis, dan menafsirkan data yang telah terkumpul ketika

atau dalam proses pembelajaran siswa berlangsung, bukan semata- mata pada

hasil pembelajaran.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual merupakan

konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan

dengan situasi nyata siswa. Selain itu kontekstual membantu para siswa

menemukan makna dalam pelajaran mereka dengan cara menghubungkan materi

dengan konteks kehidupan keseharian. Mereka membuat hubungan-hubungan

penting yang menghasilkan makna dengan melaksanakan pembelajaran yang

di-atur sendiri, bekerja sama, berpikir kritis dan kreatif, menghargai orang lain,

mencapai standar tinggi, dan berperan serta dalam tugas-tugas penilaian autentik.

Menurut Supinah (2008) terdapat kelebihan dari pendekatan kontekstual, yaitu:

a. Siswa sebagai subyek belajar.

b. Siswa lebih memperoleh kesempatan meningkatkan hubungan kerja sama

antar teman.

c. Siswa memperoleh kesempatan lebih untuk mengembangkan aktivitas,

kreativitas sikap kritis, kemandirian, dan mampu mengkomunikasi dengan

(25)

18

d. Siswa lebih memiliki peluang-peluang untuk menggunakan

keterampilan-keterampilan dan pengetahuan baru yang diperlukan dalam kehidupan

yang sebenarnya.

Tugas guru sebagai fasilitator, yaitu memfasilitasi siswa selama pembelajaran

berlangsung sebagai contoh menyiapkan media pembelajaran.

C. Kemampuan Berpikir Kritis

Pada zaman modern ini, menjadi orang pintar saja belum cukup. Dibutuhkan

orang yang mampu berpikir kritis agar mampu menghadapi persaingan ke depan.

Saat ini studi tentang berpikir kritis sudah menghasilkan banyak definisi tentang

berpikir kritis. Menurut Ennis (1996) berpikir kritis adalah suatu proses berpikir

yang bertujuan untuk membuat keputusan yang rasional yang diarahkan untuk

memutuskan apakah meyakini atau melakukan sesuatu. Berpikir kritis difokuskan

ke dalam pengertian sesuatu yang penuh kesadaran dan mengarah kepada sebuah

tujuan. Tujuan dari berpikir kritis adalah untuk mempertimbangkan dan

mengevaluasi informasi yang pada akhirnya memungk inkan seseorang untuk

mengambil keputusan.

Schafersman (Khotimah, 2011: 22) berpendapat bahwa berpikir kritis adalah

berpikir yang masuk akal (reasonable), mendalam (reflective), dapat

dipertang-gungjawabkan (responsible), dan berpikir cerdas (skillfulthinking) yang

difokus-kan pada kesimpulan apakah yang dipikirdifokus-kan itu dapat dipercaya atau dapat

di-kerjakan. Dengan kata lain berpikir kritis adalah berpikir yang menekankan pada

(26)

Begitu pula menurut Marjano (Fitria, 2010 : 24) berpikir kritis adalah proses

penggunaan keterampilan berpikir secara efektif untuk membantu seseorang

membuat, mengevaluasi, dan menggunakan keputusan tentang apa yang harus

diyakini atau dikerjakan. Dalam pendidikan, berpikir kritis didefinisikan sebagai

pembentukan kemampuan dalam aspek logika seperti kemampuan memberikan

argumentasi, silogisme, dan penalaran yang proporsional.

Berkaitan dengan kemampuan berpikir kritis pada matematika, dalam Fitria

(2010: 25) dijelaskan bahwa pengembangan berpikir kritis di dalam kelas

(sekolah) mulai dicetuskan oleh Harlod Fawcett pada tahun 1938. Pengembangan

berpikir kritis yang dilakukan oleh Fawcett adalah mencoba mengajar kemampuan

berpikir kritis yang aktivitasnya seperti membandingkan, membuat kontradiksi,

membuat induksi, membuat generalisasi, membuat pengkhususan,

meng-klarifikasikan, membuat kategori, mengurutkan, memvalidasi, membuktikan,

mengait-kan, menganalisis, mengevaluasi, dan membuat pola,

aktivitas-aktivitasnya di-rangkaikan secara berkesinambungan.

Berpikir kritis tidak sama dengan mengakumulasi informasi. Seorang dengan daya

ingat baik dan memiliki banyak fakta tidak berarti seorang pemikir kritis. Seorang

pemikir kritis mampu menyimpulkan dari apa yang diketahuinya dan mengetahui

cara memanfaatkan informasi untuk memecahkan masalah, dan mencari

sumber-sumber informasi yang relevan untuk dirinya. Seorang pemikir kritis tidak puas

dengan hanya satu pendapat atau jawab tunggal tetapi akan selalu berusaha

mencari hal- hal apa yang dihadapinya, sehingga menimbulkan motivasi yang kuat

(27)

20

Jadi, berpikir kritis adalah proses berpikir dengan menggunakan logika dan proses

pemecahan masalah yang terdiri dari kegiatan menganalisis ide atau gagasan ke

arah yang lebih spesifik, membedakannya secara tajam, memilih,

meng-identifikasi, mengkaji dan mengembangkannya ke arah yang lebih sempurna

sehingga menghasilkan kesimpulan dan gagasan yang dapat memecahkan masalah

yang dihadapi.

Dalam penelitian ini, kemampuan berpikir kritis yang dimaksud adalah

ke-mampuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kompleks dalam aktivitas

mental seperti interpretasi, analisis, evaluasi, dan pengambilan keputusan.

Halpern (Yunarti, 2011: 27) mengungkapkan bahwa pada umumnya manusia

berpikir dalam langkah- langkah metode ilmiah, yaitu dalam pengujian hipotesis.

Langkah- langkah tersebut merupakan langkah- langkah berpikir seseorang untuk

memperoleh kesimpulan atau jawaban akan suatu masalah yang dihadapinya.

Kemudian untuk keperluan penelitian ini, peneliti menyusun model berpikir kritis

dengan mengikuti langkah- langkah metode ilmiah yang dikemukakan oleh Dye

(Yunarti, 2011: 34), yaitu (1) merasakan suatu masalah (wonder) (2) membuat

dugaan-dugaan (hipotesis) (3) melakukan pengujian (4) menerima hipotesis yang

dianggap benar. Langkah yang dilakukan bisa kembali ke langkah (3) jika

akibat-akibat yang diprediksi tidak muncul melalui eksperimen (5) melakukan tindakan

yang sesuai.

Tabel 2.2 menampilkan langkah- langkah berpikir kritis yang digunakan dalam

penelitian ini yang telah dikaitkan dengan langkah- langkah metode ilmiah dari

(28)

Tabel 2.2

Keterkaitan Langkah-Langkah Metode Socrates dengan Langkah-Langkah Berpikir Kritis

No informasi, atau objek tertentu

dengan: Apakah..?” atau ”Mengapa...?” atau ”Apa yang terjadi?” dugaan jawaban yang benar dengan pertanyaan counter examples melalui pertanyaan-pertanyaan seperti,

”Mengapa bisa begitu?”, ”Bagaimana jika...?”

Melakukan uji silang atau counter examples

a) Melakukan penilaian atas jawaban siswa melalui pertanyaan-pertanyaan seperti,”Apakah anda yakin

...?” atau ”Apa alasan ..?”

(proses bisa kembali ke langkah (3)

b) Menyusun hasil analisis siswa di papan tulis dan meminta siswa lain

(29)

22

a) Guru menyusun rangkaian analisis siswa dan meminta siswa mengoreksi kembali urutan rangkaian tersebut. Dalam tahap ini rangkaian analisis yang ditulis merupakan jawaban yang benar. Guru memberi bingkai untuk jawaban yang benar dan atau menghapus

Melakukan tindakan yang sesuai

b) jawaban lain yang salah. Pengambilan kesimpulan atau keputusan dengan pertanyaan, ”Apa

kesimpulan anda mengenai

...?” atau ”Apa keputusan

anda?”

(Yunarti, 2011: 58)

Dalam penelitian ini kemampuan berpikir kritis yang dimaksud adalah

kemampuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kompleks yang

meliputi: interpretasi (kemampuan untuk memahami dan mengungkapkan makna

dari berbagai kejadian atau informasi yang dihadapi), analisis (kemampuan untuk

membuat rincian atau uraian serta mengidentifikasi hubungan yang berada di

antara pernyataan, pertanyaan, atau konsep dari suatu representasi), evaluasi

(kemampuan untuk menilai dan mengkritisi kredibilitas dari

pernyataan-pernyataan atau representasi-representasi), dan pengambilan keputusan

(kemampuan untuk mengidentifikasi unsur- unsur yang dibutuhkan untuk menarik

(30)

D. Proses Belajar

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa proses adalah runtunan

perubahan atau peristiwa dalam perkembangan sesuatu. Sedangkan Surya (1981:

32) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses usaha yang dilakukan individu

untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru, sebagai hasil

pengalaman individu itu sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan. Proses

belajar merupakan jalan yang harus ditempuh oleh seorang pelajar untuk mengerti

suatu hal yang sebelumnya tidak diketahui (Rooijakers, 1993: 15).

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa proses belajar

merupakan tahapan-tahapan yang dilalui dalam mengembangkan kemampuan

(31)

III. METODE PEN ELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang

menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkrip

wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, reka man video, dan lain sebagainya.

Jadi penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif kualitatif.

Penelitian kualitatif dipandang lebih sesuai pada penelitian ini untuk mengetahui

proses pembelajaran matematika menggunakan metode socrates dengan

pendekatan kontekstual ditinjau dari kemampuan berpikir kritis siswa.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 15 Bandarlampung yang terletak di Jalan Padat Karya Sinar Harapan, Bandarlampung. SMA 15 Bandarlampung merupakan

salah satu sekolah dengan rata-rata nilai UAN sedang, informasi tersebut peneliti

peroleh dari hasil observasi di Dinas Pendidikan kota Bandarlampung.

(32)

C. Subjek dan Objek Penelitian

1. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas X6 SMA Negeri 15

Bandarlampung Tahun Pelajaran 2012/2013 dengan banyak siswa 39 orang.

Pemilihan subjek dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive

sampling.

2. Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah proses belajar dan kemampuan berpikir

kritis siswa.

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitiaan ini peneliti menggunakan 4 teknik pengumpulan data, yaitu

observasi, wawancara, dokumentasi, dan tes hasil belajar.

1. Observasi

Observasi dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung menggunakan

lembar observasi yaitu melakukan pengamatan dan pencatatan mengenai

pelaksanaan pembelajaran di kelas dengan menggunakan metode socrates

dengan pendekatan kontekstual, serta perilaku dan aktivitas yang ditunjukkan

selama proses pembelajaran berlangsung tanpa mengganggu proses

pembelajaran. Pengumpulan data selama observasi dibantu oleh seorang

(33)

26

2. Wawancara

Wawancara yang dilakukan oleh peniliti yaitu wawancara tidak terstruktur

yang digunakan pada studi pendahuluan untuk menemukan pokok

per-masalahan, dan wawancara terstruktur yang digunakan untuk mengetahui

tanggapan siswa terhadap pembelajaran matematika menggunakan metode

socrates dengan pendekatan kontekstual.

Informan pada tahap wawancara terdiri dari:

a. Wakil Kepala Sekolah SMA Negeri 15 Bandarlampung.

b. Guru Matematika kelas X6 SMA Negeri 15 Bandarlampung.

c. Siswa Kelas X6 SMA Negeri 15 Banadarlampung.

3. Dokumentasi

Teknik dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data berupa rekaman

kejadian di kelas yang dianggap penting atau menggambarkan suasana kelas

ketika aktivitas belajar berlangsung. Dapat berupa rekaman gambar, teks,

ataupun rekaman video.

4. Tes Hasil Belajar

Tes dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap

materi pelajaran yang diberikan, dan dikerjakan oleh siswa secara individual.

Soal tes berupa soal essay yang mencakup materi Logika Matematika dan

(34)

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Lembar Observasi

Lembar observasi digunakan sebagai pedoman selama melakukan pengamatan

guna memperoleh data yang diinginkan. Lembar observasi yang digunakan

dalam penelitian ini adalah lembar observasi pelaksa naan pembelajaran

dengan metode socrates kontekstual, yang berisi tentang aktivitas siswa dan

guru selama pelaksanaan pembelajaran. Lembar observasi ini berisi pedoman

dalam melaksanakan pengamatan terhadap aktivitas siswa selama

pem-belajaran, dan juga tentang aktivitas guru dalam melaksanakan

langkah-langkah pembelajaran socrates dengan pendekatan kontekstual,

meng-organisasikan, membimbing, memotivasi siswa, serta menciptakan lingkungan

belajar yang kondusif.

2. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara disusun untuk menelusuri lebih lanjut tentang hal- hal

yang tidak dapat diketahui melalui observasi. Selain itu juga untuk

mempermudah peneliti melakukan tanya jawab tentang bagaimana respon

siswa terhadap pembelajaran yang dilakukan. Secara umum isi pedoman

wawancara ini untuk mengetahui kendala apa saja yang dihadapi siswa dalam

mengikuti pembelajaran dengan metode socrates kontekstual dan solusi apa

yang diambil untuk mengatasi kendala tersebut, serta tanggapan siswa

(35)

28

3. Alat Perekam

Alat perekam berguna sebagai alat bantu pada saat penelitian, agar peneliti

dapat berkonsentrasi pada proses pengambilan data. Alat perekam yang

digunakan dalam penelitian ini adalah perekam foto, perekam video, dan

catatan lapangan.

4. Soal Tes

Soal tes terdiri dari soal uraian, peneliti menggunakan soal tes uraian dengan

alasan bahwa tes uraian dapat mengukur kemampuan memahami masalah,

merencanakan strategi penyelesaian masalah, menyelesaikan masalah, dan

menafsirkan solusinya.

F. Tahap-tahap Penelitian

Tahapan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Tahap persiapan

a) Identifikasi Masalah

Pemilihan SMA Negeri 15 Bandarlampung sebagai lokasi penelitian

dilihat dari rata-rata nilai UAN tahun pelajaran 2011/2012 yang tergolong

sedang. Selanjutnya dilihat pengaruh dari penerapan metode socrates

kontekstual terhadap proses belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa

pada sekolah yang kemudian digolongkan dalam level sedang. Kemudian

peneliti mengidentifikasi masalah yang dilakukan dengan melakukan

wawancara dengan beberapa siswa dan guru matematika di SMA Negeri

15 Bandarlampung. Hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa secara

(36)

ber-pikir kritis yang baik, karena dalam pembelajaran matematika di kelas

guru kurang mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa baik pada

saat proses belajar atau dalam memberikan latihan soal.

b) Menyiapkan Instrumen Penelitian

Peneliti menyiapkan instrumen atau alat yang diperlukan dalam

pe-laksanaan penelitian antara lain: pedoman wawancara, pedoman observasi,

alat perekam, dan soal tes. Dalam rangka kepentingan pengumpulan data,

teknik yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi.

c) Persoalan etika dalam lapangan

Dalam hal ini peneliti akan berhubungan dengan orang-orang, baik secara

perorangan maupun secara kelompok atau masyarakat, akan bergaul,

hidup, dan merasakan serta menghayati bersama tatacara dan interaksi

dalam suatu latar penelitian. Persoalan etika akan muncul apabila peneliti

tidak menghormati, mematuhi dan mengindahkan nilai- nilai masyarakat

dan pribadi yang ada. Menghadapi persoalan tersebut, peneliti telah

mempersiapkan diri baik secara fisik, psikologis maupun mental.

2. Tahap Pelaksanaan

a) Memahami dan memasuki lapangan

Pada tahap ini peneliti harus benar-benar telah mempersiapkan diri untuk

mulai melakukan tahap mengumpulkan data/informasi dari subjek

pe-nelitian. Diantaranya memahami latar penelitian, yaitu latar terbuka

dimana secara terbuka siswa berinteraksi sehingga peneliti hanya

(37)

30

langsung dengan siswa. Selain itu peneliti juga menyesuaikan cara

berpakaian sesuai dengan budaya latar penelitian.

b) Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawa ncara, teknik observasi,

teknik dokumentasi, dan memberikan soal tes untuk mendapatkan

informasi tentang berpikir kritis siswa.

3. Pengolahan Data

Selanjutnya peneliti melakukan analisis data dan interpretasi data sesuai

dengan langkah- langkah yang dijabarkan pada bagian metode analisis data di

akhir bab ini. setelah itu, peneliti membuat kesimpulan dan memberikan

saran-saran untuk penelitian selanjutnya.

G. Keabsahan dan Keajegan Penelitian

Kriteria keabsahan dan keajegan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Keabsahan Konstruk (Construct Validity)

a. Triangulasi Data

Mengguanakan berbagai sumber data seperti dokumen, arsip, hasil

wawancara, hasil observasi atau juga dengan mewawancarai lebih dari

satu subjek yang dianggap memiliki sudut pandang yang berbeda.

b. Triangulasi Pengamat

Adanya pengamat di luar peneliti yang turut memeriksa hasil

(38)

bertindak Sebagai pengamat (expert judgement) yang memberikan

masukan terhadap hasil pengumpulan data.

c. Triangulasi Teori

Penggunaan berbagai teori yang berlaianan untuk memastikan bahwa data

yang dikumpulkan sudah memasuki syarat. Pada penelitian ini, berbagai

teori telah dijelaskan pada bab II untuk dipergunakan dan menguji

terkumpulnya data tersebut.

d. Triangulasi Metode

Penggunaan berbagai metode untuk meneliti suatu hal, seperti metode

wawancara, metode observasi, dan dokumentasi. Pada penelitian ini,

peneliti melakukan metode wawancara yang ditunjang dengan metode

observasi dan dokumentasi pada saat wawancra dilakukan.

2. Keajegan (Reabilitas)

Keajegan merupakan konsep yang mengacu pada seberapa jauh penelitian

berikutnya akan mencapai hasil yang sama apabila mengulang penelitian yang

sama sekali lagi.

Keajegan mengacu pada kemungkinan peneliti selanjutnya memeperoleh hasil

yang sama apabila penelitian dilakukan sekali lagi dengan subjek yang sama.

Hal ini menujukan bahwa konsep keajegan penelitian kualitatif selain

menekankan pada desain penelitian, juga pada cara pengumpulan data dan

(39)

32

H. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data tentang keterlaksanaan pembelajaran matematika menggunakan metode socrates dengan pendekatan

kontekstual dan kemampuan berpikir kritis siswa. Data yang terkumpul berupa

data hasil wawancara, observasi, dokumentasi, dan tes. Teknik analisis data dalam

penelitian ini dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:

1. Reduksi Data

Reduksi data meliputi penyeleksian data melalui deskripsi atau gambaran

singkat dan pengelompokan data dilakukan ke dalam kualifikasi yang telah ditentukan.

2. Penyajian Data

Penyajian data dilakukan dalam rangka mengorganisasikan data yang

merupakan kegiatan penyusunan informasi secara sistematik dari reduksi data sehingga memudahkan membaca data.

3. Triangulasi Data

Triangulasi dilakukan untuk mengecek keabsahan data. Triangulasi data

dilakukan dengan cara mencocokkan semua data yang diperoleh dari semua sumber yang telah diperoleh, yaitu hasil observasi, hasil wawancara,

(40)

4. Penarikan Kesimpulan

Penarikan simpulan adalah pemberian makna pada data yang diperoleh dari

penyajian data. Penarikan simpulan dilakukan berdasarkan hasil dari semua

data yang diperoleh.

Secara rinci, kegiatan analisis data dari sumber-sumber informasi hasil penelitian tersebut dilakukan sebagai berikut:

1. Analisis Data Hasil Observasi Pelaksanaan Pembelajaran

Analisis data tentang pelaksanaan pembelajaran menggunakan metode

socrates dengan pendekatan kontekstual diperoleh dari data hasil observasi

yang dilakukan selama proses pembelajaran. Data tentang keterlaksanaan pembelajaran dengan metode socrates kontekstual ini dianalisis secara

deskriptif.

2. Data Hasil Wawancara

Aspek yang dinilai dari wawancara adalah sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dan pembelajaran menggunakan metode socrates dengan

pendekatan kontekstual, yang ditunjukkan dari jawaban dengan respon positif

dan negatif.

Analisis terhadap hasil wawancara dengan siswa diharapkan dapat membantu

untuk mengetahui hal- hal apa saja yang dirasakan selama pembelajaran,

(41)

34

3. Analisis Data Hasil Tes

Analisis digunakan untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis matematis

siswa. Analisis dilakukan terhadap data yang bersifat kuantitatif, yang

diperoleh melalui tes (uji blok). Penskoran jawaban siswa terhadap soal

kemampuan berpikir kritis matematis yang diberikan berpatokan pada sistem

holistic scoringrubrics yang dikemukakan oleh Scoen dan Ochmkel (Sudjana,

2004: 31). Adapun rentang skor yang digunakan adalah 0, 5, 10, 15, dan 20.

a. Nilai Rata-Rata Hasil Tes Kemampuan Berpikir Kritis

Nilai rata-rata hasil tes dicari dengan menggunakan rumus:

Untuk keperluan mengkualifikasi kualitas kemampuan berpikir kritis

matematis siswa dikelompokkan menjadi kategori sangat baik, baik,

cukup, kurang, dan sangat kurang dengan menggunakan skala lima

menurut Suherman dan Kusumah (1990: 272) yaitu pada tabel 3.1.

Tabel 3.1

Krite ria Penentuan Tingkat Kemampuan Sis wa Persentase skor total sis wa Kategori ke mampuan siswa

90% ≤ A ≤ 100% A (Sangat Baik)

75% ≤ B < 90% B (Baik)

(42)

Persentase skor total sis wa Kategori ke mampuan siswa

55% ≤ C < 75% C (Cukup)

40% ≤ D < 55% D (Kurang)

0% ≤ E < 40% E (Sangat Kurang)

b. Persentase Rata-Rata Tiap Indikator Kemampuan Berpikir Kritis

Untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis matematis siswa dari tiap

indikator, dianalisis dengan tahapan sebagai berikut:

 Masing- masing butir soal dikelompokkan sesuai dengan indikator

kemampuan berpikir kritis matematis.

 Berdasarkan pedoman pensekoran yang telah dibuat, kemudian

dihitung jumlah skor tiap indikator. Selanjutnya dihitung

persentase-nya dengan rumus sebagai berikut:

 Data hasil perhitungan di atas kemudian dikualifikasikan dengan

ketentuan pada table 3.1.

(43)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Selama proses belajar di kelas, siswa tergolong aktif dan tidak lamban dalam

pembelajaran menggunakan metode socrates. Hal tersebut ditunjukkan

antusias siswa dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari guru pada setiap

pertemuan mulai dari pertanyaan yang sederhana sampai pertanyaan yang

sifatnya lebih kompleks.

2. Kemampuan berpikir kritis siswa kelas X6 SMA Negeri 15 Bandarlampung

tergolong ke dalam kriteria sedang. Hal ini terlihat dari rata-rata hasil belajar

siswa sebesar 66,28 dari 39 siswa.

3. Secara umum siswa memberikan respon yang positif terhadap pembelajaran

menggunakan metode socrates dengan pendekatan kontekstual yang

ditunjukkan dari sikap siswa pada hasil wawancara terhadap pengalaman

belajarnya.

4. Kemampuan berpikir kritis siswa sudah cukup baik, namun masih lemah

dalam hal evaluasi dan penarikan kesimpulan. Dari pembahasan diperoleh

(44)

antara lain: (a) kurangnya pemahaman terhadap masalah matematis, dan (b)

kurangnya ketekunan dan kegigihan siswa dalam mempelajari matematika.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang diperoleh serta proses yang telah dilakukan, dapat dikemukakan saran sebagai berikut:

1. Metode pembelajaran socrates dengan pendekatan kontekstual dapat dijadikan

guru sebagai metode alternatif untuk mengajarkan matematika terlebih lagi

materi yang bisa dikatkan dengan kehidupan nyata. Selain dapat mengasah

kemampuan berpikitir kritis siswa, metode ini juga dapat meningkatkan minat

belajar siswa.

2. Kepada para peneliti yang akan melakukan jenis penelitian yang sama, disarankan untuk melakukan pengkajian aspek-aspek lain seperti pengkajian

terhadap lembar observasi, catatan lapangan, wawancara, jurnal harian, dan

angket agar dalam mendeskripsikan proses pembelajaran terlihat lebih jelas tindakan yang dilakukan.

3. Peneliti diharapkan melakukan uji soal tes yang akan digunakan, sehingga

soal tes lebih valid dan dapat benar-benar merepresentasikan kemampuan

berpikir kritis siswa.

4. Dalam melakukan pengamatan terhadap proses belajar dan menilai sikap serta

perkembangan siswa, sebaiknya peneliti sudah mengenal karakteristik objek

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2002. Ringkasan Kegiatan Belajar Mengajar. Jakarta: Depdiknas.

Ennis, R. H. 1996. Critical Thinking. New Jersey: Prentice Hall.

Fitria, R. 2010. Pengaruh Pembelajaran Melalui Strategi Heuristik Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA. Skripsi. Bandung: UPI.

Gunowibowo, Pentatito. 2008. Efektivitas Pendekatan Realistik dalam Me-ningkatkan Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita dan Sikap Terhadap Matematika Ditinjau dari Kemampuan Awal Siswa Kelas IV SD di Kecamatan Purworejo Kabupaten Purworejo. Tesis. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Johnson, David. W & Johnson, Robert, T. 2002. The Meaningful Assesing “A Manageable and Cooperative Process”. Allyn and Bacon.

Jones, et al. , 1994. Socratic. The Expert Educator.________________

Khotimah, T. H. 2011. Penerapan Model Pembelajaran Learning cycle 7EU ntuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP. Skripsi. Bandung: UPI.

Krismanto, AL. 2003. Beberapa Teknik Model dan Strategi Dalam Pembelajarn Matematika. Yogyakarta: Pusat Penataran Guru Matematika.

Lathifah, L. N. 2011. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe CO-OP Terhadap Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA Dalam Matematika. Skripsi. Bandung: UPI.

Miles, Matthew. B & Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI-Press.

Permendiknas. 2006. Standar Isi. [Online]. Tersedia: http://www.kemdiknas .go.id/list_link/produk-hukum/peraturanmenteri/2006. 23 Agustus 2011.

(46)

Siswa dalam Belajar Materi Bangun Ruang Sisi Tegak di Kelas 1 SLTP Negeri 6 Sidoarjo. Denpasar: Universitas Udayana.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Supinah. 2008. Pembelajaran Matematika SD dengan Pendekatan Kontekstual dalam Melaksanakan KTSP. Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika.

Surya, Moh .1981. Pengantar Psikologi Pendidikan. Bandung: IKIP Bandung.

Sutrisno, Bejo. 2011. Metode Socrates. [Online]. Tersedia:

http://mrbejo.com/page/39721/metode-socrates.html. 15 Maret2012.

Syukur, M. 2004. Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA dalam Pembelajaran Matematika. Thesis. Padang: UNP.

Wardhani, S. 2004. Pembelajaran Matematika Konstektual di SMP. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

(47)

125

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

(RPP)

JENJANG PENDIDIKAN : SMA

KELAS : X

MATA PELAJARAN : MATEMATIKA

POKOK BAHASAN : LOGIKA MATEMATIKA

ALOKASI WAKTU : 2 x 45 MENIT

PERTEMUAN KE- : 1

STANDAR KOMPETENSI

Menggunakan logika matematika dalam pemecahan masalah yang berkaitan dengan pernyataan majemuk dan pernyataan berkuantor.

KOMPETENSI DASAR

Memahami pernyataan dalam matematika dan ingkaran atau negasinya.

A.TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Peserta didik dapat menjelaskan arti dan contoh dari pernyataan dan kalimat terbuka, serta menentukan nilai kebenaran suatu pernyataan.

2. Peserta didik dapat menentukan ingkaran atau negasi dari suatu pernyataan beserta nilai kebenarannya.

B.INDIKATOR

1. Menjelaskan arti dan contoh dari pernyataan dan kalimat terbuka, serta menentukan nilai kebenaran suatu pernyataan.

2. Menentukan ingkaran atau negasi dari suatu pernyataan beserta nilai kebenarannya

C.METODE DAN PENDEKATAN

Metode : Socrates

Pendekatan : Kontekstual

D.KEGIATAN PEMBELAJARAN

1. Pendahuluan

a. Guru membuka pertemuan dengan mengucapkan salam.

b. Guru memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan pembelajaran. c. Guru memberikan motivasi mengenai materi Logika. Apabila materi ini

dikuasai dengan baik, maka peserta didik diharapkan dapat menjelaskan arti dan contoh dari pernyataan dan kalimat terbuka, menentukan nilai kebenaran suatu pernyataan, serta dapat menentukan ingkaran atau negasi dari suatu pernyataan beserta nilai kebenarannya.

2. Kegiatan Inti:

a. Guru memberikan kalimat sebagai berikut: Jakarta adalah Ibukota Indonesia

(48)

Jakarta kota yang indah

b. Guru memberi waktu 3 menit pada siswa untuk mendiskusikan apa yang dapat mereka simpulkan dari kalimat di atas. Hasil jawaban siswa diprediksi sebagai berikut.

Prediksi I : Siswa menyimpulkan sesuai jawaban yang diharapkan. Prediksi II : Siswa menyimpulkan dengan berbagai kalkulasi. Prediksi III : Siswa tidak menjawab sama sekali.

HLT I

Guru menggali keyakinan jawaban siswa untuk membuatnya lebih yakin akan hasil pemikirannya melalui pertanyaan-pertanyaan Socrates seperti:

Pertanyaan Klarifikasi:

 Bisakah anda memperjelas jawaban anda?

 Apakah selalu tepat begitu?

Pertanyaan tentang asumsi:

 Bagaimana jika kalimat yang anda bilang benar itu belum tentu benar untuk orang lain?

HLT II

Guru menggali keyakinan jawaban siswa dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan Socrates yang diberikan sebagai berikut:

Pertanyaan Klarifikasi:

 Bisakah anda uraikan lagi hasil kesimpulan anda?

 Kenapa anda bisa menyimpulkan demikian?

HLT III

Guru memberikan pertanyaan-pertanyaan Socrates untuk mengetahui berpikirnya siswa serta hal yang membuat ia tidak menjawab.

Pertanyaan Klarifikasi:

 Apa yang membuat anda bingung atau ragu untuk menjawab?

 Apa saja yang anda ketahui dari kalimat tersebut?

 Menurut anda, apakah perbedaan dari setiap kalimat yang diberikan?

 Apakah pertanyaannya kurang jelas?

c. Guru bersama-sama siswa menyimpulkan apa yang dimaksud dengan pernyataan dan bukan pernyataan serta nilai kebenarannya.

d. Guru memberi persoalan yang berkaitan dengan kalimat terbuka sebagai berikut:

Siswa diberikan kesempatan untuk mendiskusikannya dengan teman sebangku apa yang dimaksud dengan kalimat terbuka dari soal di atas. e. Setelah selesai berdiskusi, guru memberikan pertanyaan-pertanyaan

Socrates untuk menguji keyakinan siswa sebagai berikut. Pertanyaan klarifikasi:

(49)

127

 Apakah kalimat tersebut punya nilai kebenaran?

 Apa yang dimaksud kalimat terbuka?

 Bisakah dijelaskan lebih rinci lagi?

 Mengapa anda mengatakan demikian?

Pertanyaan tentang alasan atau bukti:

 Apa alasan anda sehingga memberi pernyataan seperti itu?

 Hal apa yang memperkuat jawaban anda tadi?

Pertanyaan tentang asumsi:

 Bagaimana jika variable x diganti dengan nilai 1 dan 3?

f. Guru memberikan stimulus tentang negasi (ingkaran) suatu pernyataan. g. Guru memberikan persoalan sebagai berikut:

Siswa diminta untuk mencari negasi dari kalimat tanya di atas dengan teman sebangku.

h. Setelah selesai berdiskusi, guru memberi kesempatan pada siswa untuk bertanya dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan Socrates seperti langkah-langkah sebelumnya sebagai berikut.

Pertanyaan klarifikasi:

 Apa negasi dari kalimat tanya di atas?

 Kenapa bisa begitu?

 Bisa anda jelaskan lagi apa itu negasi?

 Menurut anda, yang punya negasi itu kalimat atau nilainya?

Pertanyaan asumsi:

 Apa kalimat tanya punya nilai kebenaran?

 Bagaimana jika pendapat anda tentang nilai kebenaran kalimat tanya tersebut tidak sama dengan pendapat orang lain?

i. Guru dan siswa bersama-sama menyimpulkan hasil diskusi.

j. Guru membentuk siswa menjadi beberapa kelompok heterogen berdasarkan nilai matematika yang diperoleh pada ujian semester ganjil tahun pelajaran 2012/2013, yang masing-masing kelompok beranggotakan 4 orang.

k. Guru membagikan Lembar Aktifitas Siswa (LAS) dan siswa menjawab tugas-tugas pada lembar aktivitas siswa. Hasil diskusi tersebut ditulis dan di presentasikan di depan kelas.

Sebelum aktivitas siswa dilaksanakan, maka dibuat prediksi respon siswa yang mungkin muncul beserta antisipasi pembelajarannya. Prediksi respon siswa dan antisipasi pembelajaran itu dibedakan atas 3 kemampuan siswa, yaitu tinggi, sedang, dan rendah, yaitu:

(50)

Kemampuan siswa

Prediksi Respon Siswa

Tinggi Dapat menjelaskan pengertian dan ciri-ciri pernyataan, kalimat terbuka dan ingkaran suatu pernyataan. Serta dapat menyajikan data dalam berbagai cara yang mungkin.

Sedang Dapat menjelaskan pengertian dan ciri-ciri pernyataan, kalimat terbuka dan ingkaran suatu pernyataan tapi masih salah dalam menyajikan data dalam berbagai cara yang mungkin.

Rendah Dapat menjelaskan pengertian dan ciri-ciri pernyataan, kalimat terbuka dan ingkaran suatu pernyataan. Serta belum dapat menyajikan data dalam berbagai cara yang mungkin.

Guru membuat antisipasi pembelajarannya, yaitu:

Kemampuan siswa

Antisipasi Pembelajaran

Tinggi Memberikan penguatan kepada siswa akan pentingnya logika matematika dalam kehidupan sehari-hari

Sedang Memberikan penguatan kepada siswa akan pentingnya logika matematika dalam kehidupan sehari-hari

Rendah 1.Mengarahkan siswa melalui pertanyaan-pertanyaan Socrates untuk mengeksplor karakteristik data. 2.Mengarahkan siswa melalui pertanyaan-pertanyaan

Socrates agr dapat menyajikan data dalam berbagai cara yang mungkin.

3. Penutup

a. Guru meminta perwakilan kelompok untuk memberikan laporannya (lisan dan tertulis).

b. Guru membimbing siswa membuat rangkuman dari hasil-hasil yang diperoleh selama aktivitas pembelajaran.

c. Guru mengakhiri pembelajaran dengan mengucapkan salam.

E.SUMBER/ ALAT/ MEDIA

Media : LCD atau OHP

Sumber : Lembar Aktivitas Siswa (LAS) dan Hand-Out, buku paket siswa

Alat :

Bandarlampung, Januari 2013

Guru mitra, Praktikan,

(51)

129

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

(RPP)

JENJANG PENDIDIKAN : SMA

KELAS : X

MATA PELAJARAN : MATEMATIKA

POKOK BAHASAN : LOGIKA MATEMATIKA

ALOKASI WAKTU : 2 X 45 MENIT

PERTEMUAN KE- : 2

STANDAR KOMPETENSI

Menggunakan logika matematika dalam pemecahan masalah yang berkaitan dengan pernyataan majemuk dan pernyataan berkuantor.

KOMPETENSI DASAR

Menentukan nilai kebenaran dari suatu pernyataan majemuk dan pernyataan berkuantor.

A.TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Peserta didik dapat menentukan nilai kebenaran dari suatu pernyataan majemuk berbentuk konjungsi, disjungsi, implikasi, dan biimplikasi.

2. Peserta didik dapat menentukan ingkaran atau negasi dari suatu pernyataan majemuk berbentuk konjungsi, disjungsi, implikasi, dan biimplikasi.

B.INDIKATOR

1. Menentukan nilai kebenaran dari suatu pernyataan majemuk berbentuk konjungsi, disjungsi, implikasi, dan biimplikasi.

2. Menentukan ingkaran atau negasi dari suatu pernyataan majemuk berbentuk konjungsi, disjungsi, implikasi, dan biimplikasi.

C.METODE DAN PENDEKATAN

Metode : Socrates

D.KEGIATAN PEMBELAJARAN

1. Pendahuluan

a. Guru membuka pelajaran dengan mengucapkan salam.

b. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan mengingat kembali tentang pengertian pernyataan dan nilai kebenarannya.

c. Guru memberikan motivasi mengenai materi Logika Matematika dalam kehidupan sehari - hari yang mempunyai keterkaitan dengan pernyataan majemuk.

2. Kegiatan Inti

a. Guru memberi sebuah pernyataan sebagai berikut:

Saya suka berhitung.

(52)

b. Guru meminta siswa untuk menggabungkan dan dengan kata penghubung, “dan”, “atau”, “jika p maka q”, “sedemikian sehingga”. c. Guru memberi waktu pada siswa untuk menjawab masalah di atas.

Setelah selesai menuliskan jawabannya, siswa diminta menjelaskan makna setiap kalimat yang telah diberi kata hubung di atas.

d. Guru menguji keyakinan siswa dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan Socrates sebagai berikut.

Pertanyaan Klarifikasi:

 Bisakah anda menjelaskan makna pernyataan majemuk yang di-buat?

 Apakah selalu tepat begitu?

 Apakah perbedaan dari setiap pernyataan majemuk yang anda buat?

 Bagaimana anda bisa merumuskan seperti itu?

e. Guru memberi contoh data dalam bentuk informasi sebagai berikut:

Pernyataan Konjungsi

jika dua pernyataan dan digabungkan dengan kata penghubung “dan” maka pernyataan yang terbentuk dinamakan konjungsi, misal :

saya suka berhitung bernilai benar

saya suka matematika bernilai benar

Kemudian guru memberi penjelasan tentang nilai kebenaran pernyataan majemuk konjungsi dan bernilai benar (B) jika kedua komponennya bernilai benar. Dilanjutkan dengan penjelasan pernyataan majemuk disjungsi dan nilai kebenarannya.

f. Guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok tugas untuk mengerjakan LAS.

g. Guru membagikan LAS dan membimbing siswa dalam menjawab tugas-tugas pada LAS.

Berikut salah satu persoalan yang diberikan:

h. Salah satu kelompok diberikan kesempatan untuk mempresentasikan hasil diskusinya.

i. Guru mengklarifikasi hasil diskusi siswa dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan Socrates sebagai berikut:

p : Hari hujan

q : Arya membawa payung

p q : Jika hari hujan, maka Arya membawa payung

Bilamanakah pernyataan di atas akan bernilai benar atau salah untuk empat kasus berikut jika setiap pernyataan di atas bernilai benar?

Kasus 1: Hari benar-benar hujan dan Arya benar-benar membawa payung.

Kasus 2: Hari benar-benar hujan namun Arya tidak membawa payung. Kasus 3: Hari tidak hujan namun Arya membawa paying

Gambar

Tabel 2.1 Jenis-Jenis Pertanyan Socrates dan Kaitannya
Tabel 2.2
Tabel 3.1 Kriteria Penentuan Tingkat Kemampuan Siswa
grafik fungsi

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan pendidikan nasional tersebut tercantum dalam UU RI No 20 tahun 2003 bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak

Ayat ini mengandung pesan bahwa Allah menilai maksud yang terkandung di dalam hati, meskipun berbeda dengan apa yang diucapkannya. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. Ayat ini

Penelitian pengembangan multimedia interakif ini menggunakan model pengembangan ADDIE (analysis, design, development, implementation, dan evaluation) agar multimedia

Jumlah anggota rumah tangga juga akan mempengaruhi konsumsi pangan. Bagi rumah tangga dengan anggota rumah tangga banyak, pada kondisi tersebut maka tingkat konsumi pangan

Dalam perkembangannya program studi manajemen pendidikan perlu adanya dukungan dari sistim pengembangan pendidikan dan pengembangan kajian manajemen pendidikan pada

Perbedaan penelitian ini dengan yang akan diteliti ialah variabel yang di ukur size perusahaan yang berpengaruh terhadap return saham, pada penelitian yang akan

Peralatan bor listrik ini digunakan untuk mengebor atau membuat lubang pada benda yang terbuat dari fiberglass, karena sifat bahan dari fibarglass adalah keras mudah

 Nilai Praksis berkaitan dengan aturan-aturan Nilai Praksis berkaitan dengan aturan-aturan konkrit yang dipakai untuk mengatur dan. konkrit yang dipakai untuk mengatur dan