• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis ekologi, biologi dan sosial ekonomi untuk dasar kebijakan pengelolaan budidaya rumput laut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis ekologi, biologi dan sosial ekonomi untuk dasar kebijakan pengelolaan budidaya rumput laut"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

UNTUK DASAR KEBIJAKAN PENGELOLAAN

BUDIDAYA RUMPUT LAUT

(Kasus Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Di Pulau Nain)

EDWIN LEONARDO APOLONIO NGANGI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Ekologi, Biologi dan

Sosial Ekonomi untuk Dasar Kebijakan Pengelolaan Budidaya Rumput Laut

(Kasus Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Di Pulau Nain) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan

tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2012

(3)

ABSTRACT

EDWIN LEONARDO APOLONIO NGANGI. Analysis of Ecology, Biology and Social Economic for Management Policy of Seaweed Cultivation (Case of Seaweed Kappaphycus alvarezii Cultivation on Nain Island). Under direction of AKHMAD FAUZI, ISMUDI MUCHSIN, ENANG HARRIS and RICHARDUS KASWADJI.

The declining of seaweed production in the Nain Island migh be attributed to the frequency use of seeds repeatedly for many years. In addition to the use of seeds, the declining was also due to the construction of houses on the area of cultivation. Nain Island is a semi enclosed waters so that waste can be trapped in it. The study was conducted in several stages: seaweed growth test, water quality observations, interviews, and measurement of potential contamination. The results of observations show that Nain Island water is still below the threshold limit values and quality of raw water pollution control and water quality standard for marine biota. Distribution of domestic waste has not reached the area of seaweed cultivation. The capacity of a viable operating area is 7 units per acre. Total production of Kappaphycus alvarezii in the area of 1.075,2 hectares is 4,449 tons per harvest or 26.695,2 tons per year. Firms benefit if they start the cycle in stage IV, and continued to increase. Net present value (NPV) is Rp. 102.074.976, benefit cost ratio (B/C ratio) is 1.27, and payback period for 1 year 3 months 8 days. If seaweed prices fell Rp. 10.000/kg then the NPV is Rp. 22.523.280 and B/C ratio is 1,106. If there is an increase of 25% of production costs, the project is still feasible to be developed, where the NPV is still positive (Rp. 16.988.526) with B/C ratio of 1,04. Relative efficiency values for seaweed cultivation on the Nain Island is 100%. This shows that seaweed cultivation on Nain Island has been efficient.

(4)

RINGKASAN

EDWIN LEONARDO APOLONIO NGANGI. Analisis Ekologi, Biologi dan Sosial Ekonomi untuk Dasar Kebijakan Pengelolaan Budidaya Rumput Laut (Kasus Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Di Pulau Nain). Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI, ISMUDI MUCHSIN, ENANG HARRIS, dan RICHARDUS KASWADJI.

Produksi rumput laut di Pulau Nain terlihat dari data tahun 1996 sampai tahun 2000 sebanyak 350 sampai 400 ton per bulan. Tetapi sejak akhir tahun 2000 produksi rumput laut di pulau ini mulai menurun (Gerung et al. 2008). Menurunnya produksi rumput laut di Pulau Nain menurut para stakeholder

disebabkan oleh frekuensi pemakaian bibit yang sudah terjadi berulangkali sejak budidaya rumput laut dimulai pada tahun 1989 atau sudah lebih dari 20 tahun. Berbagai informasi menyatakan bahwa pemakaian bibit berulang dalam waktu yang lama akan menurunkan kualitas bibit sehingga berpengaruh pada pertumbuhan. Selain penggunaan bibit, merosotnya produksi rumput laut di Pulau Nain diduga karena para pembudidaya mendirikan rumah di atas atau dekat areal budidaya sehingga limbah rumah tangga, deterjen, dan tumpahan minyak sudah mencemari perairan. Perairan Pulau Nain yang semi tertutup karena dikelilingi oleh karang (fringing reef) lebih memperkuat dugaan bahwa menurunnya produksi rumput laut disebabkan oleh beban limbah yang masuk ke perairan terperangkap di dalamnya.

Tujuan penelitian untuk merumuskan pengelolaan budidaya rumput laut berdasarkan potensi ekologi, biologi dan sosial ekonomi di Gugus Pulau Nain Kabupaten Minahasa Utara. Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi pemerintah Kabupaten Minahasa Utara dan pemerintah di Wilayah Minahasa secara keseluruhan untuk pengelolaan budidaya rumput laut, khususnya jenis Kappaphycus alvarezii.

Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap, tahapannya adalah: 1) Uji pertumbuhan rumput laut, diikuti dengan pengamatan parameter kualitas air. Pada tahap ini dilakukan juga wawancara dengan berpedoman pada kuisioner. Tahap ini dilakukan mulai Januari 2007 sampai Juni 2008, 2) Monitoring dan evaluasi lewat uji pertumbuhan serta pengamatan kualitas air yang dilakukan pada bulan Mei–Agustus 2009 dan Juni–September 2010 3) Pengamatan distribusi potensi bahan pencemar serta pengamatan parameter kualitas air di sekeliling Perairan Gugus Pulau Nain. Pada tahap akhir ini dilakukan juga wawancara yang berpedoman pada kuisioner. Tahap ini dilakukan pada bulan Mei 2011.

(5)

merosotnya produksi rumput laut di Pulau Nain. Kecepatan arus yang lemah dapat diatasi dengan menghitung kapasitas areal.

Kapasitas areal budidaya rumput laut di perairan Pulau Nain dengan ukuran unit budidaya 20 x 60 m2 yang layak beroperasi adalah 7 unit/hektar. Maka kapasitas produksi dari pengembangan budidaya rumput laut berupa jumlah unit budidaya dan jumlah produksi dalam satu siklus tanam merupakan bagian dari daya dukung lingkungan. Lamanya waktu satu siklus tanam adalah 45 hari pemeliharaan ditambah dengan masa persiapan dan masa panen selama 2 minggu, maka dibutuhkan jangka waktu 2 bulan. Jadi untuk 1 tahun terdapat 6 siklus tanam. Dengan demikian total produksi K. alvarezii untuk luas areal 1075,2 hektar sebanyak 4.449,2 ton/panen atau 26.695,2 ton/ha/tahun.

Usaha budidaya rumput laut K. alvarezii di perairan Gugus Pulau Nain akan memberikan keuntungan mulai dari siklus tanam IV, dan terus meningkat sampai akhir tahun kedua umur proyek. Proyek selanjutnya, tidak ada lagi pinjaman. Hasil penerimaan ini dibandingkan dengan biaya maka nilai NPV sebesar Rp. 102.074.976, B/C 1,27 dan PP 1 tahun 3 bulan 8 hari.

Analisis sensitivitas dilakukan terhadap pendapatan dan kenaikan biaya produksi. Apabila pendapatan mengalami penurunan sedangkan biaya investasi dan biaya operasional tetap maka hasil perhitungan menunjukkan bahwa pada saat nilai jual rumput laut kering turun pada tingkat harga Rp. 10,000/kg dengan suku bunga 12% diperoleh NPV Rp. 22.523.280, dan Net B/C ratio 1.106, usaha masih layak dilaksanakan. Apabila terjadi kenaikan biaya produksi sebesar 25%, proyek masih layak dikembangkan, dimana NPV masih positif yakni Rp. 16.988.526 dengan B/C ratio 1,04.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan pustaka suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(7)

ANALISIS EKOLOGI, BIOLOGI DAN SOSIAL EKONOMI

UNTUK DASAR KEBIJAKAN PENGELOLAAN

BUDIDAYA RUMPUT LAUT

(Kasus Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Di Pulau Nain)

EDWIN LEONARDO APOLONIO NGANGI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji luar ujian tertutup :

1. Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. 2. Dr. Ir. Eddy Supriono, M.Sc.

Penguji luar ujian terbuka :

1. Prof. Dr. Ir. Rizal M. Rompas, M.Agr.

(9)

Judul Disertasi : Analisis Ekologi, Biologi dan Sosial Ekonomi untuk Dasar Kebijakan Pengelolaan Budidaya Rumput Laut (Kasus Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Di Pulau Nain)

Nama : Edwin Leonardo Apolonio Ngangi

NIM : C261030031

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin Ketua Anggota

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Pengelolaan Sumberdaya Pesisir

dan Lautan

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(10)

PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Yang Mahakuasa atas segala

berkat dan karunia sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Karya ilmiah

yang berjudul Analisis Ekologi, Biologi dan Sosial Ekonomi untuk Dasar

Kebijakan Pengelolaan Budidaya Rumput Laut (Kasus Budidaya Rumput Laut

Kappaphycus alvarezii Di Pulau Nain) ini berkaitan dengan keinginan penulis untuk mengetahui pengelolaan budidaya rumput laut di Minahasa, khususnya di

Pulau Nain Kabupaten Minahasa Utara.

Terima kasih dan penghargaan yang tak ternilai disampaikan kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin, Prof. Dr. Ir.

Enang Harris, MS., dan Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc. selaku komisi

pembimbing yang banyak mengarahkan, membimbing serta memberikan saran

kepada penulis sehingga disertasi ini dapat dirampungkan.

2. Orang-orang yang penulis cintai: Loura Pandelaki SE, MSi, isteri penulis;

Mama Meiske Senduk & Papa Joseph FN. Chep Ngangi (alm); Mama Vonny

Rumbayan & Papa Johny Pandelaki (alm); Kakak, adik, ponakan: Dr.Ir.

Charles Ngangi, MS & Ritha Lontoh, SH,MH, Steve & Richard; Debby &

Tonny, Wita, Fandy & Aldo; Ir. Verico Ngangi & Conny Mandagi, SPi, MSi,

Brigita & Goldio; Dra. Patricia A. Ngangi, T. Marciano Ngangi, SPi. & Linda

Walangitan, Renaldy & Sheryl; Harry Prof Ngangi; Linda Pandelaki, SE &

David Ruslam, S.Kom., Valen & Vio; Hendra Pandelaki & Ita, serta Anggi;

serta seluruh keluarga besar Ngangi-Senduk dan Pandelaki-Rumbayan yang

telah berkorban dan berjuang bersama-sama selama penulis menempuh

pendidikan doktoral di Bogor

3. Pihak-pihak yang membantu selama studi: Rektor Unsrat: Prof. Dr. Donald

Rumokoy, SH., MH., IFC-PENSA, Yayasan APTIK, Pemerintah Prov.

Sulawesi Utara, Pemerintah Kab. Minahasa Selatan, DitJend.Dikti melalui

Lembaga Penelitian dan P2M Unsrat, serta Yayasan Minahasa Raya.

4. Orang-orang yang membantu dalam penelitian: Bpk. Lato sekeluarga, Prof.

Dr. Ir. Grevo Gerung MSc., Ir. Joppy Mudeng MSi., Ir. Hermanto Manengkey

(11)

5. Orang-orang yang selalu memotivasi dan memberi bantuan: Prof. Dr. John

Rantung MS., Dr. Ir. Gybert Mamuaya DAA., Prof. Dr. Ir. Rizal Rompas,

M.Agr., Ir. Laurentius Lalamentik MSc, Ir. Sammy Longdong MSi, Prof. Dr.

Ir. Herny Simbala MSi., Brigjen. Pol. Dr. Benny Mamoto SH MSi., Dr. Ir. A.

Nasir Biasane MSi, Dr. Clara Tiwow SH MSi, Ibu Dey Kelung, Bpk. Joseph

Karamoy, Dr. Nurul Khakim MSi, dan staf komisi pembimbing: Sofy & Yuli,

serta Dindin.

6. Teman-teman: Asrama Bogor Baru 2, S3 SPL Angkatan 8-2003, komunitas:

FN, PF-PPWI, SPOT Manado, Walekofi-ESA, FM, dan MPC.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih memerlukan masukan

yang konstruktif guna penyempurnaannya. Akhir kata, kiranya karya ilmiah ini

bermanfaat bagi kita, terutama dalam pengembangan ilmu pengelolaan wilayah

pesisir dan lautan.

Bogor, Februari 2012

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Manado pada tanggal 6 Agustus 1969 dari pasangan

Joseph FN Ngangi (Alm) dan Ibu Meiske B Senduk. Penulis adalah anak kelima

dari tujuh bersaudara. Pendidikan sarjana tahun 1987 – 1992 pada Program Studi

Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Unsrat. Studi program magister tahun 1998

– 2001 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan, SPs Institut Pertanian Bogor. Tahun 2003, melanjutkan studi program doktor pada

tempat yang sama saat meraih gelar magister. Penulis selama studi S2 dan S3

mendapat beasiswa BPPS.

Selesai pendidikan magister, penulis sempat bekerja sebagai tenaga teknis

pada perusahaan budidaya laut di Minahasa Utara sejak tahun 2001–2003. Sejak

tahun 1993 lewat Tunjangan Ikatan Dinas (TID) penulis diangkat sebagai dosen

pada Program Studi Budidaya Perairan, FPIK Unsrat. Selama studi, penulis

mendapat kesempatan meneliti sebagai ketua atau anggota lewat skim penelitian

PDM, Hibah Bersaing, dan Hibah Strategis Nasional serta dana penelitian dari

IFC-PENSA dan Newmont Minahasa Raya. Beberapa artikel telah diterbitkan

dalam jurnal, dan yang akan terbit pada Jurnal Lassalian berjudul: Distribution of waste to the area of seaweed cultivation on Nain Island, dan Jurnal Forum Pascasarjana berjudul: Analisis efisiensi budidaya rumput laut menggunakan

metode data envelopment analysis.

Penulis menikah pada tanggal 6 April 2002 dengan Loura Veronika

(13)
(14)

5.2.4 Pertumbuhan dan produksi rumput laut ... 89

5.2.5 Kesesuaian dan daya dukung ... 97

5.3 Efisiensi Pengelolaan Budidaya Rumput Laut ... 104

5.4 Rekomendasi Pengelolaan Budidaya Rumput Laut di Perairan Gugus Pulau Nain ... 109

6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 113

6.1 Kesimpulan ... 113

6.2 Saran ... 114

(15)

1 Penelitian-penelitian rumput laut yang pernah dilakukan ...15

2 Persyaratan ekspor rumput laut Kappaphycus dan Gracilaria ...20

3 Jenis data primer dan sekunder penelitian ...33

4 Skoring areal budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii ...40

5 Jumlah penduduk berdasarkan pendidikan...52

6 Parameter air untuk budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii ...55

7 Rata-rata kecepatan arus di Perairan Gugus Pulau Nain tahun ...57

8 Total padatan tersuspensi ke arah laut di depan Desa Nain ...71

9 Total padatan tersuspensi di depan permukiman di Pulau Nain ...73

10 Persentase jenis usaha dan kepemilikan usaha rumput laut di P. Nain ...75

11 Produksi rumput laut di Pulau Nain (ton/bulan) ...77

12 Presentase tingkat prevalensi penyakit ice-ice pada rumput laut ...78

13 Presentase berat awal dan jarak bibit yang ditanam oleh pembudidaya ...79

14 Kelembagaan di Desa Nain ...82

15 Pola tanam berdasarkan perubahan kondisi ekologi dan biologi rumput laut serta teknik penanggulangannya ...85

16 Laju pertumbuhan harian (%) K. alvarezii di areal budidaya ...90

17 Laju pertumbuhan harian (%) K. alvarezii di luar areal budidaya ...93

18 Laju pertumbuhan harian (%) K. alvarezii di dekat permukiman ... 94

19 Asumsi teknis dan parameter keuangan usaha rumput laut per hektar ...101

20 Kebutuhan pinjaman kredit dan jumlah modal ...102

21 Proyeksi pembayaran bunga dan pinjaman per panen ... 102

22 Perhitungan hasil dan penjualan rumput laut kering per panen ...103

23 Data input dan output untuk analisis efisiensi (DEA) ...106

24 Koefisien korelasi antar variabel yang dianalisis ...107

25 Skor DEA untuk unit non-moneter ...107

26 Proyeksi peningkatan potensi manfaat non-moneter ...109

(16)

1 Lokasi potensial untuk pengembangan rumput laut di Indonesia ...12

2 Perkembangan volume dan nilai ekspor rumput laut Indonesia ...13

3 Efficiency frontier ...30

4 Kerangka pemikiran penelitian ...31

5 Lokasi penelitian dan titik-titik pengamatan ...32

6 Instalasi wadah uji pertumbuhan Kappaphycus alvarezii ...34

7 Konstruksi wadah dan posisi tanam rumput laut ...35

8 Titik awal pengukuran kualitas air di sekitar permukiman penduduk ...36

9 Permukiman penduduk di Gugus Pulau Nain ...37

10 Skema unit budidaya rumput laut ... 41

11 Keadaan permukiman dan aktifitas penduduk Desa Nain ...50

12 Pembangunan rumah di atas air di Kampung Tatampi Kecil ...52

13 Arah arus di Perairan Gugus Pulau Nain pada bulan Maret 2007 ...56

14 Sebaran kedalaman di Perairan Gugus Pulau Nain ...59

15 Sebaran keterlindungan di Perairan Gugus Pulau Nain ... 60

16 Sebaran salinitas di Perairan Gugus Pulau Nain ...61

17 Sebaran substrat dasar di Perairan Gugus Pulau Nain ... 62

18 Sebaran suhu di Perairan Gugus Pulau Nain ...63

19 Sebaran pH di Perairan Gugus Pulau Nain ...65

20 Sebaran nitrat di Perairan Gugus Pulau Nain ...66

21 Sebaran fosfat di Perairan Gugus Pulau Nain ...67

22 Sebaran fosfat ke arah laut di depan Desa Nain ...68

23 Kandungan nitrat di depan permukiman penduduk Pulau Nain ...69

24 Sebaran nitrat ke arah laut di depan Desa Nain ...70

25 Persentase pembudidaya memulai budidaya rumput laut di P. Nain ...75

26 Keberadaan tenaga kerja pada budidaya rumput laut di Pulau Nain ...76

27 Komposisi kecenderungan kondisi lingkungan dan budidaya ...87

28 Pertumbuhan mutlak K. alvarezii di areal budidaya tahun 2007-2008 ...91

(17)

30 Pertumbuhan mutlak K. alvarezii di luar areal tahun 2007-2008 ...93

31 Pertumbuhan mutlak K. alvarezii kedalaman berbeda di luar areal budidaya tahun 2007-2008 ...94

32 Pertumbuhan K. alvarezii kedalaman berbeda di dekat perairan pemukiman penduduk tahun 2007-2008 ...94

33 Beberapa jenis epifit selama penelitian 2007 – 2008 ...96

34 Kesesuaian areal budidaya rumput laut di Pulau Nain ... 98

(18)

1 Kualitas air dan pengendalian pencemaran air (PP No 82 tahun 2001) ...123

2 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004

tentang baku mutu air laut untuk biota laut ...124

3 Hasil-hasil penelitian pertumbuhan rumput laut ...125

4 Sidik ragam pertumbuhan rumput laut du Gugus Pulau Nain pada tahun 2007 – 2008 ...126 5 Perhitungan kesesuaian areal budidaya rumput laut di perairan gugus

Pulau Nain ...127

6 Kebutuhan investasi dan modal kerja budidaya K. Alvarezii ...128 7 Proyeksi rugi laba budidaya rumput laut K. Alvarezii per hektar ...129 8 NPV dan net B/C ratio budidaya rumput laut K. alvarezii per hektar per

tahun ...130

9 NPV dan net B/C ratio budidaya rumput laut K. alvarezii/hektar/tahun

penurunan harga jual Rp. 10.000/ ...131

10 NPV dan net B/C ratio budidaya rumput laut K. alvarezii/hektar/tahun

Kenaikan biaya produksi 25% ...131

11 NPV dan net B/C ratio budidaya rumput laut K. alvarezii/hektar/tahun

(19)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kontribusi pembangunan ekonomi dari perikanan budidaya laut sejalan

dengan visi pemerintah lewat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yaitu

pada tahun 2015, Indonesia akan menjadi negara penghasil produk perikanan

terbesar di dunia. Saat ini telah diupayakan usaha-usaha nyata dalam pengelolaan

dan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Salah satu upaya adalah pengembangan

budidaya rumput laut. Hasilnya adalah produksi nasional rumput laut pada tahun

2010 mencapai 3,082 juta ton atau 60% dari total produksi perikanan budidaya.

Produksi rumput laut 2010 ini telah melampaui target KKP yakni sebesar 2,574

juta ton. Target pemerintah pada tahun 2015, Indonesia akan memproduksi

rumput laut sebesar 10 juta ton (Siregar & Muttaqin 2011).

Gugus Pulau Nain sebagai salah satu areal budidaya rumput laut di

Sulawesi Utara terdiri dari Pulau Nain sebagai pulau utama seluas 316,45 hektar.

Di sisi timur Pulau Nain terdapat Pulau Nain Kecil seluas 2,5 hektar yang tidak

berpenduduk, dan di sisi barat daya terdapat Pulau Mantehage seluas 738,1 hektar.

Wilayah ini termasuk dalam administrasi Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa

Utara. Menurut data desa, Gugus Pulau Nain mempunyai luas perairan 2.287

hektar yang terdapat gobah seluas 375,9 hektar. Penduduk di Pulau Nain

menempati dua desa, yakni: Desa Nain, juga disebut Kampung Negri, terdiri dari

Kampung Bajo dan Kampung Siau, serta Desa Tatampi yang terdiri dari Kampung

Tatampi, Tatampi Kecil dan Tarente.

Puncak tertinggi Pulau Nain adalah 135 meter dari permukaan laut,

kemiringan lereng 200–400, dan sebagai zona pendukung perairan Taman Nasional Bunaken (TNB). Pulau Nain sebagai zona pendukung dapat dimanfaatkan untuk

perikanan laut tradisional oleh masyarakat setempat, baik untuk kebutuhan sendiri

maupun untuk tujuan ekonomis, sejauh tidak merusak lingkungan. Budidaya

rumput laut yang dimulai sejak tahun 1989 telah berkembang menjadi mata

pencaharian utama sejak tahun 1995 (Mondoringin 2005).

(20)

nama dagang Spinosum. Metode budidaya yang digunakan pada awalnya adalah metode rakit, kemudian mulai tahun 1992 digunakan metode tali panjang

permukaan. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Minahasa Utara (DKP

Minut) pada tahun 2010 di Pulau Nain terdapat 64 kelompok pembudidaya

rumput laut yang beranggotakan 7–10 orang. Kelompok-kelompok ini adalah hasil binaan perusahaan rumput laut dan koperasi desa. Menurut Pandelaki (2011)

bahwa pembudidayaan rumput laut membutuhkan 2 – 3 tenaga kerja per hektar. Pada bidang perikanan budidaya laut di Pulau Nain terdapat juga dua unit

karamba jaring apung yang memelihara ikan kuwe. Pada bidang perikanan

tangkap, umumnya nelayan menangkap ikan madidihang (tuna), roa

(julung-julung), dan antoni (ikan terbang). Nelayan lainnya menangkap ikan karang,

antara lain: goropa (kerapu), sunuh (sunuk), dan somasi (kakap). Penanganan ikan

hasil tangkapan selain untuk dikonsumsi sendiri, juga dijual segar atau diolah

menjadi ikan asin (’ikang garang’) dan diasap (’cakalang fufu’ dan ’roa gepe’). Hasil panen rumput laut dari Pulau Nain dijual ke pengumpul di desa atau

langsung ke perusahaan di Kota Manado. Harga jual di pengumpul pada semester

akhir tahun 2011 adalah Rp. 12.000/kg, sedangkan di Kota Manado Rp.

12.500/kg. Selain menjual rumput laut kering, di antara pembudidaya terjadi jual

beli rumput laut segar yang akan dijadikan bibit. Harga bibit yang diseleksi senilai

Rp. 3.500 – Rp. 4.500/kg, sedangkan bibit tanpa seleksi Rp. 150.000 – Rp. 200.000/tali ris dengan panjang tali 60 – 80 meter yang diperkirakan beratnya 70 – 100 kg/tali ris.

Diketahui bahwa sejak akhir tahun 2000 produksi rumput laut di Pulau

Nain mulai menurun. Padahal Pulau Nain dikenal sebagai sentra rumput laut dan

sumber bibit terbaik di Sulawesi Utara. Gerung et al. (2008) menyatakan bahwa puncak produksi rumput laut di Pulau Nain terjadi pada kurun waktu tahun 1996– 2000 yang pernah mencapai 350–400 ton/bulan. Ini sesuai dengan informasi dari seorang pengusaha rumput laut bahwa pada tahun 2010 lalu produksi rumput laut

di Pulau Nain tidak sampai 5 ton/bulan.

Kondisi di atas mengindikasikan bahwa akfititas budidaya rumput laut di

perairan Gugus Pulau Nain sudah terganggu seiring pertambahan waktu, baik

(21)

dan atau pengaruh bertambahnya penduduk. Menurut stakeholders penyebab kondisi di atas disebabkan oleh frekuensi pemakaian bibit yang sudah terjadi

berulangkali dan sudah lebih dari 20 tahun. Selain itu juga diduga disebabkan oleh

pembuatan rumah di atas atau dekat areal budidaya. Awalnya pembuatan rumah

hanya sebagai tempat istirahat saat pembersihan dan pengontrolan rumput laut

tetapi pada akhirnya menjadi tempat tinggal keluarga. Diduga bahwa limbah

rumah tangga, cucian, dan tumpahan minyak sudah mencemari perairan. Selain

itu, bertambahnya rumah di pinggir pantai bisa mengakibatkan beban pencemaran

semakin tinggi. Kondisi perairan Pulau Nain yang semi tertutup karena dikelilingi

oleh karang (fringing reef) lebih memperkuat dugaan bahwa menurunnya produksi rumput laut disebabkan oleh beban limbah yang masuk ke perairan

terperangkap di dalamnya.

Pulau Nain sebagai penghasil rumput laut terbesar di Sulawesi Utara

diharapkan pengelolaannya lebih dioptimalkan. Apalagi Sulawesi Utara,

khususnya Kabupaten Minahasa Utara ditetapkan sebagai salah satu dari 12

klaster rumput laut di Indonesia. Potensi budidaya rumput laut di perairan Gugus

Pulau Nain membuat pemerintah kabupaten menargetkan untuk mengembalikan

pamornya sebagai sentra budidaya rumput laut di kawasan timur Indonesia.

Pemerintah kabupaten akan mengembangkan areal budidaya rumput laut dengan

harapan akan menaikkan produksi dan penyerapan tenaga kerja. Tercapainya

target-target di atas tentunya dibutuhkan suatu kebijakan yang diarahkan untuk

pencapaian tujuan pembangunan yaitu pendayagunaan potensi sumberdaya pesisir

dan laut di pulau-pulau kecil. Salah satu dampak tercapainya tujuan ini adalah

akan meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi.

Solusi pemecahan masalah-masalah di atas membutuhkan data dan

informasi tentang biologi, ekologi dan sosial ekonomi secara konfrehensif.

(22)

1.2 Perumusan Masalah

Sejak akhir tahun 2000 produksi rumput laut di Pulau Nain mulai

menurun. Permasalahan di atas merupakan gejala sebab akibat atau sebaliknya

yang akan berdampak terhadap ekologi, biologi, dan sosial ekonomi. Penelusuran

faktor-faktor penyebab terjadinya kondisi ini perlu dilakukan, maka untuk

mengetahui dan tidak hanya sekedar menduga-duga akan dampak dari pemakaian

bibit, seberapa besar degradasi lingkungan yang mempengaruhi produktivitas

rumput laut, serta bagaimana pengelolaannya yang baik maka penelitian ini akan

menganalisis hal-hal tersebut. Penelusuran lewat wawancara dilakukan agar lebih

akurat dalam deskripsinya. Upaya ini diharapkan dapat mempelajari kondisi di

masa lampau, kemudian membuat suatu perencanaan yang efektif sehingga dapat

memprediksi hasil yang efisien di masa mendatang.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Merumuskan pengelolaan budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii

berdasarkan potensi ekologi, biologi dan sosial ekonomi di Gugus Pulau Nain

Kabupaten Minahasa Utara.

1.3.2 Manfaat penelitian

1.4 Kebaruan penelitian

Ilmu pengetahuan tentang proses evaluasi secara menyeluruh aspek

ekologi, biologi dan sosial ekonomi budidaya rumput laut sebagai bahan saran

kebijakan pengembangan budidaya rumput laut di Pulau Nain.

Manfaat dari penelitian ini sebagai bahan masukan bagi pemerintah

Kabupaten Minahasa Utara dan pemerintah di Wilayah Minahasa secara

keseluruhan serta pengusaha dan perbankan untuk pengelolaan budidaya rumput

(23)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Potensi Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil

Hal terpenting dalam penentuan kebijakan yang berkaitan dengan peluang

investasi Pulau-pulau kecil (P2K) di Indonesia adalah pengetahuan akan keragaan

nilai ekonomi dari P2K itu sendiri. Ini berguna untuk menentukan langkah lanjut

pengelolaannya. Setiap pulau mempunyai keragaan ekonomi yang berbeda-beda,

bergantung pada kondisi sumberdaya yang ada serta kondisi bio-geo-fisiknya

(Fauzi dan Anna, 2005). Selanjutnya dinyatakan bahwa P2K menghasilkan barang

(sumberdaya alam) yang dapat dikonsumsi, baik langsung maupun tidak langsung,

dan juga menghasilkan jasa-jasa yang manfaatnya sering lebih terasa dalam

jangka panjang. Sumberdaya alam yang ada di P2K, selain menghasilkan nilai

ekonomi yang dapat dimanfaatkan langsung, juga memilikki nilai non-ekonomi

yang memberikan manfaat terhadap keberlanjutan P2K tersebut. Manfaat-manfaat

ini disebut sebagai manfaat fungsi ekologis. Potensi pemanfaatan P2K dapat

dilihat dari berbagai sisi, antara lain ekonomi, sosial, ekologi, keamanan, dan

navigasi. Selama ini potensi pemanfaatan belum dikelola secara optimal,

mengingat ada berbagai kendala yang dihadapi. Kebijakan menyangkut

pemanfaatan P2K pada dasarnya haruslah berbasiskan kondisi karakteristik

biogeofisik serta sosial-ekonomi masyarakatnya, mengingat peran dan fungsi

kawasan tersebut sangat penting, baik bagi kehidupan ekosistem sekitar maupun

kehidupan ekosistem di daratan. Selanjutnya dinyatakan bahwa jika saja P2K ini

berhasil dikembangkan dan dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan, bukan

saja akan menjadi pertumbuhan baru yang signifikan, tetapi juga sekaligus

mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah dan kelompok sosial.

Wilayah pesisir P2K menyediakan sumberdaya alam yang produktif dari dua

sistem lingkungan, yakni: ekosistem alamiah: terumbu karang, mangrove, padang

lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, estuaria yang semuanya bersifat alamiah,

dan ekosistem buatan: kawasan pariwisata, rekreasi, konservasi, budidaya dan

permukiman.

Produktivitas primer yang tinggi di ekosistem pesisir P2K oleh biota air

(24)

ground) dan sebagai tempat makanan bagi kebanyakan ikan (feeding ground). Fauzi (2003) menyatakan bahwa pulau-pulau kecil merupakan aset sumberdaya

alam Indonesia yang jika dikelola secara baik dan berkelanjutan akan memberikan

manfaat ekonomi yang tinggi baik bagi penduduk pulau-pulau kecil maupun

kesejahteraan bangsa secara keseluruhan. Selain memiliki budaya yang unik,

pulau-pulau kecil juga kaya akan keanekaragaman hayati baik keanekaragaman

hayati kelautan maupun terestial. Keanekaragaman hayati tersebut selain

memberikan arus barang dan jasa yang bernilai tinggi, juga memberikan manfaat

non-konsumtif yang tak ternilai harganya.

Selanjutnya, Fauzi (2003) menyatakan bahwa pulau-pulau kecil sebagai

suatu entitas memiliki kekayaan sumberdaya alam dan lingkungan yang

menghasilkan barang dan jasa baik yang dapat dikonsumsi langsung maupun tidak

langsung. Sumberdaya alam ekstraktif dapat dimanfaatkan untuk memenuhi

kebutuhan ekonomi baik subsistem maupun komersial. Demikian juga

sumberdaya energi bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan proses produksi

lainnya yang memberikan nilai ekonomi yang tinggi pada mata rantai kegiatan

ekonomi berikutnya. Selain itu, sumberdaya pulau-pulau kecil juga dapat

dimanfaatkan untuk kebutuhan non-ekstraktif seperti wisata yang juga

memberikan manfaat ekonomi yang tinggi. Pemanfaatan sumberdaya P2K

mempunyai beberapa faktor kendala, yakni: 1) Faktor lingkungan, yaitu:

perubahan iklim, naiknya permukaan air, bencana alam, dan pencemaran, 2)

Faktor sosial masyarakat, antara lain: pertumbuhan penduduk, tingkat pendidikan,

kesehatan, dan budaya, 3) Faktor ekonomi masyarakat: ketergantungan dengan

daratan, tingkat pendapatan sangat rendah, terbatasnya diversifikasi usaha,

terisolasi, ketergantungan terhadap sumberdaya alam, dan kurangnya ketrampilan.

Fauzi (2003) menyatakan bahwa salah satu hal penting dalam pengelolaan

potensi sumberdaya pulau-pulau kecil adalah menyangkut penilaian terhadap nilai

ekonomi sumberdaya yang ada. Menurut Wantasen (2007), dengan semua

keterbatasan yang ada pada P2K maka sangat penting dalam pengelolaannya

dibuat berdasarkan penzonasian berbasis daya dukung. Dalam penzonasian ada

kriteria-kriteria yang harus diperhatikan yang saling terkait satu dan yang lainnya

(25)

1) Kriteria ekologi meliputi: keanekaragaman hayati didasarkan pada keragaman

atau kekayaan ekosistem, habitat, komunitas dan jenis biota; Kealamian

didasarkan pada tingkat degradasi; Ketergantungan didasarkan pada tingkat

ketergantungan spesies pada lokasi atau tingkat dimana ekosistem bergantung

pada proses-proses ekologi yang berlangsung dilokasi; Keunikan didasarkan

pada keberadaan suatu spesies endemik atau yang hampir punah; Integritas

didasarkan pada tingkat dimana lokasi merupakan suatu unit fungsional dari

entitas ekologis; Produktivitas didasarkan pada tingkat dimana proses-proses

produktif di lokasi memberikan manfaat atau keuntungan bagi biota atau

manusia; Kerentanan didasarkan pada kepekaan lokasi terhadap degradasi

oleh pengaruh alam maupun akibat aktivitas manusia.

2) Kriteria ekonomi, meliputi: spesies penting didasarkan pada tingkat dimana

spesies penting komersial tergantung pada lokasi; Kepentingan perikanan

didasarkan pada jumlah nelayan yang tergantung pada lokasi dan ukuran hasil

perikanan; Bentuk ancaman didasarkan pada luasnya perubahan pola

pemanfaatan yang mengancam keseluruhan nilai lokasi bagi manusia; Manfaat

ekonomi didasarkan pada tingkat dimana perlindungan lokasi akan

berpengaruh pada ekonomi lokal dalam jangka panjang; Pariwisata didasarkan

pada nilai keberadaan atau potensi lokasi untuk pengembangan pariwisata.

3) Kriteria sosial-budaya, meliputi: penerimaan sosial didasarkan pada tingkat

dukungan masyarakat; Kesehatan masyarakat didasarkan pada keberadaan

kawasan konservasi dapat membantu mengurangi pencemaran atau penyakit

yang berpengaruh pada kesehatan masyarakat; Budaya didasarkan pada nilai

sejarah, agama, seni atau nilai budaya lain di lokasi; Estetika didasarkan pada

nilai keindahan dari lokasi; Konflik kepentingan didasarkan dimana kawasan

konservasi dapat berpengaruh pada aktivitas masyarakat lokal; Keamanan

didasarkan pada tingkat bahaya dari lokasi bagi manusia karena adanya arus

kuat, ombak besar dan hambatan lainnya; Aksesibilitas didasarkan pada

tingkat kemudahan mencapai lokasi; Apresiasi masyarakat didasarkan pada

tingkat monitoring, penelitian, pendidikan, atau pelatihan dapat berkontribusi

(26)

Pemanfaatan pulau-pulau kecil secara optimal dan lestari terwujud apabila

memenuhi tiga persyaratan ekologis (Bengen 2002), yaitu: 1) Keharmonisan

spasial, 2) Kapasitas asimilasi dan daya dukung lingkungan, 3) Pemanfaatan

potensi sesuai daya dukungnya. Fauzi (2005) menyatakan sumberdaya P2K dapat

dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas ekonomi, misalnya pariwisata, perikanan

tangkap, perikanan budidaya dan lain-lain, secara bersamaan atau bergantian,

sesuai kondisi alamnya. Selanjutnya Dahuri (1999) menyatakan pelaksanaan

pengelolaan dan pembangunan kawasan pulau-pulau kecil yang diarahkan pada

kesejahteraan masyarakat merupakan suatu proses yang akan membawa suatu

perubahan pada sumberdaya alam. Perubahan-perubahan tersebut akan membawa

pengaruh pada lingkungan hidup. Semakin tinggi intensitas pengelolaan dan

pembangunan yang dilaksanakan semakin tinggi pula tingkat pemanfaatan

sumberdaya dan perubahan-perubahan lingkungan yang akan terjadi di kawasan

pulau-pulau kecil tersebut. Oleh karena itu diperlukan strategi dan kebijakan

dalam pengelolaannya. Fauzi (2005) menyatakan bahwa pemanfaatan P2K yang

multiple use selain memiliki nilai positif yang berkaitan dengan ketersediaan variasi alternatif aktivitas yang dapat dilakukan masyarakat dan juga tujuan

mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan, pada dasarnya

juga menyimpan permasalahan yang cukup pelik dan menimbulkan konflik cukup

serius, mengingat keterbatasan P2K.

Selain fungsi ekologis, pulau-pulau kecil mempunyai manfaat ekonomi

bagi manusia, antara lain menyediakan jasa-jasa lingkungan (alam) berupa

pemanfaatan lingkungan alam yang indah dan nyaman dalam bentuk kegiatan

pariwisata laut, kegiatan budidaya (ikan, udang, rumput laut) yang dapat

bermanfaat bagi peningkatan pendapatan atau mata pencaharian penduduk

setempat, serta potensi sumberdaya hayati yang memiliki keanekaragaman yang

tinggi dan bernilai ekonomis, seperti berbagai jenis ikan, udang, kerang yang

kesemuanya dapat dimanfaatkan bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat

(Dahuri 1998). Dahuri (1999) menyatakan bahwa kegiatan budidaya laut

(marikultur) adalah salah satu andalan dalam pengembangan pulau-pulau kecil.

Budidaya laut cukup memberikan hasil yang baik dan dapat diterapkan di sekitar

(27)

1) Mengurangi tekanan eksploitasi penangkapan di perairan pulau-pulau kecil, 2)

Menjaga kelestarian sumberdaya alam mangrove dan terumbu karang.

Pemanfaatan kawasan pesisir P2K sebagai areal budidaya rumput laut

harus mempertimbangkan keberlanjutan manfaat karena bersifat milik umum

(common property) dan open acces. Pertimbangan limited entry dalam pemanfaatan kawasan pesisir P2K adalah salah satu konsep pemanfaatan yang

bertanggung jawab (responsible fisheries) agar konsep pengembangannya terintegrasi secara rasional dan berkelanjutan. Undang Undang RI No. 31 Tahun

2004 tentang Perikanan mendefinisikan pembudidayaan ikan adalah kegiatan

untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta memanen

hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan

kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani,

mengolah, dan/atau mengawetkannya. Meade (1989) mendefinisikan aquaculture

adalah praktek memelihara, menumbuhkan, atau menghasilkan produk dalam air

atau dalam sistem air yang dikelola. Pisciculture awalnya adalah istilah di Inggris untuk budidaya ikan. Fish farming adalah istilah yang sering digunakan oleh produsen lele di Amerika. Mariculture adalah aquaculture di lingkungan laut.

Marikultur di perairan pulau-pulau kecil selain sebagai pemasok penting

bagi produksi perikanan, juga mempunyai peran yang strategis. Peran strategisnya

yakni pengendalian tangkap lebih, penggerak ekonomi pesisir pulau-pulau kecil,

mengalihkan penangkapan ikan yang destruktif, penyediaan lapangan usaha baru,

penyerapan tenaga kerja, pengentasan kemiskinan, serta dapat meningkatkan

devisa. Berbagai organisme laut sudah dapat dibudidaya, organisme yang

dibudidaya disebut kultivan. Kultivan yang telah berhasil dibudidayakan secara

massal dan dapat diusahakan secara komersial meningkat statusnya menjadi

komoditas (Nurdjana 2001). Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan

salah satu komoditas marikultur untuk mencapai target Indonesia sebagai

(28)

2.2 Status Budidaya Rumput Laut

Indonesia sejak tahun 2007 menjadi produsen rumput laut jenis Eucheuma cottonii terbesar di dunia yakni sekitar 110 ribu ton per tahun. Produk bahan baku ini diserap industri pengolah luar negeri sekitar 80%, berbeda dengan produk

agar-agar dengan bahan baku Gracilaria sp., yang hampir 85% produk bahan bakunya diserap industri dalam negeri dan sekitar 70% produk agar-agar diserap

pula di dalam negeri (Anggadiredja 2011). Proyeksi produksi rumput laut

Indonesia untuk tahun 2011 sampai dengan 2014, berturut-turut adalah: 3.504.200

ton, 5.100.000 ton, 7.500.000 ton, dan 10.000.000 ton (Ditjendkan Budidaya

2010). Luas areal yang telah dinyatakan sesuai untuk budi daya rumput laut

adalah 1.110.900 hektar, sehingga dengan asumsi setiap hektar lahan dapat

memproduksi rumput laut rata-rata 16 ton per tahun, maka produksi dapat

mencapai 17.774.400 ton per tahun (Hikmayani dan Purnomo 2006).

Pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia dirintis sejak tahun

1980-an dalam upaya merubah kebiasaan penduduk pesisir dari pengambilan

sumberdaya alam ke arah budidaya rumput laut yang ramah lingkungan. Usaha

budidaya ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat pembudidaya juga dapat

digunakan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan perairan pantai

(Ditjendkan Budidaya 2004).

Budidaya rumput laut sebagai salah satu teknik pemanfaatan kawasan

pesisir P2K berpeluang besar untuk dikembangkan bagi produksi perikanan yang

berlanjut. Keberhasilan pengembangan budidaya rumput laut sangat ditentukan

oleh penguasaan teknologi yang bersifat ekonomis, sistem pengelolaan, dan

keterpaduan pemanfaatan. Anggadiredja (2007) memaparkan sejarah perdagangan

dan industri rumput laut di Indonesia, sebagai berikut: 1) Perdagangan rumput laut

Indonesia dimulai dari akhir abad ke-19, kebanyakan agarofit dari panen alam

(Gelidium dan Gracilaria), 2) Industri rumput laut dimulai dengan industri ‘agar’ pada dekade 1920-an di Kudus, Jawa Tengah dan Garut, Jawa Barat, digunakan

teknologi/pengetahuan masyarakat setempat, 3) Dekade 1950-an dibangun

industri ‘agar’ dengan menggunakan teknologi tepat guna dan menghasilkan

kertas agar di Surabaya (Sinar Kencana), Awal dekade 1960-an, perdagangan alga

(29)

dipanen dari alam, 4) Awal dekade 1970-an dibangun pabrik kemasan ‘agar’

(‘agar’ diimpor, formulasi dan kemasan), PT. Dunia Bintang Walet, 5) Tahun 1988, industri pertama karaginan setengah dimurnikan (semirefined carrageenan/SRC) (dalam bentuk chips dan bubuk) didirikan di Bekasi (PT Galic

Artha Bahari), 6) Tahun 1989, industri ‘agar’ modern dibangun di Tangerang (PT

Agarindo Bogatama) dan awal dekade 1990-an di Pasuruan (PT. Sriti), 7) Saat ini,

terdapat lebih dari 10 industri agar dan karaginan. Industri karaginan di Indonesia

menghasilkan SRC-chips dan bubuk, dan beberapa di antaranya menghasilkan produk-produk formulasi untuk beberapa aplikasi. Industri agar menghasilkan

bubuk dan produk-produk formulasi, 8) Industri hidrokoloid rumput laut yang lain

adalah industri alginat, namun perkembangan terakhir, industri tersebut tidak

berproduksi secara optimal karena terbatasnya bahan baku. Di Indonesia, alginat

diekstrak dari Sargassum yang dipanen dari alam.

Keunggulan rumput laut sebagai salah satu komoditas dari visi pemerintah

untuk mencapai target di tahun 2015, menurut Keppel (2008) dan Parenrengi et al. (2008) adalah:

1. Potensial untuk pengembangan (keanekaragaman jenis dan budidaya pada

perairan pesisir yang luas).

2. Modal yang diperlukan relatif sedikit.

3. Teknologi budidaya relatif mudah dan dapat diadopsi oleh pembudidaya.

4. Periode pemeliharaan singkat.

5. Biaya operasional murah.

6. Pemberdayaan masyarakat pesisir pulau-pulau kecil.

7. Penyerapan tenaga kerja tinggi, pertumbuhan ekonomi, serta kesejahteraan

masyarakat.

8. Dapat diterapkan pada usaha mikro, kecil, menengah, hingga industri besar.

9. Peluang pasar bagi bahan baku, produk setengah jadi, dan produk akhir.

10.Besarnya kebutuhan pasar ekspor dan domestik.

11.Memiliki fungsi produksi dan ekologis.

Rumput laut sebagai salah satu sumber hayati laut bila diproses akan

menghasilkan senyawa hidrokoloid yang merupakan produksi dasar (hasil dari

(30)

produk komersial yang banyak digunakan di berbagai industri. Senyawa

hidrokoloid yang berasal dari rumput laut komersial di Indonesia antara lain ‘agar’

(dari jenis agarofit), karaginan (dihasilkan dari jenis-jenis karaginofit), dan alginat

(dari jenis-jenis alginofit) (Anggadiredja et al. 2006).

Penggunaan alga telah dilakukan oleh manusia secara luas dalam berbagai

bidang, yakni sebagai sumber makanan langsung, obat-obatan, pakan ternak,

pupuk, produk garam, fikokoloid, dan produksi kertas (Dawes 1981). Fungsi

utama polisakarida rumput laut di dalam formulasi produk pangan dan

non-pangan adalah sebagai emulsifier, pensuspensi, pengental, dan stabilisator.

Disamping itu, rumput laut juga sangat bermanfaat untuk kesehatan manusia

karena mengandung unsur zat bioaktif yang dapat digunakan sebagai campuran

obat (Ditjenkan Budidaya KKP RI 2005). Rumput laut merupakan sumber yang

sangat baik dari vitamin A, B1, B12, C, D dan E. Juga riboflavin, niasin, asam

folat serta mineral Ca, P, Na, dan K (Dhargalkar & Pereira 2005).

Perairan Indonesia yang berpotensi untuk pengembangan budidaya rumput

laut tersebar di berbagai daerah antara lain, Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan,

Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Irian (Gambar 1).

(31)

Luas lokasi yang layak untuk budidaya rumput laut di Indonesia adalah 1,1 juta

ha. Produktivitas rata-rata sebesar 17,7 ton rumput laut kering/ha/tahun (Anonim

2006). Indonesia telah menguasai 50% produk rumput laut hasil budidaya di dunia

yaitu untuk jenis Eucheuma, Gracilaria, dan Kappaphycus. Produksi rumput laut diproyeksikan rata-rata meningkat dari tahun 2010–2014 sebesar 32% atau

meningkat 392% dari tahun 2009 ke tahun 2014. Proyeksi tersebut masing-masing

berturut-turut tahun 2012 sebesar 5,1 juta ton, 2013 sebesar 7,5 juta ton, dan tahun

2014 sebesar 10 juta ton. Data statistik menunjukkan bahwa tahun 2010 produksi

rumput laut nasional mencapai 3,08 juta ton atau mengalami kenaikan rata-rata

sebesar 23% per tahun (Cocon, 2011).

Sumber: modifikasi dari Cocon (2011)

Gambar 2 Perkembangan volume dan nilai ekspor rumput laut Indonesia.

Selanjutnya dinyatakan bahwa peningkatan produksi rumput laut nasional

diiringi pula oleh peningkatan volume dan nilai ekspor rumput laut Indonesia ke

berbagai negara tujuan utama ekspor antara lain: China, Philipina, Vietnam,

Hongkong, dang Korsel. Perkembangan volume dan nilai ekspor dalam kurun

waktu tahun 2005–2010 secara umum mengalami kenaikan (Gambar 2) (BPPT

2006 in Cocon 2011).

Sulawesi Utara menyimpan potensi sumberdaya rumput laut yang relatif

besar dimana terdapat jenis Euchema sp. yang dikembangkan dalam bentuk budidaya laut. Jenis rumput laut penghasil karaginan tersebut telah dibudidayakan

(32)

pada beberapa lokasi seperti di Pulau Nain, Likupang, Wori, Tumpaan, Lembean

Timur, Belang, Bitung, dan Sangihe (Keppel 2002).

Gerung (2006) menyatakan bahwa alga ekonomis yang sudah

dibudidayakan ada 2 spesies yakni Eucheuma denticulatum dan Kappaphycus alvarezii. Kedua spesies ini bukan asli perairan Teluk Manado. Benihnya 20 tahun lalu didatangkan dari Pilipina, dan bertumbuh baik di perairan Pulau Nain.

Banyak pihak sangat terkonsentrasi dengan bibit rumput laut. Keberadaan

bibit dalam kuantitas maupun kualitas sangat diperhatikan. Banyak upaya untuk

mengkaji, diantaranya BBAP Situbondo telah membangun kawasan kebun bibit

untuk Cottonii di Pacitan, Blitar, Rembang, Tuban, Lamongan, Situbondo dan Banyuwangi. Selain itu, kebun bibit juga dikembangkan oleh Balai Budidaya Laut

(BBL) Lombok. Proses-proses penelitian dilakukan mulai dari menemukan bibit

berkualitas melalui metode kultur jaringan sampai menentukan berapa kali bibit

tersebut bisa digunakan.

Penelitian rumput laut oleh perguruan tinggi di Sulawesi Utara lebih

cenderung tentang pemanfaatan bibit rumput laut yang telah tersedia dan berasal

dari pembudidaya, atau penelitian untuk mendapatkan bibit yang akan

dikembangkan. Jenis rumput laut yang diteliti berasal dari perairan lokasi

penelitian, dalam hal ini di perairan Pulau Nain. Banyaknya penelitian tentang

rumput laut di Sulawesi Utara sesuai dengan potensi pengembangannya. Menurut

Keppel (2008) bahwa luas areal budidaya rumput laut di Sulawesi Utara sebesar

5.800 hektar, luas tiap kabupaten adalah: Kab. Minahasa Utara: 1.700 hektar, Kab.

Minahasa: 850 hektar, Kab. Minahasa Selatan: 250 hektar, Kab. Minahasa

Tenggara: 350 hektar, Kab. Sangihe: 231 hektar, Kab. Talaud: 230 hektar, Kab.

Sitaro: 289 hektar, Kab. Bolaang Mongondow: 1.250 hektar, dan Kab. Bolaang

Mongondow Utara: 650 hektar. Penelitian-penelitian rumput laut yang sudah

(33)

Tabel 1 Penelitian-penelitian rumput laut yang pernah dilakukan

Tahun Peneliti Topik/Judul

1990 Glenn & Doty Growth of the K. alvarezii, K. striatum and E. denticulatum as

affected by environment in Hawaii.

1992 Hurtado & Ponce Cage culture of K. alvarezii (Gigartinales, Rhodophycae).

1992 Lasut et al. Studi pertumbuhan E. cotonii yang dibudidayakan.

2002 Eswaran et al. Experimental field cultivation of K. alvarezii at Mandapam

region.

. 2003 Paula & Pereira Factors affecting growth rates of K. alvarezii.

2004 Munoz et al. Mariculture of K. alvarezii in tropical waters of Yucatan, Mexico.

2005 Iksan Kajian pertumbuhan, produksi E. cotonii, dan kandungan

karaginan pada berbagai bobot bibit dan asal thallus di Perairan Guruaping Oba.

2005 Mandagi & White A new technique for seaweed cultivation to minimise impacts on

tropical, coastal environments.

2005 Mondoringin Kajian ekologi-ekonomi usaha pembudidayaan rumput laut di

kawasan terumbu karang P. Nain Kabupaten Sulawesi Utara.

2006 Amarullah Pengelolaan sumberdaya perairan Teluk Tamiang Kabupaten

Kotabaru untuk pengembangan budidaya rumput laut (Eucheuma

cottonii).

2006 Eklof et al. Effects of tropical open-water seaweed farming on seagrass

ecosystem structure and function.

2007 Amiluddin Kajian pertumbuhan dan kandungan karaginan rumput laut K.

alvarezii yang terkena penyakit ice-ice di perairan Pulau Pari Kep. Seribu.

2007 Blankenhorn Seaweed farming and artisanal fisheries in an Indonesian

seagrass bed – Complementary or competitive usages?

2008 Amin et al. The Assessment of E. cotonii) growing practice of different

systems and planting seasons in Bangkep Regency Central Sulawesi.

2008 Kamlasi Kajian ekologis dan biologi untuk pengembangan budidaya E.

cottonii di Kecamatan Kupang Barat Kabupaten.

2008 Makatupan Pertumbuhan alga laut pada rakit apung kedalaman berbeda.

2008 Ngantu Pertumbuhan berat maksimum dan waktu optimum pertumbuhan

beberapa jenis alga laut dalam wadah budidaya di perairan P. Nain.

2008 Pong-Masak et al. Kesesuaian lahan untuk pengembangan rumput laut di Pulau Badi.

2009 Thirumaran &

Anantharaman

Daily growth rate of field farming seaweed K. alvarezii P. Silva.

2009 Yulianto & Mira Budidaya makro alga K. Alvarezii secara vertikal dan gejala

penyakit “ice-ice” di perairan Pulau Pari.

2010 Mansyur A Pengelolaan perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk usaha

budidaya rumput laut.

2011 Winberg et al. Seaweed cultivation pilot trials – towards culture systems and

(34)

2.3 Metode Budidaya Rumput Laut

Pemilihan lokasi merupakan faktor penentu terhadap keberhasilan usaha

budidaya. Ada beberapa pertimbangan dalam menentukan lokasi budidaya yang

ideal, antara lain: 1) faktor resiko, mencakup pertimbangan keamanan,

keterlindungan, sosial (konflik pemanfaatan), 2) faktor kemudahan, mencakup

aksestabilitas dan ketersediaan bibit serta sumberdaya manusia, 3) faktor ekologis,

mencakup parameter fisika dan kimia lokasi budidaya.

Menurut Parenrengi et al. (2008) metode budidaya rumput laut yang telah dikenal secara umum adalah:

1. Metode Lepas Dasar. Metode ini dilakukan di atas dasar perairan yang

berpasir atau pasir berlumpur dan terlindung dari hempasan gelombang yang

besar. Hal ini penting untuk memudahkan pemasangan patok/pancang.

Biasanya lokasi dikelilingi oleh karang pemecah gelombang (barrier reef). Disamping itu lokasi untuk metode ini sebaiknya memiliki kedalaman air

sekitar 50 cm pada surut terendah dan 3 m pada saat pasang tertinggi. Metode

ini kurang berkembang dengan baik akibat lokasi yang digunakan relatif

spesifik.

2. Metode Rakit Apung. Metode rakit apung merupakan budidaya rumput laut

dengan cara mengikat rumput laut pada tali ris (seperti pada metode lepas

dasar) yang diikatkan pada rakit apung yang terbuat dari bambu. Satu unit

rakit apung berukuran 2,5x5 m dapat dirangkai menjadi satu dengan unit

lainnya. Satu rangkaian terdiri dari maksimal 5 unit. Kedua ujung rangkaian

diikat dengan tali yang ujungnya diberi pemberat atau jangkar agar rakit tidak

hanyut oleh arus dan gelombang. Jalur tata letak rangkain rakit apung harus

searah dengan arus. Jarak tanam dan berat awal rumput laut sama dengan

metode lepas dasar, namun yang perlu diperhatikan adalah tanaman harus

selalu berada sekitar 30-50 cm di bawah permukaan air laut.

3. Metode Tali Panjang. Metode ini dikenal dengan istilah longline karena menggunakan tali panjang yang dibentangkan. Metode ini merupakan salah

satu metode permukaan yang paling banyak diminati pembudidaya karena

disamping lebih fleksibel dalam pemilihan lokasi, juga alat dan bahan yang

(35)

yang telah diikat dengan tali rafia atau tali polietilen kecil diikatkan pada tali

ris dengan jarak 25 cm dengan panjang tali ris berkisar 50–75 m yang

direntangkan pada tali utama. Rumput laut diapungkan dengan pelampung

yang terbuat dari styrofoam, botol polietilen 0,5 liter atau pelampung khusus pada tali ris. Pada satu bentangan tali utama, dapat diikatkan beberapa tali ris

dengan jarak antar tali ris 1 meter, untuk menghindari benturan antar tali

akibat gelombang atau arus kuat.

Metode Jalur. Metode jalur merupakan kombinasi antara metode rakit dan

tali panjang. Kerangka metode ini terbuat dari rakit (bambu) yang tersusun

sejajar. Pada kedua ujung setiap bambu dibuhungkan dengan tali utama diameter 6

mm sehingga membentuk persegi panjang dengan ukuran 5x7 m2 per petak,

dimana satu unit terdiri dari 7–10 petak. Pada kedua ujung setiap unit diberi

jangkar. Penanaman dimulai dengan mengikat bibit rumput laut ke tali jalur yang

telah dilengkapi dengan tali polietilen diameter 0,2 cm sebagai pengikat bibit

dengan jarak sekitar 25 cm.

Setelah pemilihan lokasi dan penentuan metode, maka tahap selanjutnya

adalah menyediakan dan menyiapkan benih rumput laut. Kriteria dan ciri-ciri bibit

rumput laut yang baik menurut Aslan (1993) dan Anggadiredja et al. (2006) sebagai berikut: 1) Merupakan thallus muda yang bercabang banyak, rimbun dan

runcing, 2) Bibit bila dipegang terasa elastis, 3) Bibit terlihat segar dan berwarna

cerah, yakni cokelat cerah dan hijau cerah serta ujung bibit berwarna kuning

kemerah-merahan, 4) Thallus bibit terlihat tebal dan berat, 5) Bibit tidak terdapat bercak, luka, atau terkelupas, 6) Bebas dari tanaman lain atau benda-benda asing,

7) Bibit harus seragam dan tidak tercampur dengan jenis lain, 8) berat awal

diupayakan seragam.

Selanjutnya, Parenrengi et al. (2008) menyatakan bahwa untuk menjamin kebehasilan usaha budidaya rumput laut maka harus dilakukan usaha perawatan

selama masa pemeliharaan, bukan hanya terhadap tanaman itu sendiri tapi juga

fasilitas budidaya yang digunakan. Oleh karena itu peranan pengelola

(pembudidaya) rumput laut sangat diperlukan untuk memperkecil kemungkinan

(36)

Pemeliharaan rumput laut dari keempat metode budidaya adalah relatif

sama. Secara umum, kegiatan yang dilakukan dalam pemeliharaan rumput laut

tersebut adalah meliputi: a) pembersihan lumpur, kotoran dan biofouling, b) penyisipan tanaman dan pergantian sarana yang rusak, c) pemantauan

pertumbuhan. Pemeliharaan rumput laut di tambak relatif lebih mudah

dibandingkan dengan yang ditanam di laut. Hal ini karena kondisi tambak mudah

dikontrol dibandingkan dengan air laut yang dipengaruhi oleh arus dan gelombang

sehingga menyulitkan dalam pemeliharaan yang bahkan dalam kondisi ekstrim

akan merusak tanaman. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan

tersebut meliput: pergantian air, pengawasan kualitas air (kadar garam, suhu dan

kedalaman), pupuk susulan apabila diperlukan, pemerataan dan penyebaran

kepadatan rumput laut, serta pembersihan thallus dari tanaman pengganggu

misalnya lumut atau ganggang lainnya serta kotoran lain yang menempel pada

rumput laut. Pertumbuhan tanaman sebaiknya dipantau secara berkala untuk

mengetahui laju pertumbuhan hariannya. Pertumbuhan rumput laut sebaiknya

dipertahankan pada laju pertumbuhan tidak kurang dari 3%/hari.

Hama tanaman budidaya rumput laut umumnya merupakan organisme

pemangsa tanaman. Secara alami, organisme tersebut hidup dengan rumput laut

sebagai makanan utamanya atau sebagian masa hidupnya memakan rumput laut.

Hama dapat menimbulkan kerusakan fisik pada tanaman budidaya seperti

terkelupas, patah atau habis dimakan.

Hama rumput laut yang sering dijumpai adalah larva bulu babi

(Tripneustes) dan larva teripang (Holothuria sp.). ikan beronang (Siganus sp.), bintang laut (Protoneustes nodulus), bulu babi (Diadema dan Tripneustes sp.) dan penyu hijau (Chelonia midas). Upaya yang dilakukan untuk menanggulangi hama tersebut adalah dengan cara memperbaiki/memodifikasi teknik budidaya sehingga

tanaman budidaya berada pada posisi permukaan air yang diharapkan serangan

dapat dikurangi. Selain itu sebaiknya diterapkan pola tanam yang serentak pada

lokasi yang luas serta melindungi areal budidaya dengan memasang pagar dari

jaring. Penyakit yang sering dijumpai pada budidaya rumput laut adalah penyakit

(37)

sedangkan penyakit jamur yang disebabkan oleh Hydra thalassiiae menyerang bagian gelembung udara rumput laut Sargassum sp. Penyakit ice-ice (sebagian orang menyebutnya sebagai white spot) merupakan kendala utama budidaya rumput laut Kappaphycus/Eucheuma. Gejala yang diperlihatkan pada rumput laut yang terserang penyakit tersebut adalah antara lain: pertumbuhan yang lambat,

terjadinya perubahan warna thallus menjadi pucat atau warna tidak cerah, dan

sebagian atau seluruh thallus pada beberapa cabang menjadi putih dan membusuk.

Penyakit tersebut terutama disebabkan oleh perubahan lingkungan seperti arus,

suhu dan kecerahan. Kecerahan air yang sangat tinggi dan rendahnya kelarutan

unsur hara nitrat dalam perairan juga merupakan penyebab munculnya penyakit

tersebut. Beberapa faktor abiotik yang dilaporkan dapat menjadi penyebab

munculnya penyakit ice-ice pada rumput laut di Filipina adalah kurangnya densitas cahaya, kadar garam kurang dari 20 ppt, dan temperatur 33–35 oC.

Dibandingkan dengan Kappaphycus/Eucheuma sp., hama dan penyakit yang menyerang Gracilaria sp. adalah relatif sedikit. Hama yang didapatkan umumnya adalah serangan ikan dan predator lainnya serta tanaman pengganggu

atau penempel lainnya. Hama yang sering menyerang rumput laut di tambak

adalah ikan herbivor seperti beronang, serangan kerang yang menempel pada

thallus serta gulma atau lumut sebagai penyaing pemanfaatan unsur hara di air.

Gulma yang berupa lumut yang sering menyerang di tambak adalah terdiri dari

jenis Enteromorpha sp., Chaetomorpha sp., dan Ectocarpus. Jenis kerang sering menempel pada thallus rumput laut di tambak adalah jenis Limnea glabra sp. Gulma menyerang tanaman dengan cara melekat dan membelit rumput laut

sehingga selain penyaing unsur hara juga dapat mengganggu pertumbuhan rumput

laut. Pemberantasan hama tersebut selain dapat dilakukan dengan cara langsung

membuang lumut dari tambak, juga dapat dilakukan dengan cara biologis dengan

memasukkan ikan bandeng sebanyak 500–750 ekor/ha dengan berat sekitar 50–

100 gram per ekor.

Panen merupakan langkah akhir dalam suatu kegiatan budidaya rumput

laut sebelum dipasarkan. Panen dan penanganan hasil panen yang tidak sempurna

(38)

kandungan agar/alginat/karaginan, air dan kotoran yang harus memenuhi syarat

standar mutu ekspor komoditas rumput laut (Tabel 2).

Tabel 2 Persyaratan ekspor rumput laut Kappaphycus dan Gracilaria

Uraian Kappaphycus Gracilaria sp.

Kadar Air (%) 31-35 18-22

Maksimal Garam dan Kotoran Lainnya (%) 5 2

Rendemen (%) Minimal 25 14-20

Sumber: Parenrengi et al. (2008)

Waktu yang diperlukan oleh tanaman dalam mencapai tingkat kandungan

bahan utama maksimal merupakan patokan dalam menentukan waktu panen. Hasil

penelitian memperlihatkan bahwa rumput laut K. alvarezii memiliki kandungan karaginan yang optimal setelah mencapai pemeliharaan 45 hari, sehingga

pemanenan rumput laut sebaiknya dilakukan setelah berumur 45 hari. Tetapi

panen rumput laut untuk digunakan sebagai bibit dilakukan pada umur tanaman

berkisar 25–35 hari.

Panen dapat dilakukan dengan dua cara yakni secara selektif atau parsial

dan secara keseluruhan. Panen secara selektif dilakukan dengan cara memotong

tanaman secara langsung tanpa melepas ikatan dari tali ris. Keuntungan cara ini

adalah penghematan tali rafia pengingat rumput laut namun memerlukan waktu

kerja yang relatif lama. Berdasarkan informasi yang ada, panen selektif umumnya

hanya dapat dilakukan selama tiga kali dan setelah itu sebaiknya dilakukan panen

secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena pangkal thallus rumput laut yang

tersisa semakin tua sehingga cenderung pertumbuhannya akan lambat. Cara panen

keseluruhan dilakukan dengan mengangkat seluruh tanaman sekaligus, sehingga

waktu kerja yang diperlukan relatif singkat dibanding cara panen sebelumnya.

2.4 Beban Pencemaran Lingkungan

Pembangunan di wilayah pesisir dan P2K salah satu akibat negatifnya

adalah pencemaran. Hynes (1974) menyatakan bahwa pencemaran perairan

diakibatkan oleh masuknya zat-zat beracun, bertambahnya padatan suspensi,

reduksi dan meningkatnya suhu. Dalam Pramudianto (1999) didefinisikan

pencemaran laut sebagai dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau

(39)

kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut

tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan atau fungsinya. Kennish (2001)

mendefinisikan bahan pencemar sebagai introduction material atau ekstraksi material dan energi oleh manusia kepada lingkungan, sehingga konsentrasi zat ini

menjadi lebih tinggi atau bahkan lebih rendah di bawah tingkat alami sehingga

kondisi lingkungan berubah. Perubahan terhadap lingkungan tersebut

membahayakan bagi kelangsungan hidup biota maupun manusia yang disebabkan

oleh limbah dari proses baik yang diakibatkan oleh alam maupun manusia.

Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa lingkungan pesisir P2K

yang dimanfaatkan sebagai areal marikultur, kualitas perairannya akan menurun

disebabkan oleh buangan limbah budidaya selama operasional. Buangan limbah

yang mengandung konsentrasi tinggi bahan organik dan nutrien adalah

konsekuensi dari sisa pakan dan feses yang terlarut ke dalam perairan sebagai

masukan aquainput budidaya (Johnsen et al. 1993; Buschmann et al. 1996; McDonald et al. 1996; Boyd 1999; Horowitz & Horowitz 2000; Montoya & Velasco 2000; Goldberg et al. 2001).

Dampak buangan limbah yang terjadi dapat dirasakan langsung pada usaha

budidaya. Johnsen et al. (1993) menyatakan bahwa pengayaan bahan organik dapat berakibat pada penurunan produktivitas budidaya dan peningkatan

mortalitas komunitas budidaya. Limbah budidaya berpengaruh pada kehidupan

makrofauna bentik yang dicirikan oleh rendahnya keragaman spesies dan

didominasi oleh spesies yang bersifat oportunistik.

Dalam penelitian ini, komoditas yang dikembangkan adalah rumput laut.

Budidaya rumput laut sangat kecil potensi menghasilkan limbah di lingkungan

perairan. Yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah limbah rumah

tangga dari penduduk yang berdampak pada budidaya rumput laut. Seperti

dijelaskan sebelumnya bahwa pada suatu kurun waktu, pembudidaya rumput laut

di Pulau Nain telah membangun tempat tinggal di sekitar bahkan di atas areal

budidaya rumput laut. Selain itu, sebagian besar penduduk Desa Nain telah

membangun rumah tinggal di atas air sepanjang pinggir desa. Limbah yang

dihasilkan berupa limbah dapur, MCK, tumpahan minyak mesin motor laut, serta

(40)

tawar di Desa Nain berada di pinggir pantai berupa dua buah sumur yang

sepanjang hari oleh penduduk digunakan juga sebagai tempat mencuci dan mandi.

Menurut Duncan (1976) in Wantasen (2007), komposisi limbah yang berasal dari kamar mandi dan wc dalam bentuk feces, jumlah per orang per hari

yakni 135–270 g (basah) dan 20–35 g (kering). Sedangkan untuk cairan tubuh

secara rata-rata tubuh orang dewasa akan kehilangan 1,5 liter cairan tubuh melalui

urin (Irawan, 2007). Jumlah air limbah (meliputi air dari kamar mandi, tempat

cuci, wc dan tempat masak) dari rumah tinggal pada umumnya 190–350

liter/orang/hari. Beban pencemar dikaitkan dengan jumlah total bahan pencemar

yang masuk ke dalam suatu lingkungan yang dihasilkan oleh manusia dalam

upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya pada suatu kurun waktu tertentu baik

secara langsung maupun tidak langsung (Sutisna 2007).

Kandungan unsur P yang utama adalah yang bersumber dari limbah dapur,

limbah pengolahan ikan dan feses. Tetapi menurut Kibria et al. (1996), pelepasan P ke perairan tergantung juga oleh karakteristik fisika-kimia perairan seperti pH,

suhu, oksigen, turbulensi, dan mikroba. Input limbah masyarakat yang berupa

bahan organik dan nutrien, oleh Barg (1992) dan Buschmann et al. (1996), akan menyebabkan pengayaan nutrien (hypernutrifikasi) dan bahan organik yang

diikuti oleh eutrofikasi dan perubahan ekolofi fitoplankton, peningkatan

sedimentasi, siltasi, hypoxia, perubahan produktivitas, dan struktur komunitas

bentos. Silvert (1992) menyatakan dalam hubungan budidaya intensif, terdapat

empat jenis dampak lingkungan yang spesifik, yakni: hypernutrifikasi, pengayaan

bentik, meningkatkan BOD, dan perubahan bakterial.

UNEP (1993) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara pencemar

(pollutants) dan limbah (waste). Pencemar merupakan bahan dan energi yang dibuang ke lingkungan dan dapat merusak ataupun membunuh makhluk hidup

maupun makhluk tak hidup yang mendiami lingkungan tersebut. Limbah tersebut

memberikan dampak yang sangat merugikan. Kennish (2001) memberikan contoh

dampak antropogenik pada ekosistem perairan dan laut yang terbagi menjadi tiga

kategori: terjadinya pencemaran, hilangnya habitat dan terjadi perubahan

pemanfaatan sumber daya dan eksploitasi yang berlebihan. Suharsono (2005)

Gambar

Gambar 1  Lokasi potensial untuk pengembangan rumput laut di Indonesia                          (DKP 2005
Gambar 2  Perkembangan volume dan nilai ekspor rumput laut Indonesia.
Tabel 1  Penelitian-penelitian rumput laut yang pernah dilakukan
Gambar 3 dijelaskan oleh Fauzi dan Anna (2005) bahwa terlihat kelompok
+7

Referensi

Dokumen terkait

R: Karena perubahan suhunya lebih tinggi, banyak P: Trus, kalor yang sama diberikan kepada dua buah benda dengan massa yang sama, suhu awal yang sama, tetapi kedua benda

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan hasil perhitungan skor secara keseluruhan yang dilakukan, sehingga diperoleh rata – rata skor siswa adalah 86,7625,

Bahkan, dengan peran pemerintah yang sangat dominan, badan perwakilan rakyat dan partai politik tidak berfungsi dengan baik dan lebih merupakan alat

Dalam berbakti kepada orang tua, kita mengenal istilah “Birrul Walidaini” yang artinya yaitu berbuat baik dan bakti kepada orang tua melalui pemenuhan hak-hak kedua

This thesis entitles AN EXPERIMENTAL STUDY OF CROSSWORD PUZZLE IN TEACHING VOCABULARY AT ELEVENTH GRADE STUDENTS OF SMA MUHAMMADIYAH 1 PALANGKA RAYA in the

Further, given the information on KCSI’s capital structure and the proxy values for gearing for financial services and US rail, an asset beta can be..

Dengan cara yang sama, setiap orang yang bekerja dalam media atau pada teks media tertentu butuh berhubungan kepada lebih dari satu institusi, lebih dari

Pendidikan Agama dan Budi Pekerti3. Pendidikan Pancasila