PERAN UNITED NATIONS CHILDREN’S FUND (UNICEF)
DALAM MENANGANI KASUS PERNIKAHAN ANAK DI INDIA
PERIODE TAHUN 2010-2012
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
Nurhayati Inayatul Maula 1110114000023
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisa mengenai peran United Nations Children’s
Fund (UNICEF) dalam menangani kasus pernikahan anak di India periode
tahun 2010-2012. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kerjasama antara UNICEF dengan pemerintah India, menganalisa efektifitas peran UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India serta melihat tantangan dan peluang yang di hadapi oleh UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India. Penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka dengan analisa data sekunder.
Peneliti menemukan bahwa pada tahun 2007, India merupakan negara yang memiliki jumlah angka pernikahan anak nomor dua terbesar didunia, oleh karena itu, Pemerintah India membuat kebijakan nasional maupun internasional untuk menangani kasus pernikahan anak. Dalam usaha menetapkan kebijakan tersebut, Pemerintah India bekerjasama dengan UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India.
KATA PENGANTAR
مسب
ه
نمحرلا
ميحرلا
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
karena berkah, rahmat, serta kehadirat-NYA skripsi ini dapat diselesaikan dengan
sebaik-baiknya. Penyusunan skripsi yang berjudul PERAN UNITED NATIONS
CHILDREN’S FUND (UNICEF) DALAM MENANGANI KASUS
PERNIKAHAN ANAK DI INDIA PERIODE TAHUN 2010-2012, dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana
Sosial dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, penulis ingin mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan, dukungan serta bimbingan
yang diberikan kepada :
1. Ibu Debbie Affianty, M.A, selaku Ketua Program Studi Hubungan
Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Ibu Athiqah Nur Alami, M.A, selaku pembimbing skripsi yang telah bersedia
meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan bimbingan serta
pengarahan yang sangat berharga dalam proses penyusunan skripsi sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan.
3. Seluruh Dosen Hubungan Internasional (kelas Internasional) Universitas Islam
pengetahuan selama penulis kuliah sehingga mampu menyelesaikan skripsi
ini.
4. Kedua orang tua tercinta dan kaka tersayang yang tak pernah letih
memberikan bantuan moril maupun materil serta doa yang tidak pernah putus
hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
5. Sahabat tersayang; Miranti Israni, Septian Maulana Yusuf, Safee Peters,
Aunty Sumaya Peters, Uncle Abduraghman Peters yang selalu memberikan
semangat dan support dalam proses penulisan skripsi.
6. Teman-teman kelas HI INTER 2010, yang selalu memberikan semangat
selama ini dan terimakasih atas kerjasamanya selama program perkuliahan
berlangsung.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini masih jauh dari
sempurna karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki penulis. Oleh karena itu penulis dengan segala kerendahan hati menerima
kritik dan saran yang dapat membangun guna menyempurnakan skripsi ini. Akhir
kata, skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya di bidang perlindungan perempuan dan anak di Indonesia.
Ciputat, 27 November 2014
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKIPSI ... iii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR SINGKATAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah ... 1
B. Pertanyaan Penelitian ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Tinjauan Pustaka ... 8
E. Kerangka Teoritis ... 13
F. Metode Penelitian... 20
G. Sitematika Penulisan ... 22
BAB II PERNIKAHAN ANAK DI INDIA A. Isu Pernikahan Anak di India ... 24
B. Faktor Penyebab terjadinya Pernikahan Anak di India ... 26
C. Dampak Pernikahan Anak di India ... 36
BAB III PERAN DAN TANTANGAN UNICEF DALAM MENANGANI KASUS PERNIKAHAN ANAK DI INDIA (2010-2012)
A. Tinjauan Umum mengenai United Nations Children’s Fund
UNICEF ... 55
B. Peran UNICEF di India ... 60
C. Efektifitas Peran UNICEF dalam menangani Kasus
Pernikahan Anak di India ... 74
D. Tantangan dan Peluang yang dihadapi UNICEF dalam
menangani Kasus Pernikahan Anak di India ... 82
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ... 87
B. Saran ... 90
DAFTAR TABEL
Tabel II.C.1. Kebijakan Nasional India dalam menangani kasus pernikahan
anak di India ... 44
Tabel II.C.2. Kebijakan Internasional yang diratifikasi oleh India dalam
menangani kasus pernikahan anak di India ... 52
Tabel III.A.1. Program UNICEF tahun 2006-2013 ... 59
Tabel III.C.2. Persentase (%) angka penurunan kasus pernikahan anak
DAFTAR SINGKATAN
ANMs Auxiliary Nurse Midwifes
ASHA Accredited Social Health Activists
CEDAW Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
against Women
CRC Convention on the Rights of the Child
DLHS District Level Household and facility Survey
ICESCR International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights
ICPS Integrated Child Protection Scheme
ICRW International Center for Research on Women
JRM Joint Review Missions
KGBV Kasturba Gandhi Balika Vidyalaya
MDGs Millennium Development Goals
MS Mahila Samakhya
NCW National Commission for Women
NFHS National Family Health Survey
NPEGEL National Programme for Education of Girls at Elementary
Level
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
PCMA Prohibition of Child Marriage Act
RTE Right to Education Act
SOWC State of the World’s Children Report
SSA Sarva Shiksa Abhiyan
UEE Universal Elementary Education
UNFPA United Nations Population Fund
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Pernikahan anak (child marriage) merupakan salah satu fenomena
internasional yang perlu menjadi perhatian, karena dianggap sebagai bentuk
pelanggaran hak asasi anak. Anak dengan usia di bawah 18 tahun masih belum
pantas dinikahi dan belum dapat memenuhi persyaratan untuk menikah baik
secara fisik maupun moral. Umumnya, seorang anak yang memiliki usia kurang
dari 18 tahun masih dianggap belum mampu memberikan persetujuan secara sadar
terhadap berbagai hal yang dianggap penting untuk pilihannya. Di usia yang bisa
dibilang masih sangat dini yakni kurang dari 18 tahun, mereka seharusnya duduk
di bangku sekolah dengan gelar ‘pelajar’ bukan dengan gelar ‘istri’ atau ‘suami’. 1 Praktek pernikahan anak ini dapat ditemukan di sejumlah wilayah didunia.
Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2007 menunjukkan bahwa
sebanyak 72.000.000 perempuan di dunia yang berusia 24 tahun menikah saat
mereka berusia di bawah 18 tahun.2 Berdasarkan data survey UNICEF tahun
2009, angka pernikahan anak berkisar 46,8% terjadi di Asia Selatan, 37,3%
terdapat di Sub-Sahara Afrika, 29% terdapat di Latin America dan Caribbean,
1 Sagade, Jaya, “Child Marriage in India: Socio-legal and Human Rights Dimensions”, Oxford University Press, New Delhi:2005, Hal: 12
17,6% terdapat di Asia Timur dan Pasifik, dan 17,4% terdapat di Timur Tengah
dan Afrika Utara.3
India merupakan negara yang memiliki jumlah angka pernikahan anak
nomor dua terbesar di dunia yakni berkisar 40%.4 Dalam hasil penelitian UNICEF
India pada tahun 2008, angka kejadian pernikahan anak berusia 15 tahun berkisar
43%, sedangkan yang menikah di saat usia tepat 18 tahun sekitar 54%. Sekitar
13.000 anak perempuan di India menikah setiap harinya, sehingga tercatat total
anak perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun lebih dari 23.000.000.5
Kasus-kasus penikahan anak di India mayoritas dilatarbelakangi oleh
adanya anggapan bahwa mempunyai seorang anak perempuan dianggap berkah
yang tak ternilai harganya. Anak perempuan dinilai dapat mengangkat kondisi
perekonomian keluarga mereka, melalui pernikahan dengan saudagar kaya.
Mereka tidak peduli dengan konsekuensi yang harus diterima oleh anak mereka
yang masih di bawah umur. Bahkan, para orang tua di Bihar-India berfikir bahwa
pendidikan untuk anak perempuan tidak terlalu penting. Mereka percaya bahwa
setiap anak perempuan yang telah menikah di bawah umur akan memperbaiki
status ekonomi orang tua mereka.6
Secara tradisional di India, tanggung jawab perawatan dan perlindungan
anak berada pada keluarga dan masyarakat. Keluarga di India umumnya bersifat
patriakal dan memiliki ikatan keluarga yang kuat dalam menjaga anak-anak
3Statistics and Monitoring Section, Division of Policy and Strategy, UNICEF, January 2013. 4Eddy Fadlyana, Shinta Larasaty, “Early marriage and its Issues”,
Jurnal Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri, Agustus 2009. Hal: 27
dengan baik. Akan tetapi, mereka belum memiliki kesadaran bahwa anak adalah
individu yang memiliki hak-hak tersendiri. Sedangkan Konstitusi India menjamin
hak-hak dasar anak-anak. Dampak yang ditimbulkan dari pernikahan di usia dini
ini juga beresiko bagi sang anak, baik dari sisi psikologi, kesehatan, pendidikan
bahkan menyebabkan kematian. Di India, dampak dari pernikahan anak ini
mengarah kepada kekerasan, pemaksaan, hingga menimbulkan kematian. Di
Bihar dan Jharkhand menemukan bahwa kasus penyiksaan anak lebih sering
terjadi pada anak yang menikah diusia kurang dari 18 tahun. Mereka juga sering
dipaksa untuk berhubungan seksual tanpa bernegosiasi terlebih dahulu, akibatnya
sang anak lebih rentan terjangkit HIV/AIDS dan penyakit seksual lainnya. Selain
itu anak perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun dua kali lebih beresiko
pada saat proses kehamilan dan persalinan dibandingkan dengan perempuan
diusia 20-25 tahun. Hasil dari penelitian UNFPA tahun 2010 menemukan angka
66.6% pada anak perempuan berusia kurang dari 18 tahun yang mengalami
komplikasi pada persalinan.7
Pernikahan anak ini juga tidak jarang terkait dengan perdagangan anak.
Pernikahan anak biasanya mendorong pada hal pemaksaan, kekerasan, penipuan,
perbudakan dan bahkan tidak menutup kemungkinan anak tersebut akan di
perdagangkan. Motif ini biasanya digunakan untuk mengambil keuntungan dari
anak (istri) untuk dijadikan pekerja seks anak (pelacuran anak) atau perburuhan.8
Di Iran, misalnya, tidak jarang orang tua yang menikahi anak mereka dengan
7ibid
8 Basham, A. L, “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian
laki yang jauh lebih tua kemudian anak mereka “diperdagangkan” dan orang tua mendapatkan imbalan dari hasil “perdagangan” anak mereka.9
Pemerintah India pun bekerja sama dengan UNICEF India untuk
mengatasi segala sesuatu yang melanggar hak asasi anak khususnya mengatasi
kasus pernikahan anak di bawah umur di India.10 UNICEF (United Nations
Children’s Fund) merupakan organisasi internasional di bawah naungan PBB
yang membantu masalah anak-anak diseluruh dunia, baik yang berkaitan dengan
masalah kesehatan, pendidikan, malnutrisi, dan masalah pelanggaran hak asasi
anak.
UNICEF telah bekerja di India sejak tahun 1949. UNICEF memiliki 15
kantor pembantu yang berpusat di New Delhi dan 14 kantor UNICEF India
lainnya terletak di daerah Assam, Andhra Pradesh, Bihar, Chhattisgarh, Gujarat,
Jharkhand, Karnataka, Madhya Pradesh, Maharashtra, Orissa, Rajasthan, Tamil
Nadu, Uttar Pradesh, West Bengal. UNICEF melakukan penelitian secara
langsung dan menggunakan data yang berkualitas untuk memahami permasalahan
yang terjadi pada anak di India. UNICEF menggunakan pengetahuannya di
tingkat masyarakat untuk menerapkan dan memastikan bahwa perempuan dan
anak dapat mengakses layanan dasar seperti air bersih, layanan kesehatan dan
fasilitas pendidikan. Pada saat yang sama UNICEF juga meninjau langsung ke
keluarga untuk membantu mereka dalam memahami apa yang harus mereka
9USAID, “Ending Child Marriage and Meeting the Needs of Married Children: the USAID Vision
for Action”, Oktober 2012, hal: 3.
http://www.usaid.gov/sites/default/files/documents/2155/Child_Marriage_Vision_Factsheet.pdf. Diakses pada 26 September 2013
10UNICEF. (2007), Child National Report on “A World Fit for Children”,
lakukan untuk memastikan anak-anak mereka berkembang. Dalam menangani
masalah pada anak, UNICEF menjalin kemitraan dengan badan-badan PBB yang
lain, organisasi sukarela yang aktif di tingkat masyarakat, kelompok perempuan
dan donor.
UNICEF bekerja sama dengan Pemerintah India untuk memastikan bahwa
setiap anak yang lahir di India mendapatkan awal yang terbaik dalam hidup,
berkembang dan untuk mengembangkan potensi penuhnya.11 UNICEF bekerja di
India untuk melindungi semua hak anak di India, ini berarti hak untuk setiap anak
yang tinggal di India. Program bantuan yang diberikan oleh UNICEF berkaitan
erat dengan hak anak seperti layanan kesehatan, layanan pendidikan, program
perlindungan anak. Program tersebut diberikan pada dasarnya disesuaikan dengan
program yang diberikan oleh pemerintah India. UNICEF memiliki beberapa
langkah dalam membahas kasus pernikahan anak di India diantaranya yang
berhubungan dengan perlindungan anak (child protection), dan mempertegas Hak
Asasi seorang anak (children rights).12
Oleh karena itu, Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran UNICEF
dalam menangani kasus pernikahan di bawah umur di India dan seberapa efektif
peran UNICEF tersebut. Data yang digunakan pada penelitian ini di ambil dari
tahun 2010 hinga 2012, hal ini dikarenakan adanya peningkatan peran maupun
program yang dibentuk oleh UNICEF. Kemudian, terjadi penurunan pada angka
pernikahan anak di India. Dengan diketahuinya hal-hal tersebut, diharapkan dapat
11UNICEF, “In India, children’s vulnerabilities and exposure to violations of their rights remain
spread and multiple in nature”,
dirumuskan sebuah analisa yang efektif dan tepat sasaran dalam menganalisa
kasus pernikahan di bawah umur di India.
B.Pertanyaan Penelitian
Menikah di usia kurang dari 18 tahun merupakan realita yang harus
dihadapi sebagian anak di seluruh dunia, terutama di India. Meskipun Deklarasi
Hak Asasi Manusia secara eksplisit menentang pernikahan anak, namun
ironisnya, praktek pernikahan usia di bawah umur 18 tahun masih terus
berlangsung dan hal ini merefleksikan perlindungan hak asasi kelompok usia
muda yang terabaikan. Peraturan seperti The Prohibition of Child Marriage Act,
2006 (PCMA, 2006) seringkali tidak efektif dan terpatahkan oleh adat istiadat
serta tradisi yang mengatur norma sosial suatu kelompok masyarakat.13
Peningkatan yang terus terjadi pada kasus pernikahan di bawah umur 18 tahun di
India ini membuat kekhawatiran sendiri bagi masa depan anak di India.
Suatu studi literasi UNICEF menemukan bahwa interaksi berbagai faktor
menyebabkan anak berisiko menghadapi pernikahan di usia dini. Diketahui secara
luas bahwa pernikahan anak berkaitan dengan tradisi dan budaya, sehingga sulit
untuk dirubah.14
13UNPFA(2005) , “Child marriage fact sheet,
http://www.unfpa.org/swp/2005/presskit/factsheets/facts_child_marriage.htm, Diakses pada tanggal 7 Oktober 2013 Pukul 15.02 WIB
Berangkat dari kasus tersebut, penelitian ini akan difokuskan untuk menjawab
pertanyaan: Bagaimana peran UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak
di India dan seberapa efektif peran tersebut dilakukan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini dibuat bertujuan untuk:
1. Mengkaji Peran UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di
India.
2. Melihat efektifitas peran UNICEF dalam melawan kasus pernikahan anak
di India
3. Melihat tantangan UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di
India
4. Melihat peluang UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di
India
Kasus pernikahan anak di bawah umur 18 tahun di India sudah menjadi
kasus pelanggaran hak asasi anak yang perlu diperhatikan. Oleh sebab itu,
penelitian ini diharapkan dapat lebih memaparkan tantangan yang dihadapi oleh
Adapun manfaat yang diberikan dari penelitian ini sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis dapat menambah wawasan ilmu Hubungan Internasional
yang berkaitan dengan bahan yang diteliti, khususnya peran organisasi
Internasional (UNICEF) dalam menangani kasus pernikahan anak di India.
b. Manfaat Praktis
1. Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai peran UNICEF dalam
menangani kasus pernikahan anak di India
2. Dapat dijadikan informasi bagi phiak terkait dengan masalah yang diteliti
serta bagi masyarakat yang membutuhkan informasi mengenai peran
UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India.
D. Tinjauan Pustaka
Untuk membantu menambah informasi dan menghindari kesamaan pada
penulisan skipsi, penulis mengambil beberapa sumber untuk membantu proses
penelitian. Sumber pertama berasal dari skripsi yang ditulis oleh Widia Noviyanti,
mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat, prodi Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia. Untuk memenuhi gelar S1, Juli 2013 yang berjudul:
“Analisis Data Sekunder Survei Demografi Kesehatan Indonesia Tahun 2007:
Tren dan Dampak Pernikahan Dini di Indonesia”. Skripsi ini meneliti tentang
hasil studi UNICEF (2005) di semua negara, menunjukkan bahwa pernikahan
Persentase pernikahan dini di Chad dan Republik Afrika Tengah berturut-turut
sebesar 71% dan 57%. Perbedaan angka lebih sedikit pada populasi terkaya yaitu
75% di Chad dan 55% di Republik Afrika Tengah, sedangkan populasi termiskin
sebanyak 66% di Chad dan 53% di Afrika Tengah (UNICEF, 2005). Berdasarkan
data UNICEF tahun 2012, kasus pernikahan dini yang terjadi di Indonesia antara
tahun 2000-2010, terdapat 4% dari perempuan berusia 20-24 tahun yang menikah
di bawah 15 tahun, sedangkan sebesar 22% perempuan pada kelompok umur
tersebut tersebut menikah di bawah 18 tahun. Tren pernikahan dini di Indonesia
mengalami penurunan pada tahun 1977-1992. Selanjutnya pada tahun 1992,
angka pernikahan dini meningkat hingga penelitian ini dilaksanakan.
Dampak pernikahan dini pada penelitian ini meliputi status perkawinan,
status ekonomi, fertilitas, mortalitas bayi, dan penggunaan kotrasepsi. Pernikahan
dini yang terjadi pada remaja, sering berujung pada ketidakstabilan rumah tangga
sehingga meningkatkan angka perceraian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara status ekonomi dengan kejadian pernikahan dini. Hal ini
terjadi karena pada keluarga dengan status ekonomi rendah, orangtua mereka
menganggap bahwa anak perempuan merupakan beban ekonomi keluarga. Selain
itu, perempuan yang berasal dari keluarga dengan ekonomi rendah sebagian besar
memiliki pendidikan yang rendah. Tidak sedikit dari mereka putus sekolah atau
tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena tidak mampu
membayar sekolah atau ingin segera bekerja untuk membantu orang tua.
Sumber kedua berasal dari skripsi yang ditulis oleh Eka Octavia: Fakultas
Komputer Indonesia, 2009. Untuk memenuhi gelar S1 yang berjudul: “Peranan
United Nations Children’s Fund (UNICEF) dalam penanganan pekerja seks
komersial anak di India”. Skripsi ini meneliti tentang UNICEF (United Nation
Children’s Fund) yang termasuk dalam IGO, terbentuk pada tanggal 11 Desember
1946 untuk melindungi jiwa anak-anak dan mengatur segala hal mengenai
kesejahteraan anak-anak di dunia dan bernaung di bawah PBB serta bermarkas
besar di New York, melihat kenyataan dan tindakan yang telah terjadi terhadap
anak-anak di India merupakan suatu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia,
khususnya hak anak dan hal tersebut harus secepat mungkin ditekan agar
kelangsungan hidup anak-anak di India dapat berjalan sebagaimana mestinya
anak-anak di dunia. Peranan UNICEF terhadap pekerja seks anak di India sangat
membantu bagi pemerintah India dalam mengatasi pekerja seks anak, pengaruh
UNICEF secara nyata memberi dukungan kepada kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah India terhadap kelangsungan hidup anak-anak.
Sumber ketiga berasal dari buku yang ditulis oleh A.L. Basham, Professor
of Asian Civilization in the Australia National Univercity, Canberra. 3rd Edition,
New Delhi, 2001, yang berjudul: “The Wonder that was India: A Survey of the
History and Culture of the Indian sub-continent before the coming of the
Muslims”. Buku ini membahas mengenai kedudukan perempuan di India.
Seorang perempuan berdasarkan segi kekuasaanya, selalu rendah dimata hukum.
Sebagai seorang gadis kecil dia berada dibawah aturan orang tuanya, sebagai
wanita dewasa, dia mengabdi pada suaminya, menjadi ibu dari anak-anaknya, dan
dia bisa menjual istrinya dalam terhimpit, dan seorang suami bisa mengendalikan
isterinya untuk kepentingan pribadi, dan jika isterinya meninggal, suami dapat
melakukan hal yang sama kepada anak perempuannya bukan kepada anak
laki-lakinya. Pada umumnya wanita tidak dapat memilih tujuan hidup. Perempuan
hanya ditakdirkan untuk menikah, kemudian merawat suami dan anak. Seorang
istri harus memiliki inisiatif dalam rumah tangga. Tugas utamanya, adalah
menunggu suaminya pulang, kemudian melayani suaminya, memijat kaki
suaminya, bangun tidur sebelum suaminya terbangun, makan dan tidur setelah
suaminya melakukan hal tersebut.
Kevirginitasan perempuan sangatlah penting, karena jika seorang
perempuan tidak virgin sebelum menikah maka tidak ada laki-laki yang mau
menikahi perempuan itu. Orang tua perempuan memiliki suatu pilihan untuk
menghukum dan mengusir puteri mereka yang tidak virgin sebelum menikah,
bahkan orang tua dapat menghukumnya dengan menjadikan anaknya seorang
pekerja seks komersial.
Sumber keempat berasal dari buku yang dituliskan oleh Jaya Sagade, New
Delhi, 2005, yang berjudul “Child Marriage in India: Socio-legal and Human
Rights Dimensions”. Buku ini menempatkan pernikahan anak dalam konteks
pelanggarangan hak asasi manusia di tingkat internasional. Buku ini juga
menunjukkan bagaimana pernikahan anak melanggar hak asasi manusia
khususnya hak asasi anak, hak tersebut seperti: hak atas kesehatan, mendapatkan
pendidikan, kesetaraan, kebebasan dan keamanan pribadi dan tentu saja hak untuk
pada kesehatan dan perkembangan anak-anak perempuan. Ini menunjukkan
bagaimana praktik pernikahan anak memperkuat masalah dasar rendahnya tingkat
kesehatan, dan pendidikan di kalangan wanita. Buku ini juga berisi kritik kuat dari
negara hukum, dan kurangnya kepekaan gender yang melekat dalam ketentuan
berbagai undang-undang yang berhubungan dengan usia perkawinan, usia
persetujuan, dan validitas pernikahan.
Dalam buku ini menjelaskan ada delapan tipe pernikahan di India
diantaranya: pertama, Brahma, merupakan pernikahan dimana seorang pria dan
seorang wanita memiliki kasta yang sama. Kedua, Daiva, adalah pernikahan
dimana orang tua memberikan puterinya untuk membayar hutangnya. Ketiga,
Arsa, merupakan pernikahan dimana pernikahan yang sesuai dengan dowry dan
ada harga pengantin yang diukur oleh harga seekor sapi atau banteng. Keempat,
Prajapatya, merupakan pernikahan dimana seorang memberikan puterinya tanpa
dowry dan tanpa harga banding. Kelima, Gandharva, merupakan pernikahan yang
harus diadakan dengan dua kali perayaan atas persetujuan kedua belah pihak.
Keenam, Ashura, pernikahan yang terjadi dengan adanya sistem pembelian.
Ketujuh, Raksasa, pernikahan yang terjadi karena penangkapan. Kedelapan,
Paisaca, pernikahan yang terjadi karena rayuan seorang dalam keadaan tidak sadar atau mabuk.
Dari beberapa skripsi dan buku yang tercantum diatas, terdapat persamaan
dan perbedaan dengan skripsi yang akan ditulis. Dilihat dari persamaannya, dari
beberapa sumber diatas dengan skripsi yang saya tulis sama-sama menjelaskan
membahas mengenai kasus pelanggaran hak asasi anak. Sedangkan apabila dilihat
dari perbedaan antara beberapa skripsi dan buku diatas dengan skripsi yang saya
tulis, yaitu: Skripsi yang saya tulis lebih fokus kepada peran UNICEF dalam
menangani kasus pernikahan anak di India (2010-2012), dan seberapa efektif
peran UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India. Selain itu
beberapa sumber diatas tidak fokus kepada peran UNICEF dalam menangani
kasus pernikahan anak di India dan sumber-sumber di atas lebih menjelaskan
mengenai kasus pernikahan anak saja.
E. Kerangka Teoritis
Penulisan skripsi menggunakan teori Organisasi Internasional dengan
pendekatan rezim dan neofungsionalisme.
1. Pernikahan Anak
Pernikahan Anak atau Child Marriage adalah pernikahan secara
formal maupun adat dimana salah satu atau kedua pasangannya berada di
bawah usia 18 tahun.15 Dilihat dari sejarahnya, pernikahan anak ini
bertujuan untuk meningkatkan kesuburan dan memperbanyak garis
keturunan dan pernikahan anak ini dapat membantu hubungan ekonomi,
politik dan sosial diantara keluarga mereka.16
Pernikahan anak ini juga terkait dengan perdangangan anak.
Pernikahan anak biasanya mendorong pada hal pemaksaan, kekerasan,
penipuan, perbudakan dan bahkan tidak menutup kemungkinan anak
tersebut akan di perdagangkan.17 Seorang anak umumnya dianggap belum
mampu memberikan persetujuan atau pilihan secara sadar terhadap
berbagai hal yang dianggap penting untuk pilihannya. Diusia yang masih
sangat dini, mereka seharusnya duduk dibangku sekolah dan masih terlalu
jauh untuk memikirkan masalah pernikahan. Praktek pernikahan anak ini
sifatnya memaksa dan telah terjadi diseluruh daerah, budaya dan agama.
2. Teori Organisasi Internasional
Organisasi Internasional merupakan organisasi yang dibentuk oleh
negara-negara dengan persetujuan antara anggotanya dan mempunyai
suatu sistem yang tetap yang tugasnya adalah untuk mencapai tujuan
bersama dengan cara mengadakan kerjasama antara negara anggotanya.18
Dalam arti luas organisasi internasional meliputi organisasi
internasional publik atau public international organization yang
16UNICEF, “Child Marriage and the Law”, 2008. Hal: 23.
http://www.unicef.org/policyanalysis/files/Child_Marriage_and_the_Law%281%29.pdf. Diakses pada 26 September 2013
17USAID, “Ending Child Marriage and Meeting the Needs of Married Children: the USAID
Vision for Action”, Oktober 2012, hal: 3.
http://www.usaid.gov/sites/default/files/documents/2155/Child_Marriage_Vision_Factsheet.pdf. Diakses pada 26 September 2013
beranggotakan negara karena itu disebut juga sebagai organisasi antar
pemerintahan atau inter-governmental organization dan organisasi
internasional privat atau private international organization beranggotakan
badan atau lembaga swasta diberbagai negara karena itu disebut sebagai
organisasi non-pemerintahan atau non-governmental organization.19
Menurut Clive Archer dalam bukunya berpendapat bahwa
organisasi internasional adalah sebuah organisasi yang memiliki struktur
berkesinambungan serta pembentukan organisasi tersebut berdasarkan
pada perjanjian yang telah dibuat oleh anggotanya.20
Organisasi Internasional merupakan salah satu aktor penting dalam
hubungan internasional. Banyaknya organisasi internasional yang muncul
cenderung sejalan dengan banyaknya tujuan yang hendak dicapai dari
organisasi internasional itu sendiri. Anggota organisasi internasional
terdiri dari dua atau lebih negara yang berdaulat. Hal ini dimaksudkan agar
organisasi tersebut dapat terbentuk untuk mencapai sebuah tujuan yang
telah disepakati bersama oleh anggotanya. Organisasi Internasional yang
dibentuk oleh negara-negara anggotanya melalui instrumen pokok yang
telah disetujui bersama pada hakekatnya merupakan suatu mekanisme
untuk mengadakan kerjasama dalam semua kegiatan diberbagai sektor
kehidupan internasional yang menjadi kepentingan mereka bersama.21
19 Sumaryo, Suryokusumo, “Pengantar Hukum Organisasi Internasional”, Jakarta: Tatanusa, Juli 2007, hal: 3-5
Menurut Archer peranan organisasi internasional dapat dibagi
kedalam tiga kategori, yakni: Kategori Pertama, sebagai instrumen dimana
organisasi internasional digunakan oleh negara-negara anggotanya untuk
mencapai tujuan tertentu berdasarkan tujuan politik luar negerinya. Kedua,
sebagai arena dimana organisasi internasional merupakan tempat bertemu
bagi anggota-anggotanya untuk membicarakan dan membahas
masalah-masalah yang dihadapi dan tidak jarang organisasi internasional digunakan
oleh beberapa negara untuk mengangkat masalah dalam wilayahnya,
ataupun masalah dalam wilayah negara lain dengan tujuan untuk mendapat
perhatian internasional. Kategori ketiga, organisasi internasional dapat
membuat keputusan-keputusan sendiri tanpa dipengaruhi oleh negara.22
Secara sederhana, dapat dirumuskan bahwa teori organisasi
internasional merupakan teori yang membahas mengenai suatu organisasi
yang pelakunya melintasi batas sebuah negara, berangkat dari kesepakatan
masing-masing anggota untuk bekerja sama, memiliki regulasi yang
mengikat anggota, dan untuk mewujudkan tujuan internasional tanpa
meleburkan tujuan nasional dari masing-masing anggota dari organisasi
internasional yang bersangkutan.23
22 Archer, Clive, “International Organization”, London: 1983. hal: 130-147
3. Pendekatan Rezim dan Neofungsional dalam Teori Organisasi Internasional
Dalam mempelajari teori organisasi internasional, terdapat dua
pendekatan utama yang berkaitan dengan teori organisasi internasional
yakni pendekatan rezim dan pendekatan institusional. Selain itu terdapat
dua turunan dari pendekatan institusional yakni pendekatan
neofungsionalisme dan pendekatan neoinstitusionalisme.24
Pendekatan rezim merupakan pendekatan yang muncul pada tahun
1950an dan mulai kuat kembali pada tahun 1980-1990an. Pendekatan
rezim ini menganalisa pengaruh tingkah laku organisasi internasional
terhadap aktor-aktor lain terutama negara sebagai sumber politik
internasional, melihat efektivitas atau aturan-aturan yang dibuat oleh
organisasi internasional dengan kata lain pendekatan ini mencoba
menganalisis seberapa efektif keberadaan suatu organisasi internasional
dalam menyelesaikan masalah yang menjadi bidangnya, selain itu
pendekatan rezim juga mengetahui apasaja hal-hal yang dihasilkan oleh
suatu organisasi internasional dan bagaimana pengaruhnya dalam
mengatasi suatu masalah.25
Pendekatan institutional muncul pada tahun 1950-1960an dan
disebut juga sebagai analisis institusi formal. Pendekatan institusional
24 Barkin, J. Samuel, International Organization: Theories and Institutions, New York: 2006, hal: 27-56
merupakan sebuah pendekatan yang melihat sebuah pendekatan yang
melihat suatu organisasi internasional secara internal atau apa yang terjadi
dalam organisasi tersebut, selain itu pendekatan institusionalisme ini lebih
melihat pada struktur formal, organisasi dan birokrasi hirarki organisasi
internasional. Titik awal munculnya pendekatan institusional ini adalah
munculnya piagam organisasi dan terjadinya perjanjian internasional.
Piagam tersebut akan menjadi dasar tentang kapan dan mengapa
organisasi dijalankan serta siapa saja yang bisa menjadi anggotanya.
Pendekatan ini juga mengatur struktur birokrasi, kekuatan, pembiayaan,
proses keluar-masuk anggota, dan mekanisme berakhirnya organisasi
internasional. Terdapat ketidak puasan pada pendekatan institusionalisme
sehingga berkembang menjadi dua cabang pendekatan yaitu pendekatan
neofungsionalisme dan pendekatan neoinstitusionalisme.26
Pendekatan Neofungsionalisme merupakan pendekatan yang
menjadi awal dari pendekatan rezim yang berkembang pada tahun 1960an.
Pendekatan neofungsionalisme ini tidak hanya melihat hanya pada isu-isu
yang ada didalam organisasi internasional tetapi juga agenda internasional
organisasi internasional itu sendiri. Pada pendekatan ini kerjasama dalam
organisasi internasional lebih mengutamakan aspek politik daripada
tuntutan teknis pada integrasi fungsi pemerintahan global. Pendekatan ini
membawa politik kembali ke dalam studi organisasi internasional,
pendekatan neofungsionalisme lebih fokus pada evolusi pola pemerintahan
dalam suatu struktur kelembagaan dan organisasi yang ada, bukan pada
penciptaan bentuk-bentuk organisasi baru.
Pendekatan neoinstitusionalisme mucul pada tahun 1990an,
pendekatan ini lebih melihat aturan dan prosedur yang dibuat oleh
organisasi internasional untuk mencapai misi formal organisasi
internasional itu sendiri, selain itu melihat sejauh mana organisasi tersebut
menjaga aturan dan prosedur yang mereka buat dan memiliki perbedaan
dalam politik internasional. Pendekatan ini melihat bahwa negara sebagai
pelaku utama yang dapat mendorong organisasi internasional untuk
melakukan tugas tertentu untuk mereka.27
Melihat isu yang akan dibahas yakni peran UNICEF dalam kasus
pernikahan anak di India, maka penelitian ini menggunakan teori
Organisasi Internasional dengan asumsi-asumsi dari pendekatan rezim dan
pendekatan neofungsionalisme. Pendekatan rezim ini menganalisa
pengaruh tingkah laku organisasi internasional terhadap aktor lain
terutama negara dan menganalisa seberapa efektif keberadaan suatu
organisasi internasional dalam menyelesaikan masalah yang menjadi
bidangnya di suatu negara, serta mengetahui apa saja yang dihasilkan oleh
organisasi internasional tersebut. Dengan demikian pendekatan rezim
membantu dalam menganalisa pengaruh UNICEF terhadap pemerintah
India dalam menangani kasus pernikahan anak di India, menganalisa
efektifitas peran UNICEF dalam menangani faktor penyebab terjadinya
pernikahan anak dan mengurangi angka pernikahan anak di India, dan
mengetahui apa saja yang dihasilkan oleh UNICEF dalam menangani
kasus pernikahan anak di India.
Sedangkan pendekatan neofungsionalisme, pendekatan yang
melihat kerja sama suatu organisasi internasional dengan suatu negara dan
dalam pendekatan ini organisasi internasional tidak melihat hanya pada isu
yang ada pada organisasi internasional, tetapi juga melihat agenda
internasional itu sendiri. Dengan demikian, Pendekatan neofungsionalisme
ini membantu dalam melihat agenda Internasional dari UNICEF pada
kasus pernikahan anak dan melihat relasi atau kerjasama antara UNICEF
dan pemerintah India.
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian
kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah penelitian yang memusatkan
perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan dari
satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia.28 Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif analisis, yaitu menggambarkan masalah
kemudian menganalisa permasalahan yang ada melalui data-data yang telah
dikumpulkan kemudian diolah serta disusun dengan berlandaskan pada
teori-teori dan konsep-konsep yang dipergunakan. Ini bertujuan untuk
memperdalam pengetahuan mengenai gejala itu dengan maksud untuk
merumuskan masalah secara terperinci atau mengembangkan hipotesis.29
Teknik pengumpulan data adalah cara yang digunakan untuk
menghimpun data, info, atau fakta yang berhubungan dan relevan dengan
masalah yang hendak diteliti. Karena adanya beberapa keterbatasan yang
dimiliki dalam melakukan penelitian ini, penulis tidak dapat meninjau
langsung ke negara India dan penulis kesulitan dalam mencari data per daerah
di India. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan analisa data sekunder
yaitu dengan penelusuran literatur atau data-data dan berbagai informasi
dengan berbagai macam materi melalui studi kepustakaan dan penelusuran
data melalui internet. Teknik pengumpulan data melalui studi dokumen atau
kepustakaan, yakni bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi
dengan bantuan macam- macam material yang terdapat di ruang
perpustakaan, misalnya berupa: buku-buku, majalah, naskah-naskah, catatan,
kisah sejarah, dokumen-dokumen, dan lain-lain.
Dalam proses penelitian, penulis juga mengirimkan email langsung
kepada Fanspage UNICEF India dan mengunjungi beberapa institusi seperti
Embassy of India in Indonesia, Jawaharlal Nehru Indian Cultural Centre di
Jakarta, Kantor UNICEF Indonesia yang membantu menghubungkan kepada
UNICEF India, dan Kemeterian Luar Negeri Republik Indonesia dan penulis
juga mengunjungi beberapa perpustakaan guna membantu jalannya penelitian,
perpustakaan tersebut diantaranya: perpustakaan Universitas Indonesia,
perpustakaan BPPK (Kementrian Luar negeri), perpustakaan FISIP
Universitas Prof. DR. Moestopo Beragama (UPDMB), Freedom Library, dan
perpustakaan FISIP UIN Jakarta. Data-data kepustakaan yang telah
diperoleh dijadikan fondasi dasar dan alat utama bagi praktek penelitian di
tengah lapangan.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan terdiri dari empat bab, setiap bab terdiri dari sub bab yang
disesuaikan dengan pembahasan yang dilakukan. Sistematika penulisan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan
Pada bab I, penulis akan membahas mengenai pertanyaan masalah,
pertanyan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
kerangka teoritis, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II: Pernikahan Anak di India
Pada bab II ini terdiri dari empat sub bab. Sub bab pertama, penulis
akan membahas mengenai isu pernikahan anak di India. Sub bab kedua,
penulis akan membahan faktor-faktor penyebab terjadinya kasus
pernikahan anak di India. Sub bab ketiga, penulis akan membahas
mengenai dampak-dampak yang terjadi pada pernikahan anak di India.
Dan sub bab keempat, penulis akan membahas mengenai kebijakan
BAB III: Peran dan Tantangan UNICEF dalam Menangani Kasus Pernikahan di India (2010-2012)
Pada bab III merupakan bab analisa yang terdiri dari empat sub
bab. Sub bab pertama, penulis akan membahas mengenai tinjauan umum
UNICEF. Sub bab kedua, penulis menjelaskan peran UNICEF di India.
Sub ba ketiga, penulis menganalisa efektifitas peran UNICEF dalam
menangani kasus pernikahan anak di India. Kemudian Sub bab keempat,
penulis akan membahas mengenai tantangan dan peluang yang dihadapi
UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India.
BAB IV: Penutup
Pada bab IV merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan
BAB II
PERNIKAHAN ANAK DI INDIA
A. Isu Pernikahan Anak di India
India adalah negara dengan populasi penduduk terbesar kedua di dunia
dengan jumlah 1.270.272.105 jiwa.1 India muncul sebagai kekuatan ekonomi baru
di dunia pada tahun 1990-an.2 Semenjak diakui sebagai kekuatan ekonomi baru,
India terus berkembang sebagai negara demokratis dengan pertumbuhan ekonomi
yang dapat dikatakan tumbuh dengan cepat. Akan tetapi, dibalik kesuksesan India
di bidang ekonomi dan di dunia internasional, India menjadi negara yang
memiliki catatan panjang atas pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap anak dan
perempuan. Berdasarkan enam kategori pelanggaran hak-hak anak yaitu ancaman
kesehatan, kekerasan seksual dan non-seksual, praktek-praktek berbahaya dalam
budaya, tradisi atau agama seperti pernikahan anak, keterbatasan akses terhadap
sumber ekonomi dan perdagangan manusia, India menjadi negara nomor empat
yang paling berbahaya bagi anak perempuan dan wanita pada kategori praktek
budaya seperti pernikahan anak.3
Pernikahan anak didefinisikan sebagai pernikahan dimana usia pengantin
laki-laki masih di bawah 21 tahun dan usia pengantin perempuan di bawah 18
1“India’s Population in 2014”. http://www.indiaonlinepages.com/population/india-current-population.html, disunting pada: Jumat, 13 Juni 2014. 16.42
2OHCHR, “Child Marriage in India: An insight into Law and Policy”. December 2013. Hal: 13. http://www.ohchr.org/do
cuments/issues/women/wrgs/forcedmarriage/ngo/theredelephantfoundation.pdf. Diakses pada: 13 Juni 2014.
tahun.4 Pernikahan anak di India telah telah terjadi semenjak abad pertengahan dan dipengaruhi dengan budaya kasta yang ada di India. Dengan berjalannya
waktu, pernikahan anak dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak anak, karena
jika anak dinikahkan dibawa umur, maka beberapa hak anak akan terhambat atau
terbatasi, hak tersebut diantaranya adalah hak mendapatkan pendidikan, hak
mendapatkan pelayanan kesehatan, hak atas perlindungan hukum, dan hak untuk
tumbuh dan berkembang. Mayoritas yang menjadi korban dari pernikahan anak
ini adalah anak perempuan. Pengantin anak seringkali harus menghadapi putus
sekolah, resiko awal kehamilan dan mengalami kekerasan. Pada tahun 2007
hingga 2010, sekitar 23.000.000 anak perempuan di India menghadapi kenyataan
ini.5 Hal ini memiliki dampak cukup besar tidak hanya pada anak-anak sebagai
individu, tetapi juga pada keluarga, masyarakat dan bangsa secara keseluruhan.
Mayoritas anak perempuan yang menikah di usia dini tidak diperbolehkan untuk
menyelesaikan pendidikan dan mereka hanya memiliki sedikit keterampilan untuk
bekerja, hal ini dapat meningkatkan angka kemiskinan di India.
Data lain menyebutkan bahwa pada tahun 2007-2008 India merupakan
negara yang memiliki jumlah angka pernikahan anak nomor dua terbesar didunia
yakni 40% atau sekitar 23.000.000 kasus pernikahan anak. Penelitian UNICEF
India pada tahun 2008, menemukan bahwa angka kejadian pernikahan anak
berusia 15 tahun berkisar 29%, sedangkan yang menikah di saat usia tepat 18
4 Ministry of Law and Justice. “The Prohoibition of Child Marriage Act, 2006”. http://wcd.nic.in/cma2006.pdf. Diakses pada 15 Juni 2014
5Ministry Of Women and Child Development, ”National Strategy Document on Prevention of
tahun sekitar 28% dan hampir setengah (43%) perempuan India berusia 20-24
tahun menikah saat mereka masih berusia di bawah 18 tahun. Adapun
daerah-daerah yang memiliki kasus pernikahan anak cukup tinggi di India adalah
Rajasthan, Madhya Pradesh Uttar Pradesh, Bihar, Jharkhand dan Bengal Barat
dengan kisaran angka 59% hingga 68 % atau sekitar 15.000.000 kasus pernikahan
anak.6
Pernikahan anak di India merupakan masalah yang cukup kompleks
karena berkaitan dengan adat tradisional, agama, dan beberapa masalah sosial di
India. Selain itu, pernikahan anak ini menimbulkan dampak yang cukup parah
karena pernikahan anak ini merupakan kasus pelanggaran hak asasi anak bahkan
sampai menyebabkan kematian. Pernikahan anak ini juga merupakan masalah
sosial yang mengancam kehidupan masa depan pemuda India.
B. Faktor Penyebab Terjadinya Pernikahan Anak di India
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya kasus pernikahan
anak di India, diantaranya: Adat dan budaya tradisional India, persepsi masyarakat
mengenai keselamatan anak, faktor pendidikan dan faktor ekonomi. Jika dilihat
dari adat dan budaya tradisional India, pernikahan anak di India dilandasi
sejumlah motivasi diantaranya: pernikahan anak dipercaya mampu
mempromosikan kasta dalam kehidupan sehari-hari apabila kedua pasangan
menikah dengan kasta yang berbeda, dapat meningkatkan kesuburan dan
memperbanyak garis keturunan dan pernikahan anak ini dapat membantu
hubungan ekonomi, politik dan sosial diantara keluarga mereka.7 Saat ini di India
khususnya di daerah yang memiliki kasus pernikahan anak cukup besar seperti
Bihar, Rajashtan, Jharkhand, Uttar Pardesh, dan Madya Pardesh, pernikahan anak
sudah menjadi tradisi dan telah disalahgunakan oleh sebagian besar penduduk
India karena tidak jarang dijadikan pekerja anak maupun diperdagangkan.
Pernikahan anak di bawah umur menjadikan, status perempuan di India dipandang
rendah oleh kaum laki-laki. Anak perempuan yang belum menikah dianggap
sebagai harga terpenting bagi kehormatan keluarga. Pernikahan anak dipercaya
sebagai cara untuk memastikan kesucian dan keperawanan pengantin wanita,
sehingga para orang tua menikahkan anak perempuannya untuk menjaga
kehormatan keluarganya.8
Selain itu, orang tua di India masih percaya bahwa jika mereka tidak
menikahkan anak mereka sebelum masa pubertas, maka mereka akan berdosa.
Jika anak perempuan mereka belum menikah hingga anak perempuan mereka
mendapat menstruasi maka dosa mereka sama seperti mereka membunuh orang.
Dengan adanya kepercayaan tersebut, maka orang tua memilih untuk menikahi
anak mereka sedini mungkin dengan tujuan menghindari dosa9
7Basham, A. L, “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian
Sub-Continent before the coming of the Muslims”, Macmillan Publishers. 3rd Edition, 2001, New Delhi, hal:165
8UNICEF India. “Child Marriage: Fact Sheet”. November 2011. Hal 2.
http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.pdf. diakses pada 17 Juni 2014
9Basham, A. L. “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian
Di Bihar dan Rajashtan, masih banyak orang tua yang berfikir bahwa anak
perempuan itu tidak diharuskan untuk bersekolah, karena anak perempuan akan
menjadi seorang istri dan mematuhi seorang suami dan memiliki anak perempuan
akan melindungi atau membawa berkah bagi keluarga, sehingga mereka
menganggap untuk menikahi anak perempuan mereka dengan cepat tanpa melihat
resiko yang ada.10
Saat ini masih ada praktek-praktek pelanggaran hak wanita yang masih
terjadi, terutama dikarenakan tradisi dan budaya masyarakat India yang sudah
berakar sejak lama dan yang masih berlangsung sampai sekarang. Salah satunya
adalah budaya “Bride Price” atau Dowry, yang menimbulkan efek negatif
terhadap kondisi kehidupan wanita India.11
Dowry adalah pemberian yang dilakukan oleh pihak pengantin wanita
kepada pihak pengantin laki-laki ketika menikahkan anaknya, dowry bisa berupa
uang tunai, barang-barang berharga seperti perhiasan, alat elektronik, furniture
dan lain sebagainya, tergantung permintaan dari pihak laki-laki.12 Terkadang
semakin tinggi status sosial dan pendidikan dari calon pengantin laki-laki, maka
akan semakin tinggi pula jumlah dowry yang diminta.
Menurut hasil studi yang dilakukan oleh Sonia Dalmia dan Pareena G.
Lawrence, Dowry merupakan hadiah dan tanda bukti kasih sayang dari orang tua
10 Ministry of Women and Child Development Government of Orissa, “State Plan of Action of
Childre,. 2009-2012”. http://www.wcdorissa.gov.in/download/StatePlanAction.pdf. Diakses pada 17 Juni 2014
11Basham, A. L, “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian
Sub-Continent before the coming of the Muslims”.Macmillan Publishers. 3rd Edition, 2001, New Delhi, hal: 165-168
terhadap anak perempuannya ketika memasuki pernikahan. Hadiah itu diberikan
kepada pihak laki-laki, sehingga anak perempuan mereka bisa sepenuhnya
menjadi anggota keluarga laki-laki dan menikmati kekayaan mereka sendiri
melalui dowry tersebut. Sehingga dowry ini dianggap sebagai kompensasi, karena
anak perempuan tidak mendapatkan hak waris seperti anak laki-laki.13 Akan
tetapi, pandangan tersebut berubah dengan didukung adanya hubungan yang kuat
antara status hirarki dan jumlah dowry dari keluarga wanita kepada pihak
laki-laki, pengantin laki-laki yang berasal dari kasta yang lebih tinggi akan menerima
jumlah dowry yang tinggi pula dibanding dowry bagi pengantin laki-laki dari
kasta yang lebih rendah.14 Seringkali permintaan keluarga pengantin laki-laki ini
tidak berhenti saat awal pernikahan, namun terus berlanjut ketika anak-anak
mereka sudah menikah. Pihak perempuan diharuskan memberikan apa yang
diminta oleh pihak keluarga laki-laki jika ingin anak mereka diperlakukan dengan
baik oleh keluarga pihak laki-laki.15
Budaya dowry ini telah menyebar hampir ke seluruh lapisan masyarakat
India. Jika pada empat abad yang lalu sistem dowry hanya dijalankan di kalangan
tertentu seperti umat Hindu yaitu pada kelompok kasta kelas atas. Saat ini, tradisi
dowry telah menyebar ke dalam kalangan kelas menengah dan bawah masyarakat Hindu, Kristen dan Muslim di India. Di India bagian utara, masyarakat muslim
13Sonia Dalmia dan Pareena G. Lawrence. “The Institutions of Dowry in India : Why it Continues
to Prevail. The Jounal of Developing Areas”. Vol.38 No.2. 2005.
14Sonia Dalmia dan Pareena G. Lawrence. “The Institutions of Dowry in India : Why it Continues
mulai mempraktekkan dowry sejak puluhan tahun yang lalu.16 Karena adanya
sistem dowry inilah anak perempuan dianggap sebagai beban bagi keluarga,
mereka akan membebani keluarga secara finansial di kemudian hari. Dengan
adanya sistem dowry ini para orang tua memilih untuk menikahkan putri mereka
sedini mungkin agar terbebas dari sistem dowry.17
Selain budaya dowry, sejak usia dini, anak-anak diajari tentang peran dan
kedudukan mereka dalam masyarakat, dimana kedudukan laki-laki lebih tinggi
dibandingkan perempuan dan peran perempuan hanya sebagai alat reproduksi atau
penghasil keturunan. Tradisi ini diperkuat dengan adanya sistem kasta dan
kepercayaan kepada dewa-dewa dan roh yang dianggap berperan penting dan tak
terpisahkan dari kehidupan mereka. Di India memiliki empat sistem kasta yaitu
Brahamana yang terdiri golongan tertinggi seperti para ulama atau
pendeta-pendeta, Kesatria yang terdiri dari golongan bangsawan dan tentara, Waisha yang
terdiri dari golongan pedagang dan petani dan Sudra yang terdiri golongan biasa
atau rakyat jelata.18
Setiap kasta di India mengajarkan bahwa hanya pria lah yang lebih
bernilai dan dominan di keluarga India. Mereka bertindak sebagai kepala rumah
tangga, pencari nafkah dan para pengambil keputusan.19 Selain mengajarkan
16Basham, A. L, “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian
Sub-Continent before the coming of the Muslims”.Macmillan Publishers. 3rd Edition, 2001, New Delhi, hal:165-168
17ibid
18 Basham, A. L, “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian
Sub-Continent before the coming of the Muslims”.Macmillan Publishers. 3rd Edition, 2001, New Delhi, hal:165-168
19Bidner, Chris and Eswaran, Mukesh. “A Gender-Based Theory of the Origin of the Caste System
mengenai kedudukan pria, sistem kasta juga memiliki aturan lain seperti
pendidikan hingga usia pasangan yang harus mereka nikahkan.
Dari keempat kasta hanya tiga yang masih memiliki peraturan yang masih
aktif hingga sekarang, yakni: Brahmana memiliki peraturan bahwa anak-anak
wajib mendapatkan pendidikan selama 8 tahun, Kesatria memiliki peraturan
bahwa anak-anak wajib mendapatkan pendidikan selama 11 tahun dan Waisha
memiliki peraturan bahwa anak-anak wajib mendapatkan pendidikan selama 12
tahun. Setelah mereka mendapatkan pendidikan sesuai dengan aturan kasta
mereka, mereka diwajibkan untuk melanjutkan pendidikan lebih dalam mengenai
kasta yang mereka anut selama 12 tahun. Setelah mereka menyelesaikan
pendidikan kasta kemudian mereka harus menikah dengan pasangan yang
memiliki kasta yang sama dan memiliki perbedaan usia 12 tahun lebih muda.20
Hal tersebut yang mendorong para orang tua menikahkan anak perempuan mereka
dengan seorang laki-laki yang usianya jauh lebih dewasa dan memiliki kesamaan
kasta dengan anak perempuan mereka. Kasta sendiri memiliki pengaruh pada
sistem dowry, karena semakin besar kelas kasta semakin tinggi pula jumlah dowry
yang harus diberikan.21
Persepsi masyarakat terhadap keselamatan anak merupakan faktor yang
dapat mempengaruhi terjadinya pernikahan anak di bawah umur. Hasil studi
http://www.isid.ac.in/~pu/conference/dec_12_conf/Papers/MukeshEswaran.pdf. Diakses pada 19 November 204.
20Basham, A. L, “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian
Sub-Continent before the coming of the Muslims”.Macmillan Publishers. 3rd Edition, 2001, New Delhi, hal:165-168
ICRW tahun 2011 menyatakan banyak orang tua di India sering merasa khawatir
tentang keselamatan dan keamanan anak perempuan mereka dari tindakan
pelecehan atau kekerasan seksual. Dengan menikahkan anak perempuan mereka
diusia dini mereka merasa dapat menjaga virginitas anak perempuan mereka.22
Pernikahan anak juga merupakan salah satu cara untuk melestarikan
kekayaan dalam keluarga antar kelas sosial-ekonomi yang lebih tinggi. Beberapa
keluarga yang sangat kaya, mempunyai kecenderungan dan juga terdorong oleh
kebutuhan untuk melindungi kehormatan anak perempuan mereka dan nama
keluarga mereka, dan dengan status kekayaan keluarga. Hal ini membuat mereka
menikahi anak perempuan mereka ke keluarga yang memiliki tingkat
perekenomian yang setara.23
Adanya anggapan bahwa perempuan hanya dianggap sebagai pekerja yang
sifatnya reproduktif sedangkan laki-laki merupakan pekerja yang sifatnya
produktif. Sehingga timbul pembagaian pekerjaan dimana perempuan sifatnya
lebih diam dirumah atau mengontrol kebutuhan rumah tangga, sedangkan laki-laki
sifatnya bekerja diluar dan mencari uang. Hal ini menjadi salah satu penyebab
timbulnya ketidaksetaraan gender di India.24 Karena ketidaksetaraan gender ini
maka perempuan tidak memiliki hak atau tidak bisa mengambil keputusan dan
22USAID, “Ending Child Marriage and Meeting the Needs of Married Children: the USAID
Vision for Action”, Oktober 2012, hal: 3.
http://www.usaid.gov/sites/default/files/documents/2155/Child_Marriage_Vision_Factsheet.pdf. Diakses pada 19 Juni 2014
23OHCHR, “Child Marriage in India: An insight into Law and Policy”, December 2013. hal: 13. http://www.ohchr.org/documents/issues/women/wrgs/forcedmarriage/ngo/theredelephantfoundatio n.pdf. Diakses pada: 13 Juni 2014.
24Solidarity for the Children of SAARC, “Child Marriage in South Asia: Realities, Responses and
The Way Forward”, 2013. hal: 5.
tidak bisa bernegosiasi mengenai pendidikan, pekerjaan, masalah keluarga, dan
masalah seksualitas sehingga anak perempuan cenderung hanya menerima apa
yang diberikan kepadanya. Hal tersebut yang mendorong orang tua untuk
menikahkan anak perempuan mereka saat usia mereka masih sangat dini. Untuk
kasus pernikahan anak laki-laki tidak sebanyak pernikahan anak perempuan
dikarenakan anak laki-laki tidak terbebani oleh sistem dowry dan anak laki-laki
tidak memiliki resiko yang dimiliki oleh perempuan. Di India, memiliki anak
perempuan dianggap sebagai beban bagi keluarga, karena memiliki anak
perempuan akan menghabiskan dana yang cukup besar untuk kebutuhan hidupnya
termasuk membayar dowry, sehingga tanpa berfikir panjang mereka menikahkan
putrinya tanpa melihat status dan usia.25
Kurangnya pendidikan juga menjadi faktor yang melatar belakangi
pernikahan anak di India. Rata-rata, anak yang memiliki pendidikan yang cukup
tinggi biasanya menikah diusia lanjut atau diatas 18 tahun.26 Berdasarkan data
dari National Family Health Survey (NFHS India), 40% anak perempuan yang
memiliki pendidikan tinggi di India menikah diusia 20-24 tahun.27 Hal ini
25Davis, A., Postles, C. and Rosa, G,. “A girl’s Right to Say No to Marriage: Working to end
Child Marriage and Keep Girls in School”, Plan International, 2013.
http://www.planbelgie.be/sites/default/files/user_uploads/a_girls_right_to_learn_without_fear._wo rking_to_end_gender-based_violence_at_school_plan_international_-_engelstalig.pdf. Diakses pada 21 Juni 2014
26Solidarity for the Children of SAARC, “Child Marriage in South Asia: Realities, Responses and
The Way Forward”, 2013, hal: 5.
https://www.icrw.org/files/publications/Child_marriage_paper%20in%20South%20Asia.2013.pdf. Diakses pada 19 Juni 2014
27 Marcy Hersh, Sunayana Walia and Priya Nanda, ”Solution Exchange for the Gender Community
mengindikasikan bahwa seorang anak yang memiliki pendidikan yang lebih
tinggi, semakin kecil kemungkinan dia untuk menikah diusia dini.
Tingkat pendidikan yang rendah pada orang tua dan minimnya akses ke
sekolah dengan jarak yang cukup jauh yaitu 10 kilometer, khususnya di daerah
pedesaan, menjadi penghambat bagi pendidikan anak-anak dan berpotensi sebagai
pelaku pernikahan dini. Hasil studi dari ICRW tahun 2011 di India menemukan
tidak adanya infastruktur yang memadai, kurangnya akses menuju sekolah dan
jarak yang cukup jauh menjadi halangan bagi anak-anak untuk bersekolah.
Kebanyakan sekolah menengah didaerah pedesaan India memiliki jarak yang
cukup jauh dan sulitnya trasportasi menuju ke sekolah serta tingginya tingkat
kejahatan di desa membuat para orang tua semakin khawatir untuk mengirim anak
mereka kesekolah tersebut.28 Hal tersebut juga dirasakan di daerah Andra Pardesh,
berdasarkan DLHS-3 tahun 2010, terdapat hanya 31% anak yang tetap bersekolah
dan kebanyakan dari mereka adalah laki-laki, sehingga menimbulkan mereka
harus putus sekolah diusia 10 hingga 15 tahun.29 Di daerah Rajasthan,
berdasarkan NFHS-3, terdapat 23% anak yang hadir kesekolah.30 Di daerah Bihar,
berdasarkan NFHS-3, 24 % anak yang bersekolah dan kemudian harus berhenti
sekolah saat usi mereka 10 tahun dikarenakan kekhawatiran orang tua mereka.31
28ICRW and AUSAID, “Child Marriages in Southern Asi: Policy Action for Action”, 2012.
http://www.icrw.org/publications/child-marriage-southern-asia. Diakses pada 21 Juni 2014 29 Report, The District Level Household and facility Survey (DLHS): (Reproductive & Child
Health Project). http://www.rchiips.org/pdf/rch3/report/AP.pdf. Diakses pada: 23 Desember 2014 30 Report, The National Family Health Survey (NFHS): Database that strengthen India’s
demographic and health policies and programs. http://www.rchiips.org/nfhs/raj_state_report.pdf. Diakses pada 23 Desember 2014
Selain beberapa faktor diatas, faktor ekonomi merupakan faktor yang
memiliki pengaruh besar terhadap kasus pernikahan anak ini. Pertimbangan
ekonomi pada suatu keluarga sangat mempengaruhi terjadinya pernikahan anak di
bawah umur. Hasil penelitian UNICEF tahun 2011 menemukan sekitar 56%
pernikahan anak terjadi didaerah pedesaan India dan 29% pernikahan anak terjadi
didaerah perkotaan India.32 Praktek pernikahan anak pada umumnya terjadi di
pedesaan atau di daerah yang memiliki tingkat kemiskinan dengan rata-rata
penghasilan penduduknya sebesar 5 hingga 100 Rupe perbulan.33 Acara
pernikahan di India sedikitnya memerlukan biaya 8000 Rupee, dengan biaya
pernikahan yang mahal dan ekonomi yang sangat minim serta terbatas maka
setiap keluarga yang memiliki anak perempuan di bawah umur memilih untuk
menikahi anak mereka sebelum masa pubertas dalam acara pernikahan masal
guna meminimalisir dana pernikahan. Selain itu orang tua memiliki
ketergantungan yang tinggi kepada seorang laki-laki atau saudagar kaya untuk
menikahi anak perempuan mereka dengan tujuan memperbaiki ekonomi
keluarga.34
Dikarenakan anak perempuan mereka belum cukup umur dan dianggap
masih suci, maka dalam pernikahan tersebut pihak laki-laki akan memberikan mas
kawin atau mahar berupa uang atau barang mewah yang akan diberikan langsung
32UNICEF India, “Child Marriage Fact Sheet”, November 2011.
http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.pdf. diakses pada 17 Juni 2014
33
34World Bank, “World Development Report on Gender Equality and Development”, 2012, hal: 154.
oleh keluarga anak perempuan dan menjadi hak milik keluarga.35 Pengantin anak perempuan memiliki harga yang lebih tinggi, hal ini disebabkan usia yang sangat
muda dan dipercaya mampu memberikan kontribusi yang baik untuk suami dan
keluarganya. Disamping itu, anak perempuan di India dianggap sebagai “paraya
dhan” atau properti pernikahan, oleh karena itu anak perempuan dinikahkan
sedini mungkin guna menutup hutang atau mengurangi hutang keluarga.36
Pernikahan anak ini terjadi tidak hanya dikalangan ekonomi rendah tetapi
juga dikalangan ekonomi tinggi. Untuk keluarga kaya, banyak orang tua yang
menikahi anaknya kepada keluarga kaya juga demi menjaga garis warisan dan
kekayaan yang dimiliki oleh keluarganya.37
C. Dampak Pernikahan Anak di India
Pernikahan anak memiliki dampak yang negatif bagi sang anak sendiri,
baik dari sisi psikologi, kesehatan, dan pendidikan. Secara psikologis, anak yang
menikah di usia dini akan mengalami trauma berkepanjangan, selain itu akan
mengalami krisis percaya diri. Anak juga secara psikologis belum siap untuk
bertanggung jawab dan berperan sebagai isteri atau ibu, sehingga jelas bahwa
35International Center for Research on Women, “Too Young to Wed”, 2003, hal: 6. http://www.icrw.org/publications/too-young-wed-0. Diakses pada 22 Juni 2014 36Ibid, hal: 6