• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi Bioetanol Dari Sirup Glukosa Ubi Jalar (Ipomoea batatas L) Secara Fed Batch Dengan Menggunakan Saccharomyces cerevisiae

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Produksi Bioetanol Dari Sirup Glukosa Ubi Jalar (Ipomoea batatas L) Secara Fed Batch Dengan Menggunakan Saccharomyces cerevisiae"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKSI BIOETANOL DARI SIRUP GLUKOSA

UBI JALAR (Ipomoea batatas L) SECARA FED BATCH

DENGAN MENGGUNAKAN Saccharomyces cerevisiae

NURHIDAYAH DIDU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Produksi Bioetanol Dari Sirup Glukosa Ubi Jalar (Ipomoea batatas L) Secara Fed Batch Dengan Menggunakan Saccharomyces cerevisiae adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2010

Nurhidayah Didu

(3)

ABSTRACT

NURHIDAYAH DIDU. Bioethanol Production from Sweet Potatoes Syrup (Ipomoea

batatas L) by Fed Batch Fermentation using Saccharomyces cerevisiae. Under direction

of KHASWAR SYAMSU and NUR RICHANA.

Bioethanol is one solution to reduce exploitation of oil and global warming issues. Much research must be done to find new source of bioethanol. Sweet potatoes is one of the promising alternative sources from starchy material that can be used to produce bioethanol, because it has high productivity (10-40 ton/ha) and also has a short harvesting time (3-3.5 months). Sweet potatoes are hydrolyzed to glucose by enzymatic and then is converted to ethanol. The aims of this study is to produce bioethanol from sweet potatoes syrup by Saccharomyces cerevisiae at a higher productivity and efficiency. More specificaly, is to find the best form raw material for making syrup glucose from sweet potatoes and to determine the best substrate concentration in fed batch fermentation which produce bioethanol at a higher yield with the lowest remaining sugar. The result shows that dried sweet potatoes starch was the best form of raw material for making glucose syrup from sweet potatoes with efficiency 63.207±0.202%.

The result shows that 20% substrate concentration without aeration after 18 hours of fermentation was the best substrate concentration on fed batch system of the highest ethanol production with ethanol concentration produced and efficiency were 10.858±0.003% (v/v) and 97.49%, respectively. Ethanol produced and efficiency in fed batch fermentation of 20% substrate concentration without aeration is higher than the fed batch system with aeration at the same substrate concentration (7.145±0.057% v/v, 95.93%). The fed batch fermentation without aeration could increase the ethanol concentration produced. The result shows that bioengineered fed batch fermentation could improve the product up to 1.422 times. The best result on fed batch system without aeration shows that 20% substrate concentration produce highest the ethanol concentration compared to other treatment.

Based on calculation of fermentation kinetic parameters, it is shown that 20% substrate concentration (without aeration) in fed batch system had the highest increasing valuee of Yp/s, Yp/x, P, S0-S/S0 (3.9502 times, 20.6807 times, 3.2883 times, 1.5144 times) compared to 20% substrate concentration (with aeration) and other treatment. On the other hand, Yx/s was smaller (0.1894 times) compared to 20% substrate concentration (with aeration) and other treatment.

Generally, this research shows that bioengineered fed batch fermentation could improve the efficiency of ethanol production in term ethanol concentration and product yield.

(4)

RINGKASAN

NURHIDAYAH DIDU. Produksi Bioetanol dari Sirup Glukosa Ubi Jalar (Ipomoea batatas L) Secara Fed Batch dengan Menggunakan Saccharomyces cerevisiae. Dibimbing oleh KHASWAR SYAMSU dan NUR RICHANA.

Ketersediaan pasokan energi khususnya bahan bakar fosil merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia. Cadangan minyak bumi Indonesia semakin menipis sedangkan jumlah kebutuhan bahan bakar semakin meningkat dan diperkirakan akan habis 23 tahun ke depan jika tidak ditemukan sumber energi baru. Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor bahan bakar minyak. Kebutuhan bahan bakar minyak di Indonesia mencapai 215 juta liter per hari sedangkan produksi dalam negeri 178 juta liter per hari dan kekurangannya 40 juta liter per hari harus diimpor. Pengembangan bioenergi merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan pasokan energi. Indonesia memiliki kondisi iklim dengan curah hujan yang cukup, sinar matahari sepanjang tahun, ketersediaan lahan yang luas, keanekaragaman hayati, sumber daya manusia, sumber daya alam sehingga potensial untuk pengembangan bioenergi. Salah satu sumber bahan baku bioenergi adalah ubi jalar sebagai sumber bahan baku bioetanol untuk subtitusi bensin. Ubi jalar memiliki umur panen yang relatif singkat yaitu antara 3-3.5 bulan dengan produktivitas mencapai 40 ton/ha. Beberapa penelitian telah dilakukan tentang pembuatan bioetanol dari ubi jalar dengan kadar etanol yang dihasilkan sebesar 9-21%. Melalui penelitian ini dilakukan pembuatan bioetanol dari sirup glukosa ubi jalar dengan mengkaji potensi bahan baku ubi jalar dalam pembuatan sirup glukosa sebagai bahan baku pembuatan bioetanol serta melalukan rekayasa bioproses pada sistem fed batch

dengan perubahan sistem pertumbuhan Saccharomces cerevisiae dari kondisi aerobik menjadi anaerobik serta variasi konsentrasi substrat yang diumpankan pada sistem fed batch terekayasa. Sehingga melalui penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan rendemen bioetanol yang lebih tinggi dengan kandungan gula sisa yang rendah.

Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi bioetanol dari sirup glukosa dengan menggunakan S. cerevisiae pada produktivitas dan efisiensi yang tinggi, menentukan bentuk bahan baku yang terbaik pada pembuatan sirup glukosa ubi jalar dan menentukan konsentrasi substrat yang terbaik pada sistem fed batch

terekayasa yang menghasilkan bioetanol pada tingkat rendemen yang lebih tinggi dengan kadar gula sisa yang lebih rendah.

Tahap penelitian dimulai dengan pembuatan pati ubi jalar dengan cara ekstraksi basah. Pembuatan pati ubi jalar dimaksudkan untuk mengetahui rendemen pati dari ubi jalar varietas Sukuh yang digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan pati ubi jalar. Rendemen pati ubi jalar yang dihasilkan adalah sebesar 23.97 ± 0.33 %.

(5)

glukosa. Efisiensi tertinggi pada konversi ubi jalar menjadi sirup glukosa diperoleh pada perlakuan ketiga yaitu pati kering ubi jalar dikonversi menjadi sirup glukosa dengan nilai efisiensi sebesar 63.207±0.202% dan terendah pada perlakuan umbi parut ubi jalar dikonversi menjadi sirup glukoa dengan nilai efisiensi 22.434±0.268%. Nilai efisiensi ini menunjukkan bahwa enzim alfa amylase dan enzim amiloglukosidase efisien dalam menghidrolisis pati kering menjadi sirup glukosa.

Pada kultivasi fed batch terekayasa dilakukan variasi konsentrasi substrat yang diumpankan dengan penghentian aerasi pada kondisi biomassa maksimal yaitu pada jam ke-18. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar etanol dan efisiensi yang dihasilkan pada sistem fed batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi pada konsentrasi substrat 20% lebih tinggi yaitu masing-masing sebesar 10.858±0.003% (v/v) dan 97.49% dibandingkan dengan kadar etanol dan efisiensi pada sistem fed batch dengan perlakuan aerasi pada konsentrasi yang sama yaitu masing-masing sebesar 7.145±0.057% (v/v) dan 95.93%. Hal ini menunjukkan bahwa dengan perubahan kondisi kultivasi dari aerobik ke anaerobik, substrat yang ditambahkan pada saat kondisi biomassa maksimum dimanfaatkan oleh S. cerevisiae untuk memproduksi etanol. Hal ini juga menunjukkan bahwa perlakuan dengan fed batch terekayasa dalam hal ini penghentian aerasi dapat menghasilkan kadar etanol lebih tinggi dibandingkan dengan fed batch tanpa rekayasa yaitu dengan aerasi.

Pada kultivasi fed batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi, kadar etanol tertinggi diperoleh pada konsentrasi substrat 20% yaitu sebesar 10.858±0.003% (v/v) dan terendah pada konsentrasi substrat 4% yaitu 5.194±0.195% (v/v). Hal ini menunjukkan bahwa glukosa sebagai substrat fermentasi pada konsentrasi 20% digunakan oleh S.cerevisiae untuk memproduksi etanol sebanyak-banyaknya.

Berdasarkan hasil perhitungan pada parameter kinetika fermentasi, menunjukkan bahwa pada perlakuan konsentrasi substrat 20% (stop aerasi) memiliki nilai peningkatan Yp/s, Yp/x, P, dan S0-S/S0 paling tinggi (3.9502 kali, 20.6807 kali, 3.2883 kali, 1.5144 kali) dibandingkan pada perlakuan konsentrasi substrat 20% (aerasi). Sedangkan nilai peningkatan Yx/s nya lebih kecil (0.1894) dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi substrat 20% (aerasi). Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa fermentasi dengan sistem fed batch terekayasa stop aerasi dapat meningkatkan konsentrasi etanol yang dihasilkan. Hal ini juga menunjukkan bahwa rekayasa bioproses dengan fermentasi secara fed batch terekayasa stop aerasi dapat meningkatkan produk sebesar 1.422 kali.

(6)

Secara keseluruhan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa bentuk bahan baku yang terbaik untuk pembuatan sirup glukosa ubi jalar adalah pati kering ubi jalar. Sedangkan konsentrasi substrat yang terbaik pada sistem fed batch

terekayasa yang menghasilkan bioetanol pada tingkat rendemen yang lebih tinggi dengan kadar gula sisa yang lebih rendah adalah konsentrasi substrat 20% (stop aerasi).

(7)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor (IPB), Tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

PRODUKSI BIOETANOL DARI SIRUP GLUKOSA

UBI JALAR (Ipomoea batatas L) SECARA FED BATCH

DENGAN MENGGUNAKAN Saccharomyces cerevisiae

NURHIDAYAH DIDU

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Judul Tesis : Produksi Bioetanol Dari Sirup Glukosa Ubi Jalar (Ipomoea batatas L) Secara Fed Batch Dengan Menggunakan Saccharomyces cerevisiae

Nama Mahasiswa : Nurhidayah Didu N I M : F351070161

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc. Dr. Ir. Nur Richana, M.Si. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian

Prof. Dr. Ir. Irawadi Jamaran Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subbahana Wata’ala atas segala berkah dan karunia-Nya yang telah memperkenankan penulis menyelesaikan penelitian dan menuangkan hasilnya dalam bentuk tesis dengan judul “Produksi Bioetanol dari Sirup Glukosa Ubi Jalar (Ipomoea batatas L) Secara Fed Batch dengan Menggunakan Saccharomyces cerevisiae” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak, karenanya pada kesempatan ini penulis mengucapkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc sebagai ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Nur Richana, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan, arahan, bantuan, dan motivasi baik berupa moril maupun materi yang telah diberikan selama penelitian dan penyusunan tesis. Ibu Dr. Ir. Liesbetini Haditjarako, MS atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi dan memberikan saran, ilmu, arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Irawadi Jamaran dan Ibu Dr. Ir. Ani Suryani, DEA., selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Teknologi Industri Pertanian atas bantuan dan masukan yang diberikan untuk kelancaran studi penulis.

3. Seluruh staf pengajar Sekolah Pasca Sarjana IPB yang telah memberi ilmu pengetahuan dan bimbingan kepada penulis selama menimba ilmu pengetahuan serta laboran dan teknisi laboratorium Rekayasa Bioproses Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi IPB, laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Antar Universitas IPB dan laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama penelitian.

(12)

Program Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T).

5. Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian Departemen Pertanian yang telah bersedia memfasilitasi penelitian ini serta staf dan teknisi Balai Besar Litbang Pasca Panen yang telah banyak membantu demi kelancaran pelaksanaan penelitian ini.

6. Ayahanda Drs. H. Suriputra Nurdin Didu, M.Pd dan Ibunda Hj. Nurhayati, S.Pd atas segenap doa, cinta, kasih sayang, nasehat, motivasi dan dukungannya selama ini. Kakak-kakak ku tersayang Saharuddin Didu, S.TP, M.E dan Andi Titin Sumarna, SP., Badra Didu, SP., serta seluruh keluarga besar H. Didu yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segenap doa, cinta, kasih sayang, nasehat, motivasi dan dukungannya baik moril maupun materi selama penulis menyelesaikan studi S2.

7. Rekan-rekan TIP 2007, teman seperjuangan di Laboratorium (Supatmawati, Nunung, Prima), Iffan Maflahah, Muharamia Nasution, Arnida Mustafa, Dewi Cakrawati, Zuhelmi Tazora, Rezki Praja Putra, Pak Alfi, Pak Rika, Pak Alexi, Pak Suharjito, Mba Tuti, Mba Ahnur, Pak Haris, Mas Agus, Wahyu, Totok, Feri, saudara-saudaraku di Millenium (Deeday, Vivay, Bundoy), Ella, Mba Erna, Mba Erni, atas bantuan, dukungan dan kebersamaannya selama belajar dan penelitian di Bogor.

8. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis berharap semoga karya ini bisa bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan. Semoga dengan mengetahui sedikit tentang bioetanol bisa menambah keimanan kita kepada Sang Khalik yang Maha Mengetahui Segala Sesuatu.

Bogor, Februari 2010

Nurhidayah Didu

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pinrang Sulawesi Selatan pada tanggal 5 Januari 1983 dari Ayahanda Drs. H. Suriputra Nurdin Didu, M.Pd dan Ibunda Hj. Nurhayati, S.Pd. Penulis adalah putri bungsu dari tiga bersaudara.

(14)

DAFTAR ISI

III. METODOLOGI PENELITIAN... 25

3.1 Kerangka Pemikiran... 25

3.4.3 Persiapan Kultur Saccharomyces cerevisiae... 27

3.4.4 Kultivasi pada Sistem Fed Batch Terekayasa... 28

3.4.5 Pengamatan, Analisa dan Paramenter Fermentasi ... 29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

4.1 Komposisi Kimia Ubi Jalar... 31

4.2 Pembuatan Pati Ubi Jalar ... 33

4.3 Pembuatan Sirup Glukosa... 35

(15)

Halaman

4.4.1 Total Gula ... 48

4.4.2 Biomassa ... 49

4.4.3 Nilai pH... 51

4.4.4 Kadar Etanol ... 51

4.5 Perhitungan Kinetika Fermentasi... 54

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 62

5.1 Kesimpulan ... 62

5.2 Saran... ... 62

DAFTAR PUSTAKA . ... 63

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas Ubi Jalar

Indonesia ... 8

2. Perbandingan karakteristik tanaman penghasil bioetanol ... 9

3. Tanaman penghasil bioetanol... 14

4. Variasi perlakuan yang dilakukan pada penelitian utama... 29

5. Hasil analisa proximat ubi jalar segar varietas Sukuh dan pati ubi jalar yang dihasilkan... 31

6. Rendemen pati ubi jalar ... 34

7. Konversi bentuk bahan baku ubi jalar menjadi sirup glukosa ubi Jalar ... 37

8. Perbandingan peningkatan X, P, Yx/s, Yp/s, Yp/x, S0-S/S0 dari jam ke-0 sampai jam 72 pada sistem fed batch terekayasa stop aerasi dan aerasi... 55

9. Perbandingan peningkatan X, P, Yx/s, Yp/s, Yp/x, S0-S/S0 dari jam ke-0 sampai jam 72 pada sistem fed batch terekayasa stop aerasi ... 59

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

01. Tahap glikolisis (Embden Meyerhof-Parnas Pathway) ... 18

02. Proses pembentukan etanol dari piruvat ... 19

03. Kinetika fermentasi batch... 24

04. Diagram alir proses pembuatan pati ubi jalar ... 26

05. Media propagasi sebelum penambahan kultur dan setelah propagasi 48 jam... 28

06. Tahapan penelitian ... 30

07. Sirup glukosa ubi jalar ... 36

08. Kultivasi fed batch terekayasa (a) sebelum penambahan substrat (batch): (b) penambahan substrat yang diumpankan (fed batch) ... 40

09. Perubahan biomassa, total gula, dan etanol selama fermentasi dengan sistem fed batch terekayasa (stop aerasi) pada penambahan substrat konsentrasi 20% ... 42

10. Perubahan biomassa, total gula, dan etanol selama fermentasi dengan sistem fed batch terekayasa (stop aerasi) pada penambahan substrat konsentrasi 16% ... 43

11. Perubahan biomassa, total gula, dan etanol selama fermentasi dengan sistem fed batch terekayasa (stop aerasi) pada penambahan substrat konsentrasi 12% ... 44

12. Perubahan biomassa, total gula, dan etanol selama fermentasi dengan sistem fed batch terekayasa (stop aerasi) pada penambahan substrat konsentrasi 8% ... 45

13. Perubahan biomassa, total gula, dan etanol selama fermentasi dengan sistem fed batch terekayasa (stop aerasi) pada penambahan substrat konsentrasi 4% ... 46

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

01. Analisa proksimat ubi jalar dan pati ubi jalar ... 70

02. Prosedur analisa total gula metode fenol ... 74

03. Prosedur analisa total gula pereduksi metode DNS ... 75

04. Prosedur analisa parameter fermentasi... 76

05. Diagram alir pembuatan sirup glukosa ubi jalar dari umbi parut ubi jalar ... 77

06. Diagram alir pembuatan sirup glukosa ubi jalar dari pati basa ubi jalar... 78

07. Diagram alir pembuatan sirup glukosa ubi jalar dari pati kering ubi jalar ... 79

08. Diagram alir pembuatan sirup glukosa ubi jalar dari tepung ubi jalar ... 80

09. Kurva standar total gula dan gula pereduksi (DNS) ... 81

10. Kurva standar pertumbuhan S. Cerevisiae... 82

11. Tabel perubahan total gula selama fermentasi fed batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi... 84

12. Tabel perubahan biomassa selama fermentasi fed batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi... 87

13. Tabel perubahan pH selama fermentasi fed batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi... 90

14. Tabel perubahan biomassa, total gula, pH, etanol selama fermentasi fed batch dengan perlakuan aerasi pada konsentrasi 20% ... 93

15. Hasil produksi etanol pada fermentasi sistem fed batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi dari variasi konsentrasi substrat yang diumpankan serta perlakuan aerasi pada konsentrasi substrat 20% ... 94

16. Data pendukung perhitungan kinetika fermentasi... 95

17. Perhitungan peningkatan Yx/s, Yp/s, Yp/x, S0-S/S0 dari jam ke-0 sampai jam 72 pada sistem fermentasi fed batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi dari variasi konsentrasi substrat yang diumpankan... 96

18. Perhitungan peningkatan Yx/s, Yp/s, Yp/x, S0-S/S0 dari jam ke-0 sampai jam 72 pada sistem fermentasi fed batch dengan perlakuan aerasi dari variasi konsentrasi substrat yang diumpankan... 98

19. Perhitungan kinetika fermentasi... 99

(19)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menipisnya cadangan bahan bakar fosil dan meningkatnya populasi manusia sangat kontradiktif dengan kebutuhan energi bagi kelangsungan hidup manusia beserta aktivitas ekonomi dan sosialnya. Sejak lima tahun terakhir, Indonesia mengalami penurunan produksi minyak nasional akibat menurunnya cadangan minyak, sedangkan kebutuhan akan sarana transportasi dan aktivitas industri terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Hal ini berakibat pada peningkatan kebutuhan dan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) yang merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Pemerintah masih mengimpor sebagian BBM untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Bahan bakar minyak merupakan kebutuhan utama bagi manusia. Sebagian besar atau bahkan hampir semua teknologi yang digunakan menggunakan bahan bakar minyak sebagai sumber energi. Bahan bakar minyak yang digunakan saat ini semakin langka. Hal ini disebabkan oleh kuantitas minyak bumi pada lapisan bumi terus menipis akibat dari eksploitasi terus-menerus. Kelangkaan tersebut menyebabkan harganya tidak stabil. Selain itu, hasil pembakaran BBM saat ini tidak ramah lingkungan. Bahan bakar yang digunakan dalam kendaraan bermotor saat ini, berdampak negatif terhadap lingkungan (Izzati et al. 2009).

Bahan bakar minyak merupakan energi yang tak terbaharukan. Data dari Badan Pusat Statistik (2008a) menunjukkan bahwa produksi BBM Indonesia setiap tahunnya hanya 1,030 juta kL per tahun sedangkan kebutuhan BBM nasional sekitar 1,4 juta kL per tahun. Kekurangan pasokan BBM harus diimpor setiap tahunnya sebesar 40% dari kebutuhan nasional. Bahan bakar minyak jenis premium pada tahun 2009, produksinya diperkirakan hanya 10,9 juta kL, sedangkan kebutuhan premium nasional sebesar 19,7 juta kL sehingga terdapat defisit sebesar 8,8 juta kL yang harus dipenuhi melalui impor.

(20)

dilakukan terutama yang berbentuk cair, karena masyarakat sudah sangat familiar dengan bahan bakar cair (Chemiawan, 2005).

Melihat kondisi tersebut, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti BBM. Kebijakan tersebut telah menetapkan sumber daya yang dapat diperbaharui seperti bahan bakar nabati sebagai alternatif pengganti BBM. Bahan bakar berbasis nabati diharapkan dapat mengurangi terjadinya kelangkaan BBM, sehingga kebutuhan akan bahan bakar dapat terpenuhi. Bahan bakar berbasis nabati juga dapat mengurangi pencemaran lingkungan, sehingga lebih ramah lingkungan (Prihandana, 2007).

Bahan bakar nabati (bioenergi) merupakan alternatif utama untuk mengatasi krisis bahan bakar berbasis minyak bumi. Salah satu jenis bioenergi yang dapat dikembangkan adalah bioetanol. Bioetanol merupakan hasil proses fermentasi glukosa dari bahan yang mengandung komponen pati atau selulosa. Bioetanol dapat digunakan sebagai salah satu energi alternatif pensubtitusi premium yang ramah lingkungan. Data dari Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (2007) menunjukkan bahwa proyeksi konsumsi etanol untuk mensubtitusi 5% premium (E5) di Indonesia dari tahun 2007-2010 ditargetkan sekitar 5% dan tahun 2011-2015 ditargetkan sekitar 10% atau sekitar 2,78 juta kL dari total konsumsi.

Bioetanol dapat dibuat dari bahan-bahan bergula atau bahan berpati seperti tebu, nira, sorgum, nira nipah, ubi kayu, ubi jalar, sagu, ganyong dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut tersedia sangat melimpah di Indonesia, sehingga sangat berpeluang untuk dikembangkan sebagai bahan bakar alternatif. Biotenol sangat berpotensi dikembangkan di Indonesia karena didukung oleh potensi lahan yang luas, sumber daya manusia (petani), keanekaragaman hayati, sumber daya alam yang melimpah, memiliki kondisi iklim dengan curah hujan yang cukup serta sinar matahari yang sepanjang tahun.

(21)

digunakan dan berpotensi sebagai bahan bakar alternatif untuk pembuatan bioetanol adalah ubi jalar.

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil ubi jalar. Ubi jalar memiliki umur panen yang lebih singkat yaitu antara 3-3.5 bulan dengan produktivitas rata-rata 11-30 ton/ha (Deptan 2008). Bahkan dengan menggunakan varietas unggulan seperti varietas Sukuh, produktivitasnya dapat mencapai 25-30 ton/ha (Puslittan 2007; Musaddad 2005).

Ubi jalar dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol karena ubi jalar bukan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia. Selain harganya murah, ubi jalar memiliki kemudahan dalam pengelolaan yaitu sekitar 3.5 bulan. Umur tersebut umumnya relatif lebih pendek dibandingkan dengan jenis umbi-umbian yang lain. Ubi jalar merupakan tanaman yang memiliki daya adaptasi yang luas terhadap lingkungan hidup sehingga dapat dibudidayakan pada berbagai jenis lahan, ketinggian tempat dan tingkat kesuburan tanah yang berlainan. Oleh karena itu, ubi jalar mudah tersebar di seluruh wilayah pertanian, terutama di daerah tropis. Ubi jalar dapat tumbuh dengan baik di wilayah Indonesia dengan produktivitas yang tinggi (Zuraedah dan Supriati 2001).

Produksi bioetanol dari tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) dengan beberapa metode diantaranya dengan hidrolisis asam dan secara enzimatis. Metode hidrolisis secara enzimatis lebih sering digunakan karena lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan katalis asam. Glukosa yang diperoleh selanjutnya dilakukan proses fermentasi atau peragian dengan menambahkan

yeast atau ragi sehingga diperoleh bioetanol sebagai sumber energi.

Salah satu cara memproduksi etanol adalah memfermentasi sirup glukosa dengan Saccharomyces cerevisiae. Khamir S.cervisiae merupakan khamir yang toleran terhadap alkohol yang cukup tinggi (12-18 % v/v), tahan terhadap kadar gula tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32oC. Penggunaan

(22)

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menghasilkan bioetanol dari beberapa sumber. Yu et al. (1996) menggunakan ubi jalar sebagai bahan baku untuk pembuatan bioetanol tanpa melakukan ekstraksi pati. Hasil etanol yang diperoleh sebesar 9.8 g/l (1.23% v/v). Zaldivar et al. (2005) memanfaatkan gandum untuk memproduksi etanol dengan hasil yang diperoleh sebesar 6.9 g/l (0.869% v/v). Chandel et al. (2006) menggunakan teknologi fed batch dengan memanfaatkan tanaman Typa latifolia yang banyak terdapat di India. Hasil etanol yang diperoleh pada sistem fed batch sebesar 28.5±0.46 g/l (3.59 % v/v). Hasil yang diperoleh pada sistem fed batch lebih tinggi dibandingkan dengan sistem batch yaitu 9.74±0.1 g/l (1.23 % v/v). Bunga tanaman mahula (Madhuca latifolia L) dimanfaatkan oleh Swain et al. (2007) untuk produksi etanol dengan hasil etanol yang diperoleh yaitu sebesar 33.99 g/l (4.27% v/v). Laopaiboon et al.

(2007) menggunakan sorghum untuk produksi bioetanol secara batch dan fed batch. Hasil yang diperoleh yaitu sistem fed batch lebih efisien bila dibandingkan dengan sistem batch dalam produksi bioetanol. Sukairi (2008), menggunakan tepung tapioka untuk produksi bioetanol secara fermentasi batch menggunakan

S.cerevisiae, konsentrasi etanol yang dihasilkan sebesar 6.46% (v/v). Wahyuni (2008), melakukan penelitian rekayasa bioproses pembuatan bioetanol dari sirup glukosa ubi jalar. Hasil etanol yang diperoleh pada sistem batch sebesar 10.27±0.424% (v/v) dengan nilai efisiensi substrat 90.11%, dan pada sistem fed batch konsentrasi etanol yang diperoleh sebesar 21.385±0.573% (v/v) dengan nilai efisiensi substrat 55.64%. Zhang et al. (2009), menggunakan tongkol jagung kering dalam memproduksi bioetanol dengan proses fermentasi fed batch SSF selama 96 jam. Hasil etanol yang diperoleh dari proses fermentasi tersebutadalah sebesar 84.7 g/l. Wayan (2009), menggunakan ubi kayu dalam pembuatan bioetanol dengan proses fermentasi secara bertahap. Hasil kadar etanol yang diperoleh dari proses tersebut adalah sebesar 11.777±2.228% (v/v) atau 9.29±1.76% (b/v).

(23)

dengan perubahan sistem pertumbuhan S.cerevisiae dari kondisi aerobik menjadi anaerobik serta variasi konsentrasi substrat yang diumpankan pada sistem fed batch terekayasa. Sehingga melalui penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan rendemen bioetanol yang lebih tinggi dengan kandungan gula sisa yang rendah.

1.2 Rumusan Masalah

Pembuatan bioetanol dari ubi jalar dapat ditingkatkan perolehan etanol dan efisiensinya dengan aplikasi rekayasa bioproses. Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan permasalahan pada penelitian ini adalah mengembangkan aplikasi rekayasa bioproses pada sistem fed batch terekayasa dengan perubahan kondisi pertumbuhan S.cerevisiae dari aerobik ke anaerobik serta melakukan variasi konsentrasi substrat yang diumpankan pada sistem fed batch terekayasa.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memproduksi bioetanol dari sirup glukosa dengan menggunakan S. cerevisiae pada produktivitas dan efisiensi yang tinggi. Tujuan spesifik dari penelitian ini adalah untuk :

1. Menentukan bentuk bahan baku ubi jalar yang terbaik untuk pembuatan sirup glukosa ubi jalar;

2. Menentukan konsentrasi substrat yang terbaik pada sistem fed batch

terekayasa yang menghasilkan bioetanol pada tingkat rendemen yang lebih tinggi dengan kadar gula sisa yang lebih rendah.

1.4 Hipotesa Penelitian

Produksi bioetanol dari sirup glukosa menggunakan khamir S. cerevisiae

secara fed batch terekayasa dengan memilih konsentrasi penambahan substrat yang tepat diharapkan dapat menghasilkan etanol pada produktivitas (rendemen) dan efisiensi yang tinggi (gula sisa yang rendah).

1.4 Ruang Lingkup

Ruang lingkup yang menjadi batasan pada penelitian ini adalah : 1. Karakteristik kimia umbi dan pati ubi jalar;

(24)

3. Kultivasi fed batch terekayasa dengan pengaturan kondisi aerasi (penghentian aerasi saat biomassa maksimum) serta pengaturan konsentrasi substrat yang diumpankan (variasi konsentrasi substrat) untuk menghasilkan etanol dengan produktivitas yang tinggi (rendemen) dan efisiensi yang tinggi (gula sisa yang rendah);

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ubi Jalar

Ubi jalar sebagai salah satu komoditas pertanian penghasil karbohidrat dan sumber energi yang cukup tinggi. Kandungan karbohidrat ubi jalar menduduki peringkat keempat setelah padi, jagung dan ubi kayu. Sehingga ubi jalar memiliki peran yang penting sebagai cadangan pangan yang bila produksi padi dan jagung tidak mencukupi lagi. Ubi jalar dikenal sebagai bahan pangan alternatif sebagai pengganti beras dan jagung (Juanda dan Bambang 2004).

Ubi jalar merupakan tanaman ubi-ubian yang tergolong tanaman semusim (berumur pendek). Tanaman ubi jalar hanya satu kali berproduksi dan setelah itu tanaman mati. Tanaman ubi jalar tumbuh menjalar pada permukaan tanah dengan panjang tanaman dapat mencapai 3 meter, tergantung pada varietasnya (Rukmana 2006). Klasifikasi lengkap ubi jalar (Ipomoea batatas L) adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dycotiledone Ordo : Convolvulales Famili : Convolvulaceae Genus : Ipomoea

Spesies : Ipomoea batatas L.

(26)

Menurut Suprapti (2003), ubi jalar dapat tumbuh hampir di semua jenis tanah termasuk lahan kritis. Kondisi tanah yang paling ideal untuk budidaya ubi jalar berada di dataran rendah 500 m di atas permukaan laut. Tanaman ubi jalar. mudah beradaptasi pada lingkungan termasuk tanah dengan aerasi dan drainase yang kurang baik. Potensi pengembangan produksi ubi jalar di Indonesia disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas ubi jalar Indonesia Tahun Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha)

2000 194.262 1.827.687 9.4 Sumber : Badan Pusat Statistik (2008b)

Ubi jalar bisa ditanam baik pada lahan sawah maupun lahan tegalan. Pada umumnya di daerah pedesaan mempunyai produktifitas sekitar 10 ton per hektar. Sedangkan dengan teknik budidaya yang tepat beberapa ubi jalar dapat menghasilkan lebih dari 30 ton umbi basah per hektar. Terdapat 8 varietas unggul yang dilepas sejak tahun 1990 hingga 2001. Varietas-varietas ini selain mempunyai produktivitas tinggi, juga mempunyai sifat agak tahan terhadap hama boleng Cylas formicarius dan penyakit kudis Sphaceloma batatas. Pada umumnya di dataran rendah, ubi jalar dipanen pada umur 3.5 sampai dengan 5 bulan. Sedangkan di dataran tinggi ubijalar dipanen pada umur 5 sampai dengan 8 bulan (Gadang BKP Jatim 2008).

(27)

ubi jalar, maka diharapkan ubi jalar dapat digunakan sebagai salah satu alternatif bahan baku pada pembuatan bahan bakar yang sumbernya dari alam (biofuel) khususnya untuk pembuatan bioetanol.

Tabel 2. Perbandingan karakteristik tanaman penghasil bioetanol

Karakteristik Ubi Jalar Singkong Tebu Kentang Talas Jenis Tanah Cocok

untuk

Rendah Rendah Tinggi Tinggi Tinggi

Masa panen

Sumber : Departemen Pertanian (2008)

2.2 Sirup Glukosa

Sirup glukosa merupakan suatu larutan yang diperoleh dari pati atau sumber karbohidrat lain melalui hidrolisa yang komponen utamanya adalah glukosa (Judoamidjojo et al. 1989). Defenisi sirup glukosa menurut SNI 01-2978-1992 adalah cairan jernih dan kental dengan komponen utamanya glukosa, yang diperoleh dari hidrolisis pati dengan cara kimia atau enzimatik. Menurut Maiden (1970), glukosa cair berupa larutan dengan kekentalan antara 32-35 Be yang dihasilkan melalui hidrolisis pati dengan katalis asam, enzim, dan gabungan keduanya. Zat pati yang dapat dihidrolisis berasal dari bahan yang mengandung pati seperti jagung, gandum, ubi kayu dan ubi jalar.

Sirup glukosa atau sering juga disebut gula cair mengandung D-glukosa, maltosa, dan polimer D-glukosa yang dibuat melalui proses hidrolisis pati. Proses hidrolisis pati pada dasarnya adalah pemutusan rantai polimer pati (C6H12O6)n

menjadi unit-unit monosakarida (C6H12O6). Produk-produk hasil hidrolisis pati

(28)

dengan nilai DE (Dextrose Equivalent) yang menunjukkan persentase dari dekstrosa murni dalam basis berat kering pada produk hidrolisis. Dekstrosa murni adalah dekstrosa dengan derajat polimerisasi 1 (unit dekstrosa tunggal). Suatu produk hidrolisis pati dengan nilai DE 15, menunjukkan bahwa persentase dekstrosa murni pada produk kurang lebih sebesar 15 % (bk) (Meyer, 1978). Hidrolisis pati dapat dilakukan dengan menggunakan katalis enzim, asam atau gabungan keduanya pada waktu, suhu dan pH tertentu.

Pada hidrolisis pati dengan asam, molekul pati akan dipecah secara acak oleh asam dan gula yang dihasilkan sebagian besar merupakan gula pereduksi. Proses hidrolisis menggunakan katalis asam juga memerlukan suhu yang sangat tinggi yaitu 120 - 160 oC. Menurut Judoamidjojo (1992), hidrolisis pati secara asam hanya akan mendapatkan sirup glukosa dengan dekstrosa equivalen (DE) sebesar 55. Kelemahan dari hidrolisis pati secara asam antara lain yaitu diperlukan peralatan yang tahan korosi, menghasilkan sakarida dengan spektra-spektra tertentu saja karena katalis asam menghidrolisa secara acak. Jika nilai ekuivalen dekstrosa ditingkatkan, selain terjadi degradasi karbohidrat, juga terjadi rekombinasi produk degradasi yang dapat berpengaruh terhadap warna, rasa pada sirup glukosa yang dihasilkan.

Pembuatan sirup glukosa secara enzimatis dapat menghasilkan rendemen dan mutu sirup glukosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan cara hidrolisis asam. Pada hidrolisis pati secara enzimatis, enzim memutus rantai pati secara spesifik pada percabangan tertentu. Hidrolisis pati secara enzim dapat menghasilkan sirup glukosa dengan dekstrosa equivalen (DE) lebih dari 95%. Penggunaan enzim dapat mencegah terjadinya reaksi sampingan karena sifat enzim sangat spesifik, sehingga dapat mempertahankan flavor dan aroma bahan dasar.

(29)

Pada tahap likuifikasi terjadi pemecahan ikatan α-(1.4) glikosidik oleh enzim α-amilase pada bagian dalam rantai polisakarida secara acak hingga dihasilkan glukosa, maltosa, maltodekstrin dan α-limit dekstrin. Tahap likuifikasi dilakukan sampai mencapai derajat konversi sekitar 10-20% DE, atau sampai cairan berwarna coklat kemerahan bila direaksikan dengan larutan iodium. Tujuan dari likuifikasi adalah untuk melarutkan pati secara sempurna, mencegah isomerisasi gugusan pereduksi dari glukosa dan mempermudah kerja enzim α -amilase untuk menghidrolisa pati (Judoamidjojo et al. 1989). Dalam proses likuifikasi, hal yang perlu diperhatikan adalah konsentrasi substrat, penggunaan enzim yang stabil pada suhu tinggi, pengaturan suhu, pengaturan pH dan pengadukan serta pemanasan segera dan kontinu. Pengaturan pH larutan dapat digunakan NaOH dan HCl.

Sakarifikasi merupakan proses dimana oligosakarida sebagai hasil dari tahap likuifikasi dihidrolisis lebih lanjut oleh enzim tunggal atau enzim campuran menjadi glukosa. Pada proses sakarifikasi, oligosakarida sebagai hasil dari tahap likuifikasi dihidrolisis lebih lanjut menjadi glukosa oleh enzim amiloglukosidase. Faktor yang sangat penting diperhatikan pada proses sakarifikasi adalah dosis enzim yang digunakan dan waktu sakarifikasi (Hartoto et al. 2005).

2.3 Enzim Penghidrolisis Pati

Enzim yang dapat menghidrolisis pati terdiri dari dua jenis yaitu enzim yang dapat memecah ikatan α-1.4 glikosidik dan enzim yang dapat mengkatalis hidrolisa spesifik dari ikatan α-1.6 glikosidik pada amilopektin. Grup yang pertama dibedakan lagi atas endo-enzim yang memecah ikatan α-1.4 glikosidik secara random atau pada ikatan yang berada di tengah rantai polimer, dan secara ekso-enzim yang memecah ikatan α-1.4 glikosidik dari bagian ujung polimer (Judoamidjojo et al. 1989).

2.3.1 Enzim alfa amilase

(30)

adalah degradasi menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Degradasi ini terjadi sangat cepat diikuti pula dengan menurunnya viskositas dengan cepat. Tahap kedua relatif lambat dengan pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir. Hidrolisis amilopektin oleh α-amilase menghasilkan glukosa, maltosa dan berbagai jenis α-limit dekstrin, yaitu oligosakarida yang terdiri dari empat atau lebih residu glukosa yang mengandung ikatan α-1.6 glikosidik (Suhartono 1989). Aktivitas α-amilase dapat diukur berdasarkan penurunan kadar pati yang larut dan kadar dekstrin yang terbentuk, pengukuran viskositas atau jumlah gula pereduksi yang terbentuk. Adanya amilosa pada pati atau dekstrin dapat diketahui berdasarkan warna yang terjadi bila diberikan iodium. Amilosa dengan iodium akan memberikan warna biru, sedangkan dekstrin dengan iodium berwarna coklat (Judoamidjojo et al. 1989).

Enzim α-amilase terbagi atas dua golongan yaitu α-amilase termostabil yang banyak digunakan pada proses likuifikasi pada suhu tinggi, dan α-amilase termolabil yang banyak digunakan pada proses sakarifikasi. Mikroorganisme penghasil enzim amilase dapat berupa bakteri dan kapang. Bakteri yang dapat menghasilkan amilase diantaranya B. Subtilis, B licheniformis, Aspergillus sp., Bacillus sp., dan Bacillus circulans (Arcinthya 2007). Bakteri tersebut menghasilkan amilase yang bersifat termostabil yaitu, enzim tersebut dapat aktif atau bekerja dalam suhu yang tinggi sehingga proses hidrolisis akan menjadi lebih mudah dan cepat dengan adanya bantuan panas atau suhu, sehingga proses pemutusan ikatan polisakarida lebih mudah. Menurut Fogarty (1983), enzim α -amilase pada umumnya stabil pada kisaran pH 5.5-8.0. Enzim α-amilase dari B. licheniformis mempunyai aktivitas optimum pH 6.5 dan suhu 90oC (Berghmans 1980).

2.3.2 Enzim Glukoamilase (AMG)

(31)

Enzim-enzim yang tergolong di dalam kelompok glukoamilase ini dapat diperoleh dari bagian strain Aspergillus dan Rhizopus. Enzim glukoamilase bersifat eksoamilase yaitu dapat memutus rantai pati menjadi molekul-molekul glukosa pada bagian non pereduksi dari molekul tersebut. Baik ikatan α-1.4 maupun α-1.6 dapat diputuskannya (Tjokroadikoesoemo 1986).

Aktivitas optimum enzim glukoamilase dipengaruhi oleh pH dan suhu. Sumber enzim yang berbeda akan menghasilkan enzim dengan kondisi aktivitas yang berbeda pula. Menurut Fogarty (1983), pH optimal enzim tersebut berkisar antara 4.5 – 5.0, tetapi hal itu juga tergantung sumber enzimnya. Suhu optimumnya berkisar antara 40 – 50oC. Pada umumnya mikroba termofilik akan menghasilkan enzim glukoamilase yang relatif tahan terhadap panas, demikian juga sebaliknya mikroba mesofilik pada umumnya menghasilkan enzim glukoamilase yang kurang tahan panas.

2.4 Bioetanol

Bioetanol merupakan etanol atau etil alkohol (C2H5OH) atau sering juga

disebut dengan grain alcohol. Etanol berbentuk cairan tidak berwarna dan mempunyai bau yang khas, biodegradable, kadar racun yang rendah dan sangat sedikit menimbulkan polusi bagi lingkungan. Berat jenis pada suhu 15oC sebesar 0.7937 dan titik didihnya 78.32oC pada tekanan 76 mmHg. Sifat lainnya adalah larut dalam air dan eter dan mempunyai panas pembakaran 328 Kkal.

Bioetanol diperoleh dari proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme. Etanol umumnya digunakan dalam industri sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk minuman keras seperti sake atau gin, dan bahan baku farmasi dan kosmetika. Berdasarkan kadar alkoholnya, etanol terbagi menjadi tiga grade yaitu grade industri dengan kadar alkohol 90-94 %, netral dengan kadar alkohol 96-99.5 %, umumnya digunakan untuk minuman keras atau bahan baku farmasi, dan grade bahan bakar dengan kadar alkohol diatas 99.5 – 100 % (Hambali et al. 2007).

(32)

Bahan hasil pertanian yang berkadar pati tinggi, meliputi biji-bijian (gandum, jagung, beras, dll), kacang-kacangan dan umbi-umbian (kentang, ubi jalar dan ubi kayu). Karbohidrat dalam bentuk zat pati tersebut untuk pembuatan etanol harus dihidrolisa dahulu menjadi glukosa (Assegaf, 2009). Pada Tabel 3 disajikan berbagai jenis tanaman yang biasa dibudidayakan dan dapat dijadikan bahan baku bioetanol.

Tabel 3. Tanaman penghasil bioetanol Tanaman Etanol

* diganti oleh penulis dengan 3 kali panen ubi jalar dalam setahun Sumber : Shintawaty (2006)

Bioetanol yang digunakan sebagai bahan bakar mempunyai beberapa kelebihan, diantaranya lebih ramah lingkungan, karena bahan bakar tersebut memiliki nilai oktan 92 lebih tinggi dari premium dengan nilai oktan 88, dan pertamax dengan nilai oktan 94 (Mursyidin 2007). Penggunaan bioetanol di Indonesia dijadikan sebagai bahan pensubtitusi, yang pada umumnya masih dalam bentuk campuran dengan bensin dalam konsentrasi 10% (E-10) yaitu 10 persen bioetanol dan 90 persen bensin. Campuran bioetanol dalam bensin dikenal dengan istilah gasohol. Penambahan etanol dalam bensin disamping dapat menambah volume bahan bakar minyak juga dapat meningkatkan nilai oktan bensin. Disamping itu, penambahan etanol dalam bensin dapat berfungsi sebagai sumber oksigen sehingga dapat menghasilkan pembakaran yang lebih bersih. Pada point ini bioetanol dapat diposisikan sebagai pengganti methyl tertiary-butyl ether

(33)

Etanol sebagai bahan bakar memiliki karakteristik yang mirip dengan bensin sehingga dapat digunakan untuk mensubstitusinya. Etanol bersifat mudah terbakar dengan nyala biru tanpa jelaga serta mudah menguap. Jika dibandingkan dengan bensin, etanol memiliki karakteristik yang lebih baik. Dilihat dari rumus kimianya, (C2H5OH), etanol mengandung 35 persen oksigen sehingga dapat

meningkatkan efisiensi pembakaran dan mengurangi emisi gas rumah kaca, bersifat ramah lingkungan karena emisi gas buangnya rendah terhadap senyawa-senyawa yang berpotensi sebagai polutan (karbon monoksida, nitrogen oksida, dan gas-gas rumah kaca), mudah terurai dan aman karena tidak mencemari air. Kelebihan lain yang dimiliki bioetanol dibandingkan dengan bensin yaitu dapat diperbaharui dan cara pembuatannya yang sederhana yaitu melalui fermentasi menggunakan mikroorganisme tertentu.

Pembuatan bioetanol dari glukosa melibatkan proses fermentasi. Fermentasi adalah perubahan 1 mol glukosa menjadi 2 mol etanol dan 2 mol CO2. Proses

fermentasi dilakukan dengan menambahkan yeast atau ragi untuk mengkonversi glukosa menjadi bioetanol yang bersifat anaerob yaitu, tidak memerlukan oksigen (O2).

Menurut Judoadmidjojo et al. (1989), proses fermentasi pembentukan etanol membutuhkan bantuan yeast atau khamir. Untuk bahan yang mengandung gula dalam bentuk polisakarida atau oligosakarida, terlebih dahulu harus diubah dulu dalam bentuk yang lebih sederhana yaitu monosakarida (fruktosa atau glukosa).

Yeast tersebut akan merubah gula-gula sederhana yaitu fruktosa atau glukosa (C6H12O6) menjadi etanol (C2H5OH) dan karbondioksida (CO2). Reaksi yang

terjadi adalah sebagai berikut :

C6H12O6 Æ 2 C2H5OH + 2 CO2

Monosakarida Etanol Karbondioksida

(34)

2.5 Khamir

Khamir maupun bakteri dapat digunakan untuk memproduksi etanol. Khamir Saccharomyces cerevisiae var ellipsoides mampu menghasilkan etanol dalam jumlah tinggi (16-18%) pada media yang sesuai. Khamir yang lain yang dapat digunakan adalah Schizosaccharomyces sp., S. uvarum dan Kluyveromyces

sp. Bakteri Zymomonas mobilis diketahui merupakan penghasil etanol yang potensial (Hartoto 1992).

Khamir memerlukan media dan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Unsur-unsur dasar yang dibutuhkan adalah karbon, hidrogen, oksigen, fosfor, potasium zat besi dan magnesium. Unsur karbon banyak diperoleh dari gula, sedangkan sebagai sumber notrogen dapat digunakan amonia, garam amonium, asam amino, peptida, pepton, nitrat atau urea tergantung dari jenis khamir (Prescott dan Dunn 1981).

Menurut Frazier dan Westhoff (1978), khamir tumbuh optimum pada suhu 25-30oC dan maksimum pada suhu 35-47oC, pH yang disukai antara 4-5. Batas minimal aw untuk khamir biasa adalah 0.88-0.94 sedangkan khamir osmofilik

dapat tumbuh pada aw yang lebih rendah yaitu sekitar 0.62-0.65, namun banyak

juga khamir osmofilik pertumbuhannya terhenti pada aw 0.78 seperti pada larutan

garam ataupun sirup gula.

Saccharomyces cerevisiae dapat memfermentasi glukosa, sukrosa, galaktosa serta rafinosa (Kunkee dan Mardon 1970). S. cerevisiae merupakan top yeast

tumbuh cepat dan sangat aktif memfermentasi pada suhu 20oC (Frazier dan Westhoff 1978). S. cerevisiae dapat toleran terhadap alkohol yang cukup tinggi (12-18 % v/v), tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32oC (Harisson dan Graham 1970).

(35)

dan air, sedang oksidasi tidak sempurna diikuti oleh akumulasi asam dan lain-lain produk intermediet.

Pertumbuhan khamir cukup bervariasi dari suhu 0 oC sampai 47 oC. Secara umum, khamir dapat tumbuh dengan baik pada suasana asam, yaitu pH 3.5 sampai 3.8 yang dapat menghambat sebagian bakteri. Toleransi asamnya adalah selang pH 2.2 sampai 8.0. Mekanisme pembentukan etanol oleh khamir melalui jalur Embden-Meyerhof-Parnas Pathway atau lebih dikenal dengan jalur glikolisis. Alur dari tahap glikolisis disajikan pada Gambar 01.

Hasil dari tahap glikolisis atau jalur EMP adalah memecah glukosa menjadi dua molekul asam piruvat. Proses yang terjadi dalam jalur glikolisis adalah sebagai berikut :

1. Glikolisis diawali dengan reaksi pembentukan senyawa glukosa-6-fosfat dari glukosa. Reaksi tersebut merupakan reaksi yang membutuhkan energi yang diambil dari pemutusan ikatan fosfat dari ATP. Reaksi ini dikatalisis oleh enzim heksokinase atau glukokinase. Pada tahap ini, satu molekul ATP digunakan dan satu molekul ADP dihasilkan;

2. Reaksi kedua adalah pembentukan isomer fruktosa-6-fosfat dari glukosa-6-fosfat. Reaksi ini dikatalisis oleh enzim fosfoheksosa isomerase.

3. Fruktosa-6-fosfat selanjutnya dikonversi menjadi fruktosa-1,6-bisfosfat oleh enzim fosfofruktokinase. Reaksi ini berjalan spontan dan merupakan rate limiting step pada proses glikolisis. Pada tahap ini pun satu molekul ATP digunakan dan satu molekul ADP dihasilkan;

4. Tahap selanjutnya adalah reaksi pemecahan fruktosa-1,6-bisfosfat oleh enzim aldolase menjadi dihidroksiasetonfosfat (DHAP) dan gliseraldehid-3-fosfat (GA-3P). Tahap ini merupakan salah satu tahap penting dalam proses glikolisis (dimana C6 dirubah menjadi 2C3); DHAP dan GA-3P merupakan

senyawa yang memiliki susunan molekul yang sama; GA-3P langsung digunakan dalam tahap selanjutnya glikolisis dan DHAP dikonversi menjadi GA-3P oleh enzim triosefosfat isomerase;

(36)
(37)

6. 1,3-difosfo-gliserat melepaskan satu grup fosfat untuk membentuk ATP dan ADP dan kemudian dikonversi menjadi fosfogliserat (3P-GA) oleh enzim 3-fosfogliseratkinase;

7. 3-fosfogliserat (3P-GA) selanjutnya dikonversi menjadi 2-fosfogliserat (2P-GA) oleh enzim fosfogliserat mutase;

8. 2-fosfogliserat (2P-GA) selanjutnya didehidrasi menjadi fosfofenol piruvat oleh enzim enolase;

9. Tahap terakhir dari jalur glikolisis adalah defosforelasi fosfofenol piruvat (PEP) menjadi piruvat oleh enzim piruvat kinase; pada tahap ini dibentuk sebuah molekul ATP.

Reaksi setelah pembentukan DHAP dan GA-3P selama proses glikolisis berlangsung sebanyak dua kali. Piruvat yang merupakan produk akhir dari tahap glikolisis ini merupakan kunci pada proses metabolisme. Secara keseluruhan, reaksi dari proses glikolisis adalah sebagai berikut :

Glukosa + 2 ADP + 2 NAD+ + 2 Pi Æ 2 pyruvate + 2 ATP + 2 (NADH + H+) Setelah melalui tahapan glikolisis, piruvat yang terbentuk kemudian diubah menjadi asetaldehid dan CO2 oleh enzim piruvate dekarboksilase, setelah itu

enzim alkohol dehidrogenase mengubah asetaldehid menjadi alkohol.

Gambar 02. Proses Pembentukan Etanol dari Piruvat

2.5 Kultivasi Sistem Fed Batch

(38)

mengubah konsentrasi media membentuk produk dengan produktivitas yang tinggi (Son et al. 2007).

Kultur fed batch sebagai kultur dengan pasokan nutrisi secara kontinyu yang dapat dioperasikan dalam dua cara yaitu dengan volume yang berubah-ubah dan dengan volume konstan. Tipe kultivasi ini dapat mencegah penghambatan substrat terhadap pertumbuhan dengan menambahkan substrat pada tahap batch dan dapat menyebabkan perubahan laju pertumbuhan secara periodik (Stanbury dan Whitaker 1984).

Pada saat pertumbuhan suatu organisme pada kultur batch dibatasi oleh konsentrasi salah satu substrat dalam media, maka konsentrasi biomassa pada fase stasioner (Xmaks), dijelaskan dengan persamaan 1 (dengan asumsi bahwa jumlah inokulum awal tidak signifikan dibandingkan biomassa akhir).

Xmax ≈ YSR (1)

Dimana,

Y = yield untuk substrat pembatas (g biomassa/g substrat yang dikonsumsi) SR = konsentrasi substrat dalam media.

Jika media segar ditambahkan ke dalam bejana kultivasi pada laju dilusi (D) yang lebih kecil daripada µmax maka sebenarnya semua substrat akan dikonsumsi saat

diumpankan ke dalam sistem. Meskipun jumlah volume dalam bejana bertambah seiring waktu kultivasi namun sebenarnya konsentrasi sel (x) adalah konstan, yaitu (dx/dt ≈ 0) dan oleh karena itu µ = D. Sistem tersebut dikatakan berada dalam quasi-steady state. Semakin bertambahnya waktu kultivasi dan volume kultur, maka laju dilusi akan menurun. Nilai D dijelaskan pada persamaan 2.

D = F/Vo + F.t (2) Dimana,

D = laju dilusi

F = laju pengumpanan Vo = volume awal kultur

T = waktu pengumpanan pada operasi fed batch

(39)

konsentrasi biomassa. Pada laju pertumbuhan yang lebih tinggi, konsentrasi substrat awal akan lebih besar daripada konsentrasi residu substrat dan peningkatan konsentrasi substrat tidak signifikan. Laju dilusi pada kultur fed batch dapat dipertahankan konstan dengan meningkatkan laju pengumpanan secara ekponesial (Trevan et al. 1987).

2.7 Kinetika Fermentasi

Mikroorganisme tumbuh dalam suatu spektrum lingkungan fisik dan kimiawi yang sangat luas, pertumbuhannya dan kegiatan-kegiatan fisiologik lainnya merupakan suatu respon terhadap lingkungan fisiko kimiawinya. Kinetika fermentasi menggambarkan pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroorganisme, bukan hanya pertumbuhan sel aktif, tetapi juga kegiatan-kegiatan sel sel-sel istirahat dan sel mati, berhubung masih banyak produk-produk komersial diproduksi setelah pertumbuhan mikroorganisme terhenti.

Menurut Judoamidjojo et al. (1992), pertumbuhan mikrobial biasanya dicirikan dengan waktu yang dibutuhkan untuk menggandakan massa sel atau jumlah sel. Waktu ganda massa dapat berbeda dengan waktu ganda sel, karena massa sel dapat meningkatkan tanpa peningkatan dalam jumlah sel. Namun demikian bila pada suatu lingkungan tertentu interval antara massa sel atau penggandaan jumlah adalah konstan dengan waktu, maka organisme itu tumbuhan pada kecepatan eksponensial. Pada keadaan ini pertumbuhan dinyatakan sebagai :

X

(40)

Pada umumnya pertumbuhan diukur dengan peningkatan massa, sehingga µ dapat digunakan. Jika persamaan (1) diintegralkan maka akan menjadi :

2 =

Bila laju pertumbuhan spesifik tetap, maka akan menghasilkan :

t

Dimana td adalah waktu ganda sel.

Selama fermentasi batch, laju pertumbuhan spesifik adalah konstan dan tidak tergantung pada perubahan konsentrasi nutriennya (Stanbury dan Whitaker 1984). Bentuk hubungan antara laju pertumbuhan dan konsentrasi substrat telah diteliti oleh Monod (1942), dengan persamaan sebagai berikut :

µmax S

Ks = konstanta penggunaan substrat, nilainya sama dengan konsentrasi

substrat pada saat µ = ½ µmax dan merupakan ukuran afinitas

mikroorganisme terhadap substrat

Pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroorganisme merupakan proses biokonversi. Dimana nutrien kimiawi yang diumpankan pada fermentasi dikonversi menjadi massa sel dan metabolit-metabolit. Setiap konversi dapat dikuantifikasikan oleh suatu koefisien hasil yang dinyatakan sebagai massa sel atau produk yang terbentuk per unit massa nutrien yang dikonsumsi, yaitu Yx/s

untuk sel dan Yp/s untuk produk yang dihitung dengan menggunakan persamaan

(41)

∆ x ∆ p Yx/s = Yp/s =

∆ S ∆ S Dimana,

Yx/s = rendemen pembentukan sel oleh substrat

Yp/s = rendemen pembentukan produk oleh substrat

Menurut Sa’id (1987) bahwa tumbuh yang dicirikan oleh peningkatan massa sel, hanya terjadi bilamana kondisi-kondisi kimiawi dan fisika tertentu terpenuhi, misalnya terdapatnya suhu dan pH yang dapat sesuai dan tersedianya nutrien yang dibutuhkan. Kinetika pertumbuhan dan pembentukan produk memperlihatkan kemampuan sel dalam memberikan respon terhadap lingkungan.

Pertumbuhan mikroorganisme secara batch yang ditumbuhkan pada medium tertentu, memiliki kurva seperti yang disajikan pada Gambar 03. Umumnya, pertumbuhan diukur dengan pengukuran massa sel. Fase pertumbuhan dimulai pada fase adaptasi, fase pertumbuhan yang dipercepat, fase pertumbuhan logaritma (eksponensial), fase pertumbuhan yang mulai dihambat, fase stasioner maksimum, fase kematian dipercepat, dan fase kematian logaritma.

(42)

kecepatan kematian sel mencapai maksimal, sehingga jumlah sel hidup menurun dengan cepat seperti deret ukur. Walaupun demikian penurunan jumlah sel hidup tidak mencapai nol, dalam jumlah minimum tertentu sel mikroba akan tetap bertahan sangat lama dalam medium tersebut.

Gambar 03. Kinetika Fermentasi batch. Kurva : (a) memperlihatkan massa sel bila tidak terjadi lisis, (b) massa sel bila terjadi lisis dan diikuti pertumbuhan kriptik, dan (c) “Viabel Cell Count” bila terjadi lisis (Wang et al. 1979).

(43)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Penelitian produksi bioetanol dari sirup glukosa ubi jalar dilakukan sebagai upaya peningkatan nilai tambah dari ubi jalar. Penelitian dilakukan pada skala labarotorium dengan menggunakan bahan-bahan untuk ekstraksi dan analisa. Analisa menggunakan bahan kimia analitik untuk menjamin tingginya kualitas data yang dihasilkan. Skema kegiatan penelitian dapat dilihat pada Gambar 06.

3.2 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai Desember 2009 di Laboratorium Balai Besar Penelitian Pascapanen Bogor dan Laboratorium Rekayasa Bioproses Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Beberapa laboratorium penunjang antara lain Laboratorium Instrumen Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor.

3.3 Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan adalah ubi jalar varietas Sukuh. Mikroorganisme yang digunakan adalah Saccharomyces cerevisiae. Bahan yang digunakan untuk likuifikasi,sakarifikasi dan fermentasi meliputi : enzim α-amilase (Liquizymes), enzim amiloglukosidase (Dextrozymes), aquades, CH3COOH,

ekstrak khamir, ekstrak malt, glukosa, peptone, NaOH, HCl, NPK, (NH4)2SO4,

trace element, alumunium foil, kapas, tisu. Bahan kimia yang digunakan untuk analisa meliputi : fenol, H2SO4, 3.5-Dinitrosalisilat (DNS).

(44)

3.4 Tahapan Penelitian

3.4.1 Pembuatan Pati Ubi Jalar

Pembuatan pati ubi jalar dilakukan secara ekstraksi basah yaitu ubi jalar segar setelah pencucian dilakukan pemarutan ubi disertai dengan penambahan air sebanyak 1 : 5 (ubi : air) yang digunakan untuk mengekstrak pati dari ampasnya. Selanjutnya dilakukan pengendapan selama 8 – 12 jam, setelah terbentuk pati ubi jalar basah kemudian dilakukan pengeringan dan dihasilkan pati ubi jalar kering. Setelah itu dilakukan analisa proximat serta kadar pati dari pati ubi jalar yang telah dibuat. Diagram alir proses pembuatan pati ubi jalar disajikan pada Gambar 04.

(45)

3.4.2 Pembuatan Sirup Glukosa

Sirup glukosa dibuat dengan menggunakan metode enzimatis. Enzim yang digunakan adalah enzim α-amilase dan enzim amiloglikosidase (AMG). Sirup glukosa yang dibuat dari empat bahan ubi jalar yang berbeda yaitu dari umbi parut ubi jalar, larutan pati ubi jalar, pati ubi jalar dan tepung ubi jalar. Setiap bahan tersebut kemudian ditambahkan air dengan perbandingan 1 : 3, kemudian dilakukan pengaturan pH 6 – 6.5. Tahap likuifikasi, ditambahkan enzim α -amilase 0.8 ml/kg bahan yang digunakan. Hidrolisat ubi jalar dipanaskan pada suhu 90oC dengan pengadukan selama 1 jam. Pada tahap ini, dilakukan pengaturan pH 4.5 dengan menambahkan HCl. Pada tahap sakarifikasi, hidrolisat ubi jalar ditambahkan enzim AMG dosis 0.8 ml/kg bahan yang digunakan pada suhu 60oC selama 60 jam kemudian disaring. Setelah itu, sirup glukosa dinetralkan dengan NaOH pada pH 7. Selanjutnya, dilakukan pengujian kadar total gula dan gula pereduksi. Diagram alir proses pembuatan sirup glukosa dari variasi bahan baku ubi jalar dapat dilihat pada Lampiran 5, 6, 7 dan 8.

3.4.3 Persiapan Kultur S. cerevisiae

Media yang digunakan untuk menumbuhkan khamir S. cerevisiae adalah media YMGP yang terdiri atas 5 g ekstrak khamir, 5 g ekstrak malt, 5 g peptone, dan 20 g glukosa serta 1 liter aquades. Mula-mula bahan ditimbang sesuai dengan jumlah yang ditentukan, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml dan dilarutkan dengan aquades. Labu erlenmeyer ditutup dengan menggunakan kapas dan alumunium foil, selanjutnya dimasukkan ke dalam autoklaf dan disterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit. Setelah sterilisasi selesai, labu erlenmeyer dikeluarkan dari autoklaf dan didinginkan pada suhu kamar.

Pembuatan kultur dilakukan dengan cara memindahkan kultur murni khamir

(46)

(a) (b)

Gambar 05. Media Propagasi : (a). Sebelum penambahan kultur; (b). Setelah propagasi 48 jam

3.4.4 Kultivasi pada Sistem Fed batch Terekayasa

Pada awal kultivasi digunakan sistem batch secara aerobik dengan aerasi dan agitasi. Sebanyak 600 ml sirup glukosa dengan konsentrasi subtrat 24% yang telah dibuat sebelumnya dimasukkan ke dalam reaktor 2 liter. Setelah itu, reaktor disterilisasi di dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Setelah dingin, kemudian ditambahkan sumber N dan trace element sebanyak 1% dari volume substrat yang disterilisasi terpisah lalu dilakukan inokulasi dengan inokulum hasil propagasi S. cerevisiae yang telah dibuat sebelumnya sebanyak 10% dari volume substrat. Pada wadah lain, juga dipersiapkan substrat sirup glukosa yang telah steril sebanyak 600 ml dengan menggunakan konsentrasi substrat 4%, 8%, 12%, 16%, dan 20% untuk dimasukkan ke dalam reaktor dengan laju alir lebih kecil dari µ maksimal. Hal ini dimaksudkan untuk melakukan sistem fed batch

terekayasa.

(47)

Tabel 4. Variasi Perlakuan yang dilakukan pada Penelitian Utama

Sistem Kondisi Awal Kultivasi

• Aerasi tidak dilakukan

• Agitasi dilakukan

3.4.5 Pengamatan, Analisa dan Parameter Fermentasi

Proses kultivasi dan fermentasi berlangsung selama 72 jam, untuk masing-masing perlakuan kondisi. Pengamatan dan pengambilan sampel dilakukan setiap 6 jam untuk mengetahui keadaan larutan fermentasi. Parameter yang digunakan sebagai indikator kinerja proses fermentasi adalah :

1. Kadar etanol yang diproduksi pada jam ke-18 dan jam ke-72 (akhir) sistem

fed batch terekayasa (p)

2. Total biomassa atau sel khamir setiap 6 jam (x) 3. Sisa substrat yang masih terdapat dalam media (s)

4. Nilai rendemen (yield) pemakaian substrat terhadap pembentukan sel dan produk (Yx/s dan Yp/s)

(48)

Gambar 06. Tahapan penelitian Analisa proksimat meliputi :

Kadar air, Lemak, Protein, Pati, Serat kasar, Abu

Analisa total gula, gula pereduksi, efisiensi bahan dalam pembuatan SG

Persiapan kultur

S.cerevisiae pada media YMGP

Variasi konsentrasi substrat yang diumpankan yaitu konsentrasi 4%, 8%, 12%, 16%, dan 20% (pada jam ke-18, stop aerasi-agitasi tetap dilakukan)

Produksi etanol

• Analisa total gula sisa, biomassa akhir, OD, pH, kadar etanol • Perhitungan kinetika fermentasi

Kultivasi selama 72 jam, sampling per 6 jam

Etanol

(49)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Komposisi Kimia Ubi Jalar

Ubi jalar yang digunakan pada penelitian ini adalah ubi jalar varietas Sukuh yang merupakan salah satu varietas unggulan ubi jalar. Ubi jalar sebelum digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan sirup glukosa dan bioetanol terlebih dahulu dilakukan dianalisis komposisi kimianya yang meliputi kadar air, abu, protein, serat kasar, lemak, dan pati. Hasil analisa proksimat ubi jalar segar varietas Sukuh dan pati ubi jalar yang dihasilkan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil analisa proksimat ubi jalar segar varietas Sukuh dan pati ubi jalar yang dihasilkan

Parameter (%bb) Ubi Jalar Segar Pati Ubi Jalar Kadar Air 56.78±1.067 9.95±0.312 Kadar Abu 1.08±0.213 0.42±0.007 Kadar Protein 0.95±0.081 0.90±0.450 Kadar Serat Kasar 0.78±0.176 0 Kadar Lemak 1.78±0.027 0.64±0.213 Kadar Pati 29.73±0.98 90.64±1.532

(50)

Kadar abu ubi jalar segar dan pati ubi jalar yang dihasilkan pada penelitian adalah masing-masing sebesar 1.08±0.213% (b/b) dan 0.42±0.007% (b/b), hasilnya tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh pada penelitian Wahyuni (2008) yaitu untuk ubi jalar segar sekitar 1.06±0,248% (b/b) dan pati ubi jalar sekitar 0.27±0.086% (b/b). Menurut Sudarmadji et al. (1997), abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan.

Kadar protein dan kadar lemak ubi jalar segar yang dihasilkan pada penelitian ini adalah masing-masing sebesar 0.95±0.081% (b/b) dan 1.78±0.027% (b/b), hasilnya tidak jauh berbeda dengan yang dihasilkan pada penelitian Wahyuni (2008) yaitu untuk kadar protein pati ubi jalar sekitar 0.86±0.057% (b/b) dan kadar lemak pati ubi jalar sekitar 0.69±0.243% (b/b). Menurut Richana (2009a), kandungan protein pada ubi jalar rendah sekitar 1.43%, umumnya dalam bentuk globulin. Kandungan lemak dan protein bahan berpengaruh terhadap karakteristik gelatinisasi dan kekentalan bahan pada saat diolah. Mohammed dan Duaateb (2003) menyebutkan bahwa lemak pada bahan yang mengandung pati dapat mengganggu proses gelatinisasi karena dapat membentuk kompleks dengan amilosa sehingga menghambat keluarnya amilosa dari granula pati, sedangkan protein dapat menyebabkan kekentalan pati menurun.

(51)

hidrolisis sehingga dapat meningkatkan dosis enzim yang diperlukan dalam proses hidrolisis.

Nilai kadar pati ubi jalar segar yang dihasilkan adalah sekitar 29.73±0.98%. Kadar pati yang dihasilkan pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan kandungan pati yang diperoleh oleh Wahyuni (2008) yaitu sekitar 28.21±0.933%. Sedangkan menurut Musaddad (2005) sebesar 31% serta Puslittan (2007) sebesar 31.16%. Kadar pati menunjukkan jumlah pati yang terkandung dalam bahan. Perbedaan kadar pati yang diperoleh dapat disebabkan oleh perbedaan umur simpan dan umur panen dari ubi jalar tersebut. Menurut Winarno (1992), kandungan pati dalam suatu bahan akan berkurang seiring dengan lamanya waktu panen. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan oleh enzim yang terdapat dalam tanaman yang dapat memecah pati menjadi disakarida.

Hasil analisa proksimat pada ubi jalar segar menunjukkan penurunan nilai kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan serat kasar setelah diekstraksi menjadi pati ubi jalar. Hal ini disebabkan oleh terdapat beberapa senyawa seperti lemak, protein serta abu yang tidak ikut terekstraksi sehingga senyawa-senyawa tersebut ikut bersama ampas.

Nilai kadar pati dari pati ubi jalar yang dihasilkan pada penelitian ini mencapai 90.64±1.532%. Dengan kandungan pati yang cukup tinggi menunjukkan bahwa ubi jalar varietas Sukuh memiliki potensi sebagai sumber glukosa dalam substrat fermentasi. Hal ini berarti bahwa ubi jalar varietas Sukuh merupakan salah satu jenis tanaman berpati yang dapat dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan bioetanol.

4.2 Pembuatan Pati Ubi Jalar

(52)

Pembuatan pati ubi jalar dilakukan dengan cara ekstraksi basah yaitu ubi jalar segar setelah pencucian ubi jalar dilakukan pemarutan dan penambahan air sebanyak 1 : 5 untuk mengekstrak patinya. Selanjutnya dilakukan pengendapan selama 8 – 12 jam. Setelah terbentuk pati ubi jalar basah kemudian dilakukan pengeringan dan dihasilkan pati ubi jalar kering. Fungsi dari pemarutan adalah untuk memperkecil ukuran sehingga sel pati akan pecah dan mengeluarkan pati secara maksimal dari umbinya. Penambahan air dilakukan untuk melarutkan pati yang terdapat pada ampas sehingga dapat diperoleh pati yang banyak. Hasil rendemen pati ubi jalar varietas sukuh disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Rendemen pati ubi jalar

Berat Awal Ubi Jalar (g) Berat Akhir Pati (g) Rendemen (%)

5000 1187 23.74

5000 1210 24.20

Rata-rata 1198.5 23.97 ± 0.33

Pembuatan pati dari ubi jalar varietas sukuh menghasilkan rendemen pati sebesar 23.97 ± 0.33 % (Tabel 06). Ubi jalar varietas sukuh merupakan salah satu varietas unggulan ubi jalar yang memiliki kandungan pati yang tinggi mencapai 31.16 % dan umur panen yang relatif singkat (3-3.5 bulan) (Puslittan 2007; Deptan 2008). Rendemen pati tertinggi pada ubi jalar varietas Sukuh yaitu sekitar 14.5%. Ubi jalar varietas Sukuh memiliki tingkat kekerasan dan kekuatan gel tertinggi berkaitan dengan kadar amilosanya yang tinggi yaitu sekitar 39% (bk) dengan suhu gelatinisasi 88.5oC (Erliana et al. 2005). Kadar pati dan gula reduksi ubijalar cukup tinggi yaitu 8-29% dan 0,5-2,5%, maka ubijalar dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan sirup. Sekitar setengah dari produksi ubijalar di Jepang digunakan untuk pembuatan pati yang dimanfaatkan oleh industri tekstil, kosmetik, kertas, dan sirup glukosa. Di Indonesia ubijalar berpeluang sebagai bahan baku terbarukan untuk industri bioetanol sebagai bioenergi.

Rendemen yang diperoleh tidak mencapai kadar pati dari ubi jalar yang dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh adanya loss (kehilangan) pada saat proses ekstraksi. Loss (kehilangan) dapat terjadi pada saat proses pemarutan, pemerasan (ekstraksi), dan perendaman. Pada proses ekstraksi sangat memungkin terjadinya

(53)

Pati ubijalar dapat digunakan untuk produksi alkohol, etanol atau sekarang lebih populer dengan bioetanol. Solusi untuk mengurangi impor bahan bakar minyak adalah meningkatkan penggunaan sumber energi terbarukan, diantaranya adalah bahan bakar hayati yaitu bioetanol. Seperti halnya ubi kayu, ubi jalar juga dapat dimanfaatkan untuk produk bioetanol.

Pembuatan pati ubi jalar merupakan salah satu jenis bahan yang akan digunakan dalam pembuatan sirup glukosa ubi jalar. Sirup glukosa ubi jalar dibuat dari beberapa variasi ubi jalar yaitu dari umbi parut ubi jalar, pati basah ubi jalar, pati kering ubi jalar dan tepung ubi jalar.

4.3 Pembuatan Sirup Glukosa

Produksi etanol (alkohol) dengan bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air. Oleh karena itu, dilakukan pembuatan sirup glukosa dari variasi bentuk bahan baku ubi jalar yang akan digunakan sebagai substrat fermentasi dalam pembuatan bioetanol.

Pembuatan sirup glukosa dilakukan dengan metode enzimatis. Enzim yang digunakan adalah enzim α-amilase dan enzim amiloglikosidase (AMG). Penggunaan kedua enzim ini dimaksudkan untuk mengubah komponen pati yang merupakan polisakarida menjadi glukosa serta gula-gula sederhana lainnya yang merupakan monosakarida.

Proses pembuatan sirup glukosa ini dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap likuifikasi dan tahap sakarifikasi. Tahap pertama adalah tahap likuifikasi yang terjadi pada suhu 90oC dengan pengadukan selama 1 jam. Pada tahap ini, digunakan enzim α-amilase. Enzim α-amilase termasuk enzim pemecah pati dari dalam molekul, bekerja menghidrolisis dengan cepat ikatan ikatan α-1,4 glikosidik pati kental yang telah mengalami gelatinisasi. Pada proses likuifikiasi ini, enzim α-amilase akan menghidrolisis ikatan α-1,4 glikosidik amilosa dan menghasilkan dekstrin. Aktivitas α-amilase pada amilopektin akan menghasilkan oligosakarida dengan jumlah monomer dua sampai enam (Suhartono 1989).

Gambar

Tabel 1. Perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas ubi jalar Indonesia
Tabel 2.  Perbandingan karakteristik tanaman penghasil bioetanol
Tabel 3. Tanaman penghasil bioetanol
Gambar 01.  Tahap Glikolisis (Embden-Meyerhof-Parnas Pathway) (Crueger dan Anneliese 1984)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Teknik pengambilan gambar yang dilakukan dengan ketinggian kamera sejajar dengan dasar atau atas kedudukan objek atau dengan ketinggian yang lebih rendah dari dasar kedudukan

bagi saya untuk memperoleh data primer yang dibutuhkan dalam pembuatan1. skripsi guna meraih gelar sarjana di Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Kompetensi Umum : Mahasiswa mampu melakukan identifikasi arsip dengan menggunakan beberapa pendekatan identifikasi arsip vital maupun menyusun tahapan kegiatan arsip vital

Ketidakmampuan mahasiswa dalam memahami informasi yang kompleks disebabkan oleh banyak faktor, seperti misalnya mahasiswa tidak memiliki kejelasan (clarity) terhadap permasalahan,

pendinginan yang terjadi pada botol labu kedua, dimana pada tekanan rendah. panas dari lingkungan diserap untuk menguapkan adsorbat

Dalam pemikiran Islam, seperti yang dikemukakan oleh al-Ghazali, kelompok-kelompok atau pemeluk agama lain yang tidak terjangkau oleh dakwah Islam, akan tetapi berpegang

Untuk mengolah sawah atau lahan pertanian dari lapisan tanah agar mendapatkan hasil yang optimal tentu saja membutuhkan modal yang tidak sedikit, belum lagi

c) Stadium III : Luka (Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak